Anda di halaman 1dari 142

DASAR PENGETAHUAN

PEKERJAAN SOSIAL

SANTOSO TRI RAHARJO

2015
ISBN: 978-602-9238-85-3

Judul Buku:
DASAR PENGETAHUAN PEKERJAAN SOSIAL

Penulis:
Santoso Tri Raharjo

Jl. Raya Bandung – Sumedang km 21 Sumedang


Tlp. (022) 843 88812
Website: lppm.unpad.ac.id
Email: lppm.unpad.ac.id
Bandung 45363
1 Jil, 123 halaman, Ukuran: 14,8 cm X 21 cm
2015
ISBN: 978-602-9238-85-3
Cetakan: Kedua September 2015

ISBN: 978-602-9238-85-3

9 7 8 - 6 0 2 - 9 2 3 8
KATA PENGANTAR
Buku Dasar Pengetahuan Pekerjaan Sosial ini berisi mengenai
perspektif, teori atau model mendasar mengenai pengetahuan-
pengetahuan dasar yang dibutuhkan dalam praktek pekerjaan sosial
secara umum; termasuk juga beberapa pendekatan penting yang banyak
dan biasa dipergunakan. Tulisan ini mencoba mengakomodasi beberapa
perkembangan perspektif baru dalam praktek pekerjaan sosial,
diantaranya strengths perspective.
Pekerjaan sosial adalah sebuah profesi yang berlandaskan
pengetahuan (perspektif, teori atau model), keterampilan dan sikap
sebagai syarat keprofesian. Sehingga suatu praktek pertolongan
profesional sudah seharusnya berlandaskan pada batang tubuh
pengetahuan yang jelas. Inilah yang membedakan secara jernih dan jelas
dengan relawan dan dermawan, yang membantu orang lain dengan
berlandaskan pada panggilan karitas, sikap saling tolong, dan pilantropis
semata. Namun di sisi lain, lemahnya pemahaman dan penguasaan
berbagai perspektif-teori-model praktek pertolongan pekerjaan sosial
diantara para pekerja sosial itu sendiri membuat profesi ini belum
mampu berdiri dengan ‘tegak’ untuk mengatasi permasalahan sosial di
tengah profesi-profesi lainnya yang telah lama berkembang. Penerapan
pengetahuan (perspektif, teori atau model) dalam penanganan masalah
sosial masih terbatas pada wilayah tertentu saja, atau masih dalam
komunitasnya, yang didalamnya sebagian besar terdiri dari pendidik
pekerjaan sosial, para praktisi pekerjaan sosial, atau lembaga-lembaga
kesejahteraan sosial, termasuk kementerian sosial. Para pekerja sosial
seharusnya mampu menunjukkan secara ‘khas’ dengan pembeda
pendekatan pekerjaan sosial (social work approach: baik pengetahuan,
keterampilan dan sikap profesional) khususnya manakalan terlibat dalam

iii
proses penanganan masalah sosial yang bergerak bersama dengan
berbagai disiplin ilmu lainnya. Semoga penulisan buku ini
membangunkan kepercayaan diri dalam upaya membangkit-tegakkan
profesi ini di tengah-tengah masyarakat.
Penulisan ini diharapkan sebagai upaya untuk memperkaya
bahan-bahan pustaka dalam pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial.
Semoga tulisan ini dapat juga menjadi bahan bacaan para mahasiswa,
dosen dan praktisi pekerjaan sosial / kesejahteraan sosial di Indonesia.
Namun demikian, tentunya tulisan ini masih banyak sekali kekurangan
dan kelemahan pada setiap sisinya, sehingga sangat terbuka untuk
menerima kritik dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan.
Akhir kata, kami sampaikan buku ini dengan harapan semoga
dapat memberikan sumbangan yang optimal bagi pengembangan
pendidikan dan praktek pekerjaan sosial, Aamiin...
Terima kasih

Jatinangor, September 2015


STR

iv
DAFTAR ISI

1. PENDAHULUAN ............................................................. 1
2. PENGETAHUAN UNTUK PEKERJA SOSIAL ............ 7
A. Perkembangan Manusia ............................................. 9
B. Proses-proses Sosial dan Kelembagaan ..................... 16
C. Dinamika Interpersonal, Kelompok dan Organisasi 26
D. Proses Pekerjaan Sosial .............................................. 34
E. Paradigma Teoritis ...................................................... 40
F. Metode-metode Intervensi .......................................... 48
G. Etika dan Nilai ............................................................. 57

3. ALASAN DIALEKTIKAL ................................................ 60


4. MEMANFAATKAN PENGETAHUAN .......................... 78
A. Refletive Practice (Praktek Reflektif) ......................... 80
B. Ide dan Rasa ............................................................... 84
C. Tetaplah Berpraktek ..................................................... 87

5. PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL DAN TEORI


PEKERJAAN SOSIAL ..................................................... 91
A. Teori Sistem ................................................................ 95
B. Perspektif Ekologis ...................................................... 101
C. Life Model Praktek Pekerjaan Sosial ........................... 107
D. Asesmen Person-In-Environment (PIE) dan Sistem
Klasifikasi ................................................................... 110
E. Perspektif Kekuatan ................................................... 114
F. Empowerment-Based Practice Model .................. 120
G. Perspektif Generalis ............................................ 122

6. PENUTUP ........................................................................... 127


PUSTAKA ................................................................................. 131

v
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Contoh Beberapa Teori Praktek Pekerjaan Sosial 92


Tabel 2 Konsep-konsep Perspektif Ekologis.................... 105
Tabel 3 PIE System Factors.............................................. 112
Tabel 4 Asumsi Perspektif Kekuatan .............................. 115
Tabel 5 Perbandingan dari Perspektif Deficits and Strengths 116

vi
1 PENDAHULUAN

Bartlett (1970) telah mengemukakan bahwa sifat suatu profesi


yang telah ‘matang’ atau mapan akan bersandar dan berlandas
atau berpegang kokoh pada suatu batang tubuh pengetahuan
dan nilai-nilai yang kuat. Pekerjaan sosial semestinya tidak
sekedar melakukan suatu aktfitas pelayanan sosialnya secara
mekanis atau otomatis begitu saja, atau mengerjakan suatu
pekerjaan tanpa berfikir dan sesukanya saja. Tentunya
diperlukan suatu basis pengetahuan yang jelas dari setiap
praktek pekerjaan sosial, baik pada level mikro, level meso
maupun level makro. Basis pengetahuan tersebut
menyuguhkan sejumlah konsolidasi dan panduan pengetahuan
dari berasal dari pengalaman para praktisi, beragam teori
perilaku, dan bersumber dari penelitian-penelitian sebelumnya,
yang mencakup bidang-bidang garapan yang kurang lebih
sama digunakan pada masa sebelumnya, dan juga menyediakan
sejumlah pengalaman-pembelajaran bagi para pekerja sosial di
masa ini dan masa mendatang. Ini bukan berarti bahwa semua
pengalaman dan pembelajaran tersebut berikut nilai-nilai yang

1
dihadapinya dapat diambil semua, tetapi kita semestinya dapat
belajar dari kesalahan-kesalahan dan atau keberhasilan-
keberhasilan yang pernah dilakukan dari praktik-praktik orang
lain.

Basis pengetahuan pekerjaan sosial merupakan sesuatu


yang sangat luas dan kompleks, serta merupakan sautu
pengetahuan yang akan terus berkembang setiap saat seiring
dengan perkembangan praktek, teori, kebijakan dan penelitian
pekerjaan sosial, dan tentunya juga perubahan-perubahan
situasi sosial, ekonomi dan politik terhadap permasalahan
sosial yang yang terus berkembang juga. Oleh karena itu akan
menjadi sesuatu yang tidak realistis, apabila dalam tulisan ini
akan menyuguhkan semua basis pengetahuan tersebut dalam
satu buku ini. Tulisan ini merupakan salah satu dari sedikit
upaya saja untuk merangkum itu semua. Pertama-tama adalah
dengan melihat secara sekilas isi dari basis pengetahuan
pekerjaan sosial (yang mungkin juga tidak akan komprehensif),
dan kedua, sebuah diskusi singkat mengenai pendekatan basis
pengetahuan pekerjaan sosial, dan terakhir sebuah
perbincangan mengenai permasalahan apa yang akan muncul
jika tidak tersedia basis pengetahuannya bagi para pekerja

2
sosial, atau ketersediaan basis pengetahuannya tidak sesuai
atau tidak efektif untuk diterapkan pada situasi praktek saat
kini. Sekali lagi tulisan ini hanya berupaya untuk memetakan
basis pengetahuan pekerjaan sosial, yang umum dan biasa
digunakan dalam praktek pekerjaan sosial.

Menurut The New Shorter Oxford English Dictionary


(1993) yang disebut pengetahuan terdefinisi dalam daftar
sebagai berikut ini, yaitu;

a) Fakta pengetahuan tentang sesuatu, pernyataan


seseorang, dan seterusnya, yang saling berkaitan, dan
dikenali melalui pengalaman;
b) Persepsi intelektual akan fakta atau keyakinan;
pemahaman atau kesadaran yang jelas atau tidak jelas,
intuisi sebagaimana didukung pendapat; dan
c) Pemahaman teoritis atau praktis tentang seni, ilmu,
industri, dst. (p. 1503)

Sedangkan sumber-sumber pengetahuan bagi pekerjaan sosial,


menurut Mattaini (1995), dapat diperoleh dari hal-hal sebagai
berikut:

1. Practice wisdom (kebijakan praktek)


2. Personal experience (pengalaman pribadi)

3
3. Sejarah dan kejadian-kejadian terkini
4. Batasan seni dan pustaka
5. Penelitian naturalistik (alamiah)
6. Penelitian kualitatif dan kuantitatif
7. Penelitian eksperimen: penelitian disain kelompok,
penelitian disain tunggal
8. Pengetahuan dari kasus-kasus
9. Ilmu biologi dan perilaku: biologi, genetika, perilaku;
ilmu ekologis; ilmu perilaku dan sosial;
10. Analisis teoritis dan konseptual: pemilihan teori-teori;
jenis-jenis teori; pemanfaatan teori
11. Pengintegrasian Sumber-sumber Pengetahuan dalam
suatu kasus

Menurut Barker (1995) basis pengetahuan dalam pekerjaan


sosial adalah :

“..., the aggregate of accumulated information,


scientific findings, values, and skills and the
methodology for acquiring, using, and evaluating what
is known.

Sedangkan sumbernya dapat diperoleh dari berbagai penelitian


para pekerja sosial sendiri, pengembangan teoritis, kajian-

4
kajian sistematis atas fenomena yang relevan dan dari
pengalaman langsung serta laporan-laporan praktek dari para
praktisi pekerja sosial lainnya. Pengetahuan pekerjaan sosial
dapat juga dapat diperoleh dari informasi yang bersumber dari
klien dan anggota asosiasi disiplin ilmu dan profesional lainnya
serta informasi yang berasal dari pengetahuan masyarakat
umum secara keseluruhan.

Sedangkan yang dimaksud dengan pengetahuan yang


scientific base pekerjaan sosial yaitu terdiri dari 3 (tiga) aspek
yaitu: a) pengetahuan yang teruji; b) pengetahuan hipotetis
yang memerlukan trasformasi sehingga perlu diuji lebih kanjut;
dan c) pengetahuan asumtif (atau practice wisdom) yang
memerlukan transformasi ke dalam menjadi pengetahuan
hipotetis dan kemudian memerlukan pengujian lebih lanjut
sehingga menjadi pengetahuan yang teruji (Thackeray, Farley
& Skidmore, 1994). Sepanjang basis pengetahuan tersebut
secara ‘fungsional’ memiliki manfaat praktis baik langsung
atau tidak langsung dalam praktek pekerjaan sosial, maka itu
dapat digunakan dan dimafaatkan sesuai dengan nilai-nilai
yang berlaku dalam masyarakat dan nilai-nilai dasar praktek
pekerjaan sosial.

5
Titik perhatian dan ‘pembeda’ suatu profesi adalah
pada kemampuan profesional seseorang, melalui sebuah proses
berfikir aktif, untuk mentransfer (menterjemahkan/
menerapkan) pengetahuan tersebut ke dalam pelayanan
profesional yang mengkaitkannya sesuai dengan kebutuhan
unik para kliennya. Sebuah profesi menuntut keterampilan-
keterampilan interventif yang digunakan secara selektif dan
berbeda yang ditentukan oleh batang tubuh pengetahuan dan
teori, proses penentuan metodologi secara selektif, serta tujuan
dan nilai-nilai profesi. Basis pengetahuan tersebut jelas
menjadi pembeda dari suatu profesi, demikian pula profesi
pekerjaan sosial dengan tugas-tugasnya yang sedemikian
kompleks.

---------------------

6
2 PENGETAHUAN UNTUK PEKERJA
SOSIAL

Sebuah pertanyaan besar yang tidak mudah untuk dijawab


secara singkat, adalah pengetahuan-pengetahuan apa saja yang
dibutuhkan bagi para pekerja sosial. Dalam upaya menjawab
pertanyaan tersebut maka basis pengetahuan pekerjaan sosial
dapat dibagi menjadi beberapa bagian kecil. Namun demikian
perlu ditekankan bahwa tidak ada cara yang paling definitif
(clear) untuk mengkategorisasi pengetahuan tersebut. Penulis
lainnya mungkin akan menggunakan kategori yang berbeda, ini
bukan pula berbicara tentang kategori mana yang paling benar
atau mana yang salah. Lebih dari sekedar itu, ini adalah soal
bagaimana sebuah sistem kategori dapat membagi sesuatu yang
sangat kompleks agar menjadi lebih mudah dipahami pada
masing-masing bagiannya. Ibarat puzzle, maka setiap potongan
kertas adalah bagian dari gambaran keseluruhan yang tidak
terpisahkan, yang seringkali juga saling tumpang tindih dan
saling silang di. Kategorisasi ini tentunya ditujukan untuk

7
membantu memudahkan memahami beragam pengatahuan
pekerjaan sosial yag ada.

Sheafor, Horejsi & Horejsi (1994) mengemukakan


bahwa dalam upaya melalukan perubahan ke arah yang lebih
baik, maka menurutnya para pekerja sosial memerlukan
sejumlah pengetahuan yang berkaitan dengan kondisi dan
permasalahan sosial, kebijakan sosial dan program sosial,
fenomena sosial, profesi pekerjaan sosial, dan berbagai teori
praktek. Permasalahan kenakalan dan tindak kriminal/
kenakalan remaja, pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi
anak-anak, remaja putus sekolah, kemiskinan, pengangguran,
penyalahgunaan obat-obatan, kekerasan dalam rumah tangga,
dan seterusnya; merupakan beberapa contoh dari permasalahan
dan kondisi sosial yang ada di masyarakat saat ini.

Para pekerja sosial harus mengetahui mana yang


merupakan kebijakan, program dan proyek kegiatan.
Bagaimana suatu kebijakan dapat diterjemahkan menjadi
sejumlah program, dan bagaimana suatu program dapat diurai
menjadi beberapa proyek kegiatan. Demikian pula bagaimana
program-program dan kegiatan-kegiatan tersebut dapat
mencapai sasaran yang telah ditentukan secara jelas. Dalam

8
bagian berikut ini akan dikemukakan sejumlah pengetahuan
dalam profesi pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial yang
perlu diketahui.

A. Perkembangan Manusia

Pemahaman (perspektif, teori, model dst) mengenai


perkembangan mengenai perkembangan manusia nampaknya
merupakan bagian yang sulit terpisahkan profesi pekerjaan
sosial dan kesejahteraan sosial. Bagaimana mengintervensi
sebuah situasi kasus tertentu, tentunya tergantung pada
sejumlah faktor, tetapi satu seperangkat isu selalu
mengedepankan tentang perkembangan manusia---yaitu
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kehidupan
manusia. Sebagai contoh, respon terhadap seorang anak akan
berbeda dari yang anak beranjak remaja atau yang menjelang
remaja akhir. Sama halnya ketika kita akan merespon secara
berbeda ketika berhadapan dengan anak usia lima tahun
dibandingkan dengan anak usia lima belas tahun. Kondisi ini
terjadi karena kita memahami signifikansi lingkaran kehidupan
yang mempengaruhi kehidupan seseorang dan mengakui
bahwa manusia akan menghadapi berbagai tantangan dan isu

9
yang berbeda-beda pula, bergantung pada dimana lingkaran
(daur) kehidupannya sedang dijalani.

Lingkaran hidup memiliki sejumlah implikasi bagi kita


seiring dengan pertumbuhan dan perkembangannya, setiap
tahap kehidupan yang dicapai akan cenderung merupakan
faktor kontekstual penting sehingga dapat dimengerti pula
apabila akan timbul permasalahan-permasalahan dan
tantangan-tantangan yang harus dihadapi serta terdapat rentang
solusi potensial yang juga mungkin dapat diperoleh dari setiap
tahap perkembangan manusia tesebut. Tahap-tahap dari
lingkaran (daur) hidup tersebut ditampilkan atau muncul secara
berbeda-beda oleh para ahli, namun demikian seiring tujuan
sebelumnya akan dikemukakan kategori secara umum saja.
Berikut ini adalah tahap-tahap kehidupan dari lingkaran
kehidupan :

1. Infancy. Tahap kehidupan yang paling awal yang


hidupnya masih sangat bergantung pada perlindungan
dan perawatan orang lain. Tahap ini juga merupakan
tahap perkembangan yang paling signifikan dalam
perkembangan psikologis seiring pengalaman yang
diperoleh pada tahap ini yang dapat mempengaruhi

10
pandangan kita terhadap dunia dan bagaimana kita
meresponnya di tahun-tahun berikutnya.
2. Chilhood. Seiring pertumbuhan dari masa bayi, kita
memulai proses menjadi lebih mampu mengurus diri
sendiri, meskipun kita masih membutuhkan
perlindungan dan pengasuhan yang baik. Sekali lagi
pada tahap ini dapat menjadi sangat signifikan dalam
mempertajam respon-respon dan sikap-sikap psikologis
kita.
3. Adolescence. Sebagaimana diketahui bergeraknya masa
kanak-kanak ke masa dewasa harus melalui periode
transisi yang dikenal dengan masa remaja, meski pada
kenyataannya mayoritas anak muda dapat melewati
masa remaja tanpa kesulitan atau drama tertentu
(Lipsitz, 1980). Masa ini setidaknya merupakan masa
yang penting dalam kehidupan, di masa ini biasanya
seseorang mengembangkan rencana karirnya atau ide-
idenya tentang apa yang mereka inginkan dalam
kehidupan ini dan di masa depan.
4. Early adulthood. Secara umum di masa ini dipandang
sebagai tahap memastikan kemandirian diri mereka
sendiri dalam dunia orang dewasa, melalui pekerjaan,

11
kehidupan keluarga, merawat tempat tinggal, memiliki
anak dan seterusnya.
5. Middle age. Suatu tahap kehidupan yang dipandang
sebagai pola yang lebih mantap-mandiri dan dicirikan
dengan kematangan dan pengalaman. Di masa ini
seringkali dipahami sebagai masa konsolidasi.
6. Old age. Pada masa ini seringkali distereotipkan dengan
istilah-istilah negatif sebagai masa tergantung, lemah,
dan tidakberdaya. Pada kenyataannya pada masa ini
akan sangat berbeda bagi sebagian besar orang-orang
lanjut usia.
7. Death. Kematian biasanya tidak dikenal sebagai sebuah
tahap dalam daur kehidupan. Namun demikian,
setidaknya kematian merupakan bagian signifikan atau
memiliki arti penting dalam mempengaruhi daur
kehidupan manusia.

Memahami daur kehidupan merupakan sebuah prasyarat bagi


para pekerja sosial, karena alasan-alasan berikut:

1. Dalam membentuk suatu pemahaman akan seseorang


atau orang yang akan dibantu, adalah hal penting untuk

12
mengapresiasi tahap kehidupan apa dalam daur
kehidupan yang mereka lalui dan apa artinya bagi
mereka.
2. Permasalahan yang dihadapi oleh para pekerja sosial
umumnya adalah berkaitan dengan tahap kehidupan,
sebagai contoh, kasus kekerasan anak seringkali
berkaitan dengan penelantaran bayi (bayi dibuang
misalnya) yang seharusnya masih bergantung pada
pengasuhan orang tua untuk bertahan hidup.
3. Permasalahan seringkali muncul dimana orang
mengalami kesulitan untuk melakukan penyesuaian dari
tahap kehidupan satu ke tahap kehidupan selanjutnya,
kehidupan remaja merupakan contoh yang umum.
Pendekatan intervensi krisis dapat dimanfaatkan, atau
berkaitan erat dengan fenomena ini.
4. Setiap orang berbeda akan mengalami daur kehidupan
yang berbeda pula, mungkin pula orang akan
mengalami daur hidup yang berbeda sebagai hasil dari
kecatatan fisik (disability) atau faktor-faktor sosial
lainnya.

13
Poin terakhir yang benar-benar penting adalah akan berbahaya
jika menggunakan kerangka daur hidup secara kaku dengan
berfikir bahwa seseorang diharapkan mampu menyesuaikan
diri seiring dengan tahap perkembangan (dan akan disebut
menyimpang ‘deviant’ jika tidak mampu). Daur hidup
menggambarkan apa yang ‘normal’ dalam pemikiran umum,
dan secara statistik. Hal itu bukan berarti bahwa kelompok lain
atau individu-inidividu lain yang berperilaku tidak ‘fit’ dengan
pola tersebut akan dianggap ‘abnormal’ dalam arti memiliki
masalah atau sedang bermasalah. Tentunya, kita harus
mengerti bahwa pendekatan tradisional seperti itu terhadap
daur hidup manusia adalah berpotensi oppressive, yaitu yang
memiliki kecenderungan untuk mendiskriminasi terhadap
orang-orang yang tidak fit (cocok, sesuai) dengan pola yang
umumnya manusia (orang dengan disabilitas, gay dan lesbian
dan seterusnya), dan juga seringkali gagal mempertimbangkan
pentingnya perbedaan gender dan budaya. Dengan demikian
hal yang seharusnya diingat adalah bahwa daur hidup
merupakan cara awal untuk memahami secara umum tahap-
tahap perkembangan manusia dan bukan sebuah kerangka kaku
(statis) untuk membuat penilaian ‘abnormal’ terhadap
seseorang. Poin pentingnya adalah bagaimana memanfaatkan

14
pengetahuan umum dan pengetahuan yang lebih khusus lagi
untuk memahami secara lebih mendalam fenomena tersebut.

Poin penting lainnya bahwa untuk memahami bahwa


daur hidup tidak sesederhana persoalan biologi (pertumbuhan
fisik dan kebutuhannya). Memang benar bahwa, di sana
terdapat sebuah dimensi biologi, sebagai contoh dalam kaitan
ketergantungan bayi. Namun demikian kita sebaiknya tetap
bersikap hati-hati untuk memanfaatkan dimensi peran biologi
secara utuh dalam daur hidup seseorang. Masih terdapat
dimensi-dimensi lainnya yang perlu dipertimbangkan, yaitu
psikologi, sosial, politik, dan keberadaan (existential) manusia.
Memang dimensi eksistensial dapat dipandang sebagai dimensi
yang paling penting, untuk setiap tahap dari daur kehidupan
karena membawa serta tantangan keberadaannya ---yaitu
permasalahan baru untuk diatasi sebagaimana realitas yang kita
hadapi sehari-hari dari keberadaan kita.

Sebuah tema yang paling penting dan menyatu


berkaitan erat dengan daur hidup yaitu identitas, pemikiran
mengenai pengembangan diri dan pemeliharaannya melalui
kehidupan sehari-hari kita. Identitas bukan sesuatu yang
bersifat tetap, demikian pula tidak ada persoalan yang bersifat

15
abadi di luar kendali kita. Identitas merepresentasikan
berjalannya suatu interaksi antara individu dan dirinya serta
dengan kondisi sosialnya ---ini adalah ‘biografi’ yang kita tulis,
perbincangan metaphorcally (tergambarkan secara simbolik),
seiring berjalannya kehidupan, yang membuat kita mengerti
apa sedang kita dihadapi, lalu mengintegrasikan pengaruh-
pengaruhnya terhadap kita dan memikirkan secara rasional dan
seterusnya demikian. Permasalahan-permasalahan sosial
seringkali juga berkaitan dengan identitas (misalkan rendah
diri, harga diri) seringkali dihadapi dalam praktek pekerjaan
sosial.

B. Proses-proses Sosial dan Kelembagaan

Bukan sebuah kebetulan bahwa istilah ‘pekerja sosial’ terdapat


kata sosial yang sebetulnya memiliki makna yang sangat
mendalam. Konteks sosial adalah merupakan satu bagian yang
sangat-sangat penting dari situasi yang dihadapi pekerja sosial
serta diharapkan untuk dapat meresponnya secara tepat. Di
sinilah keahlian (expertise) profesi pekerjaan sosial dalam
memahami berbagai persoalan sosial, dengan memahami
proses-proses sosial manusia, baik dalam level mikro, meso

16
maupun makro. Berikut sejumlah cara yang dapat dilakukan,
dalam rangka melihat dan merespon kehidupan sosial:

• Banyak permasalahan yang dihadapi awalahnya adalah


dari (kondisi) sosial, sebagai contoh sebagai akibat
kemiskinan dan kekurangan atau kekerasan ras, dan
seterusnya.
• Masalah sosial adalah socially constructed. Artinya,
mereka didefinisikan oleh masyarakat. Sebagai contoh,
sejumlah isu didefinisikan sebagai sesuatu yang
melanggar hukum (ilegal) di beberapa negara, tetapi
belum tentu bagi negara lainnya (legalitas prostitusi
misalnya).
• Solusi potensial adalah biasanya ada pada level sosial
atau masyarakat, daripada individual (sekali lagi
kemiskinan sebagai contohnya) dan mungkin
melibatkan para pekerja sosial untuk memberi tekanan
kepada pihak lainnya untuk menghadapi masalah
tersebut (melalui aksi komunitas, contohnya), daripada
menghadapinya secara langsung, case by case.
• Respon pekerjaan sosial terhadap permasalahan
seringkali melibatkan seluas mungkin sumber-sumber

17
sosial (pelayanan-pelayanan pemerintah, atau badan-
badan sosial swasta, lembaga sosial berbasis komunitas
misalnya) sebagai potensi-potensi pemenuhan
kebutuhan sosial.
• Faktor-faktor pribadi atau psikologis tidak berada
secara terpisah---tetapi sangat dipengaruhi dan dibatasi
oleh oleh isu-isu sosial. Bahkan banyak persoalan
pribadi dan psikologis muncul sebagai akibat dari
situasi sosial (masalah sosial psikologis).
• Terdapat konsekuensi-konsekuensi sosial sebagai hasil
keterlibatan dengan seorang pekerja sosial (misalnya
stigma). Misalkan, orang yang diurus oleh pekerja
sosial adalah orang yang punya ‘masalah’ sosial atau
orang yang tidak mampu.
• Intervensi pekerjaan sosial dapat saja memperburuk
ketidakadilan sosial, misalkan memperkuat stereotip
gender.
• Kebijakan sosial yang mengatur intervensi pekerjaan
sosial berakar pada kondisi sosial, politik dan ekonomi
keseharian dari masyarakatnya.

18
Dengan demikian adalah penting bagi para pekerja sosial untuk
memahami konteks sosial dari pekerjaannya. Mengabaikan
dimensi sosial berarti mengabaikan persoalan utama pekerjaan
sosial dan realitas dari kondisi-situasi sekitar klien.

Ini bukan berarti bahwa para pekerja sosial harus ahli


dalam bidang sosiologi tetapi mereka setidaknya perlu
memahami secara mendasar bagaimana masyarakat bergerak
dalam proses-proses sosial dan kelembagaan. Di sinilah
kemiripan atau kesamaan pengetahuan antara sosiologi dengan
pekerjaan sosial. Namun pembedanya, profesi pekerjaan sosial
tidak berhenti hanya mamahami proses-proses (interkasi)
sosial, tetapi bagaimana mempengaruh---melalui berbagai
perdekatan, metode dan teknik serta keterampilan---proses-
proses sosial tersebut agar bermanfaat bagi kesejahteraan
sosial. Para pekerja sosial harus memahami proses-proses
interaksi sosial yang terjadi pada setiap level atau cakupan
kehidupan manusia. Hal ini meliputi pemahaman mengenai:

• Social division. Kelas, ras, etnis, gender, usia,


disabilitas, identitas seks, agama dan seterusnya yang
merupakan cara-cara penting dimana seseorang
dipengaruhi dan ditentukan oleh faktor-faktor sosial

19
berkaitan dengan distribusi peluang dan kesempatan
hidupnya. Bukan sebuah kebetulan pula bahwa
mayoritas klien pekerjaan sosial adalah kelompok-
kelompok masyarakat dengan penghasilan menengah
ke bawah. Demikian pula bukan hal yang mengejutkan
bila mayoritas kliennya adalah wanita, dengan fakta
bahwa wanita diharapkan mampu memainkan peran
penting dalam mengelola keluarga dan rumah tangga.
• Power. Kekuatan atau keberdayaan merupakan isu
yang paling kompleks dan bergerak pada sejumlah
tingkatan (lapisan) masyarakat yang berbeda-beda.
Namun demikian, dalam sudut pandang pekerjaan
sosial, hal tersebut sangatlah penting karena terkait
dengan bahwa sejauh ini klien pekerjaan sosial
umumnya berada pada posisi kekuatan yang relatif
lemah atau tidak berdaya, sebagai akibat juga dari
lokasi (posisi) sosial mereka (dalam kaitan dengan
‘divisi sosial’ di atas) atau permasalahan tertentu yang
mendorong mereka untuk bertemu dengan seorang
pekerja sosial (masalah kecanduan minuman keras,
misalnya), atau mungkin kombinasi dari kedua hal di
atas. Kemudian, intervensi pekerjaan sosial itu sendiri

20
merupakan praktek kekuatan (strengths perspective),
dan ini dapat digunakan secara positif untuk
memberdayakan klien atau secara negatif memperkuat
mereka yang mengalami ketidak-beruntungan.
• Ideology. Ideologi merujuk pada kekuatan gagasan
untuk mempertahankan keberadaan struktur dan relasi
sosial. Sebagai contoh, ideologi patrilineal (patrilineal/
patriarchy berarti ‘the law of the father’---yaitu
dominasi laki-laki) memberi ruang terdapatnya
pemeliharaan relasi kekuatan antara laki-laki dan
perempuan dengan menampilkan peran gender secara
alami dan yang diharapkan. Ideologi sangat berkaitan
erat dengan power karena secara luas melalui peran
ideologilah kekuatan tersebut dilakukan. Artinya,
bekerja dengan ideologi dapat lebih efektif dalam
mempertahankan struktur kekuatan daripada secara
terbuka dan terlihat jelas penggunaan kekuatannya,
seperti melalui kekuasaan dan pemaksaan.
• Law and order. Hukum merupakan bagian dari produk
dari pabrik sosial, suatu aspek penting bagaimana
stabilitas sosial dipelihara. Hukum dan tatanan
merupakan karakteristik penting dari kehidupan sosial,

21
sebagaimana terlihat dalam praktik-praktik hukum,
baik di dalam maupun di luar sistem pengadilan, yang
banyak mengatur kehidupan sosial. Pada posisi inilah
signifikansi pekerja sosial, sebagai bagian dari mesin
hukum dan tatanan untuk menciptakan stabilitas sosial,
tetapi juga melakukan restrukturisasi sosial dengan
bekerja pada sebagian besar kelompok-kelompok di
masyarakat yang rentan dan tidak beruntung.
• Social institutions. Tema ini merujuk pada suatu
karakteristik sifat dari masyarakat yang relatif
berjangka waktu panjang dan stabil, bangunan benteng
kehidupan masyarakat yang terdiri dari simbol-simbol
tatanan sosial. Di dalamnya termasuk pernikahan,
keluarga, agama, pendidikan, dan identitas nasional.
Semua hal tersebut berkait erat dengan ideologi dan
memainkan peran penting dalam memahami
masyarakat kita. Faktor-faktor signifikan yang
membantu kita mengenali bagaimana masyarakat
bergerak di sekitar kita. Hal tersebut bukanlah sifat
alamiah yang sama dari suatu masyarakat dan
seringkali berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat
lainnya.

22
Semakin selas, bahwa konteks sosial pekerjaan sosial sangat
banyak dan ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pekerja
sosial untuk tetap berjalan seiring dengan semua yang mereka
perlu ketahui, khususnya dengan perubahan-perubahan sosial
yang dapat terjadi begitu cepat. Sehingga sudah merupakan hal
yang wajar dan maklum apabila pekerjaan sosial, seharusnya
adalah profesi yang paling paham, paling mengerti, paling ahli
dan kompeten dalam bidang sosial. Sebuah profesi yang
seharusnya mampu mengelola aspek sosial, sumber sosial dan
potensi sosial lainnya, bagi kesejahteraan masyarakat. Sebuah
profesi yang mampu mengelola relasi dan interaksi antar
manusia, antar individu, kelompok, keluarga, komunitas, dan
istitusi sosial lainnya, sehinga berfungsi sosial dalam rangka
mencapai kemakmuran hidup manusia. Oleh karena itu,
pertanyaan-pertanyaan berikut ini setidaknya akan membantu
pekerja sosial atau para praktisi pertolongan untuk menyadari
relevansi proses-proses dan kelembagaan sosial:

1. Lokasi sosial seseorang (orang-orang) yang anda


hadapi? Artinya, bagaimana faktor-faktor seperti kelas,
ras, gender, usia atau disabilitas mempengaruhi situasi?

23
Apa konteks budayanya? Apakah ada (potensi)
pertentangan antara lokasi sosial mereka dan anda?
Sebagai contoh, apakah anda berbicara menggunakan
bahasa yang sama atau atau anda membutuhkan
seorang penerjemah?
2. Faktor-faktor sosial apa yang berkontribusi terhadap
situasi permasalahan? Apa peran kemiskinan,
perumahan kaum miskin, stigma sosial, diskriminasi
dan seterusnya?
3. Di dalam berhadapan dengan sebuah keluarga, apakah
terdapat perbedaan-perbedaan sosial yang mungkin
signifikan dalam keluarga? Apakah terdapat isu tertentu
yang dapat dilakukan berkaitan dengan peran-peran
gender atau harapan-harapannya? Apakah terdapat
anggota keluarga lansia atau disabilitas yang
termarginalisasi atau tereksploitasi dengan cara-cara
tertentu?
4. Dalam merespon sebuah permasalahan dengan situasi
khusus, mungkin saja anda akan memperburuk kondisi
ketidakadilan dan ketidakberuntungan sosial? Anda
mungkin akan memperkuat rasisme dengan melakukan
pemenuhan bantuan kebutuhan-kebutuhan tertentu dan

24
perbedaan-perbedaan budaya? Apakah anda merasa
bersalah dengan kegagalan-kegagalan ketika mengatasi
lansia bermasalah berkaitan dengan harga diri dan rasa
hormat?
5. Jika akar permasalahan berada dalam dunia sosial dan
politik, apakah ada yang dapat pekerja sosial lakukan
untuk mempengaruhi dunia global tersebut? Sebagai
contoh, dapatkah pekerja sosial membawa persoalan-
persoalan sehingga menuntut perhatian pihak
berwenang atau kelompok-kelompok penekan/
pemerhati (pressure groups) agar tertarik dengan isu-
isu tersebut?

Semua hal tersebut tidak perlu pekerja sosial ketahui semua,


tetapi setidaknya memberi titik awal, untuk memasuki
kompleksitas konteks sosial. Para pekerja sosial nampaknya
sudah semestinya memahami (dalam konteks sosial) bahwa
sebagian besar masalah sosial tidak pernah muncul sebagai
sesuatu yang tunggal dengan akibat yang tunggal pula. Para
pekerja sosial juga harus memahami bahwa masalah sosial
seringkali muncul sebagai akibat ketidakmampuan manusia

25
menyesuaikan diri dengan perkembangan lingkungan, atau
ketidakmampuan lingkungan menyediakan sumber-sumber
yang dibutuhkan oleh manusia, atau juga (sering terjadi)
merupakan perpaduan antara ketidakmampuan manusia dan
ketidakmampuan lingkungan (Wibhawa, dkk, 2010).

C. Dimanika Interpersonal, Kelompok dan


Organisasi

Sebagian besar permasalahan yang dihadapi oleh para pekerja


sosial adalah berkenaan dengan interaksi antar manusia, apakah
pada level interpersonal, kelompok dan organisasi. Oleh karena
itu penting bagi para pekerja sosial untuk memahami
keterlibatannya dalam interaksi tersebut. Sekali lagi, kita
menemui diri berada dalam wilayah yang sangat kompleks,
dengan basis literatur dan penelitian yang sangat banyak,
belum lagi termasuk banyak pertimbangan kebijakan praktik
(wisdom) yang telah terbangun bertahun-tahun.

Pada level interpersonal, kita dapat melihat bahwa


interaksi diantara orang dengan pekerjaan sosial, dan tentunya
demikian pula pada pelayanan manusia yang lebih luas lagi.
Dengan demikian, faktor-faktor penting apa yang perlu disadari

26
dalam rangka memahami interaksi interpersonal? Berikut
beberapa isu utamanya:

• Komunikasi. Pola dan gaya berkomunikasi dapat


menjadi penting. Tentunya, kita harus juga
mempertimbangkan tidak hanya komunikasi verbalnya
(apa yang dikatakan) tetapi juga komunikasi non verbal
(bahasa/ gerak tubuh yang seiring ucapannya). Kata-
kata yang digunakan, tekanan suara, kecepatan
berbicara, gesture yang pekerja sosial gunakan,
penundaan dan hening serta sesuatu yang tidak harus
kita katakan, semuanya hal tersebut akan menjadi
sangat signifikan dalam menentukan bagaimana orang
melihat kita dan bagaimana orang merespon kita. Sama
pentingnya dengan bagaimana kita menjadi terampil
dalam ‘reading’ komunikasi orang lain, pendengar
yang efektif adalah yang mampu menempatkan orang
pada posisi yang nyaman dan bekerja secara efektif
bersama mereka. Seringkali ketidakmampuan atau
lemahnya keterampilan berkomunikasi pekerja sosial
menjadi hambatan utama dalam kegiatan pelayanan-
pelayanan sosial.

27
• Kekuatan (kekuasaan). Sekali lagi karakteristik
kekuatan sebagai aspek penting dari bagian pekerjaan
sosial. Kekuatan relasi biasanya terlihat dalam interaksi
interpersonal dan dapat diperkuat atau didukung
melalui interaksi tersebut. Sebagai contoh, seseorang
yang berada dalam posisi yang kuat mungkin akan
berbicara rendah hati kepada seseorang yang relatif
tidak memiliki kekuatan (kekuasaan). Siapa yang
berbicara pertama, siapa yang menentukan agenda,
siapa yang banyak bicara, siapa yang mengakhiri
interaksi, siapa yang seringkali menjadi tumpuan
(diandalkan) oleh semua; semua hal tersebut ditentukan
merujuk pada kekuatan. Kekuatan bukanlah sekedar
konsep yang abstrak tetapi juga hadir secara praktis,
pada tingkat konkrit dalam interaksi keseharian.
Sehingga penting untuk diingat bahwa para pekerja
sosial perlu menyadari, bersikap sensitif, akan
keterlibatan isu mengenai kekuatan dalam interaksi
interpersonal sehingga mendukung kontribusi pada
pemberdayaan, daripada memperkuat pemikiran
ketidakberdayaan. Kekuatan juga erat kaitannya dengan
kepemimpinan, yaitu bagaimana memanfaatkan potensi

28
kekuatan tersebut diarahkan dan dialirkan dalam rangka
membantu orang lain, meningkatkan keberdayaan orang
lain, dan mensejahterakan masyarakat umumnya.
• Konteks. Konteks dimana interaksi itu dilakukan juga
sangat penting, sebagai setting yang dapat
mempengaruhi secara signifikan pada proses dan hasil
dari interaksi. Sebagai contoh, sebuah perbincangan
yang dilakukan pada seting formal (sebuah konferensi
kasus, misalnya) nampaknya akan banyak dipengaruhi
oleh konteks. Kita tidak dapat memperkirakan apakah
klien berada dalam kondisi yang nyaman dalam sebuah
seting pertemuan formal kecuali jika kita dapat
melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk
mempersiapkan apa hasilnya, memahami prosesnya dan
peran-perannya dan seterusnya.

Tiga aspek yang sama juga dapat diterapkan pada interaksi


kelompok:

• Komunikasi. Saluran-saluran komunikasi dalam


kelompok dapat menjadi sangat signifikan. Beberapa
anggota kelompok dapat berbicara secara terbuka dan

29
bebas, sementara lainnya sedikit atau tidak berkata
sepatah kata apapun. Hal ini mungkin terjadi karena
beberapa anggota merasa melalui kelompoknyalah
upaya mereka untuk berkontribusi menjadi lebih
mudah, sementara yang lain merasa terhambat oleh
aspek keberfungsian kelompok tersebut atau suasana
atmosfir yang tercipta. Oleh karena itu perlu untuk
memahami dinamika kelompok yang terjadi,
mengapresiasi pola-pola yang seringkali muncul dalam
suatu kelompok.
• Kekuatan (kekuasaan). Bekerjanya kekuatan biasanya
terlihat dalam kelompok, satu orang atau lebih berupaya
untuk dominan, sementara lainnya terpinggirkan atau
mungkin semuanya keluar, sehingga merefleksikan
posisi kekuatan respektifnya dalam sebuah kelompok.
• Konteks. Seting juga hal penting bagi interaksi
kelompok. Sebagai contoh, jika terdapat hambatan-
hambatan (posisi furnitur, jarak bicara, tata ruang, tata
letak, sirkulasi udara, dan seterusnya) dalam ruangan,
maka hal itu akan mengganggu efektifitas kelompok
mencapai tujuannya.

30
Interaksi kelompok juga memiliki dimensi tambahan dengan
fakta bahwa sebuah kelompok dapat melakukan kehidupannya
sendiri---keseluruhan (whole) akan menjadi lebih besar dari
pada penjumlahan bagian per bagiannya. Memahami interaksi
kelompok dengan demikian kurang lebih sama dengan
memahami interaksi interpersonal. Terdapat beberapa
pertimbangan penting dari interaksi antara kelompok dengan
factions. Tentunya perlu diingat bahwa persoalan interaksi
kelompok penerapannya tidak hanya untuk bimbingan sosial
kelompok (dalam arti proses-proses terorganisasi terapi
berbasis kelompok) tetapi juga untuk semua jenis aktifitas
kelompok, termasuk dinamika keluarga, tim kerja, pertemuan
atau kelompok pelatihan.

Dinamika keorganisasian jelas memiliki banyak


dinamika interpersonal dan dinamika kelompok dalam
organisasi. Namun demikian, terdapat pula faktor-faktor yang
bergerak dalam konteks keorganisasian yang membatasi
interaksi tersebut. Faktor-faktor yang mungkin memberi
batasan atas interaksi yang terjadi antara lain:

31
• Budaya organisasi (the organizational culture) ---
sesuatu yang menggerakkan, pola-pola yang telah ada
dalam waktu yang lama, karena memang budaya
organisasi terbentuk melalui kebiasaan-kebiasaan telah
berlangsung lama ;
• Relasi kekuasaan resmi dan tidak resmi (formal and
informal power relations) – hirarki pejabat resmi,
seperti halnya pula pola-pola kekuatan dan pengaruh
non pejabat yang mempengaruhi organisasi. Belum
tentu kekuasaan resmi memiliki pengaruh yang kuat
daripada dari relasi kekuatan informal;
• Kebijakan dan prosedur (policies and procedures) –
harapan-harapan formal tentang bagaimana seharusnya
seseorang bertindak, namun belum tentu juga prosedur
dan kebijakan tersebut menjadi faktor yang
memperlancar atau mempermudah jalannya organisasi;
• Gaya manajemen (management styles) --- gaya
kepemimpinan (dari otoriter hingga demokratis) dapat
mempengaruhi interaksi secara signifikan.

32
Oleh karena praktek pekerjaan sosial banyak dilakukan dalam
konteks organisasi (dalam arti bekerja dengan organisasi dan
badan sosial lainnya yang relevan), kompleksitas kehidupan
organisasi ini pun mempengaruhi praktik pertolongan
keseharian, sehingga membuatnya menjadi salah satu aspek
penting dari basis pengetahuan pekerjaan sosial.

Salah satu kesulitan dalam memahami interaksi adalah


bahwa kita biasanya merupakan bagian dari dinamika yang
coba kita pahami sendiri. Artinya, adalah sulit untuk
memperoleh gambaran objektif saat kita menjadi bagian dari
situasi yang coba kita pahami. Dengan demikian adalah
penting apabila pada satu saat kita bekerja bersama dalam
suatu persoalan tertentu sehingga kita akan memperoleh
peluang yang lebih baik dalam mengatasi masalah. Supervisi
dari manajer atau atasan langsung para pekerja sosial juga
merupakan aspek yang bernilai, baik sebagai proses kendali
memastikan metode, teknik dan proses yang digunakan sesuai
dengan konteks permasalahan dan kebutuhan klien. Supervisi
juga merupakan proses transfer pengetahuan dan pembelajaran
bagi supervisor dan supervisee.

33
D. Proses Pekerjaan Sosial
Selanjutnya, yang harus diketahui dan dikuasai adalah
mengenai cara-cara profesi pekerjaan sosial dalam mengatasi
permasalahan sosial. Proses pekerjaan sosial merupakan bagian
penting dalam praktek pekerjaan sosial, yang juga merupakan
ciri khas pendekatan dari pekerjaan sosial. Hal yang umum
terjadi, walau tidak selamanya benar, yaitu kritik-kritik kepada
profesi pekerjaan sosial yang seringkali tidak jelas dan
mengambang. Berdasarkan pandangan ini, berarti profesi
pekerjaan sosial dicirikan dengan kurang presisinya akan apa
yang dapat dicapai atau bagaimana seharusnya hal tersebut
diperoleh. Objektifitas nampaknya merupakan hal vague atau
non-existent dan kemajuan ke arah tersebut nampaknya
cenderung sangat lambat dan kurang baik, membingungkan,
tidak jelas, dan tanpa arah. Kritikan tersebut mungkin ada
benarnya, sebagai bahan introspeksi diri bagi praktek pekerjaan
sosial.

Agar para pekerja sosial terhindar dari ketidakjelasan


dan terbawa arus kebingungan, maka dibutuhkan sebuah
‘systematic practice’. Hal ini meliputi kejelasan objektif
(tujuan) sebagai dari bagian pekerjaan tertentu (apa yang akan

34
dicapai), strategi apa untuk mencapainya (bagaimana hal
tersebut dicapai) dan bagaimana penghentian hubungan
pertolongan ditentukan (Apa keberhasilan yang akan dicapai?
Bagaimana menentukan berhasil atau tidaknya?). Sistematika
praktik tersebut, menurut Thompson, 2002a, dapat dicapai
dalam lima tahap proses, sebagai berikut:

1. Assessment. Tahap ini meliputi pengumpulan informasi


dan menghasilkan sebuah gambaran tentang apa
permasalahannya, kekuatan apa yang dapat digunakan,
apa kebutuhan yang telah disediakan, dan seterusnya.
Ini merupakan tahap awal, karena berdasarkan basis
asesmen inilah kegiatan selanjutnya akan dilakukan.
Penting untuk dicatat bahwa asesmen tidak sama
dengan pengumpulan informasi semata, atau tidak sama
pula dengan identifikasi kebutuhan atau pelayanan apa
yang seharusnya disediakan saja. Assessment
merupakan proses yang holistik yang meliputi upaya-
upaya melihat situasi menyeluruh---yang terkadang
dirujuk sebagai ‘helicopter vision’. Asesmen yang
terbatas atau seadanya saja dapat menyulitkan di
kemudian hari ketika berpraktek yang mungkin akan

35
benar-benar terlalu jauh dari yang diperlukan sebagai
akibat dari pengabaian asesmen. Asesmen yang
dilakukan dengan baik dan benar merupakan
keberhasilan 50% dari proses pertolongan keseluruhan.
2. Intervention. Sekali permasalahan dan faktor-faktor
lainnya telah teridentifikasi, tahap berikutnya adalah
menentukan pengaturan atau pengelolaan yang
diperlukan untuk mengatasi permasalahan tersebut,
upaya memenuhi kebutuhan dan seterusnya. Terdapat
sejumlah cara intervensi tertentu yang dapat dilakukan,
tetapi kesemua proses tersebut ditujukan untuk
merespon permasalahan yang telah teridentifikasi
secara positif dan konstruktif. Tidak terdapat batasan
‘right answer’ (jawaban yang pasti benar) tentang
bagaimana prosesnya, meski demikian terdapat
beberapa cara yang mungkin lebih mendekati tepat dan
sesuai membantu daripada lainnya. Artinya, penting
bahwa praktek seharusnya berbasiskan pada
partnership (kemitraan) antara pekerja sosial dengan
klien. Dalam proses intervensi selalu berupaya
melibatkan klien dan penyedia layanan sosial lainnya
sebanyak mungkin, sehingga pekerjaan sosial

36
merupakan sebuah proses yang bekerja bersama orang,
daripada bekerja bagi mereka. Dengan demikian
pendekatan intervensi seharusnya berupaya
membangun kemitraan daripada mencari sebuah ‘cure’
(mengobati si sakit) terhadap situasi seperti halnya
pekerja sosial sebagai seorang ‘social doctor’.
Pendekatan kemitraan dalam proses pertolongan
pekerjaan sosial, juga dapat dipahami sebagai upaya
untuk memberdayakan klien.
3. Review. Perubahan situasi sepanjang waktu, dan
sehingga asesmen pekerjaan sosial memerlukan
perubahan juga. Mungkin saja di awal asesmen terjadi
kesalahan dan ketidaktepatan kajian, karena berbagai
alasan, sehingga informasi yang diperoleh terbatas.
Sehingga penting bahwa kajian secara periodik
menuntut penyesuaian yang dapat dilakukan untuk
perencanaan pekerjaan sosial. Dalam banyak kasus,
mungkin saja banyak mengesampingkan semua
perencanaan. Namun demikian, jika tidak dilakukan
kajian secara hati-hati dan cermat, maka akan banyak
waktu, usaha dan energi yang terbuang percuma karena
upaya-upayanya tidak terarah dan terukur. Pekerja

37
sosial jangan ragu dan merasa malu untuk
mengevaluasi diri sendiri (reflective) dan proses
intervensinya, agar tidak mencelakakan klien lebih jauh
lagi.
4. Ending. Dengan segala hormat dan penghargaan,
sebenarnya tujuan pekerjaan sosial adalah
memungkinkan seseorang untuk mengatasi
permasalahannya sendiri (mandiri) dan mengatasi isu-
isunya sendiri tanpa membutuhkan dukungan pekerjaan
sosial. Dengan demikian, secara umum pekerja sosial
seharusnya melakukan intervensinya sebaik-setepat
mungkin di setiap saat. Dengan demikian adalah
penting juga untuk bersikap serius dalam penguasaan
keterampilan-keterampilan saat intervensi, sebagai
aspek praktik agar memudahkan penanganan dan
berhasil baik. Sejak awal proses pertolongan, baik cara-
cara interaksi dengan klien maupun kegiatan
pertolongan yang dilakukan adalah untuk
memberdayakan klien, agar mandiri menentukan
hidupnya sendiri, dan lebih jauh lagi klien yang mandiri
akan mampu membantu orang-orang lain yang
membutuhkannya.

38
5. Evaluation. Ketika intervensi pekerjaan telah selesai
dilakukan, kemudian pekerja sosial memiliki peluang
untuk belajar dari apa yang telah berjalan dengan baik
(bagaimana kita dapat membangun kekuatan kita?), apa
yang telah berjalan dengan lebih baik (bagaimana kita
belajar dari kesalahan kita?) dan secara umum pelajaran
apa yang diperoleh dari pengalaman. Jadi evaluasi
merupakan sebuah bagian fundamental dari praktik
yang baik, yang menyediakan sebuah platform mana
yang akan terus diperbaiki. Bukan persoalan
keterampilan, pengalaman atau efektifitasnya pekerja
sosial, tentunya selalu terdapat pelajaran yang dapat
diperoleh, perbaikan yang dilakukan dan manfaat yang
diperoleh dari evaluasi praktik pekerjaan sosial.
Lakukan refleksi diri akan praktek yang telah
dilakukan, baik sikap, cara, dan metode atau
keterampilan yang digunakan; untuk bahan perbaikan di
masa mendatang.

Patut dicatat bahwa tujuan dari proses pekerjaan sosial


dan sistematika praktik tidak seharusnya membuat para pekerja

39
sosial bergerak bagaikan robot yang hanya bergerak kalau ada
perintah, kaku pada per tahap bagiannya, daripada sekedar
berfikir sebagai praktisi yang memiliki kerangka acuan kerja
yang melandasi pekerjaannya dan kepercayaan diri, insight dan
sensitivitas untuk mengadaptasi kerangka acuan kerja dan
kapan diperlukannya. Artinya, sebuah praktek sistematik
ditunjukkan atau dilakukan hanya sebagai basis untuk praktik
profesional yang fleksibel dan reflektif, daripada hanya sebagai
alternatif satu-satunya.

E. Paradigma Teoritis
Dalam perkembangan praktek pekerjaan sosial, basis
pengetahuan pekerjaan sosial cukup banyak dan terus
berkembang secara konstan. Khususnya di negara-negara maju
dan sebagian belahan bumi lainnya yang mengakui keberadaan
kewenangan pekerja sosial dan praktek pekerjaan sosialnya.
Seperti negara-negara ‘Barat’ (Amerika, Canada, Eropa,
Astralia) dan sebagian negara-negara di Asia (India,
bangladesh, Pakistan, Thailand, Filipina, Malaysia, Korea, dan
banyak lagi). Lain hal dengan di Indonesia, yang sudah
mengakui secara tertulis (yuridis formal) tentang profesi

40
pekerjaan sosial, namun masih ragu atau ‘tanggung’ untuk
memberikan kewenangan penuh bagi profesi pekerjaan sosial
berpraktek secara profesional, baik yang di organisasi dikelola
oleh pemerintah, apalagi yang dikelola oleh masyarakat atau
swasta.

Sebagian besar orang (para akademisi dan praktisi


pekerjaan sosial) telah berupaya membuat praktek pekerjaan
sosial merupakan sesuatu yang logis melalui pengembangan
pendekatan-pendekatan teoritis, dan melalui upaya-upaya
tertentu tanpa henti untuk membentuk ciri khas dunia akademik
pekerjaan sosial. Namun demikian, tentunya akan menjadi
sesuatu tidak realistik jika pekerja sosial hanya bertumpu pada
satu pendekatan saja untuk menjawab menanggapi semua
pertanyaan yang mereka butuhkan. Dengan demikian pekerja
sosial perlu memperoleh sejumlah perspektif teoritis dan
kemampuan untuk menggunakannya sesuai kebutuhan.

Mengembangkan sebuah tipologi teori-teori pekerjaan


sosial secara komprehensif tentunya tidak dapat dicakup dalam
tulisan ini. Meski demikian secara realitas, dapat dikemukakan
secara singkat trend teoritis yang mempengaruhi pekerjaan
sosial selama bertahun-tahun dan terus menerus saling

41
berhadapan untuk secara dominan menjelaskan kompleksitas
tugas-tugas pekerjaan sosial dan menjelaskan konsekuensinya
setepat mungkin. Apa yang akan dikemukakan berikut ini,
memang sangat singkat, sebagai ulasan singkat tentang
kerangka teoritis dan konsep-konsep yang umumnya
dipergunakan dalam pemikiran pekerjaan sosial. Di bawah ini
akan dikemukakan secara singkat perkembangan pendekatan-
pendekatan utama pada teori dan praktek pekerjaan sosial,
sebagai berikut:

• Psikodinamika (psychodynamic). Teori psikodinamika


secara luas dipergunakan walau tidak secara khusus
yang berasal dari karya Sigmund Freud saja. Teori ini
berkaitan dengan konflik internal psikologis antara
dorongan kesenangan irasional id dan kesadaran sosial
super ego, yang dimediasi oleh ego atau ‘regulator’
psikologis. Artinya, pendekatan ini bagi profesi
pekerjaan sosial berupaya mencari pemecahan masalah
pekerjaan sosial sebagaimana sebuah konflik antara
keinginan dan kebutuhan dari individu dan hambatan-
hambatan serta tuntutan masyarakat. Dalam prakteknya,
adalah bagaimana caranya memperkuat ego dalam

42
rangka mengendalikan keinginan dari id yang mungkin
akan membawa si individu ke dalam situasi masalah
dan atau konflik berikutnya. Meski pendekatan ini tidak
begitu lama mendominasi, hingga saat ini masih
dipergunakan dan pada tingkat tertentu masih
berpengaruh.
• Bimbingan sosial perseorangan Psikososial
(psychosocial casework). Pendekatan ini dalam
berbagai caranya merupakan pengembangan dari teori
psikodinamika, khususnya tulisan psikologi ego dari
Erikson. Perbedaan dan persamaan dari kesesuaian
pendekatan ini dan psikodinamika adalah terdapat
penekanan yang lebih besar pada dimensi sosial,
banyak faktor-faktor sosial yang mengambil bagian
dalam situasi pekerjaan sosial. Artinya pendekatan ini
hadir tidak hanya sekedar diterapkan sebagai upaya
penyesuaian psikologis semata tetapi juga mengatasi
lingkungan sosial atau situasi kondisi individu atau
persoalan keluarga. Sebagaimana psikodinamika,
dominasi pendekatan ini tidak lama, meski masih
berpengaruh hingga saat ini.

43
• Psikologi Humanis (Humanistic psychology). Fokus
psikologi humanis adalah potensi manusia serta
hambatan-hambatan sosial dan psikologis yang
membatasi kehidupannya. Asumsi yang dibangun dari
teori ini adalah bahwa manusia dipandang atau
diasumsikan memiliki dasar yang baik, dan akan
cenderung berbuat jahat apabila situasi kondisi
berpotensi mengganggu atau menimbulkan situasi
frustasi. Implikasi teori ini dalam praktek pekerjaan
sosial, kemudian, seiring dengan perhatian dari
psikologi humanis, berupaya membebaskan manusia
dari hambatan-hambatan tersebut sehingga kebaikan-
kebaikan alamiah dapat muncul dan terus berkembang.
Pendekatan ini tidak pernah menjadi pendekatan yang
dominan tetapi pengaruhnya sedikit banyak terasa
dalam berbagai teori dan bidang praktek pekerjaan
sosial.
• Pekerjaan sosial perilaku (behavioral social work).
Asumsi dasar atau gagasan dasar yang dibangun adalah
bahwa, perilaku dapat dipelajari melalui sejumlah kecil
proses-proses psikologis (seperti melalui penguatan-
penguatan), permasalahan-permasalahan yang berkait

44
dengan perilaku dapat diatasi melalui intervensi yang
memungkinkan proses-proses pembelajaran sehingga
perilaku bermasalah dapat dikurangi (atau dihilangkan),
sehingga perilaku positif dapat diperkuat. Implikasi
teori ini dalam praktek pekerjaan sosial antara lain
untuk membangun dan memperkuat kapasitas klien
agar lebih berdaya dan berguna, sehingga mampu
secara mandiri membuat putusan-putusan penting bagi
hidupnya sendiri saat ini dan di masa datang.
Pendekatan ini begitu populer dalam sejumlah aspek
praktek, meski saat ini tidak begitu populer.
• Teori Sistem (systems theory). Pendekatan ini lebih
eksplisit dalam sosiologi dimana situasi praktek
pekerjaan sosial yang ditangani dipahami sebagai
serangkaian keterkaitan sistem sosial (sistem keluarga,
sistem ketetanggaan, dan seterusnya). Kemudian tugas
pekerja sosial, adalah untuk memahami interaksi sistem
dan permasalahan yang muncul dari interaksi tersebut,
sehingga pola-pola sistem dapat diatasi dan
permasalahan ditangani. Tipe terapi keluarga banyak
mempergunakan pendekatan ini. Penekanannya pada
perubahan sistem keluarga secara keseluruhan, daripada

45
bekerja dengan faktor-faktor individual. Teori sistem
merupakan salah satu teori yang memiliki pengaruh
besar dalam praktek pekerjaan sosial. Hal ini
ditunjukkan dengan konsepsi 4 (empat) sistem dasar
dalam pekerjaan sosial, yaitu: sistem pelaksana
perubahan, sistem klien, sistem sasaran dan sistem
kegiatan.
• Pekerjaan sosial radikal (radical social work).
Pendekatan ini muncul dari ketidakpuasan dengan
pendekatan yang sedikit sekali atau yang tidak
memperhitungkan faktor-faktor sosial yang lebih luas,
kelas-kelas khusus, kemiskinan dan kekurangan. Fokus
pekerjaan sosial radikal adalah politisasi, membantu
klien mengembangkan kesadaran tentang bagaimana
permasalahan mereka dikaitkan dengan faktor-faktor
sosial dan politik, sehingga, mereka seharusnya
memiliki hak-hak dan kewajiban agar dapat
berkontribusi pada proses perubahan sosial radikal.
Terdapat beberapa elemen pekerjaan sosial radikal yang
masih ditemukan dalam beberapa pendekatan modern
ke arah pemberdayaan dan emansipasi.

46
• Praktek emansipasi (emancipatory practice).
Pengembangan pada penekanan pekerjaan sosial radikal
sosial politik, pendekatan emansipasi modern bagi
pekerjaan sosial berkenaan dengan penindasan,
mengakui bahwa mayoritas klien pekerjaan sosial
mengalami penindasan dan bentuk-bentuk diskriminasi
lainnya. Fokus praktek pekerjaan sosial adalah
berkontribusi pada pemberdayaan klien untuk
membantu mereka yang mengalami ketidakberuntungan
sebagai hasil dari pembatasan-pembatasan sosial dan
sikap-sikap negatif mereka.

Memang pekerja sosial tidak harus menguasai semua


perspektif teoritis tersebut. Beberapa praktisi akan nyaman
dengan satu atau lebih teori tetapi memiliki sedikit
pengetahuan, atau kepentingan lainnya. Hal tersebut bukanlah
masalah. Tujuannya adalah mengembangkan suatu praktek
yang dapat terlaksana dengan baik dan benar, daripada hanya
mengejar satu perspektif teoritis saja atau lainnya. Dengan
demikian semakin luas pemahaman dan penguasaan pekerja
sosial akan beragam pula teori yang mendasari praktek

47
pekerjaan sosial akan menjadi jaminan praktek pertolongan
akan lebih terukur dengan baik dan benar, serta dapat
dipertanggungjawabkan secara teoritis dan manfaatnya.

F. Metode-metode Intervensi

Banyak dan beragam metode yang dapat digunakaan dalam


praktek pekerjaan sosial. Metode-metode intervensi yang dapat
dikemukakan berkenaan dengan pencapaian tujuan-tujuan
pekerjaan sosial berhubungan erat dengan kerangka perspektif
teoritis sebelumnya. Namun demikian, terdapat pula cara-cara
lain untuk melihat metode intervensi, seperti contohnya ketika
istilah intervensinya disesuaikan dengan target sasaran
perubahan pada individual, keluarga, kelompok atau
masyarakat:

• Individual case work (bimbingan sosial perseorangan).


Metode ini dapat digambarkan sebagai metode praktek
dan melibatkan upaya individu berbasis pertemuan
lawan-muka dengan klien dalam rangka mengatasi
kesulitan yang dihadapi mereka.
• Family work (bimbingan sosial keluarga). Mekanisme
kerjanya adalah bekerja dengan seluruh keluarga,

48
menciptakan perubahan pada keluarga, daripada
perubahan pada level individu. Sebab perubahan dalam
diri individu tersebut sangat dipengaruhi oleh
perubahan anggota keluarga lainnya.
• Groupwork.(bimbingan sosial kelompok). Metode ini
sangat efektif digunakan ketika bekerja dengan orang-
orang yang memiliki permasalahan dan perhatian yang
sama. Contohnya, pekerja sosial bertindak sebagai
fasilitator dalam rangka mendorong kelompok untuk
saling mendukung satu sama lain dalam upaya
mengatasi permasalahan mereka. Metode ini
dipergunakan dengan tujuan diarahkan para perubahan-
perubahan positif individu melalui media interaksi
kelompok.
• Community work/ Community organization/ community
development (pengorganisasian dan pengembangan
masyarakat). Ini merupakan pendekatan yang agak
populer daripada metode-metode sebelumnya, masih
tetap terus berkembang dan banyak dipergunakan di
sejumlah negara-negara berkembang, terumasuk
Indonesia. Pekerja sosial banyak bertindak sebagai
katalis dalam membantu kelompok-kelompok

49
masyarakat untuk mengatasi permasalahan dan
mengelola sumber-sumber mereka.

Tentunya masih terdapat perbedaan makna ‘tingkatan’


intervensi, namun tidak terlalu mencolok, sehingga seringkali
terjadi tumpang tindih dalam prakteknya. Sebagai contoh,
bimbingan sosial kelompok (group work) mungkin akan
banyak digunakan sebagai bagian CO/CD, atau bimbingan
sosial perseorangan mungkin dilakukan bersamaan dengan
family work. Ini lah yang kemudian memperkuat pendekatan
generalis dalam praktek pekerjaan sosial.

Selain penggunaan metode berdasarkan sasaran atau


ranah level praktek, terdapat pula sejumlah metode yang umum
digunakan, sebagaimana dalam ilustrasi berikut:

• Task-centered pactice. Merupakan kerja bersama untuk:


(1) menjelaskan situasi terkini (dimana kamu saat ini---
poin A) dan mengidentifikasi situasi alternatif yang
lebih baik (kemana yang kamu suka---poin B); (2) plot
rute dari A ke B dalam arti langkah-langkah apa yang
akan diambil (tugas-tugas yang akan dicapai), mulai
dari yang paling mudah dalam rangka membangkitkan

50
kepercayaan dan hingga memantapkan basis
keberhasilan; dan (3) bersepakat untuk berbagi alokasi
tugas-tugas.
• Contract work. Metode ini sejenis dengan task-centred
practice tetapi menggunakan negosiasi kesepakatan
tertulis sebagai fokus intervensinya.
• Counselling. Meski konseling secara lebih mendalam
terderung dilakukan hanya dalam lembaga-lembaga
khusus, praktek pekerjaan sosial seringkali terlibat
dalam elemen-elemen konseling dalam rangka
membantu orang memahami situasinya, perasaan-
perasaannya dan pilihan-pilihannya.
• Care management. Pendekatan ini melihat penyediaan
‘paket’ layanan perawatan yang dilakukan dalam
rangka memelihara seseorang dalam masyarakat yang
benar-benar membutuhkan pelayanan kelembagaan.
• Advocacy. Menjadi seorang advocate berarti mewakili
kepentingan-kepentingan orang yang tidak mampu
melakukan untuk dirinya sendiri (sebagai contoh,
orang-orang yang mengalami kesulitan belajar atau
masalah kesehatan mental).

51
• Mediation. Metode ini menunjuk pada upaya membantu
menengahi kedua belah pihak berkonflik, untuk
melakukan rekonsiliasi atas perbedaan-perbedaan,
dengan tetap bersikap netral untuk menjaga
keseimbangan diantara mereka.

Sebenarnya masih banyak lagi metode yang umum


dipergunakan dalam praktek pekerjaan sosial, dan terdapat pula
bentuk-bentuk praktek yang mungkin tidak masuk dalam satu
kategori teoritis. Demikian pula, mungkin saja terdapat
beberapa metode dan perspektif teoritis dikombinasikan
(misalkan, memanfaatkan metode behavioral dalam konteks
task-centred practice, atau menggunakan pendekatan
psikodinamika sebagai basis konseling). Metode-metode
tersebut juga dapat digunakan secara lintas level intervensi,
inilah yang kemudian memunculkan pendekatan praktek
generalis (generalist practice). Dengan pendekatan ini berbagai
metode akan dapat dimanfaatkan untuk setiap level, seiring
dengan tujuan perbaikan dan keberfungsian sosial klien—baik
individu, kelompok, keluarga, organisasi, dan masyarakat.

52
Terdapat pula pendekatan-pendekatan yang lebih
bersifat indirect service , yang berbeda dengan metode-metode
sebelumnya, namun keberadaannya begitu determinan dalam
praktek pekerjaan sosial. Beberapa metode atau pendekatan ini
adalah:

• Administrasi pekerjaan sosial. Banyak kebijakan sosial


dari pemerintah arti makro maupun mikro (dalam
organisasi) harus diterjemahkan menjadi program-
program, dan kemudian proyek-proyek atau kegiatan
yang lebih detil dan jelas, sehingga tepat sasaran.
• Human/Social service organization (HSSO). Hampir
seluruh aktifitas praktek pekerjaan sosial yang berupa
pelayanan-pelayanan sosial, baik yang dikelola
pemerintah atau swasta, berada dalam sebuah
organisasi pelayanan sosial. Sehingga pemahaman dan
penguasaan pengelolaan organisasi sosial menjadi
begitu penting dalam rangka efektifitas dan efisiensi
pelayanan sosial.
• Social work research. Penelitian pekerjaan sosial akan
berhubungan dengan pengumpulan data, pengolahan
data, dan analisis data mengenai praktek-praktek

53
pekerjaan sosial, atau mengenai ketepatan sasaran-
sararan program atau kebijakan, atau berkaitan dengan
pengembangan suatu metode atau keterampilan yang
efektif, atau juga dapat digunakan untuk mengevaluasi
manfaat suatu program; dan sebagainya.
• Social policy dan social planning. Pengembangan dan
perencanaan suatu kegiatan sosial merupakan tantangan
tersendiri. Perencanaan yang ideal adalah yang
partisipatif, yaitu terdapatnya ruang sebanyak mungkin
keikutsertaan dari kelompok-kelompok sasaran.

Sejumlah praktisi menyatakan bahwa mereka tidak


menggunakan teknik dan metode secara khusus atau hanya satu
metode saja, tetapi mereka lebih suka memadukannya secara
‘eclectic’. Terkadang, penggabungan tersebut memiliki kualitas
praktek yang lebih baik dimana pekerja sosial berhasil
menggabungkan elemen-elemen pengetahuan secara tepat dan
efektif. Dengan eklektisisme merujuk pada sesuatu yang
konsisten dan terintegrasi menyeluruh, daripada sebelumnya
yang parsial dan terpisah-pisah. Inilah yang menjadi ciri khas
dari landasan keilmuan pekerjaan sosial, yang memadukan

54
berbagai pendekatan, teori, perspektif dan model-model dalam
praktek pertolongan atau intervensinya.

Isu lain berkaitan dengan metode intervensi adalah


bahwa mereka cenderung selalu menggunakan namanya saja.
Sebagai contoh, “Saya menggunakan pendekatan task-centred”
yang dapat diartikan sebagai secara sederhana “Saya cenderung
untuk tetap menggunakan practical task”, sementara “Kita
melakukan banyak intervensi krisis dalam tim ini” dapat
diterjemahkan sebagai “Kita sedang menangani kedaruratan
dan terkadang kita repot kesana-kemari ‘mondar-mandir’
seperti ayam kehilangan kepala”. Ini bukan berarti bahwa
praktek tidak mungkin terwujud tanpa menggunakan metode
dalam buku-buku teks, tetapi terdapat bahayanya jika label
teoritis digunakan untuk mencakup fakta, yang secara fakta
banyak pelaksanaan prakteknya dilakukan berdasarkan
rutinitas (terus-menerus) dan tanpa kritik, dan dengan demikian
resiko bahayanya akan berjalan menyertainya.

Oleh karena itu, kiranya diperlukan kategorisasi


intervensi untuk perkerjaan sosial. Heron (2001) memberi jalan
keluar upaya memahami intervensi yang dapat dibagi ke dalam
enam kategori, sebagai berikut:

55
• Prescriptive Intervensi ini merupakan upaya untuk
mengarahkan langsung perilaku dari seseorang. Hal
tersebut mungkin paling dekat berkaitan dengan
intervensi kewenangan, seperti halnya putusan
pengadilan.
• Informative. Basis intervensi informatif adalah
menyediakan informasi dan / atau membantu orang
untuk memahami situasinya atau beberapa aspeknya.
• Confronting. Terkadang perlu untuk memperoleh
perhatian klien akan aspek-aspek dari situasi yang
tidak ingin dihadapinya. Konfrontasi dengan demikian
meliputi upaya menentang penyangkalan dan respon-
respon yang menghalangi jalannya proses..
• Cathartic. Katarsis adalah proses melepaskan emosi,
seperti membantu seseorang mengekspresikan tekanan
kedukaannya yang mendalam, atau dengan
berkontribusi membuat rasa nyaman, ‘teduh’ dan aman
dalam lingkungan emosional sehingga perasaannya
tidak menjadi hambatannya .
• Catalytic. Intervensi ini diarahkan untuk pada
membantu orang agar lebih mampu mengelola diri
sendiri, mampu mengendalikan kehidupannya sendiri,

56
mampu menemukan sumber-sumber pemecahan
sendiri, dan seterusnya; singkatnya, suatu bentuk
pemberdayaan.
• Supportive. Ini merujuk pada penegasan akan nilai dan
penghargaan terhadap klien, sifat bagi orang yang
peduli dan yang terlibat dalam situasi tersebut.

Kategori tersebut bukanlah merupakan batasan yang tegas dan


kaku, tetapi dapat dimanfaatkan sebagai ulasan singkat atas
beragam intervensi dan sebagai titik awal untuk bahan
pertimbangan lebih jauh lagi.

G. Etika dan Nilai

Dalam bekerja dengan orang lain, kita masuk pada


kompleksitas dunia interaksi dan struktur. Kondisi tersebut
akan mengarah pada hasil positif bagi semua hal atau
sebaliknya mengarah pada kacau balaunya situasi (situasi
kontra produktif). Konsekuensinya, kita harus mengenali
potensi pekerjaan sosial sebaik mungkin agar tidak melukai
pihak lain. Inilah yang menghantarkan akan perlunya

57
pendekatan ethical, suatu persoalan moralitas dan nilai-nilai
yang perlu dipertimbangkan.

Hal tersebut bukan berarti bahwa pekerja sosial harus


ahli dalam filosofi moral, tetapi artinya kita harus benar-benar
jelas mengenai nilai-nilai yang berkenaan dengan hal-hal
sebagai berikut:

• Nilai-nilai kita sendiri dan cara-cara nilai-nilai tersebut


mempengaruhi praktek pekerjaan sosial;
• Nilai-nilai profesional pekerjaan sosial dan bagaimana
hal tersebut dapat atau tidak memperkuat praktek;
• Bahaya-bahaya yang akan timbul jika tidak
mengindahkan dimensi nilai-nilai dan etik praktek.

Persoalan nilai, etik dan etika merupakan wilayah yang


kompleks, dan oleh karenanya kita harus realistis dan
menerima bahwa dimensi etik pekerjaan sosial merupakan
sesuatu yang akan terus beriringan-berdampingan dalam
praktek pekerjaan sosial, lebih dari sekedar diatasi.
Pemahaman akan isu nilai menjadi komponen penting dari
basis pengetahuan pekerjaan sosial. Tujuan intervensi yang
baik dengan metode keterampilan pekerjaan sosial yang

58
canggih, belum tentu akan berhasil baik jika mengabaikan
nilai-nilai dan etika praktek pekerjaan sosial. Oleh karenanya,
pengetahuan (knowledge), metode dan keterampilan (skill),
serta sikap-sikap (attittude) sebagai wujud dari nilai-nilai etik;
dalam praktek pekerjaan sosial merupakan bagian yang tidak
terpisahkan.

59
3 ALASAN DIALEKTIKAL

Konsep dialektikal merupakan istilah filsafat. Kata dialektika


seiring dengan kata kata dialog yang berarti komunikasi dua
arah. Sebenarnya istilah ini telah ada sejak masa Yunani ketika
diperkenalkan dalam pemahaman bahwa segala sesuatu
berubah (panta rei). Kemudian Hegel menyempurnakan
konsep dialektika dan menyederhanakannya dengan memaknai
dialektika ke dalam trilogi tesis, anti-tesis dan sintesis;
kemudian dari sintesis akan memunculkan tesis baru, begitu
seterusnya. Menurut Hegel tidak ada satu kebenaran yang
absolut karena berlaku hukum dialektik, yang absolut hanyalah
semangat revolusionernya (perubahan/pertentangan atas tesis
oleh anti-tesis menjadi sintesis).

Dalam konteks pengetahuan-pengetahuan untuk praktek


pekerjaan sosial, maka istilah filsafat tersebut merujuk pada
perlunya memahami fenomena sosial dan fenomena lainnya
secara dinamis. Artinya, dalam rangka mencoba memahami
dunia sosial tersebut terdapat kategori yang relatif tetap atau

60
keyakinan yang tidak akan pernah berubah, hal ini perlu untuk
menghargai kehidupan sosial yang dicirikan sebagai berikut:

• Konflik (conflics). Kekuatan-kekuatan penentang dan


kelompok-kelompok kepentingan terhadap dominasi,
dan sehingga kehidupan sosial tidak akan pernah dalam
keadaan stabil dan selalu berdasar pada konsensus.
Sebagai contoh, orang dengan perspektif yang berbeda
mengenai penyediaan layanan kesejahteraan akan
berupaya mempengaruhi kebijakan dan praktek-praktek
sehingga diharapkan sesuai dengan garis perspektif dan
nilai mereka sendiri .
• Interaksi (interaction). Faktor-faktor dunia sosial tidak
akan duduk berdampingan dengan nyaman—mereka
saling berinteraksi, dan saling pengaruh satu sama lain.
Contohnya pasar ekonomi akan dipengaruhi oleh
media, tetapi media juga dipengaruhi oleh pasar, akan
begitu seterusnya.
• Perubahan atau Fluktuasi (change or flux). Masyarakat
akan secara konstan terus berubah. Dengan demikian,
sangatlah jelas bahwa stabilitas adalah bentuk
perubahan yang sangat lambat. Namun demikian

61
terdapat sesuatu tidak berubah setiap waktu, karena
manusia memelihara dan mempertahankannya.
(contohnya, ritual peribadatan).

Di dunia ini segala sesuatu (mahluk Tuhan) tercipta secara


berpasang-pasangan, baik mahluk yang terlihat tangible
maupun yang intangible. Besar-kecil, kaya-miskin, perang-
damai, siang-malam, terang-gelap, dan seterusnya; sehingga
sudah menjadi hukum alam apabila setiap proses-proses sosial
baik konflik, interaksi dan perubahan tersebut sesungguhnya
sedang berupaya mencari keseimbangan baru. Implikasi utama
dari alasan dialektis adalah bahwa kita seharusnya mengakui
bahwa basis pengetahuan pekerjaan sosial adalah:

• Contested (tantangan). Akan selalu terdapat penjelasan


menantang tentang apa yang relevan dan apa yang
penting. Ini bukan sekedar sebuah cakupan kasus
definitif “keyakinan” yang dapat diterima oleh
siapapun.
• Interactive (interaktif). Perbedaan elemen-elemen dasar
pengetahuan akan mempengaruhi satu sama lain.
Sebagai contoh, meski faktor-faktor sosiologis dan

62
psikologis dapat dipelajari secara berbeda, dalam
prakteknya akan saling berinteraksi dan mempengaruhi
satu sama lain.
• Changing (berubah). Pengetahun terus tumbuh dan
berkembang, dengan gagasan-gagasan dan tekanan-
tekanan baru, sementara lainnya akan tertinggal di
belakang.

Dengan alasan-alasan tersebut, dan alasan lainnya, bahwa para


pekerja sosial seharusnya tetap konsisten mengikuti
perkembangan isu-isu teoritis/basis pengetahuan, sehingga
mereka akan dapat memanfaatkan pengetahuan terbaik mereka.

Sheafor & Horejsi (2003:82) mengemukakan bahwa


terdapat tiga jenis kerangka praktek yaitu berdasarkan
perspektif, teori dan model. Payne (2014), menjelaskan jenis
teori praktek sebagai berikut:

63
Dari gambar tersebut, maka dapat dijelaskan sebagai berikut:

• Perspektif menunjukkan cara-cara berfikir mengenai


dunia berdasarkan nilai-nilai dan prinsip yang
konsisten.

• Perspektif membantu anda untuk menerapkan


seperangkat pemikiran yang terkait dengan kejadian
atau isyu.

• Penerapan perspektif yang berbeda akan membantu


anda untuk melihat situasi dari sudut pandang yang
berbeda

64
Pejelasan gambar di atas, bahwa pengelolaan batang
tubuh pengetahuan secara (dengan cara) sistematis sehingga
anda dapat fokus dan dapat memilih pengetahuan yang
dibutuhkan untuk praktek dalam situasi berbeda

65
Model:

situasi Aksi 1 Aksi 2 Aksii 3 Hasil

Suatu model, yaitu:

• Suatu pola ekstrak tentang aktifitas praktek dan


menggambarkan kejadian praktek dalam bentuk
terstruktur.

• Model akan membantu konsistensi praktek kita dalam


situasi yang luas.

• Model membantu anda untuk men-strukturkan dan


mengorganisasi (mengelola) bagaimana pendekatan
rumit anda diterapkan.

66
Sedangkan suatu teori penjelasan yaitu:

• Lebih dalam dari model dengan memperhitungkan


sebab-sebab hasil suatu aksi atau konsekuensi-
konsekuensi khusus yang terjadi dan mengidentifikasi
(mengetahui) situasi penyebabnya.

• Lebih merupakan penjelasan kausal dari setiap aksi dan


situasi yang terjadi

Sedangkan yang dimaksud dengan kerangka praktek


(practice framework) itu sendiri, terdiri dari seperangkat
kepercayaan dan asumsi tentang bagaimana, kapan, dan pada
kondisi apa orang dan sistem berubah serta apa yang pekerjaan
sosial lakukan untuk memudahkan pemenuhan kebutuhan dan
keinginan perubahan sistem. Beberapa kerangka praktek
mungkin lebih fokus pada perubahan individu, sementara
lainnya fokus pada keluarga, kelompok kecil, organisasi aau
masyarakat.

Selanjutnya Sheafor & Horejsi (2003:82-83),


mengemukakan bahwa sebuah kerangka praktek semestinya
memenuhi kriteria sebagai berikut:

67
1. Sebaiknya konsisten dengan tujuan, nilai-nilai, dan
etika profesi
2. Sebaiknya mampu dikomunikasikan dengan lainnya
(dalam arti, konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan
asumsi-asumsi semestinya tergambarkan dan
terdefinisikan dengan jelas)
3. Sebaiknya dapat dimengerti oleh orang awam (artinya,
sebagian besar klien atau relawan mampu memahami
keterkaitan kerangka perhatiannya dengan pengalaman
hidupnya).
4. Mampu membantu pekerja sosial menganalisa dan
memahami kompleksitas dan situasi chaotic lainnya.
5. Mampu memandu dan mengarahkan, sepanjang
berbagai dan banyak fase dari proses perubahan
tersebut.
6. Sebaiknya mendasarkan pada landasan empiris (artinya,
berbasiskan pada fakta dan pengamatan hati-hati dan
sistematis.

Karena begitu luasnya dan ragamnya seting praktek, jenis-jenis


klien dan situasi yang ditangani oleh para pekerja sosial,

68
sehingga tidak mungkin mengidentifikasi sebuah kerangka
praktek pekerjaan sosial tunggal yang dapat mencakup semua
hal tersebut. Sheafor & Horejsi (2003) mengemukakan, bahwa
suatu kerangka praktek setidaknya dapat memenuhi harapan
klien jika hal tersebut mendorong pekerja sosial untuk
melakukan hal-hal sebagai berikut:

• Fokus pada faktor-faktor, isu-isu dan kondisi-kondisi


tertentu yang secara fakta mampu diubah atau diganti
dimana klien dan pekerja sosial dapat pengaruhi atau
kendalikan.
• Menangani baik faktor personal dan lingkungan dalam
situasi klien (misalkan, memandang anak-anak dalam
kontek keluarganya dan keluarga dalam konteks
ketetanggaan dan masyarakatnya)
• Membangun sebuah relasi yang kuat dan kolaboratif
bersama klien dengan berdasaarkan saling percaya dan
pada empati, harga diri, rasa sayang dan panggilan (
calling) untuk membantu klien.
• Mendorong dan memastikan klien untuk membuat
putusan atas sasaran-sasaran intervensi dan metode-

69
metode yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan
tersebut.
• Mengakui dan membangun kekuatan klien dan hindari
konsentrasi hanya fokus pada keterbatasan,
penyimpangan, dan patologis.
• Bersikap proaktif dan mampu menjangkau klien dengan
ajuan layanan yang mungkin dapat klien pertimbangkan
relevansi dan manfaatnya.
• Menawarkan pelayanan-pelayanan dan memanfaatkan
pendekatan–pendekatan yang sesuai (congruent)
dengan nilai-nilai, budaya dan agama klien.
• Menawarkan layanan-layanan yang memungkinkan
klien mampu untuk menjangkaunya baik waktu maupun
biayanya yang lebih masuk akal.
• Memperoleh pencapaian keberhasilan sesegera
mungkin sebagai upaya untuk menunjukkan
kemanfaatan dari intervensi dan memelihara motivasi
klien.
• Mendorong kebersamaan dan kelompok-kelompok
kemandirian klien yang ada dan potensial tersedia
dalam lingkungannya .

70
• Memfasilitasi pengembangan pengetahuan dan
keterampilan klien yang akan mengurangi kebutuhan
atau ketergantungannya (agar mandiri) pada bantuan-
bantuan profesional dan sumber-sumber formal di masa
yang akan datang.

Selanjutnya Sheafor & Horejsi (2003) mengemukakan, bahwa


sebuah kerangka praktek praktek semestinya menyediakan
modifikasi perilaku secara mendetail yang mampu memandu
implementasi perubahan perilaku, tetapi juga dapat digunakan
untuk perilaku khusus yang akan menjadi fokus intervensi.
Perhitungkan pertimbangan klien dan diri pekerja sosial;
dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang perlu
dipertimbangkan ketika memilih sebuah kerangka praktek bagi
para pekerja sosial, sebagai berikut :

1. Sistem klien dengan kerangka apa yang akan ditangani?


Apakah kerangkanya fokus pada individu? Pasangan?
Unit keluarga? Kelompok kecil? Organisasi?
Komunitas?
2. Jenis perubahan klien apa yang diharapkan? Semisal,
perubahan nilai atau sikap? Perubahan dalam perilaku?

71
Perluasan atau penambahan pengetahuan? Akses pada
sumber-sumber baru? Peningkatan keterampilan baru?
3. Apakah kerangka prakteknya menawarkan sebuah
penjelasan tentang bagaimana dan mengapa perubahan
terjadi?
4. Ketika menerapkan kerangka praktek, apa peran dari
pekerja sosial? Contohnya, apakah pekerja sosial
berperan sebagai Penasehat? Guru? Konselor? Broker
pelayanan-pelayanan? Case manager? Administrator?
Perencana? Peneliti? Advocate?
5. Apa asumsi implisit atau eksplisist berkenaan dengan
hubungan profesional dan klien? Misalkan,
pertimbangan perbedaan asumsi dari beberapa teori:
a. Clients as objects. Profesional atau pekerja
sosial adalah sebagai ahli dan tahu apa yang
harus dilakukan; klien diharapkan dan didorong
untuk melakukan sesuatu atas apa yang
profesional ‘terbaik’ lakukan bagi mereka.
b. Clients as recipients. Profesional atau pekerja
sosial membentuk dan mengendalikan
pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan oleh
klien; klien diharapkan memanfaatkan

72
pelayanan yang telah diberikan baginya sebagai
bentuk tindakan kesediaan untuk bekerja sama
dan sikap apresiatif.
c. Client as resources. Profesional atau pekerja
sosial memandang bahwa klien adalah yang
paling tahu posisinya untuk mengetahui apa
yang mereka butuhkan serta apa yang akan dan
tidak akan ia dikerjakan. Maka, para pekerja
sosial perlu secara aktif memunculkan gagasan-
gagasan klien tentang permasalahan yang
mereka hadapi dan kemungkinan-kemungkinan
solusinya. Pemikiran dan putusan-putusan klien
sangat dihargai dan diharapkan.
6. Bagaimana keseimbangan kekuatan dalam hubungan
klien-pekerja sosial? Misalkan, apakah pekerja sosial
memandang klien sebagai teman? Sebagai Ahli?
Sebagai pihak berwenang? Sebagai penasehat? Sebagai
Konsultan? Sebagai mitra? Atau sebagai kolega?
7. Apa media komunikasi utama yang digunakan? Apakah
kerangka prakteknya cukup dikomunikasikan secara
verbal? Atau diekspresikan melalui seni dan
permainan? Melalui penulisan dan bacaan? Atau

73
melalui komunikasi yang terukur dan terencana atau
tidak terencana dan pertukaran tanpa aturan yang jelas?
8. Apakah kerangka prakteknya saat digunakan akan tepat
dan efektif, atau tidak tepat dan tidak efektif? Apakah
tersedia data yang mendukung?
9. Apakah kerangka praktek dapat mengidentifikasi jenis-
jenis klien atau suatu situasi yang kemungkinan saat
digunakan dapat membahayakan klien?
10. Apakah kerangka praktek tersebut mengakui
pentingnya latar budaya atau etnik klien serta nilai-nilai
agama dan atau keyakinan? Dapatkah kerangka praktek
tersebut diadaptasi dengan beragam latar belakang
klien?
11. Apakah kerangka praktek tersebut menggambarkan
setting atau konteks organisasi yang diperlukan guna
efektifitas aplikasi? Apakah lembaga prakteknya
berbasis lembaga? Atau sebuah praktek privat? Apakah
klien akan bersedia datang ke lembaga? Atau apakah
klien lebih suka di rumah?
12. Apakah kerangka praktek dapat diterapkan ketika jenis
kliennya bersifat involuntary atau atas perintah

74
pengadilan? Saat kapan klien akan bersikap tidak
kooperatif?
13. Apakah kerangka praktek yang memberikan penjelasan
bagaimana kesamaan dan perbedaannya dengan
kerangka umum yang biasa digunakan?
14. Apakah kerangka praktek penerapannya memerlukan
seperangkat teknik yang unik atau membutuhkan
teknik-teknik yang secara umum sama sebagaimana
digunakan dalam kerangka praktek lainnya?
15. Apakah kerangka prakteknya mengabaikan klien atau
situasi-situasi khusus, baik secara eksplisit atau
implisit? Misalkan, bagaimana dengan orang yang tidak
bisa berbahasa Indonesia dengan baik? Bagaimana
dengan orang tidak bisa baca-tulis? Individu yang tidak
bisa bertemu dengan seorang profesional di kantor
dalam waktu kerjanya ? Seseorang yang tidak mampu
membayar? Seseorang yang sangat membutuhkan
pangan, sandang, papan, perlindungan, perawatan
kesehatan dan seterusnya? Individu yang memiliki
keterbatasan fisik, daya sensorik atau intelektual?
16. Apakah kerangka prakteknya menekankan pentingnya
agar klien tetap bersama dalam jaringan keluarganya

75
atau sosialnya? Atau kerangkanya, mengalihkan klien
dari pengaruh keluarga, sahabat atau lingkungan
terdekan klien lainnya.

Proses penentuan suatu kerangka praktek dengan berlandaskan


teori juga akan dipengaruhi secara subyektif para pekerja
sosialnya. Faktor subyektifitas dalam proses pemilihan
kerangka tersebut bergantung pada bekal pengalaman dan
pengetahuan yang diperolehnya. Sebagai contoh, pendidikan
pekerjaan sosial di Indonesia yang dilaksanakan oleh beberapa
perguruan tinggi, masih memiliki kurikulum yang beragam,
sehingga menghasilkan lulusan dengan kemampuan
kompetensi sebagai pekerja sosial profesional yang berbeda-
beda pula. Kondisi ini sudah coba diantisipasi dan terus
diupayakan melalui Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial
Indonesia (IPPSI), dengan melakukan berbagai kegiatan
lokakarya kurikulum pendidikan pekerjaan sosial. Penentuan
dan penetapan mata kuliah atau bahan kajian utama untuk
pendidikan pekerjaan sosial yang sama untuk semua Program
Studi Kesejahteraan Sosial di berbagai perguruan tinggi di
Indonesia. Tentunya kesamaan kurikulum tersebut tidak
menghilangkan kekhasan dari masing-masing perguruan tinggi

76
tersebut. Bahkan kekhasan masing-masing program studi di
masing-masing perguruan tinggi didorong tetap dipelihara.

Faktor subyektifitas sendiri dalam penentuan kerangka


praktek tidaklah cukup. Pertanyaan-pertanyaan sebelumnya
(ada 16 pertanyaan) dari Sheafor & Horejsi (2003), sebetulnya
dapat memandu para pekerja sosial dalam memilih kerangka
praktek atau teori yang tepat atau sesuai.

Pengembangan suatu referensi kerangka praktek


menuntut pertimbangan pemikiran dari berbagai perspektif,
teori, dan model yang akan membentuk unjuk kerja
(perfomance) pekerja sosialnya. Pada awal membangun sebuah
referensi kerangka praktek, pekerja sosial mungkin akan
melakukan penentuan secara terbatas jumlahnya. Namun
seiring berjalannya waktu dan berkembangnya pengetahuan
dari banyaknya pengalaman praktek, pekerja sosial tersebut
mungkin dapat menentukan kebutuhan praktek yang fit bagi
klien dan lembaganya.

77
4 MEMANFAATKAN PENGETAHUAN

Memiliki pengetahuan adalah sesuatu hal, tetapi mampu


menggunakan dan memanfaatkannya dalam praktek adalah hal
lain. Pekerjan sosial semestinya tidak underestimate akan
keterampilan-keterampilan sebagai pemanfaatan pengetahuan
tersebut dalam praktek, serta mengintegrasikan teori dan
praktek. Dalam upaya memanfaatkan pengetahuan kita harus
mampu:

• Select (memilih). Pekerja sosial tidak dapat


menggunakan semua pengetahuan dalam satu waktu!
Meski demikian pekerja sosial seringkali akan
cenderung menggunakan sebanyak mungkin
pengetahuannya tanpa disadarinya. Pekerja sosial
seharusnya mampu memutuskan aspek basis
pengetahuan mana yang harus dikedepankan dalam
situasi tertentu. Dalam rangka melakukan hal tersebut,
pekerja sosial harus memperoleh kejelasan terlebih
dahulu tentang apa yang akan dicapai sehingga mereka

78
dapat menentukan elemen-elemen pengetahuan mana
yang relevan, sesuai kepentingan proses dan sistematika
praktek pekerjaan sosial.
• Integrate (Terpadu). Penerapannya pada dua level.
Pertama, terdapat perbedaan alur pengetahuan yang
harus diintegrasikan (sebagai contoh, pengetahuan
psikologis, sosiologis, dan filosofis), sehingga terdapat
keterkaitan dan penyesuaian dari masing-masing
pengetahuan tersebut. Kedua, harus memadukan antara
teori dan praktek, untuk memastikan bahwa
pengetahuan formal dapat diadaptasi atau disesuaikan
agar cocok (fit) dengan situasi khusus yang sedang
ditangani—teori harus ditautkan atau dibuat terukur,
daripada dibiarkan menggantung terpisah parsial.
• Reflect (memantulkan). Tentunya tidak cukup mudah
menggunakan pengetahuan dan kemudian
meninggalkannya. Pekerja sosial kemudian perlu
merefleksikan setiap tindakannya dan konsekuensi-
konsekusnsi yang ditimbulkannya, sehingga pekerja
sosial dapat belajar darinya dan menyesuaikan rencana
tindakannya setepat mungkin. Penting untuk dicatat,
bahwa gerakan “refleksi praktek” merupakan sesuatu

79
hal penting ketika menggunakan pengetahuan
(perpektif, teori dan model) dalam praktek.

Pertimbangan pemanfaatan pengetahuan dalam praktik (select,


integrate, reflect), sebenarnya merupakan isu yang sangat
penting. Khususnya pada elemen yang ketiga yaitu “reflective
practice”. Padahal kemampuan reflektif dari pekerja sosial
akan apa yang telah dilakukannya sebagai sikap untuk mawas
diri dan evaluasi diri dari setiap praktek pekerjaan sosial.
Penting bagi para pekerja sosial untuk mau mengkoreksi dan
memperbaiki diri atas apa yang dilakukan sebelumnya, agar di
masa depan tidak terjadi kesalahan yang sama, atau makin
meningkatkan efektifitas dan performance pekerjaan sosial.

A. Reflective Practice (Praktek Reflektif)


Istilah “Reflective Practice” adalah satu hal yang berkaitan
dengan ahli teori pendidikan Donald Schӧn. Praktek reflektif
meliputi upaya melampaui gagasan “fitting the square peg of
theory into the round hole of practice’:

Theory cannot be seen as an entity that can simply be taken


‘off the self’ and applied to practice in a mechanistic way. It

80
is better conceived of as an interactive process through
which concepts and frameworks are ‘made to measure’ by
the skilful work of the reflective practitioner. ... In this way,
human services practice, although based on science, is also
very much a craft. (Thompson, 2000b, p. 89)

Praktek reflektif meliputi:

• Merefleksikan secara tertulis atas praktek kita, sebelum,


selama dan sesudah;
• Menghindari rutinitas, selimut pendekatan yang tidak
mempertimbangkan situasi-situasi dan kondisi-kondisi
khusus yang ditangani;
• Menghindari cara-cara mekanistik, merespon
permasalahan tanpa berfikir;
• Tidak sekedar mencari ‘the right answer’ (jawaban
yang benar), seolah-olah hanya ada satu solusi untuk
setiap masalah.
• Mengakui bahwa situasi praktek umumnya ‘messy’
(kacau), dan sudah semestinya menggunakan cara-cara
yang masuk akal (rasional) bagi mereka.
• Bersikap kreatif dan imajinatif, gali seluas dan sedalam
mungkin potensi untuk mencari solusi terbaik.

81
• ‘problem setting’—bersikap jelas dan jernih atas setiap
masalah dan bagaimana meresponnya secara baik.
• Teruslah mengembangkan sikap profesional—terus
belajar dari praktek, secara konstan memperbaiki
pengetahuan dan keterampilan kita.
• Selalu terbuka dengan ide-ide dan perspektif baru dari
orang lain, yang bahkan ketika hal tersebut
bertentangan dengan pendapat anda sendiri. Bersikap
open mind (tetap terbuka), sebab bukan tidak mungkin
ide-ide dari pihak lain itu lebih baik dan lebih
bermanfaat.

Gerakan refleksi atas praktek ‘sebelum, selama dan setelah’


praktek merupakan hal yang patut untuk dipertimbangkan.
Refleksi sebelum praktek, adalah tentu saja saat perencanaan.
Adalah sangat tidak bijak apabila saat memulai situasi praktek
tanpa memikirkan terlebih dahulu atau tidak memiliki
perencanaan tentang apa yang akan dihadapi atau lakukannya.
Hal ini bukan berarti pula bahwa semua hal tersebut dapat
diputuskan terlebih dahulu tentang bagaimana sebuah situasi
dihadapi atau diatasi---tentunya hal ini akan bertentangan

82
dengan prinsip keterbukaan dan fleksibilitas berkaitan dengan
praktik reflektif. Meski begitu, dalam derajat tertentu perlu
diperkirakan sebuah kerangka persiapan atau rencana untuk
menghadapi situasi praktek. Sesuatu yang dipersiapkan dengan
baik tentu hasilnya cenderung lebih baik dari pada yang tidak
dipersiapkan sama sekali.

Refleksi selama praktek adalah, sebagaimana


dikemukakan oleh Schon (1983), merujuk pada ‘a reflective
conversation with the situation’. Artinya, seharusnya terdapat
sebuah situasi interaktif yang konstan terhadap apa yang
sedang terjadi yang pekerja sosial pikirkan dan lakukan ketika
melakukan pertolongan kepada klien. Pekerja sosial harus terus
bersikap waspada dan mawas diri dalam menghadapi situasi
praktek. Artinya lebih dari sekedar upaya penerapan teori atau
metode mekanis atau memaksakan sebuah solusi khusus
terhadap situasi permasalahaan, reflektif praktisi seharusnya
mempertahankan situasi yang relatif konstan (tetap), melihat
kembali elemen-elemen terkait dan menyesuaikan rencana dan
meresponnya secara tepat. Refleksi setelah kejadian
memungkinkan pekerja sosial mempelajari berdasarkan
pengalaman, mencatat aspek-aspek kunci dari situasi dan

83
bagian yang mereka hadapi, sehingga pekerja sosial dapat
memperoleh manfaat dari pengalaman untuk selanjutnya akan
mendapatkan pencerahan pengetahuan baru di masa depan.
Sehingga proses pertolongan di kemudian hari akan lebih baik
lagi.

B. Ide dan Rasa


Aspek ini akan mengkaitkan antara gagasan pemikiran dengan
perasaan pekerja sosial sebagai manusia. Ide dan rasa
seringkali saling pengaruh mempengaruhi dalam proses
praktek pekerjaan sosial. Aspek ide berkaitan erat dengan
kognitif, sedangkan aspek rasa berkaitan dengan emosional.
Aspek ‘kognitif’ dari pekerjaan sosial adalah—apa yang perlu
diketahui, proses pemikiran apa yang perlu dilakukan, dan
seterusnya. Namun demikian, kita juga perlu mencatat bahwa
terdapat juga dimensi emosional yang perlu dipertimbangkan.
Hal ini dapat diterapkan dengan dua cara:

1. Kita perlu memiliki pengetahuan dan pemahaman akan


isu-isu emosional agar dapat berpraktek secara efektif.
Sebagai contoh, dalam perkembangan manusia, kita
perlu mempertimbangkan isu apa yang berkaitan

84
dengan rasa kehilangan dan dampak kedukaan serta
rasa sedih terhadap manusia. Sama halnya, dalam
interaksi antar manusia atau kelompok, dimensi
emosional nampaknya akan begitu sangat signifikan,
yang sangat berperan penting dalam dinamika
interpersonal dan kelompok. Perlu dicatat bahwa
dimensi emosional pekerjaan sosial tidak hanya
berkenaan dengan perasaan dan respon emosi dari klien
dan perawatnya, tetapi juga dengan pekerja sosial itu
sendiri. Para pekerja sosial adalah manusia yang selalu
berhadapan secara emosional dengan situasi tertentu,
dan oleh karenanya ia seharusnya tidak memandang
rendah makna penting pemahaman dimensi emosinal.
Para pekerja sosial tidak kebal dengan penderitaan yang
dihadapi dan dirasakan oleh setiap orang. Pekerja sosial
juga manusia.
2. Aspek lain dari pengetahuan dan pembelajaran adalah
signifikansi dalam istilah emosional. Sebagai contoh,
dalam pembelajaran mengenai diskriminasi dan
penindasan, kita seharusnya (suka atau tidak)
mempelajari isu atau asumsi berkaitan dengan hal
tersebut, khususnya berkait dengan apakah terdapat

85
stereotypes atau pandangan awal negatif (prejudice)
tentang individu, kelompok atau aspek-aspek tertentu
dari kehidupan sosial.

Basis pengetahuan pekerja sosial kemudian tidak seharusnya


dipandang sebagai sesuatu yang sulit dan kaku (mekanis,
bersifat seperti mesin), tetapi harus dapat dengan mudah
dibedakan, karena banyak isu berkaitan dengan perasaan dan
respon emosional yang tidak pasti. Dua faktor perangkat yaitu
ide dan rasa, harusnya dipadukan, keduanya akan saling
mempengaruhi tindakan para pekerja sosial. Konsekuensinya
adalah sangat penting bagi para pekerja sosial untuk
menempatkan dimensi emosional dalam praktek sebagai bagian
dari elemen kognitif pengetahuan dan pemikiran. Para pekerja
sosial perlu mengembangkan dengan apa yang disebut dengan
kecerdasan emosional (emotional inteligence). Setiap pekerja
sosial akan membawa serta rasa dan pemikiran masing-masing
dalam praktek pertolongan, yang berbeda dengan pekerja sosial
lainnya. Meskipun para pekerja sosial tersebut memperoleh
bekal pengetahuan dan ketereampilan praktek pekerjaan sosial
yang sama. Berpadunya pengetahuan (knowledge),

86
keterampilan (skill) dan sikap/rasa (attittude) dalam praktek
pertolongan pekerjaan sosial akan melahirkan ‘arts’ (seni) dari
setiap masing-masing individu para pekerja sosial. Setiap
pekerja sosial akan mengembangkan kekhasan masing-masing,
ketika mampu memadukan potensi dirinya (knowledge, skill
dan attittude) melalui praktek pertolongan. Teruslah
berpraktek, banyak lah berpraktek, maka akan makin terbangun
kekhasan dan kemapanan yang berujung pada efektifitas
pelayanan yang dilakukan oleh para pekerja sosial, yang ujung
akhirnya adalah untuk kemanfaatan optimal pengguna layanan
(beneficiaries).

C. Tetaplah Berpraktek
Banyak para praktisi pekerja sosial menempatkan teori dan
praktek sebagai sebuah gambar yang terpisah, bukan sebagai
bagian yang saling terhubung dan menunjang. Praktek tidak
pernah terlepas dari gagasan, asumsi, kerangka pemahaman,
dan seterusnya. Teori dan praktek dengan demikian perlu
saling berkait, walau demikian para praktisi tidak secara
terang-terangan dan terbuka mengakui penggunaan teori
tersebut.

87
Hal terpenting untuk dipahami di sini adalah, bahwa
akan berbahaya jika para pekerja sosial mengabaikan,
mengesampingkan, atau tanpa sama sekali tidak memanfaatkan
pengetahuan dan teori dalam berpraktek. Kesalahan-kesalahan
yang ditimbulkan dari praktek yang tidak berdasarkan pada
pengetahuan akan memunculkan sejumlah permasalahan,
setidaknya sebagai berikut;

• Aksi atau kegiatan yang dilakukan mungkin tidak


berdasarkan pada aturan dan kebijakan resmi sehingga
pelaksanaannya ilegal.
• Ketidaktepatan aksi mungkin timbul sebagai akibat dari
kekeliruan dalam memahami dan membaca sejumlah
aspek situasi kondisi.
• Peluang untuk melakukan tindakan yang tepat, sesuai
dan membantu klien mungkin akan hilang, karena
kurangnya kesadaran tentang pentingnya pengetahuan.
• Tindakan yang dilakukan mungkin akan mendorong
diskriminasi dan menindas atau bertentangan dengan
prinsip-prinsip etika praktek pekerjaan sosial.
• Peluang-peluang pembelajaran dan pengembangan
profesional mungkin akan hilang begitu saja.

88
• Kredibilitas dan pengakuan profesional di mata orang
lain mungkin hilang ‘menguap’ dan di masa depan akan
menimbulkan kesulitan baginya.
• Peluang untuk mencapai kepuasan prestasi kerja akan
tidak tercapai.

Sementara itu, perlu pula dipahami bahwa penggunaan


pengetahuan dalam praktek tidaklah selalu mudah dan dapat
langsung diterapkan. Diperlukan upaya-upaya lebih lanjut agar
pengetahuan dan teori tersebut dapat diterapkan lebih tepat dan
bertanggung jawab. Sebagaimana telah dikemukakan
sebelumnya bahwa suatu teori atau metode praktek mungkin
tidak sesuai atau tidak tepat untuk individu yang berbeda,
walaupun mungkin memiliki jenis permasalahan yang sama.
Banyak teori-teori praktek pekerjaan sosial yang berasal dari
Barat, dengan latar belakang budaya dan pemikiran yang
berbeda dengan konteks masyarakat Indonesia. Sehingga
dalam penerapannya di Indonesia diperlukan sejumlah
penyesuaian dengan konteks ragam budaya yang dimiliki
bangsa ini. Bahkan bukan sesuatu yang tidak mungkin, apabila
terdapat pemikiran, metode dan keterampilan, serta nilai-nilai
yang telah tumbuh dan berkembang, serta terpelihara baik oleh

89
bangsa Indonesia yang sangat bermanfaat dalam praktek
pekerjaan sosial. Di sinilah pentingnya pemahaman akan
indigenous social services dalam konteks Indonesia. Bangsa
Indonesia yang sangat kaya budaya ini, dengan beragam suku
bangsanya, telah mengembangkan pola-pola pelayanan
tradisional sejak lama. Pola-pola pengasuhan anak dan para
lanjut usia berbasiskan masyarakat melalui keluarga besar
(extended family), masih ada di sebagian besar masyarakat.
Permainan-permainan anak-anak tradisional yang telah ada dan
dan telah lama berkembang di daerah pada masyarakat
Indonesia, melatih motorik anak-anak baik motorik kasar
maupun halus. Juga permainan-permainan anak-anak
tradisional tersebut telah melatihkan sikap pantang menyerah,
terampil, bertindak sportif, kreatif, kepempimpinan; yang saat
ini mulai tergerus kemajuan teknologi, bergeser dengan
permainan online dan offline dengan berbagai perangkat
(gadget) yang ada.

--------------

90
5 TEORI PEKERJAAN SOSIAL DAN
PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL

Para pekerja sosial telah dipersiapkan melalui pendidikan


sarjana (S-1) kesejahteraan sosial atau pekerjaan sosial sebagai
pekerja sosial generalis. Agar mereka mampu menjadi pekerja
sosial generalis yang efektif, maka para pekerja sosial harus
dapat menerapkan sebanyak mungkin teori praktek. Menjadi
pekerja sosial generalis berarti memiliki kemampuan untuk
memanfaatkan dan menggunakan beragam teori dan
komponen-komponen teorinya serta mengelola bersama
keseluruhan tersebut menjadi suatu pendekatan komprehensif
untuk praktek khusus dengan klien khusus pula. Persoalan-
persoalan (isu) klien, nilai-nilai, budaya dan sistem
kepercayaan yang sedikit banyak akan mempengaruhi, atau
bahkan menentukan pilihan kerangka teoritis terhadap apa
yang akan dibangun dalam intervensi praktek pertolongan.

Sejak awal, profesi pekerjaan sosial sudah peduli dan


memperhatikan ketersediaan pelayanan-pelayanan dengan
berdasarkan pada pengetahuan yang teruji. Di awal

91
perkembangannya, banyak teori-teori pekerjaan sosial
meminjam dari disiplin ilmu lainnya seperti psikologi,
kesehatan, antropologi, biologi dan sosiologi. Sementara itu
masih banyak dari teori-teori yang digunakan dalam profesi
pekerjaan sosial ---yang terus berkembang menuju
kedewasaannya--- pekerjaan sosial telah mengembangkan
secara empiris teori-teorinya sendiri. Kini, lebih dari sekitar 50
teori yang umum dipergunakan dalam praktek-praktek
pekerjaan sosial, dan banyak dari teori tersebut dikembangkan
untuk praktek pekerjaan sosial oleh para pekerja sosial.
Cummins dkk., (2006) memetakan teori-teori yang umum
digunakan dalam praktek pekerjaan sosial.

Tabel 1 Contoh Beberapa Teori Praktek Pekerjaan Sosial


Attachment Behavioral Cilent Centered
Cognitive Communication Constructivism
Crisis Developmental Ecological Perspective
Ego Psychology Existential Family Centered
Feminist Functional General Systems
Gestalt Human Relations Life Model
Management Marxist Natural Helping Network
Person Centered Problem Solving Psychoanalytic
Psychosocial Organizational Role
Social Action Strengths Perspective Structural
Symbolic Interactionism Task-oriented Transactional Analysis

Sumber: Cummins, et.al. (2006: p.33)

92
Secara fundamental, teori praktek adalah suatu batang
tubuh pengetahuan yang secara empiris telah teruji dan terbukti
efektif. Selanjutnya, teori akan memandu tindakan praktek, dan
bukti-bukti efektifitasnya menjadi standar (acuan) akuntabilitas
(Turner, 1997). Tanpa aplikasi dari pengetahuan yang teruji,
pekerja sosial tidak dapat menyatakan prakteknya sebagai
tindakan profesional. Jika para pekerja sosial tidak
menggunakan teori untuk memandu mereka membuat putusan-
putusan dalam praktek, lalu apa bedanya dengan para relawan
atau dermawan yang membantu orang lain berdasarkan
keinginan mereka atau suka-suka mereka tanpa
mempertimbangkan akibat dari bantuan yang diberikannya
tersebut. Seolah para relawan dan demawan tersebut telah
tuntas melakukan sesuatu dengan baik dan benar. Dengan
demikian teori menjadi basis (dasar) dari asesmen dan
intervensi pekerja sosial dengan klien. Pekerja sosial
menggunakan teori-teori tersebut untuk memaknai situasi,
untuk mengkaji dan menilai kekuatan serta kelemahannya
(hambatan dan kekurangannya) dari situasi tersebut, serta
untuk memahami kehidupan dan lingkungan (environment)
klien dimana mereka hidup dan berfungsi. Biasanya ketika
berpraktek dengan klien (baik individual, keluarga, kelompok,

93
organisasi atau masyarakat), maka pekerja sosial akan
menerapkan berbagai teori pekerjaan sosial. Semisal, mungkin
pekerja sosial akan menggunakan perspektif person-in-
environment untuk memahami kompleksitas kehidupan dari
klien, teori psikodinamika untuk memahami rendahnya harga
diri klien, teori krisis untuk membimbing dia (akibat
kekerasan), dan teori grief (kesedihan) untuk membantu dia
melewati proses recovery.

Perhatian awal para pekerja sosial dalam praktek adalah


memahami orang dalam konteks lingkungannya. Dimulai
dengan memahami orang dalam hubungan dengan
lingkungannya yang terbatas, termasuk pentingnya anggota
keluarga klien dalam memulai asesmen. Misalkan, sudah
merupakan hal yang lumrah apabila dalam pengumpulan
informasi di dalamnya akan termasuk anggota-anggota
keluarga, pekerjaan, dan bahkan tetangga terdekatnya; tetapi
untuk memahami secara penuh dampak lingkungan fisik,
ekonomi, agama dan sosial budaya pada kehidupan klien maka
itu belumlah dilakukan. Pentingnya peranan faktor-faktor
tersebut dalam mempengaruhi kehidupan klien mulai muncul
di tahun 1970-an sebagai konsep baru yang dipinjam dari teori

94
sistem dan teori ekologi yang bahkan mengarahkan profesi ini
pada pengembangan teori sistem ekologi atau teori ekosistem
(Becket & johnson, 1997; Miller, 1978; Germain, 1973; and
Germain & Gitterman, 1997).

Perspektif ekologis menyediakan suatu basis teori yang


luas akan praktek pekerjaan sosial dan dimanfaatkan sebagai
konteks atau latar untuk penerapan teori-teori praktek yang
lebih khusus, seperti halnya teori crisis intervention atau teori
cognitive-behavioral. Teori-teori lain yang umum digunakan
untuk praktek pekerjaan sosial saat ini termasuk, teori the life
model (diperoleh dari perspektif ekologis), the strenghts
perspective, dan teori praktek berbasis pemberdayaan. Berikut
ini beberapa teori pokok yang banyak dimanfaatkan dalam
praktek pekerjaan sosial.

A. Teori Sistem
Keberadaan lingkungan bagi manusia dimulai khususnya
dalam lingkungan terdekat seperti keluarga dan berikut
pengalaman-pengalaman hidup di dalamnya, termasuk
interaksi dengan keluarga besar, teman-teman, ketetanggaan,
sekolah, keagamaan, kebijakan umum, norma-norma budaya,

95
dan sistem ekonomi, dan seterusnya. Untuk memahami
kompleksitas interaksi diantara individu-individu dan semua
komponen lingkungannya, pekerjaan sosial memanfaatkan
teori sistem umum sebagai kerangka untuk memahami
permasalahan manusianya, dan upaya memperbaiki
kehidupannya. Teori sistem umum telah dikembangkan dalam
ilmu eksakta dan selanjutnya dikembangkan untuk aplikasi
profesi pekerjaan sosial sebagai sebuah kerangka konseptual di
dalam beragam pengelolaan teori. Hal tersebut juga dapat
dilihat sebagai suatu kerangka yang dapat menyuarakan istilah-
istilah yang sama bagi para praktisi, sehingga memudahkan
dalam komunikasi dan pelaksanaannya (Beckett & Johnson,
1997).

Sistem didefinisikan sebagai suatu keseluruhan


(totalitas) yang terbentuk dari berbagai bagian atau sub sistem
yang saling berinteraksi. Sebagai contoh, seseorang mewakili
sub sistem individual dalam sebuah sistem keluarga yang lebih
besar; sebuah keluarga dipandang sebagai sub sistem dari
sistem masyarakat yang lebih besar; dan sebuah masyarakat
merupakan sub sistem dari sistem kemasyarakatan yang lebih
besar lagi. Sistem dan sub sistem mempunyai suatu struktur

96
hubungan satu sama lain dan dipisahkan oleh boundaries
(batas). Boundaries dapat bersifat kedap (tertutup), yaitu
menciptakan sistem tertutup yang mandiri dan namun masih
memungkinkan beberapa pengaruh dari luar masuk; atau
terbuka (permeabel), yaitu menciptakan sistem terbuka yang
secara aktif saling bertukar dengan subsistem lainnya dan
dengan demikian selalu berubah. Interaksi atau pertukaran
antar subsistem merupakan proses dinamis yang
memungkinkan pemeliharaan sistem terbuka meningkat.
Sepanjang sistem selalu siap beradaptasi untuk berubah, sistem
akan tetap seimbang (homoestatis) atau memelihara
keseimbangannya (equilibrium). Ketika terjadi perubahan besar
terhadap suatu sistem, proses adaptasi akan terjadi sepanjang
waktu tersebut, sistem mungkin berada pada situasi
disequilibrium hingga sistem dapat beradaptasi dan melakukan
perubahan atas dampak kerusakan sistem.

Dalam merespon terhadap upaya-upaya perusakan dan


gangguan terhadap sistem, bisa terhadap sebuah keluarga,
masyarakat atau negara, para pekerja sosial memusatkan
perhatiannya pada keseluruhan (totalitas) interaksi antar
individu dan jumlah semua kekuatan sosial atau sistem,

97
sehingga mereka mungkin “promote or restore a mutually
beneficial interaction between individuals and society in order
to improve the quality of life for everyone” (Minahan, 1981,
p.6). Misalkan dalam kasus bencana alam dengan meletusnya
Gunung Merapi di Jawa Tengah-Yogyakarta, pekerja sosial
dapat berpraktek dengan melakukan berbagai upaya pada
semua level: misalkan membantu keluarga yang kehilangan
anggota keluarganya, membantu pemerintah daerah mengatasi
kerentanan wilayah, dan pemerintah pusat dalam memperbaiki
kondisi perekonomian yang rusak akibat bencana alam
tersebut.

Optimalisasi keberfungsian seorang individu dalam


lingkungan menuntut subsistem yang berfungsi (fungsional)
secara optimal pada level tersebut, yang mendukung
pengembangan dan peningkatan aktualisasi diri individu.
Disfungsi sistem dipahami sebagai keberfungsian yang terbatas
atau terkekang untuk secara potensial berkembang. Disfungsi
dapat terjadi pada level individu, keluarga, komunitas,
organisasi atau kemasyarakatan. Terlepas darimana disfungsi
dalam sebuah sistem tersebut berasal, hal tersebut dapat

98
menimbulkan kekacauan atau kerusakan yang permanen pada
subsistem-subsistem lainnya.

Tujuan dari praktek langsung (direct practice) adalah


untuk mengkaji dan memperbaiki interaksi sub-sub sistem
(individu, keluarga, kelompok, komunitas, dan organisasi)
dalam konteks sistem kemasyarakatan yang lebih luas. Profesi
pekerjaan sosial telah mengenal dan memahami akan
pentingnya penanganan 3 (tiga) level sistem, yaitu mikro,
meso, dan makro. Sistem mikro adalah individual, dan
mencakup sejarah masa lalu individunya, pengalaman-
pengalamannya, keunikan pribadinya, dan daya jangkau atas
sumber-sumbernya. Sistem meso adalah kelompok kecil,
seperti halnya keluarga, dengan kompleksitas dan dinamika
yang dimilikinya. Misalkan kelompok kecil sangat
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh anggota-anggota
individualnya. Community organization dan badan-badan
pelayanan sosial juga berada pada klasifikasi level sistem
meso. Sistem makro adalah kelompok besar, seperti institusi
kerja kemasyarakatan, sekolah, dan komunitas keagamaan
(Zastrow, 2010). Dalam kerangka tersebut, Zastrow (2010)

99
menetapkan 5 (lima) tujuan praktek pekerjaan sosial yang
ditangani semua level sistem intervensi:

1. Enhance peoples’s probems-solving, coping, and


developmental capacities of people;
2. Link people with systems that provide them with
resources, services, and opportunities;
3. Promote the effectiveness and humane operation of
systems that provide people with resources and
services;
4. Develop and improve sosial policy;
5. Promote human and community well-being (p. 51-52)

Sistem mikro, meso dan makro saling berinteraksi dalam


sebuah kontinum keberfungsian dengan tujuan meningkatkan
keberfungsian sistem sehingga keberfungsiannya sehat dan
agar disfunction-nya terkurangi. Lingkungan atau ekologi dari
sistem memainkan bagian penting dalam pengembangan sistem
individu dan keluarga. Pekerjaan sosial yang baik manakala
terjadi transaksi sistem-sistem tersebut lalu dia mendukung
pertumbuhan dan pengembangan individu, keluarga, dan
masyarakat, serta dalam pertukaran tersebut membuat/
membentuk lingkungan setuju (cocok, sesuai atau fit) dengan
pertumbuhan yang positif bagi semua sub sistem (Ashford,

100
Lecroy, & Lortie, 2006). Pendekatan ganda (dualistic
approach) dalam intervensi dilakukan baik kepada klien
maupun lingkungannya.

B. Perspektif Ekologis
Perspektif the person-in-environment dalam praktek pekerjaan
sosial diperluas dan dimanfatkan sebagai pengembangan lebih
jauh lagi dari peralihan konsep-konsep teori sistem umum
dalam ilmu-ilmu eksakta,yang diaplikasikan pada kehidupan
sistem keluarga manusia. Perspektif ekologis membantu para
pekerja sosial untuk memahami lebih mendalam kompleksitas
kondisi manusia dalam konteks berbagai sub sistem kehidupan
ekologis mereka. Meminjam sejumlah konsep dari ekologi
(kajian tentang organisme dan hubungannya dengan
lingkungan), perspektif ekologis menyediakan banyak konsep
konkrit untuk memahami orang dalam lingkungan lebih dari
teori sistem yang dapat lakukan. Sebagai contoh, gagasan
‘goodness of fit’ diantara seseorang dan lingkungan adalah
muncul dari kerangka ekologis dan menyediakan yang sebuah
lensa untuk menilai keberadaan perilaku adaptif seseorang
yang mendukung pertumbuhan dan kesehatan (a good fit) atau

101
mendukung suatu penurunan keberfungsian (bad fit) fisik,
sosial atau psikologis. Konsep penting lainnya adalah bahwa
bagian dari memahami seseorang dalam lingkungannya yang
diperkenalkan melalui kerangka ekologis adalah peranan stress
and coping measure yang individu bawa ke dalam
lingkungannya, dan kemampuan mereka berelasi, atau
membangun kedekatan, persahabatan dan hubungan keluarga
yang positif, serta semua hal yang menjadi sumber ketika
menemui tantangan kehidupan (Germain & Gitterman, 1997).

Perspektif ekologis juga menantang para pekerja sosial


untuk berfikir pada pola-pola lebih kompleks yang
menggambarkan pola timbal-balik dan saling interaksi antara
individu-individu, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi,
dan lembaga-lembaga (Germain & Gitterman, 1997).
Pemikiran logis biasanya cenderung lurus (linear), dimana kita
berfikir hubungan antara suatu penyebab dan dampak (effect)
dari dua kejadian, sementara itu pemikiran ekologis (ecological
thingking) menuntut bahwa pekerja sosial untuk memahami
timbal-balik interaksi dari seseorang dalam lingkungannya.
Dalam pemikiran logis, A menyebabkan B, dan selesai. Dalam
pemikiran ekologis, A berdampak pada B, yang merubah B,

102
perubahan tersebut berbalik berdampak pada A, yang merubah
A, yang perubahan tersebut berbalik pada B dan begitu
seterusnya. Sebagai contoh, seorang ibu yang memandang
tantangan toilet training bagi anaknya yang berusia 2 tahun
sebagai tahap perkembangan yang normal dan tugasnya dapat
dipenuhi oleh anaknya menjadi relatif lebih mudah dan
menyenangkan, daripada bagi seorang ibu yang melihat
anaknya yang seringkali tidak konsisten dalam toilet training
sebagai perilaku menyimpang. Ibu ini melihat anaknya
bermasalah, sementara ibu yang pertama tidak. Jelas-jelas,
bahwa toilet training merupakan bagian dari pertumbuhan dan
perkembangan anak yang normal akan mampu menciptakan
lingkungan yang lebih mendukung bagi anak (good fit) untuk
memenuhi tugas kritis tersebut daripada ibu kedua yang
melihat anaknya yang berumur dua tahun kurang baik dalam
ber-toilet sebagai sebuah masalah kedisiplinan (bad fit). Setiap
respon ibunya akan membentuk perasaan anak akan dirinya
sendiri dan perasaan akan kompetensinya. Pengalaman
keberhasilan dalam membentuk lingkungan kita akan
menumbuhkan harga diri dan rasa kompetensi.

103
Dari perspektif pekerjaan sosial, kedua ibu tersebut
merupakan bagian dari lingkungan yang juga dapat
meningkatkan atau menghambat potensi perkembangan anak
mereka. Timbal balik hubungan antara individu dan
lingkungannya yang berarti bahwa sebagai individu, kita
bergerak dan membentuk sekitar kita, dan bahwa lingkungan
sekitar kita juga memberi dampak atau berpengaruh kepada
kita. Sebagai contoh, seorang ibu yang yang menghargai dan
mengenali kemampuan anak-anak mereka dalam saat toilet
training berdampak pada pikiran kompetensi dan harga diri si
anak. Sebagaimana juga seorang anak merespon dengan
bangga kemampuan menyelesaikan tugasnya, si ibu merasakan
pula kompetensi peranan dirinya sebagai seorang ibu. Baik si
ibu maupun si anak saling membentuk rasa nyaman atau
menyenangkan. Sebaliknya, bagi si ibu yang melihat toilet
training sebagai masalah kedisiplinan dan meresponnya
dengan hukuman dan kemarahan, hal yang sama
mempengaruhi perasaan harga diri anaknya. Si anak mungkin
akan meresponnya dengan ketakutan, bingung, dan merasa
tidak nyaman ketika berupaya memenuhi tuntutan ibunya.
Kesalahan atau kegagalan anak dalam toilet training patut
diduga merupakan bukti ketidaksesuaian peran yang dilakukan

104
si ibu. Dalam kedua kasus tersebut, anak dan ibu saling
berkontribusi pada tingkat ketegangan atau kebahagiaan
mereka yang mereka alami saat melakukan tugas toilet training
dan berperan sebagai seorang ibu. Dalam kotak berikut, akan
dikemukakan secara singkat pusat dari konsep-konsep penting
untuk memahami perspektif ekologis dalam mengkaji goodness
of fit antara seseorang dan lingkungannya.

Tabel 2:Konsep-Konsep Perspektif Ekologis


Person: Environment Fit: Hubungan antara seorang individu atau
kelompok dan lingkungan fisik serta sosial dalam konteks historis dan
budaya. Ketika lingkungan mendukung pertumbuhan dan kesehatan, dengan
demikian ‘good fit’ antara orang dan lingkungan adalah ada.

Adaptation: perubahan internal atau eksternal dari diri atau sesuatu


lingkungan yang memelihara atau meningkatkan goodness of fit antara
seorang individu dan lingkungan.

Life Stressors: peristiwa atau isu-isu kehidupan kritis yang mengganggu


goodness of fit antara seorang individu dan ingkungan. Isu-isu umum
tersebut termasuk kejadian-kejadian traumatik, seperti kehilangan
seseorang, pekerjaan, atau kesehatan; transisi kehidupan penting seperti
pernikahan, perceraian, atau pensiun; isu-isu besar yang merusak goodness
of fit dan selalu terbawa pada kehidupan lain sepertihalnya kemiskinan dan
penindasan

Stress: Suatu respon internal terhadap stressors kehidupan yang


menimbulkan emosi negatif seperti rasa salah, cemas, depresi, kehilangan,
atau takut, dan hasil dari diri perasaan seseorang yang kurang kompeten,
menghasilkan suatu rendahnya level kedekatan, harga diri, dan arah diri.

105
Coping Measures: Perilaku individu yang berinisiasi untuk merespon
stressors kehidupan dengan cara memperbaiki atau memperkuat hal-hal
baik antara individu dan lingkungan.

Relatedness: Suatu kemampuan untuk membentuk kedekatan/ keeratan


dengan teman, keluarga, mitra kerja, dan tetangga dan memelihara rasa
kepemilikan atas dunia.

Competence: Manakala individu diseediakan peluang-peluang untuk


membentuk lingkungannya dari sejak bayi, mereka akan memiliki peluang
untuk membangun keberhasilan. Pengalaman-pengalaman keberhasilan
yang diperoleh akan menyediakan suatu perasaan kompetensi (kemampuan)
pada pembentukan dan mengelola lingkungannya.

Self-Esteem: Mewakili suatu asesmen diri sebagai penghormatan akan cinta


dan penghargaan. Orang dengan harga diri tinggi merasa lebih mampu,
bernilai, dan dihargai. Pada orang yang harga dirinya rendah memahami
dirinya secara tidak sesuai, tidak dapat dicintai, rendah diri dan tak
dihormati, serta seringkali mengalami depresi. Bagaimana kita merasakan
diri kita sendiri secara mendalam sangat dipengaruhi oleh pemikiran dan
perilaku.

Self-Direction: Kapasitas untuk membuat putusan, mengendalikan


kehidupan diri dan menyalurkan hasrat di jalurnya, ketika diberi tanggung
jawab untuk membuat keputusan dan mengatur kehidupan dengan tetap
menghormati hak-hak dan kebutuhan orang lain. Kemampuan untuk
mengarahkan diri sangat berkaitan erat dengan perasaan berdaya (power)
dan tidak berdaya (powerless). Jika seorang individu tidak diberi peluang
untuk membuat keputusan dan mengarahkan hidup mereka sendiri, mereka
akan merasa tidak berdaya dan pengelolaan dirinya lemah. Hidup dalam
kondisi tertekan/ tertindas membuat orang lain merebut keberdayaan
mereka dan dapat mempengaruhi kemampuan mereka mengelola diri.

Habitat: Merujuk pada sifat dan lokasi dari wilayah ‘home’ seseorang atau
tempat yang membuat mereka paling home. Beberapa istilah yang seringkali
diterapkan berkaitan dengan habitat yaitu nesting place, home range, atau
territory. Untuk kebutuhan manusia termasuk pemukiman, sekolah, tempat
kerja, atau tempat main, dan perilaku-perilaku orang dengan spacenya.

106
Niche: Posisi atau rangkin sosial dalam suatu masyarakat, atau status yang
dipegang dalam keluarga, dengan para pekerja atau dalam masyarakat.
Sebagai contoh, seorang lelaki mungkin menjadi pemimpin keluarga, boss
di tempat kerja, dan seorang penjaga keamanan lokasi hiburan, semuanya
mengindikasikan level tinggi dari status lintas habitat. Sebaliknya, seorang
lelaki mungkin tidak berkeluarga, tidak bekerja, dan gelandangan di
masyarakat, semuanya menunjukkan status rendah lintas habitat.
Sumber: German & Gitterman, 1997

Pusat perhatian dari model ekologis adalah


mengartikulasikan transisi permasalahan-permasalahan dan
kebutuhan-kebutuhan individu, keluarga, dan kelompok kecil.
Sekali permasalahan dan kebutuhan tersebut terindentifikasi,
pendekatan intervensi akan dipilih dan diterapkan untuk
membantu individu, kelompok, dan keluarga tersebut
mengatasi permasalahan transisi dan pemenuhan
kebutuhannya. Dalam contoh-contoh sebelumnya model
ekologis juga fokus pada permasalahan maladaptive dan
kebutuhan interpersonal. Juga berupaya mengartikulasi proses-
proses komunikasi maladaptive dan pola-pola relasi keluarga
dan kelompok yang disfungsional.

C. Life Model Praktek Pekerjaan Sosial

Sebagai respon terhadap kebutuhan perubahan praktek di tahun


1970-an, Germain dan Gitterman (1997) mengembangkan

107
sebuah metode praktek yang menerapkan konsep-konsep
perspektif ekologis dalam suatu pendekatan praktek. Berbeda
dengan pendekatan populer lainnya yang lebih menitikberatkan
pada kelemahan seseorang, pendekatan ini lebih menekankan
pada pemodelan interaksi dalam hubungan praktek seputar
proses kehidupan dan fokus pada kekuatan klien. Tujuan dari
life model tidak menyediakan tindakan remedial, tetapi lebih
pada:

• Mendukung potensi-potensi kesehatan, pertumbuhan


dan ekspresi seseorang;
• Melakukan perubahan terhadap lingkungan yang akan
lebih mendukung dan memelihara pertumbuhan dan
kesejahteraan; dan
• Meningkatkan the person:environment fit (Germain &
Gitterman, 1997)

Penerapan the life model membimbing praktek para praktisi


dalam melakukan asesmen life stressors, stress dan coping
mechanisms dalan diri klien, dan mengupayakan pemanfaatan
intervensi yang memperbaiki atau meningkatkan keeratan, self-
esteem, dan self-direction. Sasaran-sasaran khusus dalam
rangka mencapai mencapai tujuan yang lebih besar tersebut

108
disebutkan dan dibangun bersama dengan klien. The life model
mendasarkan prinsip-prinsip pemberdayaan serta secara khusus
juga sensitif terhadap kan konteks budaya, fisik, dan sosial.
Aspek-aspek pemberdayaan merupakan pusat dari life model
ini, yang di dalamnya terdiri dari:

• Klien dan pekerja sosial sebagai mitra perubahan;


• Mengakui klien sebagai ahli akan kehidupannya; dan
• Sensitif pada perbedaan kekuatan dalam hubungan
klien/pekerja sosial (Germain & Gitterman, 1997)

Terbangunnya hubungan kerja antara klien dan pekerja sosial


dengan prinsip-prinsip praktek pemberdayaan akan mendorong
peningkatan akses klien kepada kekuatan personal dan
selanjutnya akan meningkatkan harga dirinya. Ketika klien
telah mampu mengalami efektivitas hubungan dengan
lingkungannya, maka akan tumbuh perasaan kompetensi,
mendukung kemampuan decision-making yang memberi arah
pada kehidupan klien (Germain & Gitterman, 1996).

109
D. Asesmen Person-In-Environment (PIE) dan Sistem
Klasifikasi

Tahap terdepan dan lebih maju yang lebih terstruktur dan


seragam adalah penerapan dari perspektif the person-in-
environment (PIE) yang mewakili perspektif ekologis dan teori
sistem adalah pengembangan PIE assessment dan sistem
klasifikasi (classification system) di tahun 1980-an. Sistem
tersebut dikembangkan oleh satuan tugas NASW dalam
merespon dua hal. Pertama, sistem klasifikasi model medis the
Diagnostic Statistial Manual (DSM) yang telah banyak
digunakan dalam pelayanan kemanusiaan, namun dalam sistem
tersebut faktor-faktor lingkungannya masih terbatas dalam
memahami perilaku manusia, sehingga membatasi para praktisi
pekerja sosial dalam analisisnya tentang faktor-faktor
lingkungan yang berkontribusi terhadap permasalahan klien.
Kedua, evolusi teori sistem, perspektif ekologis, dan the Life
Model Practice yang memunculkan kebutuhan akan practice
tool untuk implementasi kontruksi kerangka teoritis dari the
person-in-environemnt (Karls & Wandrei, 1997).

Sistem PIE digunakan oleh para praktisi untuk


mengases keberfungsian klien dalam lingkungannya, dan

110
menyebutkan kesulitan-kesulitannya, demikian pula dengan
kekuatan-kekuatannya. Fokusnya pada keberfungsian
(function) dan ketidakberfungsian (dysfunction) atau
keseimbangan (balance) dan ketidakseimbangan (imbalance)
antara orang dan lingkungannya. Keberfungsian sosial
diidentifikasi dan diilustrasikan dalam istilah-istilah social role
performance (memenuhi/ memerankan peran-sosial). Social
role performance dipahami sebagai suatu kemampuan untuk
memenuhi harapan-harapan peran lintas multi peran dari
kehidupan klien. Sistem PIE menyediakan suatu cara untuk
menganalisa kompleksitas kehidupan klien termasuk aspek
biologis, psikologis, fisik dan sosial. Ini merupakan gambaran
terbaik sebagai metode untuk memahami keseluruhan
permasalahan yang kompleks. Sistem klasifikasi deskriptif ini
terdiri dari empat faktor dimana praktisi pekerja sosial
melakukan asesmen. Dalam melakukan asesmen, pekerja sosial
mengidentifikasi dan menggambarkan fungsi sosial klien atas
empat faktor tersebut.

111
Tabel 3 PIE System Factors
FACTORS I: Permasalahan klien dalam keberfungsian
sosial, dan juga kapasitas klien dalam
mengatasi permasalahan
FACTORS II: Permasalahan yang muncul dari lingkungan
klien yang berdampak pada keberfungsia
sosial klien
FACTORS III: Beberapa masalah kesehatan yang
mengganggu keberfungsian klien; dan
FACTORS IV: Beberapa masalah fisik

Sumber: Karls & Wandrei, 1994

Sistem PIE akan menghasilkan suatu pernyataan


deskriptif dan pengkodean permasalahan keberfungsian sosial
dan lingkungan klien. Intervensi pekerjaan sosial tepat
manakala asesmen PIE membuka upaya perbaikan
keberfungsian peran dalam klien dan lingkungan yang
berdampak negatif pada keberfungsian sosial klien. Kesulitan-
kesulitan yang dialami dan lama waktu dari ketidakberfungsian
klien juga patut dicatat merupakan keterampilan-keterampilan
coping klien. Kode-kode penugasan yang menunjukkan kondisi
lintas 4 (empat) faktor, memunculkan bahasa praktek yang
sama tentang komunikasi lintas setting lembaga dan para
praktisi (Karls & Wandrei, 1994). Masing-masing faktor

112
mengkaji dimensi yang berbeda dari kehidupan klien, dan
setiap dimensi merujuk pada sebuah ‘axis’. Sebagai contoh,
sebuah asesmen terhadap faktor I akan menghasilkan kode axis
I dan gambaran dari kemampuan klien untuk berfungsi dalam
peran-peran kehidupan mereka, asesmen faktor II
memunculkan sebuah kode dan gambaran tentang orang atau
kejadian dalam suatu lingkungan klien yang mengganggu
keberfungsian klien, dan ini dikenal sebagai axis II; faktor II
mengases status kesehatan mental klien sepanjang axis III
menggunakan DSM IV, dan faktor IV atau kode dan gambaran
axis IV merefleksikan tantangan-tantangan fisik dari klien.

Signifikansi dari sistem klasifikasi PIE yaitu bahwa


kondisi tersebut berhubungan dengan pengembangan konsep,
teori dan model-model pekerjaan sosial dengan praktek
pekerjaan sosial melalui penyediaan sebuah tool praktek
asesmen. Harapannya, dengan semakin mengenali dan akrab
dengan model ini akan semakin mengarahkan pemanfaatan
asesmen kontekstual yang makin sering dalam praktek, serta
setidaknya mengurangi asesmen yang terlalu fokus pada
kekurangan individual.

113
E. Perspektif Kekuatan
Perspektif kekuatan dari praktek pekerjaan sosial muncul
mengalir dari nilai-nilai keprofesian yang di dalamnya terdapat
nilai-nilai penghormatan, harga diri manusia, dan penentuan
hak diri sendiri (self-determination). Penempatan nilai-nilai
tersebut ke dalam aksi menuntut bahwa kita menyakini
terdapatnya sisi kekuatan di setiap kehidupan manusia dan
kemungkinan untuk selalu berubah. Kekuatan-kekuatan klien
menjadi sumber perubah sehingga akan bergerak untuk
tumbuh, ahli, dan mampu beraktualisasi diri (self-actualization)
(Miley, et. al., 2001).

Satu aspek penting dari perspektif kekuatan adalah bahwa


perspektif ini memberi praktisi pekerjaan sosial suatu kerangka
alternatif untuk berpraktek sebagai model yang melawan model
deficit (kekurangan) yang telah mendominasi perspektif
pelayanan manusia (Saleebey, 1992). Seringkali kita jumpai
para pekerja sosial yang menemukan dirinya sendiri berpraktek
dengan model medikal yang lebih fokus pada penyembuhan
dan perbaikan kerusakan, sifatnya lebih pasif. Jika para pekerja
sosial tidak dipersenjatai dengan karangka teoritis yang
menekankan pada kekuatan pada diri individu, keluarga, dan

114
komunitas, maka akan mudah bagi pekerja sosial tergelincir ke
dalam model praktek kelemahan (a deficit). Berikut ini
perbandingan antara model pathology (terdapat dalam model
medikal) dengan model kekuatan.

Tabel 4: Asumsi Perspektif Kekuatan


1. Setiap orang memiliki kemampuan, kapasitas, bakat dan
kompetensi khusus;
2. Manusia memiliki kapasitas untuk tumbuh dan berubah;
3. Trauma dalam kehidupan mungkin membawa dampak negatf
pada kehidupan manusia, tetapi juga memberikan sumber-
sumber untuk tumbuh;
4. Batas teratas dari kemampuan orang untuk tumbuh dan
mengalami kesulitan adalah tidak diketahui dan tidak dapat
diketahui;
5. Permasalahan tidak berada dalam diri seseorang, tetapi terjadi
dalam transaksi di dalamnya dan lintas sistem;
6. Orang-orang adalah ahli dalam kehidupannya sendiri;
7. Teman-teman, keluarga, dan masyarakat adalah sumber-sumber
kolam kehidupan bagi seseorang, sehingga hal tersebut dapat
disediakan;
8. Fokus pada pertumbuhan di masa depan;
9. Keahlian dan kompetensi akan tumbuh secara baik melalui
sebuah proses dukungan yang baik; dan
10. Orang umumnya mengetahui mengenai apa yang akan
membantu dan yang tidak membantu pada kehidupan yang
dihadapinya.
Sumber: Miley, O’Melia, DuBois, 2001; Sheafor & Horejsi, 2003

115
Tabel 5: Perbandingan dari Perspektif Deficits and Strengths
Perspektif Deficit Perspektif Strength
Gejala-gejala kumulatif = Keunikan, kemampuan, bakat,
diagnosis sumber-sumber individu =
kekuatan
Fokus Intervensi pada diagnosis Fokus intervensi pada
‘problem’ kemungkinan-kemungkinan
Pratisi meragukan cerita klien Praktisi memandang klien
dan bertindak sebagai ‘ahli’ pada sebagai ahli dalam kehidupannya
kehidupan klien dan menjadi seseorang yang
mengetahui dari sisi luar
Permasalahan orang dewasa Trauma masa kanak-kanak tidak
berakar dari trauma masa kanak- memprediksi kejadian kehidupan
kanak di masa mendatang

Treatment diarahkan melalui Intervensi diarahkan melalui


sebuah rencana treatment yang aspirasi klien
dibuat oleh praktisi
Kemungkinan-kemungkinan Kemungkinan-kemungkinan
klien dalam kehidupannya hidup terbuka
dibatasi oleh pathology-nya
Sumber-sumber untuk kegiatan Sumber-sumber kegiatan terapis
terapis ada dalam pengetahua ada dalam diri klien, keluarga,
dan keterampilan praktisi masyarakat
Kegiatan terapis fokus pada Kegiatan terapis fokus pada
pengurangan symtomology dan bergeraknya klien ke masa depan
dampak negatifnya pada klien kehidupannya dengan
kemungkinan-kemungkinan dan
visi kehidupannya
Diadaptasi dari D. Saleebey’s Comparison of pathology and
strengths. Sumber: Saleebey, 1996.

116
Ketika menggunakan perspektif kekuatan dalam praktek, para
pekerja sosial juga memanfaatkan seluas mungkin prinsip-
prinsip, gagasan, keterampilan dan teknik-teknik praktek untuk
mendukung dan memperoleh sumber-sumber klien dan dalam
lingkungan mereka menginisiasi perubahan, menggerakkan
proses perubahan, dan memelihara perubahan tersebut
berlangsung (Miley et al., 2001)

Agar mampu mengintervensi dari perspektif kekuatan


secara efektif, pertama-tama para praktisi harus mengujinya
sendiri perspektif yang mendasarinya dan mampu
mengemukakannya dengan membahasakan permasalahan-
permasalahan (dalam perspektif kekuatan) yang ada di
masyarakat. Apakah Anda (pekerja sosial) benar-benar
mempercayai bahwa orang memiliki kekuatan dan kemampuan
untuk mengelola hidupnya secara positif, atau Anda yakin
mereka tidak berdaya dan perlu diperbaiki? Perspektif Anda
akan terkomunikasi melalui bahasa Anda. Apakah melihat
seseorang yang bermasalahan punya masalah atau tantangan
ketika sedang mengalami kesulitan? Masalah memiliki sifat
demoralisasi, membuat kita merasa bersalah, dan umumnya
membuat mental kita runtuh. Tantangan dapat dilihat sebagai

117
peluang-peluang untuk tumbuh dan menginspirasi untuk
mendorong sumber-sumber kita secara internal dan eksternal
untuk memenuhi tantangan dan mencapai tujuan-tujuan kita.

Ketika anda melihat perilaku yang tidak biasa, apakah


anda melihatnya sebagai penyakit (pathology) atau kekuatan?
Ketika pekerja sosial fokus pada patologi sebagai pusat
perhatiannya dalam bekerja dengan klien, hal ini akan
membatasi kemampuannya untuk melihat kekuatan yang
melekat pada diri kien atau penggunaan teknik dalam proses
pertolongannya akan menutupi kekuatan kliennya. Saat
mendisain intervensi, apakah fokus pada apa yang tidak
dilakukan di masa lalu atau menciptakan sesuatu di masa
depan? Perspektif akan masa ‘lalu’ dalam asumsi penanganan
tentang kejadian masa lalu yang menyebabkan klien tidak ‘OK’
saat ini. Bergeser penekanan dari pandangan masa ‘lalu’ ke
pemanfaatan kekinian dalam mengeskplorasi sumber-sumber,
opsi-opsi dan perencanaan untuk harapan di masa mendatang.
Bergesernya fokus pekerjaan sosial dari kini dan masa depan
akan memiliki kekuatan melepaskan masa lalu dan melepaskan
asumsi-asumsi negatif mengenai diri sendiri yang membuat
kita terjebak di dalamnya. Dennis Saleebey (2001),

118
menangkap peluang tantangan dalam transisi menuju suatu visi
kekuatan dalam prakteknya, dengan menyatakan sebagai
berikut:

We are not asking you to forget the problems and pains that
people may bring to your doorstep. Rather, we are asking
that you honor and understand those dilemmas, and that you
also revise, fill out, expand, illuminate your understanding
with the realization that the work to be done, in the end,
depends on the resources, reserves, and assets in and aorund
the individual, family or community (p.221)

Penerapan perspektif kekuatan menuntut para praktisi


pekerjaan sosial untuk melakukan reorientasi kerangka berfikir
atau perspektif kekurangan/kelemahan atau patologi menuju
perspektif kekuatan atau peluang kemungkinan. Tentunya
sebagai pekerja sosial, tidak begitu saja mengabaikan masalah,
tetapi fokusnya pada kekuatan klien (Sheafor & Horejsi, 2007).
Dalam berinteraksi dengan klien, pekerja sosial harus bertanya
kepada diri sendiri, apakah yang dilakukan oleh mereka benar?
Apa keterampilan hidup dia dalam menghadapi tantangan
hidupnya? Sumber-sumber apa dalam dirinya yang dapat
dimanfaatkan baginya? Sumber-sumber lain apa di dalam
keluarganya, teman-temannya dan komunitas yang dapat
memenuhi tantangan hidupnya dan menciptakan peluang bagi
masa depannya?

119
F. Empowerment-Based Practice Model

Pekerjaan sosial memiliki tradisi yang panjang dalam praktek


pemberdayaan. Dalam tahun-tahun belakangan ini, praktek-
praktek berbasis-pemberdayaan muncul dari kegiatan bersama
kelompok-kelompok masyarakat terpinggirkan, yang tidak
berdaya, yang minim akses terhadap sumber, serta peluang-
peluang untuk berkembang. Konsep kekuatan (power) dalam
konteks praktek pemberdayaan telah dijelaskan Gutierrez et el.
(1995) melalui 3 (tiga) cara:

1. The ability to get what one wants;


2. The ability to imfluence how others think, feel, act,
or believe;
3. The ability to imfluence the distribution of
resources in sosial systems such as family,
organization, community and society. (p.535)

Kekuatan yang digambarkan dengan cara tersebut


mengisyaratkan bahwa praktek intervensi akan membutuhkan
pelaksanaan kegiatan pada berbagai level praktek (multiple
level of practice) yaitu individu, keluarga, organisasi,
komunitas dan nasional; dan bahwa dimensi kekuatan
menekankan pada level personal, interpersonal, dan politis.
Untuk memperoleh kekuatan adalah dengan menjalaninya

120
sebagai pemikiran pengendalian atas kehidupan dan perasaan
kompetensi. Individu yang mengalami perasaan kompetensi
kekuatan internal dalam kemampuannya maka akan mampu
mengelola hidupnya sendiri, mengakses sumber-sumber sesuai
sistem kebutuhannya dan berkontribusi bagi masyarakat dan
sumber-sumber sistem. Ketika seseorang memiliki kekuatan
interpersonal, akan mampu mempengaruhi orang lain dan
mengetahui bahwa dirinya sendiri efektif dalam berinteraksi
dengan lainnya serta dihormati oleh lainnya (Miley et al.,
2001). Ketika orang mengalami kekuatan politis, interaksinya
dengan lingkungan lainnya menghasilkan akses terhadap
sumber dan mengendalikan sumber tersebut.

Mengaktivasi kekuatan internal klien menuntut para


pekerja sosial yang mampu memahami konteks kehidupan
klien (person-in-environment) dan menerima klien sebagai
sumber kekuatan latent yang harus dibangunkan dan
dibangkitkan (strengths perspetive). Membantu klien untuk
mencapai kekuatan personal, interpersonal, dan politis
sehingga menuntut praktisi pekerjaan sosial yang mampu
berkolaborasi dengan klien dan membantunya dalam
membangun intervensi pada level individu, keluarga, dan

121
komunitas. Kegiatan para praktisi pekerja sosial adalah
mengakui, memudahkan, dan mendukung klien berhubungan
dengan kekuatan internalnya (resource) dan menggerakkan
kekuatan tersebut secara lintas sistem dengan cara
meningkatkan keahliannya melalui pembentukkan lingkungan
yang sesuai dengan apa yang dia harapkan. Pekerja sosial
berupaya mencari cara untuk meningkatkan ‘rasa’ kompetensi
mereka dan kemampuan mereka agar berupaya membangun
relasi secara efektif. Pada akhirnya, membangun klien dengan
mengidentifikasi cara-cara untuk memperoleh dan
berkontribusi terhadap sumber-sumber masyarakat. Untuk
melakukan hal tersebut, fokus prakteknya harus menekankan
pada potensi-potensi dan daya lentur (resiliencies) klien, dan
meminimalisasi kerentanan klien (Miley et al., 2001)

G. Perspektif Generalis

Tujuan dari perspektif ini adalah untuk memastikan bahwa


pekerja sosial akan melakukan pendekatan kepada setiap klien
dan situasi dengan menggunakan berbagai model, teori,dan
teknik, serta akan mempertimbangkan intervensi pada beberapa
level (ranah), dari mikro hingga makro.

122
Perspektif generalis merupakan suatu cara berfikir
mengenai praktek yang paling relevan dan paling dibutuhkan
mulai sejak fase awal dari proses pertolongan, saat masalah
tersebut telah jelas batasannya dan ditelaah serta keputusan
telah dibuat tentang perubahan apa yang dibutuhkan dan
pendekatan apa yang diperlukan. Perspektif ini memandu
langsung pekerja sosial untuk mengidentifikasi beberapa poin
kemungkinan dan level intervensi dan untuk selanjutnya
memilih satu atau sesuatu yang paling tepat dan yang paling
memungkinkan (feasible) pelaksanaannya.
Praktek pekerjaan sosial telah digambarkan sebagai
inherently generalist (Landon and Feit 1999). Menurut
American Heritage Dictionary, seorang generalis adalah “a
person with broad general knowledge and skiils in several
disciplines, fields, or areas”. Jadi istilah praktek generalis dan
pekerja sosial generalis merujuk pada seorang praktisi pekerja
sosial yang memiliki keluasan pengetahuan dan keterampilan,
yang diperoleh dari berbagai perspektif, teori, dan model, serta
yang mampu bergerak dari kesulitan-kesulitan minimal dari
satu bidang praktek ke bidang praktek berikutnya. Lawannya
dari praktek generalis adalah sesuatu yang dicirikan oleh
spesialisasi, juga dicirikan dengan jenis klien yang dilayaninya,

123
dengan metode yang digunakannya, dengan level
intervensinya, atau dicirikan oleh asumsi utama pekerja sosial.
Para pekerja sosial menggunakan perspektif generalis
agar mampu mengidentifikasi dan fokus pada berbagai faktor
yang berkontribusi terhadap masalah keberfungsian sosial.
Termasuk di dalamnya konflik-konflik nilai dan kepercayaan;
keretakan hubungan, pemikiran terdistorsi; kurangnya
pengetahuan dan informasi; pola-pola individual dan keluarga
yang destruktif; keterasingan dan kesepian; penindasan,
ketidakadilan, dan rasisme; kemiskinan dan minimnya
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar; penyalahgunaan
kekuasaan atau kewenangan; salah urus atau tidak berjalannya
program dan kebijakan; dan seterusnya.
Pekerja sosial generalis dipersiapkan untuk terlibat dan
bekerja dengan berbagai sistem klien—seperti individual,
kelompok yang dibentuk untuk tujuan khusus seperti terapi
atau dukungan sosial; kepanitian atau kelompok satuan tugas;
organisasi formal seperti badan pelayanan atau sebuah jaringan
badan pelayanan; dan para legislator dan pembuat kebijakan.
Selanjutnya para pekerja sosial dipersiapkan untuk melakukan
berbagai peran pekerja sosial---sebagai contoh, advocate, case
manager, counselor atau therapist, group facilitator, broker

124
dari pelayanan, fund raiser, program planner, policy analyst,
dan researcher. Pekerja sosial generalis diharapkan mampu
membingkai dan menyesuaikan pendekatannya yang akan
diterapkan dengan keunikan situasi dan permasalahan klien
serta karakteristik masyarakat lokal, daripada mengharapkan
klien agar menyesuaikan dengan profesional dan badan
pelayanan sebagai cara meresponnya.
Schatz, Jenkins, and Sheafor (1990, 223)
mengidentifikasi ada 4 (empat) karakteristik paling jelas yang
mencirikan perspektif generalis, yaitu:
1. A multidimensional orientation that emphasizes an
interrelatedness of human problems, life situation,
social condition.
2. An approach to assessment and intervention that ideas
from many different practice frameworks and considers
all possible action that might be relevant and helpful to
client.
3. Selection of intervention strategies and worker roles
are made primarily on the basis of client’s problem,
goal, situation, and size of the systems that are targeted
for change.

125
4. A knowledge, value and skill base that is transferable
between and among diverse contexts, locations, and
problems.

Dengan melihat 4 (empat) karakteristik tersebut, nampaknya


sebagian besar insititusi pendidikan pekerjaan sosial di
Indonesia telah mempersiapkan mahasiswa untuk level sarjana,
sebagai pekerja sosial generalis.

126
6 PENUTUP

Sangatlah jelas bahwa basis pengetahuan pekerjaan sosial


hasruslah banyak dan luas, yang setiap saat terus berkembang
dan berubah. Namun hal terpenting yang perlu ditekankan bagi
para pekerja sosial adalah, bahwa pada kenyataanya tidak
semua pengetahuan itu harus dikuasai, sesuaikan saja dengan
bidang garapan masing-masing pekerja sosial. Oleh karena itu,
basis pengetahuan apa kiranya yang secara realistis seharusnya
dikuasai oleh para pekerja, kiranya dapat dipandu dengan poin-
poin berikut:

• Sebuah pemahaman dasar. Para pekerja sosial tidak


harus menjadi ahli di semua bidang pengetahuan, tetapi
secara realistis diharapkan menguasai setidaknya
pengetahuan dasar.
• Sebuah kesadaran untuk mengatakan, saya tidak tahu.
Jika kita tidak mengetahui segala hal, jangan berpura-
pura untuk bertindak seolah kita tahu. Kita mungkin
merasa malu atau tidak siap untuk mengatakan tidak
tahu. Tetapi ini bukan pertanda kelemahan atau

127
kesalahan, tetapi lebih dari itu, sebaliknya akan lebih
membantu dan merupakan pengakuan konstruktif untuk
mengakui keterbatasan kita.
• Akses untuk pengetahuan selanjutnya. Jika mengalami
keterbatasan akan suatu isu atau persoalan yang tidak
tahu bagaimana alternatif solusinya, maka banyak
sumber di sekitar kita yang dapat dijadikan sumber
informasi untuk membantu memberi pengetahuan
kepada kita. Oleh karena itu kenali sumber-sumber
potensial yang ada di sekitar kita, bisa atasan, manajer,
kolega, perpustakaan, internet dan seterusnya.
• Selalu bersikap terbuka untuk belajar. Jangan pernah
puas dengan situasi yang rutin, monoton, mekanistis,
dan tanpa pembaruan; sebab akan berbahaya di
kemudian hari. Lakukan pembaruan dengan menambah
pengetahuan, cara-cara baru yang mungkin lebih efektif
dan banyak manfaatnya.
• Mampu selektif. Tidak mungkin semua pengetahuan
dan keterampilan dipergunakan setiap saat, oleh karena
itu pekerja sosial perlu mengembangkan keterampilan
untuk menentukan elemen pengetahuan mana yang
reevan dengan aspek praktek.

128
• Praktek reflektif. pengetahuan cenderung dilupakan jika
kita tidak menggunakannya; atau bahkan lupa sama
sekali. Oleh karena itu, penting bagi para pekerja sosial
merefleksikan pengetahuan pada praktek sehingga
pengetahuan tersebut akan terus berkembang dan hidup
serta bernilai.

Pengalaman-pengalaman praktek dan komitmen untuk terus


mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang
diperlukan, tidak saja memberikan kontribusi penting bagi
praktek pekerjaan sosial, tetapi juga akan memberikan dan
menjadi sumber kesenangan, kebahagiaan, dan kepuasan kerja.
Perkembangan permasalahan sosial di Indonesia sudah
sedemikan kompleks, mengingat hal ini berkait dengan
kemerosotan nilai-nilai moral dan mental pada hampir lapisan
masyarakat. Sebagian masyarakat cenderung ‘apatis’ dengan
program-program yang berasal dari ‘pusat’, walaupun itu
merupakan program pemberdayaan atau bantuan bagi mereka.
Namun masyarakat, dengan kecerdasannya yang telah
meningkat, memahami bantuan atau program pemberdayaan

129
tersebut hanya untuk kepentingan menaikan citra sekelompok
etit pemerintahan.
Sementara itu keberhasilan, terobosan-terobosan yang
dilakukan oleh masyarakat dalam mengatasi permasalahan
sosialnya secara mandiri, kurang dihargai oleh pemerintah.
Kalau terdapat pengakuan oleh pemerintah, ujung-ujungnya
untuk menaikan sekelompok atau sektor tertentu, bahkan
dengan tidak malu mengakui keberhasilan masyarakat tersebut
sebagai keberhasilan pemerintah.
Masyarakat harus tetap didorong untuk terus
mengembangkan terobosan-terobosan baru, yang kreatif,
inovatif, dan berani dalam mengatasi berbagai permasalahan
sosial di Indonesia. Demikian pulan Profesi Pekerjaan sosial
perlu mengembangkan cara-cara yang kreatif dan inovatif
untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial, dengan tetap
membangun jejaring seluas mungkin. Jiwa kewirausahaan
sosial (social entrepreneurship) kiranya dapat menjadi
semangat baru, pendekatan baru dan terobosan baru, di tengah
situasi keterbatasan pemerintah dalam meningkatan
kesejahteraan sosial bangsanya. Para pekerja sosial di seluruh
pelosok Indonesia harus menyakini bahwa profesi ini
merupakan profesi pertolongan yang mulia dan terhormat,

130
karena memang profesi terlahir untuk membantu masyarakat
dengan cara-cara yang profesional berbasiskan ilmu,
pengetahuan, dan nilai-nilai. Sehingga sudah merupakan
amanah dan prinsip bagi para pekerja sosial untuk terus
mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan pendekatan-
pendekatan sesuai dengan perkembangan sosial
masyarakatnya. Insya Allah, wallohualam

-------------

131
PUSTAKA

Ashford, J., Lecroy, C., & Lortie, K. (2006). Human Behavior in The
Social Environment. Pasific Grove, CA: Brooks/Cole
Barker, Robert, L. (1995). The Social Work Dictionary, 3rd Ed.
NASW Press: Washinton DC.
Compton, B.R, & Galaway, B. (1989). Social Work Processes, 4th.
Wadsworth Publishing Company: Belmont, California.
Cummins, L; Sevel, J; & Pedrick, L. 2006. Social Work Skill
Demonstrated, 2nd Edition. Boston: Pearson Education, Inc.
Beckett, J.O. & Johnson, H.C. (1997). Human Development. Dalam
National Association of Social Works’s Encyclopedia of
Social Work (19th Ed.). Washinton DC: NASW Press.
Germain, C.B., & Gitterman, A. (1997). Ecological Perspective. In
National Associatioan of Social Worker’s, Encyclopedia of
Social Work (19-th ed.). Washindon DC: NASW Press.
Gutierrez et al., (1995). Understanding Empowerment Practice:
Building on Practitioner-Based knowledge. Family in
Society, 76 (9), 534-542.
Karls, J.M, & Wandrei, K.E. (1997). Person in environment. In
National Association of Social Worker’s Encyclopedia
os Social Work (19th Ed.). Washinton DC: NASW
Press.
Landon, Pamela and Feit. (1999). Generalist Social Work
Practice. Dubuque, IA: Eddie Bowers Publisher
Mattaini, Mark A. (1995). Knowledge for Practice. Dalam Mayer &
Mattainni, 19995, The Foundation of Social Work Praktice.
NASW Press: Washinton DC.

132
Miley, K.K., O’Melia, M. & Du Bois, B. (2001). Generalist social
work practice: An empowering approach. Boston, MA:
Allyn & Bacon.
Minahan, A (1981). Purpose and Objectives of Social Work
Revisited. Social Work, 26, 5-6.
National Association Of Social Workers (1997). Encyclopedia of
Social Work (19th Ed.) Washinton DC: NASW Press
Payne, Malcom. (2014). Modern Social Work Theory. Lyceum
Saleebey, D., (2001). Practicing the Strength Perspective:
Everyday Tools and Resources. Families in Society, 82
(3), 296-305.
Schatz, Jenkins, and Sheafor. (1990). “Milford Redefined: A
Moel of Initial and Advanced Generalist Social Work.
Journal of Social Work Education 26 (fall 1990): 217-
231
Sheafor, B,W, Horejsi C, R, & Horejsi, G, A .(2007).
Techniques and Guidlines for Social Work Practice,
6th. Ed.,. Allyn and Bacon: Boston
Thackeray, M.G, Farley, O.W, & Skidmore, R,A. (1994).
Introduction to Social Work, 6th Edition. Prentice Hall:
New Jersey.
Thompson, Neil. (2005). Understanding of Social Work. Palgrave
Macmillan, New York.
Turner, F. (1997). Social Work Practice: Teoritical Base, In National
Association of Social Worker’s Encyclopedia of Social Work,
19th Ed. Washinton DC: NASW Press.
Raharjo, S.T (2014). Assessment dan Wawancara, dalam Praktek
Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial. Unpad Press:
Jatinangor.

133
Wibhawa, B., Raharjo, ST., Budiarti, M. (2010). Dasar-dasar
Pekerjaan Sosial. Widya Padjadjaran: Bandung
Zastrow, C. (2003). The Practice of Social Work. Pasific Grove, CA:
Brooks/Cole Publishing Company

134
PENULIS
Santoso Tri Raharjo, lahir di Bandung Jumat 5 Februari 1971
dari pasangan Mishan dan Marinah. Penulis beragama Islam,
dan memiliki istri bernama Nurliana Cipta Apsari, dengan
dikaruniai dua orang putra Arya Muhammad Rafi Raharjo
dan Aslam Aulia Raharjo. Penulis beralamat di Puri
Cipageran Indah I Blok A-277, RT.01/RW.26 Kelurahan
Cipageran Kecamatan Cimahi Utara, Kota Cimahi. Alamat email:
santosotriraharjo@gmail.com.
Riwayat pendidikan penulis dimulai dari SDN Angkasa V Lanud
Sulaiman Bandung lulus tahun 1984, SMPN 8 (SMPN 1) Margahayu
Bandung lulus tahun tahun 1987, SMAN 4 Bandung lulus tahun 1990. Pada
tahun 1996 penulis menyelesaikan S-1 Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP-
Univeristas Padjadjaran, kemudian melanjutkan studi S-2 Sosiologi
Kekhususan Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia lulus tahun
2003, dan pada tahun 2013 menyelesaikan studi S-3 Sosiologi Universitas
Padjadjaran.
Riwayat pekerjaan penulis dimulai sejak tahun 1998 diterima
menjadi staf pengajar Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial. Tahun 2007-2011
pernah menjabat Kepala Laboratorium Kesejahteraan Sosial, dan sejak tahun
2011 dipercaya sebagai sekretaris Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP-
UNPAD. Selain itu penulis juga aktif sebagai anggota Dewan Pembina di
LSM Bahana Karya Insani. Penulis pernah memperoleh penghargaan
‘Satyalencana Kesetiaan 10 tahun’ dari Presiden RI tahun 2012
Beberapa karya penulis lainnya antara lain ‘No Nganggur No Cry’,
tahun 2009 (menulis bersama), Penerbit Oase Bandung; ‘Dasar-dasar
Pekerjaan Sosial’, tahun 2010 (menulis bersama), Penerbit: Mitra Padjadjaran
Bandung; ‘Social Enterprise, Social Entrepreneurship, and Corporate Social
Responsibility’, tahun 2011 (menulis bersama), Penerbit Mitra Padjadjaran;
‘CSR: Relasi Dinamis Antara Perusahaan dengan Masyarakat Lokal’, tahun
2015 Penerbit Unpad Press; ‘Pengantar Pekerjaan Sosial’(menulis bersama),
tahun 2015 Unpad Press. ‘Pekerjaan Sosial Generalis, Suatu Pengatar”, tahun
2015 Penerbit Unpad Press. “Keterampilan Pekerjaan Sosial, Dasar-dasar”,
tahun 2015 Penerbit Unpad Press.

1
Pekerjaan sosial adalah sebuah profesi yang
berlandaskan pengetahuan (perspektif, teori atau
model), sikap dan keterampilan sebagai syarat
keprofesian. Sehingga suatu praktek pertolongan
profesional sudah seharusnya berlandaskan pada
batang tubuh pengetahuan yang jelas. Inilah yang
membedakan secara jernih dan jelas dengan relawan
dan dermawan, yang membantu orang lain dengan
berlandaskan pada panggilan karitas, sikap saling
tolong, dan pilantropis semata. Namun di sisi lain,
lemahnya pemahaman dan penguasaan berbagai
perspektif-teori-model praktek pertolongan pekerjaan
sosial diantara para pekerja sosial itu sendiri
membuat profesi ini belum mampu berdiri dengan
‘tegak’ untuk mengatasi permasalahan sosial di
tengah profesi-profesi lainnya yang telah lama
berkembang. Penerapan pengetahuan (perspektif,
teori atau model) dalam penanganan masalah sosial
masih terbatas pada wilayah tertentu saja, atau masih
dalam komunitasnya, yang didalamnya sebagian
besar terdiri dari pendidik pekerjaan sosial, para
praktisi pekerjaan sosial, atau lembaga-lembaga
kesejahteraan sosial, termasuk kementerian sosial.
Para pekerja sosial seharusnya mampu menunjukkan
secara ‘khas’ dengan pembeda pendekatan pekerjaan
sosial (social work approach: baik pengetahuan,
keterampilan dan sikap profesional) ketika terlibat
2015

ISBN: 978-602-9238-85-3

9 7 8 - 6 0 2 - 9 2 3 8

Anda mungkin juga menyukai