Anda di halaman 1dari 33

Case report session

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

Disusun oleh :
dr. Fadilla Nofrade

Pembimbing :
dr. Skandinoviar, Sp.PD

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RSUD SUNGAI DAREH DHARMASRAYA

ANGKATAN KE IV PERIODE 2021-2022


BAB I
PENDAHULUAN
Menurut World Health Organitation (WHO) pada tahun 2012, jumlah
penderita PPOK mencapai 274 juta jiwa dan diperkirakan meningkat menjadi 400
juta jiwa di tahun 2020 mendatang dan setengah dari angka tersebut terjadi di
negara berkembang, termasuk negara Indonesia. Angka kejadian PPOK di
Indonesia menempati urutan kelima tertinggi di dunia, yaitu 7,8 juta jiwa.
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik
yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif
nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan
emfisema atau gabungan keduanya. Bronkitis kronik adalah kelainan saluran
napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun,
sekurang-kurangnya dua tahun berturut-turut, tidak disebabkan penyakit lainnya.
Emfisema suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga
udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Banyak
penyakit dikaitkan secara langsung dengan kebiasaan merokok dan salah satu
yang harus diwaspadai adalah PPOK. Angka kesakitan penderita PPOK laki-laki
mencapai 4%, angka kematian mencapai 6% dan angka kesakitan wanita 2%,
angka kematian 4%, umur di atas 45 tahun.

Data badan kesehatan dunia World Health Organization (WHO) dari


seluruh perokok di dunia, 84% (1,09 milyar orang) berada di negara berkembang.
Depkes RI (2004) melaporkan bahwa penduduk Indonesia hampir 70% telah
mulai merokok di usia anak-anak dan remaja. Kondisi ini menyebabkan mereka
akan sulit berhenti merokok dan membuat mereka mempunyai risiko yang tinggi
mendapatkan penyakit yang berhubungan dengan rokok pada usia pertengahan. Di
Amerika Serikat, PPOK mengenai lebih dari 16 juta orang, lebih dari 2,5 juta
orang Italia, lebih dari 30 juta di seluruh dunia dan menyebabkan 2,74 juta
kematian pada tahun 2000. Di Indonesia, PPOK menempati urutan kelima sebagai
penyakit penyebab kematian dan diperkirakan akan menduduki peringkat ke-3
pada tahun 2020 mendatang
Penyakit Paru Obstruksi Kronik yang biasa disebut sebagai PPOK merupakan
penyakit kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara di dalam saluran
napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Gangguan yang bersifat progresif ini
disebabkan karena terjadinya inflamasi kronik akibat pajanan partikel atau gas
beracun yang terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama dengan gejala utama
sesak nafas, batuk, dan produksi sputum. Sehingga PPOK berkorelasi dengan
jumlah total partikel yang telah dihirup oleh seseorang selama hidupnya. Merokok
merupakan faktor risiko utama dalam menyebabkan perkembangan dan
peningkatan PPOK. Di Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 4,8 juta penderita
PPOK. Angka ini bisa meningkat dengan semakin banyaknya jumlah perokok
karena 90% penderita
PPOK adalah perokok atau bekas perokok.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Penyakit Paru Ohstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru
kronik yang ditandai dengan hamhatan aliran udara di saluran napas yang
tidak sepenuhnya reversihel, hersifat progresif dan herhuhungan dengan
respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang heracun/ herhahaya,
disertai efek ekstraparu yang herkontrihusi terhadap derajat herat
penyakit.1

Karakteristik hamhatan aliran udara pada PPOK disehahkan oleh


gahungan antara ohstruksi saluran napas kecil (ohstruksi hronkiolitis) dan
kerusakan parenkim (emfisema) yang hervariasi pada setiap individu.
PPOK seringkali timhul pada usia pertengahan akihat merokok dalam
waktu yang lama. PPOK sendiri juga mempunyai efek sistemik yang
hermakna sehagai pertanda sudah terdapat kondisi komorhid lainnya.
Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena
emfisema merupakan diagnosis patologik dan hronkitis kronik merupakan
diagnosis klinis. Selain itu keduanya tidak selalu mencerminkan hamhatan
aliran udara dalam saluran napas. Manifestasi klinis PPOK adalah hatuk,
produksi sputum, sesak napas, dan aktivitas terhatas.1

2. ANATOMI
Paru - paru terletak sedemikian rupa sehingga setiap paru terletak
disamping mediastinum. Oleh karena itu, masing - masing paru - paru satu
sama lain dipisahkan oleh jantung dan pemhuluh - pemhuluh Besar serta
struktur lain dalam mediatinum. Masing - masing paru berbentuk konus
dan diliputi oleh pleura viceralis. Paru - paru terbenam bebas dalam rongga
pleuranya sendiri, hanya diletakkan ke mediastinum oleh radix pulmonis.5

Masing - masing paru mempunyai apex yang tumpul, yang menjorok ke


atas, masuk ke leher sekitar 2,5 cm dia atas clavicula, facues costalis yang
konveks, yang herhuhungan dengan dinding dada, dan facies mediastinalis
yang konkaf yang memhentuk cetakan pada pericardium dan struktur -
strutktur mediastinum lain. Sekitar pertengahan permukaan kiri, terdapat
hilus pulmonalis, suatu lekukan dimana hronkus, pemhuluh darah dan
saraf masuk ke paru - paru untuk memhentuk radix pulmonalis.5

Paru - paru kanan sedikit lehih hesar dihanding paru - paru kiri dan
dihagi oleh fissura ohlique dan fisura horizontal menjadi 3 lohus, lohus
superior, medius dan inferior. Paru - paru kiri dihagi fisura ohliqua menjadi
2 lohus, lohus superior dan inferior.5

3. EPIDEMIOLOGI
Sampai saat ini, PPOK masih menjadi salah satu penyakit paru
yang paling sering dijumpai. Di Amerika, jumlah kasus PPOK yang
terdapat di instalasi gawat darurat telah mencapai angka 1,5 juta, 726.000
yang memerlukan perawatan di rumah sakit serta 119.000 meninggal
selama tahun 2000. Saat ini, PPOK menduduki peringkat ke empat setelah
penyakit jantung, kanker dan penyakit serehro vascular sehagai penyehah
kematian. Taksiran dari World Health Organization (WHO) adalah hahwa
menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat. 1 Berdasarkan
survey kesehatan rumah tangga
Dep. Kes. RI tahun 1992, PPOK hersama asma hronkial menduduki
peringkat ke enam. Seiring dengan meningkatnya prevalensi PPOK, rokok
masih merupakan faktor risiko terpenting penyehah PPOK di samping
adanya faktor risiko lain seperti polusi udara, faktor genetik dan lain-lain.2

4. Faktor Risiko
PPOK yang merupakan inflamasi lokal saluran napas paru, akan ditandai
dengan hipersekresi mukus dan sumbatan aliran udara yang persisten. Gambaran
ini muncul disebabkan oleh adanya pembesaran kelenjar di bronkus pada perokok
dan membaik saat merokok dihentikan. Terdapat banyak faktor risiko yang diduga
kuat merupakan etiologi dari PPOK. Faktor-faktor risiko yang ada adalah genetik,
paparan partikel, pertumbuhan dan perkembangan paru, stres oksidatif, jenis
kelamin, umur, infeksi saluran nafas, status sosioekonomi, nutrisi, dan
komorbiditas.
1. Genetik
PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi
lingkungan genetik yang sederhana. Faktor risiko genetik yang paling
besar dan telah diteliti lama adalah defisiensi al antitripsin, yang
merupakan protease serin inhibitor. Biasanya jenis PPOK yang merupakan
contoh defisiensi al antitripsin adalah emfisema paru yang dapat muncul
baik pada perokok maupun bukan perokok, tetapi memang akan diperberat
oleh paparan rokok. Bahkan pada beberapa studi genetika, dikaitkan
bahwa patogenesis PPOK itu dengan gen yang terdapat pada kromosom.
2. Paparan Partikel Inhalasi

Setiap individu pasti akan terpapar oleh beragam partikel inhalasi


selama hidupnya. Tipe dari suatu partikel, termasuk ukuran dan
komposisinya, dapat berkontribusi terhadap perbedaan dari besarnya risiko
dan total dari risiko ini akan terintegrasi secara langsung terhadap pejanan
inhalasi yang didapat. Dari berbagai macam pejanan inhalasi yang ada
selama kehidupan, hanya asap rokok dan debu-debu pada tempat kerja
serta zat-zat kimia yang diketahui sebagai penyebab PPOK Paparan itu
sendiri tidak hanya mengenai mereka yang merupakan perokok aktif,
bahkan pada perokok pasif atau dengan kata lain environmental smokers
itu sendiri pun ternyata risiko tinggi menderita PPOK juga. Pada perokok
pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna pada orang
muda yang bukan perokok. Bahkan yang lebih menarik adalah pengaruh
rokok pada bayi jika ibunya perokok aktif atau bapaknya perokok aktif dan
ibunya menjadi perokok pasif, selain didapati berat bayi lebih rendah,
maka insidensi anak untuk menderita penyakit saluran pernapasan pada 3
tahun pertama menjadi meningkat. Shahab dkk melaporkan hal yang juga
amat menarik bahwa ternyata mereka mendapatkan besarnya insidensi
PPOK yang telah terlambat didiagnosis, memiliki kebiasaan merokok yang
tinggi. PPOK yang berat berdasarkan derajat spirometri, didapatkan hanya
sebesar 46,8% yang mengatakan bahwa mereka menderita penyakit
saluran napas, sisanya tidak mengetahui bahwa mereka menderita penyakit
paru dan tetap merokok. Status merokok justru didapatkan pada penderita
PPOK sedang dibandingkan dengan derajat keparahan yang lain. Begitu
juga mengenai riwayat merokok yang ada, ternyata prevalensinya tetap
lebih tinggi pada penderita PPOK yang sedang. Paparan lainya yang
dianggap cukup mengganggu adalah debu-debu yang terkait dengan
pekerjaan (occupational dusts) dan bahan-bahan kimia. Meskipun bahan-
bahan ini tidak terlalu menjadi sorotan menjadi penyebab tingginya
insidensi dan prevalensi PPOK, tetapi debu-debu organik dan inorganik
berdasarkan analisa studi populasi NHANES III didapatkan hampir 10.000
orang dewasa berumur 30-75 tahun menderita PPOK terkait karena
pekerjaan. American Thoracic Society (ATS) sendiri menyimpulkan 10-
20% paparan pada pekerjaan memberikan gejala dan kerusakan yang
bermakna pada PPOK. Polusi udara dalam ruangan yang dapat berupa
kayu-kayuan, kotoran hewan, sisa-sisa serangga, batubara, asap dari
kompor juga akan menyebabkan peningkatan insidensi PPOK khususnya
pada wanita. Selain itu, polusi udara di luar ruangan juga dapat
menyebabkan progresifitas ke arah PPOK menjadi tinggi seperti emisi
bahan bakar kendaraan bermotor. Kadar sulfur dioksida (SO2) dan
nitrogen dioksida (NO2) juga dapat memberikan sumbatan pada saluran
napas kecil (bronkiolitis) yang semakin memberikan perburukan pada
fungsi paru.

3. Pertumbuhan dan Perkembangan Paru

Pertumbuhan dan perkembangan paru yang kemudian menyokong


terjadinya PPOK pada masa berikutnya lebih mengarah kepada status
nutrisi bayi pada saat dalam kandungan, saat lahir, dan dalam masa
pertumbuhannya. Dimana pada suatu studi yang besar didapatkan
hubungan yang positif antara berat lahir dan VEP1 pada masa dewasanya.

4. Stres Oksidatif

Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus


dialami oleh paru-paru. Sel paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki
proteksi yang cukup baik secara enzimatik maupun non enzimatik.
Perubahan keseimbangan antara oksidan dan anti oksidan yang ada akan
menyebabkan stres oksidasi pada paru-paru. Hal ini akan mengaktivasi
respon inflamasi pada paru-paru. Ketidakseimbangan inilah yang
kemudian memainkan peranan yang penting terhadap patogenesis PPOK.

5. Jenis Kelamin

Jenis kelamin sebenarnya belum menjadi faktor risiko yang jelas


pada PPOK. Pada beberapa waktu yang lalu memang tampak bahwa
prevalensi PPOK lebih sering terjadi pada pria dibandingkan pada wanita,
tetapi penelitian dari beberapa negara maju menunjukkan bahwa ternyata
saat ini insidensi antara pria dan wanita ternyata hampir sama dan terdapat
beberapa

studi yang mengatakan bahwa ternyata wanita lebih rentan untuk dirusak oleh
asap rokok dibandingkan pria. Hal ini disebabkan oleh perubahan kebiasaan,
dimana wanita lebih banyak yang merupakan perokok saat ini.

6. Infeksi

Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang


besar terhadap patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri
berhubungan dengan terjadinya inflamasi pada saluran pernapasan dan
juga memberikan peranan yang penting terhadap terjadinya eksaserbasi.
Kecurigaan terhadap infeksi virus juga dihubungkan dengan PPOK,
dimana kolonisasi virus, seperti rhinovirus pada saluran napas
berhubungan dengan peradangan saluran napas dan jelas sekali berperan
pada terjadinya eksaserbasi akut pada PPOK. Riwayat tuberkulosis juga
dihubungkan dengan ditemukannya obstruksi saluran nafas pada dewasa
tua pada saat umur di atas 40 tahun.

7. Status Sosio-Ekonomi dan Nutrisi

Meskipun tidak terlalu jelas hubungannya, apakah paparan polutan


baik indoor maupun outdoor dan status nutrisi yang buruk serta faktor lain

yang berhubungan dengan kejadian PPOK, tetapi semua faktor-faktor

tersebut berhubungan erat dengan status sosial ekonomi.

8. Kormobiditas

Asma memiliki faktor risiko terhadap kejadian PPOK, dimana


didapatkan dari suatu penelitian pada Tucson Epidemiologi Study of
Airway Obstructive Disease, bahwa orang dewasa dengan asma akan
mengalami 12 kali lebih tinggi risiko menderita PPOK.

5. Patofisiologi
Pada PPOK, hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi
utama yang diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran
napas bagian proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang
dikarenakan adanya suatu inflamasi yang kronik dan perubahan struktural
pada paru. Terjadinya penebalan pada saluran napas kecil dengan
peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding
luar saluran napas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan napas. Lumen
saluran napas kecil berkurang akibat penebalan mukosa yang mengandung
eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai berat sakit. 2
Proses inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar, aktivasi
sel tersebut akan menyebabkan dilepaskannya faktor kemotaktik neutrofil
seperti interleukin 8 dan leukotrien B4, tumuor necrosis factor (TNF),
monocyte chemotactic peptide (MCP)-1 dan reactive oxygen species
(ROS). 2
Paradigma dominan dari patogenesis emfisema terdiri atas empat
peristiwa yang berkaitan : (1) Paparan kronis dari merokok akan
menyebabkan rekruitmen sel inflamasi ke dalam ruang udara terminal di
paru. (2) Sel-sel inflamasi ini melepaskan elastonic proteinases yang
merusak matriks ekstraseluler di paru. (3) Kematian sel secara struktural
dihasilkan dari stres oksidatif dan hilangnya ikatan matriks sel. (4)
Perbaikan elastin dan komponen matriks ekstraseluler yang tidak efektif
menghasilkan pembesaran ruang udara yang didefinisikan sebagai
emfisema pulmonal.2
Paparan asap rokok dapat mempengaruhi saluran pernapasan besar,
saluran pernapasan kecil (diameter ≤2mm), dan alveoli. Perubahan di
saluran pernapasan besar menyebabkan batuk dan sputum, sedangkan di
saluran pernapasan kecil dan alveoli bertanggung jawab terhadap
perubahan fisiologis. 2
Pasien PPOK dikatakan mengalami eksaserbasi akut bila kondisi
pasien mengalami perburukan yang bersifat akut dari kondisi yang
sebelumnya stabil dan dengan variasi gejala harian normal sehingga pasien
memerlukan perubahan pengobatan yang biasa digunakan. Eksaserbasi ini
biasanya disebabkan oleh infeksi (bakteri atau virus), bronkospasme,
polusi udara atau obat golongan sedatif.4

Konsep patogenesis PPOK

A. Diagnosis

Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa


gejala, gejala ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisik tidak
ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK
ditegakkan berdasarkan:
1. Gambaran klinis
a. Anamnesis
(1) Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau
tanpa gejala pernapasan
(2) Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat
kerja
(3) Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
(4) Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi atau
anak, misalnya berat badan lahir rendah (BBLR),
infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap
rokok dan polusi udara

13

(5) Batuk berulang dengan atau tanpa dahak


(6) Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

b. Pemeriksaan fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan.
(1) Inspeksi
(a) Purse-lips breathing (mulut setengah terkatup
mencucu)
(b) Barrel chest (diameter antero-posterior dan
transversal sebanding)
(c) Penggunaan otot bantu napas

(d) Hipertropi otot bantu napas


(e) Pelebaran sela iga
(f) Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat
denyut vena jugularis di leher dan edema
tungkai. Penampilan pink puffer atau blue
bloater
(2) Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.
(3) Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung
mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong
ke bawah.
(4) Auskultasi
(a) Suara napas vesikuler normal atau melemah
(b) Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu
bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa
(c) Ekspirasi memanjang
(d) Bunyi jantung terdengar jauh
c. Pemeriksaan Penunjang
(1) Pemeriksaan Spirometri
Pasien yang dicurigai PPOK harus ditegakkan
diagnosisnya menggunakan spirometri. The National
Heart, Lung, dan Darah Institute merekomendasikan
spirometri untuk semua perokok 45

14

tahun atau lebih tua, terutama mereka yang dengan


sesak napas, batuk, mengi, atau dahak persisten.
(2) Pemeriksaan Penunjang Lain
Spirometri adalah tes utama untuk mendiagnosis
PPOK, namun beberapa tes tambahan berguna untuk
menyingkirkan penyakit bersamaan. Radiografi dada
harus dilakukan untuk mencari bukti nodul paru,
massa, atau perubahan fibrosis. Hitung darah
lengkap harus dilakukan untuk menyingkirkan
anemia atau polisitemia. Hal ini wajar untuk
melakukan elektrokardiografi dan ekokardiografi
pada pasien dengan tanda-tanda corpulmonale untuk
mengevaluasi tekanan sirkulasi paru. Pulse oksimetri
saat istirahat, dengan pengerahan tenaga, dan selama
tidur harus dilakukan untuk mengevaluasi
hipoksemia dan kebutuhan oksigen tambahan.

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung


Disease (GOLD) 2019, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat
berikut:
Klasifikasi Penyakit Gejala Klinis Spirometri

-Memiliki satu atau


lebih gejala batuk
Derajat 0 kronis, produksi
sputum, dan dispnea.
Ada paparan terhadap
faktor risiko -Normal

PPOK Ringan I -Dengan atau tanpa -VEP1 ≥ 80% prediksi


batuk (nilai normal
spirometri)
-Dengan atau tanpa
produksi sputum -VEP1/KVP < 70%
-Sesak napas derajat
sesak 1 sampai derajat
sesak 2
PPOK Sedang -Dengan atau tanpa -VEP1/KVP < 70%
batuk
-50% ≤ VEP1 < 80%
-Dengan atau tanpa prediksi
produksi sputum
-Sesak napas derajat 3
PPOK Berat -Sesak napas derajat -VEP1/KVP < 70%
sesak 4 dan 5 -30% ≤ VEP1 < 50%
prediksi
-Eksaserbasi lebih
sering terjadi
PPOK Sangat Berat -Sesak napas derajat -VEP1/KVP <70%
sesak 4 dan 5 dengan
-VEP1 < 30% prediksi,
gagal napas kronik
atau
-Eksaserbasi lebih
-VEP1 < 50% dengan
sering terjadi
gagal napas kronik
-Disertai komplikasi kor
pulmonale atau gagal
jantung kanan

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
• Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau
VEP1/KVP ( % ). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80%
VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
2. Darah rutin (lengkap)
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- HiperlusenRuang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop
appearance)
Pada bronkitis kronik :
• Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti
Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
2. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
3. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan
hipertrofi ventrikel kanan.
4. Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung kanan
5. bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih
antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulng merupakan
penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
3.2 Diagnosa Banding 4
• Asma
• SOPT (Sindroma Obstruksi Pasca Tuberculososis)

Asma PPOK SOPT


Timbul pada usia muda ++ - +
Sakit mendadak ++ - -
Riwayat merokok +/- +++ -
Riwayat atopi ++ + -
Sesak dan mengi berulang +++ + +
Batuk kronik berdahak + ++ +
Hipereaktiviti bronkus +++ + +/-
Reversibiliti obstruksi ++ - -
Variabiliti harian ++ + -
Eosinofil sputum + - ?
Neutrofil sputum - + ?
Makrofag sputum + - ?

3.7 Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut 4


Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan
dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi
atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi.
Gejala eksaserbasi :
-Sesak bertambah
-Produksi sputum meningkat
-Perubahan warna sputum
Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :
a.Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
b.Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
c.Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah
infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain,
peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi
pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline.
Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk
eksaserbasi yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang
dan berat).
Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut
1. Diagnosis beratnya eksaerbasi
- Derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal
- Kesadaran
- Tanda vital
- Analisis gas darah
- Pneomonia
2. Terapi oksigen adekuat
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama
dan utama, bertujuan untuk memperbaiki hipoksemi dan mencegah
keadaan yang mengancam jiwa

3. Pemberian obat-obatan yang maksimal


a. Bronkodilator

Golongan β– 2 agonis
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan
jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi.
Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang
berefek panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi berat.
Mekanisme kerja : melalui stimulasi reseptor β2 di trachea dan
bronkus, yang menyebabkan aktivasi dari adenilsiklase. Enzim ini
memperkuat pengubahan adenosintrifosat (ATP) yang kaya energi
menjadi cyclic-adenosin mononosphat (cAMP) dengan pembebasan
energi yang digunakan untuk proses-proses dalam sel. Meningkatnya
kadar cAMP di dalam sel menghasilkan beberapa efek bronchodilatasi
dan penghambatan pelepasan mediator oleh sel mast.
Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4xperhari ).
Mekanisme kerja : Di dalam sel-sel otot polos terdapat
keseimbangan antara sistem adrenergis dan sistem kolinergis. Bila
karena sesuatu sebab reseptor b2 dari sistem adrenergis terhambat,
maka sistem kolinergis akan berkuasa dengan akibat
bronchokonstriksi. Antikolinergik memblok reseptor muskarinik dari
saraf-saraf kolinergis di otot polos bronkus, hingga aktivitas saraf
adrenergis menjadi dominan dengan efek bronkodilatasi.
b. Kortikosteroid
Pada eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan prednison 30-40
mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat berat diberikan secara
intravena. Budesonide inhalasi kortikosteroid dapat menjadi alternatif
(namun lebih mahal) dibandingkan kortikosteroid oral dalam terapi
eksaserbasi..
Preparat steroid inhalasi dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki
efek anti inflamasi topikal yang maksimal dan efek sistemik seminimal
mungkin. Termasuk dalam golongan obat inhalasi steroid antara lain
BeclometasonemDipropionate(BDP),Budesonide(BUD), Triamcinolone
Acetonite (TA), Flunisonide, Fluticasone Dipropionate (FDP).6
Kortikosteroid menembus membran sel dan akan berikatan dengan
reseptor glukokortikoid yang banyak terdpat pada sitoplasma sel target.
Selanjutnya kompleks tersebut akan masuk ke dalam nukleus dan
berikatan dengan elemen respon glukokortikoid yang spesifik (“specific
glucocorticoid response element”) untuk dapat mengatur transkripsi
gen. Jadi kortikosteroid mengendalikan inflamasi melalui proses
transkripsi gen , suatu proses yang rumit, memerlukan waktu 6 - 12
jam. Mekanisme utama steroid diduga melalui inhibisi pembentukan
sitokin tertentu. Seperti IL1, TNFα, GM-CSF, IL-3, IL- 4, IL-5, IL-6,
dan IL-8. Steroid juga mempercepat regenerasi sel epitel, dan jangka
panjang juga mengurangi jumlah sel mas.6
c. Obat steroid inhalasi yang mencapai paru-paru hampir seluruhnya
diabsorpsi, sehingga keseimbangan antara efek terapi dan efek samping
sistemik sepenuhnya tergantung pada bioavaibilitas obat yang tertelan
Budesonide (BUD) merupakan steroid inhalasi yang paling banyak
diteliti. Kadar puncak tercapai setelah 15 – 30 menit inhalasi,
terdeposisi 25%-30% di jaringan paru. Dimetabolisme secara cepat dan
sempurna di hepar, bentuk metabolitnya diekskresi melalui urin dan
feses dan hanya memiliki potensi seperseratus dari Budesonid.
Budesonid mempunyai kemampuan berikatan (afinitas) dengan reseptor
glukokortikoid 7 kali lebih besar dibanding deksametason.
Efek samping lokal pemberian steroid inhalasi yang pernah
dilaporkan adalah disfonia dan kandidiasis oral. Disfonia diduga terjadi
karena miopati pada otot laring, namun efek samping ini bersifat
reversibel. Kandidiasis oral dapat dicegah dengan cara berkumur atau
cuci mulut setelah pemakaian steroid inhalasi.
Kortikosteroid Inhalasi (ICS) dan Long Acting Beta2 Agonist
(LABA) adalah 2 obat yang banyak digunakan dalam pengobatan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Kedua obat ini dapat
digunakan secara tunggal (monoterapi) atau kombinasi.8
Dalam panduan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease (GOLD) 2013, disebutkan bahwa ICS dan LABA dapat
digunakan sebagai monoterapi atau kombinasi. Tetapi penggunaan
secara kombinasi lebih efektif untuk memperbaiki fungsi paru, status
kesehatan dan mengurangi eksaserbasi pada PPOK sedang sampai
berat.8
d. Antibiotik
- Peningkatan jumlah sputum
- Sputum berubah menjadi purulen
- Peningkatan sesak
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan
komposisi kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di
rumah sakit sebaiknya intravena.
e. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitis hidup,
digunakan N-asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi
yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
f. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik.
Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin
4. Nutrisi adekuat
5. Ventilasi mekanik
Penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaerbasi berat akan
mengurangi mortaliti dan morbiditi, dan memperbaiki simptom.

3.7 Komplikasi 5
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :
1. Gagal napas
2. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan
menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi
infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imuniti menjadi lebih
rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.
3. Cor Pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %,
dapat disertai gagal jantung kanan.
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. N
Umur : 56 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Sei Duo
Tanggal Masuk MRS : 30 Juni 2022
No RM : 00.83.23

Anamnesis
Pasien laki-laki usia 56 Tahun kiriman dari poli Penyakit dalam
RSUD Sungai Dareh

Keluhan Utama
Sesak nafas sejak ± 1 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang
Sesak nafas sejak ± 1 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit.
Sesak dirasakan semakin memberat dan meningkat, sesak dirasakan ketika
beraktivitas berat, sesak tidak dipengaruhi oleh makanan, cuaca maupun
emosi. Biasanya sesak akan sedikit berkurang bila pasien beristirahat.
Sesak sebenarnya sudah dirasakan pasien sejak ± 5 tahun lalu, namun
memberat 1 hari ini. Batuk sejak ± 3 hari yang lalu, batuk berdahak
dirasakan pasien namun dahak sulit dikeluarkan, dan dahak keluar kadang
berwarna putih dan kadang sedikit kehijauan, batuk berdarah tidak ada.
Batuk disertai keringat pada malam hari tidak ada. Sebenarnya batuk
sudah dirasakan pasien sejak ± 6 bulan yang lalu namun hilang timbul.
Nyeri Dada tidak ada. Demam naik turun ± 3 hari yang lalu, namun
sekarang sudah tidak demam. Demam disertai menggigil tidak ada. Nyeri
kepala sejak 1 hari yang lalu, nyeri kepala seperti terikat tidak ada. Nafsu
makan baik, nyeri ulu hati tidak ada, mual dan muntah tidak ada, BAK dan
BAB dalam batas normal.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien pernah dirawat di bangsal paru RSUD Sei Dareh 2 tahun yang lalu
karna sesak nafas
Pasien rutin kontol ke poli penyakit dalam sejak 1 tahun yang lalu

Riwayat Asma : disangkal


Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat minum OAT (obat TB) : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Jantung : disangkal

Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku pernah meminum obat penghilang sesak namun pasien
tidak mengetahui obatnya.

Sosial Ekonomi
Pekerjaan : Wiraswasta
Pasien seorang perokok aktif yang memulai merokok pada usia 15 tahun
dengan jumlah 12 batang perhari, dan berhenti merokok sejak 1 Tahun
yang lalu
Indeks Brikmen : 480  Perokok Sedang

II. PEMERIKSAAN FISIK


A. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
B. Kesadaran : Composmentis kooperatif)
C. Tanda Vital
Tekanan darah : 120/90 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Pernapasan : 28 x/menit
Suhu : 37° C
BB : 53 Kg
TB : 164 cm
IMT : 19,7 kg/m²
D. Kepala : normochepal, simetris.
E. Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Pupil isokor (3 mm/3mm), Reflek cahaya (+/+).
F. Hidung : darah (-), secret (-).
G. Telinga : darah (-), secret (-).
H. Mulut : Sianosis (-), lidah kotor (-).
I. Leher : JVP 5-2 cmH2O, Pembesaran (-)
J. Thorax : retraksi (-).
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung kesan dalam batas normal
Batas Atas : linea para sternalis sinistra ICS 2
Batas kanan : linea sternalis dextra ICS 5
Batas Kiri : linea midclavicula sinistra ICS 5
Auskultasi : Bunyi jantung I-II tunggal, reguler, murmur (-)
Paru
Inspeksi : Statis dan dinamis: simetris kanan=kiri, barrel chest(+)
Sela iga melebar

Palpasi : Fremitus kanan=kiri


Perkusi : hipersonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), Ronki (-/-), Wheezing (-/-)
Ekspirasi memanjang (+/+)
K. Abdomen
Inspeksi : Dinding abdomen simetris, tampak datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : massa (-) nyeri tekan (-), hepar/lien tidak
teraba, Ginjal : Nyeri ketok (-)
L. Ekstremitas
Akral hangat +/+, CRT : < 2 detik
Oedema -/-

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tidak dilakukan

IV. DIAGNOSIS
PPOK Eksaserbasi Akut

V. DIAGNOSIS BANDING
Asma bronkial
Bronkitis kronis

VI. PENATALAKSANAAN
Non Farmakologis
- Hentikan kebiasaan merokok pada pasien menghindari paparan asap dan
debu, meningkatkan toleransi paru dengan olahraga dan latihan
pernafasan.
Farmakologis
- O2 2-3l/menit
- IVFD RL 20 tetes/menit
- Injeksi Omeprazole 40mg 2x1 i.v
- Nebu Ventolin 6x1 respuls/4jam
- Cetirizine 10 mg 2x1 tab
- Retaphyl 2x1 tab
- N- Acetylcystein 200mg 3x1 caps
- Paracetamol 500mg 3x1 tab

VII. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : Dubia ad bonam
- Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam
- Quo ad sanationam : Dubia ad malam

VIII.RENCANA PEMERIKSAAN
- Spirometri
- Laboratorium : Darah Lengkap
- EKG, Rontgen Thoraks,Sputum BTA, AGD

IX. Follow Up
Tanggal S O A P
01/7/2022 Sesak nafas TD : 104/77 PPOK -IVFD RL 20
(+)berkurang, RR : 23xmenit eksaserbasi tetes/menit
Batuk (+) HR : 80xmenit akut Injeksi
berdahak sulit Suhu : 36,2C
-Omeprazole
dikeluarkan Thoraks :
40mg 2x1 i.v
I : simetris, barrel
Nyeri kepala (+) -Nebu Ventolin
chest(+), sela iga
berkurang 6x1 respuls/4jam
melebar
P: Vokal Fremitus
-Cetirizine 10 mg
simetris kanan = kiri 2x1 tab
P: hipersonor kedua -Retaphyl 2x1 tab
lapangan paru -N- Acetylcystein
A: vesikuler, Ekspirasi
200mg 3x1 caps
memanjang(+/+)
-Paracetamol
500mg 3x1 tab

2/7/2022 Sesak nafas (+) TD : 118/86 PPOK -IVFD RL 20


berkurang, Batuk RR : 22xmenit eksaserbasi tetes/menit
(+) berdahak HR : 82xmenit akut Injeksi
Nyeri kepala (-) Suhu : 36 C 0
-Omeprazole
Mual dan Thoraks :
40mg 2x1 i.v
muntah(-) I : simetris, barrel
-Nebu Ventolin
chest(+), sela iga
6x1 respuls/4jam
melebar
P: Vokal Fremitus
-Cetirizine 10 mg

simetris kanan = kiri 2x1 tab


P: sonor di kedua -Retaphyl 2x1 tab
lapangan paru - N-Acetylcystein
A: Bronchovesikuler, 200mg 3x1 caps
Ekspirasi
memanjang(+/+)
3/7/2022 Sesak nafas (-), TD : 118/86 PPOK -IVFD RL 20
Batuk berdahak RR : 22xmenit eksaserbasi tetes/menit
(+) jarang, HR : 82xmenit Akut Injeksi
Nyeri kepala (-) Suhu : 36 0C -Omeprazole 40mg
Mual dan muntah Thoraks : 2x1 i.v
(-) bab dan bak I : simetris -Nebu Ventolin
lancer P: Vokal Fremitus 6x1 respuls/4jam
simetris kanan = kiri -Cetirizine 10 mg
P: hipersonor di kedua 2x1 tab
lapangan paru -Retaphyl 2x1 tab
A: vesikuler, Ekspirasi -N- Acetylcystein
memanjang(-/-) 200mg 3x1 caps
4/7/2022 Batuk berdahak TD : 124/83 PPOK Pasien boleh
(+) jarang, RR : 20xmenit eksaserbasi pulang hari ini
Sesak nafas (-), HR : 80xmenit akut
nyeri kepala (-) Suhu : 36 0C
Mual dan muntah Thoraks :
(-) I : simetris, barrel chest
Bab dan bak (+), sela iga melebar
dalam batas P: Vokal Fremitus
normal simetris kanan = kiri
P: Sonor
A: vesikuler , ekspirasi
memanjang (-/-)

DISKUSI

Seorang pasien laki-laki berumur 56 tahun kiriman poli penyakit dalam RSUD
Sungai Dareh dengan keluhan Sesak nafas sejak ± 1 hari yang lalu sebelum masuk
rumah sakit. Sesak dirasakan semakin memberat dan meningkat, sesak dirasakan
ketika beraktivitas berat, sesak tidak dipengaruhi oleh makanan dan minuman,
cuaca maupun emosi. Biasanya sesak akan sedikit berkurang bila pasien
beristirahat. Batuk berdahak dirasakan pasien yang kadang sulit dikeluarkan, dan
dahak keluar kadang berwarna putih dan kadang sedikit hijau, batuk berdarah
tidak ada. Batuk disertai keringat pada malam hari tidak ada. Nyeri Dada tidak
ada. Sesak sebenarnya sudah dirasakan pasien sejak ± 5 tahun lalu. Demam naik
turun ± 3 hari yang lalu, namun sekarang sudah tidak demam. Demam disertai
menggigil tidak ada. Nyeri kepala sejak 1 hari yang lalu, nyeri kepala seperti
terikat disangkal. Nafsu makan baik, mual dan muntah tidak ada, BAK dan BAB
dalam batas normal.
Dari anamnesis yang didapatkan tersebut, keluhan yang dialami pasien
sesuai dengan tanda dan gejala klinis dari PPOK, dimana pada PPOK gejala
timbul pada usia tua, sesak yang dipengaruhi oleh aktifitas serta batuk berdahak.
Pasien juga memiliki faktor resiko yang penting yaitu merokok dimana pasien ini
telah merokok selama kurang lebih 40 tahun sebanyak 12 batang perhari. Pada
pemeriksaan fisik pasien ini didapatkan pernafasan 28 kali permenit, dari Inspeksi
Statis dan dinamis simetris kanan sama dengan kiri, barrel chest, pada Palpasi
Fremitus kanan sama dengan kiri, perkusi hipersonor pada kedua lapangan paru,
Auskultasi Suara nafas vesikuler, dan ada Ekspirasi memanjang pada kedua
lapangan paru. Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik tersebut sesuai dengan
PPOK di mana pada pasien PPOK ditemukan sesak nafas yang semakin memberat
serta ekspirasi memanjang. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik disimpulkan bahwa
pasien mengalami PPOK. Pada PPOK terdapat obstruksi pada saluan nafas
sehingga menimbulkan hambatnya aliran udara pada saluran nafas. Pada pasien
PPOK biasanya pasien akan mengeluhkan sesak nafas, dipengaruhi oleh aktiftas
dan lama-kelamaan memberat. PPOK biasanya terjadi pada usia yang sudah lanjut
dan penyebab yang paling sering yaitu merokok baik untuk pasien yang masih
merokok ataupun pasien yang sudah berhenti merokok dan pajanan polusi udara,
serta genetik.
Pada pasien ini juga ditemui sesaknya semakin bertambah. Pada PPOK
gejala sesak, batuk dan batuk berdahak telah ada pada pasien, namun pada PPOK
eksaerbasi akut, 3 gejala ini bertambah.
Pasien ini ditatalaksana Oksigen 2-3 liter/menit, IVFD RL 20 tetes/menit,
Injeksi Omeprazole 2x40mg, Nebu Ventolin 6x1, Cetirizine 2x10mg, Retaphyl
2x1, N- Acetylcystein tablet 3x200mg, Paracetamol tablet 3x500mg. Pemberian
Bronkodilator untuk PPOK yaitu untuk mencegah munculnya gejala atau
meringankan gejala yang sudah muncul. Di berikan juga Antioksidan untuk
mengurangi eksaserbasi.
Selain dari tatalaksana farmakologis edukasi terhadap pasien juga tak kala
penting, yaitu Hentikan kebiasaan merokok pada pasien menghindari paparan
asap dan debu, meningkatkan toleransi paru dengan olahraga dan Latihan
pernafasan., dan penilaian dini eksaserbas akut. Untuk berhenti merokok juga
dapat mengurangi angka kejadian PPOK.
Prognosis pada pasien ini ragu-ragu, karena PPOK bersifat tidak
sepenuhnya reversible dan bersifat progresif. Namun Pemberian obat-obatan
seperti Bronkodilator untuk PPOK dapat mencegah munculnya gejala atau
meringankan gejala yang sudah muncul.

DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). PPOK (Penyakit


paru Ohstruktif Kronik), pedoman praktis diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia; 2011
2. Soemantri S, Budiarso RL, Suhardi, Sarimawar, Bachroen C.
Survei kesehatan rumah tangga (SKRT). Jakarta: Depkes RI;
2006.96-125.
3. Glohal Initiative for Chronic Ohstructive Lung Disease.
Glohal strategy for diagnosis, management and prevention of
chronic ohstructive lung disease updated 2012.
4. Tavilani H, Nadi E, Karimi J, Goodarzi MT. Oxidative stress
in COPD patients, smokers and non-smokers suhject. Respir
care 2012.
5. Wihisono MJ, Winariani, Hariadi s. Penyakit Paru Ohstruktif
Kronik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surahaya,
2010: 37-51
6. American Thoracic Society. Standards for diagnosis and care
of patients with COPD. Am J Respir Crit Care Med 2006;
152:77-120
7. Nanshan Z. COPD vs Asthma making a correct diagnosis.
Asia Pasific COPD Round Tahle Issue, 2008;5:1-2.
8. Ivor MA, Lowry J, Bourheau J, Borycki E. Assessment of
COPD. In : Bourheau J. Nault D, Borycki E, eds.
Comprehensive managemant of Chronic Ohstructive
Pulmonary Disease. London : BC Decker In; 2008: 19-31
9. Lacasse Y, Wong E, Guyyat GH, King D, Cook DJ. Meta-
analysis of respiratory rehahilitation in chronic ohstructive
pulmonary disease. Lancet 2006; 348: 1115-19.
10. Duerden Martin. The management of Chronic Ohstructive
Pulmonary Disease. Merec Bulletin 2006; 16:17-20
11. Hui KP, Hewitt AB. A simple pulmonary rehahilitation
program improve health outcome and reduce hospitalization
in patients with COPD. Chest 2008; 124:94-97.
12. Kelsen SG, Criner G. Rehahilitation of Patients with COPD .
in: Cherniack NS. Chronic Ohstructive Pulmonary Disease.
Philadelphia : WB Saunders 2011 : 196-205

Anda mungkin juga menyukai