Anda di halaman 1dari 22

BAB I

Pendahuluan
A. Latar Belakang
Ada banyak sekali bakteri, virus dan berbagai mikroorganisme
patogen yang berbahaya bagi makhluk hidup terutama manusia.
Contohnya seperti pada tahun 2019, dilaporkan kasus pneumonia yang
asal usulnya tidak diketahui, kasus tersebut terdapat di Wuhan, Cina.
Hingga pada Juni tahun 2021, Virus SARS-CoV-2 telah menyebar ke
seluruh dunia dan menyebabkan 178 juta kasus dengan konfirmasi 3,9 juta
kematian.

Saat ini, dunia sedang diguncang oleh pandemik hebat bernama


Covid-19 (Corona Virus Disease). Peningkatan dari hari kehari jumlah
pasien terinfeksi virus Covid-19 sudah sulit dikendalikan diperlukannya
suatu perencanaan yang jelas dan lugas dari pemerintah untuk
menangulangi permasalahan ini. Coronavirus sendiri merupakan
sekumpulan virus yang berasal dari subfamili Orthocronavirinae dalam
keluarga Coronaviridae dan ordo Nidovirales (Yunus & Rezki, 2020).
Virus ini dapat menyerang hewan dan juga manusia dan pada manusia
gejalanya berupa infeksi yang serupa dengan penyakit SARS dan MERS,
hanya saja Covid-19 bersifat lebih masif perkembangannya. Indonesia
juga merupakan salah satu negara yang terdampak wabah yang satu ini.
Oleh karena itu, perlu tindakan pemerintah dan kesadaran penuh dari
masyarakat agar angka penyebaran virus ini dapat ditekan. Namun, dalam
penelitian yang dilakukan oleh (Arum, 2020), Pemerintah Indonesia masih
hanya melakukan penanganan berupa pembatasan sosial saja (social
distancing). Padahal banyak kalangan yang menganggap bahwa lebih
efektif menerapkan sistem karantina wilayah atau lockdown untuk
mencegah penyebaran virus ini agar tidak menginfeksi lebih banyak orang
(Nurhalimah, 2020), sedangkan pembatasan sosial masih rawan
penyebarannya disebabkan banyak masyarakat yang tidak mau mengikuti
karena pada hakikatnya hal tersebut hanya sekadar imbauan dan tidak ada
sanksi berat yang bisa membuat masyarakat patuh. Selaras dengan itu,
penelitian dari (Telaumbanua, 2020) menyebutkan bahwa pemerintah
dituntut untuk menangani ancaman nyata Covid-19. Jawaban sementara
pemerintah terhadap tuntutan tersebut adalah UndangUndang Nomor 6
Tahun 2018 terkait Kekarantinaan Kesehatan. Keputusannya adalah
pemerintah pusat tidak memberlakukan karantina wilayah atau lockdown
melainkan memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
sebagaimana diatur dalam PP Nomor 21 Tahun 2020 dan juga melakukan
tindakan tes massal menggunakan alat rapid test yang jika seseorang
dinyatakan hasil tesnya reaktif maka akan dilakukan swab test untuk
memastikan orang tersebut positif atau negatif Covid-19. Saat

Virus Covid-19 ini merupakan virus patogen baru yang dulu belum
ada penelitian nya. Manusia tidak memiliki antibodi bawaan untuk virus
ini. Antara sel imun adaptif dan respons tidak berkoordinasi dengan tepat.
Banyak faktor yang menjadi penyebab dari keparahan saat terpapar virus
ini diantaranya seperti respons imun dalam tubuh yang salah, penyakit
bawaan, dan usia.

Namun setelah diteliti, orang – orang yng bertahan dari infeksi


SARS-CoV-2 dapat mencapai kekebalan yang bertahan lama. Dengan
bentuk titer imunoglobulin G (IgG) yang stabil, balam lima sampai
delapan bulan setelah infeksi. Dalam respons imun terhadap virus ini
terdapat berbagai perbedaan. Ada infeksi yang menyebabkan kesehatan
menurun, bahnkan ada infeksi yang tidak menunjukkan gejala.
Peningkatan kasus dari hari kehari jumlah pasien terinfeksi virus Covid-19
sudah sulit dikendalikan diperlukannya suatu perencanaan yang jelas dan
lugas dari pemerintah untuk menangulangi permasalahan ini,
menggerakkan banyak lembaga kesehatan bahkan perusahaan yang berada
dibidang kesehatan membuat vaksin untuk membantu memperkuat sistem
imun untuk melawan virus ini. Upaya yang dilakukan ini merupakan
pengembangan vaksin dengan rekor kecepatan dalam sejarah vaksin
manusia. Hingga 28 Desember 2020, WHO telah mendaftarkan kurang
lebih 222 kandidat vaksin dalam pengembangan dan 56 vaksin diantaranya
sudah dalam uji klinis dan sebagian besar desain vaksin ini merupkakan
sub unit protein.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Virus SARS-CoV-2?
2. Apa upaya pencegahan virus Covid-19?
3. Kenapa Vaksin penting untuk penanganan Covid-19?
4. Apa yang dimaksud dengan Herd Immunity
5. Bagaimana ciri-ciri terbentuknya Herd Immunity

C. Tujuan Penulisan
1. Memahami tentang Virus SARS-CoV-2
2. Mengetahui upaya pencegahan dari virus Covid-19
3. Mengetahui tentang Herd Immunity
4. Memahami perbedaan antara model vaksin yang ada
BAB II
ISI

1. Virus SARS-CoV-2
Virus adalah gen penyebab infeksi yang hanya dapat hidup di
dalam sel hidup, yaitu pada sel induk seperti hewan, tumbugan, jamur,
bakteri maupun manusia. (Nurhayati, 2006). Banyak virus yang terdapat
dimuka bumi, salah satunya adalah virus SARS-CoV-2 atau yang dikenal
dengan Covid-19. Virus corona atau dikenal juga dengan nama Severe
Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) merupakan
virus baru yang menginfeksi sistem pernapasan orang yang terjangkit,
virus ini umumnya dikenal sebagai Covid-19 (Lai et al., 2020).

Virus Corona bisa menyebabkan hal yang fatal terutama bagi


mereka yang memiliki gangguan pernapasan sebelumnya akan mengalami
sindrom gangguan pada pernapasan tingkat akut walaupun sudah
dinyatakan sembuh dari virus ini. Hal ini juga dapat disebut sebagai efek
jangka panjang dari infeksi Covid-19 dan penderita akan mengalami
penurunan fungsi paru-paru sebanyak 20 hingga 30 persen setelah
melewati serangkaian pemulihan. Selain paru-paru, ginjal juga dapat
terdampak, penderita Covid-19 dengan persentase 25 sampai 50 persen
mengalami gangguan pada ginjal. Penyebabnya adalah protein dan juga sel
darah merah akan cenderung lebih banyak. Dengan persentase 15 persen
juga pasien Covid-19 cenderung turun fungsi penyaringan pada ginjalnya,
serta penyakit ginjal akut juga bisa saja menjadi masalah lain yang akan
diderita oleh orang yang terinfeksi Covid-19. Virus ini juga dapat
menyerang sistem saraf apabila terinfeksi virus ini, dimana bagian saraf
yang diserang adalah sistem saraf pusat. Sehingga efek yang ditimbulkan
seperti rasa pusing dan gangguan pada indra penciuman dan perasa.
(Wahidah et al., 2020)
Ada tujuh COV yang diketahui menyebabkan manusia yang dibagi
menjadi COV patogen rendah dan COV sangat patogen. Empat virus
corona (HCOVs, yaitu HCOVs 229E, NL63, OC43, dan HKU1) dikenal
sebagai sindrom pernafasan akut yang tidak parah (SARS) seperti COVs.
Penyakit yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 ini diberi nama Corona-virus
Diseases-2019 (COVID-19). COVID-19 muncul melalui penularan dari
manusia ke patogen manusia yang menyebabkan spektrum luas pasien
klinis dengan COVID-19.

1.1 Persebaran Virus Covid-19


Virus ini ditemukan pada akhir tahun 2019, kasus pertama yang
ditemukan bertepatan pada 31 Desember 2019 di Wuhan, Cina.Kasus awal
ini berkaitan dengan pasar basah makanan laut serta hewan hidup lain
seperti unggas, kelelawar, ular, dll. Pasar ini tepatnya di Huanan, Kota
Wuhan, Cina. Pasien-pasien mengalami gejala klinis berupa batuk kering,
dispnea, demam, infeksi paru jika foto thorax x-ray. Sembilan hari
kemudian kasus tersebut diidentifikasi sebagai Corona Virus yang
kemudian diberi nama SARS-CoV-2 dan spektrum klinis sebagai Covid-
19. Gejala klinis yang tampak berupa tidak ada gejala sama sekali
(asimptomatik) sampai demam, batuk, sakit tenggorokan, kelemahan
umum, kelelahan, dan nyeri otot, untuk kasus yang berat seperti
pneumonia berat, sindrom gangguan pernapasan akut, sepsis, dan syok
septik, tambahan beberapa negara seperti Korea Selatan, Cina.

Di Indonesia, kasus positif Covid-19 pertama dideteksi pada


tanggal 2 Maret 2020, dua orang terkonfirmasi tertular dari warga negara
Jepang. Karena cepatnya virus ini menular antar manusia, maka WHO
(World health Organization) menyatakan pandemi pada 11 Maret 2020.
Pada 9 April, pandemi menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia dan
provinsi yang memiliki kasus tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta,
Jawa Barat dan Jawa Tengah. Total kasus saat itu mencapai 650 ribu,
dimana kasus ini terbanyak di Asia Tengggara. Angka kematian 19.390
atau Case Fatality Rate (CFR) 3,0%. Sedikitnya 100 dokter meninggal
dunia dan menjadikan angka kematian tenaga kesehatan tertinggi di dunia.
Virus corona merupakan sekumpulan virus dari famili
Orthocronavirinae dalam keluarga Coronaviridae dan ordo Nidovirales
(Yunus & Rezki, 2020). Gejala dari infeksi ini mirip dengan penyakit
SARS dan MERS, namun virus ini merupakan virus yang tergolong
memiliki masa inkubasi yang lama, berbahaya dan sepat dalam
penularannya. Hingga pada 30 Januari 2020, WHO mendeklarasikan
wabah COVID-19 di Cina sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
yang Meresahkan Dunia (Public Health Emergency of International
Concern, PHEIC) ini menandakan COVID-19 sebagai ancaman global
dunia.

2. Upaya Pencegahan Covid-19


Ada terdapat banyak kebijakan pemerintah dalam upaya demi
memutus persebaran virus ini. Adapun strategi-strategi yang diberlakukan
oleh pemerintah di Indonesia terbagi menjadi tiga dalam hal kesehatan
yaitu dalam bentuk promotif, preventif dan kuratif untuk penanganan
penyebaran Covid-19. Selain itu, dalam bidang ekonomi pemerintah juga
memberlakukan Jaring Pengaman Sosial untuk membantu warga negara
melewati masa krisis ekonomi.

2.1 Strategi Promotif


Strategi promotif yang dilakukan pemerintah adalah dengan
mengajak warga untuk meningkatkan imunitas guna mempersiapkan
kondisi tubuh untuk menghadapi virus Covid-19 ini. Berbagai sumber
merilis upaya upaya apa saja yang bisa dilakukan oleh masyarakat dalam
memperbaiki daya tahan tubuh terhadap infeksi saluran napas. Beberapa di
antaranya adalah dengan tidak merokok dan berhenti mengonsumsi
alkohol, mengatur pola tidur, serta mengonsumsi suplemen tubuh (Susilo
et al., 2020). Selain itu, pemerintah juga mengimbau warga negara untuk
menerapkan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan mengikuti
rekomendasi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam menghadapi
wabah Covid-19. Langkah-langkah proteksi mendasar seperti cuci tangan
secara rutin dengan alkohol atau sabun dengan air, menjaga jarak aman
jika ada orang yang terlihat batuk dan bersin, memberlakukan etika batuk
dan bersin seperti menutup mulut dengan tangan, dan pergi ke rumah sakit
atau klinik untuk memastikan apabila mengalami gejalan Covid-19. Selain
itu, terdapat anjuran untuk menjaga jarak dengan minimal satu meter yang
bertujuan agar tidak terjadi penularan akibat penyebaran droplets penderita
Covid-19. Begitu juga pada pasien yang terindiksai mengalami gejala ini
diharuskan isolasi mandiri dirumah atau mendapat ruangan isolasi apabila
dirawat inap, serta diwajibkan menjaga jarak dengan tenaga medis, dengan
dipakaikan masker khusus medis kemudian diberi arahan mengenai etika
batuk atau bersin dan diberikan contoh untuk mencuci tangan dengan baik
dan benar.

2.2 Strategi Kuratif


Menurut Prof. Dr. dr. Faisal Yunus Sp.P (K), FCCP yang
disampaikan beliau pada (Kumparan, 2020) dalam jurnal (Ophinni et al.,
2020), ada terdapat beberapa treatment kepada pasien yang terinfeksi
Covid-19 diantaranya dengan pemberian obat yang dahulu pernah dipakai
untuk wabah sebelum penyakit Sars-CoV2 seperti obat oseltamivir untuk
wabah fluburung. Bagi pasien Covid-19 yang menderita pneumonia
dilakukan intervensi medis berupa pemberian antibiotik dan juga mereka
diminta mengonsumsi vitamin C dengan dosis tinggi di bawah
pengawasan dokter. Apabila pasien menderita gangguan pada hati akan
diberikan hepatoprotector yang merupakan senyawa obat yang dapat
memproteksi hati dari kerusakan akibat virus.

2.3 Strategi Preventif


Presiden mendirikan gugus tugas khusus percepatan penanganan
Covid-19 yang difungsikan sebagai juru teknis penanganan pandemi
Covid-19 dan dukungan penuh dari seluruh aspek pertahanan. Dikala
negara lain menerapkan karantina wilayah atau lockdown, pemerintah
Indonesia melalui Kementerian Kesehatan (kemenkes) menerapkan
kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) melalui Permenkes 9
tahun 2020 mengenai Panduan PSBB dalam rangka percepatan
penanganan Covid-19 dan sebelumnya menerapkan social distancing serta
physical distancing bagi masyarakat. Pembatasan Sosial Berskala Besar
merupakan suatu langkah yang cukup strategis untuk diambil oleh
pemerintah dengan bertujuan menekan laju dari penularan Covid-19 di
Indonesia ini (Thorik, 2020)

Individu yang merasa pernah ada kontak dengan pasien yang


dinyatakan positif Covid-19 juga harus memeriksakan dirinya ke fasilitas
kesehatan yang nantinya dilakukan serangkaian tes menggunakan metode
rapid test terlebih dahulu dan nantinya jika reaktif akan dilakukan tes PCR,
apabila orang tersebut mengalami gejala ringan bisa melakukan self-
isolation dan jika gejalanya berat harus dirawat di rumah sakit rujukan
Covid-19. Badan Kesehatan Dunia juga sudah merilis panduan penilaian
risiko bagi petugas medis yang merawat pasien positif Covid-19 sebagai
pedoman tindakan lanjutan. Bagi kelompok pasien Covid-19 yang berisiko
tinggi, direkomendasikan agar ada isolasi di fasilitas kesehatan total dalam
jangka waktu 14 hari dan terus dipantau petugas medis dan diberi
pertolongan yang bisa membantu pasien Covid-19 agar cepat sembuh.

Pada kelompok pasien Covid19 yang berisiko rendah, diimbau


melaksanakan self-isolation dengan selalu memerhatikan suhu tubuh dan
sistem pernafasan selama 14 hari, apabila keluhan memberat harus segera
minta tim medis menjemput agar bisa ditangani di fasilitas kesehatan.
Pada masyarakat umum, upaya mitigasi dilaksanakan dengan tidak
berkerumun dalam jumlah besar (social distancing) dan selalu jaga jarak
aman satu meter (physical distancing). (Susilo et al., 2020) SARS-CoV-2
menular terutama melalui droplets. Alat pelindung diri (APD) merupakan
salah satu strategi pencegahan penularan selama penggunaannya rasional
(Susilo et al., 2020). Selain itu Badan Kesehatan Dunia menyatakan
bahwasanya masker non medis dapat dijadikan salah satu Alat Pelindung
Diri (APD) untuk masyarakat yang sehat untuk menghindari paparan
droplets dari penderita Covid-19 yang masih berkeliaran di lingkungan,
sedangkan masker medis ditekankan hanya digunakan oleh para petugas
medis (World Health Organization, 2020).

Karena virus ini menyebar dengan sangat masif sehingga hampir


semua negara melaporkan penemuan kasus Covid-19, tak terkecuali di
negara Indonesia yang kasus pertamanya terjadi di awal bulan Maret 2020.
Sehingga merupakan hal yang wajar banyaknya negara yang mengambil
kebijakan sesuai dengan situasi dan kondisi di negara masing-masing dan
membuat hubungan antara beberapa negara menjadi tidak berjalan baik
salah satu nya australia dengan negara negara pasifik (Laila, 2020), akan
tetapi kebijakan yang paling banyak diambil adalah dengan
memberlakukan lockdown yang dianggap sebagai strategi tercepat
memutus mata rantai penyebaran virus yang satu ini.

The emergency commite telah menyatakan bahwa penyebaran


COVID-19 dapat dihentikan jika dilakukan proteksi, deteksi dini, isolasi,
dan perawatan yang cepat agar tercipta implementasi sistem yang kuat.
Dari banyaknya kasus yang terjadi di Indonesia, kesadaran dari pemerintah
dan masyarakat berbagai negara dari seluruh dunia telah berkomitmen
bersama dengan melibatkan pemerintah, perusahaan bioteknologi,
ilmuwan, dan akademisi untuk dapat menciptakan vaksin Covid-19.

Tentunya vaksin sangat dibutuhkan demi menekan angka positif


covid-19. Namun, pada tahun 2020 pemerintah hanya dapat
mengupayakan berupa penerapan dan memperketat penerapan protokol
kesehatan, pembatasan sosial atau social distancing, bahkan pemberlakuan
karantina wilayah atau lockdown dibeberapa wilayah. Namun upaya ini
terasa sia-sia, angka kasus positif masih tinggi yang disebabkan banyak
masyarakat yang tidak mau mematuhi aturan tersebut karena pada
dasarnya hal tadi hanyalah imbauan dan tidak ada sanksi berat yang
mampu membuat masyarakat patuh. Melihat hal tersebut, pemerintah
dituntut untuk menangani ancaman nyata Covid-19. Sehingga untuk
mengatasi masalah tuntutan tersebut adalah UndangUndang Nomor 6
Tahun 2018 terkait Kekarantinaan Kesehatan. Keputusannya adalah
pemerintah pusat tidak memberlakukan karantina wilayah atau lockdown
melainkan memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
sebagaimana diatur dalam PP Nomor 21 Tahun 2020 dan juga melakukan
tindakan tes massal menggunakan alat rapid test yang jika seseorang
dinyatakan hasil tesnya reaktif maka akan dilakukan swab test untuk
memastikan orang tersebut positif atau negatif Covid-19.

Kebijakan-kebiakan yang ada diharapkan dapat mengatasi masalah


setidaknya mengakhiri pandemi dengan upaya kewaspadaan diri masing-
masing yang utama, penanganan yang serius terhadap pasien yang
terinfeksi dan sosialisasi kepada masyarakat. Hingga saat ini data per 9
April 2022 yang didapat dari (covid19.go.id,2022) , tercatat di Indonesia
sudah ada sekitar 6.031.636 konfirmasi jumlah terpapar virus covid-19 dan
sekitar 5.801.909 sembuh dan angka kematian 155.597.

Terdapat banyak pendapat mengenai hbungan antara herd


immunity dengan Covid-19 yang masih menjadi perdebatan para ilmuwan.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa herd immunity akan muncul
apabila seseorang sudah mendapatkan vaksin flu dan orang dari luar negeri
telah mendapatkan vaksi flu yang dapat melindungi seseorang yang tidak
mendapat imunisasi. Namun masalah ini tidak dapat dipastikan, karena
terdapat banyak skali jenis flu, yang berarti vakin flu tidak akan efektif
100%. Akan tetapi masalah yang sedang dihadapi sekarang adalah
coronavirus, dimana virus ini merupakan virus baru dan tentu saja vaksin
nya belum ditemukan. Untuk menemukan suatu vaksin maka memerlukan
tahapan dan waktu yang panjang untuk menemukan vaksin yang efektif.
Sedangkan herd immunity hanya akan terbentuk apabila suatu individu
sudah pernah terinfeksi, namun hal ini akan sangat beresiko apabila belum
ditemukannya vaksin atau jika terinfeksi terlebih dahulu kemudian baru
sembuh. Sehingga social distancing yang pernah diupayakan pemerintah
saat itu terasa lebih efektif untuk membangun herd immunity melawan
covid-19. Terbentuknya herd immunity juga akan membantu menghambat
penularan, terutama bagi orang yang sudah mendapat vaksinasi.

Banyak lembaga kesehatan atau perusahaan kesehatan


yangvmelakukan uji klinis untuk evaluasi kandidat vaksin baru dan
strategi dalam penggunaan obat untuk pencegahan dan pengobatan infeksi
SARS-CoV-2 saat ini sedang berlangsung. Namun, tidak diketahui apakah
uji coba ini akan menghasilkan hasil yang efektif dan tidak jelas berapa
lama studi ini akan memakan waktu untuk menetapkan kemanjuran dan
keamanan, meskipun perkiraan optimis untuk setiap uji coba vaksin
setidaknya 12-18 bulan. Khususnya dalam konteks mencapai kekebalan
kawanan terhadap SARS-CoV-2, sehubungan dengan sumber daya
perawatan kesehatan yang terbatas, tidak dapat dilebih-lebihkan, karena
kebijakannya bergantung pada memungkinkan sebagian besar populasi
terinfeksi. Kemampuan untuk membangun kekebalan kelompok terhadap
SARS-CoV-2 bergantung pada asumsi bahwa infeksi virus menghasilkan
kekebalan protektif yang cukup. Saat ini, sejauh mana manusia mampu
menghasilkan kekebalan sterilisasi terhadap SARS-CoV-2 tidak jelas.
Dalam kohort dari 175 pasien COVID-19 yang pulih, antibodi penetralisir
serum (NAbs) spesifik SARS-CoV-2 terdeteksi pada titer yang cukup
besar. Bahkan jika infeksi ulang dapat terjadi setelah kekebalan yang
disterilkan berkurang, sel-sel memori yang bertahan lama dari sistem
kekebalan adaptif kemungkinan akan memfasilitasi pengendalian
kekebalan terhadap virus.
2.4 Vaksin
Alasan penting dan dibutuhkannya vaksin dalam kondisi pandemi
virus Covid-19 adalah karena pepatah megatakan bahwa 'infeksi alami
memberikan kekebalan yang lebih baik daripada vaksinasi' telah dipegang
sebagai kepercayaan lama, termasuk di kalangan profesional kesehatan.
Namun demikian, teknologi vaksin telah berkembang pesat dalam dua
dekade terakhir sehingga hasil ini harus menjadi pengecualian daripada
norma.

Akhir-akhir ini terdapat vaksin terbaru untuk human


papillomavirus dan virus varisela zoster adalah dua contoh di mana
kekebalan yang diinduksi vaksin jauh lebih unggul daripada infeksi
primer. Adapun SARS-CoV-2, keunggulan kekebalan berbasis vaksin
telah terbukti dalam studi imunogenisitas kandidat vaksin perbatasan: tes
antibodi pascavaksinasi menunjukkan lebih tinggi menetralkan anti-S-IgG
dibandingkan dengan plasma konvalesen (akan dibahas lebih lanjut nanti).
Menganalisis titer IgG rata-rata mengungkapkan bagaimana vaksin
memicu tingkat NAb yang tinggi secara konsisten di seluruh subjek,
sementara infeksi alami menghasilkan respons imun yang sangat
bervariasi. Namun, respons imun yang didapat juga beragam antar
individu sesuai dengan kondisi klinis masing-masing.(Makmun &
Hazhiyah, 2020)

Dalam pembuatan vaksin, ada banyak model yang dibuat


contohnyan seperti model vaksin dengan virus tidak aktif (Inaktivasi
Virus), protein subunit, viral vector dan mRNA.
Gambar 1 Contoh Perbandingan Model Vaksin

Model vaksin dengan inaktif virus merupakan salah satu metode


yang sudah lama digunakan dan teruji dalam membuat vaksin. Model ini
juga sudah digunakan dalam berbagai jenis penyakit bakteri dan virus
seperti tipus, influenza, dan virus papiloma manusia. Virus pertama kali
ditumbuhkan dalam kultur sel mamalia sebelum diinaktivasi dengan bahan
kimia baik formaldehida atau -propiolakton. Metodenya sederhana dan
relatif mudah, tetapi memakan waktu dan hasil tergantung pada skala
kultur, replikasi virus in vitro, dan persyaratan fasilitas tingkat keamanan
hayati 3.101Seluruh virion disajikan, yang mungkin menginduksi non-
NAb (dibahas di atas) dan menimbulkan risiko peningkatan yang
bergantung pada antibodi (ADE). Vaksin virus tidak aktif yang diproduksi
oleh dua perusahaan di China, Sinovac dan Sinopharm, kini telah
mencapai uji coba fase 3.

Pada vaksin dengan model subunit protein, vaksin dengan model


ini merupakan protein rekombinan yang dapat diproduksi dari berbagai
sistem ekspresi menggunakan sel ragi, serangga, atau mamalia, tanpa
menangani patogen yang sebenarnya. Fleksibilitas konstruksi asam amino
memungkinkan modifikasi peptida secara menyeluruh, dan kekebalan
memori yang diinduksi bergantung pada pemilihan dan pengoptimalan
peptida yang tepat, untuk memastikan presentasi antigen yang efektif oleh
molekul MHC di berbagai demografi. Namun, dalam kasus SARS-CoV-2,
protein lonjakan relatif sulit diekspresikan dalam sistem ekspresi seluler
dan dapat memengaruhi hasil dan kecepatan produksi.

Dari sekian banyak kandidat yang mencobs melakukan pengujian


terhadap vaksin Covid-19, berikut adalah daftar kandidat yang vaksin
Covid-19 yang mencapai uji klinis hingga fase 3.

Tabel 1 Informasi Dasar Kandidat Vaksin COVID-19 Mencapai Uji Klinis


Fase 3.
Tabel 2 Karakteristik Khasiat dan Rincian Uji Coba Tahap 3 Setiap
Kandidat Vaksin.
Tabel 3 Karakteristik Efisiensi Setiap Kandidat Vaksin.

2.4 Persediaan Vaksin di Indonesia


Dalam jurnal (Ophinni et al., 2020) Secara luas diasumsikan bahwa
Indonesia perlu mencapai herd immunity hingga 67% secara nasional
untuk menghentikan pandemi. Ini berarti 175 juta orang dan pasokan yang
diperlukan 350 juta vaksin. Angka pre-order vaksin terbaru yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia (per 10 Desember 2020) adalah 271
juta dosis, dengan daftar sebagai berikut: 125,5 juta dari Sinovac, 50 juta
dari Oxford/ AstraZeneca, 50 juta dari BioNTech/Pfizer, 30 juta dari
Novavax, dan 16 juta dari partisipasi negara dalam inisiatif COVAX—
merek vaksin mana yang akan didistribusikan oleh COVAX masih belum
diumumkan. Dikabarkan bahwa pemerintah Indonesia juga akan membuat
kesepakatan dengan Moderna; jumlahnya tidak diungkapkan. Menristek
menggembleng pembangunan vaksin 'Merah Putih' buatan dalam negeri—
vaksin subunit S—yang melibatkan Biofarma, Lembaga Eijkman,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan empat universitas besar.
Vaksin ini masih dalam pengembangan pra-klinis; target fase 3 masih jauh
pada 2022 dan berapa banyak pasokan dalam negeri yang bisa disiapkan
masihbelum jelas.
Pemerintah akan menanggung 30% dari vaksinasi melalui program
vaksinasi nasional dan membuat vaksin (Sinovac) gratis untuk kelompok
orang tertentu, sedangkan 70% diharapkan akan ditutupi melalui program
vaksinasi mandiri oleh sektor swasta. Peraturan ini, bagaimanapun, dapat
berubah di masa depan karena pemerintah Indonesia berencana untuk
menanggung 100% dari vaksinasi. Penyaluran bantuan pemerintah akan
difasilitasi oleh Biofarma dan disebar ke Dinas Kesehatan Provinsi (Dinas
Kesehatan Provinsi) kemudian ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Kemudian, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota akan mendistribusikan ke
Puskesmas dan Rumah Sakit Pemerintah. Sedangkan untuk program
vaksinasi mandiri, uji coba dan pengawasan pasca-lisensi yang ketat harus
dilakukan untuk menjamin keamanan jangka panjang dan efek samping
terkait vaksin, termasuk potensi peningkatan penyakit, serta tingkat
efektifitas yang ditandai dengan lamanya atau durasi pemberian.

3. Herd Immunity
Herd immunity adalah suatu kondisi dimana sebagian besar
populasi sudah kebal terhadap penyakit menular tertentu sehingga dapat
memberikan perlindungan baik secara tidak langsung atau memberikan
perlindungan kepada populasi yang tidak kebal terhadap penyakit tersebut.

Prinsip dari sistem imun terhadap mikroba terbagi menjadi dua


jenis, yaitu sistem bawaan dan sistem adaptif. Respon imun bawaan
terhadap mikroba cepat dan tidak spesifik, sedangkan imunitas adaptif
spesifik untuk mikroba dan memiliki sel memori yang digunakan ketika
mikroba menginfeksi ulang. Herd immunity atau efek kawanan adalah
fenomena yang terjadi pada sekelompok orang yang resisten terhadap
penyakit seperti orang-orang tanpa sistem kekebalan yang berfungsi
penuh, termasuk mereka yang tidak memiliki limpa yang berfungsi, orang
yang menjalani pengobatan kemoterapi yang sistem kekebalannya
melemah, orang dengan HIV, bayi baru lahir yang terlalu muda untuk
divaksinasi, orang tua dan banyak dari mereka yang sakit parah di rumah
sakit.
Herd Immunity juga dikenal sebagai tidak semua orang dalam
suatu populasi perlu diimunisasi untuk menghilangkan penyakit. Vaksin
adalah salah satu tindakan yang paling hemat biaya dalam perawatan
kesehatan, tetapi manfaat ini terkikis karena biaya per dosis meningkat.
Keuntungan lain dari program vaksinasi yang efektif adalah kekebalan
kawanan yang diberikannya pada populasi umum. Dengan menurunkan
jumlah anggota populasi yang rentan, vaksinasi mengurangi reservoir
alami individu yang terinfeksi dalam populasi tersebut dan dengan
demikian mengurangi kemungkinan penularan infeksi. Dengan demikian,
bahkan anggota yang tidak divaksinasi akan terlindungi karena peluang
mereka untuk bertemu virus, bakteri atau berbagai macam bentuk spesies
patogen akan semakin berkurang. (Faizal & Ariska Nugrahani, 2020)

Mekanisme herd immunity sebelum dan sesudah vaksinasi adalah


ketika agen infeksi seperti virus, bakteri, dan jamur masuk ke dalam tubuh,
banyak sel yang terinfeksi karena kurangnya kekebalan untuk melawan
penyakit itu sendiri. Ketika agen infeksius masuk ke dalam tubuh yang
divaksinasi, penyebaran penyakit menjadi terbatas. Efek tidak langsung
melindungi individu yang tidak diimunisasi, termasuk mereka yang tidak
dapat divaksinasi dan mereka yang telah divaksinasi tetapi tidak berhasil,
yang merupakan prinsip herd immunity. Kekebalan kawanan yang berhasil
akan meningkat jika tubuh divaksinasi sekitar 40% tetapi tergantung pada
penyakitnya.

Umumnya sistem imun bawaan dan adaptif berperan langsung


dalam mengeliminasi virus. Selain itu, respon imun akan melawan epitop
virus HLA kelas-I dan kelas-II yang dimediasi oleh limfosit T CD8+ dan
CD4+. Secara klinis limfosit T yang bertanggung jawab berpeluang
menjadi antivirus di dalam tubuh. Jika dianalogikan dengan COV lain.
SARS-COV-2 dapat menginduksi limfosit yang dimediasi oleh respon
imun, dan hal ini dibuktikan dengan adanya pasien yang dirawat di rumah
sakit sering menunjukkan tanda-tanda limfopenia sehingga imun seluler
dapat ditekan dengan adanya infeksi SARS-COV-2 akan dengan cepat
membersihkan SARS-COV-2 tanpa tanda klinis ringan dari infeksi atau
virus yang menyebabkan penekanan kekebalan berlebihan dan pada
pertahanan tubuh manusia.

Innate herd immunity adalah jenis herd immunity yang secara


genetik menentukan perubahan fisiologis sehubungan dengan produksi
antibodi atau mekanisme pertahanan lainnya dalam suatu kawanan. Itu
tidak tergantung pada paparan kawanan sebelumnya dengan infeksi, atau
mungkin timbul dalam kawanan melalui paparan infeksi atau seleksi alam
yang berkepanjangan. Kekebalan kelompok yang didapat adalah jenis
kekebalan kelompok di mana sejumlah besar anggotanya benar-benar telah
terpapar secara alami atau buatan terhadap agen infeksi selama masa hidup
mereka.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Kasus Herd Immunity di Indonesia saatini sudah mulai meningkat yang
dimana dapat dilihat dari tingginya angka penduduk yang sudah di vaksin. Selain
itu, herd immunity yang terbentuk secara alami dari antibodi juga mempengaruhi.
Hubungan antara pemerintah dan masyarakat merupakan hal utama dalam
menangulangi penyebaran wabah Covid-19, pemerintah melakukan PSBB dan
mengeluarkan dua opsi yakni Pembatasan Sosial Berskala Lokal (PSBL) tingkat
RT atau RW dan new normal life atau tatanan kehidupan normal yang baru yang
mana kedua kebijakan ini sangat tergantung dari peran serta masyarakat untuk taat
mengikutinya. Untuk peran pimpinan daerah seperti RT/RW merupakan hal
pokok utama yang dapat dikondisikan pemerintah dalam mengupayakan sinergitas
antara pemerintah dan masyarakat dapat terjadi. Pengembangan vaksin COVID-
19 bergerak dengan pesat. Selain itu, kelimpahan modalitas vaksin, dan
keefektifitasan yang terbukti sejauh ini membuktikan kemampuan ilmiah yang
telah kita capai untuk memerangi pandemi.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. Cellular and Molecular Immunology. 9th ed.
(Gruliow R, ed.). Philadelphia: Elsevier Inc.; 2018.
Arum, R. (2020). Pembatasan Sosial di Indonesia Akibat Virus Corona Ditinjau
dari Sudut Pandang Politik. LawArXiv. https://doi.org/10.31228/osf.io/g8ny3
Faizal, I. A., & Ariska Nugrahani, N. (2020). Herd immunity and COVID-19 in
Indonesia. Jurnal Teknologi Laboratorium, 9(1), 21–28.
https://doi.org/10.29238/teknolabjournal.v9i1.219
Ikatan Dokter Indonesia. Statistik anggota [Internet]. IDI. [cited 2020 Dec 20].
Available from: http://www. idionline.org/statistik/.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, editor. Perencanaan vaksinasi
COVID-19. In: Juknis Pelayanan Vaksin COVID-19. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; 2020. p. 20–3.
Makmun, A., & Hazhiyah, S. F. (2020). Tinjauan Terkait Pengembangan Vaksin
Covid 19. Molucca Medica, 13, 52–59.
https://doi.org/10.30598/molmed.2020.v13.i2.52
Nuraini N, Khairudin K, Apri M. Modeling simulation of COVID-19 in Indonesia
based on early endemic data. Communication in Biomathematical Sciences.
2020 Apr 17;3(1):1–8.
Ophinni, Y., Hasibuan, A. S., Widhani, A., Maria, S., Koesnoe, S., Yunihastuti,
E., Karjadi, T. H., Rengganis, I., & Djauzi, S. (2020). COVID-19 Vaccines:
Current Status and Implication for Use in Indonesia. Acta Medica
Indonesiana, 52(4), 388–412.
Satgas Penanganan Covid. Hasil Kajian [Internet]. covid19.go.id. 2020 [cited
2020 Dec 19]. Available from: https://covid19.go.id/p/hasil-kajian/covid-19-
vaccine-acceptance-survey-indonesia.Susilo, Adityo et al. (2020).
Coronavirus Disease 2019: Tinjauan Literatur Terkini. Jurnal Penyakit
Dalam Indonesia.Vol. 7, No. 1.
Wahidah, I., Athallah, R., Hartono, N. F. S., Rafqie, M. C. A., & Septiadi, M. A.
(2020). Pandemik COVID-19: Analisis Perencanaan Pemerintah dan
Masyarakat dalam Berbagai Upaya Pencegahan. Jurnal Manajemen Dan
Organisasi, 11(3), 179–188. https://doi.org/10.29244/jmo.v11i3.31695
World Health Organization. WHO SAGE roadmap for prioritizing uses of
COVID-19 vaccines in the context of limited supply [Internet]. WHO. 2020
[cited 2020 Dec 20]. Available from: https://www.
who.int/publications/m/item/who-sage-roadmap-forprioritizing-uses-of-
covid-19-vaccines-in-the-contextof-limited-supply

Anda mungkin juga menyukai