Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

ASUHAN KEBIDANAN KEGAWATDARURATAN

MATERNAL NEONATAL

“Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Neonatal : Sindrom

Gawat Nafas (Respiratory Distress Syndrome/RDS)”

Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Asuhan Kebidanan

Kegawatdaruratan Maternal Neonatal

Oleh Kelompok 15 :

1. Diah Ayu Sugita (16.14.02.009)


2. Fepy Sisiliay (16.14.02.011)

AKADEMI KEBIDANAN PAMENANG

JL. SOEKARNO HATTA NO. 15 BENDO-PARE-KEDIRI

TELEPON (0354) 393102-FAX (0354) 395480

TAHUN 2017/2018
PEMBAHASAN

A. Definisi

Sindrome gawat napas (repiratory distress syndrome, RDS) ada;ah istilah

yang digunakan untuk disfungsi pernafasan pada neonatus. Gangguan ini

merupakan penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan

maturitas paru. Gangguan ini biasanya juga dikenal dengan nama hyaline

membrane disease (HMD) atau penyakit membran hialin, karena pada

penyakit ini selalu ditentukan membran hialin yang melapisi alveoli (Surasmi,

2003 : 70).

Sindrom gawat napas neonatus adalah sekumpulan gejala ganggan napas

bayi baru lahir karena beberapa sebab. Sindrom ini terdiri atas gejala, seperti

dispnea, merintih/grunting, takipnea, retraksi dinding daada, dan sianosis

(Tando, 2016: 143).

Sindrom ini merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari dispnu atau

hipernu, dengan frekuensi pernapasan lebih dari 60 kali/menit, sianosis,

“expiratoy grunting”, retraksi di daerah epigastrum, supraternal, interkostal

pada saat inspirasi dan terdapat penurunan “air entry” dalam parut (FKUI,

1985 : 1082).

B. Patofisiologi

Penyebab sindrom gawat nafas menurut (Sembiring, 2017 : 179) adalah

surfaktan paru. Surfaktan paru adalah zat yang memegang peranan dalam

pengembangan paru dan merupakan suatu kompleks yang terdiri dari protein,

karbohidrat, dan lemak. Senyawa utama zat tersebut adalah lesitin. Zat ini

mulai di bentuk pada kehamilan 22-24 minggu dan mencapai maksimum pada
minggu ke 35. Fungsi surfaktan adalah untuk merendahkan tegangan

permukaan alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi. sehingga untik

bernafas berikutnya di butuhkan tekanan negatif intrathoraks yang lebih besar

dan di sertai usaha inspiarsi yang lebih kuat. Kolaps paru ini menyebabkan

terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2. dan oksidosis.

Penyebab utama dari kegawatan nafas bayi (Neonatal Respiratory

Distress) adalah paru-paru bayi belum cukup untuk berkembang dengan penuh

akibat dfisiensi surfaktan.surafaktan membantu paru mengembang dan

melindungi kantong udara dari kollaps paru. Faktor risiko yang dapat

meningkatkan kegawatan nafas neonatus adalah prematur, asfiksia perintal,

suku ras Caucasian, kehamilan multiple (gemelli dua atau lebih), hipertensi

pada ibu dan urutan kehamilan/paritas (Marfuah dkk, 2013: 122).

1. Kehamilan ganda

Kehamilan ganda mempunyai peluang lebih besar untuk

mengalami gawat napas dibandingkan dengan bayi tunggal. Menurut

penelitian yang dilakukan oleh Marfuah (2013), hubungan antara

kehamilan ganda dengan kegawatan nafas pada neonatus terjadi karena

komposisi kehamilan ganda (gemelli) pada kelompok tidak gawat napas (9

: 2), dan usia kehamilan bayi yang lahir kembar adalah 32 – 35 minggu, ini

menunjukkan bahwa hampir seluruh bayi kembar (gemelli) lahir dalam

kondisi prematur, ini menguatkan bahwa kehamilan ganda untuk lahir

premature dan sangat beresiko untuk terjadinya kegawatan nafas pada

neonatus. Hal ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Indiarti

(2006) yaitu teori distensi abdomen kapasitas elastisitas uteus atau


abdomen lebih rendah pada saat menampung jumlah janin 2 atau lebih,

sehingga sebagian besar bayi yang lahir kembar balik gemelii, tripel atau

lebih dalam usia kehamilan 28 – 32 minggu atau prematur, sehingga

sistem pernafasan immatur, sehingga terjadi defisiensi surfaktan yang

menyebabkan paru bayi tidak mampu mengembang dan penyakit

membran hialin sebagai penyebab utama gawat nafas banyak terjadi pada

bayi prematur. Untuk itu kehamilan ganda beresiko untuk lahir prematur

sehingga mempunyai risiko gawat nafas lebih besar (Marfuah dkk, 2013:

123).

2. Asfiksi

Dejarat asfiksia dengan kegawatan napas neonatus dan oada bayi

dengan asfiksia sedang-berat mempunyai kemungkinan lebih besar untuk

mengalami gawat nafas dibandingakan bayi yang tidak asfiksia. Asfiksia

adalah keadaan bayi tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur segera

setelah lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan keadaa

PaO2 di dalam darah rendah (hipoksiemia), hiperkarbenia (PaCO2

meningkat) dan asidosis (Marfuah dkk, 2013: 123).

Asfiksia dimulai periode apneu disertai dengan penurunan

frekuensi jantung, selanjutnya bayi menunjukkan usaha bernafas (gasping)

yang kemudian diikuti dengan pernafasan teratur, namun pada asfiksi

berat, usaha bernafas tidak tampak dan bayi selanjutnya berada dalam

periode apneu kedua dan jika terlambat diakukan resusitasi, maka gawat

nafas dapat terjadi (Marfuah dkk, 2013: 123).

3. Usia kehamilan
Pada bayi yang lahir dengan usia kehamilan <38 minggu, maka

bayi lahir dalam keadaan prematur, dan terjadi immaturitas paru dimana

paru-paru bayi belum cukup untuk berkembang dengan penuh, ini terjadi

kekurangan substansi perlindungan yang disebut surfaktan, yang

membantu paru mengembang karena udara dan melindungi kantong udara

dari kollap paru sehingga terjadi kegawatan nafas neonatus, paling sering

kasus pada bayi kurang 28 minggu dan sangar jarang pada bayi yang lahir

aterm atau 40 minggu (Marfuah dkk, 2013: 124).

4. Paritas

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Marfuah (2013 : 124),

pada kelompok gawat napas lebih dari separuh merupakan anak pertama

yaitu sebanyak 67 responden (55,8%), dan bukan anak pertama sebanyak

53 responden (anak ke-2 atau lebih) sebanyak 44,2%, dengan perincian

anak ke-2 sebanyak 27 bayi, anak ke-3 sebanyak 16, anak ke-4 sebanyak 7

dan anak ke-5 sebanayk 3 bayi. Pada kelompnok yang tidak gawat nafas

didapatkan bahwa sebagian besar bukan paritas yang ke 1 yaitu sebanyak

70 bayi (58,3%), sedangkan pada paritas ke 1 sebanyak 50 bayi (41,7%),

sehingga pada anak pertama lebih berisiko terjadinya kegawatan nafas

pada neonatus (Marfuah dkk, 2013: 124).

C. Prognosis

Prognosis bayi dengan PHM (Penyakit Membran Hialin) terutama

ditentukan oleh prcmaturitas scrta bcratnya pcnyakit. Bayi yang sembuh

mempunyai kesempatan tumbuh dan kembang sama dengan bayi prematur

lain yang tidak menderita PMH (Sembiring, 2017 : 179).


D. Klasifikasi

Fungsi dari skor downe adalah untuk menentukan derajat kegawatan napas

pada neonatus (Marmi, 2012).

0 1 2

Frekuensi nafas < 60 kali/menit 60 – 80 kali/menit >80 kali/menit

Sianosis Tidak sianosis Sianosis hilang Sianosis menetap

dengan O2 walaupun diberi

O2

Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat

Air Entry Udara masuk Penurunan ringan Tidak ada udara

bilateral baik udara masuk masuk

Merintih Tidak merintih Dapat didengar Dapat didengar

dengan stetoskop tanpa alat bantu

Keterangan :

0-4 : Distress Napas Ringan, membutuhkan O2 nassal atau headbox

4-7 : Distress Napas Sedang, membutuhkan nassal CPAP

>7 : Distress Napas Berat, ancaman gagal nafas membutuhkan

intubasi.

E. Gejala
Sindrom Gawat Nafas umumnya terjadi pada bayi prematur dengan berat

badan 1000-2000 gram Atau masa generasi 30-35 minggu. Gangguan

pernafasan mulai tampak dalam 6-8 jam pertama setelah lahir dan gej yang

karakteritis mulai terlihat pada umur 24-72 jam (Sembiring, 2017 : 180).

Gejala umum Respiratory Distress Syndrome (Sindrom Gawat Nafas)

menurut Surasmi (2003 : 74), yaitu :

a. Takipnea (>60 kali/menit)

b. Pernapasan dangkal

c. Mendengkur

d. Sianosis

e. Pucat

f. Kelelahan

g. Apnea dan pernapasan tidak teratur

h. Penurunan suhu tubuh

i. Retraktir suprasternal dan substernal

j. Pernapasan cuking hidung

Sedangkan menurut Tando (2016 : 444) Gejala gangguan napas biasanya

timbul dalam 24 jam pertama setelah bayi lahir dengan degradasi yang

berbeda-beda, yaitu sebagai berikut.

1. Obstruksi jalan napas

2. Penyakit parenkim paru, seperti pneumonia

3. Kelainan perkembangan organ paru

4. Non-pulmonary, misalnya payah jantung dan asfiksi


F. Komplikasi

Kumpulan gejala ini dapat terjadi oleh bermacam kelainan di dalam

mauun diluar paru, karena itu tindakan yang dikerjakan harus disesuaikan

dengan penyebab sindrom tersebut (FKUI, 1985 : 1082). Beberapa kelainan

dalam paru yang sering memperlihatkan sindrom ini misalnya ialah :

1. Pneumotoraks

Keadaan ini lebih sering ditemukan pada masa neonatus daripada

masa lain. Hal ini disebabkan banyak faktor predisposisi yang dapat

menimbulkan kelainan ini. Faktor predisposisi tersebut ialah

pengembangan paru yang berlebihan akibat resusitasi yang berlebihan,

pemberian O2 dengan tekanan yang berlebihan, terdapatnya aspirasi

mekonium yang masif, komplikasi perjalanan penyakit paru yang benar

seperti penyakit membran hialin, pneumonia dan lai-lain (FKUI, 1985 :

1082).

2. Penyakit membran hialin

Etiologi penyakit ini sampai sekarang belum diketahui dengan

pasti. Kelainan yang terjadi dianggap karena faktor pertumbuhanatau

karena pematangan paru belum sempurna. Penyakit ini biasanya

mengenai bayi prematur, terutama bila ibu menderita gangguan perfusi

darah uterus selama kehamilan, misalnya ibu yang menderita diabetes

militus, toksemia gravidarum, hipotensi, seksio sesar dan perdarahan

antepartum. Kelainann ini merupakan penyebab utama kehamilan bayi

prematur (50-70%) (FKUI, 1985 : 1083-1084).

3. Pneumonia aspirasi
Hal ini terjadi bila cairan amnion yang mengandung mekonium

terinhalasi oleh bayi. Keadaan ini lebih dikenal sebagai sindrom aspirasi

mekonium. Cairan amnion sendiri sampai saat ini belum dibuktikan

dapat membahayakan paru bayi. Cairnan amnion yang mengandung

mekonium dapat terjadi bila bayi dalam kandungan menderita gawat

janin. Kejadian ini merupakan 10-20% dari seluruh kehamilan (FKUI,

1985 : 1088).

4. Sindrom Wilson Mikity

Sindrom ini merupakan suatu bentuk insufiensi paru pada bayi

prematur. Keadaan ini pertama kali dikemukakan Wilson dan Mikity

pada tahun 1960. Mereka memperkenalkan suatu kelainan paru kronik

pada bayi prematur dengan gambaran Rontgen paru spesifik (FKUI, 1985

: 1089).

Etiologi kelainan ini belum diketahui dengan pasti, tetapi setiap

penderita merupakan bayi prematur, dengan perawatan yang baik

mungkin dapat sembuh sempurna, penyakit berlangsung lama dan

kronik, tidak ditemukan peninggalan jumlah leukosit dan bakteri dalam

kultur, terdapat sianosis yang menetap dan foto Rontgen toraks

memperlihatkan bagian paru yang hiperaerasi (FKUI, 1985 : 1089).

G. Pemeriksaan

Pemeriksaan Sindrom Gawat Nafas menurut Surasmi (2003), yaitu sebagai

berikut :

1. Pemeriksaan diagnostik
Penentuan faktor komplikasi perlu dilakukan dengan tes spesifik,

seperti darah, urine dan glukosa darah (untuk mengetahui hipoglikemia).

Kalsium serum (untuk menentukan hipokalsemia), analisis gas darah

untuk menentukan pH serum (asidosis) dan PaO2 (tes untuk hipoksia)

(Surasmi, 2003 : 74).

Oksimetri nadi adalah komponen penting untuk menentukan

hipoksia. Pemeriksaan khusus lain mungkin untuk mendiagnosis atau

mencegah komplikasi. Temuan radiografik yang merupakan karakteristik

RDS meliputi granulitas parenkim retikular halus dan bronkogram udara

yang sering lebih menonjol pada awal di lobus bawah kiri karena

penumpang (superimposis) bayangan jantung (Surasmi, 2003 : 74).

Sedangkan menurut Sembiring (2017 : 180), pemeriksaan

diagnostik Sindrom Gawat nafas meliputi :

a. Foto thoraks

Atas dasar adanya gangguan pernafasan yang dapat di sebabkan

oleh berbagai penyebab dan untuk melihat keadaan paru, maka bayi

perlu dilakukan pemeriksaan foto thoraks.

b. Pemeriksaan darah

Perlu pemeriksaan darah lengkap, analisis gas darah dan elektrolit.

2. Diagnostik prenatal

Untuk menentukan maturitas paru dilakukan pemeriksaan (tes

cairan amnion) yang disebut rasio L/S (lesttin banding spingomielin).

Rasio L/S ini berguna untuk menentukan maturitas paru. Fosfolipid

disintesis di sel alveolar dan konsentrasi dalam cairan amnion selalu


berubah selama kehamilan. Padan mulanya spingomielin lebih banyak,

tetapi kira-kira pada usia kehamilan32-33 minggu konsentrasi menjadi

seimbang kemudian spingomielin berkurang dan lesitin meningkat secara

berarti sampai usia kehamilan 35 minggu dengan rasio 2 : 1 (Surasmi,

2003 : 74).

H. Penatalaksanaan

Tindakan yang perlu dilakukan untuk mengatasi Sindrom Gawat Nafas

menurut (Sembiring, 2017 : 180-182) yaitu sebagai berikut :

a. Memberikan lingkungan yang optimal, suhu tubuh bayi harus dalam batas

normal (36.5-37oc) dan meletakkan bayi dalam inkubator.

b. Pemberian oksigen dilakukan dengan hati-hati karena terpengaruh

kompleks terhadap bayi prematur, pembe- rian oksigen terlalu banyak

menimbulkan komplikasi fibrosis paru, kerusakan retina dan lain-lain.

c. Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlu untuk mempertahankan

hemeostasis dan menghindarkan dehidrasi. Permulaan diberikan glukosa

5-10 dengan jumlah 60-125 ML/ Kg BB hari.

d. Pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder. Penisilin dengan

dosis 50.000-10.000 untuk kg BB hari/ampisilin 100 mg/kg BB hari

dengan atau tanpa gentasimin 3-5 mg kg hari

 Bahaya kedinginan

 Bayi PMH adalah bayi prematur sehingga kulitnya sangat tipis,

jaringan lemak belum berbentuk dan pusat pengatur suhu belum

sempurna. Akibatnya bayi dapat jatuh dalam keadaan cold injury,


sianosis, dispnea, kemudian apnea. Untuk mencegah harus dirawat

dalam inkubator yang dapat mempertahankan suhu bayi 36.5-37oC.

 Resiko terjadi gangguan pernafasan Gejala pertama biasanya timbul

dalam 4 jam setelah lahir. Tata laksana perawatan bayi prematur

adalah :

1. Dirawat dalam inkubator dengan suhu optimum

2. Bila bayi mulai terlihat sianosis. / dispnea hiperapsnea segera

berikan oksigen.

3. Kesukaran dalam pemberian makanan Untuk memenuhi

kebutuhan kalori maka dipasang infus dengan cairan glukosa 5-

10%. Makanan bayi yang terbaik adalah asi. Karena itu selama

bayi belum diberi asi harus tetap pertahankan dengan memompa

payudara ibu setiap 3 jam.

 Resiko mendapat infeksi

 Untuk mencegah infeksi, perawat harus bekerja secara aseptik dan

inkubator harus aseptik pula. Ruangan tempat merawat bayi terpisah,

bersih, dan tidak di benarkan hanyak orang memasuki ruangan

tersebut kecuali petugas, semua alat yang diperlukan harus steril.

 Kebutuhan rasa nyaman Gangguan rasa nyaman

 Dapat terjadi akibat tindakan medis, misalnya penghisapan lendir,

pemasangan infus dll. Untuk mcmenuhi kebutuhan psikologisnya

selain sikap yang lembut setiap menolong bayi dalam memberi pasi

harus di pangku.
 Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian

surfaktan ekstrogen surfaktan dari luar). Pada umumnya dengan BB

lahir 1000-2000 gr dan masa kehamilan kurang dari 36 minggu.

Sedangkan menurut Surasmi (2003 : 75), pengobatan terhadap RDS

meliputi tindakan pendukung yang sama dengan pengobatan pada bayi

prematur dengan tujuan mengoreksi ketidakseimbangan. Pemberian minum

per oral tidak diperbolehkan selama fase akut penyakit ini karena dapat

menyebabkan aspirasi. Pemberian minuman dapat diberikan melalui

parenteral (Surasmi, 2003 : 75).

Sedangkan pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit

RDS adalah :

a. Antikbiotika untuk mencegah infeksi sekunder

b. Furosemide untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan

cairan paru

c. Fenobarbital

d. Vitamin E untuk menurunkan produksi radikal bebas oksigen

e. Metilksantin (teofilin dan kafein) untuk mengobati apnea dan untuk

pemberhentian dari pemakaian ventilasi mekanik (Surasmi, 2003 : 75).

Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaannya dalam

pengobatan RDS adalah pemberian surfaktan eksogen. Surfaktan eksogen

adalah derivat dari sumber alami misalnya manusia (didapat dari cairan

amnion atau paru sapi, tetapi bisa juga berbentuk surfaktan buatan) (Surasmi,

2003 : 75).
Contoh SOAP

Sindrom Gawat Nafas (Respiratory Distress Syndrome)

Tanggal : 18 Oktober 2011         Jam : 10.00 WIB

A. DATA SUBJEKTIF :

1. Bayi

Nama : Bayi Ny.D

Tanggal lahir : 18 Oktober 2011

Jenis Kelamin : laki-laki

2. Orang Tua

Nama ibu : Ny. D Nama bapak : Tn.S

Umur : 25 th Umur : 30 t

Agama : Islam Agama : Islam

Alamat : Tulungagung Alamat : Tulungagung

3. Keluhan utama      : bayi lahir dengan sesak di karenakan adanya

lendir pada hidung.

4. Riwayat keluhan utama    :  Bayi lahir pada tanggal 18 Oktober 2011

pukul 10.00 WIB, bayi sesak, nafas 24 x/ menit, disertai badan panas suhu

tubuh 35,8oC.

B. DATA OBJEKTIF :

Pemeriksaan Umum

1. Keadaan umum : baik

2. Antropometri

a. Berat badan : 2000 gr

b. Panjang badan : 46 cm


c. Lingkar kepala : 33 cm

3. Tanda vital

a. Suhu : 35,80C

b. Nadi : 90 x/mnt

c. Pernapasan : 24 x/mnt

Pemeriksaan Fisik

1. Kepala : simetris, ubun-ubun besar berbentuk laying-layang, ubun-

ubun kecil berbentuk segitiga.

2. Mata : simetris kanan dan kiri, sklera tidak ikterus, tidak ada

kotoran, konjungtiva tidak anemis.

3. Hidung : simetris, terdapat lubang hidung, tidak ada pernafasan

cuping hidung, terdapat lendir pada lubang hidung.

4. Mulut : simetris atas dan bawah, tidak labipallatokizis, tidak

labiokizis.

5. Telinga : simetris kanan dan kiri, ada daun telinga kanan dan kiri.

6. Leher : simetris, tidak ada pembesaran thyroid, tidak ada

pembesaran limfe, tidak ada pembesaran vena jugularis, terdapat

pergerakan memutar kanan dan kiri.

7. Dada : simetris, pergerakan dada lemah, bunyi nafas lemah,

bunyi jantung lemah.

8. Perut : simetris, terdapat bising usus

9. Tali Pusat : terdapat 2 arteri dan 1 vena, tidak ada perdarahan.

10. Kulit : warna biru pucat, tugor kulit baik (kembali sebelum 3

detik), terdapat sedikit lanugo, terdapat vernik caseosa.


11. Punggung : simetris, tidak ada spina bifida.

12. Ekstrimitas :

a. Tangan: jari-jari tangan lengkap, tidak polidaktil, tidak sindaktil.

b. Kaki : sama panjang, jari-jari lengkap, tidak polidaktil, tidak

sindaktil.

13. Genetalia (bayi laki-laki) :terdapat scrotum, testis sudah turun masuk

scrotum, jumlah testis 2, terdapat penis dengan panjang 2,5 cm.

14. Refleks

a.    Moro : masih lemah

b.    Rooting : masih lemah

c.    Isap : masih lemah

15. Menangis : bayi menangis lemah

C. ANALISA :

BLL umur 1 hari dengan sindrom gawat nafas.

D. PENATALAKSANAAN :

Tanggal 18 oktober 2011, pukul 10.00 WIB

1. Berikan suhu lingkungan yang optimal pada suhu 35 – 37 oC yaitu dengan

meletakkan bayi pada inkubator.

Evaluasi : bidan sudah meletakkan bayi dalam inkubator dengan suhu

lingkungan optimal pada suhu 35 – 37 oC.

2. Berikan cairan dan elektrolit (glukosa 5 – 10 persen) dengan jumlah yang

disesuaikan umur dan BB 60-125 kg BB/hari.

Evaluasi : bayi sudah diberikan cairan dan elektrolit dengan jumlah sesuai

berat badan bayi.


3. Berikan oksigen secara hati-hati sebelumnya dilakukan pemeriksaan

analisis gas darah arteri bila fasilitas untuk pemeriksaan tidak ada, maka

O2 diberikan dengan konsentrasi tidak lebih dari 40 atau 0,8 L / menit.

Evaluasi : bidan sudah memberikan oksigen dengan konsentrasi tidak lebih

dari 40 atau 0,8 L / menit.

4. Berikan antibiotik (penisilin dengan dosis 50.000-100.000 UI/kg BB/hari

atau 100 mg/kg dengan atau gentamicin 3-5) mg.

Evaluasi : bidan sudah memberikan antibiotik penisilin.

5. Berikan surfaktan eksogen (surfaktan dari luar)

Evaluasi : bidan sudah memberikan surfaktan eksogen pada bayi.


DAFTAR PUSTAKA

Marfuah, dkk. 2013. Faktor Resiko Kegawatan Nafas Neonatus di RSU Dr.

Haryoto Kabupaten Lumajang Tahun 2013. Malang : Jurnal Ilmu

Keparawatan, Vol 1, No 2, Nopember 2913 Fakultas Kedokteran

Universitas Brawijaya Malang.

Marmi, dan K. Rahardjo. 2012. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita dan Anak

Prasekolah. Yogyakarta : Putaka Pelajar.

Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Buku Acuan N0-asional Pelayanan Kesehatan

Maternal dan Neonatal. Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Sembiring, Julina Br. 2017. Buku Ajar Neonatus, Bayi, Balita, Anak Pra Sekolah

Yogyakarta : Deepublish

Surasmi, Asrining dan Handayani, Siti. 2003. Perawatan Bayi Risiko Tinggi.

Jakarta : EGC.

Tando, Naomy Marie. 2016: Asuhan Kebidanan: Neonatus, Bayi dan Anak Balita.

Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai