Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Program Profesi Ners Pada Stase Keperawatan
Gawat Darurat
RIANITA EFRIANTI
191 FK 04042
1.1.2 ETIOLOGI
Penyebab secara pasti penyakit ini belum diketahui, namun penyakit
ini sangat berhubungan erat dengan infeksi saluran napas bagian atas yang
disebabkan oleh organisme streptococcus hemolitik b group A yang
pengobatannya tidak tuntas atau bahkan tidak terobati. Pada penilitian
menunjukan bahwa penyakit jantung reumatik terjadi akibat adanya reaksi
imunologis antigen-antibody dari tubuh. Antibody akan melawan streptococcus
bersifat sebagai antigen sehingga terjadi reaksi autoimune. Faktor predisposisi
timbulnya penyakit jantung reumatik adalah :
1. Faktor individu
a. Faktor genetic
Pada umumnya terdapat pengaruh faktor keturunan pada proses
terjadinnya penyakit jantung reumatik meskipun cara pewarisannya
belum dipastikan.
b. Jenis Kelamin
Dahulu sering dinyatakan bahwa penyakit jantung reumatik lebih
sering pada anak perempuan dari pada laki-laki.
c. Golongan Etnis dan Ras
Data di Amerika Serikat menunjukan bahwa serangan awal maupun
berulang sering terjadi pada orang hitam di banding orang putih.
d. Umur
Penyakit jantung reumatik paling sering terjadi pada anak yang berusia
6-15 tahun (usia sekolah) dengan puncak sekitar sekitar umur 8 tahun.
Tidak biasa ditemukan pada anak sebelum usia 3 tahun atau setelah
usia 20 tahun.
2. Faktor lingkungan
a. Keadaan sosial ekonomi yang buruk
Sanitasi lingkungan yang buruk dengan penghuni yang padat,
rendahnya pendidikan sehingga pemahaman untuk segera mencari
pengobatan anak yang menderita infeksi tenggorokan sangat kurang
ditambah pendapatan yang rendah sehingga biaya perawatan kesehatan
kurang.
b. Iklim geografis
Penyakit ini terbanyak didapatkan pada daerah iklim sedang, tetapi data
akhir-akhir ini menunjukan bahwa daerah tropis memiliki insiden yang
tertinggi.
c. Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insiden infeksi
saluran pernapasan atas meningkat sehingga mengakibatkan kejadian
penyakit jantung reumatik juga dapat meningkat.
1.1.3 KLASIFIKASI
Perjalanan klinis penyakit penyakit jantung reumatik dapat dibagi dalam 4
stadium menurut Ngastiyah, adalah:
1. Stadium I
1.1.4 PATOFISOLOGI
Hubungan yang pasti antara infeksi streptococcus dan demam reumatik
akut tidak diketahui. Cedera jantung bukan merupakan akibat langsung infeksi,
seperti yang di tunjukan oleh hasil kultur streptococcus yang negatif pada
bagian jantung yang terkena. Fakta berikut ini menunjukan bahwa hubungan
tersebut terjadi akibat hipersensitif imunologi yang belum terbukti terhadap
antigen antigen streptococcus:
1. Demam reumatik akut terjadi 2-3 minggu setelah faringitis streptokokus,
sering setelah pasien sembuh dari faringitis.
2. Kadar antibodi antii streptococcus tinggi (anti streptolisin O, anti Dnase,
anti hialorodinase), terdapat pada klien demam reumatik akut.
3. Pengobatan dini faringitis streptococcus dengan penisilin menurunkan
risiko demam reumatik.
4. Imunoglobulin dan komplemen terdapat pada permukaan membran sel
miokardiaum yang terkena
Hipersensitifitas kemungkinan bersifat imunologik, tetapi mekanisme
demam reumatik akut masih belum diketahui. Adanya antibodi yang memiliki
aktifitas terhadap antigen streptococcus dan sel miokardium menunjukan
kemungkinan adanya hipersensitiftas tipe II yang diperantarai oleh antibodi
reaksi silang. Pada beberapa pasien yang kompleks imunnya terbentuk untuk
melawan antigen streptococcus, adanya antibodi tersebut didalam serum akan
menunjukan hipersensifitas tipe III (Reny Yuli Aspiani, 2014).
1.1.5 PATHWAY
1.1.6 MANIFESTASI KLINIS
1. Tanda-tanda demam reumatik bisanya muncul 2-3 minggu setelah infeksi,
tetapi dapat juga muncul awal minggu pertama atau setelah 5 minggu.
2. Insiden puncak antara umur 5-15 tahun, demam reumatik jarang terjadi
sebelum umur 4 tahun dan setelah umur 40 tahun.
3. Karditis reumatik dan valvulitis dapat sembuh sendiri atau berkembang
lambat menjadi kelainan katup.
4. Karakteristik lesi adalah adanya reaksi granulomotosa perivaskuler
dengan vaskulitis.
5. Pada 75-85% kasus, yang terserang adalah katup mitral, katup aorta pada
30% kasus (tetapi jarang berdiri sendiri), dan mengenai katup pulmonalis
kurang dari 5%.
Gejala berdasarkan kriteria diagnostik:
a. Kriteria mayor
1) Karditis
Karditis merupakan peradangan pada jantung (miokarditis atau
endokarditis) yang menyebabkan terjadinya gangguan pada katup
mitral dan aorta dengan manifestasi terjadi penuruna curah jantung
(seperti hipotensi, pucat, sianosis, berdebar-debar dan denyut
jantung meningkat), bunyi jantung melemah dan terdengar suarah
bising katup. Pada auskultasi akibat stenosis dari katup terutama
mitral (bising sistolik), karditis paling sering menyerang anak dan
remaja. Beberapa tanda karditis, antara lain kardiomegali, gagal
jantung kongestif kanan dan kiri (pada anak yang lebih menonjol
sisi kanan), dan regurgitasi mitral serta aorta
2) Poliatritis
Penderita penyakit ini biasanya datang dengan keluhan nyeri
pada sendi yang berpindah-pindah, radang sendi besar. Lutut,
pergelangan kaki, pergelangan tangan, siku (poliatritis migrans),
gangguan fungsi sendi, dapat timbul bersamaan tetapi sering
bergantian. Sendi yang terkena menunjukkan gejala radang yang
khas (bengkak, merah, panas sekitar sendi, nyeri dan disertai
gangguan fungsi sendi). Kondisi ini berlangsung selama 1-5 minggu
dan mereda tanpa deformitas residual.
3) Khorea syndenham
Merupakan gerakan yang tidak disengaja/ gerakan abnormal,
bilateral, tanpa tujuan dan involunter, serta seringkali disertai
dengan kelemahan otot, sebagai manifestasi peradangan pada sistem
saraf pusat. Pasien yang terkena penyakit ini biasanya mengalami
gerakan tidak terkendali pada ekstremitas, wajah dan kerangka
tubuh. Hipotonik akibat kelemahan otot, dan gangguan emosi selalu
ada bahkan sering merupakan tanda dini.
4) Eritema marginatum
Gejala ini merupakan manifestasi penyakit jantung reumatik
pada kulit berupa bercak merah dengan bagian tengah berwarna
pucat sedangkan tepinya berbatan tegas, berbentuk bulat dan
bergelombang tanpa indurasi dan tidak gatal. Biasanya terjadi pada
batang tubuh dan telapak tangan.
5) Nodul supkutan
Nodul ini terlihat sebagai tonjolan keras dibawah kulit tanpa
adanya perubahan warna atau rasa nyeri. Biasanya timbul pada
minggu pertama serangan dan menghilang setelah 1-2 minggu.
Nodul ini muncul pada permukaan ekstensor sendi terutama siku,
ruas jari, lutut, persendiaan kaki. Nodul ini lunak dan bergerak
bebes.
b. Kriteria minor
1) Memang mempunyai riwayat penyakit jantung reumatik.
2) Nyeri sendi tanpa adanya tanda objektif pada persendian, klien juga
sulit menggerakkan persendian.
3) Deman namun tidak lebih dari 39ᴼ C dan pola tidur tertentu.
4) Leokositosis, peningkatan laju endapan darah (LED).
5) Protein krea (CPR) positif.
6) Peningkatan denyut jantung saat tidur.
7) Peningkatan anti streptolosin O (ASTO).
1.1.7 PENATALAKSANAAN
Dasar pengobatan demam reumatik terdiri dari istirahat, eradikasi kuman
streptokok, penggunaan obat anti radang, dan pengobatan suportif.
1. Istirahat ; bergantung pada ada tidaknya dan berat ringannya karditis.
2. Eradikasi kuman streptokok, untuk negara berkembang WHO
menganjurkan penggunaan benzatin penisilin 1,2 juta IM. Bila alergi
terhadap penisilin digunakan eritromisin 20 mg/kg BB 2x sehari selama
10 hari.
3. Penggunaan obat anti radang bergantung terdapatnya dan beratnya
kardiris. Prednison hanaya digunakan pada karditis dengan kardiomegali
atau gagal jantung.
4. Pengobatan suportif, berupa diet tinggi kalori dan protein serta vitamin
(terutama vitamin C) dan pengobatan terhadap komplikasi. Bila dengan
pengobatan medikamentosa saja gagal perlu di pertimbangkan tindakan
operasi pembetulan katup jantung.
Demam reumatik cenderung mengalami serangan ulang, maka perlu
diberikan pengobatan pencegahan (profilaksis sekunder) dengan memberikan
bezatin penisilin 1,2 juta IM tiap bulan. Bila tidak mau disuntik dapat diganti
dengan penesilin oral 2 x 200.000 U/hari. Bila alergi terhadap obat tersebut
dapat diberikan sulfadiazin 1000 mg/hari untuk anak 12 tahun ke atas, dan 500
mg/hari untuk anak 12 tahun ke bawah. Lama pemberian profilaksis sekunder
bergantung ada tidaknya dan beratnya karditis. Bagi yang berada di dalam yang
mudah terkena infeksi streptokok dianjurkan pemberian profilaksis seumur
hidup.
1.2.1 PENGKAJIAN
1. Identitas Klien :
Timbul pada umur 5-15 th, wanita dan pria = 1 : 1
Sering ditemukan pada lebih dari satu anggota keluarga yang terkena, lingkungan
sosial juga ikut berpengaruh.
2. Keluhan utama: Sakit persendian dan demam.
3. Riwayat penyakit sekarang:
Demam, sakit persendian, karditis, nodus noktan timbul minggu-minggu pertama,
timbul gerakan yang tiba-tiba.
4. Riwayat penyakit dahulu: Tonsilitis, faringitis, Otitis media.
5. Riwayat penyakit keluarga: Ada keluarga yang menderita penyakit jantung
6. ADL
a. Aktivitas/istrahat
Gejala : Kelelahan, kelemahan.
Tanda : Takikardia, penurunan TD, dispnea dengan aktivitas.
b. Sirkulasi
Gejala : Riwayat penyakit jantung kongenital, IM, bedah jantung. Palpitasi,
jatuh pingsan.
Tanda : Takikardia, disritmia, perpindahan TIM kiri dan inferior, Friction
rub, murmur, edema, petekie, hemoragi splinter.
c. Eliminasi
Gejala: Riwayat penyakit ginjal, penurunan frekuensi/jumlah urine.
Tanda : Urine pekat gelap.
d. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : Nyeri pada dada anterior yang diperberat oleh inspirasi, batuk,
gerakan menelan, berbaring; nyeri dada/punggung/ sendi.
Tanda : Perilaku distraksi, mis: gelisah.
e. Pernapasan
Gejala :dispnea, batuk menetap atau nokturnal (sputum mungkin/tidak
produktif).
Tanda : takipnea, bunyi nafas adventisius (krekels dan mengi), sputum
banyak dan berbercak darah (edema pulmonal).
f. Keamanan:
Gejala : Riwayat infeksi virus, bakteri, jamur, penurunan sistem imun.
Tanda : Demam.
7. Pemeriksaan fisik :
a. Kepala : Ada gerakan yang tidak disadari pada wajah, sclera anemis, terdapat
napas cuping hidung, membran mukosa mulut pucat.
b. Kulit : Turgor kulit kembali setelah 3 detik, peningkatan suhu tubuh sampai
39ᴼ C.
c. Dada :
Inspeksi: terdapat edema, petekie
Palpasi: vocal fremitus tidak sama
Perkusi: redup
Auskultasi : terdapat pericardial friction rub, ronchi, crackles
d. Jantung
Inspeksi :iktus kordis tampak
Palpasi: dapat terjadi kardiomegali
Perkusi : redup
Auskultasi: terdapat murmur, gallop
e. Abdomen
Inspeksi : perut simetris
Palpasi : kadang-kadang dapat terjadi hepatomegali
Perkusi : tympani
Auskultasi : bising usus normal
f. Genetalia Tidak ada kelainan
g. Ekstermitas
Pada inspeksi : sendi terlihat bengkak dan merah, ada gerakan yang tidak
disadari, Pada palpasi : teraba hangat dan terjadi kelemahan otot.
h. Data fokus yang didapat antara lain:
1) Peningkatan suhu tubuh tidak terlalu tinggi kurang dari 39 derajat celcius
namun tidak terpola.
2) Adanya riwayat infeksi saluran napas.
3) Tekanan darah menurun, denyut nadi meningkat, dada berdebar-debar.
4) Nyeri abdomen, mual, anoreksia, dan penurunan hemoglobin.
5) Arthralgia, gangguan fungsi sendi.
6) Kelemahan otot.
7) Akral dingin.
8) Mungkin adanya sesak.
8. Pengkajian data khusus:
a. Karditis : takikardi terutama saat tidur, kardiomegali, suara sistolik,
perubahan suarah jantung, perubahan EKG (interval PR memanjang), nyeri
prekornial, leokositosis, peningkatan LED, peningkatan ASTO (Anti
Streptolisin O)
b. Poliatritis : nyeri dan nyeri tekan disekitar sendi, menyebar pada sendi lutut,
siku, bahu, dan lengan (gangguan fungsi sendi).
c. Nodul subkutan : timbul benjolan di bawah kulit, teraba lunak dan bergerak
bebas. Biasanya muncul sesaat dan umumnya langsung diserap. Terdapat
pada permukaan ekstensor persendian.
d. Khorea : pergerakan ireguler pada ekstremitas, infolunter dan cepat, emosi
labil, kelemahan otot.
e. Eritema marginatum : bercak kemerahan umum pada batang tubuh dan
telapak tangan, bercak merah dapat berpindah lokasi, tidak parmanen,
eritema bersifat non-pruritus.
positif,
RHD
- EKG: P-R interval
memanjang
Jantung
Jaringan parut
RHD
Jantung
Jaringan parut
Vasokontriksi
RHD
Persendian
Poliartritis/Artalgia
Nyeri Akut
4 DS: Klien mengeluh nyeri Streptococcus hemoliticus B grup A Hipertermia
sendi berpindah-pindah (melepaskan endotoksin difaring dan
DO: tonsil)
- Suhu 39◦c
- Polyarthritis (Nyeri sendi Faringitis dan tonsillitis
berpindah-pindah)
- Takikardi Tubuh mengeluarkan antibody
Hipertermi
5 DS: Klien mengeluh nyeri Streptococcus hemoliticus B grup A Syndrome
kurang
sendi berpindah-pindah (melepaskan endotoksin difaring
perawatan diri
DO: dan tonsil)
- Polytarthritis (Nyeri sendi
berpindah-pindah) Faringitis dan tonsillitis
RHD
Persendian
RHD
Kulit
RHD
Jantung
Jaringan parut
Jantung
20
yang mengurangi beban foto dada dilatasi ventrikel.
kerja jantung. 3. Depresi ST dan datarnya T
dapat terjadi karena
peningkatan kebutuhan
oksigen, foto dada dapat
menunjukan pembesaran
jantung. AV blok bisa terjadi
4. Monitor jumlah dan irama
karena gangguan kontraktilitas
jantung
atau konduksi jantung.
4. Biasanya terjadi takikarkdi
untuk mengkompensasi
penurunan kontraktifitas
ventrikel. S1 dan S2 mungkin
lemah karena menuunnya
kerja pompa. Irama gallop
5. Kolaborasi dengan dokter umum (S3 Dan S4) dihasilkan
dalam pemberian obat sebagai aliran darah keserambi
yang distensi
5. dopamin merupakan obat yang
dapat memicu kerja otot
jantung
2 Perfusi jaringan perifer Tujuan : 1. Selidiki perubahan tiba-tiba 1. Perfusi serebral secara
21
tidak efektif Setelah dilakukan tindakan atau gangguan mental langsung sehubungan dengan
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 kontinyu, contoh: cemas, curah jantung dan juga
perubahan jam,diharapkan perfusi bingung, letargi, pingsan. dipengaruhi oleh elektrolit atau
metabolismeterut ama jaringan perifer efektif variasi asam basa, hipoksia,
perifer akibat Kriteria hasil : atau emboli sistemik.
vasokonstriksi a. Klien tidak pucat, 2. Lihat pucat, sianosis, belang, 2. Vasokontriksi sistemik
pembuluh darah b. Tidak ada sianosis kulit dingin atau lembab. diakibatkan oleh penurunan
c. Tidak ada edema Catat kekuatan nadi perifer curah jantung mungkin
dibuktikan oleh penurunan
perfusi kulit dan penurunan
nadi.
3. Kaji tanda edema.
3. Indikator trombosis vena
dalam.
4. Pantau pernapasan, catat
4. Pompa jantung gagal dapat
kerja pernapasan.
mencetuskan distress
pernapasan. Namun dispnea
tiba- tiba atau berlanjut
menunjukkkan komplikasi
5. Pantau data laboratorium, tromboemboli paru
contoh: GDA, BUN, 5. Indikator perfusi atau fungsi
creatinin, dan elektrolit. organ
3 Nyeri akut/kronis Tujuan : nyeri dapat 1. Kaji keluhan nyeri, catat 1. Membantu dalam
22
berhubungan dengan berkurang/hilang Kriteria lokasi dan intensitas (skala memetukankebutuhan dan
peradangan pada hasil: 0- 10).Catat faktor yang manajemen nyeri dan
membrane a. Menunjukkan nyeri memcepat dan tanda sakit keefektifan program
sinovialinflamasi, berkurang/hilang non verbal.
destruksi sendi. b. Terlihat rileks, dapat 2. Pantau tanda-tanda vital 2. Mengetahui keadaan umum
tidur/istirahat (TD, Nadi, RR , suhu) dan memberikan informasi
c. Berpartisipasi dalam sebagai dasar dan pengawasan
aktifitas sesuai intervensi
kemampuan. 3. Pertahankan posisi daerah 3. Menurunkan spasme/ tegangan
sendi yang nyeri dan beri sendi dan jaringan sekitar
posisi yang nyaman
4. Kompres dengan air hangat 4. Menghambat kerja reseptor
jika diindikasikan nyeri
5. Ajarkan teknik relaksasi 5. Membantu menurunkan
progresif ( napas dalam, spasme sendi-sendi,
Guid imageri,visualisasi ) meningkatkan rasa kontrol dan
mampu mengalihkan nyeri
analgetik
4 Hipertermia Tujuan : 1. Kaji suhu tubuh klien dan 1. Mengetahui data dasar
berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan ukur tanda-tanda vital lain terhadap perencanaan tindakan
Peradangan pada keperawatan selama 2x24 seperti nadi, TD dan yang tepat
23
membran sinovial dan jam, diharapkan masalah respirasi
peradangan katup hipertermia teratasi 2. Berikan klien kompres 2. Membantu meberikan evek
jantung. Kriteria hasil : hangat pada lipatan tubuh vasodilatasi pembuluh darah
a. Suhu normal ( 26-37 dan terdapat banyak sehungga pengeluaran panas
derajat celcius ), pembuluh darah besar terjadi secara evaporasi
nadi seperti aksilla, perut )
b. normal,leukosit normal 3. Anjurkan klien untuk minum 3. Peningkatan suhu juga dapat
24
Polyarthritis Arthralgia Kriteria hasil : kebutuhan klien merasa tetap diperhatika
dan therapi bed rest a. Klien mengatakan 3. Beri penjelasan kepada klien 3. Mencegah adanya komplikasi
/ perawatan diri / ADL bahwa klien harus tirah peradangan sampai ketingkat
terpenuhi baring sesuai dengan gagal jantung.
b. Klien dapat melakukan waktu yang
perawatan diri dalam diindikasikan
batas toleransi
6 Kerusakan integritas Tujuan : 1. Kaji tingkat kerusakan kulit 1. Memberikan pedoman untuk
kulit behubungan Setelah dilakukan tindakan memberikan intervensi yang
dengan peradangan keperawatan,kerusakan tepat
pada kulit dan jaringan integritas kulit teratasi. 2. Berikan perawatan kulit 2. Terlalu kering adan lembab
25
7 Resiko kerusakan Tujuan : 1. Auskultasi bunyi nafas, catat 1. Menyatakan adanay kongesti
pertukaran gas Setelah dilakukan tindakan krekels, mengi paru/pengumpulan sekret
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 menunjukkan kebutuhan untuk
penumpukan darah di jam, diharapkan masalah intervensi lanjut.
paru- paru akibat resiko kerusakan pertukaran 2. Anjurkan pasien batuk 2. Membersihkan jalan nafas dan
pengisian atrium gas tidak terjadi efektif, nafas dalam. memudahkan aliran oksigen.
yang meningkat Kriteria hasil : 3. Pertahankan posisi 3. Menurunkan komsumsi
a. Mendemonstrasikan semifowler, sokong tangan oksigen/kebutuhan dan
ventilasi dan oksigenasi dengan bantal Jika meningkatkan ekspansi paru
adekuat pada memungkinka maksimal.
jaringan ditunjukkan 4. Kolaborasi dalam pemberian 4. Meningkatkan konsentrasi
oleh GDA/oksimetri dalam oksigen tambahan sesuai oksigen alveolar, yang dapat
rentang normal dan bebas indikasi. memperbaiki/menurunkan
gejala distress pernafasan hipoksemia jaringan.
b. Berpartisipasi dalam 5. Kolaborasi untuk 5. Hipoksemia dapat menjadi
program pengobatan dalam pemeriksaan AGD berat selama edema paru
batas kemampuan/situasi 6. Kolaborasi untuk pemberian 6. Menurunkan kongesti alveolar,
obat diuretik. meningkatkan pertukaran gas.
7. Kolaborasi untuk pemberian 7. Meningkatkan aliran oksigen
obat bronkodilator dengan mendilatasibjalan nafas
kecil dan mengeluarkan efek
diuretic ringan untuk
26
menurunkan kongesti paru
8 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji status nutrisi( perubahan 1. Menyediakan data dasar untuk
nutrisi ; kurang dari keperawatan selama 3x24 BB<pengukuran memantau perubahan dan
kebutuhan tubuh am, diharapkan masalah antropometrik dan nilai HB mengevaluasi intervensi
berhubungan dengan ketidakseimbangan nutrisi serta protein
peningkatan asam kurang dari kebutuhan dapat 2. Kaji pola diet nutrisi 2. Membantu dalam
lambung akibat teratasi. klien( riwayat diet, makanan mempertimbangkan
kompensasi sistem Kriteria hasil : kesukaan) penyusunan menu sehingga
saraf simpatis a. Klien mengatakan mual klien berselera makan
dan anoreksia berkuarang / 3. Kaji faktor yang berperan 3. Menyediakan informasi
hilang untuk menghambat asupan mengenai faktor yang harus
b. Masukan makanan adekuat nutrisi ( anoreksia, mual) ditanggulangi sehingga asupan
dan kelemahan hilang. nutrisi adekuat
c. BB dalam rentang normal. 4. Anjurkan makan dengan 4. Membantu mengurangi
porsi sedikit tetapi sering dan produksi asam lambnung/HCl
tidak makan makanan yang akibat faktor-faktor perangsang
merangsang pembentukan dari luar tubuh
Hcl seperti terlalu panas,
dingin, pedas
5. Kolaborasi untuk pemberian 5. Membantu mengurangi
obat penetral asam lambung produksi HCL oleh epitel
seperti antasida lambung
27
6. Kolaborasi untuk penyediaan 6. Mendorong peningkatan selera
makanan kesukaan yang makan.
sesuai dengan diet klien
28
DAFTAR PUSTAKA
Herdman, Kamitsuru. 2018. NANDA-I Daignosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2018-
2020. Jakarta : EGC
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M.L., Swanson, E. 2013. Nursing Outcomes Classification
(NOC) 5th Edition. SA : Elsevier Mosby. Di terjemahkan oleh Nurjanah, dkk. 2013.
NOC- Nursing Outcomes Classification. Indonesia
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M.L., Swanson, E. 2013. Nursing Interventions Classification
(NIC 5th Edition. SA : Elsevier Mosby. Di terjemahkan oleh Nurjanah, dkk. 2013. NIC-
Nursing Interventions Classification. Indonesia
29
Jurnal Jurnal
212 Ners dan
NersKebidanan, Volume
dan Kebidanan, 2, No.
Volume 3, Desember
2, Nomor 20152015, hlm. ©212–215
3, Desember 2015 Jurnal Ners dan Kebidanan
DOI: 10.26699/jnk.v2i3.ART.p212-215
This is an Open Access article under the CC BY-SA license
(http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/)
HUBUNGAN FAKTOR KECEPATAN DOOR-TO-ECG TERHADAP
KETERLAMBATAN WAKTU TERAPI FIBRINOLITIK PADA
PASIEN ST-ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION (STEMI)
DI RSUP PROF. R.D. KANDOU MANADO
(The Correlation of Speed Factors Door To Electrocardiography
(ECG) with Delay Times Fibrinolitic Therapy ST-Elevation Myocardiac
Infarct (STEMI) Patient in Prof Dr. R.D. Kandao Manado General
Hospital)
Abstract: Reperfusion therapy is the main strategy in the treatment of patients with STEMI and when
the reperfusion time faster, closely linked to the decrease rate of mortality. One of the deciding factors
in intrahospital care system is the the speed of door-to-ECG are measured when the patient arrives at
the emergency unit until being recorded ECG examination and the results can be interpreted by health
personnel. This study aimed to analyze the correlation between the speed of door-to-ECG with the
delay time of fibrinolytic therapy at the Emergency Department of Prof. R.D. Kandou general hospital
in Manado.The method of this study was Prospective Cohort with analytic observational design. Sam-
pling technique was consecutive sampling with 22 participant on June-July 2015 on emergency depart-
ment of Prof. R.D. Kandou general hospital in Manado. Observation sheet was used as instrument.
Bivariate analysis showed that there was a significant correlation between the speed of door-to-ECG
with fibrinolitic therapy delay ( p value = 0.028) With rate of speed door-to-ECG is 28,59 minutes. The
longer time door-to-ECG cause the longer fibrinolytic therapy that cause increasing mortality rate of
STEMI patient.
Abstrak: Terapi reperfusi merupakan strategi utama dalam penanganan pasien STEMI dan waktu
tindakan reperfusi yang lebih cepat, berhubungan erat dengan rendahnya jumlah mortalitas. Salah satu
faktor penentu dalam sistem pelayanan intrahospital adalah kecepatan door-to-ECG yang diukur saat
pasien tiba di unit emergensi sampai dengan terekamnya hasil pemeriksaan EKG dan hasil dapat
terinterpretasi oleh tenaga kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kecepatan
door-to-ECG terhadap keterlambatan waktu terapi fibrinolitik di IGD RSUP Prof. R.D. Kandou Manado.
Metode penelitian Kohort Prospektif dengan desain observasional analitik. Teknik sampling
menggunakan pendekatan consecutive sampling dengan 22 responden pada bulan Juni–Juli 2015 di
IGD RSUP Prof. R.D. Kandou Manado. Instrumen yang digunakan adalah lembar observasi.
Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara kecepatan
door-to-ECG dengan keterlambatan waktu terapi fibrinolitik dengan p value =0,028 ( <0,05) dengan
rata-rata kecepatan waktu door-to-ECG 28,59 menit. Semakin lama interval waktu door-to-ECG
menyebabkan interval waktu pemberian terapi fibrinolitik lebih lama yang berdampak pada
meningkatnya jumlah mortalitas pasien STEMI.
212
30
Kerangan, Indra dan Suharsono, Hubungan Faktor Kecepatan Door-To-ECG ... 213
32
214 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 2, Nomor 3, Desember 2015, hlm. 212–215
Tabel 2. Hasil Analisis Bivariat antara Kecepatan 2,9% untuk <30 menit, 4,1% selama 31–45 menit,
door- to-ECG dengan Keterlambatan Waktu dan 6,2%untuk> 45 menit denganp<0,001.
Terapi Reperfusi pada Pasien STEMI di
RSUP Prof.R.D. Kandou Manado
Variabel Uji Keterlambatan
waktu terapi
reperfusi
Kecepatan Pearson r = 0,468
door-to-ECG p = 0,028
n = 22
PEMBAHASAN
Rata-rata lama waktu door-to-ECG dalam
penelitian ini adalah 28,59 menit dengan interval
waktu tercepat 17 menit dan terlama 40 menit.
Dari hasil analisis bivariat dalam penelitian ini,
menunjuk- kan bahwa terdapat hubungan
bermakna antara faktor kecepatan door-to-ECG
dengan keterlam- batan waktu terapi fibrinolitik
pada pasien STEMI (P = 0,028).
Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa
semua pasien STEMI yang ditangani oleh tim
medis di departemen emergensi mengalami
keterlambatan dalam menginterpretasi hasil EKG.
Berdasarkan panduan dari AHA, (2010)
menentukan waktu untuk door-to-needle adalah
< 30 menit dimana, petugas kesehatan
mengidentifikasi STEMI dengan memasang EKG
paling lama 10 menit setelah pasien tiba di
departemen emergensi, setelah itu memutus- kan
untuk tindakan reperfusi (ECG-to-needle) 20
menit (Diercks, 2010).
Alasan keterlambatan waktu door-to-ECG
yaitu kesulitan tim medis dalam menginterpretasi
hasil EKG (18,6%) (Maharaj, et al., 2012).
Phelan et al. (1990) juga mengidentifikasi 2
penyebab lamanya door-to-ECG adalah proses
triase yang kompleks, dan ketidakmampuan staf
perawat dan dokter mentriase pasien yang
mempunyai keluhan khas infark (Jaya, 2013).
Dari hasil penelitian ini faktor kecepatan
door- to-ECG yang didapat, merupakan faktor
yang me- nyumbang waktu cukup signifikan jika
dibandingkan dengan panduan dari AHA(2010)
yang menyatakan bahwa waktu yang dibutuhkan
untuk tindakan door- to-ECG adalah kurang dari
10 menit.
Dari hasil penelitian McNamara, et al. (2007)
mengungkapkan bahwa keterlambatan
intrahospital yang dibandingkan dengan angka
mortalitas pasien STEMI didapatkan bahwa
mortalitas di rumah sakit lebih rendah dengan
waktu door-to-needle yang le- bih singkat yaitu
33
SIMPULAN DAN SARAN 129–132.
Cotoni, D.A., Roe, M.T., Li, S., Kontos, M.C. 2014.
Simpulan Fre- quency of Nonsystem Delays in ST-
Berdasarkan hasil penelitian, bahwa Elevation Myocardial Infarction Patients
penangan- an pasien STEMI membutuhkan Undergoing Pri- mary Percutaneous Coronary
penanganan yang cepat untuk mencegah Intervention and Implications for Door-to-
terjadinya peningkatan keru- sakan otot Balloon Time Reporting (from the American
miokardium yang berdampak pada mor- talitas Heart Association Mission: Lifeline Program).
Am J Cardiol 114:24–28.
pasien. Salah satu faktor yang menentukan dalam
Diercks, D.B. 2010. American Heart Association
sistem pelayanan intrahospital adalah kece- patan Mission Lifeline: Developing a STEMI Regional
tim medis dalam merekam dan menginter- pretasi Care Sys- tem. Advancing the Standard of Care:
hasil EKG setelah pasien tiba di IGD (door- to- Cardiovas- cular and Neurovascular
ECG < 10menit). Faktor ini merupakan salah satu Emergencies.
faktor penentu terhadap lama waktu terapi fibri- Jaya, I.A. 2013. Analisis faktor yang berhubungan
nolitik. dengan waktu door to balloon lebih dari 90
menit pada intervensi koroner perkutan primer
Saran di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita.
Magister Ilmu Keperawatan Medikal Bedah,
Perlu adanya pelatihan-pelatihan khusus FIKUI.
tentang EKG sehingga dapat meningkatkan Maharaj, R.C., Geduld, H., Wallis, L.A. 2012. Door-
kemampuan dari setiap anggota tim medis di to- needle time for administration of
departemen emergensi dalam menginterpretasi fibrinolytics in acute myocardial infarction in
EKG dengan cepat. Cape Town. S Afr Med J 102:241–244.
McNamara, R.L., Herrin, J., Wang, Y., Curtis, J.P.,
DAFTAR RUJUKAN Brad- ley, E.H., Magid, D.J., Rathore, S.S.,
Nallamothu, B.K., Peterson, E.D., Blaney, M.E.,
Ali, J., Ahmad, I., Faheem, M., Irfan, M., Gul, A.M., Frederick, P., Krumholz, H.M. 2007. IMPACT
Hafizullah, M. 2012. Factors associated with of Delay in Door- to-Needle Time on Mortality
de- laying of fibrinolytic therapy in Patients with ST- Segment Elevation
administration in patients with acute Myocardial Infarction. Am J Cardiol 100;1227–
myocardial infarction. Khyber Med Univ J 4(3): 1232.
Kerangan, Indra dan Suharsono, Hubungan Faktor Kecepatan Door-To-ECG ... 215
Tabriz, A.A., Sohrabi, M.R., Kiapour, N., Yazdani, S. 2012. Factors Associated with Delay in Thrombolytic Therapy
in Patients with ST-Elevation Myocar- dial Infarction. J Teh Univ Heart Cir 7(2):65-71
afari, A.M., Reddy, S.V., Jeroudi, A.M., Garas, S.M. 2013. Myocardial Infarction. Dalam http://emedicine. Medscap
e.com/article/155919-overview#a0101 diakses pada tanggal 12 Maret 2015 pukul 22.30 WIB.
34
Artikel Penelitian
Abstrak
Infark Miokard Akut Elevasi Segmen ST (IMA-EST) merupakan masalah kesehatan dengan morbiditas dan mortalitas yang
tinggi di dunia. IMA-EST adalah gejala iskemia infark khas yang dikaitkan dengan gambaran EKG berupa elevasi segmen ST yang
persisten. Kejadian IMA-EST tidak terlepas dengan berbagai faktor risiko serta manajemen reperfusi yang didapat pasien. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran faktor risiko dan manajemen reperfusi pasien IMA-EST di bangsal jantung RSUP
Dr. M. Djamil Padang. Penelitian ini bersifat deskriptif retrospektif. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2016-Maret 2016.
Sampel penelitian adalah seluruh pasien IMA- EST yang memenuhi kriteria inklusi dan kemudian dilakukan pencatatan dari
beberapa variabel yang diteliti. Hasil penelitian ini menunjukkan IMA-EST dengan karakteristik rentang usia terbanyak 45-54
tahun dengan jenis kelamin laki-laki. Faktor risiko yang paling banyak dimiliki adalah hipertensi dan merokok. Intervensi Koroner
Perkutan (IKP) merupakan terapi yang paling sering dilakukan dengan waktu tindakan lebih dari 12 jam pasca infark.
Kata kunci: IMA-EST, faktor risiko, manajemen reperfusi
Abstract
ST-segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI) is a health problem with high morbidity and mortality in the world.
STEMI are typical symptoms of myocardial ischemia associated with ECG features such as persistent ST segment elevation.
Incident of STEMI is inseparable with risk factors and management of reperfusion of the patient. The objective of this study was to
35
find out the description of the risk factors and reperfusion management of patients at Cardiac Ward in RSUP Dr. M. Djamil
Padang. This research was a retrospective descriptive study. It was carried out in January 2016 - March 2016. The research
samples were the entire STEMI patients were meets the criteria of inclusion. Risk factors and reperfusion management were
recorded from Medical Record. This research showed that STEMI patients were mostly male with age 45-54 years. The common
risk factors were hypertension and smoking. In addition, Percutaneous Coronary Intervention (PCI) was a therapy that most often
performed with time of action is more than 12 hours of post infarction.
Keywords: STEMI, risk factors, management of reperfusion
36
http:// 37
Padang.
Tabel 1 menunjukkan distribusi terbanyak pasien
IMA-EST di RSUP Dr. M. Djamil Padang adalah pada
Tabel 4 menunjukkan gambaran bahwa pasien IMA-
kelompok umur 45 - 54 tahun (38,7%) dan jenis kelamin laki-
EST yang mendapat manajemen reperfusi sebanyak 108
laki (62,3%).
orang, 28 orang mendapat terapi fibrinolitik (15,5%), 75
orang mendapat terapi IKP (41,4%) dan 5 orang diantaranya
mendapat Rescue IKP (2,8%).
Tabel 2. Distribusi frekuensi dan persentase
berdasarkan faktor risiko
hipertensi. Tekanan darah yang tinggi dan menetap juga akan pasien IMA-EST. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh dilakukan oleh Ram dan Trivedi tahun 2012 yang
darah arteri koroner sehingga memudahkan terjadinta mendapatkan proporsi pasien PJK terbanyak memiliki riwayat
aterosklerosis. Makin berat kondisi hipertensi yang diderita merokok sebesar 51,85%.25 Penelitian di Medan, didapatkan
maka semakin besar pula risiko terkena PJK. 17 proporsi pasien dengan riwayat merokok sebanyak 63,8%.21
Pasien IMA-EST dengan DM didapatkan hanya Hasil ini sesuai dengan dengan teori yang ada, yaitu
berjumlah 30 orang (16,6%). Hal ini sejalan dengan Valerian merokok merupakan faktor risiko yang berpengaruh pada
tahun 2015 bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara peningkatan kejadian terjadinya penyakit jantung koroner
jenis – jenis SKA dengan kadar gula darah.18 karena merokok meningkatkan efek dari faktor risiko yang
Ketidaksesuaian hasil pengamatan dan kepustakaan lain, seperti meningkatkan kejadian hiperlipidemia, hipertensi,
yang ada, yaitu proporsi pasien penyakit jantung koroner dan diabetes melitus, yan sama-sama meningkatkan
kejadiannya penyakit
dengan riwayat DM harus tinggi, dikarenakan DM bukan
jantung koroner, bahkan penyakit jantung yang lain.20,21,25
hanya faktor risiko satu-satunya yang berpengaruh dalam
kejadian penyakit jantung koroner, tetapi cenderung
meningkatkan faktor risiko
Pasien IMA-EST yang dirawat di RSUP Dr. M. Djamil Padang sebagian besar mendapat terapi reperfusi (59,7%), 41,4%
pasien mendapat terapi IKP namun tidak dilakukan dalam 12 jam pertama onset nyeri dada pasien dan 15,5% pasien mendapat
fibrinolitik..
Menurut panduan dari European Society of Cardiology, pasien dengan gejala klinis IMA-EST dengan elevasi segmen ST
persmisten atau LBBB baru pada EKG harus ditatalaksana dalam 12 jam secepat mungkin. 7 Menurut panduan AHA dan PERKI,
terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12
jam dengan elevasi segmen ST yang persisten LBBB yang (terduga) baru. Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer)
diindikasikan apabila terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang berlangsung, bahkan bila gejala telah ada
lebih dari 12 jam yang lalu atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat.27.28
SIMPULAN
Manajemen reperfusi pada pasien IMA-EST di Bangsal Jantung RSUP Dr. M. Djamil pada tahun 2013- 2014 paling banyak
dilakukan IKP, namun sebagian besar tindakan IKP tersebut tidak dilakukan dalam 12 jam pasca keluhan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization (WHO). Global atlas on cardiovascular disease prevention and control. 2011 (diunduh 2 November
2015). Tersedia dari: URL: HYPERLINKhttp://www.who.int/cardiovascular_disea ses/publications/atlas_cvd/en/
2. Departemen Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI. 2013 (diunduh 2 November 2015). Tersedia dari: URL: HYPERLINK http://labdata.litbang.depkes.go.id
3. World Health Organization (WHO). International classification of diseases 10th revision clinical modification/ICD-10CM.
2015 (diunduh 1 Desember 2015). Tersedia dari: URL: HYPERLINK htttp://ftp.cdc.gov/pub/Health_Statistics/NCHS/Public
ations/ICD10CM/2015/ICD10CM_FY2015_Full_PDF
.zip.
4. Srimahachota S, Boonyaratavej S, Kanjanavanit R, Sritara P, Krittayaphong R. Thai registry in acute coronary syndrome
(TRACS)-an extension of Thai acute coronary syndrome registry (TACS) group: lower in-hospital but still high mortality at
one-year. J Med Assoc Thai. 2012;95:508-18.
5. Fathila L. Gambaran profil lipid pada pasien infark miokard akut di RSUP M. Djmil Padang periode 1 Januari 2011-31
Desember 2012 (skripsi). Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas; 2015.
6. Masic I, Rahimic M. Socio-medical Characteristics of coronary disease in Bosnia and Herzegovina and The World. MSM.
2011;23:171-83.
7. Thygesen K, Alpert JS, Jaffe AS, Maarten LS, Bernard RC, Harvey DW. Universal definition of myocardial infarction.
European Heart Journal. 2012;33:2551–67.
8. Farissa IP. Komplikasi pada pasien infark miokard akut ST elevasi (STEMI) yang mendapat maupun tidak mendapat terapi
reperfusi di RSUP Dr. Kariadi Semarang (skripsi). Semarang, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2012.
9. World Health Organization (WHO). Cardiovascular disease (CVDs). 2013 (diunduh 10 November 2015). Tersedia dari: URL:
HYPERLINK http://www.who.int/ mediacentre/factsheets/fs317/en/
10. Alexander, KP, Newby LK, Paul WA, Cannon CP, Gibler WB, Rich MW, et al. Acute coronary care in the elderly, part II ST-
segment–elevation myocardial infarction a scientific statement for healthcare professionals from the American Heart
Association Council on Clinical Cardiology Circulation. 2007;115:2570-89.
11. Wang L, Wang KS. Age differences in the association of severe physiological distress and behavioral factors with heart
disease. 2013 (diunduh 11 Januari 2016). Tersedia dari: URL: HYPERLINK http://dx.doi.org/10.1155/2013/979623
12. Anand SS, Islam S, Rosengren A, Franzosi MG, Steyn K, Hussein A, et al. Risk factors for myocardial infarction in women and
men: insights from the Interheart study. Eur Heart J. 2008;29(7):932-40.
13. Rahmawati AC, Zulaekah S, Rahmawaty S. Aktivitas fisik dan rasio kolesterol (HDL) pada penderita penyakit jantung koroner
di poliklinik jantung RSUD DR Moewardi Surakarta. Jurnal Kesehatan. 2009;2(1):11-8.
14. Nelwan JE. Karakteristik individu penderita penyakit jantung koroner di Sulawesi Utara tahun 2011. 2013 (diunduh 10 April
2016) Tersedia dari: URL: HYPERLINK http://jkesmasfkm.unsrat.ac.id/wp- content/uploads/2013/02/31.pdf
15. Maas AHEM, Appleman YEA. Gender difference in coronary heart disease. Neth Heart J. 2010;18(12): 598-603.
16. Sarumpaet NS. Karakteristik penderita penyakit jantung koroner rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2005-2007
(skripsi). Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara; 2009
17. Anwar TB. Faktor-faktor risiko PJK. Medan: Bagian Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2004.
18. Valerian W, Syafri M, Rofinda ZD. Hubungan kadar gula darah saat masuk rumah sakit dengan jenis sindroma koroner akut di
RS Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2015;4(2):430-3.
19. Unachukwu C, Ofori S. Diabetes mellitus and cardiovascular risk. J Endocrinol. 2012;7(1).
20. American Heart Association (AHA). Coronary Artery Disease – Coronary Heart Disease. 2013 (Diakses
29 Desember 2015). Tersedia dari: URL: HYPERLINK http://www.heart.org/HEARTORG/
Conditions/More/MyHeartandStrokeNe.s/Coronary-Artery-Disease---Coronary- HeartDisease_UCM_436416_Article.jsp .
21. Irwanto. Profil pasien penyakit jantung koroner di poli jantung RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2013 (skripsi).
Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2015.
22. Arsenault BJ, Rana JS, Stroes SG, Després JP, Shah PK, Kastelein JJP. et al. Beyond low-density lipoprotein cholesterol.
JACC. 2010;55(1):35-41.
23. Arnold SV, Kosiborod M, Tang F, Zhao Z, McCollam PL, Birt J, Spertus JA. Changes in Low-Density lipoprotein cholesterol
levels after discharge for acute myocardial infarction in a real-world patient population. American Journal of Epidemiology.
2014; 179(11):1293–300.
24. Rott D, Klempfner R, Goldenberg I, Leibowitz D. Cholesterol levels decrease soon after acute myocardial infarction. Israel
Medical Association Journal. 2015;17: 370-3.