Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN RHEUMATIC HEART


DISEASE (RHD) ATAU PENYAKIT JANTUNG REUMATIK DI
RUANG ICCU

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Program Profesi Ners Pada Stase Keperawatan
Gawat Darurat

RIANITA EFRIANTI
191 FK 04042

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA
BANDUNG
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
1.1. KONSEP TEORI REUMATIC HEART DISEASE (RHD)
1.1.1 DEFINISI
Penyakit jantung reumatik (Reumatik Heart Disease) merupakan
penyakit jantung didapat yang sering ditemukan pada
anak. Penyakit jantung
reumatik merupakan kelainan katup jantung yang menetap akibat demam
reumatik akut sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (25%),
jarang mengenai katup trikuspid, dan tidak pernah menyerang katup pulmonal.
Penyakit jantung reumatik dapat menimbulkan stenosis atau insudisiensi atau
keduanya (Rudolph,2011).
Penyakit jantung reumatik (PJR) merupakan gangguan pada jantung
karena katup jantung rusak. Penyakit yang dalam bahasa medisnya disebut
Rheumatic Heart Disease (RHD) ini bisa saja disebabkan karena adanya
penyempitan jantung atau kebocoran jantung terutama pada katup mitral
(keadaan ini disebut dengan stenosis katup mitral). penyempitan dan kebocoran
itu bisa diakibatkan karena gejala sisadari demam rematik (Wong,2014).
Penyakit jantung reumatik merupakan penyebab terpenting dari
penyakit jantung yang DIdapat baik pada anak maupun orang dewasa. Penyakit
jantung reumatik adalah suatu proses peradangan yang mengenai jaringan
penyokong tubuh terutama persendian, jantung dan pembuluh darah oleh
organisme streptococus hemolitik B group A (Riskesdas, 2018).
Penyakit jantung rematik merupakan penyebab terpenting dari
penyakit jantung yang didapat baik pada anak maupun orang dewasa. Penyakit
jantung reumatik adalah suatu proses peradangan yang mengenai jaringan
penyokong tubuh terutama persendian, jantung dan pembuluh darah oleh
organisme streptococus hemolitik B group A (Pusdiknakes, 2009).

1.1.2 ETIOLOGI
Penyebab secara pasti penyakit ini belum diketahui, namun penyakit
ini sangat berhubungan erat dengan infeksi saluran napas bagian atas yang
disebabkan oleh organisme streptococcus hemolitik b group A yang
pengobatannya tidak tuntas atau bahkan tidak terobati. Pada penilitian
menunjukan bahwa penyakit jantung reumatik terjadi akibat adanya reaksi
imunologis antigen-antibody dari tubuh. Antibody akan melawan streptococcus
bersifat sebagai antigen sehingga terjadi reaksi autoimune. Faktor predisposisi
timbulnya penyakit jantung reumatik adalah :
1. Faktor individu
a. Faktor genetic
Pada umumnya terdapat pengaruh faktor keturunan pada proses
terjadinnya penyakit jantung reumatik meskipun cara pewarisannya
belum dipastikan.
b. Jenis Kelamin
Dahulu sering dinyatakan bahwa penyakit jantung reumatik lebih
sering pada anak perempuan dari pada laki-laki.
c. Golongan Etnis dan Ras
Data di Amerika Serikat menunjukan bahwa serangan awal maupun
berulang sering terjadi pada orang hitam di banding orang putih.
d. Umur
Penyakit jantung reumatik paling sering terjadi pada anak yang berusia
6-15 tahun (usia sekolah) dengan puncak sekitar sekitar umur 8 tahun.
Tidak biasa ditemukan pada anak sebelum usia 3 tahun atau setelah
usia 20 tahun.
2. Faktor lingkungan
a. Keadaan sosial ekonomi yang buruk
Sanitasi lingkungan yang buruk dengan penghuni yang padat,
rendahnya pendidikan sehingga pemahaman untuk segera mencari
pengobatan anak yang menderita infeksi tenggorokan sangat kurang
ditambah pendapatan yang rendah sehingga biaya perawatan kesehatan
kurang.
b. Iklim geografis
Penyakit ini terbanyak didapatkan pada daerah iklim sedang, tetapi data
akhir-akhir ini menunjukan bahwa daerah tropis memiliki insiden yang
tertinggi.

c. Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insiden infeksi
saluran pernapasan atas meningkat sehingga mengakibatkan kejadian
penyakit jantung reumatik juga dapat meningkat.

1.1.3 KLASIFIKASI
Perjalanan klinis penyakit penyakit jantung reumatik dapat dibagi dalam 4
stadium menurut Ngastiyah, adalah:
1. Stadium I

Berupa infeksi saluran nafas atas oleh kuman Beta Streptococcus


Hemolyticus Grup A. Keluhan : Demam, Batuk, Rasa sakit waktu menelan,
Muntah, Diare, Peradangan pada tonsil yang disertai eksudat. Infeksi ini
biasanya berlangsung 2-4 hari dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.
2. Stadium II
Stadium ini disebut juga periode laten,ialah masa antara infeksi
streptococcus dengan permulaan gejala demam reumatik; biasanya periode
ini berlangsung 1-3 minggu,kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu atau
bahkan berbulan-bulan kemudian.
3. Stadium III
Yang dimaksud dengan stadium III ini ialah fase akut demam reumatik, saat
ini timbulnya berbagai manifestasi klinis demam reumatik /penyakit
jantung reumatik. Manifestasi klinis tersebut dapat digolongkan dalam
gejala peradangan umum dan menifestasi spesifik demam reumatik
/penyakit jantung reumatik.
Gejala peradangan umum : demam yang tinggi, lesu, anoreksia, lekas
tersinggung, berat badan menurun, kelihatan pucat, epistaksis, athralgia,
rasa sakit disekitar sendi, sakit perut.
4. Stadium IV
Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik
tanpa kelainan jantung / penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala
sisa katup tidak menunjukkan gejala apa-apa.
Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup
jantung, gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan.
Pada fase ini baik penderita demam reumatik maupun penyakit jantung
reumatik sewaktu-waktu dapat mengalami reaktivasi penyakitnya.

1.1.4 PATOFISOLOGI
Hubungan yang pasti antara infeksi streptococcus dan demam reumatik
akut tidak diketahui. Cedera jantung bukan merupakan akibat langsung infeksi,
seperti yang di tunjukan oleh hasil kultur streptococcus yang negatif pada
bagian jantung yang terkena. Fakta berikut ini menunjukan bahwa hubungan
tersebut terjadi akibat hipersensitif imunologi yang belum terbukti terhadap
antigen antigen streptococcus:
1. Demam reumatik akut terjadi 2-3 minggu setelah faringitis streptokokus,
sering setelah pasien sembuh dari faringitis.
2. Kadar antibodi antii streptococcus tinggi (anti streptolisin O, anti Dnase,
anti hialorodinase), terdapat pada klien demam reumatik akut.
3. Pengobatan dini faringitis streptococcus dengan penisilin menurunkan
risiko demam reumatik.
4. Imunoglobulin dan komplemen terdapat pada permukaan membran sel
miokardiaum yang terkena
Hipersensitifitas kemungkinan bersifat imunologik, tetapi mekanisme
demam reumatik akut masih belum diketahui. Adanya antibodi yang memiliki
aktifitas terhadap antigen streptococcus dan sel miokardium menunjukan
kemungkinan adanya hipersensitiftas tipe II yang diperantarai oleh antibodi
reaksi silang. Pada beberapa pasien yang kompleks imunnya terbentuk untuk
melawan antigen streptococcus, adanya antibodi tersebut didalam serum akan
menunjukan hipersensifitas tipe III (Reny Yuli Aspiani, 2014).

1.1.5 PATHWAY
1.1.6 MANIFESTASI KLINIS
1. Tanda-tanda demam reumatik bisanya muncul 2-3 minggu setelah infeksi,
tetapi dapat juga muncul awal minggu pertama atau setelah 5 minggu.
2. Insiden puncak antara umur 5-15 tahun, demam reumatik jarang terjadi
sebelum umur 4 tahun dan setelah umur 40 tahun.
3. Karditis reumatik dan valvulitis dapat sembuh sendiri atau berkembang
lambat menjadi kelainan katup.
4. Karakteristik lesi adalah adanya reaksi granulomotosa perivaskuler
dengan vaskulitis.
5. Pada 75-85% kasus, yang terserang adalah katup mitral, katup aorta pada
30% kasus (tetapi jarang berdiri sendiri), dan mengenai katup pulmonalis
kurang dari 5%.
Gejala berdasarkan kriteria diagnostik:
a. Kriteria mayor
1) Karditis
Karditis merupakan peradangan pada jantung (miokarditis atau
endokarditis) yang menyebabkan terjadinya gangguan pada katup
mitral dan aorta dengan manifestasi terjadi penuruna curah jantung
(seperti hipotensi, pucat, sianosis, berdebar-debar dan denyut
jantung meningkat), bunyi jantung melemah dan terdengar suarah
bising katup. Pada auskultasi akibat stenosis dari katup terutama
mitral (bising sistolik), karditis paling sering menyerang anak dan
remaja. Beberapa tanda karditis, antara lain kardiomegali, gagal
jantung kongestif kanan dan kiri (pada anak yang lebih menonjol
sisi kanan), dan regurgitasi mitral serta aorta
2) Poliatritis
Penderita penyakit ini biasanya datang dengan keluhan nyeri
pada sendi yang berpindah-pindah, radang sendi besar. Lutut,
pergelangan kaki, pergelangan tangan, siku (poliatritis migrans),
gangguan fungsi sendi, dapat timbul bersamaan tetapi sering
bergantian. Sendi yang terkena menunjukkan gejala radang yang
khas (bengkak, merah, panas sekitar sendi, nyeri dan disertai
gangguan fungsi sendi). Kondisi ini berlangsung selama 1-5 minggu
dan mereda tanpa deformitas residual.
3) Khorea syndenham
Merupakan gerakan yang tidak disengaja/ gerakan abnormal,
bilateral, tanpa tujuan dan involunter, serta seringkali disertai
dengan kelemahan otot, sebagai manifestasi peradangan pada sistem
saraf pusat. Pasien yang terkena penyakit ini biasanya mengalami
gerakan tidak terkendali pada ekstremitas, wajah dan kerangka
tubuh. Hipotonik akibat kelemahan otot, dan gangguan emosi selalu
ada bahkan sering merupakan tanda dini.
4) Eritema marginatum
Gejala ini merupakan manifestasi penyakit jantung reumatik
pada kulit berupa bercak merah dengan bagian tengah berwarna
pucat sedangkan tepinya berbatan tegas, berbentuk bulat dan
bergelombang tanpa indurasi dan tidak gatal. Biasanya terjadi pada
batang tubuh dan telapak tangan.
5) Nodul supkutan
Nodul ini terlihat sebagai tonjolan keras dibawah kulit tanpa
adanya perubahan warna atau rasa nyeri. Biasanya timbul pada
minggu pertama serangan dan menghilang setelah 1-2 minggu.
Nodul ini muncul pada permukaan ekstensor sendi terutama siku,
ruas jari, lutut, persendiaan kaki. Nodul ini lunak dan bergerak
bebes.
b. Kriteria minor
1) Memang mempunyai riwayat penyakit jantung reumatik.
2) Nyeri sendi tanpa adanya tanda objektif pada persendian, klien juga
sulit menggerakkan persendian.
3) Deman namun tidak lebih dari 39ᴼ C dan pola tidur tertentu.
4) Leokositosis, peningkatan laju endapan darah (LED).
5) Protein krea (CPR) positif.
6) Peningkatan denyut jantung saat tidur.
7) Peningkatan anti streptolosin O (ASTO).

1.1.7 PENATALAKSANAAN
Dasar pengobatan demam reumatik terdiri dari istirahat, eradikasi kuman
streptokok, penggunaan obat anti radang, dan pengobatan suportif.
1. Istirahat ; bergantung pada ada tidaknya dan berat ringannya karditis.
2. Eradikasi kuman streptokok, untuk negara berkembang WHO
menganjurkan penggunaan benzatin penisilin 1,2 juta IM. Bila alergi
terhadap penisilin digunakan eritromisin 20 mg/kg BB 2x sehari selama
10 hari.
3. Penggunaan obat anti radang bergantung terdapatnya dan beratnya
kardiris. Prednison hanaya digunakan pada karditis dengan kardiomegali
atau gagal jantung.
4. Pengobatan suportif, berupa diet tinggi kalori dan protein serta vitamin
(terutama vitamin C) dan pengobatan terhadap komplikasi. Bila dengan
pengobatan medikamentosa saja gagal perlu di pertimbangkan tindakan
operasi pembetulan katup jantung.
Demam reumatik cenderung mengalami serangan ulang, maka perlu
diberikan pengobatan pencegahan (profilaksis sekunder) dengan memberikan
bezatin penisilin 1,2 juta IM tiap bulan. Bila tidak mau disuntik dapat diganti
dengan penesilin oral 2 x 200.000 U/hari. Bila alergi terhadap obat tersebut
dapat diberikan sulfadiazin 1000 mg/hari untuk anak 12 tahun ke atas, dan 500
mg/hari untuk anak 12 tahun ke bawah. Lama pemberian profilaksis sekunder
bergantung ada tidaknya dan beratnya karditis. Bagi yang berada di dalam yang
mudah terkena infeksi streptokok dianjurkan pemberian profilaksis seumur
hidup.

Secara singkat penanganan demam reumatik adalah sebagai berikut:

a. Artritis tanpa kardiomegali : Istirahat baring 2 minggu, rehabilitas 2


minggu, obat-obatan anti inflamasi, erdikasi dan profilaksi (seperti yang
diuraikan diatas). Anak boleh sekolah setelah 4 minggu perawatan,
olahraga bebas.
b. Artritis+karditis tanpa kardiomegali: Tirah baring 4 minggu, pengobatan
seperti yang diuraikan: sekolah setelah 8 minggu perawatan. Olahraga
bebas.
c. Karditis +kardiomegali: tirah baring 6 minggu, mobilisasi 6 minggu,
pengobatan seperti yang diuraikan. Sekolah setelah perawatan selama 12
minggu. Olahraga terbatas, hindari olahraga berat dan kompetitif.
d. Karditis + kardimegali + gagal jantung: tirah baring selama ada gagal
jantung, mobilisasi bertahap 12 minggu. Pengobatan seperti yang
diuraikan, sekolah setelah perawatan 12 minggu gagal jantung teratasi.
Olahraga di larang (Ngastiyah, 2005).

1.1. 8 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan laboratorium
Dari pemeriksaan laboratorium darah didapatkan peningkatan ASTO,
peningkatan laju endap darah (LED), terjadi leukositosis, dan dapat
terjadi penurunan hemoglobin.
2. Radiologi
Pada pemeriksaan foto toraks menunjukkan terjadinya pembesaran pada
jantung.
3. Pemeriksaan ekokardiogram
Menunjukan pembesaran pada jantung dan terdapat lesi.
4. Pemeriksaan elektrokardiogram
Menunjukkan interval PR menanjang
5. Apus tenggorok
Ditemukan streptokokus beta hemolitikus grup A (Reny Yuli Aspiani,
2010)
1.1.1 KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada Penyakit Jantung Reumatik (PJR)
diantaranya :
1. Gagal jantung akibat insufisiensi atau stenosis katup jantung
2. Pankarditis (infeksi dan peradangan di seluruh bagian jantung)
3. Pneumonitis reumatik (infeksi paru)
4. Emboli atau sumbatan pada paru
5. Kelainan katup jantung
6. Infark (kematian sel jantung).
7. Aritmia
8. Edema paru
9. Infektif endokarditis
10. Pembentukan trombus intrakranial
11. Emboli sistemik.

1.2 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1.2.1 PENGKAJIAN
1. Identitas Klien :
Timbul pada umur 5-15 th, wanita dan pria = 1 : 1
Sering ditemukan pada lebih dari satu anggota keluarga yang terkena, lingkungan
sosial juga ikut berpengaruh.
2. Keluhan utama: Sakit persendian dan demam.
3. Riwayat penyakit sekarang:
Demam, sakit persendian, karditis, nodus noktan timbul minggu-minggu pertama,
timbul gerakan yang tiba-tiba.
4. Riwayat penyakit dahulu: Tonsilitis, faringitis, Otitis media.
5. Riwayat penyakit keluarga: Ada keluarga yang menderita penyakit jantung
6. ADL
a. Aktivitas/istrahat
Gejala : Kelelahan, kelemahan.
Tanda : Takikardia, penurunan TD, dispnea dengan aktivitas.
b. Sirkulasi
Gejala : Riwayat penyakit jantung kongenital, IM, bedah jantung. Palpitasi,
jatuh pingsan.
Tanda : Takikardia, disritmia, perpindahan TIM kiri dan inferior, Friction
rub, murmur, edema, petekie, hemoragi splinter.
c. Eliminasi
Gejala: Riwayat penyakit ginjal, penurunan frekuensi/jumlah urine.
Tanda : Urine pekat gelap.
d. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : Nyeri pada dada anterior yang diperberat oleh inspirasi, batuk,
gerakan menelan, berbaring; nyeri dada/punggung/ sendi.
Tanda : Perilaku distraksi, mis: gelisah.
e. Pernapasan
Gejala :dispnea, batuk menetap atau nokturnal (sputum mungkin/tidak
produktif).
Tanda : takipnea, bunyi nafas adventisius (krekels dan mengi), sputum
banyak dan berbercak darah (edema pulmonal).
f. Keamanan:
Gejala : Riwayat infeksi virus, bakteri, jamur, penurunan sistem imun.
Tanda : Demam.
7. Pemeriksaan fisik :
a. Kepala : Ada gerakan yang tidak disadari pada wajah, sclera anemis, terdapat
napas cuping hidung, membran mukosa mulut pucat.
b. Kulit : Turgor kulit kembali setelah 3 detik, peningkatan suhu tubuh sampai
39ᴼ C.
c. Dada :
Inspeksi: terdapat edema, petekie
Palpasi: vocal fremitus tidak sama
Perkusi: redup
Auskultasi : terdapat pericardial friction rub, ronchi, crackles
d. Jantung
Inspeksi :iktus kordis tampak
Palpasi: dapat terjadi kardiomegali
Perkusi : redup
Auskultasi: terdapat murmur, gallop
e. Abdomen
Inspeksi : perut simetris
Palpasi : kadang-kadang dapat terjadi hepatomegali
Perkusi : tympani
Auskultasi : bising usus normal
f. Genetalia Tidak ada kelainan
g. Ekstermitas
Pada inspeksi : sendi terlihat bengkak dan merah, ada gerakan yang tidak
disadari, Pada palpasi : teraba hangat dan terjadi kelemahan otot.
h. Data fokus yang didapat antara lain:
1) Peningkatan suhu tubuh tidak terlalu tinggi kurang dari 39 derajat celcius
namun tidak terpola.
2) Adanya riwayat infeksi saluran napas.
3) Tekanan darah menurun, denyut nadi meningkat, dada berdebar-debar.
4) Nyeri abdomen, mual, anoreksia, dan penurunan hemoglobin.
5) Arthralgia, gangguan fungsi sendi.
6) Kelemahan otot.
7) Akral dingin.
8) Mungkin adanya sesak.
8. Pengkajian data khusus:
a. Karditis : takikardi terutama saat tidur, kardiomegali, suara sistolik,
perubahan suarah jantung, perubahan EKG (interval PR memanjang), nyeri
prekornial, leokositosis, peningkatan LED, peningkatan ASTO (Anti
Streptolisin O)
b. Poliatritis : nyeri dan nyeri tekan disekitar sendi, menyebar pada sendi lutut,
siku, bahu, dan lengan (gangguan fungsi sendi).
c. Nodul subkutan : timbul benjolan di bawah kulit, teraba lunak dan bergerak
bebas. Biasanya muncul sesaat dan umumnya langsung diserap. Terdapat
pada permukaan ekstensor persendian.
d. Khorea : pergerakan ireguler pada ekstremitas, infolunter dan cepat, emosi
labil, kelemahan otot.
e. Eritema marginatum : bercak kemerahan umum pada batang tubuh dan
telapak tangan, bercak merah dapat berpindah lokasi, tidak parmanen,
eritema bersifat non-pruritus.

1.2.2 Analisa Data


No Data Etiologi Masalah
1 DS : Streptococcus hemoliticus B grup A Penurunan
curah jantung
DO : (melepaskan endotoksin difaring dan
- Takikardia tonsil)
- Takipnea
- Bising jantung grade 3 Faringitis dan tonsillitis
- Lab: Peningkatan Sel
Retikuloendotelial, sel Tubuh mengeluarkan antibody

plasma dan limfosit berlebihan dan tidak dapat

(leukositosis), Peningkatan membedakan antibody dan atigen

laju endap darah ( LED ),


C- reaktif Protein ( CRP ) Respon imunologi abnormal/autoimun

positif,
RHD
- EKG: P-R interval
memanjang
Jantung

Peradangan katup mitral

Peningkatan sel retikuloendoteial, sel


plasma dan limfosit

Jaringan parut

Stenosis katup mitral


Penurunan curah jantung
2 DS: Streptococcus hemoliticus B grup A Perfusi
jaringan
- Klien mengeluh sesak (melepaskan endotoksin difaring dan
perifer tidak
nafas tonsil) efektif
- Klien mengeluh nyeri Faringitis dan tonsillitis
DO:
- JVP (Jugular Venous Tubuh mengeluarkan antibody
Pressure) 5+2 cm H2O berlebihan tidak dapat membedakan
- Takipnea antibody dan atigen
- Eritema Marginatum
Respon imunologi abnormal/autoimun

RHD

Jantung

Peradangan katup mitral

Peningkatan sel retikuloendoteial, sel


plasma dan limfosit

Jaringan parut

Stenosis katup mitral

Penurunan curah jantung

Baroreseptor : meningkatkan VOL dan


TD

Merangsang medulla oblongata

Kompensasi saraf simpatis


Pembuluh darah

Vasokontriksi

Penurunan metabolisme terutama


Perifer

Perfusi jaringan perifer tidak efektif


3 DS: Klien mengeluh nyeri Streptococcus hemoliticus B grup A Nyeri akut
sendi berpindah-pindah (melepaskan endotoksin difaring dan
DO: tonsil)
- Polyarthritis (Nyeri sendi
berpindah-pindah) Faringitis dan tonsillitis
- Takipnea
- Takikardi Tubuh mengeluarkan antibody
berlebihan tidak dapat membedakan
antibody dan atigen

Respon imunologi abnormal/autoimun

RHD

Persendian

Peradangan pada membrane synovial

Poliartritis/Artalgia

Nyeri Akut
4 DS: Klien mengeluh nyeri Streptococcus hemoliticus B grup A Hipertermia
sendi berpindah-pindah (melepaskan endotoksin difaring dan
DO: tonsil)
- Suhu 39◦c
- Polyarthritis (Nyeri sendi Faringitis dan tonsillitis
berpindah-pindah)
- Takikardi Tubuh mengeluarkan antibody

- Lab : Peningkatan Sel berlebihan tidak dapat membedakan

Retikuloendotelial, sel antibody dan atigen

plasma dan limfosit


(leukositosis), Peningkatan Respon imunologi abnormal/autoimun

laju endap darah ( LED ), RHD

C- reaktif Protein ( CRP )


Jantung
positif,
- EKG: P-R interval
Peradangan katup mitral
memanjang

Hipertermi
5 DS: Klien mengeluh nyeri Streptococcus hemoliticus B grup A Syndrome
kurang
sendi berpindah-pindah (melepaskan endotoksin difaring
perawatan diri
DO: dan tonsil)
- Polytarthritis (Nyeri sendi
berpindah-pindah) Faringitis dan tonsillitis

Tubuh mengeluarkan antibody


berlebihan tidak dapat membedakan
antibody dan atigen
Respon imunologi abnormal/autoimun

RHD

Persendian

Peradangan pada membrane synovial


Poliartritis/Artalgia

Syndrome kurang perawatan diri


6 DS: Streptococcus hemoliticus B grup A Kerusakan
integritas kulit
DO: (melepaskan endotoksin difaring
- Eritema Marginatum dan tonsil)
- Nodul Subcutan
Faringitis dan tonsillitis

Tubuh mengeluarkan antibody


berlebihan tidak dapat membedakan
antibody dan atigen
Respon imunologi abnormal/autoimun

RHD

Kulit

Peradangan kulit dan jaringan subcutan

Bercak merah/eritema marginatum

Kerusakan integritas kulit


7 DS : Klien mengeluh sesak Streptococcus hemoliticus B grup A Resiko
kerusakan
nafas (melepaskan endotoksin difaring dan
pertukaran gas
DO : tonsil)
- Sesak nafas bertambah bila
melakukan aktivitas Faringitis dan tonsillitis
- Takipnea
- Takikardi Tubuh mengeluarkan antibody
berlebihan tidak dapat membedakan
antibody dan atigen
Respon imunologi abnormal/autoimun

RHD

Jantung

Peradangan katup mitral

Peningkatan sel retikuloendoteial, sel


plasma dan limfosit

Jaringan parut

Stenosis katup mitral

Penurunan curah jantung

Baroreseptor : meningkatkan VOL dan


TD

Merangsang medulla oblongata

Kompensasi saraf simpatis

Jantung

Pengisian atrium kanan meningkat

Penumpukan darah diparu

Gangguan fungsi alveoli

Resiko kerusakan pertukaran gas


1.2.3 Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan adanya gangguan
penutupan pada katup mitral (stenosis katup)
2. Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan
metabolisme terutama perifer akibat vasokonstriksi pembuluh darah
3. Nyeri akut berhubungan dengan peradangan pada membran sinovial
4. Hipertermia berhubungan dengan Peradangan pada membran sinovial
dan peradangan katup jantung
5. Syndrome kurang perawatan diri berhubungan Gangguan
muskuloskeletal ; Poltarthritis/arthalgia dan therapi bed rest
6. Kerusakan integritas kulit behubungan dengan peradangan pada kulit
dan jaringan subcutan.
7. Resiko kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penumpukan
darah diparu akibat pengisian atrium yang meningkat
8. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan peningkatan asam lambung akibat kompensasi sistem saraf
simpatis
1.2.4 Perencanaan Keperawatan
No Diagnosa Tujuan (NOC) Intervensi (NIC) Rasional
Keperawatan
1. Penurunan curah Tujuan: 1. Kaji kulit terhadap pucat 1. Pucat menunjukan
jantung berhubungan Setelah diberikan asuhan dan sianosis menurunnya perfusi perifer
dengan adanya keperawatan, diharapkan tidak adekuatnya curah
gangguan pada penurunan curah jantung jantung, vasokontriksi anemia
penutupan katup mitral dapat diminimalkan. Kriteria 2. Monitor TTV 2. volume sekuncup kedua
(stenosis katup) hasil: ventrikel pada klien dengan
a. Menunjukkan tanda- CHF berkurang akibat
tanda vital dalam batas penekanan kontraktilitas atau
yang dapat diterima afterload yang sangat
(disritmia terkontrol atau meningkat, maka volume dan
hilang). tekanan pada akhir diastolik di
b. Bebas gejala gagal dalam kedua ruang jantung
jantung (mis : parameter akan meningkat. Hal ini akan
hemodinamik dalam batas meningkatkan panjang serabut
normal, haluaran urine miokardium pada akhir
adekuat). diastolik dan menyebabkan
c. Melaporkan penurunan waktu sistolik menjadi singkat.
episode dispnea,angina. Jika kondisi ini berlangsung
Ikut serta dalam akyivitas 3. Pantau EKG dan perubahan lama, maka akan terjadi

20
yang mengurangi beban foto dada dilatasi ventrikel.
kerja jantung. 3. Depresi ST dan datarnya T
dapat terjadi karena
peningkatan kebutuhan
oksigen, foto dada dapat
menunjukan pembesaran
jantung. AV blok bisa terjadi
4. Monitor jumlah dan irama
karena gangguan kontraktilitas
jantung
atau konduksi jantung.
4. Biasanya terjadi takikarkdi
untuk mengkompensasi
penurunan kontraktifitas
ventrikel. S1 dan S2 mungkin
lemah karena menuunnya
kerja pompa. Irama gallop
5. Kolaborasi dengan dokter umum (S3 Dan S4) dihasilkan
dalam pemberian obat sebagai aliran darah keserambi
yang distensi
5. dopamin merupakan obat yang
dapat memicu kerja otot
jantung
2 Perfusi jaringan perifer Tujuan : 1. Selidiki perubahan tiba-tiba 1. Perfusi serebral secara

21
tidak efektif Setelah dilakukan tindakan atau gangguan mental langsung sehubungan dengan
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 kontinyu, contoh: cemas, curah jantung dan juga
perubahan jam,diharapkan perfusi bingung, letargi, pingsan. dipengaruhi oleh elektrolit atau
metabolismeterut ama jaringan perifer efektif variasi asam basa, hipoksia,
perifer akibat Kriteria hasil : atau emboli sistemik.
vasokonstriksi a. Klien tidak pucat, 2. Lihat pucat, sianosis, belang, 2. Vasokontriksi sistemik
pembuluh darah b. Tidak ada sianosis kulit dingin atau lembab. diakibatkan oleh penurunan
c. Tidak ada edema Catat kekuatan nadi perifer curah jantung mungkin
dibuktikan oleh penurunan
perfusi kulit dan penurunan
nadi.
3. Kaji tanda edema.
3. Indikator trombosis vena
dalam.
4. Pantau pernapasan, catat
4. Pompa jantung gagal dapat
kerja pernapasan.
mencetuskan distress
pernapasan. Namun dispnea
tiba- tiba atau berlanjut
menunjukkkan komplikasi
5. Pantau data laboratorium, tromboemboli paru
contoh: GDA, BUN, 5. Indikator perfusi atau fungsi
creatinin, dan elektrolit. organ
3 Nyeri akut/kronis Tujuan : nyeri dapat 1. Kaji keluhan nyeri, catat 1. Membantu dalam

22
berhubungan dengan berkurang/hilang Kriteria lokasi dan intensitas (skala memetukankebutuhan dan
peradangan pada hasil: 0- 10).Catat faktor yang manajemen nyeri dan
membrane a. Menunjukkan nyeri memcepat dan tanda sakit keefektifan program
sinovialinflamasi, berkurang/hilang non verbal.
destruksi sendi. b. Terlihat rileks, dapat 2. Pantau tanda-tanda vital 2. Mengetahui keadaan umum
tidur/istirahat (TD, Nadi, RR , suhu) dan memberikan informasi
c. Berpartisipasi dalam sebagai dasar dan pengawasan
aktifitas sesuai intervensi
kemampuan. 3. Pertahankan posisi daerah 3. Menurunkan spasme/ tegangan
sendi yang nyeri dan beri sendi dan jaringan sekitar
posisi yang nyaman
4. Kompres dengan air hangat 4. Menghambat kerja reseptor
jika diindikasikan nyeri
5. Ajarkan teknik relaksasi 5. Membantu menurunkan
progresif ( napas dalam, spasme sendi-sendi,
Guid imageri,visualisasi ) meningkatkan rasa kontrol dan
mampu mengalihkan nyeri

6. Kolaborasi untuk pemberian 6. Menghilangkan nyeri

analgetik
4 Hipertermia Tujuan : 1. Kaji suhu tubuh klien dan 1. Mengetahui data dasar
berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan ukur tanda-tanda vital lain terhadap perencanaan tindakan
Peradangan pada keperawatan selama 2x24 seperti nadi, TD dan yang tepat

23
membran sinovial dan jam, diharapkan masalah respirasi
peradangan katup hipertermia teratasi 2. Berikan klien kompres 2. Membantu meberikan evek
jantung. Kriteria hasil : hangat pada lipatan tubuh vasodilatasi pembuluh darah
a. Suhu normal ( 26-37 dan terdapat banyak sehungga pengeluaran panas
derajat celcius ), pembuluh darah besar terjadi secara evaporasi
nadi seperti aksilla, perut )
b. normal,leukosit normal 3. Anjurkan klien untuk minum 3. Peningkatan suhu juga dapat

(4.300-11.400 per mm³ 2 liter/hari jika meyebabkan kehilangan cairan

darah), tidak ditemukan memungkinkan akibat evaporasi

steptococcus hemolitikus 4. Anjurkan klien untuk tirah 4. Mencegah terjadinya

b grup A pada hapusan baring ( bed rest ) peningkatan reaksi peradangan

tenggorokan. dan hipermetabolisme.


5. Kolaborasi untuk pemberian 5. Mengurangi proses peradangan
antipiretik dan antiradang sehingga peningkatan suhu
seperti salisilat/ prednison tidak terjadi serta streptococus
serta pemberian Benzatin hemolitikus b grup A akan
penicillin mampu dimatikan
5 Syndrome kurang Setelah dilakukan tindakan 1. Bantu pemenuhan ADL 1. Memenuhi kebutuhan klien
perawatan diri keperawatan selama 3x24 klien sehingga klien tetap bed rest
berhubungan dengan jam, diharapkan masalah dan tenang
gangguan pemenuhan ADL klien 2. Libatkan keluarga untuk 2. Kebutuhan klien akan lebih
musculoskeletal ; teratasi. membantu memenuhi terpenuhi sehingga klien

24
Polyarthritis Arthralgia Kriteria hasil : kebutuhan klien merasa tetap diperhatika
dan therapi bed rest a. Klien mengatakan 3. Beri penjelasan kepada klien 3. Mencegah adanya komplikasi
/ perawatan diri / ADL bahwa klien harus tirah peradangan sampai ketingkat
terpenuhi baring sesuai dengan gagal jantung.
b. Klien dapat melakukan waktu yang
perawatan diri dalam diindikasikan
batas toleransi
6 Kerusakan integritas Tujuan : 1. Kaji tingkat kerusakan kulit 1. Memberikan pedoman untuk
kulit behubungan Setelah dilakukan tindakan memberikan intervensi yang
dengan peradangan keperawatan,kerusakan tepat
pada kulit dan jaringan integritas kulit teratasi. 2. Berikan perawatan kulit 2. Terlalu kering adan lembab

subkutan Kriteria hasil : sering, minimalkan dengan merusak kulit dan


a.Eritema hilang pada tangan kelembaban/ ekskresI mempercepat kerusakan.
dan tubuh klien, 3. Ubah posisi sering di tempat 3. Memperbaiki sirkulasi/
b. Mempertahanakan tidur / kursi, bantu latihan menurunkan waktu satu area
integritas kulit. rentang gerak pasif/aktif yang mengganggu aliran darah
c. Mendemonstrasikan
perilaku / teknik 4. Berikan bantalan yang 4. Mencegah penekanan pada
mencegah kerusakan kulit lembut pada badan eritema sehingga tidak
meluas
5. Kolaborasi untik pemberian 5. Mengurangi reaksi peradangan
obat antiradang ( prednison ) sehingga eritema hilang.

25
7 Resiko kerusakan Tujuan : 1. Auskultasi bunyi nafas, catat 1. Menyatakan adanay kongesti
pertukaran gas Setelah dilakukan tindakan krekels, mengi paru/pengumpulan sekret
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 menunjukkan kebutuhan untuk
penumpukan darah di jam, diharapkan masalah intervensi lanjut.
paru- paru akibat resiko kerusakan pertukaran 2. Anjurkan pasien batuk 2. Membersihkan jalan nafas dan
pengisian atrium gas tidak terjadi efektif, nafas dalam. memudahkan aliran oksigen.
yang meningkat Kriteria hasil : 3. Pertahankan posisi 3. Menurunkan komsumsi
a. Mendemonstrasikan semifowler, sokong tangan oksigen/kebutuhan dan
ventilasi dan oksigenasi dengan bantal Jika meningkatkan ekspansi paru
adekuat pada memungkinka maksimal.
jaringan ditunjukkan 4. Kolaborasi dalam pemberian 4. Meningkatkan konsentrasi
oleh GDA/oksimetri dalam oksigen tambahan sesuai oksigen alveolar, yang dapat
rentang normal dan bebas indikasi. memperbaiki/menurunkan
gejala distress pernafasan hipoksemia jaringan.
b. Berpartisipasi dalam 5. Kolaborasi untuk 5. Hipoksemia dapat menjadi
program pengobatan dalam pemeriksaan AGD berat selama edema paru
batas kemampuan/situasi 6. Kolaborasi untuk pemberian 6. Menurunkan kongesti alveolar,
obat diuretik. meningkatkan pertukaran gas.
7. Kolaborasi untuk pemberian 7. Meningkatkan aliran oksigen
obat bronkodilator dengan mendilatasibjalan nafas
kecil dan mengeluarkan efek
diuretic ringan untuk

26
menurunkan kongesti paru
8 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji status nutrisi( perubahan 1. Menyediakan data dasar untuk
nutrisi ; kurang dari keperawatan selama 3x24 BB<pengukuran memantau perubahan dan
kebutuhan tubuh am, diharapkan masalah antropometrik dan nilai HB mengevaluasi intervensi
berhubungan dengan ketidakseimbangan nutrisi serta protein
peningkatan asam kurang dari kebutuhan dapat 2. Kaji pola diet nutrisi 2. Membantu dalam
lambung akibat teratasi. klien( riwayat diet, makanan mempertimbangkan
kompensasi sistem Kriteria hasil : kesukaan) penyusunan menu sehingga
saraf simpatis a. Klien mengatakan mual klien berselera makan
dan anoreksia berkuarang / 3. Kaji faktor yang berperan 3. Menyediakan informasi
hilang untuk menghambat asupan mengenai faktor yang harus
b. Masukan makanan adekuat nutrisi ( anoreksia, mual) ditanggulangi sehingga asupan
dan kelemahan hilang. nutrisi adekuat
c. BB dalam rentang normal. 4. Anjurkan makan dengan 4. Membantu mengurangi
porsi sedikit tetapi sering dan produksi asam lambnung/HCl
tidak makan makanan yang akibat faktor-faktor perangsang
merangsang pembentukan dari luar tubuh
Hcl seperti terlalu panas,
dingin, pedas
5. Kolaborasi untuk pemberian 5. Membantu mengurangi
obat penetral asam lambung produksi HCL oleh epitel
seperti antasida lambung

27
6. Kolaborasi untuk penyediaan 6. Mendorong peningkatan selera
makanan kesukaan yang makan.
sesuai dengan diet klien

28
DAFTAR PUSTAKA
Herdman, Kamitsuru. 2018. NANDA-I Daignosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2018-
2020. Jakarta : EGC
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M.L., Swanson, E. 2013. Nursing Outcomes Classification
(NOC) 5th Edition. SA : Elsevier Mosby. Di terjemahkan oleh Nurjanah, dkk. 2013.
NOC- Nursing Outcomes Classification. Indonesia
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M.L., Swanson, E. 2013. Nursing Interventions Classification
(NIC 5th Edition. SA : Elsevier Mosby. Di terjemahkan oleh Nurjanah, dkk. 2013. NIC-
Nursing Interventions Classification. Indonesia

29
Jurnal Jurnal
212 Ners dan
NersKebidanan, Volume
dan Kebidanan, 2, No.
Volume 3, Desember
2, Nomor 20152015, hlm. ©212–215
3, Desember 2015 Jurnal Ners dan Kebidanan
DOI: 10.26699/jnk.v2i3.ART.p212-215
This is an Open Access article under the CC BY-SA license
(http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/)
HUBUNGAN FAKTOR KECEPATAN DOOR-TO-ECG TERHADAP
KETERLAMBATAN WAKTU TERAPI FIBRINOLITIK PADA
PASIEN ST-ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION (STEMI)
DI RSUP PROF. R.D. KANDOU MANADO
(The Correlation of Speed Factors Door To Electrocardiography
(ECG) with Delay Times Fibrinolitic Therapy ST-Elevation Myocardiac
Infarct (STEMI) Patient in Prof Dr. R.D. Kandao Manado General
Hospital)

Johanis Kerangan1, M. Rasjad Indra2, Tony Suharsono3


1
Program Studi Magister Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya,
2,3
Dosen Program Studi Magister Keperawatan, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
email:johaniskerangan@gmail.com

Abstract: Reperfusion therapy is the main strategy in the treatment of patients with STEMI and when
the reperfusion time faster, closely linked to the decrease rate of mortality. One of the deciding factors
in intrahospital care system is the the speed of door-to-ECG are measured when the patient arrives at
the emergency unit until being recorded ECG examination and the results can be interpreted by health
personnel. This study aimed to analyze the correlation between the speed of door-to-ECG with the
delay time of fibrinolytic therapy at the Emergency Department of Prof. R.D. Kandou general hospital
in Manado.The method of this study was Prospective Cohort with analytic observational design. Sam-
pling technique was consecutive sampling with 22 participant on June-July 2015 on emergency depart-
ment of Prof. R.D. Kandou general hospital in Manado. Observation sheet was used as instrument.
Bivariate analysis showed that there was a significant correlation between the speed of door-to-ECG
with fibrinolitic therapy delay ( p value = 0.028) With rate of speed door-to-ECG is 28,59 minutes. The
longer time door-to-ECG cause the longer fibrinolytic therapy that cause increasing mortality rate of
STEMI patient.

Keywords: door-to-ECG speed, fibrinolytic therapy delay, STEMI

Abstrak: Terapi reperfusi merupakan strategi utama dalam penanganan pasien STEMI dan waktu
tindakan reperfusi yang lebih cepat, berhubungan erat dengan rendahnya jumlah mortalitas. Salah satu
faktor penentu dalam sistem pelayanan intrahospital adalah kecepatan door-to-ECG yang diukur saat
pasien tiba di unit emergensi sampai dengan terekamnya hasil pemeriksaan EKG dan hasil dapat
terinterpretasi oleh tenaga kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kecepatan
door-to-ECG terhadap keterlambatan waktu terapi fibrinolitik di IGD RSUP Prof. R.D. Kandou Manado.
Metode penelitian Kohort Prospektif dengan desain observasional analitik. Teknik sampling
menggunakan pendekatan consecutive sampling dengan 22 responden pada bulan Juni–Juli 2015 di
IGD RSUP Prof. R.D. Kandou Manado. Instrumen yang digunakan adalah lembar observasi.
Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara kecepatan
door-to-ECG dengan keterlambatan waktu terapi fibrinolitik dengan p value =0,028 ( <0,05) dengan
rata-rata kecepatan waktu door-to-ECG 28,59 menit. Semakin lama interval waktu door-to-ECG
menyebabkan interval waktu pemberian terapi fibrinolitik lebih lama yang berdampak pada
meningkatnya jumlah mortalitas pasien STEMI.

Kata Kunci : kecepatan door-to-ECG, keterlambatan terapi fibrinolitik, STEMI

212

30
Kerangan, Indra dan Suharsono, Hubungan Faktor Kecepatan Door-To-ECG ... 213

Infark miokard dengan elevasi segmen ST atau BAHAN DAN METODE


STEMI merupakan salah satu spektrum Sindrom
Koroner Akut (SKA) paling berat yang menunjuk- Metode dalam penelitian ini adalah penelitian
kan terjadinya proses oklusi total dan terjadinya Kohort Prospektif dengan desain observasional
proses infark transmural. Kondisi ini sangat analitik. Teknik sampling menggunakan
berba- haya dan bisa menyebabkan kematian jika pendekatan consecutive sampling dengan jumlah
tidak ditangani dengan segera (Zafari, et al., sampel pene- litian 22 responden pada bulan Juni–
2013). Juli 2015 di IGD RSUP Prof. R.D. Kandou
Keterlambatan terapi fibrinolitik pada pasien Manado. Instrumen yang digunakan adalah lembar
STEMI ditentukan oleh lama waktu prehospital observasi. Analisis data yaitu analisis univariat
(faktor pasien) dan lama waktu intrahospital dan analisis bivariat dengan menggunakan uji
(faktor sistem pelayanan rumah sakit). Dari data Pearson. Kriteria Inklusi sampel penelitian: Pasien
Interna- tional Registry, menunjukkan bahwa yang masuk di IGD RSUP Prof.
hanya 41% pasien STEMI yang tiba di rumah R.D. Kandou Manado dengan diagnosa dokter
sakit dalam waktu 2 jam setelah onset gejala jaga/ spesialis jantung menderita STEMI dan
(Tabriz, et al., 2012). Sedangkan untuk diberi terapi fibrinolitik.
keterlambatan waktu intrahospital diukur saat
pasien tiba di IGD hingga dilakukan terapi HASIL PENELITIAN
reperfusi. Rata-rata waktu keterlambatan door- Dari analisis univariat menampilkan
to-needle adalah 72,47 menit (25–305 menit), distribusi responden terhadap waktu kecepatan
dimana untuk waktu <30 menit dicapai pada 7,1% door-to-ECG, dan interval waktu door-to-needle
(10 pasien), <40 menit pada 21,4% (30) dan <50 pada pasien STEMI.
menit pada 41,4% (58 pasien) (Ali et al., 2012).
Keterlambatan ini berdampak pada mortalitas Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Faktor
Kecepatan door-to-ECG dan Interval waktu
pasien.
door-to-needle yang di Teliti (n=22)
Terapi reperfusi merupakan strategi utama
Variabel Mean SD Min Max 95% CI
dalam penanganan pasien STEMI, di mana waktu
Kecepatan
tindakan reperfusi yang lebih cepat, berhubungan door- to- 28 ,59 5,98 17 40 25,9±31,2
erat dengan rendahnya jumlah mortalitas (Cotoni, ECG* Interval
waktu door- 216,54 91 ,10 65 401 176,1±256,9
et al., 2014). Menurut AHA, (2010), fokus utama to-
needle*
selama waktu tindakan reperfusi yaitu untuk hasil EKG (18,6%). Tujuan dari penelitian ini
penanganan SKA di intrahospital, di mana adalah untuk menganalisis hubungan kecepatan
petugas kesehatan mengidentifikasi STEMI dengan door-to-ECG terhadap keterlambatan waktu terapi
mema- sang EKG paling lama 10 menit setelah fibrinolitik di IGD RSUP Prof.R.D.Kandou
pasien tiba di departemen emergensi. Reperfusi Manado.
harus segera dilakukan pada pasien dengan
STEMI maksimal 10 menit setelah diagnosa
STEMI ditegakkan. Reper- fusi dapat dilakukan
dengan IKP dan terapi fibrino- litik (Diercks,
2010).
Kecepatan door-to-ECG di intrahospital
merupakan salah satu faktor penentu terhadap
lama waktu pemberian terapi fibrinolitik pada
pasien STEMI. Di mana tindakan ini memerlukan
kemam- puan dari setiap petugas medis di
departemen emer- gensi dalam menetapkan
diagnosis dengan cepat dari hasil EKG pasien
sehingga pasien dapat diberi- kan terapi
secepatnya. Hasil penelitian dari Maharaj et al.
(2012), mengungkapkan beberapa alasan
keterlambatan waktu door-to-needle yaitu
kesulitan tim medis dalam menginterpretasi
31
Ket: dalam menit (*)

Berdasarkan tabel 1 menunjukkan interval


wak- tu yang dibutuhkan saat pasien tiba di IGD
hingga dilakukan tindakan reperfusi dengan
fibrinolitik. Di mana didapatkan rata-rata waktu
kecepatan door- to-ECG responden adalah.
28,59 menit dengan waktu tercepat 17 menit dan
terlama 40 menit, sedangkan untuk interval
waktu door-to-needle didapatkan rata-rata waktu
216,54 menit dengan waktu tercepat 65 menit dan
terlama 401 menit.
Dari analisis bivariat menampilkan
hubungan antara kecepatan door-to-ECG, dengan
keterlam- batan terapi fibrinolitik pada pasien
STEMI.
Dari tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat
hubungan bermakna antara kecepatan door-to-
ECG dengan keterlambatan waktu terapi
reperfusi pada pasien STEMI 0,028 (p< 0,05).
Kekuatan korelasi sebesar 0,468 yang
menunjukkan bahwa arah korelasi positif
dengan kekuatan korelasi sedang.

32
214 Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 2, Nomor 3, Desember 2015, hlm. 212–215

Tabel 2. Hasil Analisis Bivariat antara Kecepatan 2,9% untuk <30 menit, 4,1% selama 31–45 menit,
door- to-ECG dengan Keterlambatan Waktu dan 6,2%untuk> 45 menit denganp<0,001.
Terapi Reperfusi pada Pasien STEMI di
RSUP Prof.R.D. Kandou Manado
Variabel Uji Keterlambatan
waktu terapi
reperfusi
Kecepatan Pearson r = 0,468
door-to-ECG p = 0,028
n = 22

PEMBAHASAN
Rata-rata lama waktu door-to-ECG dalam
penelitian ini adalah 28,59 menit dengan interval
waktu tercepat 17 menit dan terlama 40 menit.
Dari hasil analisis bivariat dalam penelitian ini,
menunjuk- kan bahwa terdapat hubungan
bermakna antara faktor kecepatan door-to-ECG
dengan keterlam- batan waktu terapi fibrinolitik
pada pasien STEMI (P = 0,028).
Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa
semua pasien STEMI yang ditangani oleh tim
medis di departemen emergensi mengalami
keterlambatan dalam menginterpretasi hasil EKG.
Berdasarkan panduan dari AHA, (2010)
menentukan waktu untuk door-to-needle adalah
< 30 menit dimana, petugas kesehatan
mengidentifikasi STEMI dengan memasang EKG
paling lama 10 menit setelah pasien tiba di
departemen emergensi, setelah itu memutus- kan
untuk tindakan reperfusi (ECG-to-needle) 20
menit (Diercks, 2010).
Alasan keterlambatan waktu door-to-ECG
yaitu kesulitan tim medis dalam menginterpretasi
hasil EKG (18,6%) (Maharaj, et al., 2012).
Phelan et al. (1990) juga mengidentifikasi 2
penyebab lamanya door-to-ECG adalah proses
triase yang kompleks, dan ketidakmampuan staf
perawat dan dokter mentriase pasien yang
mempunyai keluhan khas infark (Jaya, 2013).
Dari hasil penelitian ini faktor kecepatan
door- to-ECG yang didapat, merupakan faktor
yang me- nyumbang waktu cukup signifikan jika
dibandingkan dengan panduan dari AHA(2010)
yang menyatakan bahwa waktu yang dibutuhkan
untuk tindakan door- to-ECG adalah kurang dari
10 menit.
Dari hasil penelitian McNamara, et al. (2007)
mengungkapkan bahwa keterlambatan
intrahospital yang dibandingkan dengan angka
mortalitas pasien STEMI didapatkan bahwa
mortalitas di rumah sakit lebih rendah dengan
waktu door-to-needle yang le- bih singkat yaitu
33
SIMPULAN DAN SARAN 129–132.
Cotoni, D.A., Roe, M.T., Li, S., Kontos, M.C. 2014.
Simpulan Fre- quency of Nonsystem Delays in ST-
Berdasarkan hasil penelitian, bahwa Elevation Myocardial Infarction Patients
penangan- an pasien STEMI membutuhkan Undergoing Pri- mary Percutaneous Coronary
penanganan yang cepat untuk mencegah Intervention and Implications for Door-to-
terjadinya peningkatan keru- sakan otot Balloon Time Reporting (from the American
miokardium yang berdampak pada mor- talitas Heart Association Mission: Lifeline Program).
Am J Cardiol 114:24–28.
pasien. Salah satu faktor yang menentukan dalam
Diercks, D.B. 2010. American Heart Association
sistem pelayanan intrahospital adalah kece- patan Mission Lifeline: Developing a STEMI Regional
tim medis dalam merekam dan menginter- pretasi Care Sys- tem. Advancing the Standard of Care:
hasil EKG setelah pasien tiba di IGD (door- to- Cardiovas- cular and Neurovascular
ECG < 10menit). Faktor ini merupakan salah satu Emergencies.
faktor penentu terhadap lama waktu terapi fibri- Jaya, I.A. 2013. Analisis faktor yang berhubungan
nolitik. dengan waktu door to balloon lebih dari 90
menit pada intervensi koroner perkutan primer
Saran di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita.
Magister Ilmu Keperawatan Medikal Bedah,
Perlu adanya pelatihan-pelatihan khusus FIKUI.
tentang EKG sehingga dapat meningkatkan Maharaj, R.C., Geduld, H., Wallis, L.A. 2012. Door-
kemampuan dari setiap anggota tim medis di to- needle time for administration of
departemen emergensi dalam menginterpretasi fibrinolytics in acute myocardial infarction in
EKG dengan cepat. Cape Town. S Afr Med J 102:241–244.
McNamara, R.L., Herrin, J., Wang, Y., Curtis, J.P.,
DAFTAR RUJUKAN Brad- ley, E.H., Magid, D.J., Rathore, S.S.,
Nallamothu, B.K., Peterson, E.D., Blaney, M.E.,
Ali, J., Ahmad, I., Faheem, M., Irfan, M., Gul, A.M., Frederick, P., Krumholz, H.M. 2007. IMPACT
Hafizullah, M. 2012. Factors associated with of Delay in Door- to-Needle Time on Mortality
de- laying of fibrinolytic therapy in Patients with ST- Segment Elevation
administration in patients with acute Myocardial Infarction. Am J Cardiol 100;1227–
myocardial infarction. Khyber Med Univ J 4(3): 1232.
Kerangan, Indra dan Suharsono, Hubungan Faktor Kecepatan Door-To-ECG ... 215

Tabriz, A.A., Sohrabi, M.R., Kiapour, N., Yazdani, S. 2012. Factors Associated with Delay in Thrombolytic Therapy
in Patients with ST-Elevation Myocar- dial Infarction. J Teh Univ Heart Cir 7(2):65-71
afari, A.M., Reddy, S.V., Jeroudi, A.M., Garas, S.M. 2013. Myocardial Infarction. Dalam http://emedicine. Medscap
e.com/article/155919-overview#a0101 diakses pada tanggal 12 Maret 2015 pukul 22.30 WIB.

34
Artikel Penelitian

Gambaran Faktor Risiko dan Manajemen Reperfusi Pasien


IMA-EST di Bangsal Jantung RSUP Dr. M. Djamil Padang

Suhayatra Putra1, Eka Fithra Elfi2, Afdal3

Abstrak
Infark Miokard Akut Elevasi Segmen ST (IMA-EST) merupakan masalah kesehatan dengan morbiditas dan mortalitas yang
tinggi di dunia. IMA-EST adalah gejala iskemia infark khas yang dikaitkan dengan gambaran EKG berupa elevasi segmen ST yang
persisten. Kejadian IMA-EST tidak terlepas dengan berbagai faktor risiko serta manajemen reperfusi yang didapat pasien. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran faktor risiko dan manajemen reperfusi pasien IMA-EST di bangsal jantung RSUP
Dr. M. Djamil Padang. Penelitian ini bersifat deskriptif retrospektif. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2016-Maret 2016.
Sampel penelitian adalah seluruh pasien IMA- EST yang memenuhi kriteria inklusi dan kemudian dilakukan pencatatan dari
beberapa variabel yang diteliti. Hasil penelitian ini menunjukkan IMA-EST dengan karakteristik rentang usia terbanyak 45-54
tahun dengan jenis kelamin laki-laki. Faktor risiko yang paling banyak dimiliki adalah hipertensi dan merokok. Intervensi Koroner
Perkutan (IKP) merupakan terapi yang paling sering dilakukan dengan waktu tindakan lebih dari 12 jam pasca infark.
Kata kunci: IMA-EST, faktor risiko, manajemen reperfusi

Abstract
ST-segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI) is a health problem with high morbidity and mortality in the world.
STEMI are typical symptoms of myocardial ischemia associated with ECG features such as persistent ST segment elevation.
Incident of STEMI is inseparable with risk factors and management of reperfusion of the patient. The objective of this study was to

35
find out the description of the risk factors and reperfusion management of patients at Cardiac Ward in RSUP Dr. M. Djamil
Padang. This research was a retrospective descriptive study. It was carried out in January 2016 - March 2016. The research
samples were the entire STEMI patients were meets the criteria of inclusion. Risk factors and reperfusion management were
recorded from Medical Record. This research showed that STEMI patients were mostly male with age 45-54 years. The common
risk factors were hypertension and smoking. In addition, Percutaneous Coronary Intervention (PCI) was a therapy that most often
performed with time of action is more than 12 hours of post infarction.
Keywords: STEMI, risk factors, management of reperfusion

Affiliasi penulis: 1. Prodi Profesi Dokter FK Unand (Fakultas Kedokteran


(WHO), penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab
Universitas Andalas Padang), 2. Bagian Jantung dan Pembuluh Darah
FKUnand/RSUP Dr. M.Djamil Padang, 3. Bagian Anatomi FK Unand. kematian terbesar di dunia, diperkirakan 17,3 juta orang
Korespondensi: Suhayatra Putra, Email: suhayatra.putra@live.com Telp: meninggal dunia karena penyakit kardiovaskuler setiap
082283039049
tahunnya dan 45% diantaranya diakibatkan oleh penyakit
jantung koroner (PJK).1
PENDAHULUAN Riskesdas tahun 2013 menyatakan bahwa PJK di
Penyakit kardiovaskuler merupakan masalah kesehatan Indonesia yang didiagnosis oleh dokter memiliki prevalensi
dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi di dunia. sekitar 0,5% dan sekitar 1,5% bila jumlah yang didiagnosis
Menurut data World Health Organization ditambah dengan pasien yang memiliki gejala yang mirip
dengan PJK. Prevalensi PJK

36
http:// 37

terbanyak pada kelompok umur 65-74 tahun yaitu 2,0% dan


juga diberikan terapi lain seperti anti-platelet (aspirin,
3,6%, menurun sedikit pada kelompok umur ≥75 tahun
klopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti
(0,4%) serta lebih tinggi pada perempuan (0,2%)
Unfractionated Heparin (UFH) / Low Molecular Weight
dibandingkan dengan laki-laki (0,1%).2
Heparin (LMWH), nitrat, penyekat beta, ACE-inhibitor, dan
Dalam International Classification of Diseases 10th
Angiotensin Receptor Blocker.7 Dalam penelitian sebelumnya
Revision Clinical Modification/ICD-10CM disebutkan
oleh Farissa dalam 2012, di RSUP Dr. Kariadi Semarang,
bentuk-bentuk umum dari penyakit jantung koroner yang
didapatkan bahwa dari 105 pasien terdiagnosis IMA-EST, 21
akut, yakni: Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS), Infark
diantaranya mendapat terapi reperfusi dan 84 lainnya
Miokard Akut dengan ST Elevasi (IMA- EST) dan Infark
mendapat terapi non reperfusi dan diberikan obat antara lain
Miokard Akut Non ST Elevasi (IMA- nEST).3
heparin, enoxaparin, klopidogrel, isosorbid dinitrat, aspilet,
The Thai Registry of Acute Coronary Syndrome
kaptopril, bisoprolol, dan ranitidin.8
(TRACS) melaporkan bahwa dari data yang dikumpulkan
Penyakit kardiovaskuler dapat dicegah dan jumlah
dalam kurun waktu Oktober 2007 sampai Desember 2008
kematian akibat dapat ditekan dengan mengendalikan faktor
terhadap 2007 pasien, didapatkan angka kejadian IMA-EST
risikonya.9 Ada banyak faktor risiko tersebut telah menjadi
sebesar 55%, IMA-nEST sebesar 33% dan APTS sebesar
kebiasaan masyarakat yang sulit diubah dan seiring dengan
12% dimana angka mortalitas rumah sakit dari pasien IMA-
perkembangan teknologi yang semakin mempermudah
EST adalah sebesar 5,3%, IMA-nEST sebesar 5,1%, dan
pekerjaan manusia, serta aktivitas fisik semakin jarang
pasien APTS sebesar 1,7%.4
dilakukan.
Di RSUP Dr. M. Djamil Padang tercatat frekuensi
paling tinggi pasien IMA berada direntang usia 40-59 tahun
METODE
(51,72% dari keseluruhan pasien IMA). Frekuensi terbanyak
Penelitian telah dilakukan di bagian Jantung dan
pasien IMA berjenis kelamin laki-laki.5
bagian Rekam Medik RSUP Dr. M. Djamil Padang dari
Tingginya angka kejadian dan angka kematian akibat
Januari 2016 hingga Maret 2016. Penelitian ini bersifat
infark miokard, terutama IMA-EST tidak terlepas dari
deskriptif retrospektif. Populasi pada penelitian ini adalah
berbagai faktor risiko, kecepatan dan ketepatan diagnosis
semua pasien yang didiagnosis utama IMA-EST di RSUP Dr.
serta tatalaksana yang dilakukan dokter. Kecepatan
M. Djamil Padang tahun 2013 - 2014. Penentuan besar sampel
penanganan dinilai dari time window antara onset nyeri dada
menggunakan teknik total sampling. Sampel pada penelitian
sampai tiba di rumah sakit dan mendapat penanganan di
ini adalah semua pasien yang didiagnosis IMA-EST di RSUP
rumah sakit.
Dr. M. Djamil Padang tahun 2013 - 2014 yang memiliki data
Faktor risiko IMA-EST dikelompokkan menjadi
rekam medik yang lengkap. Data yang diambil adalah usia,
faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat
jenis kelamin, faktor risiko dan manajemen reperfusi yang
dimodifikasi. Adapun faktor risiko yang tidak dapat
dijalani. Analisis data dilakukan dengan melakukan analisis
dimodifikasi meliputi usia, riwayat keluarga dengan penyakit
univariat dalam bentuk distribusi frekuensi untuk setiap
kardiovaskuler dan jenis kelamin. Sedangkan faktor risiko
variabel dari penelitian ini dan disajikan dalam bentuk tabel.
yang dapat dimodifikasi seperti hipertensi, dislipidemia,
merokok, diabetes mellitus (DM), obesitas, aktifitas fisik yang
kurang dan alkoholik.6
American College of Cardiology/American Heart HASIL
Association dan European Society of Cardiology Pada penelitian ini, besar sampel yang memenuhi
merekomendasikan tatalaksana pasien dengan IMA- EST kriteria penilaian adalah sebesar 181 sampel. Sampel
dengan terapi reperfusi, berupa terapi fibrinolitik maupun dikelompokkan berdasarkan variabel.
Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Selain itu

Jurnal Kesehatan Andalas. 2017; 6(3)


http:// 38

Tabel 1. Karakteristik pasien IMA-EST di RSUP Dr. M.


Tabel 4. Distribusi frekuensi dan persentase
Djamil Padang tahun 2013 - 2014
berdasarkan manajemen reperfusi
n (%) Frekuensi Persentase
Karakterisitik Manajemen Reperfusi
Laki-laki Perempuan Total (n) (%)
<45 tahun 17 (9,3) 1 (0,6) 18 (9,9) Ada
45-54 tahun 60(33,1) 10 (5,6) 70 (38,7) - Fibrinolitik 28 15,5
55-64 tahun 57(31,5) 7 (3,9) 64 (35,4)
65-74 tahun 12 (6,6) 5 (2,8) 17 (9,4) - IKP 75 41,4

75-84 tahun 5 (2,8) 7 (3,8) 12 (6,6) - IKP 5 2,8


≥85 tahun 0 (0,0) 0 (0,0) 0 (0,0) Rescue* 73 40,3
Total 151(62,3) 30(37,7) 181 (100) Tidak
Rerata usia 55 62 58 tahun Total 181 100
Standar deviasi 13,4 *Fibrinolitik tidak dilakukan di RSUP Dr. M. Djamil

Padang.
Tabel 1 menunjukkan distribusi terbanyak pasien
IMA-EST di RSUP Dr. M. Djamil Padang adalah pada
Tabel 4 menunjukkan gambaran bahwa pasien IMA-
kelompok umur 45 - 54 tahun (38,7%) dan jenis kelamin laki-
EST yang mendapat manajemen reperfusi sebanyak 108
laki (62,3%).
orang, 28 orang mendapat terapi fibrinolitik (15,5%), 75
orang mendapat terapi IKP (41,4%) dan 5 orang diantaranya
mendapat Rescue IKP (2,8%).
Tabel 2. Distribusi frekuensi dan persentase
berdasarkan faktor risiko

Faktor Risiko Frekuensi Persentase


Tabel 5. Distribusi frekuensi dan persentase
(n) (%)
berdasarkan waktu tindakan manajemen reperfusi
Hipertensi 95 52,5
Waktu Tindakan Frekuensi Persentase
Diabetes Melitus 30 16,6
(n) (%)
Dislipidemia 20Fibrinolitik 11,0
Merokok 122 67,4 - <12 Jam 28 100
Total 181 100,0 - >12 Jam -
IKP
- <12 Jam 17 21,3
Tabel 2 menunjukkan bahwa faktor risiko terbanyak
- >12 Jam 63 78,7
pasien IMA-EST di RSUP Dr. M. Djamil
Total 108 100,0
Padang adalah merokok yaitu sebanyak 122 sampel
(67,4%) dan hipertensi sebanyak 98 sampel (52,5%).
Pada Tabel 5, terlihat Pasien IMA-EST yang
mendapat terapi fibrinolitik ditatalaksana < 12 jam, yakni
sebanyak 28 orang (100%). Berbeda halnya dengan pasien
Tabel 3. Distribusi frekuensi dan persentase
IMA-EST yang mendapatkan terapi IKP dalam
berdasarkan jumlah faktor risiko yang dimiliki
waktu < 12 jam hanya 17 orang (21,3%), dan > 12 jam
Jumlah Faktor Frekuensi Persentase
sebanyak 63 orang (78,7%).
Risiko (n) (%)
< 3 Faktor Risiko 99 54,7
≥ 3 Faktor Risiko 82 45,3 PEMBAHASAN
Total 181 100,0 Penelitian ini didapatkan kelompok usia terbanyak
yaitu kelompok umur 45–54 tahun sebanyak
Tabel 3 menunjukkan bahwa pasien IMA-EST 70 orang (38,7%). AHA Scientific Statement memaparkan
terbanyak meiliki faktor risiko kecil dari 3 sebanyak 99 bahwa angka kejadian IMA-EST tertinggi didapatkan pada
sampel (54,7%). umur <65 tahun.10 Peningkatan umur

Jurnal Kesehatan Andalas. 2017; 6(3)


http:// 39

berkaitan dengan peningkatan proporsi pasien penyakit


lain dan angka kematian pada pasien penyakit jantung koroner
jantung koroner karena umur berbanding lurus dengan
sebesar 65%. 19,20
progresifitas aterosklerosis dan sebagian faktor risiko yang
Pasien IMA-EST dengan dislipidemia tercatat hanya
merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner juga
berjumlah 20 orang (11%). Sejalan dengan penelitian yang
meningkat seiring dengan pertambahan umur. 11
dilakukan oleh Lamuna Fathila tahun 2015, data profil lipid
IMA-EST lebih sering terjadi pada laki-laki (62,3%)
yang dikumpulkan di Bagian Rekam Medik RSUP M. Djamil
dari pada perempuan (37,7%). Ini serupa dengan yang
Padang didapatkan pasien IMA yang memiliki kadar
dikemukakan dalam sebuah studi INTERHEART, laki-laki
kolesterol total normal adalah sebanyak 124 orang (61,08%). 5
(74,9%) lebih banyak yang mengalami infark miokard
Dan penelitian oleh Irwanto didapatkan data profil lipid
daripada perempuan (25,1%).12 Hal ini juga didukung
pasien PJK berada dikisaran normal.21
penelitian di Indonesia, tepatnya di daerah Surakarta dan
Dalam penelitian ini pasien cenderung tidak
Sulawesi Utara dengan proporsi laki-laki masing-masing
mengalami dislipidemia. Hal itu dikarenakan beberapa kadar
53,33% dan 73%.13,14 Penyebabnya rendahnya kejadian
lemak bukan hanya sebagai faktor risiko satu- satunya yang
penyakit jantung koroner pada perempuan adalah efek
berpengaruh dalam kejadian penyakit jantung koroner, tetapi
proteksi estrogen pada wanita subur yang menahan proses
banyak faktor lain yang ikut terlibat dan saling
aterosklerosis, tetapi setelah menopause, proporsi penyakit
mempengaruhi. Dimana pasien penyakit jantung koroner bisa
jantung koroner pada perempuan akan sama dengan kejadian
memiliki 1 atau lebih jenis kadar lemak yang mengalami
penyakit jantung koroner pada laki-laki karena hilangnya efek
kelainan dengan kadar lemak lain yang normal sehingga
proteksi estrogen.15
masing-masing kadar lemak tidak dapat berdiri sendiri-
Penelitian ini mendapatkan pasien IMA-EST
sendiri.22 Dalam penelitian lain dinyatakan bahwa kadar Low
terbanyak memiliki riwayat hipertensi, yaitu sebanyak 95
Density Lipid pasca infark miokard menurun dan hal ini juga
orang (52,5%). Hasil penelitian oleh Sarumpaet tahun 2009
dipengaruhi oleh pemberian statin saat pasien masuk ke
diperoleh proporsi penderita PJK dengan faktor risiko
rumah sakit pada fase pengobatan awal. Penurunan LDL ini
tertinggi adalah hipertensi sebesar 67,4%.16
berhubungan dengan kadar cTn-T, terapi statin
Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang
intensif, usia tua, dan jenis kelamin terutama laki- 23,24
laki.
berat untuk jantung sehingga menyebabkan hipertrofi
ventrikel kiri, keadaan ini tergantung dari berat dan lamanya Riwayat merokok ditemukan pada 122 orang (67,4%)

hipertensi. Tekanan darah yang tinggi dan menetap juga akan pasien IMA-EST. Hal ini sesuai dengan penelitian yang

menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh dilakukan oleh Ram dan Trivedi tahun 2012 yang

darah arteri koroner sehingga memudahkan terjadinta mendapatkan proporsi pasien PJK terbanyak memiliki riwayat

aterosklerosis. Makin berat kondisi hipertensi yang diderita merokok sebesar 51,85%.25 Penelitian di Medan, didapatkan

maka semakin besar pula risiko terkena PJK. 17 proporsi pasien dengan riwayat merokok sebanyak 63,8%.21

Pasien IMA-EST dengan DM didapatkan hanya Hasil ini sesuai dengan dengan teori yang ada, yaitu

berjumlah 30 orang (16,6%). Hal ini sejalan dengan Valerian merokok merupakan faktor risiko yang berpengaruh pada

tahun 2015 bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara peningkatan kejadian terjadinya penyakit jantung koroner

jenis – jenis SKA dengan kadar gula darah.18 karena merokok meningkatkan efek dari faktor risiko yang

Ketidaksesuaian hasil pengamatan dan kepustakaan lain, seperti meningkatkan kejadian hiperlipidemia, hipertensi,

yang ada, yaitu proporsi pasien penyakit jantung koroner dan diabetes melitus, yan sama-sama meningkatkan
kejadiannya penyakit
dengan riwayat DM harus tinggi, dikarenakan DM bukan
jantung koroner, bahkan penyakit jantung yang lain.20,21,25
hanya faktor risiko satu-satunya yang berpengaruh dalam
kejadian penyakit jantung koroner, tetapi cenderung
meningkatkan faktor risiko

Jurnal Kesehatan Andalas. 2017; 6(3)


http:// 40

Pasien IMA-EST yang dirawat di RSUP Dr. M. Djamil Padang sebagian besar mendapat terapi reperfusi (59,7%), 41,4%
pasien mendapat terapi IKP namun tidak dilakukan dalam 12 jam pertama onset nyeri dada pasien dan 15,5% pasien mendapat
fibrinolitik..
Menurut panduan dari European Society of Cardiology, pasien dengan gejala klinis IMA-EST dengan elevasi segmen ST
persmisten atau LBBB baru pada EKG harus ditatalaksana dalam 12 jam secepat mungkin. 7 Menurut panduan AHA dan PERKI,
terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12
jam dengan elevasi segmen ST yang persisten LBBB yang (terduga) baru. Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer)
diindikasikan apabila terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang berlangsung, bahkan bila gejala telah ada
lebih dari 12 jam yang lalu atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat.27.28

SIMPULAN
Manajemen reperfusi pada pasien IMA-EST di Bangsal Jantung RSUP Dr. M. Djamil pada tahun 2013- 2014 paling banyak
dilakukan IKP, namun sebagian besar tindakan IKP tersebut tidak dilakukan dalam 12 jam pasca keluhan pasien.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih kepada Direktur RSUP Dr. M. Djamil yang telah memberikan ijin dan fasilitas dalam penelitian serta staf
pegawai rekam medik yang telah membantu dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization (WHO). Global atlas on cardiovascular disease prevention and control. 2011 (diunduh 2 November
2015). Tersedia dari: URL: HYPERLINKhttp://www.who.int/cardiovascular_disea ses/publications/atlas_cvd/en/
2. Departemen Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI. 2013 (diunduh 2 November 2015). Tersedia dari: URL: HYPERLINK http://labdata.litbang.depkes.go.id

Jurnal Kesehatan Andalas. 2017; 6(3)


http:// 41

3. World Health Organization (WHO). International classification of diseases 10th revision clinical modification/ICD-10CM.
2015 (diunduh 1 Desember 2015). Tersedia dari: URL: HYPERLINK htttp://ftp.cdc.gov/pub/Health_Statistics/NCHS/Public
ations/ICD10CM/2015/ICD10CM_FY2015_Full_PDF
.zip.
4. Srimahachota S, Boonyaratavej S, Kanjanavanit R, Sritara P, Krittayaphong R. Thai registry in acute coronary syndrome
(TRACS)-an extension of Thai acute coronary syndrome registry (TACS) group: lower in-hospital but still high mortality at
one-year. J Med Assoc Thai. 2012;95:508-18.
5. Fathila L. Gambaran profil lipid pada pasien infark miokard akut di RSUP M. Djmil Padang periode 1 Januari 2011-31
Desember 2012 (skripsi). Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas; 2015.
6. Masic I, Rahimic M. Socio-medical Characteristics of coronary disease in Bosnia and Herzegovina and The World. MSM.
2011;23:171-83.
7. Thygesen K, Alpert JS, Jaffe AS, Maarten LS, Bernard RC, Harvey DW. Universal definition of myocardial infarction.
European Heart Journal. 2012;33:2551–67.
8. Farissa IP. Komplikasi pada pasien infark miokard akut ST elevasi (STEMI) yang mendapat maupun tidak mendapat terapi
reperfusi di RSUP Dr. Kariadi Semarang (skripsi). Semarang, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2012.
9. World Health Organization (WHO). Cardiovascular disease (CVDs). 2013 (diunduh 10 November 2015). Tersedia dari: URL:
HYPERLINK http://www.who.int/ mediacentre/factsheets/fs317/en/
10. Alexander, KP, Newby LK, Paul WA, Cannon CP, Gibler WB, Rich MW, et al. Acute coronary care in the elderly, part II ST-
segment–elevation myocardial infarction a scientific statement for healthcare professionals from the American Heart
Association Council on Clinical Cardiology Circulation. 2007;115:2570-89.
11. Wang L, Wang KS. Age differences in the association of severe physiological distress and behavioral factors with heart
disease. 2013 (diunduh 11 Januari 2016). Tersedia dari: URL: HYPERLINK http://dx.doi.org/10.1155/2013/979623

12. Anand SS, Islam S, Rosengren A, Franzosi MG, Steyn K, Hussein A, et al. Risk factors for myocardial infarction in women and
men: insights from the Interheart study. Eur Heart J. 2008;29(7):932-40.
13. Rahmawati AC, Zulaekah S, Rahmawaty S. Aktivitas fisik dan rasio kolesterol (HDL) pada penderita penyakit jantung koroner
di poliklinik jantung RSUD DR Moewardi Surakarta. Jurnal Kesehatan. 2009;2(1):11-8.
14. Nelwan JE. Karakteristik individu penderita penyakit jantung koroner di Sulawesi Utara tahun 2011. 2013 (diunduh 10 April
2016) Tersedia dari: URL: HYPERLINK http://jkesmasfkm.unsrat.ac.id/wp- content/uploads/2013/02/31.pdf
15. Maas AHEM, Appleman YEA. Gender difference in coronary heart disease. Neth Heart J. 2010;18(12): 598-603.
16. Sarumpaet NS. Karakteristik penderita penyakit jantung koroner rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2005-2007
(skripsi). Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara; 2009
17. Anwar TB. Faktor-faktor risiko PJK. Medan: Bagian Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2004.
18. Valerian W, Syafri M, Rofinda ZD. Hubungan kadar gula darah saat masuk rumah sakit dengan jenis sindroma koroner akut di
RS Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2015;4(2):430-3.
19. Unachukwu C, Ofori S. Diabetes mellitus and cardiovascular risk. J Endocrinol. 2012;7(1).
20. American Heart Association (AHA). Coronary Artery Disease – Coronary Heart Disease. 2013 (Diakses
29 Desember 2015). Tersedia dari: URL: HYPERLINK http://www.heart.org/HEARTORG/
Conditions/More/MyHeartandStrokeNe.s/Coronary-Artery-Disease---Coronary- HeartDisease_UCM_436416_Article.jsp .
21. Irwanto. Profil pasien penyakit jantung koroner di poli jantung RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2013 (skripsi).
Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2015.
22. Arsenault BJ, Rana JS, Stroes SG, Després JP, Shah PK, Kastelein JJP. et al. Beyond low-density lipoprotein cholesterol.
JACC. 2010;55(1):35-41.
23. Arnold SV, Kosiborod M, Tang F, Zhao Z, McCollam PL, Birt J, Spertus JA. Changes in Low-Density lipoprotein cholesterol
levels after discharge for acute myocardial infarction in a real-world patient population. American Journal of Epidemiology.
2014; 179(11):1293–300.
24. Rott D, Klempfner R, Goldenberg I, Leibowitz D. Cholesterol levels decrease soon after acute myocardial infarction. Israel
Medical Association Journal. 2015;17: 370-3.

Jurnal Kesehatan Andalas. 2017; 6(3)


http:// 42
25. Ram RV, Trivedi AV. Smoking, smokeless tobacco consumption & coronary artery disease – a case control study. Natl J
Community Med. 2012;3(2):264- 8.
26. Kelley JA, Sherrod RA, Symth P. Coronary artery disease and smoking cessation intervention by primary care provider in a
rural clinic. Online J Rural Nurs Health Care. 2009;9(2):82-94.
27. O’gara PT, Kushner FG, Ascheim DD, Casey DE, Chung MK, de Lemos JA, et al. ACCF/AHA guideline for the management
of ST-Elevation myocardial Infarction. 2013: A report of the American college of cardiology foundation/American heart
association task force on practice guidelines. Circulation. 2013;127:e362-e425.
28. PERKI. Pedoman tatalaksana sindroma koroner akut. Jakarta: Centra Communications; 2015.

Jurnal Kesehatan Andalas. 2017; 6(3)

Anda mungkin juga menyukai