Anda di halaman 1dari 664

DAFTAR ISI

1. DIVISI ALERGI IMUNOLOGI


2. DIVISI ENDOKRINOLOGI
3. DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI
4. DIVISI HEMATOLOGI - ONKOLOGI
5. DIVISI INFEKSI
6. DIVISI KARDIOLOGI
7. DIVISI NEFROLOGI
8. DIVISI NEUROLOGI
9. DIVISI NPM
10. DIVISI PERINATOLOGI
11. DIVISI RESPIROLOGI
12. DIVISI PEDIATRI SOSIAL
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

1
ALERGI IMUNOLOGI

URTIKARIA ............................................................................................ 3
ALERGI MAKANAN ............................................................................... 7
ARTRITIS REUMATOID JUVENIL ......................................................... 11
SYOK ANAFILAKSIS ............................................................................. 16
PURPURA HENOCH-SCHONLEIN ....................................................... 21
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (LES) .......................................... 25
SINDROM STEVENS - JOHNSON (SSJ), NEKROLISIS EPIDERMAL
TOKSIK (NET), SSJ-NET OVERLAP .................................................... 33
HIV AIDS (Human Immunodefisiensi Virus) ........................................ 39
DERMATOMIOSITIS JUVENIL .............................................................. 46

1
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

2
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

URTIKARIA
ICD : L.50

1. DEFINISI
Urtikaria (kaligata, gidu, biduran, sumimikang, karumba dll) adalah erupsi kulit
yang menimbul, bengkak (wheal), berbatas tegas, berwarna merah, bagian tengah
pucat, memucat bila ditekan, disertai rasa gatal, dapat berlangsung akut, khronik
atau berulang.
Angioedema (giant urticaria, angioneurotic edema, quinckes edema) = urtikaria
 lesi jaringan subkutan, submukosa tidak berbatas tegas, tidak gatal, sering
dengan rasa nyeri dan terbakar.
Urtikaria (U) dan Angioedema (A) kronik dapat mengganggu kualitas hidup
penderita

2. ETIOLOGI
Mekanisme imun
Mekanisme imun dapat diperantarai melalui reaksi hipersensitivitas tipe I, II &
III.

Mekanisme nonimun (antifilaktoid)


a. Angiodema herediter
b. Aspirin
c. Liberator histamin, yaitu zat yang dapat menyebabkan pelepasan
histamin seperti obattiate, obat pelemas otot, obat vasoaktif & makanan
(putih telur, tomat, lobster).

Fisik
a. Dermatografia (writing on the skin)
b. Urtikaria dingin
c. Urtikaria kolinergik
d. Urtikaria panas
e. Urtikaria solar
f. Urtikaria& angioedema tekanan
g. Angioedema getar
h. Urtikaria akuagenik

Miscellaneous
a. Urtikaria Papular
 Etiologi : gigitan serangga (nyamuk, lebah, dll)
 Pruritus bifasik : popular wheal
 Reaksi hipersensitivitas tipe I & IV
b. Urtikaria pigmentosa
c. Mastositosis sistemik
d. Infeksi disertai urtikaria
e. Urtikaria dengan penyakit sistemik yang mendasarinya
 Penyakit vaskuler kolagen
 Keganasan
 Ketidakseimbangan sistem endokrin

3
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

f. Faktor psikogenik
g. Urtikaria& angioedema idiopatik

3. PATOGENESIS
 Sel mediator  mediator2 (histamin) :
- Dilatasi pembuluh darah  eritema
- Peningkatan permeabilitas kapiler  edema (eksudasi cairan & sel) 
saraf perifer kulit  gatal
- Pembuluh darah subkutan
 Degramulasi sel mediator
 Degranulasi sel mast kutan / sub kutan
- Dilatasi kapiler  eritema
- peningkatan permeabilitas kapiler ekstravasasi cairan & sel (eosinofil)
 edema lokal, gatal
- Vaskuler subkutan angioedema (periorbita & perioral)
 Histologis : degranulasi sel mast kutan / subkutan  pelepasan
mediator2 (histamin, lekotrin) dilatasi pembuluh darah dermal /
subdermal dgn infiltasi sel-sel perivaskular terutama eosinofil
 Histamin  reseptor H pd organ sasaran (H1, H2, H3& H4)

4. BENTUK KLINIS
Urtikaria akut lebih sering pada bayi / anak
 Ukuran, jumlah bervariasi
 Papul udematous, datar, merah muda/terang, 2-5 mm  papul atau plak
batas tegas, datar  beberapa lesi berkonfluensi  plak dgn tepi polisiklik
 Gatal selalu ada
 Bayi :
- Gatal tidak terlalu berat
- Urtikaria purpurik (urtikaria hemorhagik) bayi & anak kecil  DD
vaskulitis
Angioedema:
 Udema subkutan & atau submukosa
 Ekstremitas, bibir, palpebra, genitalia, saluran cerna (abdomen) & faring
 5-10 % bayi & anak + urtikaria
 Menghilang < 2-3 hari, jarang disertai gatal
 A berulang tanpa U HAE atau AAE
 Lesi A + U
- Sementara dari waktu ke waktu
- Beberapa lesi menghilang, dapat timbul lesi baru khronik
- Bayi & anak lesi menghilang dalam beberapa hari
 Anafilaktik idiopatik
- U / A akut, luas, Wheezing, hipotensi, mual, muntah, tanda-tanda aritmia
jantung

5. KRITERIA DIAGNOSIS
ANAMNESIS
Onset: berulang/lamanya (durasi), lokasi
Ditanya mengenai faktor pencetus

4
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

 Makanan, Obat-obatan, zat aditif, hobi


 Inhalasi, Penyakit infeksi akut/kronis
 Faktor-faktor eksaserbasi serangan
Riwayat atopi, dan penyakit penyerta lain

PEMERIKSAAN FISIK
Gambaran yang khas, bentuk lesi  tipe urtikari linier (dermografisme), Urtika
kecil dikelilingi daerah eritem (urtikaria kolinergik), pada ekstremitas inferior
(urtikaria vaskulitis, papular urtikaria), terbatas pada daerah paparan (urtikaria
dingin/ solar)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Penunjang Laboratorium
Pemeriksaan dasar Tes berdasarkan kondisi tertentu:
Darah perifer lengkap Jika dicurigai vaskulitis :
Antinuclear antibody
LED Biopsi kulit
Urinalisis CH50
Fungsi hati Jika fungsi hati tidak normal: Pemeriksaan
serologis untuk hepatitis virus
Fungsi tiroid dan
autoantibodi
Anti-FceR autoantibody
(bila ada)
Riwayat U. fisik  test yang sesuai
Kondisi Test
Urticaria kolinergik Latihan , mecholyl challenge
Dermografisme Menggosok atau menggaruk kulit
Solar urticaria Paparan ke sinar matahari terkontrol
Cold urticaria Ice challenge
HAE (hereditary angioneurotic edema) periksa kadar C4, C1 INH (antigenik &
fungsional)

6. DIAGNOSA BANDING
Urtikaria Anak : Angioedema:
Eritema multiforme Selulitis
Urtikaria pigmentosa Erisipelas
Gigitan serangga Dermatitis kontak
Eritema Anulare SLE
Infantile Acute Hemoragic edema Kasus bedah abdomen
Purpura Henoch Schonlein, Reaksi anafilaktik laring
pitriasis rosea

7. DIAGNOSIS KERJA
Urtikaria

5
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

8. TATALAKSANA
a. Edukasi
 Meyakinkan penderita/keluarga:
 U/A  remisi spontan ( hari, bulan, tahun)
 U /A tidak menyebabkan cacat
 U/A dapat dikontrol dengan satu atau kombinasi obat-obatan
b. Eliminasi  kenali dan hindari faktor pencetus dan faktor-faktor yang
mengeksaserbasi serangan
c. Adregenik
 Diberikan pada urtikaria/angioedema yang luas/meluas dengan cepat,
terdapat distres pernafasan
 adrenalin (1:1000) dengan dosis 0,01 ml/kgBB/kali subkutan (maksimum
0,3 ml) dilanjutkan dengan pemberian antihistamin penghambat reseptor
histamine H1
d. Antihistamin:
 antihistamin H1generasi I:klorfeniramin maleat (ctm): 0,35 mg/kg/hari
boleh diberikan setiap 6-8jam
 antihistamin H1 generasi II:cetirizine 0,25 mg/kg/hari sekali sehari
 antihistamin H2 : untuk membantu aktivitas antihistamin H1, simetidin 5
mg/kg/kali 3x sehari
e. Tabir surya  urtikaria solar (panjang gelombang 285-320 nm)U. dingin 
hindari mandi/ berenang di air dingin
f. HAE : Hindari faktor eksaserbasi: panas, aktivitas, aspirin, alkohol
g. Kortikosteroid Untuk urtikaria/angioedema yamg berat dan diberikan bila
tidak memberikan respon yang baik dengan obat-obat diatas

9. KOMPLIKASI dan PROGNOSIS


Komplikasi
Angioedema merupakan bentuk kutan anafilaksis sistemik, dapat saja terjadi
obstruksi jalan nafas karena edema laring dan sekitarnya, atau anafilaksis yang
dapat mengancam jiwa.
Prognosis
Baik, dapat sembuh spontan atau dengan obat

10. REFERENSI
1. Matondang C.S. Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi
imunologi anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. Jakarta. 2008.
Hal 224-34
2. Leung DYM, Dreskin SC. Urticaria (Hives) and Angioedema. Dalam:
Behrman,N, Kliegman, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke 18.
Philadelphia WB Saunders Co. 2008.
3. Leung DYM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy Principles and
Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.
Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016
Ka. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Ka. Divisi Alergi
Imunologi

dr. Hj. Yusmala Helmy, SpA(K) dr. Hj. Yusmala Helmy, SpA(K)

6
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

ALERGI MAKANAN
ICD : T78.1

1. DEFINISI
Adalah suatu kumpulan gejala yang melibatkan banyak organ dan sistem tubuh
yang ditimbulkan oleh alergi terhadap bahan makanan, berupa reaksi imunologik
yang menyimpang yang merupakan kombinasi keempat tipe hipersensitivitas
menurut Gell dan Comb’s.

2. ETIOLOGI
Terdapat 3 faktor penyebab alergi makanan, yaitu:
 Faktor genetik
Anak yang salah satu orang tuanya atopi, kemungkinan terjadinya alergi 17-29%.
Bila kedua orang tuanya atopi kemungkinan alergi 53-58%. Anak dengan HLA-
BB cenderung mendapat alergi.
 Faktor Imaturitas usus
-Secara mekanik integritas mukosa usus dan peristaltik merupakan pelindung
masuknya alergen kedalam tubuh
-Secara kimiawi:asam lambung dan enzim pencernaan menyebabkan denaturasi
alergen
-Secara imunologik SIgA pada permukaan mukosa dan limposit pada lamina
propia dapat menangkal alergen masuk kedalam tubuh.
 Pajanan alergen
-dapat terjadi sejak bayi dalam kandungan
-pemberian PASI pada bayi cenderung meningkatkan angka kejadian alergi
-eleminasi telur, susu dan ikan pada ibu menyusui selama 3 bulan pertama
mengurangi sensitivitas selam 3 bulan berikutnya dan menurunkan dermatitis
atopik 6 bulan berikutnya.
-pajanan alergen tergantung juga pada kebiasaan dan norma kehidupan setempat
-faktor pencetus bukan penyebab serangan alergi, tetapi menyulut terjadinya
gejala alergi, dapat berupa faktor fisik, faktor psikis atau beban latihan

3. PATOGENESIS
Makan→ pajanan alergen→gangguan integritas mukosa usus→absorpsi molekul
alergen (protein, glikoprotein atau polipeptida dengan berat molekul >18.000
dalton, tahan panas, tahan enzim proteolitik)→ pada orang yang sensitif→reaksi
alergi yang muncul dapat berupa saatu atau lebih reaksi.
Reaksi cepat terjadi berdasarkan reaksi hipersensitivitas tipe 1 fase cepat
Reaksi lambat terdapat 4 kemungkinan, yaitu:
1. reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambaT
2. reaksi hipersensitivitas tipe II
3. reaksi hipersensitivitas tipe III
4. reaksi hipersensitivitas tipe IV

4. BENTUK KLINIS
Bervariasi berdasarkan target organ:

7
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

 Pada saluran cerna dapat berupa gatal pada bibir, mulut, faring, sembab
tenggorokkan, muntah-muntah, nyeri perut, kembung, mencret, perdarahan
usus, protein- losing enteropathy.
 Pada saluran nafas dapat berupa rinitis, asma bronkial atau batuk kronik
berulang
 Pada kulit dapat berupa urtikaria, angiodema atu dermatitis atopik
 Pada kardiovaskular dapat menimbulkan reaksi anafilaksis, berupa:
-anafilaksis yang diinduksi makanan
-anafilaksis yang diinduksi latihan dan tergantung makanan (food
dependentexercise inducedanaphylaxis gejala anafilaksis timbul setelah
makan suatu alergen dan kemudian diikuti latihan fisik.

5. KRITERIA DIAGNOSIS
ANAMNESIS
Anamnesis tergantung pada daya ingat penderita/orang tua tentang gejala, dan
kemampuan pemeriksa untuk membedakan antara gangguan yang disebabkan
oleh hipersensitivitas terhadap makanan atau etiologi lain.Anamnesis riwayat
perjalanan penyakit meliputi:
 Jenis makanan yang dicurigai dan jumlah makanan yang dikonsumsi.
 Interval waktu antara mengasup makanan yang dicurigai dan munculnya
gejala.
 Jenis gejala yang ditimbulkan setelah mengasupmakanan tersebut
 Riwayat Atopi pada pasien & keluarganya.

PEMERIKSAAN FISIK
 Kulit kering, urtikaria, dermatitis atopic
 Allergic shinner’s, nasal crease, lidah khas geographic, pucat pada mukosa
hidung dan gangguan bernapas.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis dapat didukung melalui pemeriksaan:
 uji kulit dapat dilakukan uji gores (scratch test), uji suntik intra dermal (intra
dermal test), dan uji tusuk (prick test)
 darah tepi: eosinofil >5% atau >500/ml, cenderung alergi. Jika leukosit <
5000/ml disertai neutropenia<30% sering ditemukan pada alergi makanan.
 hemoglobin dan hematokrit yang rendah sering ditemui pada susu sapi
 pemeriksaan IgE spesifik (RAST) hanya dikerjakan atas indikasi saja

6. DIAGNOSIS BANDING
a. Penyakit Infeksi pada organ yang sama
b. Penyakit alergi karena penyebab lain

7. DIAGNOSIS KERJA
Alergi Makanan

8
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

8. TATALAKSANA
 Edukasi
- Hindari makanan penyebab alergi
- Pada alergi makanan tertentu seperti susu sapi dan telur boleh dicoba
kembali setelah eliminasi 6 bulan – 1 tahun, karena dapat terjadi grow out
dengan bertambahnya usia.
 Pengobatan simptomatis  ditujukan pada manifestasi klinisnya (urtikaria,
diare, rinitis, asma, angiodema, anafilaksis, dll)
- Urtikaria, pruritus, eritema dan rinitis diberikan antihistamin peroral,
dipakai hidroksizin dosis 1 mg/kgbb 2 kali sehari, atau dipenhidramin 1
mg/kgBB 4 kali sehari.
- Jika kelainannya cukup luas dan timbulnya cepat seperti angioedema ,
mula-mula diberikan HCI epinefrin (adrenalin) larutan 1:1000 dengan
dosis 0,01 cc/kgBB subkutan (max. 0,3 cc). Jika perlu diulang sampai 2
kali selang 15 menit, kemudian dilanjutkan antihistamin peroral.
- Jika terjadi sitopenia atau vaskulitis diberikan kortikosteroid, dosis 1-2
mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis. Jika klinis telah membaik ditapering
secara sepat, biasanya 3 hari.
- Jika terjadi asma bronkial, diberikan bronkodilator (seperti teofilin,
salbutamol)  SP asma bronkial.
- Anafilaksis :
 Penatalaksanaan penderita anafilaksis : Penderita dibaringkan terlentang,
kepala dalam posisi ekstensi , jika perlu oksigen. Beri adrenalin 1:1000, dosis
0,01 cc/kgBB/kali IM
 Jika terjadi obstruksi jalan nafas dipasang alat nafas buatan (Gudel) atau
trakeostomi. Tanda-tanda vital dimonitor terus (TD, Nadi, RR).
 Jika tidak ada perbaikan tanda-tanda vital (TD masih rendah) pasang IVFD
dengan Ringer laktat atau NaCl 0,9% atau glukosa 5%, dikocor
 Bronkospasme dihilangkan dengan memberi aminofilin 3-4 mg/kgBB IV
(pelan-pelan, diencerkan dulu).
 Untuk menekan reaksi hipersensitifitas tipe I fase lambat diberi hodrokortison
7-10 mg/kgBB I.V, dilanjutkan 5 mg/kgBB (tiap 6 jam I.V).
 Pengobatan selanjutnya ditujukan pada komplikasi yang terjadi  jika perlu
dirawat di ICU.

9. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS


Komplikasi
 Failure to thrive
 Penyakit atopi kronis seperti asma bronkial dan dermatitis atopik

Prognosis
 Pada prinsipnya alergi tidak dapat disembuhkan
 Dermatitis atopik akan berkurang pada usia 12 tahun, 50-80% organ sasaran
akan berpindah, manifestasi alergi berubah menjadi rinitis alergika dan asma
 Alergi makanan yang mulai timbul pada usia 3 tahun, prognosisnya lebih
baik 40% mengalami grow-out

9
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

 Anak yang mengalami alergi pada usia 15 tahun keatas cenderung untuk
menetap.

10.REFERENSI

Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Ka. Divisi Alergi
Imunologi

dr. Hj. Yusmala Helmy, SpA(K) dr. Hj. Yusmala Helmy, SpA(K)

10
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

ARTRITIS REUMATOID JUVENIL


(ICD : M08.0)

1. Definisi
Artritis Reumatoid Juvenil (ARJ) adalah salah satu bentuk penyakit reumatik
yang termasuk dalam kelompok penyakit jaringan ikat.

2. Etiologi
Penyebab pasti ARJ masih belum diketahui. Beberapa faktor etiologi berperan
dalam munculnya ARJ, antara lain faktor : infeksi, autoimun, trauma, stres dan
faktor imunogenetik.

3. Patogenesis
Patogenesis ARJ sering dikaitkan dengan imunopatogenesis penyakit kompleks
imun dari penyakit autoimun: autoantigen (agregat IgG dan antigen sinovia) 
pengaruh beberapa rangsangan (faktor imunogenetik, kalainan makanisme sel T
supresor, reaksi silang antigen dan berbagai penyebab lain seperti virus) akan
memproduksi autoantibodi

 Kelainan tahap awal


Belum jelas, telah diidentifikasi kerusakan mikrovaskuler dan proliferasi sel
sinovia  edema sinovium dan proliferasi sel sinovia  mengisi rongga sendi,
tahap awal predominan sel PMN  didominasi sel limfosit, makrofag dan sel
plasma  produksi IgG, sedikit IgM (IgM anti IgG = Faktor reumatoid).

Reaksi autoantigen-antibodi  kompleks imun  aktivitas sistem komplemen


 terjadi pelepasan biologik aktif  terjadi reaksi inflamasi. Aktivitas sistem
imun selular  aktivitas mediator limfokin  reaksi inflamasi. Reaksi
inflamasi  disertai proliferasi dan kerusakan jaringan sinovia.

 Tahap lanjut
Fase kronis, mekanisme kerusakan jaringan lebih menonjol disebabkan respon
imun selular  karakteristik artritis rematoid kronik, adanya kerusakan tulang
rawan, ligamen, tendo dan kemudian tulang. Kerusakan ini disebabkan oleh
produk enzim dan pembentukan jaringan granulasi akibat aktivitas sistem imun
selular. Sel limfosit, makrofag dan sinovia dapat mengeluarkan berbagai
macam sitokin seperti kolagenase, prostaglandin serta plasminogen yang akan
mengaktifkan sistem kalikrein dan kinin-bradikinin. Produk-produk ini akan
menimbulkan reaksi inflamasi dan kerusakan jaringan.

4. Bentuk Klinis
 Tipe onset poliartritis : gejala artritis terjadi pada lebih 4 sendi, terbanyak pada
sendi jari, biasanya simetris, dapat juga pada sendi lutut, pergelangan kaki dan
siku.
 Tipe onset oligoartritis : mengenai 4 sendi atau kurang (biasanya mengenai
sendi besar) terutama didaerah tungkai.

11
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

 Tipe onset sistemik : didapatkan demam intermiten dengan puncak tunggal atau
ganda > 39 0 C selama 2 minggu atau lebih  muncul artritis. Biasanya disertai
kelainan sistemik berupa ruam reumatoid serta kelainan viseral
(hepatosplenomegali, serositis, limpadenopati).

5. Kriteria Diagnosis
Anamnesis
1. Usia onset penyakit < 16 tahun
2. Gejala artritis (pembengkakan atau efusi, adanya 2 atau lebih: keterbatasan
gerak, nyeri, atau nyeri saat digerakkan dan perabaan hangat) pada satu atau
lebih sendi
3. Lama penyakit > 6 minggu
4. Jumlah sendi yang terkena:
 Poliartritis: ≥5 sendi
 Oligoartritis < 5 sendi
 Sistemik: gejala artritis dengan adanya demam
5. Gejala lain : nafsu makan menurun, BB turun, bila penyakit berat terjadi
gangguan tidur di malam hari akibat nyeri
6. Nyeri sendi tidak berpindah, sendi jarang terlihat merah
7. Terdapat kekakuan sendi pada pagi hari

Pemeriksaan Fisik
 Sendi yang terkena teraba hangat dan biasanya tidak terlihat eritem
 Adanya paling sedikit 2 dari gejala inflamasi sendi:
gerakan sendi yang terbatas,
nyeri/sakit pada pergerakan dan
panas
 Pembengkakan kelenjar getah bening
 Radang pada mata

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium:
 Darah perifer lengkap:
o Tergantung derajat peradangan sistemik atau persendian, bisa ditemukan
peningkatan leukosit, trombosit, LED dan penurunan Hb dan MCV
 CRP
 Anti nuclear antibody (ANA): positif pada 40-85% anak ARJ oligoartritis dan
poliartritis tetapi biasa ditemukan positif pada tipe sistemik
 Rheumatoid factor
Pemeriksaan radiologi: tidak rutin, dilakukan pada kasus dimana terjadi
pembengkakan sendi yang nyata
 Peradangan jaringan ikat lunak, osteoporosis regional

6. Diagnosis Banding
- Demam rematik akut
- Lupus eritematosusu sistemik
- Keganasan

12
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

7. Diagnosis Kerja
Artritis Reumatoid Juvenil

8. Tatalaksana
Edukasi
 Evaluasi luas manifestasi klinis, periksa mata, terutama pada ARJ tipe
oligoartritis dengan ANA (+) dan penderita yang mendapat terapi hidroksi
klorokuin.
 Untuk mempertahankan fungsi dan mencegah deformitas tulang dan sendi
dilakukan fisio terapi di bagian URM.
 Konsultasi kebagian bedah tulang untuk memperbaiki deformitas,
memperbaiki pergerakan sendi.

Dasar pengobatan suportif bukan kuratif. Pengobatan secara terpadu untuk


mengontrol manifestasi klinis dan mencegah deformitas dengan melibatkan
dokter anak, ahli fisioterapi, latihan kerja, praktek sosial, bila perlu konsultasi
pada ahli bedah dan psikiatri.
Medikamentosa :
 Pilihan obat anti inflamasi non steroid (AINS)
1. Asam Astil Salisat (AAS) dosis 75-90 mg/kgBB/hari peroral, dibagi3-4
dosis, diberikan bersama makanan, selama 1-2 tahun setelah gejala klinis
menghilang, atau:
2. Naproksen 10-15 mg/ kgBB/hari dibagi 2 dosis.
3. AINS lain : sebagian besar tidak boleh diberikan pada anak. Pemberiannya
hanya untuk mengontrol nyeri, kekakuan dan inflamasi pada anak tertentu
yang tidak responsif terhadap AAS atau sebagai pengobatan inisial,
misalnya :
 Tolmetin : dosis inisial 20 mg/kgbb/hari, kemudian 15-30 mg/kgBB/hari
dibagi 3-4 dosis, diberi bersama makanan atau antasid.
 Analgesik lain : Asetaminofen dosis 10-15 mg/kgBB/kali, setiap 4-6 jam
sesuai kebutuhan, jangan diberikan lebih 5 kali perhari  untuk mengontrol
nyeri atau demam terutama pada penyakit sistemik (pemberian > 10 hari
memerlukan pengawasan yang ketat, tidak boleh diberikan untuk waktu lama
karena dapat menimbulkan kelainan ginjal.
 Pemberian disease-modifying antirheumatic agents (DMARDs) seperti
metotreksat, leflunomide, dan sulfasalazine. Dosis metotreksat oral adalah 10-
20 mg/m2/minggu dan diberikan selama 6 bulan.Disertai pemberian Asam
Folat 1 mg/hari (diberikan 4 hari dalam seminggu kecuali 1 hari sebelum
pemberian metotreksat dan 1 hari sesudah pemberian metotreksat)
 Obat anti rematik kerja lambat = Slow Acting Anti Rheumatic Drugs
(SAARDs)  hanya diberikan pada poliartristik progresif yang tidak
menunjukkan perbaikan dengan AINS, contoh : Hidroksi klorokuin, garam
emas (gold salt), Penisilamin dan sulfa salazin.
- Hidroksi klorokuin (dapat dipakai sebagai obat tambahan AINS), dosis 6-7
mg/kgBB/hari, setelah 8 minggu turunkan jadi 5 mg/kgBB/hari dibagi 2
dosis, jika setelah terapi 6 bulan tidak ada perbaikan  obat dihentikan
- Garam emas bisa dipakai jika penderita tidak responsif terhadap pengobatan
AAS/AINS lain setelah 6 bulan. Pengobatan dengan AAS/AINS lain

13
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

diteruskan selama pemakaian garam emas. Preparat yang dipakai Gold


sodium thiomalate dan auro thioglucose. Dipakai dosis awal 5 mg IM dan
kemudian dosis ditingkatkan sampai 0,75-1 mg/kgBB/minggu (< 50mg).
Jika remisi telah tercapai dalam 6 bulan diteruskan dengan dosis yang sama
dengan injeksi tiap-tiap 2 minggu selama 3 bulan, kemudian setiap 3
minggu setelah 3 bulan, lalu setiap 4 minggu, diteruskan sampai beberapa
tahun remisi. Preparat oral garam emas dipakai Auranofin : dosis dimulai
0,1-0,2 mg/kgBB/hari (maksimal 9 mg/hari), kemudian ditingkatkan 1
mg/kgBB/hari setiap 3 bulan sampai mencapai dosis maksimal 6 mg. Lama
pengobatan dapat sampai beberapa tahun remisi.
- Penisilamin diberikan inisial 3 mg/kgBB/hari(< 250 mg/hari) selama 3 bulan,
kemudian 6 mg/kgBB/hari (< 500 mg/hari) dalam 2 dosis selama 3 bulan,
sampai maksimum10 mg/kgBB/hari, dalam 3-4 dosis terbagi selama 3
bulan. Dosis rumatan diteruskan selama 1-3 tahun.
- Sulfasalazin : dosis 30-50mg/kgBB/hari, dibagi 4-6 dosis, diberi bersama
makan, jangan diberikan bersama antasid. Setelah tidak ada keluhan dosis
diturunkan perlahan-lahan sampai 25 mg/kgBB/hari. Dapat digunakan
beberapa tahun.
 Kortikosteroid : diberikan jika gejala penyakit sistemik, uveitis kronis dan
untuk pemberian obat secara parenteral termasuk intra artikuler. Penyakit
sistemik yang tidak terkontrol : prednison 0,25-1 mg/kgBB/hari dosis tunggal,
jika keadaan lebih berat dosis terbagi jika terjadi perbaikan klinis dosis
diturunkan pelan-pelan, kemudian stop.
 Imunosupresan : pada keadaan berat yang mengancam kehidupan dipakai
metotreksat dosis inisial 5 mg/m2/minggu, jika respons tidak adekuat setelah 8
minggu pemberian, dapat dinaikkan menjadi 10 mg/m2/minggu. Lama
pengobatan adekuat 6 bulan.
 Obat lain yang bisa dipergunakan adalah azatioprin, siklofosfamid dan
klorambusil.

9. Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi
 Gangguan pertumbuhan dan perkembangan akibat penutupan epifisis
 Komplikasi akibat pengobatan steroid
 Vaskulitis, ensefalitis, amiloidosis sekunder
 Kelainan tulang dan sendi yang lain seperti angkilosis, luksasi atau fraktur.

Prognosis
 70-90% sembuh tanpa kecacatan. 10% dapat terjadi cacat sampai dewasa.
 Sebagian kecil sekali menjadi bentuk artritis reumatoid dewasa.
 Prognosis kurang baik pada tipe onset sistemik atau poliartritis, atau disertai
uveitis kronik, erosi sendi, fase aktif yang berlangsung lama, nodul reumatoid
dan faktor reumatoid positif.
 Angka kematian sangat rendah (2-4%), sering dihubungkan dengan gagal ginjal
akibat amilodosis serta infeksi.

14
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

10. Referensi
 Akib AAP. Artritis Reumatoid Juvenil. Dalam: Akib AAP, Munazir Z,
Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia :
edisi ke 2. Jakarta. 2008. Hal: 332-44.
 Miller ML, Cassidy JT. . Juvenile Rheumatoid Arthritis. Dalam:
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
 Cassidy, Petty RE, Laxer RM. Textbook Pediatric Rheumatology.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2010.

Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Ka. Divisi Alergi
Imunologi

dr. Hj. Yusmala Helmy, SpA(K) dr. Hj. Yusmala Helmy, SpA(K)

15
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

SYOK ANAFILAKSIS
ICD : T78.2

1. Definisi
Reaksi alergi sistemik berat terhadap stimulus apapun, dengan onset mendadak
dan biasanya berlangsung < 24 jam, terdiri dari bentol, kemerahan, gatal,
angioedema, stridor, wheezing, nafas pendek, muntah, diare atau syok yang
mengancam kehidupan.

2. Etiologi
 Makanan (merupakan penyebab tersering), Sengatan lebah atau
serangga,Obat-obatan,Karet lateks
 Makanan yang sering menyebabkan anafilaksis:Kacang tanah, Ikan laut / sea
food, Kerang, Telur, Susu, Biji-bijian
 Obat-obatan yang dapat menyebabkan reaksi anafilaksis atau anafilaktoid:
Antibiotik (khususnya penisilin), Obat anestesi intravena, Aspirin, NSAID,
Kontras media intravena, Analgetik opioid

3. Patogenesis
 Individu terpapar kembali dengan antigen yang pernah kontak sebelumnya.
Antigen tersebut berikatan silang dengan molekul IgE spesifik yang terikat
pada sel mast dan basofial.
 Sel mast dan basofil teraktifasi dan mengalami degranulasi
 Kemudian melepaskan Mediator yang terkandung didalam granulanya
seperti histamin, faktor kemotaksis eosinofil (ECF), faktor kemotaksis
netrofil (NCF) dan triptase. Selain itu terbentuk mediator baru seperti
prostaglandin dan Leukotrin.
 Mediator histamin ini beraksi pada reseptor histamin pada organ
menyebabkan produksi mukus, pruritus, peningkatan permeabilitas
vaskuler, konstriksi otot polos dan lain-lain yang menyebabkan gejala
anafilaksis

4. Bentuk Klinis
Tergantung organ dan derajat beratnya serangan, penderita harus dimonitor
status respirasi dan kardiovaskuler
Kulit
 Flushing, pruritus, urtikaria, angioedema, ruam morbiliformis, pilor erecti
 Reaksi lokal
Oral
 Pruritus pada bibir, lidah, palatum, edema pada bibir dan lidah, rasa seperti
logam di mulut
Saluran Nafas (organ syok utama)
 Laring: pruritus dan rasa sesak pada tenggorokan, disfagia, disfonia, serak,
batuk kering, gatal pada saluran telinga luar
 Paru: nafas pendek, dispnu, dada sesak, batuk dalam, wheezing
 Hidung: gatal, bengkak, rinore, bersin
 Apabila lidah dan orofaring terkena bisa terjadi sumbatan saluran nafas atas

16
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

 Stridor bila saluran atas terkena


Obstruksi total saluran nafas merupakan penyebab kematian terbanyak
Kardiovaskuler
 Pingsan/sinkop, nyeri dada, disritmia, hipotensi
 Takikardia kompensata karena penurunan tonus pembuluh darah
 Kebocoran kapiler dapat menyebabkan kehilangan volume intravaskuler dan
hipotensi
Gastrointestinal
Mual, kolik, muntah, diare

5. Kriteria Diagnosis
Anamnesis
 Terdapat berbagai gejala yang timbul mendadak: gelisah, lemah, pucat,
sesak, pingsan, mual, muntah, nyeri perut, suara serak, sesak nafas, batuk
kering, pilek, hidung tersumbat, mengi, gatal pada mulut dan muka, timbul
bentol di kulit, pembengkakan pada mata
 Penyebab anafilaksis yang dicurigai: makanan, obat-obatan, gigitan serangga
atau transfuse
 Onset setelah paparan agen penyebab (onset yang disebabkan oleh agen
penyebab yang diinjeksikan lebih cepat daripada yang dicerna)
 Penyakit penyerta (penyakit kardiovaskuler, asma dan penyakit saluran nafas
yang lain, rhinitis alergi, eksim, penyakit psikiatrik, mastocitosis)
 Obat-obatan lain yang dikonsumsi (ACE inhibitor, beta bloker)

Pemeriksaan Fisik
 Masalah yang mengancam jiwa:
a. Airway: edema saluran nafas, suara serak, stridor
b. Breathing: nafas cepat, wheezing, kelelahan, sianosis, SpO2<92%,
kebingungan
c. Circulation: pucat, dingin, tekanan darah turun, pingsan, mengantuk/coma,
takikardi atau nadi tidak teraba.
 Adanya urtikaria dan angioedema.

Pemeriksaan Penunjang
- Darah rutin
- Urin rutin
- Analisis Gas Darah

6. Diagnosa Banding
Pada reaksi sistemik ringan dan sedang: urtikaria dan angioedema
Pada reaksi sitemik berat:
1. Syok Hipovolemik
2. Syok Septik
3. Syok Kardiogenik
4. Syok Neurogenik
5. Hipoglikemia
6. Ketoasidosis

17
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

7. Dehidrasi

7. Diagnosis Kerja
Syok Anafilaksis

8. Tatalaksana
 Edukasi
- Jelaskan pada anak agar menghindari faktor penyebab, misalnya
makanan, obat-obatan dan lain-lain.
- Jelaskan pada guru-teman, pengasuh, dan pada anak bahwa anak tersebut
menderita reaksi anafilaksis terhadap makanan, obat-obatan dan lain-
lain.
- Persiapan obat adrenalin pada anak besar, dan dijelaskan tentang cara
pemakaiannya
 Evaluasi segera keadaan jalan nafas dan jantung, bila pasien mengalami henti
jantung-paru, harus dilakukan resusitasi kardiopulmoner.
 Adrenalin (epinefrin) 1: 1000 mg dosis 0,01 mg/kg intramuskuler maksimal
0,3 mg atau: >12 tahun: 5 mcg IM (0,5 mL); 6-12 tahun: 3 mcg IM (0,3 mL),
< 6 tahun: 150 mcg (0,15 mL)
 Intubasi dan trakeostomi: bila terdapat sumbatan jalan nafas bagian atas
karena edema
 Torniket: kalau anafilaksis terjadi karena suntikan pada ekstremitas atau
sengatan/gigitan hewan berbisa maka dipasang torniket proksimal dari daerah
suntikan atau tempat gig1tan tersebut
 Oksigen: diberikan pada penderita yang mengalami sianosis, sesak atau
penderita dengan mengi.
 Difenhidramin: untuk mengurangi gejala gatal, kemerahan, angioedema,
urtikaria, gejala pada mata dan hidung, namun tidak dapat menggantikan
adrenalin karena tidak dapat mengurangi gejala obstruksi saluran nafas atas,
hipotensi dan syok dosis 1 mg/kg maksimum 50 mg.
 Cairan intravena: untuk mengatasi syok pada anak: kristaloid 20 ml/kg
secepatnya
 Aminofilin
 Vasopresor
 Kortikosteroid, walaupun kortikosteroid tidak menolong pada
penatalaksanaan akut reaksi anafilaksis, kortikosteroid berguna untuk
mencegah gejala berulang
 Pengobatan suportif

9. Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi

Prognosis
Dubia

18
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

10. Referensi
- Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan
Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008.
- Sampson HA. Donald Y.M. Leung. Adverse Reactions to Drugs. Chapter
151. Behrman N, Kliegman Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke
18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
- Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy Principles and
Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.

Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Ka. Divisi Alergi
Imunologi

dr. Hj. Yusmala Helmy, SpA(K) dr. Hj. Yusmala Helmy, SpA(K)

19
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

11. Algoritma

20
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

PURPURA HENOCH-SCHONLEIN
(ICD : D69.0)

1. Definisi
Purpura Henoch-Schonlein adalah sindroma klinis yang disebabkan oleh
vaskulitis pembuluh darah kecil sistemik, yang ditandai dengan lesi kulit spesifik
yang berupa purpura nontrombositopenik, artritis atau artralgia, nyeri abdomen
atau perdarahan gastrointestinal dan kadang-kadang dengan nefritis.
Nama lain : purpura anafilaktoid, purpura alergik atau vaskulitis alergik.

2. Etiologi
Penyebab penyakit ini belum diketahui.
Faktor-faktor yang diduga berperanan: infeksi traktusrespiratorius bagian atas,
obat-obatan, makanan dan imunisasi.

3. Patofisiologi
Deposit kompleks imun yang mengandung IgA dan aktivasi komplemen dan
jalur alternatif mengakibatkan inflamasi pada pembuluh darah kecil di kulit,
ginjal, sendi, dan abdomen sehingga terjadi purpura dikulit, nefritis, artritis, dan
perdarahan gastrointeatinalis. Secara histologis tampak vaskulitis leukositoklatik.

4. Bentuk Klinis
Manifestasi klinis yang khas adalah pada kulit, berupa : ruam makuloeritematosa,
berlanjut menjadi purpura, tanpa adanya trombositopenia, terutama pada kulit
bokong dan ekstremitas bagian bawah (pada 100% kasus)  purpura lambat
laun berubah menjadi ungu, kemudian coklat kekuning-kuningan, lalu
menghilang, tetapi dapat rekuren. Gejala ini dapat disertai :
 Angioedema pada muka (kelopak mata, bibir) pada 20% kasus, dan
ekstremitas (punggung, tangan, kaki) pada 40 kasus,
 Artralgria atau artritis migran mengenai sendi besar ekstremitas bawah, tidak
menimbulkan deformitas yang menetap.
 Nyeri abdomen dapat berupa kolik abdomen yang berat dan perdarahan
gastrointestinalis pada 35-85% kasus, kadang-kadang dapat perforasi usus dan
intususepsi ileoileal atau ileokolonal pada 2-3% kasus.
 Hematuria atau nefritis (pada 20-50% kasus)

5. Kriteria Diagnosis
Anamnesis
Timbul ruam kemerahan yang berubah menajdi ungu di ekstremitas (terutama di
ekstremitas bawah)
Nyeri perut, BAB hitam, nyeri sendi, bengkak pada sendi
Apakah gejala ini sudah berulang sebelumnya
Apakah ada BAK merah, nyeri kepala

21
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

Pemeriksaan Fisik
Kulit: ruam makuloeritematosa yang palpabel, berlanjut menjadi purpura, tanpa
adanya trombositopenia, terutama pada kulit bokong dan ekstremitas bagian
bawah (pada 100% kasus)  purpura lambat laun berubah menjadi ungu,
kemudian coklat kekuning-kuningan, lalu menghilang, tetapi dapat rekuren.
Gejala ini dapat disertai :
 Angioedema pada muka (kelopak mata, bibir) pada 20% kasus, dan ekstremitas
(punggung, tangan, kaki) pada 40 kasus,
 Artralgria atau artritis migran mengenai sendi besar ekstremitas bawah, tidak
menimbulkan deformitas yang menetap.
 Nyeri abdomen dapat berupa kolik abdomen yang berat dan perdarahan
gastrointestinalis pada 35-85% kasus, kadang-kadang dapat perforasi usus dan
intususepsi ileoileal atau ileokolonal pada 2-3% kasus.
Hematuria atau nefritis (pada 20-50% kasus)

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
1. Darah tepi: trombosit bisa normal atau meningkat, membedakan purpura
yang disebabkan trombositopenia, biasanya juga eosinofilia. LED dapat
meningkat.
2. Kadar komplemen seperti C1q, C3, C4 dapat normal. Pemeriksaan kadar IgA
dalam darah mungkin meningkat.
3. Analisa urin dapat menunjukkan hematuria, proteinuria maupun penurunan
kreatinin klirens
4. Feses: ditemukan darah
Pencitraan:
Bila dicurigai adanya intususepsi: USG dan foto polos abdomen

6. Diagnosa Banding
Penyakit Kawasaki
Lupus eritematosus sistemik
Polyarteritis Nodosa
Urticarial vasculitis
ITP

7. Diagnosis Kerja
Purpura Henoch-Schonlein

8. Tatalaksana
Edukasi
Menjelaskan pada penderita/keluarga:
 Kemungkinan rekurensi terjadi pada 50% kasus
 Gejala dan kemungkinan komplikasi yang terjadi
 Jadwal pemberian obat terutama kortikosteroid dan jadwal penurunannya,
efek samping dan cara memakan obat

22
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

Suportif dan simptomatis


 Kontrol nyeri dapat dengan analgesik seperti asetaminofen atau
ibuprofen.
 Artritis ringan dan demam: ibuprofen atau parasetamol
 Nyeri perut: makanan lunak
1. Kortikosteroid
 diberikan jika ditemukan nyeri perut yang hebat, perdarahan saluran
cerna, purpura yang persisten, adanya gangguan ginjal progresif
(sindroma nefrotik, kerusakan glomerulus), edema jaringan lunak yang
hebat, gangguan SSP, dan perdarahan paru, dengan protokol :
- induksi dengan metilprednisolon 10-30mg/kgbb/hari (IV) diberikan
dalam D5% 100cc dalam 2 jam, selama 3hari hari + siklofosfamid
100-200 mg/hari (oral)
- maintenance predinson 1-2 mg/kgBB/hari (oral) selang sehari,
siklosfosfamid 100-200 mg selama 30-75 hari
- Dilakukan tappering off
 Nyeri perut berat dan pencegahan terjadinya nefritis: kortikosteroid oral
jangka pendek dosis 1-2 mg/kg/hari terbagi 3 dosis selama 5-7 hari
kemudian diturunkan perlahan-lahan selama 2-3 minggu.
 Nyeri perut berat dengan mual dan muntah: 1-2 mg/kg/hari
2. Gagal ginjal ditanggulangi sesuai SP.
3. Jika akut abdomen  konsul bedah.
4. Monitoring:
 Tekanan darah
 Nyeri perut, perdarahan saluran cerna
 Purpura/lesi kulit baru yang timbul
 Laboratorium: leukosit, LED, urinalisis dan feses

9. Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi
 Saluran cerna : perdarahan, intususepsi, infark usus.
 Ginjal : gagal ginjal akut/kronis.
 SSP : defiusit neurologik, kejang dan penurunan kesadaran.
Prognosis
Prognosis baik, dapat sembuh spontan beberapa hari atau beberapa minggu. 50%
kasus dapat rekuren. Nefritis kronis dapat terjadi pada 1% kasus.

10. Referensi
1. Matondang CS, Roma J. Purpura Henoch-Schonlein. Dalam: Akib AA,
Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter Anak
Indonesia : edisi ke 2. 2008.
2. Miller ML, Pachman LM. . Vasculitis Syndromes. Chapter 166. Dalam:
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
3. Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy Principles and
Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.

23
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

4. Cassidy, Petty RE, Laxer RM. Textbook Pediatric Rheumatology.


Philadelphia: Elsevier Saunders. 2010

Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Ka. Divisi Alergi
Imunologi

dr. Hj. Yusmala Helmy, SpA(K) dr. Hj. Yusmala Helmy, SpA(K)

24
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (LES)


(ICD : L93.0)

1. Definisi
Lupus eritematosus sistemik adalah penyakit sistemik evolutif yang mengenai
satu atau lebih organ tubuh, ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah
dan jaringan ikat, bersifat episodik yang diselingi oleh periode remisi.

2. Etiologi
Merupakan penyakit autoimun dengan berbagai faktor penyebab yang saling
berkaitan : faktor genetik, faktor endokrin, faktor obat dan faktor infeksi. Jika
salah satu faktor tidak ada, maka penyakit Lupus tidak akan muncul secara klinis.

3. Patogenesis
Autoantibodi berikatan dengan autoantigen membentuk kompleks imun yang
mengendap berupa depot dalam jaringan  terjadi antivasi komplemen, terjadi
reaksi inflamasi yang menimbulkan lesi di tempat tersebut.

4. Bentuk Klinis
LES dapat menyerang semua organ, yang dapat muncul sendiri-sendiri atau
bersama-sama. Manifestasi klinis pada masing-masing organ ini yang lazim
adalah :
 Demam dan astenia merupakan gejala tersering.
 Kelainan kulit, berupa :
- Ruam berbentuk sayap kukpu-kupu, (Butterfly rash) terdapat didaerah muka
(eritema malar) dapat berupa eritema simpel, atau erupsi makulopapel
dengan squamasi halus berwarna kemerahan, erupsi dapat juga mengenai
cuping hidung, pangkal hidung, daerah leher atau bahu yang terbuka,
periorbaita, frontal atau darah telinga luar.
- Lupus discoid
- Lesi vaskulitis (berupa eritem pada tangan, edema periungual,
makuloeritematosa kulit dan pulpa jari jemari).
- Erupsi populoeritematosa disseminata non spesifik terutama dianggota gerak,
kulit fotosensitif, alopesia, non sikatrik, sindroma Raynaud.
 Kelainan selaput mukosa : berupa ulserasi nasal dan oral.
 Kelainan sendi, tulang dan otot dapat berupa artritis, deformitas tangan,
tenosinovitis, artralgia, mialgia miositis lupus, serta osteonekrosis aseptik.
 Kelainan ginjal : ditandai dengan proteinuria, hematuria, sindrom nefrotik,
gagal ginjal. Kalsifikasi lupus nefritis: lupus nefritis mesangial,
glomerulonefritis proliferatif fokal, glomerulonefritis proliferatif difus,
glomerulonefritis membranosa.
 Manifestasi neuropsikiatrik : psikosis, disorientasi delirium, atau dapat
berhubungan dengan kelainan organik serebral.
 Manifestasi hematologik : limfadenopati superfisial atau lebih dalam
(mediatinum,intra abdomen), dapat juga terjadi splenomegali. Anemia:
normokrom normositik dengan kapasitas pengikatan zat besi rendah dapat
disertai skizositosis dan trombositopenia, leukopenia dan gangguan hemostatis.
 Kelainan kardiovaskuler : perikarditis, miokarditis, hipertensi arterial.

25
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

 Kelainan saluran nafas : efusi pleura, dapat juga terjadi perdarahan alveolar
masif.
 Manifestasi gineko-obstetrik : amenore pada anak besar.
 Kelainan sistem pencernaan :  terjadi akibat vaskulitis seperti : perdarahan
intestinal, prankreatitis, perforasi usus atau ulserasi hemoragis. Dapat terjadi
diare karena infeksi saluran cerna. Perdarahan digestif karena pemberian obat
(anti inflamasi), hepatitis dan dapat terjadi asites.
 Ganguan pada mata : dapat mengenai semua struktur dan jalur saraf optik. Pada
retina terdapat eksudat seperti kapas disertai perdarahan (Cotton Wool Spots),
papilitis dan oklusi arteri sentralis (paling jarang), scotoma, gangguan
penglihatan unilateral dan keratitis.

5. Kriteria Diagnosis
Anamnesis
 Demam (onset, tipe demam, riwayat pengobatan sebelumnya)
 Astenia
 Kelainan kulit:
- Onset
- Jenis ruam: butterfly rash, lupus diskoid lesi vaskulitis kulit fotosensitif,
alopesia, non sikatrik, sindroma Raynaud.
 Kelainan selaput mukosa : sariawan yang tidak nyeri
 Kelainan sendi: nyeri/ pembengkakan sendi
 Kelainan ginjal : edema, nyeri kepala, pandangan mata kabur, BAK merah
 Manifestasi neuropsikiatrik : kejang, penurunan kesadaran, perubahan
kesadaran
 Manifestasi hematologik: pucat, perdarahan
 Kelainan kardiovaskuler : sesak nafas
 Kelainan saluran nafas : sesak nafas, batuk darah
 Manifestasi gineko-obstetrik : amenore pada anak besar.
 Kelainan sistem pencernaan : nyeri perut, BAB hitam
 Riwayat pengobatan sebelumnya (bila ada), jenis obat yang dimakan,
keteraturan makan obat,

Pemeriksaan Fisik
LES dapat menyerang semua organ, yang dapat muncul sendiri-sendiri atau
bersama-sama. Manifestasi klinis pada masing-masing organ ini yang lazim
adalah :
 Demam dan astenia merupakan gejala tersering.
 Kelainan kulit, berupa :
- Ruam berbentuk sayap kupu-kupu, (Butterfly rash) terdapat didaerah muka
(eritema malar) dapat berupa eritema simpel, atau erupsi makulopapular
dengan squamasi halus berwarna kemerahan, erupsi dapat juga mengenai
cuping hidung, pangkal hidung, daerah leher atau bahu yang terbuka,
periorbita, frontal atau darah telinga luar.
- Lupus diskoid
- Lesi vaskulitis (berupa eritem pada tangan, edema periungual,
makuloeritematosa kulit dan pulpa jari jemari).

26
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

- Erupsi populoeritematosa disseminata non spesifik terutama dianggota gerak,


kulit fotosensitif, alopesia, non sikatrik, sindroma Raynaud.
 Kelainan selaput mukosa : berupa ulserasi nasal dan oral.
 Kelainan sendi, tulang dan otot dapat berupa artritis, deformitas, tenosinovitis,
artralgia, mialgia miositis lupus, serta osteonekrosis aseptik.
 Kelainan ginjal : ditandai dengan proteinuria, hematuria, sindrom nefrotik,
gagal ginjal. Klasifikasi lupus nefritis: lupus nefritis mesangial,
glomerulonefritis proliferatif fokal, glomerulonefritis proliferatif difus,
glomerulonefritis membranosa.
 Manifestasi neuropsikiatrik : psikosis, disorientasi delirium, atau dapat
berhubungan dengan kelainan organik serebral.
 Manifestasi hematologik : limfadenopati superfisial atau lebih dalam
(mediatinum, intra abdomen), dapat juga terjadi splenomegali. Anemia:
normokrom normositik dengan kapasitas pengikatan zat besi rendah dapat
disertai skizositosis dan trombositopenia, leukopenia dan gangguan hemostatis.
 Kelainan kardiovaskuler : perikarditis, miokarditis, hipertensi.
 Kelainan saluran nafas : efusi pleura, dapat juga terjadi perdarahan alveolar
masif.
 Manifestasi gineko-obstetrik : amenore pada anak besar.
 Kelainan sistem pencernaan :  terjadi akibat vaskulitis seperti : perdarahan
intestinal, pankreatitis, perforasi usus atau ulserasi hemoragis. Dapat terjadi
diare karena infeksi saluran cerna. Perdarahan digestif karena pemberian obat
(anti inflamasi), hepatitis dan dapat terjadi asites.
 Gangguan pada mata : dapat mengenai semua struktur dan jalur saraf optik.
Pada retina terdapat eksudat seperti kapas disertai perdarahan (Cotton Wool
Spots), papilitis dan oklusi arteri sentralis (paling jarang), scotoma, gangguan
penglihatan unilateral dan keratitis.

Pemeriksaan Penunjang
Anjuran pemeriksaan laboratorium/ penunjang untuk LES :
 Analisis darah tepi lengkap
 Sel LE
 antibodi Antinuklear (ANA)
 Anti ds DNA (anti DNA natif)
 Autoantibodi lain (anti SM, RF, antifosfolid, antihiston, dll bila ada)
 Titer komplemen C3, C4 dan CH5
 Titer IgM, IgG dan IgA
 Krioglobulin
 Masa pembekuan
 Uji coombs
 Elekroforesis protein
 Kreatin dan ureum darah
 Protein urine (total protein dalam 24 jam)
 Biakan kuman, terutama dalam urine
 Foto rontgen dada.

Kriteria Diagnosis

27
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

Dasar Diagnosis:
Ditegakkan secara klinis dan laboratoris. Kriteria diagnosis yang paling bayak
dianut adalah menurut American Rheumathism Association (ACR). Diagnosis
LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ARA tersebut. 4
kriteria positif menunjukkan 90% sensitivitas dan 96% spesifisitas. Salah satu
butir pernyataan cukup untuk memenuhi kriteria. Kriteria ARA ini terdiri dari
1. Eritema malar (Butterfly rash)
2. Lupus diskoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulcerasi mukokutaneus oral dan nasal
5. Artritis
6. Nefritis: proteinuria > 0,5 g/24 jam, slinder dalam urine
7. Ensefalopati, konfulsi, psikosis
8. Pleuritisatauperikarditis
9. Gangguan hematologi: sitopenia
10. Imunoserlogipositif : antibodyantidouble stranded DNA (anti dsDNA),
antibody antinuclearSm, sel LE, serologisifilis (positifpalsu)
11. AntibodiAntinuklearpositif (ANA).

6. Diagnosa Banding
Tergantung gejala klinis yang pertama muncul:
ARJ
Demam tifoid
AIHA
Demam rematik

7. Diagnosis Kerja
Lupus Eritematosus Sistemik

8. Tatalaksana
Edukasi
Edukasi kepada penderita dan keluarga agar mengerti penyakit.
Awasi infeksi sekunder. Infeksi, timbul akibat efek kortikoterapi, akibat
pemakaian imunosupresan atau akibat defisiensi imun akibat penyakit lupus.

A. Obat-obatan sistemik (pilihan obat-obatan dibawah tergantung indikasi dan


ketersedian obat):
1. Anti inflamasi non steroid
Indikasi: manifestasi ke kulit, sendi. Pilihan:
a. Salisilat:
 75-90 mg/kg/hari peroral terbagi 3-4 dosis
 Diberi bersamaan makanan
 Meningkatkan SGOT & SGPT
 Kontraindikasi: trombositopenia, gangguan hemostasis
b. Naproksen: 10-20 mg/kg/hari terbagi 2-3 dosis
c. Sodium tolmetin: 20-30 mg/kg/hari dibagi 3-4 kali/ hari,
dilanjutkan 15-30 mg/kg/hari dibagi 3-4 kali/hari
d. Natrium diklofenak 2-3 mg/kg/hari

28
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

2. Kortikosteroid
Steroid merupakan obat pilihan utama pada penderita LES dengan
keterlibatan organ mayor

a. Prednison oral dosis rendah (0,5 mg/kg/hari)


 Diberikan 2/3 dosis pagi, 1/3 dosis siang interval 8 jam
 Untuk gejala konstitusional berat, demam berkepanjangan,
kelainan kulit, pleuritis, atau bersamaan dengan metil prednisolon
dosis tinggi
b. Prednison oral dosis tinggi (1-2 mg/kg/hari, max 68-80 mg/kg/hari
dibagi 3-4 dosis selama 4-8 minggu, dilanjutkan tappering off selama
1-2 minggu)
 Untuk lupus fulminan akut, lupus nefritis akut yang berat,
trombositopenia (<50.000/mm3) tanpa perdarahan dan gangguan
koagulasi, lupus eritematosus kutan berat sebagai bagian terapi
inisial lupus diskoid
c. Metilprednisolon pulse
 Dosis 20-30 mg/kg/pulse (maksimal 1 gr) selama 3 hari berturut-
turut. Diulang setiap bulan selama 6 bulan.
 Digunakan untuk LES anak sedang sampai berat, lupus nefritis
sedang berat (WHO kelas III-V), lupus serebral, penyakit akut
yang tidak terkontrol steroid dosis tinggi oral, rekurensi aktif
yang berat, anemia hemolitik berat, trombositopenia berat
(<50.000/mm3) dan mengancam kehidupan.

3. DMARDs (Disease Modifying Drugs)


a. Metotreksat
 DMARDs yang juga sitostatika.
 Dosis 10-20 mg/m2 peroral sekali seminggu diberikan bersama
asam folat 1 mg/hari.
 Diberikan pada trombositopenia (trombosit <50.000/mm3) jangka
panjang setelah tercapai inisial metilprednisolon dosis tinggi,
poliartritis berat bila dosis rumatan kortikosteroid> 10 mg/hari,
LE kutan berat.

b. Hidroksiklorokuin
 Untuk dominan kelainan kulit/mukosa dengan atau tanpa artritis
dan gejala konstitusional
 Dosis 6-7 mg/kg/hari terbagi 1-2 dosis selama 2 bulan
dilanjutkan 5 mg/kg/hari (maksimal 300 mg/hari)
 Efek toksik ke retina (reversibel)  kontrol oftalmologi setiap 6
bulan

c. Azathioprin
 Indikasi : zat penghemat steroid
 Dosis anak : 1-3 mg/kg/hari

29
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

4. Imunosupresan
a. Siklofosfamid:
 Oral 1-3 mg/kg/hari
 Parenteral: awal 500-750 mg/m2LPT maksimum 1 g/m2/hari
 Pilih dosis terendah untuk leukopenia , trombositopenia,
kreatinin >2 g/dl) maksimum 1 g/m2/hari.
 Cara pemberian: bolus perinfus 150 ml larutan D5% dalam
NaCl 0,225% (D5 ¼ NS) selama 1 jam bersama hidrasi
2L/m2/hari perinfus selam 24 jam dimulai 12 jam sebelum
infus siklofosfamid.
 Pemberian parenteral diulangi setiap bulan dengan
peningkatan 250 mg/m2/bulan sesuai dengan toleransi selama
6 bulan selanjutnya tiap 3 bulan sampai 36 bulan total
pengobatan.
 Siklofosfamid biasanya digunakan bersamaan dengan
metilprednisolon pulse
b. Siklosporin A
 Indikasi : LES anak berat yang tidak respon terhadap
imunosupresif lain
 Dosis yang digunakan 2-4 mg/kg/hari.
c. Mycophenolate mofetil (MMF)
 Untuk induksi dan pemeliharaan remisi, khususnya pada penderita
lupus nefritis
 Dosis 600 mg/m2 peroral per 12 jam, tidak lebih dari 2 gram/hari.

5. IVIG ( intravenous immunoglobulin)


 Indikasi : LES dengan defisiensi imun disertai infeksi berat, lupus
nefritis berat yang refrakter terhadap steroid dan imunosupresan
 Dosis : 2 gr/kgbb (dosis tinggi) boleh dibagi dalam beberapa dosis.

B. Topikal
Diberikan bila ada kelainan kulit. Diberikan:
 betametason 0,05% atau
 flusinosid 0,05% selama 2 minggu selanjutnya hidrokortison

C. Fisioterapi
Diindikasikan bila ada artritis.

D. Supportif
1. Diet: setiap pemberian kortikosteroid terutama jangka panjang harus
disertai suplemen Ca dan vitamin D

2. Dosis kalsium :
 <6 bulan: 360 mg/hari
 6-12 bulan: 540 mg/hari
 1-10 tahun: 800 mg/hari

30
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

 11-18 tahun: 1200 mg/hari


3. Dosis vitamin D aktif (hidroksikolkalsoferol)
 BB<30 kg: 20 mcg peroral 3 kali/minggu
 BB>30 kg: 50 mcg peroral 3 kali/minggu

E. Pencegahan
1. Pencegahan terhadapa paparan sinar matahari
 Hindari paparan sinar matahari dengan tingkat UV tertinggi: jam
09.00/10.00-15.00/16.00
 Pakai lengan panjang, celana panjang, kerudung, topi, kacamata
hitam
 Pakai tabir surya/sunblock minimal SPF 24
2. Osteoporosis selama terapi steroid dosis tinggi
 Diet tinggi Ca
 Vitamin D adekuat
 Olahraga

9. Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi
 Infeksi banyak terjadi pada stadium evolusi. Disamping akibat
defisiensiimun, juga berhubungan dengan pemakaian kortikosteroid dan
imunosupresan.
 Penggunaan kortikosteroid menimbulkan efek samping antara lain atrofi
kulit, gangguan hormon, gangguan proses tumbuh kembang, katarak,
hiperglikemia dan lain-lain.
 Akibat kerterlibatan visera : gagal ginjal, hipertensi maligna, ensefalopati,
perikarditis, sitopenia autoimun, dsb.

Prognosis
 Prognosis penyakit lupus telah membaik dengan angka survival untuk masa
10 tahun sebesar 80%.
 Penyebab kematian  akibat komplikasi viseral : gagal ginjal, hipertensi
maligna, kerusakan SSP, perikarditis, infrak miokard, dan sitopenia autoimun
 infeksi.

10. Referensi
 Akib AAP, Soepriadi M, Setiabudiawan B. Lupus Eritematosus Sistemik.
Dalam: Akib AAP, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak.
Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008. Hal: 345-72.
 Klein-Gitelman MS. Miller ML. Systemic lupus erithematosus.
Chapter 157. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF.
Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co
2008.
 Cassidy, Petty RE, Laxer RM. Textbook Pediatric Rheumatology.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2010
 Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP,Harmoniati
ED, Yuliarti K (ed). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak

31
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

Indonesia. Jilid II. Jakarta. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesi.
2011. Hal: 175-83.

Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Ka. Divisi Alergi
Imunologi

dr. Hj. Yusmala Helmy, SpA(K) dr. Hj. Yusmala Helmy, SpA(K)

32
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

SINDROM STEVENS-JOHNSON (SSJ), NEKROLISIS EPIDERMAL


TOKSIK (NET), SSJ-NET OVERLAP
(ICD :L51.1, L51.2, L51.3)

1. Definisi
Merupakan suatu kumpulan gejala klinis yang ditandai dengan trias kelainan
pada: kulit mukosa orifisium serta mata yang disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas atau kompleks imun.

2. Etiologi
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti karena dapat disebabkan oleh berbagai
faktor, walaupun pada umumnya sering dikaitkan dengan respons imun terhadap
obat. Ada yang beranggapan bahwa sindrom ini merupakan eritema multiforme
yang berat dan disebut eritema multiforme mayor. Beberapa faktor yang sering
disebut sebagai penyebab SSJ di antaranya dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Faktor Penyebab timbulnya sindrom Stevens-Johnson


Infeksi
Virus : Herpes simplex, Mycoplasma pneumoniae, vaksinia
Jamur : Koksidioidomikosis, Histoplasma
Bakteri : Streptokokus, Staphylococcus, Haemolyticus,
Mycobacterium tuberculosis, Salmonela
Parasit : Malaria
Obat Salisilat, Sulfa, Penisilin, Etambutol, Tegretol, Tetrasiklin,
Digitalis, Kontraseptif
Makanan Coklat
Fisik Udara dingin, sinar matahari, sinar X
Lain-lain Penyakit kolagen, keganasan, kehamilan

3. Patogenesis
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas wlaupun sering dihubungkan
dengan reaksi hipersensitifitas tipe III dan IV. Pada biopsi kulit beberapa kasus dapat
ditemukan endapan IgM, IgA, C3 dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam
sirkulasi.
Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat
merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar.
Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel
obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab
tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi,
inflamasi atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di
daerah kulit dan mukosa serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi
komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi
akibat aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang
terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala
sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya.

33
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

4.Bentuk Klinis
Sindrom Steven Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik merupakan bagian dari
severe cutaneous adverse reactions yang diklasifikasikan berdasarkan luas
permukaan tubuh (body surface area/BSA) yang terkena:
1. Steven-Johnson syndrome (< 10% BSA)
2. Steven-Johnson syndrome- Toxic Epidermal Necrolysis Overlap (10-30%
BSA)
3. Toxic Epidermal Necrolysis/Nekrolisis Epidermal Toksis (>30% BSA)

Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat
kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit
akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam, malaise, batuk, koriza, sakit
menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia. Setelah itu akan timbul lesi
kulit, mukosa dan mata yang dapat diikuti kelainan viseral.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:
a. Kelainan kulit
Kelainan kulit dapat berupa eritema, papul, vesikel atau bula secara simetris
berupa lesi kecil satu-satu atau kelainan luas pada hampir seluruh tubuh. Sering
timbul perdarahan pada lesi menimbulkan gejala fokal berbentuk target, iris atau
mata sapi. Predileksi pada area ekstensor tangan dan kaki serta muka yang
meluas ke seluruh tubuh sampai kulit kepala. Pada keadaan lanjut terjadi erosi,
ulserasi, kulit mengelupas dan pada kasus berat pengelupasan kulit dapat terjadi
pada seluruh tubuh disertai paronikia dan pelepasan kuku.
b. Kelainan mukosa
Kelainan mukosa yang tersering adalah pada mukosa mulut (100%), kemudian
disusul oleh kelainan di alat genital (50%), sedangkan di hidung dan anus jarang
(masing-masing 8% dan 4%). Pada selaput mukosa dapat ditemukan vesikel,
bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan krusta berwarna merah. Kelainan di
mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan
esofagus. Pada faring dapat terbentuk pseudomembran berwarna putih atau
keabuan yang menimbulkan kesukaran menelan.
c. Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering ialah
konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa blefarokonjungtivitis, iritis,
irdosiklitis, kelopak mata biasanya edema dan sulit dibuka. Pada kasus berat
dapat terjadi erosi dan perforasi kornea.
Kelainan klinis SSJ biasanya timbul cepat dan menakutkan dengan keadaan
umum yang berat, disertai demam, dehidrasi, gangguan pernapasan, muntah,
diare, melena, pembesaran kelenjar getah bening dan hepatosplenomegali sampai
pada penurunan kesadaran dan kejang.
Perjalanan penyakit tergantung dari derajat berat penyakitnya, dapat
berlangsung beberapa hari sampai 6 minggu. Berbagai komplikasi dapat terjadi
seperti ulkus kornea, simblefaron, miositis, mielitis, bronkopneumonia, nefritis,
poliartritis atau septikemia.

34
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

5.Kriteria Diagnosis
Anamnesis
Gejala prodromal: demam, malaise, batuk, koriza, sakit menelan, nyeri dada,
muntah, pegal otot dan atralgia.
Timbul ruam (lesi makula eritem) yang secara cepat berkembang menjadi lepuh
(vesikel, bula) pada bagian tubuh yang disertai lesi mukosa dan mata
Identifikasi faktor penyebab: infeksi sebelumnya/riwayat makan makanan
tertentu, riwayat pemakaian obat-obatan, imunisasi, dll.
Jarak waktu paparan faktor penyebab dengan timbulnya gejala (gejala dapat
timbul 8 minggu, biasanya 4-30 hari setelah paparan)

Pemeriksaan Fisik
Sindrom Steven Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik merupakan bagian
dari severe cutaneous adverse reactions yang diklasifikasikan berdasarkan luas
permukaan tubuh (body surface area/BSA) yang terkena:
1. Steven-Johnson syndrome (< 10% BSA)
2. Steven-Johnson syndrome- Toxic Epidermal Necrolysis Overlap (10-30%
BSA)
3. Toxic Epidermal Necrolysis/Nekrolisis Epidermal Toksis (>30% BSA)

Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat
kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya
penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam, malaise, batuk,
koriza, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia. Setelah itu
akan timbul lesi kulit, mukosa dan mata yang dapat diikuti kelainan viseral.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:
a. Kelainan kulit
Kelainan kulit dapat berupa eritema, papul, vesikel atau bula, berupa lesi
kecil satu-satu atau kelainan luas pada hampir seluruh tubuh. Sering timbul
perdarahan pada lesi menimbulkan gejala fokal berbentuk target, iris atau
mata sapi. Predileksi pada area ekstensor tangan dan kaki serta muka yang
meluas ke seluruh tubuh sampai kulit kepala. Pada keadaan lanjut terjadi
erosi, ulserasi, kulit mengelupas dan pada kasus berat pengelupasan kulit
dapat terjadi pada seluruh tubuh disertai paronikia.
b. Kelainan mukosa
Kelainan mukosa yang tersering adalah pada mukosa mulut (100%),
kemudian disusul oleh kelainan di alat genital (50%), sedangkan di hidung
dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%). Pada selaput mukosa dapat
ditemukan vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan krusta berwarna
merah. Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius
bagian atas dan esofagus. Pada faring dapat terbentuk pseudomembran
berwarna putih atau keabuan yang menimbulkan kesukaran menelan.
c. Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering ialah
konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa blefarokonjungtivitis,
iritis, iridosiklitis, kelopak mata biasanya edema dan sulit dibuka. Pada kasus
berat dapat terjadi erosi dan perforasi kornea.

35
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

Kelainan klinis SSJ/NET biasanya timbul cepat dan menakutkan dengan


keadaan umum yang berat, disertai demam, dehidrasi, gangguan pernapasan,
muntah, diare, melena, pembesaran kelenjar getah bening dan
hepatosplenomegali sampai padapenurunan kesadaran dan kejang.Perjalanan
penyakit tergantung dari derajat berat penyakitnya, dapat berlangsung
beberapa hari sampai 6 minggu.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari hubungannya dengan faktor
penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum. Pemeriksaan yang rutin
dilakukan diantaranya adalah :
1. Pemeriksaan darah tepi (Hb, jumlah leukosit, hitung jenis, hitung eosinofil
total, LED). Leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, dan pada
hitung jenis eosinofil meningkat.
2. Elektrolit (Na,K) untuk melihat adanya gangguan elektrolit akibat
kehilangan cairan transdermal
3. Albumin, protein total, fungsi ginjal
4. Biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi.
5. Histopatologik biopsi kulit. Biasanya tidak diperlukan, bila diragukan
gambaran klinisnya dapat dilakukann biopsi dan pemeriksaan
histopatologik untuk membedakan. Pada pemeriksan histopatologik dapat
ditemukan gambaran nekrosis epidermis sebagian atau menyeluruh, edema
intrasel di daerah epidermis, pembengkakan endotel, serta eritrosit yang
keluar dari pembuluh darah dermis superfisial. Pemeriksaan
imunofluoresen dapat memperlihatkan endapan IgM, IgA, C3 dan fibrin.
Untuk mendapat hasil pemeriksaan imunofluoresen yang baik maka bahan
biopsi kulit harus diambil dari lesi baru yang berumur kurang dari 24 jam.

6. Diagnosa Banding
Staphylococcus scalded skin syndrome
Biasanya timbul pada anak-anak pada lokalisasi tertentu. Berupa bula
numular di leher, ketiak dan wajah. Juga terdapat epidermolisis, tetapi
selaput lender jarang dikenai.

7. Diagnosis Kerja
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ), Nekrolisis Epidermal Toksik (NET), SSJ-NET
Overlap

8. Tatalaksana
Edukasi
 Harus dicegah kontak ulang dengan faktor penyebab
 Cuci tangan sebelum dan sesudah memegang penderita

Tatalaksana
 Identifikasi dan segera hentikan pemakaian obat/makanan/agen yang
dicurigai sebagai faktor penyebab
 Rawat diruang rawat khusus (isolasi dari penderita lain), bila ada kegawatan
rawat di PICU

36
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

 Terapi cairan (jenis dan jumlah) dan elektrolit disesuaikan dengan luas
permukaan tubuh yang terkena dan kelainan elektrolit yang ada
 Antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi. Dipilih antibiotika yang
jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bakterisidal dan tidak ada
kontrainidkasi seperti: gentamisin 5mg/kgBB/hari terbagi dalam dua dosis,
atau netromisin 4-6 mg/kgBB/hari.
 N-asetil sistein 10-20mg/kgBB/hari
 Nutrisi: pemberian nutrisi melalui pipa nasogastrik dilakukan sampai mukosa
oral kembali normal.
 Topikal :
Kulit : kompres NaCl 0,9%
Mulut : kumur-kumur antiseptik
Mata : lubrikasi dengan air mata buatan
salep mata yang mengandung antibiotika
 Transfusi (bila perlu)
 Konsultasi dengan bagian lain sesuai keadaan penderita (Mata, THT)

9. Komplikasi dan Prognosis


Berbagai komplikasi dapat terjadi seperti ulkus kornea, simblefaron, miositis,
mielitis, bronkopneumonia, nefritis, poliartritis atau septikemia.
Pada kasus yang tidak berat prognosisnya baik dan penyembuhan terjadi dalam
waktu 2-3 minggu. Pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau dengan
pengobatan terlambat dan tidak memadai, angka kematian berkisar antara 5-
15%. Prognosis lebih buruk bila terdapat purpura yang luas. Kematian biasanya
disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit,
bronkopneumonia, serta sepsis.

10. Referensi
 Akin AAP, Takumansang DS. Sindrom Stevens-Johnson. Dalam:Akib AA,
Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter Anak
Indonesia : edisi ke 2. 2008. Hal 307-11
 Cantani A. Allergic and pseudoallergic reactions to drugs. Dalam: Cantani A.
Pediatric Allergy, Asthma and Immunology. Springerlink.Berlin 2008. 1166-
70.
 Valeyrie-Allanore L, Roujeau JC. Epidermal Necrolysis (Steven-Johnson
Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis).In: Wolff K, Goldsmith KA,
Katz KI, Gilchrest KA, Paller AS, Leffell DJ editors. Fitzpatrick’s
dermatology in general medicine. Seventh Edition. New York: McGraw-Hill
Book Co.2008. 349-55
 Morelli JG. Vesicobullous disorder. Chapter 653. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi
ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
 Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy Principles and
Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.

37
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Ka. Divisi Alergi
Imunologi

dr. Hj. Yusmala Helmy, SpA(K) dr. Hj. Yusmala Helmy, SpA(K)

38
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

HIV AIDS (Human Immunodefisiensi Virus)


( ICD : B20.7)

1. Definisi
Penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV): adalah penyakit yang disebabkan
oleh virus HIV, yang menyerang sel imun tubuh, sehingga terjadi gangguan sistem
imun tubuh. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah penyakit yang
menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun seluler sebagai akibat infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV).

2. Etiologi
HIV yaitu virus yang tergolong dalam keluarga retrovirus sub kelompok lenti virus.
Ada 2 tipe yaitu HIV1 & HIV 2, yang walaupun strukturnya berbeda tapi gejala
klinis yang ditimbulkannya sulit dibedakan. Antibodi yang terbentuk dari kedua
virus ini dapat bereaksi silang.

3. Patogenesis
HIV  masuk sel melalui molekul CD4 pada permukaan sel seperti sel TCD4 dan
sel makrofag  terjadi penuruna jumlah dan gangguan fungsi sel TCD4 melalui efek
sitopatik langsung dan efek sitopatik tidak langsung.

Efek sitopatik langsung :


- Lisis & kematian sel TCD4 Yg terjadi karena proses replikasi virus dlm sel TCD4
- Penimbunan DNA virus yang teridak terintegrasi ke genom host
- Interaksi antara molekul Gp 120 HIV dan molekul CD4 intra sel
- Hambatan maturasi sel precursor TCD4 di dalam timus sehingga sel tersebut
berkembang menjadi matur, sehingga sel TCD4 perifer menurun

Efek sitopatik tidak langsung :


- Pembentukan sel sinsitia
- Apoptosis sel T reaktif
- Destruksi autoimun yang diinduksi HIV
- Perubahan produksi sitokin sehingga menginduksi hambatan maturasi sel
prekursor TCD4 sehingga jumlah sel TCD4 perifer berkurang

Cara penularan
Pada bayi dan anak, penularan HIV melalui ibu hanil yang mengidap HIV, dapat
juga terjadi intrapartum dan melalui ASI, transfusi darah yang mengandung HIV
atau produk darah yang berasal dari donor yang mengandung HIV, jarums suntik
yang tercemar HIV dan hubungan seksual dengan pengidap HIV.

Faktor risiko untuk tertular HIV pada bayi dan anak adalah :
- Bayi dari ibu dengan pasangan biseksual
- Bayi dari ibu dengan pasangan berganti-ganti
- Bayi dari ibu atau pasangannya penyalah guna obat intravena

39
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

- Bayi atau anak yang mendapat tranfusi darah atau produk darah berulang-
ulang
- Bayi atau anak yang terpapar denagn alat suntik atau tusuk bekas yang tidak
steril

4. Bentuk klinis
Kalsifikasi klinis:
a. Klasifikasi CDC :
- kategori N : asimptomatik
- kategori A : simptomatik ringan
- kategori B : simptomatik sedang
- kategori C : simptomatik berat atau AIDS

b. Klasifikasi menurut WHO:


 1: asimptomatik
 2: ringan
 3: sedang
 4: berat
Klasifikasi Imunologis:

a. Berdasarkan CD4+
Imunodefisiensi CD4+ menurut umur
<11 bln 12-35 bln 36-59 bln >5
(%) (%) (%) th(sel/mm3)
Tidak ada >35 >30 >25 >500
Ringan 30-35 25-30 20-25 350-499
Sedang 25-30 20-25 15-20 200-349
Berat <25 <20 <15 <200
atau<15%

b. Berdasarkan hitung limfosit total (TLC= total lymphocyte count)


Nilai TLC berdasarkan umur
<11 bln 12-35 bln 36-59 bln ≥ 5 th
(sel/mm3) (sel/mm3) (sel/mm3) (sel/mm3)
TLC <4000 <3000 <2500 <2000
CD4+ <1500 <750 <350 <200

5. Kriteria Diagnosis
Anamnesis
 Riwayat penyakit: demam berulang/ berkepanjangan, gagal tumbuh, diare yang
berkepanjangan, kandidiasis oral, pnemonia yang persisten, infeksi bakteri
berulang
 Faktor risiko orang tua untuk terinfeksi HIV: riwayat narkoba suntik, pasangan
penderita HIV, sering berganti pasangan, riwayat transfusi, riwayat pernah
mengalami operasi/tindakan, pekerjaan orang tua
 Riwayat kelahiran, ASI, riwayat pengobatan ibu, kondisi neonatal

40
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

Pemeriksaan Fisik
 Gejala awal tidak nyata, dapat hanya ditemukan limfadenopati,
hepatosplenomegali
 Gagal tumbuh
 Berat badan turun progresif
 Diare persisten
 Kandidiasis oral
 Otitis media kronik
 Pneumonia interstitial
 Pembengkakan parotis kronik
 Gejala infeksi oportunistik: tuberkulosis, herpes zooster generalisata,
pneumonia P. jiroveci (carinii) , pneumonia berat

Pemeriksaan Penunjang
 Penegakan diagnosis:
 usia <18 bulan:
- bila tersedia: PCR RNA (DNA)
- antibodi anti HIV dapat dilakukan untuk melihat apakah anak
terpapar HIV dari ibu diulang setelah anak berusia 18 bulan
 usia >18 bulan:
- antibodi HIV
- konfirmasi : westernblot atau PCR RNA/DNA (bila ada)
- pemeriksaan CD4+ untuk melihat status imunosupresi
 pemeriksaan darah tepi lengkap, SGOT, SGPT sesuai indikasi  untuk
melihat efek samping obat
 pemeriksaan infeksi oportunistik yang sering terjadi bersamaan dengan
infeksi HIV (TBC, hepatitis B dan C)
 pemeriksaan lain (laboratorium, pencitraan dll) dan konsultasi ke ahli terkait
disesuaikan dengan infeksi oportunistik.

Kriteria Diagnosis
a. Diagnosis presumptif (dicurigai) HIV pada anak < 18 bulan:
- Bila ada 1 kriteria berikut:
 Pneumonia P jirovecii, mengitis kriptokokus, kandidiasis esofagus.
 Toksoplasmosis
 Malnutrisi berat yang tidak membaik dengan pengobatan standar
ATAU
- Minimal 2 gejala berikut:
 Oral thrush
 Pneumonia berat
 Sepsis berat
 Kematian ibu yang berkaitan dengan HIV atau penyakit HIV yang
lanjut pada ibu
 CD4+ <20%
b. Dasar diagnosis
- anamnesis adanya faktor risiko tertular HIV
- gambaran klinis menunjukkan penurunan kekebalan

41
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

adanya antibodi IgG spesifik HIV

6. Diagnosa Banding
Imunodefisiensi primer

7. Diagnosis Kerja
HIV AIDS (Human Immunodefisiensi Virus)

8. Tatalaksana
Penilaian:
a. Nilai status nutrisi, pertumbuhan dan kebutuhan intervensinya
b. Nilai status imunisasi dan berikan imunisasi yang sesuai
c. Nilai tanda dan gejala infeksi oportunistik (IO) dan pajanan TB. Bila
dicurigai terdapat IO, lakukan diagnosis dan pengobatan sebelum mulai
ART
d. Lakukan penilaian stadium HIV
e. Identifikasi obat-obatan lain termasuk obat tradisional karena mungkin dapat
beinteraksi dengan obat ARV
f. Lakukan penilaian stadium imunologis, bila CD4+ tidak tersedia dapat
dipakai TLC
g. Nilai apakah anak memenuhi kriteria pemberian ART. Indikasi pemberian
ART (menurut WHO 2010)
usia Stadium klinis Imunologis /CD4+
<24 bulan Semua diterapi
>24 bulan Stadium 3 dan 4 Semua diterapi
(tangani dulu IO)
Stadium 1 dan 2 CD4+ <25%: terapi
h. Nilai situasi keluarga :
 Identifikasi orang yang mengasuh anak dan kesediannya untuk mematuhi
pengobatan dan pemantauan pada anak terutama ART
 Nilai pemahaman keluarga mengenai infeksi HIV dan pengobatannya
serta informasi mengenai status infeksi HIV dalam keluarga
Indikasi rawat:
 Gizi buruk
 Infeksi berat/sepsis
 Pneumonia
 Diare kronis dengan dehidrasi
Rekomendasi ART
Regimen lini pertama yang direkomendasikan 2 Nucleoside Reverse Transcriptase
Inhibitor (NRTI) ditambah 1 Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor:
a. Anak usia < 3 th:
 Zidovudine (AZT)+Lamivudine (3TC)+ nevirapine (NVP) atau
 Stavudine (D4T)+lamivudine (3TC) + nevirapine (NVP)
b. Anak usia ≥ 3 th:
 Zidovudine (AZT)+Lamivudine (3TC)+ nevirapine (NVP) atau efavirenz
(EFV)

42
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

 Stavudine (D4T)+lamivudine (3TC) + nevirapine (NVP) atau efavirenz


(EFV)
Nama obat Dosis
Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor
Zidovudine (AZT) Usia <4 minggu: 4 mg/kg/dosis 2 kali sehari
(tab 300 mg) Usia 4 minggu-13 tahun: 180-240 mg/m2/
dosis 2x sehari
Max 300 mg/dosis 2x sehari ATAU
6-7 mg/kgBB/ dosis tiap 12 jam = 160
mg/m2/dosis
Lamivudine (3TC) <30 hari: 2 mg/kg/dosis 2x/hari
(tab 150 mg) >30 hari atau < 60 kg: 4 mg/kg/dosis 2x hari
Max 150 mg/kg/dosis 2 x hari
Stavudine (d4T) BB <30 kg: 1 mg/kg/dosis 2x sehari
Cap: 15 mg, 20 mg, BB> 30 kg: 2 mg/kg/dosis 2x sehari
30 mg, 40 mg
Syr 200 cc: 1 mg/ml
Non Nucleoside Reverse Transcriptase (NNRTI)
Nevirapin (NVP) 2 mgg I: 5 mg/kgBB sekali sehari (max 200
mg)
Tab 200 mg 2 mgg II: 5 mg/kgBB/ dosis (2x sehari)
Selanjutnya: 7 mg/kgBB/dosis (2x sehari)
untuk anak < 8 th
Untuk anak >8 th: =dewasa
Efavirenz (EFV) 10-15 kg: 200 mg 1x sehari
Cap: 50mg, 15-<20 kg: 250 mg 1x sehari
100 mg, 200 mg 20-<25 kg: 300 mg 1x sehari
600 mg 25-<32,5 kg: 350 mg 1x sehari
32,5-<40 kg: 400 mg 1x sehari
Profilaksis Pneumonia P. jirovecii: cotrimoxazole 5 mg/kgBB/hari sekali sehari;
terapi PneumoniaP. jirovecii 15 mg/kg/hari terbagi 3 dosis selama 21 hari

Pemantauan
 Pemantauan anak terinfeksi HIV yang belum terindikasi pemberian ARV
Item dasar Bulan Bulan Bulan Bulan Tiap
1 2 3 6 6
bln
Evaluasi klinis X X X X X X
BB&TB X X X X X X
Status nutrisi & X X X X X X
kebutuhannya
Kebutuhan CTX & X X X X X X
kepatuhan berobat
Konseling mencegah X X X
pemakaian narkoba,
penularan PMS &

43
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

kehamilan
Pencegahan IO dan X X X X X X
pengobatan
Laboratorium
Hb dan leukosit X X
SGPT X
CD4+% atau absolut X X

 Pemantauan anak terinfeksi HIV telah mendapat ARV


Item dasar Bulan Bulan Bulan Bulan Tiap 2- Bila
1 2 3 4 3 ada
bulan gejala
Evaluasi X X X X X X X
klinis
BB &TB X X X X X X
Perhitungan X X X X X X
dosis ART
Obat lain X X X X X X
bersamaan
Kepatuhan X X X X X
minum obat
Laboratorium
Hb dan X X
leukosit
Kimia darah X
lengkap
Tes X X
kehamilan
pada remaja
CD4+% X X X

9. Edukasi
Pencegahan penularan HIV:
 Menghindari tingkah laku seksual yang menyimpang pada anak remaja
 Mencegah kehamilan ibu yang sudah terinveksi HIV
 Tidak menyuntik anak dengan jarum yang tercemar
 Selektif terhadap donor darah, mereka yang berprilaku resiko tinggi tertular
HIV tidak dijadikan donor.
Edukasi pada orang tua/ wali/ keluarga di rumah:
 Kegagalan pengobatan seringkali disebabkan karena ketidakpatuhan dalam
pemberian ARV sehingga penting sekali bagi orangtua untuk memastikan
ARV dimakan setiap hari sesuai jadwal
 Pentingnya datang kontrol untuk pemantauan gejala klinis
 Mencegah terjadinya infeksi (makan obat profilaksis secara teratur,
menghindari orang yang terkena infeksi)
 Pemberian nutrisi yang cukup
 Imunisasi

44
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

10. Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi
 Komplikasi pada organ spesifik : Lymphocytic Interstitial pneumonitis (LIP),
gangguan susunan saraf pusat, gangguan pertumbuhan dan endokrinologi,
gangguan gastrointestinal dan nutrisi, manifestasi hematologis dan keganasan.
 Infeksi : infeksi bakteri berulang, infeksi mikobakteria, virus protozoa, jamur
dan infeksi pneumonitis karnii.
 IRIS (immune reconstitution inflammation syndrome) terjadi 2-12 minggu
setelah memulai ART akibat meningkatnya kemampuan respon imun/
pemulihan sistem imun.

Prognosis
Penyakit infeksi HIV berakibat fatal, 75% meninggal dalam 3 tahun sejak
diagnosis AIDS ditegakkan.

11. Referensi
 Matondang CS, Kurniati. Infeksi HIV pada bayi dan anak. Dalam: Akib AA,
Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter Anak
Indonesia : edisi ke 2. 2008. Hal: 378-414
 Yogev R, Chadwick EG . Acquired Immunodeficiency Syndrome
(Human Immunodeficiency Virus). Bab 273.Dalam: Behrman N,
Kliegman Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia
WB Saunders Co 2008.
 Suyoko EMD, Sari DY. Gambaran klinis dan diagnosis HIV pada bayi dan
anak. Dalam: Akib AA, Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D.
HIV infection in infants and children in Indonesia: current challenges in
management. Unit Pendidikan Kedokteran Pengembangan Keprofesian
Berkelanjutan FK UI. Jakarta 2009
 Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati
ED, dkk. Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak Indonesia. Jilid 2.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011.
 Depkes RI. Pedoman tatalaksana infeksi HIV dan terapi anti retroviral pada
anak di Indonesia. Depkes RI. Jakarta. 2008.

Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Ka. Divisi Alergi
Imunologi

dr. Hj. Yusmala Helmy, SpA(K) dr. Hj. Yusmala Helmy, SpA(K)

45
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

DERMATOMIOSITIS JUVENIL
Kode ICD : M33.0

1.Definisi
Penyakit autoimun sistemik berupa vaskulopati pembuluh darah kecil yang sering
melibatkan sistem otot dan kulit, meskipun dapat melibatkan organ lain seperti
sendi, saluran pencernaan, paru paru, jantung, dan organ internal lainnya.

2.Etiologi
 Genetik
 Imunitas humoral dan selular
 Stres Retikulum endoplasmik
 Imunitas bawaan

3.Patogenesis
JDM disebabkan angiopati autoimun. Serangan imun padaendotelium kapiler otot,
infiltrasi sel dendritik plasmasitoid dengan yang dihasilkaninterferon respon tipe I,
dan peningkatan regulasi major histocompatibility (MHC)ekspresi kelas I pada
permukaan myofibers merupakan penyebab patogenesis utama.Aspek patogen dari
JDM sebagian besar identik dengan dermatomiositis dewasa,kecuali peristiwa
patogenesis utama, termasuk vaskulopati, tipe I interferon respon,dan peningkatan
regulasi MHC kelas I, tampak lebih menonjol pada JDM. Kejadianapoptosis otot
juga belum terlihat pada miositis dewasa. Sedangkan polymyositis, sebagian besar
sel-CD8 + T dan myeloid sel- dendritik menyerang pada myofibersnonnecrotic,
dengan melepaskan perforin sitotoksik dan butiran granzim B yangmemediasi
kematian sel otot. Polymyositis tidak memberi respon interferon yangmenonjol
dalam otot atau serum, dan infiltrasi sel dendritik oleh myeloid nonplasmasitoid.

4.Kriteria Diagnosis
Anamnesis
 Eritema (rash) dan papula pada permukaan ekstensor alat gerak
 Kelamahan proksimal anggota gerak
 Gejala sistemik lainnya: demam, malaise,anoreksia,penurunan berat badan,
nyeri perut, iritabilitas
 Riwayat infeksi virus sebelumnya

Pemeriksaan fisik
Gambaran yang khas heliotrope rash dan Gottron”s papul di permukaan ekstensor
alat gerak
Kelamahan proksimal anggota gerak
Gejala sistemik lainnya: demam, malaise,anoreksia, penurunan berat badan, nyeri
perut, iritabilitas

PemeriksaanPenunujang
 Darah Perifer Lengkap
 Transaminase (SGOT), kreatinin kinase (CPK), aldolase, dan laktat
dehidrogenase (LDH).

46
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

 Elektromiogram otot yang terkena


 Roengenogram dapat mengungkapkan adanya endapan kalsium pada jaringan
lunak

5.Diagnosis Banding
Artritis Reumatoid Juvenile
Morbus Hansen

6.Diagnosis Kerja
Dermatomiositis juvenille

7.Tatalaksana
Edukasi
1. Meyakinkan penderita/keluarga: untuk melakukan fisioterapi intensif dapat
membantudalam menjaga dan memulihkan kekuatan otot
2. Gunakan perlindungan dari sinar untuk kulit.

1. Terapi lini pertama *


 Prednisone 1-2 mg/kgBB/hari peroral
 Methylprednisolon intravena 10-30 mg/kg/pulse
 Metroteksat 0,4-1 mg/kgBB/minggu atau15 mg/m2
 Terapi adjuvant :
o Hidroksiklorokuin 3-6 mg/kgBB/hari peroral
o Terapi fisik
o Fotoproteksi
o Terapi topical untuk rash pada kulit
o Calsium dan vitamin D untuk perlindungan tulang
2. Terapi lini kedua
 Gammaglobulin intravena 1-2 gm/kg/bulan
 Ciklosporin 2,5- 7,5 mg/kg/hari b.i.d
 Azathioprin 3-5 mg/kgBB/hari
 Kombinasi obat obat di atas
3. Terapi lini ketiga
 Ciklospospamid 500-1250 mg/m2/bulan intravena pulse
 Micophenolate mofetil 30-40 mg/kg/hari p.o dibagi b.i.d
 Tacrolimus 0,1-0,25 mg/kgBB/hari p.o dibagi b.i.d
 Rituximab
 Antitumor nekrosis factor alpa agent
 Kombinasi terapi terapi diatas
*
) Terapi lini pertama merupakan obat yang sering digunakansebagai terapi
inisialpada dermatomiositis juvenile.Sedangkan terapi lini kedua dan ketiga sering
digunakan pada pasien dengan gejala klinis refrakter, gambaran klinis berat, atau
tidak dapat menerima efek samping obat.

47
DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

8.Komplikasi dan Prognosis

9.Referensi
1. Matondang C.S. Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi
anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. Jakarta. 2008. Hal 224-34
2. Martin N, Li L C.Juvenile Dermatomyositis : New Insight and New Treatment
strategies.

Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Ka. Divisi Alergi
Imunologi

dr. Hj. Yusmala Helmy, SpA(K) dr. Hj. Yusmala Helmy, SpA(K)

48
DIVISI ENDOKRIN

2
ENDOKRINOLOGI

Kriptorkismus Undesensus testis/UDT ................................................. 3


Perawakan Pendek ................................................................................. 9
Diabetes Melitus ...................................................................................... 15
Diabetes Ketoasidosis ............................................................................ 23
SINEKIA VAGINA .................................................................................... 30
PREMATURE TELARCHE ....................................................................... 32
HIPOTIROID KONGENITAL .................................................................... 34
HIPERTIROID ........................................................................................... 38
SINDROMA TURNER .............................................................................. 42
HIPERPLASIA ADRENAL KONGENITAL (Congenital Adrenal
Hyperplasia) ............................................................................................ 45
HIRSUTISME ............................................................................................ 49
OSTEOGENESIS IMPERFECTA ............................................................. 54
MIKROPENIS ........................................................................................... 56
PUBERTAS PREKOK .............................................................................. 58
PUBERTAS DELAYED ............................................................................ 61
Disorders of Sex Development (DSD) ................................................... 64

1
DIVISI ENDOKRIN

2
DIVISI ENDOKRIN

Kriptorkismus
Undesensus testis/UDT
Kode ICD 10 : Q53.9
1. Definisi
Kriptorkismus adalah malposisi testis, atau tidak terabanya testis di dalam
skrotum, dapat unilateral atau bilateral.

2. Etiologi
Belum diketahui pasti
Ditemukan pada kelainan yang melibatkan aksis hipotalamus –hifopisis -testis
a. Disgenesis gonadal (kelainan interseks multipel).
b. Mekanisme / kelainan anatomis lokal (perlekatan, kelainan kanalis
inguinalis, dsb).
c. Endokrin / hormonal (kelainan meliputi aksis hipotalamus-hipofisis-testis).
d. Genetik/herediter

3. Patogenesis
a. Disgenesis gonadal: penurunan testis tidak terjadi karena testisnya
abnormal.
b. Mekanisme / kelainan anatomis lokal: adanya faktor mekanis yang
menghambat.
c. Endokrin / hormonal: adanya defisiensi gonadotropin.
d. Genetik / herediter: adanya sindrom dengan atau tanpa kelainan kromosom.

4. Bentuk Klinis
a. Retraktil (varian normal): testis terletak di supraskrotal akibat kontraksi
otot kremaster, dapat dimanipulasi dengan mudah ke dasar skrotum dan
dapat menetap selama beberapa detik tanpa tahanan. Testis rektaktil dapat
mengalami penurunan spontan dengan bertambahnya usia dan berat badan,
sehingga tidak perlu terapi, hanya pemantauan tahunan.
b. Ektopik: apabila testis tidak teraba sepanjang jalur alamiah penurunan
testis.
c. Nonpalpabel: testis yang tidak teraba sama sekali (intra-abdomen atau
anorkia).
d. Gliding: testis yang dapat diturunkan ke dasar skrotum dengan manipulasi
namun segera kembali ke tempat semula bila dilepaskan.

Gambar 1. Posisi Testis pada Kriptorkismus

3
DIVISI ENDOKRIN

Pada kriptorkismus juga dapat terjadi kelainan perkembangan skrotum maupun


kelainan genitalia eksterna lainnya seperti hipospadia dan mikropenis.

5. Anamnesis
a. Orangtua mengeluh buah zakar anak tidak teraba atau kantung zakar
terlihat rata. 

b. Riwayat kelahiran kurang bulan. 

6. Pemeriksaan Fisik
a. Posisi terbaik adalah posisi frog-leg. Tangan pemeriksa harus hangat.
Pemeriksaan genitalia eksterna harus dilakukan secara seksama termasuk
tanda-tanda kelainan kongenital lainnya (bentuk dan ukuran penis,
hipospadia, torsio testis). Adanya UDT bilateral dan hipospadia sering
berkaitan dengan DSD.

Gambar 2. Frog leg position

b. Ukuran dan lokasi testis harus dipastikan setelah manipulasi, antara lain
milking (harus dengan hati-hati).

Gambar 3. Orchidometer

c. Bedakan dengan testis rektraktil dengan teknik:


 Cross leg (tailor) position gambar
 Squatting position gambar
 Kompres hangat pada daerah inguinal. Dengan suasana lebih hangat
retraktil akan teraba -definisi retraktile
d. Cari tanda-tanda sindrom-sindrom yang berhubungan dengan
kriptorkismus, seperti sindrom Kallman, sindrom Prader-Willi, Prune Belly
Sindrome, dan lain lain

7. Kriteria Diagnosis
Berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis

4
DIVISI ENDOKRIN

8. Diagnosis Banding
- Testis ektopik
- Testis retraktil
- Disorder of sex development

9. Pemeriksaan Penunjang
a. USG untuk menentukan lokasi (terutama bilateral), sedini mungkin, bila
tidak ditemukan dapat dilakukan CT scan.
b. Bila mungkin laparoskopi untuk uji diagnostik inisial.
c. Bila ditemukan kelainan genitalia eksterna seperti hipospadia atau
hiperpigmentasi skrotum, perlu dilakukan analisis kromosom.
d. Pada kriptorkismus bilateral lakukan pemeriksaan :
- Uji HCG (oleh endokrinologi anak)
- Analisis kromosom (bila perlu)
- LH, FSH, testosterone dan elektrolit lengkap (bila perlu)

10. Terapi
a. Sebelum usia 6 bulan: observasi sampai usia 6 bulan
b. Jika masih tidak teraba setelah usia 6 bulan:
Berikan terapi hormonal (Keberhasilan bilateral lebih tinggi dibanding
unilateral) dan dengan pertimbangan khusus
- HCG 2 kali per minggu selama 5 minggu dengan dosis

- Pilihan terapi hormonal lain: GnRH agonis intranasal. Tiga kali sehari
@ 0,4 mg (2 semprot) selama 4 minggu atau
- Gabungan GnRH agonis dan HCG.
1. GnRH agonis seperti di atas disertai
2. HCG 1500 Iµ/dosis 1 kali seminggu sebanyak 3 kali.
- Pengobatan dinyatakan gagal apabila testis tidak berada di dasar
skrotum setelah terapi hormonal. Evaluasi pengobatan dilakukan
selama pengobatan, pada akhir pengobatan, serta 1, 3, 6, dan 12 bulan
kemudian. Relaps setelah pengobatan cukup sering sehingga
pemantauan setelah pengobatan sangat penting dan jika tetap tidak
teraba dikonsulkan ke bagian Bedah Urologi atau Bedah anak.
c. Lakukan orchidopexy apabila:
- Terapi hormonal gagal
- Usia > 1,5 tahun
- Testis ektopik.
- UDT dengan hernia
- UDT pada usia pubertas
Indikasi rawat : torsio testis Konsul bedah CITO

5
DIVISI ENDOKRIN

11. Edukasi
Untuk mencegah komplikasi perlu diagnosis dan tatalaksana dini. Hal ini dapat
dicapai jika kesadaran akan kelainan ini ditingkatkan, khususnya bagi dokter
anak. Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan rutin genitalia eksterna yang
cermat pada setiap bayi baru lahir .

12. Komplikasi
Risiko jangka pendek: torsio testis (merupakan keadaan kegawatan dan harus
segera diatasi dengan klinis nyeri hebat).
Risiko jangka panjang: tumor testis, infertilitas.
Problem psikis.

13. Prognosis
- Bila testis tidak diturunkan, saat umur 1,5 tahun sel-sel testis sudah
mulai mengalami perubahan (secara histologi) dengan risiko terjadinya
infertilitas dan tumor testis meningkat.
- 2-3% penderita dengan riwayat kriptorkismus mengalami carsinoma in
situ.
- Tumor testis terjadi pada dekade ke-3 dan 4 kehidupan.
- InfertilitasPenurunan testis saat pubertas : 35% infertil.
- Penurunan testis setelah pubertas: 86,5% infertil untuk unilateral, 100%
infertil untuk bilateral

14. Tindak lanjut


a. Pantau komplikasi.
b. Pada usia pubertas: ajarkan pasien untuk memeriksa testis sendiri tiap bulan
untuk deteksi dini keganasan.

15. Daftar Pustaka


- Ferlin A, Siminato M, Bartolini L, Rizzo G, Betella A, Dottorini T,
dellapicola B: the INSL3-LGR8/GREAT ligand receptor pair in human
cryptochidism. J Clin Endocrinol Metab 2003;88: 4273-4279
- Whitesel JA: intrauterine and newborn tortion of spermatic cord. J urol
106:786,1991
- Hudson JM, Hasthorpe S, Heyns CF: Anatomic and functional aspects of
testicular descent and cryptorchidism. Endocr Rev 1997;18:259-280

6
DIVISI ENDOKRIN

Algoritme
KRIPTOKISMUS

Teraba unilateral Testis tidah teraba


Umur <1,5 tahun bilateral

Kromosom Y

Positif Negatif

Terapi hCG 46 XX Konsul ke Pediatric Endocrinologist

Testis teraba Testis tidak teraba Testis retraktil


Usia >1,5 tahun

Variasi Normal Orkidopeksi/ Laparaskopi


Tes GnRH
LH, FSH, Testosteron

Gonadotropin Normal Defisiensi Gonadotropin Hipergoadotropin-Hipogonadisme

Gonad Blokade - Sindrom Non-Sindrom


Abnorma terhadap - Hipopiturisme
l penurunan
testis -Testis Menghilang
Idiopatik - Beberapa
hipopituarisme Sindrom
-Prader-willi
-Kallmann

-Pan-hipopituarisme
-Defisiensi gonadotropin isolated

7
DIVISI ENDOKRIN

Mengetahui/ Menyetujui Palembang, Juli 2016


Kepala Dep. Kesehatan Anak Kepala Divisi Endokrin Metabolik
RSUP Dr. Moh. Hoesin RSUP Dr. Moh. Hoesin

Dr. Yusmala Helmi, SpA(K) Dr. Aditiawati, SpA(K)

8
DIVISI ENDOKRIN

Perawakan Pendek
Kode ICD 10 : R.62.52

1. Definisi
Perawakan pendek atau short stature merupakan panjang badan / tinggi badan
berada dibawah P3 atau < –2SD pada kurva

2. Etiologi
a. Varian normal
- Familial / genetic short stature
- Constitutional delay of growth and puberty / maturation.
b. Perawakan pendek primer
- Sindrom-sindrom yang dihubungkan dengan kelainan kromosom
- Sindrom-sindrom yang lain
- IUGR, yang disebabkan: genetik, kelainan saat dalam kandungan,
disfungsi plasenta berat
- Skeletal dysplasia/osteochondrodysplasia
- Storage disorder (jarang).
c. Perawakan pendek sekunder
- Kelainan sistemik (penyakit kronis)
- Malnutrisi
- Kelainan endokrin
- Metabolic disorders
- Iatrogenic short stature
- Psychososial short stature atau emotional (psychosocial dwarfism).
d. Perawakan pendek idiopatik
- Tidak dijumpai kelainan.

3. Patogenesis
Pertumbuhan merupakan interaksi :
 Genetik
 Nutrisi
 Hormonal
 Metabolisme
 Psikis.
Pertumbuhan dipengaruhi oleh:
 s/d neonatus: terutama oleh faktor nutrisi dan faktor pertumbuhan saat di
dalam kandungan.
 Umur 1 tahun s/d pra pubertas: terutama oleh hormon pertumbuhan dan
IGF-1
 Periode pubertas: terutama oleh hormon pertumbuhan dan hormon sex

Hormon-hormon lain yang ikut berperan: hormon tiroid, hormon steroid,


hormon insulin.

4. Bentuk Klinis
a. Varian normal (umumnya familial atau idiopatik).
b. Primer/intrinsik (kelainan pada sel atau struktur growth plate)
c. Sekunder/eksternal (kelainan karena pengaruh luar dari growth plate)

9
DIVISI ENDOKRIN

d. Perawakan pendek idiopatik.


5. Anamnesis
a. Pola pertumbuhan anak (berat badan dan tinggi badan mulai bayi)
b. Riwayat kehamilan ibu
c. Riwayat kehamilan dan perkembangan fisis
d. Riwayat penyakit kronis, operasi dan obat-obatan
e. Riwayat penyakit dalam keluarga
f. Riwayat pubertas orang tua
g. Riwayat nutrisi
h. Aspek psikososial

Mid Parental Height (MPH):

TB anak laki-laki = (TB ibu + 13) + TB Ayah


2

TB anak perempuan = (TB ayah – 13 ) + TB Ibu


2

Potensi tinggi genetik = MPH ± 8,5 cm


(Potensi tinggi genetik adalah rentang nilai tinggi badan akhir seseorang
akibat dari kedua orang tua biologis).

6. Pemeriksaan Fisik
a. kepala tubuh yang tidak proporsional dapat terlihat pada beberapa kelainan
tulang, kelainan dismorfik seperti sindrom-sindrom tertentu.
b. Proporsi tubuh
- Rentang lengan (proposional : antara tinggi badan dan rentang tangan +
2,5cm)
- Rasio upper segmen/ratio lower segmen (tergantung usia) tabel ??
c. Ada tidaknya stigmata dismorfik / sindrom
d. Ada tidaknya kelainan tulang
e. Ada tidaknya kelainan GIT, paru, jantung, urogenital, kulit dan organ lain
f. Ada tidaknya gejala kelainan neurologis
g. Status pubertas.
h. Pemeriksaan fisik lain.

Interpretasikan hasil pengukuran :


 Bila TB di antara –2SD dan –3SD: 80% varian normal.
 Bila TB < -3SD: 80% patologis.
 Penurunan kecepatan pertumbuhan antara umur 2-12 tahun (memotong
beberapa garis persentil)  dianggap patologis kecuali dibuktikan lain.

Ratio TB dan BB mungkin mempunyai nilai diagnostik dalam menentukan


etiologi. (Pada kelainan endokrin umumnya tidak mengganggu BB sehingga
anak terlihat gemuk. Kelainan sistemik umumnya lebih mengganggu BB
dibanding TB sehingga anak lebih terlihat kurus)

10
DIVISI ENDOKRIN

7. Kriteria Diagnosis

a. Perawakan pendek patologis :


- TB < P3 atau < –2SD
- Kecepatan tumbuh < P25 ( Untuk usia anak, kecepatan tunbuh < 2
cm dalam 6 bulan atau < 4 cm dalam 1 tahun)
- Prakiraan tinggi dewasa dibawah target height (dapat diprediksi
dengan bone age) rumus ??
- Umur tulang (bone age) terlambat.
b. Defisiensi hormon pertumbuhan harus terlebih dahulu ditetapkan :
- TB < P3 atau < –2 SD
- Kecepatan tumbuh < P25
- Usia tulang terlambat  2 tahun
- Kadar GH  10 ng/ml pada uji provokasi / stimulasi hormon
pertumbuhan (oleh bagian endokrinologi anak)
- Tidak ada dismorfik, kelainan tulang maupun sindrom tertentu.

8. Diagnosis Banding
a. Varian normal
e. Perawakan pendek primer
f. Perawakan pendek sekunder
g. Perawakan pendek idiopatik

9. Pemeriksaan Penunjang
a. Lakukan pemeriksaan penunjang:
- Laboratorium rutin ( Darah, urin, feses ) untuk mencari kelainan
sistemik
- Pemeriksaan umur tulang (bone age)
b. Pemeriksaan lanjutan (atas indikasi):
- Fungsi tiroid (T3, fT4)
- Analisis kromosom (pada wanita): untuk diagnosis sindrom Turner
- Uji stimulasi / provokasi hormon pertumbuhan, oleh endokrin
anak (pemeriksaan hormon pertumbuhan secara acak tidak
ada manfaatnya sama sekali dan tidak bisa diinterpretasi
hasilnya).

10. Terapi
a. Perawakan pendek variasi normal tidak memerlukan pengobatan
b. Perawakan pendek kelainan patologis terapi sesuai dengan etiologinya:
- Nutrisi
- Penyakit organik
- Hormonal
- Mekanikal/pembedahan
c. Terapi hormon pertumbuhan (dilakukan atas advis dan pengawasan
dokter di sub endokrinologi anak):
Indikasi :
- Defisiensi hormon pertumbuhan
- Sindrom Turner, sindrom Noonan

11
DIVISI ENDOKRIN

- Anak dengan IUGR, gagal ginjal kronik


- Sindrom Prader Willi, sindrom Leriweill.
d. Bedah
Pada kasus tertentu misalnya skeletal dysplasia diperlukan koreksi
mekanik/ pembedahan (bone lengthening), juga pada kasus tumor.
e. Suportif.
Psikososial
f. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya, dll.)
Sesuai dengan etiologi.
11. Edukasi
Monitoring terhadap:
- Terapi: pertambahan tinggi badan dan efek samping obat
- Tumbuh kembang

12. Komplikasi
Bisa mempengaruhi faktor psikis (rasa rendah diri).

13. Prognosis
Makin cepat diketahui adanya penyimpangan pertumbuhan  makin cepat
terapi diberikan  hasil yang optimum bisa tercapai.
Setelah usia 6 tahun dapat diprediksi tinggi akhir melalui bone age.

14. Tindak lanjut


Monitoring:
 Terapi: terhadap tinggi badan dan efek samping obat
 Tumbuh kembang

15. Daftar Pustaka


- Dunger DB,Ong KK: Endocrine and metabolic consequences of
intrauterine growth retardation. Endocrinol Metab Clin North Am
2005;34:597-615
- Lee MM: Clinical practice. Idiopathic short stature. N Engl J Med
2006;354:2576-2582.
- Rosenfeld RG, Hwa V: Toward a molecular basis for idiopathic short
stature. J Clin Endocrinol Metab 2004;89:1066-1067.

12
DIVISI ENDOKRIN

Algoritme
Perawakan Pendek

Anamnesis / Pemeriksaan
Fisik

Dismorfik Tampak Sehat / Tampak Sakit


Dismorfik
Penyakit
Kromosom
Hambatan Pertumbuhan Penyakit
Intrauterine/IUGR Sistemik
Disproporsi Tubuh Periksa umur tulang (UT).
Bandingkan dengan Umur
Kronologis (UK)
Penyakit Tulang

UT > UK UT < UK UT = UK

Idioptik, Periksa faal Familial genetik


periksa faal tiroid
tyroid,
pubertas dini

T4 ↓/N, TSH ↑ Normal T4 ↓, TSH ↓

Hipotiroidisme Primer ITT (Tes GH) Hipopituitarism


?

Rendah < 10 Normal


ng/ml
Coba beri GH
Defisiensi GH
Respon (+) Respon (-)
GH Bio-inactive
GH Bio-inactive Laron
Dwarfism
(Idiopatik)

13
DIVISI ENDOKRIN

Mengetahui/ Menyetujui Palembang, Juli 2016


Kepala Dep. Kesehatan Anak Kepala Divisi Endokrin Metabolik
RSUP Dr. Moh. Hoesin RSUP Dr. Moh. Hoesin

Dr. Yusmala Helmi, SpA(K) Dr. Aditiawati, SpA(K)

14
DIVISI ENDOKRIN

Diabetes Melitus
Kode ICD 10 : E10.41

1. Definisi
Diabetes adalah keadaan akibat tubuh tidak dapat membuat insulin secara cukup
atau insulin tidak dapat bekerja secara optimal sehingga terjadi peningkatan
gula darah dan gangguan metabolisme lemak serta protein.

2. Etiologi
Idiopatik, faktor autoimun setelah infeksi mumps, rubella dan coxsakie B4,
genetik, reseksi pankreas, meningkatnya hormon antiinsulin (GH, glukagon,
kortisol dan epinefrin), obat-obatan.

3. Patogenesis
a. DM tipe 1 :
Sel beta pankreas mengalami kerusakan (sebagian besar oleh faktor
autoimun)  produksi insulin turun  penggunaan glukosa sebagai
sumber energi terganggu  tubuh menggunakan lemak dan protein sebagai
sumber energi  metabolisme tidak sempurna.

Kerentanan Individu

Lingkungan Genetik

Respon Imunologis

Penyakit Autoimun

Kerusakan sel pankreas

Defisiensi Insulin

Gejala Klinis Diabetes

b. DM tipe 2 :
Terjadi resistensi insulin  relatif fungsi insulin turun dan tidak
mencukupi.

Akibat insulin yang rendah:


- Uptake glukosa primer rendah  glukosa darah meningkat
- Keadaan katabolisme: mobilisasi lemak  lemak total, kolesterol,
trigliserida, asam lemak bebas (FFA) meningkat  ketonemia  asidosis
- Keadaan katabolisme: mobilisasi protein  glukoneogenesis  glukosa
darah meningkat

15
DIVISI ENDOKRIN

- Glikogenesis berkurang, glikogenolisis meningkat  glukosa darah


meningkat
- Stress hormon (hormon anti insulin) : glukagon, hormon pertumbuhan,
kortisol, katekolamin meningkat  glukosa darah meningkat.
Efek :
- Hiperglikemia
- Kadar glukosa melewati ambang ginjal(>160 mg%): glukosuria
- Osmolaritas darah meningkat  poliuria, dehidrasi sel otak
- Sebagai kompensasi : polifagia dan polidipsia.
Efek :
Asidosis, dehidrasi sel otak  gangguan oksigenasi, gangguan
kesadaran.

4. Bentuk Klinis
a. DM tipe I: 95- 98 % kasus
- Tergantung insulin
- Predisposisi genetik
- Pengaruh lingkungan sebagai trigger faktor
- Kelainan autoimun
b. DM tipe II (resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif): berkisar 2-
5%, a.l. maturity onset of youth (MODY/Mason type)
- Tidak tergantung insulin
- Faktor genetik
- Obesitas dan gaya hidup
c. Tipe lain (diabetik sekunder):
Kriteria DM tipe I/II + sindrom genetik/terapi obat/penyakit
pankreas/penyakit lain.

16
DIVISI ENDOKRIN

Inhibit Gangguan / Defisiensi


or Perubahan enzim
reseptor
RESISTENSI INSULIN Defisiensi
enzim

INSULIN 
Glukosa Darah
Pankreas 

Pankreas 

Glukosa Darah

HIPER INSULINISME – DM TIPE 2

Skema patogenesis dan patofisiologi DM tipe 2.

5. Anamnesis
Polifagia, poliura / sering kencing malam, polidipsia, berat badan turun, badan
lemas, gatal-gatal, keluarga (+) DM.

6. Pemeriksaan Fisik
a. Penilaian Antropometri
b. adanya sindroma lain
c. acantosis nigrans (+/-)

7. Kriteria Diagnosis
a. Diabetes simtomatis/klinis
- Gejala klasik: polidipsia, poliuria, polifagia, berat badan turun.
- Gula darah puasa > 120 mg/dl atauGula darah 2 jam PP > 200 mg/dl
atauGula darah sewaktu > 200 mg/dl.
b. Diabetes ketoasidosis
- Hiperglikemia, ketonemia, asidosis, ketonuria, glukosuria.
c. Diabetes asimtomatis/prediabetes
- Curiga bila terdapat 2 gejala (polidipsia, poliuria, polifagia, berat
badan turun, Gula darah puasa 100-125 mg/dl atau Gula darah 2 jam
PP 140-199 mg/dl  OGTT

17
DIVISI ENDOKRIN

- Tes autoantibodi insulin (AAI) + HLA+ ICA+L (Islet Cell


Antibody).
Langkah Diagnosis
- Anamnesis
- Gejala klinis
- Laboratorium

Indikasi Rawat :
- Pertama kali didiagnosis diabetes  untuk mempersiapkan anak / anggota
keluarga dalam menangani DM dan komplikasi akut yang dapat timbul
- Diabetik ketoasidosis/ koma diabetik
- Hipoglikemi yang tidak bisa diatasi dengan terapi oral

8. Diagnosis Banding
1. DM tipe I
2. DM tipe II
3. Diabetik sekunder

9. Pemeriksaan Penunjang
Kadar gula darah, bila perlu OGTT (bila meragukan), gula urin / reduksi,
ketonemia urin, - peptide, HbA1c, ICA/IAA (kalau mampu).

10. Terapi
- Mencegah komplikasi
- Menghilangkan gejala klinis
- Pertumbuhan dan perkembangan yang normal (fisik dan emosi)
- Mencapai harapan hidup yang sama dengan bukan penderita diabetes

18
DIVISI ENDOKRIN

a. Nutrisi dan Exercise


Tujuan:
 DM tipe I: mempertahankan normal lipemia dan mencegah
hiperlipoproteinemia
 DM tipe II: mencegah overweight dengan pengaturan diet dan exercise.

Jumlah kalori sampai usia 12 tahun : 1.000 kalori + [100 X Usia (tahun)]

Pembagian kalori per 24 jam: 20% pagi, 20-25% siang, 25-30% malam (di
antaranya 3 X makanan kecil masing-masing 10%)
Komposisi seimbang: karbohidrat 50-55%, lemak 30%, protein 15-20%.

b. Insulin
Pertama kali diberikan RI (insulin jangka pendek) / SC 3-4 kali / hari, dosis
inisial 0,5-1 µ/kgBB/hari, kemudian dosis dinaikkan sesuai profil gula
darah.
Terkontrol bila:
 Gula darah puasa  130 mg/dl atau
 Gula darah sewaktu  200 mg/dl
 Reduksi urine (-)
DM tipe II: coba stop insulin, penyesuaian diet dan aktifitas, kalau perlu
obat diabetes oral. Bila berat badan sekitar 80% standar, coba stop obat
diabetes.
IDDM:
 Dosis tergantung individu masing-masing.
 Pada anak dapat dipakai insulin intermediat (jangka menengah) atau
kombinasi insulin intermediat + insulin jangka pendek (umumnya 2/3
insulin intermediat: 1/3 insulin jangka pendek). Sebagai patokan
pertama dapat diberikan dosis pagi 2/3 dosis total perhari dan dosis sore
1/3 dosis total perhari
 Dosis dapat ditingkatkan secara bertahap (10%) setiap 2/3 hari sekali
sampai dosis optimum, dengan monitoring pemeriksaan gula darah dan
reduksi urine.
c. Terapi terhadap penyakit penyerta
Pengobatan seperti standar prosedur masing-masing penyakit.

19
DIVISI ENDOKRIN

Alur tatalaksana DM tipe 2 pada anak dan remaja

20
DIVISI ENDOKRIN

11. Edukasi
Penyuluhan (pasien dan orang tua / keluarga): merupakan hal yang sangat
penting!
 Tentang penyakit, komplikasi dan penanggulangan diabetes
 Pemakaian insulin (cara, dosis, waktu, efek samping), insulin pada IDDM
diberikan seumur hidup, tetapi hati-hati ada periode “honeymoon”
 Pengaturan makanan, olahraga, home monitoring
 Aspek psikososial
 Tumbuh dan kembang

12. Komplikasi
Jangka pendek :Hipoglikemia, ketoasidosis, bisa sampai koma
Jangka menengah :Gangguan tumbuh kembang
Jangka panjang :Mikrovaskuler nefropati, kardiomiopati, mikrovaskuler,
miokard infark, stroke, peripheral gangrene,
dermopathy, candidiasis, mudah infeksi.

13. Prognosis
30% anak dengan diabetik ketoasidosis (umumnya anak usia < 5 tahun, 6-10%
meninggal dengan diabetik ketosidosis)
Retinopati : 63% pada usia 30 tahun, 88% pada usia 50 tahun
Nefropati : 18% pada usia 30 tahun, 50% pada usia 50 tahun
Mortalitas meningkat 2,5 kali lebih besar pada DM yang kontrol tidak teratur
(50% kematian karena gagal ginjal).

14. Tindak lanjut


Indikasi Pulang
 Kadar gula darah terkontrol
 Anak makan dan minum baik
 Tanda-tanda infeksi tidak dijumpai lagi
 Keluarga / orang tua siap.
Monitoring pengamatan rutin
 Idealnya pengukuran gula darah / reduksi urin sebelum makan setiap hari
(home monitoring)
 Pemeriksaan HbA1c setiap 3 bulan sekali
 Pertumbuhan grafik tumbuh kembang (berat badan-tinggi badan) setiap 6
bulan
 Pemeriksaan perkembangan intelektual, emosional dan fisik
 Pemeriksaan ke bagian Ilmu penyakit mata setiap 6 bulan sekali
 Pemeriksaan mikroalbuminuria setiap 1 tahun/kali.
Bila memungkinkan ikut dalam kegiatan diabetic camp.

21
DIVISI ENDOKRIN

15. Daftar Pustaka


- Acerini CL, Williams RM, Dunger DB: Metabolik impact of puberty on the
course of type 1 Diabetes. Diabetes Metab 2001;27:S19-S25.
- Diabetes control and complication Trial research group: The effect of
intensive treatment of diabetes on the development and progression of long
term complication in insulin dependent diabetes mellitus. N Engl J Med
1993;329:977-986.

Mengetahui/ Menyetujui Palembang, Juli 2016


Kepala Dep. Kesehatan Anak Kepala Divisi Endokrin Metabolik
RSUP Dr. Moh. Hoesin RSUP Dr. Moh. Hoesin

Dr. Yusmala Helmi, SpA(K) Dr. Aditiawati, SpA(K)

22
DIVISI ENDOKRIN

Diabetes Ketoasidosis
Kode ICD 10 : E13.10

1. Definisi
Ketoasidosis diabet adalah keadaan klinis diabetes melitus yang ditandai
dengan: kadar gula darah > 200 mg/dL, pH darah < 7,3 dan / atau bikarbonat <
15 mmol/L, serta ditemukan ketonemia atau ketonuria.

2. Etiologi
Defisiensi dan atau penurunan daya kerja insulin. Pada penderita lama karena
menghentikan suntikaninsulin dan pada penderita baru karena tidak dikerahui
menderita DM
Faktor pencetus : stress(trauma, infeksi), muntah, atau gangguan psikis

3. Patogenesis

Absolute Insulin deficiency

or
Stress, Infection or insufficient insulin
intake
Counter-regular hormones
Glucagon Cortisol
Catecholamines Growth Hormone

Lipolysis Glucose Proteolysis Glicogenolysis


Utilization Protein Synthesis

Gluconeogenic substrates

FFA to Gluconeogenesis
liver

Ketogenesis Hypergycemia

Alkali reserve Glucosuria (Osmotic diuresis)

Acidosis Loss of water and electrolytes


Decreased fluid intake

Lactate Dehydration Hyperosmolaritas

Impaired renal function

Defisiensi absolut ataupun relatif insulin + meningkatnya hormon-hormon


counterregulatory (glukagon, kortisol, growth hormone dan katekolamin) 

23
DIVISI ENDOKRIN

kekacauan metabolisme, hiperglikemia, diuresis osmotik, dehidrasi hipertonik


dan ketoasidosis. Pada keadaan ini terdapat hiperglikemia yang nyata (> 300
mg/dl), asidosis (pH < 7,30; bikarbonat < 15 mEq/L) dan ketonemia. Kadar Na
dapat normal, rendah atau tinggi tergantung pada balans cairan. Serum Na
menurun karena efek dilusi dari hiperglikemia dan peningkatan lipid serta
protein dalam serum.
Bila tidak terdapat defisiensi total dari K dalam tubuh, K serum yang terukur
biasanya normal atau tinggi. Hal ini disebabkan karena adanya hemokonsentrasi
dan pergeseran K ke ruang ekstraseluler akibat asidosis dan defisiensi insulin.
K yang terukur meningkat 0,6 mEq/L untuk setiap penurunan 0,1 dari pH, oleh
karena itu serum K yang < 3,5 mEq/L adalah tidak lazim dan merupakan
keadaan hipokalemia berat.
Pada DKA umumnya terjadi leukositosis (18.000-20.000/mm3), walaupun tidak
ada infeksi (disebabkan karena katekolamin yang ada dalam sirkulasi)

4. Bentuk Klinis
KAD ringan : pH antara 7,3 dan kadar bikarbonat < 15 mmol/L
KAD sedang : pH darah antara 7,2 dan kadar bikarbonat < 10 mmol/L.
KAD berat : pH darah < 7,1 dan kadar bikarbonat < 5 mmol/L.

Klasifikasi derajat Ketoasidosis Diabetikum

Normal Ringan Sedang Berat


CO2(mEq/L) 20-28 16-20 10-15 < 10
PH 7,35-7,45 7,25-7,35 7,15-7,25 < 7,15
Klinis tidak ada sadar tapi pernafasan pernafasankussmaul
Lemas kussmaul, atau depresi pernafas-
Ngantuk, an,ngantuk sampai
Gelisah koma

5. Anamnesis
Poliuria, polidipsia dan polifagia disertai dengan berat badan menurun, sesak
napas dengan / tanpa kesadaran menurun. Penderita DM lama dengan riwayat
kepatuhan berobat yang kurang atau riwayat muntah-muntah disertai nyeri perut
atau sesak disertai kesadaran menurun
Pada kasus rujukan ditanyakan jumlah maupun jenis cairan, insulin dan jumlah
bikarbonas natrikus yang telah diberikan

6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum dan tanda vital. Tampak sakit sedang sampai berat,
kesadaran menurun, asidosis, sesak nafas (pernapasan Kussmaul),
dehidrasi dengan / tanpa tanda-tanda renjatan, kejang +/-, pada pH 6,9
dapat terjadi depresi pernafasan
b. Status lokalis. Kadang disertai distensi abdomen.

7. Kriteria Diagnosis
a. Hiperglikemia yang nyata (> 300 mg/dl),

24
DIVISI ENDOKRIN

b. Asidosis (pH < 7,30, bikarbonat < 15 mEq/L),


c. Ketonuria dan ketonemia.

8. Diagnosis Banding
- Diare akut dengan dehidrasi
- bronkopneumonia
- ensefalitis

9. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah.
- Kimia darah: glukosa darah, serum elektrolit, fungsi ginjal
- Darah tepi lengkap.
- Analisis gas darah.
b. Urin: keton urin, reduksi urin, poliuria (> 900 ml/m2/hari).

10. Terapi
Setiap penderita KAD berat, KAD dengan penurunan kesadaran, KAD berusia
kurang dari 5 tahun dan KAD dengan kecurigaan edema serebri sebaiknya
dirawat di ICU.
Fase akut
a. Resusitasi cairan
o Tentukan status hidrasi dan defisit cairan dalam 48 jam (lihat tabel)
Dehidrasi
Ringan Sedang Berat
Bayi 5%: 50 ml/kg 10%: 100 ml/kg 15%: 150 ml/kg
Anak 3%: 30 ml/kg 6%: 60 ml/kg 9%: 90 ml/kg

o Bila ditemukan renjatan


Berikan cairan (NaCl 0,9% atau RL) 20 ml/kg/jam, dapat diulang
sampai renjatan teratasi.
o Bila tidak ditemukan renjatan / setelah renjatan teratasi
 Pemberian cairan dilakukan secara gradual dalam 48 jam untuk
menghindari terjadinya edema otak
 Sisa defisit cairan adalah defisit cairan dalam 48 jam (sesuai
tabel di atas) dikurangi jumlah cairan yang diberikan untuk
mengatasi renjatan.
 Jumlah cairan yang diberikan dalam 48 jam adalah sisa defisit
cairan ditambah kebutuhan cairan rumat untuk 48 jam
kemudian (lihat tabel).
Tabel Cairan Rumat untuk 48 Jam Kemudian
Berat Badan Jumlah Cairan Rumat
10 kg pertama 200 ml/kg
10 kg berikutnya + 100 ml/kg
Penambahan BB selanjutnya + 40 ml/kg

 Jenis cairan yang digunakan adalah cairan fisiologis yang


isotonis (NaCl 0,9% atau RL) dan selanjutnya disesuaikan
dengan kondisi.

25
DIVISI ENDOKRIN

 Lakukan balans cairan setiap 4 jam. Bila ada penurunan


kesadaran perlu dipasang kateter urin.

b. Pemberian insulin.
o Berikan regular insulin 0,1 µ/kgBB/jam secara intravena (perdrip)
dan diberikan secara terpisah dengan jalur infus untuk resusitasi
cairan
 50 Iµ insulin dimasukkan dalam 500 ml NS 0,9% atau 10 Iµ
insulin dalam 100 ml NS 0,9%
 Berikan dengan kecepatan 1 ml/kg/jam
 Kadar gula darah tidak boleh turun > 100 mg/dL per jam
 Jumlah cairan untuk pemberian insulin ini diperhitungkan juga,
sehingga tetesan resusitasi cairan perlu dikurangi dengan
jumlah tetesan insulin.
o Insulin tidak boleh dihentikan secara tiba-tiba. Kecepatan
pemberian insulin dapat disesuaikan (misal menjadi 0,05
µ/kgBB/jam) sesuai klinis. Penggantian pemberian secara subkutan
harus dilakukan dulu 30 menit sebelumnya baru insulin drip distop.
o Apabila kadar gula darah telah mencapai 250-300 mg/dL, cairan
resusitasi ditambahkan dekstrose 5% dalam perbandingan 1:1
dengan cairan NaCl 0,9%.
o Pertahankan kadar gula darah antara 200-250 mg/dl selama
pemberian insulin intravena dengan melakukan monitoring berkala.
c. Koreksi gangguan asam basa dan elektrolit
o Gangguan asam basa
 Koreksi asidosis hanya dilakukan apabila pH darah < 6,9
 Koreksi dilakukan secara perlahan dan dosis bikarbonas
natrikus yang diberikan adalah 0,6 X BE X BB
 Monitoring dilakukan minimal setiap 2-4 jam.
o Gangguan elektrolit.
 Natrium. Pada KAD ditemukan pseudohiponatremia sehingga
harus dilakukan koreksi atas hasil pemeriksaan kadar natrium
yang ditemukan. Apabila kadar natrium yang sesungguhnya
berdasarkan hasil perhitungan adalah > 125 mEq/l maka tidak
dilakukan koreksi.
Rumus:
Kadar Na+(sebenarnya) =
Kadar Na+ (terukur) + 1,6 (kadar gula darah - 100 mg/dl)
100
 Kalium. Apabila miksi ada, maka sebaiknya sejak awal sudah
diberikan kalium yaitu 40 mEq/L (anak < 30 kg) dan 80 mEq/L
(anak > 30 kg)
 Lakukan monitoring EKG pada gangguan kalium

26
DIVISI ENDOKRIN

 Kecepatan pemberian kalium tidak boleh melebihi 40 mEq/jam


atau 0,3 mEq/kg/jam.
d. Terapi nutrisi. Sebaiknya tidak diberikan makanan oral bila ditemukan
nyeri perut dan distensi abdomen.
e. Monitor
o Awasi tanda-tanda vital
o Monitoring gula darah kapiler: dilakukan secara ketat (setiap jam
dan hal ini harus di cross check dengan gula darah vena) pada 4
jam pertama dan selanjutnya setiap 4 jam
o Periksa Na, K, Cl, ureum, hematokrit, gula darah, analisis gas
darah setiap 2-4 jam. Peningkatan lekosit dapat disebabkan oleh
stress dan tidak dapat dijadikan sebagai tanda infeksi
o Waspadai terjadinya edema serebri yang biasanya terjadi pada
jam-jam pertama resusitasi dengan gejala kesadaran menurun
dan hipernatremia.
o Bila terjadi edema serebri berikan manitol 0,5-1 g/kgBB/drip
dalam 20 menit dan bisa diulang 2 jam kemudian
o Cari faktor pencetus KAD (misal infeksi, noncompliance).
Fase Subakut
o Pemberian insulin secara intravena dapat diganti secara subkutan apabila
 Penderita sudah tidak mengeluh nyeri perut
 Kedaruratan asidosis telah teratasi (pernafasan Kussmaul tidak ada,
kadar HCO3> 15 mEq/L).
o Pemberian nutrisi
o Edukasi

11. Edukasi
Sangat penting dilakukan edukasi pada orangtua, penderita DM dan lingkungan
agar tercapai kontrol metabolik yang baik dan mencegah terjadinya komplikasi
DM (KAD).

12. Komplikasi
Syok sampai koma
Edema serebri

13. Prognosis
Baik bila penanganan benar dan tidak terjadi komplikasi

14. Tindak lanjut


Sangat penting dilakukan edukasi pada orangtua, penderita DM dan lingkungan
agar tercapai kontrol metabolik yang baik dan mencegah terjadinya komplikasi
DM (KAD).
Kontrol metabolik optimal dapat dicapai dengan memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
 Insulin
 Pengaturan makan
 Exercise
 Edukasi
 Monitoring gula darah teratur.

27
DIVISI ENDOKRIN

15. Daftar Pustaka


- Charlen MA, Fernandez-Frackelton M: Diabetic Ketoacidosis. Emerg Med
clin North Am 2005;23:609-628.
- Dunger DB, Sperling MA, Acerini CL, Bohn DJ, Daneman D, Danne TPA,
Glaser NS, Hanas R,Hintz. ESPE/Lawrence Wilkins Concensus Statement
on Diabetic Ketoacidosis in Children and Adolescents. Paediatrics
2004;113:133-140.
- Lebovits HE: Diabetic ketoacidosis. Lancet 1995;345:767-772

Mengetahui/ Menyetujui Palembang, Juli 2016


Kepala Dep. Kesehatan Anak Kepala Divisi Endokrin Metabolik
RSUP Dr. Moh. Hoesin RSUP Dr. Moh. Hoesin

Dr. Yusmala Helmi, SpA(K) Dr. Aditiawati, SpA(K)

28
DIVISI ENDOKRIN

PENILAIAN AWAL (SEGERA)

ANAMNESIS PEMERIKSAAN FISIK PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Poliuria Nilai tanda dehidrasi Keton urin
Polidipsi Pernapasan cepat dan Glukosa darah 
Berat badan  dalam(kussmaul) Asidemia
Nyri abdomen Letargi/ mengantuk Analisis gas darah, Urea, elektrolit dan lain
Mudah lelah lain sesuai indikasi
Muntah
Bingung
Diagnosis KAD tegak
Hubungi konsulen endokrinologi
MONITOR PENTING Deteriorasi status neurologi
Gula darahtiap jam TANDA BAHAYA
Dehidrasi minimal
Syok (nadi perifer lemah) Dapat minumNyeri kepala, bradikardi,
per oral
Inputdanoutputcairan tiapDehidrasi
jam >5 %
Penurunan kesadaran /koma irritabilitas, penurunan
Status neurologistiap jam Tidak Syok
Elektrolittiap 2 jam setelahAsidotik
dimulai(hiperventilasi)
nya cairan intravena tingkat kesadaran,
MonitoringEKG:Perubahan gelombang T inkontinensia, munculnya
Muntah masalah neurologis
RESUSITASI
Jalan nafas TERAPI
Pipa nasogastrik Mulai insulin (sc)
TERAPI CAIRAN INTRAVENA
Pernapasan (O2 100%) Rehidrasi oral
Hitung kebutuhan cairan
Sirkulasi: Nacl 0,9% 10-20 Koreksi selama 48 jam
mL/kg dalam 1-2 jam Nacl 0,9%
Ulangi sampai sirkulasi EKG untuk melihat gelombang T
membaik tetapi jangan lebih Tambahkan KCl 40 mMol/L cairan
dari 30 mL/kg
Tidak Membaik
Infus Insulin Kontinu
0,1 unit/kg/jam

Asidosis tidak membaik Gula darah > 17 mMol/L(300 g/dl) Atau


penurunan gula darah 5 mMol/L/jam Singkirkan hipoglikemia,
(90g/dl/jam) Edema serebri?

Re-Evaluasi:
Perhitungan cairan iv Cairan intravena (iv):
Dosis dan cara pemberian insulin Ganti dengan Nacl 0,45%+glukosa 5%
Perlu resusitasi ulangan? Seuaikan kadar Na untuk
Sepsis ? meningkatkan Na serum terukur
TATALAKSANA
Beri manitol 0,5-1g/KgBB
Batasi cairan (iv) sepertiganya
Klinis baik, Bisa minum oral Hubungi konsulen
endokrinologi
Pindah ke ICU
CTScan kepala setelah
Mulai insulin (sc), kemudian Stop
penderita stabil
insulin (iv) setelah 30-90 menit
sesuai jenis insulin yang dipakai

29
DIVISI ENDOKRIN

SINEKIA VAGINA
Kode ICD 10 : N89.5

1. Definisi
Sinekia vagina adalah perlekatan labia minora akibat iritasi dan inflamasi.
Nama lain: aglutinasi labia minora, adhesi labia minora

2. Etiologi
a. Radang vulva ringan
b. Faktor predisposisi
c. Higiene daerah sekitar vulvovagina
d. Estrogenisasi epitel vagina anak.

3. Patogenesis
4. Bentuk Klinis
5. Anamnesis
a. Tidak tampak lubang vagina, lubang vagina tertutup
b. Terdapat faktor predisposisi (Higiene daerah sekitar vulvovagina jelek)

6. Pemeriksaan Fisik
Tampak perlekatan labia minora sebagian atau menyeluruh

7. Kriteria Diagnosis
Gejala klinis: tampak labia minora tertutup dengan adanya rafe garis tengah
translusen yang nyata pada adhesi.

8. Diagnosis Banding
Atresia Vagina

9. Pemeriksaan Penunjang
10. Terapi
Lakukan tindakan pemisahan secara traumatik dengan alat tumpul, atau
Berikan krim estrogen, dioleskan pada malam hari selama 2 minggu dan
dilanjutkan selang sehari selama 2 minggu, atau
Laser vaporasi dengan anestesi lokal

11. Edukasi
a. Bersihkan genitalia eksterna setiap BAK/BAB
b. Gunakan celana dalam longgar dari bahan katun dan diganti bila basah
c. Hindari sabun yang bersifat basa
d. Pengawasan yang cermat dari ibu terhadap higiene anaknya.

30
DIVISI ENDOKRIN

12. Komplikasi
13. Prognosis
14. Tindak lanjut
15. Daftar Pustaka
- Papagiani M, Stanhope R. Labial adhesions in a girl with isolated premature
telarch: the important of organization. J pediatric adolesense Gynecol 2003;
16(1):31,2
- Leung AK, Robson TL. The incidence of labial fusion in children. J
pediatric Child Health 1993; 29.(3): 235-236

Mengetahui/ Menyetujui Palembang, Juli 2016


Kepala Dep. Kesehatan Anak Kepala Divisi Endokrin Metabolik
RSUP Dr. Moh. Hoesin RSUP Dr. Moh. Hoesin

Dr. Yusmala Helmi, SpA(K) Dr. Aditiawati, SpA(K)

31
DIVISI ENDOKRIN

PREMATURE TELARCHE
Kode ICD 10 : Q53.9
1. Definisi
Merupakan perkembangan payudara pada anak wanita kurang dari 8 tahun
tanpa diikuti perkembangan tanda-tanda seks sekunder lain.

2. Etiologi
a. Aktivasi parsial hipotalamus hipofisis terutama oleh sekresi FSH, gagalnya
involusi folikel dengan atau tanpa pembentukan kista.
b. Sindrom McCune-Albrige.
c. Tumor ovarium.
d. Tumor serebral.
e. Karsinoma hepatoseluler.
f. CAH.
g. Paparan estrogen dari makanan (ayam).

3. Patogenesis
4. Bentuk Klinis
5. Anamnesis
6. Pemeriksaan Fisik
7. Kriteria Diagnosis
a. Biasanya terjadi pada 2 tahun setelah lahir.
b. Tidak ada rambut pubis atau aksila.
c. Kecepatan pertumbuhan normal.
d. Perkembangan umur tulang normal.
e. USG : ratio corpus dan cervix masih fase prepubertas
f. LH/FSH/Estradiol setara dengan prepubertas
g. Gonadotropin stimulation test (jika perlu)

8. Diagnosis Banding
9. Pemeriksaan Penunjang
10. Terapi
Premature telarche biasanya tidak memerlukan intervensi.
11. Edukasi
12. Komplikasi
13. Prognosis
14. Tindak lanjut
15. Daftar Pustaka
- Feuilian P, Merke D, Leschek EW, Cutler GB Jr. Use of aromatase
inhibitors in precocious puberty. Endocrine-Related Cancer 1999;6:303-
306.
- Himes JH:Examining the evidence for recent secular changes in the timing
of puberty in US Children in light Of increases in the prevalence of obesity.
Mol Cell Endocrinol 2006;254-255:13-21

32
DIVISI ENDOKRIN

Mengetahui/ Menyetujui Palembang, Juli 2016


Kepala Dep. Kesehatan Anak Kepala Divisi Endokrin Metabolik
RSUP Dr. Moh. Hoesin RSUP Dr. Moh. Hoesin

Dr. Yusmala Helmi, SpA(K) Dr. Aditiawati, SpA(K)

33
DIVISI ENDOKRIN

HIPOTIROID KONGENITAL
Kode ICD 10 : E03.0- E03.1
1. Definisi
Keadaan di mana kelenjar tiroid gagal untuk mensekresi hormon tiroid secara
cukup sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan organ-organ tubuh pada bayi
baru lahir.

2. Etiologi
a. Hipotiroid permanen
- Disgenesis tiroid (agenesis, hipogenesis, ektopik)  80-90% kasus
- Dishormogenesis tiroid (inborn defect)
- Defek hipotalamus hipofisis
- Imunologis
- Iatrogenik.
b. Hipotiroid transien
- Defisiensi iodium
- Idiopatik
- Iatrogenic (goiter): obat antitiroid
- Terpapar iodine
- Maternal Ab induced.

3. Patogenesis
Produksi hormon tiroid dimulai saat janin berumur 10-12 minggu.
Di bawah pengaruh TRH (thyroid releasing hormone) dari hipotalamus 
merangsang sekresi TSH (thyroid stimulating hormone) di hipofise anterior 
merangsang kelenjar tiroid memproduksi hormon tirod.
Ada mekanisme umpan balik dari aksis tersebut.
Untuk memproduksi hormon tiroid  perlu iodium (diserap dari plasma secara
aktif) oleh kelenjar tiroid  proses pengikatan dengan tiroglobulin (yang
mengandung tirosin)  terbentuk MIT (monoiodothyrosine) dan DIT
(diiodothyrosine)  Selanjutnya : MIT + DIT  T3 (triiodothyrosine) dan DIT
+ DIT  T4 (tiroksin).
T3 dan T4 disekresi ke sirkulasi darah  sebagian besar terikat dengan protein
plasma, sebagian kecil dalam bentuk bebas (merupakan bentuk yang aktif) 
stimulasi berbagai metabolisme dalam tubuh  dapat berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan perkembangan

4. Bentuk Klinis
a. Hipotiroid primer: kelainan pada kelenjar tiroid sendiri (95% kasus)
b. Hipotiroid sekunder: kelainan akibat kegagalan stimulasi hipofise pada
kelenjar tiroid
c. Hipotiroid tersier: kelainan kerena kegagalan stimulasi dari hipotalamus.

Hipotiroid sekunder dan tersier disebut “central hypothyroid).

5. Anamnesis
a. Asal daerah gondok endemik?
b. Riwayat kelainan kelenjar tiroid pada ibu, obat selama kehamilan,
Pertumbuhan dan perkembangan anak

34
DIVISI ENDOKRIN

6. Pemeriksaan Fisik
a. Tentukan diagnosis hipotiroid berdasarkan scoring neonatal hypothyroid
index:
Klinis Score
 Feeding problem 1
 Constipation 1
 Inactivity 1
 Hypotonia 1
 Umbilical hernia (>0,5) 1
 Enlarge tongue 1
 Dry skin 1,5
 Skin mottling 1
 Open posterior fontanella 1,5
 Typical facies 3
Bila total nilai score ≥ 4  dicurigai hipotiroid  lakukan pemeriksaan
laboratorium untuk memastikan
b. Bayi baru lahir
Gejala klinis sering belum jelas, dapat berupa
 Ikterus fisiologis yang memanjang
 Hipotermi sementara (suhu rektal< 35,5oC) dalam 0-45 jam pasca lahir
 Ubun-ubun besar melebar (> 0,5 cm) terutama fontanella posterior
 Makroglosi, kesulitan minum, sering keselek dan sering kesulitan
bernafas
 Suara besar dan parau, tangis serak
 Hernia umbilikalis (hipotoni otot), sering obstipasi, distensi abdomen
 Reflek tendon melambat
 Nadi lambat, kulit kering dan dingin, terdapat mottling (bercak-bercak)
 Miksedema / sembab pada wajah, hipertelorisme.
 ECG (tidak spesifik): low voltage, prolonged conduction time
 Foto toraks: bayangan jantung membesar.
c. Masa bayi dan anak
 Gangguan pertumbuhan dan perkembangan (motorik, mental, gigi,
tulang, pubertas)
 Miksedema, sering obstipasi
 Ubun-ubun besar terlambat menutup
 Makroglosi
 Kesulitan belajar, anemia
 Aktivitas lambat, retardasi mental makin jelas.
Catatan: goiter jarang dijumpai (tetapi bayi dengan goiter sering didapat pada
ibu Grave yang diobati dengan PTU).

7. Kriteria Diagnosis
a. TSH ↑, T4/fT4 ↓
b. fT4 ↓, TSH ↓ (suspek pituitary/sekunder hipotiroid, isolated TSH
deficiency atau tersier hypothyroid)  evaluasi ulang  fT4
c. T4/fT4 normal, TSH ↑  evaluasi ulang 2-3 minggu T4/fT4 ↓, TSH ↑
(immature feedback mechanism).
Catatan: fT4 lebih disarankan dibanding T4.

35
DIVISI ENDOKRIN

8. Diagnosis Banding
(-)

9. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium: TSH, fT4 atau T4
- Untuk skrining bisa dimulai dengan pemeriksaan TSH dulu
- Bila TSH > 20  kemungkinan hipotiroid besar
- TSH >100  95% merupakan hipotiroid walaupun gejala masih
negatif
b. Radiologi: bone age, foto toraks, thyroid scanning (atas indikasi)
c. Lain-lain: BERA / tes pendengaran, EMG (Elektromiografi) atas
indikasi

10. Terapi
Berikan hormon tiroid: Tiroksin (0,1 mg) dengan dosis awal:
Usia: 0 - 3 bulan  8 – 10 g/kg BB/hari
3 – 6 bulan  7 – 11 g/kg BB/hari
6 – 12 bulan  6 – 8 g/kg BB/hari
1 – 5 tahun  4 – 6 g/kg BB/hari
 kemudian dosis ditingkatkan atau diturunkan tergantung evaluasi klinis dan
pemeriksaan laboratorium

Bila terdapat kelainan jantung atau pada hipotiroid berat (dengan miksedema)
dosis dimulai dengan ¼ dosis rumatan dan ditingkatkan secara bertahap tiap 5
hari sampai tercapai dosis optimum.

11. Edukasi
Skrining Hypothyroid saat bayi baru lahir (usia 1 – 2 hari)

12. Komplikasi
a. Kretinisme (retardasi mental dan pertumbuhan)
b. Miksedema (mucopolysacharides pada jaringan subkutan atau pada
organ lain)
c. Pada jantung  efusi perikardial
d. Pada saluran nafas  hipoventilasi  apatis s/d koma
e. Cretin deafness / tuli sensoneural (20%)
f. Craniostenosis (bila overtreatment atau dosis terlalu tinggi).

13. Prognosis
Tergantung pada umur saat terapi dimulai dan ada tidaknya komplikasi
Makin dini dimulai pemberian terapi, makin baik prognosisnya.
Apabila terapi dimulai sesudah umur 1 tahun  sulit mencapai IQ yang
maksimal.

14. Tindak lanjut


Selama terapi harus selalu dievaluasi :
a. Klinis :
- Gejala timbulnya hipotiroid (bila dosis terlalu rendah / tidak teratur
berobat)
- Gejala timbulnya hipertiroid ( bila dosis terlalu tinggi)

36
DIVISI ENDOKRIN

- Pertumbuhan dan perkembangan termasuk :


- Motorik kasar
- Motorik halus
- Bicara
- Perkembangan sosial
b. Laboratorium: T4/fT4, TSH  4–6 minggu sekali untuk 3 bulan pertama,
kemudian setiap 3 bulan dan 4 bulan sekali untuk tahun kedua, seterusnya
setiap 6 bulan selama 5 tahun
c. Radiologis: Bone age / maturasi tulang  2 tahun sekali
d. Psikometri: dimulai sejak usia 12-18 bulan setiap 2 tahun
e. BERA / tes pendengaran: sedini mungkin dan evaluasi setiap tahun
f. EMG (bila mungkin)  untuk evaluasi “ conducting nerve “
g. EEG (atas indikasi ).

15. Daftar Pustaka


- Foley TP Jr, Malvaux P, Blizzard RM: Thiroid disease: in Kappy MS,
Blizard RM, Migeon CJ: Wilkins: the Diagnosis and treatment of
Endocrine Disorders in childhood and adolescence, ed 4. Springfield,
Thomas,1994,pp457-533.
- Svenson J, ericsson UB, Nilsson P, et al: Levothyroxin treatment reduces
thyroid size in children and adolescence with chronic autoimun thyroiditis.
JClin Endocrinol metabolic

Mengetahui/ Menyetujui Palembang, Juli 2016


Kepala Dep. Kesehatan Anak Kepala Divisi Endokrin Metabolik
RSUP Dr. Moh. Hoesin RSUP Dr. Moh. Hoesin

Dr. Yusmala Helmi, SpA(K) Dr. Aditiawati, SpA(K)

37
DIVISI ENDOKRIN

HIPERTIROID
Kode ICD 10 : P72.1
1. Definisi
Hipertiroid adalah keadaan dimana terjadi kelebihan hormon tiroid dalam
sirkulasi darah

2. Etiologi
a. Produksi yang berlebihan atau didapat dari sumber luar.
b. Adanya faktor genetik yang dipicu oleh lingkungan (infeksi, obat, stress,
bahan kimia)
Misalnya :
 Neonatal/kongenital: transplacental TSH receptor stimulating
immunoglobulin dari ibu yang menderita penyakit Grave (bersifat transien)
 Didapat: penyakit Grave / tirotoksikosis autoimmun (kasus terbanyak),
fungsional adenoma, tiroiditis subakut, tumor hipofise yang memproduksi
TSH atau hipofise resisten thyroxine.

3. Patogenesis
Penyebab tersering tirotoksikosis pada anak adalah Penyakit Grave.
Penyakit Grave (kelainan autoimmun)  penurunan fungsi T lymphocyte
supressor sel  terjadi produksi thyrotropin receptor stimulating antibody
(TRAb) terhadap TSH receptor di sel folikel yang merupakan IgG (walau
penyebab terbentuknya antibodi ini belum jelas diketahui).
TRAb mempunyai kapasitas mengikat TSH receptor dan menstimulasi sel
folikel cAMP yang analog dengan TSH  terjadi hiperplasia kelenjar tiroid
yang difus  terjadi hipertiroidism.
Oftalmopati disebabkan oleh antibodi yang terikat pada otot ekstra okuler dan
fibroblas orbita. Histopatologi memperlihatkan terjadi penumpukan
glycosaminoglycans (GAGs) pada jaringan ikat otot dan lemak dari orbita.

4. Bentuk Klinis
Gejala lebih ringan dari dewasa dan muncul perlahan (6-12 bulan)
Krisis tiroid dan hipertiroid apatik jarang dijumpai.
Adanya Trias : Goiter ( diffus), tirotoksikosis, oftalmopati + dermopati ( jarang)
Gejala mayor : Struma , takikardi, tekanan nadi melebar, eksoftalamus,
nervositas
Gejala minor : tremor, intoleransi panas, berat badan menurun
Gejala lain : nafsu makan meningkat, banyak berkeringat, kulit panas,
prestasi belajar menurun, emosi labil, sering buang air besar, diare, menstruasi
tidak teratur.

5. Anamnesis
a. Adanya faktor genetik yang dipicu oleh lingkungan (infeksi, obat, stress,
bahan kimia)
b. Gejala klinis: keluhan dada berdebar, berkeringat, mudah lelah, mata
menonjol

38
DIVISI ENDOKRIN

6. Pemeriksaan Fisik
a. Sturma
b. Takikardi
c. Gelisah
d. Peninggkatan denyut jnatung
e. Proptosis
f. Tremor
g. Penurunan berat badan
h. Intoleransi panas

7. Kriteria Diagnosis
 T4 atau fT4 ↑, T3 ↑, TSH ↓
 Uptake RAI naik 34 - 40%
 Pada saat sakit T3 meningkat (merupakan tes terbaik untuk skrining)
 Ada thyroid stimulating Ig, TRAb.
Langkah Diagnosis :
 Anamnesis
 Pemeriksaan fisis / gejala klinis
 Pemeriksaan penunjang

8. Diagnosis Banding

9. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium fungsi tiroid
USG tiroid dan skintigrafi kalau perlu
EKG bila perlu
Pemeriksaan imunologi (bila fasilitas ada).

10. Terapi
a) Konservatif / medikamentosa dengan obat anti tiroid/ATD:
Dapat diberikan :
1. Methimazol dengan dosis :
Dosis inisial 0,4mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis, dilanjutkan dosis
pemeliharaan 0,2mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis.
2. Propiltiourasil (PTU) dengan dosis :
o Anak kecil: 5-7 mg/kgBB/hr dibagi 3 dosis, dosis ditingkatkan /
diturunkan bertahap sesuai dengan evaluasi klinis dan laboratorium
o Anak besar : pada umumnya 3 X 100 mg/hari.
Gejala klinis berkurang setelah 1-2 minggu, kelainan laboratorium normal
setelah 4-6 minggu (perlu dipantau T3, fT4, TSH dan BMR).
Bila fT4 rendah perlu diperiksa TSH untuk menilai over treatment.
Dosis PTU diturunkan sesuai hasil pemantauan klinis dan laboratorium.
30-40% pasien remisi setelah 2-3 tahun dan di tappering 6 bln-1 th sehingga
bila dihentikan tidak terjadi hipertiroid.
Obat lain yang sering digunakan :
1. Obat  Adrenergic antagonis misalnya propanolol
 Merupakan obat tambahan yang dapat diberikan selain ATD.
 Kerjanya menurunkan gejala hipertiroid dan obat distop setelah eutiroid.
 Dosis propanolol 0,5-3 mg/kg/hari

39
DIVISI ENDOKRIN

 Hati-hati pada pasien asma atau gagal jantung.


2. Obat yang mengandung iodide
 Inorganic Iodide misalnya iopanoic acid dan sodium ipodate
 Indikasi pada neonatal Graves: Iopanoic Acid (Telepaque) 500 mg p.o.
tiap 3 hari dan diberikan juga dengan Propanolol. Obat distop dalam 60
hari.
 Efek samping: diare.
3. Potassium Iodide dan Lugol ‘s Solution
 Indikasi: pasien yang akan dilakukan pembedahan atau pada krisis
tirotoksik.
 Dosis 0,1-0,3 ml (iodine 5% dan 10% potassium iodide dalam air) 3 hari
sekali
4. Glukokortikoid
Indikasi: krisis hipertiroid dan progressive severe Grave’s opthalmopathy.
b) Pembedahan (tiroidektomi)
Dipertimbangkan bila 2-3 tahun terapi konservatif tidak terjadi remisi
Persiapan:
 Sebelum pembedahan pasien harus tirah baring dengan diet cukup 1-3
minggu Pra pembedahan hingga 1 minggu pasca bedah diberi larutan KY
jenuh 10 tetesan untuk mencegah timbulnya thyroid storm
 Thyroid Storm keadaan darurat
Terapi :
 Sodium iodida iv 1-2 gram
 Dexamethason
 Propanolol
 Kontrol hipertermi dan cairan (infus)
 Setelah tiroidektomi perlu observasi
 Hipotiroid akibat reseksi berlebih (harus diberi hormon tiroid seumur
hidup)
 Tirotoksikosis berulang karena reseksi tiroid kurang
 Hipoparatiroid (kelenjar paratiroid secara tidak sengaja terambil).
c) Ablasi Terapi dengan Radioactive Iodine (RAI)
 Diindikasikan pada tirotoksikosis rekuren setelah pembedahan
 Digunakan 131 I atau 123 I (14)
 Efek biologi dari 131I adalah  partikel radiasi  necrosis dan kegagalan
replikasi dari folikel sel yang tidak dirusak.
 Sasaran terapi adalah membuat euthyroid atau hipothyroid .
Hipotiroid biasanya terjadi dalam 6 bulan-satu tahun (10%-20%) dan bisa
transien atau permanen sehingga perlu tiroksin sepanjang hidupnya.

11. Edukasi
12. Komplikasi
 Decompensatio cordis
 Krisis tiroid
 Pada neonatus
- Maturasi tulang cepat / advanced.
- Penutupan sutura sebelum waktunya.
 Gangguan pertumbuhan.
Hipotiroid (bila overtreatment).

40
DIVISI ENDOKRIN

13. Prognosis
14. Tindak lanjut
a. Monitor efek samping obat
ES PTU : agranulositopenia, hepatitis, cholestasis jaundice,
trombositopenia, anemia aplastik (sangat jarang), gatal, urtikaria, atralgia,
demam (dapat dikurangi dengan mengganti jenis obat tionamida lain).
b. Monitor kemungkinan relaps.
c. Monitor pertumbuhan.

15. Daftar Pustaka


- . Beck-Pecoz P, Persani L, La Franchi S: Safety of medications and
hormons used in the treatment of pediatric thyroid disorders. Pediatric
endocrinol Rev 2004;2 (suppl 1) 124-133
- 2.Dallas JS, Folley TP Jr.Hyperthyroidism: inlifshitz F (ed): Pediatric
Endocrinology, ed5 New York, Informa Health Care 2007, pp 415-442.

Mengetahui/ Menyetujui Palembang, Juli 2016


Kepala Dep. Kesehatan Anak Kepala Divisi Endokrin Metabolik
RSUP Dr. Moh. Hoesin RSUP Dr. Moh. Hoesin

Dr. Yusmala Helmi, SpA(K) Dr. Aditiawati, SpA(K)

41
DIVISI ENDOKRIN

SINDROMA TURNER
Kode ICD 10 : Q96.8
1. Definisi
Kelainan pada wanita dengan karakteristik tidak terdapatnya sebagian atau
seluruh dari seks kromosom kedua yang normal yang memegang peranan pada
penampilan fisik yang sering disertai dengan limfedema kongenital, perawakan
pendek, dan disgenesis gonad.

2. Etiologi
3. Patogenesis
Disebabkan karena abnormalitas kromosom seks yang dapat dibagi dalam 3
bentuk utama, yaitu: jumlah yang salah, struktur yang abnormal, dan mosaik.
Masing-masing tiga penyebab ini telah diobservasi sebagai penyebab gangguan
perkembangan seksual. Kesalahan dalam jumlah kromosom berakibat pada
adanya kromosom ekstra maupun ketiadaan kromosom biasanya akibat dari
kegagalan berpisah pada proses gametogenesis paternal. Kehilangan kromosom
X paternal selama miosis diimplikasikan pada 60% kasus.

4. Bentuk Klinis
5. Anamnesis
6. Pemeriksaan Fisik
Defek Primer Keadaan Sekunder Insiden (%)
Keadaan Fisik
Gangguan pertumbuhan
Perawakan pendek 100
skletal
Leher pendek 40
Rasio segmen atas dan bawah
97
abnormal
Cubitus vagus 47
Metakarpal pendek 37
Deformitas madelung 7,5
Skoliosis 12,5
Genu valgum 35
Obstruksi limfatik Muka khas dengan mikrognati 60
Palatum arch tinggi 36
Webbed neck 25
Low posterior hairline 42
Rotated ears Sering
Edema pada tangan/tungkai 22
Displasia kuku 13
Dermatoglipi yang khas 35

Faktor yang tidak diketahui Strabismus 17,5


Ptosis 11
Nevi pigmentosa multiple
26

42
DIVISI ENDOKRIN

Defek Primer Keadaan Sekunder Insiden (%)


Keadaan Fisiologis
Gangguan pertumbuhan
Gagal tumbuh 100
skeletal
Otitis media 73
Defek kromosom sel
Kegagalan gonad 90
germinal
Infertilitas 95
Gonadoblastoma 5
Faktor-faktor yang tidak Anomali kardiovaskuler 55
diketahui – Embrionik Hipertensi 7
Anomali renal dan
39
renovaskuler
Faktor-faktor yang tidak Tiroiditis Hashimoto 34
diketahui – Metabolik Hipotiroid 10
Alopesia 2
Vitiligo 2
Kelainan gastrointestinal 2,5
Intoleransi karbohidrat 40

7. Kriteria Diagnosis
8. Diagnosis Banding
Banyak gambaran fisik sindroma Turner yang merupakan konsekuensi adanya
limfedema intrauterine. Gambaran yang sangat mirip ditemukan pada sindroma
Noonan dengan gangguan gen yang memberikan efek pada laki-laki dan wanita
dengan gambaran tubuh yang pendek dan adanya defek kongenital pada jantung
(biasanya kardiomiopati pada jantung kanan

9. Pemeriksaan Penunjang
a. Masa Prenatal : deteksi dengan USG
Jarang ditemukan higroma kistik dan kelainan pada ginjal (horse shoe
kidney) dan abnormalitas jantung.
b. Masa bayi dan anak-anak
- Insiden terjadinya aorta bicuspid lebih dari 50% dan koarktasio aorta
kurang dari 20%. Evaluasi dengan ekokardiografi tiap 5 tahun untuk
memantau diameter pembuluh darah jantung.
- Dilakukan skrining terhadap fungsi tiroid meliputi pengukuran level
tirotropin. Sebaiknya pada penderita usia 10 tahun yang asimptomatik
dan diulang tiap tahunnya.
- Terdapat conductive hearing loss menyebabkan otitis media yang
berulang dan puncaknya terjadi pada usia 1-6 tahun. Pemeriksaan
audiologi dapat dilakukan pada usia sekitar 7 tahun.
- Limfedema terjadi waktu bayi pada daerah tangan dan kaki dapat
diberikan stoking. Strabismus, ptosis dapat terjadi, penilaian dilakukan
tiap tahun oleh seorang oftalmolog. Crowding dan maloklusi yang
diakibatkan mandibula yang mengecil. Pemeriksaan gigi dilakukan
pada usia pertengahan anak-anak.
- Pemeriksaan psikologi bila diperlukan

43
DIVISI ENDOKRIN

10. Terapi
Sejak didiagnosis, terapi terpenting yaitu pemberian hormon pertumbuhan (oleh
subdivisi endokrinologi anak). Terapi hormon pertumbuhan sangat bermanfaat
untuk mengoptimalisasi pertumbuhan anak dengan sindroma Turner.
Pemberian hormon pertumbuhan tunggal atau kombinasi dengan anabolik
steroid seperti Oksandrolon telah menjadi standar di beberapa negara. Yang
kedua yaitu pada saat anak mencapai usia pubertas dilakukan induksi pubertas
sesuai usianya untuk mencegah terjadinya osteoporosis. Terapi lainnya
tergantung klinis yang ditemukan

11. Edukasi
12. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering terjadi berupa komplikasi akibat perawakan
pendek dan pubertas yang terlambat yang dialami penderita.

13. Prognosis
Penderita dengan sindroma Turner mengalami penurunan kualitas hidup, primer
akibat dari komplikasi dari penyakit jantung dan diabetes. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Sybert, dari 532 penderita yang lahir hidup, 30 meninggal, 13
diantaranya disebabkan oleh penyakit jantung.

14. Tindak lanjut


15. Daftar Pustaka
- Bannink EM, Raat H, Mulder PG, de Muinck Keizer Schrama SM : Quality
of life after growth hormone theraphy and induced puberty in women with
Turner syndrome. J Pedriatr 2006;148:95-101.
- Bondy CA: Care of girls and women with Turner syndrome: a guideline of
the Turner syndrome study group. J Clin Endocrinol Metab 2007;92:10-25.

Mengetahui/ Menyetujui Palembang, Juli 2016


Kepala Dep. Kesehatan Anak Kepala Divisi Endokrin Metabolik
RSUP Dr. Moh. Hoesin RSUP Dr. Moh. Hoesin

Dr. Yusmala Helmi, SpA(K) Dr. Aditiawati, SpA(K)

44
DIVISI ENDOKRIN

HIPERPLASIA ADRENAL KONGENITAL


(Congenital Adrenal Hyperplasia)
Kode ICD 10 : E25.

1. Definisi
Hiperplasia adrenal kongenital adalah suatu kelainan genetik yang diturunkan
secara autosomal resesif akibat defisiensi atau gangguan pada salah satu dari
tahapan-tahapan enzimatik yang diperlukan untuk biosintesis steroid adrenal.

2. Etiologi
Deffisiensi atau gangguan pada salah satu tahapan tahapan enzimatik

3. Patogenesis
Desmolase 17-α Hydroxylase C-17 Lyase
Cholestrol > Pregnenolon 170H-Pregnenolon Dehydroepiandrosterone
3-β Hydroxysteroid 3β HSD 3β HSD
Dehydrogenase (3β HSD)
Progesterone 170H-Progesterone Androstenedione
21-Hydroxylase 21-Hydroxylase Peripheral tissues

Deoxycorticostero 11- Deoxycortisol Testosterone


11-β Hydroxylase 11-β Hydroxylase

Corticosterone Cortisol
18-Hydroxylase

18-Hydroxylase
18-Oxydase

Aldosterone

4. Bentuk Klinis
Berdasarkan manifestasi klinis ada 2 bentuk Hiperplasia Adrenal Kongenital
(HAK), yaitu:
- Klasik : Salt Wasting Syndrome dan Simple Virilizing (non salt losing)
- Non Klasik : Late Onset Non Classical Form
a. HAK Klasik
HAK Salting Wasting
 Kortisol (-)  hipoglikemia
 Aldosteron (-)  kehilangan garam
 Prekursor kortisol ↑ (17-OH progesterone)  cenderung kehilangan
garam
 Androgen ↑  maskulinisasi
HAK Simple Virilizing
 Kadar kortisol normal atau hampir normal.
 Prekursor kortisol ↑ (17-OH progesterone).
 Aldosteron ↑  cenderung kehilangan garam
 Androgen ↑  maskulinisasi

45
DIVISI ENDOKRIN

b. HAK Non Klasik


 Lebih ringan (defisiensi 21-hidroksilase ringan)
 Muncul lambat, pada masa kanak atau dewasa
 Hormon androgen ↑
 Kadar kortison normal
 Kadar aldosteron normal
 Peningkatan 17-OH progesterone sedang

5. Anamnesis
Riwayat muntah berulang, gagal tumbuh, sex ambigus

6. Pemeriksaan Fisik
Maskulinisasi, failure to thrive, hiperpigmentasi, tanda-tanda dehidrasi, asidosis
(tergantung tipe HAK)

7. Kriteria Diagnosis
Gejala Klinis
a. Ambigus genitalia
Pseudohermafroditism dengan klitoromegali dan fusi lipatan labioskrotal
parsial/komplit.
Keadaan berat  laki-laki dengan kriptokismus
b. Pubertas prekoks
c. Salt wasting / Hiponatremia
 Kehilangan garam  hiponatremia, gagal tumbuh, dehidrasi, dan
hiperkalemia
 Krisis adrenal  tidak mau minum, muntah-muntah, diare, failure to
thrive, dehidrasi, hiperkalemia, hiponatremia, asidosis.
 Hipoglikemia
 Hiperpigmentasi
d. Pertumbuhan linier
e. Fungsi reproduksi
 Wanita : oligomenore, amenore, menstruasi tidak teratur atau
infertilitas
 Pajanan androgen  tingkah laku wanita seperti laki-laki
 Laki-laki  defisiensi spermatogenesis
f. Simple virilizing form
g. Tipe non klasik
 Tergantung umur onset
 Pubertas prekoks
 Umur tulang maju
 Pertumbuhan pesat
 Pada perempuan: polikistik ovarii hirsutisme, menstruasi tidak teratur,
perawakan pendek, fertilitas menurun.
h. Heterozigot
Gejala kelebihan androgen

8. Diagnosis Banding
9. Pemeriksaan Penunjang
a. Tipe Klasik
 Na rendah dan K tinggi

46
DIVISI ENDOKRIN

 Peningkatan serum 17-OHP dan hormon androgen adrenal


 Kortisol serum rendah
 Ambigus genitalia
 Pemeriksaan PRA merupakan indesi sensitif untuk insufisiensi
mineralokortikoid.
 Genitografi: terlihat uterogenital dan uterus
 USG genitalia interna: terlihat uterus
 Foto rontgen usia tulang untuk evaluasi pubertas prekoks.
 Tes genetik
b. Tipe Non Klasik
Perlu uji stimulasi ACTH

10. Terapi
Terapi Hormonal
Prinsip: mencegah terjadinya insufisiensi adrenal
a. Pada keadaan akut HAK Salt Wasting
 Terapi syok denga NaCl 0,9% 20 ml/kg, dalam 1 jam dilanjutkan
dengan 3.200 ml/m2/24 jam cairan isotonis.
 Bila hipoglikemia berikan 2-4 ml/kgBB Dekstrose 10%
 Hidrokortison hemisuksinat 50-100 mg/m2 atau 1-2 mg/kgBB
dilanjutkan dengan 50-100 mg/m2 dengan dosis terbagi tiap 6 jam,
dilanjutkan dengan dosis rumatan per oral seumur hidup 15-20
mg/m2/hari dalam 2-3 kali pemberian setelah fase akut terlewati.
Alternatif lain Metilprednisolon sodium suksinat 0,25-0,5 mg/kg IV
atau Deksametason 1-2 mg/m2.
Sebelum diberikan hidrokortison dosis rumatan per oral, mulai dengan
dosis 20-30 mg/m2/hari dalam 1-2 minggu untuk mengontrol
overproduksi ACTH.
 Terapi mineralokortikoid pada krisis adrenal dengan
Deoksikortikosteron asetat (DOCA) 0,5-1 mg/hari IM dilanjutkan
dengan Fludrokortison asetat peroral 50-200 mg/hari 3 kali pemberian.
 Suplementasi NaCl 1-2 g/hari sampai usia 2 tahun.
Monitoring Terapi
 Pemberian kortisol seumur hidup.
 Evaluasi 17-OHP dan Astrostenedion tiap 2 bulan-1 tahun dan
pemeriksaan plasma renin activity secara periodik.
 Hidrokortison 10-20 mg/m2/hari.
 Alternatifnya Prednison 5-7,5 mg/m2/hari atau Deksametason 0,25-0,5
mg/m2/hari dengan pemantauan.
 Evaluasi terapi dengan memantau pertumbuhan, umur tulang, serum
17-OHP, androstenedion, dan testosteron.

a. Kondisi Khusus
 Pada pembedahan atau trauma, muntah hebat, dan diare, pasien dirawat
dan obat diberikan secara IM.
 Pada kegawatan / infeksi, dosis dapat ditingkatkan 2-3 kali untuk
beberapa hari.

47
DIVISI ENDOKRIN

Terapi pembedahan
Konseling psikiatri
Konseling genetik

11. Edukasi
Kepatuhan pengobatan, monitoring ketat terhadap timbulnya komplikasi

12. Komplikasi
13. Prognosis
o Pada perempuan baik dengan terapi adekuat dan rekonstruksi
o Problem psikis berkaitan dengan abnormalitas genital
o Kadang terjadi perawakan pendek dan infertilitas
o Kematian dini terjadi akibat tidak diberikan dosis tambahan pada
kondisi stress
o Maskulinisasi progresif pada tipe simple virilizing
o Pada perempuan terjadi hambatan perkembangan uterus normal

14. Tindak lanjut


15. Daftar Pustaka
- Clayton P, Miller WL, Oberfield SE, Ritzen EM, Sippel WG, Speiser PW:
Consensus statement on 21-hydroxylase deficiency from the Europen
Society for Paediatric Endocrine Society. J Clin Endoc Metab 2002;87:
4048-4053.
- Speiser PW, White PC, New MI: Congenital adrenal hyperplasia; James
VH (ed): The Adrenal Gland. Comprehensive Endocrinology, revised ser.
New York, Raven Press, 1992,pp 371-372

Mengetahui/ Menyetujui Palembang, Juli 2016


Kepala Dep. Kesehatan Anak Kepala Divisi Endokrin Metabolik
RSUP Dr. Moh. Hoesin RSUP Dr. Moh. Hoesin

Dr. Yusmala Helmi, SpA(K) Dr. Aditiawati, SpA(K)

48
DIVISI ENDOKRIN

HIRSUTISME
Kode ICD 10 : L68.0

1. Definisi
Pertumbuhan rambut terminal yang berlebihan, bersifat androgen-dependent,
pada perempuan dengan pola distribusi seperti pada laki-laki dewasa. Tampak
pertumbuhan rambut dengan pola distribusi maskulin yaitu di atas bibir dan
depan telinga

2. Etiologi
a. Hirsutisme Idiopatik:
 Pertumbuhan rambut berlebih yang bukan disebabkan peningkatan sekresi
hormon androgen ataupun gangguan metabolik lainnya.
 Ditandai dengan riwayat keluarga yang mempunyai distribusi rambut
serupa, riwayat menstruasi biasanya normal, biasanya tidak terdapat tanda
virilisasi, bersifat generalisata, sekresi keringat dan sebum meningkat, tidak
ditemukan tumor pelvis.
 Diduga penderita mempunyai folikel rambut yang hipersensitif terhadap
kadar hormon androgen plasma yang normal.
 Bila ukuran klitoris cukup besar ataupun terjadi peningkatan kadar hormon
testosteron dalam plasma, mungkin ada penyakit sistemik yang
mendasarinya
b. Hirsutisme Endokrinopati:
 Ditandai dengan keadaan maskulinisasi disertai kadar 17 ketosteroid dalam
urin yang meningkat.
 Pertumbuhan rambut berlebih pada perempuan, sekitar 80% disertai kadar
hormon androgen dalam serum yang meningkat
b.1. Berasal dari Kelenjar Adrenal
b.1.1. Hiperplasi kelenjar adrenal kongenital:
- Diturunkan secara resesif autosomal dan terdapat pada sekitar
10% penderita hirsutisme.
- Bila onset terjadi dalam uterus; saat lahir bayi dapat
mempunyai kedua jenis kelamin. Bila onsetnya pada masa
kanak-kanak,ditandai dengan virilisasi dan pertumbuhan
prekok.
b.1.2. Sindrom adrenogenital pada dewasa: mempunyai onset dewasa.

b.1.3. Adenoma/karsinoma kelenjar adrenal:


Terdapat tanda virilisasi dan peningkatan kadar 17 ketosteroid
dalam urin yang tidak dapat diobati dengan pemberian obat.
b.2. Berasal dari ovarium
- Jaringan testis yang tumbuh tidak pada tempatnya, yaitu pada ovarium
dapat menyebabkan hirsutisme.
- Secara fenotif perempuan dengan genital hermafrodit, disertai
kelainan kromosom.
b.2.1. Sindrom Stein Leventhal:
- Terdapat pembesaran ovarium bilateral.

49
DIVISI ENDOKRIN

- Produksi hormon androgen dari ovarium dan kadar hormon


testosteron dalam plasma meningkat, bila disertai peningkatan
kadar 17 ketosteroid dalam urin.
- Bersifat familial dan pada beberapa kasus sulit dipisahkan
dengan kelainan kelenjar adrenal. Pada sekitar 20% penderita
mempunyai tanda virilisasi.
b.2.2. Tumor ovariumlainnya:
- Tumor ovarium lainnya yang memproduksi hormon androgen,
yaitu:
- Tumor sel Leydig
- Tumor sel thecal
- Tumor sel hilar
- Arrhenoblastoma
- Kistadenoma ovarium
- Tumor Krukenberg
- Mempunyai tanda maskulinisasi lebih ringan.
b.3. Berasal dari kelenjar hipofise
b.3.1. Adenoma hipofise
b.3.2. Sindroma Cushing
b.3.3. Akromegali
b.4. Berasal dari kelanjar tiroid

c. Hirsutisme karena obat:


Dehidroepiandrosterone sulfate (DHEA-S), testosteron, danazol, dan anabolic
steroids, fenitoin, minoksidil, diazoxide, siklosporin, streptomisin, psoralen,
penisilamin, kortikosteroid dosis tinggi, metirapon, fenothiazin, asetazolamid,
dan heksklorobenzen.
d. Hirsutisme sekunder:
 Sukar membedakan penyakit ini dengan hirsutisme idiopatik, kecuali bila
ada tanda virilisasi.
 Ditandai dengan perubahan pola menstruasi, distribusi rambut linea alba
dan presternal, akne dan riwayat infertilitas.
 Terjadi peningkatan kadar hormon androgen, sehingga sekresi hormon
testosteron dari ovarium, kelenjar adrenal atau keduanya meningkat.
 Bila kadar testosteron bebas normal, kemungkinan ada hipersensitivitas
organ target.
 Sekitar 30% penderita dengan tanda klinis cenderung hirsutisme sekunder,
tidak ditemukan kadar hormon androgen abnormal dalam plasma.

3. Patogenesis
4. Bentuk Klinis
Klasifikasi hirsutisme berdasarkan Sistem Skoring Ferriman and Gallwey sebagai
berikut:

50
DIVISI ENDOKRIN

Table 1. Ferriman and Gallwey Scoring System

Site Grade Definition


Upper Lip 1 A few hairs at outer margin
2 A small moustache at outer margins
3 A moustache extending halfway from outer
margin
4 A moustache extending to midline
Chin 1 A few scattered hair
2 Scattered hairs with small concentrations
3 Complete cover, light
4 Complete cover, heavy
Chest 1 Circumareolar hairs
2 With midline hair in addition
3 Fusion of these areas, with three-quarter cover
4 Complete cover
Upper back 1 A few scattered hair
2 Rather more, still scattered
3 Complete cover, light
4 Complete cover, heavy
Lower back 1 A sacral tuft of hair
2 With some lateral extension
3 Three quarter cover
4 Complete cover
Upper abdomen 1 A few midline hairs
2 Rather more, still midline
3 Half cover
4 Full cover
Lower abdomen 1 A few midline hairs
2 A midline streak of hair
3 A midline band of hair
4 An inverted V-shaped growth
Upper arm 1 Sparse growth < three quarters
2 More than this: cover still incomplete
3 Complete cover, light
4 Complete cover, heavy
Thigh 1 Sparse growth < three quarters
2 More than this: cover still incomplete
3 Complete cover, light
4 Complete cover, heavy

Skor ≥ 7 menunjukkan adanya hirsutisme yang bermakna, sedangkan skor < 7


disebut hirsutisme ringan.

5. Anamnesis
6. Pemeriksaan Fisik
7. Kriteria Diagnosis
 Hirsutisme menyebabkan pembesaran akar rambut, pembesaran dan
peningkatan pigmentasi rambut serta pertumbuhan rambut dengan pola
penyebaran yang secara normal ditemukan pada pria.

51
DIVISI ENDOKRIN

 Masalah yang sangat mengganggu pada hirsutisme adalah pertumbuhan


rambut wajah yang berlebihan.
 Hirsutisme bisa dihubungkan dengan suatu keadaan yang disebut
maskulinisasi, dimana didapatkan keadaan:
- Suara menjadi lebih berat.
- Rambut di wajah tumbuh secara berlebihan.
- Massa otot bertambah.
- Ukuran payudara mengecil
- Ukuran alat kelamin membesar.
- Siklus menstruasi tidak teratur.
 Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan
fisik.
 Mungkin perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik

8. Diagnosis Banding
- Hipertrikosis
- Adenoma Adrenal
- Karsinoma Adrenal
- Defisiensi C-11 Hydroksilase
- Defisiensi C-17 Hydroksilase
- Sindroma Cushing
- Lesi maligna ovarium
- Kanker ovarium
- Ovarian Polycystic Disease

9. Pemeriksaan Penunjang
- Testosteron serum
- 17-Hydroxyprogesterone
- Pemeriksaan darah untuk menentukan kadar LH (luteinizing hormone),
FSH, prolaktin dan hormon lainnya.
- CT scan abdomen
- USG.
- Bone age.

10. Terapi
Pengobatan hirsutisme adalah berdasarkan kelainan kosmetik atau merupakan
penyakit sistemik yang mendasarinya.
a. Mekanis
Terutama dilakukan untuk mengobati hirsutisme idiopatik. Caranya bervariasi
dalam hal frekuensi, biaya, dan kenyamanan.
1. Cara temporer
1.1. Pemudaran rambut (bleaching)
1.2. Pencukuran rambut (shaving)
1.3. Epilasi (plucking/teezing dan waxing)
1.4. Depilasi
1.5. Pemakaian amplas (hair removing gloves)
2. Cara permanen
2.1. Elektrolisis atau galvanisasi
2.2. Termolisis atau diatermi
2.3. Kombinasi elektrolisis dan termolisis

52
DIVISI ENDOKRIN

2.4. Tindakan bcdah pada tempat yang dikeluhkan


2.5. Radiasi
b. Medikamentosa
 Bertujuan menekan produksi hormon androgen dari kelenjar adrenal
maupun ovarium, atau menghentikan kerja kelenjar adrenal pada folikel
rambut, sehingga fase pertumbuhan aktif rambut terminal lebih pendek dan
rambut lebih tipis serta kurang berpigmen.
 Respons terhadap obat adalah lambat dan tidak selalu memberi hasil
memuaskan. Umumnya dibutuhkan waktu 6-12 bulan untuk menentukan
keberhasilan pengobatan.
1) Glukokortikoid
Tujuannya untuk mengobati penderita hiperplasia kelenjar adrenal.
Pemakaian secara rutin untuk bentuk selain hirsutisme tidak dianjurkan.

- Deksametason : 0,08-0,3 mg/kg/hari, p.o. atau 2,5 mg-10 mg/m2/hari,


p.o, 4-6 kali pemberian.
- Prednison : 4-5 mg/m2/hari, p.o, atau 0,05-2 mg/kg, p.o, dalam 2-3
dosis, tapering off 2 minggu sampai gejala teratasi.
2) Antiandrogen
- Spironolakton : 1,5-3,5 mg/kg/hari, p.o dibagi 4-6 kali pemberian.
c. Operatif
Tindakan pengangkatan tumor yang mensekresi hormon androgen.

11. Edukasi
12. Komplikasi
Komplikasi bervariasi tergantung pada etiologi hirsutisme. Dapat juga akibat
terapi hormonal atau pembedahan.

13. Prognosis
Tergantung pada penyebab yang mendasarinya dan jenis terapi

14. Tindak lanjut


15. Daftar Pustaka
- Azziz R: The evaluation and management of hirsutism. Obstet Gynecol
2003;101:995-1007
- 2. Rosenfield RL: Hirsutism and the variable response of the pilosebaceous
unit to androgen. J investing Dermatol Symp Proc 2005;10:205-208

Mengetahui/ Menyetujui Palembang, Juli 2016


Kepala Dep. Kesehatan Anak Kepala Divisi Endokrin Metabolik
RSUP Dr. Moh. Hoesin RSUP Dr. Moh. Hoesin

Dr. Yusmala Helmi, SpA(K) Dr. Aditiawati, SpA(K)

53
DIVISI ENDOKRIN

OSTEOGENESIS IMPERFECTA
Kode ICD 10 : Q.78.0

1. Definisi
Kelainan pembentukan jaringan ikat yang umumnya ditandai dengan tulang
mudah patah, kelainan pada ligamen, kulit, sklera, gigi, ataupun tuli.

2. Etiologi
3. Patogenesis
4. Bentuk Klinis
5. Anamnesis
Riwayat mudah fraktur/patah tulang berulang, adanya riwayat penyakit yang
sama dalam keluarga
Pada bentuk yang ringan penderita bisa tidak mengalami patah tulang sampai
masa dewasa. Sedangkan pada bentuk yang berat patah tulang dapat dialami
sejak dalam uterus/prenatal.

6. Pemeriksaan Fisik
Terdapat fraktur multisegmen, perawakan pendek, sklera berwarna biru,
masalah gigi (dentinogenesis imperfecta), dan gangguan pendengaran yang
makin progresif setelah masa pubertas.

7. Kriteria Diagnosis
Diagnosis OI ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit yang sama pada
keluarga dan atau manifestasi klinis yang berbeda-beda tiap penderita,
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan Radiologi dan kadar kalsium serta
fosfat.

8. Diagnosis Banding
- Kekerasan anak dan penelantaran pada anak (child abuse & neglect)
- Osteoporosis Juvenil Idiopatik (OJI)
- Achondroplasia
- Riketsia
9. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan kadar Elektrolit Darah (terutama Kalsium dan Fosfat)
Pemeriksaan Radiologi
o Radiografi tulang skeletal setelah lahir (bone survey):
- Bentuk ringan (tipe I) tampak korteks tulang panjang yang menipis,
tidak tampak deformitas tulang panjang. Bisa menunjukkan gambaran
Wormian (Wormian bones) pada cranium.
- Bentuk sangat berat (tipe II) tampak gambaran manik-manik (beaded
appearance) pada tulang iga, tulang melebar, fraktur multipel dengan
deformitas tulang panjang.
- Bentuk sedang dan berat (tipe III dan IV) tampak metafisis kistik atau
gambaran popcorn pada kartilago, tulang dapat normal atau melebar
pada awalnya kemudian menipis, dapat ditemukan fraktur yang
menyebabkan deformitas tulang panjang, sering disertai fraktur
vertebra.
o Densitas mineral tulang (bone densitometry) diukur dengan Dual-Energy X-
Ray Absorptiometry (DEXA) yang menghasilkan nilai rendah pada penderita.

54
DIVISI ENDOKRIN

o Ultrasonografi prenatal pada minggu 15-18 kehamilan untuk mendeteksi


kelainan panjang tulang anggota badan.Yang tampak dapat berupa gambaran
normal (tipe ringan) sampai dengan gambaran isi intrakranial yang sangat jelas
karena berkurangnya mineralisasi tulang kalvaria atau kompresi kalvaria. Selain
itu dapat juga ditemukan tulang panjang yang bengkok, panjang tulang
berkurang (terutama tulang femur), dan fraktur iga multipel. USG prenatal ini
terutama untuk mendeteksi OI tipe II.
Selain pemeriksaan Radiologis, juga dapat dilakukan pemeriksaan berikut :
- Analisa sintesa kolagen didapat melalui kultur fibroblas dari biopsi kulit,
terutama untuk mendeteksi osteogenesis imperfecta tipe I, III dan IV.
Analisa mutasi DNA prenatal dilakukan pada kehamilan dengan resiko OI,
melalui kultur villus korion. Pemeriksaan kombinasi antara analisa DNA dan
biopsi kolagen akan mendeteksi hampir 90% dari semua tipe mutasi gen
pengkode prokolagen tipe I.

10. Terapi
a. Bisfosfonat (pamidronat) dengan dosis 1,5-3 mg/kgbb/hari pemberian drip
dalam 4 jam, diberikan 3 hari berturut-turut, diulang tiap 4-6 bulan.
b. Zoledronic acid 0,05mg/kgbb pemberian drip dalam 1 jam, satu kali
pemberian, diulang setiap 6 bulan
c. Suplementasi Vitamin D 400-800 IU dan Kalsium 500-1000 mg sebagai
profilaktik defisiensi Vitamin D dan Kalsium
11. Edukasi
12. Komplikasi
13. Prognosis
14. Tindak lanjut
15. Daftar Pustaka
- Marini JC. Osteogenesis imperfecta. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB,eds. Nelson textbook of pediatrics, edisi ke-17. Philadelphia:
Saunders, 2004, 2336-8
- Marini JC. Osteogenesis imperfecta-managing brittle bones. N Engl J Med
1998; 339: 986-7
- Root AW, Diamond Jr FB. Disorders of calcium metabolism in the child and
adolescent. Dalam: Sperling MA, eds. Pediatric endocrinology, edisi ke-2.
Philadelphia: Saunders, 2002, 657-85.
- Nussbaum RL, McInnes RR, Willard HF. The molecular and biochemical basis
of genetic disease. Dalam: Thompson and thompson genetic in medicine, edisi
ke-6. Philadelphia: Saunders, 2004, 229-346.
- http://www.ema.europa.eu: Assessment report for Zometa (Zoledronic acid).
European Medicines Agency. Evaluation of Medicine for human use.
London.2010.

Mengetahui/ Menyetujui Palembang, Juli 2016


Kepala Dep. Kesehatan Anak Kepala Divisi Endokrin Metabolik
RSUP Dr. Moh. Hoesin RSUP Dr. Moh. Hoesin

Dr. Yusmala Helmi, SpA(K) Dr. Aditiawati, SpA(K)

55
DIVISI ENDOKRIN

MIKROPENIS
Kode ICD 10 : Q.55.6

1. Definisi
Bentuk penis yang normal tanpa disertai kelainan diferensiasi seksual,tetapi
ukurannya sangat kecil yaitu kurang dari -2,5 simpang baku (SB) ukuran normal
menurut usia. Merupakan suatu kelainan tunggal (isolated) atau bagian penyakit
kelainan suatu sistem dan sindrom tertentu.

2. Etiologi
Kelainan SSP :
Hipogonadotropik hipogonadisme, hipergonadotropik hipogonadisme,
gangguan hipofise, anensefal, midline defect, sindrom Kalman, sindrom Prader
Willi, defisiensi GH, sindrom Rotnow, dan sindrom lain
Kelainan gonad :
Disgenesis gonad, sindrom knilefelter, sindrom insentivitas partial, sindrom
Bjoreson, idiopatik dll

3. Patogenesis
Pertumbuhan dan perkembangan penis terdiri dari 2 tahap yaitu ;
Tahap I (intra uterine)
Formative phase
Linear growth phase
Pada akhir formative phase panjang penis hanya 3,5 mm. oleh pengaruh
testosteron penis bertambah panjang 10 kali lipat sehingga pada saat lahir
biasanya panjangnya 3,5 cm

Tahap II (ekstrauterine)
Sangat dipengaruhi hormon testosteron (gangguan produksi,sekresi,maupun
kerja testosteron dapat mempengaruhi morfogenesis dan atua ukuran penis
Dengan demikian penyebab mikropenis lebih banyak dipengaruhi oleh kejadian
yang memoengaruhi ekresi kerja atau kerja testosteron pada fase ke 2
perkembangan penis intrauterin

4. Bentuk Klinis
5. Anamnesis
Adanya riwayat lahir mati atau hipospadia,kriptokidismus,infertilitas,atau
kelainan kongenital kearah kelainan genetik yang diturunkan
Riwayat obstetri
Berupa penurunan gerakan janin atau otot bayi yang lemas waktu dilahirkan
(sindrom prader Willi)

6. Pemeriksaan Fisik
Mencari adanya dismorfik yang merupakan tanda sindrom malformasi
Ukuran penis kurang dari 2,5 SB ukuran normal menurut usia tanpa
diketemukan kelainan differensiasi seksual

56
DIVISI ENDOKRIN

Ukuran penis berdasarkan usia

Usia Rerata ±SB Rerata -2,5 SD


Gestasi 30 mgg 2,5 ± 0,4 1,5
Gestasi 34 mgg 3,0 ± 0,4 2,0
Cukup bulan 3,5 ± 0,4 2,5
0-5 bln 3,9 ± 0,8 1,9
6-12 bln 4,3 ± 0,8 2,3
1-2 4,7 ± 0,8 2,6
2-3 5,1 ± 0,9 2,9
3-4 5,5 ± 0,9 3,3
4-5 5,7 ± 0,9 3,5
5-6 6,0 ± 0,9 3,8
6-7 6,1 ± 0,9 3,9
7-8 6,2 ± 0,9 3,7
8-9 6,3 ± 0,9 3,8
9-10 6,3 ± 1,0 3,8
10-11 6,4± 1,0 3,7
Dewasa 13,3±1,6 9,3

7. Kriteria Diagnosis
8. Diagnosis Banding
9. Pemeriksaan Penunjang
- Bone age
- Hormonal (LH,FSH,testosteron) dicurigai adanya pan-hipopituarima
- Analisa kromosom dilakukan atas indikasi,misalnya pada kaus mikropenis

10. Terapi
Testosteron enanthate 25-50 mg. im. Setiap 3 minggu,sebanyak 4 kali dengan
memperhatikan respon yang didapat sampai tercapainya target ukuran penis
normal. Waktu yang tepat untuk terapi ini pada masa bayi dan pubertas.
Pemberian terapi hormonal ini harus hati-hati karena dosisnya berlebihan dapat
terjadi pubertas prekok. (dilakukan oleh ahli endokrin anak)
11. Terapi dari penyakit primer, bila merupakan bagian dari kelainan sistemik,
penyakit atau sindrom tertentu.

12. Komplikasi
13. Prognosis
14. Tindak lanjut

Mengetahui/ Menyetujui Palembang, Juli 2016


Kepala Dep. Kesehatan Anak Kepala Divisi Endokrin Metabolik
RSUP Dr. Moh. Hoesin RSUP Dr. Moh. Hoesin

Dr. Yusmala Helmi, SpA(K) Dr. Aditiawati, SpA(K)

57
DIVISI ENDOKRIN

PUBERTAS PREKOK
Kode ICD 10 : E.30.1

1. Definisi
Pada wanita : awitan perkembangan seksual sekunder terjadi sebelum usia 8
tahun
Pada laki-laki: awitan perkembangan seksual sekunder terjadi sebelum usia 9
tahun

2. Etiologi

3. Patogenesis

Pubertas prekoks sentral terjadi akibat pengaktifan dini mekanisme yang


mengontrol aktivitas poros hipotalamus-hipofisis gonad. Mekanisme yang
mengatur saat timbulnya pubertas tidak diketahui.
Pubertas prekok perifer terjadi disebabkan karena sekresi yang berlebihan
kelenjar gonad ataupun androgen,dalam hal ini perkembangan seksual terlepas
dari pengaruh mekanisme kontrol poros hipotalamus-hipofisis-gonad

4. Bentuk Klinis

1.1 pubertas prekoks sentral/ GnRH dependent


1.2 pseudopubertas prekoks/ pubertas prekok perifer/ GnRH independent

5. Anamnesis
- Usia awitan saat terjadi pubertas dan progresivitas perubahan fisik pubertal.
- Pola pertumbuhan (kecepatan tumbuh) anak sejak bayi.
- Adanya kelainan SSP atau gejala kelainan SSP, seperti sakit kepala,
meningkatnya lingkar kepala, gangguan visus, dan kejang.
- Riwayat penyakit dahulu, termasuk riwayat kemoterapi, radiasi, operasi,
trauma atau infeksi SSP, riwayat konsumsi obat-obatan jangka panjang
(obat yang mengandung hormon steroid seks)
- Riwayat penyakit keluarga, meliputi adakah anggota keluarga yang
mengalami hal yang sama seperti pasien, riwayat pubertas anggota keluarga
yang lain, tinggi badan, dan rerata pertumbuhan orangtua dan saudara
kandungnya.
- Adanya paparan kronik terhadap hormon seks steroid eksogen.

6. Pemeriksaan Fisik
- Pengukuran tinggi badan, berat badan, rasio segmen atas/ bawah tubuh.
- Palpasi tiroid: ukuran, ada tidaknya nodul, konsistensi, dan bruit
- Status pubertas sesuai dengan skala maturasi Tanner- Perempuan:
rambut aksila (A), payudara atau mammae (M), dan rambut pubis (P).
- Laki-laki: rambut aksila (A), rambut pubis (P), dan genital (G).
- Pemeriksaan ukuran testis harus dilakukan secara hati-hati baik volume
ataupun panjang aksis longitudinal. Ukuran testis dan asimetri
memberikan petunjuk kemungkinan penyebab pubertas prekoks.
- Lesi kulit hiperpigmentasi menunjukkan neurofibromatosis atau

58
DIVISI ENDOKRIN

sindrom McCune - Albright.


- Palpasi abdomen untuk mendeteksi adanya tumor intraabdomen.
- Pemeriksaan status neurologis, funduskopi, visus.

7. Kriteria Diagnosis
1. Peningkatan pertumbuhan dan kematangan epifisis
2. Pada wanita: tanda pertama adalah perkembangan payudara. Rambut pubis
dapat timbul bersamaan tapi lebih sering terjadi kemudian,diikuti oleh
perkembangan genitalia eksterna,timbulnya rambut aksila dan menstruasi.
Silkus menstruasi awal dapat irreguler dibandingkan dengan pubertas
normal. Siklus awal biasanya anovulasi.
3. Pada pria: kedua testis membesar, penis membesar,ereksi,tumbuh rambut
pubis, akne suara dalam,kelakuan agresif
4. Gambaran yang berhubungan dengan penyebab : pigmentasi kulit dari
sindrom McCune Albright, kenaikan tekanan intrakranial,dll.

8. Diagnosis Banding
1. Pemature pubarche (hanya rambut pubis tumbuh dini lainnya tidak ada)
2. Premature telarch ( hanya pembesaran buah dada,umur kira-kira 2 tahun)

9. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Hormon FSH,LH dan estradiol
Baku emasnya dengan GnRH stimulation test,yaitu penyuntikan GnRH
secara intravena atau subkutan aetelah puasa pada malam hari.kemudian
kadar FSH dan LH diukur menit ke 15,30,45 dan 60 setelah injeksi. Pada
anak yang mengalami pubertas prekoks tipe sentral akan terjadi
peningkatan kadar hormon FSH dan LH dua sampai tiga kali lipat
2. Pemeriksaan radiologis
a) Foto kepala dan sela tursika : untuk melihat apakah ada tumor seperti
hamartoma,astrositoma,mokroadenoma,hidrosefalus.
b) USG pelvis dan genitalia interna : untuk mengetahui ada kista
ovarium atau tumor
3. MRI/scanning kepala,bila gonadotropin meningkat (MRI lebih bagus
untuk memeriksa sisterna supraseller

10. Terapi
1. Medroksiprogesteron asetat (provera)
Dosis yang diberikan 100 mg/m2/hari secara oral atau preparat long acting
200-300 mg setiap 15 hari atau setiap 7 hari
2. LNRH agonis
3. Cyproteron acetat

11. Komplikasi
12. Prognosis
Pubertas prekoks sentral
Pada pubertas prekoks sentral yang diterapi dengan GnRHa, prognosis lebih
baik jika terapi dimulai lebih dini.
- Aktivitas poros HPG pubertal fisiologis akan mulai segera setelah
penghentian terapi dan menjadi sempurna dalam hitungan minggu atau bulan.
- Pemantauan jangka panjang menunjukkan bahwa terapi GnRHa tidak

59
DIVISI ENDOKRIN

mempengaruhi fertilitas maupun fungsi seksual.


Pubertas prekoks perifer
Prognosis sangat ditentukan oleh etiologi dan terapi terhadap etiologi.
Anak dengan HAK yang diterapi adekuat memiliki prognosis yang baik,
begitu pula dengan pasien hipotiroid primer yang mendapat terapi
substitusi hormon tiroid juga memiliki prognosis yang baik.

Mengetahui/ Menyetujui Palembang, Juli 2016


Kepala Dep. Kesehatan Anak Kepala Divisi Endokrin Metabolik
RSUP Dr. Moh. Hoesin RSUP Dr. Moh. Hoesin

Dr. Yusmala Helmi, SpA(K) Dr. Aditiawati, SpA(K)

60
DIVISI ENDOKRIN

PUBERTAS DELAYED
Kode ICD 10 : E.30

1. Definisi
Pubertas terlambat (delayed puberty) pada perempuan didefinisikan tidak
membesarnya payudara sampai umur 13 tahun atau tidak adanya menstruasi
sampai umur 16 tahun. Pada laki-laki pubertas terlambat apabbila panjang testis
tidak mencapai variasinormal.

2. Etiologi
Beberapa kelainan yang berkaitan dengan pubertas delayed :
a. Familial delayed
b. Sindrome turner (karyotype 45XO)
c. Kraniofaringioma dan prolactinoma
d. Sindrome kallman
e. Penyakit kronik
f. Anoreksia nervosa
g. Sindrome knilifelter (47XXY)

3. Patogenesis

4. Bentuk Klinis
5. Anamnesis
Anamnesis yang seksama perlu diperhatikan, antara lain :
- Adanya penyakit kronik
- Anoreksi/ bulimia
- Olah raga berlebihan
- Adanya riwayat keluarga dengan pubertas terlambat
- Riwayat lahir adanya kelainan kongenital
- Riwayat operasi, kemoterapi
- Gejala-gejala neurologis (gangguan visus, gangguan penciuman)
- Obat-obatan atau zat-zat kimiawi yang pernah terpapar
- Trauma kepala

6. Pemeriksaan Fisik
Anak dengan pubertas terlambat perlu diperiksa dengan saksama, untuk
menemukan penyebab fisik maupun fungsional (lihat tabel 1)
- Pengukuran pertumbuhan : eunuchoid, perawakan pendek, obesitas,
kahektis
- Sesuaikan kriteria pubertas Tanner:- Pembesaran testis (>2,5 mL) pada
anak laki diukur menggunakan Prader Orchidometeratau pembesaran
payudara pada anak wanita,.
- Rambut pubis tidak serta merta menunjukkan proses pubertas berjalan
- Evaluasi terhadap kemungkinan mikropenis
- Pelvis ultrasonografi untuk menentukan perkembangan uterus dan
ovarium
- Pemeriksaan kelenjar tiroid
- Pemeriksaan neurologis: sensori penciuman, pendengaran, medan
penglihatan, diskus optik (fundus okuli)
- Perkembangan kognitif/perilaku abnormal

61
DIVISI ENDOKRIN

- Periksa berbagai stigmata untuk kemungkinan sindrom: Turner,


Klinefelter, Prader- Willi, Kallmann’s.

7. Kriteria Diagnosis
Diagnosis pubertas terlambat gejalanya dapat berupa :
Anak wanita:
- Payudara belum tumbuh pada usia 13 tahun
- Jarak antara tumbuhnya payudara dan haid pertama lebih dari 5 tahun
- Rambut pubis belum tumbuh pada usia 14 tahun
- Belum menstruasi pada usia 16 tahun
Anak Laki:
- Tidak ada pembesaran testis pada usia 14 tahun
- Rambut pubis belum tumbuh sampai usia 15 tahun
- Dibutuhkan lebih dari 5 tahun untuk pembesaran genital

8. Diagnosis Banding
a. Hipogonadotropik Hipogonadisme
 - Constitutional Delayed of Growth &
Puberty (sering)
- Defisiensi kongenital: - Hipo-hipofisis herediter - Hipogonadotropik
Hipogonadisme Idiopatik (IHH) - Sindrom Kallmann - Sindrom Prader-
Willi, Laurence-Moon-Biedel - Kerusakan reseptor LH/FSH
- Defisiensi yang didapat: - Gangguan fungsi: penyakit kronik, anoreksia
nervosa, olah raga berlebihan, hipotiroid, hiperprolaktinemia.
- Gangguan anatomi: tumor hipofisis, kraniofaringioma, trauma kepala,
pemakaian
- obat-obatan (opiat, marijuana), penyakit invasif lain.
2. Hipergonadotropik Hipogonadisme: - Kongenital:
- Disgenesis gonad: - Sindrom Klinefelter - Sindrom Turner
- Resisten Androgen (kerusakan reseptor)
- Gangguan enzim steroidogenik - Didapat: - Kriptorkismus-
Radiasi/kemoterapi - Trauma/pasca pembedahan. - Autoimun atau pasca
infeksi (mumps, coxsackie)

9. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan antara lain :
b. Darah tepi lengkap, TSH, kortisol pagi/ sore, kimia darah, petanda radang
kronik, prolaktin.
c. Evaluasi pertumbuhan: pemeriksaan bone age (usia tulang) untuk menilai
adanya retardasi pertumbuhan. 

d. Hormon gonadotropin: LH/FSH- Kadar normal atau rendah bisa pada
CDGP atau hipogonadisme sekunder- Meningkat pada kegagalan gonad
primer- Kecuali bila normal kadarnya belum tentu menunjukkan
hipogonadisme primer bila usia-tulang (bone age) pre-pubertas.
e. CT scan kepala atau MRI otak, hipotalamus, dan hipofisis, bila diduga ada
kelainan sentral.
f. Pemeriksaan kariotip/ kromosom pada anak wanita, kemungkinan sindrom
Turner.

62
DIVISI ENDOKRIN

10. Terapi
a. Obati penyebabnya bila ditemukan
b. Tidak diperlukan pengobatan, pada sebagian besar kasus kelambatan
familial
c. Pengobatan pubertas terlambat diberikan pada laki-laki dengan rasa
rendah diri yang besar. Testosteron enanthate 125 mg im. Selama 3-6
bulan memberikan hasil yang baik (aman,tetapi pada beberapa anak laki-
laki menyebabkan retensi cairan)

Sangat sedikit pada wanita yang mengalami keterlambatan fisiologis yang


membutuhkan estrogen. Untuk anak dengan sindrom turner atau keterlambatan karena
penyakit organik, diberikan etinilestradiol, dimulai dengan dosis 5ug/hari dan perlahan-
lahan dosis ditingkatkan sampai 10-20 yug/hari diberikan pada hari 1-21 dihentikan
sampai hari ke 28 dan ditambahkan provera 5 mg/hari pada hari 12-21. Ini
menyebabkan perdarahan vagina setiap bulan (biasanya dimulai pada hari ke 23-24)

11. Komplikasi
12. Prognosis
13. Tindak lanjut
Anak laki-laki: Perlu dipantau pertumbuhan rambut pubis, percepatan
temporer pertumbuhan linier dan usia tulang, retensi Na dan air, dan lebih
banyak periode sleep apnea. Polisitemia perlu diwaspadai pada pasien dengan
kelainan kronik hepar, jantung, dan disfungsi ginjal.
Anak perempuan: Pertumbuhan payudara, sampai M3, perlu ditambahkan
progestogen untuk memicu menstruasi, percepatan pertumbuhan linier, usia
tulang, penutupan epifisis tulang. Pemberian hormon ini menurunkan efek
antikoagulan, dan bila diberikan bersama barbiturat, rifampicin atau obat yang
mempengaruhi enzim mikrosom hepar, akan menurunkan kadar estrogen yang
diserap tubuh, mungkin meningkatkan toksikologi dan efek farmakologi
kortikosteroid melalui hambatan pada enzim P450 hepar. Bila diberikan
bersama hidantoin bisa menghambat kerja hidantoin

Mengetahui/ Menyetujui Palembang, Juli 2016


Kepala Dep. Kesehatan Anak Kepala Divisi Endokrin Metabolik
RSUP Dr. Moh. Hoesin RSUP Dr. Moh. Hoesin

Dr. Yusmala Helmi, SpA(K) Dr. Aditiawati, SpA(K)

63
DIVISI ENDOKRIN

Disorders of Sex Development (DSD)


Kode ICD 10 : E.25

1. Definisi
Disorders of Sex Development (DSD) merupakan kondisi medis dengan
ketidakselarasan kromosom, perkembangan gonad, dan anatomi jenis kelamin,
sehingga perkembangan sistem reproduksi menyimpang atau atipikal.

2. Etiologi

3. Patogenesis

4. Bentuk Klinis
5. Anamnesis
Riwayat pranatal: a. Ibu mengkonsumsi seks steroid, b. Diagnosis antenatal:
androgen producing tumor, c. Virilisasi ibu
Riwayat keluarga: a. Riwayat kematian perinatal yang tidak diketahui
penyebabnya, abortus b. Riwayat genitalia ambigus, c. Gangguan
perkembangan pubertas, d. Infertilitas, e. Kosanguitas
Riwayat penyakit: a. Mulai timbulnya, b. Progresivitas c. Riwayat pertumbuhan
(adakah gagal tumbuh) dan pubertas d. Riwayat penyakit dahulu (muntah-
muntah saat perinatal) atau operasi yang pernah dijalani

6. Pemeriksaan Fisik
a. Catat derajat genitalia ambigus dengan skala Prader 0-5
• Prader 0: genitalia perempuan normal
• Prader 1: phallus membesar
• Prader 2: phallus membesar dengan lubang uretra dan vagina terpisah
secara nyata
• Prader 3: phallus membesar dengan satu lubang sinus urogenitalis
• Prader 4: phallus membesar dengan hipospadia
• Prader 5: Genitalia laki-laki normal

Gambar 1. Skala Prader untuk menentukan derajat genitalia ambigus


b. Periksa sinus urogenitalis, lubang vagina dengan teliti, hymen,
warnanya
c. Ada/tidaknya gonad, letaknya, volumenya, konsistensinya
d. Periksa lubang uretra, letaknya
e. Adakah dismorfik wajah atau gangguan perkembangan,

64
DIVISI ENDOKRIN

hiperpigmentasi
f. Tekanan darah
Keadaan-keadaan berikut ini dapat mengarahkan pada kondisi DSD:
a. Ambigus genitalia yang khas (misalnya ekstrofi kloaka)
b. Terlihat seperti genitalia perempuan dengan pembesaran klitoris, fusi
labia posterior, atau terdapat massa di inguinal/labia yang berisi gonad.
Hernia inguinalis sangat jarang pada perempuan, sehingga pikirkan
selalu adanya gonad, bila ditemukan hernia inguinalis pada anak
perempuan
c. Terlihat seperti genitalia laki-laki dengan undescended testes (UDT)
bilateral, mikropenis, hipospadia perineal, atau hipospadia ringan
dengan UDT atau skrotum yang terbelah
d. Riwayat keluarga dengan DSD
e. Riwayat pemeriksaan kromosom seks pranatal, yang tidak sesuai
dengan klinis genitalia saat lahir

7. Kriteria Diagnosis

65
DIVISI ENDOKRIN

8. Diagnosis Banding
9. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan lini pertama yang perlu dilakukan adalah analisis kromosom dengan
kariotipe, dan fluorescence in-situ hybridisation (FISH) dengan probe DNA
khusus kromosom X dan Y dengan atau tanpa pemeriksaan gen SRY. Selain itu
pemeriksaan pecitraan untuk visualisai genitalia interna, dapat berupa genitogram
dan/ atau ultrasonografi (USG), serta CT scan/ MRI bila diperlukan. Bila
ditemukan gangguan pubertas pemeriksaan aksis hipotalamus-hipofisis-gonad,
yaitu LH, FSH, testosteron atau estradiol perlu ditambahkan dalam pemeriksaan
awal ini. Pemeriksaan selanjutnya seperti yang tercantum berikut ini dilakukan
sesuai hasil pemeriksaan lini pertama. Algoritme diagnosis (Gambar 2) dapat
dipakai sebagai panduan.
Jenis-jenis pemeriksaan penunjang pada kasus DSD dapat meliputi:
1. Analisis kromosom: dengan kariotip atau FISH kromosom seks. Analisis
kromosom merupakan pemeriksaan awal yang diharapkan dilakukan pada
setiap kasus DSD
2. Gen SRY
3. Elektrolit serum, urin lengkap
4. 17 hidroksi progesteron (17-OHP)
5. Aktivitas renin plasma
6. Dihidroepiandrosteron (DHEA), androstenedion
7. Uji HCG
8. Rasio testosteron dan dihidrotestosteron (T/DHT)
9. Ultrasonografi pelvis
10. Genitogram
11. CT scan dan MRI pelvis

10. Terapi
Tujuan tatalaksana kasus DSD adalah:
- Menjamin semaksimal mungkin fertilitas/reproduksi 

- Menjamin semaksimal mungkin fungsi seksual 

- Menjamin kesesuaian hasil akhir fenotip dan psikososial dengan jenis
kelamin yang ditentukan 

Tatalaksana DSD meliputi:
a. Penentuan jenis kelamin, hanya dapat dilakukan setelah pemeriksaan
lengkap oleh tim ahli yang terdiri dari:
- Endokrin anak
- Genetik
- Obstetri ginekologi
- Psikiatri
- Psikolog
- Patologi
- Bedah Urologi/Plastik/Anak
- Radiologi, dan lain-lain
Komunikasi terbuka dengan pasien dan keluarganya sangat dianjurkan dan
diharapkan mereka diikutsertakan dalam penentuan keputusan. Perubahan
jenis kelamin dilakukan oleh pengadilan atas rekomendasi tim medis.
b. Medis : Tatalaksana medis sesuai dengan diagnosis penyebab setelah
konsultasi dengan Divisi Endokrinologi Anak: a. Terapi sulih hormon.
Perempuan dengan menggunakan estrogen, etinil estradiol ii. Laki-laki

66
DIVISI ENDOKRIN

dengan menggunakan testosteron b. Hiperplasia adrenal kongenital: i.


Hidrokortison 15-20 mg/m2/ hari dalam dosis bagi 2-3 kali/hari; ii.
Fludrokortison: 25-50 μg/hari
c. Bedah : Tujuan tatalaksana bedah adalah antara lain untuk diagnosis
(laparaskopi/laparatomi eksplorasi untuk melihat struktur genitalia
interna), juga untuk koreksi atau pengangkatan testis. Tindakan bedah
sebaiknya dilakukan oleh tenaga ahli yang khusus telah dilatih dalam
menghadapi kasus khusus seperti DSD. Tindakan bedah koreksi hanya
dilakukan pada virilisasi berat (Prader III-IV), sekaligus dengan koreksi
sinus urogenitalis. Tindakan tersebut diharapkan memperhatikan fungsi
ereksi, dan inervasi klitoris, dan tidak hanya memperhatikan gambaran
kosmetik saja. Pada pasien HAK perempuan tindakan ini biasanya dapat
dilakukan saat terapi hormonal pengganti dimulai. Vagina yang letaknya
rendah dapat dikoreksi dengan tindakan bedah lebih dini, tapi dapat pula
ditunda sampai usia 1 tahun atau bahkan lebih.
Waktu dan indikasi pembedahan pada kasus DSD ditentukan oleh tim ahli
multidisipliner, karena sangat tergantung pada tiap kasus yang dihadapi.
Pada anak lelaki, testis yang tidak turun dan diputuskan untuk
dipertahankan, sebaiknya diturunkan ke skrotum saat biopsi gonad awal.
Koreksi korda dan uretroplasti pada anak lelaki dengan hipospadia biasanya
dilakukan di usia antara 6-18 bulan. Pengangkatan testis dianjurkan untuk
dilakukan segera setelah lahir pada bayi dengan SIA parsial atau disgenesis
testis, yang ukuran phallusnya sangat kecil, sehingga diputuskan untuk
dibesarkan sebagai perempuan. Rekomendasi waktu pengangkatan testis
ini berbeda sesuai kasusnya.
d. Psikososial
Tatalaksana psikososial merupakan bagian integral dari tatalaksana DSD.

11. Komplikasi
12. Prognosis
13. Tindak lanjut
14. Daftar Pustaka
- Low Y, Hutson JM, Murdoch children research institute sex study group.
Rules for clinical diagnosis in babies with ambiguous genitalia. J Pediatr
Child Health. 2003;39:406-13. 

- Lee PA, Houk CP, Ahmed SF, Hughes IA. Consensus statement on
management of intersex disorders. Pediatrics, 2006;118:e488-e500. 

- American Academy of Pediatris: Committee on Genetics, Section on
Endocrinology and Section on Urology. Evaluation of the newborn with
developmental anomalies of external genitalia. Pediatrics. 2000;106:138-
42.
- Hyun G, Kolon TF. A practical approach to intersex in the newborn
period. Urol Clin N Am. 2004;435- 43.
- Houk CP, Hughes IA, Ahmed SF, Lee PA dan Writing Committee for the
International Consensus Conference Participants. Summary of consensus
statement on intersex disorders and their management. Pediatrics.
2006;118:753-7.
- Marzuki NS,Tridjaja B. Disorders of Sexual Development (Gangguan
Perkembangan Sistem Reproduksi). Dalam: Lubis B, Ali M, Yanni GN,
Trisnawati Y, Ramayani OR, Irsa L, dkk, penyunting. Kumpulan Naskah

67
DIVISI ENDOKRIN

Lengkap PIT IV IKA Medan 2010. Medan: USU Press, 2010.h.552-69.

Mengetahui/ Menyetujui Palembang, Juli 2016


Kepala Dep. Kesehatan Anak Kepala Divisi Endokrin Metabolik
RSUP Dr. Moh. Hoesin RSUP Dr. Moh. Hoesin

Dr. Yusmala Helmi, SpA(K) Dr. Aditiawati, SpA(K)

68
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

3
GASTROENTEROHEPATOLOGI

DIARE AKUT ...................................................................................................... 3

DIARE KRONIK .................................................................................................. 9

PENYAKIT HIRSCHPRUNG (CONGENITAL AGANGLIONIK MEGACOLON) . 13

GASTRITIS DAN DYSPEPSIA ........................................................................... 15

OBSTRUKSI USUS ............................................................................................ 17

INVAGINASI ........................................................................................................ 19

PERDARAHAN SALURAN CERNA ................................................................... 21

KOLESTASIS ...................................................................................................... 24

KONSTIPASI ....................................................................................................... 29

NYERI / SAKIT PERUT ....................................................................................... 32

KOLESISTITIS .................................................................................................... 36

PERITONITIS TUBERCULOSA .......................................................................... 38

INFEKSI HELICOBACTER PYLORI ................................................................... 41

DIVERTICULUM MECKEL ................................................................................. 43

AKALASIA ESOFAGUS ..................................................................................... 45

KISTA DUKTUS KOLEDUKTUS ........................................................................ 48

KOLITIS ULSERATIF ......................................................................................... 50

HIPERTROFI STENOSIS PYLORUS ................................................................. 52

KERACUNAN MAKANAN / MINUMAN .............................................................. 54

1
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

2
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

Diare Akut
ICD 10 : A00-A09

Pengertian
Kumpulan penyakit dengan gejala diare, yaitu defekasi dengan feses cair atau lembek dengan/tanpa
lendir atau darah, dengan frekuensi 3 kali atau lebih sehari, berlangsung kurang dari 14 hari, kurang
dari 4 episode/bulan. Perubahan konsistensi feses menjadi lebih lembek/cairdan frekuensi defekasi
lebih sering menurut ibu.

Anamnesis
Frekuensi BAB: 3 kali atau lebih, konsistensi feses cair atau lembek (konsistensi feses cair tanpa
ampas walaupun hanya sakali dapat disebut diare), jumlah feses, ada tidaknya muntah, gejala-gejala
klinik lain (batuk-pilek, panas, kejang, dan lain-lain), riwayat masukan cairan sebelumnya, minum
lahap atau malas minum.

Pemeriksaan Fisis
Tanda-tanda dehidrasi, komplikasi, penyakit penyulit (bronkopneumoni, bronkiolitis, malnutrisi,
penyakit jantung dan dekompensasi kordis, dan : keadaan umum (gelisah, cengeng, rewel, letargi,
tampak sakit berat), frekuensi nadi, suhu, frekuensi nafas (tanda asidosis atau adanya penyakit
penyulit). Pemeriksaan yang meliputi keadaan umum pasien, status dehidrasi, pemeriksaan abdomen,
ekskoriasi pada bokong, dan manifestasi kulit. Penting untuk mengukur berat badan, tinggi badan,
lingkar kepala, perbandingan berat badan terhadap tinggi badan, gejala kehilangan berat badan,
menilai kurva pertumbuhan, dan sebagainya.

Kriteria Diagnostik
1. Diare kurang dari 14 hari
2. Ada tidaknya darah dalam feses
3. Tanda-tanda dehidrasi (keadaan umum gelisah atau letargi, kelopak mata cekung, minum lahap
atau tidak mau, turgor kembali dibawah 1 detik atau 1 samapi 2 detik atau lebih dari 2 detik)

Diagnosis
Diare akut dehidrasi (derajat dehidrasi dibagi menjadi: tanpa dehidrasi, ringan sedang, dan berat)

Diagnosis Banding
Diare akut dehidrasi (atau diare cair akut dehidrasi)
Disentri dehidrasi
Diare prolong dehidrasi
Diare akut dengan penyulit (BP, bronkiolitis, decompensasi kordis, malnutrisi berat, ensefalitis, dan
menengitis)

Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin, feses rutin, dan urin rutin atas indikasi
Elektrolit dan atau gas darah atas indikasi

Terapi
1. Rehidrasi
2. Obat-obatan
3. Diet

3
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

4. Edukasi
Rehidrasi (Terapi cairan dan elektrolit) :
Koreksi cairan dan elektrolit dibedakan 2 macam:
1. Diare akut murni (diare cair akut).
2. Diare akut dengan penyulit/komplikasi.
Ad 1. Diare akut murni
Diare akut dehidrasi ringan sedang menggunakanoralit pada dengan dosis 75 ml/kgBB/4 jam, jika
gagal upaya rehidrasi oral (URO) mengunakan IVFD dengan cairan ringer laktat dosis 75 ml/kgBB/4
jam
Diare akut dehidrasi berat dapat mengunakan salah satu cara
1. Cairan ringer laktat dengan dosis 30 ml/jam/kgBB sampai tanda-tanda dehidrasi hilang(target
4jam atau 120 ml/kgBB).
2. Umur 1 sampai 11 bulan: 30 ml/kgBB dalam satu jam pertama, selanjutnya 70 ml/kgBB dalam 5
jam. Setelah bayi bisa minum tambahkan oralit 5 ml/kgBB/jam.
Umur 1 tahun ke atas: 30 ml/kgBB dalam 30 menit pertama, selanjutnya 70 ml/kgBB dalam 2,5
jam. Setelah anak bisa minum tambahkan oralit 5 ml/kgBB/jam.
Monitoring rehidrasi dilakukan setiap jam, jika tanda-tanda dehidrasi hilang, rehidrasi dihentikan.
Ad 2. Pada diare akut dengan penyulit :
Menggunakan modifikasi Sutejo dengan cairan yang mengandung: Na: 63,3 mEq/L. K: 10,4mEq/L,
CI: 61,4 mEq/L, HCO3: 12,6 mEq/L(mirip cairan KAEN 3A).
Koreksi diberikan secara intravena dengan kecepatan :
Diare akut dengan penyulit dengan dehidrasi ringan-sedang :
4 jam I : 50 cc/kg BB.
20 jam II : 150 cc/kgBB.
Atau dapat diberikan dengan kecepatan yang sama 200 cc/kgBB/hari
Diare akut dengan penyulit dehidrasi berat :
4 jam I : 60 cc/kg BB.
20 jam II : 190 cc/kgBB.
Rehidrasi yang diberikan perhari tetap dimonitoring. Rehidrasi dihentikan jika status rehidrasi telah
tercapai (tidak ada tanda-tanda dehidrasi). Diare akut dengan penyulit dengan dehidrasi ringan-sedang
memerlukan cairan rehidrasi antara 150 – 200 ml/kgBB/hari sedangkan dehidrasi berat 250
ml/kgBB/hari. Kebutuhan cairan rehidrasi untuk anak yang lebih besar (lebih dari 10 kg) kurang dari
nilai tersebut, sebagai patokan praktisnya adalah dehidrasi ringan-sedang memerlukan 1,5 sampai 2
kali kebutuhan maintenance (misalnya anak 20 kg, kebutuhan maitenancenya adalah 1500 mlyang
berarti kebutuhan rehidrasinya 2250-3000ml), sedangkan dehidrasi berat 2,5 kali maintenance.

Terapi medikamentosa :
Diberikan preparat zink elemenal, untuk usia < 6 bulan sebanyak 1 x 10 mg dan usia ≥ 6 bulan
sebanyak 1 x 20 mg selama 10-14 hari. Obat-obatan antimikroba termasuk antibiotik tidak dipakai
secara rutin pada penyakit diare akut. Patokan pemberian antimikroba/antibiotika adalah sebagai
berikut :
1. Kolera.
2. Diare bakterial invasif.
3. Diare dengan penyakit penyerta.
4. Diare karena parasit/jamur.
5. Bayi umur kurang dari 3 bulan

4
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

Ad. 1. Kolera :
Semua penderita yang secara klinis dicurigai kolera diberi Tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari
dibagi 4 dosis selama 3 hari.
Ad. 2. Diare bakterial invasif :
Secara klinis didiagnosis jika :
Panas lebih dari 38,5oC dan meteorismus.
Ada lendir dan darah dalam tinja secara makroskopis maupun mikroskopis.
Leukosit dalam tinja secara mikroskopis 10/lpb atau lebih atau ++
Antibiotika yang dipakai sementara menunggu hasil kultur :
 Klinis diduga ke arah Shigella (setiap diare yang disertai darah dapat dianggap
shigelosis, jika tidak ada tanda klinis yang khas untuk penyakit lainya atau belum
dapat dibuktikan infeksi lainnya, melalui kultur) diberi Nalidixid acid
55mg/kgBB/hari diberi 4 dosis selama 10 hari atau Ciprofloxacin 30 mg/kgBB/hari
dibagi 2 dosis selama 5 hari. Jika tidak ada perbaikan dalam 48 jam, antibiotik diganti
dengan ceftriakson 100 mg/KgBB/ hari sekali sehari atau Azitromizin 10
mg/kgBB/hari 1x sehari selama 3 hari.
 Klinis diduga ke arah Salmonella diberikan Kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari dibagi 4
dosis selama 10 hari.
 Klinis diduga amubiasis, segera dilakukan pemeriksaan preparat langsung tinja: jika
ditemukan bentuk trofozoit dengan RBC di dalam sitoplasmanya diberikan
metronidazol dengan dosis 50 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis.
Ad. 3. Penyakit penyerta diobati sebagaimana mestinya.
Ad. 4 Untuk penyakit parasit diberikan :
 Amubiasis diberikan Metronidazole 50 mg/kbBB/hari dibagi 3 dosis selama 5-7 hari.
 Helminthiasis: untuk Ascaris/Ankylostoma/Oxyuris: Pyrantel Pamoate 10
mg/kgBB/hari dosis tungga1 atau albendazole 400 mg dosis tunggal untuk anak lebih
dari 2 tahun.
Untuk Trichuris : Mebendazole 2 X l00 mg selama 3 hari.
 Giardiasis : Metronidazole 15 mg/kgBB/hari selama 5 hari.
Untuk penyebab jamur diberikan :
Candidiasis diberikan Nistatin :
- Kurang dari 1 tahun : 4 X 100.000 IU se1ama 5 hari.
- Lebih dari 1 tahun : 4 X 300.000 IU se1ama 5 hari.

Patokan koreksi cairan melalui NGD (Nasogastrik Drip) adalah :


 Nadi masih dapat diraba dan masih dapat dihitung.
 Tidak ada meteorismus.
 Tidak ada penyulit yang mengharuskan menggunakan cairan IV
 Dikatakan gagal jika dalam 1 jam pertama muntah dan diare terlalu banyak atau syok
bertambah berat.

5
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

Skema 1. Beberapa Penyulit Gastroenteristis Akut dan Penanggulangannya.


Jenis/Cara
Terapi
Jenis Penyulit Pemberian Jumlah Cairan Ket
Medikametosea
Cairan
Gizi kurang RL Sesuai GEA nurni Sesuai kausa/
penyakit penyerta
Gizi buruk Modifikasi Maras : 250 cc/kgBB *
Sutejo Kwash : 200 cc/kgBB
Bronko Modifikasi ¾ Kebutuhan Sesuai BP **
Pneumonia Sutejo
Ensefalitis Modifikasi ¾ Kebutuhan Sesuai Ensefalitis
Sutejo
Meteorismus Modifikasi ¾ Kebutuhan Antibiotik ***
Sutejo profilaksis
Miningitis Modifikasi ¾ Kebutuhan Sesuai menpur
Purulenta Sutejo
Dehidrasi Sesuai skema 3 Sesuai skema 3 Sesuai etiologi ****
hipotonis
Gagal Sesuai GGA 30 cc kg/BB + volume urin 1 hari Sesuai GGA
Ginjal Akut sebelumnya + 12% setiap kenaikan
suhu 10 C
Impending Cairan rendah ¾ Kebutuhan Digitalisasi
Decomp Cordis natrium

* Jika anak tidak bisa minum, tetapi jika anak bisa minum dapat mengunakan tatalaksana diare
pada gizi buruk
** Diberikan pada bronkopneumonia dimana anak sangat sesak dan sistim kardiovaskuler tidak
mungkin menerima terapi rehidrasi cepat.
*** Akibat lanjut dari meteorismus adalah terjadinya ballooning effect, langkah-langkah; untuk
mengatasi ini adalah dengan melakukan dekompresi :
Dari atas dengan sonde lambung yang dihisap secara berkala.
Dari bawah dengan memasang selang rektal.
Menghentikan makanan peroral (sesuai dengan beratnya meteorismus) dan memberi makanan
parenteral sedini mungkin.
**** Dasar klinis diagnosis dehidrasi hipertonis :
1. Klinis : turgor yang relatif baik, hiperiritabel, rasa haus yang sangat nyata, kejang yang biasanya
timbul setelah terapi cairan.
2. Labor : kadar Na* serum 1ebih dari 150 meq/l.

6
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

Skema 2. Terapi Cairan Dehidrasi Hipertonik.


Target Jenis Cairan
Jumlah Nadi
Waktu
Cairan Kecepatan Fili- Ca Glukonas
(Jam) 120- 140-
(ml) 120 > 160 formi
140 160
s
1 15 3¾ tts/kgBB/ menit DG RL RL Rl RL 5 –10 cc
2 15 Idem DG DG RL RL RL
3 15 Idem DG DG DG RL RL
4 15 Idem DG DG DG DG RL
Jam ke-9 : 5-10
190 cc
5 s/d 24 23/8 tts/ kgBB/ menit
Jam ke-17 : 3-10
cc
Cairan DG = KAEN 3A

Edukasi
Pendidikan kesehatan dilakukan pada saat visite dan di ruangan khusus dimana orangtua penderita
dikumpulkan.
Pokok ceramah meliputi :
 Usaha pencegahan diare dan KKP.
 Usaha pertolongan untuk mencegah dehidrasi pada diare dengan menggunakan oralit dan
cairan.
 Imunisasi.
 Keluarga berencana.
Penderita dipulangkan :
 Bi1a yakin ibu sudah dapat/sanggup membuat/memberikan oralit kepada anak dengan cukup
wa1aupun diare masih berlangsung.
 Kausa diare/penyakit penyerta sudah diketahui dan diobati (tidak mutlak)

Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad sanationam : bonam

Kepustakaan
1. Pudjiadi A, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, dkk. Pedoman pelayanan medis
IDAI. IDAI 2010. H 58-62.
2. Nelson Pediatric Text Book King CK, Glass R, Bresee JS, Duggan C. Managing acute
gastroenteritis among children oral rehydration: maintenance, and nutritional therapy. Centers for
disease control and prevention. MMWR. 2003;52:1-29.
3. Dep Kes RI, Dirjen PP & PL. Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 1216/Menkes/SK/XI/2001
Tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare, Edisi ke 5, Tahun 2007
4. Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
5. Nelson Pediatric Text Book Fortaine O, Newton C. A revolution in the management of diarrhea.
Bull WHO. 2001; 79: 471-9.

7
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

6. Santosham M, Duggan C, Brown KH, Greenough III WB. Management of acute diarrhea. Dalam:
Wyllie R, Hyams JS, penyunting. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease: Pathophysiology,
Diagnosis, Management. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders; 2006. H. 557-81.
7. World Health Organization. Guideline for the control of shigellosis, including epidemics due to
shigella dysenteriae type 1. WHO; 2003. H. 1-70.

Mengetahui
Kepala Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K) dr. Hasri Salwan, SpA(K)


NIP.195801261985032001 NIP. 19670123 196603 1 003

8
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

Diare Kronik
ICD 10 : A06

Pengertian
Diare kronik adalah diare berlangsung 14 hari atau lebih, dapat berupa diare cair atau disentri. Diare
akut dengan episode serangan 4 kali atau lebih dalam sebulan.
Dibagi 2 : diare persisten dengan sebab infeksi, diare kronik dengan sebab non-infeksi.

Anamnesis
Riwayat penyakit: saat mulainya diare, frekuensi diare, kondisi tinja meliputi penampakan,
konsistensi, adanya darah atau lendir, gejala ekstraintestinal seperti gejala infeksi saluran pernafasan
bagian atas, failure to thrive sejak lahir (cystic fibrosis), terjadinya diare sesudah diberikan susu.
Buah-buahan (defisiensi sukrase-isomerase), hubungan dengan serangan sakit perut dan muntah
(malrotasi), diare sesudah gangguan emosi atau kecemasan (irritable colon syndrome), nyeri abdomen
berulang yang berat (insufisiensi pankreas yang berat), riwayat pengobatan antibiotika sebelumnya
(enterokolitis pseudomembranosa). Kelompok umur dapat memprediksi penyakit. Bayi muda: diare
intraktabel pada bayi, alegi protein susu sapi atau kedelai, enteritis karena infeksi yang
berkepanjangan, atrofi vilus idiopatik, penyakit Hirschrprung, defek transpor kongenital. Anak 2 tahun
keatas, kolon irritabel (irritable colon of infancy, chronic nonspesific diarrhea), enteritis karena virus
yang berkepanjangan, giardiasis, difisiensi sukrase-isomaltase, tumor sekretori, inflamatory bowel
disease, dan penyakit siliak.

Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan meliputi keadaan umum, status dehidrasi, pemeriksaan abdomen, ekskoriasi bokong,
manifestasi kulit. Penting untuk mengukur berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, perbandingan
berat badan terhadap tinggi badan, gejala kehilangan berat badan, menilai kurva pertumbuhan, dan
sebagainya. Tanda;tanda khas: anemia (inflamatory bowel disease, penyakit siliak, fibrosis kistik),
artritis (inflamatory bowel disease), pubertas terlambat (penyakit Crohn), gagal tumbuh (penyakit
Crohn, malabsorpsi lemak), panas (inflamatory bowel disease, gastroentritis karena infeksi).

Kriteria Diagnostik
 Ananmesis
 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan penunjang

Diagnosis
Diare kronis/persisten dehidrasi (derajat dehidrasi sama dengan diare akut)

Diagnosis Banding
Diare kronis
Diare persisten dehidrasi (sesuai derajat dehidrasi)

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan tinja :
 Makroskopis: warna, konsistensi, adanya darah, lendir.
 Mikroskopis :

9
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

 Darah samar dan leukosit yang positif (≥ 10/lpb) menunjukkan kemungkinan adanya
peradangan pada kolon bagian bawah.
 PH tinja yang rendah menunjukkan adanya maldigesti dan malabsorbsi karbohidrat di
dalam usus kecil yang diikuti fermentasi oleh bakteri yang ada di dalam kolon. PH rendah
(<5,3): reduksi tinja akibat maldigesti dan malabsorpsi KH, pH 6,0-7,5: malabsorbsi asam
amino, asam lemak
 Clinitest, untuk memeriksa adanya substansi reduksi dalam sampel tinja yang masih baru,
yang menunjukkan adanya malabsorbsi karbohidrat.
 Uji kualitatif ekskresi lemak di dalam tinja dengan pengecatan butir lemak, merupakan
skrining yang cepat dan sederhana untuk menentukan adanya malabsorbsi lemak.
 Biakan kuman dalam tinja, untuk mendapat informasi tentang flora usus dan kontaminasi.
 Pengecatan gram: bakteri (mengetahui bakteri dominan), jamur, parasit tinja (amoeba,
giardia, telur cacing/ cacing sebagai etiologi langsung). Beberapa parasit perlu dikultur
 Elektrolit tinja: Stool anion gap = 290 – 2 ([Na]+[K]), jika osmotik > 50, sekretorik < 50.
Osmolalitas tinja:< 250 : kontaminasi dengan air/urin: fistula, banyak minum, > 290 :
metabolismekarbohidrat oleh bakteri: overgroth kuman, penyimpanan lama
b. Pemeriksaan darah: darah rutin, elektrolit (Na, K; Cl) dan bicarbonate, albumin, kadang
diperlukan pemeriksaan kadar serum, dll. Eosinofil tinggi: gastroenteritis eosinofilik, alergi
makanan, infeksi parasit. Netropenia: sindroma Sluvachman. Hb dan albumin rendah, dan LED
tinggi menunjukkan penyakit organik. Anemia: sindroma malabsorpsi. Anemia hipokrom
mikrositer: peradarahan kronis, malabsorpsi Fe. Anemia megaloblast: penyakit Seliak,
malabsorpsi kronik B12 dan asam folat,LED dan CRP tinggi: IBD. B12 rendah: bacterial
overgrowth, Albumin dan protein lainnya rendah: malnutrisi, malabsorpsi, protein losing
enterophati, IgG campilobacter pylorik. Imunodefisiensi: HIV, malnutrisi.
c. Breath hydrogen test, untuk evaluasi malabsorbsi karbohidrat, overgrowth kuman.
d. Pemeriksaan radiologi :
Pemeriksaan radiologi saluran gastrointestinal membantu mengidentifikasi cacat bawaan
(malrotasi, stenosis) dan kelainan-kelainan seperti limfangiektasis, inflammatory bowel disease,
penyakit Hirschsprung, enterokolitis nekrotikans.
e. Kolonoskopi : memeriksa kelainan mukosa kolon, seperti inflamatory bowel diseease, dan lain-
lain

Terapi
Umum dan Dietetik.
a. Nutrisi enteral :
 Alimentasi enteral merupakan cara yang paling efektif dan dapat diterima untuk
mempertahankan dan mencukupi kebutuhan nutrisi penderita anak dengan saluran pencernaan
yang masih berfungsi. Jalur enteral dapat ditempuh melalui oral atau nasograstrik, nasojejunal,
gastrostomi atau jejunostomi dengan feeding tube
 Pemilihan formula diet yang diberikan secara enteral dapat dikategorisasikan dalam 3 macam
diet:
i. Diet polimerik, yang mengandung protein sebagai sumber protein dan dipakai untuk
pasien dengan fungsi usus yang normal.
ii. Diet elemental, yang mengandung nutrient dengan berat molekul rendah dan dipakai
untuk pasien dengan gangguan fungsi gastrointestinal.
iii. Diet formula khusus, yang mengandung kadar tinggi asam amino rantai bercabang untuk
pemakaian pada ensefalopati hepatik dan pasien dengan perubahan kadar asam amino lain
atau kesalahan metabolisme bawaan (inborn errors of metabolism)

10
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

 Kandungan formula yang ditetapkan meliputi:


i. Karbohidrat
Karbohidrat dipecah oleh enzim oligosakaridase dalam mikrovili menjadi monosakarida
yang akan diabsorbsi ke dalam enterosit. Terdapat 4 enzim oligosakaridase yang berbeda
dalam mikrovili yaitu maltase (glukosa amilase/glukosa a-dekstrinase), lactase dan
trehalase. Semua enzim ini berkurang pada penyakit yang mengenai mukosa usus halus.
Lactase paling mudah berubah dan paling akhir pulih apabila terjadi kerusakan mukosa.
ii. Lemak
Lemak merupakan nutrien yang paling padat kandungan kalorinya. Pemberian lemak
pada penderita diare kronik sangat penting karena sering disertai keterbatasan pemasukan
kalori.
iii. Protein
Kebutuhan protein dapat dipenuhi dengan penggunaan protein utuh, protein hidrolisat,
asam amino atau gabungan.
iv. Vitamin dan mineral
Kekurangan vitamin dan mineral dapat terjadi pada anak, walaupun pemasukan kalori
cukup, jika terdapat malabsorbsi lemak atau terjadi interaksi obat/diet yang sangat
khusus.
 Formula yang paling baik diberikan pada diare kronik ialah yang mengandung glukosa primer
(bebas laktosa), protein hidrolisat, medium chain triglyceride, osmolaritas kurang dari 600
mOsm/l dan bersifat hipoalergik atau yang mengandung short chain peptide (Pregestimil,
Pepti Yunior).
 Menaikkan jumlah formula dilakukan perlahan-lahan. Mula-mula dianjurkan konsentrasi 1/3
oral (2/3 IV), selanjutnya dinaikkan menjadi 2/3 oral (1/3 IV), dan bila keadaan sudah cukup
baik (kenaikan BB minimal 1 kg) diberikan pregestimil/ pepti yunior dalam konsentrasi
penuh.
 Pemberian melalui pipa nasogastrik diperlukan apabila bayi/anak tidak mampu atau tidak mau
menerima makanan secara oral, namun keadaan saluran gastrointestinalnya masih berfungsi.
Pemberian nutrisi dilakukan dengan meningkatkan secara bertahap kecepatan dan kadar
formula sampai mencapai kebutuhan nutrisi anak.
Komplikasi nutrisi enteral : hidrasi berlebih, hiperglikemia, azotemia (konsumsi protein
berlebih), hipervitaminosis K, dehidrasi sekunder karena diare, gangguan elektrolit dan
mineral (terutama akibat muntah dan diare), gagal tumbuh sekunder akibat pemasukan energi
tidak cukup, dan aspirasi, serta defisiensi nutrisi sekunder karena kesalahan formula.

b. Nutrisi Parenteral
 Nutrisi parenteral merupakan teknik untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh melalui jalur
intravena. Nutrien khusus terdiri atas air, dekstrosa, asam amino, emulsi lemak, mineral,
vitamin, trace elemen. Jalur ini jangan digunakan apabila penderita masih mempunyai saluran
gastrointestinal yang masih berfungsi serta masih dimungkinkan pemberian secara peroral,
enteral atau gastrostomi. Pada umumnya tidak digunakan untuk waktu kurang dari 5 hari.

Medikamentosa :
a. Obat anti diare (kaolin, pectin, difenoksilat) tidak perlu diberikan karena tidak satupun yang
memberikan efek positif.
b. Obat anti mikroba :
Pemberian anti mikroba umumnya tidak dianjurkan, bahkan dapat mengubah flora usus dan
memperburuk diare, kecuali pada neonatus, anak dengan sakit berat (sepsis), anak dengan

11
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

defisiensi imunologi dan anak dengan diare kronis yang sangat berat. Metronidazole efektif untuk
Giardia lamblia.
c. Kortikosteroid :
Pada anak dengan colitis ulseratif, pemberian enema steroid pada tahap awal memberikan respon
yang baik, dan pada beberapa anak mendapat kombinasi dengan steroid sistemik.
d. Immunosupressif, seperti Azathioprine digunakan pada penyakit Chron apabila pengobatan
konvensional tidak mungkin.
e. Kolestiramin
Penggunaan kolestiramin sangat bermanfaat pada diare kronik, terutama malabsorbsi asam empedu
serta pada infeksi usus karena bakteri (mengikat toksin).
f. Operasi
Indikasi operasi adalah pada diare kronis pada kasus-kasus bedah seperti penyakit Hirschprung,
enterokolitis nekrotikans. Operasi hanya dilakukan setelah keadaan umum membaik.
Tatalaksana diare persisten meliputi mengatasi infeksi persisten dengan mengunakan hasil kultur
dan resistensi feses (sebelumnya dapat dipertimbangkan mengunakan antibiotik empiris), mengatasi
intoleransi laktosa dengan mengunakan diet yang bebas laktosa, mencegah atau mengatasi alergi
protein susu sapi, mencegah atau mengatasibakteri tumbuh lampau (dapat dipertimbangkan pengunaan
metronidazol), dan mengatasi malabsorpsi nutrien dengan memberikan multivitamin

Edukasi
Seperti pada diare akut

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

Kepustakaan
1. Pudjiadi A, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, dkk. Pedoman pelayanan medis
IDAI. IDAI 2010. H 58-62.
2. Dep Kes RI, Dirjen PP & PL. Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 1216/Menkes/SK/XI/2001
Tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare, Edisi ke 5, Tahun 2007
3. Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
4. Nelson Pediatric Text Book Fortaine O, Newton C. A revolution in the management of diarrhea.
Bull WHO. 2001; 79: 471-9.
5. Santosham M, Duggan C, Brown KH, Greenough III WB. Management of acute diarrhea. Dalam:
Wyllie R, Hyams JS, penyunting. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease: Pathophysiology,
Diagnosis, Management. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders; 2006. H. 557-81.
6. World Health Organization. Guideline for the control of shigellosis, including epidemics due to
shigella dysenteriae type 1. WHO; 2003. H. 1-70.

Mengetahui
Kepala Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K) dr. Hasri Salwan, SpA(K)


NIP.195801261985032001 NIP. 19670123 196603 1 003

12
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

PENYAKIT HIRSCHPRUNG (CONGENITAL AGANGLIONIK MEGACOLON)


ICD 10 : Q.43.1

Pengertian
Suatu keadaan tidak ditemukannya sel ganglion Aurbach dan Meissner pada dinding kolon

Anamnesis
Riwayat mekonium terlambat dan atau defekasi yang jarang pada masa neonatus memperkuat
diagnosis penyakit Hirschsprung. Riwayat kelahiran dengan mekonium terlambat keluar, atau keluar
pada minggu pertama sehingga terjadi obstruksi parsial dan total (dengan gejala feses tidak dapat
dikeluarkan, distensi abdomen, dan muntah). Gambaran klinis obstruksi total pada masa neonatus
menunjukkan segmen yang terlibat lebih panjang. Gambaran klinis konstipasi setelah masa neonatus,
penyakit hirschsprung sebagai penyebab dipikirkan setelah penyebab yang lebih sering (misalnya
hipotiroid) disingkirkan

Pemeriksaan Fisis
Gambaran klinis obstruksi parsial saluran cerna bagian bawah: frekuensi defekasi jarang, kembung,
dan kadang-kadang muntah. Nyeri perut jarang ditemukan pada penyakit ini. Colok dubur didapatkan
hasil: jari merasakan jepitan (karena kontriksi usus aganglionik) dan saat jari dikeluarkan diikuti oleh
keluarnya udara dan mekonium feses yang menyemprot (feses yang menyemprot terutama didapatkan
pada pemeriksaan colok dubur pertama kali, feses berbentuk pasta lebih mudah dikenali). Gambaran
klinis pada anak yang lebih besar adalah gejala konstipasi kronis (pada yang ultrashort dapat
menyerupai konstipasi fungsional), kadang-kadang diare dan biasanya disertai gagal tumbuh

Kriteria Diagnostik
 Anamnesis
 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan penunjang

Diagnosis
Penyakit Hirschsprung segmen pendek
Penyakit Hirschsprung segmen panjang
Penyakit Hirschsprung segmen ultrashort

Diagnosis Banding
Konstipasi idiopatik
Obstruksi parsial saluran cernah bawah lainnya

Pemeriksaan Penunjang
Foto polos abdomen terlihat gambaran usus-usus melebar atau gambaran obstruksi usus letak rendah.
Foto barium enema teknik hirschprung ditemukan daerah transisi antara usus yang melebar dan yang
menyempit (gambaraan ini khas untuk penyakit hirschsprung, tetapi tidak jelas jika terjadi
enterokolitis), gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di segmen yang menyempit. Foto barium
enema pada enterokolitis yang berhubungan dengan Hirschsprung: cupping tidak jelas, mukosa usus
irreguler (seperti mata gergaji). Gambaran foto polos terutama posisi tegak, adanya “cut off sign” air
dan udara di kiri bawah abdomen mengarah ke diagnosis entrokoloitis. Diagnosis pasti dengan biopsi
rektal, dengan gambaran PA tidak ditemukan sel ganglion di submukosa

13
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

Terapi
Washing atau irigasi dengan NaCl fisiologis dilakukan jika terdapat distensi abdomen. Kolostomi
dilakukan jika abdomen tetap kembung dan keluarga tidak dapat melakukan irigasi, diikuti (dalam 3
sampai 6 bulan) operasi difinitif Pullthrough, pada usia 6-12 tahun dengan metode Swenson Duhamel.

Edukasi
Menjaga rektum tetap kosong dengan melakukan irrigasi rektal yang teratur pada penderita yang
belum dilakukan kolonostomi
Perawatan stoma pada penderita yang dilakukan kolonostomi
Mencegah atau mengetahui komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita yang sudah melakukan
operasi definitif

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

Kepustakaan
1. Raffensperger JG. Swenson’s Pediatric Surgery, fifth edition. Norwalk, Appleton & Lange, 1990.
2. Walker WA, Sherman PM. Pediatric Gastrointestinal Disease, Fourth Edition. Ontario, BC Decker
Inc, 2004
3. Wyllie R, Hyams JS. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease. Third Edition. Netherlands,
Saunders, 2006

Mengetahui
Kepala Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K) dr. Hasri Salwan, SpA(K)


NIP.195801261985032001 NIP. 19670123 196603 1 003

14
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

GASTRITIS DAN DYSPEPSIA


ICD 10 : K29, K50-K55

Pengertian
Gastritis adalah inflamasi pada dinding gaster terutama pada lapisan mukosa gaster yang dibuktikan
dengan endoskopi. Jika belum dibuktikan dengan endoskopi didiagnosis sebagai dispepsia. Dispepsia
dapat diakibatkan oleh esofagitis, gastritis dan duodenitis

Anamnesis
Nyeri epigastrium, mual, kembung dan muntah, riwayat penggunaan obat obatan dan makanan

Pemeriksaan Fisis
Nyeri tekan epigastrium tidak selalu ditemukan

Kriteria Diagnostik
Diagnosis gastritis dibuat berdasarkan gejala klinis adanya dispepsia, mual dan nyeri epigastrik dan
dibuktikan dengan endoskopi (EGD)

Diagnosis
Gastritis dan Dyspepsia

Diagnosis Banding
 Dispepsia fungsional
 Gastritis
 Esofagitis
 Duodenitis

Pemeriksaan Penunjang
Dispepsia dengan keluhan yang berat, tidak sembuh dengan obat-obat penekan asam lambung, kronik,
atau berulang dilakukan pemeriksaan endoskopis.

Terapi
1) Terapi diet disesuaikan dengan toleransi penderita, sebaiknya lunak, mudah dicerna dan tidak
merangsang.
2) Terapi obat, diberikan berdasarkan gejala yang predominan. Obat-obatan yang dapat di berikan :
 Untuk mengurangi faktor agresi asam lambung diberikan obat-obatan peroral: antasida 4 ka1i
sehari, simetidin 5-10 mg/kgBB/kali sebanyak 4 kali sehari atau ranitidin 2-3 mg/kbBB/dosis
diberikan 2-3 kali perhari (maksimum 300 mg/hari), omeprazol 1-1,5 mg/kgBB/hari dalam 1-2
dosis (maksimum 2 x 20 mg perhari), lanzoprazole 1-1,5 mg/kgBB/hari dalam 1-2 dosis
(maksimum 2 x 30 mg perhari).
 Jika terjadi perdarahan saluran cerna atas dapat diberikan sucralfate 40-80 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 4 dosis (maksimum 1000 mg dibagi 4 dosis).
 Untuk menekan muntah yang berlebihan diberikan metoklopramid 0,15-0,3 mg/kgBB/kali
sebanyak 4 kali sehari, domperidon 0,25-0,5 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis, ondansentron
0,1-0,15 mg/kgBB/kali sebanyak 3 kali sehari.

15
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

 Antibakterial diberikan untuk eradikasi Hylicobacter pylori, diberikan Amoxicilin 50


mg/kgBB/hari 4 kali sehari, Clarithromycin 7,5-15 mg/kg/hari dalam dosis terbagi 2 ka1i
sehari, ditambah PPI (Omeprazol) dengan dosis 0,4-0,8 mg/kg/dosis 1 kali sehari

Edukasi
Menghindari makanan yang merangsang, memperbaiki faktor psikologis.

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

Kepustakaan
1. Soeparto P, Djupri LS, Subijanto MS, Ranuh R. Sindroma Gangguan Motilitas Saluran Cerna.
Seri Gramik: Gastroenterologi Anak. Edisi ke-2. Surabaya : GRAMIK FK UNAIR; 1999. h. 32-
118.
2. Murray KF, Christie DL. Vomiting. Pediatr Rev. 1998;19(10):337-41.
3. Allen JK, Hill DJ, Heine RG, 2006; Food allergy in childhood. MJA, 185:394-400.
4. Berman. Vomiting during infancy. Dalam: Pediatric decision making. Edisi ke-2. Philadelphia: BC
Decker;1991. h. 332-5.
5. Walker WA, Sherman PM. Pediatric Gastrointestinal Disease, Fourth Edition. Ontario, BC Decker
Inc, 2004

Mengetahui
Kepala Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K) dr. Hasri Salwan, SpA(K)


NIP.195801261985032001 NIP. 19670123 196603 1 003

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

16
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

OBSTRUKSI USUS
ICD 10 : K 56.60

Pengertian
Adalah gangguan pasase usus yang disebabkan oleh obstruksi lumen usus.

Anamnesis
 Muntah, gejala ini dominan dan pertama muncul pada sumbatan saluran cerna bagianatas dan
menjadi gejala paling akhir muncul pada sumbatan saluran cerna bagian bawah. Muntah hijau
menunjukkan sumbatan berada di bawah valvula vatery
 Sakit perut, kolik.
 Tidak ada atau gagal BAB dan flatus, gejala ini dominan dan pertama muncul pada sumbatan
saluran cerna bagian bawah dan menjadi gejala paling akhir muncul sumbatan saluran cerna
bagian atas.
 Kembung : pada sumbatan saluran cerna bagianbawah: kembung besifat menyeluruh, pada
sumbatan saluran cerna bagian atas: kembung besifat lokal (di atas umbilikus) atau tidak tampak.
 Gejala-gejala pada sumbatan saluran cerna total terjadi mendadak dan bersifat progresif. Gejala-
gejala pada sumbatan saluran cerna parsial bervariasi tergantung beratnya derajat obstruksi
 Riwayat operasi usus

Pemeriksaan Fisis
 Distensi usus.
 Metallic sound.
 Darm contour.
 Bising usus meningkat pada awal penyakit, menurun atau menghilang pada akhir penyakit atau
jika ada perforasi.
 Gambaran klinis komplikasi, misalnya tanda-tanda dehidrasi, gangguan keseimbangaan asam-
basa.

Kriteria Diagnostik
 Muntah/muntah hijau
 Kembung
 Gagal BAB
 Nyeri abdomen akut

Diagnosis
Obstruksi Usus

Diagnosis Banding
1. Kongenital (terjadi kurang dari 2-3 minggu) :
 Stenosis pilorus.
 Atresia atau stenosis duodenum.
 Atresia atau stenosis jejunum.
 Ileus mekonium.
 Volvulus.
 Hirschsprung.

17
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

2. Didapat :
 Intususepsi.
 Bolus askaris.

Pemeriksaan Penunjang
Pada foto polos 3 posisi didapatkan gambaran distensi usus dan step ladder.

Terapi
Perbaiki dehidrasi, sesuai derajat dehidrasi. Cairan yang dapat digunakan adalah NaCL fisiologis jika
muntah tidak hijau dan Ringer laktat jika muntah hijau. Patokan dehidrasi dan jumlah cairan yang
digunakan dapat berpedoman berdasarkan kriteria WHO untuk diare. Jika nadi tak teraba dan tekanan
darah tak terukur diberikan cairan resusitasi 20 ml/kgBB/ secepatnya.
Tindakan operatif dilakukan setelah resusitasi cairan telah diberikan pada obstruksi total. Tindakan
operatif terencana jika obstruksi terjadi parsial dengan derajat yang ringan

Edukasi
Perlunya dilakukan operasi

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam

Kepustakaan
1. Raffensperger JG. Swenson’s Pediatric Surgery, fifth edition. Norwalk, Appleton & Lange, 1990.
2. Walker WA, Sherman PM. Pediatric Gastrointestinal Disease, Fourth Edition. Ontario, BC Decker
Inc, 2004
3. Wyllie R, Hyams JS. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease. Third Edition. Netherlands,
Saunders, 2006

Mengetahui
Kepala Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K) dr. Hasri Salwan, SpA(K)


NIP.195801261985032001 NIP. 19670123 196603 1 003

18
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

INVAGINASI
ICD 10 : K.56.1

Pengertian
Obstruksi usus yang disebabkan usus bagian proksimal berinvaginasi ke dalam usus bagian distal.
Bagian yang masuk disebut intususeptum dan bagian yang dimasuki disebut intususipien.

Anamnesis
 Nyeri perut.
 Berak berdarah dan berlendir.
 Muntah.
 Kembung : tidak selalu ditemukan

Pemeriksaan Fisis
Massa berbentuk pisang ditemukan pada kuadran kanan atas.

Kriteria Diagnostik
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anmnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

Diagnosis
Invaginasi

Diagnosis Banding
Obstruksi total saluran cerna bagian bawah lainnya
Disentri

Pemeriksaan Penunjang
a. Foto polos 3 posisi memberikan gambaran obstruksi usus pada stadium lanjut penyakit.
b. Barium Enema :
1. Tampak cekungan cangkir (cupping) pada puncak invaginasi dan gambaran pegas (coiled
spring).
2. Berguna untuk mereduksi usus yang terkena, merupakan pilihan pada semua bayi dengan
gejala yang timbul kurang dari 24 jam. Berbahaya bila keadaan umum jelek dan peritonitis
karena tekanan enema dapat mengakibatkan perforasi usus.
c. USG
 Tampak gambaran doughnut pada potongan tranversal
 Tampak gambaran pseudo kidney pada potongan longitudinal

Terapi
 Kasus gawat darurat bedah :
1. Reduksi dengan barium enema (bila tidak ada kontraindikasi).
2. Pembedahan (laparatomi eksplorasi).
 Tindakan yang harus dilakukan sebelumnya adalah memperbaiki keadaan umum penderita yaitu
memperbaiki cairan dan elektrolit, dekompresi dengan NGT

19
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

Edukasi
Perlunya dilakukan operasi

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam

Kepustakaan
1 Raffensperger JG. Swenson’s Pediatric Surgery, fifth edition. Norwalk, Appleton & Lange, 1990.
2 Walker WA, Sherman PM. Pediatric Gastrointestinal Disease, Fourth Edition. Ontario, BC Decker
Inc, 2004
3 Wyllie R, Hyams JS. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease. Third Edition. Netherlands,
Saunders, 2006

Mengetahui
Kepala Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K) dr. Hasri Salwan, SpA(K)


NIP.195801261985032001 NIP. 19670123 196603 1 003

20
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

PERDARAHAN SALURAN CERNA


ICD 10: K 22,K 29

Pengertian
Perdarahan yang terjadi dari saluran cerna. Klassifikasi perdarahan saluran cerna (psc) berdasarkan
lokasi dibagi dua. Psc atas (psca) terjadi bila sumber perdarahan terletak di atas Ligamentum Treitz
dan psc bawah (pscb) bila terletak di bawahnya.

Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan melihat faktor usia Usia penderita merupakan faktor yang penting untuk
menentukan etiologi. .
 Tertelan darah ibu (24 jam pertama) : tes Apt Downey.
 Muntah-muntah hebat diikuti perdarahan : sindrom Mallory Weiss.
 Riwayat makan obat: aspirin/OARNS : ulkus.
 Riwayat perdarahan dalam keluarga : koagulopati.
 Riwayat menelan benda asing: erosi/ulkus.

Pemeriksaan Fisis
Sebanyak 20% perdarahan gastrointestinal merupakan kelainan sitemik (melibatkan organ lain).
 Tanda-tanda sianosis, peningkatan tekanan ven porta : varises.
 Luka bakar luas, penyakit infeksi SSP: ulkus stress, kolitis iskemik.
 Hemangioma/telangiektasis: kelainan vaskuler.
 Eritema pada kulit, kelainan ginjal: sindrom Henoch Schonlein.

Kriteria Diagnostik
 Anamnesis
 Pemeriksaan fisik

Diagnosis
Perdarahan Saluran Cerna

Diagnosis Banding
Tabel. Penyebab-penyebab perdarahan saluran cerna
INFAN – 6 BULAN 6 BULAN – 3 TAHUN 3 TAHUN KE ATAS
Psca Tertelan darah ibu (30%) Irritasi NGT Gastritis
Irritasi NGT Perdarahan nasopharyngeal Varises esofgeus
Ulkus peptikum Varises esofgeus Ulkus peptikum
Esofagitis Ulkus peptikum Pengaruh obat-obatan
Varises esofagus Esophageal foreign body Malory Weiss Syndrome
Gastritis Haemoragik Pengaruh obat-obatan Hemotobilia
Gastric stress ulcers
Ulkus duodenum
Hemorrhagic disease of
newborn

21
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

Pscb Fisura Ani Fisura ani Fisura ani


NEC Meckel’s diveticulum Polip
Volvulus, Intusucepsi Intususepsi
Intussuscepsi Polip HUS
Meckel’s diverticulum Diarrhea invasif IBD
Hemangioma HSP, HUS, ITP HSP
Duplikasi Duplikasi Trauma
Tertelan darah ibu Hemangioma Duplikasi
Infeksi Hemangioma
Alergi susu sapi Tumor

Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium : darah lengkap, kimia darah, CT, BT, PT,APTT, feses rutin
 Endoskopi
 Radiologi
 Arteriografi

Terapi
 Cari gangguan hemodinamik.
 Bila terjadi ancaman syok/syok: IVFD RL/NaCl 0,9% 20cc/kgBB 10 menit sampai tanda vital
membaik.
 Transfusi darah (PRC atau FFP) bila diperlukan. Transfusi >85 ml/kgBB, konsul bedah cito, untuk
dilakukan eksplorasi
 Observasi perdarahan, jika perdarahan minimal: pastikan darah apa bukan, salah satu caranya
dengan melakukan pemeriksaan darah samar (Benzidine test)
 Tentukan adanya riwayat trauma, jika tidak ada
 Tentukan adanya kelainan sistemik (misalnya demam atau tanda eksploresensi kulit) dan kelainan
THT, jika tidak ada
 Tentukan adanya kelainan perdarahan: lakukan Rumple leed test, CT, BT, PT, aPTT, hitung
trombosit, jika dalam batas normal
 Tentukan lokasi perdarahan saluran cerna berdasarkan gambaran klinis
 Lakukan pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi dan atau kolonoskopi
 Tatalaksana perdarahan saluran cerna berdasarkan penyebab
 Tatalaksana umum: stabilisasi KU
Perdarahan saluran cerna atas: pasang NGT jika perdarahan masif atau aktif atau untuk memastikan
lokasi, obat-obat penekan asam lambung, dan obat pelindung mukosa (misalnya: sucralfat)

22
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

Algoritme tatalaksana perdarahan gastrointestinal

Edukasi
Menerangkan penyebab perdarahan saluran cerna sehingga dapat dilakukan pencegahan

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam

Kepustakaan
1. Raffensperger JG. Swenson’s Pediatric Surgery, fifth edition. Norwalk, Appleton & Lange, 1990.
2. Walker WA, Sherman PM. Pediatric Gastrointestinal Disease, Fourth Edition. Ontario, BC Decker
Inc, 2004
3. Wyllie R, Hyams JS. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease. Third Edition. Netherlands,
Saunders, 2006

Mengetahui
Kepala Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K) dr. Hasri Salwan, SpA(K)


NIP.195801261985032001 NIP. 19670123 196603 1 003

23
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

KOLESTASIS
ICD :

Pengertian
Kolestasis adalah gangguan sekresi dan atau aliran empedu yang biasanya terjadi dalam 3 bulan
pertama kehidupan, yang menyebabkan timbulnya ikterus, akibat peninggian kadar bilirubin direk >
20% dari kadar bilirubin total jika bilirubin total > 5 mg/dl atau bilirubin direk ≥ 1 mg/dl jika kadar
bilirubin total ≤ 5 mg/dl.

Anamnesis
Saat timbulnya ikterus (kurang dari usia 3 bulan), lama ikterus, warna tinja, perdarahan, riwayat
keluarga, riwayat kehamilan dan kelahiran.

Pemeriksaan Fisis
Ikterus, hepatomegali dan konsistensi hati, splenomegali, dan tanda perdarahan.

Kriteria Diagnostik
Untuk kolestasis evaluasi dilakukan pada usia minimal 2 minggu dan pada bayi preterm dapat ditunda
sampai 3 minggu
Langkah diagnosis :
 Bedakan hiperbilirubinemia indirek dengan hiperbilirubinemia direk (kolestasis). Gambaran klinik
hiperbilirubinemia indirek adalah warna kulit kuning terang, kuning dimulai dari muka kemudian
ke bagian distal badan (sesuai dengan peningkatan kadar bilirubin indirek, mengikuti skala
Krammer), dan urin berwarna jernih. Hiperbilirubinemia indirek dapat disebabkan jaundice
fisiologik (sampai umur 14 hari), “breast milk jaundice”, penyakit sistemik (hemolisis, stadium
awal hipotiroidsm, obstruksi saluran cerna bagian atas, sepsis, hipoksia, hipoglikemia,
galaktocemia, dan intoleransi fruktosa), kelainan keturunan : Crigler-Najjar syndromes (UDPGT
deficiency tipe I bersifat total, tipe II bersifat partial) dan Gilbert syndrome.
 Evaluasi klinik (anamnesis, pemeriksaan fisik, dan warna feses)
 Pemeriksaan fraksi bilirubin: direk, indirek, dan total.
 Pemeriksaan kelainan hepatoseluler dan bilier (SGPT/ALT, SGOT/AST, Alkali fosfatase, GGT)
 Pemeriksaan fungsi liver (albumin, PT/aPTT, kadar glukosa serum, ammonia)
 Rule out penyebab-penyebab yang dapat diobati
 Kultur bakteri (urin dan darah)
 Serologi dan biakan virus (infeksi hepatitis kongenital)
 Deteksi kelainan metabolik (galaktosemia, tyrosinemia heriditer, intoleransi fruktosa heriditer, dan
hipopitutarime/hipotiroid)
 Deteksi defek sintesis asam empedu, neonatal iron storage disease, hepatotoksis karena obat
 Kelainan anatomik : atresia bilier, kista koledokus, inspissated bile/calculi in common bile duct
 Rule out obstruksi ekstrahepatik dan intrahepatik dengan ultrasonografi dan biopsi hati.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan :


 Anamnesis
 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan penunjang

24
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

 Langkah awal, bedakan antara hiperbilirubinemia indirek dan direk (kolestasis)


 Jika kolestasis, perkirakan kelainan yang terjadi intrahepatik atau ektrahepatik, dengan melakukan
pemeriksaan darah, fungsi hati, dan sintesis hati. Kelainan ektrahepatik dibuktikan dengan
pemeriksaan USG. Biopsi hepar dapat dilakukan untuk membedakan kelainan intrahepatik,
ektrahepatik, dan paucity saluran empedu.
 Diagnosis awal kolestatik intrahepatik diberikan antibiotik untuk Tersangka ISK (TISK) yang
tidak hepatotoksik (cefotaksim) sampai hasil kultur dan resistensi urin diketahui. Diagnosis
sementara berupa TISK ditegakkan karena meliputi hampir 30% kolestasis intra hepatik.
 Adanya dismorfik mengarahkan diagnosis ke kelainan metabolik dan infeksi TORCH kongenital.
 Infeksi TORCH kongenital dicurigai jika bayi dismorfik, adanya riwayat infeksi TORCH saat ibu
hamil (gambaran klinis, riwayat kehamilan terdahulu, atau pemeriksaan serologis), dan adanya
kelainan kombinasi (kelainan ukuran lingkar kepala, pendengaran, mata, jantung, kulit dan
hepatosplenomegali).
 Atresia biler dapat diprediksi dengan feses yaang seperti dempul (spesifisitas tinggi, tetapi
sensitivitas yang rendah)
Diagnosis
Kolestasis

Diagnosis Banding
 Kolestasis intrahepatik

25
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

 Kolestasis ekstrahepatik

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium :
a. Rutin
 Darah lengkap (terutama pada kasus yang dicurigai hiperbilirubinemia indirek), uji fungsi hati:
SGOT (AST), SGPT (ALT), gamma GT (normal: meningkat pada bayi umur-umur muda),
alkali fosfatase (normal: meningkat pada waktu memasuki usia pubertas), waktu protrombin
dan tromboplastin (PT, aPTT), kadar albumin plasma, kolesterol, kadar glukosa, ureum,
kreatinin, urine reduction substance, kadar amonia serum, kultur urine (jika dicurigai kolestasis
intrahepatik), kultur darah (jika dicurigai sepsis), parasintesis (jika terbukti ada asites pada USG
abdomen)
 Bilirubin urine positif
 Pemeriksaan tinja 3 porsi (pk. 06.00-14.00, pk. 14.00-22.00, serta pk. 22.00-06.00) dan adanya
empedu dalam tinja.
b. Khusus : uji aspirasi duodenum (DAT) yang diperoleh melalui aspirasi dengan menggunakan
sonde (Levine tube), serologi untuk penyakit infeksi (TORCH, HbsAg, HIV, dan lain-lain),
skrining metabolik (asam amino serum dan urin, asam organik urin), kelainan hormon (kadar
hormon tiroid, TSH), kultur virus, kadar α1 antitripsin, dan lain-lain.

Pencitraan :
a. Ultrasonografi hepar
Dapat menegakkan atau menyingkirkan diagnosis atresia bilier, kista koledokus, masa intra
abdomen, dan patensi duktus bilier. Pada atresia bilier: akurasi diagnostik USG 77%, dilakukan
pada tiga fase yaitu pada keadaan puasa (4-6 jam dengan alat USG berosolusi tinggi dan 10-12 jam
dengan alat USG berosulusi rendah), saat minum, dan sesudah minum (1 sampai 2 jam setelah
makan) ataupun dua fase yakni puasa dan sesudah minum. Apabila pada saat atau sesudah
minumkandung empedu tidak tampak berkontraksi, maka kemungkinan besar (90%) diagnosis
atresia bilier dapat ditegakkan.
b. Kolangiografi
Apabila diagnosis masih meragukan dapat dilakukan kolangiografi operatif, bila terbukti atresia
bilier, dilakukan eksplorasi lebih jauh.
c. Biopsi hepar:
Gambaran histopatologis hati dapat membantu perlu tidaknya laparotomi eksplorasi
 Atresia bilier : gambaran histopatologis menunjukkan proliferasi duktus dan sumbatan
empedu, fibrosis porta, edema, tetapi arsitektur lobuler masih normal
 Hepatitis neonatal : umumnya ditemukan infiltrat inflamasi dari lobulus yang disertai dengan
nekrosis hepatoseluler, sehingga terlihat gambaran lobul yang kacau. Selain itu ditemukan sel
raksasa, fibrosis porta dan proliferasi duktus ringan.
 Paucity sistem bilier.

Terapi
Uji fungsi hati dilakukan untuk menentukan jenis hiperbilirubinemia dan tatalaksana selanjutnya.
Tatalaksana kolestasis intrahepatik :
 Memperbaiki aliran empedu: Obat stimulasi aliran empedu adalah :

26
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

1. Asam ursodeoksikolat, dosis: 10-30 mg/kgBB/hari, bekerja sebagai competitive binding empedu
toksik, bile fow inducer,suplemen empedu, dan hepatoprotektor.
2. Kolestiramin, dosis: 0,25-0,5 g/kgBB/hari, berfungsi menyerap empedu toksik dan
menghilangkan gatal.
3. Rifampicin, dosis: 10 mg/kgBB/hari, berfungsi meningkatkan aktivitas enzim mikrosom dan
menurunkan ambilan asam empedu oleh sel hati
4. Fenobarbital: induksi enzim glukuronil transferase, digunakan hanya pada hiperbilirubinemia
indirek pada Crigler-Najjar syndromes (UDPGT deficiency tipe II) dengan dosis: 3-10
mg/kgBB/hari
 Multivitamin vitamin A : 5.000 - 25.000 U/ hari, D: D3 calcitriol: 0,05 - 0,2ug/kgBB/hari, E: 25 -
50 IU/kgBB/hari,K: K1 2,5 - 5 mg/ 2-7x/ minggu
 Nutrisi : diet lemak MCT.
 Trace elemen: trace element: Ca, P, Mn, Zn, Selenium, Fe.
 Terapi komplikasi yang terjadi: misalnya hiperlipidemia/xantelasma diberikan kolestipol dengan
dosis 250-500 mg/kgBB/hari (gabungan kolestramin dengan kolestipol), hipertensi portal
(dibuktikan dengan USG dopler) diberikan propanolol dengan dosis 1 – 6 mg/kgBB, gagal hati
dengan transplant
 Dukungan psikologis
 Mengobati penyebab kolestasis yang bisa diobati
 Kolestasis ektrahepatik : operasi
 Kolestasis intrahepatik, tergantung etiologi.
Infeksi hepatistsis kongenital : Herpes simpleks diberikaan asiklovir intravena, sipilis diberikan
penisilin 50.000 iu/kgBB/hari selama 10-14 hari, tuberkulosis diberikan OAT, toxoplasmosis
diberikan pyrimethamin 1 mg/kgBB/2-4 hari dan sulfadiaazine 50-100 mg/kgBB/hari. Penyakit
metabolik: galaktosemia diberikan diet bebas galaktosa, tyrosinea heriditer diberikan diet
tirosin/fenilalamin rendah, intoleransi fruktosa heriditer diberikan diet bebas fruktosa/laktosa,
hipotiroidisme/hipopitutarisme diberikan hormon-hormon tiroid, adrenal dan growth hormon .
Obat-obatan dan toksin: obat-obatan penyebab hepatotoksin dihentikan, endotoksin bakterial
diberikan antibiotika yang sesuai (misalnya Tersangka ISK dengan cefotaksim), TPN ditatalaksana
dengan pemberian intake oral secepatnya.

Edukasi
Menjelaskan kemungkinan etiologi, diagnosisnya, dan tatalaksana

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam

Kepustakaan
1. Rosenthal P. Neonatal hepatitis and congenital infections. Dalam: Suchy FJ, penyunting. Liver
disease in children. Edisi ke-1. St. Louis: Mosby year book; 1994. h. 414-24.
2. Balisteri WF. Cholestasis. Dalam: Berhman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders; 2004. h. 1203-7.
3. Haefelin DN, Griffiths P, Rizetto M. Systemic virosis producing hepatitis. Dalam: Bircher J, dkk,
penyunting. Oxford textbook of clinical hepatology. Edisi ke-2. Oxford: Oxford University Press;
1999. h. 955-63.

27
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

4. Emerick KM, Whitington PF. Molecular basis of neonatal cholestasis. Ped Clin N Am.
2002;49(1):1-3

Mengetahui
Kepala Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K) dr. Hasri Salwan, SpA(K)


NIP.195801261985032001 NIP. 19670123 196603 1 003

28
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

KONSTIPASI
ICD 10 : K.59.0

Pengertian
Batasan konstipasi : jika terdapat 2 atau lebih kriteria
1. Frekuensi < 3x/minggu
2. Konsistensi keras
3. Terdapat distress : nyeri, pengeluaran periodik sejumlah feses besar ≥ 1 x / 7 - 30 hari, perut
kembung, sensasi penuh, teraba massa di abdomen atau rektum
Berdasarkan waktu :
1. Konstipasi akut : < 1-4 minggu
2. Konstipasi kronik : > 1 bulan

Anamnesis
Riwayat konstipasi yang terjadi, yakni lamanya gejala (konstipasi akut atau kronik), frekuensi
defekasi, konsitensi feses, ada tidaknya darah pada feses, dan kebiasaan defekasi (seberapa sering dan
dimana pasien biasa defekasi). mengenai kebiasaan makan,komsumsi obat-obatan, dan aktifitas fisik.
Penting juga untuk menanyakan umur saat awitan. Jika gejala pada saat usia toilet training (>2 tahun)
kemungkinan besar bersifat fungsional.

Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisik dilakukan terutama pada abdomen, tulang belakang dan perineum.
Pemeriksaan colok dubur dapat untuk mengevaluasi tonus otot-otot sfingter ani dan mendeteksi
obstruksi atau darah. Pemeriksaan ini dapat menyingkirkan adanya kelainan anatomi (seperti anal
stenosis dan fisura ani) dan trauma.

Kriteria Diagnostik
 Anamnesis
 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan penunjang

Diagnosis
 Konstipasi akut
 Konstipasi fungsional
 Konstipasi organik

Diagnosis Banding
 Hirschsprung disease
 Obstruksi parsial saluran cerna lainnya
 Hipotiroid

Pemeriksaan Penunjang
Jarang di lakukan pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengidentifikasi adanya anemia,
lekositosis, dan gangguan metabolik, seperti hipotiroidisme (hormon tiroid) atau uncover excess
hormon paratiroid (kalsium). Pemeriksaan urine berupa urin rutin dan kultur urine juga dilakukan
terutama bila diduga terjadi infeksi saluran kemih akibat konstipasi kronis.

29
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

Pemeriksaan penunjang lainnya yang digunakan untuk mengevaluasi konstipasi yaitu foto polos
abdomen, studi transit kolorektal, tes fungsi anorektal, biopsi hisap rektum, dan defekografi. Karena
peningkatan resiko kanker, dapat dilakukan tes untuk menyingkirkan kanker, yaitu barium enema,
sigmoidoskopi atau kolonoskopi. Pemeriksaan ultrasonografi abdomen dan MRI juga dapat dilakukan
untuk mencari penyebab organik lain yang memberikan gejala konstipasi.Foto tulang belakang daerah
lumbosakral dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) diindikasikan ketika hasil pemeriksaan
neurologi ektremitas bawah atau sakrum tampak abnormal.

Terapi
Pengobatan konstipasi sangat bervariasi tergantung sumber masalah, usia anak, dan kepribadian anak.
Jika konstipasi terjadi sebagai akibat suatu keadaan medis, kelainan primer harus diobati terlebih
dahulu.
Penatalaksanaan terhadap konstipasi kronis antara lain dengan menggabungkan teknik edukasi,
evakuasi feses (disimpaction), dan terapi rumatan (modifikasi tingkah laku, pengaturan diet, dan
pemberian laksansia).

Edukasi
 Toilet education
 Diet tinggi serat

30
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

Kepustakaan
1. Stephen M. Constipation. Dalam: Walker, penyunting. Pediatric gastrointestinal disease. Volume
ke-1. Philadelphia: BC Decker; 1991. h. 90-108.
2. Benninga. Constipation and faecal incontinence in childhood. Amsterdam: Universiteit van
Amsterdam; 1994. h. 13-35.
3. HM Spiro. Clinical gastroenterology. Edisi ke-4. New York: Mc Graw Hill; 1993. h. 513-23.
4. Barbara JS. Digestive system disorders. Dalam: RE Behrman, penyunting. Nelson textbook of
pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders; 2005. h. 510-8.
5. Baker SS, Liptak GS, Colletti RB, dkk. Constipation in infants and children: evaluation and
treatment. A medical position statement of the North American Society for Pediatric
Gastroenterology and Nutrition. J Ped Gastr Nutr. 1999;29:615-26
6. Pudjiadi A, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, dkk. Pedoman pelayanan medis
IDAI. IDAI 2010. H 58-62.

Mengetahui
Kepala Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K) dr. Hasri Salwan, SpA(K)


NIP.195801261985032001 NIP. 19670123 196603 1 003

31
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

NYERI / SAKIT PERUT


ICD 10 : R.10

Pengertian
Nyeri perut merupakan manifestasi nyeri pada daerah abdomen. Nyeri ini dapat disebabkan oleh organ
di dalam ataupun di luar abdomen
Nyeri perut berulang merupakan serangan sakit perut yang timbul sekurang-kurangnya tiga kali dalam
jangka waktu tiga bulan dan mengakibatkan terganggunya aktivitas sehari-hari.

Anamnesis
 Timbulnya rasa sakit.
 Onset dan lamanya sakit.
 Kwalitas dan berat ringannya.
 Lokalisasi sakit perut.
 Demam.
 Mual, muntah atau diare yang berhubungan dengan sakit perut.
 Ciri-ciri dari muntah atau diare.
 Perubahan kebiasan defekasi, konsistensi dan warna feses.
 Faktor- faktor yang memperingan dan memperberat sakit perut.
 Terapi yang sudah diberikan.
 Riwayat trauma.
 Riwayat pernah dirawat sebelumnya.

Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan yang terbaik adalah pada waktu serangan, harus lengkap dengan titik berat pada
abdomen.
 Pengamatan.
 Secara umum penderita tampak tidak anemia, turgor normal, sirkulasi normal.
 Tanda vital : temperatur harus diperhatikan.
 Periksa tanda-tanda peradangan dan proses infeksi pada kepala, mata, telinga, hidung,
tenggorokan, seperti faringitis, OMA, dll.
 Dada : perhatikan pergerakan dada, retraksi, frequensi respirasi.
 Abdomen :
- Pengamatan bentuk perut.
- Distensi / ketegangan dinding perut baik sebelum atausesudah rangsangan tangan (palpasi).
- Adanya cairan bebas, bising usus diseluruh perut meningkat atau menurun sampai negatif.
- Perlu dicari tanda akut abdomen yaitu dinding abdomen yang kaku, defence musculare, nyeri
tekan, nyeri lepas.
- Pada pemeriksaan di luar abdomen, cari kemungkinan adanya hernia strangulata, hernia
inguinalis yang menyebabkan obstruksi dan peritonitis.

 Rektum :
Pemeriksaan colok dubur perlu diperhatikan abnormalitas sfingter internal atau eksternal, adanya
massa feces, warna, konsistensi, darah.

32
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

 Sistem Genitourinaria :
Perhatikan di daerah genitalia adanya trauma, discharge, peradangan nyeri pada anak remaja
periksa daerah pelvis, evaluasi adanya trauma, infeksi peradangan, besarnya uterus, dan massa.

Kriteria Diagnostik
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
 Anamnesis
 Pemeriksaan fifik
 Pemeriksaan penunjang

Rome III Diagnostic Criteria for FunctionalGastrointestinal Disorders


H2. ABDOMINAL PAIN-RELATED FUNCTIONAL GI DISORDERS

H2a. Functional Dyspepsia


Diagnostic criteria* Must include all of the following:
 Persistent or recurrent pain or discomfort centered in the upper abdomen
(above the umbilicus)
 Not relieved by defecation or associated with the onset of a change in stool
frequency or stool form (i.e., not irritable bowel syndrome)
 No evidence of an inflammatory, anatomic, metabolic or neoplastic process
that explains the subject’s symptoms
* Criteria fulfilled at least once per week for at least 2months prior to diagnosis

H2b. Irritable Bowel Syndrome


Diagnostic criteria* Must include both of the following:
 Abdominal discomfort** or pain associated with two or more of the following
at least 25% of the time:
a. Improvement with defecation
b. Onset associated with a change in frequency of stool
c. Onset associated with a change in form (appearance) of stool
 No evidence of an inflammatory, anatomic, metabolic, or neoplastic process
that explains the subject’s symptoms
* Criteria fulfilled at least once per week for at least 2months prior to diagnosis
** “Discomfort” means an uncomfortable sensation not described as pain.

H2c. Abdominal Migraine


Diagnostic criteria* Must include all of the following:
 Paroxysmal episodes of intense, acute periumbilical pain that lasts for
hour or more
 Intervening periods of usual health lasting weeks to months
 The pain interferes with normal activities
 The pain is associated with 2of the following:
a. Anorexia
b. Nausea
c. Vomiting
d. Headache
e. Photophobia

33
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

f. Pallor
 No evidence of an inflammatory, anatomic, metabolic, or neoplastic process
considered that explains the subject’s symptoms

H2d. Childhood Functional Abdominal Pain


Diagnostic criteria* Must include all of the following:
 Episodic or continuous abdominal pain
 Insufficient criteria for other FGIDs
 No evidence of an inflammatory, anatomic, metabolic, or neoplastic process
 that explains the subject’s symptoms
* Criteria fulfilled at least once per week for at least 2months prior to diagnosis

H2d1. Childhood Functional Abdominal Pain Syndrome


Diagnostic criteria* Must satisfy criteria for childhood functional abdominal pain andhave at least
25% of the time one or more of the following:
 Some loss of daily functioning
 Additional somatic symptoms such as headache, limb pain, or difficultysleeping
* Criteria fulfilled at least once per week for at least 2months prior to diagnosis

Diagnosis
Nyeri perut berdasarkan etiologi

Diagnosis Banding
 Nyeri perut fungsional, klasifikasi berdasarkan Kriteria RomA III, yakni: funcgsional dispepsia,
IBS (irritable bowel syndrome), abdominal migrane, childhood functional abdominal pain, dan
childhood functional abdominal pain syndrome.(lihat lampiran)
 Nyeri perut organik

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium: pemeriksaan rutin darah, urin, tinja perlu dilakukan.
Jika ada kelainan dilanjutkan dengan pemeriksaan khusus : WBC dengan hitung jenis, sedimen urine,
urinalisis, kultur urin / tinja, foto polos abdomen.
Sakit perut berulang perlu dilakukan pemeriksaan barium meal, barium enema, endoskopi, USG.

Terapi
Ditentukan apakah penyakitnya membutuhkan tindakan bedahatautidak. Bila tidakditemukan
kedaruratan perut, penyebab sakit perutharus dicari dan diberi pengobatan yang sesuai.

Edukasi
Memberikan rasa aman dan edukasi kepada penderita dan keluarga. Meyakinkan bahwa pada sakit perut
fungsioanal, tidak ada bukti adanya kelainan dasar yang serius
Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam/malam

34
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

Kepustakaan
1. Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC Decker Inc
2. Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
3. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier, 2006
Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, Guandalini, Taylor & Francis, 2004
4. Nelson Pediatric Text Book

Mengetahui
Kepala Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K) dr. Hasri Salwan, SpA(K)


NIP.195801261985032001 NIP. 19670123 196603 1 003

35
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

KOLESISTITIS
ICD:

Pengertian
Kolesistitis adalah peradangan pada kantung empedu yang dapat akut atau kronik.

Anamnesis
a. Nyeri abdomen.
b. Kwadran kanan atas.
c. Epigastrium.
d. Menyebar ke belakang, bahu.
e. Mual
f. Intoleran makanan lemak

Pemeriksaan Fisis
a. Abdomen tegang.
b. Kuning.
c. Demam.
d. Teraba massa.

Kriteria Diagnostik
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik.
b. Laboratorium :
c. Radiologis
d. USG :

Diagnosis
Kolesistitis

Diagnosis Banding
a. Apendisitis akuta.
b. Pankretitis akuta.
c. Komplikasi dari tukak peptik (perforasi).
d. Obstruksi Intestinal.

Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium :
 Rutin : Hb, Lekosit, Hitung jenis.
 Test faal hati : bilirubin, SGOT, SGPT, Alkali fosfatase.
b. Radiologis : Perlu di buat foto polos abdomen, untuk mendeteksi ada atau tidaknya batu empedu
radio opak.
c. USG :
 Pemeriksaan USG lebih banyak membantu menentukan diagnosis.
 Gambaran USG dari kolesistitis akut :
- Penebalan dinding kandung empedu lebih dari 3 cm.

36
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

- Pada dinding yang menebal terlihat suatu daerah bebas gema diantara lapis luar dengan
lapisan dalam, sehingga terlihat tanda dinding yang rangkap atau disebut Double Rim
Sign. Hal ini disebabkan karna adanya edema di dinding kandung empedu.
- Terdapat tanda Murphy Ultrasonik yaitu terasa nyeri pada saat transduser sedikit di tekan
diatas daerah kandung empedu.
- Terdapat pembesaran kandung empedu.
- Selain tanda-tanda tersebut di atas perlu dicari penyebabnya.
Sebagai penyebab terbanyak yaitu batu empedu, yang akan terlihat sebagai suatu massa padat
berdensitas gema meninggi, disertai bayangan akustik. Pada perubahan posisi massa tersebut
akan ikut bergerak

Terapi
a. Pengobatan kolesistitis termasuk hospitalisasi, hidrasi dengan cairan IV, koreksi abnormalitas
elektrolit dan penghentian makanan oral.
b. Medikasi (misalnya Meperidine hidroklorida) harus diberikan untuk mengurangi nyeri.
c. Antibiotika, termasuk ampisilin dan gentamisin digunakan untuk mengobati kolesistitis akut
karena mereka diekskresikan dalam empedu atau melindungi organ enteric secara adekuat.
Sefalosporin generasi kedua atau ketiga dapat digunakan sebagai alternatif.
d. Kolesistektomi laparoskopik adalah pengobatan pilihan untuk manajemen kolesistitis akut tanpa
komplikasi.
Indikasi utama untuk pembedahan :
1. Ketidakpastian mengenai diagnosis ditambah dengan iritasi peritoneal perut bagian atas yang jelas
2. Kegagalan terhadap pengobatan non operatif :
 Demam terus menerus lewat 24 jam.
 Tanda-tanda iritasi peritoneal yang tak berubah atau semakin lanjut.
 Perkembangan atau pembesaran massa yang progesif.
 Perkembangan peritonitis umum.

Edukasi

Prognosis
 Perforasi.
 Peritonitis empedu.
 Obstruksi bilier.
 Sirosis bilier.
 Kanker kandung empedu
Angka mortalitas keseluruhan untuk kolesistitis akut dan kronik < 2 %

Kepustakaan
1. Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC Decker Inc
2. Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
3. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier, 2006
Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, Guandalini, Taylor & Francis, 2004
4. Nelson Pediatric Text Book

37
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

Mengetahui
Kepala Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K) dr. Hasri Salwan, SpA(K)


NIP.195801261985032001 NIP. 19670123 196603 1 003

38
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

PERITONITIS TUBERCULOSA
ICD :

Pengertian
Radang peritoneum yang disebabkan oleh M.tuberculosis

Anamnesis
Seperti pada dengan curiga TB pada umumnya

Pemeriksaan Fisis
Di temukan massa intraabdomen, adanya asites, kadang-kadang ditemukan fenomena papan catur
yaitu pada perabaan abdomen didapatkan adanya massa yang diselingi perabaan lunak

Kriteria Diagnostik
 Anamnesis
 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan penunjang

Diagnosis
Peritonitis Tuberkulosa

Diagnosis Banding

Pemeriksaan Penunjang
 Foto polos abdomen : gambaran peritonitis, massa omentum dan asites.
 Biopsi peritonium untuk mencari gambaran patologis.
 Kultur M. tuberkulosis dari bahan cairan asites atau biopsi peritonium.

Terapi
Tatalaksana TB ekstrapulmonal yaitu Rifampisin dan INH diberikanselama 12 bulan, Pirazinamid
selama 2 bulan pertama. Kortikosteroid diberikan 1-2 mg/kg BB selama 1-2 minggu pertama.

Edukasi

Prognosis
Perlengketan usus, obstruksi usus

Kepustakaan
1. Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC Decker Inc
2. Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
3. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier, 2006
Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, Guandalini, Taylor & Francis, 2004
4. Nelson Pediatric Text Book

39
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

Mengetahui
Kepala Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K) dr. Hasri Salwan, SpA(K)


NIP.195801261985032001 NIP. 19670123 196603 1 003

40
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

INFEKSI HELICOBACTER PYLORI


ICD:

Pengertian
Helicobater pylori adalah bakteri gram negatif yang dapat berkoloni pada saluran cerna dan
merupakan salah satu penyebab ulkus duodemum dan gaster. Menular secara oral-oral, gastric oral,
dan fekal-oral

Anamnesis
Adanya gangguan saluran cerna seperti muntah, mual, diare, nyeri perut, dan gejala dispepsia lainnya.

Pemeriksaan Fisis
Nyeri tekan epigastrium tidak selalu ditemukan

Kriteria Diagnostik
Penegakan diagnosis adalah dengan metode invasif dan non invasif.
Diagnosa pasti dari penyakit ini berdasarkan biopsi.

Diagnosis
Infeksi Helicobacter Pylori

Diagnosis Banding

Pemeriksaan Penunjang
Tes invasif (endoskopi)
 Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi
 Test Urea cepat pada jaringan biopsi
 Kultur bakteri
 PCR (Polymerase Chain Reaction)
Metode non invasif
 Tes Imunoassay untuk mendeteksi Antibodi Helicobacter pylori
 Tes Urine dan Saliva untuk mendeteksi Antibodi Helicobacter pylori
 Tes Feses untuk Antigen Helicobacter pylori
 Tes Napas Urea

Terapi
 Mengeliminasi secara lengkap dari organisme
 Regimen terapi yang dikatakan berhasil jika dapat menyembuhkan lebih dari 80% subjek yang
diterapi
 Efek samping minimal
 Tidak menginduksi resistensi bakteri

Terapi eradikasi H. pylori diberikan selama 7-14 hari:


- Proton pump inhibitor (omeprazole) 1 mg/kgBB/hari/12 jam + amoksisilin (50 mg/kgBB/hari/12) +
clarithromycin (15 mg/kgBB/hari/12 jam)
- Proton pump inhibitor (omeprazole) 1 mg/kgBB/hari/12 jam + amoksisilin (50 mg/kggBB/hari/12
jam) + metronidazole (20 mg/kgBB/hari/12 jam)

41
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

- Proton pump inhibitor (omeprazole) 1 mg/kgBB/hari + clarithromycin (15mg/kggBB/hari/12 jam)


+ metronidazole (20 mg/kgBB/hari

Edukasi
 Konseling: menghindari faktor yang meningkatkan resiko dispepsia dan ulkus peptikum
 Selama terapi eradikasi, maka obat-obatan NSAIDs mesti dihentikan.
 Diberitahu tentang efektifikasi terapi eradikasi
 Pentingnya menyelesaikan regimen obat inisial
Pencegahan
 Antibiotik untuk pencegahan sangat tidak dianjurkan
 Vaksin Helicobacter pylori (Helicobacter pylori urease + enterotoxin E. Coli)  efektifitas sangat
rendah
 Perbaiki hygiene dan gizi anak

Prognosis
Prognosis
 Tergantung dari penanganannya
 Dideteksi lebih dini dan diterapi adekuat komplikasi minimal
 Terlambat didiagnosa atau terapi tidak adekuatkomplikasi lanjut

Komplikasi
 Ulkus dengan pendarahan gastrointestinal
 Kanker
 Relaps atau resisten terhadap obat

Kepustakaan
1. Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC Decker Inc
2. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier, 2006
3. Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, Guandalini, Taylor & Francis, 2004

Mengetahui
Kepala Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K) dr. Hasri Salwan, SpA(K)


NIP.195801261985032001 NIP. 19670123 196603 1 003

42
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

DIVERTICULUM MECKEL
ICD :

Pengertian
Adalah suatu keadaan terdapatnya gaster pankreas ektopik. Biasanya terletak 50-75 cm dari proksimal
ileocaecal junction pada bagian antimesenterik intestinal.Perdarahan umumnya tanpa disertai rasa
sakit, timbu1 secara periodik dan tidak dipengaruhi konsistensi feses.

Anamnesis
Kelainan sering ditemukan secara insidental pada laparatomi
Nyeri perut, perdarahan yang hilang timbul

Pemeriksaan Fisis
Hematoscezia

Kriteria Diagnostik
Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan technitium scan (akurasi 90%). Diagnosis pasti
diperoleh saat operasi

Diagnosis
Divertikulum Meckel

Diagnosis Banding
 Ileitis
 Colitis colon proximal

Pemeriksaan Penunjang
Radioisotop scanning

Terapi
Indikasi mutlak untuk reseksi adalah perdarahan, obstruksi usus, diverticulitis, dan fistula
umbilicoileal

Edukasi
Ulserasi, perdarahan, obstruksi usus halus, diverticulitis, dan perforasi

Prognosis
Ulserasi, perdarahan, obstruksi usus halus, diverticulitis, dan perforasi

Kepustakaan
1. Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC Decker Inc
2. Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
3. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier, 2006
Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, Guandalini, Taylor & Francis, 2004
4. Nelson Pediatric Text Book

43
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

Mengetahui
Kepala Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K) dr. Hasri Salwan, SpA(K)


NIP.195801261985032001 NIP. 19670123 196603 1 003

44
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

AKALASIA ESOFAGUS
ICD :

Pengertian
Adalah kelainan esofagus primer yaag ditandai dengan adanya obstruksi esofagogastric junction
dengan karakteristik bertambahnya tekanan sfingter esophagus bagian bawah dan tidak adanya
peristaltik esofagus.

Anamnesis
Adanya gejala klinik yang sering berupa :
1. Disfagia :
Perjalanan penyakit biasanya kronis dengan disfagia yang bertambah berat. Berat ringannya
disfagia menurut British Oesophageal Surgery dibagi menjadi 5 tingkat, yaitu :
 Tingkat 0 : normal.
 Tingkat 1 : tidak dapat menelan makanan padat.
 Tingkat 2 : tidak dapat menelan makanan daging halus.
 Tingkat 3 : tidak dapat menelan sup atau makanan cair.
 Tingkat 4 : tidak dapat menelan ludah.
2. Nyeri dada: Gejala kurang menonjol pada permulaan penyakit. Rasa nyeri biasanya di substernal
dan dapat menjalar ke belakang bahu, rahang dan lengan, timbul bila makan/minum dingin.
3. Regurgitasi:Timbul tidak hanya berhubungan dengan bentuk/jenis makanan tetapi juga
berhubungan dengan posisi. Bila penyakit makin kronis, maka pada saat penderita berbaring sisa
makanan dan saliva yang terdapat pada kantong esofagus dapat mengalir ke faring dan mulut
sehingga akhirnya dapat menimbulkan aspirasi pneumonia.
4. Kehilangan berat badan.

Pemeriksaan Fisis
Tidak ada yang spesifik

Kriteria Diagnostik
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis (gejala disfagia dan regurgitasi) dan pemeriksaan
radiologis.

Diagnosis
Akalasia Esofagus

Diagnosis Banding
 Karsinoma kardia lambung.
 Spasme kardia.
 Striktura esofagus dekat diafragma.
 Hipermotilitas.
 Penyakit cagas
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Radiologis :
1. Foto toraks polos :
Bermakna bila esofagus mengalami dilatasi yang hebat. Foto AP memperlihatkan adanya
bayangan yang menonjol ke arah jantung. Foto lateral memperlihatkan adanya bayangan di

45
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

posterior jantung. Terdapat gambaran air fluid level di dalam esofagus, tak tampak gelembung
udara di daerah gaster.
2. Esofagografi :
Stadium permulaan adanya obstruksi kardia dan pelebaran minimal dari esofagus. Stadium lanjut
adanya penyempitan pada bagian distal esofagus pada batas esofagogastric junction dengan
pelebaran pada bagian proksimalnya. Terdapat gambaran beak like appearance (seperti paruh
burung)atau mouse tail appearance. Pemeriksaan ini penting untuk menyingkirkan kelainan
seperti striktura esofagus dan keganasan. Endoskop pada akalasia masih bisa dimasukkan ke
dalam lambung dengan hambatan ringan dan dapat terlihat dilatasi esofagus, mukosa lembek
dengan edema ringan, tanda-tanda esofagitis, dan penutupan sfingter esofagus distal.
3. Pemeriksaan Manometer :
Setelah menelan, tekanan daerah sfingter esofagus menguat 2 kali normal akibat dilatasi dan
retensi makanan

Terapi
1. Konservatif
a. Diet cair /lunak dan hangat
b. Medikamentosa
 Sedatif ringan untuk penenang.
 Preparat kalsium antagonis seperti verapamil atau nifedipin dapat digunakan karena dapat
menurunkan tekanan sfingter esofagus bagian bawah. Nifedipin diberikan 10-20 mg
sublingual dapat menurunkan tekanan esofagus bagian bawah kurang lebih 1 jam akan
tampak perbaikan gejala bila diberikan sebelum makan
2. Tindakan aktif
a. Forced dilatation: dilakukan pada akalasia ringan sedang. Ada 3 macam dilatator :
- Mekanik.
- Pneumatik.
- Hidrostatik.
b. Tindakan bedah yaitu operasi Heler dengan melakukan esofagomiotomi.
Komplikasi yang timbul adalah : - Perforasi.
- Paralisis nervus phrenicus.
- Refluks gastroesofagal.
- Perdarahan masif.
- Disfagia.
Edukasi

Prognosis
Komplikasi
 Aspirasi pneumonia.
 Perdarahan ulkus dalam mukosa.
 Perforasi akut.
 Karsinoma esofagus.
 Karsinoma lambung.

Kepustakaan
1. Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC Decker Inc
2. Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi

46
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

3. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier, 2006


Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, Guandalini, Taylor &Francis, 2004
4. Nelson Pediatric Text Book

Mengetahui
Kepala Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K) dr. Hasri Salwan, SpA(K)


NIP.195801261985032001 NIP. 19670123 196603 1 003

47
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

KISTA DUKTUS KOLEDUKTUS


ICD :

Pengertian
Pelebaran saluran empedu baik ekstra maupun intrahepatik.

Anamnesis
Nyeri perut, kuning, kadang kadang disertai demam akibat infeksi.

Pemeriksaan Fisis
Ikterus, dan dapat teraba massa tumor pada perut kanan atas. Klasik berupa trias: ikterus, nyeri perut
yang hilang timbul, dan massa tumor pada perut kanan atas.

Kriteria Diagnostik
Ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang.

Diagnosis
Kista Ductus Koledokus

Diagnosis Banding

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang, ditemukan peningkatan kadar bilirubin, transaminase, alkali fosfatase,
gamma glutamil transpeptidase dan kadar amylase. USG mempunyai ketepatan diagnosis yang tinggi
untuk diagnosa dini, dimana terlihat gambaran massa tumor yang berbatas tegas ekolusen di daerah
kanan atas. Diagnosis pasti untuk untuk menentukan tipe kista dengan kolangiografi.

Terapi
Penatalaksanaan dengan tindakan bedah yaitu eksisi total

Edukasi

Prognosis
Baik bila operasi dilakukan dalam keadaan dini

Kepustakaan
1. Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC Decker Inc
2. Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
3. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier, 2006
Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, Guandalini, Taylor & Francis, 2004
4. Nelson Pediatric Text Book

48
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

Mengetahui
Kepala Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K) dr. Hasri Salwan, SpA(K)


NIP.195801261985032001 NIP. 19670123 196603 1 003

49
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

KOLITIS ULSERATIF
ICD :

Pengertian
Reaksi radang difus yang ditandai oleh infiltrat neutrofil dengan abses kripta yang mengenai usus
besar bagian distal yang dapat meluas ke proksimal sepanjang kolon dengan panjang bervariasi.

Anamnesis
 Diare kronik dengan darah segar
 Tidak dapat menahan defekasi
 Tenesmus dan kejang (kram) pada perut bagian bawah terutama sesaat sebelum defekasi

Pemeriksaan Fisis

Kriteria Diagnostik
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
 Manifestasi klinis
 Mikrobiologi.
 Serologi.
 Kolonoskopi.
 Biopsi.

Diagnosis
Kolitis Ulseratif

Diagnosis Banding
• Kolitis infeksiosa
• Kolitis akibat C.diificile
• Irritable Bowel Syndrome
• Kolitis alergi
• Penyakit Chron

Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium
• Endoskopi
• Biopsi

Terapi
 Sulfazalazine, dosis 50 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.
 Hidrokostison enema 100 mg pada waktu tidur selama 6 minggu.
 Prednison oral 1-2 mg/kgBB/hari selama 3-4 bulan, dosis penuh diberikan selama 6 minggu
kemudian diturunkan 5 mg/hari setiap minggu.
 Pada kasus gawat darurat dapat dilakukan kolektomi

50
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

Edukasi

Prognosis
Perdarahan, perforasi, striktur, megakolon toksik, karsinoma

Kepustakaan
1. Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC Decker Inc
2. Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
3. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier, 2006
Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, Guandalini, Taylor & Francis, 2004
4. Nelson Pediatric Text Book

Mengetahui
Kepala Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K) dr. Hasri Salwan, SpA(K)


NIP.195801261985032001 NIP. 19670123 196603 1 003

51
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

HIPERTROFI STENOSIS PYLORUS


ICD :

Pengertian
Hipertrofi dari otot sirkuler pilorus yang menyebabkan obstruksi pintu keluar lambung

Anamnesis
• Muntah tidak mengandung empedu (nonbilious vomiting), bersifatprogresif.
• Muntah muncul 2-3 minggu, sebelumnya bayi terlihat sehat. Muntah awalnya intermiten, muncul
30-60 menit setelah minum.
• Frekuensi dan volume muntah progresif meningkat dan akhirnya menimbulkan muntah projektil
yang berulang (Repetitive ProjectileVomiting)
• Dapat menimbulkan dehidrasi, berat badan tidak meningkat bahkan menurun, konstipasi, kadang-
kadang berdarah (akibat esofagitis sekunder atau gastritis). Keadaaan yang terlambat mendapat
pertolongan ditemukan dehidrasi berat dan alkalosis metabolik berat (dehydration hypochloremic
alkalosis)

Pemeriksaan Fisis
a. Tampak gerakan peristaltik lambung setelah 30-60 menit minum.
b. Teraba massa (hipertrofi otot pilorus) di perut kanan atas.

Kriteria Diagnostik
 Anamnesis
 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan penunjang

Diagnosis
Hipertropi Stenosis Pilorus

Diagnosis Banding

Pemeriksaan Penunjang
a. Foto polos abdomen:
 Penyempitan lumen pilorus (string sign).
 Tampak bayangan lambung sangat besar dan berisi udara.
b. USG :
Akurasi 95%. Target sign adalah gambaran khas penebalan mukosa pilorus pada stenosis pilorus
lebih dari 14 mm.
c. Laboratorium :
 Alkalosis metabolik.
 Hipokalemia.
 Hiponatremia.

52
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

Terapi
a. Operatif
 Teknik operasi Fredet-Ramstedt (piloromiotomi).
b. Non operatif
 Medikamentosa : sulfas atropin dapat diberika jika operasi tidak memungkinkan.
 Diet: makanan kental dalam porsi sedikit tetapi sering.
 Penderita ditaruh dalam posisi setengah duduk selama 1 jam setelah makan.

Edukasi

Prognosis
• Prognosis baik bila dilakukan tindakan operatif.
• Pada tindakan non operatif angka kematian meningkat dan apabila penderita dapat hidup akan
terjadi kurang gizi.

Kepustakaan
1. Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC Decker Inc
2. Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
3. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier, 2006
Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, Guandalini, Taylor & Francis, 2004
4. Nelson Pediatric Text Book

Mengetahui
Kepala Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K) dr. Hasri Salwan, SpA(K)


NIP.195801261985032001 NIP. 19670123 196603 1 003

53
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

KERACUNAN MAKANAN / MINUMAN


ICD :

Pengertian
Gambaran klinik yang disebabkan gangguan satu atau beberapa organ yang disebabkan oleh makanan
yang mengandung racun / toksin

Anamnesis
Apabila terdapat 1 orang atau lebih yang menunjukkan gejala keracunan yang sama setelah
mengkonsumsi makanan/minuman yang sama atau bila pihak keluarga penderita mengkaitkan
kasusnya dengan kecurigaan keracunan makanan.

Pemeriksaan Fisis
Tergantung jenis racun
• Aritmia jantung : tricyclic antidepressants, amphetamine, aluminium phosphide,
digitalis, theophylline, arsenic, cyanide, chloroquin.
• Asidosis metabolik : isoniazid, methanol, salicylates, phenformin, iron, cyanide.
• Gangguan saluran cerna : organophosphorus, arsenic, iron, lithium, mercury.
• Sianosis : nitrobenzene compounds, aniline dyes, dan dapsone.

Kriteria Diagnostik
Diagnosis keracunan makanan/ minuman biasanya ditentukan berdasarkan anamnesis, gejala klinis,
dan pemeriksaan jenis racunnya sendiri. Anamnesis: riwayat adanya kontak denganzat racun tersebut.
Kontak terkadang sulit diketahui. Gambaran klinis yang tidak spesifik dan tampak sebab yang jelas,
maka keracunan makan harus disingkirkan lebih dahulu. Gambaran klinis sesuai dengan penyebab
keracunan makanan. Analisis: bahan lambung, darah, ataupun urin. Spesimen yang harus disimpan/
diselamatkan dalam kasus keracunan makanan/minuman adalah :
- Bahan makanan yang dicurigai penyebab racun.
- Muntahan penderita.
- Feses penderita.

Diagnosis
Keracunan Makanan / Minuman

Diagnosis Banding

Pemeriksaan Penunjang

Terapi
Prinsip pengobatan keracunan secara umum adalah :
1. Menentukan secepat mungkin penyebab keracunan dengan pemeriksaan klinis, laboratorium
toksikologis, kecepatan mendapatkan contoh darah, urin, feses, muntahan penderita serta bahan
makanan/minuman yang dicurigai menjadi penyebab keracunan.
2. Mengeluarkan racun dari lambung, dengan cara membuat penderita muntah atau tindakan bilas
lambung.
3. Pemberian antidotum yang sesuai.

54
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

4. Pengobatan simptomatik dan suportif.


Yang terpenting di antara keempat prinsip tersebut adalah pemberian antidotum, tetapi bila antidotum
tidak tersedia maka pengobatan simptomatik dan suportif memegang peranan penting.
a. Keracunan Jamur
Antidotum yang diberikan adalah antimuskarinik berupa Atropin dengan dosis 1-2 mg dapat
diberikan setiap 30 menit secara subkutan sampai gejala menghilang atau terjadi gejala
atropinisasi.
b. Keracunan Singkong
Diberikan antidotum Natrium tiosulfat 30% sebanyak 30cc, secara IV perlahan-lahan. Mula-mula
diberikan diberikan 10cc IV, kemudian anak dicubit untuk mengetahui apakah kesadarannya telah
pulih, bila belum sadar dapat diberikan 10 cc lagi sampai dosis maksimal. Bila terjadi sianosis
dapat diberikan oksigen.

Edukasi

Prognosis
Tergantung jenis racun

Kepustakaan
1. Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC Decker Inc
2. Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi
3. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier, 2006
Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, Guandalini, Taylor & Francis, 2004
4. Nelson Pediatric Text Book

Mengetahui
Kepala Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K) dr. Hasri Salwan, SpA(K)


NIP.195801261985032001 NIP. 19670123 196603 1 003

55
DIVISI GASTROENTEROHEPATOLOGI (GEH)

56
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

4
HEMATO - ONKOLOGI

ANEMIA DEFISIENSI BESI (Fe) ...................................................................... 3


ANEMIA HEMOLITIK (THALASSEMIA) .......................................................... 7
LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT ................................................................. 9
HEMOFILIA ...................................................................................................... 12
IMMUNE TROMBOSITOPENIA PURPURA(ITP) ............................................. 15
LIMFOMA HODGKIN ........................................................................................ 18
LIMFOMA NON HODGKIN ............................................................................... 20
TUMOR SEL GERMINAL(TERATOMA) .............................................................. 22
TUMOR WILM .................................................................................................. 24
RETINOBLASTOMA ......................................................................................... 28
OSTEOSARKOMA ........................................................................................... 31
CARCINOMA NASOFARING ........................................................................... 35
PERIPHERAL PRIMITIVE NEUROECTOERMAL TUMOR (PNET) ................. 38
NEUROBLASTOMA ......................................................................................... 40
CARCINOMA TESTIS ....................................................................................... 43
CARCINOMA OVARIUM .................................................................................. 45
LANGERHANS CELL HISTIOCYTOSIS .......................................................... 47

1
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

2
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

ANEMIA DEFISIENSI BESI (Fe)


ICD10 : D.50.9

1. Definisi
Anemia defisiensi Besi (Fe) adalah anemia yang disebabkan defisiensi zat besi untuk mensintesis
hemoglobin normal yang disebabkan oleh konsumsi atau intake besi yang kurang, kehilangan
darah yang kronis atau kombinasi keduanya. Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang
tersering di dunia.

2. Etiologi
 Intake yang kurang
 Absorpsi yang tidak adekuat
 Meningkatnya jumlah kebutuhan
 Kehilangan darah
a. Perinatal
i. Plasenta
1. Perdarahan transplasenta ke sirkulasi materna
2. Retroplasenta
3. Intraplasenta
4. Perdarahan janin atau saat sebelum lahir
5. Perdarahan feto-fetal pada kembar satu telur
6. Abnormalitas plasenta
ii. Umbilikus
1. Ruptur ataupun abnormalitas umbilical cord
2. Inadequat co

3. Patogenesis
Apabila tidak terdapat besi yang cukup untuk produksi hemoglobin normal maka akan terjadi
anemia dimana sel darah yang diproduksi kecil dan pucat(mikrositik hipokrom) .Keadaan anemia
defisiensi besi akan melalui 3 stadium yaitu :
1. Stadium 1 (deplesi besi)
Hanya ditandai oleh kekurangan persediaan besi di dalam depot,imana kadar besi dalam
serum dan kadar hemoglobin masih normal.
2. Stadium 2 (defisiensi besi)
Kadar besi dalam serum mulai menurun,tetapi kadar Hb dalam darah masih normal.
3. Stadium 3 (anemia defisiensi besi)
Ditandai penurunan kadar hemoglobin MCV, MCH, MCHC disamping penurunan kadar
feritin dan besi dalam serum

4. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
 Anak tampak pucat, lemah, mudah lelah, sering berdebar-debar dan sakit tulang.
 Faktor predisposisi:
- Konsumsi besi yang kurang
- Absorbsi yang tidak adekuat
• Besi pada asi lebih sulit diabsorbsi dibandingkan susu sapi

3
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

• Pada pH lambung yang tinggi atau pada anak dengan konsumsi antasida
• Pada penyakit atau gangguan pada saluran pencernaan
- Kehilangan darah yang kronis
• Perinatal (perdarahan saat masih di dalam dikandungan )
o Putusnya tali pusat sebelum waktunya
o Pengikatan tali pusat yang tidak benar
o Setelah transfuse tukar
• Post natal
o Hipersensitifitas pada susu sapi
o Gastritis pada penggunaan steroid, NSID dan fenilbutazon
o Infeksi parasit
o Riwayat Henoch-Schonlein purpura
• Pada infant
o Peningkatan kebutuhan besi
• BBLR, prematuritas, multi gravida, hipoksia kronik, penyakit jantung bawaan
sianotik, kadar Hb yang rendah saat lahir,
o Kehilangan darah atau perdarahan saat persalinan
o Riwayat diet
 Pemberian susu sapi dan makanan padat yang terlalu cepat
 Makanan dengan kadar besi yang kurang
 Konsumsi vitamin C yang kurang
 Konsumsi daging yang kurang
 Pemberian ASI lebih dari 6 bulan tanpa suplementasi besi

b. Pemeriksaan Fisik
 Anemis, tidak ikterus, mungkin ditemukan atrofi papil lidah, pada anemia kronis dapat
terjadi pembesaran jantung dan bising sistolik fungsional yang dinamakan “Pan Systolik
Murmur”.
 Hepar dan lien tidak membesar.
Biasanya tidak tampak sakit berat karena perjalanan penyakit menahun kecuali bila Hb
rendah sekali

c. Pemeriksaan Penunjang

- Hemoglobin: nilai Hb yang rendah


- Kadar MCV < 79 CU, MCH < 27µg, MCHC < 32%,
- Pada apusan darah tepi: hipokrom-mikrositik, anisositosis, poikilositosis,sel pensil dan sel target
- Serum iron merendah dan IBC meningkat, kadar ferritin serum menurun.
- FEP (free erythrocyte protoporphyrin) yang meningkat
- Terapi percobaan dengan Sulfas ferosus 3 mg/kgBB per hari selama satu bulan.

Kriteria diagnosis menurut WHO:


- Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
- Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata <31% (N:32-35%)
- Kadar Fe serum <50Ug/dl (N:80-180U/dl)
- Saturasi transferin <15% (N:20-50%)
- Ferritin <20mg/ml

4
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

5. Diagnosis Banding
Anemia Penyakit Kronik Thalasemia Hemoglobinopati
Thalasemia trait
Hemoglobinopati

6. Diagnosis Kerja
Anemia defisiensi besi

7. Tatalaksana

Terapi
1. Mencari faktor penyebab dan mengobati sesuai standar profesi misalnya terhadap
ankilostomiasis
2. Memberikan makanan yang banyak mengandung Heme Fe seperti daging dan hati
3. Besi elemental 3-5mg/kgBB diberikan 3x sehari
4. Pemberian suplemen besi pada bayi dengan berat lahir rendah:
• Infant 1,5 – 2,0 kg : 2 mg/kgBB/hari
• Infant 1,0 – 1,5 kg : 3 mg/kgBB/hari
• Infant < 1 kg : 4 mg/kgBB/hari
5. Tranfusi: Diberikan packed red cell, apabila terdapat tanda-tanda gangguan oksigenasi atau
kadar Hb <6g%. Jumlah yang diberikan = kenaikan Hb yang diinginkan XBB (kg) X4, dengan
catatan makin rendah Hb anak maka dosis tiap kali transfusi perhari menjadi semakin kecil
(berkisar antara 5-10cc/kgBB/hari)

Edukasi
Menganjurkan pemberian ASI untuk bayi dan pemberian preparat besi pada bayi premature sampai
usia 1 tahun atau pemberian makanan tambahan yang mengandung suplemen besi pada usia 4-6 bulan

8. Komplikasi dan Prognosis


Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam

9. Referensi

Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition.
Elsevier. 2011: 168-99.
Kawsari, Zlotkin Stanley, Parkin P. Iron Deficiency Anemia in Childen. Canadian Paediatric
Surveilance. 2011.

5
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

dr. Yusmala ,Sp.A(K) dr. Dian Puspita Sari, Sp.A(K)

6
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

ANEMIA HEMOLITIK (THALASSEMIA)


ICD10 : D.56

1. Definisi
Merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang disebabkan defek genetik (mutasi) pada
gen-gen globin yang ditandai oleh berkurangnya atau tidak disintesis satu atau lebih rantai globin
pembentuk hemoglobin

2. Etiologi
Delesi atau mutasi gen yang diturunkan atau diwariskan

3. Patogenesis
Kelainan pada thalasemia disebabkan oleh delesi genetik (Thalasemia a) atau karena adanya
mutasi genetik (Thalasemia B) Hilangnya salah satu gen tidak akan memberikan gejala
klinis.Sedangkan hilangnya 2 gen hanya akan bermanifestasi ringan atau tidak memberikan gejala
klinis yang jelas. Hilangnya 3 gen (penyakit H) menyebabkan anemia moderat dan gambaran
klinis sebagai thalassemia-a- intermedia

4. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
Keluhan anemia umumnya: anak pucat yang lama (kronis), lemah, mudah lelah, sering
berdebar, perut membesar (akibat hepato splenomegali), gangguan pertumbuhan, riwayat
transfusi berulang, adanya riwayat penyakit yang sama dalam keluarga (thalassemia).
b. Pemeriksaan Fisik
Anemis/pucat, pertumbuhan terganggu atau short stature, “Facies cooley”, pembesaran hati
dan limpa, gizi kurang/buruk, hiperpigmentasi kulit, pubertas terlambat.
c. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium:
 Kadar Hb Rendah
 Retikulosit tinggi
 “Blood film“: anisositosis, poikilositosis, hipokrom, seltarget(+), fragmentosit, seleritrosit
muda (normoblast).
 Kadar HbF lebih dari 1% dan atau ditemukan Hb Patologis pada Hb analisa
Radiologi:
 Pada tulang-tulang panjang akan tampak gambar osteoporosis serta kortek tulang menipis
akibat medulla yang melebar.
 Pada tulang tengkorak tampak atap tulang tengkorak yang menebal,kadang-kadang tampak
“HairBrushAppearrance”.

5. Diagnosis Banding
- Anemia defesiensi Fe
- Anemia Sideroblastik
- Anemia defisiensi G6PD

7
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

6. Diagnosis Kerja
Thalassemia β mayor

7. Tatalaksana
Terapi
1. Transfusi darah. Diberikan “Packed red cell leuco depleted” dan untuk pertama kali diberikan
bila Hb < 7g/dl yang diperiksa berturut-turut dengan jarak 2 minggu atau Hb ≥7g/dl disertai
gejala: perubahan muka, gangguan tumbuh kembang, fraktur tulang dan terdapat
hematopoeitik ekstrameduler. Pada penanganan selanjutnya, transfuse diberikan bila Hb <9g/dl
dan dipertahankan Hb12g/dl.
2. Pemberian “Iron Chelating Agent”atau kelasi besi jika didapatkan kadar ferritin ≥1000.
Preparat kelasi besi yang digunakan adalah Deferiprone (ferriprox) dengan dosis 50-
100mg/hari (3xperhari), Deferasirox (exjade) dengan dosis 75-100mg/hari (1xperhari) dan
Deferoxamine (desferal) dengan dosis 30-50 mg/kg selama 5 hari dalam seminggu.
3. Diet yang adekuat, roboransia.
4. Pemberian asam folat 2x5mg/hari, vitaminE 2 x 200IU/hari, Aspilet 80mg jika trombosit
>600.000/µl

Edukasi
 Seluruh keluarga diperiksa. Bila ada pembawa sifat diberikan marriage counseling sebelum
menikah.
 Saran Keluarga Berencana.
- Bila mendapatkan anak dengan fenotif normal, dianjurkan untuk KB
- Bila tidak mendapatkan anak dengan fenotif normal, boleh punya anak lagi dengan
kemungkinan thalassemia atau membawa sifat thalassemia.
- Pencegahan terhadap infeksi, misalnya infeksi saluran pernapasan

8. Komplikasi dan Prognosis

Advitam: dubia ad bonam


Ad sanationam: dubia ad malam
Ad functionam: dubia ad bonam

9. Referensi
Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition.
Elsevier. 2011: 168-99.

Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

dr. Yusmala ,Sp.A(K) dr. Dian Puspita Sari, Sp.A(K)

8
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT


ICD10:C.91.0

1. Definisi
Adalah suatu keganasan pada seri granulopoetik ditandai dengan akumulasi limfoblas di sum-
sum tulang dan merupakan keganasan tersering pada anak.

2. Patogenesis
Leukimia terjadi akibat proliferasi berlebihan sel darah putih yang imatur dalam jaringan tubuh
yang membentuk darah. Patologi dan manifestasi klinis sangat ditentukan oleh infiltrasi dan
penggantian setiap jaringan tubuh dengan sel sel leukimia yang nonfungsional. Tiga akibat utama
dari dari infiltrasi sumsum tulang adalah anemia,infeksi dengan netropenia dan tendensi
terjadinya perdarahan.

3. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
 Pucat mendadak, demam, perdarahan kulit berupa bercak kebiruan, perdarahan dari organ
tubuh lainnya misalny aepistaksis, perdarahan gusi, hematuria dan melena.
 Bisa timbul mual, muntah, pusing dan nyeri pada sendi.
 Sering demam dengan sebab yang tidak jelas.

b. Pemeriksaan Fisik
 Kulit : Tanda perdarahan; petechie, hematom, ekimosis,
 SSP : Nyeri kepala, muntah, papil edema, hemiparese, kejang, gejala TIK
meningkat
 Mata : perdarahan subkonjungtiva hingga perdarahan retina
 THT : Linfadenopati, Miculicz syndrome
 Jantung : kardiomegali ec anemia, tahikardi, hipotensi dengan gejala gagl jantung
 Paru : Efusi pleura,
 Gastro intestinal : Hepato-splenomegali
 Ginjal : Hematuri, perbesaran ginjal, hipertensi
 Muskuluskeletal : nyeri tulang dan sendi, osteolisis, perdarahan sendi

c. Pemeriksaan Penunjang
 Darah tepi: leukositosis atau hiperleukositosis yang hebat atau limfositosis relative disertai
gambaran penekanan sum-sum tulang berupa anemia, trombositopenia, netropenia, disertai
adanya sel-sel blast (limfoblast>5%)
 BMP: sistem eritropoetik, granulopoetik tertekan, limfoblast≥10%
 Apabila terjadi infiltrasi ke SSP maka dapat ditemukan sel-sel leukemia dalam cairan
serebrospinalis

9
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

4. Diagnosis Banding
 AML
 Reaksi Leukemoid
 Anemia aplastik
 ITP
 Infiltrasi tulang pada solid tumor (metastasis)
 Rheumatoid Fever

5. Diagnosis Kerja
Leukemia Limfoblastik Akut Resiko Tinggi (ALL HR)
Leukemia Limfoblastik Akut Resiko Standar (ALL SR)

Klasifikasi:
Kelompok “ French American British” (FAB), mengklasifikasikan ALL dalam 3 golongan yaitu
L1, L2 dan L3 berdasarkan gambaran pada histopatologinya.
Klasifikasi FAB ini dapat dipergunakan untuk meramalkan prognosa:
L1: lebih baik dari L
L2: lebih baik dari L3
L3: Prognosa Jelek

6. Tatalaksana
Terapi
Pengobatan
 Menggunakan Protokol Indonesia 2013, yang terbagi atas:
1. Protokol Indonesia 2013 ALL-SR
2. Protokol Indonesia 2013 ALL-HR

Edukasi
Mencegah perdarahan, infeksi selama dilakukan kemoterapi

7. Komplikasi dan Prognosis


Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam

8. Referensi
Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition.
Elsevier. 2011: 168-99.
Imbach, Paul, Kuhne, Thomas, Arceci. Pediatric Oncology a Comprehensive Guide. Second Edition.
2011: 5-20

9. Algoritma
Protokol 2013 ALL HR dan ALL SR

10
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

Kepustakaan
Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016
Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

dr. Yusmala ,Sp.A(K) dr. Dian Puspita Sari, Sp.A(K)

11
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

HEMOFILIA
ICD10 : D.68.311

1. Definisi
Hemofilia merupakan suatu penyakit genetik atau gangguan perdarahan yang bersifat herediter
akibat kekurangan faktor pembekuan VIII dan IX. Saat ini dikenal dua bentuk hemofilia, yaitu
hemophilia A karena kekurangan faktor VIII (anti hemophilic factor) dan hemophilia B karena
kekurangan faktor IX (Christmas factor).

2. Etiologi
Kurangnya faktor pembekuan VIII (hemophilia A) dan IX (hemophilia B)

3. Patogenesis
Dasar abnormalitas pada hemofili adalah defisiensi atau gangguan fungsi salah satu faktor
pembekuan yaitu faktor VIII pada hemofilia A serta kelainan faktor IX pada Hemofilia B dan
faktor XI pada hemofilia C.Salah satu komplikasi berat pada penerita hemofilia adalah
terbentuknya neutralizing alloantibody atau inhibitor.Inhibitor adalah suatu poliklonal antibodi
immunoglobulin(Ig)G engan afinitas tinggi yang berfungsi menghancurkan substansi yang tidak
ikenali.Paa penerita hemofilia,inhibitor ini langsing melawan faktor VIII,IX an XI selama
diberikan terapi penggganti .

4. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
 Perdarahan yang sukar berhenti setelah atau tanpa adanya trauma/operasi
 Perdarahan pada sendi dan otot yang mengenai pembuluh darah besar.
 Riwayat/silsilah keluarga dengan hemofilia

b. Pemeriksaan Fisik
 Hemartrosis
 Hematom Intramuskular
 Hematuria
 Perdarahan mukosa (mulut, gigi, epistaksis, GEH)
 Resiko tinggi perdarahan:
o SSP( Intra cranial, intra spinal)
o Retrofaringeal
o Retroperitoneal
o Perdarahan karena trauma (femur, tibia, perineal, otot fleksi pada tangan dan bokong)

c. Pemeriksaan Penunjang
 Darah tepi: pada saat awal normal (Hb, leukosit, trombosit)
 Masa perdarahan normal, masa pembekuan memanjang, rumple leed negatif
 PTT atau aPTT memanjang. PT dan TT normal
 Pemeriksaan FVIII atau FIX kurang dari normal.

5. Diagnosis Banding

12
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

Penyakit Von Willebrand

6. Diagnosis Kerja
- Hemofilia A
- Hemofilia B

Tipe Persentasi Faktor Tipe perdarahan


VIII/IX
Berat (severe) <1 Spontan, hemartrosis dan perdarahan jaringan lunak,
Moderate/ 1–5 Perdarahan berat pada trauma ringan atau berat, hemartrosis,
Sedang kadang dengan perdarahan spontan
Mild/ringan 5-25 Perdarahan berat hanya pada trauma sedang dan berat atau
operasi

7. Tatalaksana
Terapi
a. Keadaan emergensi/penderita baru dan jenisnya belum jelas diberikan plasma segar.
b. Pengobatan khusus tergantung jenis dan derajat hemofilia:
 Hemofilia A diberi konsentrat faktorVIII
 Hemofilia B diberi konsentrat faktor IX
Bila tidak ada konsentrat:
 Hemofilia A diberi Kriopresipitat
 Hemofilia B diberi plasma segar
c. Pemberian konsentrat secara intravena selama 5-10menit, dosis sesuai derajat hemofilia
 Hemofilia Ringan: faktor pembekuan 5-10%, dosis Konsentrat 10 Iu/kgBB, akan
meningkatkan faktor VIII sebesar20%
 Hemofilia Sedang: faktor pembekuan1-5%, dosis konsentrat 15-25Iu/kgBB, akan
meningkatkan faktor VIII sebesar30-50%, dosis maintenans10-15Iu/kgBB setiap8-12jam
 Hemofilia Berat: faktor pembekuan <1%, dosis konsentrat 40-50Iµ/kgBB, akan meningkatkan
faktor VIII sebesar 80-100%, dosis maintenans 20-25Iu/kgBB setiap8-12jam
Pengobatan tergantung derajat hemofilia:
- Hemofilia berat : tidak menunggu perdarahan, langsung terapi substitusi dengan anti
hemophilia setiap hari sampai mencapai target faktor pembekuan>5%.
- Hemofilia sedang : tergantung adanya perdarahan terutama perdarahan sendi

Edukasi
Pencegahan perdarahan
- Semua penderita dibatasi aktivitas fisik, dinasehatkan dilarang olah raga yang menyebabkan
benturan fisik seperti sepak bola, beladiri, bersepeda
- Cara hidup penderita antara lain: jika sekolahnya bertingkat sebaiknya kelasnya di lantai bawah,
dirumah jangan banyak perabot (meja) yang banyak siku-siku, rak buku jangan tinggi sehingga
penderita tidak perlu memanjat untuk mengambilnya
8. Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi
 Perdarahan intracranial
 Kerusakan ginjal

13
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

 Hipertensi
 Splenomegali
 Artritis
 Atrofi otot
 Sirosis
 Hepatitis
 HIV

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad bonam

9. Referensi
Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition.
Elsevier. 2011: 168-99.

Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

dr. Yusmala ,Sp.A(K) dr. Dian Puspita Sari, Sp.A(K)

14
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

IMMUNE TROMBOSITOPENIA PURPURA(ITP)


ICD10 : D.69.3

1. Definisi
Immune thrombocytopenic purpura (ITP) yang disebut juga auto immune thrombocytopenic
purpura, morbus Wirlhof atau purpura hemorrhagica merupakan kelainan perdarahan (bleeding
disorder), akibat destruksi premature trombosit yang meningkat akibat auto antibody yang
mengikat antigen trombosit. Umumnya terjadi pada anak usia 2-4tahun, dengan insiden 4-8 kasus
per 100.000 anak pertahun. ITP terjadi akut dan biasanya sembuh sendiri dalam 6 bulan, bila
dalam waktu 6 bulan tidak sembuh maka diagnosis menjadi ITP Kronis.

2. Etiologi
Idiopatik

3. Patogenesis
Kerusakan trombosit pada ITP melibatkan autoantibodi terhadap glikoprotein yang terdapat pada
membran trombosit,yang menyebabkan penghancuran terhadap trombosit yang diselimuti
antibodi (antibody-coated platelets) oleh makrofag yang terdapat pada limpa dan organ
retikuloendotelial. Mega kariosit dalam sumsum tulang bisa normal atau meningkat. Sedangkan
kadar trombopeitin dalam plasma merupakan progenitor proliferasi dan maturasi ari trombosit
mengalami penurunan yang berarti terutama pada ITP kronis.

4. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
- Perdarahan spontan di bawah kulit, perdarahan dari hidung, perdarahan gusi, yang sering
didahului oleh demam/infeksi sebelumnya.
- Umumnya trombositopenia terjadi 1-3 minggu setelah infeksi virus atau bakteri (infeksi
saluran napas atas, saluran cerna), bisa juga terjadi setelah vaksinasi rubella, rubeola, varisela
atau setelah vaksinasi dengan virus hidup.
- Perdarahan yang terjadi tergantung jumlah trombosit di dalam darah. Diawali dengan
perdarahan kulit berupa petekie hingga lebam. Perdarahan ini biasanya dilaporkan terjadi
mendadak.
- Obat-obatan, misalnya heparin, sulfonamid, kuinidin/kuinin, aspirin dapat memicu terjadinya
kekambuhan. Obat yang mengandung salisilat dapat meningkatkan risiko timbulnya
perdarahan.

b. Pemeriksaan Fisik
- Adanya tanda-tanda perdarahan di kulit seperti petekie, ekimosis, epistaksis atau gusi
berdarah atau dapat pula terjadi anemia apabila perdarahan berlangsung lama/kronis. Rumple
Leed test positif.
- Tidak ada pembesaran hati dan limpa.

c. Pemeriksaan Penunjang
 Darah tepi:
Morfologi eritrosit, leukosit dan retikulosit biasanya normal.

15
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

Hemoglobin, indeks eritrosit dan jumlah leukosit normal.


Anemia bisa terjadi bila ada perdarahan spontan yang banyak
Trombositopenia, besar trombosit umumnya normal, hanya kadang ditemui bentuk trombosit yang
lebih besar (giant platelets)
 Masa perdarahan memanjang (Bleeding Time)
 BMP: Tidak perlu bila gambaran klinis dan laboratoris klasik. Dilakukan pemeriksaan aspirasi
sumsum tulang bila gagal terapi selama 3-6 bulan, atau pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya
pembesaran hepar/lien/kelenjar getah bening dan pada laboratorium ditemukan bisitopenia.

5. Diagnosis Banding
- Penurunan produksi trombosit:
1. Kongenital: TAR syndrome, anemia fanconi, thrombositopenia amegakariositik
2. Didapat: leukemia,anemia aplastik, neuroblastoma, defisiensi nutrisi, obat-obatan

- Peningkatan destruksi trombosit:


1. Imun : Neonatal alloimmune Trombositopenia
2. Non imun : sindroma uremik hemolitik, DIC, penyakit jantung sianotik
- Gangguan kualitas trombosit: SindromWiskott-Aldrich, Sindrom Bernard Soulier, Anomali
May-Hegglin, Sindrom Gray Platelet
- Sekuestrasi: Sindrom Kasabach-Merrit, hipersplenisme

6. Diagnosis Kerja
- ITP Akut
- ITP Kronik

7. Tatalaksana
Terapi
1. Pengobatan
a. Pada penyakit pertama kali atau ITP akut
 Trombosit > 50 x 109/μl
Observasi sambil mencari kausa selama 2 minggu
Bila lebih dari 2 minggu tidak ada perbaikan atau trombosit menurun dengan perdarahan
yang masif, pengobatan dengan prednisone dengan dosis 2mg/kgBB/hari.
 Bila trombosit < 20 x 109/μl langsung diterapi prednisone
b. Pada ITP yang berulang
Bila ada perdarahan, trombosit turun, langsung diterapi prednison.
Keterangan:
- ITP akut, apabila terdapat episode perdarahan yang dapat mencapai remisi dalam beberapa
hari sampai minggu atau sampai waktu 6 bulan, biasanya terjadi pada anak usia 2-5 tahun
- ITP kronis/rekuren, apa bila episode trombositopenia terjadi dalam interval lebih dari 6 bulan,
biasanya terjadi pada anak usia >7tahun
2. Lama pengobatan:
 Bila remisi, prednisone tappering
 Bila eksarsebasi, terapi selama 6 bulan, kemudian stop
 Tak remisi, terapi 2 bulan, kemudian stop, diberi sitostatika (seperti: siklofosfamid,vincristin
atau vinblastin)

16
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

3. Alternatif lain dengan Imunoglobulin

Edukasi
Perawatan/PencegahanPerdarahan
Prinsip perawatan adalah mencegah perdarahan terutama perdarahan intrakranial:
- Penderita istirahat, menghindari aktivitas yang dapat menyebabkan trauma kepala dan
peningkatan tekanan intracranial seperti lari, bersepeda, memanjat atau beladiri.
- Apa bila penderita batuk, segera diobati sesuai penyebab dan diberikan antitusif
- Mengusahakan defekasi yang baik dengan memberikan makanan yang mudah dicerna atau apa
bila kesulitan defekasi dilakukan klisma atau diberikan laksansia.
- Bila anak rewel, dicari dan diatasi faktor pencetusnya, kalau perlu diberikan sedatif.

8. Komplikasi dan Prognosis

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam

9. Referensi
Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition.
Elsevier. 2011: 168-99.

10. Algoritma

Kepustakaan

Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

dr. Yusmala ,Sp.A(K) dr. Dian Puspita Sari, Sp.A(K)

17
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

LIMFOMA HODGKIN
ICD10:C.81.7

1. Definisi
Limfoma Hodgkin merupakan penyakit yang progresif dengan perbesaran limfa nodus yang tidak
nyeri, disertai terhubungnya kelenjar limfe regional yang dikonfirmasi dengan hasil histopatologis
pada kelenjar yang dicurigai yang telah diinfiltrasi oleh sel-sel (histiosit, plasmosit, eosinofil dan
netrofil) dan sel Reed-Sternberg.

2. Etiologi
Idiopatik

3. Patogenesis
Sel reed sternberg mewakili komponen maligna Hogkin dimana asal usul sel ini sampai sekarang
belum diketahui .Sel ini tidak membawa penanda permukaan sel B dan T.Sel yang mirip reed
sternberg dari perbenihan tampak menimbulkan antigen permukaan dengan sejumlah kecil sel
‘dendrit’ pada daerah parafolikel nodus limfatik.Berkurangnya kapasitas ‘memberitahukan’
antigen berkaitan dengan transformasi neoplasi sel ‘dendritik’ mungkin menjelaskan adanya
gangguan imunitas sel T pada penyakit Hodgkin.

4. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
 Ditemukan pembesaran kelenjar limfe (60-80% di temukan pembesaran kelenjar limfe leher)
yang tidak nyeri
 Penyebaran perbesaran kelenjar umumnya mulai dari saru regional ke yang lain
 Gangguan di luar limfe (batuk, sesak, disfagia dan perbesaran pembuluh darah colli)
 Demam tanpa diketahui penyebabnya.
 Penurunan berat badan lebih dari10% dalam waktu 6 minggu terakhir tanpa diketahui
penyebabnya.
 Berkeringat pada malam hari, lesu, nafsu makan menurun.

b. Pemeriksaan Fisik
 Limfadenopati, dapat sebagian ataupun generalisata dengan predileksi terutama daerah
servikal yang tidak terasa nyeri, diskret, elastis dan biasanya kenyal
 Splenomegali
 Gejala-gejala penyakit paru (bila yang terkena kelenjar getah bening mediastinum dan hilus)
 Gejala-gejala penyakit susunan saraf (biasanya muncul lambat).

c. Pemeriksaan Penunjang
 Gambaran Radiologis :
• Ditemukan pembesaran kelenjar getah bening mediastinum
•Pada keadaan yang berat tampak gambaran sklerotik dan litik pada tulang (tersering
pada vertebra dan pelvis)
 USG abdomen : ditemukan pembesaran kelenjar getah bening paraaorta

18
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

 BMP: infiltrasi sel-sel limfoma pada sum-sum tulang

5. Diagnosis Banding
- Limfoma Non Hodgkin
- Metastasis
- Toxoplasmosis, Tuberkulosis, atipikal mikobakterium
- Thymus hyperplasia

6. Diagnosis Kerja
- Limfoma Hodgkin

7. Tatalaksana

Terapi
1. Stadium I dan II : Radioterapi.
2. Stadium III dan IV : Kemoterapi menurut protocol MOPP yang terdiri dari:
 Nitrogen mustard 6mg/m2
 Vincristin 1,4mg/ m2 pada hari pertama dan ke delapan
 Prednison 60mg/m2 mulai hari ke 1 – 14 kemudian tapering off
 Procarbazine100mg/ m2 mulai hari ke 1 – 14
Pemberian obat diulangi setelah masa istirahat selama 2 minggu, pengobatan diberikan selama18-24
bulan terus menerus.

Edukasi
Personal hygiene dan mencegah infeksi selama kemotrapi

8. Komplikasi dan Prognosis

Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam

9. Referensi
Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition.
Elsevier. 2011: 168-99.
Imbach, Paul, Kuhne, Thomas, Arceci. Pediatric Oncology a Comprehensive Guide. Second
Edition. 2011: 63 – 73

10. Algoritma

Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

19
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

dr. Yusmala ,Sp.A(K) dr. Dian Puspita Sari, Sp.A(K)


LIMFOMA NON HODGKIN
ICD10:C.85.9

1. Definisi
Limfoma non Hodgkin adalah neoplasia dari sistem limfatik dan sel prekursornya dengan
gangguan genetik pada regulasi proliferasi, diferensiasi dan apoptosis.
Jika sum-sum tulang ikut terlibat, akan didapatkan gambaran klinis yang serupa dengan leukemia.

2. Etiologi
Idiopatik

3. Patogenesis
Perubahan pada limfosit normal menjadi sel limfoma (abnormal) adalah akibat mutasi gen pada
salah satu sel dari kelompok sel limfosit yang belum aktif yang berada di dalam proses
tranformasi menjadi imunoblas .Beberapa perubahan pada sel limfosit inaktif ialah ukuran
bertambah besar dengan kromatin yang lebih halus,nukleoli yang terlihat dan protein permukaan
sel mengalami perubahan.

4. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
 Pembengkakan kelenjar limfe pada daerah-daea dalam rah seperti leher, lipat paha, ketiak,
abdomen atau mediastinum.
 Terdapat gejala yang tidak khas seperti:
- Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 6 bulan terakhir, tanpa diketahui
penyebabnya.
- Sering demam, sering berkeringat malam, anak tampak lesu serta nafsu makan berkurang.

b. Pemeriksaan Fisik
 Abdomen: khususnya ileosecal, mesenterium, retroperitoneum dan ovarium:
o Nyeri perut, muntah
o Abstipasi, intussusepsi: pada anak > 6 tahun curiga NHL
o Gejala seperti apendisitis
o Ileus, asites dan gangguan berkemih
 Mediastinum:
o Terutama pada anterior dan bagian tengah mediastinum atau thymus area (batuk, dipsneu,
stridor, wheezing)
o Vena cava superior sindrom
o Efusi pleura
 Limfa nodus perifer:
o Tersering pada cervical, supraklavikular dan inguinal
o Limfanodus padat, multiple dan sering unilateral
 Gangguan pada SSP, kulit, otot, tulang, dada dan sistem lainnya, gejalanya tergantung lokasi.

c. Pemeriksaan Penunjang
 Patologi Anatomi

20
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

 Rontgen thoraks : ditemukan pembesaran kelenjar getah bening mediastinum


 USG abdomen : ditemukan pembesaran kelenjar getah bening paraaorta
 BMP : infiltrasi sel-sel limfoma pada sumsum tulang.

5. Diagnosis Banding
- Limfoma Hodgkin
- Neuroblastoma
- Burkit limfoma
- Burkit like lymphoma
- Lymphoblastic lymphoma
- ALCL
- ALL

6. Diagnosis Kerja
Limfoma non Hodgkin

7. Tatalaksana
Terapi
Pengobatan
Kemoterapi menurut protocol COPP yang terdiri dari:
 Cyclophosphamide 800mg/m2/ hari pada hari pertama i.v
 Vincristin 2mg/m2/hari pada hari pertama i.v
 Prednison 60mg/m2 pada hari ke 1 – 7, kemudian tapering off
 Procarbazine100mg/m2 mulai hari pertama sampai hari ke-14 tapi tidak diberikan karena sulit
didapat.
Pemberian obat diulangi setelah masa istirahat selama 2 minggu, pengobatan diberikan selama 3
tahun remisi terus menerus.

Edukasi
Menjaga kebersihan diri (Personal hygiene) dan mencegah infeksi selama kemotrapi

8. Komplikasi dan Prognosis

Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam

9. Referensi
Lanzkowsky,Philip. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition. Elsevier.
2011: 168-99.
Imbach, Paul, Kuhne, Thomas, Arceci. Pediatric Oncology a Comprehensive Guide. Second Edition.
2011: 63 – 73
Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016
Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

21
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

dr. Yusmala ,Sp.A(K) dr. Dian Puspita Sari, Sp.A(K)

TUMOR SEL GERMINAL(TERATOMA)


ICD10:C.62.90

1. Definisi
Merupakan tumor yang berkembang dari sel germinal embrional dan mungkin merupakan tumor
dari ektoderm, mesoderm dan endoderm.

2. Etiologi
Terbentuk dan berkembang selama kehidupan intrauterine yang berasal dari sel germinal pada
saat miosis pertama

3. Patogenesis
Teratoma tersusun atas berbagai jenis sel parenkimal yang berasal dari lebih dari satu lapisan
germinal dan sering berasal dari ketiga lapisan. Tumor ini berasal dari sel totipoten, umumnya
pada garis tengah atau para axial. Lokasi yang paling sering ditemukan adalah sacrococcygeal
(57%). Kemudian di gonad (29%). Lokasi gonad yang paling sering adalah pada ovarium, disusul
testis. Mediastinum (7%) retroperitoneal(4%) cervical(3%) dan intrakranial (3%). Sel sel
beriferensiasi sesuai lapisan germinal, yang terdiri dari berbagai jaringan pada tubuh, seperti
rambut, gigi, lemak, kulit, otot dan jaringan endokrin

4. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
Teratoma tersusun atas berbagai jenis sel parenkimal yang berasal dari lebih dari satu lapisan
germinal dan sering berasal dari ketiga lapisan.Tumor ini berasal dari sel totipoten,umumnya
pada garis tengah atau para axial.Lokasi yang paling sering ditemukan adalah sacrococcygeal
(57%).kemudian di gonad (29%).Lokasi gonad yang paling sering adalah pada
ovarium,disusul testis. Mediastinum (7%) retroperitoneal(4%) cervical(3%) dan intrakranial
(3%). Sel sel beriferensiasi sesuai lapisan germinal, yang terdiri dari berbagai jaringan pada
tubuh,seperti rambut,gigi,lemak,kulit,otot,dan jaringan endokrin

b. Pemeriksaan Fisik
Tumor dapat diraba dengan ukuran bervariasi. Massa tumor biasanya terletak pada salah satu
sisi disamping garis tengah, walaupun ada beberapa yang membesar jauh dari tulang
belakang. Massa teraba keras/kistik atau cenderung berlobus-lobus atau irreguler. Kadang-
kadang didapat pelebaran vena pada dinding perut.

c. Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium:
Darah/urin rutin biasanya normal. Kimia darah dalam batas normal. Pada keadaan
keganasan dapat dijumpai peningkatan kadar alfafeto protein(AFP),β-hCG,dan LDH.
 Radiologi:
Pada BNO dapat dijumpai bayangan massa yang umumnya pada satu sisi abdomen dengan
udara terdorong ke dalam usus di luar massa tersebut. Dapat dijumpai bayangan kalsifikasi
yang irregular berupa bercak-bercak kornifikasi yang merupakan pembentukan tulang dan

22
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

gigi.
 Pada IVP: tampak pendorongan dari ginjal pada sisi yang sama dan mungkin akan
mengalami penekanan dengan tanda-tanda hidronefrosis karena penekanan ureter
 Patologianatomi

5. Diagnosis Banding
- Neuroblastoma
- Wilmstumor

6. Diagnosis Kerja
Teratoma

7. Tatalaksana
Terapi
Pengobatan
Terapi yang utama adalah pembedahan/pengangkatan massa tumor.
Bila dijumpai komponen ganas maka diberikan terapi radiasi atau pemberian kemoterapi berupa
Actinomycin D, Siklofosfamid danVincristin.

Edukasi
Menjaga kebersihan diri (Personal hygiene) dan mencegah infeksi selama kemotrapi

8. Komplikasi dan Prognosis


Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam

9. Referensi
Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition. Elsevier.
2011: 168-99.
Imbach, Paul, Kuhne, Thomas, Arceci. Pediatric Oncology a Comprehensive Guide. Second Edition.
2011: 63 – 73
10. Algoritma

Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

dr. Yusmala ,Sp.A(K) Dr. Dian Puspita Sari Sp.A (K)

23
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

TUMOR WILM
ICD10:C.64.9
1. Definisi
Tumor Wilms adalah tumor ganas embrional ginjal yang berasal dari metanefron. Tumor ini
merupakan tumor ganas ginjal primer terbanyak pada bayi dan anak, mencakup 6% dari seluruh
penyakit keganasan pada anak.

2. Etiologi
Belum diketahui dengan pasti namun diduga berhubungan dengan delesi kromosom 11.

3. Patogenesis
Tumor Willm dapat terjadi secara sporadik,berkaitan dengan sindroma genetik dan atau bersifat
familial.Oleh karena itu,Willms tumor diperkirakan merupakan abnormalitas genetik.Namun
demikian patofisiologi pasien ini sampai sekarang belum jelas benar..Tumor diperkirakan
disebabkan karena kegagalan jaringan blastoma berdiferensiasis menjadi struktur ginjal normal.

4. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
 Adanya massa dalam perut (tumor abdomen) merupakan gejala awal tumor Wilms yang
paling sering(60%), kadang-kadang disertai nyeri perut.
 Hematuria (makroskopis) terdapat sekitar 25% kasus, akibat infiltrasi tumor ke dalam sistem
kaliks.
 Gejala lain berupa obstipasi, penurunan berat badan, diare, demam, malaise dan anoreksia.
Pada beberapa pasien dapat ditemukan nyeri perut yang bersifat kolik akibat adanya
gumpalan darah dalam saluran kencing

b. Pemeriksaan Fisik
 Tumor abdomen (berbatas tegas dan biasanya tidak melewati garis tengah
 Hipertensi (60% kasus)
 Demam
 Tanda-tanda sindrom yang berhubungan dengan tumor Wilms
 Pletore (karena polisitemia)
 Hematuria

c. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium:
 LED meningkat.
 Padaurinalisa dapat ditemukan gross hematuria ataupun mikroskopis hematuria.
 Pada darah tepi dapat ditemukan anemia.
 Terjadi peningkatan pada alfafetoprotein.
Radiologis:
 Pemeriksaan USG harus segera dilakukan.
 Pada foto polos abdomen terdapat pembesaran ginjal

24
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

 PadaIVP: gambaran khas berupa distorsi dari pelvis renalis dan kaliks pada daerah yang
terkena.

5. Diagnosis Banding
 Hepatoblastoma
 Tumor adrenokortikal
 Neuroblastoma
 Hidronefrosis
 Kistaginjal
 Mesoblastic nephroma
 Renal cell carcinoma

6. Diagnosis Kerja
Tumor Willm

7. Tatalaksana
Terapi
Prinsip pengobatan Tumor Willm adalah kombinasi dari pembedahan, kemoterapi dan radioterapi.
1. Pembedahan.
Dalam 24-48 jam setelah masuk rumah sakit diagnosis harus sudah ditegakkan dan segera
dilakukan moperasi.
2. Kemoterapi,tergantung stadium tumor.
a. Stadium I
Tidak diberikan kemoterapi pra bedah.
 Aktinomisin D15µg/kgbb/hari selama 5 hari dimulai dalam 24 jam setelah nefrektomi.
 Vinkristin1,5/m2 pada hari ke 1,7,15,21 paska bedah.
 Radioterapi tidak diberikan untuk:
1. Pasien kurang dari 2 tahun
2. Pasien berumur lebih dari 2 tahun, bila secara mikroskopis tidak ditemukan
perluasan sel tumor kedalam kapsul.
 Selanjutnya vinkristin dan aktinomisin D agar diberikan setelah 9 minggu, 3 bulan, 6
bulan, 12 bulan dan15 bulan paska bedah.

b. StadiumII
 Tidak diberikan kemoterapi prabedah. Aktinomisin D dan vinkristin diberikan dengan
dosis dan cara yang sama seperti pada stadium I.
 Penyinaran paska bedah terhadap daerah tumor dimulai bila mungkin dalam waktu 7
hari setelah nefrektomi.
 Pemberian kemoterapi selanjutnya seperti pada stadium I, tetapi waktu pemberian:
6minggu, 3, 6, 9, 12 dan 15 bulan paska bedah.
c. StadiumIII
 Tidak diberikan kemoterapi pra bedah.
 Aktinomisin D dan Vinkristin diberikan dengan dosis dan cara yang sama seperti
stadium I.
 Penyinaran terhadap seluruh abdomen.

25
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

 Kemoterapi pemeliharaan terdiri dari Vinkristin, Aktinomisin D dan Adreamisin.


Ketiganya diberikan pada 6 minggu,3 ,6 ,9 ,12 , 15 bulan paska bedah. Dosis dan cara
pemberian vinkristin dan aktinomisin D seperti biasa, sedangkan Adreamisan diberikan
dengan dosis 50mg/m2. Dosis pertama setelah penyinaran diturunkan menjadi 30mg/m2.

d. StadiumIV
 Metastase ke paru-paru pada saat diagnosis dengan tumor primer dapat diangkat: tidak
diberikan kemoterapi pra bedah.
 Operasi pada hari I(nefrektomi), kemoterapi paska bedah seperti stadium II.
 Radioterapi diberikan sebagai berikut:
- Bila tumor pecah, penyinaran seluruh abdomen seperti pada stadium III, diberi 7 hari
setelah nefrektomi.
- Bila tumor tidak pecah, maka penyinaran seperti pada stadium II.
- Bila hanya terdapat metastase ke paru-paru, penyinaran terhadap lapangan paru
ditunda sampai penilaian respon kemoterapi yang pertama dilakukan.
- Bila metastase tidak menghilang diberikan penyinaran terhadap lapangan paru
dengan dosis 2.000 rad, untuk setiap lapangan paru dengan dosis ekstra 1.000 rad
untuk setiap metastase, sisa tumor diobati dengan operasi.
 Penyebaran hematogen: misalnya ke hati, tulang, dsb., pada saat didiagnosa
diberikan kemoterapi pra bedah, operasi dengan pengangkatan tumor primer.
 Kemoterapi paska bedah: Vinkristin, aktinomiosin D, dan Adreamisin 50mg/m2
 Penyinaran paska bedah terhadap daerah tumor dan abdomen
 Kemoterapi pemeliharaan seperti pada stadium III
 Bila perlu dilakukan lobektomi hati sisa metastase
e. StadiumIV
Sebaiknya pengobatan diberikan berdasarkan penilaian secara individual demi pasien
(supportif)

Edukasi
Menjaga kebersihan diri (Personal hygiene) dan mencegah infeksi selama kemotrapi

8. Komplikasi dan Prognosis


Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam

9. Referensi
Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition. Elsevier.
2011: 168-99.
Imbach, Paul, Kuhne, Thomas, Arceci. Pediatric Oncology a Comprehensive Guide. Second Edition.
2011: 125 – 133

10. Algoritma

26
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

Kepustakaan
Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016
Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

dr. Yusmala ,Sp.A(K) Dr. Dian Puspita Sari Sp.A (K)

27
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

RETINOBLASTOMA
ICD10:C.69.20

1. Definisi
Retinoblastoma adalah tumor ganas saraf retina embrional yang merupakan keganasan intraocular
yang paling sering terjadi pada anak.

2. Etiologi
Disebabkan oleh mutasi gen RB1 pada kromosom 13q14.

3. Patogenesis
Retinoblastoma biasanya tumbuh di bagian posterior retina. Terdiri dari sel sel ganas kecil, bulat
yang berlekatan erat dengan sitoplasma sedikit.Retinoblastoma ada 2, yaitu:
1.Tumor Endofitik
Tampak sebagai tumor tunggal dalam retina dengan fokus ganda. Tumbuh ke dalam dan mengisi
ruang vitreous.Mudah dilihat dengan oftalmoskop
2.Tumor Eksofitik
Tumbuh ke arah luar,menembus koroid, sklera dan N.Optikus. Diagnosis lebih sukar. Perluasan
retinoblastoma kedalam koroid biasanya terjadi pada tumor yang masif dan mungkin menunjukkan
peningkatan kemungkinan metastasis hematogen. Perluasan tumor melalui lamina kribosa dan
sepanjang saraf mata dapat menyebabkan keterlibatan susunan saraf pusat.Invasi koroid dan saraf
mata meningkatkan risiko penyakit metastase.
Retinoblastoma yang tidak ditangani dengan baik akan berkembang di dalam mata dan menyebabkan
lepasnya lapisan retina,nekrosis dan menginvasi nervus optikus ke arah sistem saraf pusat.

4. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
Pada tahap dini timbul gejala “cat's eye sign” dengan bintik hitam mata menjadi putih dan
bila terkena sinar mengkilat seperti mata kucing (cat’s eye sign). Sering kali penderita datang
dengan stadium yang sudah lanjut dalam bentuk bola mata membengkak atau menonjol,
kadang menjadi juling. Dapat adanya benjolan pada kelenjar limfe leher, sakit kepala, pusing
dan nyeri pada tulang

b. Pemeriksaan Fisik
Pada mata dijumpai adanya proptosis, leukoria unilateral atau bilateral. Pada leher dapat
dijumpai adanya pembesaran kelenjar limfe preaurikuler.

c. Pemeriksaan Penunjang
Tujuan: untuk menegakkan diagnosis dan staging
 USG orbita
 Ct scan dan MRI orbita dan kepala sangat berguna untuk mengevaluasi nervus optikus,
orbital, keterlibatan sistem saraf pusat dan adanya kalsifikasi intraokular
 Aspirasi biopsi jarum halus hanya direkomendasikan pada kasus yang diagnosisnya masih
meragukan dan merupakan langkah yang dilakukan untuk mencegah penyebaran
ekstraokular dari sel tumor
 Untuk melihat penyebaran ekstraokular: aspirasi dan biopsi sum-sum tulang, sitologi--cairan

28
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

serebrospinal, bone scan

5. Diagnosis Banding
Retinoblastoma intraokuler:
- Coat disease
- Persistent hyperplastic primary vitreus
- Retrolental fibroplasia
- Hamartoma retina
- Endoftalmitis
- Infeksi toksokara
- Hamartoma astrositik
- Medulo epitelioma
- Katarak
- Uveitis
Retinoblastoma Ekstraokular
- Selulitis orbital
- Neuroblastoma metastatik
- Rabdomiosarkoma orbital
- Leukemia
- limfoma

6. Diagnosis Kerja
Retinoblastoma

7. Tatalaksana

Terapi
Penatalaksanaan Retinoblastoma meliputi operasi (enukleasi), radioterapi dan kemoterapi.
1. Operatif/exenteratio orbita, dipertimbangkan apabila:
 Tumor meliputi >50% bola mata
 Dicurigai keterlibatan rongga orbita atau saraf optikus
 Terdapat keterlibatan segmen anterior dengan atau tanpa glaucoma neovaskular
2. Radioterapi:
Retinoblastoma termasuk jenis tumor yang respon terhadap radioterapi
 Stadium dini: dosis tiap hari:150-200rad(total dosis <2tahun: 3.500rad; total dosis >2 tahun:
4.000rad)
 Paska operatif: pelaksanaan segera bila keadaan umum baik
 Syarat radioterapi: Hb >8g%, leukosit >3.000/µl, trombosit >80.000/µl
3. Sitostatika:
 Siklofosfamid 300 mg/m2/ minggu i.v selama 3 minggu, dilanjutkan oral 250 mg/m2
dilanjutkan oral 250 mg/m2 selama 5 hari berturut-turut dimulaihari 1-5.
 Methotrexate 20-25mg/m2/minggu dimulai hari ke-2
 Vincristin 2-2,5 mg/m2 /minggu, dimulai hari pertama minimal 6 minggu.
 Prednison dapat dipertimbangkan pemberiannya dengan dosis 40-50mg/m2 peroral hari 1-4

Edukasi

29
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

Menjaga kebersihan diri (Personal hygiene) dan mencegah infeksi selama kemotrapi

8. Komplikasi dan Prognosis


Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam

9. Referensi
Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition. Elsevier.
2011: 168-99.
Imbach, Paul, Kuhne, Thomas, Arceci. Pediatric Oncology a Comprehensive Guide. Second Edition.
2011: 125 – 133

10. Algoritma

Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

dr. Yusmala ,Sp.A(K) Dr. Dian Puspita Sari Sp.A (K)

30
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

OSTEOSARKOMA
ICD10:C.41.9

1. Definisi
Osteosarkoma adalah keganasan pada tulang yang merupakan salah satu keganasan tersering
pada anak anak dan usia dewasa muda. Predileksi tersering pada lengan atas, tungkai, perbatasan
dengan lutut karena osteosarcoma muncul terutama pada daerah tulang besar dengan rasio
pertumbuhan yang cepat.

2. Etiologi
• Belum diketahui dengan jelas
• Berhubungan dengan kecepatan pertumbuhan tulang
• Radiasi
• Alkilating agent dan antrasiklin mungkin dapat berhubungan dengan osteosarkoma sekunder
• Paget disease
• Genetik: diduga karena mutasi pada gen TP53 supresor

3. Patogenesis
Osteosarkoma lebih sering terjadi pada tulang ekstremitas yang posisinya dekat dengan
metaphyseal growth plate.Paling sering di daerah femur (42%) tibia ( 19%) dan humerus
(10%).lokasi lainnya adalah tengkorak ,rahang (8%) serta pelvis (8%).Osteogenik sarkoma secara
histologis mempunyai gambaran dari jaringan tulang atau osteoid serta gambaran pleomorf
jaringannya. Pemeriksaan histokimiad dapat menunjukkan adanya aktivitas alkali fofatase. Pada
telangiektasis osteosarkoma paa lesinya dapat ijumpai kantong darah yang dikelilingi sedikit
elemen seluler yang sangat ganas. Beberapa faktor risiko yang dikaitkan dengan patogenesis
terjadinya osteosarkoma adalah : faktor genetik (sindromFraumeni, Retinoblastoma familial,
sindrom Werner, Rothmund Thompson,Bloom) lesi tulang jinak ( Paget ,Osteomielitis kronis,
displasia fibrosis,osteokondroma dll) Riwayat radiasi dan atau kemoterapi, lokasi implan logam.

4. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
Penderita Osteosarkoma umumnya penderita mengeluh nyeri dan pembengkakan pada lokasi
tumor
b. Pemeriksaan Fisik
 Nyeri
 Palpasi adanya massa yang lunak dan panas
 Edema jaringan lunak
 Fraktur tulang (pada stadium lanjut)
 Keterbatasan Gerak
 Penurunan berat badan

c. Pemeriksaan Penunjang
 Foto X-Ray
Pada tulang menunjukkan reaksi periostal,gambaran litik dan sklerotik pada tulang,formasi
matrix osteoid di bawah periosteum dengan gambaran khas Codman’s Triangle, Sun burst
dan moth eaten

31
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

Pada paru-paru dapat mengambarkan kemungkinan adanya metastase


 MRI
Untuk mengetahui eksistensi tumor, keterlibatan jaringan lunak sekitar serta mencari
adanya skip lessions.
 Bone scan(+) atau PET – CT ( optional )
Menyingkirkan adanya metastasis di tulang
 Biopsi (biopsi Aspirasi Jarum halus (FNAB), core biopsy)
Berguna untuk konfirmasi histopatologi penegakan diagnosis
 Laboratorium darah (LDH / ALP )
Untuk mengevaluasi status keadaan umum dan persiapan terapi
 Penilaian skor huvos untuk evaluasi histologik respons kemoterapi
Neo adjuvant pre operasi. Penilaian ini dilakukan secara semikuantitatif dengan
membandingkan luasnya area nekrosis terhadap sisa tumor yang riabel :
Grade 1 : sedikit atau tidak ada nekrosis (0 - 50%)
Grade 2 : nekrosis >50 - <90 %
Grade 3 : nekrosis 90 - 99 %
Grade 4 : nekrosis 100 %

5. Diagnosis Banding
 Ewings Sarcoma
 Osteomyelitis
 Osteoblastoma
 Giant Cell Tumor
 Aneurysmal bone cyst
 Fibrous Dysplasia

5. Diagnosis Kerja
Osteosarkoma

Klasifikasi Histologi

1. Intramedullary
a. High- grade intramedullary osteosarcoma
b. Low-grade intramedullary osteosarcoma
2. Surface
a. Parosteal osteosarcomas
b. Periosteal osteosarcomas
c. High –grade surface osteosarcoma
3. Extraskletal

Klasifikasi Stadium
Terdapat 2 jenis klasifikasi stadium, yaitu berdasarkanMusculoskeletal Tumor Society
(MSTS) untuk stratifikasi tumor berdasarkan derajat dan ekstensi lokal serta stadium berdasar
American Joint Committee on Cancer (AJCC) edisi ke 7.

Sistem Klasifikasi Stadium MSTS (Enneking)


IA derajat keganasan rendah, lokasi intrakompartemen, tanpa metastasis

32
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

IB derajat keganasan rendah, lokasi ekstrakompartemen, tanp ametastasis


IIA derajat keganasan tinggi, lokasi intrakompartemen, tanpa metastasis
IIB derajat keganasan tinggi, lokasi ekstrakompartemen, tanpa metastasis
III ditemukan adanya metastasis

Sistem Klasifikasi AJCC edisi ke 7


IA derajat keganasan rendah, ukuran ≤ 8
IB derajat keganasan rendah, ukuran > 8 atau adanyadiskontinuitas
IIA derajat keganasan tinggi, ukuran ≤ 8
IIB derajat keganasan tinggi, ukuran > 8
III derajat keganasan tinggi, adanya diskontinuitas
IVA metastasis paru
IVB metastasis lain

6. Tatalaksana
 Kemoterapi: preoperatif dan post operatif.
 Protokol standar: Doxorubicin dan Cisplatin dengan atau tanpa Metotrexate
 Operasi dengan prosedur Limb Salvage .Bila tidak memungkinkan, maka dilakukan
tindakan amputasi

Edukasi:
- Deteksi dini terhadap kelainan / benjolan yang tampak pada tulang
- Menjaga kebersihan diri (Personal hygiene) dan mencegah infeksi selama kemotrapi

7. Komplikasi dan Prognosis


Prognosis
Ad vitam ; dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
Beberapa faktor yang menentukan prognosis pada pasien osteosarkoma :
a. Lokasi tumor
b. Ukuran tumor
c. Umur pasien
d. Metastasis ( ada/tidak, lokasi metastasis )
e. Respons histologi terhadap kemoterapi
f. Tipe dan margin operasi
g. BMI (Body Mass Index): tidak begitu related denganosteosarcoma tetapi berhubungan dengan
prognosis
h. ALP dan LDH level: menggambarkan luasnya lesi

8. Referensi
Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition.
Elsevier. 2011: 168-99.
Imbach, Paul, Kuhne, Thomas, Arceci. Pediatric Oncology a Comprehensive Guide. Second
Edition. 2011: 125 – 133

33
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

Kawiyana S.Osteosarkoma dan penanganannya .Dalam : Jurnal orthopedi RSUP sanglah edisi
maret 2010.Denpasar: Bagian/SMF Ortopedi dan traumatologi bagian bedah FK
unud;201068-74.

9. Algoritma

Kepustakaan

Mengetahui/menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

dr. Yusmala ,Sp.A(K) Dr. Dian Puspita Sari Sp.A (K)

34
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

CARCINOMA NASOFARING
ICD10:C.11.9

1. Definisi
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring dengan
predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring

2. Etiologi
Sampai sekarang penyebab pastinya belum jelas. Faktor lingkungan, genetik dan Virus Epstein-
Barr menjadi faktor yang diduga kuat menjadi penyebab awal pathogenesis pada penyakit ini.

3. Patogenesis
Sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses
proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host. Protein laten ini dapat
dipakai sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1 dan
LMP-1, LMP- 2A dan LMP-2B. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya pada 50% serum
penderita karsinoma nasofaring LMP-1 sedangkan EBNA-1 dijumpai di dalam serum semua
pasien karsinoma nasofaring.
Analisa genetik pada populasi endemik berhubungan dengan HLA-A2, HLAB17 dan HLA-
Bw26. Dimana orang dengan yang memiliki gen ini memiliki resiko dua kali lebih besar
menderita karsinoma nasofaring. makanan lain yang awetkan mengandung sejumlah besar
nitrosodimethyamine (NDMA), nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang
mungkin merupakan faktor karsinogenik karsinoma nasofaring.

4. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
Gejala nasofaring yang pokok adalah :
1. Gejala Telinga
- Oklusi Tuba Eustachius
- Pada umumnya bermula pada fossa Rossenmuller. Pertumbuhan tumor dapat menekan tuba
eustachius hingga terjadi oklusi pada muara tuba. Hal ini akan mengakibatkan gejala berupa
telinga mendengung (tinnitus) pada pasien. Gejala ini merupakan tanda awal pada KNF.
- Oklusi Tuba Eustachius dapat berkembang hingga terjadi Otitis Media.
- Sering kali pasien datang sudah dalam kondisi pendengaran menurun, dan dengan tes rinne
dan webber, biasanya akan ditemukan tuli konduktif
2. Gejala Hidung
- Epistaksis, dinding tumor biasanya dipenuhi pembuluh darah yang dindingnya rapuh,
sehingga iritasi ringan pun dapat menyebabkan dinding pembuluh darah tersebut pecah.
- Terjadinya penyumbatan pada hidung akibat pertumbuhan tumor dalam nasofaring dan
menutupi koana. Gejala menyerupai rinitis kronis.
3. Gejala Mata
Pada penderita KNF seringkali ditemukan adanya diplopia (penglihatan ganda) akibat
perkembangan tumor melalui foramen laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV dan N.
VI. Bila terkena chiasma opticus akan menimbulkan kebutaan.
4. Penanda tumor
Pembesaran kelenjar limfa pada leher, merupakan tanda penyebaran atau metastase dekat
secara limfogen dari karsinoma nasofaring.
5. Cranial Sign

35
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai saraf-saraf kranialis.
Gejalanya antara lain :
 Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara hematogen.
 Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.
 Kesukaran pada waktu menelan
 Afoni
 Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N. IX, N. X, N. XI, N.
XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada Lidah, Palatum, Faring atau laring, M.
Sternocleidomastoideus, M. Trapezeus

b. Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara rinoskopi posterior
(tidak langsung) dan nasofaringoskop (langsung) serta fibernasofaringoskopi. Dapat
ditemukan tumor berupa massa yang menonjol pada mukosa dan memiliki permukaan halus,
berrnodul dengan atau tanpa ulserasi pada permukaan atau massa yang menggantung dan
infiltratif. Namun terkadang tidak dijumpai lesi pada nasofaring sehingga harus dilakukan
biopsi dan pemeriksaan sitologi

c. Penunjang
- Rontgen : dapat mendeteksi adanya massa ketika sudah berukuran cukup besar
- CT Scan dan MRI : dapat dilihat secara jelas ada tidaknya massa dan sejauh apa
penyebaran massa tersebut, hingga dapat membantu dalam menentukan stadium dan jenis
terapi yang akan dilakukan
- Laboratorium: Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan IgA anti VCA
(capsid antigen) untuk infeksi virus epstein-barr telah menunjukan kemajuan dalam
mendeteksi karsinoma nasofaring
- Pemeriksaan histopatologi samapai saat ini merupakan baku emas dalam penentuan
diagnosis penyakit keganasan

6. Diagnosis Banding
- Angiofibroma Juvenilis
- Hiperplasia Adenoid
- Tumor kelenjar parotis

7. Diagnosis Kerja
Tabel1 Formula Digsby
Gejala Nilai
Massa terlihat pada Nasofaring 25
Gejala khas di hidung 15
Gejala khas pendengaran 15
Sakit kepala unilateral atau bilateral 5
Gangguan neurologik saraf kranial 5
Eksoftalmus 5
Limfadenopati leher 25

36
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

Bila jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma nasofaring dapat
dipertangungjawabkan.

8. Tatalaksana
Terapi
Prinsip penatalaksanaan karsinoma nasofaring didasarkan pada stadium karsinoma tersebut.
Stadium I : Radioterapi
Stadium II & III : Kemoradiasi
Stadium IV (N<6cm) : Kemoradiasi
Stadium IV (N>6cm) : kemoterapi dosis penuh dilanjutkan dengan kemoradiasi.
Edukasi
Menjaga kebersihan diri (Personal hygiene) dan mencegah infeksi selama kemotrapi

9. Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi
Metastase jauh menyebabkan gangguan pada organ yang terkena
Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam

10. Referensi
Lanzkowsky,Philip.Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition.
Elsevier. 2011: 168-99.
Imbach, Paul, Kuhne, Thomas, Arceci. Pediatric Oncology a Comprehensive Guide. Second
Edition. 2011: 125 – 133
Mengetahui, Palembang, Juli 2016
Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

dr. Yusmala ,Sp.A(K) Dr. Dian Puspita Sari Sp.A (K)

37
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

PERIPHERAL PRIMITIVE NEUROECTOERMAL TUMOR (PNET)


ICD10:C.71.9

1. Definisi
Merupakan tumor yang sering ditemukan pada anak. Termasuk dalam kelompok sarkoma Ewing
yang merupakan tumor sel bulat kecil yang berasal dari jaringan neuroektodermal.

2. Etiologi
95% karena faktor genetic ( FLI onkogen pada kromosom 11q24 dan gen ERG pada kromosom
22q12)

3. Patogenesis
Terkait dengan translokasi kromosom spesifik yang kemudian membentuk gen gabungan/fusi
yang mengkode protein-protein. Gabungan gen terdiri dari domain transaktivasi dan domain
pengikat DNA yang merupakan salah satu dari keluarga faktor transkripsi yakni FLI1, ERG,
ETV1, ETV4 dan FEV.
Protein yang dihasilkan bersifat sebagai faktor transkripsi aberan yang menderegulasi program
ekspresi gen sel-sel target, sehingga menampakkan fenotip neuroektodermal primitif

4. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
- Tergantung lokasi dari penyakit ini.
- Teraba massa dan nyeri
- Demam pada beberapa kasus
- Pucat
- Pada 10% kasus didapatkan fraktur
- Disfungi organ pada metastase (gangguan berkemih, kelemahan tungkai)

b. Pemeriksaan Fisik
- Teraba massa pembengkakkannya yang tegang, elastis, keras, terdapat nyeri tekan, tumbuh
dengan cepat dan terdapat peningkatan suhu local
- Febris

c. Pemeriksaan Penunjang
 Radiologi (Rontgen, CT Scan dan MRI) : gambaran tumor primer berupa reaksi periosteal
(onion skin phenomenon) dan gambaran metastase
 Laboratorium: Anemia, Leukositosis, gambaran tumor lisis, fungsi ginjal dan hepar, elektrolit
dan laktat. Pertimbangkan untuk pemeriksaan VMA dan HVA dan CRP

5. Diagnosis Banding
 Osteomielitis
 Leukemia Akut

6. Diagnosis Kerja
Peripheral Primitive Neuroectoermal Tumor (Pnet)

38
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

7. Tatalaksana
Dengan kemoterapi, radioterapi dan pembedahan
Edukasi
Menjaga kebersihan diri (Personal hygiene) dan mencegah infeksi selama kemotrapi

8. Komplikasi dan Prognosis

Komplikasi
- Relaps
- Kelainan muskuluskeletal
- Secondary tumor
- Masalah psikologikan dan sosial

Ad vitam : dubia ad malam


Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam

9. Referensi
Lanzkowsky,Philip.Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition.
Elsevier. 2011: 168-99.
Imbach, Paul, Kuhne, Thomas, Arceci. Pediatric Oncology a Comprehensive Guide. Second
Edition. 2011: 125 – 133

Mengetahui, Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

dr. Yusmala ,Sp.A(K) Dr. Dian Puspita Sari, Sp.A (K)

39
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

NEUROBLASTOMA
ICD10:C.74.90

1. Definisi
Adalah tumor embrional dari sistem saraf otonom dimana sel tidak berkembang sempurna.
Umumnya terjadi pada bayi usia rata-rata 17 bulan, yang berkembang dalam sistem saraf
simpatik, biasanya dalam medulla adrenal atau ganglia paraspinal.

2. Etiologi
Belum diketahui

3. Patogenesis
Neuroblastoma timbul dari primordial sel pial neural, yang bermigrasi selama sembriogenesis
untuk membentuk medulla adrenal dan ganglia simpatik. Sebagai hasilnya, neural blastomas
terjadi di medulla adrenal atau di mana saja sepanjang simpatik ganglia, terutama di
retroperitoneum dan mediastinum posterior.

4. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
Nyeri perut dan disertai terabanya benjolan di perut yang keras dan tidak nyeri, gangguan
buang air besar dan buang air kecil. Pada neuroblastoma mediastinum dapat disertai gejala
batuk kering, infeksi saluran napas dan sulit napas. Pada stadium lanjut dapat timbul
parastesia dan nyeri di tangan. Pada neuroblastoma cervical dapat timbul miosis unilateral,
blefaroptosis dan diskolorasi iris pada mata.

b. Pemeriksaan Fisik
Gejala yang berhubungan dengan massa retroperitoneal, kelenjar adrenal dan paraspinal:
 Teraba massa di dalam perut yang tidak nyeri dan keras
 Gangguan saluran pencernaan dan urinaria
 Kompresi pada pembuluh darah karena edema pada tungkai
 Gangguan sensoris
 Hilangnya kedali spingter

Gejala yang berhubungan dengan massa leher atau toraks:


 Linfadenopati cervical dan supraklavikular
 Kongesti dan edema pada wajah
 Disfungsi pernapasan
 Sakit kepala
 Proptosis orbita ekimotik
 Miosis
 Ptosis
 Eksoftalmus
 Anhidrosis

40
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

c. Pemeriksaan Penunjang
- Rontgen abdomen: melihat adanya massa seperti tumor adrenalis menggeser ginjal
- Laboratorium: peningkatan kadar katekolamin urina (VMA dan VA), mengkatnya feritin,
neuron spesifik enolase
- CT Scan untuk mengetahui keadaan tulang dari tengkorak, leher, toraks dan abdomen
- Pungki sumsum tulang untuk mengetahui lokasi dan metastase tumor

5. Diagnosis Banding
- Osteomielitis
- Rheumatoid arthritis
- VIP sindrom

6. Diagnosis Kerja
Neuroblastoma.
Berdasarkan system pediatric oncology group (POG) stadium neuroblastoma dibagi menjadi:
 Stadium A : tumor yang direseksi secara kasar
 Stadium B : tumor local tidak di reseksi
 Stadium C : metastasis ke kelenjar limfe yang berdekatan
 Stadium D : metastasis ke luar kelenjar limfe
 Stadium Ds : bayi dengan adrenal kecil terutama dengan penyakit metastasis terbatas pada
kulit, hati dan sumsum tulang
 Stadium D Neonatus

7. Tatalaksana
Terapi
o Neuroblastoma tahap I dan II : dapat hanya dengan terapi pembedahan saja sudah cukup atau
ditambah dengan kemoterapi dan radioterapi
o Neuroblastoma tahap III dan IV : memerlukan terapi intensif, termasuk kemoterapi, terapi
radiasi, pembedahan, transplantasi sumsum tulang
Kemoterai:
- Siklofosfamid
- Doksorubicin
- P 16

Edukasi
Menjaga kebersihan diri (Personal hygiene) dan mencegah infeksi selama kemotrapi

8. Komplikasi dan Prognosis


- Ad vitam : dubia ad malam
- Ad sanationam : dubia ad malam
- Ad functionam : dubia ad malam

9. Referensi
Lanzkowsky,Philip.Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition.
Elsevier. 2011: 168-99.
Imbach, Paul, Kuhne, Thomas, Arceci. Pediatric Oncology a Comprehensive Guide. Second
Edition. 2011: 125 – 133

41
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

Mengetahui, Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

dr. Yusmala ,Sp.A(K) Dr. Dian Puspita Sari Sp.A (K)

42
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

CARCINOMA TESTIS
ICD10:C.62.90

11. Definisi
Merupakan pertumbuhan yang tidak terkontrol dari sel-sel testis yang telah mengalami
transformasi yang berasal dari sel germinal ataupun jaringan stromal testis.

12. Etiologi
- Belum diketahui dengan jelas
- Kriptokidisme atau undesensus testis meningkatkan resiko 3-5 kali
- Diduga dapat terjadi karena pemaparan Dietilstilbesterol (DES)

13. Patogenesis
Patogenesis spesifik mengenai mekanisme induksi neoplasma belum ditemukan, namun diduga
berasal dari diferensiasi totipotental germ sel (primordial germ sel) dan non germs sel (selomik
epitelial). Mutasi pada kromosom segmen 12p pada rangkaian sel maligna dihubungkan dengan
peningkatan kejadian kasus ini.

14. Kriteria Diagnosis


a. Anamnesis
Adanya pembesaran testis yang sering kali tidak nyeri. 30 % penderita mengeluh nyeri dan
terasa berat pada skrotum, sedang 10% mengeluh nyeri akut pada skrotum yang biasanya
terjadi pada perdarahan intraskrotum maupun torsio testis.
Tidak jarang pasien mengeluhkan adanya massa dalam perut sebelah atas, perbesaran kelenjar
getah bening pada leher dan adanya ginekomastia. Pada kasus dengan undescendent testis
biasanya terjadi pembengkakan pada area suprapubis, gangguan pada traktus urinaria,
gangguan pencernaan serta pembesaran kelenjar getah bening yang tidak diketahui infeksi
primernya.

b. Pemeriksaan Fisik
 Pada daerah testis, didapatkan benjolan dengan konsisensi padat, keras, tidak nyeri pada
palpasi, permukaan tidak rata dan pada tes transluminasi hasilnya negative
 Didapatkan infiltrasi tumor pada funikulus dan epididimis
 Teraba massa di abdomen
 Perbesaran kelenjar getah bening
 Dapat ditemukan ginekomastia

c. Pemeriksaan Penunjang
 Ragiologi Diagnostik: MRI, USG dan CT Scan dapat menemukan adanya massa dan
penyebarannya, namun tidak dapat menentukan keganasan sel tumornya
 Tumor marker :
a. α- fetoprotein (AFP): meningkat > 90%, terutama pada keganasan germ tumor
b. β-hCG, meningkat terutama pada germinoma/disgerminoma, koriokarsinoma dan
tumor lisis setelah kemoterapi
 Histopatologi

43
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

1. Diagnosis Banding
 Dilatasi rate testis
 Abses testis
 Hematom testis

2. Diagnosis Kerja
Germ sel:
 Matur teratoma
 Kista epidermoid
 Imatur teratoma
 Yolk sac tumor
Gonadal stromal
 Sel Leydig
 Sel Sertoli
 Gonadoblastoma

3. Tatalaksana
Terapi
- Eksisi total untuk mengurangi degenerasi dan rekurensi
- Kemoterapi pada Stadium II dan III atau yang relaps:
o Cisplatin dikombinasikan dengan actinomisin D, etoposide, vinblastine dan bleomicin
juga Cyclofosfamid

Edukasi
Menjaga kebersihan diri (Personal hygiene) dan mencegah infeksi selama kemotrapi

4. Komplikasi dan Prognosis


 Ad vitam : dubia ad malam
 Ad sanationam : dubia ad malam
 Ad functionam : dubia ad malam

9. Referensi
Lanzkowsky,Philip.Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition.
Elsevier. 2011: 168-99.
Imbach, Paul, Kuhne, Thomas, Arceci. Pediatric Oncology a Comprehensive Guide. Second
Edition. 2011: 125 – 133
Mengetahui, Palembang, Juli 2016
Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

dr. Yusmala ,Sp.A(K) Dr. Dian Puspita Sari Sp.A (K)

44
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

CARCINOMA OVARIUM
ICD10:C.56.90

1. Definisi
Merupakan pertumbuhan yang tidak terkontrol dari sel-sel ovarium yang telah mengalami
transformasi yang berasal dari sel germinal ataupun jaringan stromal. Hanya 1% dari total
keganasan pada anak.

2. Etiologi
 Belum jelas sepenuhnya
 Diduga karena:
- Incessant Ovarium
- Paparan dimetilbenzatrene
- Penggunaan estrogen
- Paritas yang tinggi

3. Patogenesis
Patofisiologi spesifik mengenai mekanisme induksi neoplasma belum ditemukan, namun diduga
berasal dari diferensiasi totipotental germ sel (primordial germ sel) dan non germs sel (selomik
epitelial). Mutasi pada kromosom segmen 12p pada rangkaian sel maligna dihubungkan dengan
peningkatan kejadian kasus ini.

4. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
Pada awal perjalanan penyakit gejala tidak jelas. Gejala biasanya muncul saat besar ovarium
menekan daerah sekitarnya (gangguan buang air besar dan kecil) atau terjadinya torsio sehingga
pasien datang dengan keluhan nyeri perut ataupun akut abdomen

b. Pemeriksaan Fisik
- Teraba massa tumor di daerah pelvis yang padat terfiksir dan ireguler
- Sering disertai asites
- Perbesaran kelenjar getah bening

c. Pemeriksaan Penunjang

 Ragiologi Diagnostik: MRI, USG dan CT Scan dapat menemukan adanya massa dan
penyebarannya, namun tidak dapat menentukan keganasan sel tumornya
 Tumor marker :
o α- fetoprotein (AFP): meningkat > 90%, terutama pada keganasan germ tumor
o β-hCG, meningkat terutama pada germinoma/disgerminoma, koriokarsinoma dan
tumor lisis setelah kemoterapi
 Histopatologi

5. Diagnosis Banding
 Kista Ovarium
 Abses ovarium

45
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

6. Diagnosis Kerja
Germ sel:
 Matur teratoma
 Kista epidermoid
 Imatur teratoma
 Yolk sac tumor
Gonadal stromal
 Sel Leydig
 Sel Sertoli
 Gonadoblastoma

7. Tatalaksana
Terapi
- Eksisi total untuk mengurangi degenerasi dan rekurensi
- Kemoterapi pada Stadium II dan III atau yang relaps:
o Cisplatin dikombinasikan dengan actinomisin D, etoposide, vinblastine dan bleomicin
juga Cyclofosfamid
Edukasi
Menjaga kebersihan diri (Personal hygiene) dan mencegah infeksi selama kemotrapi

8. Komplikasi dan Prognosis


Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam

9. Referensi
Lanzkowsky,Philip.Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition.
Elsevier. 2011: 168-99.
Imbach, Paul, Kuhne, Thomas, Arceci. Pediatric Oncology a Comprehensive Guide. Second
Edition. 2011: 125 – 133

Mengetahui, Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

dr. Yusmala ,Sp.A(K) Dr. Dian Puspita Sari Sp.A (K)

46
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

LANGERHANS CELL HISTIOCYTOSIS


ICD10:C.202.30

1. Definisi
Merupakan sekumpulan gejala yang ditandai oleh proliferasi non maligna yang abnormal dari sel-
sel histiosit yang berasal dari monosit yang menetap di dalam sel Langerhans (kulit).

2. Etiologi

3. Patogenesis
Patogenesis belum jelas. Pada pemeriksaan histopatologis ditemukan banyak sel histiosit dan sel
monosit-makrofag

4. Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
- Bercak kemerahan pada kulit,
- Telinga berair
- Demam
- Penurunan berat badan
- Nyeri tulang
- Diabetes insipidus

b. Pemeriksaan Fisik
Bercak pada kulit; pada bayi seringkali berupa dermatitis seboroik yang luas pada kepala, papula
kemerahan pada badan, abdomen dan lipatan paha menyerupai kandidiasis diaper
Exoptalmus
Perbesaran kelenjar getah bening
Dapat ditemukan hepatomegali dan splenomegali
Gambaran otitis media kronik

c. Pemeriksaan Penunjang
 Ragiologi Diagnostik:
o Rontgen : ditemukan daerah yang mengalami destruksi tulang (lytic lesion)
o CT-Scan : daerah litik yang disebut “hot spot”
 Hematologi: pansitopenia bila sudah menginvasi sumsum tulang
 Histopatologi : ditemukan sel birbeck granule pada sitoplasma

5. Diagnosis Banding
 Dermatitis seboroik
 Tuberculosis
 Rheumatoid disorder
6. Diagnosis Kerja
Langerhans cell histiocytosis

47
DIVISI HEMATO-ONKOLOGI

7. Tatalaksana
Terapi
- Kemoterapi pada kelainan multifocal (sesuai protocol LCH)
- Radioterapi pada kelainan unifokal

Edukasi
Menjaga kebersihan diri (Personal hygiene) dan mencegah infeksi selama kemotrapi

8. Komplikasi dan Prognosis

Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam

9. Referensi
Lanzkowsky,Philip.Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter7. Fifth Edition.
Elsevier. 2011: 168-99.
Imbach, Paul, Kuhne, Thomas, Arceci. Pediatric Oncology a Comprehensive Guide. Second
Edition. 2011: 125 – 133

10. Algoritma
Protokol Histiosis

Mengetahui, Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak Ka. Divisi Hematologi Onkologi

dr. Yusmala ,Sp.A(K) Dr. Dian Puspita Sari Sp.A (K)

48
DIVISI INFEKSI

5
INFEKSI

Demam Berdarah Dengue .................................................................... 3

Demam Dengue ..................................................................................... 12

DemamTifoid ......................................................................................... 18

Difteri ..................................................................................................... 23

Malaria ................................................................................................... 30

Morbili .................................................................................................... 38

Omfalitis ................................................................................................ 42

PERTUSIS .............................................................................................. 45

Sepsis .................................................................................................... 47

1
DIVISI INFEKSI

2
DIVISI INFEKSI

Demam Berdarah Dengue


Kode ICD : A.91, R.57,1
Definisi
Infeksi dengue disertai dengan adanya bukti plasma leakage bertendensi menimbulkan
renjatan dan kematian
Anamnesis
1. Demam atau riwayat demam mendadak tinggi, terus menerus, 2-7 hari, dapat mencapai
40°C serta terjadi kejang demam.
2. Manifestasi perdarahan
3. Muntah
4. Nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri di
bawah lengkung iga kanan, dan nyeri perut.
5. Bila syok: lemah, gelisah, produksi urine sedikit, kaki tangan dingin
6. Terdapat kasus DBD di lingkungan
Pemeriksaan fisik
1. Suhu tubuh dapat meningkat, normal atau hipotermi
2. Dijumpai facial flush
3. Manifestasi perdarahan
a. Uji bendung positif (≥10 petekie/inch2 atau 2.5 cm2) merupakan manifestasi
perdarahan yang paling banyak pada fase demam awal.
b. Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur vena (easy bruising).
c. Petekie
d. Perdarahan mukosa: epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna
e. Hematuria (jarang)
f. Menorrhagia (pada remaja dan dewasa)
4. Ruam makulopapular/rubellaform pada fase demam
5. Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan
6. Splenomegali (jarang)
7. Terdapat hemostasis yang tidak normal,
8. Terdapat perembesan plasma (khususnya pada rongga pleura/efusi pleura dan rongga
peritoneal/ascites)
9. Dapat disertai dengan hipovolemia, dan syok
10. Warning Signs: muntah persisten, nyeri perut, menolak asupan per oral, letargi atau
gelisah, hipotensi postural, oliguria
11. Gejala kegagalan sirkulasi terjadi pada saat suhu turun antara hari ke 3-7 demam berupa:
kulit dingin dan lembab, sianosis sirkumoral, nadi lemah dan cepat. Pasien tampak letargi
atau gelisah kemudian jatuh dalam keadaan syok.

3
DIVISI INFEKSI

12. Tanda-tanda syok:


a. Nadi cepat dan lemah
b. Tekanan nadi sempit, diastolik cenderung naik atau hipotensi
c. Capillary refill time> 3 detik
d. Akral dingin
e. Gelisah
f. Pada profound shock (DBD grade IV), nadi tidak teraba dan TD tidak terukur
g. Oliguria hingga anuria
13. Pada prolonged shock dapat terjadi:
a. asidosis metabolik
b. gagal mutliorgan
c. perdarahan masif
d. gagal hati dan renal
e. ensefalopati
f. perdarahan intrakranial
14. Fase konvalesen
a. sinus bradikardi
b. aritmia
c. timbul ruam konvalesen
Kriteria diagnosis
1. Sesuai dengan anamnesis
2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik
Tersangka DBD: bila definisi kasus DBD belum terpenuhi
Definisi kasus DBD:
1. Demam,
2. Manifestasi perdarahan,
3. Disertai trombositopenia ≤100.000/µL,
4. Bukti plasma leakage berupa peningkatan hematokrit ≥20%, dapat disertai dengan
efusi pleura atau asites, hipoproteinemia, hipoalbuminemia

4
DIVISI INFEKSI

Berdasarkan tingkat keparahan DBD (harus memenuhi definisi kasus DBD):


DBD Derajat Tanda & Gejala Klinis Laboratorium

DBD I Deman dengan manifestasi - Trombositopenia


perdarahan tidak spontan (uji ≤100.000/mm3
bendung + atau easy bruishing) dan - Penngkatan Ht ≥ 20%
bukti kebocoran plasma
DBD II Sama dengan derajat I ditambah - Trombositopenia
perdarahan spontan ≤ 100.000/mm3
- Penngkatan Ht ≥ 20%
DBD III* Sama dengan derajat I atau II - Trombositopenia
ditambah kegagalan sirkulasi (nadi ≤100.000/mm3
lemah, tekanan nadi sempit ≤ 20 - Penngkatan Ht ≥ 20%
mmHg, hipotensi, letar i)
DBD IV* Sama dengan derajat III - Trombositopenia
ditambah syok profunda dengan ≤100.000/mm3
nadi tidak eraba dan tekanan - Penngkatan Ht ≥ 20%
darah tidak terukur
* DSS
Diagnosis
Demam Berdarah Dengue
Diagnosis banding
1. Demam dengue
2. Infeksi virus lainnya seperti campak, rubella, demam chikunguya
3. Leptospira, malaria dan demam tifoid
4. ITP, leukemia, anemia aplastik
5. Sepsis atau meningitis bila mengalami demam disertai syok
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah perifer (hemoglobin, hematokrit, leukosit dan trombosit) serta hitung jenis saat
awal
2. Pemeriksaan Hb, Ht, Trombosit, Leukosit secara berkala
3. Antigen NS1
4. IgG dan IgM Dengue

5
DIVISI INFEKSI

5.
Ig M Ig G Interpretasi Keterangan
+ - Infeksi primer -
+ + Infeksi sekunder -
- - Tidak terbukti adanya diulang pada fase
Infeksi konvalesens
- + Infeksi pada 2-3 bulan diulang pada fase
sebelumnya konvalesens

6. SGOT dan SGPT


7. Gula darah sewaktu atas indikasi
8. Foto rontgen dada dalam posisi AP atauright lateral decubitus
9. USG Thoracoabdominal
10. AGD dan elektrolit (natrium, kalium, kalsium, klorida) atas indikasi
11. CT/BT dan PT/aPTT atas indikasi
12. LP atas indikasi
13. CT-Scan atau MRI atas indikasi
Tatalaksana
1. Parasetamol (bila T > 38.5C)
2. Cairan per oral dan atau intravena (cairan rumatan, cairan rehidrasi sesuai derajat dehidrasi, atau
cairan resusitasi).
Cairan dapat berupa kristaloid dan/atau koloid.
- Kristaloid isotonik harus digunakan selama masa kritis. (saat terjadi Plasma leakage)
- Cairan koloid digunakan pada pasien dengan perembesan plasma hebat, dan tidak ada respon
pada minimal volume cairan kristaloid yang diberikan.
- Volume cairan rumatan + dehidrasi 5%-7% harus diberikan untuk menjaga volume dan cairan
intravaskular yang adekuat.
- Kecepatan cairan intravena harus disesuaikan secara berkala berdasarkankeadaan klinis +
laboratorium.
- Pada pasien dengan obesitas, digunakan berat badan ideal sebagai acuan untuk menghitung
volume cairan.

6
DIVISI INFEKSI

Tabel 1. Kecepatan cairan intravena


Keterangan* Kecepatan cairan
(ml/kg/jam)
Setengah rumatan 1.5
Rumatan (R) 3
Rumatan + 5% defisit 5
Rumatan+ 7% defisit 7
Rumatan+ 10% defisit 10
*Catatan: sesuai untuk berat badan ≤ 20 kg
Sumber: World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for Prevention and
Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011 dengan modifikasi.

3. Indikasi pemberian cairan intravena:


a. Asupan cairan oral tidak adekuat atau muntah
b. Saat Ht terus naik 10-20% (bersamaan dengan penurunan trombosit) walaupun telah
direhidrasi oral
c. Ancaman syok atau syok
4. Pemantauan KU, kesadaran, tanda vital dan diuresis secara berkala
5. Antagonis H2 dan penghambat pompa proton atas indikasi
6. Transfusi PRC, TC, FFP/ Cryo atau dapat Whole Blood atas indikasi
7. Vitamin K1 iv pada perdarahan masif
8. Antikonvulsan seperti fenitoin, fenobarbital dan diazepam jika terdapat kejang
9. Terapi oksigen atas indikasi
10. Kortikosteroid diberikan pada Ensefalopati Dengue
11. Antibiotik diberikan untuk Ensefalopati Dengue atau dugaan infeksi bakteri sekunder
12. Inotropik dan vasopressor kadang-kadang diperlukan pada Dengue Shock Syndrome
13. Hemodialisis atau plasmafaresis pada kasus perburukan klinis dapat dipertimbangkan
14. Pemberian diuretik pada kasus-kasus dengan overload cairan

Skema sesuai derajat keparahan terlampir


Edukasi
1. Tirah baring
2. Pengobatan utama adalah cairan
3. Monitor tanda kegawatan
4. Melaksanakan upaya pencegahan 3M plus (menguras, menutup dan mengubur)
5. Identifikasi gejala serupa pada lingkungan rumah

7
DIVISI INFEKSI

6. Formulir pelaporan kasus DBD ke dinas kesehatan untuk diberikan ke RT/RW tempat
tinggal pasien
Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad fungsionam : bonam
Tingkat evidens
IV
Tingkat rekomendasi
D
Penelaah kritis
Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Dept IKA RSMH Palembang
Taksrian lama rawat
5-7 hari
Indikator medis
1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
2. Hemodinamik stabil
3. Kembalinya nafsu makan
4. Perbaikan klinis
5. Produksi urin cukup (> 1ml/KgBB/jam)
6. Tidak ditemukan distress napas dari efusi pleura dan atau asites
7. Trombosit > 50.000 dengan kecenderugan meningkat.
8. Hematokrit stabil
9. Tidak ada bukti perdarahan baik internal maupun eksternal
10. Tidak muntah dan tidak ada nyeri perut
11. Dua hari pasca syok
12. Mulai timbul ruam penyembuhan
Kepusatakaan
1. World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines
for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO;
2011.p.1-67.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue Clinical Guidance. Updated 2010
sept 1. Available from: http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html.
3. Dengue Hemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment prevention and control. Edisi kedua.
WHO, Geneva, 1997.
4. WHO. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and control.2009:1-146

8
DIVISI INFEKSI

5. Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy.
Pediatrics 1957;19:823
6. Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak
& Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tata laksana Kasus DBD. Hadinegoro SR,
Satari HI, penyunting. Balai Penerbit, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
2005.

Skema 1. Tatalaksana Tersangka DBD derajat I & II (tanpa syok)

Skema 2. Tatalaksana DBD Derajat I dan II

9
DIVISI INFEKSI

Skema 3. Tatalaksana DBD Derajat III

Skema 4. Tatalaksana DBD Derajat IV

10
DIVISI INFEKSI

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak RSMH Ka. Divisi Infeksi & Penyakit Tropis

Dr. Hj. Yusmala , SpA(K) DR. Dr. Yulia Iriani, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP 19710715 1999 03 2008

11
DIVISI INFEKSI

Demam Dengue
Kode ICD : A.91
Definisi
Demam Dengue merupakan penyakit demam akut yang dapat disertai manifestasi perdarahan,
disebabkan oleh virus genus Flavivirus, famili Flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotipe yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4, dan ditularkan melalui perantara nyamuk Aedes aegypti atau
Aedes albopictus
Anamnesis
1. Demam mendadak tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 40°C serta dapat terjadi kejang
demam.
2. Nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri retroorbital, nyeri tenggorok dengan faring
hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga kanan, dan nyeri perut
3. Lesu dan tidak mau makan
4. Ruam makulopapular
5. Manifestasi perdarahan
6. Konstipasi atau diare
7. Depresi umum
Pemeriksaan fisik
1. Demam: 39-40°C, umumnya berakhir 5-7 hari
2. Pada hari sakit ke 1-3 tampak flushing pada muka (muka kemerahan), leher, dan dada
3. Pada hari sakit ke 3-4 timbul ruam kulit makulopapular/rubellaform
4. Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie pada kaki bagian dorsal, lengan atas,
dan tangan (Convalescent rash), berupa petekie mengelilingi daerah yang pucat pada kulit
yg normal, dapat disertai rasa gatal
5. Manifestasi perdarahan
a. Perdarahan kulit: uji bendung positif dan/atau petekie
b. Mimisan hebat, menstruasi yang lebih banyak, perdarahan saluran cerna (jarang
terjadi, dapat terjadi pada DD dengan trombositopenia berat)
6. Tidak terdapat bukti plasma leakage
Kriteria diagnosis
1. Sesuai dengan anamnesis
2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik
Diagnosis klinis Demam Dengue ditegakkan atas dasar:
Demam 2-7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus menerus,bifasik disertai dengan 2 atau
lebih gejala berikut:
 sakit kepala

12
DIVISI INFEKSI

 nyeri retro orbital


 arthralgia
 myalgia
 ruam
 manifestasi perdarahan
 lekopenia <4000/mm3
 trombositopenia <150.000/mm3
 tidak ditemukan bukti plasma leakage
ditambah minimal satu dari pernyataan berikut:
 Bukti serologis infeksi dengue yang mendukung
 Adanya kasus DBD baik di lingkungan sekolah, rumah, atau di sekitar rumah
Diagnosis
Demam Dengue
Diferensial diagnosis
 Infeksi Virus: Virus Chikungunya, dan penyakit infeksi virus lain seperti Campak,
Campak Jerman, dan virus lain yang menimbulkan ruam; Virus Eipstein
Barr,Enterovirus,Virus Influenza, virus Hepatitis A dan Hantavirus
 Infeksi Bakteri: Meningokokus, Leptospirosis, Demam Tifoid, Meiloidosis, Penyakit
riketsia, Demam Skarlatina
 Infeksi Parasit: Malaria
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah perifer (hemoglobin, hematokrit, leukosit
dan trombosit) serta hitung jenis
2. Pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit berkala
3. Antigen NS1
4. IgG dan IgM Dengue
Ig M Ig G Interpretasi Keterangan
+ - Infeksi primer -
+ + Infeksi sekunder -
- - Tidak terbukti adanya infeksi diulang
- + Infeksi pada 2-3 bulan diulang
sebelumnya
5. SGOT dan SGPT
6. Gula darah sewaktu atas indikasi
7. USG Thoraco Abdominal

13
DIVISI INFEKSI

Terapi
1. Pengambilan keputusan untuk observasi rawat jalan atau terapi/ rawat inap (Skema 1)
2. Parasetamol
3. Cairan per oral dan atau intravena (Cairan rumatan atau cairan rehidrasi sesuai derajat
dehidrasi apabila kurang asupan atau perdarahan berat yang tidak lazim)
4. Antikonvulsan seperti fenobarbital dan diazepam bila kejang
Edukasi
1. Tirah baring
2. Pengobatan utama adalah cairan
3. Melaksanakan upaya pencegahan 3M +(Meguras, menutup, mengubur tempat
penampungan air, menaburkan bubuk abate, memelihara ikan pemakan jentik nyamuk,
membersihkan lingkungan, fogging, mencegah gigitan nyamuk)
4. Identifikasi gejala serupa pada lingkungan rumah
5. Formulir pelaporan kasus DBD ke dinas kesehatan untuk diberikan ke RT/RW tempat
tinggal pasien
Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad fungsionam : bonam
Level evidens
IV
Tingkat rekomendasi
D
Penelaah kritis
Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Dept IKA RSMH Palembang
Taksiran lama rawat
3-5 hari
Indikator Medis
1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
2. Hemodinamik stabil
3. Kembalinya nafsu makan
4. Perbaikan klinis
5. Produksi urin cukup
6. Trombosit > 50.000, Hematokrit stabil
7. Tidak ada bukti perdarahan baik internal maupun eksternal
8. Tidak muntah dan tidak ada nyeri perut
9. Kembalinya nafsu makan

14
DIVISI INFEKSI

10. Mulai timbul ruam penyembuhan


Kepustakaan
1. World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines
for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO;
2011.p.1-67.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue Clinical Guidance. Updated 2010
sept 1. Available from: http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html.
3. Dengue Hemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment prevention and control. Edisi kedua.
WHO, Geneva, 1997.
4. WHO. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and control. 2009:1-146
5. Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy.
Pediatrics 1957;19:823
6. Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak
& Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tata laksana Kasus DBD. Hadinegoro SR,
Satari HI, penyunting. Balai Penerbit, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
2005.

15
DIVISI INFEKSI

Skema 1. Skrining pasien tersangka infeksi dengue

16
DIVISI INFEKSI

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak RSMH Ka. Divisi Infeksi & Penyakit Tropis

Dr. Hj. Yusmala , SpA(K) DR. Dr. Yulia Iriani, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP 19710715 1999 03 2008

17
DIVISI INFEKSI

Demam Tifoid
KodeICD : A01.0
Definisi
Demam Tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang disebabkan oleh infeksi
sistemik Salmonella typhi.
Anamnesis
1. Demam lebih dari 7 hari, timbul insidius, naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu
tertinggi pada akhir minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi, lisis
pada minggu ketiga (step-ladder temperature chart)
2. Anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi, nyeri kepala
3. Gangguan GIT: anoreksia, nyeri perut, kembung, diare atau konstipasi, muntah
4. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus
5. Hygienepersonal dan sanitasi kurang
Pemeriksaan fisik
Bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi, gejala yang dapat ditemuikan :
1. Rhagaden
2. Lidah tifoid
3. Rose Spot
4. Bradikardi relatif
5. Meteorismus
6. Hepatomegali
7. Kesadaran dapat menurun, dari apatis, delirium hingga koma
8. Kadang-kadang terdengar ronki pada pemeriksaan paru
Kriteria diagnosis
1. Sesuai dengan anamnesis
2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik
Klasifikasi diagnosis:
 Demam Tifoid klinis
Panas lebih dari 7 hari, di dukung gejala klinik lain:
 Gangguan GIT : typhoid tongue, rhagaden, anoreksia, konstipasi/ diare
 Hepatomegali
 Tidak ditemukan penyebab lain dari panas.
 Demam Tifoid
Demam Tifoid klinis + Salmonella typhi (+) pada biakan darah, urine atau fees dan/atau
pemeriksaan serologis yang mendukung

18
DIVISI INFEKSI

 Demam Tifoid berat


Demam Tifoid + keadaan: lebih dari minggu kedua sakit, toksik, dehidrasi, delirium jelas,
hepatomegali dan/atau splenomegali, leukopenia <2000/ul, aneosinofilia, SGOT/ SGPT
meningkat
 Ensefalopati Tifoid/Tifoid toksik
Demam Tifoid atau Demam Tifoid klinis disertai satu atau lebih gejala:
 kejang
 kesadaran menurun: soporous sampai koma
 kesadaran berubah/ kontak psikik tidak ada
Diagnosis
Demam Tifoid
Diagnosis banding
1. Stadium dini: Influenza, Gastroenteritis, Bronkitis, infeksi Dengue, Bronkopneumonia
2. Tuberkulosis, infeksijamur sistemik, Malaria
3. Demam Tifoidberat: Sepsis, Leukemia, Limfoma
Pemeriksaan penunjang
1. Darah tepi perifer (tidak spesifik):
a. anemia (dapat terjadi akibat supresi sumusm tulang, defisiensi besi, atau perdarahan
usus)
b. leukopenia (jarang kurang dari 3000/µL)
c. limfositosis relatif
d. aneosinofilia
e. trombositopenia (terutama pada demam tifoid berat)
2. Pemeriksaan serologi:
a. antibodi anti-Salmonela O9, atau
b. kadar IgM dan IgG anti Salmonella
3. Pemeriksaan biakan empedu dari spesimen:
a. darah (minggu 1-2 perjalanan penyakit)
b. urine (minggu ke-2 dan selanjutnya)
c. sumsum tulang (sampai minggu ke 4)
4. Pemeriksaan radiologi:
a. Foto toraks, apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia
b. Foto abdomen, apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti perforasi usus
atau perdarahan saluran cerna
5. EKG bila mencurigai miokarditis

19
DIVISI INFEKSI

6. Biakan feses saat pulang untuk deteksi karier, kemudian diulangi lagi 1 minggu
kemudian. Apabila 2 kali berturut-turut dalam interval 1 minggu Salmonella (-), berarti
penderita sembuh dan tidak merupakan carrier.
Tatalaksana
1. Antipiretikbilasuhutubuh>38,5°C
2. Antibiotik (berturut-turutsesuailinipengobatan)
Linipertama:
 Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kg/hari, oral atau IV, dibagidalam 4
dosisselama 10 – 14 hari, kontraindikasipadaleukosit<2000/µl, dosismaksimal
2g/hariatau
 Amoksisilin 150-200 mg/kg/hari, oral atau IV selama 14 hariatau
 Kotrimoksazol TMP 4 mg/kg/kali, selama 10 hari
Linikedua/ multidrug resistenS.typhi
 Seftriakson 80 mg/kg/hari IVselama 5-7hari
 Cefixime 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 2 kali sehari per oralselama 10 hari
Bila pemberian salah satu anti mikroba lini pertama, dinilai tidak efektif, dapat diganti
dengan anti mikroba yang lain atau dipilih anti mikroba lini kedua
KarierS. typhi (S. typhitetapadadalamurinataufesesselamalebihdari 6-12 bulan):
 Ampisillin 100 mg/kg/hari, 4x hariatau
 Trimetoprim-sulfametoksazol 4-20 mg/kg/hariselama 6-12 minggu
 Lakukanpemeriksaan USG
kandungempeduuntukmenentukanadaatautidaknyakolelitiasisataudisfungsikandunge
mpedu
3. Kortikosteroid diberikan pada demam tifoid berat dengan perubahan status mental
(Ensefalopati Tifoid) atau syok yaitu dexametason 3mg/kg/kali (1x) IV, dilanjutkan
1mg/kg/kali, setiap 6 jam sampai dengan 48 jam (penggunaan lebih dari 48 jam akan
meningkatkan angka relaps)
4. Tindakan bedah diperlukan pada penyulit perforasi usus
Edukasi
1. Demam tifoid ringan dapat dirawat di rumah
2. Indikasi rawat:
 Demam Tifoid klinis bila ada hiperpireksia, dehidrasi atau KU lemah.
 Semua Ensepalopati Tifoid
 Semua demam Tifoid dengan komplikasi

20
DIVISI INFEKSI

3. Imunisasi
 Vaksin polisakarida (capsular Vi polysacharide) usia 2 tahun atau lebih (IM), diulang
tiap 3 tahun
 Vaksin tifoid oral (Ty21-a), diberikan pada usia 6 tahun dengan interval selang sehari
(1,3,5), ulangan setiap 3-5 tahun. Belum beredar di Indonesia, terutama
direkomendasikan untuk turis yang bepergian ke daerah endemik.
4. Tirah baring
5. Isolasi memadai
6. Kebutuhan cairan dan kalori dipenuhi. Diet lunak, mudah dicerna, diet dapat disesuaikan
jika sudah tidak demam.
7. Higiene perorangan dan lingkungan karena penularan melalui fekal oral
Prognosis
Dengan deteksi dini dan tatalaksana yang tepat:
Ad vitam: bonam
Ad sanationam: ad bonam
Ad functional: ad bonam
Tingkat evidens
IV
Tingkat rekomendasi
D
Penelaah kritis
Divisi Infeksi dan Penyakit TropisDepartemen IKA RSMH
Indikator medis
1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
2. Nafsu makan membaik
3. Perbaikan klinis
4. Tidak dijumpai komplikasi
Taksiran lama perawatan
7-10 hari
Kepustakaan
1. American Academy of Pediatrics. Salmonella infections. Dalam: Pickering LK, Baker CJ,
Long SS, McMillan JA, penyunting. Red Book: 2006 report of the committee in
infectious diseases. Edisi ke-27. Elk Grove Village, IL. American Academy of Pediatrics;
2006, h.579-84.
2. Cleary TG. Salmonella species. Dalam: Dalam : Long SS, Pickering LK, Prober CG,
penyunting. Principles and Practice of Pediatric Infectious Diseases. Edisi ke- 2.
Philadelphia, PA: Elsevier Science; 2003. h. 830-5.

21
DIVISI INFEKSI

3. Cleary TG. Salmonella. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004, h. 912-9.
4. Pickering LK dan Cleary TG. Infections of the gastrointestinal tract. Dalam: Anne AG,
Peter JH, Samuel LK, penyunting. Krugman’s infectious diseases of children. Edisi ke-
11. Philadelphia; 2004, h. 212-3
5. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of pediatric infectious disease,
5th ed. Philadelphia: WB Saunders: 2004.
6. Sumarmo SPS, Herry G, Sri Rezeki SH, Hindra IS. Buku ajar infeksi dan pediatri
tropis.Edisi kedua. Jakarta: IDAI; 2008.

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak RSMH Ka. Divisi Infeksi & Penyakit
Tropis

Dr. Hj. Yusmala , SpA(K) DR. Dr. Yulia Iriani, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP 19710715 1999 03 2008

22
DIVISI INFEKSI

Difteri
KodeICD : A.36
Definisi
Difteria merupakan penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh
Corynebacterium diphtheriae dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit
dan/atau mukosa
Anamnesis
1. Riwayat kontak dengan karier, baik melalui droplet, bahan muntahan atau debu
2. Bervariasi mulai dari gejala ringan yang menyerupai common cold dengan gejala demam
tidak terlalu tinggi, pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan
3. Anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri menelan
4. Suara serak, sesak nafas, lesu, pucat, lemah, dan suara mengorok
Pemeriksaan fisik
1. Difteri nasal anterior:
 Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen
menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas
 Terdapat pseudomembran putih pada daerah septum nasi
2. Difteri faring atau tonsil
 Timbul pseudomembrane yang melekat, berwarna putih kelabu dapat menutup tonsil
dan dinding faring, sukar diangkat meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah
ke laring dan trakea, yang berdarah saat dilepaskan
 Limfadenitis servikal dan submandibular, dapat timbul bullneck bila limfadenitis
terjadi bersama dengan edema jaringan lunak leher yang luas.
 Bila terjadi perluasan dari difteria faring maka gejala yang tampak merupakan
campuran gejala obstruksi dan toksemia
 Dapat terjadi gagal napas
 Dapat terjadi paralisis palatum molle, baik uni- maupun bilateral, disertai kesulitan
menelan dan regurgitasi
3. Pada difteria laring, napas dapat berbunyi, stridor progresif, suara parau dan batuk kering.
Membran dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas, koma dan kematian
4. Gejala obstruksi saluran nafas bagian atas sesuai derajat obstruksi sebagai berikut:
a. Derajat I: Anaktenang, dispneuringan, stridorinspiratoar, retraksisuprasternal
b. Derajat II: Anakgelisah, dispneuhebat, stridormasihhebat, retraksi suprasternal
danepigastrium, sianosisbelumtampak

23
DIVISI INFEKSI

c. Derajat III: Anaksangatgelisah, dispneumakinhebat, stridormakinhebat, retraksi


suprasternal danepigastriumserta interkostal, sianosis
d. Derajat IV: Letargi, kesadaranmenurun, pernafasanmelemah, sianosis
5. Difteria dapat juga mengenai kulit, vulvovaginal, konjungtiva dan telinga.
Kriteria Diagnosis
1. Sesuai dengan anamnesis
2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik
3. Laboratorium: Isolasi C.diphtheria dari spesimen
Diagnosis berdasarkan CDC / WHO 2003 :
1. Tersangka: kriteria klinis (+), laboratorium (-), dan tidak ditemukan kasus sama yang
terbukti secara laboratorium di sekitartempattinggal penderita
2. Terbukti: kriteria klinis (+), laboratorium (+), atau ditemukannya kasus yang sama yang
terbukti secara laboratorium di sekitar tempat tinggal penderita
Kriteria klinis: adanya infeksi saluran nafas atas, demam dan terdapat
pseudomembran yang melekat erat pada tonsil, faring dan atau mukosa hidung.
Diagnosis
Difteria
Diagnosis banding
1. Difteria hidung: rhinorrhea(commoncold, sinusitis, adenoiditis), benda asing, lues
kongenital (snuffles)
2. Difteria tonsil-faring: tonsilitis membranosa akutolehStreptococcus mononukleosis
infeksiosa, tonsilitis membranosa non-bakterial, tonsilitis herpetika primer,Epstein-Barr
Viruses, moniliasis, bloodyscrasia, pasca tonsilektomi, vincent angina, candidiasis
3. Difteria laring: laringitis/infectious croups yang lain (spasmodic croup), angioneurotic
edema, bendaasing
4. Difteria kulit: impetigo dan infeksi kulit oleh Streptococcus atau Staphylococcus
Pemeriksaan penunujang
1. Pemeriksaan darah perifer lengkap: hemoglobin, hematokrit, trombosit, lekosit dan hitung
jenis.
2. Pewarnaan gram dan pewarnaan khusus untuk C. Diphtheriae(Neisser/Albert) dari
sediaan apus pseudomembran
3. Diagnosis pasti dari isolasi C. diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler.
4. Foto rontgen toraks (atas indikasi)
5. Foto soft tissue leher (atas indikasi)
6. AGD dan elektrolit (atas indikasi)
7. EKG pada waktu penderita dirawat, dan diulang minimal 3 kali per minggu

24
DIVISI INFEKSI

8. Skin testsebelum pemberian ADS


9. Urine lengkap
10. Ureum dan kreatinin (atas indikasi)
Tatalaksana
Umum
1. Atasi obstruksi jalan nafas segera dengan konsultasi dengan ahli THT untuk melakukan
tindakan trakeostomi. Trakeostomi dilakukan bila terdapat gangguan pernapasan yang
progresif, atau obstruksi saluran napas derajat II atau lebih
2. Pasien dirawat di ruang isolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan apusan tenggorok
negatif 2 kali berturut-turut (2 – 3 minggu)
3. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2 – 3 minggu
4. Cairan parenteral diberikan untuk mempertahankan hemodinamika tetap baik
5. Pemenuhan kebutuhan kalori, protein, cairan dan elektrolit yang adekuat sesuai klinis
menurut berat badan dan umur, bila tidak dapat oral dapat diberikan parenteral.
6. Dapat diinhalasi dengan nebulizer dengan NaCL 0.9% agar jalan napas tetap bebas serta
untuk menjaga kelembaban udara pada pasien dengan difteria laring
Spesifik
1. Segera diberikan Anti Difteria Serum (ADS) secara intravena (jika difteri dicurigai
(tersangka difteri), ADS harus segera diberikan tanpa menunggu hasil laboratorium),
didahului dengan uji kulitdengan cara menyuntikan 0,1 ml ADS yang telah diencerkan
dengan NaCl 0,9% 1:100. Uji kulit dibaca dalam 20 menit dan dinyatakan positif bila
timbul bentol berukuran 10 mm atau lebih.
Dosis ADS yang diberikan tergantung lokasi dan waktu ADS diberikan:
Tabel. Dosis dan cara pemberian ADS sesuai tipe difteri
TipeDifteria Dosis ADS (IU) Cara pemberian
Difteriahidung 20.000 IM
Difteria tonsil 40.000 IM atau IV
Difteria faring 40.000 IM atau IV
Difterialaring 40.000 IM atau IV
Kombinasilokasi di atas 80.000 IV
Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 IV
Terlambatberobat (>72 jam), 80.000-100.000 IV
lokasidimanasaja
Sumber Krugman, 1992 (dengan modifikasi)

25
DIVISI INFEKSI

a. Hari I: Separuh dosis ADS diberikan secara intravena dengan pengenceran 20 kali
dengan NaCl 0,9%atau dekstrose 5%, atau dilarutkan dalam 200 ml NaCl 0,9% atau
dekstrosa 5%, diberikan dalam 4-8 jam (tidak melebihi 1 ml/jam).Bila uji kulit positif
lakukan desensitasidengan cara sebagai berikut (ADS diberikan secara bertahap, sambil
melihat tanda-tanda alergi/ anafilaktik):

Tabel. Desensitisasi ADS: Jalur intravena


Nomor dosis, Pengenceran serum Jumlah
diberikan tiap dalam NaCl 0,9% injeksi
interval 15 menit (ml)
1 1:1.000 0,1
2 1:1.000 0,3
3 1:1.000 0,6
4 1:100 0,1
5 1:100 0,3
6 1:100 0,6
7 1:10 0,1
8 1:10 0,3
9 1:10 0,6
10 Tanpa pengenceran 0,1
11 Tanpa pengenceran 0,3
12 Tanpa pengenceran 0,6
13 Tanpa pengenceran 1,0

b. Hari II: SeparuhdosisADS diberikansecaraintramuskular


2. Antibiotik:
Penisilin prokain 50.000-100.000 U/kg/hari selama 14 hari
Apabila hipersensitif terhadap penisilin diberikan eritromisin 40-50 mg/kg/hari dalam dosis
terbagi (4x sehari) selama 14 hari
3. Eliminasi difteri harus dibuktikan dengan dua kali beruturut-turut hasil biakan negatif
setelah 24 jam antibiotik dihentikan.
4. Kortikosteroid diberikan bila terdapat gejala obstruksi saluran napas bagian atas (dengan
atau tanpa bullneck) atau bila terdapat miokarditis.
5. Setiap penemuan kasus difteri (tersangka/terbukti) harus dilaporkan ke Dinas Kesehatan
dalam waktu 1 x 24 jam

26
DIVISI INFEKSI

6. Vaksinasi difteri diberikan saat masa penyembuhan penyakit


7. Pengobatan kontak (bekerja sama dengan petugas surveilans Dinas Kesehatan)
Kontak erat, atau kontak serumah:
a. Surveilans
b. Vaksinasi difteri (sesuai usia)
c. Biakan apusan hidung dan tenggorok untuk C. diphtheriae
d. Pemberian antibiotik:
Benzathine Penicillin G Intramuskular (dosis tunggal) dengan dosis
 600.000 IU untuk usia <6 tahun dan
 1.200.000 IU untuk usia 6 tahun atau lebih; atau
Eritromisin oral selama 7 hari dengan dosis
 40 mg/kg BB/hari untuk anak
 1 g/hari untuk dewasa

Algoritma tatalaksana:

Edukasi
1. Tirah baring
2. Prognosis pasien
3. Imunisasi DPT
4. Imunisasi catch up:

27
DIVISI INFEKSI

Tabel. Jadwal imunisasi DPT


Usia minimal Interval minimum pemberian
Usia dosis pertama Dosis 1-2 Dosis 2-3 Dosis Dosis 4-
3-4 5
4 bln – 6 thn 6 minggu 4 minggu 4 minggu 6 bulan 6 bulan
(DTaP)
7 thn – 18 7 tahun 4 minggu * 4 minggu 6 bulan 6 bulan
thn(DTaP) 6 bulan**
Keterangan:
* Apabila dosis pertama diberikan saat usia < 12 bulan
**Apabila dosis kedua diberikan saat usia ≥ 12 bulan
Booster (Td) diberikan setiap 10 tahun (Td adalah vaksin dewasa dengan jumlah antigen sepersepuluh jumlah antigen
pada anak)

5. Cari sumber penularan dan karier

Prognosis
Ad vitam: dubia ad malam
Prognosis tergantung pada:
• Usia
• Lanjutnya penyakit
• Lokasi
• Patogenisitas bakteri
• Cepat lambatnya pemberian toxin
Hari pertama 0,3% (mortalitas)
Hari kedua 4%
Hari ketiga 12%
> hari ketiga 25%
Adsanationam: bonam
Ad fungsionam: dubia ad bonam
Tingkat evidens
IV
Tingkat rekomendasi
D
Penelaah kritis
Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis IKA RSMH
Indikator medis

28
DIVISI INFEKSI

1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik


2. Nafsu makan membaik
3. Perbaikan klinis
4. Tidak dijumpai komplikasi
Taksiran lama perawatan
2-3 minggu
Kepustakaan
1. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbookofpediatricinfectiousdiseases.
5th ed. Philadelphia: WB Saunders; 2009.
2. Long SS, Pickering LK, Prober CG. Principles and practiceofpediatricinfectiousdiseases.
2nd ed. Philadelphia: Churchill & Livingstone; 2003.
3. Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL. Krugman’sinfectiousdiseaseofchildren. 11th ed.
Philadelphia: Mosby; 2004.
4. Pomerans AJ, Busey SL, Sabnis S. Pediatric decision makingstrategies. WB Saunders:
Philadelphia; 2002.
5. Red book, reportofcommittee on infectiousdisease, 24th ed.
Americanacademyofpediatrics 2009
6. Top FH, Wehrle PF. Diphtheria. Communicable and infectious disease. St Louis: Mosby;
1976. h. 223-38.

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak RSMH Ka. Divisi Infeksi & Penyakit
Tropis

Dr. Hj. Yusmala , SpA(K) DR. Dr. Yulia Iriani, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP 19710715 1999 03 2008

29
DIVISI INFEKSI

Malaria
Kode ICD : B50-54
Definisi
Malaria merupakan penyakit infeksi akut hingga kronik yang disebabkan oleh satu atau lebih
spesies Plasmodium, ditandai dengan panas tinggi bersifat intermiten, anemia, dan hepato-
splenomegali yang hidup dan berkembang dalam eritrosit manusaia dan ditularkan melalui
gigitan nyamuk anopheles betina.
Anamnesis
1. Pasien berasal dari daerah endemis malaria, atau riwayat bepergian ke daerah endemis
malaria dalam 1-4 minggu sebelumnya. Ada riwayat sakit malaria, pernah minum obat
malaria, dan riwayat mendapat transfusi.
2. Demam, lemah, nausea, muntah, tidak ada nafsu makan, nyeri punggung, nyeri daerah
perut, pucat, mialgia, atralgia, dan diare.
3. Pada malaria tanpa komplikasi hanya ditemukan gejala malaria tanpa tanda berat dan
bukti (klinis atau laboratorium) disfungsi organ vital
4. Pada malaria berat didapat keluhan tambahan gangguan kesadaran, demam tinggi, ikterik,
pucat, perdarahan hidung, gusi, atau saluran cerna, nafas cepat atau sesak nafas, warna
urine seperti teh tua atau kehitaman (black water fever), produksi urine sedikit, kejang
dan sangat lemah (prostration).
5. Malaria infeksi tunggal pada pasien non-imun terdiri atas beberapa serangan demam
dengan interval tertentu (paroksisme), diselingi periode bebas demam. Sebelum demam
pasien merasa lemah, nyeri kepala, tidak ada nafsu makan, mual atau muntah.
6. Periode paroksisme terdiri atas stadium dingin (cold stage), stadium demam (hotstage),
dan stadium berkeringat (sweating stage).Paroksisme jarang dijumpai pada anak, stadium
dingin seringkali bermanifestasi sebagai kejang. Periode paroksisme berhubungan dengan
ruptur skizon:
 P. vivax dan P. ovale: demam tiap 48 jam
 P. malariae: demam tiap 72 jam
 P. falciparum: demam tidak khas dapat terus menerus
7. Pada pasien dengan infeksi majemuk/campuran (lebih dari satu jenis -- Plasmodium atau
infeksi berulang dari satu jenis Plasmodium), demam terus menerus (tanpa interval),
8. Pada pejamu yang imun gejala klinisnya minimal.

30
DIVISI INFEKSI

Pemeriksaan fisik
1. Demam
2. Pucat pada konjungtiva palpebra atau telapak tangan
3. Splenomegali
4. Hepatomegali
5. Ikterik
6. Pada malaria berat dapat ditemukan tanda klinis lain :
a. Temperatur > 41C
b. Nadi filiformis
c. TD sistolik < 50 mmHg
d. Pucat
e. Takipneu
f. GCS < 11
g. Manifestasi perdarahan
h. Tanda dehidrasi
i. Ikterik
j. Terdengar ronchi
k. Oliguria hingga anuria
l. Kelainan neurologis berupa gejala rangsang meningeal dan atau refleks patologis
Kriteria diagnosis
1. Sesuai dengan anamnesis
2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik
Malaria tanpa komplikasi: infeksi simtomatik dengan parasitemia malaria tanpa tanda berat
dan bukti (klinis atau laboratorium) disfungsi organ vital
Malaria berat: infeksi simtomatik dengan parasitemia malaria dengan tanda berat dan bukti
(klinis atau laboratorium) disfungsi organ vital
Diagnosis
Malaria
Diagnosis banding
1. Demam tifoid
2. Meningitis
3. Apendisitis
4. Gastroenteritis
5. Hepatitis
6. Influenza dan infeksi virus lainnya

31
DIVISI INFEKSI

Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan apus darah tepi (baku emas):
 Tebal: ada tidaknya Plasmodium
 Tipis: identifikasi spesies Plasmodium/tingkat parasitemia (hitung parasit)
dikerjakaan saat penegakan diagnosis dan diulang pada hari ke 3, 7 , 14 dan 28 setelah
pengobatan
2. Rapid diagnostic test (RDT) malaria
3. Pemeriksaan penunjang lain sesuai dengan komplikasi yang terjadi:
a. Darah perifer lengkap
b. Urinalisis
c. SGOT, SGPT, bilirubin total/direk/indirek
d. Alkali fosfatase, albumin
e. Ureum, kreatinin
f. AGD dan elektrolit
g. Gula darah sewaktu
h. EKG
i. Foto toraks
j. Analisis cairan serbrospinalis
k. Biakan darah
4. Temuan laboratorium malaria berat:
 hipoglikemia (guladarah< 40 mg/dl)
 asidosismetabolik
 anemia normositik berat (Hb< 5 g/dl, Ht< 15%)
 haemoglobinuria
 hyperparasitaemia (> 2%/100 000/μlp ada daerah transmisi rendah atau >5% atau
250.000/ulpada daerah transmisi tinggi)
 hiperlaktatemia
 gangguan ginjal
Tatalaksana
1. Antipiretik apabila demam > 38.5oC
2. Suportif (atas indikasi)
 Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan dengan pemberian oral
atau parenteral
 Pelihara keadaan nutrisi
 Transfusi darah pack red cell 10 ml/kg atau whole blood 20 ml/kg apabila anemia
dengan Hb <7,1g/dl

32
DIVISI INFEKSI

 Bila terjadi perdarahan, diberikan komponen darah yang sesuai


 Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit
 Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik, bila perlu pasang CVP.
 Dialisis peritoneal dilakukan pada gagal ginjal
 Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan oksigen
 Apabila terjadi gagal nafas perlu pemasangan ventilator mekanik
 Pertahankan kadar gula darah normal.
3. Medikamentosa
Plasmodium falciparum
Lini Pertama: Artemisinin-based combination therapy (ACT)
1. Artensunat + Amodiakuin + Primakuin
 Artesunat (10 mg/kg) + Amodiakuin (4 mg/kg) per oral dosis tunggal selama 3
hari (maks 4 tablet)
Setiap kemasan kombinasi artesunat-amodiakuin terdiri dari 2 blister yaitu blister
artesunat 12 tablet@50mgdanblisteramodiakuin: 12 tablet @ 200mg 153mg
amodiakuin basa
 Primakuin (0,75 mg/kg) per oral dosis tunggal hanya pada hari pertama (maks 3
tablet)
Tiap tablet primakuin mengandung 15 mg basa.
Primakuin tidak boleh diberikan pada anak < 1 tahun dan penderita defisensi
G6PD
2. [Artemether + lumefantrine (Coartem)] + Primakuin
 Artemether ((5–14 kg: 1 tablet; 15–24 kg: 2 tablet; 25–34 kg: 3 tablet; and > 34
kg: 4 tablet),diberikan 2 kali sehariuntuk 3 hari, setaradengandosisartemether 2-4
mg/kg danlumefantrine 10-16 mg/kg.
Tiap tablet coartem mengandung 20 mg artemether dan 120 mg lumefantrine
 Primakuin (0,75 mg/kg) per oral dosistunggal
3. [Dihidroartemisinin + piperaquin (Arterakine)] + Primakuin
 Dihydroartemisinin4 mg/kg/hari (2-10 mg/kg/hari) danpiperaquine 18 mg/kg/hari
(16-24 mg/kg/hari) satu kali sehariuntuk 3 hari
Tiap tablet arterakine mengandung 40 mg dihydroartemisinin dan 320 mg
piperaquine
 Primakuin (0,75 mg/kg) per oral dosistunggal

33
DIVISI INFEKSI

Lini Kedua
Bila obat tidak tersedia, maka digunakan :
1. Klorokuin sulfat oral, 25 mg/kg terbagi dalam 3 hari dengan perincian
Hari I: 10 mg/kg peroral + Primakuin 0,75 mg/kg peroral
Hari II: 10 mg/kg peroral
Hari III: 5 mg/kg peroral
2. Kombinasi kina + doksisiklin/klindamisin
 Kina dosis 30 mg/kg/hari peroral dibagi 3 dosis diberikan selama 7
hari.Kemasan tablet kina yang beredar di Indonesia: 200mg kina fosfat
atau kina sulfat.
 Doksisiklin diberikan untuk anak 8-14 tahun dengan dosis 2 mg/kg/hari
selama 7 hari. Sediaan doksisiklin yang tersedia tablet 50 mg dan 100 mg.
Untuk anak di bawah 8 tahun doksisiklin diganti clindamycin dengan dosis
10 mg/kg/kali diberikan 2 kali selama 7 hari.
3. Kombinasi tetrasiklin/klindamisin + primakuin
 Tetrasiklin diberikan dengan dosis 4-5 mg/kg/6 jam selama 7 hari.
Untuk anak di bawah 8 tahun tetrasiklin diganti clindamycin dengan dosis
10 mg/kg/kali diberikan 2 kali selama 7 hari.
 Primakuin diberikan dengan dosis 0,75 mg/kg/dosis tunggal hanya pada
hari pertama.

Plasmodium vivax &P. ovale:


Lini Pertama
Artesunat + Amodiakuin + Primakuin
Dosis dan lama pemberian Artesunat + Amodioakuin sama dengan pada malaria
falciparum + Primakuin 0,25 mg/kg/hari selama 14 hari
Lini Kedua
Kina + Primakuin
Kina 30mg/kg/hari dibagi 3 dosis selama 7 hari + primakuin 0,25 mg/kg/hari selama 14
hari
Pengobatan vivaks relaps
Dosis primakuin ditingkatkan 0,5 mg/kg/hari untuk 14 hari, regiman lainnya sama dengan
sebelumnya

34
DIVISI INFEKSI

Penderita defisiensi G6PD


Artesunat+Amodiakuin dengan dosis yang sama diberikan 1x/minggu selama 8-12
minggu

Plasmodium malariae
ACT 1x/hari selama 3 hari dengan dosis sama dengan pengobatan malaria lainnya
Pada daerah tertentu (Papua)
[Dihidroartemisinin + piperaquin (Arterakine)] + Primakuin
 Dihydroartemisinin4 mg/kg/hari (2-10 mg/kg/hari) danpiperaquine 18 mg/kg/hari
(16-24 mg/kg/hari) satu kali sehariuntuk 3 hari
Tiap tablet arterakine mengandung 40 mg dihydroartemisinin dan 320 mg
piperaquine
 Primakuin (0,75 mg/kg) per oral dosistunggal

Penganganan malaria berat :

Pilihan utama: Artesunat intravena


Pengobatan malaria di tingkat RS dianjurkan untuk menggunakan artesunate intravena.
Kemasan dan cara pemberian artesunat
Artesunat parenteral tersedia dalam vial yang berisi 60 mg serbuk kering asam artesunik
dan pelarut dalam ampul yang berisi 0,6 ml natrium bikarbonat 5%. Larutan artesunat
dibuat dengan mencampur 60 mg serbuk kering artesunik dan 0,6 ml natrium bikarbonat
5%, diencerkan dengan Dextrose 5% sebanyak 3 - 5 cc dan diberikan secara bolus
perlahan-lahan.
Artesunat (AS) diberikan dengan dosis 2,4 mg/kg per-iv sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24.
Selanjutnya diberikan 2,4 mg/kg per-iv setiap 24 jam sampai penderita mampu minum
obat. Pengobatan dilanjutkan dengan regimen dihydroartemisinin-piperakuin ( ACT
lainnya)+ primakuin.

Kemasan dan cara pemberian artemeter


Artemeter intramuskular tersedia dalam ampul yang berisi 80 mg artemeter dalam larutan
minyak. Artemeter diberikan dengan dosis 1,6mg/kg intramuskular dan diulang setelah 12
jam. Selanjutnya artemeter diberikan 1,6 mg/kg intramuskular satu kali sehari sampai
penderita mampu minum obat. Bila penderita sudah dapat minum obat, pengobatan
dilanjutkan dengan regimen dihydroartemisinin-piperakuin ( ACT lainnya)+ primakuin.

35
DIVISI INFEKSI

Obat alternatif: Kina dihidroklorida parenteral


Kemasan dan cara pemberian kina parenteral
Kina per-infus masih merupakan obat alternatif untuk malaria berat pada daerah yang
tidak tersedia derivat artemisinin parenteral. Obat ini dikemas dalam bentuk ampul kina
dihidroklorida 25%. Satu ampul berisi 500 mg/2 ml.
Dosis kina HCl 25 % (per-infus): dosis 10 mg/kg (bila umur < 2 bulan: 6 - 8 mg/kg )
diencerkan dengan dekstrosa 5 % atau NaCl 0,9 % sebanyak 5 - 10 ml/kg diberikan
selama 4 jam, diulang setiap 8 jam sampai penderita dapat minum obat, selanjutnya
diberikan kina peroral sampai 7 hari.

Catatan
1) Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena toksik bagi jantung dan
dapat menimbulkan kematian.
2) Pada penderita dengan gagal ginjal, dosis rumatan kina diturunkan 1/3 - 1/2 nya.
3) Pada hari pertama pemberian kina oral, berikan primakuin dengan dosis 0,75 mg/kg.
4) Dosis kina maksimum : 2.000 mg/hari.
5) Hipoglikemia dapat terjadi pada pemberian kina parenteral oleh karena itu dianjurkan
pemberiannya dalam Dextrose 5%

Edukasi
1. Pemakaian kelambu saat tidur
2. Penggunaan losion anti nyamuk
3. Minum obat malaria pencegahan apabila bepergian kedaerah endemis malaria
Prognosis
Malaria
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ada bonam
Malaria Berat
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ada bonam
Level evidens
IV
Tingkat rekomendasi
C

36
DIVISI INFEKSI

Penelaah kritis
Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Departemen IKA RSMH
Taksiran lama rawat
7-10 hari
Indikator medis
1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
2. Respon klinis dan parasitologis memadai
3. Tidak ada parasitemia
4. Tidak ditemukan komplikasi
Kepustakaan
1. American Academy of Pediatrics. Malaria. Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Long SS,
McMillan JA, penyunting. Red Book: 2006 Report of the committee in infectious
diseases. Edisi ke-27. Elk Grove Village, IL. American Academy of Pediatrics; 2006,
h. 435-41.
2. Daily JP. Malaria. Dalam: Anne AG, Peter JH, Samuel LK, penyunting. Krugman’s
infectious diseases of children. Edisi ke-11. Philadelphia; 2004. h. 337-48.
3. Krause, Peter J. Malaria (Plasmodium). Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson
HB, penyunting Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia; 2004. h.
1139-43.
4. Wilson CM. Plasmodium species (Malaria). Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober
CG, penyunting. Principles and practice of pediatric infectious diseases. Edisi ke- 2.
Philadelphia, PA: Elsevier Science; 2003, h.1295-1301
5. World Health Organization. Severe falciparum malaria. Trans R Soc Trop Med Hyg.
2000.
6. Depkes RI. Pedoman Tatalaksana Malaria. Dirjen PP & PL Depkes RI. 2012.
7. Depkes R. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malara di Indonesia: Gebrak Malaria
Ditjen PP 7 PL. Depkes RI. 2008.
8. WHO. Guidelines for the Treatment of Malaria. 2nd edition. 2010.
9. Harijanto, P. Eliminasi Malaria pada Era Desentrallisasi. Dalam : Jendele Data dan
Informasi Kesehatan : Epidemiologi Malaria di Indonesia. Triwulan I. 2011.

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak RSMH Ka. Divisi Infeksi & Penyakit
Tropis

Dr. Hj. Yusmala , SpA(K) DR. Dr. Yulia Iriani, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP 19710715 1999 03 2008

37
DIVISI INFEKSI

Morbili
Kode ICD : B05
Definisi
Campak, measles atau rubeola adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh virus
campak. Penyakit ini sangat infeksius, dapat menular sejak awal masa prodromal sampai
lebih kurang 4 hari setelah munculnya ruam, ditandai oleh panas tinggi diikuti dengan
keluarnya ruam yang kemudian menghitam pada akhir perjalanan penyakit.
Anamnesis
1. Demam tinggi terus menerus 38,5oC atau lebih
2. Disertai batuk, pilek, nyeri menelan, mata merah dan silau bila terkena cahaya
(fotofobia), seringkali diikuti diare
3. Timbul ruam kulit pada hari ke 4-5 demam, didahului oleh suhu yang meningkat lebih
tinggi dari semula.
4. Dapat mengalami kejang
5. Saat ruam timbul, anak masih demam, batuk dan diare dapat bertambah parah sehingga
anak mengalami sesak napas atau dehidrasi
6. Tanda penyembuhan: Adanya kulit kehitaman dan bersisik (hiperpigmentasi)
Pemeriksaan Fisik
Gejala klinis terjadi setelah masa tunas 10-12 hari, terdiri dari tiga stadium:
1. Stadium prodromal: berlangsung 2-4 hari, ditandai dengan demam yang diikuti dengan
batuk, pilek, faring merah, nyeri menelan, stomatitis, dan konjungtivitis. Tanda
patognomonik timbulnya enantema mukosa pipi di depan molar tiga disebut bercak
Koplik yang timbul 24 jam sebelum muncul ruam dan menghilang pada hari ketiga
timbulanya ruam.
2. Stadium erupsi: ditandai dengan timbulnya ruam makulopapular yang bertahan selama 5-
6 hari. Timbulnya ruam dimulai dari batas rambut di belakang telinga, kemudian
menyebar ke wajah, leher, dan akhirnya ke ekstremitas. Saat timbul ruam anak masih
demam
3. Stadium penyembuhan (konvalesens): setelah 3 hari ruam berangsur-angsur menghilang
sesuai urutan timbulnya. Ruam kulit menjadi kehitaman dan mengelupas yang akan
menghilang setelah 1-2 minggu.

Kriteria diagnosis
1. Sesuai dengan anamnesis
2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan serologis jika diperlukan (IgM campak)

38
DIVISI INFEKSI

Diagnosis kerja
Campak (ICD 10: B05)
Diagnosis banding
1. Rubela
2. Demam skarlatina
3. Eksantema subitum
4. Infeksi stafilokokus
5. Ruam akibat obat-obatan
Pemeriksaan penunjang
1. Darah tepi: jumlah leukosit normal/turun atau meningkat apabila ada komplikasi infeksi
bakteri
2. Apabila ada komplikasi ensefalopati dilakukan:
a. Pemeriksaan cairan serebrospinalis
b. Kadar elektrolit darah
c. Analisis gas darah
3. Feses lengkap apabila ada komplikasi enteritis
4. Apabila ada komplikasi bronkopneumonia dilakukan:
a. Pemeriksaan foto rontgen dada
b. Analisis gas darah
Terapi
1. Pengobatan bersifat suportif, terdiri dari pemberian cairan yang cukup, suplemen nutrisi,
antibiotik diberikan apabila terjadi infeksi sekunder, anti konvulsi diberikan bila terjadi
kejang, dan vitamin A.
2. Indikasi rawat inap: hiperpireksia, dehidrasi, kejang, asupan oral sulit, atau adanya
komplikasi.
3. Pasien dirawat di ruang isolasi, tirah baring.
4. Vitamin A diberikan sekali sehari selama 2 hari dengan dosis 50.000 IU pada usia < 6
bulan, pada usia 6 bulan-1 tahun 100.000 IU oral pada usia 6 bulan-1 tahun dan, 200.000
IU oral pada usia > 1 tahun.
5. Diet makanan cukup cairan, kalori yang memadai, jenis makanan disesuaikan dengan
tingkat kesadaran pasien dan ada-tidaknya komplikasi.
6. Pengobatan komplikasi yang sesuai
7. Imunisasi campak dapat diberikan untuk pencegahan anak yang kontak dengan kasus
campak, apabila vaksin campak diberikan 72 jam setelah kontak campak.
8. Immunoglobulin dapat diberikan untuk mencegah timbulnya campak pada individu yang
terpapar dalam 6 hari, terutama diindikasikan pada kasus immunocompromised. Dosis
yang direkomendasikan 0,25 mg/kg IM, untuk pasien imunokompromais dosis yang

39
DIVISI INFEKSI

diberikan 0,5 mg/kg IM (dosis maksimum 15 mL). Immunoglobulin diberikan pada


kelompok risiko tinggi terjadinya komplikasi yaitu bayi < 1 tahun, wanita hamil, dan anak
yang immunocompromised
Edukasi
1. Rawat di bangsal isolasi
2. Tirah baring
3. Menutup hidung dan mulut saat batuk atau bersin.
4. Melaksanakan cuci tangan 6 langkah
5. Penyakit Campak merupakan penyakit yang swasirna.
6. Menjelaskan risiko terjadinya komplikasi pada pasien dengan gizi buruk dan anak
berumur lebih kecil: diare dengan dehidrasi, otitis media, croup, bronkopneumonia,
ensefalitis akut, SSPE
7. Imunisasi campak diberikan pada umur 9 bulan, diulang saat masuk sekolah SD (program
BIAS), atau imunisasi MMR pada umur 12-15 bulan diulang saat umur 5-6 tahun.
8. Pada anak yang pernah menderita campak, imunisasi tidak perlu diberikan
Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad fungsionam : bonam
Tingkat evidens
III
Tingkat rekomendasi
C
Penelaah kritis
Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Departemen IKA RSMH
Taksiran lama rawat
3-5 hari
Indikator Medis
1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
2. Perbaikan klinis (tanpa sesak maupun diare)
3. Nafsu makan baik
4. Ruam kulit mulai menjadi kehitaman dan mengelupas.
Kepustakaan
1. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of pediatric infectious disease,
5th ed. Philadelphia: WB Saunders: 2004.
2. Sumarmo SPS, Herry G, Sri Rezeki SH, Hindra IS. Buku ajar infeksi dan pediatri
tropis.Edisi kedua. Jakarta: IDAI; 2008. American Academy of Pediatrics. Measles.

40
DIVISI INFEKSI

Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Long SS, McMillan JA, penyunting. Red Book: 2006
Report of the committee in infectious diseases. Edisi ke-27. Elk Grove Village, IL.
American Academy of Pediatrics; 2006, h. 441-52
3. Samuel LK. Measles (Rubeola). Dalam: Anne AG, Peter JH, Samuel LK, penyunting.
Krugman’s infectious diseases of children. Edisi ke-11. Philadelphia; 2004. h. 353-68
4. Maldonado YA. Rubeola virus (measles and subacute sclerosing panencephalitis). Dalam:
Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting. Principles and practice of pediatric
infectious diseases. Edisi ke- 2. Philadelphia, PA: Elsevier Science; 2003, h.1148-55
5. Maldonado YA. Measles. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004, h. 1026-32.
6. American Academy of Pediatrics. Measles. Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Long SS,
McMillan JA, penyunting. Red Book: 2006 Report of the committee in infectious
diseases. Edisi ke-27. Elk Grove Village, IL. American Academy of Pediatrics; 2006, h.
441-52

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak RSMH Ka. Divisi Infeksi & Penyakit
Tropis

Dr. Hj. Yusmala , SpA(K) DR. Dr. Yulia Iriani, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP 19710715 1999 03 2008

41
DIVISI INFEKSI

Omfalitis
Kode ICD : P 38.9
Definisi
Infeksi pada tali pusat yang umumnya terjadi pada periode neonatal. Umumnya disebabkan
oleh bakteri gram (+) dan/atau (-), namun dapat juga disebakan oleh bakteri anaerob.
Anamnesis
 Gejala muncul dalam dua minggu pertama kehidupan
 Kemerahan di sekitar tali pusat disertai keluar cairan berupa nanah yang berbau busuk
 Demam atau hipotermi
 Kuning
 Malas minum
 Iritabel
Pemeriksaan fisik
 Pada tali pusat dan daerah sekitarnya ditemukan tanda inflamasi berupa kemerahan,
bengkak, dan nyeri.
 Discharge berupa pus yang berbau busuk
 Dapat disertai gejala sistemik berupa peningkatan suhu > 38C, instabilitas temperatur
tubuh, jaundice,takikardi, pemanjangan CRT, takipneu, dan perut kembung.
Kriteria diagnosis
 Anamnesis
 Pemeriksaan Fisik
Diagnosis
Omfalitis
Diagnosis banding
 Granuloma umbilical
 Tetanus neonatorum
 Selulitis
 Sepsis
Pemeriksaan penunjang
 Darah perifer lengkap
 CRP
 Pewarnaan gram, kultur dan resistensi dari apusan pus
 Kultur darah
Tatalaksana
 Terapi lokal:
Bersihkan umbilikus dengan alkohol 70% dan betadine.

42
DIVISI INFEKSI

 Terapi sistemik:
- Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis dan
- Gentamisin 3-5 mg/kg BB/hari dibagi 2 dosis
Bila dicurigai disebabkan oleh kuman anaerob dapat diberikan metronidazol
Antibiotik kemudian dapat disesuaikan dengan hasil kultur dan resistensi dan/atau
perbaikan klins
Durasi pemberian antibiotik:
- Omfalitis tanpa komplikasi 7 hari
- Bila dijumpai komplikasi lain dapat diberikan selama 10-14 hari
Edukasi
- Perawatan pada tali pusar setelah melahirkan dengan menggunakan betadine, alkohol,
klorhideksin, bacitrasin atau silver sulfadiazine.
- Tidak menambahkan pemberian bahan topikal lain tali pusat selain yang disarankan
tenaga medis.
Prognosis
Dengan deteksi dini dan tatalaksana yang tepat :
Ad vitam : bonam
Ad sanationam : ad bonam
Ad functional : ad bonam
Tingkat evidens
III
Tingkat rekomendasi
C
Penelaah kritis
Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Departemen IKA RSMH
Taksiran lama perawatan
7-14 hari
Kepustakaan
1. Sumarmo SPS, Herry G, Sri Rezeki SH, Hindra IS. Buku ajar infeksi dan pediatri
tropis.Edisi kedua. Jakarta: IDAI; 2008.
2. Mullay LC, et al. Development of clinical sign based on algortihms for community based
assesment of omphalitis. F99.
3. Tolzis P. Staphylococcus epiderdimis and oterh coagulase-negative staphylococci. Dalam
: Long SS, Pickering LK, Prober CG, editor. Principles adn practice of pediatric disease.
Edisi ke-4. Philadelphia, PA : Elsevier Science. 2012. h 689-95.
4. Shah SS. Omphalitis. Dalam : The 5 minute pediatric consult. Schwartz W, editor. Edisi
ke-3. Philladelphia, PA : Lippincot Williams and Wilkins. 2003. H 582-3.

43
DIVISI INFEKSI

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak RSMH Ka. Divisi Infeksi & Penyakit Tropis

Dr. Hj. Yusmala , SpA(K) DR. Dr. Yulia Iriani, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP 19710715 1999 03 2008

44
DIVISI INFEKSI

PERTUSIS
ICD-10 : A37.9
Pengertian (Definisi)
Penyakit saluran napas yang disebabkan oleh Bordetella pertusis
Anamnesis
Penyakit berlangsung selama 6-12 minggu, terdiri dari 3 stadium :
1. Stadium kataral : pilek, lakrimasi, batuk ringan, suhu tubuh biasanya normal, keparahan
batuk meningkat setelah 1-2 minggu
2. Stadium paroksismal : batuk paroxismal, batuk panjang diakhiri dengan suara whoop
saat inspirasi. , sianosis, lakrimasi
3. Stadium konvalescen
Pemeriksaan Fisik
1. Batuk-batuk panjang
2. Tidak ada inspirasi diantaranya dan di akhiri dengan Whoop saat inspirasi.
Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisis
3. Pemeriksaan penunjang (darah rutin, kultur sputum, swab tenggorokan)
Diagnosis
Pertusis
Diagnosis Banding
1. Trankeobronkitis
2. Bronkiolitis
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah rutin: leukositosis dengan limfositosis absolut
2. Kultur sputum
3. Swab tenggorokan
Terapi
1. Antibiotika eritromisin 30-50 mg/kgbb/hari dibagi 2-3 dosis diberikan selama 2 minggu.
2. Antitusif misalnya kodein 1 mg/tahun, 3 kali sehari dapat diberikan bila terjadi gejala
batuk yang hebat tanda adanya komplikasi baru.
3. Obat-obatan simptomatik diberikan sampai gejala-gejala spasmodik menghilang.

Edukasi

45
DIVISI INFEKSI

Prognosis
Ad vitam : dubia ad
Ad sanationam : dubia ad
Ad fungsionam : dubia ad
Tingkat evidens

Tingkat Rekomendasi

Penelaah Kritis

Indikator Medis

Target

Kepustakaan
Wood N, Mc Intyre P. Pertussis: Review of Epidemiology, Diagnosis, Management, and
Prevention. Paediatric Respiratory Review 2008; 9: 201–212

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak RSMH Ka. Divisi Infeksi & Penyakit
Tropis

Dr. Hj. Yusmala , SpA(K) DR. Dr. Yulia Iriani, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP 19710715 1999 03 2008

46
DIVISI INFEKSI

Sepsis
Kode ICD : A41.9
Definisi
Sepsis: sindrom klinis hasil dari respon inflamasi sistemik (Systemic inflammatory response
syndrome/SIRS) terhadap infeksi (dugaan klinis/terbukti)
SIRS: respon klinis terhadap proses infeksi atau non-infeksi yang ditandai dengan minimal 2
keadaan berikut (salah satunya harus temperatur atau jumlah lekosit yang abnormal):
 suhu core 38,5oC atau <36oC
 takikardi atau bradikardi
 takipneu
 leukositosis, leukopenia atau hitung jenis bergeser ke kiri (netrofil imatur > 10%)
Infeksi: Adanya dugaan infeksi pathogen atau terbukti (berdasarkan hasil biakan positif,
pewarnaan jaringan, atau uji PCR) ATAU sindrom klinis yang sangat dicurigai berhubungan
dengan infeksi. Bukti infeksi meliputi temuan positif pada pemeriksaan klinis, pencitraan,
atau laboratorium (misal: ditemukannya sel darah putih pada cairan tubuh yang seharusnya
steril, perforasi viscus, gambaran radiografi sesuai pneumonia, ruam petekie atau purpura,
atau purpura fulminans).
Sepsis berat: sepsis + disfungsi organ akut (minimal 1 organ: kardiovaskular atau sindrom
distress pernapasan akut) atau minimal 2 disfungsi organ lainnya.
Syok septik: sepsis + syok yang refrakter terhadap resusitasi cairan atau disfungsi
kardiovaskular
Anamnesis
1. Adanya faktor risiko untuk sepsis, infeksi primer atau dapat ditemukan fokus infeksi yang
mendasari timbulnya sepsis.
2. Adanya tanda awal sepsis yang dapat berupa demam, hiperventilasi, takikardia,
vasodilatasi yang disusul dengan hipotensi
3. Gelisah dan agitasi
4. Letargifg
5. Muntah
6. BAK sedikit
7. Riwayat luka bakar luas
8. Diketahui immunokompromais atau immunosupresi
9. Riwayat tindakan pembedahan/ prosedur invasif/ rawat inap
10. Menggunakan IVCD, VP shunt, invasive airway
11. Riwayat pemberian antibiotik atau antivirus

47
DIVISI INFEKSI

Pemeriksaan fisik
1. Penurunan kesadaran, letargi, agitasi
2. Hipotermia atau hipertermia
3. Takikardia atau bradikardi
4. Hiperventilasi
5. Gangguan perfusi atau hipotensi
6. Dehidrasi
7. Perut kembung
8. Timbulnya petekia dan purpura
9. Ditemukan selulitis atau inflamasi sendi
Kriteria diagnosis
1. Sesuai dengan anamnesis
2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik
Diagnosis kerja
Sepsis
Diagnosis banding
1. Intoksikasi
2. Sindrom Kawasaki
3. Leptospirosis
4. Tuberkulosis
5. Malaria
6. Kriptokokosis
7. Penyakit Lyme
8. Rocky Mountain Spotted Fever
9. Keganasan
Pemeriksaan Penunjang
1. Hemoglobin, Hematokrit, Trombosit, Leukosit, hitung jenis leukosit, dengan apus darah
tepi, LED
2. SGOT, SGPT, Bilirubin Total, Direk dan Indirek
3. Gula Darah Sewaktu
4. Ureum dan Creatinin
5. CRP
6. Procalcitonin
7. Elektrolit: Na, K, Ca, Cl
8. PT, aPTT, d-dimer, fibrinogen
9. Analisa gas darah

48
DIVISI INFEKSI

10. Urinalisis
11. Biakan darah berulang
12. Biakan urin
13. Biakan sputum/ LCS/ apusan/ feses
14. Biakan jamur pada darah dan urin
15. Pemeriksaan radiologis
16. Laktat
Terapi
1. Antibiotik empirik sesuai pola kuman atau dapat diberikan:
a. Sefotaksim 100-150mg/kgBB/hari iv dalam 3 dosis atau Ampicillin (150-200
mg/kg/hari iv dalam 3 dosis) + Gentamisin (5-7 mg/kg/hari dalam 2 dosis atau dosis
tunggal)
b. Antibiotik spektrum luas sesuai pola kuman rumah sakit jika kuman berasal dari
health care associated infections (HAISs)
c. Metronidazol atau klindamisin dapat diberikan bersama obat di atas bila didapatkan
kecurigaan bakteri anaerob.
d. Setelah ada hasil biakan dan uji resistensi, antibiotik diberikan secara definitif.
2. Memperbaiki perfusi jaringan melalui resusitasi cairan, koreksi asam-basa.
3. Mempertahankan fungsi respirasi secara efisien, antara lain dengan pemberian oksigen
dan mengusahakan agar jalan napas tetap terbuka
4. Terapi Oksigen
5. Renal support untuk mencegah gagal ginjal akut
6. Terapi cairan intravena termasuk TPN
7. Glucose control: pertahankan kadar gula darah >70 mg/dl
8. Anti jamur sistemik atas indikasi
9. Antipiretik: parasetamol
10. Transfusi PRC/ TC/ FFP/ Cryo
11. Terapi inhalasi
12. Obat anti kejang: diazepam, fenobarbital, fenitoin
13. Antagonis H2 atau penghambat pompa proton
14. Source control: drain dan debridement sumber infeks bila memungkinkan

49
DIVISI INFEKSI

Edukasi
1. Tirah baring
2. Imunisasi
3. Perbaiki nutrisi
4. Perbaiki higiene pribadi dan lingkungan
5. Edukasi prognosis kepada pasien dan keluarganya
Prognosis
Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia
Ad fungsionam: dubia
Tingkat evidens
III
Tingkat rekomendasi
C
Penelaah kritis
Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Departemen IKA RSMH
Taksiran lama rawat
10-15 hari
Indikator medis
1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
2. Perbaikan klinis
3. Hemodinamik stabil
4. Tidak terjadi komplikasi

Kepustakaan
1. Sepsis dan Syok Sepsis. Dalam: Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI.
Penyunting. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI. 2008. h358-63
2. Feigin RD. Bacteremia and Septicemia. Dalam: Behreman RE, Vaughn VC and Nelson
WE. Penyunting) Nelson textbook of pediatrics, edisi ke 13. Philadelphia: WB Saunders.
Co, 1987: 568
3. Moffet HL. Sepsis and bacteremia. Moffet pediatric infectious disease, edisi ke-3
Philadelphia: JB Lippincott, 1989. H 292-9
4. Jaffari NS, McCracken Jr MD. Sepsis and septic shock: a review for clinicians. Pediat
Infect Dis Journ, 1992; 11: 739-49

50
DIVISI INFEKSI

5. Goldstein B, Giroir B, Rnadoplph A; International Consensus Conference on Pediatric


Sepsis. International pediatric sepsis consensus conference : definition for sepsis and
organ dysfunction in pediatrics. Pediatr Crit Care Med. 2005. Jan;6(1):2-8
6. Dellinger RP, et al. Surviving Sepsis Campaign : International Guidelines for
Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012. Critical Care Medicine, 2013.
Feb;41(2):580-637

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016


Ka. Departemen Kesehatan Anak RSMH Ka. Divisi Infeksi & Penyakit
Tropis

Dr. Hj. Yusmala , SpA(K) DR. Dr. Yulia Iriani, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP 19710715 1999 03 2008

51
DIVISI INFEKSI

52
DIVISI KARDIOLOGI

6
KARDIOLOGI

UPDATE 2021

DEMAM REMATIK DAN PENYAKIT JANTUNG REMATIK ................ 3


DEKOMPENSASI KORDIS ................................................................. 10
DUKTUS ARTERIOUS PERSISTEN (DAP) ......................................... 15
DEFEK SEPTUM VENTRIKEL (DSV) ................................................... 18
DEFEK SEPTUM ATRIUM (DSA) ......................................................... 21
TETRALOGI OF FALLOT ..................................................................... 24
KAWASAKI DISEASE .......................................................................... 27

1
DIVISI KARDIOLOGI

2
DIVISI KARDIOLOGI

DEMAM REMATIK DAN PENYAKIT JANTUNG REMATIK


RIA NOVA

Definisi
1. Demam Rematik (DR) adalah sindrom klinik akibat infeksi kuman Streptococcus
betahemolyticus grup A, dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu poliartritis
migrans akut, karditis, korea minor, nodul subkutan atau eritema marginatum.
2. Demam Rematik Akut (DRA) adalah istilah untuk penderita demam rematik yang
terbukti dengan tanda radang akut.
3. Demam Rematik Inaktif adalah istilah untuk penderita dengan riwayat demam
rematik tetapi tanpa terbukti tanda radang akut.
4. Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah kelainan jantung yang ditemukan pada
DRA atau kelainan jantung yang merupakan gejala sisa (sekuele) dari DR.

Anamnesis
1. Demam, nyeri pada persendian yang berpindah pindah, tanda- tanda peradangan
pada sendi (merah, panas, nyeri dan fungsilaesia).
2. Adanya gerakan-gerakan cepat, bilateral tanpa tujuan dan sukar dikendalikan.
3. Pucat, malaise, cepat lelah, dan gejala lain seperti epistaksis dan nyeri perut.
4. Riwayat sakit tenggorokan 1-5 minggu (rata-rata 3 minggu) sebelum timbul gejala
5. Riwayat demam rematik pada waktu lampau.
6. Riwayat keluarga dengan demam rematik

Pemeriksaan Fisik
1. Poliartritis migrans
Biasanya menyerang sendi-sendi besar seperti sendi lutut, pergelangan kaki, siku, dan
pergelangan tangan. Sendi yang terkena menunjukkan gejala peradangan yang jelas seperti
bengkak, merah, panas sekitar sendi, nyeri dan terjadi gangguan fungsi sendi. Artritis
reumatik bersifat asimetris dan berpindah-pindah. Kelainan ini ditemukan pada sekitar 70%
pasien DRA.
2. Karditis
Karditis merupakan gejala mayor terpenting, karena hanya karditis yang dapat meninggalkan
gejala sisa, terutama kerusakan katup jantung.
Seorang penderita demam reumatik dikatakan menderita karditis bila ditemukan satu atau
lebih tanda-tanda berikut:
a. Bunyi jantung melemah

3
DIVISI KARDIOLOGI

b. Adanya bising sistolik, mid diastolik di apeks atau bising diastolik di basal jantung
c. Perubahan bising misalnya dari derajat I menjadi derajat II.
d. Takikardia / irama derap
e. Kardiomegali
f. Perikarditis
g. Gagal jantung kongestif tanpa sebab lain.

Tabel 1. Pembagian Karditis menurut Decourt

Karditis Ringan Karditis Sedang Karditis Berat

Takikardi, murmur ringan Tanda-tanda karditis ringan, Ditandai dengan gejala


pada area mitral, jantung bising jantung yang lebih sebelumnya ditambah gagal
yang normal, EKG normal jelas pada area mitral dan jantung kongestif
aorta, aritmia, kardiomegali,
hipertropi atrium kiri dan
ventrikel kiri.

1. Korea Sydenham
Gerakan-gerakan cepat, bilateral, tanpa tujuan dan sukar dikendalikan. Seringkali disertai
dengan kelemahan otot dan gangguan emosional. Semua otot terkena, tetapi yang
mencolok adalah otot wajah dan ekstremitas.
2. Eritema marginatum
Kelainan kulit berupa bercak merah muda, berbentuk bulat, lesi berdiameter sekitar 2,5
cm, bagian tengahnya pucat, sedang bagian tepinya berbatas tegas, tanpa indurasi, tidak
gatal, paling sering ditemukan pada batang tubuh dan tungkai proksimal.
3. Nodul subkutan
Terletak di bawah kulit, keras, tidak sakit, mudah digerakkan dan berukuran 3-10 mm.
Lokasinya sekitar ekstensor sendi siku, lutut, pergelangan kaki dan tangan, daerah
oksipital, serta di atas prosesus vertebra torakalis dan lumbalis.

Kriteria Diagnosis
Diagnosis demam rematik ditegakkan berdasarkan Kriteria WHO tahun 2003 (berdasarkan
revisi kriteria Jones)

4
DIVISI KARDIOLOGI

Tabel 2. Kriteria WHO Tahun 2002-2003 untuk Diagnosis Demam Rematik dan Penyakit
Jantung Rematik (berdasarkan Revisi Kriteria Jones)
Kategori Diagnostik Kriteria
 Demam rematik serangan pertama  Dua mayor atau satu mayor dan
dua minor ditambah dengan bukti
infeksi SGA sebelumnya
 Demam rematik serangan rekuren tanpa  Dua mayor atau satu mayor dan
PJR dua minor ditambah dengan bukti
infeksi SGA sebelumnya
 Demam rematik serangan rekuren  Dua minor ditambah dengan bukti
dengan PJR infeksi SGA sebelumnya
 Korea Sydenham  Tidak diperlukan kriteria mayor
lainnya atau bukti infeksi SGA
 PJR (stenosis mitral murni atau  Tidak diperlukan kriteria lainnya
kombinasi dengan insufisiensi mitral untuk mendiagnosis sebagai PJR
dan/atau gangguan katup aorta)
Sumber: WHO, 2004

Manifestasi Mayor Manifestasi Minor


- Karditis  Klinis:
- Poliartritis migrans - Artralgia
- Korea - Demam
- Eritema marginatum  Laboratorium:
- Nodulus subkutan - Peningkatan reaktan fase
akut yaitu: LED dan atau
CRP yang meningkat
- Interval PR yang
memanjang
Diagnosis demam rematik ditegakkan bila terdapat 2 manifestasi mayor atau 1 manifestasi
mayor ditambah 2 manifestasi minor dan didukung bukti adanya infeksi streptokokus
sebelumnya yaitu kultur apus tenggorok yang positif atau kenaikan titer antibodi streptokokus
(ASTO) >200.
Langkah diagnosis
Tegakkan diagnosis DR berdasarkan kriteria WHO tahun 2003
Tetapkan aktif atau inaktif
 Tetapkan ada karditis atau tidak
 Tetapkan ada kelainan pada katup jantung atau tidak
Jika tidak ada tanda-tanda DR aktif dan penyebab lain kelainan pada katup jantung dapat
disingkirkan dianggap PJR

5
DIVISI KARDIOLOGI

Tetapkan status hemodinamik jantung: dekompensasi kordis atau tidak

Diagnosis
Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik (ICD-10 : I09.8)

Diagnosis Banding
1. Juvenile rheumatoid arthritis
2. SLE, artritis reaktif, artritis infeksius
3. Artritis akut karena virus (rubella, parvovirus, hepatitis B, herpes, enterovirus)

Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium: ASTO dan kultur apus tenggorokan
2. EKG
3. Ekokardiografi

Terapi
1. Antibiotika
1. Untuk Eradikasi:
Benzatin penisilin.G:
BB ≤27 kg = 600.000-900.000 unit
BB ≥27 kg = 1,2 juta unit
Bila tidak ada, dapat diberikan Prokain Penisilin 50.000 Iµ/kgBB selama 10 hari.

Alternatif lain:
Penisilin V (oral):
BB ≤27 kg 2-3 x 250 mg
BB >27 kg 2-3 x 500 mg
 Amoksisilin (oral): 50 mg/kgBB/hari, dosis tunggal (maks. 1 g) selama 10 hari
 Bila alergi terhadap penisilin dapat digunakan:
- Sefalosporin spektrum sempit: sefaleksin, sefadroksil
- Klindamisin: 20 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis (dosis maks.
1,8 g/hari) selama 10 hari
- Azitromisin: 12 mg/kgBB/hari, dosis tunggal (dosis maks.
500 mg) selama 5 hari
- Klaritromisin: 15 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis (maks. 250
mg/kali) selama 10 hari

6
DIVISI KARDIOLOGI

- Eritromisin: 40 mg/kgBB/hari dibagi 2-4 kali sehari (dosis


maksimum 1 g/hari) selama 10 hari

2. Untuk profilaksis sekunder:


 Benzatin penisilin G:
BB ≤27 kg = 600.000 unit
setiap 3 atau 4 minggu, i.m
BB >27 kg = 1,2 juta unit
 Alternatif lain:
- Penisilin V : 2 x 250 mg, oral
- Sulfadiazin : BB ≤27 kg 500 mg sekali sehari
BB >27 kg 1000 mg sekali sehari
Bila alergi terhadap Penisilin dan Sulfadiazin dapat diberikan:
- Eritromisin
- Klaritromisin
- Azitromisin
-
Tabel 3. Lama pemberian antibiotika profilaksis sekunder:
Lama pemberian setelah serangan
Kategori
terakhir
Demam rematik dengan karditis dan Selama 10 tahun atau sampai usia 40
penyakit jantung residual (kelainan katup tahun, pada beberapa kondisi (risiko tinggi
persisten) terjadi rekuren) dapat seumur hidup
Demam rematik dengan karditis tetapi Selama 10 tahun atau sampai usia 21
tanpa penyakit jantung residual (tanpa tahun
kelainan katup)
Demam rematik tanpa karditis Selama 5 tahun atau sampai usia 21 tahun

2. Obat Anti Inflamasi: diberikan untuk DRA atau PJR yang rekuren
Tabel 4. Rekomendasi penggunaan anti inflamasi
Karditis Karditis Karditis
Hanya Artritis
Ringan Sedang Berat
Prednison - - 2-4 mgg* 2-6 mgg*
Aspirin a. 100 mg/kgBB/ hr 3-4 mgg** 6-8 mgg 2-4 bln
dalam 4-6 dosis (2 mgg)
b. Kemudian dosis
dikurangi menjadi 60 mg/kg/
hari (4-6 mgg)
Dosis : Prednison 2 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis

7
DIVISI KARDIOLOGI

Aspirin 100 mg/kgBB/hari dibagi 4-6 dosis


* Dosis Prednison di tappering (dimulai pada minggu ketiga) dan Aspirin dimulai minggu
ketiga kemudian di tappering.
** Aspirin dapat dikurangi menjadi 60 mg/kgBB setelah 2 minggu pengobatan

3. Istirahat (lihat tabel 5)


Tabel 5. Petunjuk tirah baring dan ambulasi
Hanya Karditis Karditis
Karditis Berat
Artritis Ringan Sedang
Tirah baring 1-2 3-4 4-6 Selama masih
minggu minggu minggu terdapat gagal
jantung kongestif
Ambulasi bertahap (boleh 1-2 3-4 4-6 2-3 bulan
rawat jalan bila tidak minggu minggu minggu
mendapat steroid)

4. Penanganan gagal jantung kongestif sesuai tatalaksana gagal jantung kongestif


5. Tatalaksana Korea Sydenham’s:
a. Kurangi aktivitas fisik dan stres
b. Untuk kasus berat dapat digunakan:
i. Fenobarbital: 15-30 mg setiap 6-8 jam atau
ii. Haloperidol dimulai dengan dosis 0,5 mg dan ditingkatkan setiap 8 jam
sampai 2 mg
6. Pasien dengan gejala sisa berupa PJR, memerlukan tatalaksana tersendiri (akan dirujuk)
tergantung pada berat ringannya penyakit, berupa:
a. Tindakan dilatasi balloon perkutan (balloon mitral valvulotomy) untuk mitral stenosis
b. Tindakan operasi katup jantung berupa valvuloplasti atau penggantian katup.

Tindak Lanjut
1. Eradikasi streptokokus pada tenggorokan dan profilaksis sekunder dengan antibiotika.
2. Mengurangi dan mengatasi kecacatan pada katup jantung.
3. Mengurangi dan mencegah komplikasi

Indikasi Pulang
1. Gagal jantung telah teratasi.
2. Jadwal tirah baring dan terapi steroid telah selesai.

8
DIVISI KARDIOLOGI

Edukasi
1. Mengurangi aktivitas fisik dan stress.
2. Menjelaskan tentang lama pemberian antibiotik profilaksis sekunder (Tabel 3) dan efek
samping pengobatan.
3. Menjelaskan perlunya menjaga personal higiene, terutama kebersihan gigi dan mulut
untuk mencegah terjadinya infective endocarditis.
4. Menjelaskan prognosis penyakit.

Prognosis
Tergantung ada tidaknya kerusakan jantung permanen;
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam

Kepustakaan
1. Park, MK 2014, Pediatric cardiology for practitioners, Edisi ke-6. Mosby Elsevier,
Philadelphia.
2. World Health Organization 2004, WHO technical report series: rheumatic fever and
rheumatic heart disease, Geneva.
3. Working Group on Pediatric Acute Rheumatic Fever and Cardiology 2008, Consensus
guidelines on pediatric acute rheumatic fever and rheumatic heart disease, Indian
Pediatrics, vol. 45, pp. 565-573.
4. National Heart Foundation of Australia and the Cardiac Society of Australia and New
Zealand 2006, Diagnosis and management of acute rheumatic fever and rheumatic heart
disease in Australia: an evidence-based review, National Heart Foundation of Australia.
5. Madiyono, B, Rahayuningsih, SE & Sukardi, R 2005, Penanganan penyakit jantung pada
bayi dan anak, UKK Kardiologi IDAI, Jakarta.

9
DIVISI KARDIOLOGI

DEKOMPENSASI KORDIS
RIA NOVA

Definisi
Dekompensasi kordis adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah secara
adekuat untuk memenuhi kebutuhan tubuh.

Anamnesis
1. Sesak napas terutama saat beraktivitas. Sesak napas dapat mengakibatkan kesulitan
makan/minum dan, dalam jangka panjang, gagal tumbuh;
2. Sering berkeringat (peningkatan tonus simpatis);
3. Ortopnea: sesak nafas yang mereda pada posisi tegak;
4. Dapat dijumpai mengi;
5. Edema di perifer atau pada bayi biasanya di kelopak mata.

Pemeriksaan Fisik
1. Tanda gangguan miokard
- Takikardia: HR >60 kali/menit pada bayi dan 100 kali/menit pada anak (saat diam).
Jika HR >200 kali/menit perlu dicurigai ada takikardia supraventrikular
- Kardiomegali pada pemeriksaan fisis dan/atau foto thorak
- Peningkatan tonus simpatis: berkeringat, gangguan pertumbuhan
- Irama derap (gallop).
2. Tanda kongesti vena paru (gagal jantung kiri)
- Takipne
- Sesak napas, terutama saat aktivitas
- Ortopne
- Mengi atau ronki
- Batuk
3. Tanda kongesti vena sistemik (gagal jantung kanan)
- Hepatomegali: kenyal dan tepi tumpul
- Peningkatan tekanan vena jugularis (tidak ditemukan pada bayi)
- Edema perifer (tidak dijumpai pada bayi)
- Kelopak mata bengkak (pada bayi)

Kriteria Diagnosis
1. Berdasarkan cardiac output: high dan low cardiac failure
2. Berdasarkan onset: akut dan kronik

10
DIVISI KARDIOLOGI

3. Berdasarkan sisi jantung: kiri, kanan, atau kiri dan kanan


4. Berdasarkan klasifikasi fungsional NYHA ( New York Heart Association):
a. Derajat I : asimptomatik
b. Derajat II : dispnu bila aktivitas sedang
c. Derajat III : dispnu bila aktivitas ringan
d. Derajat IV : dispnu dalam keadaan istirahat.

Tabel 1. Sistem skoring gagal jantung pada anak menurut Modifikasi Ross
0 1 2
 Berkeringat dingin Kepala kepala dan badan kepala dan badan
waktu aktivitas waktu isrirahat
 Takipneu Jarang kadang-kadang Sering
 Pola nafas Normal retraksi Dispneu
 Laju nafas (x/menit)
0–1 tahun <50 50–60 >60
1–6 tahun <35 35–45 >45
7–10 tahun <25 25–35 >35
11–14 tahun <18 18–28 >28
 HR (x/menit )
0–1 tahun <160 160–170 >170
1–6 tahun <105 105–115 >115
7–10 tahun <90 90–100 > 100
11–14 tahun <80 80–90 >90
 Jarak tepi hepar dari <2 cm 2–3 cm >3 cm
batas kostae

Tabel 2. Sistem Skoring Gagal Jantung pada Bayi menurut Ross


0 poin 1 poin 2 poin
Volume sekali minum (cc) >115 75-115 <25
Waktu per sekali minum
(menit) <40 mnt >40 mnt
Laju nafas <50 mnt 50-60 mnt >60 mnt
Pola nafas Normal Abnormal
Perfusi perifer Normal Menurun
S3 atau diastolic rumble Tidak ada ada
Jarak tepi hepar dari batas <2 cm 2-3 cm 3 cm
kostae
Tanpa gagal jantung : 0-2 poin
Gagal jantung ringan : 3-6 poin
Gagal jantung sedang : 7-9 poin
Gagal jantung berat : 10-12 poin

11
DIVISI KARDIOLOGI

Dasar diagnosis
Dispnu/ortopnu, pulsus alternans, takikardia/irama gallop, ronki basah tak nyaring di basal
paru (gagal jantung kiri), tekanan vena yugularis meningkat, hepatomegali, edema (gagal
jantung kanan), kardiomegali

Langkah diagnosis
Perhatikan gejala dan tanda:
- Kardiovaskuler: takikardi/irama gallop, kardiomegali, nadi: pulsus alternans
- Respirasi: dispnu, ortopnu, batuk produktif, ronki basah tak nyaring di basal paru
- Tanda-tanda bendungan sistemik: tekanan vena jugularis, hepatomegali (tumpul,
lunak), edema

Diagnosis
Dekompensasi Kordis (ICD-10 : I51.9)

Diagnosis Banding
Diagnosis banding etiologi:
1. Peningkatan beban volume: DSV, DAP, insufisiensi katup jantung, anemia, gagal
ginjal dengan retensi cairan, dsb.
2. Peningkatan beban tekanan: stenosis katup aorta atau pulmonal, hipertensi
sistemik/pulmonal, dsb
3. Gangguan miokard: kardiomiopati, miokarditis
4. Perubahan frekuensi denyut jantung: SVT, atrial flutter, atrial fibrilasi dsb.

Pemeriksaan Penunjang
1. EKG
2. Lab darah: Hb, lekosit, hitung jenis, LED.
3. Foto thorak
4. Analisis gas darah dan elektrolit
5. Ekokardiografi

Terapi
1. Istirahat di tempat tidur, posisi setengah duduk. Bayi ditidurkan dengan posisi 30-45
derajat.
2. Berikan oksigen (2-4 L/menit)

12
DIVISI KARDIOLOGI

3. Berikan cairan ¾ kebutuhan normal perhari. Bila terdapat anemia berat berikan
tranfusi darah (packed cell) terlebih dahulu, jumlah: 5-10 cc/kgBB diberikan selama
2-3 jam.
4. Medikamentosa:
a. Diuretika (Furosemid) 1-2 mg/kgBB/kali iv diberikan 2 kali perhari
b. Digitalisasi
Digitalisasi awal digoksin 30-50 g/kgBB sehari peroral, dengan cara pemberian:
- ½ dosis diberikan pertama kali
- ¼ dosis 8 jam kemudian
- ¼ dosis diberikan 16 jam setelah dosis pertama

Dosis pemeliharaan digoksin (oral) 10-20 g/kgBB/hari diberikan pada hari kedua
dan seterusnya. Indikasi digitalis: takikardia, atrial flutter, kardiomiopati.
Untuk dekompensasi dengan NYHA derajat I-III dapat langsung dengan dosis
pemeliharaan. Hati-hati pemberian digitalis pada DR/PJR, bronkopnemonia.
Digitalis tidak boleh diberikan pada stenosis aorta, stenosis pulmonal, koarktasio
aorta, anemia (Hb <6g%).
c. Vasodilator
Diberikan pada:
- Dekompensasi kordis yang disebabkan pirau besar (DSV, DAP, DSAV)
- Dekompensasi kordis yang tidak responsif dengan pengobatan diatas.
Dapat diberikan Kaptopril oral, dengan dosis 0,1-2 mg/kgBB/kali, dengan dosis
maksimum 6 mg/kgBB/hari (dipilih dosis rendah). Diberikan dalam tiga kali
pemberian.
5. Atasi penyakit utama atau penyakit penyerta (RHD), bronkopnemonia, anemia, CHD,
dll.
6. Diet rendah garam
7. Pengawasan yang ketat terhadap gejala klinik untuk menilai:
- Frekuensi denyut jantung, frekuensi napas
- Berat badan
- Tekanan vena jugularis
- Pembesaran hati, edema
- Produksi urin dalam 24 jam

13
DIVISI KARDIOLOGI

Indikasi Pulang
Gagal jantung teratasi

Edukasi
1. Definisi dan etiologi: memahami penyebab dan gejala yang timbul.
2. Prognosis: memahami faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis
3. Pemantauan gejala: mengetahui mengapa dan kapan harus ke dokter/rumah sakit
4. Terapi farmakologi: memahami indikasi, dosis, dan efek obat
5. Diit, latihan

Prognosis
Tergantung faktor pencetus/penyebab yang mendasari;
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam

Kepustakaan
1. Park, MK 2014, Pediatric cardiology for practitioners, edisi ke-6. Saunders Elsevier,
Philadelphia.
2. The Task Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure
2012 of the European Society of Cardiology 2012, ESC Guidelines for the diagnosis
and treatment of acute and chronic heart failure 2012, European Heart Journal, vol.
33, pp. 1787-1847.
3. Pudjiadi, AH, Hegar, B, Handryastuti, S, Idris, NS & Gandaputra, EP 2009, Pedoman
pelayanan medis, Ikatan Dokter Anak Indonesia,Jakarta.
4. Madiyono, B, Rahayuningsih, SE & Sukardi, R 2005, Penanganan penyakit jantung
pada bayi dan anak, UKK Kardiologi IDAI, Jakarta.

14
DIVISI KARDIOLOGI

DUKTUS ARTERIOUS PERSISTEN (DAP)


RIA NOVA

Definisi
Kelainan jantung bawaan yang ditandai dengan tetap terbukanya duktus arteriosus

Anamnesis
1. Adanya gangguan pertumbuhan dan perkembangan
2. Takipneu
3. Gangguan kesulitan minum
4. Gangguan toleransi latihan
5. Riwayat infeksi saluran nafas berulang

Pemeriksaan Fisik
1. DAP kecil/sedang: BJ I dan BJ II normal, bising kontinu derajat III-V pada ICS II kiri
linea sternalis.
2. DAP besar: hiperaktivitas ventrikel kiri dan kanan, murmur kontinu kasar derajat III-
IV pada ICS II kiri linea sternalis, murmur diastolik di apeks.
3. DAP dengan hipertensi pulmonal: P2 mengeras dan bising sistolik.

Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik jantung: tetapkan perkiraan besar DAP. tetapkan apakah terjadi
gagal jantung, tanda-tanda hipertensi pulmonal serta adanya sindroma Eisenmenger
3. EKG untuk menentukan adanya beban volume
4. Foto thorak untuk menilai corakan vaskuler paru
5. Ekokardiografi untuk menentukan besarnya DAP
6. Kateterisasi hanya dilakukan bila dicurigai ada hipertensi pulmonal

Diagnosis
Duktus Arteriosus Persisten (ICD-10 : Q25.0)

Diagnosis Banding
Defek septum ventrikel (DSV)

15
DIVISI KARDIOLOGI

Pemeriksaan Penunjang
1. EKG
2. Foto thorak
3. Ekokardiografi
4. Kateterisasi

Terapi
Tutup DAP
1. Medikamentosa: Ibuprofen
Hanya efektif pada bayi prematur usia <1 minggu
Dosis:
Hari Dosis
I 10 mg/kgBB
II 5 mg/kgBB
III 5 mg/kgBB

Kontraindikasi:
a. Sepsis,
b. Perdarahan aktif saluran pencernaan,
c. Perdarahan periintraventrikular berat (PPIV derajat III dan IV),
d. Trombositopenia (<50.000/mm3),
e. Penurunan fungsi ginjal (diuresis <1 cc/kgBB/jam; serum kreatinin ≥1,3
mg/dL),
f. Penyakit jantung kongenital ductal dependent
g. Enterokolitis nekrotikans.

2. Transkateter dengan menggunakan:


a. Coil: untuk DAP dengan diameter <3 mm (DAP kecil)
b. ADO (Amplatzer Ductal Occluder): untuk DAP sedang

3. Operasi: ligasi atau pemotongan duktus


Indikasi pada:
 DAP besar
DAP besar dengan gejala dekompensasi kordis yang terjadi pada bayi baru lahir
atau anak dengan BB <6 kg

16
DIVISI KARDIOLOGI

Indikasi Pulang
Perbaikan klinis dan keadaan umum membaik
Gagal jantung teratasi

Edukasi
1. Definisi dan etiologi: menjelaskan penyebab dan gejala yang timbul.
2. Pemantauan gejala: menjelaskan kapan harus ke dokter/rumah sakit.
3. Menjelaskan perlunya menjaga personal higiene, terutama kebersihan gigi dan mulut
untuk mencegah terjadinya infective endocarditis.
4. Menjelaskan kapan dilakukan intervensi untuk penutupan DSV
5. Terapi farmakologi: menjelaskan indikasi, dosis, dan efek obat
6. Prognosis: menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis

Prognosis
Tergantung ukuran, lokasi, ada tidaknya hipertensi pulmonal, ada tidaknya gagal jantung;
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam

Kepustakaan
1. Park, MK 2014, Pediatric cardiology for practitioners, Edisi Ke-6. Saunders Elsevier,
Philadelphia.
2. Pudjiadi, AH, Hegar, B, Handryastuti, S, Idris, NS & Gandaputra, EP 2009,
Pedoman pelayanan medis, Ikatan Dokter Anak Indonesia,Jakarta.
3. Sastroasmoro, S & Madiyono, B 1994, Buku ajar kardiologi anak, Ikatan Dokter
Anak Indonesia, Jakarta.
4. Madiyono, B, Rahayuningsih, SE & Sukardi, R 2005, Penanganan penyakit jantung
pada bayi dan anak, UKK Kardiologi IDAI, Jakarta

17
DIVISI KARDIOLOGI

DEFEK SEPTUM VENTRIKEL (DSV)


RIA NOVA

Definisi
Kelainan jantung bawaan yang ditandai adanya lubang/defek pada septum
interventrikular.

Anamnesis
1. Gangguan pertumbuhan
2. Gangguan kesulitan minum
3. Gangguan toleransi latihan
4. Riwayat infeksi saluran nafas berulang

Pemeriksaan Fisik
1. DSV kecil: BJ I dan BJ II normal, bising pansistolik meniup dengan nada tinggi
derajat III-V pada linea parasternalis kiri ICS III-IV.
2. DSV sedang: Pemeriksaan jantung BJ I dan II normal, bising pansistolik kasar
derajat III-IV linea parasternalis ICS III-IV.
3. DSV besar: Sering mengalami gagal jantung. Jantung hiperaktivitas ventrikel kiri dan
kanan, murmur sistolik kasar derajat III-IV pada linea parasternalis kiri ICS III-IV,
murmur diastolik di apeks.
4. DSV dengan hipertensi pulmonal: P2 mengeras dan bising sistolik.
5. DSV dengan sindrom Eisenmenger: sianosis pada saat latihan, kemudian pada
saat istirahat

Kriteria Diagnosis
1. Berdasarkan besar defek:
 DSV kecil : Diameter defek kurang dari 1/3 diameter aorta
 DSV sedang : Diameter defek 1/3-2/3 diameter aorta
 DSV besar : Diameter >2/3 diameter aorta
2. Berdasarkan lokasi defek:
 DSV perimembran/infrakristal
 DSV suprakristal/subarterial doubly committed
 DSV muskuler
 DSV posterior

18
DIVISI KARDIOLOGI

3. Berdasarkan tekanan pulmonal:


 DSV tanpa hipertensi pulmonal
 DSV dengan hipertensi pulmonal

Diagnosis
Defek Septum Ventrikel (ICD-10 : Q21.0)

Pemeriksaan Penunjang
1. EKG untuk menentukan adanya beban volume.
2. Foto thorak untuk menilai corakan vaskuler paru.
3. Ekokardiografi untuk memastikan ukuran dan lokasi defek.
4. Kateterisasi pada DSV sedang dan besar atau secara klinis dicurigai terdapat
hipertensi pulmonal untuk menilai hemodinamik.

Terapi
1. Medikamentosa
 Bila ada gagal jantung kongestif tatalaksana sesuai gagal jantung kongestif.
 Antibiotika profilaksis untuk mencegah Infektif endokarditis, bila akan dilakukan
tindakan seperti cabut gigi atau sirkumsisi (Amoksisillin 50 mg/kgBB/hari selama 5
hari)
2. Operasi
Prosedur:
 PA banding: merupakan prosedur yang bersifat paliatif (untuk mengurangi
aliran darah ke paru dan menurunkan tekanan arteri pulmonalis). Prosedur ini
jarang dilakukan kecuali bila terdapat lesi tambahan lain sehingga prosedur
untuk menutup DSV sulit dilakukan.
 Tutup DSV dengan cara operasi: menggunakan patch (surgical closure)
Indikasi dan waktu operasi:
o Usia 4-5 tahun dengan signifikan L-R shunt dengan Qp/Qs >1,5
o Bayi dengan gagal jantung kongestif dan retardasi pertumbuhan yang tidak
respon dengan terapi medikamentosa sebaiknya dioperasi pada usia yang
lebih awal.

Indikasi Pulang
1. Perbaikan klinis dan keadaan umum membaik.
2. Gagal jantung teratasi.

19
DIVISI KARDIOLOGI

Edukasi
1. Definisi dan etiologi: menjelaskan penyebab dan gejala yang timbul.
2. Pemantauan gejala: menjelaskan kapan harus ke dokter/rumah sakit.
3. Menjelaskan perlunya menjaga personal higiene, terutama kebersihan gigi dan mulut
untuk mencegah terjadinya infective endocarditis.
4. Menjelaskan kapan dilakukan intervensi untuk penutupan DSV
5. Terapi farmakologi: menjelaskan indikasi, dosis, dan efek obat
6. Prognosis: menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis.

Prognosis
Tergantung ukuran, lokasi, dan ada tidaknya hipertensi pulmonal;
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam

Kepustakaan
1. Park, MK 2014, Pediatric cardiology for practitioners, 6th edition. Saunders Elsevier,
Philadelphia.
2. Pudjiadi, AH, Hegar, B, Handryastuti, S, Idris, NS & Gandaputra, EP 2009, Pedoman
pelayanan medis, Ikatan Dokter Anak Indonesia,Jakarta.
3. Sastroasmoro, S & Madiyono, B 1994, Buku ajar kardiologi anak, Ikatan Dokter Anak
Indonesia, Jakarta.
4. Madiyono, B, Rahayuningsih, SE & Sukardi, R 2005, Penanganan penyakit jantung
pada bayi dan anak, UKK Kardiologi IDAI, Jakarta.

20
DIVISI KARDIOLOGI

DEFEK SEPTUM ATRIUM (DSA)


RIA NOVA

Definisi
Terdapatnya defek pada septum atrium.

Anamnesis
1. Gangguan pertumbuhan.
2. Gangguan kesulitan minum.
3. Gangguan toleransi latihan.
4. Riwayat infeksi saluran nafas berulang.

Pemeriksaan Fisik
1. Defek kecil: bunyi jantung II wide fixed split. Bising ejeksi sistolik II-III/6 di tepi kiri
sternal atas.
2. Defek besar: bunyi jantung II wide fixed split. Bising ejeksi sistolik II-III/6 di tepi
kiri sternal atas. Bising mid diastolik murmur di tepi kiri bawah sternal.

Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik.
3. EKG: RAD, RVH, RBBB.
4. Foto thorak: kardiomegali dan corakan vaskular paru meningkat.
5. Ekokardiografi: untuk memastikan defek dan mengukur besar defek.
a. Berdasarkan lokasi:
 DSA primum
 DSA sekundum
 DSA sinus venosus
b. Berdasarkan besarnya defek:
 DSA kecil
 DSA besar
c. Berdasarkan tekanan pulmonal:
 DSA tanpa hipertensi pulmonal
 DSA dengan hipertensi pulmonal
6. Kateterisasi: hanya dilakukan bila kecurigaan hipertensi pulmonal

21
DIVISI KARDIOLOGI

Diagnosis
Defek Septum Atrium (ICD-10 : I51.0)

Pemeriksaan Penunjang
1. EKG: untuk menentukan adanya beban volume.
2. Foto thorak: untuk menilai corakan vaskuler paru.
3. Ekokardiografi: untuk memastikan defek dan dapat mengukur besarnya defek.
4. Kateterisasi: bila dicurigai ada hipertensi pulmonal.

Terapi
Tutup ASD:
1. Tanpa operasi/transkateter: menggunakan ASO (Amplatzer Septal Occluder)
Indikasi: DSA sekundum dengan minimal batas rim superior dan inferior 7 mm
2. Operasi: usia 3-5 tahun

Indikasi Pulang
1. Perbaikan klini dan keadaan umum membaik
2. Gagal jantung teratasi.

Edukasi
1. Definisi dan etiologi: menjelaskan penyebab dan gejala yang timbul.
2. Pemantauan gejala: menjelaskan kapan harus ke dokter/rumah sakit.
3. Menjelaskan perlunya menjaga personal higiene, terutama kebersihan gigi dan mulut
untuk mencegah terjadinya infectiveendocarditis.
4. Menjelaskan kapan dilakukan intervensi untuk penutupan DSA
5. Terapi farmakologi: menjelaskan indikasi, dosis, dan efek obat
6. Prognosis: menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis

Prognosis
Tergantung ukuran, lokasi, dan ada tidaknya hipertensi pulmonal;
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam

22
DIVISI KARDIOLOGI

Kepustakaan
1. Park, MK 2014, Pediatric cardiology for practitioners, 6h edition. Saunders Elsevier,
Philadelphia.
2. Pudjiadi, AH, Hegar, B, Handryastuti, S, Idris, NS & Gandaputra, EP 2009,
Pedoman pelayanan medis, Ikatan Dokter Anak Indonesia,Jakarta.
3. Madiyono, B, Rahayuningsih, SE & Sukardi, R 2005, Penanganan penyakit jantung
pada bayi dan anak, UKK Kardiologi IDAI, Jakarta.

23
DIVISI KARDIOLOGI

TETRALOGI OF FALLOT
RIA NOVA

Definisi
Merupakan kelainan jantung bawaan sianotik yang terdiri dari DSV, stenosis pulmonal,
hipertrofi ventrikel kanan, dan overriding aorta

Anamnesis
1. Sianosis saat lahir atau segera setelah lahir
2. Sesak napas saat aktivitas
3. Squatting
4. Hipoxic spell

Pemeriksaan Fisik
1. Aktivasi ventrikel kanan meningkat
2. Bunyi jantung II tunggal
3. Thrill sistolik di bagian bawah dan tengah tepi kiri sternal
4. Bising ejeksi sistolik yang keras (derajat III-V/6) di bagian atas dan tengah tepi kiri
sternal.

Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis.
2. Pemeriksaan fisik.
3. EKG.
4. Foto thorak.
5. Ekokardiografi.

Langkah diagnosis
Pikirkan kemungkinan TOF jika menemukan PJB sianotik atau pada yang relatif ringan
pada PJB dengan gagal tumbuh + gejala squatting + sianosis/sesak pada peningkatan
aktivitas fisik (pada bayi sianosis ketika menyusu atau menangis).

Perhatikan secara khusus hal-hal berikut:


1. Pemeriksaan fisik jantung
2. EKG:
- Deviasi aksis ke kanan
- RVH

24
DIVISI KARDIOLOGI

3. Foto thorak:
- Ukuran jantung normal
- “Boot shaped” heart
- Corakan vaskuler paru menurun
4. Ekokardiografi:
- VSD subaortic besar
- Overriding aorta
- Stenosis pulmonal/obstruksi RVOT (Right Ventricle Outflow Track)
- RVH

Diagnosis
Tetralogi of Fallot (ICD-10 : Q21.3)

Pemeriksaan Penunjang
1. EKG
2. Foto thorak
3. Ekokardiografi

Terapi
1. Medikamentosa
a. Propranolol 1-2 mg/kg/hari dibagi dalam 2-3 dosis untuk mencegah serangan
sianotik (“hypoxic spells”)
b. Deteksi dan terapi anemia defisiensi besi
c. Profilaksis terhadap infective endocarditis untuk setiap tindakan invasif
(Amoksisilin 50 mg/kgBB selama 5 hari)
d. Pada serangan sianotik (hypoxic spells):
- Pasien diletakkan dalam posisi “knee-chest”: untuk meningkatkan resistensi
sistemik
- Oksigen 2-4 L/menit
- Morfin sulfate 0,1-0,2 mg/kg/subkutan
- Atasi asidosis dengan pemberian Sodium bikarbonat 1 mEq/kg IV
- Bila dengan terapi di atas belum ada perbaikan dapat diberikan Propranolol
0,01-0,25 mg/kg/dosis (rata-rata 0,05 mg/kg) IV pelan-pelan
- Untuk mencegah berulangnya serangan sianotik diberikan Propranolol oral 1-2
mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis

25
DIVISI KARDIOLOGI

2. Operasi: rujuk ke RSCM/RSJ Harapan Kita


a. Paliatif: Blalock Taussig Shunt, dilakukan pada bayi dengan klinis sangat
sianotik.
b. Koreksi total
Prosedur paling baik dilakukan pada usia 1-5 tahun. Prosedur ini meliputi
menutup VSD, melebarkan RVOT yang sempit dengan cara reseksi jaringan
otot infundibular.

Indikasi Pulang
Hypoxic spell teratasi

Edukasi
Higiene mulut perlu diperhatikan untuk meniadakan sumber infeksi terjadinya infective
endocarditis

Prognosis
Tergantung ukuran defek;
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam

Kepustakaan
1. Park, MK 2014, Pediatric cardiology for practitioners, 6th edition. Saunders Elsevier,
Philadelphia.
2. Madiyono, B, Rahayuningsih, SE & Sukardi, R 2005, Penanganan penyakit jantung
pada bayi dan anak, UKK Kardiologi IDAI, Jakarta.

26
DIVISI KARDIOLOGI

KAWASAKI DISEASE
RIA NOVA

Definisi
Kawasaki disease adalah vaskulitis akut, self-limited, tidak diketahui penyebabnya, terutama
mengenai bayi dan anak-anak.

Anamnesis
Demam terus-menerus selama 5 hari

Pemeriksan Fisik
Fase akut
1. Gejala utama:
i. Demam tinggi (lebih dari 39oC)
ii. Konjungtivitis
iii. Perubahan pada bibir dan mukosa mulut antara lain:
- Eritema, bibir kering dan perdarahan pada bibir
- Strawberry tongue
- Eritema yang menyebar pada mukosa orofaringeal
iv. Eritema pada telapak tangan dan kaki, edema, dan kadang-kadang terdapat nyeri
v. Pembesaran kelenjar limfe pada regio servikal
Gejala-gejala kardiovaskuler:
1. Takikardia, irama gallop dan atau gejala-gejala gagal jantung
2. Kardiomegali
3. Efusi perikardial
4. Murmur pada regurgitasi katup mitral
5. Perubahan pada EKG meliputi: aritmia,PR interval yang memanjang,
perubahan gelombang segmen ST-T
6. Kelainan pada arteri koronaria (terlihat pada akhir minggu pertama).

Gangguan pada sistem organ yang lain, yaitu:


a. Sistem muskuloskeletal: artritis atau artralgia pada beberapa sendi baik sendi
yang kecil maupun sendi yang besar
b. Sistem genitourinaria: piuria yang steril
c. Sistem gastrointestinal: nyeri perut dengan diare, gangguan fungsi hati,
gangguan pada kandung empedu ditandai dengan ikterik

27
DIVISI KARDIOLOGI

d. Sistem saraf pusat: iritabilitas, letargi atau semikoma meningitis aseptik, dan
tuli sensoris
Fase Subakut
1. Deskuamasi (pengelupasan) pada ujung jari-jari tangan dan kaki merupakan
karakteristik utama
2. Rash, demam dan limfadenopati

Fase Konvalesens
Terdapat garis melintang (Beau’s line) pada jari-jari tangan dan kaki.

Kriteria Diagnosis
Karakteristik untuk menegakkan diagnosis:
1. Demam terus-menerus selama 5 hari
2. Terdapat minimal 4 dari 5 karakteristik berikut:
a. Perubahan pada ekstremitas
- Akut: eritema dan edema
- Subakut: pengelupasan pada jari tangan dan jari kaki pada minggu kedua dan
ketiga
b. Eksantema pilomorpus
c. Infeksi konjungtiva bulbar bilateral tanpa eksudat
d. Perubahan pada bibir dan rongga mulut: eritema, bibir kering, strawberry
tongue, infeksi mukosa mulut dan faringeal yang menyebar
3. Limfadenopati servikal (diameter >1,5 cm) biasanya unilateral.
4. Menyingkirkan penyakit lain yang mempunyai gejala klinis yang sama.
 Diagnosis Kawasaki disease dapat ditegakkan bila terdapat demam >5 hari
dan sedikitnya terdapat 4 dari 5 karakteristik di atas
 Pasien dengan demam >5 hari dan memenuhi kurang dari 4 kriteria di atas
dapat didiagnosis Kawasaki disease bila ditemukan abnormalitas arteri
koronaria melalui ekokardiografi
 Pasien yang memenuhi ≥4 kriteria di atas ditambah dengan demam, dapat
didiagnosis Kawasaki disease pada hari sakit ke-4, tanpa menunggu hari sakit
ke-5.

Diagnosis
Kawasaki Disease (ICD-10 : M30.3)

28
DIVISI KARDIOLOGI

Diagnosis Banding
1. Infeksi virus (misalnya: campak, adenovirus, enterovirus, Epstein-Barr virus)
2. Scarlet fever
3. Staphylococcal scalded skin syndrome
4. Toxic shock syndrome
5. Bacterial cervical lymphadenitis
6. Drug hypersensitivity reactions
7. Stevens-Johnson syndrome
8. Juvenile rheumatoid arthritis
9. Rocky Mountain spotted fever
10. Leptospirosis
11. Mercury hypersensitivity reaction (acrodynia)

Pemeriksaan Penunjang
1. Foto thorak.
2. Elektrokardiografi.
3. Laboratorium
- Leukositosis "shift to the left" dan anemia
- Peningkatan kadar CRP dan ESR
- Trombositosis (biasanya >450.000/mm) terjadi pada hari ke 7
- Piuria
4. Peningkatan enzim hati, hipoalbumin dengan hiperbilirubinemia ringan (terjadi pada 10%
kasus)
5. Peningkatan enzim jantung troponin-1 (menggambarkan adanya kerusakan miokardia)
6. Kadar lipid abnormal: penurunan HDL terjadi pada saat sakit, total kolesterol normal, kadar
trigliserid meningkat.
7. Ekokardiografi
Tujuan untuk mendeteksi adanya aneurisma arteri koronaria dan berbagai disfungsi
kardiak lainnya.
a. Aneurisma arteri koronaria terjadi sebelum hari ke 10, selama periode itu terjadi
beberapa peningkatan:
 Arteritis koronaria
 Penurunan fungsi sistolik LV
 Terjadi regurgitasi katup mitral ringan
 Efusi perikardial

29
DIVISI KARDIOLOGI

b. Konfigurasi, ukuran, nomor, ada atau tidaknya intraluminal atau mural trombus
sebaiknya ditelaah lebih lanjut.

Terapi
1. IVIG dosis tinggi (2 g/kgBB), dosis tunggal (dalam 10-12 jam) dengan aspirin (80-100
mg/kgBB/hari) diberikan dalam 10 hari.
IVIG efektif menurunkan prevalensi terjadinya abnormalitas arteri koronaria
2. Dosis Aspirin diturunkan menjadi 3-5 mg/kg/hari dosis tunggal setelah anak bebas
demam 2-3 hari

Indikasi Pulang
Perbaikan klinis dan keadaan umum membaik

Edukasi
Perlunya pemantauan jangka panjang penderita Kawasaki disease dengan pemeriksaan
ekokardiografi untuk mengevaluasi terjadinya abnormalitas arteri koronaria.

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam

Kepustakaan
1. Park, MK 2014, Pediatric cardiology for practitioners, 6th edition. Saunders Elsevier,
Philadelphia.
2. Newburger, JW, Takahashi, M, Gerber, MA, Gewitz, MH & Tani, LY 2004, Diagnosis,
treatment, and long-term management of kawasaki disease: a statement for health
professionals from the committee on rheumatic fever, endocarditis, and kawasaki
disease, council on cardiovascular disease in the young, american heart association.
Pediatrics, vol 114, pp. 1708-1733.

30
DIVISI NEFROLOGI

7
NEFROLOGI
Hertanti Indah Lestari, Eka Intan Fitria

HEMATURIA ..................................................................................................... 3
PROTEINURIA .................................................................................................. 7
SINDROM NEFROTIK ...................................................................................... 10
SINDROM NEFRITIK AKUT ............................................................................. 17
HIPERTENSI ..................................................................................................... 24
ACUTE KIDNEY INJURY (AKI) ........................................................................ 33
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) ............................................................... 39
INFEKSI SALURAN KEMIH ............................................................................. 44
BATU SALURAN KEMIH .................................................................................. 48
KERACUNAN JENGKOL ................................................................................. 50
HEMODIALISA ................................................................................................. 52
ASIDOSIS TUBULUS RENAL (ATR) ............................................................... 56
INKONTINENSIA URIN ..................................................................................... 60
ENURESIS ........................................................................................................ 65
NEUROGENIC BLADDER ................................................................................ 69

1
DIVISI NEFROLOGI

2
DIVISI NEFROLOGI

HEMATURIA

Pengertian
Hematuria adalah keadaan yang menunjukkan terdapatnya sel-sel eritrosit dalam jumlah
yang abnormal di dalam urin
Etiologi:
➢ Berasal dari glomerulus
➢ Glomerulonefritis
➢ Sindroma hemolitik uremik
➢ Hematuria berhubungan dengan olah raga
➢ Hematuria familial benigna
➢ Nefropati IgA
➢ Bukan dari glomerulus
➢ Penyakit perdarahan/gangguan faktor pembekuan
➢ Keracunan jengkol
➢ Hiperkalsiuria
➢ TBC ginjal/saluran kemih
➢ Infeksi saluran kemih
➢ Trauma
➢ Batu
➢ Defek kongenital (Ginjal polikistik & Hidronefrosis)
➢ Tumor Wilms
➢ Benda asing di ureta/vesika urena

Anamnesis
Dasar diagnosis:
Curigai hematuria bila urin berwarna merah terang atau gelap seperti coca-cola
Pemeriksaan Fisik
Langkah-langkah diagnosis:
➢ Pastikan adanya hematuria
Pemeriksaan yang dilakukan adalah dispstik untuk melihat adanya kandungan
hemoglobin dalam eritrosit dan hemoglobin bebas dalam urine. Sedangkan untuk
melihat sel eritrosit dilakukan pemeriksaan mikroskopis sedimen urin. Bila ditemukan sel
eritrosit ≥ 5/lpb → hematuria mikroskopik
➢ Tentukan bentuk dari hematuria dan cari faktor penyebab.
Pemeriksaan yang dilakukan adalah anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang  identifikasi

3
DIVISI NEFROLOGI

Kriteria Diagnosis
➢ Hematuria non glomeruler, ciri-cirinya: urine berwarna merah terang, biasanya edema
dan hipertensi tidak dijumpai.Urinalisis menunjukkan:
 Urin berwarna merah
 Bekuan darah (+)
 Proteinuria (+1) – (+2)
 Silinder eritrosit (-)
 Bentuk eritrosit sama dan kandungan hemoglobinnya merata.
➢ Hematuria glomeruler, ciri-cirinya: urin berwarna merah gelap, tidak nyeri waktu
berkemih. Dari pemeriksaan fisik biasanya ditemukan edema, hipertensi. Urinalisis:
 Proteinuria (+2 - +3)
 Sel eritrosit (+) ( ≥5/lpb atau penuh/lpb
 Bentuk eritrosit tidak sama dan kandungan hemoglobinnya tidak merata
 Silinderuria (terutama selinder eritrosit)
➢ Untuk masing-masing kelompok hematuria ditetapkan etiologinya

Bentuk Non Glomeruler


a) Keracunan jengkol
Diagnosis berdasarkan riwayat makan jengkol, nyeri hebat saat berkemih, mulut bau
jengkol, kadang-kadang, ditemukan retensio urin, kristal asam jengkol pada orifisium
uretra. Pada urinalisis dijumpai sel eritrosit penuh, lekosituria, kristal asam jengkol,
proteinuria +1, kadang-kadang dijumpai tanda-tanda AKI.
b) Hiperkalsiuria idiopatik
Diagnosis dibuat berdasarkan hasil urinalisis yang menunjukkan hematuria, disertai
peningkatan ekskresi kalsium dalam urin > 4 mg/kgBB/hari atau ratio Ca/kreatinin urin
>0,2. Dari riwayat keluarga ada riwayat serangan kolik ginjal/ureter yang berhubungan
dengan batu.
c) TBC Ginjal
Diagnosis berdasarkan riwayat kontak (+), batuk-batuk kronik, gizi buruk, kelainan paru
baik berdasarkan pemeriksaan fisik/radiologi, LED meninggi.Pada urinalisis dijumpai
hematuria, piuria steril.PPD (+).Diagnosis pasti perlu dilakukan biakan urin untuk mencari
BTA.
d) ISK
Diagnosis berdasarkan riwayat panas lama, disuria, polakisuria, nyeri pinggang/sudut
kosto vertebra/suprasimfisis.Hasil urinalisis menunjukkan adanya hematuria, proteinuria,
lekosituria.Dan pada biakan urin dijumpai bakteria bermakna.
e) Trauma
Diagnosis berdasarkan pada riwayat trauma pada daerah pinggang dan ditemukan
memar/lebam pada daerah pinggang atau suprasimfisis.Pada pemeriksaan urin tampak
gross hematuria dan bekuan darah (+).Untuk mengetahui lokasi/luasnya daerah yang
mengalami trauma perlu dilakukan USG/PIV.
f) Batu saluran kemih
Diagnosis berdasarkan kolik ureter, kemih tidak lancar dan rasa nyeri saat berkemih.
Pada anak laki-laki gejala khas adalah sering menarik penisnya ketika mau berkemih,
kadang-kadang disertai keluar batu, Urinalisis hematuria, lekosituria.Diagnosis pasti
USG/PIV.

4
DIVISI NEFROLOGI

g) Tumor/defek kongenital pada ginjal/saluran kemih


Diagnosis berdasarkan teraba massa dalam rongga abdomen. Untuk menentukan jenis
tumor atau defek kongenital apakah tumor Wilms, ginjal polikistik atau hidronefritis perlu
dilakukan USG/PIV.
h) Penyakit pendarahan
Diagnosis berdasarkan riwayat gusi mudah berdarah, sering epistaksis, pucat, biru-biru
pada kulit, pada darah tepi ditemukan kadar Hb rendah, trombositopenia, waktu
pembekuan dan perdarahan memanjang.
Bila bentuk non glomeruler dari hematuria hanya berupa darah sedang gambaran darah tepi
normal tanpa ditemukan tanda-tanda penyakit darah/perdarahan, perlu dilakukan
pemeriksaan USG/PIV untuk mencari faktor penyebab perdarahan.Bila hasilnya normal
kemungkinan penyebabnya berasal dari trauma uretra, benda asing di uretra, atau
peradangan vesika urinaria.Untuk menentukan asal perdarahan perlu pemeriksaan
sitoskopi.

Bentuk Glomeruler
1) Hematuria mikroskopis Dapat merupakan salah satu bentuk glomeruler dari hematuri.
Diagnosis ditegakkan bila hasil pemeriksaan fisik (+), gambaran darah tepi normal, fungsi
ginjal kimia normal, sedang urinalisis memperlihatkan gambaran berupa hematuria
mikroskopis dengan sel darah merah yang dismorfik. Pertimbangan penyebab apakah
hematuria berhubungan dengan hematuria rekuren benigna, hematuria berhubungan
dengan olahraga atau hematuria idiopatik.Lakukan observasi selama 6 bulan.Bila masih
menetap perlu dipikirkan nefropati IgA.Diagnosis nefropati IgA dibuat berdasarkan
adanya riwayat hematuria makroskopis timbul bersamaan dengan onset panas yang
dipicu oleh ISPA.Diluar serangan hematuria hanya bersifat mikroskopis.Perlu dilakukan
biopsi ginjal untuk kepastian diagnosis.
2) Glomerulonefritis Diagnosis Glomerulonetritis dapat ditegakkan berdasarkan bentuk
glomeruler dari hematuria, disertai proteinuria, silinderuria dengan atau tanpa edema,
hipertensi, oliguria atau gangguan faal ginjal.Kelainan ini dapat timbul secara akut atau
berlangsung kronik. Bentuk akut dari glomerulonefritis biasanya berhubungan dengan
pasca infeksi streptokokus, infeksi sistemik/penyakit multi sistemik seperti Purpura
Henoch Schonlein (PHS) dan lupus eritematosus sistemik (LES). Sedang yang kronik
biasanya berhubungan dengan sindroma nefrotik dan penyakit ginjal herediter (sindroma
Alport). Diperlukan beberapa pemeriksaan tambahan untuk mencari penyebab
glomerulonefritis seperti ASTO, C3, ds DNA antibodi, sel LE, biakan, ekokardiografi.
Dasar diagnosis GNAPS dibuat berdasarkan riwayat ISPA/kulit, yang diikuti kemudian
oleh gejala-gejala nefritis akut. Biakan apusan tenggorok/keropeng kulit dapat (+) untuk
kuman streptokokus beta hemolitikus grup A atau ASTO (+), C3 menurun. Perlu
pengamatan terhadap perjalanan penyakit, karena terjadi penurunan fungsi ginjal secara
cepat dan progresif (GN progresif cepat). (Lihat panduan tatalaksana SNA)
3) Diagnosis GNK yang berhubungan dengan sindroma nefritik ditegakkan berdasarkan:
riwayat penyakit ginjal yang sudah lama diderita. Pada pemeriksaan fisik dan
laboratorium dijumpai tanda-tanda dari sindroma nefrotik nefritik. Kadar C3 dapat normal
atau merendah secara persisten. Perlu biopsi ginjal untuk melihat kelainan morfologi dari
glomerular. Diagnosis GNK yang berhubungan dengan nefritis herediter (sindroma
Alport) dibuat berdasarkan riwayat sakit ginjal pada beberapa anggota keluarga disertai
tuli. Ada riwayat serangan hematuri makroskopis yang hilang timbul, disertai hematuria
mikroskopis yang menetap. Hasil urinalisis dari anggota keluarga menunjukkan

5
DIVISI NEFROLOGI

hematuria mikroskopis. Pada pemeriksaan fisik dijumpai kelainan pada mata berupa
lentikonus anterior. Pada pemeriksaan audiometri dijumpai tuli neurosensoris. Biopsi
ginjal perlu dilakukan untuk diagnosis.
4) Sindroma uremik hemolitik
Diagnosis berdasarkan temuan riwayat diare berlendir/berdarah, Pada pemeriksaan fisik
dijumpai anak tampak pucat, ruam pada kulit berupa ptekie/purpura,
hepatosplenomegali, anemia hemolitik mikroangiopati, trombositopeni dan penurunan
fungsi ginjal.

lndikasi rawat
Semua penderita dengan hematuria simtomatis (gross hematuria)

Tata laksana dan tindak lanjut


Disesuaikan dengan panduan tatalaksana penyakit yang mendasari

Daftar Pustaka

1. Rauf S. Hematuria. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, penyunting.
Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Peberbit FKUI; 2002. h.114-25.
2. Milford DV, Robson AM. The child with abnormal urinalysis, haematuria and/or
proteinuria. Dalam: Webb N, Postlethwaite RJ. Clinial Pediatric Nephrology. Edisi ke- 3.
New York: Oxford University Press; 2003. h. 1-28.
3. Halim H. Hematuria. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, dkk. Kompendium
Nefrologi Anak. Bandung 2011, h. 20 – 26.

6
DIVISI NEFROLOGI

PROTEINURIA

Definisi
Proteinuria adalah keadaan ekskresi protein dalam urin berlebihan. Seperti halnya
hematuria, proteinuria merupakan kelainan urin yang sering ditemukan pada anak dengan
penyakit parenkim ginjal.
Pada bayi dan anak-anak yang normal ditemukan protein dalam urin kurang dari 20mg%,
bila ditemukan adanya konsentrasi protein > 20-30 mg% perlu diperiksa jumlah protein
selama 24 jam. Prevalensi proteinuria pada anak sekolah yang asimtomatik di beberapa
negara berkisar antara 0,5- 6 %.

Patofisiologi
Berdasaarkan patofisiologinya, proteinuria dapat di bagi menjadi 3 kelompok; yaitu
proteinuria glomerular, proteinuria tubular, dan proteinuria karena produksi berlebih.
A. Proteinuria Glomerular
Proteinuria glomerular adalah proteinuria yang disebabkan karena peningkatan
permeabilitas selektif pada sawar filtrasi glomerulus terhadap protein plasma.
Karenanya, proteinuria disini dasar utamanya adalah albuminuria. Albuminuria sendiri
sebenarnya dapat terjadi sebagai fenomena sementara saja pada individu sehat.
Sedangkan albuminuria yang persisten mengindikasikan adanya penyakit ginjal.
B. Proteinuria Non-Glomerular
a. Proteinuria Tubular
Pasien dengan kerusakan tubulus primer, memiliki manifestasi klinis
proteinuria dengan dominasi protein berberat molekul ringan. Ini dapat
ditemukan pada sindroma Fanconi penyakit Wilson, defisiensi kalium kronik,
gagal ginjal akut, nefropati Balkan dan keracunan kadmium.
Klirens protein bebrberat molekul ringan yang meningkat pada kelainan
tubulus primerberhubungan dengan laju filtrasi jenis protein tersebut.
Observasi menunjukkan proteinuria tubulus disebabkan oleh gangguan
reabsorpsi tubulus terhadap protein, bukan karena peningkatan permeabilitas
glomerulus.
b. Proteinuria karena produksi berlebih (overflow proteinuria)
Terjadi bila konsentrasi plasma protein melebihi kapasitas yang dapat diserap
tubulus , sehingga protein keluar melalui urin. Ekskresi berlebihan
immunoglobulin rentai pendek, rantai panjang, serta fragmen lain sering
terjadi pada mieloma multiple, hemoglobinuria, myoglobinuria,
makroglobulinemia, dan kelianan imunoglobulin lain. Kadang terjadi pada
pasca transfusi albumin atau whole blood. Ekskresi berlebih zat tersebut lebih
mungkin disebabkan kelebihan produksi yang disertai peningkatan filtrasi,
daripada defek primer ginjal.
c. Proteinuria sekretorik
Akibat peningkatan eksresi protein jaringan ke dalam urin, misalnya pada
infeksi salurankemih, nefropati akibat obat, protein Tamm-Horsfall periode
neonatus

7
DIVISI NEFROLOGI

C. Proteinuria ortostatik
Terjadi peningkatan ekskresi protein pada saat posisi berdiri sedangkan pada saat
berbaring tidak. Total eksresi protein dalam 24 jam tidak melebihi 1 gr/1,73m2/hari.
Bukti klinis menunjukkan bahwa proteinuria postural merupakan keadaan yang tidak
berbahaya.

Pengukuran Kadar Protein Urin


Pengukuran ekskresi protein urin digunakan untuk diagnosis dan penanganan penyakit
ginjal. Berbagai metode pemeriksaan dapat mengukur total protein urin tanpa membedakan
tipe protein. Metode paling sederhana dan sering digunakan adalah tes semikuantitatif, tetapi
hanya mendeteksi konsentrasi abnormal protein urin, dan tidak mendeteksi laju ekskresi
abnormal. hasil yang lebih akurat dapat diperoleh dengan tes kuantitatif urin 24 jam atau
pemeriksaan kadar kreatinin urin.
A. Tes semikuantitatif untuk protein total urin.
Tes semikuantitatif dapat berupa presipitasi protein ataupun tes carik celup
(dipstick). Tes ini praktis dan tidak dipengaruhi turbiditas urin, zat radioopak (zat
radiokontras) atau obat-obatan. Kelemahan tes ini diantaranya sensitifitas rendah,
kadar protein urin kurang dari 30 mg/dL tidak terdeteksi. Bila ekskresi protein 300 mg
perhari dengan volume urin 1500 ml (konsentrasi proteinnya hanya 20 mg/dl), maka
kelainan tidak terdeteksi. Tes ini juga tidak sensitive terhadap protein rantai pendek.
B. Tes kuantitatif protein total urin.
1. Pengumpulan 24 jam.
Cara lain yang dapat digunakan adalah metode presipitasi protein dengan
reagen Esbach kemudian diukur denga tabung tes yang telah dikalibrasi. Nilai
yang diperoleh pada pengukuran konsentrasi protein dari semua tes diatas
dikalikan dengan volume total sampel urin, dan dilaporkan dalam satuan
miligram per 24 jam.
2. Ekskresi sewaktu
Ekskresi protein urin 24 jam dapat diperkurakan dengan mengukur kadar
protein dan kreatinin urin pada specimen urin sewaktu, karena ekskresinya
sepanjang hari relative stabil. Bila ekskresi kreatinin harian diketahui, maka
berdasarkan rasio protein dan kreatinin pada specimen sewaktu, dapat
diperkirakan kadar ekskresi protein sehari.
C. Tes untuk protein spesifik.
1. Albumin
Pada pasien diabetes terdapat variasi kadar ekskresi albumin, perlu dilakukn
tes secara serial. Walau begitu pemeriksaan albumin sewaktu tetap
dianjurkan untuk skrining dan tidak lanjut pasien dengan diabetes, dan pasien
yang berisiko tinggi, seperti pasien lupus eritematosus sistemik.
2. Rantai Ringan (Light chain)
Metode yang paling sensitive sampai saatini adalah dengan elektroforesis
atau imunoelektroforesis. Kedua metode tersebut memungkinkan identifikasi
protein rantai pendek dan fragmen imunolglobulin secara akurat.
Beberapa hal yang dapat mempengaruhi pemeriksaan protein dalam urin, misalnya keadaan
urin yang terlalu pekat, gross hematuria, piuria, dapat menyebabkan positif palsu pada
pemeriksaan dipstick atau uji sulfosalisilat. Sebaliknya urin yang encer atau immunoglobulin
rantai ringan dapat menyebabkan negatif palsu.

8
DIVISI NEFROLOGI

Interpretasi proteinuria
Jenis tes urin Eksresi protein Eksresi protein Proteinuria massif
normal abnormal (nephritic-range)

Dipstick Negatif atau >1+ >2+


trace

Uji asam sulfosalisilat Negatif >1+ >2+

Rasio protein:kreatinin
(g/mmol)
Usia >2 thn <0,02 >0,02 >0, 2
Usia 6 bln- 2 thn <0,05 >0,05

Eksresi protein 24-jam


Usia > 6 bln
(g/1,73m2/hari) <0,15 >0,15 >3
(mg/m2/jam) <4 >0,4 >40
Usia < 6 bln
(g/1,73m2/hari) <0,3 >0,3 >3
(mg/m2/jam) <8 >8 >40

Rasio albumin:kreatinin
(g/mmol) <0,003 >0,003 >0,22
(mg/g) <30 >30 >2220

Eksresi albumin 24 jam


(g/1,73m2/hari) <30 >30 >2200

Istilah klinis
A. Proteinuria intermiten
Adanya proteinuria intermiten dapat merupakan awal terjadinya kelainan ginjal,
namun seringkali juga terjadi pada individu normal, sbagai akibat perubahan
hemodinamik yang berkaitan aktivitas fisik berlebihan, demam atau stress emosional
yang berat.
B. Protein persisten
Proteinuria persisten hampir selalu merupakan gejala adanya penyakit ginjal,
walaupun pemeriksaan laju filtrasi glomerulus (GFR) dan sedimen urin menunjukkan
hasil normal, dan pasien tidak ada gejala lain.

Daftar Pustaka
1. Wila Wirya IGN. Proteinuria. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO,
penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002.
h.126-41.
2. Halim H. Proteinuria. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, dkk. Kompendium
Nefrologi Anak. Bandung 2011, h. 27 – 32.
3. Law PYW, Yap HK, Nyein KML. Approach to Proteinuria in Children. Dalam: Yap HK, Liu
ID, Ng KH, eds. Pediatric Nephrology On the go. Singapore. 2015. H. 195 – 204.

9
DIVISI NEFROLOGI

SINDROM NEFROTIK

Pengertian
Sindroma nefrotik merupakan kumpulan gejala yang terdiri atas:
1. edema
2. proteinuria massif (> 40 mg/m2/jam atau >50 mg/kgBB/24 jam atau dipstick > +2 atau
rasio albumin/kreatinin >2 mg/mg)
3. hipoalbuminemia ( < 2,5 g/dL)
4. hiperkolesterolemia (> 200 mg/dL)
kadang-kadang hipertensi, hematuria, azotemia

Anamnesis
1. Tentukan adanya edema, gangguan pada urin, serta onset terjadinya gejala
2. Cari gejala lainnya, terutama gejala sindroma nefritis
3. Cari faktor penyebab
Cari komplikasi (hipotensi/syok, hipertensi, trombosis, infeksi, gagal ginjal)

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang cermat terhadap keadaan umum pasien, tekanan darah, frekuensi
nafas, suhu, edema, asites, efusi pleura, anemia, kelainan jantung, kelainan kulit, dan
sebagainya.Penting juga untuk mengukur diuresis dan menghitung balans cairan setiap
harinya.

Kriteria Diagnosis
➢ SN:edema, hipoproteinemia (protein serum < 5,5 g/dl), hipoalbuminemia (kadar albumin
serum < 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia (kolesterol serum > 200 mg/dl), proteinuri masif
(kadar proteinuri > 0,05 – 0,1 g/kgBB/ 24 jam atau ++ atau lebih pada pemeriksaan semi
kualitatif)
➢ SN idiopatik/primer: bila etiologi SN tidak diketahui
➢ SN sekunder: bila ditemukan penyebab
➢ SN kongenital: bila gejala-gejala ditemukan 3 bulan pertama dari kehidupan
➢ SN sensitif steroid: terjadi remisi berupa urin bebas protein (<4 mg/jam/m2 LPT) atau
negatif/trace dengan pemeriksaan asam sulfosalisilat 3 hari berturut-turut
➢ SN resisten steroid: remisi tidak terjadi setelah akhir minggu ke-4 pengobatan steroid
penuh
➢ SN relaps jarang: proteinuria >+2 muncul kembali kurang dari 2 kali dalam setahun
setelah pengobatan steroid dihentikan
➢ SN relaps sering: proteinuria >+2 muncul kembali 2 kali dalam 6 bulan atau 3 kali
dalam setahun setelah pengobatan steroid dihentikan
➢ SN dependen steroid: relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan atau dalam 14
hari setelah pengobatan dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali berturut-turut

10
DIVISI NEFROLOGI

Diagnosis Banding
Sindrom Nefritik Akut (SNA)

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan rutin:
➢ Darah tepi : Hb, jumlah leukosit, trombosit, hitung jenis, LED.
➢ Urinalisis
➢ Kimia darah (kolesterol, albumin, globulin, ureum, kreatinin, asam urat, Na, K, Ca dan P)
➢ Tes Mantoux (sebelum terapi steroid dimulai)
Pemeriksaan atas indikasi :
➢ Foto toraks, EKG bila dijumpai edema berat
➢ ASTO dan C3 bila dijumpai tanda-tanda nefritis
➢ CRP dan biakan urin bila dijumpai LED ↑, hematuria, leukositosis, leukosituria
➢ ANA, anti DsDNA, C3, C4 bila dicurigai SLE (sindroma nefrotik sekunder)

Tata laksana
Indikasi Rawat
➢ SN serangan pertama kali
➢ SN relaps dengan edema anasarka atau penyulit (infeksi berat, muntah-muntah, diare,
hipovolemia, hipertensi, tromboemboli, GGA)
➢ SN steroid resisten untuk evaluasi
➢ SN steroid relaps sering dengan indikasi untuk terapi sitostatika tambahan

I. Sindroma nefrotik primer


Aktivitas
Aktivitas disesuaikan dengan kemampuan pasien, jika edema anasarka, dispneu,
hipertensi dianjurkan tirah baring.
Dietetik
➢ Protein normal sesuai RDA yaitu 2 g/kg/hr
➢ Rendah garam (1-2 g/hr) selama edema/ mendapat terapi steroid.
Pengaturan Cairan
➢ Bila dijumpai edem berat dan oliguria: retriksi cairan 30 ml /kgBB/hari (bila belum
dapat dihitung output cairan).
➢ Bila dijumpai edem berat tanpa oliguria: retriksi cairan ¾ dari berat badan saat
pertama kali dirawat.
Diuretika
➢ Loop diuretic (furosemid 1–2 mg/kgbb/hr), bila kadar kalium rendah < 3,5 mEq/L
dapat dikombinasi dengan spironolakton (1–2 mg/kgbb/hr) diberikan pada edema
berat /anasarka. Diuretika lebih dari 1 minggu periksa ulang natrium dan kalium
plasma.
Tatalaksana Hipoalbuminemia
Bila SN disertai hipovolemia (hipoalbuminemia berat → kadar albumin ≤ 1,5 gr/dl)
berikan infus albumin 20-25 % 1 g/ kg bb atau plasma sebanyak 15–20 ml /kg BB dalam

11
DIVISI NEFROLOGI

1-2 jam bila albumin tidak tersedia, 15-30 menit setelah infus albumin/plasma selesai
diberikan furosemid 1–2 mg/kgbb intravena. Pemberian albumin dapat diulang hingga
hipoalbuminemia berat dan hipovolemia teratasi.
Antibiotika/antiviral
Antibiotika diberikan bila:
➢ Edema anasarka + laserasi kulit, berikan amoksisilin, eritromisin, sefaleksin
➢ Infeksi, berikan antibiotika yang disesuaikan beratnya derajat infeksi
➢ Infeksi varicella ditatalaksana dan pengobatan kortikosteroid stop sementara.
Imunisasi
➢ Vaksin virus hidup baru diberikan setelah 6 minggu pengobatan steroid selesai.
➢ Kontak dengan penderita varicella sebaiknya diberikan Imunoglobulin varicella-zoster
dalam waktu < 72 jam
Tuberkulostatika
➢ Test Mantoux (+) dengan tidak ada manifestasi klinis, terapi sesuai pedoman
tatalaksana tuberculosis.
➢ Jika didapati TBC aktif, terapi sesuai pedoman tatalaksana tuberculosis.

Pengobatan kortikosteroid
Pengobatan steroid untuk sementara tidak boleh diberikan bila dijumpai kontraindikasi
seperti hipertensi berat, infeksi berat (viral/bakteri), azotemia.
A. Pengobatan inisial
➢ Dosis inisial (full dose-FD) prednison atau metil prednisolon 60 mg/m2/hari atau 2
mg/kgbb/hari menurut BB ideal single dose pagi hari (dosis maksimal 60
mg/hari), atau dapat dibagi 3 dosis (dosis maksimal 80 mg/hari). Diberikan
selama 4 minggu (catatan: 5 mg prednison setara dengan 4 mg metil
prednisolon)
➢ Bila terjadi remisi (+) pada dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan dosis
alternating 40 mg/m2/hr (2/3 dosis inisial) selang sehari pada pagi hari sesudah
makan selama 4 minggu, lalu stop.
➢ Bila remisi (-) hingga akhir minggu ke-4, maka dianggap SN resisten steroid.
Dosis diturunkan menjadi dosis alternating selama 4 minggu.
➢ Pada sebagian kasus SN sensitif steroid, remisi masih dapat terjadi sampai
minggu ke-8.

B. Pengobatan SN relaps jarang


Bila dijumpai proteinuria (≥ +2) setelah pengobatan steroid selesai, perlu dicari faktor
pemicunya (biasanya infeksi) dan diobati dengan antibiotika dan dapat
dipertimbangkan pemberian steroid dosis intermiten dengan dosis 1,5 mg/kgbb/hari
dibagi 3 dosis diberikan setiap hari selama 1-2 minggu (selama infeksi masih
berlangsung). BILA kemudian proteinuria (-), maka dosis steroid dapat diturunkan
(alternating dose). BILA proteinuria menetap (≥ +2) atau tidak ditemukan fokus
infeksi, dianggap SN relaps, mulai dengan prednison dosis penuh 2 mg/kg/hari
sampai remisi (proteinuria negatif atau trace 3 hari berturut-turut) selama maksimal 4
minggu, dilanjutkan dosis alternating selama 4 minggu kemudian stop.

12
DIVISI NEFROLOGI

C. Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid


Cari fokus infeksi seperti TB, infeksi di gigi atau kecacingan.
Pilihan untuk pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid antara lain:
1) Steroid jangka panjang
Dimulai dengan prednison atau prednisolon dosis penuh (4 minggu) sampai
terjadi remisi. Lanjutkan dengan steroid alternating (4 minggu), kemudian dosis
diturunkan perlahan 0,5 mg/kgbb setiap 4 minggu sampai dosis terkecil yang
tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kgbb alternating, dapat
diteruskan selama 6–12 bulan, coba dihentikan.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat >0,5 mg/kgbb/AD, tetapi < 1
mg/kgbb/alternating tanpa efek samping yang berat dapat dicoba dikombinasi
dengan Levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4 – 12 bulan atau langsung
diberi siklofosfamid (CPA) bila pasien.
Jika relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb/alternating atau meskipun dosis rumat
< 1 mg/kgbb tetapi disertai efek samping steroid yang berat, atau pernah relaps
dengan gejala yang berat antara lain hipovolemia, trombosis, sepsis, diberikan
CPA dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari selama 8–12 minggu.
2) Levamisol
Pada saat relaps diberikan prednison 60mg/m2/hr sampai remisi minimal 2
minggu, dilanjutkan dengan dosis 40mg/m2 / satu kali sehari selang sehari pagi
hari, dan secara bersamaan diberikan levamisol 2,5 mg/kgbb/hr satu kali sehari
selang sehari selama 6-12 bulan. Prednison diturunkan bertahap selama 8
minggu
Efek samping: agranulositosis. Pantau kadar leukosit/minggu selama 4 minggu
pertama, kemudian tiap 2 bulan sampai 12 bulan. Hentikan terapi bila: lekosit
<3x109 /L atau absolute netrofil count (ANC)< 1,5x109 /L atau terjadi rash purpura.
3) Siklofosfamid (CPA)
Dapat diberikan CPA oral 2-3 mg/kgbb/hari atau intravena 500 mg/m2/hari atau
CPA puls 500 mg/m2/bulan + metilprednisolon 40 mg/m2/hari dosis alternating
selama 6 bulan
4) Mycophenolate Mofetil (MPA, MMF)
Diberikan dengan dosis 600mg/m2/dosis, diberikan dua kali sehari dengan
maksimal pemberian 1g/12 jam. Lama pemberian selama 12 bulan.
5) Siklosporin (CyA)
Siklosporin diberikan dengan dosis 3-8 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis, untuk
mencapai kadar obat dalam darah 100-250 mg/L. Pemantauan kadar siklosporin
dilakukan pada setiap minggu sampai 1 bulan, kemudian setiap 4-6 minggu.
Selama pemberian siklosporin perlu dipantau kadar ureum, kreatinin, elektrolit
dan fungsi hati. Jika kadar kreatinin meningkat 25% maka dosis siklosporin
diturunkan 20% untuk mengetahui apakah penyebab kenaikan tersebut memang
siklosporin.
Prednisone diberikan dengan dosis 40 mg/m2/hari satu kali sehari pagi hari
selang sehari, dan diturunkan jika pasien mulai remisi.
Respon terapi harus ditentukan dalam 2 minggu sampai 1 bulan. Jika tidak ada
respon setelah 2 bulan dipertimbangkan untuk menambahkan Mycophenolate
Mofetil (MPA) atau dipikirkan terapi lain.

13
DIVISI NEFROLOGI

Jika pasien menunjukkan respon terhadap siklosporin, terapi bisa dilanjutkan


sampai 1-2 tahun kemuan diturunkan.Pemberian lebih dari 2 tahun harus
dilakukan biopsy ginjal ulang untuk melihat toksisitas akibat siklosporin.

D. Pengobatan SN resiten steroid


Pilihan untuk pengobatan SN resisten steroid yang tersedia saat ini antara lain:
1) Siklofosfamid (CPA)
CPA puls 500 mg/m2/bulan selama 6 bulan (7 kali) + prednison 40 mg/m2/hari
dosis alternating selama 6 bulan, atau
CPA oral 2-3 mg/kgbb/hari + prednison 40 mg/m2/hari dosis alternating selama 3-
6 bulan, atau
Metilprednisolon intravena
Pemberian metilprednisolon intravena (MP pulse) dengan dosis 10-30
mg/kgbb/dosis (maksimal 1g) diberikan tiga hari berturut-turut tiap bulan selama
enam bulan, diikuti prednison 40 mg/m2/hari dosis alternating selama 6 bulan
2) Mycophenolate Mofetil (MPA)
Diberikan dengan dosis 600mg/m2/dosis, dua kali sehari dengan maksimal
pemberian 1g/12 jam. Lama pemberian selama 12 bulan.
3) Siklosporin (CsA)
Siklosporin diberikan dengan dosis 3-8 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis, untuk
mencapai kadar obat dalam darah 100-250 mg/L. Prednisone diberikan dengan
dosis 40 mg/m2/hari satu kali sehari pagi hari selang sehari, dan diturunkan jika
pasien mulai remisi. Jika pasien menunjukkan respon terhadap siklosporin, terapi
bisa dilanjutkan sampai 1-2 tahun kemuan diturunkan.

II. Sindroma nefrotik kongenital


➢ Prednison diberikan dengan pertimbangan khusus
➢ Pengobatan konservatif lainnya (dietetik, penanggulangan infeksi, koreksi
hipoalbuminemia).
➢ ACE inhibitor: kaptopril 0,3 mg/kgbb/kali dibagi 2-3 dosis atau lisinopril 0,1-1
mg/kgbb/hari satu kali pemberian, dengan tujuan untuk mengurangi proteinuria dan
menghambat terjadi gagal ginjal terminal.
➢ Koreksi hipoalbuminemia dengan albumin 20% 3-4g/kgbb/hari dapat diberikan 3-4x
sejak lahir, atau bila usia lebih dari 1 bulan diberikan 1x selama 6-8 jam. Pertahanan
agar albumin serum berada dalam kisaran 1,5 g/dL.
➢ Nefrektomi dapat dipertimbangkan jika kebutuhan albumin makin bertambah sering.
➢ Penderita SN kongenital merupakan indikasi transplantasi ginjal jika memungkinkan.

III. Sindroma nefrotik sekunder


Disamping penanganan terhadap sindroma nefrotiknya, perlu pengobatan terhadap
penyakit yang mendasarinya.

IV. Pengobatan komplikasi


➢ Infeksi (telah dituliskan sebelumnya)
➢ Tromboemboli

14
DIVISI NEFROLOGI

Pencegahan tromboemboli pada SN relaps sering/dependen steroid/ steroid resisten


dengan pemberian aspirin dengan dosis 3-5mg/kgbb sekali sehari (maksimal
100mg/hari) atau dipiridamol dengan dosis 1-2mg/kgbb tiap 8 jam (maksimal
100mg/hari) selama pengobatan steroid. Heparin diberikan bila sudah terjadi
thrombosis (dosis sesuai PPK)
➢ Syok hipovolemia
Diatasi dengan melakukan resusitasi cairan menggunakan RL 20cc/kgbb
secepatnya, bila tidak respon dapat diulang hingga 2x, kemudian diberikan dengan
infus albumin 1gr/kgbb atau plasma 20 ml/kgbb (tetesan lambat→10 tetes per menit).
Bila hipovolemia telah teratasi, penderita masih oliguria diberikan furosemid 1-2
mg/kgbb intravena dengan pengaturan cairan input sesuai output dan iwl, kemudian
evaluasi ulang.
➢ Hipokalsemia
Diberikan suplementasi kalsium 500-1000 mg/hari dan vitamin D 400-800 IU/hari per
oral.Bila terjadi tetani diobati dengan kalsium glukonas 50 mg/kgbb intravena.
➢ Hipertensi
Diberikan ACE inhibitor: kaptopril 0,3 mg/kgbb/kali dibagi 2-3 dosis atau lisinopril 0,1-
1 mg/kgbb/hari satu kali pemberian. Bila pasien dengan edema diberikan furosemid
1–2 mg/kgbb/hr dalam dua kali pemberian.

Tindak lanjut
➢ Pemantauan berat badan, intake-output, lingkar perut, tekanan darah setiap hari.
➢ Pemeriksaan darah tepi 1 kali seminggu. Urinalisa dan pemeriksaan protein
semikuantitatif 2 kali seminggu (jika sudah trace, diulangi 3 kali berturut-turut).
Pemeriksaan kimia darah dan elektrolit (Na, K,Ca,P) selama perawatan sekali dua
minggu..
➢ Awasi efek samping obat dan komplikasi yang mungkin terjadi selama pasien dirawat.
Bila ditemukan, harus ditanggulangi.
➢ Biopsi ginjal dengan indikasi:
 Usia > 6 tahun atau < 1 tahun, dengan manifestasi sindroma nefritis
 C3 menurun secara persisten
 Steroid resisten/relaps sering (selama atau pasca terapi steroid)

Indikasi pulang
Penderita dipulangkan bila keadaan umum baik dan komplikasi teratasi serta pasien telah
teredukasi untuk menjalankan pengobatan di rumah.
Selama mendapat steroid kontrol sekali seminggu ke instalasi rawat jalan.Setelah steroid
dihentikan kontrol sekali sebulan selama 3-5 tahun bebas gejala.

Edukasi
Makan obat teratur dan diet sesuai petunjuk, pemantauan volume urin dan tekanan darah,
serta kapan harus kontrol.

15
DIVISI NEFROLOGI

Prognosis
Ad vitam: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam: dubia ad bonam/malam
Ad functionam : dubia ad bonam/malam

Daftar Pustaka
1. IGN Wila Wirya, Sindroma Nefrotik. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta,
2002: 381-423
2. Subandiyah K,Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Dalam Naskah
Lengkap SINAS dan Workshop Nefrologi IDAI, Bali 2009
3. Alatas H, Tambunan T,Trihono P, Pardede S. Konsensus Tatalaksana Sindroma
Nefrotik Idiopatik pada Anak. Jakarta: UKK nefrologi IDAI, 2005: 1-17
4. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Childhood nephrotic syndrome. Dalam:
Pediatric on the go. Edisi ke-2. Children’s Kidney Center. Singapore: 2015:213-27.
5. Vogt BA, Avner E. Nephrotic syndrome. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
penyunting. Nelson text book of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004. h.
1752-7.
6. Haycock G. The child with idiopatic nephrotic syndrome. Dalam : Webb N, Postlethwaite
R, editor. Clinical paediatric nephrology. Edisi ke-3. New York: Oxford United Press;
2003. h. 341-66.
7. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic Nephrotic syndrome in Children: Clinical Aspects. Dalam:
Anver ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N. Pediatric Nephrology. Edisi ke-6 Vol-1.
h.667-702.

16
DIVISI NEFROLOGI

SINDROM NEFRITIK AKUT

Pengertian
SNA adalah kumpu1an gejala-gejala nefritis yang timbul secara mendadak, terdiri atas
hernaturia proteinuria, silinderuria (terutama selinder eritrosit), dengan atau tanpa disertai
hipertensi, edema, kongestif vaskuler atau Acute Kidney Injury sebagai akibat dari suatu
proses peradangan yang lazimnya ditimbulkan oleh reaksi imunologik pada ginjal yang
secara spesifik mengenai glomeruli.

Anamnesis
Cari penyebab dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.
a. Penyebab SNA dengan hipokomplementemia
1) Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS)
Riwayat ISPA atau infeksi kulit, dengan atau tanpa disertai oliguria. Sembab pada
muka sewaktu bangun tidur, kadang-kadang ada keluhan sakit kepala. Bisa juga
dijumpai riwayat kontak dengan keluarga yang menderita GNAPS (pada suatu
epidemi).
2) Endokarditis bakterialis subakut
Riwayat panas lama, adanya penyakit jantung kongenital/didapat, yang diikuti oleh
kemih berwarna seperti coca cola (hematuria makroskopis).
3) Shunt nephritis
Riwayat pemasangan shunt atrioventrikulo-atrial / peritoneal untuk penanggulangan
hidrosefalus, panas lama, muntah, sakit kepala, gangguan penglihatan, kejang-
kejang, penurunan kesadaran.
4) Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)
Keluhan dapat berupa panas lama, berat badan turun, anoreksia, nausea, muntah,
sakit kepala, depresi, psikosis, kejang, ruam pada kulit
b. SNA dengan normokomplenemia
1) Purpura Henoch-Schonlein (PHS)
Riwayat ruam pada kulit, sakit sendi dan gangguan gastrointestinal (mual, muntah,
nyeri abdomen, diare berdarah atau melena) dan serangan hematuria.
2) Nefropati IgA
Kecurigaan bila timbulnya serangan hematuria makroskopis secara akut dipicu oleh
suatu episode panas yang berhubungan dengan ISPA. Hematuria makroskopis
biasanya bersifat sementara dan akan hilang bila ISPA mereda, namun akan berulang
kembali bila penderita mengalami panas yang berkaitan dengan ISPA. Diantara 2
episode, biasanya penderita tidak menunjukkan gejala kecuali hematuria mikroskopis
dengan proteinuria ringan masih ditemukan pada urinalisis. Edema, hipertensi dan
penurunan fungsi ginjal biasanya tidak ditemukan.

Pemeriksaan Fisik
a. Penyebab SNA dengan hipokomplementemia
1) GNAPS
Edema, hipertensi, kadang-kadang gejala-gejala kongesti vaskuler (sesak, edema
paru, kardiomegali), atau gejala-gejala gabungan sistem saraf pusat (penglihatan
kabur, kejang; penurunan kesadaran).

17
DIVISI NEFROLOGI

2) Endokarditis bakterialis subakut


Panas, rash, sesak, kardiomegali, takikardi, suara bising jantung, hepatosplenomegali
artritis/artralgia jarang dijumpai.
3) Shunt nefritis
Hidrosefalus dengan shunt yang terpasang, suhu tubuh meninggi, hipertensi, edema,
kadang-kadang dengan asites dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
4) Lupus eritematosus sistemik (LES)
Alopesia, butterfly rash, lesi discoid, fotosensitivitas, ulkus pada mulut/nasofaring,
pleuritis, perikarditis, hepatitis, nyeri abdomen, asites, splenomegali.
b. SNA dengan normokomplenemia
1) Purpura Henoch-Schonlein (PHS)
Edema, dan hipertensi, ruam pada daerah bokong dan bagian ekstensor dan
ekstremitas bawah, arthralgia/arthritis, nyeri abdomen.
2) Nefropati IgA
Demam, infeksi saluran nafas. Edema, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal
biasanya tidak ditemukan.

Diagnosis Banding
Sindrom Nefrotik

Pemeriksaan Penunjang
a. Penyebab SNA dengan hipokomplementemia
1) GNAPS
▪ Kelainan urinalis minimal atau hematuria, proteinuria, silinderuria
▪ ASTO > 200 IU, titer C3 rendah (<80 mg/dl), C4 biasanya normal
▪ Gambaran kimia darah menunjukkan kadar BUN, kreatinin serum, dapat normal
atau meningkat, elektrolit darah (Na, K, Ca, P, Cl) dapat normal atau terganggu.
Kadar kolesterol biasanya normal, sedang kadar protein total dan albumin dapat
normal atau sedikit merendah, kadar globulin biasanya normal
▪ Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan biakan apusan tenggorok /keropeng kulit
positif untuk kuman Streptococus B hemoliticus atau ASTO > 200 IU. Hematuria,
proteinuria dan silinderuria. Kadar CH50 dan C3 merendah (<80 mg/dl), yang pada
evaluasi lebih lanjut menjadi normal 6 – 8 minggu dari onset penyakit.
2) Endokarditis bakterialis subakut
▪ Hematuria, proteinuria atau kelainan pada sedimen urine berupa hematuria
mikroskopis, lekosituria, selinderuria
▪ Fungsi ginjal lazimnya mengalami gangguan (BUN dan kreatinin serum↑)
▪ Gambaran darah tepi berupa lekositosis, LED meningkat
▪ CRP (+), titer komplemen (C3, C4) turun, kadang ditemukan peningkatan titer faktor
rematoid, kompleks imun dan krioglobulin dalam serum
▪ Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan di atas disertai hasil kultur darah (+)
terhadap kuman penyebab infeksi dan pada ekokardiografi dijumpai vegetasi pada
katup jantung.

18
DIVISI NEFROLOGI

3) Shunt nefritis
▪ Urinalisis menunjukkan hematuria, proteinuria, silinderuria. Fungsi ginjal biasanya
terganggu
▪ Kadar total protein dan albumin serum biasanya rendah. Kadar elektrolit darah
dapat terganggu
▪ CRP (+), titer komplemen (C3,C4) rendah
▪ Kultur yang diperoleh dari shunt terinfeksi (+).
4) Lupus eritematosus sistemik (LES)
▪ Darah tepi: Anemia normositik normokhrom, retikulositosis, trombositopenia,
leukopenia, waktu protrombin/waktu tromboplastin partial biasanya memanjang.
▪ Immunoserologis: Uji Coomb (+). Sel LE (+) persisten. Keterlibatan ginjal ditandai
dengan sindroma nefritis akut dengan atau tanpa disertai Acute Kidney Injury atau
sindroma nefrotik.
▪ Diagnosis: dari nefritis lupus ditegakkan berdasarkan kelainan diatas, dengan
gambaran biopsi ginjal, mulai dari yang ringan berupa GN proliferatif fokal ringan
sampai yang berat berupa proliferatif difusa.
b. SNA dengan normokomplenemia
1) Purpura Henoch-Schonlein (PHS)
▪ Hematuria, proteinuria dan silinderuria
▪ Ureum/kreatinin serum dapat normal atau meningkat dapat terjadi penurunan
fungsi ginjal yang progresif yang ditunjukkan dengan meningkatnya kadar ureum
dan kreatinin serum. Kadar protein total, albumin, kolesterol dapat normal, atau
menyerupai sindrom nefrotik. Trombosit, waktu protombin dan tromboplastin
normal.
▪ ASTO biasanya meningkat sedangkan IgM normal.
▪ Pada kelainan ginjal berat biopsi ginjal perlu dilakukan untuk melihat morfologi dari
glomeruli pengobatan dan untuk keperluan prognosis.
2) Nefropati IgA
▪ Hematuria makroskopis biasanya bersifat sementara
▪ Kadar IgA serum biasanya meningkat (10,2%), kadar komplemen (C3, C4) dalam
serum biasanya normal.
▪ Diagnosis pasti dibuat berdasarkan biopsi ginjal.

Terapi
Semua SNA simtomatik perlu mendapat perawatan. Pengobatan ditujukan terhadap penyakit
yang mendasarinya dan komplikasi yang ditimbulkannya.
I. Tindakan umum
a. Istirahat di tempat tidur sampai gejala-gejala edema, kongesti vaskuler (dispnu,
edema paru, kardiomegali, hipertensi) menghilang.
b. Diet: Masukan garam (0,5-1 g/hari) dan cairan dibatasi selama edema, oliguria atau
gejala kongesti vaskuler dijumpai. Protein dibatasi (0,5/kg BB/hari) bila kadar ureum
di atas 50 gram/dl.

19
DIVISI NEFROLOGI

II. Pengobatan terhadap penyakit penyebab


1) GNAPS
a. GNAPS tanpa komplikasi berat
➢ Diuretika:
Untuk penanggulangan edema dan hipertensi ringan disamping diit rendah
garam, diberikan furosemide 1-2 mg/kg BB/hari oral dibagi atas 2 dosis
sampai edema dan tekanan darah turun.
➢ Antihipertensi
Bila hipertensi dalam derajat sedang sampai berat disamping pemberian
diuretika ditambahkan obat antihipertensif oral (propranolol atau kaptopril).
(lihat panduan tatalaksana hipertensi)
➢ Antibiotika
Amoksisilin 50 mg/kgBB dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari. Jika terdapat
alergi terhadap golongan penisilin, dapat diberikan eritromisin dosis
30mg/kgbb/hari.
b. GNAPS dengan komplikasi berat:
➢ Kongesti vaskuler(edema paru, kardiomegali, hipertensi)
 Pemberian oksigen
 Diuretika furosemide parenteral (1-2 mg/kgBB/kali)
Antihipertensif oral (kaptopril 0,3 mg/kgBB/kali 2-3 kali/hari)
Bila disertai gagal jantung kongestif yang nyata dapat dipertimbangkan
pemberian digitalis.
➢ Acute Kidney Injury (lihat panduan tatalaksanan AKI)
➢ Ensefalopati hipertensi (lihat panduan tatalaksana hipertensi)
➢ Glomerulonefritis progresif cepat (GN kresentik). Merupakan bentuk GNAPS
berat yang ditandai serangan hematuria makroskopis, perburukan fungsi
ginjal yang berlangsung cepat dan progresif, dan pada biopsi ginjal dijumpai
gambaran glomerular berupa bulan sabit (crescent).
Disamping penanggulangan hipertensi dan gagal ginjal diberikan
metilprednisolon pulse dengan dosis:
 15 mg/kgBB metil prednisolon (tidak boleh melebihi 1 gram) perinfus
sekitar 60-90 menit setiap hari selama 5-6 hari. Perlu dipantau tanda-
tanda fungsi vital (denyut nadi, tekanan darah, pernafasan) dan kadar
elektrolit
 Lanjutkan dengan metil prednisolon oral, 2 mg/kgBB/hr selama 1 bulan.
Lalu dosis prednison diberikan secara alternate 2 mg/kgBB/ 2 hari selama
1 bulan, kemudian dilanjutkan separuh dosis dengan interval 1 bulan,
setelah dosis 0,2 mg/kg selama 1 bulan lalu obat dihentikan.

Tindak lanjut :
➢ Timbang berat badan 2 kali seminggu.
➢ Ukur masukan cairan dan diuresis setiap hari.
➢ Ukur tekanan darah 3 kali sehari selama hipertensi masih ada, kemudian 1
kali sehari bila tekanan darah sudah normal.

20
DIVISI NEFROLOGI

➢ Pemeriksaaan darah tepi dilakukan pada saat penderita mulai dirawat,


diulangi 1 kali seminggu atau saat penderita atau saat penderita mau
dipulangkan. Urinalisis minimal 2 kali seminggu selama perawatan. Perlu
dilakukan biakan urine untuk mencari kemungkinan adanya ISK. Bila
ditemukan diobati sesuai dengan hasil sensitifitas.
➢ Pemeriksaan kimia darah dilakukan saat dirawat dan waktu dipulangkan.
Penderita dengan komplikasi berat pemeriksaan darah terutama ureum/
kreatinin dan elektrolit lebih sering dilakukan. Pemeriksaan EKG, foto torax
perlu dilakukan terutama pada penderita dengan segala kongestif vaskuler
saat dirawat.
➢ Pemeriksaan EKG perlu dilakukan secara serial, sedang foto toraks diulangi
bila gejala-gejala kongesti vaskuler sudah menghilang pada saat penderita
mau dipulangkan. Pemeriksaan funduskopi secara serial perlu dilakukan bila
penderita datang dengan berdasarkan indikasi terjadinya perburukan faal
ginjal secara cepat dan progresif (GN progresif cepat )
Indikasi pulang
Keadaan penderita baik. Gejala-gejala SNA menghilang. Pengamatan lebih lanjut
perlu dilakukan di poli khusus ginjal anak minimal 1 kali 1 bulan selama 1 tahun.
Bila pada pengamatan ASTO (+) dan C3 masih rendah setelah 8 minggu dari
onset, proteinuria masih + setelah 6 bulan dan hematuria mikroskopis masih
dijumpai setelah 1 tahun, atau fungsi ginjal menurun secara insidius progresif
dalam waktu beberapa minggu atau bulan kemungkinan penyakit jadi kronik perlu
dilakukan biopsi ginjal.

2) Endokarditis bakterialis akut/ sub akut


Pengobatan ditujukan terhadap endokarditis dan penyakit yang ditimbulkannya
pengobatan terhadap endokarditis serta tindak lanjut (lihat SP endokarditis).
Pengobatan komplikasi:
➢ Acute Kidney Injury (lihat panduan tatalaksana AKI)
➢ Dekompensasi kordis (lihat panduan tatalaksana gagal jantung)
Tindak lanjut:
Serupa dengan SNA GNAPS
Indikasi pulang:
Keadaan umum baik, infeksi teratasi, gejala-gejala endokarditis membaik,
kelainan urinalisis minimal, fungsi ginjal menunjukkan perbaikan, gejala
dekompensasi menghilang. Untuk evaluasi lebih lanjut penderita perlu kontrol
berobat jalan ke poli khusus ginjal anak/kardiologi anak, minimal sekali sebulan.

3) Shunt nefritis
Pengobatan ditujukan terhadap kuman penyebab dan mengangkat shunt yang
terinfeksi terhadap komplikasi dari shunt nefritis.
➢ Antibiotika diberikan sesuai dengan hasil test sensitivitas
➢ Atasi gejala yang berkaitan dengan peningkatan tekanan intra kranial sesuai
panduan tatalaksana neurologi
➢ Gejala ensefalopati hipertensi diatasi sesuai panduan tatalaksana hipertensi

21
DIVISI NEFROLOGI

➢ Acute Kidney Injury diatasi sesuai panduan tatalaksana AKI


Indikasi pulang
Keadaan anak baik, gejala-gejala dari nefritis minimal, komplikasi yang terjadi
terkontrol dengan baik. Untuk evaluasi perlu kontrol berobat jalan ke poli khusus
ginjal/neurologi anak paling kurang sekali sebulan.

4) Nefritis yang berhubungan dengan lupus eritematosus


Pengobatan terdiri dari pemberian kortikosteroid prednisolon 2 mg/kgBB/hari dibagi 3
dosis selama 4-6 minggu, kemudian dosis diturunkan secara bertahap sedikit demi
sedikit sampai mencapai dosis 5-10mg/hari atau 0,1-0,2 mg/kgbb dan dipertahankan
selama 4-6 minggu. Setelah itu diberikan secara alternat.
Bila selama perawatan penderita menunjukkan perburukan fungsi ginjal secara
progresif atau dengan sindroma nefrotik diobati dengan metilprednisolon pulse,
diuretika dan obat anti hipertensi. Kadang diperlukan terapi imunosupresan lain.
Untuk menentukan terapi untuk nefritis lupus sebaiknya dilakukan biopsi ginjal.
Indikasi pulang:
Keadaan umum baik, gejala-gejala nefritis membaik atau menunjukkan kelainan
minimal. Perlu kontrol secara berobat jalan ke poli khusus ginjal anak.

5) Nefritis yang berhubungan dengan dengan Purpura Henoch Schonlein


Steroid diberikan dalam waktu pendek untuk menghilangkan gejala nyeri perut.
Penderita PHS berat [dengan manifestasi ginjal berat (NS,AKI dan hipertensi)]
membutuhkan pengawasan yang ketat. Biopsi ginjal perlu dilakukan pada keadaan
ini. Obat yang digunakan dalam hal ini adalah prednison oral, metilprednisolon
intravena, obat-obal sitostatika (siklofosfamid, azatioprin), antikoagulan, antiplatelet
dan plasmapheresis. Disamping penanggulangan terhadap AKI dan hipertensi.
Tindak lanjut:
Semua pasien dengan HSP yang dirawat perlu dilakukan pengamatan terhadap
hipertensi dan perburukan faal ginjal secara progresif, merupakan indikasi untuk
biopsi ginjal.
Indikasi Pulang
Keadaan umum baik, urinalisis normal atau menunjukkan kelainan minimal, tekanan
darah dan fungsi ginjal normal. Dianjurkan kepada penderita untuk kontrol berobat
jalan ke poli khusus ginjal anak.

6) Nefropati IgA
Pengobatan yang spesifik untuk Nefropati IgA asimtomatis belum ada. Pengobatan
hanya berupa pemberian antibiotika bila dijumpai ISPA atau tonsilektomi untuk
mengurangi episode dari hematuria makroskopis.
Tindak lanjut
Penderita IgA tidak perlu dirawat, namun memerlukan pemantauan terus menerus
terhadap kemungkinan terjadinya hipertensi dan perburukan fungsi ginjal.

Edukasi
Makan obat teratur dan diet sesuai petunjuk, pemantauan volume urin dan tekanan darah,
serta kapan harus kontrol.

22
DIVISI NEFROLOGI

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam: dubia ad bonam/malam
Ad functionam : dubia ad bonam/malam

Daftar Pustaka
1. Noer MS. Glomerulonefritis akut pasca infeksi streptokokus. Jakarta: UKK nefrologi IDAI,
2011: 57-62.
2. Yap HK, Lau PYW, Resontoc LPR, Thong WY. Management of acute glomerulonephritis.
Dalam: Pediatric on the go. Edisi ke-2. Children’s Kidney Center. Singapore: 2015:205-
11.
3. Noer MS. Glomerulonefritis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO,
penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2017.
4. Sjaifullah M. Glomerulus Akut Paska Streptococcus. Kompendium Nefrologi
Anak. IDAI, Jakarta:2011.h.57-62
5. Niko Kei-Chiu Tse. Acute Glomerulonephritis and Rapidly Progressive
Glomerulonephritis in Practical Paediatric Nephrology. Medcom Lmitted,
Hongkong 2005.p.103-108.
6. Davis ID, Avner ED. Glomerular disease. Dalam: Behrman, Kliegman, Jenson.
Nelson textbook of pediatric. Edisi ke -17. Philadelphia: Saunders; 2003. h.1731-
65.
7. Iturbe BR, Mezzano S. Acute Postinfectius Glomerulonephritis. Dalam: Anver ED,
Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N. Pediatric Nephrology. Edisi ke-6 Vol-1. h.
743-755.

23
DIVISI NEFROLOGI

HIPERTENSI

Pengertian
 TD Normal : TD sistolik atau diastolik < 90 persentil menurut gender, umur, tinggi badan
anak
 Pra Hipertensi : TD sistolik atau diastolik 90-95 persentil atau pada anak remaja TD ≥
120/80 mmHg meskipun < 95 persentil dianggap prahipertensi.
 Hipertensi adalah TD sistolik dan atau diastolik ≥ 95 persentil menurut gender, umur dan
tinggi badan pada ≥ 3 kali pemeriksaan pada saat yang berbeda.
 Hipertensi Stadium 1. TD ≥ 95 persentil sampai 99 persentil plus 5 mmHg
 Hipertensi Stadium 2. TD > 99 persentil plus 5 mmHg
(Diambil dari National High Blood Pressure Education Program Working on High Blood
Pressure in Children and adolescent. The fourth report on the diagnosis, evaluation, and
treatment of high blood pressure in children and adolescent. Pediatrics 2004;114 (2 suppl 4th
report):555-76).
Catatan : Persentil menurut jenis kelamin, umur dan tinggi badan diukur setidak-tidaknya 3
kali pada waktu yang terpisah, jika terdapat perbedaan persentil sistolik dan diastolik,
kategorikan berdasarkan nilai yang lebih tinggi. Tabel persentil menurut jenis kelamin, umur
dan tinggi badan dapat dilihat pada lampiran 1 dan 2.

Etiologi
Usia Penyebab

Infant Renovaskuler; trombosis a.renalis, penyakit congenital, coartasio aorta, BPD

< 1 tahun Stenosis a.renalis

Penyakit parenkim ginjal; penyakit vaskuler ginjal; penyebab endokrin; coarcatio


1 - 6 tahun aorta; hipertensi esensial

Penyakit parenkim ginjal; hipertensi esensial; penyakit vaskulerginjal; penyebab


6-12 tahun endokrin; coartatio aorta; penyakit iatrogenik

Hipertensi esensial; penyakit iatrogenik; penyakit parenkimginjal, penyakit


12-18 tahun vaskuler ginjal; penyebab endokrin; coartatio aorta

Anamnesis
Hal-hal yang perlu ditanyakan dapat dilihat pada tabel 1
Tabel. 1 Anamnesis Pada Anak dan Remaja Hipertensif
INFORMASI RELEVANSI

Riwayat hipertensi dalam keluarga, riwayat kehamilan Hipertensi essensial


preeklampsi. Komplikasi hipertensi dalam anggota
keluarga (stroke infark miokard, gagal ginjal).
Penyakit ginjal/tumor ginjal dalam keluarga Penyakit ginjal keturunan

24
DIVISI NEFROLOGI

Riwayat pemakaian kateter arteri umbilikalis pada masa Kelainan renovaskuler


neonatus

Sakit kepala, pusing, epistaksis, gangguan penglihatan Gejala tidak khas dapat
menunjukkan derajat hipertensi

Sakit perut/pinggang, disuria, enuresis hematuria, panas Penyakit parenkim ginjal


dalam

Palpitasi, sering berkeringat, muka kemerahan, berat Feokromositoma


badan turun, poliuria, polidipsia, sering sakit kepala

Pembengkakan/nyeri sendi, sembab kelopak mata tungkai Bentuk nefritis yang berhubungan
ruam kulit dengan penyakit multi sistemik

Kejang otot, lemas, konstsipasi Hiperaldosteronisme/hipokalemia

Badan lemas, parestesia, retardasi pertumbuhan, Sindrom Cushing


perubahan habitus tubuh

Teraba masa oleh orang tua dalam rongga abdomen, Tumor ginjal
demam

Riwayat trauma di daerah perut/punggung, nyeri perut, Trauma


hematuria, demam

Minum pil kontrasepsi, amfetamin, kokain, koritkosteroid, Hipertensi karena obat


pemakaian obat tetes hidung (golongan simpatomimetik)

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik perlu dilakukan secara cermat. dan sistematis oleh karena ada beberapa
kelainan yang dapat ditemukan dan merupakan tanda-tanda etiologi dari hipertensi (tabel 2).

Tabel. 2 Tanda-tanda kelainan yang perlu diamati pada pemeriksaan fisik


PEMERIKSAAN FISIK RELEVANSI

Tensi tungkai rendah dibandingkan dengan tensi lengan. Koarktasio aorta


Denyut nadi femoralis tibialis dan dorsum pedis lemah,
murmur (+)

Edema pada muka atau pretibia Penyakit ginjal

Pucat, muka kemerahan, banyak keringat, takikardia Feokromositoma

Bercak café au lait neurofibroma Penyakit vonreekling hausen

Moon facies, buffalo-hump hirsutisme, striae, truncal Sindrom Cushing


obesity

25
DIVISI NEFROLOGI

PEMERIKSAAN FISIK RELEVANSI

Weeb neck, dasar rambut rendah, jarak puting susu Sindrom Turner
melebar

Facies elfin, pertumbuhan terlambat Sindrom Williams

Pembesaran kelenjer tiroid, eksofthalmus Hipertiroid

Bruit di daerah epigastrium/punggung Penyakit renovaskuler

Bruit diatas pembuluh darah besar Sindrom William/artritis

Tumor abdomen unilateral atau bilateral Tumor Wilm’s neurofibroma, ginjal


polikistik, hidronefrosis

Pembesaran jantung Hipertensi kronik

Kelainan fundus Hipertensi kronik dan berat

Palsi bell Hipertensi kronik

Hemiparesis Hipertensi kronik/akut berat


dengan stroke

Kriteria Diagnosis
➢ Tentukan apakah anak hipertensi atau tidak, sesuai dengan batasan hipertensi
➢ Bila anak hipertensi maka langkah yang dilakukan sebagai berikut:
 Cari penyebabnya, tentukan derajat berat dan timbulnya
 Cari komplikasinya
 Pemeriksaan yang dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding terhadap etiologi hipertensi

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk evaluasi etiologi hipertensi sekunder.
Evaluasi Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang tahap 2
etiologi tahap 1
hipertensi

Mendeteksi ▪ Urinalisis, biakan urin ▪ ASTO, Komplemen (C3), kultur


penyakit
▪ Kimia darah (kolesterol, apus tenggorok/kulit
parenkim ginjal
albumin, globulin, asam ▪ Uji serologi untuk SLE (C3, C4,
urat, ureum, kreatinin) ANA, anti-dsDNA, ANCA)
▪ Klirens kreatinin dan ▪ Biopsi ginjal
ureum
▪ Darah lengkap

26
DIVISI NEFROLOGI

Mendeteksi ▪ Ultrasonografi (USG) ▪ Miksio Sisteuretrografi (MSU)


anomali
▪ Pielografi intravena ▪ CT ginjal
kongenital atau
kelainan ▪ DTPA atau DMSA scan
renovaskular ▪ Arteriografi renalis
▪ Digital Subtraction Angiography
(DSA)

Mendeteksi ▪ Elektrolit serum ▪ CT kelenjar adrenal atau abdomen


penyakit
▪ Katekolamin vena cava
endokrin
▪ Aktivitas renin plasma (ARP)
▪ Aldosteron dan elektrolit urin
▪ T4, TSH
▪ Vitamin D
▪ Kortisol plasma, ACTH
▪ Uji supresi dengan deksametason

Terapi
Indikasi rawat inap:
➢ Semua penderita hipertensi sekunder
➢ Hipertensi essensial grade II
Penatalaksanaan
I. Terhadap Hipertensi:
A. Pengobatan Non Farmakologik:
1. Hipertensi Non Krisis
1.1 Pra-Hipertensi
Pengobatan dengan modifikasi gaya hidup. Pengobatan ini ditujukan pada anak
remaja dan adolescent dengan hipertensi esensial yang mengalami obesitas, yaitu
dengan cara :
➢ Diet rendah garam 1200-1500 mg/hari
➢ Menurunkan berat badan dengan mengatur diet
➢ Olahraga seperti jalan santai, joging atau bersepeda
➢ Kebiasaan merokok dan minum alkohol dihentikan
Bila dengan langkah di atas TD tidak turun dan cenderung naik setelah beberapa
minggu sampai 6 bulan, maka diberikan obat tambahan farmakoterapi
(antihipertensi).
1.2.Hipertensi stadium 1
Pengobatan dengan modifikasi gaya hidup. Bila gagal, baru masuk ke terapi
farmakologik.
B. Pengobatan Farmakologik
Indikasi pengobatan farmakologik :
a. Hipertensi stadium I yang tidak menunjukkan respon terhadap terapi non farmakologik
atau menjadi hipertensi stadium II.

27
DIVISI NEFROLOGI

Pengobatan farmakologik dimulai dahulu dengan satu obat (diuretik) atau obat
antihipertensi seperti beta blocker, ACE inhibitor atau Ca channel blocker, dimulai
dengan dosis kecil dahulu. Bila belum respon, dosis dapat dinaikkan secara bertahap
sampai mencapai dosis maksimal. Bila masih gagal, berikan terapi kombinasi.
Sasaran pengobatan : menurunkan TD < 95 persentil, kemudian menurunkan TD <
90 persentil.
b. Hipertensi sekunder
Disamping menurunkan TD, penyebab dan komplikasi yang timbul harus dicari dan
ditanggulangi.
c. Hipertensi Krisis
Pada penderita dengan hipertensi urgensi biasanya digunakan obat-obatan oral,
sedangkan pada penderita hipertensi emergensi digunakan obat-obatan parenteral.

Adapun obat antihipertensi oral yang sering dipakai pada anak sebagai berikut:
Dosis Maksimal
Nama Obat Dosis awal Interval
Maksimal dewasa

Diuretika

HCT 1 mg/kg/kali q12-24 jam 4 mg/kg/hari 50 mg/12-


Furosemid 1 mg/kg/kali q6-12 jam 12 mg/kg/hari 24jam
Spironolakton 1 mg/kg/kali q12-24 jam 3 mg/kg/hari 240 mg/4-6jam
100 mg/hari

Calsium channel blocker

Nifedipine 0,25 mg/kg/kali q6-8 jam 0,5 mg/kg/kali 20 mg/hari


Amlodipin 0,05 mg/kg/hari q24 jam 0,2 mg/kg/hari 0,6 mg/kg/hari

ACE inhibitor

Captopril 0,1-0,5 mg/kg/kali q8 jam 6 mg/kg/hari 50 mg/8 jam


Neonatus: 0,01 q8 jam Neonatus: 1
mg/kg/kali mg/kg/kali
Enalapril 0,08 mg/kg/kali q12-24 jam 1 mg/kg/hari 40 mg/hari
Lisinopril 0,07 mg/kg/kali q24 jam 1 mg/kg/kali 10-20 mg/hari

Angiotensin II receptor blockers (ARB)

Losartan 0,5 mg/kg/kali q24 jam 1,4 mg/kg/kali 100 mg/hari


Valsartan <6 thn: 5-10 mg q24 jam 80 mg/hari 80 mg/hari
>6 thn: 1,3mg/kg q24 jam 160 mg/hari 160 mg/hari

Penghambat adrenergik

28
DIVISI NEFROLOGI

Beta-blocker
Propranolol 0,2-0,5 mg/kg/kali q6-12 jam 2 mg/kg/kali 80 mg/kali
Alpha-blocker
Terazosin 0,02 mg/kg q12-24 jam 0,4 mg/kg/hari 20 mg/hari
Alpha-beta blocker
Carvedilol 0,08 mg/kg/kali q12 jam 0,75mg/kg/kali 25 mg/12 jam
Antiadrenergik
sentral 0,002 mg/kg/kali q8-12 jam 0,06mg/kg/kali 2,4 mg/hari
Klonidin

Efek samping yang perlu diperhatikan:


Kelas Obat-obatan Efek Samping

ACE inhibitor Enalapril Diare, mual, sakit kepala, rash, batuk, hipotensi

Lisinopril Diare, mual, muntah, dispepsia, sakit kepala, vertigo, batuk,


hipotensi

Captopril Batuk, diare, sakit kepala, mual, muntah, rash,


hiperkalemia, netropenia

Beta blocker Propanolol Vertigo, rash, akral dingin, bradikardi

Diuretik Hidroklortiazid Hipotensi, konstipasi, anoreksia, rash, purpura,


hipokalemia, hipomagnesia.

Furosemid Hipotensi, pankreatitis, jaundice, anemia, mual, rash.

Pengobatan Hipertensi Krisis (emergensi)


Prinsip: tekanan darah harus diturunkan secepatnya dengan menggunakan obat
antihipertensi yang poten, guna mencegah kerusakan berlanjut dari organ target.
Obat-obat yang dapat digunakan antara lain klonidin (Catapres) dan furosemide, nifedipin
sublingual, nicardipine dan glyceryl trinitrate.

KLONIDIN DRIP:
Klonidin diberikan secara infus tetes dengan dosis 0,002 mg/kgBB dilarutkan dalam 100 ml
larutan glucosa 5% dengan kecepatan XII tetesan mikro/menit, dinaikkan 6 tetes tiap 30
menit, sampai tekanan darah diastolik < 100 mmHg. Dosis maksimal 36 tetes/menit atau
0,006 mg/kgBB. Bila terdapat over load atau anak tidak dehidrasi diberikan furosemid secara
IV dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari. Target tekanan darah 90-100 mmHg.Bila tekanan darah
diastolik belum turun, tambah kaptopril, dosis awal 0,3 mg/kg/kali, dosis maksimal 2 mg/kali,
diberi 2-3 kali/hari. Bila Td D turun di bawah 100 mgHg, tetesan klonidin diturunkan secara
bertahap, sedangkan kaptopril terus diberikan seperti dosis diatas.

NIFEDIPIN SUBLINGUAL:

29
DIVISI NEFROLOGI

Jika anak sadar dapat diberikan nifedipin sublingual dimulai dengan dosis 0,1 mg/kgBB. Jika
belum ada respon dosis dapat dinaikkan 0,1 mg/kg setiap 5 menit pada 30 menit pertama,
lalu setiap 15 menit pada 1 jam, selanjutnya tiap 30 menit. Dosis maksimal 10
mg/kali.Disertai furosemide intravena 1 mg/kg/kali, 2 kali sehari.
Bila tekanan darah diastolik belum turun, tambah kaptopril, dosis awal 0,3 mg/kg/kali, dosis
maksimal 2 mg/kali, diberi 2-3 kali/hari. Target TD diastole Bila tekanan darah diastolik
belum turun, tambah kaptopril, dosis awal 0,3 mg/kg/kali, dosis maksimal 2 mg/kali, diberi 2-
3 kali/hari. Bila Td D turun di bawah 100 mgHg, tetesan klonidin diturunkan secara bertahap,
sedangkan kaptopril terus diberikan seperti dosis diastolik 90-100 mmHg. Jika tekanan darah
stabil dilanjutkan nifedipin rumatan 0,2-1 mg/kgbb/hari, 3-4 kali sehari.

OBAT-OBATAN LAIN:
Harus diberikan dengan pemantauan di ruang HCU / PICU.
Nicardipine. Diberikan dengan cara drip intravena kontinyu dengan dosis 1-3 mcg/kg/menit
(maksimal 250 mcg/menit)
Glyceryl trinitrate. Diberikan dengan cara drip intravena kontinyu dengan dosis 1-10
mcg/kg/menit (maksimal 400 mcg/menit)

Pengobatan hipertensi kronik


Prinsip pengobatan hipertensi kronik hampir sama dengan hipertensi akut, hanya saja
perbedaan interval penambahan dosis dan jenis obat lebih panjang yaitu 2-4 minggu.
Pengobatan hipertensi akselerasi, penurunan tekanan darah dengan menggunakan obat
parenteral tidak boleh terlalu cepat seperti pada hipertensi akut yang mengalami krisis.
Tekanan darah diturunkan 30% dalam 6 jam pertama, untuk mencegah iskemia otak, lalu 1/3
lagi 12-36 jam dan sisanya 2-4 hari.

II. Pengobatan terhadap penyakit penyebab:


Tindakan operasi perlu dilakukan antara lain pada kasus:
1) Koartasio aorta
2) Stenosis arteri renalis
3) Tumor ginjal
4) Feokromositoma, adenoma kelenjar adrenal.
Tindak lanjut
➢ Pengukuran tekanan darah perlu dilakukan setiap 4-8 minggu pada penderita hipertensi
essensial ringan yang berobat jalan. Perlu dijelaskan tentang manfaat pengobatan non
farmakologik untuk pengontrolan tekanan darah.
➢ Penderita hipertensi derajat 1 dan 2 yang sedang dirawat perlu dilakukan pengukuran
tekanan darah 2-3 kali sehari. Faal ginjal/kimia darah/EKG/foto thoraks/darah tepi
umumnya dilakukan saat penderita dirawat dan pada waktu pulang.
➢ Hipertensi stadium 2, pengukuran tekanan darah lebih sering dilakukan, bila perlu setiap
3 jam sekali. Fungsi ginjal/kimia darah/EKG/foto thoraks, darah tepi dilakukan saat
penderita dirawat dan saat dipulangkan. Bagi penderita yang tidak menunjukkan tanda
kongesti vaskuler saat dirawat, foto thoraks/EKG hanya dilakukan 1 kali saja.
➢ Penderita hipertensi berat dengan krisis, pengawasan lebih ketat untuk itu sebaiknya
penderita dirawat di ruang ICU anak, agar pemantauan fungsi vital, .jumlah cairan, efek
pengobatan terhadap penurunan tekanan darah dapat dilakukan secermat mungkin.
perlu pemantauan funduskopi, EKG, darah tepi, gagal ginjal (jumlah diuresis,
30
DIVISI NEFROLOGI

BUN/kreatinin serum/elektrolit secara berkala). Pemeriksaan foto rontgen dada dilakukan


setelah tekanan darah terkontrol. Terhadap penderita ini perlu dicari komplikasi berat
yang mungkin timbul seperti ensefalopati, dekompensasio kordis, gagal ginjal atau
infeksi. Bila komplikasi ini timbul perlu segera diatasi. Pada penderita ensefalopati
hipertensi adakalanya diperlukan pemeriksaan CT scan bila dengan pengobatan
antihipertensi tekanan darah sudah turun menjadi normal, akan tetapi kesadaran
penderita tidak membaik.
➢ Pada penderita dengan ISK, perlu dilakukan pengamanan tentang struktur anatomi dari
ginjal dan saluran kemih dengan USG/PIV/MCU.

Indikasi pulang
Keadaan umum, tekanan darah normal (< persentile ke-90), penyakit penyebabnya (pada
anak-anak) terbanyak penyebab hipertensi adalah GNA, gejala-gejala dari penyakit
penyebab cenderung menghilang. Penderita dinasehatkan untuk kontrol berobat ke poli
khusus ginjal anak.

Edukasi
Pengaturan pola makan dan melakukan olah raga secara teratur dan lakukan kontrol secara
teratur.

Prognosis
Prognosis tergantung dari derajat beratnya hipertensi, kecepatan penanganan komplikasi
dan penyakit yang mendasarinya.

Kepustakaan
1. Bernstein D. Systemic hypertension. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
penyunting. Nelson textbook of pediatric. Edisi ke -17. Philadelphia: Saunders; 2004. h.
1592-8.
2. National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood
Pressure in Children and Adolescents. The fourth report on the diagnosis, evaluation,
and treatment of high blood pressure in children and adolescents. Pediatrics.
2004;114:555-76.
3. Bahrun D. Hipertensi sistemik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono P, Pardede S,
penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002. h.
242-89.
4. Awazu M. Epidemiology of hypertension. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P,
Yoshikawa N, Emma F, Goldstein SL, editors. Pediatric Nephrology. Edisi 7. New York:
Springer-Verlag, 2016:1907-50.
5. Redwine KM. Definitions of hypertension in children. Dalam: Flynn JT, Ingelfinger JR,
Portman RJ, editor. Pediatric hypertension. 2nd ed. New York: Humana Press, 2011:
147-58.
6. Yamaguchi I, Flynn JT. Patophisiology of hypertension. Dalam: Anver ED, Harmon
WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Emma F, Goldstein SL, editors. Pediatric Nephrology.
Edisi 7. New York: Springer-Verlag, 2016:1486-1507.
7. Bahrun D. Hipertensi sistemik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede
SO, penyunting. Buku Ajar Nefrologi Anak. Jakarta 2002; IDAI: 242-90.

31
DIVISI NEFROLOGI

8. Soemyarso NA. Diagnosis hipertensi pada anak. Dalam: Soemyarso NA, Prasetyo RV,
Suryaningtyas W, editor. Hipertensi pada anak. Surabaya 2016; Airlangga University
Press: 15-36.
9. Ferguson MA, Flynn JT. Rational use of antihypertensive medations in children.
Pediatr Nephrol 2014;29:979-88.
10. Yap HK, Ng KH, Resontoc LPR. Treatment of hypertension. Dalam: Yap HK, Liu ID,
Ng KH, editors. Pediatric nephrology on-the-go. Edisi 2. Singapore: Shaw-NKF-
National University Hospital Children’s Kidney Centre 2015: 79-92.

32
DIVISI NEFROLOGI

ACUTE KIDNEY INJURY (AKI)

Pengertian
Acute Kidney Injury (AKI) atau diterjemahkan sebagai Gangguan Ginjal Akut (GgGA) adalah
suatu sindroma yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang mendadak dengan
akibat terjadinya penimbunan hasil metabolit senyawa nitrogen seperti ureum dan kreatinin.

Anamnesis
Tentukan penyebab AKI
1) AKI pra renal: riwayat kekurangan cairan (diare, muntah), kehilangan darah/plasma
(trauma, luka bakar), pembedahan, sakit jantung dll.
2) AKI pasca renal: riwayat ISK berulang, nyeri pinAKIng, hematuria, riwayat batu, bila
berkemih sering mengedan dan tidak lancar, terasa nyeri yang hebat pada waktu
berkemih, ada riwayat makan jengkol.
3) Bila penyebab AKI pra-renal/paska renal dapat disingkirkan langkah berikutnya adalah
mencari etiologi AKI intra renal.
➢ Perlu ditanyakan riwayat yang mengarah ke penyakit tertentu, seperti
faringitis/impertigo beberapa hari sebelum munculnya AKI, riwayat kemih berwarna
merah gelap.
➢ Riwayat diare berlendir/atau bercampur darah, urine berwarna merah gelap, ruam
pada kulit, pucat, gambar darah tepi menunjukkan anemia hemolitik mikroangiopati
dan trombositopeni menjurus kearah diagnosis SHU.
➢ Riwayat pemakaian obat-nefrotoksik, demam nyeri sendi, urtikaria, sedang hematuria
dan piuria disertai sel epitel tubulus.

Pemeriksaan Fisik
1) AKI pra renal
Pada pemeriksaan fisik mungkin ditemukan tanda dehidrasi, luka bakar, takikardi, tanda-
tanda gagal jantung kongesti (edema paru, kardiomegali, bising jantung).
2) AKI pasca renal
Pada pemeriksaan fisik mungkin ditemukan retensio urine (kandung kemih penuh),
terasa massa di ronAKI abdomen, atau terlihat ada kristal asam jengkol pada ofisium
urethra eksterna.
➢ Bila penyebab AKI pra-renal/paska renal dapat disingkirkan langkah berikutnya
adalah mencari etiologi AKI intra renal.
➢ Pada pemeriksaan fisik ditemukan edema pada kelopak mata dengan atau tanpa
hipertensi mengarah dugaan pada GNAPS. Ruam pada kulit, arthiritis, arthralgia,
nyeri perut, mengarah dugaan pada vaskulitis

Kriteria Diagnosis
 AKI oliguria: Volume urine pada seorang anak <240 ml/m2/24jam atau <10 ml/kgBB/jam
atau pada neonatus <1 ml/kgBB/jam, disertai peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum dalam waktu yang cepat.

33
DIVISI NEFROLOGI

 AKI non oliguria: Kadar ureum dan kreatinin serum naik dengan cepat namun volume
urine normal Laju filtrasi glomerulus diperkirakan dengan rumus (formula Schwart):

Klirens kreatinin = K x tinggi badan (cm)


kreatinin serum (mg/dl)
Nilai K (konstanta) tergantung usia:
BBLR < 1th = 0,33
Aterm < 1th = 0,45
1-12 th = 0,55
Perempuan 13-21th = 0,57
Lelaki 13-21 th = 0,70

Diagnosis
Kriteria diagnosa berdasarkan tabel AKI RIFLE berikut ini :
Kriteria LFG Kriteria Oliguria Urin (OU)

RISK Kenaikan Skr x 1.5 atau penurunan LFG OU <0.5ml/kg/jam (selama 6


>25% jam)

INJURY Kenaikan Skr x 2 atau penurunan LFG OU <0.5ml/kg/jam (selama 12


>50% jam)

FAILURE Kenaikan Skr x 3 atau penurunan LFG OU <0.3 ml/kg/jam (selama


>75%, atau Skr ≥4 mg/dL (peningkatan akut 24 jam) atau anuria dalam 12
≥o,5 mg/dl) jam

LOSS Gagal ginjal akut menetap. Hilangnya fungsi ginjal > 4 minggu

ESRD End Stage Renal (ESRD)


Gagal ginjal terminal (GGT)
Penurunan fungsi ginjal > 3 bulan

Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk etiologi AKI: Pra renal, renal atau pasca renal

Pemeriksaan Penunjang
1) AKI pra renal
Gambaran urine: osmolalitas urine > 500, BJ> 1,020, rasio osmol urine/plasma > 1,3, Na
urine < 20, fraksi ekskresi (FE) Na < 1
2) AKI pasca renal
Pada urinalisis dapat ditemukan proteinuria, hematuria, piuria, kristal asam jengkol Pada
pemeriksaan USG dapat dijumpai kemungkinan adanya dilatasi sistem pelvicokalises.

34
DIVISI NEFROLOGI

Terapi
1. AKI pra renal
➢ Tergantung dari penyebab. Pada keadaaan tertentu perlu dilakukan pengukuran
tekanan vena sentral (CVP) untuk mengevaluasi hipovolemia CVP normal = 6-10 cm
Hg. Bila CVP < 10 cm Hg à hipovelemia
➢ Jenis cairan yang digunakan tergantung dari etiologi hipovolemia. Pada GE +
dehidrasi berat diberikan Ringer laktat sesuai protokol. Pada syok hemoragik
diberikan transfusi darah. Syok pada sindroma nefrotik akibat hipoalbuminemia,
diberikan infus low salt albumin atau plasma. Pada dehidrasi yang etiologinya tidak
jelas diberikan RL 20 ml/kgBB selama 1 jam. Diuresis biasanya terjadi 2-4 jam
pemberian tetapi rehidrasi dilanjutkan dengan diuretika. Terapi cairan secara cepat
ini berguna untuk membedakan apakah AKI bersifat pra-renal atau intra renal.
Respon terapi dikatakan baik, bila diuresis > 1 –3 ml/kgBB/jam.
➢ Cara lain membedakan kedua keadaan ini adalah dengan diuresis paksa dengan
catatan penderita sudah lama dalam keadaan hidrasi tetapi masih oliguria. Diberikan
furosemid dengan dosis 1 -2 mg/kgBB IV. Bila terjadi peningkatan diuresis 6 – 10
ml/kgBB/jam, AKI bersifat pra-renal, bila tidak AKI bersifat intrarenal. Bila
penyebabnya gagal jantung, terapi cairan tidak dianjurkan, karena akan menambah
beban jantung. Pengobatan yang diberikan adalah furosemid dan inotropik (dopamin,
digoksin). Dopamin diberikan dengan dosis (1-3 mikrogram)/kgBB, secara infus tetes
guna meningkatkan aliran darah ginjal dan curah jantung

2. AKI paska renal


Terapi spesifik pada gangguan ini adalah menghilangkan obstruksi, mungkin perlu
pemasangan foley kateter, vesikotomi tube nefrostomi.Obstruksi yang telah terkoreksi
dapat mengalami piuria dengan kemungkinan hipokalemia, hiponatremia, hipotensi
sampai kolaps. Dalam hal ini terapi cairan harus betul-betul diperhatikan

I. AKI intra renal/intrinsik


A. Terapi Konservatif
a. Restriksi cairan
Jumlah cairan yang diberikan berdasarkan insensible water loss ditambah jumlah
urine 1 hari sebelumnya dikurang jumlah cairan yang keluar bersama muntah,
berak, slang nasogastric, dll ditambah kenaikan suhu setiap 1oC diatas 37,5oC
sebanyak 12% berat badan.
Perhitungan IWL didasarkan pada calori expenditure sesuai berat badan
 0 –10 kg : 100 kal/kgBB
 11 – 20 kg : 1000 kal + 50 kal/kg/hari diatas 10kg
 > 20 kg : 1500 –20 kal/kg/hari diatas 20 kg
 Jumlah IWL = 25 ml/100 kal.
Secara praktis perhitungan yang digunakan anak umur < 5 tahun =
30ml/kgBB/hari, anak umur>5 tahun = 20ml/kg/hari. Cairan sebaiknya diberikan
per oral, kecuali bila muntah
Jenis cairan yang digunakan:
 Bi1a anuria: glukosa 10% bila oliguria glukusa 10% 3:1. Kalau menggunakan
vena sentralis dapat digunakan glukosa 20-40%. Jumlah kalori minimal yang
diberikan untuk mencegah katabolisme 400 kkal/m2/hari.

35
DIVISI NEFROLOGI

 Bila terapi konservatif berlangsung > 3 hari pertimbangkan pemberian emulsi


lemak dan protein 0,5 - 1 g/kgbb/hari.. Pemberian protein dilakukan sesuai
dengan jumlah diuresis.

Fase diuresis:
Pada fase ini harus diawasi jumlah diuresis/hari. Bila terjadi diuresis yang masif
harus mendapat penggantian cairan dan elektrolit yang sesuai
b. Asidosis metabolik
Asidosis melabolik dikoreksi dengan cairan bicnat 7,5 % sesuai dengan hasil
analisis gas darah. Yaitu akses basa (BE) x berat badan x 0,3 (meq) atau kalau
ASTRUP tidak ada dapat dengan koreksi buta 2-3 meq/kg/hari.
c. Hiperkalemia
Bila kadar kalium serum 5,5 - 7 meq/l perlu diberikan kayexalat 1 gr/kgBB per
oral/rektal 4 x sehari atau kalitake 3 x 2,5 gr/hari.
Kalium serum > 7 meq/l diberikan natrium bikarbonat 7,5% 2,5 meq/kgBB iv
dalam waktu 10-15 menit, dan kalsium glukonas 10% 0,5 ml/kgBB iv lambat-
lambat dalam 10-15 menit. Bila hiperkalemia masih ada diberikan glukosa 20%
(1cc/kgBB atau 0,5 g glukosa/kgBB) + insulin 0,1 U/kgBB per infus selama 30
menit, dan siapkan dialisis.
d. Hiponatremia
Hiponatremia karena hipervolemia pada pasien dengan kongesti cairan atau
edema biasanya cukup diatasi dengan retriksi cairan. Untuk koreksi hiponatremia
digunakan rumus = 0,6 x BB x (Na yang diharapkan - Na serum yang didapat)
meq/L.
Bila kadar natrium < 125 meq/l atau timbul gejala diperlukan koreksi dengan NaCl
0,3% (mengandung 513 mmol Na per liter). Besarnya perubahan kadar Na
plasma (mmol/l) oleh 1 L NaCl 3% dapat dihitung dengan rumus = (513 – Na
serum) / ( (0,6 x BB kg) + 1 ), kemudian dihitung volume NaCL 0,3% yang
diperlukan.Koreksi diberikan selama 24 jam.
e. Kejang
Diatasi sesuai dengan penatalaksanaan kejang. Koreksi terhadap penyebab
kejang (kejang pada AKI dapat disebabkan gangguan elektrolit, hipertensi atau
uremia). Untuk kejang diberikan diazepan 0,3-0,5 mg/kgBB iv/rektal.Tetani
karena hipokalsemia diatasi dengan injeksi kalsium glukonas 10% 0,5 cc/kgBB IV
lambat-lambat.
f. Hiperfosfatemia
Diatasi dengan phosphat-binder seperti aluminium hidroksida 60 mg/kgBB
dibagai 3 dosis, atau dengan calcium karbonas 0,5 – 1 gram/hari (50
mg/kgBB/hari) yang diberikan bersamaan dengan makanan.
g. Anemia
Jika kadar Hb turun di bawah 6 g/dl, diberikan darah segar atau PRC.
h. Kongesti vaskuler
Gejala edema paru/gagal jantung kongesti diatasi dengan furosemid IV dosis 1-2
mg/kgBB/kali, oksigen, tourniquet atau plebotomi, pemberian morfin 0,1
mg/kgBB. Bila tidak berhasil dalam waktu 20 menit segera dilakukan dialisis.

36
DIVISI NEFROLOGI

i. Infeksi
Harus ditanggulangi dengan antibiotika. Dosis obat disesuaikan dengan derajat
penurunan fungsi ginjal.
j. Hipertensi
Diatasi sesuai dengan PPK hipertensi.

k. Hiperurisemia
Kadar asam urat dapat meningkatkan sampai 50 mg/dl. Bila terjadi peningkatan
diberikan alopurinol dengan dosis 100-200 mg untuk anak usia < 8 tahun dan
200-300 mg untuk usia diatas 8 tahun, dibagi 2 dosis.

B. Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy)


Terapi pengganti (dialisis) dilakukan atas indikasi tanda-tanda berikut ini, yang tidak
dapat diatasi dengan terapi medikamentosa:
a. Kadar Ureum darah > 200 mg/dl
b. Hiperkalemia berat (K>7,5 meq/l)
c. Bikarbonas plasma <12 meq/ l.
d. Gejala-gejala kongesti vaskuler
e. Perburukan keadaan umum dengan gejala uremia berat seperti pendarahan
penurunan kesadaran sampai koma.
Jenis terapi pengganti ginjal ini bisa berupa Hemodialisis atau Peritoneal Dialisa
(Lihat panduan tatalaksana Hemodialisa & Peritoeneal Dialisa)

Tindak lanjut
 Selama perawatan perlu dilakukan pengawasan terhadap tanda-tanda vital: tensi,
nadi, pernafasan, ritme jantung, suhu tubuh.
 Pemeriksaan Hb/Ht/trombosit secara berkala
 Pemeriksaan ureum/kreatinin dan elektrolit serum secara berkala
 Analisis gas darah bila ada
 Masukan cairan dan jumlah diuresis/24 jam
 EKG secara serial
 Foto rontgen dada

Edukasi
Menjelaskan penyebab, komplikasi dan prognosis AKI

Prognosis
Tergantung pada penyebab dan tatalaksana

Kepustakaan
1. Alatas H. Gagal ginjal akut. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta, 2002:490-
508.
2. Alatas H. Gagal ginjal akut. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Alatas H, Tambunan T,
editor. Kompendium Nefrologi Anak. Jakarta:2011:207-14.
3. Noer MS, Soemiyarso N, Prasetyo RV, Acute Kidney Injury. Dalam Naskah Lengkap
SINAS dan Workshop Nefrologi IDAI, Bali,2009.

37
DIVISI NEFROLOGI

4. Chan WKY. Fluid and electrolyte disorders. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical
paediatric nephrology. Medcom Limited: Hong Kong: 2005:59-79.
5. Zappitelli M, Goldstein SL. Management of Acute Kidney Failure. Dalam : Anver ED,
Harmon WE, Niaudet P, Yashikawa N, eds. Pediatric Nephrology 6th Ed. Berlin 2009 h.
1619 – 1628.

38
DIVISI NEFROLOGI

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

Pengertian
Chronic Kidney Diseases (CKD) atau diterjemahkan sebagai Penyakit Ginjal Kronik (PGK)
adalah suatu keadaan gangguan yang kompleks, baik klinis, kimiawi maupun metabolisme
tubuh sebagai akibat menurunnya fungsi ginjal yang kronik dan progresif.
Dikatakan CKD jika terdapat salah satu dari kriteria di bawah ini yang menetap > 3 bulan:
A. Abnormalitas struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG), yang bermanifestasi sebagai satu atau lebih gejala:
a. Abnormalitas komposisi urin
b. Abnormalitas pemeriksaan pencitraan
c. Abnormalitas histopatologi ginjal
B. LFG < 60 mL/menit/1,73m2 dengan atau tanpa gejala kerusakan ginjal yang lain yang
telah disebutkan.

Anamnesis
Lemah, letargi, penurunan kesadaran somnolen-koma, sesak nafas, anoreksia, mual,
muntah, hematemesis, pucat, bengkak, kencing sedikit.

Pemeriksaan Fisik
• Anemia, purpura
• Edema, hipertensi
• Rikets, osteomalasia, hiperfosfatemia.
• Hipokalsemia, hiperparatiroidisme, pruritis
• Hiperkalemia, asidosis, metabolik, hiperuriasidemia.
• Retardasi pertumbuhan, neuropati perifer
• Perikarditis, kardiomiopati, gagal jantung

Kriteria Diagnosis
Ada 5stadium CKD berdasarkan penurunan LFG, yaitu:
Stadium GFR Deskripsi
(mL/menit/1.73 m2)

1 > 90 Kerusakan ginjal dengan GFR normal/meningkat

2 60-89 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan

3 30-59 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR sedang

4 15-29 Gagal Ginjal

5 <15 (atau dialisis)

Diagnosis
CKD beserta stadiumnya.

39
DIVISI NEFROLOGI

Diagnosis Banding
Diagnosis banding terhadap penyebab CKD

Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium: darah dan urin
 Radiologi
 Histopatologi

Terapi
A. Terapi Konservatif
Tujuan pengobatan ini untuk memperbaiki keadaan umum, sehingga bila penderita jatuh
dalam stadium terminal dari perjalanan CKD, maka untuk mendapatkan dialisis dan
transplantasi ginjal, kondisi fisiknya tetap dalam keadaan optimal.

1. Kebutuhan Kalori
Anak dengan CKD harus mendapat masukan kalori minimal 40-120 kkal/kgBB/hari.
Dapat dipakai patokan minimum RDA seperti terlihat pada tabel 1.

Tabel-1. Rekomendasi Pemberian Kalori sehari-sehari pada anak


dengan insufisiensi Ginjal Kronik sesuai Umur
Usia Tinggi Energi Protein Kalsium Fosfor
(Cm) (kcal) (gr) (gr) (gr)

0-2 bln 55 120/kg 2,2/kg 0,4 0,2

2-6bln 63 110/kg 2/kg 0,5 0,4

6-12bln 72 100/kg 1,8/kg 0,6 0,5

1-2 th 81 1100 18 0,7 0,7

2-4th 98 1300 22 0,8 0,8

4-6 th 110 1600 29 0,9 0,9

6-8 th 121 2000 29 0,9 0,9

8-10 th 131 2100 31 1,0 1,0

10-12 th 141 2450 36 1,2 1,2

12-14 th L 151 2700 40 1,4 1,4

12-14 th P 154 2300 34 1,3 1,3

14-16 th L 170 3000 45 1,4 1,4

14-16 th P 159 2350 35 1,3 1,3

16-22 th L 175 2800 42 0,8 0,8

16-22 th P 163 2200 33 0,8 0,8

40
DIVISI NEFROLOGI

2. Kebutuhan protein
Pada anak dengan CKD pembatasan protein dimulai pada klirens kreatinin di antara
15-20 ml/men/1,73 m2. Protein sebaiknya protein hewani. Pembatasan protein dapat
disesuaikan dengan usia dan KFG seperti terlihat pada tabel 2.

Tabel 2. Anjuran Intake Protein untuk anak dengan insufesiensi ginjal


Sesuai dengan Umur dan LFG
Usia 50-20 20-10 10-5
(120% RDA) (100% RDA) (100% RDA)

0-2 bln 2,6 g/kg 2,2 g/kg 1,6 g/kg

2-6 bln 2,4 g/kg 2 g/kg 1,5 g/kg

6-12 bln 2,1 g/kg 1,8 g/kg 1,5 g/kg

1-3 th 28 g 28 g 18 g

3-6 th 38 g 30 g 23 g

6-8 th 43 g 36 g 27 g

8-10 th 48 g 40 g 30 g

10-12 th L 54 g 45 g 34 g

12-14 th L 60 g 50 g 38 g

14-18 th L 72 g 60 g 45 g

10-14 th P 60 g 50 g 38 g

14 – 18 th P 66 g 55 g 41 g

3. Pembatasan air dan garam


Pembatasan cairan dilakulkan bila terdapat oliguria, edema, dan hipertensi atau LFG
turun < 15 ml/men/l,73m2, untuk mencegah intoksikasi air dan hiponatremia. Jumlah
air yang diperlukan adalah IWL + volume urin 1 hari sebelumnya.
Pada penderita CKD tanpa hipertensi umumnya diberikan diet rendah garam yaitu
natrium 1 meq/kgBB/hari. Retriksi ketat natrium dilakukan bila terdapat hipertensi dan
oliguria berat yaitu 0,5 meq/kgBB/hari (1 gram garam dapur mengandung 400 mg
natrium atau 17 meq natrium)

4. Kalium
Bila kadar kalium dalam serum antara 5,5-6,5 meq/L, semua jenis makanan yang
mengandung kalium harus dihindari: sayur-mayur yang berwarna hijau, buah-buah,
kacang-kacangan, coklat dll. Bila kadar kalium 6,5 meq/l disertai dengan perubahan
EKG maka harus segera diatasi seperti pada PPK AKI.

41
DIVISI NEFROLOGI

5. Asidosis metabolik
Obat yang digunakan adalah natrium bikarbonat berdasarkan hasil analisa gas darah
dengan rumus 0,3 x ekses basa (BE) x BB (kg). Dosis obat disesuaikan dengan
memantau kadar HCO3 atau ekses basa.

6. Mineral bone disease (CKD-MBD) atau Osteodistrofi renal


Untuk mencegah osteodistrofi renal pada anak dengan CKD tindakan yang perlu
dilakukan adalah:
 Pemberian kalsium yang cukup. Dosis kalsium yang dianjurkan adalah 500-1000
mg/hari.
 Mengurangi masukan protein dan produk susu yang kaya akan fosfat,
menghambat absorbsi fosfat dari dalam usus dengan pemberian pengikat fosfat
seperti aluminium gel atau calsium carbonat. Kadar fosfat dalam serum harus
diperiksa dan dipertahankan antara 4 –5 mg/dl.
 Pemberian vitamin D. Tergantung pada derajat gagal ginjal, kadar hormon
paratiroid (iPTH) dan kecurigaan pada tulang berdasarkan hasil pemeriksaan
radiologis. Vitamin D3 diberikan dengan dosis 4000 – 40.000 U/hari atau vitamin
D3 aktif (calcitriol) 0,25 mcg/hari atau 40 ng/kg/hari. Selama pemberian obat,
kadar kalsium harus diperiksa untuk mendeteksi timbulnya hiperkalsemia akibat
efek samping vitamin D.

7. Hipertensi
Pada hipertensi ringan diberikan diuretika seperti furosemid dan membatasi masukan
air dan garam. Target tekanan darah < persentil 90 untuk usia, jenis kelamin dan
tinggi badan. Pada hipertensi moderat-berat diberikan obat antihipertensi secara oral.
Bila hipertensi berat sampai menimbulkan kerusakan organ target, diberikan
antihipertensi secara intravena. Hipertensi yang disertai proteinuria sebaiknya
diterapi dengan golongan ACE inhibor +/- angiotensin receptor blocker (ARB). Dosis
obat antihipertensi yang digunakan seperti PPK hipertensi.

8. Anemia
Menentukan penyebab anemia penting untuk tatalaksana. Pada CKD bisa terjadi
anemia penyakit kronik, anemia defisiensi besi, anemia campuran APK+ADB
(mixed), anemia karena uremia dengan pemendekan umur eritrosit, anemia karena
kehilangan darah saat dialisis, anemia karena toksisitas obat, dan lain-lain.
Bila Hb < 6 g/dl dan timbul gejala-gejala gangguan oksigenasi perlu diberikan
transfusi darah PRC dengan jumlah 5 - 10 m1/kgBB.
Bila anemia disebabkan oleh kekurangan zat besi atau asam folat, diberikan zat besi
6 mg/kgBB/hari dan asam folat 0,25- 1 mg/hari.
Pada pasien yang tidak respon dengan pemberian oral, diindikasikan pemberian
besi intravena.
Pemberian eritropoietin (EPO) umumnya sudah diperlukan pada LFG <60
ml/menit/1,73m2 dengan dosis awal 50-75 IU/kgBB/kali, 2-3 kali/minggu, dan dapat
dinaikkan bertahap sesuai kadar Hb. Dosis rumat 100-200 IU/kg/minggu, dosis
maksimal 300 IU/kgBB/minggu.Target Hb rata-rata 11 g/dL.

42
DIVISI NEFROLOGI

9. Gangguan Pertumbuhan
Pengobatan terhadap gangguan pertumbuhan ini sulit karena banyak faktor yang
berperan. Faktor yang dapat memberikan respon terhadap pengobatan antara lain
koreksi asidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit. Kadar bicarbonat harus
dipertahankan >22 mmol/L. Kontrol terhadap hiperfosfatemia dan vitamin D untuk
mencegah hiperparatiroidisme sekunder. Pengelolaan terhadap malnutrisi harus
diusahakan sebaik mungkin, anoreksia harus diberantas, untuk itu perlu bantuan ahli
gizi untuk menyusun diet yang cocok untuk selera anak. Di negara maju diberikan
terapi human recombinant growth hormone (rhGH).

10. Infeksi
Bila ada infeksi harus segera ditanggulangi. Sambil menunggu hasil biakan dan
sensitifitas dapat diberikan obat antibiotik yang berspektrum luas. Dosis obat harus
disesuaikan dengan derajat kerusakan fungsi ginjal.

B. Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy)


Berupa dialisis (hemodialisis atau peritoneal dialisis) dan transplantasi ginjal (Lihat
panduan tatalaksana Hemodialisa atau Peritoneal Dialisa). Tindakan ini telah diperlukan
bila klirens kreatinin < 15 ml/mnt/1,73 m2, atau ada indikasi lain seperti tersebut pada
panduan tatalaksana AKI

Edukasi
Menjelaskan penyebab, komplikasi dan prognosis CKD

Prognosis
Tergantung pada penyebab dan tatalaksana

Kepustakaan
1. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Gagal ginjal kronik. Dalam: Alatas H, Tambunan
T, Trihono PP, Pardede SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2002. h.509-30.
2. Sekarwana N. Chronic kidney diseases. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Alatas H,
Tambunan T, editor. Kompendium Nefrologi Anak. Jakarta:2011: 215-22.
3. Chiu MC, Yap HK. Pratcical paediatric nephrology. Medcom Limited: Hong Kong:2005.
4. Yap HK. Pediatric Nephrology on the go. Children’s Kidney Centre: Singapore:2015.
5. Voght BA, Avner DA. Toxic nephropathies – Renal failure. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Jemson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatric. Edisi ke-16.
Philadelphia: Saunders; 2000. h.1766-1782.
6. Rigden SPA. The management of chronic and end stage renal failure. Dalam: Webb
NJA, Postlethwaite RJ, penyunting. Clinical Paediatric Nephrology. Edisi ke-3. New
York: Oxford University Press; 2003. h.427-46.
7. VanDeVoorde RG, Warady BA. Management of Chronic Kidney Disease. Dalam: Anver
ED, Harmon WE, Niaudet P, Yashikawa N, eds. Pediatric Nephrology 6th Ed. Berlin 2009
h. 1661 – 1692

43
DIVISI NEFROLOGI

INFEKSI SALURAN KEMIH

Pengertian
ISK adalah infeksi saluran kemih oleh mikroorganisme, terutama bakteri, dalam jumlah yang
bermakna, terutama bakteri gram negatif (terbanyak E.coli), bisa juga disebabkan bakteri
gram positif, virus dan jamur.

Etiologi
Kompleks, dipengaruhi banyak faktor: faktor host dan faktor mikroorganisme penyebab.
Faktor prediposisi antara lain: fimosis, refluks vesico-ureter, batu atau benda asing disaluran
kemih, jenis kelamin dll. Penyebaran melalui 2 cara:
a. Hematogen: fokus infeksi di tempat lain septikemia  pielonefritis.
b. Ascenden: flora usus uropatogenikkolonisasi di perineal & uretra anterior  buli-buli
 menembus barier mukosa normal  sistitis  adanya faktor predisposisi (virulensi
bakteri atau faktor pejamu) pielonefritis. Pielonefritis  urosepsis/refluks intra renal 
skar ginjal  gagal ginjal kronis/hipertensi.

Anamnesis
 Sangat bervariasi, ditentukan oleh intensitas reaksi peradangan, letak infeksi (ISKatas
atau bawah) dan umur pasien.SEbagian anak merupakan asimtomatik.
 Pada neonatus, gejala klinik tidak spesifik, seperti: apati, anoreksia, ikterus atau
kolestatis, muntah, diare, demam, hipotermi, tidak mau minum, oliguria, iritabel atau
distensi abdomen.
 Secara umum, adanya gejala demam, sakit pinggang, disuria, urgensi,
frekuensi,polakisuria, riwayat urin berpasir/keluar batu.
 Gejala ISK berat (demam tinggi, muntah, sepsis, kejang), kuning (pada neonates atau
bayi kecil).
 Faktor predisposisi (higene, konstipasi, infeksi sistemik, imunokompromised)

Pemeriksaan Fisik
Demam, nyeri tekan supra pubik, nyeri ketok kostovertebra, pucat

Kriteria Diagnosis
Langkah diagnosis
• ISK asimtomatis diketahui pada skrining
• ISK simtomatis: anamnesis dan pemeriksaan fisik umum. Khusus pada neonatus perlu
ditanyakan riwayat kehamilan dan persalinan dan faktor risiko infeksi lainnya.
• Pemeriksaan penunjang: lekosituria, pengecatan Gram, kultur dan uji resistensi, darah
tepi, CRP, dan urinalisis lengkap, ureum dan kreatinin.
• Radiologi: USG dan MCU bila ada kelainan dilanjutkan dengan IVP
Dasar diagnosis
➢ Bakteriuria bermakna: didapatkan koloni kuman >100.000 koloni/ml urin pada
pengambilan urin secara pancaran tengah, atau beberapa kuman saja pada
pengambilan sampel urin secara SPP

44
DIVISI NEFROLOGI

➢ ISK asimpmtomatik: bakteriuria bermakna yang ditemukan pada uji tapis pada anak
sehat atau tanpa gejala. Keadaan ini bersifat ringan dan biasanya tidak menimbulkan
kerusakan ginjal, kecuali pada wanita hamil kalau tidak diobati dapat menimbulkan ISK
simtomatik.
➢ ISK simtomatis: terdapatnya bakteriuria disertai gejala klinik
➢ ISK atas: ISK bagian atas terutama parenkim ginjal, lazim disebut sebagai pielonefritis
dengan gejala utama demam dan sakit pinggang.
➢ ISK bawah: bila infeksi di vesika urinaria (sistitis) atau uretra dengan gejala utama
berupa gangguan terbatas miksi seperti disuria, polakisuria, kencing mengedan
(urgency).
➢ ISK ringan: gejala ringan, panas (-).
➢ ISK berat: gejala berat, panas tinggi, kejang, kesadaran turun, muntah, diare, pada
neonatus sesuai dengan tanda-tanda sepsis.
➢ ISK dengan gejala sepsis: ditemukan gejala sepsis sesuai SP-nya.
➢ ISK nonkomplikata/simpleks: ISK yang tanpa kelainan struktural maupun fungsional
➢ ISK komplikata/kompleks: ISK dengan ditemukan juga kelainan anatomik maupun
fungsional saluran kemih yang menyebabkan stasis ataupun aliran balik (refluks) urin.
Kelainan saluran kemih dapat berupa batu saluran kemih, obstruksi, anomali saluran
kemih, buli-buli neurogenik dan sebagainya.
➢ ISK berulang/relaps: bakteriuria yang timbul kembali setelah pengobatan dengan jenis
kuman yang sama dengan kuman saat biakan urin pertama kalinya. Kekambuhan dapat
timbul antara 1 sampai 6 minggu setelah pengobatan awal.
➢ ISK rekuren/reinfeksi: bakteriuria yang timbul setelah selesai pengobatan dengan jenis
kuman yang berbeda dari kuman saat biakan pertama.

Diagnosis Banding
ISK berdasarkan lokasi : ISK atas (pielonefritis) atau ISK bawah (sistitis)

Pemeriksaan Penunjang
1. Anak yang diduga menderita pielonefritis akut dan semua bayi yang menderita ISK perlu
pemeriksaan USG dan MSU. Bila ditemukan RVU, pemeriksaan pielografi intravena (PIV)
atau sintigrafi DMSA dapat dilakukan, meskipun tidak langsung terkait dengan
penanganan pasien. Bila pada pemeriksaan USG dicurigai adanya kelainan anatomik
maka PIV lebih disarankan.
2. Anak perempuan dengan ISK bawah (sistitis) berulang sampai 2 atau 3 kali atau ISK
pertama dengan adanya riwayat RVU dalam keluarga, diperlakukan seperti pilihan no.1 di
atas.
3. Sebagian besar anak perempuan dengan ISK serangan pertama atau ISK bawah saja
tidak memerlukan pemeriksaan pencitraan. Kelompok ini cukup dipantau tiap 6-12 bulan
dan biakan urin bila ada demam.
− Khusus untuk neonatus laki-laki sampai usia 8 minggu disarankan pemeriksaan USG dan
MSU rutin pada ISK pertamakalinya. Bila ditemukan kerusakan parenkim ginjal ataupun
refluks derajat 3 atau lebih, dilanjutkan dengan pemeriksaan skintigrafi radionuklid. Pada
anak yang lebih besar USG dipakai sebagai penyaring dan bila dicurigai ada kelainan

45
DIVISI NEFROLOGI

dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan lain seperti PIV, MSU maupun skintigrafi
radionuklid.
− Pemeriksaan atas indikasi: biakan darah, foto thorax

Terapi
• ISK asimtomatis/simtomatis diobati sesuai hasil uji sensitivitas.
• Sementara menunggu hasil kultur datang, tersangka ISK diobati dengan antibiotika oral
Amoksisilin 50 mg/kgBB/hari atau Trimetoprim/ Sulfametoksazol (Kotrimoksazol)
8/40mg/kgBB/hari. Setelah kultur datang diobati sesuai hasil tes sensitivitas selama 10-14
hari.
• ISK dengan komplikasi diobati sesuai komplikasi
• Diupayakan mengoreksi/mengobati faktor predisposisi

Indikasi rawat
ISK berat atau ISK dengan penyulit

Tindak lanjut
Selama perawatan urinalisa dilakukan 2 kali seminggu. Darah tepi sekali seminggu. Dua
hingga tiga hari setelah pengobatan dimulai dilakukan biakan ulang,bila biakan steril obat
diteruskan,bila biakan masih positif atau kondisi penderita tidak membaik obat diganti. Untuk
mendeteksi infeksi ulangan dilakukan kultur urin setelah 1 minggu pengobatan selesai. Bila
positif diobati sesuai dengan hasil tes sensitivitas.Jika hasil kultur urin steril maka kultur urin
selanjutnya dilakukan sekali sebulan dalam 6 bulan pertama, kemudian sekali 2 bulan untuk
6 bulan, lalu, sekali 3 bulan untuk tahun ke-2 dan ke-3. ISK simtomatis berat segera
dilakukan pemeriksaan radiologi dan faal ginjal. Untuk yang ringan atau simtomatis
pemeriksaan radiologi dilakukan 1 bulan setelah pengobatan selesai dengan indikasi: semua
anak <3 tahun, semua anak laki-laki, semua anak perempuan yang mendapat ISK berulang.
Kalau infeksi berulang obati dengan antibiotika sesuai hasil tes sensitivitas dilanjutkan
dengan AB profilaksis Kotrimoksazol 2 mg/kgBB/hari dosis tunggal malam hari minimal 6
bulan. Refluks berat dengan atau tanpa kelainan obstruksi konsul bedah urologi.Skar
pielonefritik atau refluks sedang  AB profilaksis, kemudian ulangi IVP/MCU. Jika menjadi
berat, konsul urologi untuk tatalaksana bedah.
Kontrol berkala ureum dan kreatinin (3-6 bulan), kalau terjadi gagal ginjal dan hipertensi.
Indikasi pulang
Keadaan umum baik, gejala klinis ISK hilang, kulltur setelah 1 minggu pengobatan selesai
steril dan fungsi ginjal normal.

Edukasi
Pencegahan infeksi atau pencegahan infeksi berulang dengan menyelesaikan pengobatan
sesuai petunjuk dan mengenali faktor predisposisi (hygiene, pemakaian kateter, mencegah
konstipasi, pemakaian diapers, pasien imunokompromis), upaya mendeteksi penyulit atau
kelainan anatomis

Prognosis
ISK non komplikata dan belum disertai komplikasi prognosis baik. ISK komplikata atau yang
sering kambuh akan berlanjut menjadi CKD kemudian hari.

46
DIVISI NEFROLOGI

Kepustakaan
1. Rusdidjas, Ramayati R. Infeksi saluran kemih. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono
PP, Pardede SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter
Anak Indonesia; 2002. h. 142-63..
2. Rusdidjas, Ramayati R, Tambunan T, dkk. Infeksi Saluran Kemih. Dalam: Noer MS,
Soemyarso NA. Kompendium Nefrologi Anak. Edisi pertama. Jakarta 2011 h. 131-138
3. Pardede SO, Taralan T, Husein A, Partini PT, Eka LH. Konsensus infeksi saluran kemih
pada anak. UKK Nefrologi IDAI: Jakarta 2011.
4. Bensman A, Dunand O, Ulinski T. Urinari Tract Infection. Dalam: Anver ED, Harmon WE,
Niaudet P, Yashikawa N, eds. Pediatric Nephrology 6th Ed Vol-2. Berlin 2009 h. 1299 –
1310.

47
DIVISI NEFROLOGI

BATU SALURAN KEMIH

Pengertian
Batu saluran kemih berarti terdapat pembetukan batu di ginjal dan saluran kemih. Jika
terdapat pada ginjal disebut batu ginjal (nefrolitiasis), jika terdapat di buli-buli disebut batu
buli (vesikulolitiasis).

Kriteria Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis yang teliti (saat mulai timbul keluhan, riwayat perjalanan penyakit, pola makanan,
pemakaian obat-obatan, riwayat penyakit batu saluran kemih dalam keluarga). Batu ginjal
memberikan keluhan bila terjadi obstruksi parsial atau bila batu berubah posisi. Gejala klinik:
 Nyeri abdomen umumnya terasa di pinggang
 Kolik ginjal
 Hematuri makroskopik atau mikroskopik
 Piuria
 Mual, muntah dan kembung
Pemeriksaan fisik
nyeri abdomen, kolik ginjal, hematuri, dll
Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis
b. Pemeriksaan radiologis (Foto polos abdomen, USG, Pielografi Intravena)
c. Pemeriksaan darah
d. Analisis batu

Diagnosis Banding
Batu ginjal, batu buli-buli

Terapi
Berhasilnya penatalaksaan batu saluran kemih ditentukan oleh 5 faktor yaitu ketepatan
diagnosis, lokasi batu adanya infeksi saluran kemih dan derajat beratnya, derajat kerusakan
fungsi ginjal, serta tatalaksana yang tepat.
Terapi dinyatakan berhasil bila: keluhan menghilang, kekambuhan batu dapat dicegah,
infeksi telah dapat dieradikasi dan fungsi ginjal dapat dipertahankan.
 Pengobatan konservatif (lebih ditujukan kepada penyakit/keadaan yang mendasari
terbentuknya batu).
 Pemakaian obat-obatan (untuk mengurangi rasa sakit yang hebat, mengusahakan agar
batu keluar spontan, disolusi batu dan mencegah kambuhnya batu)
 Tatalaksana bedah untuk pengeluaran batu dengan cara ESWL (Extracorporeal shock
wave lithoptripsy) menggunakan gelombang untuk meretakkan batu, atau dengan cara
pembedahan (pielolitotomi atau nefrektomi).

Edukasi
Upaya pencegahan pembentukan batu berulang

48
DIVISI NEFROLOGI

Prognosis
Prognosis dari batu ginjal tergantung dari diagnosis awal dan terapi yang diberikan, tetapi
tingkat berulang kembali biasanya tinggi jika kondisi tersebut tidak diobati.

Kepustakaan
1. Trihono PP, Pardede SO. Batu saluran kemih. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono P,
Pardede S, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2002. h. 212 – 30.
2. Elder JS. Urinary lithiasis. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting.
Nelson textbook of pediatric. Edisi ke -17. Philadelphia: Saunders; 2004. h.1822-6.
3. Jones C, Mughal Z. Disorders of mineral metabolism and nephrolithiasis. Dalam: Webb
N, Postlethwaite RJ. Clinial Pediatric Nephrology. Edisi ke- 3. New York: Oxford
University Press, 2003. h. 73-102.
4. Trihono PP. Batu Saluran Kemih. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, dkk.
Kompendium Nefrologi Anak. Bandung 2011, h. 147 – 153.
5. Chaturvedi S, Liu ID, Ambarsari CG, K Prabhakaran and Yap HK. Urolithiasis And
Nephrocalcinosis. Dalam : Yap HK, Liu ID, Ng KH. Pediatric Nephrology On the go 2nd
Ed. Singapore 2015, hal. 147 – 161.
6. Miliner DS. Urolithiasis. Dalam: Anver ED, Harmon WE, Niaudet P, Yashikawa N, eds.
Pediatric Nephrology 6th Ed. Berlin 2009 h. 1405 - 1430

49
DIVISI NEFROLOGI

KERACUNAN JENGKOL

Pengertian
Keracunan jengkol adalah keracunan yang memakan buah jengkol yang menimbulkan
gejala-gejala klinis gejala kerusakan ginjal yang lain yang telah disebutkan.

Kriteria Diagnosis
Adanya riwayat makan jengkol, keluhan sakit perut, muntah, disuria, pernafasan dan urin
berbau jengkol yang khas, hematuria, disuria atau anuria, serta ditemukan kristal asam
jengkol dalam urin yang merupakan kriteria diagnostik yang cukup spesifik.

Langkah diagnosis
 Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan laboratorium/penunjang untuk mendukung diagnosis
 Cari ada komplikasi

Anamnesis
Secara klinis keracunan jengkol dapat dibagi dalam 3 tingkatan yaitu:
A. Ringan, bila terdapat keluhan ringan seperti sakit pinggang, kencing berwarna merah
B. Berat, bila disertai oliguria
C. Sangat berat, bila terjadi anuria atau tanda-tanda Acute Kidney Injury yang nyata.

Pemeriksaan Fisik
Anemia, bau nafas khas, pernafasan kussmaul, retensi urin

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium:
 Pada pemeriksaan urin dengan mikroskop terdapat kristal asam jengkol
 USG/Pielogravi intravena (PIV): ditemukan pelebaran ureter atau tanda-tanda
hidronefrosis akibat obstruksi

Tata laksana
Penanganan Medis
1. Ringan : diberikan minum yang banyak dengan penambahan air soda atau tablet sodium
bikarbonat kira-kira 1-2 meq/kgbb/hari atau sebanyak 1-2 gram/hari .
2. Berat : ditandai dengan oligouria/anuria maka penderita harus dirawat dan ditangani
sebagai kasus Acute Kidney Injury.
 Bila ditandai dengan retensi urin maka dilakukan kateterisasi urin, buli-buli dibilas
dengan larutan sodium bikarbonat 1,5%.
 Sodium bikarbonat diberikan 2-5 mEq/kgbb, sebaiknya disesuaikan dengan hasil
analisis gas darah (sesuai PPK AKI).
 Diuretik furosemid diberikan 1-2 mg/kgBB/hari.
 Bila cara-cara diatas belum berhasil atau terdapat tanda-tanda perburukan klinis
maka perlu dilakukan tindakan dialisis segera.

50
DIVISI NEFROLOGI

Tindakan Bedah
Bila terdapat obstruksi berat di uretra distal, terdapat kesulitan pemasangan katater, pada
retensi urin, dilakukan tindakan punksi buli-buli dengan jarum sayap ukuran besar atau jarum
sistofik no. l5 F, satu jari diatas simfisis pubis di garis tengah dengan sudut 45°. Selanjutnya
dilakukan pembilasan kandung kemih dan sebaiknya dipasang drainase secara tertutup. Bila
terdapat edema atau infiltrat urin di daerah batang penis atau skrotum dapat dilakukan
tindakan insisi pada bagian skrotum paling bawah

Edukasi
Menjelaskan penyebab, komplikasi dan prognosis keracuan jengkol

Prognosis
Prognosis pada umumnya baik, mortalitas dilaporkan sebesar 6% penderita meninggal dunia
sebab akibat Acute Kidney Injury

Kepustakaan
1. Taralan Tambunan, Keracunan Jengkol. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI,
Jakarta, 2002:231-241
2. Munadjat R. Sadatun. Soal keracunan jengkol. Maj Kedokt Indones. 1963;12:51-5
3. Suharjono, Sadatun. “ Djengkol” intoxication in children. Pediatr Indones. 1968;8:20- 9.
4. Tambunan T. Masalah keracunan pada anak. Naskah lengkap KPPIK X/FKUI. Jakarta:
FKUI; 1979. h. 32-40.

51
DIVISI NEFROLOGI

HEMODIALISA

Hertanti Indah Lestari, Eka Intan Fitriana

Pengertian
Hemodialisis (HD) adalah: Suatu proses pemisahan zat-zat tertentu (toksin uremik) dari
darah, melalui membran semipermeabel di dalam ginjal buatan yang disebut dialiser, dan
selanjutnya dibuang melalui cairan dialisis yang disebut dialisat.

Indikasi HD
A. Dialisis Akut
Indikasi: tergantung dari progresivitas dan beratnya penyakit. Dialisis akut dilakukan pada
GGA bila disertai gejala:
 Kelebihan cairan, seperti pada edema paru, CHF, hipertensi yang resisten terhadap
obat hipertensi, dan membantu pengeluaran cairan pada pasien oliguria/anuria.
 Keadaan serius yang mengancam hidup atau gangguan metabolik yang tidak dapat
dikontrol dengan obat.
B. Dialisis Kronis
Pada pasien Gagal Ginjal Terminal. Pada umumnya dilakukan secara efektif bila klirens
kreatinin menurun sampai 0,10-0,15 ml/menit/kgBB, atau 5-10 ml/menit/1,73 m2. Namun
dialisis harus dilakukan lebih dini bila ditemukan osteodistrofi ginjal, gangguan pertumbuhan
dan perkembangan atau timbul komplikasi akut seperti hiperkalemia yang tidak terkontrol,
kelebihan cairan, perikarditis, ensefalopati uremik dan neuropati uremik.

Persiapan Hemodialisa:
1. Pasien
a. Persiapan mental
 Memberitahu pada pasien bahwa akan dilakukan HD
 Memberi penjelasan dan motivasi mengenai proses HD dan komplikasi yang
mungkin terjadi selama HD.
b. Persiapan fisik: berat badan, keadaan umum, vital signs, laboratorium
c. Mengisi persetujuan untuk hemodialisa (informed consent)
2. Mesin Hemodialisa
3. Dialisat: adalah cairan yang digunakan pada proses HD, terdiri dari campuran air dan
elektrolit yang mempunyai konsentrasi hampir sama dengan serum normal dan
mempunyai tekanan osmotik yang sama dengan darah.
Komponen-komponennya:
 Bufer bikarbonat
 Kalsium dengan kadar rendah (1.25 mmol L-1) atau standar
 Konsentrasi glukosa pada kadar fisiologis
 Kontrol kualitas dialisat (germ dan endotoksin)
Fungsi Dialisat:
 Mengeluarkan dan menampung cairan serta sisa-sisa metabolisme dari tubuh.
 Mencegah kehilangan zat-zat vital dari tubuh selama dialisa.
4. Alat-alat dan obat.
a. Alat-alat:
 dyalizer (sesuai luas permukaan tubuh),

52
DIVISI NEFROLOGI

 blood line (sesuai permukaan tubuh),


 alat untuk akses vaskular seperti AV fistula, chronic double lumen (CDL)
b. Obat-obatan:
 lidokain, betadin, heparin, dll.
 Premedikasi: manitol, phenobarbital
 Priming atas indikasi: albumin, NaCl, transfusi

Proses Pelaksanaan Hemodialisa


1) Menyiapkan Akses vaskular
Untuk menghubungkan sirkulasi darah dari mesin dengan sirkulasi sistemik.
a. Akses vaskular sementara: digunakan pada pasien GGA atau GGK sementara
menunggu akses tetap dapat dipergunakan, atau pada pasien dialisis peritonel dan
transplantasi yang memerlukan HD sementara.
1. Kanulasi vena perkutan (vein to vein catheterization)
2. Pirau ateriovenosa
b. Akses vaskular tetap:
1. Fistula arteriovenosa
2. Arteriovenosa graft
2) Antikoagulansia, yaitu obat yang diperlukan untuk mencegah pembekuan darah selama
hemodialisa.
a. Heparin: - Dosis initial: 10-20 IU/kg
- Continuous infusion: 20-30 IU/kg/jam (500-2000 IU/jam)
b. Low molecular weight heparin: - Dosis initial: 1 mg/kg/bolus atau 25-100 IU/kg

3) Menyiapkan Prescription/setting HD
Frekuensi HD: 2-3 x/minggu dengan lama/durasi: 3-4 jam/sesión
1. Ultra Filtration Goal (UFG)
- Standar penurunan BW 1,5-2%/jam
- Tidak lebih dari 5% BW loss per whole session
- Memperhatikan berat badan kering pasien.
2. Ultra Filtration rate (UFR)
- Tidak melebihi 1,5 ±0,5% BW/jam
3. QB
- Extracorporeal blood flow rate harus cukup untuk mencapai target UFG
- Pada anak, QB= (BW(kg) + 10)x2,5 ml/min
- Total extracorporeal blood flow rate harusnya kurang dari 10% TBV (Total Blood
Volume), biasanya 8 ml/kg atau 150-200 ml/min/m2 (5-7 ml/min/kg)
- Dialisis session pertama: QB = 90 ml/m2 atau 3 ml/kg atau di bawahnya dengan
durasi tidak lebih dari 3 jam
4. QD
- Biasanya dalam range 300-800 ml/min (umumnya 500 ml/min)
5. Urea dyalitic Reduction Rate (URR)
URR= ratio post/pre HD, harusnya ≤ 0,35
URR= (selisih pre – post)/pre, harusnya ≥ 0,60
6. Kt/v mínimum target 1,2-1,4 Kt/v

53
DIVISI NEFROLOGI

Monitoring Hemodialisa:
Selama hemodialisa dilakukan monitoring tanda vital, seperti:
1. Arterial Blood Pressure
- Dimonitor dan dipertahankan antara 150-200 mmHg (tidak kurang dari
-150 mmHg)
2. Venous Return Pressure
- Dimonitor dan dipertahankan tidak melebihi +200 mHg)

Contoh: HD untuk anak 20 kg (6 tahun)


HD 1: - QB= 3 ml/kg  60 ml
- Atau QB= (BW+10)x2,5  75
- UFR= 1-2% BW/jam  200-400 ml/jam
- UFG max 5% BW  1000 ml
- Heparin loading = 10-20 IU/kg  400 IU
- Continuous heparin= 20-30 IU/kg/jam  500 IU/jam  1500 IU/3 jam
- Durasi: 3 jam
HD selanjutnya, frekuensi 3 x/mgg
- QB dinaikkan bertahap 5-7 ml/min/kg  100-140 ml/min

Komplikasi HD
1. Hipotensi: adalah komplikasi HD yang tersering karena volume darah pada anak
relatif lebih sedikit. Kondisi ini ditandai dengan mual-muntah yang tiba-tiba, kejang
perut dan takikardi. Hipotensi dapat diatasi segera dengan memberikan bolus cairan
infus plasma ekspander seperti: NaCL fisiologis, albumin atau manitol.
2. Sindrom disekuilibrium, yaitu: kumpulan gejala neurologis dan sistemik yang timbul
selama atau segera setelah HD. Manifestasi dini adalah: gelisah, sakit kepala, mual,
muntah, pandangan kabur dan twitching. Sindrom ini dapat dihindari dengan
mengurangi kecepatan pengeluaran zat-zat terlarut dengan mengurangi kecepatan
aliran darah dan membatasi lama dialisis, atau dengan memberi manitol.

Follow up Jangka Panjang


Pengawasan jangka panjang setiap pasien HD reguler sangat penting karena HD reguler ini
dapat mempengaruhi kualitas hidup optimal. Pengawasan tersebut berhubungan dengan
aspek medis, social dan professional, psikologis.
1. Aspek medis
Gangguan endokrin, malnutrisi, defisiensi imun, anemia, gangguan system
kardiovaskuler dan metabolisme.
2. Aspek sosial
3. Aspek psikologis
Sering terjadi perubahan kepribadian, cenderung depresi, dsb.

Kepustakaan
1. HK Yap, KH Ng, LPR Resontoc, KP Santhe. Hemodialysis. Dalam: Yap Hui-Kim, Liu
Isaac Desheng, Ng Kar-Hui, Penyunting. Pediatric Nephrology On The Go. Second
Edition. Singapore: Children’s Kidney Centre; 2012. h.395-409

54
DIVISI NEFROLOGI

2. Goldstein SL. Prescribing and monitoring hemodialysis for pediatric patients. Dalam:
Warady BA, Schaefer F, Alexander SR, eds. Pediatric dialysis. 2nd ed. London:
Springer, 2004. Hal: 313-20.

55
DIVISI NEFROLOGI

ASIDOSIS TUBULUS RENAL (ATR)

Hertanti Indah Lestari

Batasan
Asidosis tubulus renal (ATR) adalah sekelompok gangguan fungsi tubulus yang ditandai
gangguan reabsorbsi HCO3-, atau sekresi ion H+ atau keduanya, yang menyebabkan
kelainan berupa asidosis metabolik hiperkloremia dengan senjang anion normal. Gambaran
umum tergantung tipe ATR antara lain bikarbonaturia, berkurangnya ekskresi asam dan
ammonia, normokalemia, hipokalemia, atau hiperkalemia, gagal tumbuh, poliuria. Kelainan
ini bisa diturunkan atau didapat.

Klasfikasi
Tipe ATR dinamai berdasarkan lokasi kelainannya di sepanjang tubulus ginjal
 ATR tipe I (distal)
 ATR tipe II (proximal)
 ATR tipe IV (hiperkalemik)
Catatan: Klasifikasi lama menyebutkan ATR tipe III yaitu tipe gabungan antara I dan II,
sekarang tidak dipakai lagi.

ATR tipe I (distal)


 Disebabkan oleh berkurangnya sekresi asam di tubulus distal
 Etiologi ATR distal:
A. ATR distal primer
a. Persisten
- Klasik (sporadik atau diturunkan secara autosomal dominan atau resesif)
- Dengan tuli sensorineural (autosomal resesif)
- Dengan kehilangan bikarbonat (pada bayi dan anak kecil)
- ATR tipe distal inkomplit
b. Transien (pada neonatus dan bayi)
B. ATR distal sekunder
▪ Berhubungan dengan sindrom kelainan genetik (penyakit sickle-cell, ovalositosis
herediter, penyakit Wilson, hiperoksaluria primer tipe I, hiperplasia adginjal
kongenital)
▪ Kelainan metabolisme kalsium (hiperparatiroidism primer, hipertiroidism
hiperkalsemia, intoksikasi vitamin D, hiperkalsiuria idiopatik dengan
nefrokalsinosis, hipomagnesemia-hiperkalsiuria familial )
▪ Sindrom disproteinemik (hipergammaglobulinemia, krioglobulinemia, amiloidosis)
▪ Penyakit autoimun (lupus eritematosus sistemik, sindrom Sjorgen, hepatitis aktif
kronik, sirosis biliari primer, artritis reumatoid, dan lain-lain)
▪ Penyakit ginjal (nefropati obstruktif dan refluks, nefropati Balkan, rejeksi transplan)
▪ Keadaan hiponatriurik (sindrom nefrotik, sirosis hepatik)
▪ Obat dan toksin (amfoterisin B, litium, analgesik, amiloride, trimetoprim, dan lain-
lain)
▪ Manifestasi klinis:

56
DIVISI NEFROLOGI

− Hipokalemia disebabkan oleh kehilangan K+ melalui urin sebagai kation pengganti


untuk H+
− Hiperkalsiuria yang disebabkan oleh peningkatan pelepasan kalsium oleh tulang
sebagai buffer.
− Peningkatan pH urin, peningkatan kadar kalsium darah, dan tidak jarang terdapat
nefrokalsinosis dan nefrolitiasis.
 Diagnosis ATR tipe I jika didapatkan asidosis hiperkloremik SA normal, pH urin yang
tinggi (>5,5), kadang berhubungan dengan letargi, muntah, dehidrasi

ATR tipe II (PROKSIMAL)


 ATR tipe II disebabkan oleh penurunan ambang reabsorpsi bikarbonat (Tm) di tubulus
proksimal sehingga terjadi kehilangan bikarbonat ke dalam urin.
 Ambang reabsorbsi bikarbonat dapat turun menjadi 15mEq/L (15mmol/L). Pada
kelompok ini, jika melewati ambang batas tersebut maka tidak terjadi lagi reabsorbsi
bikarbonat.
 Bikarbonat hampir seluruhnya difiltrasi, sehingga dengan adanya defek ini akan
menyebabkan kehilangan bikarbonat yang besar.
 Jika bikarbonat serum turun sampai kurang dari 14-15 mEq/L (14-15 mmol/L) maka
mencapai ambang sehingga ginjal mulai dapat memproduksi urin yang asam. Dengan
demikian biasanya ATR proksimal lebih ringan dibandingkan tipe distal
 Diagnosis ATR tipe II ditegakkan dengan didapati keadaan asidosis metabolik dengan
pH urin < 5,5

ATR TIPE IV (HIPERKALEMIA)


 ATR tipe IV adalah sekelompok kelainan yang ditandai dengan asidosis dan
hiperkalemia
 Etiologi:
- Hipoaldosteronisme dengan renin rendah, misalnya pada uropati obstruktif, nefritis
lupus, transplantasi ginjal
- Hipoaldosteronisme dengan renin tinggi, misalnya defek adginjal primer (21OH-
defisiensi), atau akibat obat ACE inhibitor, siklosporin
- Resistensi aldosteron sekunder karena obat yang bersifat antagonis terhadap
aldosteron, misalnya diuretika (amilorid, spironolakton), siklosporin
- Resistensi aldosteron primer karena genetik, yaitu Pseudohipoaldosteronisme (PHA)
tipe I dan II
- Pada neonatus, kelainan seperti hyperplasia adrenal congenital atau cedera adrenal
oleh sebab apapun dapat menyebabkan ATR hiperkalemik.

Langkah diagnosis
Diagnosis ATR ditegakkan dengan:
a. analisis gas darah (pH, bikarbonat, dan defisit basa)
b. melihat senjang anion plasma:
 SA meningkat menunjukkan adanya produksi asam yang berlebihan (ketoasidosis,
asidosis laktat, intoksikasi salisilat) atau akibat pengeluaran asam yang menurun
(gagal ginjal akut maupun kronik)
 SA normal atau negatif biasanya terdapat pada gangguan saluran cerna (diare) atau
pada ATR

57
DIVISI NEFROLOGI

c. Membedakan tipe ATR: perlu diperiksa senjang anion urin, pH urin & kadar K plasma
 SA urin biasanya hampir nol atau positif
 ATR proksimal
❖ SA urin negatif (Na + K) < Cl atau normal
❖ pH urin <5,5
❖ Hipokalemia
 ATR distal
❖ SA urin positif (Na + K) > Cl
❖ ekskresi NH4+ tinggi
❖ pH >5,5
 ATR tipe IV (hiperkalemia)
❖ SA urin positif (Na + K) > Cl
❖ eksresi NH4+ rendah
❖ pH<5,5

Karakteristik Tipe I (Distal) Tipe II (Proksimal) Tipe IV

Defek primer Penurunan sekresi Penurunan reabsorbsi Defisiensi/


H+ di tubulus distal HCO3- di tubulus resistensi
proksimal aldosteron

pH urin pada >5,5 <5,5 <5,5


keadaan asidosis (bisa tinggi pada awal
penyakit)

Kadar HCO3- serum Bisa < 10 >15 >15


(mmol/L)

Fraksi ekskresi < 5% >15-20% selama <5%


HCO3- banyak beban HCO3-

Kadar K+ serum ↓ / ↓↓ N/↓ ↑

Nefrokalsinosis + - -

Gagal tumbuh + + +

Tatalaksana
Tipe I (Distal)
▪ Bikarbonat dosis rendah 1-3 mEq/kg/hari
▪ Koreksi K
▪ Pada tipe yang didapat, koreksi gangguan yang mendasari
Tipe II (Proksimal)
▪ Bikarbonat 10 mEq/kg/hari (5-20 mEq/kg/hari) Suplementasi kalium jika terdapat
hipokalemia.
58
DIVISI NEFROLOGI

▪ Terapi tambahan HCT 1,5-2 mg/kg/hari dapat mengurangi kebutuhan basa


▪ Terapi spesifik diperlukan jika ada penyebab yang mendasari
▪ Suplementasi fosfat dan vitamin D
▪ Modifikasi diet
Tipe IV
▪ Terapi hiperkalemia dengan pemberian diuretika (furosemide), kalsium dan insulin/glukosa.
▪ Jika diperlukan pemberian mineralokortikoid.
▪ Suplementasi basa untuk mengkoreksi asidosis metabolik (kalau perlu), dengan terlebih
dulu melakukan penanganan pada hiperkalemia

Daftar Pustaka
1. Hui J. Renal Tubular Disorders. Dalam : Chiu MC, Yap HK, eds. Practical Paediatric
Nephrology. Hongkong, 2005 : hal.196-208.
2. Quigle R. Renal Tunular Acidosis. Dalam : Anver ED, Harmon WE, Niaudet P,
Yoshikawa N, eds. Pediatric Nephrology. 6th Ed. Berlin, 2009: hal. 979-1003.
3. Ambarsari CG, Chaturvedi S, Liu ID and Yap HK. Renal Tubular Asidosis. Dalam: Yap
HK, Liu ID, Ng KH. Pediatric Nephrology On-The-Go. 2nd Ed. Singapore, 2015: hal. 129-
145.
4. Pardede SO, Trihono PP, Tambunan T. Gambaran klinis asidosis tubulus renalis pada
anak. Sari Pediatri 2003;4:192-7.
5. Sreedharan R, Avner ED. Renal tubular acidosis. In: Nelson Textbook of Pediatrics. 19th
ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.p.1808-11.
6. Tambunan T. Tubulopati. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono P, Pardede SO,
penyunting, Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002.
H.470-89.

59
DIVISI NEFROLOGI

INKONTINENSIA URIN

Hertanti Indah Lestari, Eka Intan Fitriana

Proses berkemih yang normal memerlukan seluruh komponen sistem saluran kemih bagian
bawah yang normal dan terkoordinasi, meliputi otot detrusor, leher buli-buli dan sfingter
uretra eksterna, yang berperan dalam proses pengosongan maupun pengisian urin dalam
buli-buli.
Secara fisiologis diperlukan 4 syarat berkemih secara normal yaitu: 1) kapasitas buli-
buli yang adekuat; 2) pengosongan buli-buli yang sempurna; 3) proses pengosongan
berlangsung di bawah control yang baik; 4) setiap pengisian dan pengosongan buli-buli tidak
berakibat buruk terhadap saluran kemih bagian atas dan fungsi ginjal.
Pengaturan persarafan berkemih meliputi susunan saraf pusat (korteks, pons), dan
sistem saraf tepi (simpatik pada T10-L1, parasimpatik dan persarafan somatik pada S2-S4).
Lesi pada sepanjang jalur saraf ini akan menyebabkan gangguan kandung kemih dan
inkontinens. Kontrol persarafan ini diperlukan saat tertidur dan sadar, sebagai respons
rangsangan tegangan kandung kemih.
Kandung kemih menyimpan urin secara efektif dengan peningkatan volume urin
secara lambat dan tekanan yang stabil. Kapasitas kandung kemih meningkat sesuai usia,
untuk anak usia 0-8 tahun, perkiraan kapasitas (usia + 1) x 30 ml. Berkurangnya kapasitas
kandung kemih (secara anatomi berkurang atau secara fungsional) menimbulkan
penyimpanan volume urin yang lebih sedikit dari normal dan predisposisi menjadi ngompol.
Ketika kapasitas kandung kemih telah tercapai, seseorang dapat merasakannya,
dalam kondisi normal akan memulai proses berkemih dengan relaksasi sfingter eksterna dan
otot dasar panggul sebelum kontraksi detrusor, mengeluarkan urin dengan aliran yang lancar
sampai selesai.
Gangguan berkemih yang berat menyebabkan aliran urin terhambat secara terus-
menerus dan terjadi peningkatan tekanan dalam kandung kemih, vesicoureteric junction
terbuka, menyebabkan reflux urin ke atas. Reflux ini menyebabkan infeksi saluran kemih
berulang dan kerusakan ginjal.

Beberapa terminologi gangguan berkemih pada anak:


Terminologi Definisi Manifestasi klinis

Urinary incontinence Keluarnya urin dari uretra Tidak dapat diterima secara
secara involunter sosial
Tanda neuropatik bladder

Primary nocturnal enuresis Basah selama tidur pada Biasanya dikatakan


(PNE) usia diatas 5 tahun dan tidak bermakna bila mengompol
pernah kering selama lebih terjadi 2 kali atau lebih dalam
dari 6 bulan 1 minggu.
Terdapat subgroup:
- Monosimptomatik
- Polisimptomatik

60
DIVISI NEFROLOGI

Secondary nocturnal Mengompol terjadi lagi Bisa dipengaruhi oleh stress,


enuresis (SNE) setelah masa kering lebih infeksi saluran kemih,
dari 6 bulan poliuria.
Sekitar 20% pengompol
mengalami secondary NE

Primary monosimptomatic Mengompol tanpa gejala Paling banyak terjadi


NE (PMNE) siang hari dan tanpa Insiden 6-7% dari anak usia
penyakit fisik 7 tahun, lebih banyak pada
anak laki dibanding wanita

Polysymptomatic NE (PSNE) Mengompol diperburuk 20-30% anak dengan NE


dengan gejala urgensi siang memiliki gejala siang hari
hari dengan/atau tanpa urge yang harus diterapi terlebih
incontinence dahulu

Urge syndrome/ Urge untuk berkemih yang Sebagian besar kering pada
Urge incontinence sering bersamaan dengan malam hari
(overactive bladder) basah. Insiden 20% pada anak
Sering tampak maneuver sekolah; 2% basah 2 kali
menahan seperti berjongkok. atau lebih per minggu

Dysfunctional voiding Berkemih yang tidak Dapat menyebabkan


terkoordinasi karena morbiditas yang bermakna :
overaktif sfingter eksterna - ISK berulang
dan otot dasar panggul - VUR sekunder
dengan aliran kemih yang - Renal scarring
terhambat, pemanjangan - Berkaitan dengan
waktu berkemih, dan konstipasi
pegosongan yang tidak
sempurna

Definisi
Definisi inkontinensia urin berdasarkan The International Continence Society adalah suatu
keadaan pengeluaran urin yang involunter, kencing tidak lancar dan tidak lampias, secara
objektif dapat diperagakan. Pengeluaran urin terjadi tanpa dapat dikendalikan meskipun
pasien berusaha menahannya, kencing sering menetes dan tidak lampias. Kondisi ini
merupakan masalah kesehatan dan sosial.

Patofisiologi
Secara fisiologis dalam setiap proses berkemih diharapkan empat syarat berkemih yang
normal terpenuhi, yaitu:
1) kapasitas buli-buli yang adekuat,
2) pengosongan buli-buli yang sempurna,
3) proses pengosongan berlangsung di bawah kontrol yang baik,
4) setiap pengisian dan pengosongan buli-buli tidak berakibat buruk terhadap saluran
kemih bagian atas dan ginjal.

61
DIVISI NEFROLOGI

Bila salah satu atau beberapa aspek tersebut mengalami kelainan maka dapat timbul
gangguan miksi yang disebut inkontinensia urin.
Gangguan persarafan pada saluran kemih bagian bawah terutama pada detrusor dan
sfingter buli-buli, dapat berupa hiperrefleksia atau arefleksia. Dengan demikian terdapat 4
pola kelainan proses berkemih:
a. Hiperrefleksia detrusor disertai hiperrefleksia sfingter
b. Hiperrefleksia detrusor dengan hipo atau arefleksia sfingter
c. Hipo atau arefleksia detrusor dengan hiperrefleksia sfingter, dan
d. Hipo / arefleksia detrusor disertai hipo / arefleksia sfingter.
Gejala dan tanda klinis tersebut diatas dapat terjadi siang hari, malam atau kedua-duanya,
dapat pula timbul secara persisten, sekali sehari atau kadang sekali seminggu atau dapat
pula secara sporadic.

Etiologi
Inkontinensia urin dapat bersifat sementara tetapi lebih sering bersifat kronik dan
progresif. Berdasarkan pendekatan diagnostik dari hasil pemeriksaan miksio-sisto
uretrografi (MSU) dan urodinamik, inkontinensia urin digolongkan dalam 3 bagian, yaitu :
1. Disfungsi sfingter: buli-buli neuropati
a. Malformasi congenital seperti mielomeningokel, accult spinal dysraphism malformasi
daerah sacrum, tethered cord syndrome.
b. Kelainan saraf didapat, misalnya spatisitas serebral, sklerosis multiple, sindrom
Giullain-Barre, radikulitis, trauma medulla spinalis, infeksi, tumor, malformasi vascular
medulla spinalis dan sebagainya.
c. Kelainan congenital pada otot polos seperti dysplasia neuronal pada sindrom
megakolon-megasistis
d. Kelainan congenital pada otot lurik (otot bercorak) seperti distrofia maskular
Duchenne, spinal muscular atrophy dan amyotropic lateral sclerosis
2. Disfungsi sfingter: buli-buli non neuropati
a. Dapat diklasifikasikan (classifiable), misalnya sindrom Urge, lazy bladder syndrome,
sindrom fowler
b. Tidak dapat diklasifikasikan (non-classifiable), misalnya inkontinensia Giggle, sindrom
Hinman, sindrom Ochoa dan sebagainya.
3. Kelainan struktural atau anatomik
a. Kelainan kongenital seperti ekstrofia, epispadia, ureterokel, kelainan pada trigonum
mampu leher buli-buli, katup uretra posterior (KUP) sindrom prune belly dan
sebagainya
b. Kelainan didapat misalnya trauma yang menyebabkan striktur atau kerusakan
sfingter, hiperkalsiuria, distensi kronik maupun fibrosis buli-buli.

Manifestasi Klinik
- Manifestasi klinik IU sangat bervariasi tergantung pada intensitas dan kombinasi
kelainan urodinamik yang ditemukan terutama fungsi otot detrusor buli-buli (hipo atau
heperrefleksia) dan sfingter buli-buli (hiperrefleksia atau arefleksia).
- Manifestasi terpenting biasanya berupa beser yaitu timbulnya rangsangan berkemih
secara mendadak dan tidak dapat ditahan, namun kencing sering tertahan atau tiba-
tiba berhenti.
- Pada disfungsi sfingter buli-buli neuropatik (neurogenic bladder sphincter
dysfunction) sering ditemukan malformasi congenital berupa spinal dysraphism; yang

62
DIVISI NEFROLOGI

tersering adalah spina bifida. Dapat juga berupa lipoma subkutan, hair tuft, celah
gluteal yang abnormal atau terdapatnya, dimple pada daerah lumbosakral.

Langkah diagnosis
Anamnesis
- pola berkemih, ada tidaknya mengompol, frekuensi dan volume urin,
- kebiasaan defekasi dan
- pola kepribadian
Pemeriksaan fisik:
- perkembangan psikomotor
- inspeksi daerah urogenital dan punggung,
- refleks lumbosakral dan
- pengamatan langsung terhadap pola berkemih.
Enuresis / mengompol ditandai pola berkemih yang normal tetapi terjadi pada waktu
dan tempat yang tidak semestinya misalnya berkemih saat tidur. Inkontinensia urin
ditandai dengan pola berkemih yang normal.
Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan laboratorium: urinalisis, biakan urin, kimia darah dan uji fungsi ginjal.
- Ultrasonografi digunakan sebagai pemeriksaan penyaring, sekaligus untuk
menentukan kapasitas fungsional buli-buli dan residu urin.
- Pemeriksaan miksiosistoureterografi (MSU) kadang diperlukan.
- Pemeriksaan urodinamik hanya diperlukan pada sekitar 20% kasus.

Tata laksana
Penanganan yang adekuat meliputi pengosongan buli-buli dengan baik, penurunan tekanan
intravesika, pencegahan ISK, serta penatalaksanaan inkontinensianya baik berupa
medikamentosa seperti oksibutinin atau tolterodin maupun tindakan urologik seperti
sistoplastik, pemasangan sfingter artifisial atau hanya sekedar clean intermittent
catheterisation.
Ada 4 aspek yang perlu diperhatikan yaitu:
1. Prioritas utama adalah memelihara fungsi ginjal.
2. Penanganan ditujukan terhadap kelainan yang nyata
3. Penanganan harus realistis dengan memperhatikan kondisi neurologis yang
ditemukan
4. Penanganan terhadap infeksi yang menyertai inkontinensia urin.
Penanganan dibagi dalam 2 bagian yaitu:
1. Penanganan non farmakologik.
Penanganan non farmakologik meliputi terapi kognitif dan prilaku, menjelaskan fungsi
kandung kemih, belajar mengenali sensasi berkemih dan menghilangkan upaya
menahan kencing (holding manoeuvres). Penanganan non farmakologik dapat
berupa:
a. Rehabilitasi fungsi buli-buli, mengatasi konstipasi dan fisioterapi
b. Biofeedback. Pelatihan melalui biofeedback untuk mengajarkan cara
mengatur kontraksi otot-otot untuk menahan kencing dan latihan relaksasi
otot dasar panggul saat pengosongan buli-buli.
c. Kateterisasi intermitten (clean intermittent catheterization = CIC), terutama
terhadap kasus dengan buli-buli neurogenik.

63
DIVISI NEFROLOGI

d. Tindakan bedah. Meliputi peningkatan kapasitas buli-buli dan perbaikan


fungsi sfringter buli-buli.
2. Terapi Farmakologik.
Obat antikolinergik seperti oksibutinin (0,2 mg/ kgbb/kali, 2-3x/hari) dan tolterodin
(0,05 mg/kgbb/kali, 2 x sehari) cukup bermanfaat terutama pada kasus hiperaktivitas
detrusor buli-buli (overactive bladder = OAB). Pemakaian obat-obat tersebut harus
berhati-hati karena efek samping yang mungkin terjadi misalnya sakit kepala,
penglihatan kabur, mulut kering, konstipasi. Penanganan terhadap ISK harus segera
dan adekuat.

Prognosis
Prognosis tergantung etiologi, diagnosis dini dan penanganan adekuat

Daftar pustaka
1. Tambunan T. Inkontinensia Urin pada Anak. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA,
Subandiyah K, dkk. Kompendium Nefrologi Anak. Bandung 2011, h. 141-144.
2. Tambunan T. Inkontinensia Urin. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,
Pardede SO. Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2. Jakarta 2002, hal 309-322.
3. Ming Chao. Enuresis and voiding disorders. Dalam: Chiu M.C, Yap H.K, penyuting.
Practical paediatric nephrology. Hongkong: Medcom ltd; 2005. h. 171-8.
4. Evans J, Shenoy M. Disorders of micturition. Dalam: Web N, Postlethwaite R,
penyunting. Clinical paediatric nephrology. Edisi ke-3. New York: Oxford University
Press; 2003. h. 163-77.
5. Mitchell ME, Balcom AH. Bladder Dysfunction in Children. Dalam: Anver ED, Harmon
WE, Niaudet P, Yashikawa N, eds. Pediatric Nephrology 6th Ed. Berlin 2009 h.1379 –
1403.

64
DIVISI NEFROLOGI

ENURESIS

Hertanti Indah Lestari, Eka Intan Fitriana

Pengertian
Masalah ngompol tersering adalah nocturnal enuresis atau mengompol malam hari. Enuresis
yang menetap dan paling sedikit satu kali perminggu pada umur di atas 5 tahun untuk anak
perempuan dan 6 – 10 tahun untuk anak laki-laki. Insidens dari NE sekitar 6-10% pada usia
7 tahun.

Etiologi
- Keterlambatan pematangan dan perkembangan kandung kemih
- Gangguan pola tidur
- Psikopatologi dan stress lingkungan
- Gangguan urodinamik
- Penyakit organik pada traktus urinarius
- Abnormalitas sekresi sikardian hormon antidiuretik (ADH)

Kriteria Diagnosis
Anamnesis
a. Menentukan tipe dan beratnya enuresis:
- Sejak kapan mengompol
- Waktu terjadinya (siang atau malam)
- Apakah sedang dalam keadaan tidur atau bangun
- Pancaran air kemih
- Urgensi enuresis
- Apakah intermitten atau terus-menerus
- Apakah pernah mengalami konstipasi atau enkopresis

b. Menentukan gangguan berkemih merupakan masalah tersendiri atau berhubungan


dengan patologi lain yang membutuhkan tatalaksana spesifik yang cepat seperti ISK,
neuropati, keadaan poliuria(pada diabetes), obstructive sleep apnea
c. Menilai dampak psikososial dari ngompol pada pasien dan keluarganya
- Keadaan psikososial anak dan keluarga
- Riwayat enuresis pada orangtua atau saudara

Langkah diagnosis
Pemeriksaan Fisik
• Pada pemeriksaan fisik biasanya tidak ditemukan kelainan.
• Keadaan umum : perilaku/aktivitas, tekanan darah
• Pemeriksaan abdomen : massa feses, distensi kandung kemih, keluarnya urine
dengan kompresi suprapubik
• Inspeksi area genital : gangguan anatomis, perineum lembab
• Tanda- tanda gangguan spinal : adanya herald patch (adanya rambut, dimple, nevus,
sinus), palpasi apakah terdapat gangguan spinal
• Defek neurologis : pes cavus, dan abnormalitias refleks lumbosakral

65
DIVISI NEFROLOGI

• Refleks perifer, sensasi perineal (refleks kremaster dan anal) dan tonus anal, cara
berjalan dan tulang belakang (kelainan medula spinalis)
Pemeriksaan penunjang
• Laboratorium: analisis air kemih, berat jenis air kemih, biakan urin, fungsi ginjal
• USG ginjal dan saluran kemih
• Uroflowmetri dan scan kandung kemih, dapat dilakukan untuk mengetahui residu urin
sebagai uji skrining untuk fungsi kandung kemih. Residu urin lebih dari 10% dari total
volume urin yang dikeluarkan menunjukkan pengosongan yang tidak komplit
• Studi urodinamik, micturiting cystourethrogram, DMSA scan sesuai indikasi
• Foto polos tulang belakang

Diagnosis Banding
 ISK
 Kelainan kongenital saluran kemih: Ureter ektopik, Epispadia, Sinus urogenital persisten
 Nefropati obstruktif
 Kandung kemih neurogenik
 Kandung kemih disinergik

Tatalaksana
Melibatkan tim dokter multi-disiplin, nefrologis, urologis, dan terapis.

Non farmakologik
1. Memberikan motivasi (mengurangi minum pada malam hari, membangunkan anak
pada malam hari untuk miksi di kamar mandi, memberikan pujian atau penghargaan
bila anak tidak mengompol)
2. Mengubah kebiasaan, latihan menahan miksi. Tujuannya untuk memperbesar
kapasitas kandung kemih
3. Alarm enuresis, bell and pad (beberapa tetes pertama air kemih mnyebabkan alarm
berbunyi dan anak terbangun dari tidur, kemudian menyelesaikan miksi di kamar
mandi).

Farmakologik
1. Antikolinergik: Oxybutinin (ditropan) atau antikolinergik lainnya menurunkan atau
menghilangkan efek kontraksikandung kemih. Dosis yang dipakai untuk anak-anak di
atas 6 tahun 2 – 3 x 5 mg
2. Desmopresin, merupakan vasopresin sintesis DDAVP (1-desamino-8-D-arginine
vasopresin), analog dengan AVP (arginine vasopresin). Bekerja dengan cara
mengurangi produksi air kemih, sehingga efek sampingnya adalah hiponatremia
akibat retensi air. Dosis 10 – 40 μg/intranasal 2 – 4 semprot sebelum tidur atau tablet
0,2 – 0,4 mg. Tiap semprot intranasal mengandung 10μg desmopresin
3. Anti depresan: imipramin (tofranil) 25–100 mg atau 1–2 mg/kgBB, dosis tunggal 1–2
jam sebelum tidur selama 1 – 2 minggu. Bila belum menunjukkan hasil diteruskan
paling sedikit sampai 6 bulan dengan mengurangi dosis setiap 3 – 4 minggu. Tidak
dianjurkan untuk anak di bawah 6 – 7 tahun

66
DIVISI NEFROLOGI

Prognosis
 Indikasi pemberian terapi farmakologik/intervensi adalah keinginan orangtua dan anak.
 Enuresis yang tidak diobati akan sembuh spontan 10 – 20% pertahun

GANGGUAN BERKEMIH SIANG HARI


Lebih banyak pada perempuan.
Gejala tersering: sindrom frekuensi/ urgensi dengan atau tanpa inkontinens.
Patofisiologi mendasar adalah overaktif kandung kemih.
Tata laksana
- Tata laksana utama adalah edukasi bladder retraining comprising, berkemih terjadwal dan
dukungan positif
- Obat anti-kolinergik (Oxybutynin) atau anti-muskarinik (Tolterodine) sebagai relaksan
kandung kemih dapat berguna sebagai tambahan. Efek samping yang sering adalah mulut
kering, flushing, konstipasi dan somnolen dan mungkin perlu penyesuaian dosis

DISFUNGSI BERKEMIH
Terjadi karena gangguan perilaku berkemih yang disebabkan karena adanya gangguan dari
dasar pelvis dan kontraksi spinkter eksterna.
Terdapat beberapa macam yang dikonfirmasidengan uroflowmetri atau studi urodinamik:
a. Staccato voiding: buang air kecil yang sedikit-sedikit, inkomplit dan lama
b. Lazy Bladder: akibat dari disfungsi yang terlalu lama sehingga kapasitas vesika urinaria
besar tetapi tekanannya kurang sehingga berkemih lama dan tidak komplit.
c. Detrusor-sphincter dyssynergia: jarang terjadi namun merupakan gangguan berkemih
yang paling berat karena menyebabkan kerusakan ginjal karena terjadi refluks
vesikoureter, infeksi saluran kemih berulang dan skar ginjal.
Tata laksana
- berkemih terjadwal, konstipasi diterapi, terapi biofeedback (mengajarkan pasien untuk
merelaksasi otot berkemih menggunaakan rangsangan visual dan auditori),
- obat anti-kolinergik (Oxybutynin) atau anti-muskarinik (Tolterodine), antibiotik profilaksis,
- kateterisasi intemiten
- konsul urologi jika indikasi

Kepustakaan
1. Chao SM. Enuresis and Voiding Disorders. Dalam : Chiu MC, Yap HK, penyuting.
Practical Paediatric Nephrology An Update of Current Practices. Hongkong 2005, hal
171-178.
2. Sekarwana N. Enuresis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO.
Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2. Jakarta 2002, hal 291-308.
3. Ming Chao. Enuresis and voiding disorders. Dalam: Chiu M.C, Yap H.K, penyuting.
Practical paediatric nephrology. Hongkong: Medcom ltd; 2005. h. 171-8.
4. Evans J, Shenoy M. Disorders of micturition. Dalam: Web N, Postlethwaite R,
penyunting. Clinical paediatric nephrology. Edisi ke-3. New York: Oxford University
Press; 2003. h. 163-77.
5. Sekarwana Nanan, Enuresis. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta,
2002:291-307

67
DIVISI NEFROLOGI

6. Mitchell ME, Balcom AH. Bladder Dysfunction in Children. Dalam: Anver ED, Harmon
WE, Niaudet P, Yashikawa N, eds. Pediatric Nephrology 6th Ed. Berlin 2009 h.1379 –
1403.

68
DIVISI NEFROLOGI

NEUROGENIC BLADDER

Hertanti Indah Lestari, Eka Intan Fitriana

Definisi
Neurogenic bladder merupakan kelainan fungsi kontrol kandung kemih akibat kerusakan
saraf.Sebagian besar neurogenic bladder pada anak disertai dengan disfungsi uretra.

Etiologi
Penyebab neurogenic bladder pada anak meliputi:
a. Defek saat lahir pada otak atau medulla spinalis seperi myelomeningokel, spina bifida
occulta, agenesis sakrum, tertariknya medulla spinalis (tethering of the cord)
b. Myelitis tranversa
c. Neuropati otonom
d. Trauma pada otak atau medulla spinalis
e. Tumor medulla spinalis
f. Neurogenic bladder non-neurogenik
g. Etiologi lain yang belum diketahui

Patofisiologi
Terdapat dua mekanisme utama dalam patofisiologi neurogenic bladder, yaitu kelainan
fungsi pengisian kandung kemih, atau kelainan fungsi pengosongan kandung kemih.
A. Penyebab kelainan fungsi pengisian kandung kemih yaitu:
a. Gangguan regangan otot kandung kemih akibat kehilangan viskoelastisitas otot
kandung kemih. Infeksi, trauma dan overdistensi dapat menyebabkan kerusakan
otot kandung kemih
b. Hiperrefleks otot destrusor akibat kontraksi involunter otot destrusor
c. Kerusakan mekanisme pada bagian distal sfingter dan leher kandung kemih.
B. Penyebab kelainan fungsi pengosongan kandung kemih yaitu:
a. Kegagalan dalam kontraksi otot destrusor yang efektif
b. Kegagalan leher kandung kemih untuk membuka saat terjadi kontraksi otot
destrusor
c. Disinergi sfingter destrusor
Langkah diagnosis
Anamnesis
- gejala sugestif terjadinya disfungsi kandung kemih yaitu keinginan untuk BAK yang sering
dengan jumlah urin sedikit/ menetes, inkontinensia urin saat terjadi peningkatan tekananan
intraabdomen seperti batuk atau tertawa, kesulitan dalam pengosongan kandung kemih,
riwayat infeksi saluran kemih berulang
- riwayat kelahiran seperti riwayat ibu dengan DM tipe 1,
- riwayat gangguan perkembangan, prematuritas,
- riwayat kejang, riwayat ensefalopati
- kebiasaan urinasi dan defekasi pada anak
Pemeriksaan fisik
- Inspeksi dan palpasi pada tulang belakang seperti perabaan masa kistik, agenesis sakrum
- Penilaian sensasi perianal dan perineal, tonus sfingter ani dan refleks bulbuskavernosus
dan anokutaneus

69
DIVISI NEFROLOGI

- Pemeriksaan neurologis pada ekstremitas bawah, meliputi pemeriksaan sensoris dan


motoris untuk menentukan tinggi lesi
Pemeriksaan penunjang
- USG ginjal dan kandung kemih; untuk melihat dilatasi pelvicalyceal, dilatasi ureter dan
ketebalan dinding kandung kemih
- Sistouretrogram; untuk melihat refluks vesiko-ureter, trabekulasi dinding kandung kemih
- Pemeriksaan urodinamik; untuk melihat komplians kandung kemih, aktivitas destrusor,
kapasitas kandung kemih, tekanan intravesika, dan leak point pressure (jika > 40 cmH2O
maka berhubungan dengan perubahan struktur saluran kemih)
Evaluasi dan follow up
- Pemeriksaan urinalisis dan kultur urin
- USG ginjal
- Pemerikaan kadar ureum, kreatinin, elektrolit, dan biakrbonat darah
- Eksklusikan adanya alergi lateks yang dapat memicu anafilaksis berat

Tatalaksana
Tujuan tatalaksana neurogenic bladder yaitu:
• mempertahankan fungsi ginjal dengan mecegah kerusakan akibat tekanan ke ginjal dan
infeksi saluran kemih
• meningkatkan kontinensia
• meningkatkan kualitas hidup.
Tatalaksana meliputi:
 Pemasangan kateter urin
Merupakan pilihan utama untuk tatalaksana pengosongan kandung kemih pada anak
dengan neurogenic bladder. Penggunaan kateter dengan interval teratur, yakni 4-5
kali per hari selama 3 jam.
 Medikamentosa
- Oxybutinin; merupakan obat antikolinergik dan antispasme. Dosis < 5tahun: 0.2
mg/kg/dosis tiap 8-12 jam. Dosis >5 tahun: 2.5 – 5 mg tiap 8-12 jam
- Tolterodine; merupakan obat antikolinergik. Dosis 0.05 mg/dosis tiap 12 jam.
Dosis dewasa: 2 mg tiap 12 jam. Pada dewasa dapat mencapai 2-4 mg/hari
- Phenoxybenzamine; merupakan obat penghambat alpha-1
 Terapi bedah
Beberapa terapi bedah dapat menjadi pilihan terapi neuorogenic bladder yaitu
augmentasi kandung kemih, vesikostomi, ablasi sfingter, diversi urinarius dan
pemasangan stoma kateterisasi kontinen
Pencegahan infeksi saluran kemih pada neurogenic bladder
 Hindari stagnasi urin dengan penggunaan kateter urin intermiten
 Pemasangan kateter urin intermiten yang bersih dan steril
 Atasi konstipasi kronis
 Pemeriksaan urinalisis rutin untuk melihat adanya bakteriuria

Komplikasi
a. Obstruksi aliran keluar urin
b. Refluks vesiko-ureter
c. Infeksi saluran kemih berulang

70
DIVISI NEFROLOGI

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad functionam : dubia ad bonam/malam

Daftar pustaka
1. Lau PYW. Neurogenic Bladder. Dalam : Chiu MC, Yap HK, penyuting. Practical
Paediatric Nephrology An Update of Current Practices. Hongkong 2005, hal 185-190..
2. Chao SM. Enuresis and Voiding Disorders. Dalam : Chiu MC, Yap HK, penyuting.
Practical Paediatric Nephrology An Update of Current Practices. Hongkong 2005, hal
171-178.
3. Tambunan T. Inkontinensia Urin pada Anak. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA,
Subandiyah K, dkk. Kompendium Nefrologi Anak. Bandung 2011, h. 141-144.
4. Tambunan T. Inkontinensia Urin. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede
SO. Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2. Jakarta 2002, hal 309-322.
5. Mitchell ME, Balcom AH. Bladder Dysfunction in Children. Dalam: Anver ED, Harmon
WE, Niaudet P, Yashikawa N, eds. Pediatric Nephrology 6th Ed. Berlin 2009 h.1379 –
1403.

71
DIVISI NEFROLOGI

72
DIVISI NEUROLOGI

8
NEUROLOGI
Syarief Darwin, Msy Rita Dewi, RM Indra

1. Kejang Demam
2. Meningitis Bakterialis
3. Meningitis Tuberkulosa
4. Ensefalitis
5. Peningkatan Tekanan Intrakranial
6. Tetanus pada Bayi dan Anak
7. Epilepsi
8. Tata Laksana Kejang Akut dan Status Epileptikus
9. Poliomyelitis Paralitika
10. Myelitis Transversa
11. Sindroma Guillain-Barré
12. Abses Otak
13. Acute Disseminated Encephalo Myelitis (ADEM)
14. Nyeri Kepala pada Anak dan Remaja
15. Trauma Kepada pada Anak
16. Sturge Weber Syndrome
17. Prosedur Pungsi Lumbal
18. Ensefalitis Autoimun

1
DIVISI NEUROLOGI

2
DIVISI NEUROLOGI

KEJANG DEMAM

Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun
yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 380C, dengan metode pengukuran suhu
apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial.

Keterangan:
 Tidak termasuk kejang demam apabila: terdapat gangguan elektrolit atau metabolik
lainnya, terdapat riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.
 Usia anak dengan kejang demam hampir keseluruhan antara 6 bulan sampai 5 tahun.
ILAE (1993) menggunakan batasan usia lebih dari 1 bulan masih dapat mengalami kejang
demam. Usia < 1 bulan tidak termasuk kejang demam, melainkan kejang neonatus.

Klasifikasi
1. Kejang demam sederhana (80%)
Kejang demam yang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit), bentuk kejang umum
(tonik dan atau klonik), serta tidak berulang dalam waktu 24 jam.Sebagian besar kejang
demam sederhana berlangsung kurang dari 5 menit dan berhenti sendiri.
2. Kejang demam kompleks
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut:
a. Kejang lama (>15 menit)
b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam.

Anamnesis
1. Kejang demam biasanya terjadi pada awal demam.
2. Umumnya serangan kejang tonik-klonik. Bentuk kejang lain dapat juga terjadi namun
jarang.
3. Riwayat perkembangan, riwayat keluarga kejang atau epilepsi.
4. Adanya penyebab demam misalnya ISPA, diare dan lain-lain

Pemeriksaan fisis
1. Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara teliti dan diulang secara periodik, terutama
untuk menyingkirkan ensefalitis atau meningitis: derajat kesadaran, adanya
meningismus, ubun-ubun besar yang tegang atau membonjol, tanda Kernig atau

3
DIVISI NEUROLOGI

Brudzinski, kekuatan dan tonus, harus diperiksa dengan teliti dan dinilai ulang secara
periodik.
2. Adanya tanda-tanda infeksi misalnya faringitis, otitis media dan lain-lain

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis, serta telah
menyingkirkan kemungkinan lain seperti ensefalitis, meningitis, epilepsi dan lain-lain

Pemeriksaan penunjang
1. Tanda klinis meningitis yang tipikal biasanya sulit diperoleh pada bayi kurang dari 12-18
bulan, sehingga pungsi lumbal sangat dianjurkan pada bayi berumur kurang dari 12 bulan
dan dianjurkan pada penderita berumur kurang dari 18 bulan.
2. Indikasi pungsi lumbal (level of evidence 2, derajat rekomendasi B):
a. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
b. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
klinis
c. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya telah
mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut dapat mengaburkan tanda dan
gejala meningitis.
3. Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat
dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah perifer, elektrolit, dan
gula darah.
4. Pemeriksaan EEG tidak diperlukan, dapat dipertimbangkanpada bangkitan fokal
5. Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI) tidak rutin dilakukan kecuali terdapat
indikasi seperti kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya hemiparesis atau
paresis nervus kranialis.

Tata Laksana
A. Terapi saat kejang
Terapi saat kejang dilakukan mengikuti panduan penatalaksanaan kejang akut dan status
epileptikus. Pasien dengan kejang demam dapat dibekali diazepam rektal untuk
mengatasi kejang di rumah.

B. Pemberian obat pada saat demam


1. Antipiretik
Dapat diberikan parasetamol dengan dosis 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam
atau ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.

4
DIVISI NEUROLOGI

2. Antikonvulsan
a. Pemberian obat antikonvulsan intermiten
Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan
yang diberikan hanya pada saat demam. Obat yang digunakan adalah diazepam
oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12
kg dan 10 mg untuk berat badan >12 kg), sebanyak 3 kali sehari dengan dosis
maksimal 7,5 mg/kali. Pemberian hanya selama 48 jam pertama
demam.Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam dengan salah
satufaktor risiko di bawah ini:
 Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
 Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
 Usia <6 bulan
 Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
 Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat
dengan cepat.
Perlu informasikan pada orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat
menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.

b. Pemberian obat antikonvulsan rumat


Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan
obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka pengobatan
rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek (level of
evidence 3, derajat rekomendasi D).

Indikasi pengobatan rumat:


1) Kejang fokal
2) Kejang lama >15 menit
3) Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah
kejang,misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.
Keterangan:
 Kelainan neurologis tidak nyata, misalnya keterlambatan perkembangan,
BUKAN merupakan indikasi pengobatan rumat.
 Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai
fokus organik yang bersifat fokal.
 Pada anak dengan kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi untuk
pemberian terapi profilaksis intermiten terlebih dahulu, jika tidak
berhasil/orangtua khawatir dapat diberikan terapi antikonvulsan rumat.

5
DIVISI NEUROLOGI

Jenis antikonvulsan dan lama pengobatan rumat


1) Obat antikonvulsan yang dianjurkan untuk pengobatan rumatan adalah asam
valproat dengan dosis 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis atau fenobarbital
3-4 mg/kg/hari dibagi dalam 1-2 dosis.
2) Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku
dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam
valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumurkurang dari 2
tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati.
3) Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat untuk
kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat
anak tidak sedang demam.

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila anak kejang


1. Tetap tenang dan tidak panik.
2. Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
3. Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat muntah, bersihkan muntahan
atau lendir di mulut atau hidung.
4. Walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat kecil) lidah tergigit, jangan
memasukkan sesuatu kedalam mulut.
5. Ukur suhu, observasi, dan catat bentuk dan lama kejang.
6. Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang.
7. Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari 5 menit. Jangan berikan
bila kejang telah berhenti. Diazepam rektal hanya boleh diberikan satu kali oleh orangtua.
8. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih, suhu tubuh
lebih dari 40 derajat Celsius, kejang tidak berhenti dengan diazepam rektal, kejang fokal,
setelah kejang anak tidak sadar, atau terdapat kelumpuhan.

Prognosis
Kecacatan atau kelainan neurologis
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan sebagai komplikasi
kejang demam tidak pernah dilaporkan. Dapat terjadi paresis motorik yang bersifat
sementara (Todd’s paresis).

Faktor risiko terjadinya epilepsi


Faktor risiko menjadi epilepsi di kemudian hari adalah:
1. Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam
pertama

6
DIVISI NEUROLOGI

2. Kejang demam kompleks


3. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung
4. Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam satu tahun.
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4-6%,
kombinasi dari faktor risiko tersebut akan meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10-
49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumatan
pada kejang demam.

Kepustakaan
1. Ad Hoc Task Force of LICE Guidelines. Epilepsia.2009 Recommendations for the
management of febrile seizures: 50(1):2-6.
2. American Academy of Pediatrics. Subcommittee on Febrile Seizure. Pediatrics.
2011;127(2):389-94.
3. Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo DP, Mangunatmajda I, Handryastuti S.
Rekomendasi penatalaksanaan kejangdemam. UKK neurologi IDAI. Jakarta : Balai
Penerbit IDAI;2016.
4. National Institute of Health. Febrile seizure: Consensus development conference
statementsummary.Pediatrics. 1980;66:1009-12.
5. ILAE Guidelines. Commision on Epidemiology and Prognosis, International League
AgainstEpilepsy. Guidelines for Epidemiologic Studies on Epilepsy. Epilepsia.
1993:34:592-6.
6. American Academy of Pediatrics. Febrile seizure. 2012.
7. Hesdorffer DC, Benn EK, Bagiella E, Nordli D, Pellock J, Hinton V, dkk. Ann
Neurol.2011;70(1):93-100.
8. Berg AT, Shinnar S. Epilepsia. 1996;37(2):126-33.
9. Kesepakatan UKK Neurologi IDAI. 2016.
10. Sugai K. Brain Dev. Recommendations for the management of febrile seizures: Ad Hoc
Task Force of LICE.2010;32:64-70.

7
DIVISI NEUROLOGI

MENINGITIS BAKTERIALIS

Pengertian (Definisi)
Meningitis bakterialis adalah suatu peradangan selaput otak yang disebabkan oleh bakteri
patogen, ditandai dengan peningkatan jumlah sel polimorfonuklear dalam cairan
serebrospinal dan terbukti adanya bakteri penyebab infeksi dalam cairan serebrospinal.

Anamnesis
1. Demam
2. Sakit kepala
3. Muntah
4. Penurunan kesadaran
5. Kaku kuduk
6. Kejang
7. Fotofobia
8. High pitch cry pada bayi

Pemeriksaan fisis
1. Suhu febris
2. Penurunan kesadaran ditandaai dengan penurunan GCS
3. Gejala rangsang meningeal
4. Gangguan syaraf otak
5. Poor muscle tone
6. UUB menonjol

Tanda klasik meningitis adalah gejala iritasi meningeal meliputi:


Kaku kuduk : jarang terjadi pada bayi namun menjadi ciri utama meningitis pada
anak yang lebih tua.
Tanda Kernig : paha ditekuk ke arah perut, ekstensi pasif lutut menghasilkan rasa
sakit di belakang dan tidak dapat dilakukan mencapai 135o
Tanda Brudzinski I : fleksi pasif pada leher menghasilkan fleksi pada kedua tungkai
bawah
Tanda Brudzinski II : fleksi pasif pada ekstremitas bawah akan disertai fleksi tungkai di
sebelahnya
Tanda tripod : pada posisi duduk, anak menopang tubuhnya dengan kedua
lengannya
Knee-kiss sign : anak tidak bisa membungkuk untuk mencium lututnya.

8
DIVISI NEUROLOGI

Kriteria Diagnosis
1. Gejala klinis
2. Pungsi lumbal

Diagnosis
Meningitis bakterialis didiagnosis berdasarkan gejala klinis dan temuan pada pemeriksaan
LCS.

Differential Diagnosis
1. Meningitis tuberkulosis
2. Meningitis aseptik
3. Ensefalitis

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah tepi :
a. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri
b. LED meningkat
c. Pemeriksaan CRP positif
2. Liquor cerebrospinal (LCS):

Tabel 8.1. Karakteristik cairan serebrospinal pada anak dengan dan tanpa meningitis
Temuan LCS Normal Bakteri virus Jamur atau TB
Leukosit /μL <5 >500 <500 50-750
Nilai rujukan 0-10 10-20.000 0-1000 10-1500
PMN (%leukosit) 2 >80 <50 <50
Nilai rujukan 0-20 20-100 0-100 0-80
Glukosa (mg/dl) 60 <40 >40 <40
Nilai rujukan 45-65 0-65 30-65 5-50
Nilain LCS/darah(%) ≥60 <30 30-60 <40
Protein, mg/dl/ ≤30 >100 <100 50-200
Nilai rujukan 0-40 40-500 20-200 40-1500
Tes lain yang positif Tidak ada Pewarnaan gram, Polimerase chain Cryptococcal
deteksi antigen reaction antigen, BTA
Lakukan kultur dan resistensi terhadap LCS

3. Lain-lain

a. Kultur darah harus diperoleh dalam semua kasus.


b. Laktat LCS > 4.2mmol / L dapat membedakan antara meningitis bakterialis dan
virus.

9
DIVISI NEUROLOGI

c. Procalcitonin (PCT) sersum untuk mendeteksi infeksi bakteri berat karena sebagian
besar meningitis bakterialis terutama pada bayi dan anak-anak kecil diawali dengan
bakteriemia.
d. Pencitraan sebelum melakukan pungsi lumbal dapat dipertimbangkan pada pasien
dengan defisit neurologis fokal, penurunan kesadaran dalam (GCS ≤ 8) atau fluktuatif.

Tata Laksana
1. Ceftriaxone telah direkomendasikan oleh WHO (1997) sebagai terapi lini pertama untuk
pengobatan meningitis bakterialis.
2. Kombinasi ampisilin (300mg /kg/hari, diberikan setiap 6 jam) dan kloramfenikol
(100mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam) dapat digunakan.
3. Antibiotik baru seperti meropenem dan faropenem memiliki penetrasi CSF yang baik dan
efektif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif.
4. Rekomendasi standarnya adalah 10-14 hari untuk S.pneumoniae dan H.influenzae, 7 hari
untuk N. meningitidis, dan minimal 3 minggu dalam gram negatif, streptokokus kelompok
B dan Listeria.

Tabel 8.2. Pilihan antibiotik empiris pada Meningitis Bakterialis berdasar usia dan organisme
yang umumnya menjadi penyebab.
Usia Organisme penyebab Pilihan dan dosis antibiotika
< 1 bulan Group B streptococci, gram-negatif Ampicillin 50–100 mg/kg, tiap 6–8 jam,
bacilli (E. coli, Pseudomonas), ditambah
Listeriamonocytogenes aminoglikosida (gentamicin/amikacin)
2–2.5 mg/kg, setiap 8 jam; atau cefotaxime
100 mg/kg,Tiap 8 jam
1– 3 bulan Basil Gram-negatif, Listeria Ceftriaxone 100 mg/kg, tiap 24 jam, atau 50
monocytogenes, Streptococcus mg/kg tiap12 jam; atau cefotaxime 100 mg/kg
pneumoniae tiap 8 jam, ditambah
atau Neissera meningitidis ampicillin 50–100 mg/kg tiap 6-8 jam
>3 bulan Streptococcus pneumoniae, H. Ceftriaxone 100 mg/kg tiap 24 jam, atau 50
influenzae, Neissera meningitidis mg/kg tiap12 jam; atau cefotaxime 75 mg/kg
setiap 6–8 jam, ditambah
vancomycin 15 mg/kg setiap 6 jam Bila
vancomysin tidak tersedia, dapat diberikan
Ampisilin 300-400 mg/kgBB/hari dibagi dalam
4 dosis IV

5. Deksametason pada meningitis karena H.influenzae dan pneumokokus pada anak di


atas 6 bulan, dosis 0.4mg / kg diberikan setiap12 jam selama 2 hari, sama efektifnya

10
DIVISI NEUROLOGI

dengan pemberian 0.15 mg / kg yang diberikan setiap 6 jam selama 4 hari. Agar efektif,
steroid harus diberikan sebelum atau dengan dosis antibiotik pertama.
6. Cairan yang cukup harus diberikan untuk menjaga normovolaemia sehingga perfusi
serebral menjadi adekuat.
7. Nutrisi yang adekuat
8. Kejang diatasi sesuai dengan penatalaksanaan kejang
9. Bila terjadi kenaikan tekanan intrakranial dengan tanda :
a. Kesadaran menurun progresif
b. Tonus otot meningkat
c. Kejang yang tidak teratasi
d. Fontanella menonjol
e. Bradipnu
f. Tekanan darah meningkat
Diberikan manitol 20% dengan dosis 0,25-1 gram/kgBB/kali diberikan perinfus selama
30-60 menit, dapat diulangi setelah 8 jam atau NaCl 3%, atau Gliserol (6g / kg / hari
diberikan setiap 6 jam) juga dapat digunakan dan terbukti mengurangi sekuele
neurologis pada anak-anak dengan meningitis bakteralis
g. Pemberian O2.
h. Pembersihan jalan nafas
i. Awasi ketat fungsi vital
j. Perawatan atau follow up yang ketat 24-48 jam pertama untuk melihat adanya
“Sindroma Inapropriate Anti Diuretic Hormone” (SIADH). Apabila ada SIADH
diperlukan monitor kadar elektrolit dan berat badan, manifestasi klinis SIADH sebagai
berikut :
 Retensi air
 Balans cairan positif
 Berat badan naik
 Tidak ada edema perifer
 Pitting edema di daerah sternum
 Gejala sistem gastrointestinalis, anoreksia, nausea, muntah.
 Gejala neurologik, letargi, pusing, kejang, perubahan pada pupil, koma.
 Laboratorium
 Hiponatremia (manifestasi klinis baru terlihat sesudah Na<125 mEq/L)
 Ureanitrogen dan kreatinin darah rendah
 Na urin > 20 mEq/L
 BD urin > 1,012

11
DIVISI NEUROLOGI

Tindak lanjut :
1. Mengawasi keseimbangan cairan dan elektrolit
2. Pengukuran lingkaran kepala jika UUB belum menutup
3. Setelah 48-72 jam pemberian antibiotika adekuat belum ada perbaikan klinis yaitu berupa
: keadaan umum memburuk, panas tetap tinggi, kesadaran makin menurun, kejang sukar
diatasi, maka harus dipikirkan adanya komplikasi/pemberian antibiotika yang tidak teratur
atau tidak sensitif. Antibiotika disesuaikan dengan hasil kultur LCS. Dapat
dipertimbangkan juga penyesuaian antibiotika dengan kultur darah apabila kultur LCS
tidak menghasilkan kuman.
4. Kemudian dilanjutkan : lumbal fungsi ulang, funduskopi, transiluminasi, USG kepala jika
UUB belum menutup

Indikasi pulang
1. Setelah pemberian antibiotik selesai
2. Klinis sudah baik
3. Tidak ada peningkatan tekanan intrakranial.

Edukasi
1. Memberi informasi kepada keluarga bahwa dapat terjadi komplikasi-komplikasi dari
penyakit ini
2. Memberitahu kepada keluarga akan kemungkinan adanya gejala sisa / defisit neurologis
3. Perlu adanya pemantauan tumbuh kembang anak pasca rawat

Prognosis
Tingkat kematian meningitis cukup tinggi, yaitu 15% -20%. Kematian terjadi akibat dari
peningkatan tekanan intrakranial, infark serebral luas, DIC, syok septik, status epileptikus,
hidrosefalus, spastisitas, defisit visual dan kognitif, dan keterlambatan perkembangan
Komplikasi yang dapat segera timbul yaitu berupa :
1. Kenaikan tekanan intrakranial
2. Nekrosis atau infark jaringan otak
3. Ventrikulitis
4. Gangguan nervus kranialis
5. Sindroma inappropriate antidiuretik hormone (SIADH)
6. Subdural empiema
7. Abses serebri
Komplikasi lebih lanjut dapat berupa :
1. Gangguan mental, pendengaran, penglihatan
2. Hidrosefalus komunikan

12
DIVISI NEUROLOGI

3. Gangguan tingkah laku


4. Gangguan vestibular
5. Hemiparesis atau kuadriparesis
6. Epilepsi

Kepustakaan
1. Singhi P, Singhi S. Acute bacterial meningitis Dalam: Singhi P, Griffin DE, Newton CR,
penyunting. Central nervous system infections in childhood. London:Mac Keith
Press;2014.h.160-81.
2. Weinberg GA, Thompson-Stone R. Bacterial infections of the nervous system. Dalam:
Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, dkk, penyunting. Swaiman’s pediatric
neurology:principles and practice.Edisi ke-6. Philadelphia:Elsevier;2017.h. 896-907.
3. Piña-Garza JE. Fenichel’s clinical pediatric neurology: a sign and symptoms approach.
Edisi ke-7. New York:Elsevier-Saunders;2013.
4. Bale JF. Meningitis and encephalitis. Dalam: Maria BL, penyunting. Current management
in child neurology. Edisi ke-4. Shelton:BC Decker Inc;2009.h.632-7.
5. Newton CR. Central nervous system infections (bacteria and parasites). Dalam:Sejersen
T, Wang CH, penyunting. Acute pediatric neurology. London:Springer-Verlag;2014.h.243-
70.
6. Bale JF, Bonkowsky JL, Filloux FM, Hedlund GL, Nielsen DM, Larsen PD. Pediatric
neurology. Boca Raton:Taylor and Francis Group;2012.
7. Le-Saux N, Canadian Pediatric Society, Infectious Diseases and Immunization Committee.
Guidelines for the management of suspected and confirmed bacterial meningitis in
Canadian children older than one month of age. Paediatr Child Health. 2014;19:141-6.
8. Anon. Infants and children:acute management of bacterial meningitis. Edisi ke-4. North
Sidney:NSW Ministry of Health;2014.

13
DIVISI NEUROLOGI

MENINGITIS TUBERKULOSA

Definisi
Meningitis tuberkulosa adalah infeksi selaput otak (meningen) yang disebabkan oleh
penyakit tuberkulosis akibat komplikasi tuberkulosis primer. Fokus primer dapat berasal dari
paru atau tempat lain misalnya getah bening atau tulang.

Anamnesis
1. Riwayat demam tidak terlalu tinggi, rasa lemah, anoreksia, mual, muntah, sakit kepala ±
2 minggu sebelum timbul manifestasi neurologis.
2. Kejang bersifat umum dan intermiten.
3. Kesadaran menurun.
4. Riwayat kontak TB atau menderita TB.

Pemeriksaan fisis
1. Gejala umum sistemik :
a. demam
b. anoreksia
c. berat badan turun
d. keringat malam
e. malaise
2. Gejala khusus : sesuai dengan organ yang terkena
Gejala klinis meningitis tuberkulosa terdiri beberapa stadium :
a. Stadium I (prodormal) gejala tidak khas
 Kenaikan suhu yang ringan
 Apatis
 Tidak nafsu makan
 Mual, muntah
 Sakit kepala ringan
b. Stadium II (transisi) timbulnya tanda dan gejala neurologis
 Tanda-tanda rangsang meningeal meningkat
 Seluruh tubuh kaku
 Refleks tendon menjadi tinggi
 Peningkatan tekanan intrakranial
 Kelumpuhan saraf otak
 Gangguan bicara
 Disorientasi

14
DIVISI NEUROLOGI

 Hemiplegia
 Ataksia
 Gerakan involunter
c. Stadium III (terminus) meningkatnya disfungsi serebral difus
 Penurunan kesadaran sampai koma
 Postur deserebrasi dekortikasi
 Pernafasan tidak teratur (cheyene stokes)
 Dilatasi pupil dan tidak bereaksi sama sekali

Gejala klinis :
1. Ubun-ubun besar membonjol pada bayi
2. Tanda peningkatan tekanan intrakranial
3. Gejala rangsang meningeal positif
4. Gangguan syaraf otak

Kriteria Diagnosis
Meningitis tuberkulosa didiagnosa berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang
berupa analisa cairan serebrospinal, BTA cairan serebrospinal, tuberkulin test, CT scan, dan
MRI. Dikarenakan tidak terdapat pemeriksaan tunggal yang spesifik dalam mendiagnosis
meningitis tuberkulosis, dikembangkan berbagai sistim skoring diagnosis. Sistim skoring oleh
Marais dkk berikut ditemukan memiliki spesifisitas yang sangat baik dalam mendiagnosis
meningitis tuberkulosa.

Tabel 8.3. Sistem Skoring Marais dkk untuk mendiagnosis meningitis tuberkulosa.
Kriteria Skor Diagnostik
Kriteria Klinis ( maksimal skor = 6)
Durasi gejala > 5 hari 4
Gejala sugestif sistemik Tb (≥ 1) : penurunan BB / BB tidak naik-naik 2
pada anak, berkeringat malam, batuk persisten > 2 minggu.
Riwayat kontak erat dengan penderita TB Paru atau mantoux 2
test/IGRA positif/IGRA pada anak < 10 tahun.
Defisit neurologis fokal 1
Kelemahan saraf kranial 1
Penurunan kesadaran 1
Kriteria Cairan Serebrospinal ( maksimum skor = 4 )
Cairan jernih 1
Jumlah sel 10 – 500/µL 1
Predominan limfositik ( > 50%) 1
Konsentrasi protein > 1 g/L 1

15
DIVISI NEUROLOGI

Ratio glukosa plasma < 50% atau 1


konsentrasi glukosa LCS absolut < 2,2 mmol/L
Kriteria Pencitraan ( maksimum skor = 6 )
Hidrosefalus ( CT dan/atau MRI) 1
Penyangatan ganglia basalis (CT dan/atau MRI) 2
Tuberkuloma (CT dan/atau MRI) 2
Infark (CT dan/atau MRI) 1
Hiperdensitas prekontras basal (CT) 1

Bukti dari Tb ekstrapulmoner ( maksimum skor = 4 )


Foto thoraks sugestif TB aktif ( kecuali TB Milier) 2
Foto thoraks sugestif TB milier 4
Bukti dari CT/MRI/USG tuberkulosis diluar sistem neurologis 2
BTA teridentifikasi atau kultur Mycobaterium tuberculosis dari sumber 4
yang lain yaitu sputum, kelenjar limfe, bilasan lambung, urine,
kultur darah.

Skor 12 atau lebih dengan pencitraan atau skor 10 atau lebih tanpa pencitraan memiliki
sensitivitas 86% dan spesifisitas 100% dalam mendiagnosis meningitis tuberkulosa
sedangkan skor 6-11 dengan pencitraan atau 6-9 tanpa pencitraan memberikan sensitivitas
100% dan spesifisitas 56%.

Diagnosis
Meningitis tuberkulosa ditegakkan apabila ditemukan gejala klinis dan bukti kuman
M.tuberculosis pada cairan serebrospinal. Beberapa temuan pencitraan (misalnya
penyangatan basal) dan skoring klinis memiliki spesifisitas sangat tinggi sehingga juga dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis dan memutuskan untuk memulai pengobatan.

Diagnosis banding
1. Meningitis bakterialis
2. Meningitis aseptik
3. Ensefalitis

Pemeriksaan Penunjang
1. Cairan serebrospinal
Diagnosis meningitis tuberkulosis dikonfirmasi dengan menemukan kuman pada cairan
serebrospinal. Akan tetapi sentivitas baik pemeriksaan BTA atau kultur umumnya rendah
(masing-masing 37% dan 52%) dan sangat bergantung kualitas laboratorium serta
kecukupan spesimen. Pemeriksaan Xpert MTB/Rif memiliki sensitivitas lebih baik, yaitu
antara 59-90% namun membutuhkan spesimen LCS yang banyak (>6 ml). Pemeriksaan

16
DIVISI NEUROLOGI

LCS rutin umumnya menunjukkan cairan berwarna jernih hingga xantochrome,


peningkatan leukosit dengan predominasi limfosit, peningkatan kadar protein dan
penurunan glukosa yang dapat mencapai <0,3 glukosa plasma.

2. Pencitraan
Beberapa temuan radiologis sering dijumpai pada meningitis tuberkulosis antara lain
penyangatan basal, tuberkuloma, infark dan hidrosefalus. Penyangatan basal memiliki
spesifisitas diagnostik yang sangat tinggi, penyangatan pada kontras memiliki spesifisitas
94% dan sensitivitas 89% sedangkan apabila tanpa kontras telah ditemukan
penyangatan spesifisitasnya 100% namun hanya ditemukan pada 46% kasus.

Tata Laksana
1. Pengobatan penunjang simptomatik :
a. anti konvulsan
b. antipiretika
c. analgetika
2. Pengobatan suportif :
a. Pemberian cairan
b. Jenis cairan: cairan 2 : 1 (Dekstrosa 5% + NaCI 15%). jumlah cairan pada hari
pertama 70% dari kebutuhan maintenance.
c. Nutrisi yang adekuat
d. Pemberian O2 dan pembebasan jalan nafas
e. Posisi diubah-ubah
f. Bila edema otak diterapi sesuai dengan talaksana edema otak
3. Obat Anti Tuberkulosis (level of evidence I)
Panduan WHO tahun 2010 merekomendasikan regimen terapi berupa isoniazid,
rifampisin, pirazinamid dan etambutol (RHZE) selama dua bulan dan dilanjutkan isoniazid
dan rifampisin (RH) selama 10 bulan sehingga total lama pengobatan satu tahun. Dosis
obat anti tuberkulosis pada meningitis tuberkulosa sebagai berikut:
a. INH: 10-15 mg/kgBB/hari, maksimum 300 mg
b. Rifampisin: 10-15 mg/kgBB/hari, maksimum 600 mg/hari, single dose 1 jam sebelum
makan
c. Pirazinamid: 20-35 mg/kgBB/hari, maksimum 2 gram/hari
d. Etambutol: 10-15 mg/kgBB/hari
4. Kortikosteroid (level of evidence I)
Prednison : 1-2 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis secara oral selama 1-3 bulan, kemudian
diturunkan 1 mg setiap 1-2 minggu selama 1 bulan.
5. Fisioterapi

17
DIVISI NEUROLOGI

Tindak lanjut
1. Hidrosefalus dan tuberkuloma merupakan komplikasi yang sering ditemukan dan
membutuhkan tatalaksana bedah.
2. Kejang yang disertai kerusakan struktur otak membutuhkan antikonvulsan rumatan jangka
panjang.

Indikasi pulang
Penderita dapat pulang setelah 2-4 minggu mendapat steroid full dose dengan syarat:
1. Tanda vital dalam batas normal (tekanan darah terkontrol).
2. Penderita dalam keadaan sadar.
3. Penderita dapat memperoleh dukungan nutrisi dan cairan sesuai dengan kebutuhan
ketika berada di rumah.
4. Kejang teratasi.

Edukasi
1. Memberi informasi kepada keluarga tentang penyebab penyakit ini.
2. Menyarankan untuk memeriksa anggota keluarga untuk skrining penyakit tuberkulosa.
3. Memberi informasi kepada keluarga tentang kemungkinan adanya gejala sisa, contohnya
tuli sensorineural sehingga penting untuk melakukan pemeriksaan telinga satu bulan
setelah anak pulang dari rumah sakit.
4. Memberitahu tentang kemungkinan komplikasi-kompilkasi yang dapat timbul.
5. Perlunya pemantauan tumbuh kembang anak pasca rawat.
6. Memberitahu keluarga tentang perlunya pengobatan OAT rutin dan efek samping OAT
yang dapat timbul serta lamanya pengobatan.
7. Memberitahu keluarga tentang perlunya mengukur dan mencatat ukuran kepala bayi.
8. Memberitahu keluarga tentang perlunya fisioterapi jika terdapat kerusakan syaraf dan
berikan nasihat sederhana pada orang tua untuk melakukan latihan pasif pada anak di
rumah.

Prognosis
1. Pasien yang tidak diobati biasanya meninggal dunia
2. Mortalitas keseluruhan 10-20%. Prognosis tergantung pada stadium penyakit saat
pengobatan dimulai dan umur pasien, pasien berumur < 3 tahun mempunyai prognosis
yang lebih buruk. Mortalitas pada stadium 3 dapat mencapai 80%
3. Pasien yang bertahan hidup memiliki kemungkinan 50% - 80% untuk mengalami defisit
neurologis menetap yang dapat berupa kebutaan atau tuli, defisit motorik dan
keterlambatan perkembangan.

18
DIVISI NEUROLOGI

Kepustakaan
1. Weinberg GA, Thompson-Stone R. Bacterial infections of the nervous system. Dalam:
Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, dkk, penyunting. Swaiman’s pediatric neurology:
principles and practice. Edisi ke-6. Philadelphia:Elsevier;2017.h.896-907.
2. Darto S, Siti NH. Infeksi susunan saraf pusat. Dalam: Soetomenggolo SS, Ismael S. Buku
ajar neurologi anak. Jakarta:Balai Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia;1999.h.339-85.
3. Schoeman JF, van Toorn R. Tuberculosis. Dalam: Singhi P, Griffin DE, Newton CR,
penyuntung. Central nervous system infections in childhood. London:Mac Keith
Press;2014.h.202-18.
4. Ronald VT,Solomons RS. Update on the diagnosis and management of tuberculous
meningitis in children. Semin Pediatr Neurol 2014 ;21:12-1.
5. Solomons RS,Wessels M,Douwe HV,dkk. Uniform research case definition criteria
todifferentiate tuberculous and bacterial meningitis in children. Clin Infect Dis. 2014;59
(11):1574–8.
6. Marais S, Thwaites G, Schoeman JF, dkk. Tuberculous meningitis: a uniform case
definition for use inclinical research. Lancet Infect Dis. 2010; 10: 803–12.
7. Guy E. Thwaites. Advances in the diagnosis and treatment of tuberculous meningitis.
Curr Opin Neurol 2013;26 (3):295 – 300.
8. Solari L, Soto A, Agapito JC, dkk. The validity of cerebrospinal fluid parameters for the
diagnosis of tuberculous meningitis. Int J Infect Dis. 2013;17: 1111–5.

19
DIVISI NEUROLOGI

ENSEFALITIS

Definisi
Ensefalitis adalah inflamasi parenkim otak yang menyebabkan gangguan neurologis.

Etiologi
1. Sebagian besar kasus (40-60%) tidak teridentifikasi, namun dengan kemajuan tehnologi,
jumlah ini akan makin berkurang.
2. Di antara kasus-kasus yang penyebabnya teridentifikasi, sekitar 40-60% dikarenakan
infeksi, 70% di antaranya karena virus. Herpes simplex virus (HSV), varicella zooster
virus dan enterovirus diduga merupakan penyebab terbanyak, meski sangat tergantung
musim dan geografis.
3. Ensefalitis karena proses autoimunitas (misalnya acute disseminated encephalomyelitis
dan ensefalitis anti NMDAR) saat ini telah makin banyak dikenali dan diduga menjadi
penyebab pada sekitar sepertiga kasus ensefalitis.

Anamnesis
1. Onset ensefalitis virus sifatnya akut, ditandai dengan adanya demam yang umumnya
tinggi (≥38oC)
2. Gejala-gejala peningkatan tekanan intrakranial berupa sakit kepala, penurunan atau
perubahan kesadaran
3. Kejang yang dapat bersifat fokal atau umum.

Pemeriksaan fisis
1. Demam tinggi (≥38oC) pada ensefalitis virus
2. Defisit neurologis: paresis otot, paresis nervi kranialis, afasia
3. Apabila ensefalitis virus disebabkan oleh enterovirus, measles atau varisela dapat
ditemukan ruam kulit.
4. Adanya kejang fokal dan defisit neurologis fokal dapat menunjukkan kecurigaan ke arah
ensefalitis HSV meski gejala tersebut juga dapat ditemukan pada ensefalitis lain.
5. Gejala neuropsikiatri juga dapat menjadi tanda dari ensefalitis. Sebanyak 80%
manifestasi lupus pada SSP adalah gejala neuropsikiatri. Ensefalitis autoimun (seperti
ensefalitis anti NMDAR) dapat dicurigai apabila ditemukan manifestasi berupa gejala
neuropsikiatri, movement disorder dan penurunan kesadaran.

20
DIVISI NEUROLOGI

Kriteria diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan liquor cerebrospinal (LCS), pencitraan dan pemeriksaan lain seperti
elektroensefalografi.

Diagnosis
International Encephalitis Consortium (2013) merumuskan batasan kasus ensefalitis yang
tercantum pada tabel. Batasan ini harus dibedakan dengan ensefalopati yaitu penurunan
atau perubahan kesadaran tanpa adanya inflamasi jaringan otak.

Tabel 8.4.Kriteria ensefalitis berdasarkan International Encephalitis Consortium (2013)


Kriteria mayor (harus ada):
Pasien datang dengan keluhan perubahan status mental – yaitu penurunan atau perubahan
kesadaran, letargi atau perubahan kepribadian yang berlangsung selama ≥24 jam.
Kriteria minor (harus ada 2 untuk possible encephalitis ; ≥ 3 untuk probable atau confirmed
encephalitis):
1. Demam ≥ 38oC dalam 72 jam sebelum atau setelah gejala.
2. Kejang umum atau fokal yang bukan disebabkan oleh penyakit dengan kejang yang
telah ada sebelumnya pada pasien.
3. Gejala neurologis fokal baru.
4. WBC pada LCS ≥ 5/mm3.
5. Hasil pencitraan menunjukkan abnormalitas parenkim otak yang pada pemeriksaan
sebelumnya belum ada atau diduga bersifat akut.
6. Abnormalitas pada pemeriksaan elektroensefalografi yang konsisten dengan
ensefalitis dan diketahui bukan dikarenakan penyebab lain.
DAN: Bukan merupakan ensefalopati yang dikarenakan trauma, gangguan metabolik, tumor,
penyalahgunaan alkohol, sepsis dan penyebab non infeksius lain.

Pemeriksaan penunjang
1. Cairan serebrospinal/ Liquor Cerebrospinal (LCS)
a. Pemeriksaan cairan serebrospinal rutin harus dilakukan. Pengecatan gram dan BTA
juga sebaiknya dilakukan pada pasien yang dicurigai ensefalitis berdasarkan gejala
klinis untuk menyingkirkan meningitis
b. Hasil pemeriksaan LCS dapat menunjukkan sel yang meningkat atau normal dengan
predominasi limfosit, protein meningkat atau normal, glukosa normal.
c. Pemeriksaan polymerase chain reaction merupakan pemeriksaan penunjang pilihan
dalam mendiagnosis ensefalitis virus. Pemeriksaan PCR apabila tersedia setidaknya
dilakukan terhadap HSV.

21
DIVISI NEUROLOGI

2. Pencitraan
a. Pencitraan dengan CT scan atau MRI dapat dilakukan pada pasien yang dicurigai
ensefalitis dengan gejala neurologis fokal. Pemeriksaan MRI lebih sensitif
dibandingkan CT scan.
b. Pemeriksaan MRI pada ensefalitis HSV dapat menunjukkan adanya peningkatan
sinyal sekuens T2W di lobus temporal dan frontal inferior
c. Japanese encephalitis sebagian besar memberikan gambaran intensitas sinyal
abnormal pada thalamus, substansia nigra dan ganglia basalis.

3. Pemeriksaan elektroensefalografi
a. Gambaran elektroensefalografi (EEG) umumnya berupa perlambatan gelombang
latar belakang secara difus.
b. Pemeriksaan EEG juga ditujukan untuk mendeteksi kejang pada pasien-pasien
dengan penurunan kesadaran
c. Ensefalitis HSV dapat memberikan gambaran EEG berupa perlambatan yang difus
atau fokal dan periodic lateralizing epileptiform discharge.
d. Adanya gambaran delta brush eksesif dapat ditemukan pada sekitar sepertiga pasien
dengan ensefalitis anti NMDAR.

Tata Laksana
1. Tatalaksana suportif dan simtomatik berupa pemeliharaan keseimbangan cairan,
elektrolit, asupan, penatalaksaan terhadap kejang dan peningkatan tekanan intrakranial.
Pasien dengan kejang diberi antikonvulsan yang sesuai, misalnya pemberian fenitoin
atau fenobarbital intravena. Terhadap peningkatan tekanan intrakranial dapat diberikan
manitol atau NaCl hipertonik.
2. Pasien yang dicurigai ensefalitis herpes simpleks, antara lain datang dengan kejang fokal
atau terdapat periodic lateralizing epileptiform discharge dapat diberikan asiklovir
intravena dengan dosis berikut hingga diagnosis dapat dikonfirmasi atau disingkirkan:
a. Usia < 3 bulan: 20 mg/kg/kali tiap 8 jam
b. Usia 3 bulan – 12 tahun: 500 mg/m2 tiap 8 jam
c. Usia >3 bulan: 10 mg/kg/kali tiap 8 jam.
Asiklovir diberikan setidaknya selama 14 hari untuk pasien imunokompeten, 21 hari untuk
pasien dengan gangguan fungsi imun.
3. Antibiotik dapat dipertimbangkan apabila meningitis bakterialis masih menjadi salah satu
kemungkinan yang belum dapat disingkirkan (misalnya pada pasien belum dapat
dilakukan pungsi lumbal).
4. Fisioterapi dilakukan secepat mungkin setelah fase akut terlewati.

22
DIVISI NEUROLOGI

Prognosis
1. Prognosis tergantung jenis ensefalitis
2. Ensefalitis HSV memilki mortalitas 84% pada kasus yang tidak diobati dengan asiklovir,
dari kasus yang tidak diobati yang hidup, sebanyak 97% memiliki mortalitas menetap.
Dengan pengobatan dini, mortalitas menurun hingga 20-30%.

Kepustakaan
1. Britton PN, Eastwood K, Paterson B, dkk. Consensus guidelines for the investigation and
management of encephalitis in adults and children in Australia and New Zealand. Int Med
J 2015;45:563-76.
2. Bonthius DJ, Bale JF. Viral infections of the nervous system. Dalam: Swaiman KF, Ashwal
S, Ferriero DM, dkk, penyunting. Swaiman’s pediatric neurology: principles and practice.
Edisi ke-6. Philadelphia:Elsevier;2017.h.908-19.
3. Griffin DE. Viral encephalitis and meningitis. Dalam: Singhi P, Griffin DE, Newton CR,
penyunting. Central nervous system infection in childhood. London:Mac Keith
Press;2014.h.99-104.
4. Whitley RJ. Herpes simplex virus infection. Dalam: Singhi P, Griffin DE, Newton CR,
penyunting. Central nervous system infection in childhood. London:Mac Keith
Press;2014.h.114-24.
5. Falchek SJ. Encephalitis in the pediatric population. Pediatr Rev. 2012;33(3):122-33.
6. Kneen B, Michael BD, Menson E, dkk. Management of suspected viral encephalitis in
children – Association of British Neurologist and British Paediatric Allergy and Immunology
and Infection Group National Guidelines. J Infect. 2012;64:449-77.
7. Piña-Garza JE. Fenichel’s clinical pediatric neurology: a sign and symptoms approach.
Edisi ke-7. New York:Elsevier Saunders;2013.

23
DIVISI NEUROLOGI

PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL

Definisi
Tekanan intrakranial (TIK) normal berkisar antara 0-10 mmHg atau 0-136 mmH2O, pada bayi
berkisar antara 3-7,5 mmHg atau 40-100 mmH2O. Tekanan intrakranial 20-40 mmHg
dianggap tinggi dan di atas 40 mmHg dianggap sebagai hipertensi intrakranial berat.

Etiologi
Etiologi peningkatan tekanan intrakranial :
1. Gangguan aliran cairan serebrospinal(CSS) seperti obstruksi aliran di luar maupun di
dalam sistem ventrikel, kelainan padapleksus koroid dan gangguan penyerapan CSS.
2. Peningkatan volume otak sepertiedema otak difus dan edema otak setempat
3. Peningkatan volume darah otak
4. Proses desak ruang

Etiologi di atas dapat menyebabkan edema otak, yang dibagi menjadi :


1. Edema vasogenik akibat a) peningkatan permeabilitas kapiler, b) peningkatan tekanan
transmural kapiler, c) retensi cairan ekstravaskuler pada ruangan intersisial. Keadaan ini
dapat terjadi karena tumor otak, lesi traumatik, perdarahan intraserebral, fokus inflamasi
atau hematom sudural kronis.
2. Edema sitotoksik akibat proses intraseluler pada astrosit dan neuron. Proses iskemik
menghasilkan kaskade reaksi biokemikal yang terdiri dari peningkatan kalium
ekstraseluler dan peningkatan kalsium intraseluler menyebabkan kerusakan sel yang
menetap akibat gangguan fungsi membrane sel. Keadaan ini disebabkan iskemi fokal
atau umum dan hipoksia akibat infark serebri.
3. Edema interstisial akibat infiltrasi periventrikuler cairan serebrospinalis pada peningkatan
tekanan hidrosefalus obstruktif, misalnya pada tumor fosa posterior.
4. Edema hidrostatik disebabkan peningkatan tekanan transmural vaskular menyebabkan
penimbunan cairan ekstraseluler. Keadaan ini dapat terjadi pada hematoma subdural
akut pasca evakuasi yang menyebabkan penurunan tekanan intrakranial secara tiba- tiba
dan peningkatan tiba-tiba tekanan transmural pembuluh darah otak.
5. Edema osmotik disebabkan proses kompleks penurunan osmolaritas serum dan
hiponatremia < 125 mEq/L menyebabkan keseimbangan osmotik terganggu dan edema
otak.

Sering terjadi lebih dari satu jenis edema serebri pada suatu kondisi, misalnya pada
meningitis bakterialis dapat terjadi edema vasogenik karena inflamasi, namun akibat hipoksia

24
DIVISI NEUROLOGI

dan penurunan aliran darah serebral dapat terjadi edema sitotoksik dan akibat obstruksi CSS
dapat terjadi edema interstisiel. Peningkatan TIK fase lanjut karena edema vasogenik
biasanya melibatkan edema sitotoksik.

Tabel 8.5. Beberapa etiologi peningkatan TIK pada anak.


Kelainan pada parenkim/ventrikel Kelainan ekstraserebral
 Neoplasma  Kraniosinostosis primer
 Pseudotumor cerebri  Penyakit Crouzon
 Hidrosefalus obstruktif/nonkomunikan  Sindrom Apert
 Hidrosefalus komunikan  Perdarahan ekstradural
 Meningitis bakterialis  Hematom subdural kronis
 Meningoencephalitis  Cloverleaf skull
 Cidera kepala  Subarachnoid space lesions
 Ensefalopati hipoksik-iskemik 
 Inborn errors of metabolism
 Ketoasidosis diabetikum
 Koma hepatikum

Anamnesis
1. Sakit kepala; sering bertambah saat bangun pagi, batuk, bersin, mengedan, perubahan
posisi kepala tiba-tiba (pada proses lesi desak ruang).
2. Muntah; bersifat proyektil tanpa disertai rasa mual, mulanya hanya timbul saat bangun
pagi kemudian dapat terjadi setiap waktu.
3. Pada anak besar: penurunan kesadaran atau perubahan kepribadian, pada bayi: letargi
dan iritabilitas.
4. Gejala lain (pada proses lesi desak ruang) : penglihatan ganda/diplopia,strabismus,
kelumpuhan, kejang, gangguan keseimbangan/koordinasi.

Pemeriksaan fisis
1. Edema papil
2. Kelumpuhan saraf kranialis keenam
3. Penurunan kesadaran (Skala Koma Glasgow), memakai modifikasi anak.
4. Tanda spesifik peningkatan TIK pada bayi: fontanela membonjol, diastasis sutura,
distensi vena kulit kepala, deviasi mata persisten ke bawah (sunsetting) dan
penambahan lingkar kepala yang cepat.
5. Tanda spesifik peningkata TIK di kompartemen infratentorial (fossa posterior): kaku
kuduk dan head tilt
6. Dapat ditemukan defisit neurologis fokal yang dapat mencerminkan letak lesi

25
DIVISI NEUROLOGI

Tabel 8.6. Glasgow coma scale pediatrik


Kategori Rincian Nilai
Respon membuka mata Spontan 4
Dengan perintah verbal 3
Dengan nyeri 2
Tidak ada respons 1

Respon motorik Spontan atau menurut perintah 6


Dapat melokalisasi nyeri 5
Fleksi terhadap nyeri 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi 2
Tidak ada respons 1

Respon verbal Orientasi baik, mengoceh 5


Iritabel, menangis 4
Menangis dengan nyeri 3
Mengerang dengan nyeri 2
Tidak ada respon 1

Skala 12-14 tergolong gangguan kesadaran ringan, nilai skala 9-11 gangguan kesadaran
sedang, nilai <8 tergolong koma.
Peningkatan TIK yang masif dan berkelanjutan dapat menimbulkan pergeseran otak
melewati ekstensi-ekstensi dura (falx serebri, tentorium serebeli) atau barier tengkorak yang
disebut herniasi. Herniasi dapat terjadi di bawah falx (subfalcine), melalui sulkus tentorial
(transtentorial:sentral dan unkal), atau kedalam foramen magnum (tonsilar)

Tabel 8.7. Sindrom herniasi dan mekanismenya


Tipe Mekanisme Temuan klinis
Transtentorial Pergeseran bagian unkus lobus Dilatasi pupil ipsilateral (kompresi serat
temporalis yang terjepit pada insisura pupilokonstriktor); penurunan kesadaran
tentorialis. Terjadi kompresi nervi progresif, penurunan refleks
kranialis III, midbrain, pedunkulus serebri okulosefalik, postur dekortikasi,
dan arteri serebri posterior. Dapat terjadi hemiparesis ipsilateral (tekanan pada
pada stroke, perdarahan atau abses pedenkulus serebri kontralateral).
Sentral Edema kedua hemisfer sehingga  Awal: penurunan kesadaran, konstriksi
menyebabkan penekanan diensefalon pupil (disfungsi saraf simpatis),
dan midbrain. pernapasan Cheyne Stokes
Dapat terjadi pada edema sitotoksik,  Lanjut: hilangnya refleks okulosefalik,
anoksia dan trauma. hiperventilasi neurogenik sentral,
postur deserebrasi.

26
DIVISI NEUROLOGI

Tonsilar Tonsil serebeli tertekan pada foramen Penurunan kesadaran mendadak,


magnum, sehingga terjadi penekanan opistotonus, kaku kuduk, pernapasan
batang otak dan medulla spinalis servikal ireguler, apnu.
atas.
Sering terjadi pada tumor fossa posterior,
dapat juga terjadi pada massa atau
edema yang difus.
Cingulate Edema gyrus cingulate di bawah ujung Gejala bervariasi. Sering berlanjut
bebas falx serebri. Terjadi kompresi menjadi sindroma herniasi jenis lain,
arteri serebri anterior dan vena serebri sering berhubungan dengan herniasi
interna ipsilateral atau bilateral. unkus.
Tahap lanjut Tahap lanjut herniasi unkus, sentral, dan
tonsilar akan menyebabkan gejala
berupa koma, flaksiditas ekstremitas,
pupil diameter sedang dengan refleks
cahaya negatif, hilangnya refleks kornia
dan okulosefalik, dan apnu yang
ireversibel

Hati-hati bila terdapat tanda-tanda perburukan dari status neurologi yang tiba-tiba, berupa:
penurunan kesadaran, dilatasi pupil unilateral, trias Cushing (peningkatan tekanan darah,
bradikardi dan pernapasan ireguler).

Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik adanya gejala dan tanda peningkatan tekanan
intracranial
2. Pemeriksaan penunjang untuk mencari etiologi

Diagnosis
1. Pemeriksaan neurologis klinis merupakan cara utama untuk deteksi adanya peningkatan
TIK.
2. Diagnosis pasti adanya dengan pengukuran tekanan intrakranial dengan monitoring
device.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari penyebab peningkatan TIK
1. USG/CT-Scan/MRI kepala
2. Darah perifer lengkap, analisis gas darah, elektrolit darah

27
DIVISI NEUROLOGI

Tata Laksana
Tujuan: menurunkan tekanan intrakranial untuk memperbaiki aliran darah ke otak dan
pencegahan atau menghilangkan herniasi, serta mempertahankan TD sistolik dalam batas
normal.

Tata laksana dapat dibagi menjadi :


1. Suportif
a. Elevasi kepala 15-30 derajat dan kepala pada posisi midline (pada pasien dengan
hemodinamik stabil).
b. Menjaga suhu tubuh < 37,5 0C
c. Mempertahankan kadar gula darah dalam batas normal
d. Mempertahankan saturasi O2> 96%
e. Mempertahankan PaCO2 37±2 mmHg
f. Meminimalkan tindakan seperti pengisapan lendir, pengambilan sampel darah dll.
Jika pasien gelisah/agitasi dapat diberikan sedasi, karena agitasi akan meningkatkan
tekanan intrakranial.

2. Medikamentosa
Tujuan: Mengurangi volume komponen-komponen intrakranial
a. Pengurangan volume cairan serebrospinal. Pada hidrosefalus terjadi edema
interstisiel dengan peningkatan tekanan intraventrikel yang tinggi serta edema
periventrikel. Dapat diberikan asetazolamid 30 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis.
Penggunaan asetazolamid hendaknya dengan pemonitoran kadar kalium secara hati-
hati atau dengan penambahan kalium.
b. Pengurangan volume jaringan otak. Pada edema sitotoksik, dapat diberikan manitol
20% dengan dosis 0,25-1 g/kgBB drip IV selama 20-30 menit setiap 8 jam. Selama
pemberian osmoterapi perlu diperhatikan keseimbangan cairan dan elektrolit serta
osmolaritas serum 300-320 mosm/L. Natrium hipertonik (NaCl 3%) efektif
menurunkan peningkatan TIK dengan mempertahankan tekanan osmolar parenkim
otak. Digunakan pada pasien dengan keadaan hipotensi dan hipoperfusi. NaCl 3%
diberikan bolus dalam 30-60 menit dengan dosis 2-4 mL/kg IV. Sebaiknya melalui
vena sentral. Dihentikan bila kadar Na > 155 mEq/L. Pemberian diuretik tubular yang
kuat dapat menurunkan tekanan intrakranial dengan efektif melalui berkurangnya
cairan tubuh total, tonus pembuluh darah, dan produksi CSS. Obat yang dianjurkan
adalah furosemid dengan dosis 1 mg/kgBB/kali IV, dapat diberikan 2 kali sehari.
c. Pada edema vasogenik seperti pada tumor otak atau abses dapat diberikan
kortikosteroid untuk mengurangi edema dan memperbaiki integritas membran dalam
mempertahankan permeabilitasnya. Dapat diberikan deksametason dengan dosis
0,1-0,2 mg/kgBB tiap 6 jam.

28
DIVISI NEUROLOGI

3. Tindakan bedah
a. Jika peningkatan TIK tidak dapat diatasi dengan medikamentosa maka perlu
dilakukan koreksi dengan tindakan bedah dekompresi (kraniektomi) untuk mengatasi
pergeseran dan herniasi otak. (Level of EBM I)
b. Tindakan bedah lain tergantung dari etiologi (hidrosefalus, perdarahan intrakranial,
abses otak, tumor otak).

Edukasi
1. Memberikan informasi mengenai kemungkinan penyebab peningkatan tekanan
intrakranial, beserta komplikasi yang mungkin terjadi
2. Memberikan informasi mengenai pengobatan atau tindakan yang akan dilakukan untuk
menurunkan peningkatan tekanan intrakranial beserta efek samping/komplikasi yang
mungkin timbul
3. Memberikan informasi mengenai prognosis dan pemantauan yang akan dilakukan

Prognosis
1. Tergantung etiologi. Sekitar 30-33% kematian pada meningitis bakterialis akibat
peningkatan tekanan intrakranial
2. Kemungkinan kecacatan atau kelainan neurologis, terutama pada peningkatan TIK lanjut.

Kepustakaan
1. Antonius HP, Badriul H, Setyo H, dkk. Pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Edisi II. Jakarta:Balai Penerbit IDAI;2011.
2. Wainwright MS. Disorder of intracranial pressure. Dalam:Swaiman KF,Ashwal S, Ferriero
DM, dkk, penyunting. Swaiman’s pediatric neurology principles and practice.Edisi Ke-6.
Philadelphia: Elsevier;2017.h.827-33.
3. Piña-Garza JE. Fenichel’s clinical pediatric neurology: a sign and symptoms approach.
Edisi ke-7. New York:Elsevier Saunders;2013.
4. Ismail S. Peninggian tekanan intrakranial.Dalam: Soetomenggolo TS, Ismail S,
penyunting. Buku ajar neurologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit
IDAI;2000.h.276-89.
5. Role of hypertonic saline and manitol in the management of raised intracranial pressure
in children: a randomized comparative study. J Pediatr Neurosci 2010; (5):18-21.
6. Lin LM, Sciubba D, Carson BS, Jallo GI. Increased intracranial pressure. Dalam: Maria
Bl, penyunting. Current management in child neurology. Edisi ke-4.Shelton:BC Decker
Inc;2009.h.695-701

29
DIVISI NEUROLOGI

TETANUS PADA BAYI DAN ANAK

Definisi
1. Tetanus adalah penyakit yang bersifat akut yang diakibatkan eksotoksin bakteri
Clostridium tetani yang ditandai dengan kekakuan seluruh badan dan spasme otot yang
umumnya dimulai pada wajah dan leher kemudian menjadi umum.
2. Tetanus neonatarum adalah tetanus yang terjadi pada 28 hari pertama kehidupan.

Etiologi
Clostridium tetani, merupakan bakteri gram positif, anaerob obligatC tetani hidup di saluran
pencernaan hewan juga manusia dan pada berbagai permukaan lingkungan seperti tanah
yang terkontaminasi kotoran hewan atau besi berkarat.

Klasifikasi
Klasifikasi manifestasi klinis tetanus berdasarkan gejala yaitu:
1. Tetanus lokal : Merupakan gejala yang ringan dengan angka kematian yang rendah.
Gejala meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot
sekitarnya. Ditemukan pada area terjadinya luka
2. Tetanus sefalik : Merupakan bentuk manifestasi tetanus yang jarang. Apabila menyebar
melalui otitis media, dan cedera kepala terdapat gejala nervi kranialis terutama fasialis.
Dapat berkembang menjadi tetanus umum dengan prognosis yang lebih jelek.
3. Tetanus generalisata/ umum :Bentuk tetanus yang tersering (sekitar 80%).
a. Gejala awal berupa trismus, mulut mencucu, rahang kaku dan sulit menelan
paling sering dijumpai
b. Risus sardonikus, opistotonus dan kaku pada dinding perut.
c. Spasme dapat timbul secara spontan atau dengan rangsang, baik sentuhan,
suara, visual atau emosional.
d. Demam, peningkatan tekanan darah, berkeringat dan takikardi.
e. Kematian dapat terjadi bila spasme terjadi pada otot pernapasan.
f. Tetanus neonatal hampir selalu generalisata
Komplikasi yang dapat terjadi berupa laringo spasme, fraktur akibat kuatnya spasme,
hipertensi atau gangguan irama jantung, infeksi nasokomial, emboli paru, pneumonia aspirasi
dan kematian.

30
DIVISI NEUROLOGI

Tabel 8.8 Skor Tjandra untuk tetanus neonatorum (1974):


Parameter Skor
Usia ≤ 5 hari 4
6 – 10 hari 2
> 10 hari 1
Spasme Paroksismal spontan 2
Dengan rangsangan 1
Sianosis 2
Suhu > 39oC 1
Trismus dan risus sardonicus 1
Skor 2 -5 : Grade 1 (ringan), mortalitas 5,6%
Skor 6 -7 : Grade 2 (sedang), mortalitas 58,1%
Skor 8-10: Grade 3 (berat), mortalitas 91,5%

Anamnesis
1. Ada riwayat luka, infeksi telinga atau infeksi gigi yang terjadi sekitar 3-28 hari sebelum
onset, pada anak umumnya 8 hari dan pada neonatus 6 hari.
2. Pada neonatus terdapat riwayat pemotongan tali pusat dengan menggunakan alat tidak
steril, atau pemberian bahan-bahan tidak steril untuk merawat tali pusat.
3. Kekakuan otot sekitar luka, sulit menelan, mulut sulit membuka,
4. Spasme, dapat spontan dan dapat timbul atau diperberat dengan stimuli(sentuhan,
cahaya, suara, perubahan suhu ruangan).

Pemeriksaan fisis
1. Kekakuan otot dan spasme berupa trismus, risus sardonikus, opistotonus, spasme otot
perut.
2. Gangguan otonom seperti retensi urin dan hiperpireksia pada kasus-kasus yang berat.
3. Refleks fisiologis meningkat, refleks patologis negatif.
4. Manifestasi klinis tetanus bergantung dengan derajat keparahan. Klasifikasi tetanus untuk
anak dan dewasa berdasarkan derajat panyakit menurut klasifikasi Ablett yang
dimodifikasi, yangmembagi tetanus menjadi empat:
a. Derajat I (tetanus ringan)
 Trismus ringan sampai sedang (3cm)
 Kekakuan umum: kaku kuduk, opistotonus, perut papan
 Tidak dijumpai disfagia atau ringan
 Tidak dijumpai kejang
 Tidak dijumpai gangguan respirasi
b. Derajat II (tetanus sedang)
 Trismus sedang (3cm atau lebih kecil)

31
DIVISI NEUROLOGI

 Kekakuan jelas
 Dijumpai spasme rangsang, tidak ada spasme spontan
 Takipneu
 Disfagia ringan
c. Derajat III (tetanus berat)
 Trismus berat (1cm)
 Otot spastis, kejang spontan
 Takipne, takikardia
 Serangan apne (apneic spell)
 Disfagia berat
 Aktivitas sistem autonom meningkat
d. Derajat IV (stadium terminal), derajat III ditambah dengan :
 Gangguan autonom berat
 Hipertensi berat dan takikardi, atau
 Hipotensi dan bradikardi
 Hipertensi berat atau hipotensi berat

Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Indikasi rawat: semua pasien tetanus

Diagnosis
Tetanus anak/ neonatorum dapat ditegakkan cukup berdasarkan gejala klinis

Diagnosis Banding
1. Meningitis
2. Perdarahan intracranial
3. Gangguan vaskular serebral
4. Infeksi dental
5. Rabies
6. Distonia
7. Hiperkalsemia

Terapi
1. Terapi terhadap spasme otot
a. Spasme umumnya memberat dengan stimuli cahaya atau suara.

32
DIVISI NEUROLOGI

b. Pasien dirawat di ruang khusus yang digelapkan atau minimal perubahan cahaya
yang tiba-tiba dan minim suara.
c. Diazepam diberikan untuk antispasme dengan dosis 0,1-0,2 mg/kg tiap 4 sampai 6
jam intra vena.
d. Apabila spasme teratasi,ganti dengan rumatan diazepam oral maksimal 40 mg/hari.
e. Apabila tidak teratasi, dapat diberikan midazolam, diawali 0,1 mg/kg/jam, dinaikkan
bertahap. Pasien sebaiknya dirawat di PICU/NICU, bila perlu dengan ventilator.
Sebagai alternatif dapat diberikan vecuronium. Dapat juga ditambahkan
chlorpromazine 5 mg/kg tiap 12 jam intramuskular atau oral melalui tabung
nasogastrik.
f. Spasme dapat bertahan hingga berminggu-minggu

2. Terapi terhadap toksin


a. Human tetanus immunoglobulin hanya mengatasi toksin bebas namun merupakan
pengobatan utama pada tetanus dengan dosis 3000-6000 U i.m untuk anak dan 500
U i.m untuk neonatus.
b. Apabila tidak tersedia dapat diberikan anti tetanus serum (equine):
 Anak:dosis 20.000 U. Cara pemberian: ½ dosis diberikan seacara intravena dan
½ dosis diberikan secara intra muskuler
 Neonatus:dosis 10.000 U. Cara pemberian: ½ dosis diberikan seacara intravena
dan ½ dosis diberikan secara intra muskuler.

3. Antimikrobial
a. Tujuan: untuk memberantas kuman tetanus bentuk vegetatif.
b. Metronidazole diberikan dengan dosis awal 15 mg/kg dilanjutkan 30 mg/kg/hari dibagi
empat dosis.
c. Sebagai alternatif dapat diberikan Penicillin G 50.000 IU/kg/hari namun penicillin
dapat bersifat antagonis GABA yang dapat memperberat spasme, sehingga
metronidazole merupakan obat pilihan pertama.

4. Lain-lain
a. Suportif: meminimalkan rangsangan atau kontak dengan keramaian.
b. Perawatan luka yang baik.
c. Monitor elektrolit, suhu, keseimbangan cairan dan nutrisi juga perlu diperhatikan.

Indikasi pulang
1. Keadaan umum baik
2. Kejang teratasi

33
DIVISI NEUROLOGI

3. Spasme rahang membaik, anak dapat makan lewat oral

Edukasi
1. Perawatan luka secara benar, terutama luka tusuk dan luka kotor.
2. Imunisasi
3. Imunisasi juga dapat dilakukan pada ibu hamil untuk mencegah tetanus neonatorum.

Prognosis
1. Spasme laring dan atau spasme otot pernapasan dapat menyebabkan gagal napas.
2. Kejang dapat menyebabkan fraktur tulang belakang.
3. Hiperaktivitas sistem saraf otonom dapat menyebabkan hipertensi dan atau ritme
abnormal jantung.
4. Sekitar 11% kasus tetanus berakibat fatal dan 20% kasus tetanus berakibat kematian.

Kepustakaan
1. Cook TM, Protheroe RT, Handel JM. Tetanus: a review of the literature. Br J Anaesth
2001; 477-87.
2. Cherry JD, Harrison RE. Tetanus. Dalam: Cherry JD, Harrison GJ, Kaplan SL, Steinbach
WJ, Hotez PJ. Feigin and Cherry’s textbook of pediatric infectious diseases. Edisi ke-7.
Philadelphia: Elsevier-Saunders;2014.h.1809-19.e3.
3. Pan American Health Organization. Neonatal tetanus elimination field guide. Edisi ke-2.
Washington DC: Pan American Health Organization;2005.
4. Hamborsky J, Kroger A, Wolfe C. Epidemiology and prevention of vaccine-preventable
diseases (CDC pinkbook). Edisi ke-13. Washington DC: Centers for Disease Control and
Prevention;2015.
5. Brook I, Dunkle LM. Clostridium tetani. Dalam: McMillan A, Feigin RD, DeAngelis C,
Jones D, Oski’s Pediatrics. Edisi ke-4. Philadelphia:LWW;2006:1030-4.
6. Shann F, Argent AC, Ranjit S. Dalam: Furhman BP, Zimmerman JJ. Pediatric critical
care. Edisi ke-4. Philadelphia:Elsevier-Saunders;2011.h.171-2.
7. Gomes AP, de Freitas BA, Rodrigues DCC, et al. Clostridium tetani infections in
newborn infants: a tetanus neonatorum review.Rev Bras Ter Intensiva 2011;23:484-91.

34
DIVISI NEUROLOGI

EPILEPSI

Definisi
Menurut ILAE tahun 2005, definisi konseptual epilepsi: suatu gangguan pada otak yang
ditandai adanya predisposisi yang bersifat menetap untuk menghasilkan kejang epileptik,
serta adanya dampak-dampak neurobiologis, kognitif, psikologis dan sosial akibat kondisi
tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan kejang epileptik adalah terjadinya gejala
dan/atau tanda yang bersifat transien yang diakibatkan aktivitas abnormal neuron otak yang
bersifat berlebihan dan tersinkron.

Patogenesis:
Faktor yang berperan dalam epilepsi:
1. Gangguan pada membrane sel neuron.
2. Gangguan pada mekanisme inhibisi prasinaps dan pasca sinaps.
3. Gangguan pada sel glia yang mengatur ion kalium ekstraseluler di sekitar neuron dan
terminal presinaps

Anamnesis:
1. Detil gambaran (semiologi) serangan
2. Kondisi saat terjadinya serangan
3. Pola harian
4. Ada tidaknya faktor pencetus
5. Riwayat keluarga.
Pertama harus ditentukan apakah serangan yang terjadi merupakan serangan kejang atau
bukan.

Tabel 8.9. Perbedaan kejang dan bukan kejang


Klinis Kejang Bukan kejang

Awitan Tiba-tiba Gradual


Kesadaran Terganggu ( pada kejang fokal sederhana Tidak tergangg
kesadaran tidak terganggu)
Gerakan ekstremitas Sinkron Asinkron
Sianosis Sering Jarang
Gerakan abnormal mata Selalu Jarang
Serangan khas
Lama Sering Jarang
Dapat diprovokasi Detik-menit Beberapa menit
Abnormalitas EEG (iktal) Jarang Hampir selalu
Selalu Tidak pernah

35
DIVISI NEUROLOGI

Kedua, anamnesis untuk menentukan bentuk bangkitan / kejang adalah:


1. Kejang tonik (kaku), klonik (kelojotan), umum atau fokal
2. Kejang umum tonik –klonik (kaku- kelojotan)
3. Tiba- tiba jatuh (atonik)
4. Bengong, tidak berespon ketika di panggil atau ditepuk (absans). Tipe kejang ini dapat
diprovoksasi dengan cukup aman di poliklinik, dengan cara anak diminta untuk
hiperventilasi (meniup kertas) selama 30 kali hitungan. Hiperventilasi akan mencetuskan
serangan absans.
5. Bayi tampak seperti kaget berulang kali (spasme)
6. Gerakan otomatisasi (mengecap-ngecap)
7. Gerakan menyentak (jerks) pada ekstremitas (mioklonik)
8. Episode bingung dan kehilangan kesadaran.
9. Perasaan tiba- tiba merasa mual atau sakit uluhati, halusinasi visual/auditori, rasa
kesemutan dapat ditemukan pada kejang fokal. Keadaan tersebut disebut aura, yang
dideskripsikan sebagai stimulasi sensorik sebelum bangkitan muncul. Aura dapat juga
merasa pernah berada di suatu tempat (de ja vu).

Pemeriksaan fisis:
1. Defisit neurologis dapat menunjukkan adanya gangguan neuroanatomi.
2. Tanda-tanda klinis lain yang menunjukkan kelainan spesifik, misalnya kelompok sindroma
neurokutaneus.

Kriteria Diagnosis:
1. Gejala klinis berupa kejang tanpa provokasi
2. Gambaran EEG yang abnormal dapat membantu menegakkan diagnosis.

Diagnosis:
Diagnosis epilepsi dapat ditegakkan apabila pasien memenuhi salah satu kriteria di bawah ini
1. Setidaknya terdapat dua kejang tanpa provokasi (atau kejang refleks) yang terpisah >24
jam
2. Terdapat satu kejang tanpa provokasi (atau kejang refleks) namun memiliki risiko
mengalami kejang lebih lanjut setidaknya 60% yang terjadi pada 10 tahun ke depan
(misalnya dengan gangguan struktural otak berat).
3. Terdiagnosis suatu sindroma epilepsi.

Setelah diagnosis ditegakkan, ditelusuri lebih lanjut apakah pasien sesuai dengan sindroma
elektroklinis tertentu.

36
DIVISI NEUROLOGI

Tabel 8.10 Jenis sindroma epilepsi.


A. Neonatal Benign familial neonatal epilepsy
Usia gestasi < 44 Early myoclonic encephalopathy
minggu Sindroma Ohtahara

B. Bayi (< 1 tahun) Sindroma West


Myoclonic epilepsy of infancy (MEI)
Benign infantile epilepsy
Benign familial infantile epilepsy
Sindroma Dravet
Ensefalopati mioklonik pada kelainan non progresif
Kejang demam+

C. Anak-anak Kejang demam+


1-12 tahun Sindroma Panayiotopoulos
Epilepsi dengan kejang myotonik atonik
Childhood epilepsy with cetro temporal spikes (sebelumnya disebut
epilepsi Rolandic)
Epilepsi lobus frontalis nokturnal autosomal dominan
Epilepsi oksipital masa kanak-kanak awitan lambat (tipe Gastaut)
Epilepsi dengan absans myoklonik
Sindroma Lennox-Gastaut
Epilepsy with continuous spikes and waves during slow-wave sleep
(CSWS)
Sindroma Landau-Kleffner
Epilepsi absans masa kanak-kanak

D. Remaja Epilepi absans juvenil


12-18 tahun Epilepsi myoklonik juvenil
Epilepsi dengan kejang tonik klonik umum saja
Epilepsi fokal familial dengan fokus bervariasi
Epilepsi reflex

Diagnosis diferensial:
Epilepsi harus dibedakan dengan kejang non-epileptik dan serangan paroksismal bukan
kejang. Kejang non-epileptik adalah kejang demam, kejang refleks, kejang anoksik, kejang
akibat withdrawal alkohol, kejang yang dicetuskan obat-obatan atau bahan kimiawi lainnya,
kejang pasca trauma, dan kejang akibat kelainan metabolik atau elektrolit akut.

37
DIVISI NEUROLOGI

Tabel 8.11. Serangan paroksismal non-epileptik pada anak


Perubahan atau penurunan kesadaran
– Breath holding spells
– Sinkop
Gerakan menyerupai kejang
– Tic/ sindrom Tourette
– Hiperekpleksia/ exaggerated startle
– Spasmus nutans
– Refluks gastroesofagus/sindrom Sandifer
– Diskinesia/gerakan involunter
– Pseudoseizures
– Benign sleep myoclonus
Perubahan perilaku
– Nigh terrors
– Somnambulisme
– Melamun/ day dreaming
Fenomena sensorik atau autonom
– Migren
– Vertigo paroksismal
– Cyclic vomiting
– Hiperventilasi

Pemeriksaan Penunjang:
1. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG dilakukan pada pasien dengan demam tanpa provokasi. Pemeriksaan
EEG dapat diulang bila pada pemeriksaan pertama hasil tidak jelas. Kelainan pada EEG
dapat ditemukan pada 2%-4% anak yang tidak pernah kejang, sebaliknya EEG interiktal
pertama dapat normal pada 55% anak dengan kejang pertama tanpa provokasi.
EEG abnormal: asimetri baik irama atau voltase, irama gelombang yang tidak teratur,
perlambatan gelombang irama dasar serta adanya gelombang yang biasanya tidak
terdapat pada anak normal seperti gelombang tajam, paku, paku-ombak, paku majemuk
atau gelombang lambat voltase tinggi paroksismal.
2. Pencitraan: MRI, CT-scan.
Indikasi: epilepsi disebabkan oleh adanya suatu fokus pada otak (localization related),
pemeriksaan neurologis abnormal, anak berusia kurang dari dua tahun, epilepsi
simtomatik, kejang yang tidak dapat dikendalikan, regresi perkembangan dan epilepsi
yang disertai kedaruratan medis seperti peningkatan tekanan intrakranial.

38
DIVISI NEUROLOGI

Tata Laksana
Prinsip tatalaksana adalah tercapainya bebas kejang tanpa mengalami reaksi simpang obat.
Idealnya berupa monoterapi dengan dosis obat terendah yang dapat mengendalikan kejang.
Setelah diputuskan untuk diberikan OAE, obat yang dipilih dititrasi meningkat dari dosis
terendah. Apabila setelah dosis tertinggi yang dianjurkan tercapai dan kejang belum
terkendali, maka dapat ditambahkan atau diganti dengan obat kedua.

Tabel 8.12. Efektifitas obat-obat anti epilepsi utama pada berbagai jenis kejang
Obat anti Kejang fokal Tonik Tonik klonik
epilepsi (simpleks klonik umum Mioklonik Absans
atau umum primer
kompleks) sekunder
Carbamazepine Efektif Efektif Efektif -a -a
Clobazam Efektif Efektif Efektif? Efektif? Efektif?
Clonazepam Efektif Efektif Tidak Efektif Efektif
efektif?
Eslicarbazepine Efektif Efektif Tidak Tidak diketahui Tidak diketahui
diketahui
Ethosuximide - - - Efektif? Efektif
Gabapentin Efektif Efektif - -e Dapat
memperparah
Lacosamide Efektif Efektif Tidak Tidak ketahui Tidak diketahui
diketahui
Lamotrigine Efektif Efektif Efektif Dapat Efektif
memperparahb
Levetiracetam Efektif Efektif Efektif Efektif Efektifc
Oxcarbazepine Efektif Efektif Efektif - -
Phenobarbital Efektif Efektif Efektif - -
Phenytoin Efektif Efektif Efektif - -
Pregabalin Efektif Efektif - Memperparahe -
Tiagabine Efektif Efektif - - Memperparah
Topiramate Efektif Efektif Efektif Efektif Efektif
Valproate Efektif Efektif Efektif Efektif Efektif
Vigabatrin Efektif Efektif - - Memperparah
Zonisamide Efektif Efektif Efektif Efektif Efektif
a
Carbamazepine umumnya tidak efektif untuk kejang absans dan mioklonik, beberapa
penelitian justru menunjukkan perburukan kejang. bLamotrigine dapat memperparah kejang
myoklonik pada juvenile myoclonic epilepsy dan epilepsi myoklonik progresif lainnya. cEfek
levetiracetam pada absans belum banyak diteliti, meski penelitian yang ada menunjukkan
d
levetiracetam efektif pada absans. Oxcarbazepin seperti carbamazepine dapat
e
memperparah kejang myoklonik dan absans. Pregabalin dan gabapentin dapat
menimbulkan kejang myoklonus bahkan pada pasien yang sebelumnya tidak mengalami
kejang tersebut.

39
DIVISI NEUROLOGI

Jenis obat yang sering diberikan yaitu :


1. Carbamazepine.
a. Dosis : 5-30 mg/kgBB/hari dimulai dengan dosis rendah dibagi dalam 3 dosis.
b. Efek samping :diplopia, ataksia, mengantuk, pusing, ikterus, anemia, sindroma
Stevens Jhonson.
2. Asam Valproat
a. Dosis : 10-60 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis, maksimal 1000 mg/kali dan 3000
mg/hari
b. Efek samping: nyeri perut, rambut rontok, peningkatan berat badan, trombositopenia,
hepatitis.
3. Phenytoin
a. Dosis : 4-10 mg/kg/BB/hari dibagi 2 dosis, maksimal 300 mg/hari
b. Efek samping: hiperplasi gusi .
4. Phenobarbital
a. Dosis : 3-5 mg/kgBB/hari dibagi 1-2 dosis.
b. Efek samping:mengantuk, gangguan sifat berupa hiperaktifitas, hiperiritabilitas dan
agresifitas, gangguan kognitif dan daya ingat.

Tindak Lanjut:
Indikasi Rawat:
1. Status epileptikus
2. Frequent/cluster seizures (> 3 kali per hari atau lebih banyak dari biasanya), karena risiko
tinggi untuk mengalami status epileptikus
3. Tanda-tanda kegawatan misalnya peningkatan tekanan intrakranial

Indikasi pulang: pasien dengan keadaan umum baik, tidak ada tanda kegawatan dan telah
bebas kejang >24 jam.
Penghentian obat antiepilepsi:
Penghentian obat antiepilepsi dapat dilakukan dengan mengikuti panduan berikut

40
DIVISI NEUROLOGI

Tabel 8. 13. Panduan Penghentian Obat Antiepilepsi


Waktu memulai penghentian obat antilepsi
1. Setelah 2 tahun bebas kejang, jika syarat a, b, dan c di bawah ini terpenuhi:
a. Epilepsi idiopatik: tonik-klonik, absans tipikal
b. Pemeriksaan fisik, neurologis dan perkembangan normal
c. Gambaran EEG Normal
(Peringkat bukti 1, rekomendasi A)
2. Setelah tiga tahun bebas kejang, pada kasus:
a. Epilepsi simtomatik
b. Sindrom Epilepsi
c. Gambaran EEG abnormal walau telah dua tahun bebas kejang
(Peringkat bukti 5, rekomendasi C).

Kecepatan tapering off


1. Tapering off selama tiga bulan, jika syarat a dan b di bawah ini terpenuhi:
10. Epilepsi idiopatik yang bebas kejang dengan satu jenis OAE
11. Gambaran EEG sebelum tapering off normal
(Peringkat bukti 3, rekomendasi B)
2. Tapering off selama enam bulan, pada kasus:
a. Epilepsi simtomatik
b. Sindrom epilepsy
c. Gambaran EEG sebelum tapering off masih menunjukkan gelombang
epileptiform
d. Terdapat gangguan perkembangan
(Peringkat bukti 5, rekomendasi C)

Edukasi
1. Memberitahu cara penanganan kejang di rumah.
2. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
3. Penghentian pengobatan dilakukan setelah 2 tahun bebas kejang dan secara perlahan –
lahan.
4. Menentukan obat yang dapat digunakan bersama-sama orang tua.

Prognosis
1. Kejang yang berlangsung lebih dari 20-30 menit dapat menimbulkan kerusakan otak
akibat hipoksia.
2. Prognosis untuk tercapainya pengendalian kejang sangat tergantung dari beberapa
faktor, antara lain:

41
DIVISI NEUROLOGI

a. Etiologi: epilepsi simtomatik umumnya lebih sulit mengalami remisi


b. Respon awal terhadap pengobatan: pasien yang mengalami remisi jangka panjang
sebagian besar responsif terhadap obat pertama yang diberikan dengan dosis yang
tidak begitu tinggi.
c. Pasien dengan jenis kejang fokal atau dengan beberapa jenis kejang sekaligus
(misalnya tonik klonik umum dan mioklonik umum) berisiko lebih tinggi untuk
mengalami kejang refrakter.
d. Sindrom epilepsi tertentu memiliki prognosis berbeda, misalnya: absans anak dan
epilepsi dengan paku sentro temporal memiliki prognosis yang baik, sedangkan
spasme infantil, epilepsi mioklonik juvenil dan sindrom Dravet memiliki prognosis lebih
jelek.

Kepustakaan
1. Mangunatmadja I, Handryastuti S, Risan NA. Epilepsi pada anak. Edisi pertama.
Jakarta:Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia;2016.
2. Panayiotopoulos CP. A clinical guide to epileptic syndromes and their treatment. Edisi ke-
2. London:Springer; 2013.
3. Swaiman KF, Ashwal S. Pediatric Neurology Principles & Practice. Edisi ke-4. St. Louis:
Mosby; 2006.
4. Shorvon SD. The etiologic classification of epilepsy: etiologic classification of epilepsy.
Epilepsia. 2011;52(6):1052-7.
5. Parisi P, Verrotti A, Paolino MC, dkk. “ Electro-clinical syndromes” with onset in paediatric
age: the highlights of the clinical-EEG, genetic and therapeutic advances. Ital J Pediatr.
2011;37(1):37-58.
6. Stafstrom CE, JM R. Neurophysiology of seizures and epilepsy. Dalam: Swaiman KF,
Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF, penyunting. Swaiman’s pediatric neurology. Edisi ke-5.
Edinburgh: Elsevier Saunders; 2012.h.711-26.
7. Foldvary-Schaefer N, Wyllie E. Epilepsy. Dalam: Goetz CG, penyunting. Textbook of
clinical neurology. edisi ketiga. Philadelphia: Saunders; 2012.h.1213-44.
8. Rosati A, De Masi S, Guerrini R. Antiepileptic Drug treatment in children with Epilepsy.
CNS Drugs. 2015;29(10):847-63.
9. Arzimanoglou A, Guerrini R, Aicardi J, editors. Aicardi”s epilepsy in children. Edisi ke-3.
Philadelphia : Lippincott, William and Wilkins; 2004.
10. Panayiotopoulos CP. The epilepsies seizures, syndromes and management. Edisi ke-2.
Oxfordshire: Bladon Medical Publishing; 2005.
11. Comission of Classification and terminology of the International League Against
Epilepsy.Proposal for revised clinical and electroencephalographic classification of
epielptic seizures. Epilepsia.1981;22:489-501.

42
DIVISI NEUROLOGI

TATA LAKSANA KEJANG AKUT DAN STATUS EPILEPTIKUS

Definisi
Status epileptikus adalah bangkitan kejang yang berlangsung selama 30 menit terus
menerus atau kejang yang berulang-ulang selama 30 menit tanpa terjadinya pemulihan
kesadaran inter iktal. Kejang yang telah berlangsung lebih dari lima menit berisiko tinggi
untuk menjadi status epileptikus sehingga harus ditatalaksana.

Etiologi
Secara umum, etiologi SE dibagi menjadi:
1. Simtomatis: penyebab diketahui
a. Akut: infeksi, hipoksia, gangguan glukosa atau keseimbangan elektrolit, trauma
kepala, perdarahan, atau stroke.
b. Remote, bila terdapat riwayat kelainan sebelumnya: ensefalopati hipoksik-iskemik
(EHI), trauma kepala, infeksi, atau kelainan otak kongenital
c. Kelainan neurologi progresif: tumor otak, kelainan metabolik, otoimun (contohnya
vaskulitis)
d. Epilepsi
2. Idiopatik/kriptogenik: penyebab tidak dapat diketahui

Faktor risiko
Berikut adalah beberapa kelompok pasien yang berisiko mengalami status
epileptikus:
1. Epilepsi
Sekitar 10-20% penderita epilepsi setidaknya akan mengalami satu kali episode status
epileptikus dalam perjalanan sakitnya. Selain itu, SE dapat merupakan manifestasi
epilepsi pertama kali pada 12% pasien baru epilepsi.
2. Pasien sakit kritis
Pasien yang mengalami ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala, infeksi SSP,
penyakit kardiovaskular, penyakit jantung bawaan (terutama post-operatif ), dan
ensefalopati hipertensi.

Kriteria diagnosis
Bangkitan kejang harus dibedakan dengan bangkitan non epileptik, antara lain dengan
adanya penurunan kesadaran, abnormal gaze, tidak hilang dengan fleksi atau ekstensi pasif,
dan dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan EEG atau EEG monitoring.

43
DIVISI NEUROLOGI

Tata Laksana
Evaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathing, circulation (ABC) harus dilakukan
seiring dengan pemberian obat anti-konvulsan. Pemilihan jenis obat serta dosis anti-
konvulsan pada tata laksana SE sangat bervariasi antar institusi. Berikut ini adalah algoritma
tata laksana kejang akut dan status epileptikus berdasarkan Konsensus UKK Neurologi
Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Gambar 8.1. Algoritma tatalaksana kejang akut dan status epileptikus


Keterangan:
Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2 mg/menit. Bila
kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan.
Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan yang
sama

44
DIVISI NEUROLOGI

Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai dosis yang
diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya, dan teteskan pada
buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal berdasarkan kelompok usia;
 2,5 mg (usia 6 – 12 bulan)
 5 mg (usia 1 – 5 tahun)
 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun)
 10 mg (usia ≥ 10 tahun)
Tapering off midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah
pemberian midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap
dengan kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas kejang.
Medazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU, namun disesuaikan
dengan kondisi rumah sakit
Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam keadaan tidak
kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV dilanjutkan dengan
pemberian rumatan bila diperlukan.

Indikasi Pulang
1. Kejang teratasi
2. Bebas kejang dengan OAE maintenance setidaknya 24 jam.
3. Faktor penyebab kejang dapat diatasi

Edukasi
1. Memberitahu cara penanganan kejang di rumah
2. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
3. Menentukan obat yang dapat digunakan bersama-sama orang tua

Prognosis
Gejala sisa lebih sering terjadi pada SE simtomatis; 37% menderita defisit neurologis
permanen, 48% disabilitas intelektual. Sekitar 3-56% pasien yang mengalami SE akan
mengalami kembali kejang yang lama atau status epileptikus yang terjadi dalam 2 tahun
pertama. Faktor risiko SE berulang adalah; usia muda, ensefalopati progresif, etiologi
simtomatis remote, sindrom epilepsi.
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam

45
DIVISI NEUROLOGI

Kepustakaan
1. Goldstein JA, Chung MG. Status epilepticus and seizures. Dalam: Abend NS, Helfaer
MA, penyunting. Pediatric neurocritical care. New York: Demosmedical; 2013. h 117–138.
2. Ismail S, Pusponegoro HD, Widodo DP, Mangunatmaja I, Handryastuti S. Rekomendasi:
Penatalaksanaan Status Epileptikus. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2016.
3. Moe PG, Seay AR. Neurological and muscular diorders. Dalam: Hay WW, Hayward AR,
Levin MJ, Sondheimer JM, penyunting. Current pediatric: Diagnosis and treatment. Edisi
ke-18. International Edition: McGrawHill; 2008.h. 735.
4. Hartmann H, Cross JH. Post-neonatal epileptic seizures. Dalam: Kennedy C,penyunting.
Principles and practice of child neurology in infancy. Mac Keith Press; 2012. h. 234-5.
5. Anderson M. Buccal midazolam for pediatric convulsive seizures: efficacy, safety, and
patient acceptability. Patient Preference and Adherence. 2013;7:27-34.

46
DIVISI NEUROLOGI

POLIOMIELITIS PARALITIKA

Definisi
Penyakit infeksi virus akut yang mengenai medulla spinalis dan batang otak.Predileksi virus
polio pada sel kornu anterior medula spinalis, inti motorik batang otak dan area motorik
korteks otak, sehingga menyebabkan kelumpuhan serta atrofi otot.

Etiologi
Virus polio tipe Brunhilde, Lansing dan Leon.Virus polio merupakan virus RNA berukuran
kecil, dengan diameter 27-30nm, subgrup Enterovirus, famili Picornaviridae, dan satu
subgroup dengan virus Coxsackie dan Echovirus. Enterovirus bersifat stabil pada pH asam,
dapat bertahan hidup berminggu-minggu pada suhu ruangan dan berbulan-bulan pada suhu
0-8ºC.

Bentuk klinis (klasifikasi)


1. Asimtomatis: Sekitar 72% kasus, tanpa gejala tetapi anak melepaskan virus ke tinja
sehingga dapat menularkan ke orang lain.
2. Poliomielitis abortif: Sekitar 42% kasus, infeksi bersifat ringan dengan gejala non spesifik
tanpa bukti klinis dan laboratorium infeksi sistem saraf. Gejala berupa demam ringan dan
nyeri tenggorokan. Sembuh sendiri dalam waktu kurang dari satu minggu.
3. Meningitis aseptik nonparalitik: sekitar 1-5%, gejala berupa kaku leher, punggung dan
atau kaki, muncul beberapa hari setelah gejala ringan. Lama gejala sekitar 2-10 hari,
kemudian sembuh sendiri.
4. Paralisis flaksid: sekitar kurang dari 1% kasus. Gejala muncul setelah 1-18 hari gejala
prodromal dan progresif dalam waktu 2-3 hari.

Dalam surveilans AFP yang tujuannya mencari kasus polio diagnosa pasti polio dapat
ditegakkan. Kasus AFP adalah semua anak berusia kurang dari 15 tahun dengan
kelumpuhan yang sifatnya flaccid (layuh), terjadi secara akut (mendadak/<14 hari) dan bukan
disebabkan oleh ruda paksa. Klasifikasi pasien yang diduga polio berdasarkan surveilans
AFP adalah sebagai berikut:
1. Klasifikasi pada surveilens yang belum memenuhi kriteria: secara klinis
2. Klasifikasi pada surveilens yang memenuhi kriteria: secara virologis

Kriteria Surveilans :
1. AFP rate : 2 per 100.000 pada penduduk usia <15 tahun
2. Spesimen yang adekuat dari kasus AFP > 80 %

47
DIVISI NEUROLOGI

Pada surveilans yang belum baik maka digunakan kriteria klasifikasi klinis yaitu :
1. Kelumpuhan menetap (paralise residual), setelah kunjungan ulang 60 hari sejak
terjadinya kelumpuhan
2. Meninggal sebelum 60 hari sejak terjadinya kelumpuhan
3. Tak dapat diketahui keadaan kelumpuhan setelah 60 hari sejak mulai lumpuh

Pada surveilans yang sudah baik digunakan kriteria klasifikasi virologis yaitu:didapatkan virus
polio liar pada pemeriksaan spesimen.

Anamnesis
1. Adanya demam tinggi yang timbul pada onset kelumpuhan
2. Kelumpuhan bersifat akut, asimetris dengan progresifitas kelumpuhan 3-4 hari
3. Tak ada gangguan fungsi kandung kemih.

Pemeriksaan fisis
1. Demam
2. Gejala rangsang meningeal diikuti kelumpuhan flaksid asimetris, atrofi otot
3. Tak ada gangguan rasa raba
4. Refleks tendon berkurang atau hilang

Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. LCS
4. Isolasi virus dari tinja dan orofaring
5. Indikasi Rawat : Kelumpuhan

Diagnosis
Poliomielitis paralitika

Differential Diagnosis
1. Sindroma Guillan Barré
2. Mielitis transversa
3. Neuritis traumatika
4. Polio like paralysis akibat enterovirus lain
5. Acute progressive myelopati
6. Miastenia gravis

48
DIVISI NEUROLOGI

Tabel 8.14. Diagnosis banding poliomielitis


Polio Guillain-Barré Neuritis Mielitis transversa
syndrome traumatika

Perjalanan 24 sampai 48 jam Beberapa jam Beberapa jam Beberapa jam


paralisis sampai terjadi hingga 10 hari sampai 4 hari sampai 4 hari
paralisis total

Onset demam Tinggi, selalu timbul Jarang Sering, timbul Jarang


onset paralis sebelum, selama
flaksid, hilang dan sesudah
setelah beberapa paralisis flaksid
hari

Paralisis flaksid Akut, biasanya Umumnya akut, Asimetris, akut Akut, tungkai
asimetris, pada simetris dan pada dan mengenai bawah, simetris
bagian proksimal bagian distal hanya satu
tungkai

Tonus otot Menurun atau Hipotonia global Menurun atau Hipotonia pada
hilang pada bagian hilang pada tungkai bawah
tungkai yang bagian tungkai
terkena yang terkena

Refleks tendon Menurun sampai Hilang Menurun sampai Hilang pada


dalam hilang hilang tungkai bawah

Sensasi Nyeri otot berat, Kram, perasaan Nyeri pada Anestesi pada
nyeri punggung, geli, hipoanestesi gluteus dan tungkai bawah
tidak ada telapak tangan hipotermia setinggi level
perubahan sensoris dan kaki sensoris

Keterlibatan Hanya jika terdapat Sering terjadi, Tidak ada Tidak ada
nervus kranialis keterlibatan bulbar mengenai nervus
VII,IX,X,XI,XII

Distres Hanya jika terdapat Pada kasus berat, Tidak ada Kadang-kadang
pernafasan keterlibatan bulbar diperberat oleh
bakteri
pneumonia

Tanda & gejala Jarang Sering terjadi Hipotermia pada Ada


otonom perubahan tungkai yang
tekanan darah, terkena
berkeringat,
kemerahan dan
fluktuasi suhu

49
DIVISI NEUROLOGI

tubuh

Cairan Peradangan Disosiasi sitologi normal Normal atau


serebrospinal albumin perubahan ringan
pada sel

Disfungsi Tidak ada Sementara Tidak pernah Ada


kandung kemih

Kecepatan Abnormal : anterior Abnormal Abnormal: Normal atau


konduksi saraf: horn cell disease :konduksi kerusakan akson abnormal : Tidak
minggu ke-3 (normal selama 2 melambat, ada nilai
minggu pertama) penurunan diagnostik
amplitudo motorik

EMG setelah 3 Abnormal Normal normal Normal


minggu

Gejala sisa Berat, asimetris, Simetris, atropi Atropi sedang, Atropi flaksid
setelah 3 bulan atropi, deformitas otot bagian distal hanya mengenai diplegia setelah
sampai 1 tahun tulang, tungkai bagian bertahun-tahun
pertumbuhan bawah
terlambat

Pemeriksaan Penunjang
1. LCS: kenaikan sel (10-20 sel/100mL), kadar protein normal atau agak meningkat (40-
50/100 mL), berlangsung sampai 2 bulan. Awal penyakit jumlah sel leukosit meningkat
terutama terdiri dari sel polimorfonuklear, setelah itu jumlah limposit lebih banyak dan
menjadi normal dalam 2-3 minggu dan kadar glukosa normal.
2. Isolasi virus
3. Pemeriksaan elektromiografi dan kecepatan hantaran saraf untuk membedakan dengan
penyakit-penyakit lain seperti sindroma Guillain Barré, miasthenia gravis, distrofi
muskuler, dan lain-lain.

Tata Laksana
1. Terapi suportif.
2. Polio abortif memerlukan analgesik atau sedativa, diet yang adekuat dan istirahat sampai
panas turun, aktifitas minimal selama 2 minggu dan pemeriksaan neuromuskuloskeletal
yang teliti setelah 2 bulan.
3. Polio nonparalitik sama dengan polio abortif, ditambah penggunaan kompres untuk
mengurangi spasme otot.

50
DIVISI NEUROLOGI

4. Penderita polio paralitik harus dirawat di rumah sakit sampai melewati fase akut.
Perawatan khusus diperlukan pada penderita dengan kelumpuhan bulbar atau
ensefalitis, sesuai dengan derajat berat penyakitnya.
5. Belum ada pengobatan kausal namun dapat dicegah dengan vaksinasi.
6. Ventilasi mekanik dan bantuan sirkulasi mungkin dibutuhkan apabila terdapat gejala
bulbar.
7. Rehabilitasi medik setelah penderita melewati fase akut polio dan penderita dengan
defisit motorik permanen.

Indikasi pulang
Keadaan umum membaik, fase akut terlewati.

Edukasi
Imunisasi polio

Prognosis
1. Prognosis pada polio non paralitik pada umumnya baik, biasanya sembuh sempurna.
2. Angka kematian pada poliomielitis paralitik 5-10%, lebih tinggi pada dewasa dan bayi.
3. Pada kasus paralisis ringan membaik pada 20-30% kasus dalam waktu 6 bulan, minimal
terjadi perbaikan dalam waktu 1-2 tahun.
4. Sekitar 20% kasus dengan paralisis spinal perlu pengobatan operatif. Paralisis otot
proksimal tungkai memiliki prognosis lebih baik dibandingkan paralisis otot perut dan otot
oppones policis.
5. Perbaikan fungsi otot terjadi selama 18 bulan sampai 2 tahun.
6. Angka kematian meningkat sampai 80% pada kasus poliomielitis tipe bulber. Paresis
bulbar parsial biasanya sembuh sempurna.

Kepustakaan
1. Nurrokhim RM, Azali MS. Poliomielitis. Dalam: Purwo Sudarmo S, Garna H, Hadinegoro
SR, penyunting. Buku ajar IKA Infeksi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003. h.209-22.
2. WHO. Immunization, Vaccines and Biologicals : Poliomyelitis. WHO: Februari 2017.
3. CDC. Epidemiology and Prevention of Vaccine Prevention Diseases: Poliomyelitis.
Centers for Disease Control and Prevention. Edisi ke-13. 2015:297-309.
4. Soedarmo SSP, Gama H, Hadinegoro SRS, Satari HI.Poliomielitis. Dalam: Buku ajar
infeksi dan pediatri tropis.Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2008.h.182-94.
5. Simoes EAF. Polioviruses. Dalam: Berhrman RE, Vaughn VC, Nelson WE, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders; 2004. h.1036-42.

51
DIVISI NEUROLOGI

6. Jesus NDH. Epidemics to eradication: the modern history of poliomyelitis. Virol J


2007;4:1-18.
7. Weekly epidemiological record. Inactivated poliovirus vaccinefollowing oral poliovirus
vaccine cessation. 2006; 15:137-44.

52
DIVISI NEUROLOGI

MIELITIS TRANSVERSA

Definisi
Mielitis transversa adalah penyakit akibat inflamasi fokal yang diperantarai sistem imun yang
mengenai medulla spinalis. Gejalanya berupa disfungsi motorik disertai disfungsi sensoris
dan otonom yang mendadak. Makna “transversa” pada kasus mielitis transversa bukan
menggambarkan sebaran patologi pada medulla spinalis, namun lebih menunjukkan adanya
gangguan sensoris yang berpola seperti pita (band like area)horisontal yang menyertai
gangguan motorik.

Anamnesis
1. Ada demam
2. Kelumpuhan bersifat akut, simetris pada tungkai bawah dengan progresivitas
kelumpuhan beberapa jam sampai 4 hari

Pemeriksaan fisis
1. Paraparesis
2. Gangguan sensorik
3. Reflex fisiologis meningkat, klonus
4. Gangguan saraf otonom

Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan pencitraan medula spinalis
(terutama MRI kontras), pemeriksaan LCS dan penunjang lain.

Diagnosis
Myelitis Consortium Working Group mengajukan batasan diagnosis mielitis transversa
sebagai berikut:
Kriteria inklusi :
1. Disfungsi motorik, sensorik, dan otonom yang disebabkan oleh kelainan medula spinalis.
2. Mengenai kedua sisi tubuh (bisa simetris atau asimetris).
3. Batas sensorik yang jelas.
4. Adanya inflamasi medulla spinalis yang ditandai dengan peningkatan sel atau
peningkatan indeks IgG pada LCS atau penyangatan pada pemberian kontras gadolinium
pada MRI. Pemeriksaan LCS dan MRI dapat diulang 2-7 hari setelah awitan apabila
pemeriksaan awal negatif.

53
DIVISI NEUROLOGI

5. Progresivitas penyakit berlangsung antara 4 jam sampai 21 hari dari awal timbulnya
gejala.
Kriteria eksklusi:
1. Riwayat radiasi pada tulang belakang dalam 10 tahun terakhir.
2. Adanya defisit klinis yang menunjukkan adanya trombosis dari arteri spinalis anterior.
3. Hasil pemeriksaan pencitraan menunjukkan adanya kompresi medulla.
4. Hilangnya aliran darah pada permukaan medulla spinalis yang menunjukkan adanya
malformasi arteriovena.
5. Adanya penyakit jaringan ikat baik secara klinis atau serologis (sarcoidosis, Behcet’s
disease, Sjogren’s syndrome, SLE, mixed connective tissue disorder, dan lain lain).
6. Adanya penyakkit sifilis, Lyme disease, HIV, HTLV-1, Mycoplasma atau infeksi virus
lainnya (HSV- 1, HSV-2, VZV, EBV, CMV, HHV-6, dan enterovirus).
7. Adanya tanda sklerosis multipel pada MRI atau LCS (adanya oligoklonal band) .
8. Adanya riwayat neuritis optik yang nyata.

Gejala sensoris dapat berupa penurunan sensasi, parestesia atau nyeri. Penurunan
sensasi terjadi pada 90% anak, tersering pada tingkat torakalis. Meski gangguan sensoris
pada mielitis transversa seharusnya memiliki batas dermatom yang jelas, namun hal
demikian hanya dapat ditemukan pada sekitar 60% anak. Nyeri terjadi pada 60% anak pada
saat awal timbulnya gejala.
Gejela otonom dapat berupa inkontinensia uri atau alvi, retensio atau konstipasi.
Retensio urin dapat terjadi pada 95% pasien pada fase akut penyakit. Inkontinensia urin
dapat terjadi pada fase lanjut saat telah terjadi spastisitas otot detrusor.

Diagnosis banding
1. Acute disseminated encephalomyelitis (ADEM)
2. Neuromyelitis optica
3. Sklerosis multipel
4. Gangguan vaskuler seperti sumbatan arteri pada medulla spinalis dapat menyebabkan
infark dan menimbulkan gejala kelemahan akut.
5. Malformasi arteriovenamerupakan kelainan vaskuler namun akan menunjukkan gejala
yang lebih perlahan karena proses iskemia yang gradual karena kongesti vena.
6. Kompresi oleh tumor baik primer ataupun metastasis dapat terjadi pada medulla spinalis.
Neurofibroma dan meningioma merupakan tumor-tumor yang dapat ditemukan pada
medulla spinalis.
7. Sindroma paraneoplastik juga dapat menimbulkan gejala mielitis, dikarenakan adanya
reaksi antibodi terhadap medulla spinalis yang terbentuk sebagai respon sel tumor di
tempat lain.

54
DIVISI NEUROLOGI

8. Mielitis juga dapat terjadi pasca radiasi (mielopati radiasi), umumnya gejala berlangsung
progresif lambat dan dapat timbul bahkan 15 tahun setelah radiasi.
Fase awal mielitis transversa dapat memberikan gejala paralisis flaksid yang harus
dibedakan dengan penyakit dengan gejala lower motor neuron seperti sindroma Guillain
Barré, poliomielitis paralitik, myasthenia gravis, paralsis periodik dan lain-lain.

Pemeriksaan Penunjang
1. MRI dengan kontras gadolinium pada medulla spinalis dilakukan sesegera mungkin.
2. Pemeriksaan liquor cerebrospinal (LCS) dapat menunjukkan peningkatan leukosit
(pleositosis) yang merupakan tanda adanya inflamasi, namun harus disingkirkan dahulu
apakah terdapat proses infeksi.

Tata Laksana
1. Evaluasi jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi
2. Imobilisasi medulla spinalis sampai dinyatakan tidak ada mielopati yang diakibatkan oleh
trauma.
3. Retensio urin ditatalaksana dengan pemasangan kateter baik intermiten atau menetap.
4. Terapi lini pertama adalah pemberian glukokortikoid dosis tinggi yaitu metil prednisolone
30 mg/ kgbb/ hari (maksimum 1000mg/hari) sekali sehari selama 3 sampai 5 hari.
Kortikosteroid intravena selanjutnya diteruskan dengan pemberian oral 1 mg/kg/hari
selama 3-4 minggu kemudian tapering off.
5. Plasmaferesis dapat dipertimbangkan jika respon terhadap steroid tidak adekuat.
6. Terapi alternatif yaitu pemberian IVIG 2 g/kg dosis terbagi selama 2 sampai 5 hari
7. Pemberian siklofosfamid 500 to 750 mg/ m2 sekali sehari juga dapat menjadi alternatif
terapi.
8. Konsultasi ke bagian rehabilitasi medik untuk terapi okupasi dan fisioterapi.
9. Semua kasus yang kompatibel dengan paralisis flaksid akut harus dilaporkan ke sistim
surveilans.

Prognosis
Pemulihan sempurna terjadi pada 33% - 50% pasien, sedangkan luaran jangka panjang
yang jelek terjadi sekitar 10% - 20%, di antaranya mobilitas yang terbatas pada kursi roda.
Sekitar 5 - 10 % kasus akan menjadi sklerosis multipel.

Kepustakaan
1. Ahmad A, MD, Seguias L, MD, Ban K. Diagnosis and treatment of pediatric acute
transverse myelitis. Pediatr Ann. 2012;41:11:477-82

55
DIVISI NEUROLOGI

2. Wolf LV, Lupo JP, Lotze ET. Pediatric acute transverse myelitis overview and differential
diagnosis. J Child Neurol. 2012; 27:1426-36.
3. Absoud M, Greenberg MB, Lim M, Lotze T, Thomas T, Deiva K. Pediatric transverse
myelitis. Am Acad Neurol. 2016; 87:46-52.
4. Scott FT, Frohman ME, Seze DJ, Gronseth SG, Weinshenker BGF.Evidence-based
guideline clinical evaluation and treatment of transverse myelitis. Am Acad Neurol. 2011;
77:2128-34.
5. Makhani N, Brenton JN, Banwell B. Acquired disorder affecting the white matter. Dalam:
Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, dkk, penyunting. Swaiman’s pediatric neurology
principles and practice. Edisi ke-6. Philadelphia:Elsivier;2017.h.773-80.

56
DIVISI NEUROLOGI

SINDROM GUILLAIN BARRÉ

Definisi
Sindroma Guillain-Barré adalah penyakit yang bersifat akut atau subakut (≤ 28 hari) dengan
gejala kelemahan yang progresif akibat proses yang diperantarai sistem imun, yang terjadi
setelah adanya infeksi (post infection illness). Progresifitas kelemahan memiliki karakteristik
yang bersifat ascending, yang dimulai dari bagian distal ekstremitas bawah, secara cepat
berkembang ke atas, hingga dapat mencapai ke otot pernapasan dan otot wajah, biasanya
simetris.

Anamnesis
Gejala utama Sindroma Guillain-Barré adalah kelemahan yang bersifat ascending dengan
progresifitas yang cepat, simetris, mulai dari ekstremitas bawah berkembang ke ekstremitas
atas, wajah, dan otot-otot pernapasan, dimana dari mulai timbulnya gejala sampai puncak
terjadinya gejala memakan waktu ≤ 4 minggu.

Pemeriksaan fisis
Terjadi hiporefleksia atau arefleksia dan hilangnya reflek tendon dalam. Gejala lainnya
diantaranya konstipasi, hiperhidrosis, gangguan menelan, dan dismotilitas gastroesofageal.
Nyeri ditemukan pada sebagian besar kasus yaitu pada awal penyakit. Gangguan otonom
seperti aritmia dan fluktuasi tekanan darah dapat ditemukan, namun lebih banyak pada
dewasa dibanding anak-anak. Disfungsi saluran kemih dapat terjadi pada 15-19,5% anak-
anak tetapi bersifat transient.

Diagnosis
Sindroma Guillain-Barré didiagnosis berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang
berupa pemeriksaan cairan serebrospinal dan kecepatan hantaran saraf.

Tabel 8.15. Diagnosis Sindroma Guillain-Barré berdasarkan gambaran klinis dan


laboratorium
I. Kemungkinan diagnosis
 Kelemahan motorik progresif lebih dari satu tungkai
 Arefleksia
II. Mendukung kuat diagnosis
 Kelemahan progresif berkembang secara cepat tetapi berhenti setelah 4 minggu; hampir
50% mencapai puncaknya dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% setelah 4
minggu

57
DIVISI NEUROLOGI

 Relatif simetris
 Gejala dan tanda sensorik ringan
 Keterlibatan nervus cranialis; kelemahan wajah berkembang pada separuh pasien
 Disfungsi otonom
 Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
 Pemulihan-biasanya pemulihan dalam 2 hingga 4 minggu setelah progresifitas berhenti;
dapat sampai beberapa bulan
 Demam saat onset gejala, kehilangan sensoris berat dengan nyeri, progresifitas lebih lama
dari 4 minggu, kekurangan pemulihan atau sisa defisit mayor permanen.
 Disfungsi sfingter
 Keterlibatan CNS
III. Gambaran klinis yang meragukan diagnosis
 Fungsi motorik asimetris persisten
 Disfungsi kandung kemih atau usus yang persisten
 Disfungsi kandung kemih atau usus saat onset gejala
 Discrete sensory level
IV. Gambaran klinis yang menyingkirkan diagnosis
 Riwayat penyalahgunaan hexakarbon
 Evidence porphyria
 Baru terkena difteri
 Gambaran yang konsisten diikuti neuropati dan adanya intoksikasi
 A pure sensory syndrome
 Diagnosis pasti gangguan paralisis
Sumber : Asbury AK, Cornblath DR. Assesment of current diagnosis criteria for Guillain-Barré
syndrome. Ann Neurol 1990;27:S21

Tabel 8.16 Diagnosis Banding Sindroma Guillain-Barré


CEREBRAL
1. Bilateral stroke
2. Histeria

CEREBELLAR
1. Acute cerebellar ataxia syndrome (multiple etiologi)
2. Lesi struktural fosa posterior

SPINAL
1. Poliomielitis
2. Mielopati kompresif
3. Mielitis Transversa
4. Sindroma arteri spinalis anterior

SARAF PERIFER
1. CIDP

58
DIVISI NEUROLOGI

2. Neuropati toksik
a. Obat : amitriptilin, dapson, glutethimide, hydralazine, isoniazide, nitrofurantoin, nitrit
oxide
b. Toxin : acrylamide, glue sniffing, racun ikan, logam berat (arsen, merkuri, thalium),
insektisida, N-hexane dan pelarut lainnya, organofosfat, bisa ular.
3. Critical illness neuropathy
4. Vaskulitis
5. Difteri
6. Tick paralysis
7. Porphyria

NEUROMUSCULAR JUNCTION
1. Keracunan
2. Miastenia gravis
3. Neuromuscular-blocking agents

MUSCLE DISEASE
1. Miositis virus akut
2. Acute inflammatory myopathies (polymyositis, dermatomyositis)
3. Metabolic myopathies (multiple types)
4. Periodic paralysis
5. Hypo-or hyperkalemia
6. Critical illness myopathy

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan elektromiografi (EMG)-nerve conduction studies (NCV) merupakan penunjang
diagnostik utama pada SGB danjuga dapat membedakan tipe demyelinasi dan tipe aksonal.
Sensitivitas 90% pada minggu pertama, meningkat pada minggu kedua.
Analisis cairan serebrospinal dapat berupa disosiasi sitoalbumin yaitu peningkatan kadar
protein LCS (biasanya antara 45-200 mg/dl, kadang > 1000 mg/dl) tanpa disertai
peningkatan sel (<5/mm3). Terjadi 50-66% pasien pada minggu pertama, meningkat hingga
75% atau lebih pada minggu kedua.

Tata Laksana
1. Bedrest total. Indikasi perawatan PICU pada SGB :
a. Kuadriparesis
b. Kelemahan progresif cepat
c. Kapasitas vital paru menurun ≤ 20 ml/kg
d. Bulbar palsy
e. Instabilitas otonom yang signifikan
2. Imunoterapi
American Academy of Neurology (AAN) sepakat bahwa IVIG merupakan terapi pilihan
utama SGB pada anak-anak oleh karena keamanan dan kemudahannya. Total dosis

59
DIVISI NEUROLOGI

IVIG untuk terapi SGB pada anak 2 g/kg, diberikan 1 g/kg selama 2 hari atau 400 mg/kg
selama 5 hari.Terapi plasma exchange atau plasmaferesis direkomendasikan diberikan
pada SGB dengan gejala :
a. kelemahan yg progresif
b. kondisi pernapasan yang memburuk atau membutuhkan ventilasi mekanik
c. kelemahan bulbar secara signifikan
d. tidak dapat berjalan
Semua kasus yang kompatibel dengan paralisis flaksid akut harus dilaporkan ke sistem
surveilans.

Prognosis
Prognosis SGB pada anak umumnya lebih baik dibanding orang dewasa.
1. Mortalitas 3 – 4% umumnya karena gagal napas dan komplikasi jantung
2. Sekitar 85-92% pulih tanpa disabilitas
Sebagian pasien merupakan tahap awal dari chronic inflammatory demyelinating
polyradiculopathy (CIDP), di mana kelemahan relaps atau berlanjut hingga > 8 minggu.
Prognosis CIDP umumnya lebih jelek.

Kepustakaan
1. Rabie M, Ashwal S, Nevo Y. Inflammatory neuropathies. Dalam :Swaiman KF, Ashwal S,
Ferriero DM, editors. Pediatric Neurology principle & practice. Edisi ke-6. Philadelphia:
Mosby Co; 2017.h.1097-102.
2. Yuki N, Hartung HP. Guillain-Barré syndrome. N Engl J Med 2012; 366:2294-304.
3. Sejvar JJ, Baughman AL, Wise M, Morgan OW. Population incidence of Guillain- Barré
syndrome : a systematic review and meta-analysis. Neuroepidemiology 2011; 36:123-33
4. Sarnat HB. Guillain Barre Syndrome. Dalam : Berhman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
penyunting. Nelson textbook of pediatric. Edisi ke-20. Philadelphia: WB Saunders Co;
2016.h.4578-82.
5. Hughes RA, Swan AV, van Doorn PA. Intravenous immunoglobulin for Guillain-Barre
syndrome. Cochrane Database Syst Rev 2014;CD002063.
6. Korinthenberg R, Schessl J, Kirschner J. Clinical presentation and course of childhood
Gullain-Barre Syndrome : a prospective multicenter study. Neuropediatrics 2007; 38:10-7.

60
DIVISI NEUROLOGI

ABSES OTAK

Definisi
Abses otak infeksi fokal pada parenkim yang dapat disebabkan oleh bakteri, tuberkulosis atau
jamur.

Etiologi
Tabel 8.17.Faktor risiko abses otak dan kemungkinan mikroorganisme penyebab.
Predisposisi Jumlah dan lokasi abses Kuman penyebab
Neonatus Multipel, bilateral Gram negatif (Escherichia coli, Citrobacter,
Proteus, Klebsiella spp)
Penyakit jantung Multipel, di daerah arteri Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus,
bawaan sianotik serebri media streptokokus mikroaerofilik, Haemophillus spp.
Endokarditis Multipel, di daerah arteri Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus,
serebri media streptokokus mikroaerofilik, Haemophillus spp.
Otitis media Tunggal, temporal (anak Streptococci (aerob dan anaerob),
besar), Bacteroides fragilis, Staphylococcus aureus,
serebelum (anak kecil) Haemophilus spp., Proteus spp., bakteri
anaerob, Pseudomonas spp.
Sinusitis Tunggal, frontal Streptococci (aerob dan anaerob),
Bacteroides spp., Staphylococcus aureus,
Haemophilis spp., bakteri anaerob,
Pseudomonas spp.
Infeksi paru Multipel, dapat terjadi di Streptococci, staphylococci, bakteri anaerob
semua lobus
Infeksi muka dan Tunggal atau multipel, frontal Staphylococcus aureus
kulit kepala
Infeksi atau Tunggal atau multipel, frontal Bakteri anaerob, treptococci (aerob dan
operasi gigi anaerob), Staphylococcus aureus
VP shunt Dekat insersi shunt Staphylococcus aureus, Staphylococcus
epidermidis
Luka tembus Dekat luka Staphylococcus aureus, Staphylococcus
tulang kepala epidermidis, streptococci,
Enterobacteriaceae
Meningitis Tunggal atau multipel, dapat Sesuai kuman penyebab meningitis
terjadi di semua lobus
Malnutrisi dan Multipel, tersebar Staphylococcus aureus, gram negatif, kuman
imunosupresi anaerob, kuman-kuman yang tidak lazim

61
DIVISI NEUROLOGI

Patogenesis
Kuman menyebar secara hematogen, pada umumnya daerah yang terkena adalah daerah
dengan vaskularisasi kurang seperti grey-white matter junction. Terjadi implantasi kuman dan
serebritis pada daerah yang terkena. Proses peradangan dan edema terjadi dalam empat
tahap: 1) serebritis dini (1-3 hari), di mana terjadi infiltrasi leukosit dan edema fokal; 2) serebritis
lanjut (4-9 hari), terjadi nekrosis liquefaktif sentral yang dikelilingi neovaskularisasi dan
pembentukan kapsul fibroblastik; 3) pembentukan kapsul fibroblastik dini (10-14 hari); 4)
pembentukan kapsul fibroblastik lanjut (>14 hari), terbentuk kapsul fibrosa tebal yang dikelilingi
astrosit reaktif dan sel glia, edema dan neovaskularisasi.

Anamnesis
1. Neonatus : iritabilitas, malas minum, letargi, pembesaran kepala, dapat juga terjadi kejang.
Sebagian besar kasus neonatus tidak menunjukkan gejala neurologis fokal atau demam.
2. Anak yang lebih besar : demam, sakit kepala, muntah, gangguan kesadaran, kejang.

Pemeriksaan fisis
Gejala klinis tergantung usia pasien dan lokasi abses.
1. Neonatus: iritabilitas, refleks isap lemah, letargi, ubun-ubun membonjol , pembesaran
kepala.Sebagian besar kasus neonatus tidak menunjukkan gejala neurologis fokal atau
demam.
2. Anak yang lebih besar : demam, kaku kuduk dan defisit neurologis fokal. Peningkatan
tekanan intrakranial dapat terjadi dengan gejala papiledema dan paresis nervus kranialis
terutama nervus VI. Gejala neurologis yang terjadi tergantung lokasi abses. Kadang-
kadang dapat timbul gejala akut akibat ruptur abses pada ventrikel atau perdarahan abses.
Selain gejala-gejala abses, gejala penyakit yang mendasari juga harus diperhatikan.

Kriteria diagnosis
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. CT scan kepalaTerdapat faktor predisposisi
4. Indikasi rawat: Semua pasien abses serebri dirawat

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis didukung oleh temuan pencitraan. Diagnosis
mikrobiologis ditegakkan berdasarkan spesimen aspirasi/eksisi.

Diagnosis banding
1. Meningitis

62
DIVISI NEUROLOGI

2. Ensefalitis
3. Tumor otak

Pemeriksaan penunjang
1. Pungsi lumbal dikontraindikasikan pada abses.
2. Pemerikaan mikrobiologis hendaknya didapatkan melalui pungsi atau eksisi abses.
3. Pencitraan harus dilakukan pada semua kasus yang dicurigai berdasarkan gejala klinis,
terutama kasus dengan adanya faktor predisposisi seperti pada tabel di atas. ‘
4. Pemeriksaan CT scan dapat menunjukkan lesi hipodens dengan tepi yang menyangat pada
pemberian kontras.

Tata Laksana
Terapi abses adalah dengan pembedahan dan farmakologis antimikrobial.
Terapi pembedahan sebaiknya dengan aspirasi burr hole stereotaktik. Mungkin dibutuhkan lebih
dari satu kali aspirasi.
Pembedahan dengan kraniotomi dibutuhkan apabila:
1. Telah dilakukan beberapa kali aspirasi namun tidak diperoleh respon yang adekuat atau
dengan antibiotik selama 3-4 minggu tidak ada pengecilan ukuran abses;
2. Abses yang multiloculated;
3. Abses superfisial besar pada area non-eloquent;
4. Abses serebelum di mana penumpukan pus rekuren dapat memperburuk penyakit
5. Abses periventrikuler di mana aspirasi dapat menyebabkan ruptur pada ventrikel. Apabila
abses disebabkan oleh device intrakranial seperti VP shunt, maka device tersebut harus
dikeluarkan.

Terapi antimikrobial tanpa pembedahan dapat dipertimbangkan pada abses berukuran <2 cm
atau abses letak dalam atau terlalu berisiko untuk dioperasi, asalkan kondisi pasien baik.
Terapi antibiotik empiris terdiri dari regimen yang dapat meliputi bakteri gram positif, negatif dan
anaerob dengan spektrum luas.
Antibiotik diberikan dengan dosis tinggi.
1. Ceftriakson (100 mg/kg/hari) atau Cefotaxime (200 mg/kg/hari) digabung dengan
metronidazole (50 mg/kg/hari).
2. Sefalosporin dapat diganti dengan golongan penisilin dan kloramfenikol.
3. Ampisilin dapat diberikan 300-400 mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis, kloramfenikol 100 mg/kg
dibagi 3 dosis.
4. Penambahan vankomisin (60-80 mg/kg dibagi 3-4 dosis) dapat dipertimbangkan terutama
apabila diduga MRSA.
5. Abses pyogenik tunggal yang diaspirasi diberikan antibiotik selama 4-6 minggu, sedangkan

63
DIVISI NEUROLOGI

pada kasus lainnya antibiotik diberikan selama 6-8 minggu.


6. Pemberian antituberkulosis dan antifungal dilakukan pada abses yang disebabkan
tuberkulosis dan jamur.
7. Tatalaksana juga harus ditujukan terhadap faktor predisposisi, misalnya koreksi kelainan
jantung, mastoidektomi pada mastoiditis atau pengobatan pada infeksi dental.
8. Tatalaksana terhadap peningkatan intrakranial dilakukan dengan pemberian kortikosteroid
jangka pendek pada awal penyakit Kortikosteroid yang dianjurkan adalah deksametason
dosis tinggi (1-2 mg/kg loading dilanjutkan 1-1,5 mg/kg/hari dibagi dalam 4-6 dosis, maksimal
16 mg/hari)
9. Peningkatan tekanan intrakranial yang lebih berat dapat diterapi dengan natrium klorida
hipertonik atau manitol intravena.
10. Pemberian antikejang dibutuhkan pada pasien dengan manifestasi kejang.
.
Indikasi pulang
1. Telah selesai pemberian antibiotik
2. Keadaan umum baik
3. Etiologi abses telah teratasi

Edukasi
1. Memberi informasi kepada keluarga akan adanya kemungkinan gejala sisa.
2. Jika terdapat gejala sisa dilakukan konsultasi ke departemen terkait.
3. Memberitahu tentang pentingnya pemantauan tumbuh kembang pasca rawat.

Prognosis
Angka kematian dulu dapat mencapai 60%, dengan penggunaan tatalaksana bedah dan
antibiotik yang baik, mortalitas turun antara 4-12%. Prognosis tergantung usia, besar dan
jumlah abses, faktor predisposisi serta kecepatan tatalaksana. Pasien neonatus, penyakit
jantung bawaan dan abses multipel besar memiliki prognosis yang lebih jelek.

Kepustakaan
1. Singhi P. Focal intracranial suppuration. Dalam:Singhi P, Griffin DE, Newton CR,
penyunting. Central nervous system infections in childhood. London: Mac Keith
Press;2014.h.182-6
2. Sáez-Llorens X, Gueveara JN. Parameningeal infections. Dalam: Cherry JD, Harrison GJ,
Kaplan SL, Steinbach WJ, Hotez PJ, penyunting. Feigin and Cherry’s textbook of
pediatric infectious diseases. Edisi ke-7. Philadelphia:Elsevier Saunders;2014.h.462-72

64
DIVISI NEUROLOGI

3. Weinberg GA, Thompson-Stone R. Bacterial infections of the nervous system.Dalam:


Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, dkk, penyunting. Swaiman’s pediatric neurology:
principles and practice. Edisi ke-6. Philadelphia:Elsevier;2017.h.896-907.
4. Bonfield CM, Sharma C, Dobson S. Pediatric intracranial abscesses, J Infect. 2015;DOI:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jinf.2015.04.012.
5. Brouwer MC,Tunkel AR, McKhann GM, van de Beek D. Brain abscess. N Eng J Med.
2014; 371:447-56

65
DIVISI NEUROLOGI

ACUTE DISSEMINATED ENCEPHALOMYELITIS (ADEM)

Definisi
Acute disseminated encephalomyelitis (ADEM) adalah kelainan demielinasi sistem saraf
pusat berupa peradangan akut nonvaskulitis yang dimediasi imunitas.

Etiologi
1. Etiologi ADEM masih belum diketahui, diduga merupakan penyakit dimediasi imun
setelah terjadi infeksi sebelumnya.
2. Sebagian kecil kasus berhubungan dengan imunisasi.
3. Sekitar 50-75% kasus memiliki riwayat infeksi sebelumnya.
4. Berbagai agen infeksi telah dihubungkan dengan ADEM, baik virus seperti campak,
mumps, rubela, varicella-zoster, herpes simplex, hepatitis A, influenza, Ebstein-Barr
virus, rotavirus, coronavirus, coxsackie, cytomegalovirus dan enterovirus, maupun bakteri
seperti Mycoplasma pneumoniae, Borrelia burgdorferi, Chlamydia spp, Leptospira spp,
Ricketsia spp, dan Streptococcus β-hemolyticus.

Anamnesis
1. Gejala klinis ADEM terjadi sekitar 2-4 minggu setelah paparan antigen.
2. Periode sebelum gejala klinis neurologis tersebut umumnya ditandai gejala infeksi non
spesifik seperti demam, batuk, pilek, diare dan tanda-tanda lain.

Pemeriksaan Fisis
1. Ensefalopati berupa perubahan atau penurunan kesadaran
2. Defisit neurologis yang dapat berupa paresis otot, afasia, kejang, palsi nervi kranialis.
3. Gejala peningkatan tekanan intrakranial
4. Gejala lain tergantung lokasi tambahan lesi misalnya penurunan visus karena adanya
neuritis optika dan paraparesis karena adanya lesi di medulla spinalis (myelitis
transversa).
5. Gagal napas dan kematian dapat terjadi pada kasus fulminan.

Kriteria Diagnosis
Diagnosis ADEM ditegakkan menggunakan kriteria dari International Pediatric Multiple
Sclerosis Study Group (IPMSSG) 2012 untuk menegakkan diagnosis ADEM pada anak
meliputi antara lain (harus memenuhi semua poin di bawah ini):
1. Episode gejala SSP polifokal pertama dengan kecurigaan penyebab peradangan
demielinasi.

66
DIVISI NEUROLOGI

2. Ensefalopati yang tidak dapat dijelaskan dengan demam.


3. Tidak ada temuan klinis dan MRI baru yang muncul dalam tiga bulan atau lebih setelah
onset.
4. MRI otak tampak abnormal selama fase akut (tiga bulan)
Temuan khas pada MRI otak :
a. Lesi difus, batas tidak tegas, ukuran besar (>1-2 cm) yang melibatkan terutama pada
substansia alba serebri.
a. Lesi T1 hipointense pada substansia alba jarang terjadi.
b. Bisa terdapat lesi pada substansia grisea dalam (misalnya pada thalamus atau basal
ganglia).

Diagnosis
Acute disseminated encephalomyelitis (ADEM) ditegakkan gejala klinis dan pencitraan
berdasarkan kriteria IPMSSG 2012

Differential Diagnosis
Multiple sclerosis
Neuromyelitis optica
Stroke
Ensefalitis autoimun
Ensefalitis virus
Meningitis

Pemeriksaan Penunjang
1. Magnetic resonance imaging (MRI) kepala dengan kontras
Gambaran khas MRI berupa area-area berbercak-bercak (patchy) yang tersebar luas,
bilateral dan asimetris yang homogen atau sedikit inhomogen berupa peningkatan
densitas pada sekuens T2W dan FLAIR dibandingkan dengan area di sekitarnya. Lesi
akan menyangat pada pemberian kontras gadolinium Predominasi kelainan terdapat di
white matter, namun grey matter pun dapat ditemukan kelainan, terutama pada deep
gray nuclei di ganglia basalis, talamus, dan batang otak. Kadang juga didapatkan
gambaran lesi yang menyerupai tumor.
2. Pemeriksaan cairan serebrospinal rutin umumnya menunjukkan gambaran normal atau
sedikit pleositosis yang didominasi limfosit.
Pemeriksaan LCS dilakukan terutama untuk memeriksa adanya oligoclonal band dan
antibodi anti-MOG apabila tersedia, untuk memprediksi kemungkinan terjadinya sklerosis
multipel.
3. Pemeriksaan darah tepi dapat menunjukkan tanda-tanda infeksi non spesifik.

67
DIVISI NEUROLOGI

4. Pemeriksaan EEG dapat menunjukkan adanya gejala perlambatan yang merupakan


tanda ensefalopati dan dapat digunakan untuk mendeteksi gelombang epileptiform.

Tata Laksana
1. Kortikosteroid dosis tinggi: metilprednisolon intravena (IV). Angka keberhasilan
tatalaksana ini mencapai 80%. Dosis metilprednisolon IV adalah 20-30 mg/kg/hari,
maksimal 1 g/hari selama 3-5 hari. Penggunaan metilprednisolon pada penderita ADEM
dilaporkan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan
deksametason.
2. Pemberian kortikosteroid dilanjutkan secara per oral dan dilakukan penurunan dosis
secara gradual (tapering off) selama 4 sampai 6 minggu untuk mencegah relaps.
3. IVIG atau plasma exchange bila tidak ada perbaikan dengan terapi kortikosteroid dosis
tinggi.
4. Kasus-kasus yang tetap tidak terjadi perbaikan, diterapi dengan obat imunosupresi atau
imunomodulator seperti siklofosfamid, azatioprin atau interferon.
5. Tatalaksana terhadap peningkatan tekanan intrakranial, kejang dan tatalaksana suportif
berupa cairan, nutrisi dan keseimbangan elektrolit memegang peranan sangat penting
pada ADEM.
6. Tindakan bedah seperti hemikraniektomi dekompresi pada kasus peningkatan tekanan
intrakranial yang sangat berat.

Indikasi pulang
Keadaan umum membaik, fase akut terlewati.

Edukasi
1. Memberi informasi kepada keluarga akan adanya kemungkinan gejala sisa.
2. Jika terdapat gejala sisa dilakukan konsultasi ke departemen terkait
3. Memberitahu tentang pentingnya pemantauan tumbuh kembang pasca rawat

Prognosis
Prognosis pada anak-anak secara umum lebih baik dibandingkan dewasa. Tatalaksana
yang segera menentukan prognosis. Kesembuhan sempurna terjadi pada hingga 57-89%
pasien dengan sisanya mengalami defisit neurologis ringan.

Kepustakaan
1. Elhassanien A, Aziz H. Acute demyelinating encephalomyelitis: Clinical characteristics and
outcome. J Pediatr Neurosci. 2013;8(1):26. doi:10.4103/1817-1745.111418.
2. Alper G. Acute Disseminated Encephalomyelitis. J Child Neurol. 2012;27(11):1408-25.

68
DIVISI NEUROLOGI

3. Garg RK. Acute disseminated encephalomyelitis. Postgrad Med J. 2003;79(927):11–7.


4. Brenton JN, Banwell BL. Therapeutic approach to the management of pediatric
demyelinating disease: multiple sclerosis and acute disseminated encephalomyelitis.
Neurotherapeutics. 2016;13(1):84-95
5. Krupp LB, Tardieu M, Amato MP, dkk. International pediatric multiple sclerosis study group
criteria for pediatric multiple sclerosis and immune-mediated central nervous system
demyelinating disorders: revisions to the 2007 definitions. Mult Scler J. 2013;19(10):1261-
7.
6. Nees JM. Demyelinating disorders of the central nervous system. Dalam: Kliegman RM,
Stanton BF, St Geme JW, Schor NF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-
20. Philadelphia: Elsevier; 2016. h.2919-24

69
DIVISI NEUROLOGI

NYERI KEPALA PADA ANAK DAN REMAJA

Definisi
1. International Classification of Headache Disorder third edition (ICHD-3b) membagi nyeri
kepala menjadi tiga kategori utama: nyeri kepala primer, nyeri kepala sekunder, neuropati
kranialis beserta nyeri kepala fasial dan nyeri kepala lainnya.
2. Nyeri kepala primer dapat berupa migren tanpa aura, migren dengan aura, tension type
headache dan trigeminal autonomic cephalalgia.
3. Migren merupakan sakit kepala yang memiliki empat sifat: pulsatil, unilateral, bertambah
berat dengan aktivitas dan berintensitas sedang hingga berat. Dapat dikategorikan
sebagai migren apabila berulang setidaknya lima kali dalam satu tahun untuk migren
tanpa aura dan setidaknya tiga kali dalam setahun untuk migren dengan aura.
4. Nyeri kepala yang tidak memenuhi kriteria migren kemungkinan suatu tension type
headache atau cluster headache.
5. Nyeri kepala sekunder dapat diakibatkan sejumlah besar penyebab, seperti infeksi
saluran napas, trauma kepala, hipertensi, infeksi intrakranial, gangguan sendi rahang,
hidrosefalus, dan lain-lain.

Anamnesis
Saat sakit kepala muncul, lokasi, kualitas, frekuensi, durasi, beratnya sakit kepala, gangguan
aktivitas sehari-hari oleh sakit kepala, gejala prodormal atau aura yang mendahului sakit
kepala, riwayat trauma kepala, adakah defisit neurologis sebelum, selama dan sesudah sakit
kepala, riwayat keluarga sakit kepala, adanya depresi, gangguan emosi.

Pemeriksaan Fisis
1. Keadaan umum pasien dan status mentalnya
2. Ada kelainan pada kekuatan otot, refleks, dan koordinasinya. Terutama otot-otot leher dan
bahu.
3. Cari abnormalitas dari gigi dan gusi serta struktur kranial dan wajah lainnya.
4. Pemeriksaan saraf kranial, cerebellum, sensoris, fungsi motorik termasuk refleks untuk
mencari kelainan tumor atau vaskuler di hemisphere cereberi, cerebellum, atau batang
otak.
5. Pemeriksaan rangsang meningeal
6. Pemeriksaan funduskopi

Diagnosis
1. Gejala klinis
2. Pemeriksaan fisis

70
DIVISI NEUROLOGI

3. Laboratorium
Diagnosis Banding
1. Sefalgia Sekunder merupakan kondisi penyebab organik yang dapat berupa:
a. Sefalgia yang berhubungan dengan trauma kepala atau leher
b. Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan vaskuler kepala dan servikal
c. Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan intrakranial nonvaskuler, misalnya
proses desak ruang karena tumor.
d. Sefalgia yang berhubungan dengan infeksi
e. Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan hemostasis
f. Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan kranium, leher, mata, telinga, hidung,
sinus, gigi, mulut, atau stuktur kranial atau wajah lainnya
2. Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan psikiatri

Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium darah
2. Lumbal pungsi
3. Elektroensefalografi
4. Pencitraan: MRI dan CT scan

Evaluasi anak dengan nyeri kepala


Dalam evaluasi anak-anak, harus diidentifikasi tanda dan gejala yang dapat menunjukkan
adanya kemungkinan penyakit serius yang mendasari. Adapun “red flags” tersebut sebagai
berikut:
1. Anak kesulitan menjelaskan kualitas nyeri kepala yang dialaminya
2. Pemeriksaan fisis umum atau neurologis menunjukkan kemungkinan adanya proses
patologi yang mendasari (misalnya paresis, ataksia, diplopia, disfagia, gangguan
kesadaran, kaku kuduk)
3. Nyeri kepala yang intensitasnya langsung berat
4. Nyeri kepala kronik progresif, terutama apabila menyebabkan penurunan kemampuan
akademis dan pembatasan aktivitas anak saat waktu luang.
5. Anak usia kurang dari 6 tahun dengan sakit kepala sebagai keluhan utama.
6. Nyeri kepala oksipital
7. Nyeri kepala ortostatik
8. Nyeri kepala yang menyebabkan anak terbangun malam hari, atau saat anak bangun
tidur terasa nyeri kepala dan disertai mual atau muntah.
9. Nyeri kepala bertambah berat dengan manuver Valsava (batuk, mengedan)
10. Papiledema
11. Ada penyakit-penyakit tertentu (shunt ventrikuloperitoneal, phacomatosis,

71
DIVISI NEUROLOGI

hiperkoagulasi, keganasan, defisiensi imun, penyakit sickle-cell)

Tata Laksana
1. Nyeri kepala sekunder harus mendapat tatalaksana yang ditujukan terhadap penyakit
yang mendasari.
2. Tatalaksana nyeri kepala dapat berupa nonfarmakologis dan farmakologis. Terapi non
farmakologis dapat berupa biofeedback, cognitive behavioural therapy, manajemen
stress, perbaikan tidur, olahraga dan diet.
3. Tatalaksana farmakologis dapat antara lain dengan menggunakan obat-obatan
analgesik, NSAID, antiepilepsi, golongan triptan, dihidroergotamin, antihistamin dan beta
bloker.
4. Tatalaksana farmakologis terhadap nyeri kepala pada anak ditujukan pada saat akut dan
tatalaksana farmakologis preventif.
5. Tatalaksana akut nyeri kepala dapat menggunakan asetaminofen (10-12,5 mg/kg tiap 4-6
jam, dosis maksimal 4000 mg/hari), ibuprofen (10 mg/kg tiap 4-6 jam, maksimum 3000
mg/hari), atau golongan triptan, misalnya sumatriptan (1-2 mg/kg per oral, dapat diulang
dua kali, maksimum 200 mg/hari).
6. Tatalaksana preventif dapat menggunakan cyproheptadine (0,25-1 mg/kg per hari dibagi
dalam 3-4 dosis, hingga 20 mg per hari), antidepresan trisiklik, antikonvulsan (topiramat,
asam valproat, gabapentin), antihipertensi (propranolol, verapamil) atau obat-obatan lain
(riboflavin, melatonin, magnesium oksida, koenzim Q10).
7. Tatalaksana preventif dapat dievaluasi ulang setelah 1-3 bulan.

Edukasi
1. Pengawasan terhadap nyeri kepala.
2. Mengetahui “red flags” pada nyeri kepala.

Prognosis
Tergantung jenis nyeri kepala

Kepustakaan
1. Kabbouche MA, Kacperski J, O,Brien HL, Powers SW, Hershey AD. Headache in children
and adolescents. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, dkk, penyunting.
Swaiman’s pediatric neurology: principles and practice. Edisi ke-6.
Philadelphia:Elsevier;2017.h.662-70.
2. Böhmer J, LeBel AA. Acute headache. Dalam: Sejersen T, Wang CH, penyunting. Acute
pediatric neurology. London:Springer-Verlag;2014.h.37-52.
3. Piña-Garza JE. Fenichel’s clinical pediatric neurology. Edisi ke-7. New York:Elsevier
Saunders;2013.

72
DIVISI NEUROLOGI

4. Schor NF. Migraine in children and adolescents. Dalam: Maria BL, penyunting. Current
management in child neurology. Edisi ke-4. Shelton: BC Decker Inc;2009.h.65-107.
5. Blume HK. Pediatric headache: a review. Pediatr Rev. 2012;33(12):562-76.

73
DIVISI NEUROLOGI

TRAUMA KEPALA PADA ANAK

Definisi
1. Trauma kepala dibagi berdasarkan skor pada Skala Koma Glasgow Pediatrik.
Skor 13-15 : trauma kepala ringan
Skor 9-12 : trauma kepala sedang
Skor 3-8 : trauma kepala berat.
Makin rendah skor pada Skala Koma Glasgow menunjukkan makin beratnya cedera otak
dan makin buruknya prognosis.
2. Trauma kepala pada anak juga dibagi berdasarkan umur, yaitu : anak usia kurang dari 2
tahun dan anak usia lebih dari 2 tahun.
Pembagian ini perlu karena trauma pada anak kurang dari 2 tahun mempunyai
karakteristik:
a. pemeriksaan klinis lebih sulit,
b. kerusakan intrakranial umumnya asimtomatik,
c. sering terjadi keretakan tulang kepala akibat trauma kepala ringan,
d. sering terjadi kerusakan otak.

Anamnesis
1. Tanyakan secara rinci mekanisme trauma pada anak, seperti ketinggian jatuh, apakah
kepala membentur sesuatu. Jika kecelakaan lalu lintas tanyakan mekanisme kecelakaan,
apakah anak memakai helm pelindung, apakah anak terlempar , posisi jatuh, terbentur
atau tidak.
2. Bagian tubuh mana yang mengalami trauma, apakah terdapat trauma multipel.
3. Apakah anak menangis setelah trauma, apakah terdapat penurunan kesadaran, berapa
lama terjadi penurunan kesadaran.
4. Adakah kehilangan ingatan (amnesia), sampai berapa lama penderita tidak dapat
mengingat kejadian.
5. Apakah ada sakit kepala, muntah-muntah, kejang, perdarahan/keluar cairan dari hidung,
telinga atau mulut.
6. Adakah benjolan kepala setelah jatuh, adakah tanda tulang yang retak.
7. Apakah terdapat patah tulang leher, bahu maupun ekstremitas.
8. Apakah sudah terdapat gangguan neurologis sebelum trauma.
9. Apakah terdapat gangguan perdarahan.Apakah terdapat penyalahgunaan obat atau
alkohol (pada anak remaja)
10. Pada bayi dan anak, jika terdapat inkonsistensi antara riwayat trauma dengan kondisi
anak pikirkan kemungkinan child abuse.

74
DIVISI NEUROLOGI

Pemeriksaan Fisis
A. Survei Primer / Initial assesment
Pada semua kasus trauma kepala pada anak, lakukan terlebih dahulu survey primer
dengan prinsip berikut:
A: Penilaian terhadap jalan nafas dan imobilisasi pada trauma leher.
B: Penilaian jalan nafas, pemberian oksigen apabila dibutuhkan.
C: Penilaian sirkulasi, pemasangan jalur intravena dan resusitasi cairan apabila
dibutuhkan.
D: Penilaian derajat kesadaran anak menggunakan Skala Koma Glasgow Pediatrik.
E: Penilaian kadar glukosa darah.

B. Pemeriksan Neurologis
1. Nilai kesadaran anak dengan Skala Koma Glasgow Pediatrik.
2. Pemeriksaan fisik (terutama kepala dan leher) :
a. Kepala : hematoma, laserasi, penumpukan cairan, depresi tulang
b. Fraktur tengkorak : adakah otorea, hemotimpanum, rinorea, raccoon eyes, battle
sign
c. Leher : adakah deformitas, kekakuan atau nyeri
d. Jejas trauma di bagian tubuh lain : dada, abdomen dan ekstremitas
3. Status mental : sadar penuh, orientasi, confusion/bingung, gaduh-gelisah, tidak responsif
4. Saraf kranial :
Refleks pupil (N.II, N.III), Doll’s eye response (N.III,N.IV,N.VI), respons okulomotor kalorik
(N.III,N.IV,N.VI,N.VIII), reflex kornea dan seringai wajah (N.V, N.VII), refleks muntah
(N.IX,N.X)
5. Pemeriksaan sensorimotor
Asimetri, gerakan (spontan/menuruti perintah), tonus otot, koordinasi (jika
memungkinkan), reaksi terhadap nyeri (menarik/ withdrawal, deserebrasi, dekortikasi,
tidak ada respons)
6. Pemeriksaan refleks fisiologis, patologis, klonus.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah tepi lengkap
2. Pemeriksaan protein S 100 B (bila tersedia fasilitas pemeriksaan), bertujuan untuk
menilai adakah indikasi pemeriksaan CT-scan dan untuk menentukan prognosis.
3. Pemeriksaan CT scan kepala dapat dilakukan sesuai algoritme berdasarkan
rekomendasi IDAI 2016.

75
DIVISI NEUROLOGI

Tata Laksana
Apabila terdapat kondisi di bawah ini, maka harus diberikan tatalaksana sesuai dengan
kondisi masing-masing secara lebih spesifik pada pusat layanan kesehatan yang sesuai:
1. Ada trauma multipel.
2. Dicurigai atau diketahui adanya trauma servikal.
3. Adanya gangguan neurologis sebelumnya.
4. Adanya diatesis hemoragik.
5. Trauma kepala yang disengaja.
6. Adanya kendala bahasa antara pasien/orang tua dengan dokter
7. Penyalahgunaan obat atau alkohol.

Apabila tidak ada kondisi di atas, nilai apakah penderita:


1. Terdapat kelainan pada tulang tengkorak.
2. Terdapat kelainan pada pemeriksaan mata.
3. Terdapat kelainan pada pemeriksaan neurologis
Apabila ditemukan harus segera dilakukan konsultasi dengan spesialis yang sesuai,
pemeriksaan CT scan kepala segera dan rujuk ke pusat kesehatan dengan fasilitas bedah
syaraf. Selanjutnya pertimbangan melakukan CT scan atau observasi terlebih dahulu dapat
dilihat dari algoritma di atas.

Terapi medikamentosa
1. Dapat diberikan analgesik untuk mengurangi nyeri
2. Tatalaksana peningkatan tekanan intrakranial dan kejang (jika ada kejang)
1. Bila terdapat peningkatan tekanan intrakranial, dapat diberikan obat penurun
tekanan intrakranial seperti manitol 20% 0,5 – 1 gram/kg tiap 8 jam atau NaCl 3%
dengan dosis inisial 2-6 ml/kgBB dilanjutkan dengan infus kontinyu 0.1-1
ml/kgBB/jam dengan monitoring tekanan intrakranial. NaCl 3% dapat juga diberikan
dengan dosis inisial 5 ml/kgBB dilanjutkan dengan dosis 2 ml/kgBB tiap 6 jam.
2. Pemantauan kadar elektrolit dan diuresis diperlukan jika pasien diberikan cairan
hipertonis.
3. Hindari / seminimal mungkin tindakan invasif dan hal-hal yang dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial.
4. Lakukan pemantauan klinis yang ketat selama 12-48 jam.
5. Tatalaksana demam.

Edukasi
Orang tua sering menanyakan apa yang perlu diperhatikan jika anaknya mengalami trauma
kepala, berikut ini beberapa tips yang dapat diberikan:

76
DIVISI NEUROLOGI

1. Trauma kepala ringan tanpa penurunan kesadaran dapat dirawat di rumah.


2. Tirah baring selama 3 hari.
3. Selama observasi di rumah sebaiknya anak tidak minum obat anti muntah, karena dapat
menutupi gejala perburukan yaitu muntah. Analgetik diberikan jika perlu.
4. Pengawasan dilakukan dengan memeriksa anak tiap 2-3 jam sampai 72 jam setelah
trauma.
5. Anak segera di bawa ke rumah sakit apabila selama observasi didapatkan:
a. Anak tampak tidur terus atau tidak sadar.
b. Anak menjadi gelisah, bingung atau delirium.
c. Kejang pada wajah atau ekstremitas.
d. Anak mengeluh sakit kepala yang menetap dan bertambah berat, atau adanya tanda
kekakuan di leher.
e. Muntah yang menetap terutama di pagi hari.
f. Keluar cairan/darah dari lubang telinga atau hidung.
g. Ubun-ubun besar yang membonjol.
h. Terdapat gangguan gerak ekstremitas.

Kepustakaan
1. Irawan M, Setyo H, Masayu Rita D. Rekomendasi penatalaksanaan trauma kepala.
Jakarta:Balai Penerbit IDAI;2016.
2. Rodriguez JAG, Thomas RE. Office management of mild head injury in childrenand
adolescents.Can Fam Physic. 2014:60;523-31.
3. Lerner JT, Giza CC. Traumatic brain injury in children. Dalam: SwaimanKF, Ashwal S,
Ferriero DM, Schor NF, penyunting. Swaiman’s pediatric neurology principle and
practices. 2012. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders- Elsevier.h.1087-125.
4. Kuppermann N, Holmes JF. Dayan PS, Hoyle JD, Atabaki SM, Holubkov RI, dkk.
dentification of children at very low risk of clinically impor tant brain injures after head
trauma: a prospective cohort study. Lancet. 2009:374;1160-70.
5. Schutzman SA, Barnes P, Duhaime AC, Greenes D, Homer C, Jaffe D, dkk. Evaluation
and management of children younger than two years old with apparently minor head
trauma: Proposed guidelines. Pediatrics. 2001;107:983-93.
6. Schutzman SA, Schunk JE. Pediatric head injury. Pediatr Rev.2012:33(9);398-411.
7. Farrel CA. 2013. Management of the paediatric patient with acute head trauma. Paediatr
Child Health. 2013;18(5):253-8.

77
DIVISI NEUROLOGI

Gambar 8.2. Algoritma Evaluasi Anak dan Remaja dengan Trauma Kepala Ringan IDAI
(2016)

78
DIVISI NEUROLOGI

Gambar 8.3 Algoritme Evaluasi Anak Usia < 2 Tahun dengan Cedera Kepala Ringan IDAI
(2016)

79
DIVISI NEUROLOGI

Gambar 8.4. Algoritme Indikasi CT-Scan Menurut Rekomendasi IDAI (2016)

80
DIVISI NEUROLOGI

STURGE-WEBER SYNDROME

Definisi
Sturge-Weber Syndrome (SWS), kadang disebut juga angiomatosis ensefalotrigeminal
adalah suatu kelainan neurologi dan kulit kongenital yang sangat jarang terjadi. SWS
termasuk kelompok kelainan yang disebut phakomatosis (penyakit “mother spot”), yang
terdiri dari malformasi kongenital hamartoma yang dapat mengenai mata, kulit, dan sistem
saraf pusat dalam waktu yang berbeda. Kelainan neurokutan dengan angioma pada SWS
termasuk leptomeningen (angioma leptomenigeal) pada kulit muka, khas mengenai Nervus
trigeminus (N.ophtahlmik dan N.Maksilari). Angioma kutaneus disebut port-wine stain (PWS).

Anamnesis
Manifestasi klinis pada penderita Sturge-Weber Syndrome terlihat pada tabel 8.18
Tabel 8.18. Manifestasi klinis penderita Sturge-Weber Syndrome:
Risiko SWS pada anak dengan PWS 8%
SWS tanpa nevus facial 13%
Keterlibatan cerebral bilateral 15%
Kejang 72-93%
Hemiparesis 25-56%
Hemianopia 44%
Sakit kepala 44-62%
Keterlambatan perkembangan dan RM 50-75%
Glaukoma 30-71%
Choroidal hemangioma 40%

Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis pada pasien SWS dapat menunjukkan: PWS, makrosefali, buftalmos,
heterokromia iris, glaukoma, angioma koroidal, hipertropi jaringan lunak, hemiparesis,
kehilangan daya penglihatan, hemianopsia, dan retardasi mental.

Diagnosis
Sturge-Weber Syndrome didiagnosis berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang.
Gambaran klinis terdiri dari kelainan kulit, sistem saraf pusat, dan kelainan okuler.
1. Kelainan kulit (Port-Wine stain) : Lesi wajah pada SWS berupa lesi berbentuk makula
kongenital yang progresif, makula merah muda sampai nodul merah atau keunguan. Lesi

81
DIVISI NEUROLOGI

vena kutan pada wajah biasanya mudah terlihat sejak lahir, biasanya terlihat pucat dan
sejalan dengan meningkatnya usia, lesi ini akan menjadi lebih gelap.

2. Kelainan neurologis yang dapat terjadi berupa: kejang, defisit fokal (hemiparesis dan
hemianopsia) yang terjadi sementara, sehingga disebut juga ”episode menyerupai
stroke”, sakit kepala, dan kelainan perkembangan, seperti keterlambatan perkembangan,
gangguan belajar, retardasi mental. Kelainan perkembangan ini sering terjadi jika
angioma bilateral. Insiden epilepsi pada pasien dengan SWS adalah 75-90%. Menurut
Sturge-Weber Foundation kejang terjadi pada 80% anak dengan SWS, usia onset rata-
rata yaitu 6 bulan. Karena lesi yg bertanggung jawab terhadap epilepsi pada SWS
bersifat fokal sehingga kejang yang paling banyak terjadi pada penderita SWS juga
bersifat kejang fokal.
3. Kelainan okuler : menunjukan adanya glaukoma infantil meliputi diameter kornea lebih
dari 12 mm selama tahun pertama kehidupan, edema kornea, gambaran air mata pada
membran desement (Haab striae), pergerakan miopik unilateral atau bilateral, cekungan
nervus optikus lebih dari 0,3 mm atau cekungan asimetri. Iris dengan pigmentasi kuat
biasanya ipsilateral dari port-wine stain, menunjukkan adanya peningkatan jumlah atau
aktivitas melanosit. Kelainan okuler lain adalah meyerupai hemangioma superfisial pada
kelopak mata (pada gambatan histologi hanya terlihat dilatasi vena), hemangioma
konjungtiva, episklera, koroidal difus, pembuluh darah retina yang berkelok-kelok.
Diagnosis SWS dapat ditegakkan apabila terdapat dua dari tiga kriteria berikut: adanya tanda
lahir port-wine stain, peningkatan tekanan okuler dan angiomatosis leptomeningeal.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding SWS antara lain :
1. Malformasi vaskuler, malformasi AV
2. Perdarahan otak dan drainase vena abnormal
3. Angioma
4. Epilepsi
5. Sindrom klippel trenaunay, sindrom Rendu-Osler, sindrom Cobb

Pemeriksaan Penunjang
1. CT-scan kepala : adanya Kalsifikasi khas berupa garis parallel seperti jalan kereta api
terutama tampak di area parietal atau parietooksipital). Kalsifikasi jarang dijumpai pada
bayi.
2. MRI kepala dengan kontras : merupakan teknik neuroimaging yang dipilih untuk
diagnosis SWS, memperlihatkan adanya malformasi capillary-venous leptomeningeal dan
sejauh mana keterlibatan dengan struktur otak.
3. EEG terdapat perlambatan ipsilateral yang berkorelasi dengan gelombang epileptiform.

82
DIVISI NEUROLOGI

Tata Laksana
1. Terapi medikamentosa termasuk pemberian antikonvulsan untuk mengontrol kejang,
terapi simtomatis dan profilaksis untuk sakit kepala, terapi glaukoma untuk menurunkan
tekanan intraokuler dan terapi laser untuk PWS.
2. Terapi pembedahan, dilakukan pada kejang refrakter dapat berupa focal cortical
resection, hemispherectomy, corpus callosotomy, dan yang terbaru vagal nerve
stimulation (VNS), sedangkan pada glaukoma berupa tindakan trabekulektomi atau
goniotomi.

Prognosis
Faktor prediktor dari prognosis yang buruk adalah sebagai berikut:
1. onset awal kejang
2. angioma leptomeningen yang luas
3. kejang yang refrakter terhadap terapi medikamentosa
4. defisit motorik yang menetap atau relaps
5. adanya kerusakan neurologis yang progresif
6. kejang fokal yang diikuti kejang umum
7. bertambahnya frekuensi dan durasi kejang
8. adanya hemiparesis
9. penurunan fungsi kognitif

Kepustakaan
1. Thiele EA, Korf BR. Phakomatoses and allied condition. Dalam : Swaiman KF, Ashwal S,
Ferriero DM, dkk, penyunting. Swaiman’s pediatric neurology: principles and practice.
Edisi ke-6. Philadelphia:Elseiver;2017.h.380-90.
2. Maria BL, Menkes JH. Neurocutaneous syndromes. Dalam:Menkes JH, Sarnat HB, Maria
BL,dkk, penyunting. Child neurology. Edisi ke-7. Philadelphia:Lippincott Williams and
Wilkins; 2006.h.803-28.
3. Piña-Garza JE: Fenichel’s clinical pediatric neurology: a signs and symptoms approach.
Edisi ke-7. New York:Elsevier Saunders;2013.
4. Bachur CD, Corni AM. Sturge-Weber syndrome. Curr Treat Options Neurol. 2013;15(5):
607–17.
5. Maria BL, Corni AM, Kostova FV. Sturge-Weber syndrome. Dalam :Maria BL. Current
Management in Child Neurology. Edisi ke-4. Shelton:BC Decker Inc; 2009.h.578-83.

83
DIVISI NEUROLOGI

PROSEDUR LUMBAL PUNGSI

Definisi
Lumbal pungsi merupakan prosedur untuk mendapatkan cairan serebrospinal (LCS) untuk
tujuan diagnostik dan pengukuran tekanan cairan LCS.

Indikasi
1. Curiga infeksi susunan saraf pusat (meningitis, ensefalitis)
2. Menyingkirkan meningitis pada Tb milier, ADEM, sindroma Guillain Barré dan lain-lain.

Kontraindikasi:
1. Infeksi di tempat pungsi
2. Instabilitas kardiovaskular
3. Kelainan pembekuan darah yang belum terkontrol
4. Peningkatan tekanan intra kranial karena proses desak ruang
5. Peningkatan tekanan intrakranial karena infeksi bukan merupakan kontraindikasi, namun
harus dilakukan dengan hati-hati. Pasien dengan defisit neurologis fokal dan skala koma
Glasgow 8 atau kurang dapat dipertimbangkan untuk dilakukan pencitraan otak dahulu.

Persiapan
1. Pastikan tidak terdapat kontraindikasi.
2. Untuk anak yang besar dapat diinstruksikan untuk tidak bergerak.
3. Beri sedasi yang cukup pada anak sesuai kebutuhan, misalnya dengan menggunakan
ketamin, midazolam atau fentanyl.

Posisi Lateral Dekubitus


1. Asisten menahan penderita pada posisi lateral dekubitus. Tulang belakang dibuat fleksi
maksimal dengan menahan leher, panggul dan lutut fleksi penuh, namun hati-hati jangan
sampai mengganggu pernafasan. Fleksi leher dapat dilakukan sesaat sebelum
pengambilan. Tangan penderita dapat dibuat memeluk lutut dari bawah apabila
mungkin.
2. Tempat penusukan adalah perpotongan lini di antara kedua krista iliaka dan kolumna
vertebralis. Ruang intervertebra yang memotong lini tersebut adalah L4-L5. Dapat juga
digunakan L3-L4.

84
DIVISI NEUROLOGI

Gambar 8.5. Lokasi pungsi lumbal.


3. Lakukan tindakan aseptik dan antiseptik. Cuci tangan dan gunakan sarung tangan steril.
Daerah pengambilam dicuci dengan larutan povidone-iodine, kemudian dibersihkan
dengan kasa steril yang dibasahi alkohol 70% dengan gerakan melingkar ke luar.
Ulangi tahap ini sampai tiga kali. Tutup dengan doek yang terbuka hanya pada tempat
penusukan.
4. Dapat diberikan anestesi lokal dengan xylocain pada tempat penyuntikan.
5. Gunakan jarum spinal ukuran 20 sampai 22 dengan panjang 2,5 cm atau 5 cm. Pada
penusukan perhatikan lubang jarum harus menghadap ke atas (ke langit-langit).
6. Tusuk dengan hati-hati. Saat jarum menembus ligamentum flavum akan terasa seperti
menembus kertas. Lepaskan mandrin hati-hati dan perhatikan pancaran cairan. Apabila
tidak keluar cairan, masukkan lagi mandrin dan dorong jarum sedikit pelan-pelan
kemudian buka lagi mandrin untuk memeriksa keluarnya cairan.
7. Apabila tersedia manometer untuk pengukuran tekanan cairan serebrospinal,
hubungkan pangkal jarum dengan three way stop cock dengan lubang three way lain ke
manometer. Ukur tekanan cairan serebrospinal saat anak tenang. Untuk mengeluarkan
cairan serebrospinal, putar stop cock agar cairan keluar melalui lubang yang terbuka.
8. Apabila cairan serebrospinal sudah keluar, teteskan cairan dalam setidaknya tiga botol
steril, diambil dalam jumlah lebih sesuai indikasi.
9. Lakukan pemeriksaan dengan reagen nonne, pandy dan sisanya kirim ke laboratorium
untuk pemeriksaan protein, glukosa, hitung jenis dan pengecatan gram. Untuk uji Pandy
cukup teteskan 1-2 tetes cairan serebrospinal ke tabung reaksi yang sebelumnya sudah
diisi 1ml cairan carbolic acid, Untuk uji Nonne, masukkan 0,5 ml cairan serebrospinal ke
dalam tabung reaksi yang sebelumnya telah diisi 1 ml larutan amonium-sulfat jenuh.
10. Apabila pengambilan cairan serebrospinal selesai, masukkan kembali mandrin,
kemudian tarik jarum spinal dengan cepat namun hati-hati. Bersihkan tempat
penusukan dan beri pembalut.

85
DIVISI NEUROLOGI

Posisi duduk
1. Untuk anak besar dimintakan duduk di meja dengan punggung membungkuk dan siku
menempel di lutut. Dapat juga ditaruh bantal besar di depan perut dan pasien disuruh
mendekap bantal tersebut. Untuk bayi kecil, asisten memegang lutut dan siku kanan
pasien dengan tangan kiri, sedangkan lutut dan siku kiri pasien dipegang dengan tangan
kanan.
2. Selanjutnya seperti langkah pada posisi lateral dekubitus. Diberi doek di bawah pantat
penderita dan pada bahu dengan akses pada tempat penusukan. Jarum spinal
diposisikan paralel dengan medula spinalis.

Tindak lanjut
1. Instruksikan pasien untuk tetap berbaring datar, baik dalam posisi pronasi maupun
supinasi selama 4-6 jam untuk menghindari terjadinya sakit kepala pasca pungsi
(sebagian dokter tidak menganggap hal ini penting).
2. Observasi ada/tidaknya edema/hematoma pada daerah pungsi. Lakukan pemeriksaan
status neurologissetelah pungsi.

Daftar Pustaka
1. Soetomenggolo TS. Prosedur neurodiagnostik. Dalam: Soetomenggolo TS, Ismael S,
penyunting. Neurologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit IDAI;2000.h.36-48.
2. Cimpello LB, Deutsch RJ, Dixon C. Illustrated techniques of pediatric emergency
procedure. Dalam: Fleisher GR, Ludwig S, penyunting. Textbook of pediatric
emergency medicine. Edisi ke-6. Philadelphia:Lippincot William and Wilkins;2010.h 1764-
6.
3. Michelson DJ. Spinal Fluid Examination. Dalam:Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM,
dkk, penyunting. Swaiman's pediatric neurology: principles and practices. Edisi ke-6.
Philadelphia:Elsevier;20167.h.93-116.

86
DIVISI NEUROLOGI

ENSEFALITIS AUTOIMUN

Definisi
Ensefalitis autoimun paling sering adalah ensefalitis anti-N-methyl-D-aspartat receptor
(NMDAR) adalah bentuk ensefalitis yang terjadi terutama pada perempuan dan
berhubungan dengan antibodi terhadap subunit NR1 atau NR2 dari reseptor NMDA

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis


1. Sering terjadi pada fase pra remaja
2. Perempuan lebih banyak dari laki-laki
3. Demam
4. Kejang
5. Gangguan psikosis
6. Gangguan bicara
7. Gangguan otonom
8. Gangguan gerak

Gejala klinis:
1. Fase prodromal: dijumpai demam, mual, muntah, atau gejala infeksi saluran
pernafasan atas (berlangsung 2 minggu)
2. Fase awal: gejala psikiatri seperti delusi, mania, dan gangguan perilaku, tantrum,
kejang, distonia atau status epileptikus (berlangsung 3-4 minggu)
3. Fase hiperkinetik: disintegrasi bicara, hiperaktif, dan gelisah.

Kriteria Diagnosis

Probable ensefalitis anti-NMDAR


Dengan ditemukan tiga gejala dibawah ini:
 Terdapatnya paling sedikit 4 dari 6 gejala mayor dengan onset waktu yang cepat (<3
bulan):
o Gangguan psikiatri atau kognitif
o Gangguan berbicara
o Kejang
o Gangguan koordinasi gerak motorik
o Penurunan kesadaran
o Disfungsi automon atau hipoventilasi sentral

87
DIVISI NEUROLOGI

 Dijumpai sedikitnya satu dari hasil laboratorium dibawah ini:


o EEG abnormal (gambaran epilepsi, gelombang fokal atau difus lambat atau
delta brush)
o Pleositosis atau oligoclonal bands pada cairan serebrospinal
 Kemungkinan penyebab lain dapat disingkirkan

Definit ensefalitis anti-NMDAR


Apabila terdapat satu atau lebih dari gejala dan ditemukan antibodi IgG anti-GluN1 pada
cairan serebrospinal dan serum setelah mengekslusikan kemungkinan penyebab lain

Diagnosis
1. Ensefalitis autoimun
2. Ensefalitis anti-NMDAR

Diagnosis Banding
1. Ensefalitis virus
2. Ensefalitis bakteri

Pemeriksaan Penunjang
1. Elektroensefalografi (EEG): terdapat gelombang abnormal gelombang difus yang
melambat kemudian pada fase lanjutan dapat dijumpai gelombang delta difus atau
gelombang delta brush
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI): fase awal ditemukan hasil normal tapi pada fase
lanjut terdapat hiperintesitas pada lobus medial temporal dengan keterlibatan
hipokampus, dapat juga dijumpai abnormalitas multifokal atau difus luas.
3. Cairan serebrospinal: terdapat pleositosis, peningkatan protein, peningkatan indeks
IgG atau dapat dijumpai oligoclonal bands. Diagnosis pasti apabila terdapat lebih dari
satu kriteria probable disertai IgG anti-GluN1 positif
4. Serum: diagnosis dapat dipastikan apabila terdapat lebih dari satu kriteria probable
disertai IgG anti-GluN1 positif. Sensitivitas pemeriksaan antibodi serum lebih rendah
dibandingkan cairan serebrospinal.

Terapi
Imunosupresi:
1. Kortikosteroid intravena, metil prednisolon 1gram/hari atau 15-30 mg/kgBB hari
selama 3-5 hari
2. Imunoglobuli intravena (IVIG) 0,4gram/kgBB/hari selama 5 hari
3. Plasmaparesis

88
DIVISI NEUROLOGI

Terapi Lini Pertama


Metilprednisolon IV 30mg/kgBB/hari (5 hari),
dilanjutkan maintenance 1-2 mg/kgBB/hari
selama12 minggu

DIIKUTI
Plasma exchange 5-7 kali (10-14 hari) DAN/ATAU
IVIG 2 gram/kgBB (2-5 hari)

89
DIVISI NEUROLOGI

Apabila dengan tatalaksana metilprednisolon lini pertama pasien mengalami perbaikan,


metilprednisolon dilanjutkan hingga rata-rata 12 minggu dengan dosis 1-2 mg/kg BB per hari
disesuaikan dengan tolerabilitas dan efek samping, kemudian diturunkan perlahan sebelum
dihentikan.

Prognosis
Tatalaksana dini yang agresis akan memengaruhi luaran fungsional dan risiko kekambuhan
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

Kepustakaan:
1. Dimyati Y. Ensefalitis Virus dan Ensefalitis anti NMDAR: Apakah yang Berbeda?. Dalam:
UKK Neurologi IDAI. Hospital-based Pediatric Neurology: Translating Current Evidence
into Practical Tips.Jakarta:Balai Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2019; h 61-70.
2. Barbagallo M, Vitaliti G, Pavone P, Romano C, Lubrano R, Falsaperia R. Pediatric
Autoimmune Encephalitis. J Pediatr Neuroscie. 2017; 12 (2): 130-4.

90
DIVISI NPM

9
NPM

GIZI BURUK .................................................................................................. 3


OBESITAS .................................................................................................... 10
ANOREKSIA ................................................................................................. 14

1
DIVISI NPM

2
DIVISI NPM

GIZI BURUK

1. Batasan
Kekurangan berat badan yang besar (BB/TB < 70% P50 standar NCHS atau < -3 SD
Standar WHO ) dengan atau tanpa edema.
2. Etiologi : Spektrum penyebab : Intake kurang (kemiskinan, ketidaktahuan, penyakit),
penyakit sistemik.
3. Patogenesis : Siklus infeksi, diare dan kurang gizi yang diperberat oleh
imunodefisiensi, atrofi/disfungsi organ, malabsorbsi/maldigesti, kehilangan/defisiensi
meningkat, katabolisme meningkat  defisiensi makro/mikronutrien  gangguan
pertumbuhan  KEP.
4. Bentuk Klinis : Klasifikasi berdasarkan klinis:
 Marasmus : sangat kurus
 Marasmik kwashiorkor : antara marasmus dan kwashiorkor
 Kwashiorkor : dengan edema
5. Komplikasi
Jangka pendek : Ganguan fungsi vital yang dapat mengancam kehidupan karena
hipoglikemia, hipotermia, dehidrasi dan gangguan keseimbangan
elektrolit-asam basa serta infeksi berat (septikemia), hambatan
penyembuhan penyakit penyerta.
Jangka panjang : stunting, berkurangnya potensi tumbuh kembang.
6. Prognosis
KEP yang dirawat: kematian 20-30%, akan meningkat bila kadar albumin < 1,5 g%,
glukosa darah < 3 mmol/L atau < 50 mg/dl, suhu rektal < 35,5oC dan adanya infeksi
berat.
Gejala sisa: pencapaian tumbuh kembang terhambat termasuk penurunan intelegensi,
terutama jika KEP terjadi pada usia kurang 2 tahun.
7. Diagnosis
Dasar Diagnosis:
 BB/TB < 70 %, < - 3SD
 Klasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis.
Langkah Diagnosis:
 Tetapkan KEP Berat
 Tetapkan klasifikasi / bentuk klinik KEP
 Tetapkan kondisi
 Tetapkan diagnosis penyakit yang menyertai (mendasari dan penyerta), secara
rutin:
 TBC  standard profesi TBC
 ISK standard profesi ISK
 Infeksi telinga kronis / mastoiditis  standar profesi THT
 Cari penyebab lain (metabolik/ endokrin, penyakit jantung bawaan)
Indikasi Rawat: Semua penderita KEP berat dirawat.

3
DIVISI NPM

8. Penatalaksanaan
A. 10 Langkah dalam 3 Fase
Stabilisasi Tindak
Transisi HRehabilitasi
No. Tindakan Lanjut
H 1-2 H 3-7 8-14 Mg 3-6
Mg 7-26
1 Atasi/cegah hipoglikemia
2 Atasi/cegah hipotermia
3 Atasi/cegah dehidrasi
4 Perbaiki ggn elektrolit
5 Obati infeksi
Perbaiki def. nutrien +Fe
6 Tanpa Fe
mikro
7 Makanan stab. trans
8 Makanan tumbuh kejar
9 Stimulasi
10 Siapkan tindak lanjut

B. Urutan Pelaksanaan
B.1. Menetapkan 5 Kondisi berdasarkan:

Tanda Bahaya & Kondisi


Tanda Penting I II III IV V
Renjatan (Shock) + - - - -
Lethargis (Tidak Sadar) + + - + -
Muntah/Diare/Dehidrasi + + + - -

B.2. Stabilisasi
B.2.1. Stabilisasi Awal : Pastikan apakah ada gangguan fungsi vital
(penurunan kesadaran, presyok, gangguan kardiovaskuler dan pernapasan) /
tanda bahaya yg mengancam kehidupan penderita seperti hipoglikemia,
hipotermia, infeksi berat (sepsis) dan dehidrasi/gangguan keseimbangan
cairan, elektrolit, dan asam basa.
B.2.2. Stabilisasi Lanjutan

B.3. Tatalaksana Fase Stabilisasi Awal dan Lanjutan Setiap Kondisi


B.3.1. Kondisi I
Stabilisasi awal : - O2 1-2 l/menit, pasang NGT
- IVFD RLG 5% (RL + D10% 1:1)
- D10% IV bolus dosis 5 ml/kgBB
- ReSoMal 5 ml/kgBB/NGT
Lanjutan:
- Jam I : IVFD RLG 5% 15 ml/kgBB (5 tts/m/kgBB)
- Jam II : - Nadi kuat, frek nafas ↓  IVFD 1 jam berikutnya
ReSoMal (sesuai kemampuan).

4
DIVISI NPM

- Nadi dan frekuensi napas tetap tinggi  IVFD RLD


5% 4 ml/kgBB/jam (1 tts/kgBB/m)
- 10 Jam berikutnya : - IVFD diteruskan (sementara)
- ReSoMal selang-seling tiap jam dengan F-75
- ASI (+) diteruskan setelah F-75
- Catat nadi, frekuensi napas tiap 1 jam
Stabilisasi lanjutan bila telah:
Rehidrasi  Resomal stop, F-75 / 2 jam
Diare / muntah berkurang
dapat menghabiskan F-75

F-75 / 3 jam (sisanya lewat NGT)


Bisa menghabiskan F-75

F-75 / 4 jam

B.3.2. Kondisi II
Stabilisasi awal : - Bolus D10% IV 5 ml/kgBB
- NGT D10% lar. Gula 10% 50 ml
2 Jam I : ReSoMal oral/NGT tiap 30’, 5 ml/kgBB/kali,
Catat nadi, napas tiap 30’
10 Jam berikutnya:

Membaik Memburuk
ReSoMal- F-75 / 1 jam
Catat nadi, napas tiap 1 jam IVFD (kondisi I)

Rehidrasi, diare (-) Rehidrasi, diare (+)


ReSoMal stop ReSoMal/kali diare
F-75/2 jam (Tabel 3B, buku I Hal. 8 /3 jam  /4jam

B.3.3. Kondisi III


Stabilisasi awal : 50 ml D10% atau lar. Gula Pasir 10% (Oral/NGT)
2 Jam I : ReSoMal oral/NGT tiap 30’, 5 ml/kgBB/kali
Catat nadi, napas tiap 30’ (Tabel 4, Buku I Hal. 10)
10 Jam berikutnya:

Membaik Memburuk
ReSoMal- F-75 / 1 jam
Catat nadi, napas tiap 1 jam IVFD (kondisi I)

Rehidrasi, diare (-) Rehidrasi, diare (+)

5
DIVISI NPM

ReSoMal stop ReSoMal/kali diare


F-75/2 jam  /3 jam  /4jam
ASI

B.3.4. Kondisi IV
Stabilisasi awal : - Bolus D10% IV 5 ml/kgBB
- 50 ml D10% atau lar. Gula Pasir 10%
(Oral/NGT)
2 Jam I :
F-75 tiap 30’, ¼ dosis tiap 2 jam (NGT)
Catat nadi, napas tiap 30’ (Tabel 5)

Lethargis (+) Lethargis (-)


F-75 / 30’, ¼ dosis/2 jam (NGT) 10 jam berikutnya:
Catat nadi, frekuensi napas dan F-75 - F-75/2 jam (oral/NGT)
Tiap 30’ - Nadi, napas, kesadaran tiap
Penyebab lain? 1 jam
- ASI

Lethargis (-) Stabilisasi lanjutan:


F-75/3 jam  F-75/4 jam

B.3.5. Kondisi V
Stabilisasi awal : - 5 ml D10% atau lar. Gula Pasir 10% oral
- Catat nadi, napas, kesadaran
2 Jam I : F-75/30’, selama 2 jam sesuai BB
(Tab. F-75 dengan/tanpa edema)
Catat nadi, frek. Napas, kesadaran dan asupan F-75/30’

10 Jam berikutnya:
- F-75/2 jam (Tabel F-75 dengan/tanpa edema)
- Catat nadi, frek. Napas, asupan F-75/30’
- ASI antara F-75

Stabilisasi lanjutan:
Edema berkurang edema minimal
F-75 / 3 jam F-75/4 jam
Akhir fase stabilisasi: F-75/4 jam, edema (-)/minimal

B.4. Fase Transisi


 Pastikan tidak ada gejala pada stadium stabilisasi, mulai pemberian
makanan peroral dengan menilai keadaan diare dan memperhatikan
kemampuan makan, digesti, dan absorpsi saluran cerna.
- F-75  F-100/4 jam (Tab. F-75) pertahankan 2 hari

6
DIVISI NPM

Catat nadi, frek. Napas, dan asupan F-100/4 jam (Tabel 7)


- Hari ke-3  F-100 (Tabel F-100)
4 Jam  dinaikkan 10 ml (tidak/mampu menghabiskan)
(tidak melebihi dosis maksimal pada tabel F-100)

- Hari ke-4  F-100/4 jam (Tabel F-100)


Pertahankan sampai hari ke 7-14 atau sesuai dengan
kondisi anak.

B.5. Fase Rehabilitasi


 Pastikan tidak ada gejala pada stadium stabilisasi/transisi, kemampuan
makan baik.
BB < 7 Kg BB > 7 Kg
- F-135 - F-135
- Makanan Lunak/Lembik - Mak. Lunak/Lembik dan Mak. Biasa
- Sari buah - Buah

B.6. Persiapan untuk Tindak Lanjut di Rumah


Indikasi Pulang:
- Anoreksia teratasi/intake makanan sudah adekuat
- Infeksi teratasi, pengobatan lanjutan dapat dilakukan dipelayanan
kesehatan terdekat
- Ibu/Keluarga dapat merawatnya di rumah

C. Antibiotika
Berikan
Tidak ada komplikasi Kotrimoksazol per oral (25 mg Sulfametoksazol + 5
mg Trimetoprim/kgBB) setiap 12 jam selama 5
hari
Komplikasi (renjatan, Gentamisin IV atau IM (7,5 mg/kgBB) setiap hari
hipoglikemia, hipotermia, sekali selama 7 hari, ditambah:
dermatosis dengan kulit kasar/
infeksi saluran nafas atau infeksi
saluran kencing atau
letargis/tampak sakit)
Bila tidak membaik dalam waktu Ampisilin IV atau IM I diikuti dengan:
48 jam tambahkan (50 mg/kg) setiap 6 jam Amoksisilin oral (15
selama 2 hari mg/kg), setiap 8 jam
selama 5 hari
Bila ada infeksi khusus yang Antibiotik khusus
membutuhkan tambahan
antibiotik

7
DIVISI NPM

D. Mikronutrien dan Elektrolit


D.1. Vitamin A
Umur Dosis
< 6 bulan 50.000 SI ( ½ kapsul biru)
6-11 bulan 100.000 SI (1 kapsul biru)
1-5 tahun 200.000 SI (1 kapsul merah)

Jadwal dan dosis Pemberian Vitamin A


Gejala Hari Ke-1 Hari Ke-2 Hari Ke-3
Tidak ada gejala mata atau tidak Diberi kapsul Tidak diberi Tidak diberi
pernah sakit campak dalam 3 dengan dosis kapsul kapsul
bulan terakhir sesuai umur
Ada salah satu gejala: Diberi kapsul Diberi kapsul Diberi kapsul
- Bercak / Bitot dengan dosis dengan dosis dengan dosis
- Nanah/radang sesuai umur sesuai umur sesuai umur
- Ulkus keruh
- Ulkus kornea
- Pernah sakit campak dalam 3
bulan terakhir

D.2. Fe
Dosis Tablet Besi dan Sirup Besi untuk Anak Umur 6 Bulan sampai 5 Tahun
Bentuk Formula Fe Dosis
Tablet Besi/Folat (60 mg Bayi usia 6-12 bulan 1 X sehari ¼ tablet (15 mg)
Besi elemental dan 0,25
mg Asam Folat) Anak usia 1-5 tahun 1 X sehari ½ tablet (30 mg)
Sirup Besi
Setiap 5 ml mengandung Bayi usia 6-12 bulan 1 X sehari ½ sendok teh (15
30 mg Besi elemental mg)
Anak usia 1-5 tahun 1 X sehari 1 sendok teh (30
mg)

Catatan:
- Periksa kadar Hb untuk memastikan apakah ada anemia berat.
- Fe diberikan setelah memasuki fase stabilisasi atau hari ke-14.
- Fe diberikan setiap hari selama 4 minggu atau lebih sampai kadar Hb normal
selama 2 bulan berturut-turut.
- Dosis Fe: 1-3 mg Fe elemental/kgBB/hari.
- Bila ada lakukan pemeriksaan Hb ulang tiap 1 bulan.
D.3. Asam Folat
5 mg/hari pada hari pertama, selanjutnya 1 mg/hari

8
DIVISI NPM

D.4. Elekmin dan ReSoMal (lihat lampiran)

E. Transfusi
Jika Hasil Pemeriksaan Hb atau Ht Tatalaksananya
- Hb < 4,0 g/dl Berikan transfusi darah segar sebanyak 10
ml/kgBB dalam waktu 3 jam. Bila ada
tanda gagal jantung gunakan Packet Red
Cell untuk transfusi dalam jumlah yang
sama
Atau
- Hb 4,0-6,0 g/dl disertai distres Berikan Furosemid 1 mg/kgBB secara IV
pernafasan atau tanda gagal pada saat transfusi dimulai.
jantung Hentikan semua pemberian cairan lewat
oral/NGT selama anak ditransfusi.

Lampiran.

Formula Susu untuk KEP


Bahan F 75 F 100 F 135
Susu Skim (g) 25 30 90
Gula (g) 100 50 65
Minyak (g) 30 60 75
Elekmin (ml) 20 20 27
Air 1000 1000 1000

Larutan ReSoMal
Oralit WHO 1 L 1
Gula (g) 50
Elekmin (ml) 40
Air (ml) 2000

Larutan Elekmin
KCl (g) 224
Tripotasium Citrat (g) 81
Magnesium Chlorida (g) 76
Zinc Acetate (g) 8,2
Copper Sulphate (g) 1,4
Sodium selenate 0,028
Air (ml) 2500

9
DIVISI NPM

2. OBESITAS

1. Batasan
Akumulasi lemak berlebihan pada subkutan dan jaringan lainnya (IMT ≥ 95 persentil
berdasarkan usia pada CDC growth chart 2000).
2. Etiologi
Multifaktorial (genetik, lingkungan, endokrin)  masukan energi lebih banyak dari
pengeluaran energi.
3. Patogenesis
Genetik / familial, endokrin, lingkungan (perilaku makan, aktivitas fisik kurang) 
keseimbangan energi positif  penumpukan lemak.
4. Bentuk Klinis
Berdasarkan indeks BB/TB
 BB/TB 120-135% : Obesitas ringan
 BB/TB 135-150% : Obesitas sedang
 BB/TB >150% : Obesitas berat
5. Komplikasi
Pada masa anak:
 Sosial dan psikologik.
 Gangguan pernafasan, sleep apnoe  malas, mengantuk, sulit menerima pelajaran.
 Permasalahan ortopedi.
Pada masa dewasa:
 Problem terhadap pekerjaan.
 Penyakit kardiovaskuler (hipertensi, profil lipid, dll).
6. Prognosis
Melalui diet dan meningkatkan aktifitas fisik, 50% relaps dalam waktu 4-10 tahun.
7. Diagnosis
Dasar Diagnosis:
Klinis: IMT ≥ persentil 95 berdasarkan usia CDC growth chart tahun 2000.
Langkah Diagnosis:
Timbang berat badan, ukur tinggi badan, tebal lipatan kulit.
8. Penatalaksanaan
Tujuan: menghasilkan keseimbangan energi yang negatif, melalui:
 Diet: 800-1.200 kcal/hari.
 Mengubah perilaku makan (+ keluarga).
 Meningkatkan latihan fisik (60 menit/hari).

10
DIVISI NPM

9. Skema Pengobatan Anak dengan Obesitas

Obes usia 2-7 tahun

BMI 85-94th %ile BMI ≥ 95th %ile

Komplikasi

Ya Tidak

Weight Maintenance Weight Maintenance Weight


Loss

Obes usia ≥ 7 tahun

BMI ≥ 94th %ile BMI 84-94th %ile

Komplikasi

Ya Tidak

Weight Maintenance Weight Maintenance Weight


Loss

11
DIVISI NPM

10. Tujuan Terapi


1. Perilaku
1.1. Menumbuhkan kepedulian terhadap kebiasaan makan, aktivitas, serta perilaku
orang tua sekarang ini.
1.2. Menetapkan permasalahan perilaku.
1.3. Merubah perilaku yang sekarang.
1.4. Mempertahankan kepedulian terhadap perilaku.

2. Medik
2.1. Anak obes dengan komplikasi, mengurangi/memperbaiki komplikasi yang
ada.
2.2. Perbaikan profil lipid dan tekanan darah saat kontrol.
2.3 Keluhan sehubungan dengan berat badan seperti ketidakmampuan
beraktivitas / exercise.

3. Berat Badan
Agar berat badan di bawah 85th %ile.
3.1. Mempertahankan berat badan:
3.1.1. Anak usia ≥ 2 tahun - ≤ 7 tahun 85-94th %ile.
3.1.2. Anak usia ≥ 2 tahun - ≤ 7 tahun ≥ 95th %ile tanpa komplikasi seperti
hipertensi ringan dan dislipidemia.
3.1.3. Anak usia > 7 tahun 85-94th %ile
Cara: modifikasi diet dan peningkatan aktivitas.
Dengan BB menetap dan sejalan dengan bertambahnya TB maka BMI
akan menurun.
3.2. Menurunkan berat badan:
3.2.1. Anak usia ≥ 2 tahun - ≤ 7 tahun 95th %ile dengan komplikasi.
3.2.2. Anak usia > 7 tahun 85-94th %ile dengan komplikasi.
3.2.3. Anak usia > 7 tahun ≥ 95th %ile
Target yang diharapkan penurunan berat badan lebih kurang ½ kg
setiap bulan.

11. Penatalaksanaan
1. Keterlibatan Orang Tua
1.1. Jangan menggunakan makanan sebagai hadiah

12
DIVISI NPM

Misal tidur lebih telat / mengajak berjalan di taman setelah dapat mengatur
makan atau setelah berolah raga.
1.2. Mengatur waktu makan dan makanan selingan.
1.3. Tentukan dengan anak kapan dan makanan apa yang boleh dimakan,
termasuk memilih makanan di restoran (rendah lemak dan rendah gula).
1.4. Orang tua harus merubah dan mengontrol kebiasaan makan dan beraktivitas.
2. Meningkatkan aktivitas
2.1. Mengurangi kebiasaan santai.
- Menonton TV / main game 1 jam sehari.
- Lebih banyak berjalan (ke sekolah), bermain dengan teman, dsb.
2.2. Berolah raga antara ½ jam-1 jam sehari.
3. Mengurangi Intake Kalori.
3.1. Identifikasi pola makanan dan kebiasaan makanan khususnya makanan tinggi
kalori.
3.2. Mengganti makanan tinggi kalori seperti es krim, makanan berlemak/
minyak dengan segelas jus buah. Pengurangan 100 kalori perhari dapat
mengurangi hampir 10 kg (10 lb) dalam setahun.
3.3. Menggunakan “kartu hijau” (makanan rendah kalori) kelompok makanan
boleh dikonsumsi cukup banyak, “kartu kuning” (makanan berkalori sedang)
kelompok makanan yang konsumsinya dikurangi dan “kartu merah”
(makanan kalori tinggi) kelompok makanan yang sebaiknya dihindari.
12. Komplikasi Pengaturan Berat Badan
1. Penyakit kandung empedu pada remaja dan dewasa karena penurunan berat badan
terlalu cepat.
2. Defisiesi nutrien.
3. Pertumbuhan linear terlambat. Oleh karena itu anak obes biasanya tinggi, maka
dampak terhadap tinggi pada masa dewasa biasanya minimal.
13. Tindak Lanjut
- Obesitas merupakan penyakit kronik perlu perhatian kebiasaan makan dan
aktivitas selamanya.
- Kontrol dan dukungan terhadap keluarga melalui pertemuan secara teratur.
- Penanganan obesitas bersifat multidisiplin, klinisi, ahli diet, fisioterapi, ahli
psikologi, dan disiplin ilmu lain sehubungan dengan komplikasi obesitas.

13
DIVISI NPM

3. ANOREKSIA

1. Batasan
Nafsu makan kurang atau sama sekali tidak mau makan.
2. Etiologi
Spektrum Penyebab: Penyakit organis, psikologis, pengaturan makanan / pola makan
yang kurang baik.
3. Patogenesis

Spektrum Penyebab

Anoreksia

Katabolisme

Deplesi

KEP Atrofi Gangguan


absorbsi/digesti(diare)

Sistem imun ↓
(Infeksi)

4. Bentuk Klinis
 Pseudoanoreksia
 True anoreksia

5. Diagnosis
Langkah Diagnosis (lihat skema)
1. Nilai apakah anak betul-betul menderita anoreksia. Jika anak gizinya baik, aktif
dan riwayat makanan memadai, anak dianggap menderita Pseudo Anoreksia.
2. Bila True Anoreksia, tetapkan derajatnya. Dianggap ringan bila intake lebih dari
separuh kebutuhan.
3. Bila Anoreksia ringan tetapkan status gizinya. Jika KEP berat dirawat.
4. Anoreksia ringan yang berobat jalan diberikan bimbingan nutrisi, dan
a. Ditetapkan apakah menderita kelainan organik atau tidak. Jika ada kelainan
organik ditanggulangi sesuai standar profesinya.
b. Anoreksia yang dirawat dicari penyakit / kelainan yang menyertainya,
ditanggulangi sesuai standar profesi. Dilakukan rehabilitasi gizi.
5. Setelah bimbingan / rehabilitasi nutrisi dan penanggulangan kelainan organik
dinilai kemajuan anoreksia. Bila tidak ada kemajuan dimintakan konsultasi
psikologi.
6. Anak dengan kelainan organik yang masih aktif dinilai dan ditanggulangi lebih
lanjut. Kelainan organik yang diidentifikasikan mencakup:

14
DIVISI NPM

 Kelainan kongenital termasuk inborn error of metabolism.


 Penyakit infeksi.
 Penyakit sistemik.

Skema langkah diagnosis anoreksia:

ANOREKSIA
1. Nilai apakah betul anoreksia

TRUE ANOREKSIA PPSEUDO ANOREKSIA


- Status gizi baik
2. Tentukan derajat anoreksia
- BB
- Anamnesis
normal/agak turun
- Pemeriksaan fisis
 Anak aktif

Ringan Berat Th/ konseling ibu


(intake kalori >50%) - Tidak mau makan sama sekali
3. Tentukan status gizi - Intake kalori <50%

Cukup / KEP tak berat KEP berat MRS

Rawat jalan: 4a 4b
- Penyuluhan/pendidikan Pola makan - Cari faktor penyebab/predisposisi
- Kontrol 1X/minggu - Identifikasi kelainan
- Analisa/ monitor diet - Pemeriksaan rutin & penunjang
- Identifikasi kelainan organik Tatalaksana sesuai SP

5. Evaluasi kemajuan anoreksia

(+) (-) (+) (-)


Th/ sesuai SP Th/ diteruskan
Lanjutkan bimbingan 6. Nilai kelainan
nutrisi organik

5. Evaluasi kemajuan anoreksia


(+) (-)

Teruskan bimbingan nutrisi Konsultasi psikologi Terkontrol Masih aktif

Evaluasi lebih lanjut

Indikasi rawat:
 Anoreksia ringan dengan KEP berat .
 Anoreksia berat .
8. Penatalaksanaan
 Pada pseudoanoreksia dilakukan penyuluhan ibu.
 Pada anoreksia ringan dengan status gizi cukup

15
DIVISI NPM

 Rawat jalan: penyuluhan / pendidikan diet, analisis dan monitor diet


(pemberian makanan secara aktif sesuai selera anak)
 Cari faktor penyebab
 Bila ada KEP berat  tatalaksana sesuai SP KEP berat
9. Tindak lanjut
Pengamatan : - Evaluasi 1X/minggu.
- Berat badan, tinggi badan 1 X/ bulan.
- Pertumbuhan dan perkembangan.
Indikasi Pulang:
 Nafsu makan baik
 BB/TB 90%
 Penyakit penyerta / yang mendasari sudah teratasi.

16
DIVISI NPM

DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Cetakan
Kelima 2009.
2. Kliegman. Anorexia . Nelson Textbook of Pediatrics,18th ed. Chapter 303.
3. Toitz LS. Obesity . In: McLaren DS,Burwn D, Belton NR, William,AF. Textbook of
Pediatric Nutrition. Curchill Livingstone: 485-505
4. Poskitt EMF. The Chronically Ill Child. In: Mc Laren DJ.Burown D, Belton
MR,William AF. Textbook of Pediatric Nutrition. Curchill Livingstone: 291-5.

17
DIVISI NPM

18
DIVISI PERINATOLOGI

10
PERINATOLOGI

UPDATE 2021

BAYI BERAT LAHIR RENDAH ........................................................................ 4


ASFIKSIA PERINATAL .................................................................................... 8
GAWAT NAPAS PADA NEONATUS ............................................................... 14
PENYAKIT MEMBRAN HIALIN ........................................................................ 17
SINDROMA ASPIRASI MEKONEUM ............................................................... 19
HERNIA DIFRAGMATIKA ................................................................................ 21
PERDARAHAN PARU ...................................................................................... 23
INFEKSI PADA NEONATUS ............................................................................ 26
OPHTALMIA GONNORRHOIKA NEONATORUM ........................................... 32
KEJANG PADA NEONATUS ........................................................................... 34
NEONATAL HIPOGLIKEMI .............................................................................. 39
JEJAS AKIBAT PERSALINAN ........................................................................ 41
IKTERUS NEONATORUM ................................................................................ 45
KLINIS SEPSIS DAN SEPSIS NEONATORUM ............................................... 50
MENINGITIS NEONATORUM ........................................................................... 52
PNEUMOTHORAKS ......................................................................................... 54

1
DIVISI PERINATOLOGI

2
DIVISI PERINATOLOGI

NEONATOLOGI DAN NICU

Julniar M.Tasli, Herman Bermawi, Afifa Ramadanti, Indrayady

3
DIVISI PERINATOLOGI

BAYI BERAT LAHIR RENDAH


Julniar M.Tasli, Herman Bernawi, Afifa Ramadanti, Indrayady

Definisi
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat badan lahir kurang dari 2.500
gram tanpa memandang masa gestasi. Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang
dalam 1 jam setelah lahir.

Anamnesis
Keadaan ibu selama hamil (sesuai dengan faktor etiologi), usia gestasi.

Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis lengkap bayi baru lahir. Pemeriksaan skor Ballard untuk menilai usia
gestasi, dan diplot pada kurva Lubchenco untuk menilai kesesuaian berat lahir dengan
usia gestasi.

Klasifikasi :
A.Berdasarkan berat lahir :
1. Berat lahir kurang dari 1000 gr : bayi berat lahir amat sangat rendah
2. Berat lahir kurang dari 1500 gr : bayi berat lahir sangat rendah
3. Berat lahir kurang dari 2500 gr : bayi berat lahir rendah

B.Berdasarkan usia gestasi BBLR dibedakan:


1. Kurang bulan : usia gestasi kurang dari 37 minggu.
2. Cukup bulan : usia gestasi 37 minggu atau lebih.

C. Berdasarkan berat lahir dan usia gestasi maka BBLR dapat diklasifikasikan
menjadi:
1. SMK (sesuai masa kehamilan)
2. KMK (kecil masa kehamilan)
3. BMK (besar masa kehamilan).

Kriteria Diagnosis
Berdasarkan berat lahir dan usia gestasi diklasifikasikan sesuai dengan klasifikasi di
atas.

Diagnosis
 Timbang berat bayi
 Tentukan masa gestasi (hari pertama haid terakhir, Skor Ballard)
 Tentukan bayi sesuai masa kehamilan atau kecil masa kehamilan dengan
menggunakan kurva pertumbuhan dan perkembangan intrauterin dari Battalgia dan
Lubchenco

4
DIVISI PERINATOLOGI

• Usia gestasi <37 minggu →prematuritas murni


• Usia gestasi ≥37 minggu → dismatur
• Usia gestasi <37 minggu dan berat lahir kurang untuk masa gestasi tersebut
→ gabungan keduanya
 Cari faktor penyebab/risiko yang mendasari

Diagnosis Banding
Sesuai klasifikasi

Pemeriksaan Penunjang
Glukosa darah, hemoglobin, leukosit, diff. count, serta pemeriksaan lain atas indikasi
(foto toraks, ECG,USG).

Terapi
Indikasi rawat:
 Semua bayi berat lahir kurang dari 1.500 gram
 Usia gestasi ≤35 minggu
 Bayi dengan komplikasi
Perawatan:
 Dirawat dalam inkubator, jaga jangan sampai hipotermi, suhu bayi 36,5-37,5oC
 Perawatan Metode Kangguru Intermitten
 Bayi dengan distres pernapasan pengobatan lihat bab distres pernapasan.
 Tentukan usia gestasi
 Bayi BB ≥1.500 gram tanpa asfiksia dan tak ada tanda-tanda distres pernapasan
dirawat gabung
 Bila bayi <1.500 gram, pindah rawat bagian IKA dan beri ASI/LLM
 Bayi-bayi KMK (Kecil Masa Kehamilan) diberi minum lebih dini (2 jam setelah lahir)
 Periksa gula darah dengan dekstrostik bila ada tanda-tanda hipoglikemia
 Kebutuhan cairan setiap kgBB/24 jam
• Hari ke 1 : 80 mL
• Hari ke 2 : 100 mL
• Hari ke 3 : 120 mL
• Hari ke 4 : 130 mL
• Hari ke 5 : 135 mL
• Hari ke 6 : 140 mL
• Hari ke 7 : 150 mL
• Hari ke 8 : 160 mL
• Hari ke 9 : 165 mL
• Hari ke 10 : 170 mL
• Hari ke 11 : 175 mL
• Hari ke 12 : 180 mL
• Hari ke 13 : 190 mL
• Hari ke 14 : 200 mL

5
DIVISI PERINATOLOGI

 Jenis Cairan IVFD :


 Hari pertama dextrose 7,5-12,5% (GIR 6-8 mg/kgBB/menit) + Ca Gluconas 10%.
Glucose infusion rate (mg/kgbb/menit) = 0,167x infuse rate (ml/jam)x % dextrose
kgBB
 Kebutuhan Ca glukonas/hari : 5 mL / kg BB
Pada 500mg Ca Gluconas terdapat 46,5 mg Ca elemental
Berdasarkan rasio Ca:P berkisar 1,3:1 sampai 1,7:1, didapatkan kadar fosfat 35,6-
27,3mg
1 mg fosfat (P) = 0,03mmol = 0,8-1mmol
1 mmol = 1cc
Jadi, kebutuhan fosfat (P) pada bayi = 0,8 - 1 ml/kgbb/hari
 Mulai hari ke-3 atau sudah terdapat diuresis awal baru ditambahkan Natrium (Na)
atau Kalium (K) 2-3 meq/kgBB/hari atau sesuai kebutuhan.
 Protein 1,5 gram/kgBB/hari dalam 24 jam pertama, dinaikkan perlahan-lahan ½-1
gram/hari, maksimal 31/2-4 gram/kgBB/hari.
 Lipid 1 g/kgBB/hari dalam 24 jam pertama, dinaikkan perlahan-lahan ½-1 gram,
maksimal 2,5-3,5 gram/kgBB/hari.
 Pada bayi tanpa distres pernapan (RR <60 x/menit) dapat langsung diberi minum
per oral dengan menghisap sendiri atau dengan nasogastrik drip. Bila bayi tidak
mentolerir semua kebutuhan peroral, maka diberikan sebanyak yang dapat
ditoleransi lambungnya dan sisanya diberikan dengan IVFD.
 Pemberian minum tiap 2-3 jam pada bayi dengan BB <1.500 gram secara sonde
lambung, kemudian dilanjutkan dengan menghisap langsung ASI dari ibu, secara
bertahap 1 x/hari dilanjutkan 2-3 x/hari dan seterusnya akhirnya sampai penuh
sampai bayi dipulangkan.
 Bayi dengan masa gestasi <32 minggu diberikan:
• Theophilin per oral dosis awal 6 mg dan dilanjutkan 1,5 mg/kgBB/kali tiap 8 jam
sampai masa gestasi 34 minggu atau kafein sitrat dosis awal 20 mg/kgBB dan
dilanjutkan 24 jam kemudian 5 mg /kgBB/hari (maksimal 10 mg/kg BB/hari)
• Theophilin juga diberikan pada bayi dengan masa gestasi 33 -34 minggu bila
bayi tersebut apnu yang disertai bradikardia dan sianosis.
 Bila bayi belum bisa makan per oral dapat juga diberikan aminophylin IV dosis awal
7-8 mg/kgBB dilanjutkan dosis 2 mg/kgBB tiap 8 jam.

Indikasi Pulang
Bayi sudah dapat minum secara adekuat sesuai dengan kebutuhan dan tidak ada
komplikasi.

Edukasi
Penjelasan mengenai komplikasi jangka panjang dan jangka pendek dari BBLR dan
perawtan metode kangguru.

6
DIVISI PERINATOLOGI

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam

Kepustakaan
1. Eichenwald EC. Care of extremely low-birth-weight infant. Dalam: Gleason CA,
Devaskar SU, penyunting. Avery’s Disease of the new born. Edisi ke-9.
Philadelphia: Elsevier, 2012;320-404
2. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Management of the extremely low birth
weight infant during theb forst week of life. Dalam: Neonatology, management,
procedur, on-call problem, desease, and drug. Edisi ke-7. Newyork : Lange
McGraw Hill, 2013;157-69.
3. Mohan SS, Jain L. Care of the late preterm infant. Dalam: Gleason CA, Devaskar
SU, penyunting. Avery’s disease of the newborn. Edisi ke-9. Philadelphia :
elsevier, 2012;405-16.
4. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Intrauterine growth restriction (small forn
gestational age). Dalam: neonatology, management, procedure, on-call problem,
disease, and drug. Edisi ke-7. Newyork: Lange-McGraw Hill, 2013;732-42.
5. Sinha S, Miall L, Jardine L. The low birthweight infant. Dalam: Essential Neonatal
Medicine. Edisi ke-5. Oxford : Wiley-Blackwell, 2012;137-44.
6. Lee. K.G. Identifying the high-risk newborn and evaluating gestational
age,prematurity, postmaturity, large-for-gestational-age, and small-for-
gestational-age infants. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR,
penyunting. Manual of Neonatal care. Edisi 6. Philadelphia : Lippincott William &
Walkins, 2008;41-58.
7. Stewart J.E., Martin C.R., Joselow M.R. Follow-up care of very low birth weight
infants. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, penyunting. Manual of
Neonatal care. Edisi 6. Philadelphia : Lippincott William & Walkins, 2008; 159-63.
8. Kliegman R.M. Intrauterine Growth Restriction. Dalam : Martin RJ, Fanaroff AA,
Walsh MC, penyunting. Fanaroff and Martin’s Neonatal-perinatal medicine. Edisi
ke 9. Missouri: Elsevier, 2011; 245 - 76
9. American Heart Association and American Academy of Pediatric. Textbook of
neonatal resuscitation. Kattwinkel J, penyunting. Edisi ke 6, 2011.
10. Sulistijono E, Alasiry E, Irawan G, Hendarto A. Sjarif DR, Lestario ED, dkk.
Konsensus nutrisi pada bayi prematur. Jakarta: BP-IDAI, 2016
11. Mihatsch W, et al., ESPGHAN/ESPEN/ESPR/CSPEN guidelines on pediatric
parenteral nutrition: Calcium, phosphorus and magnesium, Clinical Nutrition
(2018), https://doi.org/10.1016/j.clnu.2018.06.950.
12. The low birthweight infant. Dalam : Levene MI, Tudehope DI, Sinha S,
penyunting. Essential Neonatal Mediceine. Edisi 4. Australia : Blackwell
Publishing, 2008 ; 77 – 86

7
DIVISI PERINATOLOGI

ASFIKSIA PERINATAL
Julniar M.Tasli, Herman Bernawi, Afifa Ramadanti, Indrayady
Definisi
Kegagalan bernapas spontan dan teratur segera setelah lahir sehingga terjadinya
gangguan pertukaran gas (O2 dan CO2) yang mengakibatkan bayi baru lahir
mengalami hipoksia, hiperkarbia dan asidosis metabolik

Anamnesis
Faktor risiko ( etiologi ) → perkiraan asfiksia.
Riwayat persalinan → lahir langsung menangis ( bernapas spontan ) atau tidak.

Pemeriksaan Fisis
Dinilai appearance (warna kulit), pulse (denyut jantung), grimace (mimik wajah),
activity (tonus otot), respiratory effort (usaha nafas) pada menit 1 dan 5, kalau perlu
setiap 5 menit sampai menit 20 sesuai dengan kondisi bayi.
Penilaian bersamaan dengan langkah-langkah resusitasi. Sambil melakukan
resusitasi, menilai APGAR 1 menit, 5 menit, dan 10 menit. Setelah selesai resusitasi,
dilanjutkan dengan perawatan pasca resusitasi, dipantau fungsi vital (nadi,
pernafasan, kesadaran), mencari komplikasi dan penyakit penyerta serta
pemeriksaaan fisik lengkap.

Kriteria Diagnosis
1. Nilai APGAR 0 – 3 pada menit ke 5
2. Asidosis metabolik atau campuran ( pH darah arteri umbilikalis < 7 )
3. Manifestasi neurologik ( kejang, hipotoni, koma, ensefalopati hipoksik iskemik )
4. Terjadi disfungsi sistem multiorgan segera pada periode bayi baru lahir.

Diagnosis
Memenuhi salah satu kriteria diagnosis

Diagnosis Banding
Neonatal ensefalopati

Pemeriksaan Penunjang
Glukosa darah, hemoglobin, leukosit, hitung jenis, serta pemeriksaan lain atas indikasi
(foto toraks, EKG,USG).

Terapi
Sebelum melakukan resusitasi lakukan persiapan:
1. Konseling antenatal
2. Membentuk dan membagi tugas tim
3. Persiapan alat
4. Pencegahan infeksi (menggunakan APD)

8
DIVISI PERINATOLOGI

Setelah bayi lahir, lakukan penilaian awal


1. Apakah bernapas atau menagis ?
2. Apakah tonus otot baik ?
Bila ada jawaban “tidak“ dari ke pertanyaan 1 dan/atau 2 maka langkah awal resusitasi
harus dimulai, sedangkan bila semua jawaban “ya“ maka bayi tersebut hanya
dilakukan perawatan rutin saja (jaga kehangatan, bersihkan jalan napas dan
keringkan).

A. Langkah Awal Resusitasi


Letakkan bayi di meja resusitasi dengan alat pemancar panas, letakkan pada
posisi yang benar, lakukan penghisapan (bila perlu), keringkan, rangsangan taktil,
reposisi dan nilai: pernapasan frekuensi jantung, warna kulit, dan tonus otot.

B. Ventilasi Tekanan Positip ( VTP )


Ventilasi tekanan positip dapat diberikan dengan balon resusitasi dan sungkup
atau dengan balon resusitasi dan intubasi endotrakheal (ETT).
Indikasi :
Bila bayi apnu/megap-megap atau bernapas tetapi frekuensi denyut jantung <100
kali permenit atau sianosis sentral menetap meskipun diberikan oksigen aliran
bebas sampai 100 %.
Frekuensi :
Lakukan ventilasi dengan menggunakan oksigen 21% pada bayi usia gestasi > 35
minggu, dengan oksigen 21%-30% pada bayi usia gestasi <35 minggu dengan
frekuensi 10-15 kali selama 15 detik pertama kemudian dinilai pengembangan
dinding dada dan denyut jantung
- Bila denyut jantung meningkat dan dinding dada mengembang, lanjutkan 15
detik kedua
- Bila denyut jantung tidak meningkat tapi dinding dada mengembang ,
lanjutkan 15 detik kedua
- Bila denyut jantung tidak meningkat dan dinding dada tidak mengembang,
lakukan koreksi posisi, perlengkatan sungkup, bersihkan jalan napas, mulut
terbuka, tekanan pada balon
- Bila dinding dada tetap tidak mengembang lakukan intubasi
- Bila dada sudah mengembang lanjutkan ventilasi selama 30 detik dengan
kecepatan 20-30 kali
Frekuensi Jantung/Tindakan :
a. Di atas 100 :
1. Bila napas spontan dan saturasi oksigen membaik, VTP hentikan bertahap.
2. Bila tidak bernapas, atau megap-megap lanjutkan VTP
b. Diantara 60 dan 100 :
1. Membaik, pasang pipa orogastrik dan lanjutkan VTP
2. Tidak membaik, evaluasi VTP yang telah dilakukan (posisi, perlekatan
sungkup, jalan napas bersih, mulut terbuka, tekanan pada balon),
pertimbangkan intubasi dan lanjutkan VTP

9
DIVISI PERINATOLOGI

c. Di bawah 60 :
1. Lanjutkan VTP
2. Mulai kompresi dada

C. Kompresi Dada
Indikasi:
Frekuensi jantung < 60 kali per menit setelah VTP efektif selama 30 detik
Frekuensi:
Kompresi dada dilakukan selama 60 detik. Setiap 2 detik dilakukan 3 kali kompresi
dada dan 1 kali VTP dengan oksigen 100% (selama 60 detik dilakukan 90 kali
kompresi dada dan 30 kali VTP detik).
Evaluasi:
Setelah 60 detik melakukan tindakan kompresi dada dan ventilasi, periksa
frekuensi jantung atau nadi. Bila frekuensi jantung:
a. Kurang dari 60 kali per menit: lanjutkan tindakan kompresi dada dan ventilasi
dan pemberian epinefrin.
b. 60 kali per menit atau lebih : hentikan tindakan kompresi dada tetapi lanjutkan
ventilasi.

D. Intubasi Endotrakeal
Indikasi :
a. Bila cairan amnion bercampur mekoneum dan bayi mengalami depresi napas,
tonus otot jelek atau denyut jantung < 100 kali permenit maka intubasi
dilakukan pada kesempatan pertama (perlu melakukan penghisapan melalui
trakhea untuk mengeluarkan mekoneum), sebelum memulai tindakan
resusitasi yang lain.
b. Bila VTP dengan balon dan sungkup tidak efektif (tidak mengembangkan dada)
atau memaksimalkan efisiensi VTP, membutuhkan pemberian VTP agak lama,
dicurigai ada hernia diafragmatika, pemberian surfaktan dan bayi berat amat
sangat rendah (berat lahir kurang dari 1.000 gram).
c. Bila diperlukan kompresi dada, intubasi memudahkan koordinasi kompresi
dada dan VTP.

E. Obat-obatan
Obat-obatan baru diperlukan pada resusitasi neonatus bila tidak memberikan
respon dengan pemberian VTP yang efektif dengan oksigen 100 % dan kompresi
dada.
a. Epinefrin
Indikasi:
Frekuensi jantung tetap di bawah 60 kali per menit walaupun telah dilakukan
paling sedikit 60 detik ventilasi adekuat dengan oksigen 100% dan kompresi
dada.

10
DIVISI PERINATOLOGI

Frekuensi jantung nol. Bila detak jantung tidak dapat dideteksi, epinefrin harus
diberikan segera pada saat yang sama dengan VTP dan kompresi dada
dimulai.
Pemberian:
Dosis 0,1-0,3 ml/kgBB epinefrin 1:10.000 intravena atau 0,5-1 ml/kgBB melalui
ETT, dapat diulang setiap 3-5 menit bila frekuensi denyut jantung kurang dari
60 kali per menit.
b. Cairan penambah volume darah
Bila bayi tidak memberikan respon terhadap resusitasi dan ada bukti
kehilangan darah maka indikasi pemberian cairan penambah volume darah,
yaitu garam fisiologis atau ringer laktat dengan dosis 10 ml/kgBB selama 30
menit.
c. Nalokson
Bila ibu mendapat morphin atau petidin dalam waktu 4 jam terakhir sebelum
persalinan dan tidak ada usaha napas, tetapi frekuensi jantung dan kulit normal
langsung diberikan Nalokson 0,1 mg/kgBB intravena melalui vena umbilikalis
atau pipa endotrakeal.

Ingatlah, walaupun didapatkan frekuensi jantung nol, penekanan dan ventilasi harus
dilanjutkan sampai diambil keputusan medik untuk menghentikan tindakan resusitasi.

Resusitasi dihentikan bila semua langkah dilakukan dengan baik selama 15 menit
frekuensi jantung tetap nol.

Indikasi Pulang
Tidak sesak, dengan frekuensi napas 40-60 kali per menit. Tidak ada tanda-tanda
infeksi, penyakit penyerta dan komplikasi telah teratasi dan bisa minum secara
adekuat.

Edukasi
Penjelasan mengenai komplikasi jangka panjang dan jangka pendek dari asfiksia
perinatal.
Penjelasan mengenai faktor risiko asfiksia neonatorum.

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam

11
DIVISI PERINATOLOGI

Kepustakaan
1. American Heart Association and Amercan Academy of Pediatric: Textbook of
neonatal rescucitation. Weiner GM, Zaichkin J.. Edisi ke-7, 2015
2. Leone TA, Finer NN. Rescucitation in the delivery room. Dalam: Gleason CA,
Devaskar SU, penyunting. Avery’s disease of the newborn. Edisi ke-9.
Philadelphia ; Elsevier, 2012;328-40.
3. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Perinatal asphyxia. Dalam: Neonatology,
management, procedure, on-call problem, disease, and drug. Edisi ke-7.
Newyork: Lange McGraw Hill. 2013;805-14.
4. Goldsmith JP. Delivery room resuscitaion of the newborn. Dalam : Martin RJ,
Fanaroff AA, Walsh MC, penyunting. Fanaroff and Martin’s Neonatal-perinatal
medicine. Edisi ke 9. Missouri: Elsevier, 2011;449-74
5. Papile LA, Adcock LM. Perinatal Asphyxia. Dalam : Cloherty JP, Eichenwald EC,
Stark AR, penyunting. Manual of Neonatal care. Edisi ke 6. Philadelphia :
Lippincott William & Wilkins, 2008; 518-28.
6. Dharmasetiawani N. Asfiksia dan resusitasi bayi baru lahir. Dalam; Kosim MS,
Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A, penyunting. Buku ajar neonatologi.
Edisi ke-1. Jakarta: BP IDAI, 2012;103-25.

12
DIVISI PERINATOLOGI

Algoritma Resusitasi Neonatus

UG

13
DIVISI PERINATOLOGI

GAWAT NAPAS PADA NEONATUS


Julniar M.Tasli, Herman Bernawi, Afifa Ramadanti, Indrayady

Definisi
Kumpulan dari 2 atau lebih gejala gangguan ventilasi paru yang ditandai dengan
frekuensi napas > 60 kali/menit; merintih pada waktu ekspirasi; retraksi interkostal,
subkostal, suprasternal, epigastrium; pernapasan cuping hidung dan sianosis.

Anamnesis
Masa gestasi, cara persalinan, nilai APGAR, air ketuban bercampur mekoneum, faktor
risiko atau faktor predisposisi infeksi (suhu ibu > 38 oC, leukosit ibu > 15.000/mm3, air
ketuban keruh dan berbau busuk, ketubah pecah > 12 jam, partus kasep).

Pemeriksaan Fisis
Tergantung Bentuk Klinis :
1. Transient Tachypnoe of the Newborn : dispnu, takipnu, retraksi, merintih, sianosis,
vesikular normal
2. Penyakit Membran Hyalin : dispnu, takipnu, retraksi, merintih, sianosis, vesikular
menurun dan tanda-tanda bayi kurang bulan.
3. Bronkopneumonia : dispnu, takipnu, retraksi, merintih, sianosis, vesikular dapat
normal atau menurun dan jarang ditemukan ronki.
4. Sindroma Aspirasi mekoneum : dispnu, takipnu, retraksi, merintih, sianosis,
vesikular dapat normal atau menurun, meconeum staining, dada dapat tampak lebih
cembung.
5. Pneumotoraks : dispnu, takipnu, retraksi, merintih, sianosis, vesikular menurun, sela
iga melebar dan dada tampak lebih cembung, asimetris gerakan dinding dada.
6. Hernia Diafragmatika : dispnu, takipnu, retraksi, merintih, sianosis, vesikular
menurun, dada tampak lebih cembung, perut skapoid, dapat terdengar peristaltik
usus pada toraks.
7. Kelumpuhan Saraf Frenikus : dispnu, takipnu, retraksi, merintih, sianosis, vesikular
menurun dan sering ditemui palsi brakial Palsi ( parese/paralise Erb )

Kriteria Diagnosis
Ditemukan gejala klinis atau gejala klinis ditambah dengan hasil pemeriksaan
penunjang yang positip.
1. Transient Tachypnoe of the Newborn : gejala klinis + foto toraks (hiperinflasi paru,
peri hillar cuffing, cairan di fisura interlobularis, diafragma lebih datar, kardiomegali
ringan )
2. Penyakit Membran Hyalin : gejala klinis + foto toraks (infiltrat retikulogranuler, air
bronchogram, batas jantung paru kabur, kolaps seluruh paru)
3. Bronkopneumonia : gejala klinis + foto toraks (infiltrat tak spesifik)
4. Sindroma Aspirasi Mekoneum : gejala klinis + foto Toraks (diafragma datar, sela
iga lebar, bercak infiltrat kasar)

14
DIVISI PERINATOLOGI

5. Pneumotoraks : gejala klinis + foto toraks (radiolusen dan kolaps parsial atau total
paru yang terkena, pergeseran mediastinum, pendataran diafragma) +
transiluminasi positip, terutama pada bayi kecil.
6. Hernia Diafragmatika : gejala klinis + foto toraks (tampak gambaran usus di rongga
toraks).
7. Parese Saraf Frenikus : gejala klinis + foto toraks (elevasi diafragma sisi parese,
pergeseran mediastinum dan atelektasis) + USG (gangguan/berkurang gerakan
diaragma sisi parese)

Diagnosis
Sesuai klinis dan pemeriksaan penunjang

Diagnosis Banding
Tergantung diagnosis

Pemeriksaan Penunjang
Darah : Hb, lekosit, Diff.count, trombosit, mikro LED dan CRP.
Radiologi ( foto toraks dan ultrasonografi )
Transiluminasi

Terapi
1. Suportif, umumnya sama pada semua gawat napas, yaitu :
a. Pemberian cairan
 Hari pertama dextrose 7,5-12,5% (GIR 6-8 mg/kgBB/menit) + Ca Gluconas 10%.
 Kebutuhan Ca glukonas/hari : 5 mL / kg BB
 Mulai hari ke-2 atau sudah terdapat diuresis awal baru ditambahkan Natrium (Na)
atau Kalium (K) 2-3 meq/kgBB/hari atau sesuai kebutuhan.
 Bila ada tanda dehidrasi atasi dehidrasi
 Bila ada asidosis berikan cairan dekstrose dan natrium bikarbonat (4 : 1). Bila
dapat diperiksa analisa gas darah, asidosis dan dikoreksi langsung dengan
pemberian cairan Natrium Bikarbonat 4,2 % secara perlahan-lahan
 Bila belum bisa makan per oral beri larutan asam amino 1-3 g/kgBB/hari. Bila
sudah bisa minum per oral beri ASI atau susu formula
b. Terapi oksigen ( intra nasal, buble CPAP, ventilator)
2. Antibiotika : Ampisilin dan gentamisin, bila tidak ada perbaikan dalam 2 hari,
gentamisin diganti dengan ceftazidim.
3. Terapi khusus, tergantung dari etiologi gawat napas :
a. Pneumotoraks :
 Tidak ada tension pneumotoraks : berikan oksigen 100 % selama 12 jam pada
bayi aterm ( nitrogen washing)
 Dengan tension pneumotoraks dilakukan pemasasangan kateter interkostal
dengan continuous suction (WSD)

15
DIVISI PERINATOLOGI

 Jika keadaan kritis dapat dilakukan aspirasi dengan menggunakan wing needle
no.21 dan spuit 5 mL serta three way stopcock (diagnosis dan terapi)
b. Hernia Diafragmatika : operatif ( repair diafragma )
c. Parese Saraf Frenikus : konservatif (bayi dimiringkan ke sisi parese), operatif bila
setelah 1 bulan tidak ada perbaikan (plikasi diafragma)

Indikasi Pulang
Tidak sesak dengan frekuensi nafas 40-60 kali per menit, minum baik, tidak ada tanda
infeksi dan penyakit penyebab telah terkendali

Edukasi
Penjelasan mengenai faktor risiko dan penatalaksanaan serta komplikasi yang
mungkin timbul.

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam

Kepustakaan
1. Jackson JC. Respiratory distress in the preterm infant. Dalam: Gleason
CA,Devaskar SU, penyunting. Avery’s disease of the newborn. Edisi ke-9.
Philadelphia : Elsevier, 2012; 633-46.
2. Bancalari E, Claure N.. Principles of respiratory monitoring and therapy. Dalam:
Gleason CA,Devaskar SU, penyunting. Avery’s disease of the newborn. Edisi ke-
9. Philadelphia : Elsevier, 2012; 612-32..
3. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Respiratory distress syndrome. Dalam:
Neonatology, management, procedure, on-call problem, disease, and drug. Edisi
ke-7. Newyork: Lange McGraw Hill, 2013; 834-49.
4. Kosim MS Gangguan Nafas pada bayi baru lahir. Dalam: Kosim MS, Yunanto A,
Dewi R, Sarosa GI, Usman A, penyunting. Buku Ajar Neonatologi. Edisi 1.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI, 2008;126-46.
5. Bhakta K.Y. Respiratory Distress Syndrome. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald
EC, Stark AR, penyunting. Manual of Neonatal care. Edisi 6. Philadelphia :
Lippincott William & Walkins, 2008;323-30.
6. Wambach JA, Hamvas A. Respiratory Distress Syndrome in the neonate. Dalam:
Martin RJ, Fanaroff AA, Walsh MC, penyunting. Fanaroff and Martin’s Neonatal-
Perinatal Medicine. Edisi ke-10. Missouri : Mosby Elsevier, 2015;1074-86.
7. Sinha S, Miall L, Jardine L. Respiratory Disorder. . Essential Neonatal Mediceine.
Edisi ke-5. Oxford: Wiley-Blackwell, 2012;145-62.

16
DIVISI PERINATOLOGI

PENYAKIT MEMBRAN HIALIN


Julniar M.Tasli, Herman Bernawi, Afifa Ramadanti, Indrayady

Definisi
Sindroma gawat nafas yang disebabkan defisiensi surfaktan

Anamnesis
Prematur, riwayat ibu DM, asfiksia, gemelli II, perdarahan antepartum, persalinan
dengan sectio cesaria

Pemeriksaan Fisik
Dispnu, takipnu, retraksi, merintih, sianosis, vesikular menurun dan tanda-tanda bayi
kurang bulan.

Kriteria Diagnosis
Gejala klinis + foto toraks (infiltrat retikulogranuler, air bronchogram, batas jantung
paru kabur, kolaps seluruh paru)

Diagnosis
Berdasarkan anamnesis, klinis dan foto toraks

Diagnosis Banding
Transient Tachypnoe of the Newborn
Pneumonia
Sepsis

Pemeriksaan Penunjang
Darah : Hb, lekosit, Diff.count, trombosit, mikro LED dan CRP.
Radiologi : foto toraks

Terapi
1. Suportif, umumnya sama pada semua gawat napas, yaitu :
a. Pemberian cairan
 Hari pertama dextrose 7,5-12,5% (GIR 6-8 mg/kgBB/menit) + Ca Gluconas 10%.
 Kebutuhan Ca glukonas/hari : 5 mL / kg BB
 Mulai hari ke-2 atau sudah terdapat diuresis awal baru ditambahkan Natrium (Na)
atau Kalium (K) 2-3 meq/kgBB/hari atau sesuai kebutuhan.
 Bila ada tanda dehidrasi atasi dehidrasi
 Bila ada asidosis berikan cairan dekstrose dan natrium bikarbonat ( 4 : 1 ) Bila
dapat diperiksa analisa gas darah, asidosis dan dikoreksi langsung dengan
pemberian cairan Natrium Bikarbonat 4,2 % secara perlahan-lahan
 Bila belum bisa makan per oral beri larutan asam amino 1-3 g/kgBB/hari. Bila
sudah bisa minum per oral beri ASI atau susu formula

17
DIVISI PERINATOLOGI

b. Terapi oksigen ( intra nasal, , bubble CPAP, ventilator )

2. Antibiotika : Ampisilin dan gentamisin, bila tidak ada perbaikan dalam 2 hari,
gentamisin diganti dengan ceftazidim.

Indikasi Pulang
Tidak sesak dengan frekuensi nafas 40-60 kali per menit, minum baik, tidak ada tanda
infeksi dan penyakit penyebab telah terkendali

Edukasi
Tidak sesak dengan frekuensi nafas 40-60 kali per menit, minum baik, tidak ada tanda
infeksi dan penyakit penyebab telah terkendali

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam

Kepustakaan
1. Jackson JC. Respiratory distress in the preterm infant. Dalam: Gleason
CA,Devaskar SU, penyunting. Avery’s disease of the newborn. Edisi ke-9.
Philadelphia : Elsevier, 2012; 633-46.
2. Bancalari E, Claure N.. Principles of respiratory monitoring and therapy. Dalam:
Gleason CA,Devaskar SU, penyunting. Avery’s disease of the newborn. Edisi ke-
9. Philadelphia : Elsevier, 2012; 612-32..
3. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Respiratory distress syndrome. Dalam:
Neonatology, management, procedure, on-call problem, disease, and drug. Edisi
ke-7. Newyork: Lange McGraw Hill, 2013; 834-49.
4. Kosim MS Gangguan Nafas pada bayi baru lahir. Dalam: Kosim MS, Yunanto A,
Dewi R, Sarosa GI, Usman A, penyunting. Buku Ajar Neonatologi. Edisi 1.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI, 2008;126-46.
5. Bhakta K.Y. Respiratory Distress Syndrome. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald
EC, Stark AR, penyunting. Manual of Neonatal care. Edisi 6. Philadelphia :
Lippincott William & Walkins, 2008;323-30.
6. Wambach JA, Hamvas A. Respiratory Distress Syndrome in the neonate. Dalam:
Martin RJ, Fanaroff AA, Walsh MC, penyunting. Fanaroff and Martin’s Neonatal-
Perinatal Medicine. Edisi ke-10. Missouri : Mosby Elsevier, 2015;1074-86.
7. Sinha S, Miall L, Jardine L. Respiratory Disorder. . Essential Neonatal Mediceine.
Edisi ke-5. Oxford: Wiley-Blackwell, 2012;145-62.

18
DIVISI PERINATOLOGI

SINDROMA ASPIRASI MEKONEUM


Julniar M.Tasli, Herman Bernawi, Afifa Ramadanti, Indrayady

Definisi
Masuknya air ketuban yang bercampur mekoneum ke dalam saluran nafas

Anamnesis
Masa gestasi, cara persalinan, nilai APGAR, air ketuban bercampur mekoneum, faktor
risiko atau faktor predisposisi infeksi (suhu ibu > 38o C, leukosit ibu > 15.000/mm3, air
ketuban keruh & berbau busuk, ketubah pecah > 12 jam, partus kasep).

Pemeriksaan Fisis
Dispnu, takipnu, retraksi, merintih, sianosis, vesikular dapat normal atau menurun,
meconeum staining, dada dapat tampak lebih cembung.

Kriteria Diagnosis
Gejala klinis + foto Toraks ( diafragma datar, sela iga lebar, bercak infiltrat kasar )

Diagnosis
Sesuai klinis dan foto toraks

Diagnosis Banding
Pneumonia

Pemeriksaan Penunjang
Darah : Hb, lekosit, Diff.count, trombosit, mikro LED dan CRP.
Radiologi : foto toraks

Terapi
1. Suportif, umumnya sama pada semua gawat napas, yaitu :
a. Pemberian cairan
 Hari pertama dextrose 7,5-12,5% (GIR 6-8 mg/kgBB/menit) + Ca Gluconas 10%.
 Kebutuhan Ca glukonas/hari : 5 mL / kg BB
 Mulai hari ke-2 atau sudah terdapat diuresis awal baru ditambahkan Natrium
(Na) atau Kalium (K)2-3 meq/kgBB/hari atau sesuai kebutuhan.
 Bila ada tanda dehidrasi atasi dehidrasi
 Bila ada asidosis berikan cairan dekstrose dan natrium bikarbonat ( 4 : 1 ) Bila
dapat diperiksa analisa gas darah, asidosis dan dikoreksi langsung dengan
pemberian cairan Natrium Bikarbonat 4,2 % secara perlahan-lahan
 Bila belum bisa makan per oral beri larutan asam amino 1-3 g/kgBB/hari. Bila
sudah bisa minum per oral beri ASI atau susu formula
b. Terapi oksigen ( intra nasal, bubble CPAP, ventilator )

19
DIVISI PERINATOLOGI

2. Antibiotika : Ampisilin dan gentamisin, bila tidak ada perbaikan dalam 2 hari,
gentamisin diganti dengan ceftazidim.

Indikasi Pulang
Tidak sesak dengan frekuensi nafas 40-60 kali per menit, minum baik, tidak ada tanda
infeksi dan penyakit penyebab telah terkendali

Edukasi
Penjelasan mengenai faktor risiko dan penatalaksanaan serta komplikasi yang
mungkin timbul.

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam

Kepustakaan
1. Parker TA, Kinseila JP. Respiratory failure in the term newborn. Dalam: Gleason
CA, Devaskar SU, penyunting. Avery’s disease of the newborn. Edisi ke- 0.
Philadelphia : Elsevier, 2012;649-57.
2. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Meconium aspiration syndrome. Dalam:
Neonatology, management, procedure, on-call problem, disease, and drug. Edisi
ke-7. Newyork: Lange McGraw Hill, 2013; 749-54.
3. Kosim MS Gangguan Nafas pada bayi baru lahir. Dalam: Kosim MS, Yunanto A,
Dewi R, Sarosa GI, Usman A, penyunting. Buku Ajar Neonatologi. Edisi 1.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI, 2008;126-46.
4. Bhakta K.Y. Respiratory Distress Syndrome. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald
EC, Stark AR, penyunting. Manual of Neonatal care. Edisi 6. Philadelphia :
Lippincott William & Walkins, 2008;323-30.
5. Wambach JA, Hamvas A. Respiratory Distress Syndrome in the neonate. Dalam:
Martin RJ, Fanaroff AA, Walsh MC, penyunting. Fanaroff and Martin’s Neonatal-
Perinatal Medicine. Edisi ke-10. Missouri : Mosby Elsevier, 2015;1074-86.
6. Sinha S, Miall L, Jardine L. Respiratory Disorder. . Essential Neonatal Mediceine.
Edisi ke-5. Oxford: Wiley-Blackwell, 2012;145-62.

20
DIVISI PERINATOLOGI

HERNIA DIFRAGMATIKA
iar M.Tasli, Herman Bernawi, Afifa Ramadanti, Indrayady
Definisi
Adanya defek pada diafragma sehingga isi abdomen masuk ke rongga toraks

Anamnesis
Riwayat afiksia dan sesak nafas sejak lahir

Pemeriksaan Fisis
Dispnu, takipnu, retraksi, merintih, sianosis, vesikular menurun, dada tampak lebih
cembung, perut skapoid, dapat terdengar peristaltik usus pada toraks

Kriteria Diagnosis
Gejala klinis + foto toraks (tampak gambaran usus di rongga toraks)

Diagnosis
Sesuai klinis dan foto toraks

Diagnosis Banding
 Eventrasi diafragma kongenital
 Kelumpuhan saraf phrenikus

Pemeriksaan Penunjang
Darah : Hb, lekosit, Hitung jenis, trombosit, mikro LED dan CRP.
Radiologi : foto toraks

Terapi
1. Suportif, umumnya sama pada semua gawat napas, yaitu :
a. Pemberian cairan
 Hari pertama dextrose 7,5-12,5% (GIR 6-8 mg/kgBB/menit) + Ca Gluconas 10%.
 Kebutuhan Ca glukonas/hari : 5 mL / kg BB
 Mulai hari ke-2 atau sudah terdapat diuresis awal baru ditambahkan Natrium (Na)
atau Kalium (K) 2-3 meq/kgBB/hari atau sesuai kebutuhan.
 Bila ada tanda dehidrasi atasi dehidrasi
 Bila ada asidosis berikan cairan dekstrose dan natrium bikarbonat ( 4 : 1 ) Bila
dapat diperiksa analisa gas darah, asidosis dan dikoreksi langsung dengan
pemberian cairan Natrium Bikarbonat 4,2 % secara perlahan-lahan
 Bila belum bisa makan per oral beri larutan asam amino 1-3 g/kgBB/hari. Bila
sudah bisa minum per oral beri ASI atau susu formula
b. Terapi oksigen ( intra nasal, buble CPAP, ventilator )

2. Antibiotika : Ampisilin dan gentamisin, bila tidak ada perbaikan dalam 2 hari,
gentamisin diganti dengan ceftazidim.

21
DIVISI PERINATOLOGI

3. Terapi khusus : Operatif (repair diafragma). Tidak boleh dilakukan VTP dengan
balon sungkup harus dengan ETT

Indikasi Pulang
Tidak sesak dengan frekuensi nafas 40-60 kali per menit, minum baik, tidak ada tanda
infeksi dan penyakit penyebab telah terkendali

Edukasi
Penjelasan mengenai faktor risiko dan penatalaksanaan serta komplikasi yang
mungkin timbul.

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam

Kepustakaan
1. Parker TA, Kinseila JP. Respiratory failure in the term newborn. Dalam: Gleason
CA, Devaskar SU, penyunting. Avery’s disease of the newborn. Edisi ke- 0.
Philadelphia : Elsevier, 2012;649-57.
2. Kosim MS Gangguan Nafas pada bayi baru lahir. Dalam: Kosim MS, Yunanto A,
Dewi R, Sarosa GI, Usman A, penyunting. Buku Ajar Neonatologi. Edisi 1.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI, 2008;126-46.
3. Crowley MA. Neonatal respiratory disorder. Dalam: Martin RJ, Fanaroff AA,
Walsh MC, penyunting. Fanaroff and Martin’s Neonatal-Perinatal Medicine. Edisi
ke-10. Missouri : Mosby Elsevier, 2015;1113-36
4. Sinha S, Miall L, Jardine L. Respiratory Disorder. . Essential Neonatal Mediceine.
Edisi ke-5. Oxford: Wiley-Blackwell, 2012;145-62.

22
DIVISI PERINATOLOGI

PERDARAHAN PARU
Julniar M.Tasli, Herman Bernawi, Afifa Ramadanti, Indrayady

Definisi
Terdapatnya darah di saluran napas yang disertai perburukan klinis penderita dan
bukan disebabkan oleh trauma

Anamnesis
Terdapat darah yang keluar dari endotracheal tube atau dari laring.

Pemeriksaan Fisik
Terdapat darah atau keluar dari endotracheal tube atau dari laring pada bayi yang tidak
diintubasi. Hipoaktif, pucat, takikardi, hipotensi, sesak, sianosis, vesikular melemah.
Pada perdarahan masif klinis penderita cepat memburuk. Mungkin dapat ditemui
manifestasi perdarahan di tempat lain.

Kriteria Diagnosis
1. Pemeriksaan Fisik
Terdapat darah atau keluar dari endotracheal tube atau dari laring pada bayi yang
tidak diintubasi. Hipoaktif, pucat, takikardi, hipotensi, sesak, sianosis, vesikular
melemah. Pada perdarahan masif klinis penderita cepat memburuk. Mungkin
dapat ditemui manifestasi perdarahan di tempat lain.
2. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan hematologi (kadar hemoglobin, hematokrit, lekosit, hitung jenis,
trombosit, clotting time, prothrombin time, partial thromboplastin time, trombin
time, analisis gas darah.
3. Radiologi: foto toraks: pada perdarahan lokal terdapat infiltrat (patchy, linier atau
noduler) dan pada perdarahan masif didapati gambaran radioopaque pada
kedua lapangan paru dengan air bronchogram

Diagnosis
Sesuai klinis dan pemeriksaan penunjang

Diagnosis Banding
Ditujukan pada etiologi

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan hematologi (kadar hemoglobin, hematokrit, lekosit, hitung jenis,
trombosit, clotting time, prothrombin time, partial thromboplastin time, trombin
time,
b. Analisis gas darah.

23
DIVISI PERINATOLOGI

2. Radiologi : foto toraks: pada perdarahan lokal terdapat infiltrat (patchy, linier atau
noduler) dan pada perdarahan masif didapati gambaran radioopaque pada kedua
lapangan paru dengan air bronchogram

Terapi Umum :
1. Bersihkan jalan napas
2. Perbaiki tekanan darah
3. Koreksi asidosis
4. Transfusi darah (bila perlu)
5. Obati penyebab yang mendasari → termasuk pemberian vit.K , pemberian FFP

Terapi Khusus :
1. Ventilator terpasang:
a. Bersihkan jalan napas melalui ETT
b. Tingkatkan FiO2
c. Tingkatkan PEEP sampai 6-8 cmH2O
d. Pertimbangkan untuk meningkatkan PIP
2. Bila tidak menggunakan ventilator:
a. Bersihkan jalan nafas
b. Pertimbangkan pemasangan ventilator

Indikasi Pulang
Perdarahan teratasi

Edukasi
Penjelasan mengenai faktor risiko dan penatalaksanaan serta komplikasi

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam

24
DIVISI PERINATOLOGI

Kepustakaan
1. Whitsett J.A., Rice W.R., Warner B.B., Wert S.E., Pryhuber G.S. Acute
Respiratory Disorders. Dalam: MacDonald MG, Mullet MD, Seshia M,
penyunting. Avery’s Neonatology, pathophysiology & management of the
newborn. Edisi 9. Philadelphia : Lippincott William & Walkins, 2012;573-4.
2. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Pulmonary Hemorrhage. Dalam:
Neonatology, management, procedure, on-call problem, disease, and drug. Edisi
ke-7. Newyork: Lange McGraw Hill, 2013; 501-06
3. Jobe A.H. The respiratory system. Dalam: Martin RJ, Fanaroff AA. Walsh MG,
penyunting. Fanaroff and Martin’s Neonatal-Perinatal Medicine. Edisi 8. Sint
Louis : Mosby Elsevier, 2006;1127.
4. Massive pulmonary haemorrhage. Dalam : Levene MI, Tudehope DI, Sinha S,
penunting. Essential Neonatal Medicine, Edisi 5. Australia: Blackwell Publishing,
2012; 104.

25
DIVISI PERINATOLOGI

INFEKSI PADA NEONATUS


Julniar M.Tasli, Herman Bernawi, Afifa Ramadanti, Indrayady

Definisi
Sepsis neonatorum bakterial adalah sindrom klinis yang berupa gejala dan tanda
infeksi sistemik disertai bakteremia yang terjadi pada bulan pertama kehidupan (28
hari). Sepsis neonatorum bakterial secara spesifik terdiri atas sepsis screen positive
atau disebut juga probable sepsis dan sepsis culture positive atau disebut juga proven
sepsis.
Probable sepsis merupakan gejala dan tanda sepsis neonatorum yang dibuktikan
dengan pemeriksaan laboratorium yaitu ditemukan dua atau lebih parameter sepsis
neonatorum tetapi hasil biakan tidak ditemukan kuman (kultur negatif), sedangkan
proven sepsis merupakan gejala dan tanda sepsis neonatorum yang dibuktikan
dengan adanya kuman dalam pemeriksaan biakan (kultur positif).
Jika ditemukan gejala dan atau tanda sepsis neonatorum saja tetapi tidak ditunjang
oleh parameter laboratorium dan tidak ditemukan kuman pada pemeriksaan biakan
maka disebut klinis sepsis, sedangkan pasien yang tidak menunjukkan gejala dan atau
tanda klinis sepsis tetapi memiliki faktor risiko infeksi neonatorum disebut tersangka
infeksi atau suspicious infection.

Anamnesis
Faktor risiko atau faktor predisposisi infeksi ( suhu ibu > 38° C, leukosit ibu >
15.000/mm3 , air ketuban keruh & berbau busuk, ketubah pecah > 12 jam, partus
kasep ), perawatan tali pusat, pemberian zalf mata setelah melahirkan.

Pemeriksaan Fisis
Tergantung bentuk klinis ( infeksi lokal / sistemik ) :
1. Omfalitis : indurasi & eritema sekitar umbilikus, bau busuk kadang kadang
terdapat pus.
2. Oftalmia neonatorum gonoroeka : timbul umur 2 – 5 hari, pada mata ditemukan
edema kelopak mata, palpebra/konjungtiva merah, Sekret pus, banyak, bisa
mengenai satu mata atau dua mata.
3. Bronkopneumonia : dispnu, takipnu, retraksi, merintih, sianosis, vesikular dapat
normal atau menurun dan jarang ditemukan ronki.
4. Gastroenteritis : diare, muntah perut kembung dan tanda tanda dehidrasi.
5. Klinis sepsis, didapatkan gejala sepsis, namun tidak didukung hasil pemeriksaan
laboratorium. Gejala klinis sepsis terdiri atas:
a. Gejala umum: bayi tampak lemah, terdapat gangguan minum yang disertai
penurunan berat badan, keadaan umum memburuk hipotermi/hipertermi
b. Gejala SSP: letargi, iritabilitas, hiporefleks, tremor, kejang, hipotoni/hipertoni,
serangan apnea, gerak bola mata tidak terkoordinasi.
c. Gejala pernapasan: dispnu, takipnu, apnu, dan sianosis
d. Gejala TGI: muntah, diare, meteorismus, hepatomegali
e. Kelainan kulit: purpura, eritema, pustula, sklerema

26
DIVISI PERINATOLOGI

f. Kelainan sirkulasi: pucat/sianosis, takikardi/aritmia, hipotensi, edema, dingin.


g. Kelainan hematologi: perdarahan, ikterus, purpura
6. Sepsis : gejala klinis sepsis ditambah lebih dari satu pemeriksaan laboratorium
yang positip (lekosit < 5000/mm3 atau > 34.000/mm3, I/T ratio 0,2 atau lebih, mikro
LED>15 mm/jam, CRP > 9mg/dL)
7. Meningitis : sepsis ditambah hasil pemeriksaan cairan serbrospinal yang positip

Kriteria Diagnosis
Ditemukan gejala klinis atau gejala klinis ditambah dengan hasil pemeriksaan
penunjang yang positif.
1. Omfalitis : gejala klinis
2. Oftalmia neonatorum gonoroeka : gejala klinis + ditemukan diplokokus gram
negatip intra & ekstraseluler di sekret mata
3. Bronkopneumonia : gejala klinis + gambaran infiltrat pada foto toraks.
4. Gastroenteritis : gejala klinis
5. Tersangka infeksi : bila bayi baru lahir mempunyai faktor risiko / predisposisi untuk
infeksi, yaitu : suhu ibu >38oC, leukosit ibu ≥ 25.000/mm3 , air ketuban keruh dan
bau busuk, ketuban pecah > 12 jam dan partus kasep
6. Klinis sepsis : gejala klinis
7. Sepsis : gejala klinis + lebih dari 1 hasil pemeriksan laboratorium yang positip atau
kultur darah yang positip.

8. Meningitis : gejala klinis sepsis + hasil pemeriksan cairan serebrospinalis :


 Tes Pandy : + atau ++
 Jumlah sel :
umur 0 s/d 48 jam : >100/mm3
umur 2 s/d 7 hari : >50/mm3
umur >7 hari : >32/mm3
 Hitung jenis : PMN meningkat, protein meningkat dan glukosa menurun

Diagnosis Sesuai klinis dan pemeriksaan penunjang

Diagnosis Banding Tergantung diagnosis

Pemeriksaan Penunjang
Darah : Hb, lekosit, hitung jenis, trombosit, mikro LED, dan kultur dan tes resistensi
LCS : Protein, sel hitung jenis, pengecatan gram dan kultur
Urin : Rutin dan kultur dan tes resistensi
USG transfontanela : terutama untuk melihat komplikasi meningitis (ventrikulitis dan
hidrosefalus)

27
DIVISI PERINATOLOGI

Terapi
1. Omfalitis
Bersihkan tali pusat dengan alkohol 70 % dan povidon iodin
Beri antibiotika ampisilin dan gentamisin
2. Oftalmia Neonatorum gonoroeka
Isolasi, irigasi mata dengan ringer laktat, beri antibiotika ceftriakson dosis tunggal
25-50 mg/kgBB (maksimal 125 mg ).
Profilaksis : Salep mata tetrasiklin diberikan segera pada semua bayi baru lahir
3. Bronkopneumonia
a. Pemberian cairan
 Hari pertama dextrose 7,5-12,5% (GIR 6-8 mg/kgBB/menit) + Ca
Gluconas 10%.
 Kebutuhan Ca glukonas/hari : 5 mL / kg BB
 Mulai hari ke-3 atau sudah terdapat diuresis awal baru ditambahkan
Natrium (Na) atau Kalium (K) 2-3 meq/kgBB/hari atau sesuai kebutuhan.
 Bila ada tanda dehidrasi atasi dehidrasi
 Bila ada asidosis berikan cairan dekstrose dan natrium bikarbonat ( 4 : 1 )
Bila dapat diperiksa analisa gas darah, asidosis dan dikoreksi langsung
dengan pemberian cairan Natrium Bikarbonat 4,2 % secara perlahan-lahan
 Bila belum bisa makan per oral beri larutan asam amino 2-3 g/kgBB/hari.
Bila sudah bisa minum per oral beri ASI atau susu formula
b. Terapi oksigen
c. Antibiotika : Ampisilin dan gentamisin, bila tidak ada perbaikan dalam 2 hari,
gentamisin diganti dengan Cefotaxime, lama pemberian 5-7 hari
4. Gastroenteritis
a. Pemberian Cairan:
 GEAD ringan-sedang : Diberikan IVFD.
 GEAD berat
 Dengan asidosis: dekstrose 5% 480 mL + Bicnat 7½% 10-20mL
 Tanpa asidosis atau asidosis telah teratasi: dekstrose 5% 500 mL + NaCl
3% sebanyak 30 mL
 Jumlah dan kecepatan pemberian pada dehidrasi berat:
4 jam pertama 100 mL/kgBB atau 25 tetes/kgBB/menit (mikrodrip)
20 jam berikutnya 150 mL/kgBB atau 7½ tetes/kgBB/menit
b. Obat-obatan:
Antibiotika : Ampisilin dan gentamisin.
Anti jamur : Nystatin bila ada indikasi.
c. Minum:
Langsung diberikan ASI begitu bayi dapat minum, bila bayi mendapat PASI
di rumah diberikan susu yang sama dengan pengenceran setengah
kemudian penuh.

28
DIVISI PERINATOLOGI

5. Tersangka infeksi
Pada bayi langsung diberikan Ampisilin dan gentamisin
Bila selama observasi ditemukan tanda infeksi baik klinis dan laboratoris, antibiotika
diganti dengan Cefotaxime.
6. Sepsis dan klinis sepsis
a. Pemberian cairan sesuai dengan kebutuhan bayi.
b. Terapi oksigen bila diperlukan
c. Antibiotik : Cefotaxime. Bila dicurigai infeksi oleh karena stafilokokkus maka
diberikan sefalosporin generasi ke-2, 50 mg/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian,
bila tidak ada perbaikan klinis dalam 48 jam atau keadaan umum semakin
memburuk, pertimbangkan pindah ke antibiotika yang lebih poten, misalnya
meropenem, atau sesuai dengan hasil tes resistensi. Antibiotika diberikan 7-10
hari (antibiotik dihentikan setelah klinis membaik 5 hari)
7. Meningitis
a. Pemberian cairan sesuai dengan kebutuhan bayi.
b. Terapi oksigen bila diperlukan
c. Antibiotik : Cefotaxime
Bila tidak ada perbaikan klinis dalam 48 jam atau keadaan umum semakin
memburuk, pertimbangkan pindah ke antibiotika yang lebih poten, misalnya
meropenem, atau sesuai dengan hasil tes resistensi. Antibiotika diberikan 21
hari

Indikasi Pulang
Klinis membaik dan tanda-tanda infeksi telah teratasi

Edukasi
Penjelasan mengenai faktor risiko infeksi dan penatalaksanaan serta komplikasi.

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam

29
DIVISI PERINATOLOGI

Dosis pemberian antibiotika berdasarkan berat badan dan umur


Dosis (mg/kg Dan interval Pemberian
BB)
< 1200 1200 s/d 2000 > 2000
Antibiotika Cara 0 – 4 mgg 0 – 7 hari > 7 hari 0 – 7 hari > 7 hari
pemb.
Amikasin IV / IM 7,5 / 12 7,5 / 12 7,5 / 8 jam 10 / 12 jam 10 / 8 jam
jam jam
Ampisilin IV 25 / 12 jam 25 / 12 jam 25 / 8 jam 25 / 8 jam 25 / 6 jam
Ampisilin* IV 50 / 12 jam 50 / 12 jam 50 / 8 jam 50 / 8 jam 50 / 6 jam
Gentamisin IV / IM 2,5/ 18 jam 2,5/ 12 jam 2,5 / 8 jam 2,5/ 12 jam 2,5 / 8 jam
Meropenem IV 20 / 12 jam 20 / 12jam 20/ 12 jam 20 / 12 jam 20 / 8 jam
Meropenem* IV 40 / 8 jam 40 / 8 jam 40 / 8 jam 40 / 8 jam 40 / 8 jam
Metronidazol IV 7,5/ 48 jam 7,5/ 24 jam 7,5/12 jam 7,5/ 12 jam 15 / 12 jam
Keterangan :
* : dosis untuk meningitis bakterialis
** : usia gestasi < 32 minggu
*** : usia gestasi > 32 minggu

Dosis Pemberian Cefotaxime

Usia < 7 hari Usia > 7 hari


Semua usia gestasi UG <32 minggu UG>32 minggu
50 mg/kgBB/kali 50 mg/kgBB/kali 50 mg/kgBB/kali
Sepsis
Tiap 12 jam Tiap 8 jam Tiap 6 jam
Usia 0-7 hari Usia > 7 hari
100-150 mg/kgBB/hari 150-200 mg/kgBB/hari
Meningitis*
Tiap 8-12 jam Tiap 6-8 jam
Keterangan :
* Pertimbangkan dosis lebih kecil dan interval lebih panjang pada BB<2000gram

30
DIVISI PERINATOLOGI

Kepustakaan
1. Schelonka R.L., Freij B. J., MmLracken G.H. Bacterial and fungal infections.
Dalam: MacDonald MG, Mullet MD, Seshia M, penyunting. Avery’s Neonatology,
pathophysiology & management of the newborn. Edisi 9. Philadelphia : Lippincott
William & Walkins, 2012;1235-73.
2. Asril Aminullah. Sepsis pada bayi baru lahir. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi
R, Sarosa GI, Usman A, penyunting. Buku Ajar Neonatologi. Edisi 1. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI, 2008;170-87.
3. Naglie R. Infectious Diseases. Dalam: Gomella TL, Cunningham MD,Eyal FG,
Zenk KE, penyunting. Neonatology, management, procedur, on-call problem,
desease, and drug. Edisi ke-7. Newyork : Lange McGraw Hill, 2013;434-68.
4. Puopolo K.M. Bacterial and fungal infections. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald
EC, Stark AR, penyunting. Manual of Neonatal care. Edisi 6. Philadelphia :
Lippincott William & Walkins, 2008;274-300.
5. Edwards M. S. Postnatal bacterial infections. Dalam: Martin RJ, Fanaroff AA,
Walsh MC, penyunting. Fanaroff and Martin’s Neonatal-Perinatal Medicine. Edisi
8. Misouri : Mosby Elsevier, 2006;791-829.
6. Infection. Dalam : Levene MI, Tudehope DI, Sinha S, penyunting. Essential
Neonatal Mediceine. Edisi 4. Australia : Blackwell Publishing, 2008 ; 61 – 76
7. Klein J.O., Nizet V. Bacterial sepsis and meningitis. Dalam: Remington JS,
Jerome O, Klein MD, penyunting. Remington’s Infectious Disease of the Fetus
and Newborn Infant. Edisi 5. Philadelphia : WB Saunders Company, 2001;222-
75.
8. Barnett E.D., Klein J.O. Bacterial infections of the respiratory tract. Dalam:
Remington JS, Jerome O, Klein MD, penyunting. Remington’s Infectious Disease
of the Fetus and Newborn Infant. Edisi 5. Philadelphia : WB Saunders Company,
2001;276-95.
9. O’Ryan M.L., Nataro J.P., Cleary T.G., Microorganisms responsible for neonatal
diarrhea. Dalam: Remington JS, Jerome O, Klein MD, penyunting. Remington’s
Infectious Disease of the Fetus and Newborn Infant. Edisi 5. Philadelphia : WB
Saunders Company, 2001;359-418.
10. Embree J.E. gonocomLal infections. Dalam: Remington JS, Jerome O, Klein MD,
penyunting. Remington’s Infectious Disease of the Fetus and Newborn Infant.
Edisi 5. Philadelphia : WB Saunders Company, 2001;516-23.
11. Micromedex NeoFax Essential. IBM Micromedex NeoFax.2020

31
DIVISI PERINATOLOGI

OPHTALMIA GONNORRHOIKA NEONATORUM


Julniar M.Tasli, Herman Bernawi, Afifa Ramadanti, Indrayady

Definisi
Konjungtivitis neonatus yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae

Anamnesis
Timbul umur 2 – 5 hari, pada mata ditemukan sekret pus, banyak, bisa mengenai satu
mata atau dua mata.

Pemeriksaan Fisis
Pada mata ditemukan edema kelopak mata, palpebra/konjungtiva merah, sekret pus,
banyak, bisa mengenai satu mata atau dua mata.

Kriteria Diagnosis
Gejala klinis + ditemukan diplokokus gram negatip intra & ekstraseluler di sekret mata

Diagnosis
Sesuai klinis dan pemeriksaan penunjang

Diagnosis Banding
Konjungtivitis akut

Pemeriksaan Penunjang
Darah : Hb, lekosit, hitung jenis, trombosit, dan mikro LED.
Pengecatan gram dari sekret mata ditemukan kuman gram negatif diplokokus (bentuk
biji kopi) intra dan ekstra sel.

Terapi
Isolasi, irigasi mata dengan ringer laktat, beri antibiotika ceftriakson dosis tunggal 25-
50 mg/kgBB ( maksimal 125 mg ).

Profilaksis : Salep mata tetrasiklin diberikan segera pada semua bayi baru lahir

Indikasi Pulang
Tidak ditemukan lagi sekret pada mata

Edukasi
Penjelasan mengenai faktor risiko infeksi dan penatalaksanaan serta komplikasi.

Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad sanationam : bonam
Ad fungsionam : bonam

32
DIVISI PERINATOLOGI

Kepustakaan
1. Schelonka R.L., Freij B. J., MmLracken G.H. Bacterial and fungal infections.
Dalam: MacDonald MG, Mullet MD, Seshia M, penyunting. Avery’s Neonatology,
pathophysiology & management of the newborn. Edisi 9. Philadelphia : Lippincott
William & Walkins, 2012;1235-73.
2. Naglie R. Gonorrhea. Dalam: Gomella TL, Cunningham MD,Eyal FG, Zenk KE,
penyunting. Neonatology, management, procedur, on-call problem, desease, and
drug. Edisi ke-7. Newyork : Lange McGraw Hill, 2013;636-37.
3. Puopolo K.M. Bacterial and fungal infections. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald
EC, Stark AR, penyunting. Manual of Neonatal care. Edisi 6. Philadelphia :
Lippincott William & Walkins, 2008;274-300.
4. Edwards M. S. Postnatal bacterial infections. Dalam: Martin RJ, Fanaroff AA,
Walsh MC, penyunting. Fanaroff and Martin’s Neonatal-Perinatal Medicine. Edisi
8. Misouri : Mosby Elsevier, 2006;791-829.
5. Levene MI, Tudehope DI, Sinha S. Infection. Dalam : Levene MI, Tudehope DI,
Sinha S, penyunting. Essential Neonatal Mediceine. Edisi 5. Australia : Blackwell
Publishing, 20012 ; 61 – 76
6. Embree J.E. gonocomLal infections. Dalam: Remington JS, Jerome O, Klein MD,
penyunting. Remington’s Infectious Disease of the Fetus and Newborn Infant.
Edisi 5. Philadelphia : WB Saunders Company, 2001;516-23..

33
DIVISI PERINATOLOGI

KEJANG PADA NEONATUS


Julniar M.Tasli, Herman Bernawi, Afifa Ramadanti, Indrayady

Definisi
Kejang pada BBL secara klinis adalah perubahan paroksimal dari fungsi neurologik
(misalnya perilaku, sensorik, motorik dan fungsi autonom sistem saraf) yang terjadi
pada bayi berumur sampai dengan 28 hari pertama kehidupan.

Anamnesis
a. Riwayat kejang dalam keluarga
b. Riwayat kehamilan : infeksi TORCH, preeklamsia, gawat janin
c. Riwayat persalinan : asfiksia, trauma persalinan, ketuban pecah sebelum
waktunya
d. Riwayat paska natal : infeksi, ikterus, infeksi tali pusat, waktu timbulnya kejang
dan bentuk klinis kejang.

Pemeriksaan Fisik
a. Bila penderita dalam keadaan kejang identifikasi bentuk klinis kejang.
b. Tanda vital
c. Pemeriksaan kepala : jejas persalinan, ubun-ubun besar (tegang atau membonjol),
hydrosefalus (lingkaran kepala dan transiluminasi), pemeriksaan mata
(korioretinitis yang dapat disebabkan infeksi sitomegalovirus, rubela dan
toksoplasmosis)
d. Pemeriksaan tali pusat omfalitis

Kriteria Diagnosis
a. Apabila ditemukan manifestasi klinis dari kejang (tergantung bentuk klinis kejang)
b. Dilanjutkan dengan mencari etiologi kejang berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
klinis dan pemeriksaan penunjang.

Diagnosis
Sesuai klinis

Diagnosis Banding
Ditujukan pada etiologi kejang

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan gula darah, elektrolit, hemoglobin, hematokrit, leukosit, hitung
jenis,trombosit, kultur darah, kadar bilirubin bila ada ikterus, USG kepala dan EEG.

Terapi
a. Jalan napas bersih dan terbuka serta beri bantuan respirasi dan terapi oksigen
bila diperlukan.
b. Pasang jalur intara vena dan beri cairan dekrose 10 % dengan dosis rumatan.

34
DIVISI PERINATOLOGI

c. Bila ada hipoglikemia, tangani hipoglikemianya.


d. Bila ada hipokalsemi, berikan kalsium glukonas 10% 3 mL/kgBB diberikan secara
perlahan-lahan melalui drip (10 mL Ca glukonas + 90 mL dekstrose 10 % + NaCl
15% 6 mL)
e. Bila ada kejang
a. Lini pertama : berikan phenobarbital loading dose 20 mg/kgBB IV/IM
kemudian mulai dosis rumatan 24 jam setelah dosis inisial, dosis 4-6
mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis IV.
i. Jika masih kejang, ulangi fenobarbital selang minimal 15 menit
dosis 10-20 mg/kg IV (dosis maksimal 50 mg/kg IV dalam 24jam)
b. Lini kedua : bila masih kejang berikan phenytoin dosis inisial 20 mg/kgBB
intravena kecepatan 1 mg/kgBB/menit dilanjutkan rumatan 3-5
mg/kgBB/hari (2 kali pemberian)
i. Bila masih kejang, namun tidak tersedian phenytoin, berikan
lidocaine dosis inisial 2 mg/kgBB IV dalam 10 menit, dilanjutkan
7 mg/kgBB/jam selama 4 jam kemudian diturunkan setengah
dosis setiap 12 jam selama 24 jam kemudian dilanjutkan infus 1
mcg/kg/menit
c. Jika phenytoin dan lidocaine tidak tersedia, dan masih ada kejang,
gunakan obat lini ketiga : pertimbangkan pemberian piridoksin 100 mg
IV dilanjutkan dengan midazolam dosis inisial 0,15 mg/kgIV dengan infus
1 mcg/kg/menit dapat dinaikkan 0,5-1 mcg/kg/menit tiap 2 menit hingga
dosis maksimal 18 mcg/kg/menit
f. Bila hipomagnesemi MgSO4 0,25 mL/kgBB IM

35
DIVISI PERINATOLOGI

36
DIVISI PERINATOLOGI

Keterangan gambar 1
Protokol tatalaksana kejang pada fasilitas yang lengkap. Diagnosis kejang
ditegakkan secara klinis, dibantu perekaman video. Perekaman dapat dilakukan
dengan gawai atau yang lebih baik dengan video yang terpasang di inkubator
neonatus.

* Bayi dengan klinis kejang : sesuai dengan manifestasi kejang neonatus


secara klinis dengan/tanpa bantuan rekaman video.
** Bayi risiko tinggi kejang : bayi dengan asfiksia sedang dan berat, bayi
prematur, sepsis, jika terdapat kejang atau gerakan-gerakan berulang
dan stereotipi yang menyerupai kejang diobservasi, jika memungkinkan
lakukan perekaman video untuk observasi lebih lama. Observasi juga
dilakukan pada neonatus dengan kecurigaan kejang seperti
apneu/desaturasi berulang tanpa penyebab yang jelas.
*** Neonatus kerap mengalami hipoglikemi maupun gangguan
keseimbangan elektrolit yang dapat menyebabkan kejang, oleh karena
itu secara rutin diperiksa dan dikoreksi jika terdapat kelainan.
**** Kecurigaan infeksi SSP jika ditemukan: (1) bayi dengan kejang disertai
tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti UUB membonjol,
(2) bayi dengan sepsis disertai kejang. Diagnosis pasti dengan
pemeriksaan cairan serebrospinal.
***** Pemeriksaan kadar obat dalam darah dilakukan jika hasil pemeriksaan
dapat diperoleh dalam waktu kurang dari 24 jam.

Lini pertama Fenobarbital masih dipergunakan sebagai obat lini pertama


Lini kedua Ada 2 pilihan yaitu fenitoin dan lidokain IV. Jika fenitoin tidak
tersedia/ terdapat kontraindikasi/ mudah menggumpal/ akses
vena yang sulit maka dapat diberikan lidokain IV. Jika lidokain IV
juga tidak tersedia maka obat kejang bisa langsung obat lini ketiga
yaitu midazolam drip.
Lini ketiga Midazolam dan piridoksin. Piridoksin dapat dipertimbangkan
pada kejang neonatus yang tidak teratasi dengan obat
antikonvulsan standar. Monitoring EEG diperlukan pada saat
pemberian piridoksin IV untuk melihat apakah aktifitas epileptifom
berhenti dengan pemberian injeksi piridoksin.

Indikasi Pulang
Penderita tidak kejang lagi

37
DIVISI PERINATOLOGI

Edukasi
Penjelasan mengenai faktor risiko, penatalaksaan serta komplikasi

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam

Kepustakaan
1. Scher MS. Neonatal seizure. Dalam: MacDonald MG,Mullet MD, Seshia M,
penyunting. Avery’s Neonatology, pathophysiology & managementof the
newborn. Edisi 9. Philadelphia : Lippincott William & Wilkins, 2012;901-09.
2. Gatot I. Sarosa. Kejang dan spasme. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R,
Sarosa GI, Usman A, penyunting. Buku Ajar Neonatologi. Edisi 1. Jakarta : Badan
Penerbit IDAI, 2008;226-50.
3. Pathak A. Neonatal Seizures. Dalam: Gomella TL, Cunningham MD,Eyal FG,
Zenk KE, penyunting. Neonatology, management, procedur, on-call problem,
desease, and drug. Edisi ke-7. Newyork : Lange McGraw Hill, 2013;521-528.
4. Plessis A.J. Neonatal seizures. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR,
penyunting. Manual of Neonatal care. Edisi 6. Philadelphia : Lippincott William &
Wilkins, 2008;483-98.
5. Scher M.S. Seizures in Neonates. Dalam: Martin RJ, Fanaroff AA, Walsh MC,
penyunting. Fanaroff and Martin’s Neonatal-Perinatal Medicine. Edisi 9. Missouri
: Mosby Elsevier, 2012;956-65.
6. Sinha S. Neurological disorders. Dalam: Levene MI, Tudehope DI, Sinha S
penyunting. Essential Neonatal Mediceine. Edisi 5. Australia : Blackwell
Publishing, 2012 ; 287-310
7. Volpe J.J. Neonatal Seizures. Dalam: Volpe J.J. Neurology of the newborn,
penyunting. Edisi 5. Philadelphia : WB Saunders, 2008; 203-44.

38
DIVISI PERINATOLOGI

NEONATAL HIPOGLIKEMI
Julniar M.Tasli, Herman Bernawi, Afifa Ramadanti, Indrayady

Definisi
Kondisi bayi dengan kadar glukose darah kurang nilai normal (< 45 mg/dL ) yang
dapat menimbulkan gejala (simptomatis) atau tidak (asimptomatis).

Anamnesis
Cari faktor risiko : bayi dari ibu DM, neonatus besar masa kehamilan, neonatus kecil
masa kehamilan, bayi prematur/postmatur, neonatus puasa, polisitemia dan
eritroblastosis.

Pemeriksaan Fisis
Dapat asimptomatik atau simptomatik (apatis, hipotoni, muntah, sianosis, apnu,
twitching / kejang, nistagmus dan temperatur tidak stabil).

Kriteria Diagnosis
Berdasarkan pemeriksan fisik dan pemeriksaan laboratorium yaitu bila kadar gula
darah < 45 mg/dL.

Diagnosis Sesuai pemeriksaan kadar gula darah sewaktu

Diagnosis Banding Ditujukan pada etiologi hipoglikemi

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan gula darah, elektrolit, hemoglobin, hematokrit, leukosit, hitung
jenis,trombosit, kultur darah

Terapi
1. Curigai dan antisipasi hipoglikemia neonatus dengan faktor risiko.
2. Bila hipoglikemia asimptomatik pemberian makanan sedini mungkin, bila dua kali
pemberian makan dini (interval 2 jam) tidak berhasil berikan IVFD dekstrose 10%
3. Bila hipoglikemia simptomatik berikan dekstrose10% dengan inisial 2 mL/kgBB
diboluskan dengan kecepatan 1 mL/menit, dilanjutkan IVFD dekstrose 10%
(jumlah cairan sesuai umur dan berat badan) atau infus Glukose 10 % dengan GIR
6-8 mg/kg/mnt. Cek ulang kadar gula darah 30 sampai 60 menit setelah pemberian
bolus.
4. Bila kadar gula darah ≥ 45 mg/dL, monitor kadar gula darah setiap 2 jam dalam 6
jam pertama, selanjutnya setiap 4 jam. Bila 2 kali pemeriksaan kadar gula darah
stabil tidak perlu dimonitor lagi. Bila kadar gula darah normal tidak tercapai dalam
4 jam, maka diberi dekstrose 12,5%.
5. Bila 4 jam belum tercapai kadar gula darah normal, maka ditambahkan
Hidrokortison 5 mg/kgBB dalam cairan infus setiap 12 jam atau prednison 2
mg/kgBB dibagi 3 dosis. Dalam keadaan lanjut (menjadi progresif) baru

39
DIVISI PERINATOLOGI

dipertimbangkan penyebab yang jarang seperti “inborn error of metabolism”, tumor


pankreas dan lain-lain

Indikasi Pulang
Hipoglikemi, penyebab dan komplikasi telah teratasi

Edukasi
Penjelasan mengenai faktor risiko dan penatalaksanaan

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam

Kepustakaan
1. Jair V, Chen M. Disorder of carbohydrate mechanism. Dalam: MacDonald
MG,Mullet MD, Seshia M, penyunting. Avery’s Neonatology pathophysiology &
managementof the newborn. Edisi ke-9. Philadelphia : Lippincott William &
Walkins, 2012; 1320-29.
2. Gilmore M.M. Hypoglicemia. Dalam: Gomella TL, Cunningham MD,Eyal FG,
Zenk KE, penyunting. Neonatology, management, procedur, on-call problem,
desease, and drug. Edisi 7. Newyork : Lange McGraw Hill, 2013;427-36.
3. Wilker R.E. Hypoglicemia and hyperglicemia. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald
EC, Stark AR, penyunting. Manual of Neonatal care. Edisi 6. Philadelphia :
Lippincott William & Walkins, 2008;540-9.
4. Kalhan S.C., Parimi P.S. Disorders of carbohydrate metabolism. Dalam: Martin
RJ, Fanaroff AA, Walsh MC, penyunting. Fanaroff and Martin’s Neonatal-
Perinatal Medicine. Edisi 8. Missouri : Mosby Elsevier, 2006; 1467-90.
5. Sinha S . : Endocrine and metabolic disorder.Dalam Levene MI, Tudehope DI,
Sinha S, penyunting. Essential Neonatal Mediceine. Edisi 5. Australia :Blackwell
Publishing, 2012 ; 266-286.

40
DIVISI PERINATOLOGI

JEJAS AKIBAT PERSALINAN


Julniar M. Tasli, Herman Bermawi, Afifa Ramadanti, Indrayady

Definisi
Gangguan pada struktur atau fungsi tubuh yang terjadi akibat efek samping proses
persalinan

Anamnesis
1. Ibu : primi para, ibu dengan CPD, prolong atau rapid labour, oligohydramnion,
malpresentasi janin
2. Persalinan : vacum ekstrasi, forceps ekstraksi, versi ekstraksi
3. Janin : BBLR, prematuritas, makrosomia, kelainan kongenital

Pemeriksaan Fisis
1. Paralisis Dunchene Erb
Pemeriksaan fisis:
 Lengan adduksi dan endorotasi
 Ekstensi sendi bahu
 Pronasi sendi bahu
 Fleksi pergelangan tangan
 Tidak didapat refleks moro, bisep maupun radius.
2. Paralisis Klumpke
Gambaran klinis: pergelangan tangan lumpuh, paresis otot-otot tangan, refleks
memegang kurang dan biasanya terdapat gangguan sensorik.
3. Paralisis plexus brakialis total
Gabungan dari paralisis Dunchene Erb dan Klumpke, seluruh lengan lumpuh dan
semua refleks menghilang.
4. Paralisis N. Phrenikus
Gambaran klinis:
 Ditemukan pada bayi dengan trauma pleksus brakialis
 Jam-jam pertama setelah lahir terjadi kesukaran bernapas
 Takipnu dan sianosis
 Kasus yang berat gejala muncul segera setelah lahir.
 Pernapasan paradokdal atau gerakan see saw
 Pemeriksaan fisik didapatkan gerakan melemah pada hemi toraks yang parese.
 Suara napas melemah pada auskultasi pada hemidiafragma yang terkena
5. Paresis Saraf Fasialis Perifer
Gambaran klinis tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf
 Dapat terlihat segera setelah lahir, lebih jelas lagi pada hari kedua atau ketiga
 Bila ringan tampak muka asimetri saat menangis
 Pada kerusakan yang berat atau komplit, kelopak mata terbuka pada waktu
menangis, mata akan terbuka lebih lebar pada sisi yang sakit pada keadaan
istirahat dan plika nasolabialis mendatar serta muka tampak asimetris

41
DIVISI PERINATOLOGI

Kriteria Diagnosis

1.Paralisis Erb Duchene


Diagnosis:
Pemeriksaan fisik:
 Lengan adduksi dan endorotasi
 Ekstensi sendi bahu
 Pronasi sendi bahu
 Fleksi pergelangan tangan
 Tidak didapat refleks moro, bisep maupun radius.
2. Paralisis Klumpke
Diagnosis:
Gambaran klinis: pergelangan tangan lumpuh, paresis otot-otot tangan, refleks
memegang kurang dan biasanya terdapat gangguan sensorik.
3. Paralisis plexus brakialis total
Gabungan dari paralisis Erb Duchenedan Klumpke, seluruh lengan lumpuh dan
semua refleks meghilang.
4.Paralisis N. Phrenikus
Diagnosis:
Diagnosis ditegakkan dengan:
a. Pemeriksaan klinis
b. Gambaran radiologis. Pada fluoroskopi atau USG akan terlihat gerakan yang
tertinggal pada diafragma yang mengalami paralisis
c. Radiologi :
Pada foto toraks tampak elevasi ( tampak lebih tinggi ) hemidiafragma yang
lumpuh. Pada fluoroskopi atau USG akan terlihat gerakan diafragma yang
mengalami paralisis tertinggal
5. Paresis Saraf Fasialis Perifer
Diagnosis:
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang ditemui dan adanya riwayat
trauma pada persalinan.

Diagnosis
Sesuai klinis dan pemeriksaan penunjang

Diagnosis Banding
Tergantung diagnosis

Pemeriksaan Penunjang
Radiologi, USG

42
DIVISI PERINATOLOGI

Terapi
1.Paralisis Erb Duchene
Tindakan: Immobilasi selama 2-3 minggu dengan posisi tangan diletakkan di atas
perut.
Mulai fisioterapi setelah 7 - 10 hari.
Sembuh total dapat sampai 18 bulan

2. Paralisis Klumpke
Tindakan:
Pergelangan tangan diletakkan dalam posisi netral, diberi genggaman. Dalam
keadaan ringan dapat sembuh sendiri dalam 3-6 minggu. Bila tidak sembuh perlu
pemeriksaan saraf dan konsultasi ke bedah ortopedi

3.Paralisis N. Phrenikus
Penatalaksanaan:
 Tidak ada penatalaksanaan khusus
 Bayi ditidurkan miring pada posisi yang sakit
 Terapi oksigen
 Cairan nutrisi parenteral
 Rangsangan listrik perkutaneus pada N. Frenikus
 Antibiotika diberikan bila ada indikasi.
 Tindakan bedah dilakukan bila terdapat gangguan pernapasan yang berat dan
terapi konservatif tidak ada perbaikan selama 1 bulan.

4. Paresis Saraf Fasialis Perifer


Pengobatan:
 Tidak ada terapi spesifik
 Bila paralisis komplit pengobatan terutama ditujukan agar kornea mata tidak
mengalami kekeringan dengan memberikan tetes metilselulose 1% secara
berkala setiap 4 jam
 Fungsi N. Fasialis harus diobservasi ketat, bila tidak ada menunjukkan perbaikan
sampai hari ke 7-10 dilakukan tes elektrodiagnostik untuk melihat apakah ada
saraf yang mengalami degenerasi atau terputus. Bila ada, maka harus dilakukan
bedah saraf. Pada paresis yang ringan biasanya akan sembuh sendiri dalam 3
minggu.

Indikasi Pulang
Perbaikan klinis

Edukasi Penjelasan mengenai faktor risiko dan penatalaksanaan serta


komplikasi

43
DIVISI PERINATOLOGI

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam

Kepustakaan

1. Levine MG, Holroyde J, Woods JR Jr, dkkl. Birth Trauma: incidence and
predisposing factors. Obstet Gynecol. 1984 Jun; 63(6): 792-5.
2. Donn SM, Faix RG: Long-term prognosis for the infant with severe birth trauma.
Clin Perinatol. 1983 Jun; 10(2): 507-20.
3. Laroia N. Birth Trauma. 2006. Diunduh dari: http://www.emedicine.com/.htm.
4. Madan A, Hamrick SE, Ferriero DM. Central nervous system injury and
neuroprotection. Dalam: Taeusch HW, Ballard RA, Gleason CA. Avery’s Diseases
of the Newborn. Edisi ke-9. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012. h. 979-89.
5. Chadwick LM, Pemberton PJ, Kurinczuk JJ: Neonatal subgaleal haematoma:
associated risk factors, complications and outcome. J Paediatr Child Health. 1996
Jun; 32(3): 228-32.
6. Haerle M, Gilbert A: Management of complete obstetric brachial plexus lesions. J
Pediatr Orthop. 2004 Mar-Apr; 24(2): 194-200.
7. Jennett RJ, Tarby TJ, Kreinick CJ: Brachial plexus palsy: an old problem revisited.
Am J Obstet Gynecol. 1992 Jun; 166(6): 1673-7.
8. Roberts SW, Hernandez C, Maberry MC, et al: Obstetric clavicular fracture: the
enigma of normal birth. Obstet Gynecol. 1995 Dec; 86(6): 978-81.
9. Gilbert WM, Tchabo JG: Fractured clavicle in newborns. Int Surg. 1988; 73(2): 123-
5.

44
DIVISI PERINATOLOGI

IKTERUS NEONATORUM
Julniar M. Tasli, Herman Bermawi, Afifa Ramadanti, Indrayady

Definisi
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan
ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonyugasi yang berlebih.
Hiperbilirubinemia bila kadar bilirubin plasma lebih dari 5 - 7 mg/dL

Anamnesis
Lakukan anamnesis riwayat kehamilan (penyakit yang diderita ibu selama kehamilan),
riwayat persalinan (masa gestasi, cara persalinan), faktor risiko infeksi (sepsis),
golongan darah ibu dan ayah, kapan timbulnya ikterus, riwayat ikterus pada anak
sebelumnya

Pemeriksaan Fisis
 Terlihat kuning pada sclera, mukosa dan kulit.
 Cari manifestasi klinis dari penyakit atau kelainan patologis yang menyebabkan
ikterus untuk memperkirakan ikterus fisiologis atau non fisiologis.

Kriteria Diagnosis
Sesuai dengan etiologi diatas.
Untuk mencari etiologi perlu dilakukan :
 Anamnesis sedini dan secermat mungkin mengenai riwayat kehamilan dan
persalinan
 Ikterus timbul pada hari 1: periksa kadar bilirubin, darah tepi lengkap, golongan
darah ibu dan bayi, Coomb test
 Ikterus timbul pada hari ke 2 atau hari ke 3: periksa kadar bilirubin, periksa darah
tepi lengkap, golongan darah ibu dan bayi, Coomb test (bila peningkatan bilirubin
>5 mg% dalam 24 jam, karena masih ada kemungkinan penyebabnya
inkompabilitas ABO atau Rh), pemeriksaan enzim G6PD
 Ikterus timbul pada hari ke 4 atau lebih: periksa kadar bilirubin, periksa darah tepi,
pemeriksaan enzim G6PD

Diagnosis
Sesuai klinis dan pemeriksaan bilirubin serum

Diagnosis Banding
Ditujukan pada etiologi ikterus

Pemeriksaan Penunjang
Darah : Kadar bilirubin, hemoglobin, lekosit, Hitung jenis, trombosit, mikro LED,
golongan darah ibu dan anak, kultur dan Coomb test

45
DIVISI PERINATOLOGI

Terapi
 Foto terapi atau transfusi tukar bila ada indikasi berdasarkan Grafik AAP pada
bayi dengan masa gestasi > 35 minggu dan berdasarkan tabel terlampir untuk bayi
preterm dan bayi berat lahir rendah.
 Foto terapi dihentikan bila kadar bilirubin tidak meningkat lagi dan kadarnya lebih
dari 3 mg/dL dibawah garis risiko.
 Tranfusi tukar dilakukan dengan golongan darah yang sesuai dengan golongan
darah ibu dan anak. Jumlah darah diberikan 2 kali volume darah bayi. Sebelum
dan sesudah tranfusi tukar lakukan terapi sinar.

Indikasi Pulang
Kadar bilirubin serum sudah dibawah indikasi fototerapi dan etiologi sudah teratasi.

Edukasi
Penjelasan mengenai faktor risiko dan penatalaksanaan serta komplikasi

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam

Kepustakaan
1. Watchku JF. Dalam: Neonatal indirect hyperbilirubinemia and kern icterus.
MacDonald MG,Mullet MD, Seshia M, penyunting. Avery’s Neonatology,
pathophysiology & managementof the newborn. Edisi 9. Philadelphia : Lippincot
William & Wilkins, 2012;1320-29
2. Abdulrahman Sukadi. Hiperbilirubinemia. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R,
Sarosa GI, Usman A, penyunting. Buku Ajar Neonatologi. Edisi 1. Jakarta : Badan
Penerbit IDAI, 2008;147-69.
3. Gilmore M.M. Hyperbilirubinemia. Dalam: Gomella TL, Cunningham MD,Eyal FG,
Zenk KE, penyunting. Neonatology, management, procedur, on-call problem,
desease, and drug. Edisi 7. Newyork : Lange McGraw Hill, 2013;672-85
4. Martin C.R., Cloherty J.P., Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty JP,
Eichenwald EC, Stark AR, penyunting. Manual of Neonatal care. Edisi 6.
Philadelphia : Lippincott William & Wilkins, 2008;181-212.
5. Wong R.J., DeSandre G.H. Sibley E., Stevenson D.K. Neonatal Jaundice and
Liver Disease. Dalam: Martin RJ, Fanaroff AA, Walsh MC, penyunting. Fanaroff
and Martin’s Neonatal-Perinatal Medicine. Edisi 8. Missouri : Mosby Elsevier,
2006;1419-65.
6. Sinha S. Jaundice. Dalam : Levene MI, Tudehope DI, Sinha S,penyunting.
Essential Neonatal Mediceine. Edisi ke-5. Australia : Blackwell Publishing, 2012
; 238-51

46
DIVISI PERINATOLOGI

PANDUAN TERAPI SINAR PADA BAYI USIA > 35 MINGGU (Sumber : AAP)

Keterangan:
Kadar bilirubin yang digunakan adalah bilirubin total. Jangan dikurangi dengan bilirubin
direk.
Faktor risiko adalah: penyakit hemolitik isoimun, def. G6PD, asfiksia, letargi yang
nyata, instabilitas suhu, sepsis, asidosis atau kadar albumin <3 g/dl (bila diukur)
Untuk bayi usia 35-37 6/7 minggu bila keadaan umum bayi dapat dipertimbangkan
kadar bilirubin pada garis risiko sedang, trutama pada usia yang lebih mendekati batas
37 6/7.
Fototerapi dapat dilakukan sampai kadar bilirubin total 2-3 mg/dl dibawah garis
pedoman.

47
DIVISI PERINATOLOGI

PANDUAN TRANFUSI TUKAR PADA BAYI USIA > 35 MINGGU (Sumber : AAP)

Keterangan:
Garis putus-putus pada 24 jam pertama menunjukkan keaadan tanpa patokan pasti
karena terdapat terdapat pertimbangan klinis dan tergantung respon terhadap
fototerapi.
Transfusi tukar dianjurkan segera dilakukan bila bayi menunjukkan tanda-tanda
ensefalopati bilirubin akut atau bila kadar bilirubin total ≥5 mg/dl di atas garis pedoman.
Faktor risiko adalah: penyakit hemolitik isoimun, def G6PD, asfiksia, letargi yang nyata,
instabilitas suhu, sepsis, asidosis.
Hitung kadar albumin serum dan hitung rasio bilirubin/albumin.
Gunakan kadar bilirubin total.

Rasio bilirubin total / albumin sebagai penunjang untuk memutuskan transfusi


tukar
Rasio B /A Saat Transfusi Tukar
Harus Dipertimbangkan
Rasio BT/Alb Rasio BT/Alb
Bayi > 38 0/7 mg 8,0 0,94
Bayi 35 0/7 mg – 36 6/7 mg dan sehat atau > 38 7,2 0,84
07 mgJika risiko tinggi atau isoimune hemolytic
disease atau Defisiensi G6PD
Bayi 35 0/7 – 37 6/7 mg, jika risiko tinggi atau 6,8 0,80
Isoimmune hemolytic disease atau defisiensi
G6PD
Pedoman terapi sinar dan transfusi tukar bayi berat lahir rendah

48
DIVISI PERINATOLOGI

berdasarkan berat badan


Bilirubin Total [ mg/dL ( umol/L ) ]
Berat Badan ( g ) Terapi Sinar Transfusi tukar
< 1500 5 – 8 ( 85 – 140 ) 13 – 16 ( 220 – 275 )
1500 – 1.999 8 – 12 ( 140 – 200 ) 16 – 18 ( 275 – 300 )
2000 – 2.499 11 – 14 ( 190 – 240 ) 18 – 20 ( 300 – 340 )

Pedoman terapi sinar dan transfusi tukar bayi berat lahir rendah
berdasarkan masa gestasi
Bilirubin Total [ mg/dL ( umol/L ) ]
Masa gestasi ( mg ) Terapi sinar Transfusi tukar bayi Tranfusi tukar bayi
sehat sakit
36 14,6 (250) 17,5 (300) 20,5 (350)
32 8,6 (150) 14,6 (250) 17,5 (300)
28 5,8 (100) 11,7 (200) 14,6 (250)
24 4,7 (80) 8,8 (150) 11,7 (200)

49
DIVISI PERINATOLOGI

KLINIS SEPSIS DAN SEPSIS NEONATORUM


Julniar M. Tasli, Herman Bermawi, Afifa Ramadanti, Indrayady
Definisi
Sepsis neonatorum bakterial adalah sindrom klinis yang berupa gejala dan tanda
infeksi sistemik disertai bakteremia yang terjadi pada bulan pertama kehidupan (28
hari). Sepsis neonatorum bakterial secara spesifik terdiri atas sepsis screen positive
atau disebut juga probable sepsis dan sepsis culture positive atau disebut juga proven
sepsis.
Probable sepsis merupakan gejala dan tanda sepsis neonatorum yang dibuktikan
dengan pemeriksaan laboratorium yaitu ditemukan dua atau lebih parameter sepsis
neonatorum tetapi hasil biakan tidak ditemukan kuman (kultur negatif), sedangkan
proven sepsis merupakan gejala dan tanda sepsis neonatorum yang dibuktikan
dengan adanya kuman dalam pemeriksaan biakan (kultur positif).
Jika ditemukan gejala dan atau tanda sepsis neonatorum saja tetapi tidak ditunjang
oleh parameter laboratorium dan tidak ditemukan kuman pada pemeriksaan biakan
maka disebut klinis sepsis, sedangkan pasien yang tidak menunjukkan gejala dan atau
tanda klinis sepsis tetapi memiliki faktor risiko infeksi neonatorum disebut tersangka
infeksi atau suspicious infection.

Anamnesis
Faktor risiko atau faktor predisposisi infeksi ( suhu ibu >38o C, leukosit ibu >
15.000/mm3, air ketuban keruh & berbau busuk, ketubah pecah >12 jam, partus
kasep), perawatan tali pusat, pemberian zalf mata setelah melahirkan.

Pemeriksaan Fisis
Gejala klinis sepsis terdiri atas:
a. Gejala umum: bayi tampak lemah, terdapat gangguan minum yang disertai
penurunan berat badan, keadaan umum memburuk hipotermi/hipertermi
b. Gejala SSP: letargi, iritabilitas, hiporefleks, tremor, kejang,hipotoni/hipertoni,
serangan apnea, gerak bola mata tidak terkoordinasi.
c. Gejala pernapasan: dispnu, takipnu, apnu, dan sianosis
d. Gejala TGI: muntah, diare, meteorismus, hepatomegali
e. Kelainan kulit: purpura, eritema, pustula, sklerema
f. Kelainan sirkulasi: pucat/sianosis, takikardi/aritmia, hipotensi, edema, dingin.
g. Kelainan hematologi: perdarahan, ikterus, purpura

Kriteria Diagnosis
Gejala klinis sepsis ditambah lebih dari satu pemeriksaan laboratorium yang positip
(lekosit < 5000/mm3 atau > 34.000/mm3, I/T ratio 0,2 atau lebih, mikro LED>15
mm/jam, CRP > 9mg/dL), kultur darah positif

Diagnosis Sesuai klinis, laboratorium diatas dan atau kultur darah positif

Diagnosis Banding Meningitis

50
DIVISI PERINATOLOGI

Pemeriksaan Penunjang
Darah : Hb, lekosit, hitung jenis, trombosit, mikro LED, CRP dan kultur dan tes
resisintesi
LCS : Protein, sel hitung jenis, pengecatan gram dan kultur

Terapi
a. Pemberian cairan sesuai dengan kebutuhan bayi.
b. Terapi oksigen bila diperlukan
c. Antibiotik : lihat bab infeksi neonatus

Indikasi Pulang
Infeksi sudah teratasi ditandai dengan perbaikan klinis dan laboratorium darah

Edukasi
Penjelasan mengenai faktor risiko infeksi dan penatalaksanaan serta komplikasi.

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam

Kepustakaan
1. Schelonka R.L., Freij B. J., MmLracken G.H. Bacterial and fungal infections.
Dalam: MacDonald MG, Mullet MD, Seshia M, penyunting. Avery’s Neonatology,
pathophysiology & management of the newborn. Edisi 6. Philadelphia : Lippincott
William & Walkins, 2005;1235-73.
2. Naglie R. Sepsis. Dalam: Gomella TL, Cunningham MD,Eyal FG, Zenk KE,
penyunting. Neonatology, management, procedur, on-call problem, desease, and
drug. Edisi 7. Newyork : Lange McGraw Hill, 2013;865-74
3. Puopolo K.M. Bacterial and fungal infections. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald
EC, Stark AR, penyunting. Manual of Neonatal care. Edisi 6. Philadelphia :
Lippincott William & Walkins, 2008;274-300.
4. Edwards M. S. Postnatal bacterial infections. Dalam: Martin RJ, Fanaroff AA,
Walsh MC, penyunting. Fanaroff and Martin’s Neonatal-Perinatal Medicine. Edisi
8. Misouri : Mosby Elsevier, 2006;791-829.
5. Sinha S. Infection. Dalam : Levene MI, Tudehope DI, Sinha S, penyunting.
Essential Neonatal Mediceine. Edisi 5. Australia : Blackwell Publishing, 2012 ; 61
– 76
6. Klein J.O., Nizet V. Bacterial sepsis and meningitis. Dalam: Remington JS,
Jerome O, Klein MD, penyunting. Remington’s Infectious Disease of the Fetus
and Newborn Infant. Edisi 5. Philadelphia : WB Saunders Company, 2001;222-
75.

51
DIVISI PERINATOLOGI

MENINGITIS NEONATORUM
Julniar M. Tasli, Herman Bermawi, Afifa Ramadanti, Indrayady

Definisi
Meningitis pada neonatus adalah infeksi pada meningen dan susunan syaraf pusat
bayi baru lahir pada bulan pertama kehidupan.

Anamnesis
Faktor risiko atau faktor predisposisi infeksi (suhu ibu > 38o C, leukosit ibu >
15.000/mm3, air ketuban keruh & berbau busuk, ketubah pecah > 12 jam, partus
kasep), perawatan tali pusat, pemberian zalf mata setelah melahirkan.

Pemeriksaan Fisik
Klinis mirip dengan sepsis. Gejala dini umumnya iritabel.
1. Gejala umum: bayi tampak lemah, terdapat gangguan minum yang disertai
penurunan berat badan, keadaan umum memburuk hipotermi/hipertermi
2. Gejala SSP: letargi, iritabilitas, hiporefleks, tremor, kejang, hipotoni/hipertoni,
serangan apnea, gerak bola mata tidak terkoordinasi.
3. Gejala pernapasan: dispnu, takipnu, apnu, dan sianosis
4. Gejala TGI: muntah, diare, meteorismus, hepatomegali
5. Kelainan kulit: purpura, eritema, pustula, sklerema
6. Kelainan sirkulasi: pucat/sianosis, takikardi/aritmia, hipotensi, edema, dingin.
7. Kelainan hematologi: perdarahan, ikterus, purpura

Kriteria Diagnosis
Gejala klinis sepsis ditambah hasil pemeriksan cairan serebrospinalis :
 Tes Pandy : + atau ++
 Jumlah sel : umur 0 s/d 48 jam :>100/mm3
umur 2 s/d 7 hari :>50/mm3
umur >7 hari :>32/mm3
 Hitung jenis :PMN meningkat, protein meningkat dan glukosa menurun

Diagnosis
Sesuai klinis dan hasil pemeriksaan cairan serebrospinalis

Diagnosis Banding
Sepsis neonatorum

Pemeriksaan Penunjang
Darah : Hb, lekosit, hitung jenis, trombosit, mikro LED, dan kultur dan tes resistensi
LCS : Protein, sel hitung jenis, pengecatan gram dan kultur
Urin : Rutin dan kultur dan tes resistensi
USG transfontanela

52
DIVISI PERINATOLOGI

Terapi
a. Pemberian cairan sesuai dengan kebutuhan bayi.
b. Terapi oksigen bila diperlukan
c. Antibiotik : Cefotaxime
Bila tidak ada perbaikan klinis dalam 48 jam atau keadaan umum semakin memburuk,
pertimbangkan pindah ke antibiotika yang lebih poten, misalnya meropenem, atau
sesuai dengan hasil tes resistensi. Antibiotika diberikan 21 hari

Indikasi Pulang
Klinis dan hasil USG transfontanela perbaikan

Edukasi
Penjelasan mengenai faktor risiko infeksi dan penatalaksanaan serta komplikasi.

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam

Kepustakaan
1. Ferrieri P, Waller LD,. Neonatal bacterial sepsis. Dalam: MacDonald MG, Mullet
MD, Seshia M, penyunting. Avery’s Neonatology, pathophysiology &
management of the newborn. Edisi 9. Philadelphia : Lippincott William & Walkins,
2012;538-50
2. Naglie R. Meningitis. Dalam: Gomella TL, Cunningham MD,Eyal FG, Zenk KE,
penyunting. Neonatology, management, procedur, on-call problem, desease, and
drug. Edisi 7. Newyork : Lange McGraw Hill, 2013;754-57
3. Puopolo K.M. Bacterial and fungal infections. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald
EC, Stark AR, penyunting. Manual of Neonatal care. Edisi 6. Philadelphia :
Lippincott William & Walkins, 2008;274-300.
4. Edwards M. S. Postnatal bacterial infections. Dalam: Martin RJ, Fanaroff AA,
Walsh MC, penyunting. Fanaroff and Martin’s Neonatal-Perinatal Medicine. Edisi
8. Misouri : Mosby Elsevier, 2006;791-829.
5. Infection. Dalam : Levene MI, Tudehope DI, Sinha S, penyunting. Essential
Neonatal Mediceine. Edisi 4. Australia : Blackwell Publishing, 2008 ; 61 – 76
6. Klein J.O., Nizet V. Bacterial sepsis and meningitis. Dalam: Remington JS,
Jerome O, Klein MD, penyunting. Remington’s Infectious Disease of the Fetus
and Newborn Infant. Edisi 5. Philadelphia : WB Saunders Company, 2001;222-
75.

53
DIVISI PERINATOLOGI

PNEUMOTORAKS
Julniar M. Tasli, Herman Bermawi, Afifa Ramadanti, Indrayady

Definisi
Terdapat udara dalam rongga pleura

Anamnesis
Mengidentifikasi faktor risiko : aspirasi mekoneum, tindakan VTP, bronkopneumonia,
pemakaian ventilasi mekanik

Pemeriksaan Fisis
Dispnu, takipnu, retraksi, merintih, sianosis, vesikular menurun, sela iga melebar dan
dada tampak lebih cembung, asimetris gerakan dinding dada.

Kriteria Diagnosis
Gejala klinis + foto toraks (radiolusen dan kolaps parsial atau total paru yang terkena,
pergeseran mediastinum, pendataran diafragma) + transiluminasi positip, terutama
pada bayi kecil.

Diagnosis
Sesuai klinis dan pemeriksaan penunjang

Diagnosis Banding
Takipneu sementara pada neonatus
Penyakit membran hyalin
Pneumonia
Sepsis

Pemeriksaan Penunjang
Darah : Hb,lekosit, hitung jenis, trombosit, mikro LED
Foto toraks AP dan lateral
Transiluminasi

Terapi
1. Suportif, umumnya sama pada semua gawat napas, yaitu :
a. Pemberian cairan
 Hari pertama dextrose 7,5-12,5% (GIR 6-8 mg/kgBB/menit) + Ca Gluconas
10%.

 Kebutuhan Ca glukonas/hari : 5 mL / kg BB

 Mulai hari ke-2 atau sudah terdapat diuresis awal baru ditambahkan Natrium
(Na) atau Kalium (K) 2-3 meq/kgBB/hari atau sesuai kebutuhan.

 Bila ada tanda dehidrasi atasi dehidrasi

54
DIVISI PERINATOLOGI

 Bila ada asidosis berikan cairan dekstrose dan natrium bikarbonat ( 4 : 1 ) Bila
dapat diperiksa analisa gas darah, asidosis dandikoreksi langsung dengan
pemberian cairan Natrium Bikarbonat 4,2 % secara perlahan-lahan
 Bila belum bisa makan per oral beri larutan asam amino 1-3 g/kgBB/hari. Bila
sudah bisa minum per oral beri ASI atau susu formula
b. Terapi oksigen ( intra nasal, , bubble CPAP, ventilator )
2. Antibiotika : Ampisilin dan gentamisin, bila tidak ada perbaikan dalam 2 hari,
gentamisin diganti dengan ceftazidim.
3. Terapi khusus :
 Tidak ada tension pneumotoraks : berikan oksigen 100 % selama 12 jam pada
bayi aterm ( nitrogen washing )
 Dengan tension pneumotoraks dilakukan pemasasangan kateter interkostal
dengan kontinuous suction ( WSD )
 Jika keadaan kritis dapat dilakukan aspirasi dengan menggunakan wing needle
no.21 dan spuit 5 mL serta three way stopcock ( diagnosis dan terapi )

Indikasi Pulang
Tidak sesak dengan frekuensi nafas 40-60 kali per menit, minum baik, tidak ada tanda
infeksi dan penyakit penyebab telah terkendali

Edukasi
enjelasan mengenai faktor risiko dan penatalaksanaan serta komplikasi yang
mungkin timbul.

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

55
DIVISI PERINATOLOGI

Kepustakaan
1. Whitsett J.A., Rice W.R., Warner B.B., Wert S.E., Pryhuber G.S. Acute
Respiratory Disorders. Dalam: MacDonald MG,Mullet MD, Seshia M, penyunting.
Avery’s Neonatology Pathophysiology & Managementof the Newborn. Edisi 6.
Philadelphia : Lippincott William & Walkins, 2005;553-77.
2. Truog W.E., Golombek S.G., Principles of Management of Respiratory Problems.
Dalam: MacDonald MG,Mullet MD, Seshia M, penyunting. Avery’s Neonatology
Pathophysiology & Managementof the Newborn. Edisi 6. Philadelphia : Lippincott
William & Walkins, 2005;600-21.
3. M.Sholeh Kosim. Gangguan Nafas pada bayi baru lahir. Dalam: Kosim MS,
Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A, penyunting. Buku Ajar Neonatologi.
Edisi 1. Jakarta : Badan Penerbit IDAI, 2008;126-46.
4. Bhakta K.Y. Respiratory Distress Syndrome. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald
EC, Stark AR, penyunting. Manual of Neonatal care. Edisi 6. Philadelphia :
Lippincott William & Walkins, 2008;323-30.
5. Rodriguez R.J., Martin R.J., Fanaroff A.A. Respiratory Distress Syndrome and its
management. Dalam: Martin RJ, Fanaroff AA, Walsh MC, penyunting. Fanaroff
and Martin’s Neonatal-Perinatal Medicine. Edisi 8. Missouri : Mosby Elsevier,
2006;1097-107.
6. Respiratory disorder. Dalam : Levene MI, Tudehope DI, Sinha S,penyunting.
Essential Neonatal Mediceine. Edisi 4. Australia : Blackwell Publishing, 2008 ;
92-110.
7. Naglie R. Pneumothorax. Dalam: Gomella TL, Cunningham MD,Eyal FG, Zenk
KE, penyunting. Neonatology, management, procedur, on-call problem, desease,
and drug. Edisi 7. Newyork : Lange McGraw Hill, 2013; 478-483

56
DIVISI RESPIROLOGI

11
RESPIROLOGI
UPDATE 2021

SELESMA ........................................................................................... 3
RINOTONSILOFARINGITIS ............................................................... 7
LARINGOTRAKEITIS ........................................................................ 11
LARINGOTRAKEOMALASIA ............................................................ 14
BRONKITIS AKUT ............................................................................. 16
BRONKIOLITIS .................................................................................. 18
BRONKHOPNEUMONIA ................................................................... 20
INFLUENZA PADA ANAK ................................................................. 24
AVIAN INFLUENZA PADA ANAK ..................................................... 26
ASMA BRONKIAL PADA ANAK ....................................................... 29
TUBERKULOSIS ............................................................................... 37
BENCANA ASAP ............................................................................... 48
EFUSI PLEURA ................................................................................. 54
EMPIEMA TORASIS .......................................................................... 56
ABSES PARU .................................................................................... 59
PNEUMOTORAKS ............................................................................. 61
EDEMA PARU ................................................................................... 62
TUBERKULOMA ............................................................................... 65
BRONKIEKTASIS .............................................................................. 69
HIPERPLASIA TIMUS ....................................................................... 73
KISTA PARU ...................................................................................... 75
LOBAR EMFISEMA KONGENITAL .................................................. 77
BRONKOPULMONARI DISPLASIA .................................................. 78
KERACUNAN MINYAK TANAH ........................................................ 80
HAMPIR TENGGELAM ...................................................................... 81
SCHWARTE ....................................................................................... 83
LIMFADENOPATI .............................................................................. 85
EMFISEMA SUBCUTIS ...................................................................... 86

1
DIVISI RESPIROLOGI

2
DIVISI RESPIROLOGI

SELESMA
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Pengertian/Definisi
Rinitis atau dikenal juga sebagai Common cold, Coryza, Cold atau selesma adalah
salah satu dari penyakit IRA-atas tersering pada anak. Anak-anak lebih sering mengalami
rinitis daripada dewasa.

Anamnesis
Perlu ditanyakan mengenai kharakteristik rinorea, unilateral atau bilateral, dan apakah
pasien memiliki riwayat alergi. Kebiasaan merokok pada orang tua juga penting ditanyakan,
karena asap rokok yang terhirup dapat memperberat gejala rinitis. Selain itu, perjalanan
penyakit juga perlu ditanyakan untuk melihat apakah telah terjadi komplikasi pada pasien.
Nyeri tenggorok kadang-kadang sulit dibedakan dengan gejala pada faringitis karena
Streptokokus. Akan tetapi, hidung buntu dan nasal discharge yang merupakan gejala utama
rinitis tidak dijumpai pada faringitis karena Streptokokus.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisis tidak menunjukkan tanda yang khas, tetapi dapat dijumpai edema
dan eritema mukosa hidung serta limfadenopati servikalis anterior. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa efek rinitis tidak terbatas hanya di kavum nasalis, tetapi dapat juga
terjadi di sinus paranasalis. Pada pemeriksaan fisis, warna sekret hidung tidak dapat
membedakan penyebab dari penyakit, misalnya saja mukosa hidung pasien dengan rinitis
alergi biasanya edema, tetapi tidak selalu berwarna pucat. Beberapa gambaran klinis yang
perlu dicari adalah keterlibatan otitis media, nyeri pada wajah atau sinus, pembesaran
kelenjar servikal, tanda-tanda gangguan pernapasan (sesak, takipnea, wheezing, ronki,
retraksi), juga tanda atopik. Pada setiap anak dengan batuk-pilek selalu harus ditentukan
apakah ada peningkatan laju pernapasan dan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.
Kedua tanda ini penting untuk deteksi dini pneumonia.

Diagnosis
Selesma (J30)

Diagnosis Banding
 Rinitis alergi
 Rinitis infeksi
 Rinitis vasomotor

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan CT-scan dan foto polos sinus yang dibuat pada awal perjalanan penyakit
pada orang dewasa dengan rinitis tanpa komplikasi, menunjukkan adanya kelainan
bermakna pada sinus yang sembuh spontan tanpa pemberian antibiotik. Hal ini
menunjukkan bahwa kelainan sinus selama rinitis tidak selalu terjadi akibat infeksi sekunder
oleh bakteri, tetapi dapat merupakan bagian dari perjalanan penyakit yang normal.
Ditemukannya virus penyebab rinitis merupakan baku emas penegakan diagnosis,

3
DIVISI RESPIROLOGI

tetapi hal ini tidak direkomendasikan pada tatalaksana pasien sehari-hari. Metode
identifikasi virus yang dapat dilakukan meliputi kultur virus, deteksi antigen, dan polymerase
chain reaction (PCR). Meskipun sensitivitas dan spesifisitas masih diragukan, saat ini telah
tersedia berbagai uji deteksi antigen untuk mendeteksi virus Influenza, virus Parainfluenza,
RSV, dan Adenovirus, tetapi tidak dapat digunakan untuk mendeteksi Rhinovirus karena
jumlah serotipenya yang sangat banyak.

Terapi
Nonmedikamentosa
Apabila gejala klinis pada anak tidak terlalu berat, dianjurkan untuk tidak
menggunakan medikamentosa/obat-obatan. Terdapat beberapa usaha untuk mengatasi
hidung tersumbat, misalnya pada anak yang lebih besar dianjurkan untuk melakukan elevasi
kepala saat tidur. Pada bayi dan anak direkomendasikan untuk memberikan terapi suportif
cairan yang adekuat, karena pemberian minum dapat mengurangi gejala nyeri atau gatal
pada tenggorokan.

Medikamentosa
Apabila gejala yang ditimbulkan terlalu mengganggu, maka dianjurkan untuk
memberikan obat untuk mengurangi gejala. Gejala yang membuat anak tidak nyaman
biasanya adalah demam, malaise, rinorea, hidung tersumbat, dan batuk persisten. Obat-
obat simtomatis merupakan obat yang paling sering diberikan, terutama ditujukan untuk
menghilangkan gejala yang paling mengganggu. Pada bayi dan anak, terapi simtomatis
yang direkomendasikan adalah asetaminofen (atau ibuprofen untuk anak berusia lebih dari
enam bulan) untuk menghilangkan demam yang mungkin terjadi pada hari-hari pertama.
Pemberian tetes hidung salin yang diikuti dengan hisap lendir dapat mengurangi
sekret hidung pada bayi. Pada anak yang lebih besar dapat diberikan semprot hidung salin.
Dekongestan topikal tidak dianjurkan untuk diberikan pada anak yang lebih kecil, karena
penggunaan berlebihan dapat menyebabkan rebound phenomenon dan memperlama gejala
yang dirasakan. Penggunaan pada anak yang lebih besar dianjurkan satu kali sehari saat
malam sebelum tidur, maksimal selama tiga hari. Tetes hidung salin dapat digunakan; selain
dapat mengatasi sumbatan hidung, pada bayi dan anak dapat bermanfaat untuk
mengencerkan sekret di hidung dan menginduksi bersin.
Antihistamin, dekongestan, antitusif, dan ekspektoran, baik sebagai obat tunggal
maupun kombinasi, saat ini banyak dipasarkan untuk terapi simtomatis pada anak.
Meskipun demikian, beberapa uji klinis pada bayi dan anak menunjukkan bahwa obat-obat
tersebut tidak bermanfaat. Anak-anak dengan penyakit saluran respiratori reaktif atau asma
harus diberikan obat -agonis untuk menghilangkan gejala yang berhubungan dengan
bronkospasme.
Hingga saat ini terdapat pemberian antibiotik pada anak dengan rinitis dengan
berbagai alasan, di antaranya adalah sekret hidung mukopurulen (kental dan tidak jernih
atau berwarna) dan lama sakit yang telah melebihi satu minggu. Kedua hal tersebut bukan
alasan yang tepat dalam pemberian antibiotik. Pengentalan sekret hidung terjadi secara
normal pada lebih kurang hari ke-3 setelah awitan akibat deskuamasi sel epitel, peningkatan
sel PMN, dan jumlah bakteri yang merupakan koloni normal.
Faktor yang dipertimbangkan untuk pemberian antibiotik pada rinitis adalah apabila
penyakit berlangsung selama lebih dari 10–14 hari tanpa ada perbaikan, karena pada rinitis,
gejala tertentu seperti sekret hidung masih dapat berlangsung hingga 14 hari. Pemberian

4
DIVISI RESPIROLOGI

antibiotik tidak mempersingkat durasi sakit dan tidak mencegah timbulnya komplikasi.
Antivirus dikatakan efektif untuk influenza, tetapi tidak efektif untuk mengatasi IRA-
atas lainnya seperti rinitis. Akan tetapi, sulit untuk membedakan antara rinitis dengan flu
akibat virus Influenza. Hingga saat ini, prediktor yang digunakan adalah adanya demam
tinggi dengan awitan mendadak, batuk, serta gejala-gejala rinitis lainnya.
Antivirus yang digunakan berupa amantadin, oseltamivir, dan zanamivir. Penggunaan
rimantadin dianjurkan untuk dihentikan karena risiko resistensi. Penggunaan antivirus di
Indonesia masih tidak umum, kemungkinan karena biayanya yang relatif tidak murah bila
dibandingkan dengan efek yang ditimbulkan, yaitu hanya mengurangi durasi penyakit
selama lebih kurang 24 jam. Selain itu, juga karena pertimbangan bahwa antivirus hanya
efektif bila digunakan selama 36 jam pertama flu.

Edukasi
Cara terbaik untuk mencegah terjadinya penularan adalah dengan mencuci tangan,
khususnya setelah kontak dengan sekret penderita baik secara langusng maupun tidak
langsung. Pemberian imunisasi Influenza setahun sekali dapat mencegah infeksi Influenza
dan komplikasinya.

Prognosis
 Ad vitam : dubia ad bonam
 Ad sanationam : dubia ad bonam
 Ad fungsionam : dubia ad bonam

Kepustakaan
1. Naning R, Triasih R, Setyati A. Rinitis. Dalam Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto
DB. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama cetakan ke-empat. Badan Penerbit
IDAI. 2015;278-287.
2. Asher MI, Grant CC. Infections of the upper respiratory tract. Dalam; Taussig LM,
Landau LI. Souef PTNL, Morgan WJ, Martinez FD, Sly PD. Pediatric Respiratory
Medicine. Philadelphia; Elseviers: 2008. p.453-480
3. Herendeen EN, Szilagy GP. Infection of the upper respiratory tract. Dalam: Kliegman
MR, Behrman ER, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of pediatrics. Edisi ke-18.
Philadelphia: WB elsevier; 2007. h. 1747-49.
4. Eccles R. Understanding the symptoms of the common cold and influenza. Lancet
Infect Dis. 2005;5:718-25.
5. Paul IM, Yoder KE, Crowell KR, Shaffer ML, McMillan HS, Carlson LC, dkk. Effect of
Dextromethorphan, Diphenhydramine, and placebo on nocturnal cough and sleep
quality for coughing children and their parents. Pediatrics. 2004;114:85-90.
6. Esper F, Boucher D, Weibel C, Martinello RA, Kahn JS. Human metapneumovirus
infection in the United States: clinical manifestions associated with a newly emerging
respiratory infection in children. Pediatrics. 2003;111:1407-10.
7. Heikkinen TAJ. The common cold. Lancet. 2003;361:51-9.
8. Papsin B, McTavish A. Saline nasal irrigation: its role as an adjuct treatment. Can Fam
Physician. 2003;49:168-73.
9. Boivin G, Abed Y, Pelletier G, Ruel L, Moisan D, Co’te S, dkk. Virological features and
clinical manifestations associated with human metapneumovirus: a new paramyxovirus
responsible for acute respiratory-tract infections in all age groups. J Infect Dis.
2002;186:1330-4.

5
DIVISI RESPIROLOGI

10. Winther B, Hayden FG, Arruda E, Dutkowski R, Ward P, Hendley JO. Viral respiratory
infection in school children: effects on middle ear pressure. Pediatrics. 2002;109:862-
32.
11. Gonzales R, Malone DC, Maselli JH, Sande MA. Excessive antibiotic use for acute
Winther B, Arruda E, Witek TJ, Marlin SD, Tsianco MM, DJ I, dkk. Expression of ICAM-
1 in nasal epithelium and levels of soluble ICAM-1 in nasal lavage fluid during human
experimental rhinovirus infection. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2002;128:131-6.
12. Respiratory infection in the United State. Clin Infect Dis. 2001;33:757-62.

6
DIVISI RESPIROLOGI

Rinotonsilofaringitis
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf
Pengertian/Definisi
Istilah faringitis akut digunakan untuk menunjukkan semua infeksi akut pada faring,
termasuk tonsilitis (tonsilofaringitis) yang berlangsung hingga 14 hari. Faringitis
merupakan peradangan akut membran mukosa faring dan struktur lain di sekitarnya.
Karena letaknya yang sangat dekat dengan hidung dan tonsil, jarang terjadi hanya
infeksi lokal faring atau tonsil. Oleh karena itu, pengertian faringitis secara luas
mencakup tonsilitis, nasofaringitis, dan tonsilofaringitis.

Anamnesis
Gejala faringitis yang khas akibat bakteri Streptokokus berupa nyeri tenggorokan
dengan awitan mendadak, disfagia, dan demam. Urutan gejala yang biasanya
dikeluhkan oleh anak berusia di atas 2 tahun adalah nyeri kepala, nyeri perut, dan
muntah. Selain itu juga didapatkan demam yang dapat mencapai suhu 40°C, beberapa
jam kemudian terdapat nyeri tenggorok. Gejala seperti rinorea, suara serak, batuk,
konjungtivitis, dan diare biasanya disebabkan oleh virus. Kontak dengan penderita rinitis
juga dapat ditemukan pada anamnesis.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis, tidak semua pasien tonsilofaringitis akut Streptokokus
menunjukkan tanda infeksi Streptokokus, yaitu eritema pada tonsil dan faring yang
disertai dengan pembesaran tonsil.
Faringitis streptokokus sangat mungkin jika dijumpai gejala dan tanda berikut:
- awitan akut, disertai mual dan muntah
- faring hiperemis
- demam
- nyeri tenggorokan
- tonsil bengkak dengan eksudasi
- kelenjar getah bening leher anterior bengkak dan nyeri
- uvula bengkak dan merah
- ekskoriasi hidung disertai lesi impetigo sekunder
- ruam skarlatina
- petekie palatum mole.

kemungkinan besar bukan faringitis streptokokus:


- usia di bawah 3 tahun
- awitan bertahap
- kelainan melibatkan beberapa mukosa
- konjuntivitis, diare, batuk, pilek, suara serak
- mengi, ronki di paru
- eksantem ulseratif.
Tanda khas faringitis difteri adalah membran asimetris, mudah berdarah, dan
berwarna kelabu pada faring. Membran tersebut dapat meluas dari batas anterior tonsil
hingga ke palatum mole dan/atau ke uvula.
Pada faringitis akibat virus, dapat juga ditemukan ulkus di palatum mole dan dinding
faring serta eksudat di palatum dan tonsil, tetapi sulit dibedakan dengan eksudat pada

7
DIVISI RESPIROLOGI

faringitis Streptokokus. Gejala yang timbul dapat menghilang dalam 24 jam, berlangsung
4-10 hari (self limiting disease), jarang menimbulkan komplikasi, dan memiliki prognosis
yang baik.

Diagnosis
Rhinotonsilofaringitis (J03.9)

Diagnosis Banding
Faringitis Streptokokus
Faringitis virus

Pemeriksaan Penunjang
Sulit untuk membedakan antara faringitis Streptokokus dan faringitis virus hanya
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Baku emas penegakan diagnosis
faringitis bakteri atau virus adalah melalui pemeriksaan kultur dari apusan tenggorok.
Apusan tenggorok yang adekuat pada area tonsil diperlukan untuk menegakkan adanya
S. pyogenes. Untuk memaksimalisasikan akurasi, maka diambil apusan dari dinding
faring posterior dan regio tonsil, lalu diinokulasikan pada media agar darah domba 5%
dan piringan basitrasin diaplikasikan, kemudian ditunggu selama 24 jam.
Pada saat ini terdapat metode yang cepat untuk mendeteksi antigen Streptokokus
grup A (rapid antigen detection test). Metode uji cepat ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang cukup tinggi (sekitar 90% dan 95%) dan hasilnya dapat diketahui dalam
10 menit, sehingga metode ini setidaknya dapat digunakan sebagai pengganti
pemeriksaan kultur. Secara umum, bila uji tersebut negatif, maka apusan tenggorok
seharusnya dikultur pada dua cawan agar darah untuk mendapatkan hasil yang terbaik
untuk S. pyogenes. Pemeriksaan kultur dapat membantu mengurangi pemberian
antibiotik yang tidak perlu pada pasien faringitis.

Terapi
 Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada faringitis virus, karena tidak akan
mempercepat waktu penyembuhan atau mengurangi derajat keparahan.
 Istirahat cukup dan pemberian cairan yang sesuai merupakan terapi suportif yang
dapat diberikan.
 pemberian gargles (obat kumur) dan lozenges (obat hisap), pada anak yang cukup
besar dapat meringankan keluhan nyeri tenggorok.
 Apabila terdapat nyeri yang berlebih atau demam, dapat diberikan parasetamol atau
ibuprofen. Pemberian aspirin tidak dianjurkan, terutama pada infeksi Influenza,
karena insidens sindrom Reye kerap terjadi.
 Pemberian antibiotik pada faringitis harus berdasarkan pada gejala klinis dan hasil
kultur positif pada pemeriksaan usapan tenggorok. Antibiotik pilihan pada terapi
faringitis akut Streptokokus grup A adalah Penisilin V oral 15-30 mg/kgBB/hari
dibagi 3 dosis selama 10 hari atau benzatin penisilin G IM dosis tunggal dengan
dosis 600.000 IU (BB<30 kg) dan 1.200.000 IU (BB>30 kg). Amoksisilin dapat
digunakan sebagai pengganti penisilin pada anak yang lebih kecil, karena selain
efeknya sama, amoksisilin juga memiliki rasa yang lebih enak. Amoksisilin dengan
dosis 50 mg/kgBB/hari dibagi 2 selama 6 hari, efektivitasnya sama dengan Penisilin
V oral selama 10 hari. Untuk anak yang alergi penisilin dapat diberikan eritromisin

8
DIVISI RESPIROLOGI

etil suksinat 40 mg/kgBB/hari, eritromisin estolat 20-40 mg/kgBB/hari, dengan


pemberian 2, 3, atau 4 kali per hari selama 10 hari; atau dapat juga diberikan
makrolid baru misalnya azitromisin dengan dosis tunggal 10 mg/kgBB/hari, selama
3 hari berturut-turut. Antibiotik golongan sefalosporin generasi I dan II dapat juga
memberikan efek yang sama, tetapi pemakaiannya tidak dianjurkan, karena selain
mahal risiko resistensinya juga lebih besar.
 Pembedahan elektif adenoid dan tonsil telah digunakan secara luas untuk
mengurangi frekuensi tonsilitis rekuren. Keputusan untuk tonsilektomi harus
didasarkan pada gejala dan tanda yang terkait secara langsung terhadap hipertrofi,
obstruksi, dan infeksi kronis pada tonsil dan struktur terkait. Ukuran tonsil anak
relatif lebih besar daripada dewasa. Infeksi tidak selalu menyebabkan hipertrofi
tonsil, dan tonsil yang terinfeksi kronis mungkin ukurannya tidak membesar.
Tonsilektomi sedapat mungkin dihindari pada anak berusia di bawah 3 tahun. Bila
ada infeksi aktif, tonsilektomi harus ditunda hingga 2−3 minggu.
 Indikasi tonsiloadenoidektomi yang lain adalah bila terjadi obstructive sleep apnea
akibat pembesaran adenotonsil.

Tindak Lanjut
Kegagalan terapi adalah terdapatnya Streptokokus persisten setelah terapi selesai.
Hal ini terjadi pada 5−20% populasi, dan lebih banyak pada populasi dengan
pengobatan penisilin oral dibandingkan dengan suntik. Penyebabnya dapat karena
komplians yang kurang, infeksi ulang, atau adanya flora normal yang memproduksi -
laktamase. Kultur ulang apusan tenggorok hanya dilakukan pada keadaan dengan risiko
tinggi, misalnya pada pasien dengan riwayat demam reumatik atau infeksi Streptokokus
yang berulang.
Apabila hasil kultur kembali positif, beberapa kepustakaan menyarankan terapi
kedua, dengan pilihan obat oral klindamisin 20–30 mg/kgBB/hari selama 10 hari;
amoksisilin-klavulanat 40 mg/kgBB/hari terbagi menjadi 3 dosis selama 10 hari; atau
injeksi Benzathine penicillin G intramuskular, dosis tunggal 600.000 IU (BB <30kg) atau
1.200.000 IU (BB >30 kg). Akan tetapi, bila setelah terapi kedua kultur tetap positif,
kemungkinan pasien merupakan pasien karier, yang memiliki risiko ringan terkena
demam reumatik. Golongan tersebut tidak memerlukan terapi tambahan.

Prognosis
 Ad vitam : dubia ad bonam
 Ad sanationam : dubia ad bonam
 Ad fungsionam : dubia ad bonam

Kepustakaan
1. Naning R, Triasih R, Setyati A. Rinitis, Faringitis, Tonsilitis, Tonsilofaringitis Akut.
Dalam Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi
Pertama cetakan ke-empat. Badan Penerbit IDAI. 2015;288-295.
2. Asher MI, Grant CC. Infections of the upper respiratory tract. Dalam; Taussig LM,
Landau LI. Souef PTNL, Morgan WJ, Martinez FD, Sly PD. Pediatric Respiratory
Medicine. Philadelphia; Elseviers: 2008. p.453-480
3. Vincent TM, Celestin N, Hussain NA. Pharyngitis. American Family Physician.

9
DIVISI RESPIROLOGI

2004;69(6). Diakses pada 8 Juni 2006. Diunduh dari:


http://www.aafp.org/afp/20040315/1465.html.
4. Rimoin WA, Hamza SH, Vince A, dkk. Evaluation of the WHO clinical decision rule for
streptococcal pharyngitis. Arch Dis Child. 2005;90:1066−70.
5. Morozumi M, Nakayama E, Iwata S. Acute pharyngitis. N Engl J Med.
2001;344:205−11.
6. Herendeen EN, Szilagy GP. Infection of the upper respiratory tract. Dalam: Behrman
ER, Kliegman MR, Jenson HB, penyunting. Edisi ke-16. Nelson textbook of
pediatrics. Philadelphia: WB Saunders; 2000. h. 1264−5.

10
DIVISI RESPIROLOGI

Laringotrakeitis
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Pengertian/Definisi
Laringotrakeitis atau Sindrom croup, adalah sindrom klinis yang ditandai dengan
suara serak, batuk menggonggong, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya stres
pernapasan. Penyakit ini sering terjadi pada anak.
Istilah lain untuk croup ini adalah laringitis akut yang menunjukkan lokasi inflamasi,
yang jika meluas sampai trakea disebut laringotrakeitis, dan jika sampai ke bronkus
digunakan istilah laringotrakeobronkitis.

Anamnesis
Manifestasi klinis biasanya didahului dengan demam yang tidak begitu tinggi
selama 12−72 jam, hidung berair, nyeri menelan, dan batuk ringan. Kondisi ini akan
berkembang menjadi batuk nyaring, suara menjadi parau dan kasar. Gejala sistemik
yang menyertai seperti demam, malaise. Bila keadaan berat dapat terjadi sesak
napas, stridor inspiratorik yang berat, retraksi, dan anak tampak gelisah, dan akan
bertambah berat pada malam hari. Gejala puncak terjadi pada 24 jam pertama hingga
48 jam. Biasanya perbaikan akan tampak dalam waktu satu minggu. Anak akan sering
menangis, rewel, dan akan merasa nyaman jika duduk di tempat tidur atau digendong.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis ditemukan suara serak, hidung berair, peradangan faring,
dan frekuensi napas yang sedikit meningkat. Kondisi pasien bervariasi sesuai dengan
derajat stres pernapasan yang diderita.
Pemeriksaan langsung area laring pada pasien croup tidak terlalu diperlukan.
Akan tetapi, bila diduga terdapat epiglotitis (serangan akut, gawat napas/respiratory
distress, disfagia, drooling), maka pemeriksaan tersebut sangat diperlukan.

Diagnosis
Laringotrakeitis (J04.2)

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologis tidak
perlu dilakukan karena diagnosis biasanya dapat ditegakkan hanya dengan
anamnesis, gejala klinis, dan pemeriksaan fisis. Bila ditemukan peningkatan leukosit
>20.000/mm3 yang didominasi oleh PMN, kemungkinan telah terjadi superinfeksi,
misalnya epiglotitis.

Terapi
 Tatalaksana utama bagi pasien croup adalah mengatasi obstruksi jalan napas.
 Nebulisasi epinefrin sebaiknya juga diberikan kepada anak dengan sindrom croup
sedang—berat yang disertai dengan stridor saat istirahat dan membutuhkan
intubasi, serta pada anak dengan retraksi dan stridor yang tidak mengalami
perbaikan setelah diberikan terapi uap dingin.
 Kortikosteroid mengurangi edema pada mukosa laring melalui mekanisme
antiradang. Uji klinik menunjukkan adanya perbaikan pada pasien laringotrakeitis

11
DIVISI RESPIROLOGI

ringan–sedang yang diobati dengan steroid oral atau parenteral dibandingkan


dengan plasebo.
 Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada pasien sindrom croup, kecuali pasien
dengan laringotrakeobronkitis atau laringotrakeopneumonitis yang disertai infeksi
bakteri. Pasien diberikan terapi empiris sambil menunggu hasil kultur. Terapi awal
dapat menggunakan sefalosporin generasi ke-2 atau ke-3.
 Pemberian sedatif dan dekongestan oral tidak dianjurkan pada pasien sindrom
croup.

Tindak Lanjut
Sebagian besar pasien croup tidak perlu dirawat di RS, melainkan cukup dirawat
di rumah. Pasien dirawat di RS bila dijumpai salah satu dari gejala-gejala berikut: anak
berusia di bawah 6 bulan, terdengar stridor progresif, stridor terdengar ketika sedang
beristirahat, terdapat gejala gawat napas, hipoksemia, gelisah, sianosis, gangguan
kesadaran, demam tinggi, anak tampak toksik, dan tidak ada respons terhadap terapi.
Komplikasi
Pada 15% kasus dilaporkan terjadi komplikasi, misalnya otitis media, dehidrasi,
dan pneumonia (jarang terjadi). Sebagian kecil pasien memerlukan tindakan intubasi.
Gagal jantung dan gagal napas dapat terjadi pada pasien yang perawatan dan
pengobatannya tidak adekuat.

Prognosis
Sifat penyakit ini adalah self-limited, tetapi kadang-kadang cenderung menjadi
berat bahkan fatal.

Kepustakaan
1 Yangtjik K, Dadiyanto DW. Croup (Laringotrakeobronkitis Akut). Dalam Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama cetakan ke-
empat. Badan Penerbit IDAI. 2015;320-329.
2 Asher MI, Grant CC. Infections of the upper respiratory tract. Dalam; Taussig LM,
Landau LI. Souef PTNL, Morgan WJ, Martinez FD, Sly PD. Pediatric Respiratory
Medicine. Philadelphia; Elseviers: 2008. p.453-480
3 Cherry JD. Croup (laryngitis, laryngotracheitis, spasmodic croup,
laryngotracheobronchitis, bacterial tracheitis, and laryngotracheobronchopneumonitis).
Dalam: Feigin RD, penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Philadelphia:
WB Saunder; 2004. h. 252–65.
4 Roosevelt GE. Acute inflamatory upper airway obstruction. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HN, penyunting. Nelson textbook of pediatric. Edisi ke-17.
Philadelphia: WB Saunder; 2004. h. 1405–9.
5 Louis V, Allen AM. Oral dexamethasone for mild croup. N Engl J Med [serial online]
2004;35:26. [Diakses pada 23 Desember 2004]. Diunduh dari: www.nejm.org.
6 Knutson D, Aring A. Viral croup. American Family Physician. 2004;69(3). [Diakses
pada 19 Juni 2006]. Diunduh dari: http://www.aafp.org/afp/20040201/535.html.
7 NSW Health Department. Acute management of infants and children with croup:
clinical practice guidelines. 2004 Dec 21. Diunduh dari: www.health.nsw.gov.au.
8 Guideline for the diagnosis and management of croup. The Alberta Clinical Practice
Guideline Program. 2003 July; Diunduh dari:

12
DIVISI RESPIROLOGI

www.urgenciaspediatriacruces.org/pdf/art/ Croup.pdf.
9 Fitzgerald DA, Kilham HA. Croup: assessment and evidence-based management.
MJA. 2003;179:372–7.
10 Gina M, dkk. Clinical investigations: a randomized controlled trial of mist in the acute
treatment of moderate croup. Acad Emerg Med. 2002 Sep;9(9).
11 Rizwan S, Michael F. Role of glucocorticoids in treating croup. Canadian Family
Physician. 2001 Apr. [Diakses pada 23 Desember 2004]. Diunduh dari:
http://www.cfpc.ca /cfp/_cgi/index_pdf.asp?pdfname=/cfp/2001/Apr/_pdf/vol47-apr-
critical-1.pdf#.
12 Malhotra A, Leonard RK. Viral croup. Pediatrics in Review. 2001 Januari, 22. [Diakses
pada 22 Januari 2002]. Diunduh dari:
http://pedsinreview.aappublications.org/cgi/content/full/ 22/1/5.

13
DIVISI RESPIROLOGI

LARINGOTRAKEOMALASIA
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Pengertian/Definisi
Laringotrakeomalasia merupakaan keadaan melemahnya struktur sipraglotis dan
dinding trakea sehingga mengakibatkan obstruksi dan kolapsnya saluran respiratori pada
saat inspirasi. Pada keadaan ini, struktur glotis dan subglotis umumnya normal.

Anamnesis
Manifestasi klinis dapat timbul pada saat lahir hingga beberapa minggu setelah lahir.
Stridor yang terdengan berjenis high-pitched dan bervibrasi pada saat inspirasi. Stridor
dapat bertambah berat pada usia sekitar 8-9 bulan, tetapi dapat juga hanya timbul pada
saat usaha napas meningkat seperti menangis. Selain stridor, gejala lain yang dapat terlihat
adalah pektus ekskavatus akibat usaha pernapasan yang berlebihan dan berlangsung
lama. Gejala lain yang sering dikeluhkan antara lain apnea pada saat tidur.

Pemeriksaan Fisik
Pada trakeomalasia, gejala dapat timbul apabila kolapsnya lumen trakea
anteroposterior sudah mencapai lebih dari 40%. Pada trakeomalasia, stridor yang terjadi
dapat berupa stridor inspirasi dan ekspirasi bergantung pada letak kelainannya. Apabila
kelainannya pada ekstratoraks, maka stridornya bersifat inspiratorik, sedangkan apabila
kelainannya intratoraks maka stridornya bersifat ekspiratorik. Pada keadaan kelainan intra
dan ekstratorakal, maka dapat dijumpai stridor inspiratorik dan ekspiratorik bersama-sama
atau dikenal sebagai stridor bifasik. Umumnya, stridor terdengar pada beberapa bulan
kehidupan atau saat bayi lebih aktif. Stridor dapat dicetuskan karena menangis, batuk, atau
terjadinya infeksi respiratorik. Gejala yang mungkin timbul adalag kesulitan saat makan
karena sulitnya koordinasi antara menelan dan bernapas, sehingga tidak jarang dijumpai
adanya aspirasi pneumonia kronis.

Diagnosis
Trakeomalasia ( Q31.5)

Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis laringomalasia dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan foto
leher dan laringoskopi fleksibel. Pada foto leher yang diambil saat inspirasi dan ekspirasi,
dapat terlihat gambaran perubahan letak aritenoid dan epiglotis ke arah medial dan inferior.
Sebagai diagnosis utama menggunakan laringoksopi fleksibel yaitu dengan melihat pasase
hidung, nasofaring, dan supraglotis. Umumnya pergerakan pita suara masih baik.
Alat diagnostik utama untuk trakeomalasia adalah dengan melakukan
trakeobronkoskopi, yaitu dengan melihat struktur trakea pada saat inspirasi dan ekspirasi.
Bila dicurigai adanya penekanan pada trakea, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lain
seperti foto dada, barium enema, dan lain-lain.

Terapi
 Tatalaksana pada laringomalasia umumnya tidak memerlukan intervensi bedah,
sekitar 90% akan mengalami perbaikan pada usia 2 tahun.
 Tindakan trakeostomi dapat dipertimbangkan pada keadaan darurat apabila

14
DIVISI RESPIROLOGI

kelainan trakeomalasianya diperkirakan sampai batas tengah. Namun bila sudah


meluas sampai bagian bawah, tindakan trakeostomi kurang bermanfaat. Pada
keadaan ini, pemberian CPAP (Continues Positive Airway Pressure) dapat
membantu.
 Pada keadaan trakeomalasia berat yang tidak respons dengan tindakan di atas,
dapat dilakukan pemasangan stent eksternal atau internal. Pada keadaan
trakeomalasia sekunder akibat penekanan oleh arteri inominata perlu dilakukan
tindakan arteriopeksi, yaitu pengikatan dinding luar aorta ke sternum.

Edukasi
Penerangan kepada orang tua tentang keadaan laringomalasia dan kemungkinan-
kemungkinan yang dapat terjadi, sehingga orangtua menjadi lebih berhati-hati terutama
dalam hal pemberian makan. Sekitar 10% laringomalasia bermanifestasi sebagai sumbatan
yang berat, sehingga memerlukan intervensi bedah antara lain dengan caraa traakeostomi.
Pada trakeomalasia, sebagian besar dapat sembuh pada usia 2 tahun seperti halnya
laringomalasia tanpa tindakan bedah, Yang paling penting adalah penjelasan kepada orang
tua mengenai kesulitan-kesulitan yang timbul terutama dalam pemberian makan, sehingga
tidak terjadi komplikasi seperti aspirasi pneumonia bahkan gagal tumbuh.

Prognosis
Prognosis laringomalasia dan trakeomalasia umumnya baik, karena sekitar 90%
kasus akan mengalami perbaikan pada usia 2 tahun. Pada keadaan tertentu dapat
mengakibatkan komplikasi berupa aspirasi pneumonia kronis, sehingga terjadi infeksi
respiratorik berulang dan gagal tumbuh akibat permasalahan pemberian makan.

Kepustakaan
1. Abel RM, Bush A, Chhitty LS, Harcout J, Nicholson AG.Congenital lung Disease. Dalam:
Chernick V, Boat TF, Wilmout RW, Bush A, penyunting.Kendig’s disorders of the
repiratory tract in children. Edisi ke-7 . Philadelpia; WB Saunders; 2006.h 280-95.
2. Sherrington CA, Crameri JA, Coleman LT, Sawyer SM. Stridor in infant. Eur Repir J.
1999;14;717-9
3. John DS, Swiscbuk LE. Stridor and upper airway obstruction in infants and children.
Radiographics. 1992;12:625-43.
4. Brooks JW, Krummel TM. Tumors of the chest. Dalam: 2004. Chernick V, Boat TF,
Wilmout RW, Bush A, penyunting.Kendig’s disorders of the repiratory tract in children.
Edisi ke-7 . Philadelpia; WB Saunders; 2006.h. 712-21
5. Faroux B, Pigeot J, Polkey MI, Roger G, Boule M, Clement A, dkk.Chronic Stridor
Caused by laryngomalacia in children: work breathing and effects of noninvasive
ventilatory assistance. Am J Respir Crit Care Med.2001;164:1874-8.
6. Holinger LD. Congenital Anomalies of the Larynx, Trachea and Bronchi. Dalam:
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF, penyunting.Nelson Tectbook of
Pediatric. Edisi ke-18.philadelphia: WB Saunders; 2007. H. 1767-72

15
DIVISI RESPIROLOGI

BRONKITIS AKUT
K.H Yangtjik, Fifi Sofia, Azwar Aruf
Pengertian/Definisi
Bronkitis akut adalah proses inflamasi selintas yang mengenai trakea, bronkus utama
dan menengah yang bermanifestasi sebagai batuk, serta biasanya akan membaik tanpa
terapi dalam 2 minggu. Walaupun diagnosis bronkitis akut seringkali dibuat, pada anak
keadaan ini agaknya bukan merupakan suatu penyakit tersendiri, tapi berhubungan dengan
keadaan lain seperti asma dan fibrosis kistik.

Anamnesis
Bronkitis akut biasanya mengikuti gejala-gejala infeksi saluran respiratori seperti rinitis
dan faringitis. Batuk biasanya muncul 3–4 hari setelah rinitis. Batuk pada mulanya keras
dan kering, kemudian seringkali berkembang menjadi batuk lepas yang ringan dan
produktif. Karena anak-anak biasanya tidak membuang lendir tetapi menelannya, maka
dapat terjadi gejala muntah pada saat batuk keras dan memuncak. Pada anak yang lebih
tua, keluhan utama dapat berupa produksi sputum dengan batuk, serta nyeri dada pada
keadaan yang lebih berat.

Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan wheezing atau ronkhi pada auskultasi

Diagnosis Kerja
Bronkhitis Akut (J20)

Diagnosis Banding
Asma Bronkhiale

Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium patologi menunjukkan adanya infiltrasi mukosa oleh
limfosit dan leukosit PMN. Diagnosis dapat dipastikan dengan pemeriksaan kultur dari
sekresi mukus.

Terapi

 Sebagian besar terapi bronkitis akut viral bersifat suportif. Pada kenyataannya,
kebanyakan rinitis dapat sembuh tanpa pengobatan sama sekali. Istirahat yang cukup,
kelembaban udara yang cukup, masukan cairan yang adekuat, serta pemberian
asetaminofen pada keadaan demam bila perlu, sudah mencukupi untuk beberapa
kasus.
 Antibiotik sebaiknya hanya digunakan bila dicurigai adanya infeksi bakteri atau telah
dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang lainnya. Pemberian antibiotik berdasarkan
terapi empiris biasanya disesuaikan dengan usia, jenis organisme yang biasa
menginfeksi, dan sensitivitas di komunitas tersebut. Antibiotik juga telah dibuktikan
tidak mencegah terjadinya infeksi bakteri sekunder, sehingga tidak ada tempatnya
diberikan pada bronkitis akut viral.
 Obat-obat penekan batuk sebaiknya tidak diberikan, karena batuk diperlukan untuk
mengeluarkan sputum.

16
DIVISI RESPIROLOGI

 Fisioterapi dada tidak perlu dilakukan pada anak sehat yang sedang dalam fase
bronkitis akut. Bila ditemukan wheezing pada pemeriksaan fisis, dapat diberikan
bronkodilator  2-agonis, tetapi diperlukan evaluasi yang seksama terhadap respons
bronkus untuk mencegah pemberian bronkodilator yang berlebihan.
 Pada bronkitis akut bakteri terapi pilihan yang diberikan adalah eritromisin. Pada anak
berusia di atas 9 tahun dapat diberikan tetrasiklin. Untuk terapi efektif dapat diberikan
eritromisin atau tetrasiklin untuk anak-anak di atas usia 9 tahun. Pemberian eritromisin
dapat mengusir kuman pertusis dari nasofaring dalam waktu 3–4 hari, sehingga
mengurangi penyebaran penyakit. Pemberian selama 14 hari setelah awitan penyakit
selanjutnya dapat menghentikan penyakit.

Prognosis
Perjalanan dan prognosis penyakit ini bergantung pada tatalaksana yang tepat atau
mengatasi setiap penyakit yang mendasari. Komplikasi yang terjadi berasal dari penyakit
yang mendasarinya.

Kepustakaan
1. Naning R, Ismangoen H, Setyati A. Bronkitis Akut. Dalam Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama cetakan ke-empat. Badan
Penerbit IDAI. 2015;330-332.
2. Goodman DM. Bronchitis. Dalam: Kliegmen RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Pennsylvania: Saunders Elsevier; 2007. h.
1777-8.
3. Loughlin GM. Bronchitis. Dalam: Chernick V, Boat TF, Wilmott RW, Bush A. Kendig’s
disorders of the respiratory tract in children. Edisi ke-7. Philadelphia:WB Saunders Co.;
2006. h. 416-22.

17
DIVISI RESPIROLOGI

BRONKIOLITIS
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf
Definisi
Penyakit IRA-bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi bronkioli pada bayi < 2
tahun

Anamnesis
 Umur kurang dari 2 tahun
 Demam atau riwayat demam, namun jarang terjadi demam tinggi
 Batuk kering disertai sesak napas, wheezing

Pemeriksaan Fisis
Demam sub febris, sesak napas dengan tanda-tanda obstruksi saluran napas, sesak
napas, ekspirasi memanjang dan mungkin terdengar wheezing ekspirasi, bentuk dada
tampak hiperinflasi. Fine inspiratory crackles pada seluruh lapangan paru (tapi tidak selalu).
Apneu dapat terjadi pada bronkiolitis, terutama pada bayi usia muda, prematur atau berat
badan lahir rendah.

Diagnosis
Bronkiolitis(J21.9)

Diagnosis Banding
 Bronkopneumonia
 Bronkhitis akut
 Asma Bronchiale

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin, CRP, foto toraksAP/Lateral kanan, Analisa gas darah,
kultur virus, ELISA, PCR bila tersedia

Terapi
Antibiotika non alergik sebagai profilaksis
 Pada saat kondisi sesak dapat diberikan klorampenikol IV dan dilanjutkan dengan
pemberian peroral bila sesak berkurang.
 Bila dapat diberikan peroral langsung diberikan eritromisin 30-50 mg/kgbb /hari dalam
2-3 dosis
Suportif :
 Kortikosteroid diberikan untuk mengurangi edema saluran pernapasan : Kortikosteroid
15-20 mg/kgbb/hari atau deksametason 0,5 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis selama
2-3 hari.
 Cairan dan elektrolit dengan dextrose 5% dan NaCI disesuaikan dengan kebutuhan
berdasarkan umur dan berat badan.
 Oksigen dengan kelembaban yang cukup.

18
DIVISI RESPIROLOGI

 Fisioterapi dada dengan vibrasi dan perkusi untuk pengobatan penderita diruang
intensif.

Prognosis
 Ad vitam : dubia ad bonam
 Ad sanationam : dubia ad bonam
 Ad fungsionam : dubia ad bonam

Kepustakaan
1. Zain MG. Bronkiolitis. Dalam Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar
Respirologi Anak Edisi Pertama cetakan ke-empat. Badan Penerbit IDAI. 2015;333-349.
2. Elliot SP, Ray CG.Viral infections of the Lower Respiratory tract. Dalam; Taussig LM,
Landau LI. Souef PTNL, Morgan WJ, Martinez FD, Sly PD. Pediatric Respiratory
Medicine. Philadelphia; Elseviers: 2008. p.481-490
3. Clinical practice guideline.American academy of pediatrics 2006

19
DIVISI RESPIROLOGI

BRONKHOPNEUMONIA
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Pengetian/Definisi
Peradangan/inflamasi yang mengenai parenkim paru yang disebabkan oleh berbagai
macam etiologi dimana kuman atau zat (agen) teraspirasi akan menimbulkan
ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi (ventilation perfusion mismatch) di sistem
pernafasan, yang tercermin melalui gejala klinis, radiologis, maupun laboratoris.

Anamnesis
Demam, batuk, sesak napas, biru disekitar mulut, mengigil (pada anak), kejang
(pada bayi) dan nyeri dada
Pemeriksaan Fisis
- Demam
- Dispneu yang ditandai dengan pernapasan cepat (takipneu), pernapasan cuping
hidung, retraksi dan sianosis
- Suara napas vesikuler meningkat sampai bronchial
- Suara napas tambahan ronkhi basah halus nyaring.

Diagnosis
Bronkopneumonia (J18.0)

Diagnosis Banding
- Bronkhiolitis
- Bronkhitis akut
- Payah jantung
- Sepsis

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah perifer lengkap, dapat terjadi leukositosis dengan hitung jenis
bergeser ke kiri. LED meningkat pada infeksi bakterial namun banyak di pengaruhi oleh
faktor faktor lainnya. CRP meningkat pada infeksi bakterial, procalsitonin dianggap lebih baik
dari pada CRP. Analisa gas darah, menunjukkan keadaan hipoksemia, kadar PaCO2 dapat
rendah, normal atau meningkat tergantung kelainannya, dapat terjadi asidosis respiratorik
maupun metabolik dan gagal nafas. Foto toraks AP/ Lateral Kanan, dapat terlihat infiltrat
alveolar maupun interstitial yang dapat ditemukan pada seluruh lapangan paru. Gambaran
radiologis lain yang dapat di jumpai adalah konsolidasi pada satu lobus atau lebih pada
pneumonia lobaris, penebalan pleura pada pleuritis dan komplikasi pneumonia misalnya
atelektasis, efusi pleura, pneumomediastinum, pneumothoraks, abses, pneumatokel.
Mikrobiologi dari sputum dan swab nasopharyngeal, spesimen dari bronchoalveolar lavage,
aspirasi jaringan paru.

Terapi
- Pemberian oksigen, dimonitoring dengan pulse oxymetri.
- Pemberian cairan dan kalori yang cukup, sesuai dengan berat badan, peningkatan suhu
dan status hidrasi.

20
DIVISI RESPIROLOGI

- Bila sesak tidak terlalu hebat dapat dimulai diet enteral bertahap melalui selang
nasogastrik,orogastrik maupun per oral.
- Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal
- Koreksi kelainan asam basa atau elektrolit yang terjadi
- Pemilihan antibiotik berdasarkan umur, keadaan umum penderita dan dugaan
penyebab. Evaluasi pengobatan setiap 48-72 jam,bila tidak ada perbaikan klinis
dilakukan penggantian antibiotik sampai anak dinyatakan sembuh.
- Lama pemberian antibiotik tergantung kemajuan klinis penderita, evaluasi pemeriksaan
penunjang (pemeriksaan darah, foto toraks) dan jenis kuman penyebab. Sebagian besar
membutuhkan waktu 10-14 hari, kecuali untuk kuman staphylococcus dapat diberikan 6
minggu.
- Keadaan imunokompromised (gizi buruk, keganasan, pengobatan steroid jangka
panjang, infeksi HIV), penyakit jantung bawaan, gangguan neuromuskular, dan fibrosis
kistik, antibiotik harus segera diberikan. Dapat dipertimbangkan pemberian: kotrimosazol
pada pneumocystic carinii, antiviral (acyclovir,gansiclovir) pada pneumonia karena CMV,
antijamur (amphoterisin B, ketokonazol, fluconazol) pada pneumonia karena jamur dan
imunoglobulin.
- Atasi penyakit penyerta lainnya.

Petunjuk pemberian antibiotika empiris


Pilihan antibiotika untuk penderita pneumonia baru yang datang ke IRD atau rawat jalan
yang belum pernah mendapatkan perawatan di RS lainnya:

a. Pneumonia ringan yang bisa rawat jalan:


- Amoksisilin 50-80 mg/kg/hari per oral dibagi dalam 3 dosis, atau
- Amoksisilin+asam klavulanat 50 mg/kgbb peroral dibagi dalam 3 dosis
b. Pneumonia yang memerlukan rawat inap:
- Ampicilin sulbactam 200 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 4 dosis atau
- Ampicilin sulbactam 100 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 4 dosis

Pneumonia yang memerlukan rawat inap yang disertai penyakit penyerta yang menular
tanpa disertai sepsis (ISK, gastroenteritis, morbili)
Ampicilin sulbactam 100 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 4 dosis

Pneumonia yang memerlukan rawat inap yang disertai sepsis


Ampicilin sulbactam 200 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 4 dosis

Pilihan antibiotika untuk penderita pneumonia yang dirujuk dari RS lain adalah:
a. Pernah mendapatkan perawatan di RS lain kurang dari 72 jam
Ampicilin sulbactam 100 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 4 dosis
b. Pernah mendapatkan perawatan RS lain lebih dari 72 jam
- Cefotaxim 200 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 3 dosis, atau
- Ceftriaxon100 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 2 dosis, atau sesuai dengan
kultur dahak/darah yang ada, atau pertimbangan lain

21
DIVISI RESPIROLOGI

Pilihan antibiotika untuk penderita penumonia dengan penyakit penyerta yang tidak
menular (non-infectious) seperti kelainan jantung bawaan sianotik atau non sianotik,
kelainan hematologi, kelainan kongenital, dan sebagainya sesuai dengan poin1.
Pilihan antibiotika untuk penderita pneumonia yang diduga disebabkan oleh infeksi
kuman atipik (pneumonia atipik) dapat diberikan salah satu antibiotik di bawah ini:
- Spiramisin 50 mg/kgbb/hari dibagi 3 dosis (10-14 hari)
- Eritromisin 30-50 mg/kgbb/hari dibagi 3-4 dosis (10-14 hari)
- Azitromisin 10mg/kgbbsekali sehari (5 hari)
- Klaritromisin 15-30 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis (7-10 hari)
Rekomendasi UKK Respirologi
Antibiotik untuk community acquiredpneumonia:
 Neonatus - 2 bulan: Ampisilin + gentamisin
 > 2 bulan :
Lini pertama Ampisilin bila dalam 3 hari tidak ada perbaikan dapat ditambahkan
kloramfenikol
Lini kedua Seftriakson
Bila klinis membaik, antibiotik intravena dapat diganti preparat oral dengan antibiotik
golongan yang sama dengan antibiotik intravena sebelumnya.

Jenis obat dan dosis yang dapat digunakan untuk terapi pneumonia
Obat Dosis/kgBB/hari Cara Pemberian
Ampisilin 200 mg IM/IV, dibagi 4 kali pemberian
Amoksisilin 50-80 mg PO/IM/IV, dibagi 3-4 kali
Amoksisilin+Asam 30-75 mg pemberian
Klavulanat PO, dibagi 3-4 kali pemberian
Ampisilin Sulbactam 100 mg IV, dibagi 4 kali pemberian
Amikasin 15 mg IM/IV, 1kali sehari
Azitromisin 7,5-15 mg PO/IV, 1 kali sehari
Cefotaksim 50-100 mg IV, dibagi 3-4 kali pemberian
Ceftriaxon 50-100 mg IV, dibagi 1-2 kali pemberian
Ceftazidim 50-100 mg IV, dibagi 2-3 kali pemberian
Cefuroxim 25-50 mg IV, dibagi 3-4 kali pemberian
Cefixim 5 mg PO, dibagi 2 kali pemberian
Eritromisin 30-50 mg PO, dibagi 3-4 kali pemberian
Gentamisin 5-7 mg IM/IV, dibagi 1-2 kali pemberian
Klaritromisin 15-30 mg PO, dibagi 2 kali pemberian
Kloramphenikol 50-100 mg IV/PO, dibagi 3-4 kali pemberian
Kloksasilin 50 mg IM/IV, dibagi 4 kali pemberian
Kotrimoksazol 6 mg (TMP) PO, dibagi 2 kali pemberian
Meropenem 30-50mg IV, dibagi 3 kali pemberian
Spiramisin 50mg PO, dibagi 3 kali pemberian

22
DIVISI RESPIROLOGI

Prognosis
 Ad vitam : dubia ad bonam
 Ad sanationam : dubia ad bonam
 Ad fungsionam : dubia ad bonam

Kepustakaan
1. Mulholland Kim, Weber MW. Pneumonia in children. Pinter&Martin. 2016; p. 1-323
2. Sais M. Pneumonia. Dalam Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar
Respirologi Anak Edisi Pertama cetakan ke-empat. Badan Penerbit IDAI. 2015;350-365.
3. Soemyarso NA. Dkk. Modul Pembelajaran Ilmu Kesehatan Anak. Surabaya. 2014. Hal.
287-293
4. WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta. 2009. Hal 86-93.
5. Crawford SE, Daum RS. Bacterial Pneumonia, Lung Abscess and Empiema. Dalam;
Taussig LM, Landau LI. Souef PTNL, Morgan WJ, Martinez FD, Sly PD. Pediatric
Respiratory Medicine. Philadelphia; Elseviers: 2008. p.501-554
6. Alberta Medical Association. Guideline for the diagnosis and management of community
acquired pneumonia. Pediatric. 2001

23
DIVISI RESPIROLOGI

Influenza Pada Anak


K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Pengertian/Definisi
Infeksi saluran napas yang disebabkan virus

Anamnesis
Demam
Malaise
Coryza

Pemeriksaan Fisik
Sekret pada hidung dengan konkha hiperemis

Diagnosis
Influenza (J10.0)

Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis pasti influenza bergantung kepada isolasi virus dari sekresi saluran nafas
atau adanya kenaikan yang bermakna titer antibodi serum pada masa konvalesens.
Berbeda dengan adenovirus atau herpes simpleks dari saluran nafas, maka tidak ada
pengidap virus influenza, sehingga adanya virus dari isolasi sudah menunjukkan tanda
pasti adanya infeksi virus influenza. Antigen influenza dapat pula dideteksi secara cepat
dari sel epitel nasofaring dengan antibodi fluoresens yang spesifik.
Diagnostik serologik dapat pula dilakukan dengan teknik complement-fixation atau
hemagglutination-inhibition. Reagen uji komplemen fiksasi tersedia secara komersial, dan
banyak digunakan di laboratorium. Kekurangan dari uji dengan antibodi komplemen fiksasi
ialah karena waktu pemeriksaan yang lama, sampai 6 bulan. Pendekatan yang tampaknya
akan menunjukkan hasil yang baik adalah pengukuran antibodi terhadap hemaglutinin
influenza dengan menggunakan metode ELISA. Uji ini sederhana dan mempunyai
kelebihan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgA, IgM dan IgG.

Diagnosis kerja
Influenza (J10.0)

Terapi
 Pengobatan simtomatik merupakan pengobatan utama dalam tatalaksana. Pasien
perlu pula istirahat, hidrasi yang cukup, pengendalian demam dan nyeri otot dengan
pemberian asetaminofen serta mempertahankan kenyamanan bernafas dengan
pemberian dekongestan nasal.
 Perlu diperhatikan bahwa pemberian antibiotik sebagai tindakan pencegahan tidak
dianjurkan. Batuk kering yang menetap pada fase penyembuhan dapat dikurangi
dengan pemberian kodein atau dekstrometrofan.
 Vaksin influenza yang tersedia dalam bentuk in-activated (formalin-treated). Vaksin ini
diketemukan pertama kali pada tahun 1930, dan akhir-akhir ini mulai dikembangkan
produksi vaksin rekombinan, dengan tujuan mengurangi efek toksik vaksin. Efek
samping vaksin in-activated diantaranya demam, flulike symptoms dan rasa sakit

24
DIVISI RESPIROLOGI

pada daerah suntikan. Sindrom Guillain-Barre dapat muncul pada setiap 1 dari
100.000 kasus vaksinasi. Di antara vaksin influenza yang sedang diteliti, terdapat
cold-adapted reassortant influenza virus vaccines. Vaksin ini telah dibuktikan
memperlihatkan hasil yang baik untuk anak dan dewasa. Terlihatnya adanya
peningkatan respons antibodi baik humoral maupun selular, juga tidak tampak efek
samping yang berarti.

Tindak Lanjut
Penyulit diobati sesuai dengan penemuan klinis. Adanya infeksi bakteri ditandai
dengan adanya peningkatan suhu recudescence atau berulangnya demam pada waktu
pasien memasuki masa awal penyembuhan dini. Sebaiknya segera diambil biakan darah
dan pengobatan antibiotik disesuaikan dengan hasil pewarnaan Gram. Penyebab infeksi
terbanyak biasanya Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae dan
Streptococcus pyogenes, maka ampisilin atau amoksisilin biasanya dapat mengatasi
masalah ini. Penyebab lain yang dapat menyebabkan gambaran klinis berat seperti
pneumonia, seringkali disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau bakteri patogen
Gram-negatif.

Prognosis
Pada kasus influenza tanpa penyulit, maka prognosisnya sangat baik. Prognosis
menjadi kurang baik apabila terjadi penyulit yang menyerang saluran pernafasan.

Kepustakaan
1. Glezen WP. Infuenza viruses. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, Demmler GJ, Kaplan SL,
penyunting. Textbook of pediatric infectious diseases. Edisi ke-15. Philadelphia: WB
Saunders; 2004. h. 2252-69.
2. Infuenza. Red book 2006: report of the commitee on infectious diseases. Elk Grove
Village: American Academy of Pediatrics; 2006. h. 401-11.
3. Burroughs M, Horga MA, Murrell MT, Moscona A. Infuenza and influenza syndromes.
Respiratory infections. Dalam: Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL, penyunting. Krugman’s
Infectious Diseases of Children. Edisi ke-11. Philadelphia: Mosby; 2004. h. 504-10.
4. Satari HI. Influenza. Dalam: Soedarmo SP, Garna H, Hadinegoro SR. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi I. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2002. h. 270-280.
5. Wright P. Influenza Viral Infection. Dalam: Behrman RE, Vaughan III VC, Nelson WE,
penyunting. Textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders; 2006. h.
901-3.

25
DIVISI RESPIROLOGI

AVIAN INFLUENZA PADA ANAK


K.H Yangtjik, Fifi Sofia, Azwar Aruf

Definisi
Avian influenza merupakan penyakit infeksi akibat virus influenza tipe A yang biasa
mengenai unggas, terdiri dari 3 tipe yaitu A, B, dan C.

Anamnesis
Masa inkubasi avian influenza sangat pendek yaitu 3 hari, dengan rentang 2-4 hari.
Manifestasi klinis avian influenza pada manusia terutama terjadi di sistem respiratori mulai
dari yang ringan sampai berat. Manifestasi klinis avian influenza secara umum sama
dengan gejala Influenza Like Illness yaitu batuk, pilek, dan demam, sehingga sulit
membedakan dengan selesma non avian influenza. Demam biasanya cukup tinggi yaitu
>38oC. Gejala lain berupa sefalgia, nyeri tenggorokan, mialgia dan malaise.
Adapula keluhan gastro-intestinal berupa diare dan keluhan lain berupa
konjungtivitis. Spektrum klinis bisa sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik, selesma
ringan hingga berat, pneumonia dan banyak yang berakhir dengan ARDS (acute respiratory
distress syndrome).

Diagnosis
Avian Influenza (J11.0)

Pemeriksaan Penunjang
Untuk memastikan diagnosis avian influenza dapat dilakukan dengan biakan virus
avian influenza. Pemeriksaan lain yang definitif adalah pemeriksaan polymerase chain
reaction (PCR). Pemeriksaan lain berupa imunofluoresen menggunakan H5N1 antibodi
monoklonal, serta uji serologi menggunakan cara ELISA dan IFAT untuk mendeteksi
antibodi spesifik.

Terapi
Beberapa obat antiviral dilaporkan efektif untuk virus avian influenza ini seperti
ribavirin, amantadine, rimantadine, zanamivir, dan oseltamivir. Namun resistensi juga
dilaporkan cepat terjadi terhadap berbagai obat antiviral tersebut kecuali terhadap obat
penghambat neuraminidase yaitu oseltamivir dan zanamivir. Zanamivir diberikan secara
inhalasi, sedangkan oseltamivir diberikan secara oral. Saat ini antiviral yang
direkomendasikan penggunaannya untuk avian influenza adalah oseltamivir. Menurut
American Academy of Pediatrics, oseltamivir sebagai terapi dapat diberikan kepada anak
umur 1 tahun ke atas. Dosis untuk terapi adalah 2mg/kgBB/kali, diberikan dua kali sehari
selama 5 hari. Sedangkan untuk profilaksis diberikan pada anak 12 tahun ke atas, diberikan
sekali sehari selama 7 hari.

Tindak Lanjut
Untuk kasus yang berat berupa pneumonia pasien perlu perawatan di rumah sakit
dan tatalaksana pneumonia pada umumnya. Jika perjalanan penyakit terus progresif pasien
memerlukan perawatan ICU, walaupun tidak menjamin kesembuhannya. Yang perlu
menjadi perhatian adalah bila suatu kasus dicurigai sebagai avian influenza maka sejak
awal tindakan pencegahan penyebaran infeksi harus dilakukan sesuai universal

26
DIVISI RESPIROLOGI

precautions standard. Hal ini berlanjut selama perawatan, saat pemulangan pasien yang
selamat, ataupun penanganan jenazah pasien yang meninggal karena avian influenza.
Alur deteksi pasien avian influenza

Gejala PSI (Penyakit serupa Influenza) : Risiko tinggi (Risti) : riwayat kontak dalam 7 hari
● Demam >38oC, Disertai dengan
● Gejala respiratorik: batuk, pilek, nyeri ● Unggas yang sakit atau mati karena sakit
● Unggas ternak/ kebun binatang yang terkena flu
tenggorokan, dengan atau tanpa sesak
burung
napas. ● Pasien confirmed flu burung
● Gejala sistemik infeksi virus : sefalgia, ● Pasien pneumonia suspect flu burung
mialgia, diare ● Spesimen lab flu burung (petugas lab, pengantar)

Gejala PSI (+) 1)

Sesak (+) atau Risti (+) 1) Sesak (-) dan Risti (-) 1)

Pemr foto toraks 2) dan Pemr darah tepi 3)


pemr darah tepi 3)

Lab (-) Lab (+)


Ro (+) Ro (-) Ro (-)
Ro (+)
Lab (+) Lab (+) Lab (+)
Lab (-)
Rawat ruang “isolasi”

Rawat di Rs Rawat
Rawat Rujukan AI 4) Sesak (-) 7 hr Sesak (+)
Ruang
Ruang
Isolasi 4)
isolasi
Ro/Lab Sesak (+) Ro (-) Rawat Jalan
Darah atau
Menjadi (+)
Tepi 4) KIE saat pulang 5)
harian
Foto toraks

Catatan :
1. Jika menggunakan kriteria WHO, maka pasien dalam kontak awal (Gejala PSI+)
merupakan Kasus investigasi. Pada pasien dengan Gejala PSI (+) disertai dengan Risti
(+) trmasuk suspek. Untuk pasien dengan riwayat kontak tidak jelas dan tanpa sesak
tetap dimasukkan dalam alur. Status kasus probabel atau konfirmasi hanya bisa
diketahui setelah ada hasil laboratorium spesifik flu burung.
2. Kelainan radiologis toraks pada flu burung sangat nyata, tapi tidak spesifik (bisa sangat
bervariasi).
3. Dalam skrining awal, cukup dilakukan pemeriksaan darah tepi rutin. Hasil laboratorium
mengarah kepada avian influenza bila ditemukan lekopeni, dengan atau tanpa limfopeni
dan trombopeni. Batas lekopeni <3000 didasarkan pada laporan 10 kasus di Vietnam, 8
di antaranya anak. Nilai lekosit tertinggi 3200/uL, lainnya di bawah 3000/uL, dengan

27
DIVISI RESPIROLOGI

nilai terendah 1200/uL. Bila ada data yang lebih valid nilai batasini dapat disesuaikan.
Batas limfopeni dan trombopeni disesuaikan dengan nilai masing-masing laboratorium.
4. Jika data darah tepi mengarah ke avian influenza, ambil spesimen untuk flu burung
dikirim ke laboratorium Badan Litbag Kesehatan. (Lihat lampiran 2). Pemeriksaan awal
dilakukan dan diulang setiap hari selama 3 hari berturut untuk PCR dan setelah 7 hari
untuk EIA.
5. KIE untuk pasien saat pulang, diajarkan etika batuk dan pesan agar segera ke RS bila
timbul sesak.

Kepustakaan
1. Wright P. Influenza Viruses. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders 2007. h. 1384-87.

28
DIVISI RESPIROLOGI

ASMA BRONKIAL PADA ANAK


K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Pengertian/Definisi
Asma adalah penyakit saluran respiratori kronis dengan dasar inflamasi kronis yang
mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat bervariasi.

Anamnesis
1. Keluhan wheezing dan atau batuk berulang
2. Sesak napas
3. Rasa dada tertekan
4. Produksi sputum
5. Chronic recurrent cough (batuk kronik berulang, BKB)
Karakteristik yang mengarah ke asma adalah:
 Gejala timbul secara episodik atau berulang
 Timbul bila ada faktor pencetus
o Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin, udara
kering, makanan minuman dingin, penyedap rasa, pengawet makanan, pewarna
makanan.
o Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.
o Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold, rinofaringitis
o Aktifitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.
 Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya
 Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24
jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal).
 Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan pemberian
obat pereda asma.
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Asma:

Gejala Karakteristik
Wheezing, batuk,  Biasanya lebih dari 1 gejala respiratori
sesak napas, dada  Gejala berfluktuasi intensitasnya seiring waktu
tertekan, produksi  Gejala memberat pada malam atau dini hari
sputum  Gejala timbul bila ada pencetus

29
DIVISI RESPIROLOGI

Pemeriksaan Fisis
1. Dalam keadaan stabil tanpa gejala, tidak ditemukan kelainan.
2. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak, dapat terdengar wheezing, baik
yang langsung (audible wheeze) atau yang terdengar dengan stetoskop.
Selain itu, perlu dicari gejala alergi lain pada pasien seperti dermatitis atopi atau rinitis
alergi, dan dapat pula dijumpai tanda alergi seperti allergic shiners atau geographic
tongue.

Diagnosis
Asma bronkhial ( J45.9)

Diagnosis Banding

Inflamasi: infeksi, alergi

 Rinitis, rinosinusitis
 Chronic upper airway cough syndrome
 Infeksi respiratori berulang
 Bronkiolitis
 Aspirasi berulang
 Defisiensi imun
 Tuberkulosis

Obstruksi Mekanis

 Laringomalasia, trakeomalasia
 Hipertrofi timus
 Pembesaran kelenjar getah bening
 Aspirasi benda asing
 Vascular ring, laryngeal web
 Disfungsi pita suara
 Malformasi congenital saluran respiratori

Patologi bronkus

 Displasia bronkopulmonal
 Bronkiektasis
 Diskinesia silia primer
 Fibrosis kistik

Kelainan sistim organ lain


 Penyakit refluks gastro-esofagus (GERD)
 Penyakit jantung bawaan
 Gangguan neuromuscular
 Batuk psikogen

30
DIVISI RESPIROLOGI

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan fungsi paru (spirometri atau peak flow meter) sekaligus uji reversibilitas
dan untuk menilai variabilitas.
2. Pemeriksaan IgE dan eosinofil total
3. Ro Toraks
4. Ro Sinus paranasal (pada anak >5tahun dengan asma persisten atau sulit diatasi)
5. Uji tuberculin

Konfirmasi adanya limitasi aliran udara ekspirasi


Gambaran obstruksi FEV1 rendah (<80% nilai prediksi)
saluran respiratori
FEV1/ FVC ≤ 90%
Uji reversibilitas Peningkatan FEV1 > 12%
(pasca bronkodilator)
Variabilitas Perbedaan PEFR harian > 13%
Uji provokasi Penurunan FEV1 > 20%, atau PEFR > 15%

Terapi

Tatalaksana jangka panjang


1. Mencari dan menghindari faktor pencetus, untuk itu diperlukan kerjasama dengan orang
tua penderita.
2. Mencegah serangan asma dengan pemberian obat untuk mempertahankan sel-sel
mediator tidak pecah.
3. Medikamentosa
a. Reliver short acting,antikolinergik, teofilin short acting,
aminofilin dan adrenalin
b. Controller long acting, steroid inhalasi/oral. Antileukotrien,
teofilin sustained release, dan sodium kromoglikat.

31
DIVISI RESPIROLOGI

Obat pengendali asma

1. Steroid inhalasi
Dosis berbagai preparat steroid inhalasi

2. Agonis beta 2 kerja panjang (LABA : long acting β2 agonist) : formoterol


3. Antileukotrin : montelukast, pranlukast, zafirlukast
4. Teofilin lepas lambat
5. Anti IgE : Omalizumab

32
DIVISI RESPIROLOGI

Penentuan derajat kendali

A. Penilaian Klinis (Dalam 6-8 minggu)

Terkendali dengan/tanpa
Terkendali
Manifestasi obat pengendali sebagian Tidak
Klinis terkendali
(Bila semua kriteria (Min. satu)
terpenuhi)

Tidak pernah (< 2


Gejala Siang Hari > 2 kali/minggu
kali/minggu)

Aktivitas Tidak ada Ada Tiga atau


Terbatas lebih kriteria -
Gejala Malam terkendali
Tidak ada Ada sebagian*†
Hari

Pemakaian Tidak ada (< 2 kali/minggu)


> 2 kali/minggu
Pereda

B. Penilaian risiko perjalanan asma (risiko eksaserbasi, ketidakstabilan,


penurunan fungsi paru, efek samping)

Asma yang tidak terkendali, sering eksaserbasi , pernah masuk ICU karena asma, FEV1
yang rendah, paparan terhadap asap rokok, mendapat pengobatan dosis tinggi

Jenjang Kendali Asma

33
DIVISI RESPIROLOGI

• Keterangan gambar: ICS (inhaled corticosteroids, steroid inhalasi); LTRA


(Leukotriene Receptor Antagonist); SABA (short acting beta agonist, β2-agonis
kerja pendek); LABA (long acting beta agonist, β2-agonis kerja panjang)
Asma serangan
Serangan asma dengan
Asma serangan berat
ancaman henti napas
ringan-sedang

Bicara dalam kalimat Bicara dalam kata Mengantuk


Lebih senang duduk Duduk bertopang lengan Letargi
daripada berbaring Gelisah Suara napas tak terdengar
Tidak gelisah Frekuensi napas
Frekuensi napas meningkat
meningkat Frekuensi nadi meningkat
Frekuensi nadi Retraksi jelas
meningkat SpO2 (udara kamar) < 90%
Retraksi minimal PEF < 50% prediksi atau
SpO2 (udara kamar): terbaik
90 – 95%
PEF > 50% prediksi
atau terbaik

Tatalaksana serangan asma di Rumah Sakit / IGD

Serangan Asma Ringan Sedang


Tindakan awal diberi pasien diberikan agonis B2 kerja pendek lewat nebulisasi atau
MDI dengan spacer, yang dapat diulang hingga 2 kali dalam 1 jam, dengan pertimbangan
untuk menambahkan ipatoprium bromida pada nebulisasi ketiga. Pasien diobservasi, jika
baik dapat dipulangkan.
Pasien dibekali dengan obat agonis B2 (hirupan atau oral) yang diberikan 4-6 jam.
Inhalasi bronkodilator diberikan dalam bentuk MDI dengan spacer atau nebulisasi yang
sama keefektifannya. Penambahan ipatoprium bromida selain agonis B2 dapat diberikan
apabila pasien dapat diedukasi untuk menggunakan kombinasi tersebut pada serangan
yang lebih berat. Pada serangan asma tingan sedang diberikan steroid sistemik (oral)
berupa prednison atau prednisolon dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari selama 3-5 hari, tanpa
tappering off, maksimal pemberian 1 kali dalam 1 bulan. Pemberian steroid ini harus
dilakukan dengan cermat untuk mencegah pengulangan lebih dari 1 kali per bulan pada saat
penulisan resep tambahkan keterangan “do not iter”. Pasien kemudian dianjurkan untuk
kontrol ke klinik rawat jalan dalam waktu 3-5 hari direevaluasi tata laksananya. Selain itu jika
sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat pengendali dilanjutkan.

Serangan Asma Berat


Pasien dengan gejala dan tanda klinis yang memenuhi kriteria serangan asma berat
harus dirawat diruang rawat inap. Nebulisasi yang diberikan pertama kali adalah agonis B2
dengan penambahan ipatoprium bromida. Oksigen 2-4 liter per menit diberikan sejak awal
termasuk pada saat nebulisasi. Pasang jalur parenteral pada pasien dan lakukan
pemeriksaan rongent toraks. Steroid sebaiknya diberikan secara parenteral.

34
DIVISI RESPIROLOGI

Apabila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien harus
langsung dirawat diruang intensif. Pemeriksaan rontgen toraks dilakukan untuk mendeteksi
adanya komplikasi pneumotoraks dan/ atau pneumomediastinum.

Takaran Obat, Cairan, dan Waktu untuk Nebulisasi

Cairan, obat, waktu Nebulisasi jet Nebulisasi


ultrasonik
Garam faali (NaCl 0,9%) 5 ml 10 ml
Β Agonis/antikolinergik/steroid Lihat tabel 2
Waktu 10-15 menit 3-5 menit

Obat untuk nebulisasi, jenis dan dosis

Nama generik Sediaan Dosis Nebulisasi


Golongan β-agonis
Fenoterol Solution 0,1% 5-10 tetes
Salbutamol Nebule 2,5 mg 1 nebule (0,1-0,15
mg/kg)
Terbutalin Respule 2,5 mg 1 respule
Golongan antikolinergik
Ipratropium bromide Solution 0,025% > 6 tahun : 8-20
tetes
≤ 6 tahun: 4-10 tetes
Golongan steroid
Budesonide Respule
Fluticasone Nebule

Sediaan steroid yang dapat digunakan untuk serangan asma:

Steroid oral:

Nama generik Sediaan Dosis


Metil Prednisolon Tablet 4 mg, 8 mg 1-2 mg/kgbb/hari –tiap 6 jam
Prednison Tablet 5 mg 1-2 mg/kgbb/hari –tiap 6 jam
Triamnisolon 4 mg 1-2 mg/kgbb/hari –tiap 6 jam

35
DIVISI RESPIROLOGI

Steroid injeksi:

Nama generik Sediaan Jalur Dosis


Methylprednisol Vial 125 mg Iv/im 1-2 mg/kgbb/hari –tiap 6 jam
on suksinat
Vial 500 mg
Hidrokortison Vial 100 mg Iv/im 4 mg/kgbb/6 jam
suksinat
Deksametason Ampul 5 mg Iv/im 0,5-1 mg/kgbb-bolus, dilanjutkan1
mg/kgbb/hari diberikan tiap 6-8 jam
Betametason Ampul 4 mg Iv/im 0,05-0,1 mg/kgBB tiap 6 jam

Edukasi
Menghindari pencetus

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

Kepustakaan

1. Yuhei H, Kohno Y, Ebisawa M, Kondo N, Nishima S, Nishimuta T, dkk. Japanese


guideline for childhood asthma. Allergol Int. 2014; 63: 335-56
2. UKK Respirologi IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2015.
3. Kartasasmita CB dkk. Asma Bronkial. Dalam: Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi ke-1.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008; h.71-161.
4. Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia/IDAI. Modul Program Pendidikan Dokter
Spesialis Ilmu Kesehatan Anak. 2008.
5. Supriyatno B, dkk. Asma Bronkial. Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.
Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;

36
DIVISI RESPIROLOGI

TUBERKULOSIS
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Definisi
Tuberkulosis ialah penyakit menular langsung disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya.
Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga
terbentuknya kompleks primer, bervariasi selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung 4-8
minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah
103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respon imunitas selular.

Anamnesis
Gejala klinis TB anak dapat berupa gejala sistemik/umum atau sesuai organ terkait.
Gejala umum TB pada anak yang sering dijumpai adalah batuk persisten, berat badan turun
atau gagal tumbuh, demam lama serta lesu dan tidak aktif. Gejala-gejala tersebut sering
dianggap tidak khas karena dijumpai pada penyakit lain. Namun demikian, sebenarnya
gejala TB bersifat khas, yaitu menetap (lebih dari 2 minggu) walaupun sudah diberikan
terapi yang adekuat.

Gejala sistemik/umum

a. Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi gagal
tumbuh (failure to thrive) meskipun telah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik
dalam waktu 1-2 bulan.
b. Demam lama (≥ 2minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas ( bukan
demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain), Demam umumnya tidak
tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila
tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
c. Batuk lama (≥ 2minggu), batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau
intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat
disingkirkan. Batuk tidak membaik dengan pemberian antibiotika atau obat asma
(sesuai indikasi).
d. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.

Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan terapi yang adekuat.

Pemeriksaan Fisis

Gejala spesifik terkait organ

a. Tuberkulosis kelenjar
1) Biasanya didaerah leher (regio colli)
2) Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) tidaknyeri, konsistensi kenyal,
multipledan kadang saling melekat (konfluens)

37
DIVISI RESPIROLOGI

3) Ukuran besar (lebih dari 2x2 cm), biasanya pembesaraan KGB terlihat jelas
bukan hanya teraba
4) Tidak berespon terhadap pemberian antibiotika
5) Bisa berbentuk rongga dan discharge
b. Tuberkulosis sistem saraf pusat
1) Meningitis TB : gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat
keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
2) Tuberkuloma otak : gejala-gejala adanya lesi desak ruang
c. Tuberkulosis sistem skeletal
1) Tulang belakang (spondilitis) : penonjolan tulang belakang (gibbus).
2) Tulang panggul (koksitis) : Pincang, gangguan berjalan, atau tanda
peradangan didaerah panggul.
3) Tulang lutut (gonitis) : Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang
jelas
4) Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis)
d. Tuberkulosis mata
1) Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis)
2) Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi)
e. Tuberkulosis kulit (skrufuloderma)
Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin brigde)
f. Tuberkulosis organ organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal, dicurigai bila
ditemukan gejala gangguan pada organ organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan
disertai kecurigaan adanya infeksi TB.

Diagnosis
Tuberkulosis paru (A15.0)

Diagnosis Banding
Pneumonia

Secara umum penegakan diagnosis TB anak didasarkan pada 4 hal:

1. Konfirmasi bakteriologis TB
2. Gejala klinis yang khas TB
3. Adanya bukti infeksi TB (hasil uji tuberkulin positif atau kontak erat dengan pasien
TB)
4. Gambaran foto toraks sugestif TB

38
DIVISI RESPIROLOGI

Gambar 1. Alur Diagnosis Tb Paru Anak

Anak dengan satu atau lebih gejala khas Tb :

Batuk ≥2 minggu
Demam ≥ 2 minggu
BB turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya
Malaise ≥ 2 minggu
Gejala –gejala tersebut menetap walau sudah diberi terapi yang adekuat

Pemeriksaan mikroskopis / Tes Cepat


Molekuler (TCM) TB

Positif Negatif Spesimen tidak


didapat

Ada akses foto rontgen thoraks Tida ada akses foto rontgen
dan atau uji tuberkulin *) thoraks dan atau uji tuberkulin

Skor ≥ 6 Skor < 6

Uji tuberculin (+) dan atau Uji tuberculin (-) dan


ada kontak TB Paru **) tidak ada kontak TB
Paru **)

TB Anak Tidak Ada


Terkonfirmas TB Anak Ada kontak TB atau tidak
i Klinis Paru**) jelas kontak
Bakteriologis Pasien TB
paru**)

Observasi gejala selama 2 minggu


Terapi OAT***)

Menghilang
Menetap
Bukan TB

39
DIVISI RESPIROLOGI

Keterangan :
*) Dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan sputum
**) Kontak TB Paru dewasa dan kontak TB Paru Anak terkonfirmasi bakteri
***) Evaluasi respon pengobatan. Jika tida ada respon dengan pengobatan adekuat,
evaluasi ulang diagnosis
TB dan adanya komorbitas atau rujuk
Pemeriksaan untuk diagnosis TB anak meliputi :

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis dengan pemeriksaan sputum pada anak, cara mendapatkan
sputum pada anak:
a. Berdahak
Pada anak lebih dari 5 tahun biasanya sudah dapat mengeluarkan sputum/dahak
secara langsung dengan berdahak.
b. Bilas lambung
Bilas lambung dengan NGT (nasogastric tube) dapat dilakukan pada anak yang
tidak dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen dikumpulkan minimal 2 hari
berturut turut pada pagi hari.
c. Induksi sputum
d. Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua umur,
dengan hasil yang lebih baikdari aspirasi lambung , terutama apabila menggunakan
lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan
pelatihan dan peralatan yang memadai untuk melakukan metode ini.

Pemeriksaan bakteriologis yang dilakukan meliputi:

a. Pemeriksaan mikroskopis BTA sputum atau spesimen lain (cairan tubuh atau
jaringan biopsi)
Pemeriksaan BTA sputum sebaiknya dilakukan minimal 2 kali yaitu sewaktu dan
pagi hari
b. Tes cepat molekuler (TCM) TB
1) Pemeriksaan dengan mengidentifikasi kuman Mycobacterium tuberculosis
dalam waktu cepat (kurang lebih 2 jam), antara lain pemeriksaan Line Probe
Assay (misalnya Hain Genotype) dan NAAT = Nucleic Acid Amplification Test)
misalnya Xpert MTB/RIF).
2) Pemeriksaan TCM dapat digunakan untuk mendeteksi kuman Mycobacterium
tuberculosis secara molekular sekaligus menentukan ada tidaknya rersistensi
terhadap Rifampicin. Pemeriksaan TCM mempunyai nilai diagnostik yang lebih
baik dari pada pemeriksaan mikroskopis sputum, tetapi masih dibawah uji
biakan. Hasil negative TCM tidak menyingkirkan diagnosis TB.

40
DIVISI RESPIROLOGI

c. Pemeriksaan biakan
Baku emas adalah menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium
tuberculosis pada pemeriksaan biakan (dari sputum, bilas lambung, cairan
serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan). Pemeriksaan biakan sputum
dan uji kepekaan obat dilakukan jika fasilitas tersedia. Jenis media untuk
pemeriksaan biakan yaitu :
1) Media padat : hasil biakan dapat diketahui 4-8 minggu
2) Media cair : hasil biakan bisa diketahui lebih cepat (1-2 minggu), tetapi lebih
mahal
2. Pemeriksaan penunjang lainnya
a. Uji tuberkulin (Mantoux)
b. Foto toraks
Tidak khas kecuali TB milier. Secara umum, gambaran TB milier adalah sebagai
berikut :
1. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/ tanpa infiltrat
2. Konsolidasi segmental/lobar
3. Efusi pleura
4. Milier
5. Atelektasis
6. Kavitas
7. Kalsifikasi dengan infiltrate
8. Tubekuloma
c. Pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi)
Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis
perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia Langhans
dan atau kuman TB.

Diagnosis paling tepat dengan ditemukan basil TB dari bahan yang diambil dari penderita
misalnya sputum, bilasan lambung, biopsi dan lain-lain.
Diperlukan kombinasi antara gambaran klinis dan pemeriksaan yang relevan untuk
menegakkan tuberkulosis.

41
DIVISI RESPIROLOGI

Diagnosis TB anak berdasarkan sistem skoring:


Digunakan untuk menegakkan diagnosis TB pada sarana kesehatan yang terbatas.
Penilaian dan pembobotan didasarkan pada ketentuan sebagai berikut :
Parameter 0 1 2 3 Skor

Tidak jelas - Laporan keluarga, BTA (+)


Kontak TB BTA (-) / BTA tidak
jelas/ tidak tahu
Negatif - - Positif (≥10 mm
Uji tuberkulin
atau ≥5 mm pada
(Mantoux)
imunokompromais)
- BB/TB<90% Klinis gizi buruk -
Berat Badan/
atau atau BB/TB<70%
Keadaan Gizi
BB/U<80% atau BB/U<60%
Demam yang - ≥2 minggu - -
tidak diketahui
penyebabnya
Batuk kronik - ≥2 minggu - -
Pembesaran - ≥1 cm, lebih - -
kelenjar limfe dari 1
kolli, aksila, KGB, tidak
inguinal nyeri
Pembengkaka - Ada - -
n tulang/sendi pembengkaka
panggul, lutut, n
falang
Normal/ Gambaran - -
kelainan tidak sugestif
Foto toraks
jelas (mendukung)
TB
Skor Total

Parameter sistem skoring :

1. Kontak dengan pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti tertulis hasil
laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh dari TB 01 atau dari hasil
laboratorium
2. Penentuan status gizi :
a. Berat badan dan panjang/tinggi badan dinilai saat pasien datang (moment
opname)
b. Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi untuk anak
usia ≤ 6 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes 2016, sedangkan untuk anak
usia > 6 tahun merujuk pada Standar WHO 2005 yaitu grafik IMT/U
c. Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1-2 bulan

42
DIVISI RESPIROLOGI

Terapi

A. Obat yang digunakan pada TB anak


Anak umumnya memiliki jumlah kuman yang lebih sedikit (pausibasiler) sehingga
rekomendasi pemberian 4 macam OAT pada fase intensif hanya diberikan kepada anak
dengan BTA positif, TB berat dan TB dewasa. Terapi TB pada anak dengan BTA
negative menggunakan panduan INH, Rifampisin, dan Pirazinamid pada fase inisial (2
bulan pertama) diikuti Rifampisin dan INH pada 4 bulan fase lanjutan.

Obat antituberkulosis
Nama Obat Dosis harian Dosis maksimal Efek samping
(mg/kgBB/ hari) (mg/hari) /hari)
Isoniazid (H) 10 (7-15) 300 Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitis
Rifampisin (R) 15 (10-20) 600 Gangguan gastrointestinal,
reaksi kulit, hepatitis,
trombositopenia,
peningkatan enzim hati,
cairan tubuh berwarna
oranye kemerahan
Pirazinamid (Z) 35 (30-40) 2000 Toksisitas hepar, artralgia,
gangguan gastrointestinal
Etambutol (E) 20 (15–25) 1250 Neuritis optik, ketajaman
mata berkurang, buta warna
merah hijau,
hipersensitivitas,
gastrointestinal
Streptomisin (S) 15 – 40 1000 Ototoksik, nefrotoksik

Panduan OAT dan lama pengobatan TB pada anak


Kategori Diagnotik Fase Intensif Fase Lanjutan
TB Klinis 2HRZ 4HR
TB Kelenjar
Efusi pleura TB
TB terkonfirmasi Bakteriologis 2HRZE 4HR
TB paru dengan kerusakan luas
TB ekstraparu (selain TB meningitis
dan TB tulang/sendi)
TB tulang /sendi 2HRZE 10HR
TB milier
TB meningitis

43
DIVISI RESPIROLOGI

B. Kombinasi dosis tetap (KDT) dan Fixed Dose Combination (FDC)


Untuk mempermudah pemberian OAT dan meningkatkan keteraturan minum obat,
panduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/FDC. Satu paket dibuat untuk satu
pasien untuk satu masa pengobatan, Paket KDT untuk anak berisi obat fas e intensif,
yaitu Rifampisisn (R) 75 mg, INH (H) 50 mg, Pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase
lanjutan, yaitu R 75 dan H 50 mg dalam satu paket.Dosis yang dianjurka dapat dilihat
pada tabel berikut.

Cara Pemberian:
Berat Badan (kg) Fase Intensif RHZ Fase Lanjutan RH
Dosis sekali minum/hari Dosis sekali minum/hari
selama 2 bulan selama 4 bulan
5–7 1 tablet 1 tablet
8 – 11 2 tablet 2 tablet
12 – 16 3 tablet 3 tablet
17 – 22 4 tablet 4 tablet
23 – 30 5 tablet 5 tablet
> 30 OAT dewasa

Keterangan :
R : Rifampisin, H: Isoniazid, Z : Porazinamid

1) Bayi dibawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk KDT dan
sebaiknya dirujuk ke RS
2) Apila ada kenaikan BB maka dosis atau numlah tablet yang diberikan disesuaikan
dengan berat badan saat itu
3) Untuk anak dengan obesitas, dosis KDT berdasarkan Berat Badan Ideal (sesuai
umur).
4) OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah dan digerus)
5) Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau
dimasukkan air dalam sendik (dipersible)
6) Obat diberikan pada saar perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan
7) Bila INH dikombinasi dengan Rifampisin, dosis INH tidak boleh melebihi 10
mg/KgBB/hari
8) Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh
digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer.

1. Kortikosteroid diberikan pada kondisi :


a. TB meningitis
b. Sumbatan jalan napas akibat TB kelenjar (endobronkhial TB)
c. Perikarditis TB
d. TB milier dengan gangguan napas yang berat
e. Efusi pleura TB

44
DIVISI RESPIROLOGI

f. TB abdomen dengan asites.

Obat yang sering digunakan adalah prednison dengan dosis 2 mg/kgBB/hari,


sampai 4 mg/kgBB/hari pada kasus sakit berat, dengan dosis maksimal 60
mg/hari selama 4 minggu. Tappering-off dilakukan secara bertahap setelah 2
minggu pemberian kecuali pada TB meningitis pemberian selama 4 minggu
sebelum tappering-off.

2. Piridoksin
Isoniazid dapat menyebabkan defisiensi piridoksin simptomatik, terutama pada anak
dengan malnutrisi berat dan anak dengan HIV yang mendapatkan anti retroviral
therapy (ART). Suplementasi piridoksin (5-10 mg/hari) direkomendasikan pada HIV
positif dan malnutrisi berat.

C. Nutrisi
Status gizi pada anak dengan TB akan mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB>
Malnutrisi berat meningkatkan resiko kematian pada anak dengan TB. Penilaian status
gizi harus dilakukan secara rutin selama anak dalam pengobatan.

D. Pemantauan dan hasil evaluasi TB anak


1. Pemantauan pengobatan pasien TB anak
Pasien TB anak harus dipastikan minum ibat setiap hari secara teratur oleh
Pengawas Menelan Obat (PMO). Orang tua merupakan PMO terbaik untuk anak.
Dipantau setiap 2 minggu selama fase intensif san sekali sebulan pada fase
lanjutan.
Pada pasien TB anak dengan hasil BTA positif pada awal pengobatan, pemantaan
pengobatan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang pada akhir
bulan ke-2, ke-5 dan ke-6.
Perbaikan radiologis akan terlihat dalam jangka waktu yang lama sehingga tiidak
perlu dilakukan foto toraks untuk pemantauan pengobatan kecuali pada TB milier
setelah 1 bulan pengobatan dan efusi pleura setelah pengobatan 2-4minggu.
2. Hasil Akhir pengobatan pasien TB Anak

45
DIVISI RESPIROLOGI

Hasil pengobatan TB anak:


Hasil pengobatan Definisi
Sembuh Pasien TB anak yang hasil pemeriksaan
bakteriologisnya positif pada awal pengobatan dan
telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap
dan pemeriksaan bakteriologis hasilnya negatif pada
AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya
Pengobatan Lengkap Pasien TB anak yang telah menyelesaikan
pengobatannya secara lengkap tetapi tidak ada hasil
pemeriksaan bakteriologis ulang pada AP dan pada
satu pemeriksaan sebelumnya.
Gagal Pasien TB anak yang hasil pemeriksaan
bakteriologis positif pada bulan kelima atau lebih
selama pengobatan. Selain itu juga pasien yang
diketahui menjadi pasien TB MDR selama
pengobatan, baik dengan hasil BTA positif atau
negatif.
Meninggal Pasien TB anak yang meninggal dalam masa
pengobatan karena sebab apapun.
Putus berobat (loss to follow up) Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-
turut atau lebih sebelum masa pengobatannya
selesai.
Tidak ada hasil evaluasi Pasien TB yang hasil akhir pengobatan tidak
diketahui. Termasuk dalam kriteria ini adalah
”pasien pindah (transfer out)” ke fasyankes lain

Tindak Lanjut
Profilaksis terutama balita:
1. Kontak (+) dengan penderita TBC terbuka, lain-lain (-) Isoniazid 5-10 mg/kgbb,
evaluasi selama 6 bulan
2. Mantoux (+), kontak (-), lain-lain (-)  isoniazid 5-10 mg/kgbb selama 6 bulan
3. Pernah menderita TBC aktif  sembuh
a. Menderita infeksi berat (morbili, pertusis)  isoniazid 5-10 mg/kgbb selama 4
bulan
b. Mendapat imunosupresif > 7 hari  isoniazid 5-10 mg/kgbb sampai
pengobatan selesai
c. Imunisasi penyakit asal virus: isoniazid 5-10 mg/kgbb selama 1 bulan
Pasien dengan keluhan neuritis perifer (misalnya: kesemutan) dan asupan piridoksin
(vitamin B6) dari bahan makanan tidak tercukupi, dapat diberikan vitamin B6 10 mg tiap 100
mg INH.

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

46
DIVISI RESPIROLOGI

Kepustakaan
1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.Petunjuk Teknis Manajemen TB anak. 2016.
2. Kartasasmita CB, Basir D. Tuberkulosis. Dalam Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto
DB. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama cetakan ke-empat. Badan Penerbit IDAI.
2015; 162-267.
3. Rapid Advice: Treatment of Tuberculosis in Children. WHO; 2010.
4. UKK Respirologi IDAI. Pedoman Nasional Tata Laksana Tuberkulosis Anak. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2008.
5. Kartasasmita CB, dkk. Tuberkulosis. Dalam: Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi ke-1.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008; h.162-267.
6. Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia/IDAI. Modul Program Pendidikan Dokter
Spesialis Ilmu Kesehatan Anak. 2008.
7. Shingadia D, Burgner D. Mycobacterial Infections. Dalam: Pediatric Respiratory
Medicine. 2nd Edition. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008; h.597-614.
8. Mandalakas AM, Starke JR. Tuberculosis and nontuberculous mycobacterial disease.
Dalam: Kendig’s Disorders of the Respiratory Tract in Children. 7th Edition.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006; h.507-529.
9. Supriyatno B, dkk. Tuberkulosis. Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.
Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004; h.359-366.
10. Committee On Infectious Disease. Screening for Tuberkulosis in Infant and Children.
Pediatrics; 1999; 93:131-4.

47
DIVISI RESPIROLOGI

BENCANA ASAP
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Definisi
Bencana asap merupakan suatu kondisi darurat yang memiliki dampak besar baik
skala nasional maupun internasional.

Etiologi
Bencana asap dalam skala besar dapat disebabkan oleh kabakaran hutan. Namun
jangan lupa masih terdapat ancaman dari asap lain yang lebh sering ditemui sehari-hari
yaotu asap rokok, asap kendaraan bermotor, dan asap biomassa.
Hampir semua negara pernah mengalami kejadian kebakaran hutan termasuk di
Indonesia. Kebakaran hutan hampir terjadi setiap tahun di Indonesia, terutama pada musim
kemarau.

Dampak polusi udara akibat asap kebakaran hutan dan abu vulkanik pada anak
Udara yang terpolusi dengan asap kebakaran hutan dan abu vulkanik lebih rentan
menimbulkan dampak kesehatan pada anak dibandingkan dewasa karena faktor fisiologis,
kebiasaan dan tingkah laku, serta lingkungan. Dibandingkan dewasa, anak lebih banyak
menghabiskan waktu diluar ruangan untuk bermain sehingga lebih bnyak menghirup udara
yang terpolusi asap. Selain itu, tinggi anak lebih pendek di bandingkan dewasa sehingga
anak menghirup lebih banyak polutan udara yang akhirnya jatuh di tanah.
Lebih tingginya frekuensi napas anak di bandingkan dengan dewasa dan semakin
meningkat sebnyak 20% ketika anak beraktivitas, lebih tingginya minute ventilation rate
terhadap ukuran tubuh, serta belum sempurnanya fungsi saring partikel di hidung
menyebabkan lebih bnyaknya partikel yang melewati saluran respiratori atas dan melewati
paru. Dengan demikian kadar partikel polutan dari asap yang memasuki tubuh anak lebih
besar dibanding pada dewasa. Akibatnya masalah kesehatan akibat pajanan asap lebih
besar ditemui pada anak dibandingkan dewasa.

Kandungan Asap Kebakaran Hutan


Asap yang berasal dari kebakaran hutan merupakan kompleks campuran yang
mengandung gas, partikel, uap air dan bahan organik serta mineral akibat pembakaran
yang tidak sempurna. Komposisi asap tergantung pada berbagai faktor seperti jenis bahan (
kayu dan tumbuhan) yang terbakar dan kandungan bahan tersebut, suhu api kebakaran,
kondisi angin dan cuaca serta faktor-faktor lainnya.
Komposisi asap kebakaran hutan umumnya terdiri dari:
a. Gas seperti karbon monoksida (CO) karbon dioksida (CO2), nitrogen oksida (NOx),
ozon (O3), sulfur dioksida (SO2) dan lainnya.
b. Partikel yang timbul akibat kebakaran hutan biasa disebut sebagai particulate matter
(PM). Ukuran lebih dari 10 µm (mikrometer atau mikron) biasanya tidak masuk
paru, dapat mengiritasi mata, hidung dan tenggorokan. Partikel kurang dari 10 µm
dapat terinhalasi sampai ke paru. Paticulate metter terbagi atas:
 Partikel kasar ( coarse particles/PM10) apabila berukuran 2,5 – 10 µm
 Partikel halus (fine particles/PM2,5) apabila berukuran 0,1 – 2,5 µm
 Ultrafine particles dengan ukuran < 0,1 µm

48
DIVISI RESPIROLOGI

c. Bahan lainnya dalam jumlah lebih sedikit seperti aldehid ( akrolein, formaldehid),
polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH, contoh benzo-α-pyrene), benzene, toluen,
Styrenne, metal dan dioksin.

Tabel 1. Indikator Pencemaran Udara Berdasarkan AQI


Kategori Rentang Nilai Kadar PM10 1-3 jam (µg/m3
Baik 0-50 0-38
Sedang 51-100 39-88
Tidak sehat untik kelompok 101-150 89-138
Sensitif
Tidak sehat 151-200 139-351
Sangat tidak sehat 201-300 352-526
Berbahaya >300 >526

Dampak Asap Kebakaran Hutan Terhadap Kesehatan


A. Efek Akut (Jangka Pendek)
Asap menyebabkan injury melalui berbagai mekanisme yang berbeda yaitu iritasi
langsung, karena kekurangan oksigen yang menimbulkan sesak napas serta absopsi
toksin. Asap kebakaran hutan,dalam jangka pendek (akut) akan menyebabkan iritasi
selaput lendir mata, hidung, tenggorokan sehingga menimbulkan gejala berupa mata perih
dan berair, hidung berair dan rasa tidak nyaman di tenggorokan, mual, sakit kepala dan
memudahkan terjadinya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Hal lain adalah pajanan
gas karbon monoksida (CO) yang terinhalasi berpotensi meningkatkan COHb dalam darah
dan ini dapat menimbulkan keluhan seperti sakit kepala , sesak napas, mual, dan lainnya.

B. Efek Jangka Panjang


Efek jangka panjang akibat pajanan asap kebakaran hutan dapat terjadi penurunan
fungsi paru dan peningkatan hipereaktivitas saluran napas. Terdapat bahan karsinogen
pada asap kebakaran hutan (contoh polisiklik hidrokarbon aromatik/PAH), meskipun begitu
belum ada bukti dan laporan terjadinya kanker akibat pajanan asap kebakaran hutan.
Pajanan karbon monoksida (CO) konsentrasi rendah juga dilaporkan menimbulkan efek
jangka panjang berupa gejala yang menetap sakit kepala, mual, depresi, gangguan
neurologis dan perburukan gejala orang dengan penyakit jantung koroner.

Prinsip Pencegahan dan Penanganan Dampak Kesehatan Akibat Asap Kebakaran


Hutan
Secara prinsip upaya pencegahan dan penanganan dikelompokkan dalam 3 kategori
yaitu primer, sekunder dan tersier.

A. Upaya Primer
Upaya primer bertujuan untuk mencegah orang-orang tersensitasi menjadi
sakit sebagai akibat pajanan asap kebakaran hutan.
1. Menghilangkan sumber masalah kesehatan yaitu asap kebakaran dengan
pemadam kebakaran.

49
DIVISI RESPIROLOGI

2. Meminimalkan pajanan asap kebakaran


 Mengurangi aktivitas di luar ruangan (disarankan untuk berada di dalam
rumah). Perhatikan khusus pada anak-anak untuk tidak bermain di luar
rumah karena anak-anak termasuk yang sangat rentan/berisiko.
 Hindari menambah polusi di dalam rumah misalnya merokok di dalam rumah,
menyalakan lilin, perapian ataupun sumber api lainnya dalam rumah.
 Tutup jendela dan pintu rumah rapat-rapat untuk menguragi masukknya
partikel ke dalam rumah. Tindakan ini mengurangi jumlah artikel yang dapat
masuk kedalam rumah/ruangan. Umumnya partikel yang halus masih dapat
masuk dalam kerumah/ruangan.
 Bila tersedia, gunakan air conditioner ( AC) didalam rumah dengan syarat
ubah ke mode recirculate. Penggunaan air purifier / air cleaner bermanfaat
menurunkan kadar partikel dalam rumah.
 Penyediaan shelter atau rumah singgah yang mempunyai kualitas udara baik
dengan penggunaan AC mode recirculate dan air purifier / air cleaner yang
dapat digunakan oleh masyarakat terutama kelompok sensitif.
 Apabila berada di luar ruangan, hindari aktivitas fisik berat termasuk olah
raga.
 Apabila berkendaraan mobil, tutup semua jendela mobil dan nyalakan AC
dengan mode recirculate
 Gunakan masker atau respirator untuk mengurangi masuknya partikel ke
dalam saluran napas dan paru (terutama bila beraktivitas di luar ruangan).
Perhatikan cara penggunaan masker atau respirator yang benar dan tepat.
Penggunaan masker atau respirator yang tidak benar mengurangi evektivitas
proteksi memfiltrasi/menyaring partikel.
 Apabila berpergian, hindari kawasan atau area dengan kualitas udara yang
tidak sehat dan berbahaya.
3. Memantau kualitas udara untuk bisa mengambil keputusan beraktivitas di luar
rumah. Pemantauan dapat di lakukan dengan melihat laporan-laporan kualitas
udara dari media (indeks standard pencemaran udara / ISPU). Nilai ISPU 200-
300 kategori tidak sehat dan ISPU > 300 berbahaya. Apabila tidak dapat akses
informasi kualitas udara, dapat melakukan penilaian kualitas udara berdasarkan
jarak pandang yang disebut visibility reducing particle (Tabel 3).
Tabel 2. Level Partikel Berdasarkan Jarak Pandang
Kategori Jarak Pandang (km) Level Partikel (rata-rata 1
jam, µg/m3)
Baik ≥15 km 0-38
Sedang 10-14 km 39-88
Tidak sehat untuk orang 4-9 km 89-138
yang sensitif
Tidak Sehat 2,5 - 4 km 139-350
Sangat tidak sehat 1,5 – 2,4 km 351 – 526
Berbahaya < 1,4 km >526

50
DIVISI RESPIROLOGI

4. Lakukan pola hidup bersih dan sehat (PHBS) seperti makan bergizi , istirahat
cukup, cuci tangan dan lainnya. Sering mencuci tangan terutama setelah
menggunakan fasilitas umum (mencuci tangan dapat menggunakan air atau
handsrub berbasis alkohol).

B. Upaya Sekunder
Upaya sekunder bertujuan untuk deteksi dini dan pengobatan dini masa lah kesehatan
yang muncul sebagai dampak asap kebakaran hutan.
1. Mengenali gejala-gejala atau keluhan yang timbul sebagai dampak kesehatan
akibat asap kebakaran hutan.
Pada orang dengan penyakit sebelumnya ( penyakit jantung, asma, PPOK dan
penyakit paru lainnya), mengenali tanda-tanda terjadinya perburukan atau
serangan. Hal ini sebagai upaya deteksi dini sehingga pengobatan awal dapat
segera dilakukan.
2. Mempersiapkan obat-obatan untuk pertolongan awal. Diutamakan bagi yang
mempunyai penyakit sebelumnya agar memastikan bahwa obat-obatan yang
dikonsumsi rutin cukup banyak tersedia di dalam rumah.
3. Segera ke dokter/pelayanan kesehatan terdekat apabila terjadi masalah
kesehatan yang mengganggu atau terjadi perburukan / serangan pada orang
yang mempunyai penyakit jantung atau paru sebelumnya.
4. Evaluasi dampak kesehatan asap kebakaran bagi masyarakat dapat dilakukan
oleh pemerintah setempat berupa skrining berkala (kuesioner,pemeriksaan fisik,
pemeriksaan fungsi paru dan pemeriksaan foto toraks bila memungkinkan).
C. Upaya Tersier
Upaya tersier bertujuan untuk mencegah komplikasi dan kematian pada populasi
yang sudah menderita penyakit sebagai dampak asap kebakaran hutan.
1. Apabila sudah terkena penyakit sebagai dampak kebakaran hutan,
stop/menghentikan kebiasaan yang memperburuk penyakit seperti berhenti
merokok.
2. Melakukan pengobatan maksimal dan teratur dengan berobat ke dokter atau
fasilitas pelayanan kesehatan mengkonsumsi obat yang di berikan secara teratur.
3. Jika diperlukan perwatan atau rawat inap.tata laksana pasien harus di lakukan
secara maksimal oleh fasilitas pelayanan kesehatan. Rujukan ketingkat pelayanan
lebih tinggi perlu dilakukan apabila sarana dan prasarana pelayanan kesehatan
yang tersedia belum mencukupi.

51
DIVISI RESPIROLOGI

Tabel 5. Rekomendasi umum IDAI saat terjadi bencana kabut asap


1. Mengurangi pajanan asap
a. Tetap berada di dalam ruangan dengan jendela dan pintu tertutup.
b. Tutup tiap ada akses ke luar ruangan.
c. Air corditioner dalam mode recirculate, ganti filter secara teratur.
d. Bila ada periode berkurangnya asap, bukan ventilasi-ventilasi rumah, kemuduan bersihkan partikel
debu yang sudah sempat menumpuk dalam rumah.
e. Hindari aktivitas dalam rumah yang dapat menambah kontaminasi seperti memasak dengan
gas/kompor propane, merokok, membakar kayu.
f. Pelembab udara (humidifier) atau bernapas lewat kain basah untuk menjaga kelembaban membran
mukosa
g. Kurangi aktivitas untuk mengurangi hirupan kontaminan udara.
h. Jika mungkin, populasi berisiko tinggi ( antara lain: Anak) harus segera mencari tempat dengan udara
bersih, bisa dirumah, rumah kerabat, atau tempat lain.
i. Penutupan sekolah dan aktivitas perlu dipertimbangkan jika kualitas udara sangat buruk. Namun
pada kondisi tertentu, sekolah dapat menjadi tempat dalam ruangan yang aman untuk anak, serta
tempat pemantauan aktivitas anak.
j. Abu yang terkumpul di daerah dekat dengan pembakaran dapat menyebbkan iritasi saluran
respiratori dan napas, sehingga dapat dilakukan hal-hal berikut:
 Anak jangan bermain di asap
 Gunakan sarung tangan, baju lengan panjang, celana panjang
 Jangan membuang abu di saluran air karena akansebabkan sumbatan
 Abu dapat di buang di tempat sampah.
2. Masker
a. Masker yang menyaring hingga 95% partikel berukuran ≥0,3 µm adalah masker N-95 dan hanya
efektif apabila dipakai dengan tepat di wajah. Ada pula masker N-99 atau masker N-100 dalam
bentuk full face atau half face dengan filter HEPA, namun tidak nyaman saat dipakai.
b. Masker berukuran lebih kecil dari standar bisa tampak sesuai bila dipakai oleh anak, namun produsen
masker tidak menyarankan penggunaan masker tersebut untuk anak.
c. Ganti masker bila sudah kotor, ditandai dengan perubahan warna masker atau bernapas melalui
masker bertambah sulit.
3. Penyediaan obat-obat esensial
a. Obat-obat esensial yang dapat diberikan meliputi pemberian bronkodilator, juga antiinflamasi.
Pemberian obat-obat tersebut harus sesuai indikasi medis dari dokter dan tidak digunakan untuk
jangka panjang.
4. Terapi oksigen
a. Pemberian terapi oksigen ( dengan kanula nasal, masker, oksigen, dalam kemasan) baik di dalam
maupun diluar lingkungan rumah sakit harus sesuai indikasi medis oleh dokter, misalnya pada
pneumonia atau serangan asma berat.
b. Pemberian terapi oksigen secara temporer tidak memberikan manfaat optimal selama kualitas udara
lingkungan buruk.
5. Evakuasi dan Tranportasi
Pertimbangan evakuasi harus mempertimbangkan kadar pajanan asap dilakukan evakuasi dibandingkan
dengan saat berdiam dalam ruangan. Jika dilakukan evakuasi dan meningkatnya pajanan asap. Saat
dilakukan tindakan evakuasi, siapkan obat-obatan yang biasa di gunakan oleh pasien dan keluarga untuk
5 hari.
a. Evakuasi ke penampunagn berudara bersih (cleaner air shelter)
Mempersiapkan tempat-tempat umum seperti sekolah, aula, gedung olahraga, hotel, musholla, atau
masjid, kantor, gedung serbaguna atau tempat umum lainuntuk dijadikan penampungan udara bersih.
Penampungan berudara bersih tersebut dilengkapi dengan sanitasi yang baik, penyediaan air bersih,
sarana pembuangan dan pengelolaan sampah.
Teknologi pembuatan penampungan berudara bersih adalah berdasarkan kemmpuan lokal dengan
menutup setiap ventilasi dengan plastik dan melengkapi ruangan dengan sistem penyarinagan udara.
b. Evakuasi ke lokasi aman atas indikasi medis.
Untuk anak dengan kebutuhan medis khusus, misalnya terapi oksigen, ventilator, dan lainnya,
evakuasi harus di lakukan ke lokasi aman yang memiliki kualitas udara baik.
Untuk anak yang dievakuasi ke penampungan berudara bersih namun tidak menunjukkan perbaikan
gejala bahkan memburuk dalam 5 hari harus dievakuasi ke lokasi aman dengan kualitas udara baik.

52
DIVISI RESPIROLOGI

Tabel 5. Rekomendasi Khusus IDAI mengenai kesehatan anak akibat bencana kabut
asap

Kepustakaan

1. Yulianto F, Sofan P, Khomarudin MR, haidar M. Extracting the damaging effects of the
2010 eruption of Merapi volcado in Central Java, Indonsia. Nat Hazards. 2013;66:229-
47.
2. International Volcanic Health Hazard Network. The Health hazards of Volcanik Ash: A
guide for the public. J Public Health. 2010;15.
3. Kementerian kesehatan Republik Indonesia. Masalah kesehatan akibat kabut asap
kebakaran hutan dan lahan tahun 2015. Jakarta: Kementrian Kesehatan republik
Indonesia; 2015.
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi kesehatan anak terhadap bencana kasus
asap. 2015.
5. Subcommittee T. Wildland fire Personnel Smoke Exposure Guidebook. 2014;
6. Goldizen F, Sly P, Knibbs L. Respiratory effects of air pollution on children. Pediatr
Pulmonol. 2016; 51:94-108

53
DIVISI RESPIROLOGI

EFUSI PLEURA
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Definisi
Peningkatan cairan dalam rongga pleura (efusi) diakibatkan oleh: (1) meningkatnya
filtrasi dengan absorbsi yang normal atau berkurang, (2) filtrasi normal dengan absorsi yang
tidak adekuat, atau (3) tambahan cairan dari luar (rongga peritonium atau ekstravasasi
cairan intravena.

Anamnesis
Pleura efusi merupakan keadaan yang mendasari suatu gangguan. Penyakit dasar
menentukan gejala sistemik yang muncul. Pleura efusi bisa bersifat asimtomatis sampai
akumulasi cairan dalam rongga pleura tersebut menyebabkan gangguan kardiorespirasi
(dispnea, ortopnea) gejala langsung yang melibatkan pleura seperti nyeri dada, rasa
tertekan, dan dispnea. Anak yang lebih besar akan mengeluhkan nyeri yang tajam pada
saat inspirasi atau batuk yang diakibatkan karena peregangan pada pleura parieta. Nyeri
yang hebat menghambat pergerakan nafas dan menyebabkan dipsnea.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik penting terutama pada cairan pleura yang sedikit. Pleura rub yang
diakibatkan oleh kekasaran permukaan pleura merupakan gejala awal yang dapat
ditemukan pada saat inspirasi dan ekspirasi. Jika cairan pleura bertambah, pleura rub akan
hilang. Pelebaran rongga interkostal, perkusi pekak, fremitus menurun dan suara nafas
yang berkurang. Tanda lainnya dari pleura efusi adalah pendorongan trakea dan apek
jantung kesisi kontralateral.

Diagnosis Kerja
Efusi Pleura (J49.9)

Pemeriksaan penunjang
Secara radiologi efusi pleura dapat dideteksi dengan foto dada posteroanterior.
Cairan minimal yang dapat dideteksi rata-rata sekitar 400 ml. Jika efusi bertambah
gambaran radiologi menunjukkan identitas air yang menyeluruh dan pelebaran rongga pada
sisi yang terkena dengan penggeseran ke sisi hemithorak kontralateral. Posisi lateral
dekubitus dapat memberikan informasi kualitas dan kuantitas dari efusi.
Ultrasonografi (USG) dapat membedakan ketebalan pleura dari efusi dan membantu
mengidentifikasi lokasi terbaik untuk torakosintesis atau saat memasukkan selang
torakostomi. Lebih lanjut USG dapat mendeteksi lokasi dan mengidentifikasi kualitas efusi.
Cairan pleura yang anekhoik mungkin transudat atau eksudat. Fokus multipel ekogenik
menunjukkan eksudat atau empiema.
Komputer tomografi (CT) scan sangat membantu dalam mengevaluasi pleura dan
parenkim pada efusi yang luas. Ketebalan pleura atau adanya massa akan terlihat lebih
jelas. Pleura parietal akan terlihat lebih jelas pada empiema. Efusi parapneumonia yang
terlokalisasi dibedakan dari akses paru oleh adanya sudut yang terbentuk antara cairan
yang mengisi ruangan dan dinding dada. Magnetic resonance imaging tidak menunjukkan

54
DIVISI RESPIROLOGI

keuntungan yang lebih dibanding CT scan dalam mengevaluasi gangguan pada pleura.
Pemeriksaan cairan pleura dengan torakosintesis menegaskan diagnosis klinis dan
radiologis dari efusi. Lokasi torakosintesis dapat ditentukan secara klinis atau dengan USG.
Lokasi 1-2 cm di bawah bagian yang pekak pada perkusi di lineamidaksilaris atau posterior.
Tabel 1. Perbedaan kimia transudat dan eksudat
Konsentrasi Cairan Pleura Ratio Konsentrasi Pleural/ Serum
Jenis Efusi Protein LDH Protein LDH
Transudat <3 g/dl < 2/3* <0,5 <0,6
Eksudat >3 g/dl > 2/3 >0,5 >0,6

Biopsi pleura parietal diindikasikan pada pasien dengan pleura efusi yang tidak dapat
diterangkan. Prosedur ini dapat dilakukan perkutan dengan jarum yang khusus pada saat
torakoskopi atau dengan torakotomi dengan anestesi umum.

Terapi
Pengobatan efusi pleura transudat, hemoragik dan chylus secara langsung ditujukan
sebagai terapi suportif terhadap gangguan fungsi yang timbul dan pengobatan spesifik
terhadap penyakit dasar. Evakuasi transudat hanya dilakukan untuk mengatasi dipsnea dan
gangguan kardiorespirasi lain yang disebabkan oleh pendorongan mediastinum. Pemberian
diuretik pada beberapa pasien dapat memperlambat reakumulasi transudat dan dapat
menurunkan frekuensi dilakukannya torakosisntesis.
Pada eksudat dan empiema, bakteri dapat mencapai rongga pleura melalui
fistulabronkopleura, trauma tembus pada dinding dada atau dapat melalui sirkulasi.
Pneumonia bakterial nontuberkulosis merupakan penyebab terbanyak pleura efusi karena
inflamasi atau efusi para pneumonia. Stafilokokus aureus merupakan kuman patogen
terbanyak penyebab empiema pada anak kecil dari 2 tahun, Steptokokus grup A
merupakan penyebab terbanyak empiema pada anak yang lebih besar dan remaja. Pleura
efusi karena infeksi memerlukan pengobatan antibiotika dan pertimbangan tindakan bedah.
Keluaran dari gangguan infalamasi pada pleura tergantung kepada masalah klinis
yang mendasari, luasnya pleura yang terlibat, usia pasien, waktu mulainya terapi awal dan
komplikasi yang timbul. Komplikasi, seperti fistula bronkopleura dan tension pneumatocele
dan fibrotorak jarang terjadi, tetapi dapat memperlambat penyembuhan.

Kepustakaan
1. Tauber D, Schidlow DV. Abnormalities of the pleural space. Dalam: Taussig LM,
Landau LI. Souef PTNL, Morgan WJ, Martinez FD, Sly PD. Pediatric Respiratory
Medicine. Philadelphia; Elseviers: 2008. p.989-997.
2. Miller FJW. FRCP. Tuberculosis in children. Evaluation, epidemiology, treatment,
prevention. London; 1982.
3. Tuberculosis of the pleura. Dalam: Edith L, Edward S, penyunting. Tuberculosis in
children. New York; 1963. h. 151-60.

55
DIVISI RESPIROLOGI

EMPIEMA TORASIS
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Pengertian/Definisi
Sekresi cairan yang mengalir sampai ke ruang pleura yang terjadi secara normal
dalam keseimbangan dengan drainase oleh kelenjar getah bening subpleural. Sistem getah
bening pleural dapat mengalirkan hampir 500 mL/detik. Efusi mulai terbentuk saat volume
cairan pleural melebihi kemampuan getah bening untuk drainase.

Anamnesis
Sebanyak 70% dari empiema merupakan komplikasi pneumonia. Pasien dapat
mengeluhkan gejala demam tinggi, berkeringat, selera makan turun, malaise, dan batuk.
Radang pleura dan dyspnea dapat juga merupakan gejala pada beberapa pasien. Radang
pleura dan dyspnea tidak tergantung pada ukuran efusi.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan perkusi tumpul dan bunyi nafas tidak ada.

Diagnosis
Empiema Torasis

Pemeriksaan Penunjang
Foto rontgen toraks 2 posisi dapat digunakan untuk mengevaluasi adanya efusi atau
empiema. Jika dicurigai adanya efusi, diperlukan foto lateral dekubitus.
Ultrasonografi (USG) selain dapat menunjukkan adanya cairan pleural dalam volume
kecil, juga dapat menyediakan informasi mengenai kekentalanya. Ultrasonografi dapat juga
mempertunjukkan adanya pengumpulan cairan pleural dalam septa dengan cepat.
CT scan toraks menyediakan lebih banyak informasi. CT scan dapat menggambarkan
cairan, loculasi dan perlengketan lapisan pleural. CT scan dan ultrasonografi juga
digunakan sebagai pemandu dalam penempatan kateter untuk drainase.
Dua gambar hasil rontgen toraks dan lateral dekubitus, tidak selalu dapat dilakukan di
unit gawat darurat (UGD). Gambar hasil sinar rontgen sering hanya terbatas pada sisi
tempat tidur pasien yang sakit berat. Adanya pengumpulan cairan di ruang kecil
subpulmonik tidak mungkin terdeteksi dengan sinar x. Ultrasonografi dapat
mempertunjukkan cairan pleural di dalam septa, tetapi kurang baik dalam menunjukkan
adanya ketebalan pleura.

Torakosintesis
USG ataupun CT scan yang digunakan sebagai panduan dalam melakukan
torakosintesis, dapat menentukan kesuksesan dari tindakan tersebut. Torakosintesis
tunggal dan penggunaan antibiotik dapat efektif di fase awal empiema, namun jika efusi
terjadi berulang kali maka penempatan suatu selang atau kateter toraks untuk drainase
adalah fase berikutnya.

56
DIVISI RESPIROLOGI

Terapi
Pengobatan bersifat individual pada tiap pasien, bergantung pada jenis atau fase
efusi parapneumonik.
Pengobatan awal pasien dengan pneumonia dan efusi pleural melibatkan dua
keputusan besar. Pertama, memilih suatu antibiotik yang sesuai. Kedua, memutuskan
waktu yang tepat untuk pemasangan kateter drainase. Pemilihan antibiotik awal pada
umumnya dibuat berdasarkan apakah pneumonia yang diderita oleh pasien merupakan
pneumonia yang diperoleh-rumah sakit atau pneumonia diperoleh-masyarakat serta
keparahan penyakit pasien. Pada pasien dengan pneumonia yang diperoleh-masyarakat,
antibiotik yang direkomendasikan adalah generasi kedua atau generasi ketiga sefalosporin
dan makrolide sebagai tambahan. Pada pasien yang dirawat dengan peumonia diperoleh-
masyarakat yang berat, sebagai terapi awal adalah makrolid dan sefalosporin generasi
ketiga dengan aktivitas antipseudomonas. Bakteri gram negatif sering menjadi penyebab
pada pneumonia yang diperoleh dari RS sehingga perlu ditambahkan antipseudomonas
pada therapinya.
Keputusan dasar untuk memasang kateter adalah untuk kepentingan pemeriksaan
cairan pleura. Pasien dengan efusi pleural yang mempunyai ketebalan cairan pleural >10
mm berdasarkan foto rontgen RLD harus thoracentesis. Ketebalan efusi pleural <10 mm
pada foto rontgen RLD dada hampir selalu sembuh dengan antibiotik yang sesuai.
Jika thoracentesis diagnostik menghasilkan nanah yang kental, maka keadaan
tersebut disebut empiema.

Efusi parapneumonik tanpa komplikasi


 Jika pH cairan pleural adalah >7.20, glukosa cairan pleural > 40 mg/dL, dan LDH
cairan pleural <1000 IU/L, efusi parapneumonik adalah fase eksudatif, dan tidak
ada intervensi ataupun pengobatan lebih lanjut yang diperlukan. Jika terdapat
peningkatan ukuran efusi pleural atau demam terus berlanjut, torakosintesis dapat
diulang.
 Pasien efusi tanpa komplikasi dapat dimonitor dengan pemeriksaan fisik yang
sangat teliti dan foto toraks serial.
Efusi parapneumonik dengan komplikasi
 Jika awal torakosintesis ditemukan cairan pleural dengan pH < 7.20 atau glukosa
> 40 mg/dL, sebaiknya segera dilakukan torakostomi. Jika hasil kultur gram
cairan pleura adalah positif, torakostomi diteruskan.
 Efusi dengan komplikasi memerlukan antibiotik yang sesuai.

Prognosis
Prognosis baik pada empiema torasis tanpa komplikasi.

57
DIVISI RESPIROLOGI

Kepustakaan

1. Naning R, Setyati A. Empiema. Dalam Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku
Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama cetakan ke-empat. Badan Penerbit IDAI. 2015;550-
557.
2. Crawford SE, Daum RS. Bacterial Pneumonia, Lung Abscess and Empiema. Dalam;
Taussig LM, Landau LI. Souef PTNL, Morgan WJ, Martinez FD, Sly PD. Pediatric
Respiratory Medicine. Philadelphia; Elseviers: 2008. p.501-554
3. Strahilevitz1 J, Lev1 A, Levi1 I, Fridman E, Rubinstein E. Experimental pneumococcal
pleural empyema model: the effect of moxifloxacin. Israel. J Antimicr Chem.
2003;51:665–9.
4. Alfageme, F Munoz, N Pena and S Umbria. Empyema of the thorax in adults. Etiology,
microbiologic findings, and management. Chest. 1993;103;839-43.
5. MB Orringer. Thoracic empyema--back to basics.Diunduh dari: http://chestjournal.org.
6. Gregory P. LeMense, Charlie Strange and Steven A. Sahn. Empyema Thoracis:
Therapeutic Management and Outcome. Diunduh dari:
http://chestjournal.org/cgi/content/abstract/107/6/ 1532.
7. Jacinto Hernández Borge, Inmaculada Alfageme Michavila, Jesús Muñoz Méndez,
Francisco Campos Rodríguez, Nicolás Peña Griñán and Rafael Villagómez Cerrato.
Thoracic Empyema in HIV-Infected Patients: Microbiology, Management, and Outcome.
Diunduh dari: http://chestjournal.org/cgi/content/abstract/113/3/732.
8. Ko SC, Chen KY, Hsueh PR, Luh KT and Yang PC. Fungal Empyema Thoracis: An
Emerging Clinical Entity. Diunduh dari: http://chestjournal.org/cgi/content/abstract/117/6/
1672.

58
DIVISI RESPIROLOGI

ABSES PARU
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Definisi
Abses paru adalah lesi pada paru yang bersifat supuratif disertai nekrotisasi jaringan di
dalamnya

Anamnesis
Pada kasus yang tipikal adalah gejala timbul 1 sampai 3 hari setelah aspirasi bahan infeksius
dengan malaise, demam, menggigil diikuti dengan batuk dan sering dengan sakit dada. Bila
tidak dlobati keadaan tambah buruk dengan nyeri pleural, sesak napas dan sianosis. Pada hari
ke 10 biasanya timbul batuk dengan nanah yang banyak berbau busuk dan campur darah. Pada
kasus yang tidak khas gejala seperti pneumonia dengan batuk sputum purulen dan batuk darah
berulang kali. Abses yang pecah ke dalam kavum pleura menimbulkan nyeri pleural hebat,
sesak napas dengan tanda - tanda empiema atau piopneumotoraks.

Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan penderita yanq sakit berat, anemis, toksik, demam, sputum,
purulent den busuk berwarna kecoklatan. Bila sputum diendapkan tampak 3 lapis. busa, cairan
dan begian padat paling bawah. Pemeriksaan jasmani paling sering dijumpai redup dangan
suara napas bronkial, krepitasi dan “pleural friction" di daerah abses.

Diagnostik Kerja
Abses Paru (A06.5)

Diagnosa Banding
Pada awal penyakit, gejala klinis dan radiologis sukar dibedakan dengan pnemonia. Abses paru
yang pecah ke kavum pleura sukar dibedakan dengan empiema, kavitas dengan air fluid level
perlu dibedakan dengan:
 Kavitas pada karsinoma bronkus - kavitas pada tuberkulosa paru dengan sekunder
infeksi jamur.
 Bulla atau kista dengan air fluid level.
 Hematoma paru, biasanya post traumatik

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Lekositosis dapat mencapai 20.000 – 30.000/µm. Anemia ditemukan pada 80% kasus.
Pemeriksaan mikrobiologik sering ditemukan campuran infeksi. Pada abses paru dengan bau
busuk ditemukan spirochaeta, fusiform basil dan kuman anaerob serta aerob. Pada yang tidak
berbau biasanya karena kuman stafilokok, streptokok dan Friedlander's bacilli. Bakteri gram
negatif yang sering ditemukan adalah Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa.

Gambaran radiologis
Pada stadium permulaan hanya terlihat konsolidasi seperti pnemonia. Kemudian berkembang
dengan reaksi pnemonitis sekitarnya. Bila telah terbentuk bronkopleural fistel akan tampak air
fluid level dalam parenkim paru. Tetapi bila memecah ke kavum pleura air fluid tampak dalam

59
DIVISI RESPIROLOGI

rongga pleura.
Terapi
Terapi antimikroba
Pada saat kita mencurigai adanya keterlibatan Stafilococcus aureus maka antibiotik pilihan
utamanya adalah sefalosporin generasi pertama atau kedua ataupun klindamisin. Jika adanya
ditemukan bakteri gram negative maka aminoglikosida ataupun sefalosporin menjadi pilihan.
Antibiotik pada abses paru dapat diberikan selama 2-4 minggu.

Tindakan bedah
Tindakan bedah jarang sekali digunakan, namun tindakan ini dapat menjadi tindakan
penyelamat pada kondisi khusus. Drainase transtorakal dengan menggunakan tuba perkutaneus
dapat menghindari dilakukannya torakostomi. Beberapa komplikasi seperti timbulnya empiema
dan fistula bronkopleura dapat terjadi pada drainase transtorakal. Torakostomi sebaiknya
dilakukan pada anak yang tidak resonsif dengan pengobatan antibiotik, juga dianjurkan pada
abses yang telah berlangsung lebih dari 3 bulan, anak dengan hemoptisis yang mengancam jiwa
serta nekrosis paru masif.

Kepustakaan

1. Crawford SE, Daum RS. Bacterial Pneumonia, Lung Abscess and Empiema. Dalam;
Taussig LM, Landau LI. Souef PTNL, Morgan WJ, Martinez FD, Sly PD. Pediatric
Respiratory Medicine. Philadelphia; Elseviers: 2008. p.501-554
2. Brook I. Lung Abscess and Pulmonary Infections due to anaerobic bacteria. Dalam :
Chernick V, Boat TF, Wilmott RW, Bush A. Kendig’s disorders of the Respiratory
tract in Children. Philadelphia:Elsevier; 2006. h. 478-484.
3. Campbell PW. Lung abscess. Dalam: Hilman BC, penyunting. Pediatric respiratory
disease diagnosis and treatment. Philadelphia: WB Saunders; 1999. h. 257-262
4. Stauffer, John L. Lung Abscess. Dalam: McPhee S, penyunting. Current medical
diagnosis and treatment. Edisi ke-37. Stamford: Appleton & amp;1997.

60
DIVISI RESPIROLOGI

PNEUMOTORAKS
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Definisi
Pneumotoraks adalah akumulasi udara ekstrapulmoner dalam rongga dada. Biasanya
pneumotoraks merupakan hasil dari kebocoran udara dari dalam paru-paru. Penyebab
pneumotoraks pada anak dapat dikategorikan sebagai berikut

Anamnesis
Awitan biasanya tiba-tiba dan berat ringannya gejala bergantung pada luasnya jaringan
paru yang mengalami kolaps serta penyakit dasar yang telah ada sebelumnya. Pneumotoraks
dapat menyebabkan gejala nyeri, sesak napas dan sianosis. Pada bayi, gejala dan tanda klinis
mungkin sulit dikenali. Pneumotoraks yang cukup luas mungkin dapat menyebabkan sedikit
pendorongan organ intratorakal atau mungkin tidak bergejala sama sekali. Derajat rasa nyeri
tidak berhubungan dengan luasnya pneumotoraks.

Pemeriksaan Fisik
Biasanya didapatkan distres pernapasan, retraksi dan menurunnya suara napas. Laring,
trakea dan jantung mungkin bergeser ke arah berlawanan.

Diagnosis Kerja
Pneumotoraks (J93.9)

Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis biasanya ditegakkan dengan pemeriksaan radiologis. Jumlah udara di luar
paru dapat berubah dari waktu ke waktu. USG juga dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis. Diagnosis tension pneumotoraks kadang-kadang dibuat hanya berdasarkan
gangguan sirkulasi atau terdengarnya bunyi “hiss” akibat udara yang keluar secara cepat saat
insersi torakotomi.

Tatalaksana
Terapi pneumotoraks bervariasi bergantung pada luasnya serta etiologi atau penyakit
paru yang mendasarinya. Tension pneumotoraks memerlukan tindakan darurat dengan
torakosintesis. Pneumotoraks yang kecil sampai sedang pada anak yang tampak normal akan
beresolusi secara spontan dalam waktu kurang lebih 1 minggu.

Kepustakaan
1. Said M, Kaswandani N, Wulandari D. Pneumotoraks. Dalam Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama cetakan ke-empat. Badan
Penerbit IDAI. 2015;578-582.
2. Winnie GB. Pneumothorax. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF.
Nelson textbook of pediatric. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. h. 1835-

61
DIVISI RESPIROLOGI

EDEMA PARU
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf
Pengertian/Definisi
Edema paru dapat didefinisikan secara luas sebagai akumulasi cairan yang berlebihan
di dalam sel, ruang antar sel, dan rongga alveoli pada paru. Penyebabnya beragam, tetapi
memiliki hasil akhir yang sama, yaitu jumlah air yang berlebihan di dalam paru.

Anamnesis
Gejala klinis yang terjadi bergantung pada mekanisme timbulnya edema paru. Secara
umum, edema interstisial dan alveoli menghambat pengembangan alveoli, serta
menyebabkan atelektasis dan penurunan produksi surfaktan. Akibatnya, komplians paru dan
volume tidal berkurang. Sebagai usaha agar ventilasi semenit tetap adekuat, pasien harus
meningkatkan usaha pernapasan untuk mencukupkan volume tidal dan/atau meningkatkan
frekuensi pernapasan.

Pemeriksaan Fisik
Secara klinis dapat timbul gejala sesak napas, retraksi interkostal pada saat inspirasi,
dan perubahan berat badan. Suara merintih dapat dijumpai, yang terjadi akibat usaha untuk
mencegah kolaps paru.

Diagnosis
Edema Paru

Pemeriksaan Penunjang
Gambaran radiografi pada edema paru tidak spesifik. Bentuk-bentuk edema paru yang
lebih berat seringkali menghasilkan kesuraman perihiler, kemungkinan karena terdapat
kumpulan cairan yang banyak di perivaskular dan peribronkial di daerah ini. Penebalan
septum (edema septum-septum interlobular) terlihat sebagai garis tipis, lurus, sepanjang 2−6
cm. Pada daerah perihiler disebut sebagai garis Kerley “A”. Garis-garis yang mirip, tidak
lebih dari 2 cm, ditemukan pada lapangan paru perifer tegak lurus terhadap garis pleura,
disebut sebagai garis Kerley “B”. Garis-garis Kerley “C” lebih pendek dan membentuk pola
retikuler di bagian basiler sentral paru dan biasanya paling baik terlihat pada foto lateral.
Gambaran lain yang bisa terlihat adalah penebalan perivaskular dan peribronkial,
gambaran pembuluh darah yang lebih menonjol, serta gambaran diafragma yang terlihat
rendah.

Terapi
Terapi awal yang paling penting adalah pemberian oksigen, jika perlu dengan ventilasi
mekanik. Pemberian ventilasi mekanik bertujuan tidak hanya untuk mengurangi kerja
pernapasan saja, tetapi juga meningkatkan oksigenasi dengan mencegah kolaps alveoli
memakai positive end-expiratory pressure (PEEP). Peningkatan oksigenasi menyebabkan
cairan keluar ke intersitisial sehingga tidak mengganggu pertukaran gas.
Jika edema paru disebabkan oleh gagal jantung dengan peningkatan tekanan

62
DIVISI RESPIROLOGI

mikrovaskular pulmonal, maka dapat dilakukan terapi untuk perbaikan fungsi jantung.
Perbaikan fungsi jantung dapat dicapai dengan berbagai cara, oksigen dan digitalis diberikan
untuk meningkatkan volume semenit, pemberian morfin dapat membantu mengurangi
preload dan afterload karena mengurangi ansietas. Penurunan afterload ventrikel kiri akan
memungkinkan peningkatan fraksi ejeksi tanpa meningkatkan kerja miokardial. Aminofilin
dapat diberikan, karena selain mengurangi afterload, efek lainnya dapat memperbaiki
kontraktilitas dan menyebabkan bronkodilatasi. Perbaikan kontraktilitas miokardium dapat
-obat inotropik seperti dopamin, dobutamin, atau
isoproterenol dengan meningkatkan curah jantung dan menurunkan tekanan pengisian
ventrikel. Preload juga dapat dikurangi dengan posisi duduk, juga dengan pemberian
ventilasi tekanan positif. Sebagai tambahan, perlu juga diberikan terapi suportif, seperti
merencanakan pemberian cairan dengan cermat, dengan memberikan sejumlah cairan
pengganti dehidrasi, sambil melakukan koreksi asam basa, dan kemudian memberikan
cairan pemeliharaan.
Diuretik diberikan dengan tujuan mengurangi volume plasma dan pengisian atrium kiri,
juga untuk meningkatkan tekanan koloid osmotik. Mekanisme kerja diuretik dalam mengatasi
edema paru adalah dengan meningkatkan kapasitas vena, dan meningkatkan eksresi garam
dan air sehingga mengurangi pengeluaran cairan dari mikrovaskular paru.
Pada edema berat, furosemid dapat diberikan secara intravena dengan dosis 1−2
mg/kgBB. Dosis ini biasanya menghasilkan diuresis nyata yang menurunkan tekanan
mikrovaskular paru dan meningkatkan konsentrasi protein di dalam plasma. Dua perubahan
ini menghambat filtrasi cairan ke dalam paru dan mempercepat masuknya air ke dalam
mikrosirkulasi paru dari interstisial. Terapi berkelanjutan dengan furosemid, kadangkala
disertai dengan penggunaan diuretik lain seperti spironolakton dan tiazid, digunakan untuk
membantu mengendalikan edema paru. Pada terapi jangka panjang dengan diuretik sering
terjadi kehilangan sejumlah besar kalium klorida. Deplesi elektrolit ini biasanya dapat
dicegah dengan menggunakan suplementasi kalium klorida, 3−5 mEq/kgBB setiap hari.
Jika terdapat hipotensi, zat inotropik seperti dopamin dan dobutamin juga mempunyai
efek terhadap pembuluh darah paru. Jika terdapat resistensi vaskular yang tinggi, maka
dobutamin lebih efektif karena dapat meningkatkan volume jantung semenit tanpa
meningkatkan resistensi vaskular sistemik, bahkan menyebabkan vasodilatasi sistemik.
Pemberian albumin intravena bermanfaat jika edema paru disebabkan oleh penurunan
tekanan koloid osmotik. Untuk mencegah efek penumpukan cairan sementara akibat
albumin, maka pemberiannya harus lambat dan disertai diuretik. Pada bayi, serta anak-anak
dengan edema paru berat, infus albumin atau plasma biasanya tidak memberikan
keuntungan. Pemberian tersebut cenderung meningkatkan tekanan mikrovaskular paru,
sebagai usaha mengimbangi efek peningkatan tekanan osmotik protein intravaskular.
Selanjutnya, protein yang diberikan dapat bocor ke interstisial paru, sehingga menambah
beratnya edema.
Pada edema paru yang disebabkan oleh perubahan permeabilitas kapiler, seperti
ARDS, maka dapat ditambahkan steroid dan nonsteroid antiinflammation drugs (NSAID)
dosis tinggi. Jika disebabkan sepsis dan disseminate intravascular coagulation (DIC), maka
dapat diberikan heparin dan dekstran. Pemberian antioksidan dapat dipertimbangkan pada
beberapa kasus ARDS atau NRDS.
Jika anemia dan edema paru berat terjadi bersama-sama, transfusi pengganti dengan
packed red cells (PRC) akan lebih aman dan memberikan keuntungan yang lebih besar.
Kondisi-kondisi yang merusak kerja miokardium (hipoglikemia, hipokalsemia, infeksi)

63
DIVISI RESPIROLOGI

membutuhkan terapi spesifik, sementara faktor-faktor/keadaan yang meningkatkan aliran


darah paru (hipoksia, nyeri, dan demam) seharusnya dihindari atau diterapi secepatnya.
Jika tindakan-tindakan ini tidak berhasil mengurangi edema, perlu diberikan dukungan
ventilator dengan PEEP. Positive end-expiratory pressure tidak mengurangi kandungan air
paru, tetapi mendistribusi ulang cairan dalam rongga-rongga udara, dan memperbaiki
pertukaran gas respiras
Beberapa penelitian menemukan bahwa pemberian ventilasi mekanik dengan PEEP
dan continuous positive airway pressure (CPAP) cukup efektif. Positive end-expiratory
pressure dapat mengurangi penumpukan cairan di paru, sedangkan CPAP dapat mencegah
terjadinya kolaps unit alveoli dan membuka kembali unit alveoli yang sudah kolaps. Keadaan
ini akan meningkatkan kapasitas residu fungsional (functional residual capacity, FRC).
Peningkatan FRC akan memperbaiki komplians paru, meningkatkan produksi surfaktan, dan
menurunkan resistensi vaskular. Hasil akhirnya adalah penurunan kerja pernapasan,
peningkatan oksigenasi, dan penurunan afterload jantung.

Prognosis
Goldberrefluks gastroesofagus dkk., setelah memantau 94 pasien dengan edema paru
hidrostatik, melaporkan mortalitas di RS sebesar 17%, dan data selama satu tahun adalah
51,2%. Feddulo dkk. secara retrospektif mengevaluasi hasil akhir dari pasien-pasien dengan
edema paru kardiogenik yang membutuhkan ventilator mekanik. Mereka melaporkan angka
mortalitas sebesar 56% dan menemukan bahwa derajat penurunan fungsi ventrikel kiri
berhubungan dengan mortalitas

Kepustakaan
1. Basier D, Anwar MS, Yani FF. Edema Paru. Dalam Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama cetakan ke-empat. Badan
Penerbit IDAI. 2015;499-510.
2. O’Brodovich H. Pulmonary Edema. Dalam : Chernick V, Boat TF, Wilmott RW, Bush
A. Kendig’s disorders of the Respiratory tract in Children. Philadelphia:Elsevier; 2006.
h. 622-638.
3. Wake LB, Matthay AM. Acute pulmonary edema. N Engl J Med. 2006;353:2788–92.
4. Mazor R, Green PT. Pulmonary edema. Dalam: Behrman ER, Kliegman MR, Jenson
BH, penyunting. Nelson’s textbook of pediatric. Edisi ke-17. Philadelphia: WB
Saunders; 2004. h. 1426–7.
5. Larsen LG, Accursa JF, Halbower CA, dkk. Pulmonary edema. Dalam: Hay WW,
Hayward RA, Levin JM, penyunting. Current pediatric diagnosis and treatment. Edisi
ke-16. Boston: Mc Graw Hill; 2003. h. 533.
6. Uejima T. Pediatric Emergencies: acute pulmonary edema. Anesthesiology Clinics of
North America; 2001.

64
DIVISI RESPIROLOGI

TUBERKULOMA
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Definisi
Tuberkuloma adalah proses inflamasi lambat berupa massa yang sering disertai
edema perifokal. Sebagian besar lesi terletak intraparenkim dengan lokasi bisa di mana
saja di otak, tetapi lebih sering di hemisfer serebri. Tuberkuloma juga dapat ditemukan di
medula spinalis.

Anamnesis
Tuberkuloma terjadi ketika tuberkel di daerah intrakranial membesar tanpa disertai
pecahnya tuberkel ke ruang subaraknoid. Tuberkuloma dapat ditemukan tanpa disertai
meningitis tuberkulosa atau dapat terjadi bersamaan. Dari studi otopsi dengan sampel yang
cukup besar pada awal abad 20, kejadian tuberkuloma ditemukan seperempat kasus
meningitis tuberkulosa.
Gejala klinis merupakan gejala klinis lesi desak ruang dan juga tergantung dari letak
lesi. Gejala dapat berupa kejang, sedangkan demam, klinis toksik sangat jarang ditemukan.

Diagnosis
Tuberkuloma (A17.1)

Pemeriksaan Penunjang
Protein pada cairan serebrospinal (CSS) mungkin meningkat, tetapi abnormalitas
CSS lain tidak ditemukan.Kecurigaan ke arah tuberkuloma diperoleh dari pemeriksaan
radiologi, akan tetapi diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan patologi anatomi.
Pada pemeriksaan PA akan ditemukan granuloma kaseosa. Pemeriksaan BTA hanya 60%
positif pada demikian juga dengan hasil kultur.

Tatalaksana
Tata laksana dengan medikamentosa, jika terjadi hidrosefalus karena sumbatan
sistem ventrikel, maka diperlukan tindakan shunting.

Kepustakaan

1. Kartasasmita CB, Basir. Tuberkulosis. Dalam Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB.
Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama cetakan ke-empat. Badan Penerbit IDAI.
2015;162-267.
2. Swaiman KF, Ashwal S. Pediatric Neurology Principles & Practice. Edisi ke-4. St. Louis :
Mosby;2006.
3. Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL. Textbook of Child Neurology. Edisi ke-7. Philadelphia
: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.
4. Rom WN, Garay SM.Tuberculosis. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2004.
5. Madkour MM. Tuberculosis. Berlin : Springer; 2004.

65
DIVISI RESPIROLOGI

Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) pada Anak


G47.8

Pengertian/Definisi
OSAS adalah suatu sindrom obstruksi komplit atau parsial jalan nafas yang
menyebabkan gangguan fisiologis yang bermakna dengan dampak klinis yang bervariasi.
Istilah primary snoring (mendengkur primer) digunakan untuk menggambarkan anak
dengan kebiasaan mendengkur yang tidak berkaitan dengan obstruktif apnu, hipoksia atau
hipoventilasi.

Anamnesis
Manifestasi klinis yang terbanyak adalah kesulitan bernafas pada saat tidur yang
biasanya berlangsung perlahan-lahan. Sebelum gejala kesulitan bernafas terjadi,
mendengkur merupakan gejala yang timbul. Dengkuran pada anak dapat terjadi secara
terus menerus (setiap tidur) ataupun hanya pada posisi tertentu saja. Umumnya pada
OSAS anak mendengkur setiap tidur dengan dengkuran yang keras terdengar dari luar
kamar dan terlihat episode apnu yang mungkin diakhiri dengan gerakan badan atau
terbangun Sebagian kecil anak tidak memperlihatkan dengkur yang klasik, tetapi berupa
dengusan atau hembusan nafas, noisy breathing (keributan pernafasan).

Pemeriksaan Fisik
Usaha bernafas dapat terlihat dengan adanya retraksi. Posisi pada saat tidur
biasanya tengkurap, setengah duduk, atau hiperekstensi leher untuk mempertahankan
patensi jalan nafas.

Diagnosis
Sleep Apnea ( G47.3)

Pemeriksaan Penunjang
Cara definitif untuk menegakkan diagnosis OSAS adalah dengan pemeriksaan
polisomnografi (PSG) pada saat tidur. Pemeriksaan ini memberikan pengukuran yang
objektif mengenai beratnya penyakit dan dapat digunakan sebagai data dasar untuk
mengevaluasi keadaannya setelah operasi. Dengan menggunakan polisomnografi dapat
ditentukan derajat OSAS.
OSAS ringan apabila AHI (Apnea-hipopnea-Indeks) >5-15;
OSAS sedang nilai AHI 15-25;
OSAS berat apabila nilai AHI >25.
Cara lain yang sering digunakan untuk diagnosis OSAS adalah uji tapis
menggunakan quesioner yang diperkenalkan oleh Broullette dkk dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:

Skor OSAS = 1,42D + 1,41A + 0,71S – 3,83

66
DIVISI RESPIROLOGI

D: kesulitan bernafas (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu)


A: apnu (0: tidak ada, 1: ada)
S: snoring (mendengkur) ((0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu)

Dengan rumus di atas, ditentukan kemungkinan OSAS berdasarkan nilai yaitu bukan
OSAS apabila mendapatkan nilai <-1; Skor -1 sampai 3,5 berarti mungkin OSAS mungkin
bukan OSAS; dan Skor > 3,5 sangat mungkin OSAS
Dengan menggunakan skor di atas, dapat diprediksi kemungkinan OSAS meskipun
tetap memerlukan pemeriksaan polisomnografi.
Selain cara di atas digunakan pula observasi selama tidur baik menggunakan video-
tape, maupun pemantauan dengan pulse oksimetri.
Pemeriksaan laboratorium yang pernah dilaporkan adalah pertanda hipoksia kronis
seperti polisitemia atau peningkatan ekskresi metabolit ATP, kadang-kadang digunakan
sebagai indikator non spesifik OSAS. Pasien dengan hiperkapnia kronis selama tidur
dapat mengalami peningkatan bikarbonat serum yang persisten akibat kompensasi
alkalosis metabolik.

Terapi
Tatalaksana OSAS pada anak dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu tindakan
bedah dan medis (non bedah). Tindakan bedah yang dilakukan adalah tonsilektomi
dan/atau adenoidektomi dan koreksi terhadap disproporsi kraniofasial, sedangkan terapi
medis dapat berupa diet pada anak dengan obesitas dan CPAP (Continuous Positif Airway
Pressure ).
Pasca tonsilektomi dan/atau adenoidektomi diperlukan pemantauan dengan
polisomnografi sebagai tindak lanjut. Kadang-kadang gejala masih ada dalam beberapa
minggu kemudian menghilang. Tatalaksana non medis lainnya seperti penanganan
obesitasnya tetap dilakukan meskipun telah dilakukan tonsilektomi dan/atau
adenoidektomi.
Nasal CPAP telah digunakan dengan hasil yang baik pada anak. Indikasi pemberian
CPAP adalah apabila setelah dilakukan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi pasien masih
mempunyai gejala OSAS, atau sambil menunggu tindakan tonsilektomi dan/atau
adenoidektomi. Kunci keberhasilan terapi CPAP adalah kepatuhan berobat dan hal
tersebut memerlukan persiapan pasien yang baik, edukasi, dan pemantauan yang intensif.
Penurunan berat badan merupakan kunci keberhasilan terapi OSAS pada anak
dengan predisposisi obesitas. Selain menangani diet pada obesitas, hal yang perlu
diperhatkan adalah penyakit lain yang mungkin menyertainya seperti diabetes melitus atau
hipertensi. Oleh karena itu sambil menunggu berat badan turun diperlukan pemasangan
CPAP. Nasal CPAP harus digunakan sampai mencapai penurunan berat badan yang
cukup.
Obstruksi hidung merupakan faktor yang umumnya dapat mempermudah terjadinya
OSAS pada anak, dan dapat diobati dengan dekongestan hidung atau steroid inhaler.
Trakeostomi merupakan tindakan sementara pada anak dengan OSAS yang berat yang
mengancam hidup dan untuk anak yang tinggal di daerah dengan peralatan operasi tidak
tersedia.

Prognosis
Hipoksia nokturnal berulang, hiperkapnia dan asidosis respiratorik dapat

67
DIVISI RESPIROLOGI

mengakibatkan terjadinya hipertensi pulmonal yang merupakan penyebab kematian


pasien OSAS. Keadaan di atas dapat berkembang menjadi korpulmonal.

Kepustakaan
1. Supriyatno B. Obstructive Sleep Apnea syndrome (OSAS) pada anak. Dalam Rahajoe
NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama cetakan ke-
empat. Badan Penerbit IDAI. 2015; 402-411.
2. Waters KA. Sleep-disorders Breathing. Dalam; Taussig LM, Landau LI. Souef PTNL,
Morgan WJ, Martinez FD, Sly PD. Pediatric Respiratory Medicine. Philadelphia;
Elseviers: 2008. p.942-954.
3. Schechter MS. Technical report: diagnosis and management of childhood obstructive
sleep apnea syndrome. Pediatrics. 2002;109:1−20.
4. Marcus CL, Carroll JL. Obstructive sleep apnea syndrome. Dalam: Loughlin GM, Eiger
H, penyunting. Respiratory disease in children: diagnosis and management. Baltimore:
William & Wilkins; 1994. h. 475−91.
5. Carroll JL, Loughlei GM. Diagnostic criteria for obstructive sleep apnea syndrome in
children. Pediatr Pulmonol. 1992;14:71−4.

68
DIVISI RESPIROLOGI

BRONKIEKTASIS
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Pengertian/Definisi
Bronkiektasis adalah penyakit kronis progesif yang ditandai dengan dilatasi bronkus dan
bronkiolus yang bersifat menetap serta penebalan dinding bronkus.

Anamnesis
Bronkiektasis pada anak kebanyakan ditemukan pada usia prasekolah dan usia awal
sekolah. Dari anamnesis diketahui adanya batuk yang produktif serta pengeluaran banyak
sputum yang biasanya berubah dari jernih menjadi kekuningan bahkan kuning kehijauan yang
berlangsung lebih dari 6 minggu. Sputum yang dihasilkan dapat bersifat mukoid, mukopurulen,
kental, atau blood-streak sputum. Batuk produktif merupakan tanda khas dari bronkiektasis.
Batuk biasanya terjadi pada pagi hari dan semakin memberat pada siang hari. Pada anak,
adanya peningkatan produksi sputum sulit dinilai karena kebanyakan anak terutama balita belum
mampu mengeluarkan sputum dan biasanya menelan sputum tersebut.
Demam merupakan keluhan yang tidak selalu ditemukan. Keluhan lain yaitu sesak napas
dan mengi. Pada beberapa pasien sering disebut sebagai batuk varian asma (cough variant
asthma) yang tidak respon terhadap obat anti-asma. Anoreksia dan kenaikan berat badan yang
tidak adekuat terjadi seiring perjalanan proses penyakit.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis didapatkan adanya batuk produktif, disertai dengan crackles atau
ronki kasar terutama di daerah lobus-bawah kiri dan lobus-tengah kanan; kadang-kadang juga
dapat terdengar mengi. Perkusi pekak merupakan pemeriksaan fisis toraks yang juga dapat
ditemukan.
Jari tabuh (clubbing of the fingers) dilaporkan terdapat pada 37−51% pasien dan
menghilang setelah dilakukan reseksi daerah paru yang terkena. Adanya jari tabuh pada pasien
tanpa penyakit jantung kongenital biasanya menandakan bronkiektasis yang ireversibel.
Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka yang penting adalah dapat
mengidentifikasi atau menduga adanya bronkiektasis, yaitu misalnya pada anak yang
mengalami pneumonia rekuren, atau dengan infiltrat atau atelektasis yang menetap selama 12
minggu.

Diagnosis
Bronkhiektasis (Q33.4)

Diagnosis banding
Diagnosis banding bronkiektasis meliputi hemosiderosis, hipersensitivitas pneumonitis,
obstructive sleep apnea syndrome (OSAS), right middle-lobe syndrome, sarkoidosis,
trakeomalasia.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium harus dapat menyingkirkan etiologi yang mungkin dapat
menyebabkan bronkiektasis, yaitu:

69
DIVISI RESPIROLOGI

 Sweat chloride, yang merupakan pemeriksaan untuk fibrosis kistik.


 IgE, hitung eosinofil, dan presipitan serum untuk Aspergilus, kultur sputum untuk jamur, dan
uji kulit terhadap Aspergilus. Pemeriksaan ini berguna untuk menyingkirkan adanya ABPA.
 Pemeriksaan darah rutin lengkap.
 IgG, IgM, dan IgA serum.
 IgG subklas.
 Uji HIV.
 Kultur sputum atau apus orofaring dalam, dilakukan pada anak yang masih kecil.
 Antinuclear antibody dan rheumatoid factor.

Pemeriksaan bronkografi
Secara tradisional, pemeriksaan ini digunakan untuk menegakkan diagnosis, karena
pemeriksaan radiologis yaitu foto rontgen toraks relatif tidak sensitif.

Pemeriksaan radiologis
Foto rontgen toraks postero-anterior (PA) dan lateral tetap menjadi pemeriksaan tahap awal
yang penting, meskipun gambaran radiologis yang normal tidak dapat menyingkirkan adanya
kemungkinan bronkiektasis.

High resolution CT
Saat ini diagnosis bronkiektasis ditegakkan dengan menggunakan HRCT (level of evidence 1b).
Pemeriksaan ini dapat mengklarifikasi foto rontgen toraks dan memetakan kelainan saluran
respiratorik yang tidak bias yang terlihat dengan foto rontgen toraks. Gambaran HRCT yang
dihasilkan dapat berupa:
 silindrikal (tramlines), signet ring appearance
 varikosa (varicose)
 kistik
 bentuk campuran.

Terapi

 Mengatasi obstruksi saluran respiratorik.


Chest physiotherapy :Peranan chest physiotherapy dalam pengelolaan bronkiektasis
anak masih belum jelas. Meskipun teknik fisioterapi telah terbukti bermanfaat dalam
produksi sputum pada penderita dewasa, tetapi hal ini tidak dapat diekstrapolasikan pada
anak.
Postural drainage

 Mengatasi infeksi.
Antibiotik diperlukan selama terjadi eksaserbasi akut. Jenis antibiotik bergantung pada
identifikasi dan sensitivitas organisme yang ditemukan pada pemeriksaan sputum atau
bronchoalveolar lavage. Lama pemberian antibiotik parenteral adalah berkisar antara
2−6 minggu.

70
DIVISI RESPIROLOGI


Pemberian antiinflamasi

Bronkodilator
 Operasi : Reseksi segmental atau reseksi lobus paru dapat bermanfaat pada keadaan
bronkiektasis berat dan yang terlokalisir, atau yang tidak teratasi dengan pemberian
antibiotik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antibiotik spektrum luas dapat
memberikan perbaikan yang cukup bermakna, sehingga tindakan bedah dapat ditunda.

Prognosis
Meskipun penyebab bronkiektasis tidak dapat ditentukan pada lebih kurang 50% kasus,
tetapi bila identifikasi defisiensi imun humoral, infeksi mikobakteri atau Pseudomonas, serta
fibrosis kistik atau ABPA dapat ditentukan, maka hal ini dapat meramalkan prognosis dan
penatalaksanaannya.
Bila penyebab kerusakan diketahui dini dan diberikan tindakan secara dini pula, maka
prognosis bronkiektasis pada anak cukup baik. Pertumbuhan jaringan paru baru pada anak
terjadi secara cepat saat anak berusia di bawah 6 tahun dan mulai menurun sejak setelah masa
anak. Jejas yang terjadi pada usia muda mudah dikompensasi dengan pertumbuhan paru
normal yang sehat bila penyebab bronkiektasis tidak berkelanjutan. Bila anak memiliki masalah
yang menjadi predisposisi terjadinya bronkiektasis, tindakan yang dilakukan adalah
memperlambat progresivitas penyakit.

Kepustakaan

1. Nataprawira HMD. Bronkiektasis . Dalam Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB.


Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama cetakan ke-empat. Badan Penerbit IDAI.
2015;540-549.
2. Chang AB, Redding GJ. Bronchiectasis. Dalam : Chernick V, Boat TF, Wilmott RW,
Bush A.
3. Kendig’s disorders of the Respiratory tract in Children. Philadelphia:Elsevier; 2006. h.
463-477.
4. Li AM, Sonnappa S, Lex C, Wong E, Zacharasiewicz A, Bush A, dkk. Non-CF
bronchiectasis: does knowing the etiology lead to changes in management?. Eur
Respir J. 2005; 26:8–14.
5. Spencer DA. From hemp seed and porcupine quill to HRCT: advances in the diagnosis
and epidemiology of bronchiectasis. Arch Dis Child. 2005; 90:712–4.
6. Twiss J, Metcalfe R, Byrness CA. New Zealand national incidence of bronchiectasis
“too high” for a developed country. Arch Dis Child. 2005; 90:736–40.
7. Lakser O. Bronchiectasis. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
penyunting. Textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004. h.
1436.
8. Jan IA, Anwar M, Sallem N, Ali M, Hafiz M, Anjum. Bronchiectasis sicca: a case report.
Pak J Med Sci. 2003; 19(2):128–31.
9. Chang AB, Grimwood K, Mulholland EK, Torzillo PJ. Bronchiectasis in indigenous
children in remote Australian communities. MJA. 2002; 177:200–4.
10. Barker AF. Bronchiectasis. N Engl J Med. 2002; 346(18):1383–93.

71
DIVISI RESPIROLOGI

11. Angrill J, de Celis R, Rano A, Gonzales J, Sole T, Xaubet A, dkk. Bacterial


colonization in patients with bronchiectasis: microbiological pattern and risk factors.
Thorax. 2002; 57:15–9.
12. Singleton R, Morris A, Redding G. Bronchiectasis in Alaska native children: causes
and clinical courses. Pediatr Pulmonol. 2000; 29:182–7.
13. Brown MA, Leman RJ. Bronchiectasis. Dalam: Chernick V, Boat T, penyunting.
Kendig’s disorders of the respiratory tract in children. Edisi ke-6. Philadelphia: WB
Saunders; 1998. h. 538–60.

72
DIVISI RESPIROLOGI

HIPERPLASIA TIMUS
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Pengertian/Definisi
Kelenjar timus berwarna merah muda pada usia muda karena kaya akan pembuluh
darah dan berubah merah muda kekuningan dengan bertambahnya umur berkaitan dengan
timbunan lemak.

Anamnesis
Manifestasi klinis hiperplasia timus tergantung pada ukuran dan letak timus,
bervariasi dari asimptomatis sampai gejala akibat penekanan struktur di sekitarnya.

Pemeriksaan Fisik
Apabila ukuran timus besar dan terletak pada daerah superior thoracic inlet, dapat
menekan trakea sehingga menyebabkan stridor. Umumnya dengan perubahan posisi yaitu
posisi prone, suara stridor dapat berkurang dan bahkan dapat menghilang.

Diagnosis
Hiperplasia Thymus

Terapi
Tatalaksana hiperplasia timus tergantung pada besarnya timus. Apabila
pembesaran kelenjar timus tidak menyebabkan gangguan obstruksi maka diobservasi saja
karena akan berkurang sesuai perkembangan umur. Namun bila menimbulkan gejala
seperti stridor maka dapat diberikan kortikosteroid selama 5-7 hari. Dengan pemberian
kortikosteroid, kelenjar timus akan mengecil. Namun setelah kortikosteroid dihentikan,
kelenjar timus dapat membesar kembali tetapi ukurannya lebih kecil. Tindakan eksisi timus
dapat dilakukan bila sumbatan jalan napas cukup mengganggu dan gagal dengan
pemberian kortikosteroid.

Prognosis
Prognosis hiperplasia timus umumnya baik. Apabila tidak memberikan respons
terhadap pemberian kortikosteroid perlu dipikirkan kemungkinan neoplasma timus.
Neoplasma kelenjar timus yang paling sering dijumpai adalah timoma. Timoma adalah
tumor berkapsul yang berbeda dengan hiperplasia yang menyebabkan perubahan bentuk
dari timus.

Kepustakaan
1. Setiawati L. Pembesaran kelenjar Timus. Dalam Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto
DB. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama cetakan ke-empat. Badan Penerbit IDAI.
2015;459
2. Polgreen L, Stemer M, Dietz CA, Manivel JC, Petryk A. Thymic hyperplasia in a child
treated with growth hormone. Growth Hormone & IGF Research. 2007;17:41-6.
3. Anastasiadis K, Ratnatunga C. Anatomy. Dalam: Anastasiadis K, Ratnatunga C,
penyunting. The Thymus Gland. Diagnosis and Surgical Management. Berlin: Springer;

73
DIVISI RESPIROLOGI

2007. h. 5-8.
4. Anastasiadis K, Ratnatunga C. Thymic diseases. Dalam: Anastasiadis K, Ratnatunga
C, penyunting. The Thymus Gland. Diagnosis and Surgical Management. Berlin:
Springer; 2007. h. 17-24.
5. Gleeson F, Anderson K. Radiology. Dalam: Anastasiadis K, Ratnatunga C, penyunting.
The Thymus Gland. Diagnosis and Surgical Management. Berlin: Springer; 2007. h. 51-
62.
6. Brooks JW, krummel TM. Tumors of the Chest. Dalam: Chernick V, Boat TF, Wilmott
RW, Bush A, penyunting. Kendig’s Disorders of the Respiratory Tract in Children. Edisi
ke-7. Philadelphia: WB Saunders; 2006. h. 705-32.

74
DIVISI RESPIROLOGI

KISTA PARU
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Pengertian/Definisi
Cooke dan Blade (1952) membagi penyakit kista paru kongenital menjadi tipe
bronkogenik, alveolar, dan kombinasi kedua tipe ini. Kista paru kongenital lebih sering
ditemukan daripada kista paru didapat, biasanya berjumlah satu atau lebih, namun terbatas
pada satu lobus.

Anamnesis
Gejala klinis bervariasi, bergantung pada besar, derajat ekspansi, dan lokasi kista.
Dapat timbul pergeseran mediastinum, kompresi paru serta diafragma, dan atelektasis
kontralateral.

Pemeriksaan Fisik
Hal ini sering terjadi pada periode neonatus dengan gejala klinis berupa takipnea,
dispnea, takikardia, stridor, sianosis, tidak adanya suara respiratorik, serta pendorongan
trakea dan jantung, tanpa adanya riwayat atau gejala infeksi.
Gejala klinis dapat pula berupa penekanan kista pada organ di sekitarnya. Gejala
klinis yang timbul dapat beragam dan lebih ditentukan oleh lokasi kista. Deformitas bentuk
dada dapat berupa pigeon atau funnel chest. Penekanan pada esofagus dapat
menimbulkan disfagia. Penekanan pada trakea atau bronkus proksimal dapat menimbulkan
sesak, batuk berulang, stridor hingga sindrom vena cava. Kista yang berlokasi dekat karina
dapat menimbulkan kompresi saluran respiratorik dan hiperinflasi paru sehingga timbul
gejala gawat napas yang fatal pada neonatus.

Diagnosis
Kista Paru

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologis adalah pemeriksaan penunjang yang penting dalam
menegakkan diagnosis, diagnosis banding serta evaluasi. Pada kista paru alveolar
kongenital tampak bayangan radiolusen berbatas tegas yang memenuhi satu sisi rongga
toraks, berupa rongga penuh udara yang berbentuk sirkular atau bulat telur, berdinding
tipis, dan mengandung sedikit gambaran paru. Paru normal yang berisi udara ataupun
atelektasis tampak pada daerah atas atau dasar rongga paru, tetapi tidak pada daerah
hilus, sedangkan cairan dalam kista biasanya tidak ditemukan. Pendorongan mediastinum,
jantung dan diafragma juga dapat terlihat, kadang-kadang terdapat herniasi paru
menyeberangi garis tengah.
Pemeriksaan radiologis dengan kontras barium berguna pada kasus-kasus dengan
gambaran radiologis kista paru multipel yang menyerupai hernia diafragmatika, yaitu
gambaran lesi multikistik yang dapat menyerupai gas dan cairan usus yang berada di
dalam rongga toraks.
CT-scan memberikan gambaran morfologi, lokasi, dan isi kista yang lebih baik,
berupa gambaran massa berdensitas cairan atau jaringan lunak dengan dinding tipis yang
licin (menunjukkan kista yang unilokus/unilobular) atau berbenjol-benjol (menunjukkan kista
yang multilokus/multilobular). Magnetic Resonance Imaging (MRI) memberikan resolusi dan

75
DIVISI RESPIROLOGI

gambar potongan sagital yang lebih baik, namun tidak selalu harus dilakukan. Pemberian
kontras pada MRI dapat memperjelas gambaran dinding kista, namun tetap tidak dapat
memberi keterangan tambahan tentang cairan di dalam kista. Diagnosis pasti didapatkan
dari gambaran patologi anatomi (PA). Pada pemeriksaan mikroskopis, akan sulit dibedakan
antara kista bronkogenik dan kista alveolar. Gambaran histologis kista sama dengan
gambaran semua sel dan jaringan yang dapat ditemukan pada trakea dan bronkus berupa
kista berdinding tipis, terdiri atas otot polos, tulang rawan, dan jaringan fibrosa. Dinding
kista dibatasi oleh sel epitel mukus bersilia yang bentuknya beragam, mulai dari epitel
silindris pseudostratified (menyerupai epitel trakea) hingga epitel kubus (menyerupai epitel
bronkiolus respiratorik).

Tatalaksana
Kista paru kongenital jarang mengalami regresi spontan dan dapat menimbulkan
komplikasi berbahaya seperti ruptur pleura, pneumotoraks, infeksi dengan abses,
bronkopneumonia, fistula bronkopleura, perdarahan, dan sebagainya. Oleh karena itu,
tindakan bedah merupakan pilihan terapi terbaik.

Prognosis
Tanpa pembedahan, angka kematian kista kongenital paru simtomatis pada neonatus
mencapai 100%, tetapi dengan tindakan pembedahan angka kematian dapat ditekan
menjadi 0−14%.
Prognosis pascareseksi paru pada kebanyakan anak biasanya menunjukkan keadaan
baik, dengan angka kematian dalam 30 hari pascaoperasi sebesar 0,3%. Pengamatan
jangka panjang terhadap pasien yang menjalani reseksi paru memperlihatkan tidak adanya
gangguan tumbuh kembang, dengan uji fungsi paru yang normal.

Kepustakaan
1. Setiawati L, Nurjannah, Panggabean G. Kista dan Bleb Paru. Dalam Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama cetakan ke-
empat. Badan Penerbit IDAI. 2015; 465-468.
2. Bhandari A. Congenital malformations of the lung and the airway. Dalam: Bell LM,
penyunting. Pediatric pulmonology. Philadelphia: Mosby; 2005. h. 46–8.
3. Green TP, Finder JD. Congenital disorders of the lungs. Dalam: Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia:
Saunders; 2004. h. 1425.
4. McAdams HP, Kirejezk, Rosado-de-Christenson ML, Matsumoto S. Bronchogenic cyst:
imaging features with clinical and histopatologic correlation. Radiology. 2000; 217:441–
6.
5. Kravitz RM. Congenital malformation of the lung. Ped Clin North Am. 1994; 41:453–72.

76
DIVISI RESPIROLOGI

Lobar Emfisema Kongenital


J43.8
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Definisi
Lobar emfisema kongenital adalah suatu keadaan dimana terjadi inflasi yang
berlebihan pada satu atau lebih lobus paru. Kondisi ini ditemukan 25% dari seluruh
kelahiran dan 50% di antaranya bermanifestasi saat usia 1 bulan dan menjadi jarang
memberikan gejala pada usia di atas 6 bulan.

Anamnesis
Gejala dan tanda yang timbul adalah sesak napas, adanya tanda-tanda pendorongan
berupa dada yang asimetris dengan hiperinflasi dan penurunan jumlah udara yang masuk
ke paru yang terkena, terjadinya perpindahan mediastinal ke sisi kontralateral.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat terlihat adanya tanda-tanda pendorongan akibat
emfisemanya, yaitu iktus kordis terlihat bergeser ke sisi yang sehat, trakea terdorong, sela
iga melebar pada sisi yang sakit, dan pada auskultasi terdengar suara napas melemah
pada sisi yang sakit dan wheezing.

Diagnosis Kerja
Lobar Emphysema (J43.8)

Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan radiologis terlihat gambaran hiperaerasi pada satu sisi dan adanya
tanda pendorongan.

Tatalaksana
Tatalaksana dapat berupa tindakan bedah apabila dijumpai sesak dan sianosis. Pada
keadaan yang tidak gawat darurat, pasien dapat diobservasi saja dengan memberikan high
frequency ventilator sementara menyiapkan tindakan bedah.

Kepustakaan
1. Boas S. Winniae GB. Emphysema and overinflation. Dalam: Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18.
Philadelphia: Saunders; 2007. h. 1779-80
2. Abel RM, Bush A, Chitty LS, Harcourt J, Nicholson AG. Congenital lung diseases.
Dalam: Chernick V, Boat TF, Wilmott RW, Bush A. Kendig’s disorders of the respiratory
tract in children. Edisi ke-7. Philadelphia: Elsevier Inc; 2006. h. 280-316
3. Bhandari A. Congenital malformation of the lung and the airway. Dalam: Panitch HB.
Pediatric pulmonology: the requisites in pediatrics. Philadelphia: Elsevier Mosby; 2005.
h. 45-6
4. Clements BS. Congenital malformation of the lungs and airway. Dalam: Taussig LM,
Landau LI, penyunting. Pediatric respiratory medicine. St. Louis: Mosby; h. 1123

77
DIVISI RESPIROLOGI

BRONKOPULMONARI DISPLASIA
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Pengertian/Definisi
Diagnosis klinis yang ditentukan berdasarkan ketergantungan oksigen dalam periode
waktu tertentu setelah lahir, dan disertai gambaran radiologis tertentu yang sesuai dengan
kelainan anatomi. Biasanya didapatkan pada bayi baru lahir yang mengalami
ketergantungan terhadap oksigen selama 28 hari atau lebih setelah lahir.

Anamnesis
1. Sesak napas, biru
2. Riwayat penggunaan ventilasi mekanik,oksigen dalam jangka waktu lama

Pemeriksaan Fisik
1. Takipneu,retraksi, biru
2. Mengi dan ronkhi,wheezing serta ekspirasi yang memanjang

Diagnosis
Bronkopulmonari dysplasia (P27.1)

Pemeriksaan Penunjang
1. Darah perifer lengkap
2. CRP
3. Foto toraksAP/LateralKanan
4. Analisa gas darah

Terapi
1. Respiratory support:
a. Supplemen oksigen:
Memaintance pemberian oksigen yang adekuat sangatlah penting pada penderita
BPD,dengan tujuan untuk mencegah terjadinya hipoksia yang dapat memicu
terjadinya pulmonary hypertension, spasme bronkus, dan gagal tumbuh.
b. Positive pressure ventilation.
Strategi ventilator dengan menggunakan strategi dengan memberikan waktu
inspirasi dan ekspirasi yang lambat pada pasien dengan RDS.
2. Memperbaiki fungsi paru
a. Pembatasan cairan
b. Anti diuretic terapi
c. Bronkodilator
3. Kortikosteroid
Deksamethason diberikan dengan dosis awal0,2-0,5 mg/kg BB po/iv dan dilanjutkan
dengan dosis rumatan 0,1 mg/kg BBpo/iv selama 6-8 jam.
4. Nutrisi yang optimal

78
DIVISI RESPIROLOGI

Edukasi
1. Menjelaskan mengenai gejala dan penyebab penyakit
2. Menjelaskan mengenai pemberian antibiotik, dosis dan efek samping
3. Menjelaskan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis
4. Menjelaskan prognosis dan komplikasi penyakit
5. Menjelaskan perlunya pemberian imunisasi, ASI yang adekuat serta asupan gizi yang
cukup

Prognosis
Ad vitam :dubia ad malam
Ad sanationam :dubia ad malam
Ad fungsionam :dubia ad malam

Kepustakaan
1. Said M.Pneumonia. Dalam: Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi ke-1. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI; 2008; h.350-365.
2. Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia/IDAI. Modul Program Pendidikan Dokter
Spesialis Ilmu Kesehatan Anak. 2008.
3. Alberta Medical Association. Guideline for the Diagnosis and Management of
Community Acquired Pneumonia. Pediatrics; 2001.
4. Supriyatno B, dkk. Pneumonia. Dalam : Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.
Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004; h.351-354.
5. Crowe JE. Viral pneumonia. Dalam : Kendig’s Disorders Of The Respiratory TractIn
th
Children. 7 Edition. Philadelphia : Saunders Elsevier ;2006; h. 433-440.
6. SteinRT, Marostica PJC. Community-acquired-bacterial Pneumonia. Dalam : Kendig’s
th
Disorders Of The Respiratory Tract In Children. 7 Edition. Philadelphia : Saunders
Elsevier; 2006; h.441-452.
7. Crawford SE, Daum RS. Bacterial Pneumonia, Lung Abscess, and Empyema. Dalam :
nd
Pediatric Respiratory Medicine. 2 Edition. Philadelphia : Mosby Elsevier; 2008; h.501-
553
8. Carter Edward R, Marshall G Susan. Sistem Respiratori dalam Nelson Ilmu Kesehatan
Anak edisike-6. Singapore : Saunders Elsevier ;2011;h.527-34
9. Iskandar D,dkk. Pneumonia. Dalam Modul pembelajaran Ilmu Kesehatan Anak. Edisi
ke-1.Surabaya : Airlangga University Press; 2014; h.287-93

79
DIVISI RESPIROLOGI

KERACUNAN MINYAK TANAH


K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Definisi
Keracunan akibat terminum minyak tanah sebanyak 10 cc atau lebih

Anamnesis
Terminumnya minyak tanah, mual dan muntah, batuk-batuk, sesak nafas, sianosis,
batuk darah dan pusing

Pemeriksaan Fisik
Mudah diketahui dengan terciumnya bau minyak tanah, hipertermia, penurunan
kesadaran sampai koma, anogsia, kardiomiopati, renal toksisitas,hepatotoksisitas

Diagnosis
Keracunan minyak tanah (A37.9)

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah lengkap

Terapi
1. Tidak boleh merangsang muntah dan melakukan bilasan lambung
2. Antidotum tidak ada
3. Bila terdapat tanda-tanda anoksia oleh karena methemoglobin,dilakukan transfusi darah.
4. Perhatikan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa serta keadaan umum
penderita.

Edukasi
1. Awasi anak dengan tepat
2. Jauhkan bahan-bahan berbahaya dari jangkauan anak

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumsionam : dubia ad bonam/malam

Kepustakaan
1. Standar Penatalaksanaan Boks Paru Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUnsri /
RSMH Palembang
2. Roni N, Amalia S. Dalam : Nastiti NR,dkk. Buku Ajar Respirologi Anak. Ikatan Dokter
Anak Indonesia.Jakarta.2008.hal 550-5

80
DIVISI RESPIROLOGI

HAMPIR TENGGELAM
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Definisi
Penderita masih hidup dalam waktu 24 jam pertama setelah kejadian

Anamnesis
Tenggelam, sesak napas

Pemeriksaan Fisis
Sesak nafas progresif, sianosis dan edema kegagalan pernafasan, renjatan (syok),
gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa, gangguan traktus urinarius:
albuminuria sampai ginjal akut, gangguan SSP: kejang-kejang, penurunan kesadaran
sampai koma

Diagnosis Kerja
Hampir Tenggelam (T75.1)

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium (darah tepi,analisa gas darah)
2. Pemeriksaan radiologis

Terapi
A. Di tempat kejadian
Segara bersihkan jalan pernafasan , reoksigensi secepatnya dengan memberikan
pernafasan buatan “mouthtomouth” . Bila ada gangguan sirkulasi henti jantung,
dilakukan kompresi jantung luar. Bila pernafasan spontan dan tidak adagangguan
sirkulasi, dilakukanpengosongan lambung.
B. Di perjalanan
Penderita diselimuti dengan selimut/kain tebal untuk mencegah hipotermia tindakan
resusitasi dilanjutkan,sesuai dengan keadaan korban dan sarana/fasilitas yang ada.
C. Di rumah sakit
a. Pengobatan emergensi/darurat
Pengobatan pertama dilakukan terhadap oksigenasi darah dan perbaikan sirkulasi.
Bersihkan orofaring secara manual. Lakukan pernafasan buatan dari mulut ke
mulut“bag to mask”,berikan oksigen 100%. Bila pulse tidak ada, lakukan kompresi
jantung luar. Lakukan intubasi endotrakeal untuk mencegah intermitten clearing
airway dan mencegah muntah.
b. Pengobatan selanjutnya
Bersama dengan tindakan/pengobatan ini, dilakukan pemeriksaan penunjang
laboratorium (darah tepi,analisa gas darah) dan radiologis.

Tindakan pengobatan selanjutnya adalah :


a. Bila penderita bernafas spontan, lakukan penghisapan air/lendir
b. Memakai intubas iendotrakeal dan diberikan oksigen 100% dengan sungkup muka
dengan IPPV/PEEP/ventilator.
c. Bila terdapat henti jantung/ tidak ada sirkulasi, dilakukan kompresi jantung luar

81
DIVISI RESPIROLOGI

d. Berikan infus dextrose 5% pada penderita tenggelam air laut dan NaCI fisiologis untuk
penderita tenggelam air tawar, bila perlu pemberian darah segar/plasma
e. Pada penderita tenggelam air laut, bila kadar natrium sangat tinggi dilakukan transfuse
tukar.
f. Bila penderita tetap koma, 10-20menit setelah tindakan resusitasi, dilakukan resusitasi
otak, misalnya dengan pemberian barbiturate IV.
g. Pemberian kortikosteroid setiap 6 jam, tetapi masih kontroversial.
h. Koreksi“base-deficit” bila terdapat tanda-tanda gangguan keseimbangan asam basa
dengan bikarbonas natrikus 1-2 m Eq/L/KgBB
i. Berikan obat antibiotika parenteral, misalnya amplisillin setiap 6-8 jam Berikan
furosemide parental, sesuai indikasi dan monitor jumlah urin per 24 jam. Fisioterapi
dilakukan setelah penderita kooperatif untuk membantu pengeluaran cairan aspirasi dan
sekret.
j. Bila sarana dan fasilitas yang diperlukan kurang memadai, penderita dikirim ke ICU

Edukasi
Pengawasan ketat terhadap anak yang tidak bisa berenang

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumsionam : dubia ad bonam/malam

Kepustakaan
1. Iskandar Zulkarnaen. Hampir tenggelam. Dalam : Nastiti NR,dkk. Buku Ajar
Respirologi Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2008. Hal 427-33
2. Kallas HJ. Drowning and near drowning. Dalam : Nelson WB, Behrman RE,
Kliegman RM, editors. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-15. Philadelphia :
Saunders; 1996. h. 264-7

82
DIVISI RESPIROLOGI

SCHWARTE
Q78.8
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf
Definisi
Schwarte adalah suatu keadaan penebalan lapisan pleura, yang diakibatkan efusi
pleura yang sudah mengalami resorbsi

Anamnesis
Sesak nafas

Pemeriksaan Fisis
Thoraks asimetris,stem fremitus,suara nafas melemah,Fleura friction rub(+)

Diagnosis Kerja
Schwarte (Q78.8)

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologis dan CT Scan

Terapi
Operasi thoraks :
1. Non reseksi
a. Pulmonary detachment
b. Dekortikasi
c. Torakoplasti
d. Plombage
e. Kovernoplasti
2. Reseksi
a. Segmentektomi
b. Pleuro-lobektomi
c. Pleuro- pneumektomi

Toleransi operasi :
Tergantung faal paru :
1. Absolut aman : VC >70%FEVI >70%
2. Relatif aman : VC > 40%FEVI >50%
3. Tidak aman : VC > 40%FEVI >50%
4. Indeksi respirasi : VC xFEVI=2.000

Timing operasi
a. Paru yang dioperasi tenang
b. Bronkus tidak ada peradangan
c. Obat-obat anti TBC ada yang sensitive

Edukasi
-

83
DIVISI RESPIROLOGI

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumsionam : dubia ad bonam/malam

Kepustakaan
1. Standar Penatalaksanaan Boks Paru Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUnsri/RSMH
Palembang

84
DIVISI RESPIROLOGI

LIMFADENOPATI
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Defenisi
Pembesaran kelenjar getah bening, garis tengah terpanjangnya lebih besar daripada
10mm. Ada dua pengecualian yaitu kelenjar epitrokleas>15mm dianggap abnormal, untuk
kelenjar selangkangan >15 mm baru dianggap normal. Sedangkan limfadenopati
supraklavikula, iliaka dan poplitea, harus dianggap abnormal.

Anamnesis
Demam,pembesaran kelenjar,gejala penyakit yang mendasari

Pemeriksaan Fisik
Kelenjar getah bening; ukuran, nyeri tekan, konsistensi, mobile/immobile.

Diagnosis
Limfadenopati

Diagnosis Banding
1. Gondongan,
2. kistaduktus tiroglossus,
3. kista dermoid,
4. hemangioma

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah perifer lengkap,
2. Pemeriksaan penunjang untuk penyakit yang mendasari

Terapi
Tatalaksana pembesaran kelenjar getah bening didasarkan pada penyebabnya.
Banyak kasus dari pembesaran kelenjar getah bening sembuh dengan sendirinya dan tidak
membutuhkan pengobatan apapun selain observasi

Prognosis
Ad vitam : dubia adbonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumsionam : dubia adbonam/malam

Referensi
1. Standar Penatalaksanaan Boks Paru Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Unsri/RSMH
Palembang

85
DIVISI RESPIROLOGI

EMFISEMA SUBCUTIS
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Pengertian/Definisi
Suatu keadaan dimana udara bebas dapat masuk kejaringan subkutis. Biasanya
merupakan komplikasi darisuatu keadaan, seperti fraktur orbita, trauma pada leher dan
toraks, atau dapat juga terjadi secara spontan.

Pemeriksaan Fisis
Pada perabaan didapati krepitasi bawah kulit, teraba adanya nodul fluktuasi kecil
yang bergerak bebas bila jaringan ditekan

Diagnosis Kerja
Emfisema Subcutis (J44.8)

Pemeriksaan penunjang
Rontgen thorak

Terapi
1. Dilakukan insisi multipel
2. Istirahat total
3. Menghilangkanfaktorpenyebab.

Prognosis
Ad vitam : dubia adbonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumsionam : dubia adbonam/malam

Kepustakaan
1. StandarPenatalaksanaanBoksParuDepartemenIlmuKesehatanAnakFKUnsri/RSMH
Palembang
2. Mardjanis S.,dkk. Dalam: Nastiti NR,dkk. Buku ajarRespirologianak.Ikatan Dokter
AnakIndonesia.Jakarta. 2008.

86
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

12
PEDIATRI SOSIAL

GANGGUAN BICARA DAN BAHASA PADA ANAK ........................................... 3

CEREBRAL PALSI ............................................................................................... 8

AUTISME .............................................................................................................. 12

ATTENTION DEFICIT HYPERACTIVITY DISORDER (ADHD) ............................ 18

RETARDASI MENTAL .......................................................................................... 23

SINDROMA DOWN ............................................................................................... 27

IMUNISASI PADA ANAK ...................................................................................... 30

1
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

2
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

GANGGUAN BICARA DAN BAHASA PADA ANAK


F80.8

1. Definisi
Gangguan bahasa adalah gangguan yang mencakup kemampuan untuk mengartikan atau
mengungkapkan informasi melalui simbol-simbol yang dapat dimengerti.Gangguan bahasa dibagi
menjadi gangguan seseorang untuk memahami (reseptif/ komprehensif), atau memproses dan
memproduksi komunikasi (ekspresif). Bahasa reseptif adalah kemampuan untuk memahami, termasuk
keterampilan visual (membaca, sign language comprehension) dan auditory (mendengar). Bahasa
ekspresif adalah kemampuan untuk memproduksi simbol komunikasi. Luaran dapat berupa visual
(menulis, bahasa isyarat) atau auditory (bicara).Gangguan bicara adalah gangguan pada kemampuan
untuk mengungkapkan informasi dalam bentuk bahasa verbal (kata-kata).

2. Etiologi
1. Faktor biologi
- Gangguan pendengaran
- Kelainan organ bicara dan bahasa
- Retardasi mental
- Kelainan genetik atau kromosom
- Gangguan perkembangan bahasa, gangguan bahasa spesifik (Specific Language
Impairment)
- Autisme
- Mutisme selektif
- Afasia reseptif
- Sindroma Landau-Kleffner (sangat jarang)
- Penyakit metabolik dan neurodegeneratif
2. Faktor lingkungan
- Lingkungan yang sepi
- Status sosial ekonomi
- Teknik pengajaran yang salah
- Sikap orangtua
- Lingkungan yang kurang memberikan stimulasi
- Child abuse
- Pemakaian bahasa bilingual

3. Bentuk Klinis
Kecurigaan adanya gangguan perkembanganbahasa menurut Aram DM
1. Pada usia 6 bulan anak tidak mampu memalingkan mata serta kepalanya terhadap suara
yang datang dari belakang atau samping.
2. Pada usia 10 bulan anak tidak memberi reaksi terhadap panggilan namanya sendiri.
3. Pada usia 15 bulan tidak mengerti dan memberi reaksi terhadap kata-kata jangan, dada dan
sebagainya.
4. Pada usia 18 bulan tidak dapat menyebut 10 kata tunggal.
5. Pada usia 21 bulan tidak memberi reaksi terhadap perintah (misalnya duduk, kemari,
berdiri)
6. Pada usia 24 bulan tidak bisa menyebut bagian-bagian tubuh.
7. Pada usia 24 bulan belum mampu mengetengahkan ungkapan terdiri dari 2 buah kata.
8. Setelah usia 24 bulan hanya mempunyai perbendaharaan kata yang sangat sedikit.

3
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

9. Pada usia 30 bulan ucapannya tidak dapat dimengerti oleh anggota keluarga.
10. Pada usia 36 bulan belum dapat mempergunakan kalimat-kalimat sederhana.
11. Pada usia 36 bulan tidak bisa bertanya dengan menggunakan kalimat-kalimat sederhana.
12. Pada usia 36 bulan ucapannya tidak dimengerti oleh orang diluar keluarganya.
13. Pada usia 31/2 tahun selalu gagal menyebut kata akhir (ca untuk cat, ba untuk ban, dll)
14. Setelah usia 4 tahun tidak lancar baerbicara .
15. Setelah usia 7 tahun masih ada kesalahan ucapan.
16. Pada usia berapa saja terhadap hipernasalitas dan hiponatalitas, sangat keras dan tidak dapat
didengar serta terus menerus memperdengarkan suara serak.

Menurut DSM IV, SLI dibedakan menjadi:


- Gangguan Bahasa Ekspresif
Perkembangan bahasa ekspresif berada dibawah ukuran standar perkembangan bahasa
ekspresif dan kapasitas non verbal.
Gejala meliputi : perbendaharaan kata-kata terbatas, kesulitan membuat kalimat, sulit
mengingat kata-kata atau membuat kalimat panjang dan kompleks.
- Gangguan Bahasa reseptif , ekspresif campuran
Perkembangan bahasa reseptif dan ekspresif berada dibawah ukuran standar kapasitas
intelektual nonverbal
Gejala berupa gangguan bahasa ekspresif dan kesulitan memahami kata-kata atau jenis
kata-kata berurutan.
- Gangguan Fonologi
Gagal menggunakan suara-suara yang sesuai dengan umur dan dialek misal: kesalahan
dalam memproduksi kata-kata menggunakan atau mengorganisasikan kata-kata,
menggantikan satu suara dengan yang lain atau menghilangkan suara.
- Gagap
Gangguan pada kelancaran dan waktu bicara yang tak sesuai dengan umur anak.
- Gangguan komunikasi yang tak tergolongkan
Misal: gangguan suara(karena kelainan pita suara, kualitas, nada atau suara)

Menurut Rutter klasifikasi gangguan bicara sbb :


RINGAN Keterlambatan akuisisi dari Dislalia
bunyi,kata-kata,bahasa normal
SEDANG Keterlambatan lebih berat dari Disfasia ekspresif
akusisi bunyi,kata-kata dan
perkembangan bahasa terlambat
BERAT Keterlambatan lebih berat dari Disfasia reseptif dan tuli persepsi
akusisi dan bahasa, gangguan
pemahaman bahasa
SANGAT Gangguan pada seluruh Tuli persepsi dan tuli sentral
BERAT kemampuan bahasa

4. Kriteria Diagnosis
Anamnesis
 Riwayat perkembangan bahasa yang terlambat (reseptif, ekspresif)
 Riwayat perkembangan lain seperti motorik, personal sosial, dan kognitif
 Riwayat keterlambatan bicara dan bahasa dalam keluarga

4
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

 Faktor risiko/penyebab gangguan bicara


Pemeriksaan Fisis
1. TB. PB, Lingkar kepala
2. Pemeriksaan organ bicara ( ada tidaknya tounge tie, labiopalatoschizis)
3. Pemeriksaan THT ( tuli konduksi, tuli sensorineural, otitis media, atresia choanae)
4. Pemeriksaan craniofacial (hidrosefalus, hidransefali, kraniosinostosis, katarak)
5. Evaluasi perilaku, mengamati anak saat bermain sangat membantu dalam mengidentifikasi
gangguan tingkah laku, sebagai contoh:
a. Cara berkomunikasi dengan cara lain seperti isyarat, atau penggunaan kode-kode yang
dapat dimengerti oleh lawan komunikasinya pada anak dengan gangguan pendengaran.
b. Bicara meracau dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh orang lain pada anak autisme
c. Cemas, pemalu, tidak percaya diri serta tidak mampu bicara pada situasi sosial tertentu
pada anak dengan mutisme selektif

5. Diagnosis Banding
- Gangguan pendengaran
- Retardasi Mental
- Autisme

6.Pemeriksaan Penunjang
1. Tes pendengaran
2. Tes IQ
3. Pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi dan faktor risiko

7.Terapi
-Cari faktor penyebab, bila mungkin diatasi.
-Terapi bicara

Ad.A. Konsultasi
 Psikiater anak
Bila ada gangguan bahasa dan tingkah laku.
 Ahli THT
Untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran
 Ahli syaraf anak
Untuk mengetahui adanya kelainan neurologi
 Mencari penyakit metabolik dan gangguan organik lainnya.
Ad.B. Rujukan untuk terapi bicara
Indikasi :
1. Anak berumur 20-24 bulan belum bicara satu katapun.
2. Anak berumur 28-30 bulan belum bisa mengucapkan kata-kata
3. Anak berumur 3 tahun atau lebih bicaranya tidak bisa dimengerti
4. Bila orang tua mengkhawatirkan kemampuan bicara anaknya, pada usia berapapun.

5
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

Algoritme tatalaksana gangguan bahasa pada


Anak dengan gejala gangguan bicara dan berbahasa

Rujuk ke:
Gangguan organik alat bicara Ya Bedah Mulut /
Neuropediatri

Tidak

Skrining Perkembangan umum Tes intelegensia non


Tes pendengaran
(Mis : Denver II)
verbal

Abnormal Normal Abnormal Normal Normal Abnormal

Gangguan Retardasi
Motorik : Palsi serebralis Mental
Pendengaran
Personal Sosial : Autisme

THT dan Terapi Gangguan defisit perhatian


Wicara Terapi wicara
dan hiperaktivitas
Terapi okupasi
Tidak Ya

ADHD
Tidak bicara
hanya pada Gangguan Perkembangan bicara dan berbahasa :
lingkungan 1. Tipe ekspresif
Terapi wicara
tertentu 2. Tipe reseptif – ekspresif
3. Gangguan fonologi Psikiater /
4. Gagap Psikolog
5. Kelainan Suara
Mutisme Selektif

Psikiater /
Halusinasi, gangguan pikiran Skizofrenia anak
Psikolog

6
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

9. Edukasi
- Terapi bicara dirumah
-Sekolah dan pendidikan Khusus

10.Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad sanationam: dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam

11.Kepustakaan
1. Glascoe FG. Developmental screening and surveillance. Dalam: Kliegman RM, Behrman
RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson Textbook of pediatrics. Edisi ke-18.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. h. 74-80.
2. Narendra MB, Sularyo TS, Soetjiningsih, Suyitno H, Gde Ranuh IGN, penyunting. Buku
Ajar I Tumbuh Kembang dan Remaja. Jakarta: IDAI; 2005. h. 1-126.
3. Blackman JA. Developmental screening: Infants, toddlers, and preschoolers. Dalam:
Levine MD, Carey WB, Crocker AC, penyunting. Developmental- Behavioral Pediatrics.
Edisi ke-3. Philadelphia: Saunders; 1999. h 689-95.
4. Glascoe FG. Developmental screening. Dalam Parker S, Zuckerman B, Augustyn M,
penyunting. Developmental and behavioral pediatrics. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins; 2004. h 41-50.
5. Illingworth RS. The normal child. Edisi 10. India:Elsevier: 2005. h.127-89.
6. Knight JR dkk, penyunting. Bright Futures case studies for primary care clinicians: child
development and behavior. The Bright Futures Center for pediatric education in growth
and development, behavior and adolescent health. Children hospital, Boston. 2001.
7. UKK Tumbuh Kembang-Pediatri Sosial IDAI. Deteksi dan intervensi kelainan gangguan
bicara dengan ELMS-2. Yogyakarta, 2007.
8. Judith EC, Nancy TM, Roanne K, Karzon dan jay FP. Unilateral Hearing loss is associate
with worse speech language score in children. Pediatrics 2010; 125;e1348

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016

Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Anak Kepala Divisi Tumbuh Kembang dan Pediatri
Sosial

dr.Yusmala Helmy, Sp.A(K) dr.Rismarini, Sp.A(K)


NIP. 19541128198032002 NIP.195801261985032001

7
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

CEREBRAL PALSI
G80.0-8
1. Pengertian
Cerebral Palsi merupakan suatu sindroma yang memperlihatkan kelainan pada fungsi motorik berupa
kelainan gerak dan posturkarena lesi yang statik akibat gangguan pertumbuhan, trauma atau infeksi
syaraf motorik yang terjadi pada masa pertumbuhan

2.Anamnesa
1. Riwayat perkembangan motorik
2. Riwayat perkembangan yang lain: bahasa personal sosial dan kognisi
3. Adanya faktor resiko (prenatal, perinatal, postnatal)
 Faktor prenatal
a) Polihidramnion
b) Ibu dalam pengobatan hormon tiroid, esterogen, atau progesterone
c) Ibu dengan proteinuria berat atau hipertensi
d) Ibu terpapar merkuri
e) Multiple/malformasi kongenital mayor pada bayi/kelainan genetic
f) Bayi laki-laki/kehamilan kembar
g) Perdarahan pada trimester ketiga kehamilan
h) Bayi dengan retardasi pertumbuhan intrauterine (IUGR)
i) Infeksi virus kongenital (HIV, TORCH)
j) Radiasi
k) Asfiksia intrauterin (abrupsio plasenta, plasenta previa, masalah lain pada plasenta,
anoksia maternal, kelainan umbilicus, ibu hipertensi, tosemia gravidarum)
l) DIC oleh karena kematian prenatal pada salah satu bayi kembar.
 Faktor perinatal
a) Bayi premature; umur kehamilan kurang dari 30 minggu
b) Berat badan lahir kurang dari 1500 gram.
c) Korioamnionitis
d) Bayi bukan letak kepala
e) Asfiksia perinatal berat
f) Keadaan hipoglikemia lama atau menetap
g) Kelainan jantung bawaan sianosis
 Faktor postnatal
a) Infeksi (meningitis, ensefalitis yang terjadi pada 6 bulan pertama kehidupan.
b) Perdarahan intracranial (pada bayi premature, malformasi pembuluh darah atau
trauma kepala)
c) Leukomalasia periventricular
d) Hipoksik-iskemik (pada aspirasi meconium), HIE (hipoksik-iskemik ensefalopati)
e) Kern – icterus
f) Persistent fetal circulation atau persistent pulmonary hypertension of the newborn
g) Penyakit metabolic
h) Racun : logam berat, gas CO

3. Pemeriksaan Fisik
1. Umumnya ada mikrosefali

8
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

2. Adanya defisit neurologi seperti :


- Tonus otot bervariasi dari hipotoni sampai dengan hipertoni
- Refleks fisiologis yang meningkat
- Tanda-tanda spastisitas
- Sering ditemukan gerakan-gerakan yang tidaak terkontrol seperti korea, atetosis, tremor
- Refleks primitif terlambat menghilang atau meningkat intensitasnya
- Dapat ditemukan gangguan pada otot facial atau oromotor

4. Kriteria Diagnosis
1. Riwayat keterlambatan perkembangan motorik
2. Adanya defisit neurologis sesuai dengan tipe dan derajatnya
3. Riwayat perkembangan yang lain: bahasa personal sosial dan kognisi
4. Adanya faktor resiko (prenatal, perinatal, postnatal)

5.Diagnosis
1. Anamnesis
 Riwayat perkembangan motorik
 Riwayat kehamilan ibu
 Riwayat kelahiran
 Adanya faktor risiko
2. Pemeriksaan fisik
Ditemukanya kelainan neurologis sesuai dengan tipenya
Berdasarkan kelainan klinik yang lebih menonjol ditemui, dapat digolongkan sebagai :
 Spastic Cerebral Palsy
a. Spastic hemiphlegia (G80.2)
b. Spastic tetraphlegia (G80.0)
c. Spastic diphlegia (G80.1)
d. Spastic paraphlegia
e. Spastic monophlegia dan triphlegi
 Dyskinetik Cerebral palsy
a. Athetosis (G80.4)
b. Chorea athetosis
c. Bentuk-bentuk lain
 Ataxic Cerebral palsy (G80.8)
 Bentuk-bentuk campuran

Berdasarkan derajat kemampuan fungsional, cerebral palsi dibagi atas :


a. Golongan Ringan : penderita masih dapat melakukan pekerjaan/aktivitas sehari-hari, sehingga
sama sekali/hanya sedikit membutuhkan bantuan.
b. Golongan Sedang : aktivitas sangat terbatas. Pederita membutuhkan bermacam-macam
bantuan/pendidikan khusus agar dapat mengurus dirinya sendiri, bergerak atau berbicara
sehingga dapat bergaul di tengah masyarakat dengan baik.
c. Golongan Berat : penderita sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas fisik dan tidak mungkin
dapat hidup tanpa pertolongan orang lain.

9
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

3. Pemeriksaan penunjang
Untuk mencari faktor risiko dan untuk menyingkirkan penyebab yang masih aktif atau
progresif
6.Diagnosis Banding
Keterlambatan perkembangan motorik

7.Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang sesuai indikasi dan faktor risiko yang mendasarinya seperti EEG, foto
kranium, CT-scan dan laboratorium, berguna untuk menyingkirkan penyakit yang masih aktif atau
progresif

8.Terapi
1. Sebaiknya diakukan sedini mungkin secara multidisipliner dan mengikutsertakan orangtua/
keluarga.
2. Pengobatan medikamentosa ditujukan untuk mengurangi spastisitas, menghilangkan
bangkitan epilepsi, serta mengontrol gerakan abnormal.
3. Pemberian piracetam dosis 80-120 mg/kg/hari, terbukti memperbaiki perkembangan motorik
dan mental.
4. Usaha rehabilitasi, dilakukan fisioterapi, terapi bicara sedini mungkin dan kadang-kadang
diperlukan tindakan terapi orthopedis.
5. Pendidikan penderita yang mengalami retardasi mental dengan menyekolahkannya di Sekolah
Luar Biasa (SLB).
6. Melakukan penerangan / bimbingan kepada orang tua serta masyarakat agar penderita dapat
hidup wajar

9.Edukasi
a. Rencana pengobatan
b. Pengobatan jangka panjang, dan memerlukan kerja sama dengan keluarga
c. Prognosis

10.Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam: dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad malam

11.Tingkat Evidens : IIA

12.Tingkat Rekomendasi : B

13.Penelaah Kritis :
Dr. Rismarini, SpAK
Dr. Yudianita, SpA, MKes

14.Indikator medis
Kemampuan perkembangan motorik,bicara, dan intelektual

10
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

15.Kepustakaan
1. Johnston VM. Cerebral Palsy. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF,
penyunting. Nelson Textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders Elsevier;
2007. h. 2494-5.
2. Palmer FB, Hoon AH. Cerebral Palsy. Dalam: Parker S, Zuckerman B. Development and
Behavioral Pediatric. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott; 2005. h. 145-51.
3. Blasco PA. Motor Delays. Dalam: Parker S, Zuckerman B. Development and Behavioral
Pediatric. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott; 2005. h 42-7.
4. Williams J, Venning H. Physical disability. Dalam: Polnay L. Community Paediatrics.Edisi
ke-3. Edinburgh: Churcill; 2003. h. 503-6.
5. Falconbridge J. Counselling. Dalam: Polnay L. Community Paediatrics. Edisi ke-3.
Edinburgh: Churcill; 2003. h. 469-78.
6. Marwa OE, Sadia AT, Mohaed EA Ahmed MA Ade EM, Mohamed HM. Role of piracetam
in treatment of cerebral palsy disease. Journal of
Behavioral health. 2012;1(1): 53-58
7. Soetjiningsih, Gde Ranuh. Tumbuh Kembang Anak, Edisi 2. EGC. 2012. H.527-57.

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016

Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Anak Kepala Divisi Tumbuh Kembang dan Pediatri
Sosial

dr.Yusmala Helmy, Sp.A(K) dr.Rismarini, Sp.A(K)


NIP. 19541128198032002 NIP.195801261985032001

11
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

AUTISME
F84.0
1. Pengertian
Autisme adalah gangguan perkembangan yang luas dan berat (pervasive) dengan karakteristik
gangguan komunikasi, interaksi sosial, dan prilaku yang gejalanya mulai tampak pada anak sebelum
usia 3 tahun.
Menurut PPDGJ-III (Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa-III) 1993, autisme digolongkan
gangguan perkembangan pervasive (Pervasive Developmental Disorder; PDD)
Menurut DSM-IV yang tergolong dalam PDD adalah
- Autistic disorder (autisme)
- Asperger syndrom
- PDD Not Otherwie Spesified (PPD –NOS)
- Childhood disintegratif disorders
- Rett Syndrom

2. Anamnesa
Gejala autisme biasanya timbul sebelum anak berusia 3 tahun. Pada sebagian anak gejala-gajala bisa
sudah ada sejak lahir yang akan tampak makin jelas setelah anak mencapai 3 tahun.
1. Gangguan dalam bidang komunikasi verbal maupun non verbal
 Telambat bicara
 Meracau dengan bahasa yang tidak dimengerti orang lain
 Bicara tidak dipakai untuk berkomunikasi
 Meniru atau membeo (echolalia)
 Pandai meniru nyanyian, nada maupun kata-katanya tanpa mengerti artinya
 Sebagian (20 %) anak-anak ini tetap tak dapat bicara sampai dewasa
 Bila menginginkan sesuatu ia menarik tangan yang terdekat dan mengharapkan tangan
tersebut melakukan sesuatu untuknya
2. Gangguan dalam bidang interaksi sosial
 Menolak / menghindar untuk bertatap mata (kontak mata tidak ada)
 Tak mau menengok bila dipanggil
 Seringkali menolak untuk dipeluk
 Tidak ada usaha melakukan interaksi dengan orang lain, asyik main sendiri
 Bila didekati untuk diajak main malah menjauh
3. Gangguan dalam bidang perilaku
Pada anak autis terdapat perilaku yang berlebihan dan kekurangan
Contoh perilaku yang berlebihan:
 Hiperaktivitas motorik seperti tidak bisa diam, lari ke sana ke mari tak terarah, melompat-
lompat, berputar-putar, memukul-mukul pintu atau meja, mengulang-ulang gerakan tertentu.
Perilaku ini dapat membahayakan diri sendiri dan dapat berupa agresifitas melawan orang
lain
 Perilaku yang kekurangan, contohnya:
o Duduk dia bengong dengan tatap mata yang kosong, bermain secara monoton dan kurang
variatif secara berulang-ulang.
o Duduk diam terpaku oleh sesuatu hal, misalnya bayangan atau benda yang berputar.
Kadang-kadang ada kelekatan pada benda tertentu seperti sepotong tali, kartu, kertas,
gambar, gelang karet atau apa saja yang terus dipegangnya dan dibawa ke mana-mana

12
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

4. Gangguan dalam bidang perasaan/ emosi


 Tidak ada atau kurangnya empati, misalnya melihat anak menangis tidak merasa kasihan
melainkan merasa terganggu sehingga anak yang menangis tersebut mungkin didatangi dan
dipukulnya
 Tertawa-tawa sendiri, menangis atau marah-marah tanpa sebab yang nyata
 Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum). Terutama bila tidak mendapatkan apa
yang diinginkannya, ia bisa menjadi agresif dan destruktif (merusak)
5. Gangguan dalam persepsi sensoris (tactile, auditory hipersensity )
 Mencium-cium, menggigit atau menjilat mainan atau benda apa saja
 Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga
 Tidak menyukai rabaan atau pelukan
 Merasa sangat tidak nyaman bila memakai pakaian dari bahan yang kasar
6. Gangguan tidur dan makan
7. Gangguan efek dan mood (suasana hati)
8. Gangguan kejang
9. Aktivitas dan minat yang terbatas
10. Gangguan kognitif : 75-80% anak autis mengalami retardasi mental.
Gejala-gejala diatas tidak harus ada semuanya pada setiap anak, tergantung pada berat atau
ringannya keadaan autisnya.

3. Pemeriksaan Fisik
- Berat badan, tinggi badan, lingkar kepala dapat normal atau abnormal
- Anak tidak menjalin interaksi soaial yang memadai seperti : kontak mata kurang atau tidak ada,
tidak mau bermain dengan teman
- Anak tidak bisa bicara, atau mengulang kata-kata tanpa arti
- Ada gerakan repetitif , stereotipik, hiperaktif, dan hipoaktif
- Skrining dengan Checklist for Autism in Toddler

4.Kriteria Diagnosis
Menurut ICD-10 1993 & DSM IV 1994, kriteria diagnosis autisme adalah sebagai berikut :
o Harus ada setidaknya 6 gejala dari 1, 2 dan 3 dengan minimal 2 gejala dari 1 dan masing-masing
satu gejala dari 2 dan 3
1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal harus ada 2 dari
gejala dibawah ini :
a. Tidak mampu menjalani interaksi sosial yang cukup memadai: kontak mata sangat
kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak-gerik kurang tertuju.
b. Tak bisa bermain dengan teman sebaya
c. Tak ada empati (tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain)
d. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik
2. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada satu gejala dibawah ini :
a. Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tak berkembang, anak tidak
berusaha berkomunikasi secara nonverbal
b. Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak dapat dipakai untuk komunikasi
c. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang
d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang dapat meniru

13
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

3. Adanya suatu pola yang dipertahankan, diulang-ulang dalam perilaku, minat dan kegiatan.
Minimal harus ada satu gejala dibawah ini :
a. Mempertahankan suatu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan
berlebihan
b. Terpaku pada satu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tak ada gunanya
c. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang
d. Sering kali sangat terpukau pada bagian-bagian benda
o Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang
1. Interaksi sosial
2. Bicara + Bahasa
3. Cara bermain yang monoton, kurang variatif
Bukan disebabkan oleh sindroma Rett atau gangguan disintegratif masa kanak-kanak

5.Diagnosis
- Anamnesis
Riwayat gangguan perkembangan bicara dan bahasa
Riwayat gangguan komunikasi, interaksi sosial, dan prilaku
- Pemeriksaan fisikterdapat gangguan perilaku yang khas yaitu hiperaktif atau hipoaktif, gerakan
stereotipik. repetitive, echolalia, dan tidak ada kontak mata.
- Pemeriksaan penunjang
- Tes pendengaran
- Tes IQ

6. Diagnosis Banding
- Gangguan pendengaran
- ADHD
- Mental retardasi

7. Pemeriksaan Penunjang
- Tes pendengaran
- Tes IQ

8.Terapi
Tujuan :
- mengurangi masalah perilaku yang abnormal
- meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangannya, terutama dalam penguasaan bahasa

Ditangani oleh satu tim kerja yang terpadu yang terdiri dari: tenaga pendidik, tenaga medis (psikiater,
dokter anak), psikolog. Ahli terapi wicara, pekerja sosial, fisioterafis dan perawat
Berbagai jenis terapi yang harus di jalankan secara terpadu tersebut, sesuai dengan keadaan dan
keperluan anak, mencakup :
1. Terapi medikamentosa
2. Terapi nonmedikamentosa

1. Terapi medikamentosa:
Pada penderita autisme dengan gejala-gejala seperti tempertantrum, agresifitas, melukai diri
sendiri dan perilaku stereotifik, pemberian obat akan membantu memperbaiki perilaku dan respon
anak terhadap lingkungan sehingga ia lebih mudah menerima terapi yang lain. Obat-obat yang

14
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

diberikan adalah obat-obat yang mempengaruhi kerja sel otak dan memperbaiki abnormalitas
kadar neurotransmitter, seperti:
- Risperidon, dimulai dengan dosis 2 x 0,1 mg, dapat dinaikkan 0,05 mg setiap 1 – 2 minggu,
dosis bisa mencapai 1-2 mg/hari. Dapat memperbaiki hubungan sosial, atensi, agresifitas,
hiperaktifitas dan perilaku menyakiti diri sendiri.
- Aripiprazole, dimulai dengan dosis 2 mg sekali sehari, dapat dinaikkan bertahap hingga
maksimal 10 mg/hari.Dapat mengurangi gangguan iritabilitas yang berhubungan dengan
autis (tantrum, agresivitas, perubahan mood tiba-tiba, perilaku yang merugikan diri sendiri).
Digunakan pada anak usia 6-17 tahun.
- Haloperidol, dosis 0,25-3 mg/ hari, dibagi 2-3 dosis. Dapat memperbaiki agresifitas,
hiperaktifitas, iritabilitas dan stereotifik.
- Thioridazine, dosis 0,5-3 mg/ kg/ hari dibagi 2-3 dosis. Dapat menurunkan agresifitas dan
agitasi.
2. Terapi nonmedikamentosa:
- Terapi perilaku
Keadaan hiperaktifitas, impulsifitas, gerakan stereotifik, cara bermain yang tidak sama
dengan anak lain, juga adanya agresifitas, temper tantrum, dan cenderung melukai diri sendiri
memerlukan intervensi perilaku.
Metode yang banyak dipakai adalah ABA (Applied Behavioral Analysis). Usia terbaik adalah
sekitar 2-3 tahun dan intensitas terapi sekitar 40 jam perminggu.
- Terapi bicara
Terapi bicara perlu dilakukan sejak dini dengan intensif bersama dengan terapi lain.
- Terapi okupasi
Terapi okupasi diperlukan untuk melatih motorikhalus dan ketrampilan agar anak dapat
melakukan gerakan memegang, menggunting, menulis dengan terkontrol dan teratur.
- Sensori integrasi
Sensori integrasi adalah pengorganisasian informasi melalui semua sensori yang ada (gerakan,
sentuhan, penciuman, pengecapan, penglihatan, pendengaran, body awareness dan gravitasi)
untuk menghasilkan respons yang bermakna.
- AIT (Auditory Integration Training)
Diberikan kepada individu yang hipersensitif terhadap suara dan mengganggu pendengaran
mereka. Mulanya ditentukan suara yang mengganggu pendengaran dengan perangkat
audiometer. lalu diikuti seri terapi yang memperdengarkan suara-suara yang direkam, tetapi
tidak disertai dengan suara yang menyakitkan. Selanjunya dilakukan desnsitisasi terhadap
suara yang menyakitkan tersebut.
- Terapi Edukasi
Intervensi dalam bentuk pelatihan ketrampilan sosial, ketrampilan sehari-hari agar anak dapat
mandiri. Salah satu metode yang banyak dipakai adalah metode TEACCH (Treatment and
Education of Autistic and Related Communication Handicapped Children). metode ini sangat
terstruktur, mengintegrasikan metode klasik yang individual, metode pengajaran yang
sistematik, terjadwal dan dalam ruang kelas yang ditata khusus.
- Terapi diet
Terapi diet bebas glutein dan casein bersifat individual. Dapat dipertimbangkan bila dengan
diet tersebut ada penurunan hiperaktifitas

9.Edukasi
1. Pengobatan bersifat jangka panjang
2. Sangat memerlukan kerja sama dengan keluarga

15
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

3. Terapi bicara dirumah


4. Sekolah dan pendidikan khusus
10.Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad sanationam: dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Dengan penatalaksanaan yang tepat dan terpadu gejala-gejala autistiknya bisa dikurangi semaksimal
mungkin. Bila anak tersebut mempunyai kecerdasan yang normal atau tinggi, tidak tertutup
kemungkinan ia bisa mencapai jenjang pendidikan yang tinggi.
Prognosis penyandang autisme sangat tergantung dari diagnosis dini, berat ringannya gejala,
kecerdasan anak, umur pada saat terapi, kemampuan bicara dan terutama intensitas terapi.
Keterlibatan orang tua sangat mempengaruhi dan penting dalam membantu kemajuan anaknya
.Penyandang autisme dikatakan “sembuh” bila ia telah bisa membaur dan mandiri dalam masyarakat.

11.Tingkat evidens : IB

12.Tingkat Rekomendasi : A

13.Penelaah Kritis
Dr. Rismarini, SpAK
Dr. Yudianita, SpA, MKes

14.Indikator Medis
- Kemampuan berkomunikasi
- Kemampuan sosialisasi
- Kemampuan kognisi

15.Kepustakaan
1. Dalton R, Forman MA. Autistic Disorder. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB,
Stanton BF, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2007. h. 87-8
2. Caronna EB. Autism. Dalam: Parker S, Zuckerman B. Development and Behavioral Pediatric.
Edisi 2. Philadelphia: Lippincott; 2005. h. 124-9.
3. Falconbridge J. Counselling. Dalam: Polnay L. Community Paediatrics. Edisi ke-3. Edinburgh;
Churcill; 2003. h. 469-78.
4. Tanguay PE. Pervasive developmental disorders A. 10 year- review. J. Am. Acad. Child Adolesc
Psychiatry. 2000; 39:1079-95
5. Maestro S, Muratori F. Attentional skill during the first 6 month of age in autism spectrum
disorder. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry. 2002; 41:10
6. Brereton AV, Tonge BJ. Screening young people for autism with the developmental behavior
check-list. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry. 2002; 41:11
7. Baird G, Charman T. A screening instrument for autism at 18 months of age: A 6- year follow up
study. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry. 2000; 39:6
8. Alisjahbana A. Tanda awal dari autisme. Disampaikan pada konferensi nasional autism-1. Jakarta,
2-4 Juli 2003.
9. Filipek PA, Acardo PJ, Aswahwal S, Baronek GT, Cook EH, Dawson G, dkk. Practise
parameter: screening and diagnosis of autism. Neurology.2000.; 55: 468-79

16
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

10. Task Force on DSM-IV.Diagnostic and statistical manual of mental disorders. Washington:
American Psychiatric Association; 1994. h 66-71.
11. Randall O, Linmarie S, Ronal NM, Patricia CL George M, Roert DM, William HC , Robert LF.
Aripiprazole in the treatment of irritability in children and adplesscents with autistic disorder.
Pediatric 2009;124;1533-1540
12. Nazni P, Wesely EG, Nishadevi V. Impact of Casein and Glutein Free Dietary Intervention on
selected Autistic Children. Iran J Pediatr 2008:18:244-250

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016

Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Anak Kepala Divisi Tumbuh Kembang dan Pediatri
Sosial

dr.Yusmala Helmy, Sp.A(K) dr.Rismarini, Sp.A(K)


NIP. 19541128198032002 NIP.195801261985032001

17
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

ATTENTION DEFICIT HYPERACTIVITY DISORDER (ADHD)


F.90.0-2

1. Pengertian
ADHD adalah kelompok gangguan tingkah laku (sindroma tingkah laku) yang terdiri dari gangguan
hiperaktif dan/atau impulsif dan/atau kurang perhatian (inatentif) yang tampak pada awal kehidupan
anak dan akan menetap setelah masa anak dan remaja, walaupun manifestasi tingkah laku berubah
tergantung rentang perkembangan

2.Anamnesa
1. Riwayat perkembangan
2. Riwayat gangguan perilaku seperti inattensi, hiperaktivitas, dan impulsivitas
3. Riwayat keluarga

3.Pemeriksaan Fisis
 Berat badan , tinggi badan, lingkar kepala bisa normal/ abnormal
 Pemantauan perilaku misalnya kontak mata, hiperaktivitas, inattensi dan impulsivitas
 Pemeriksaan neurologis
ADHD sering berhubungan dengan gangguan neurologis nonspesifik yang menunjukkan
imaturitas neurologis atau lemahnya koordinasi.
 Tes Denver, score Conner’s scale

4. Kriteria Diagnosa
Menurut ICD 10 (1993) dan DSM IV (1994) :
A. Kurang perhatian atau inattentive
1. Kurang perhatian : terdapat minimal 6 dari gejala berikut yang menetap selama minimal 6
bulan dalam derajat yang maladaptive dan inkonsisten dengan tingkat perkembangan :
 Selalu gagal memperhatikan secara detail atau melakukan kesalahan yang ceroboh dalam
pekerjaan sekolah, pekerjaan atau kegiatan lainnya.
 Selalu kesulitan dalam mempertahankan perhatian dalam pekerjaan atau kegiatan
bermain.
 Selalu seolah-olah tidak mendengar apa yang dikatakan kepadanya.
 Selalu tidak mengikuti perintah dan gagal untuk menyelesaikan pekerjaan sekolah, koor
atau tugas di tempat kerja (bukan karena sikap melawan atau kegagalan untuk mengerti
perintah).
 Selalu kesulitan dalam mengorganisir tugas atau kegiatan.
 Selalu menghindari, menyatakan keengganan atau mengalami kesulitan dalam
keterlibatan dengan tugas yang membutuhkan usaha mental yang lama (seperti pekerjaan
sekolah dan PR).
 Selalu kehilangan barang-barang yang diperlukan untuk tugas dan kegiatan (mis: tugas
sekolah, pensil, buku, alat-alat atau mainan)
 Selalu mudah teralihkan perhatiannya oleh stimulus dari luar.
2. Hiperaktifitas impulsifitas : terdapat minimal 5 dari gejala berikut yang menetap selama
minimal 6 bulan dalam derajat yang maladaptive dan inkonsisten dengan tingkat
perkembangan :
Hiperaktifitas

18
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

 Selalu tidak bisa diamnya tangan atau kaki atau selalu menggeliat-geliat pada waktu
duduk.
 Meninggalkan kursi dalam kelas atau pada situasi lain dimana seharusnya anak tetap
duduk di kursinya.
 Selalu berlari kesana kemari atau memanjat berlebihan dalam situasi yang tidak sesuai.
 Selalu kesulitan bermain atau terlibat dalam kegiatan yang santai dan tenang.
 Selalu “siap pergi” atau bersikap seolah-olah dikejar motor.
 Selalu berbicara berlebihan.
Impulsifitas
 Selalu cepat-cepat menjawab pertanyaan sebelum pertanyaan selesai diajukan.
 Selalu kesulitan menunggu dalam barisan atau menunggu giliran dalam permainan atau
dalam situasi kelompok.
 Selalu menyelak atau menyerobot orang lain (mis: ikut dalam percakapan orang lain atau
permainan)
B. Beberapa simptom yang menyebabkan ganggguan telah ada sebelum usia 7 tahun.
C. Beberapa simptom yang menyebabkan gangguan ada pada lebih dari 2 setting (mis: di sekolah, tempat
kerja dan di rumah).
D. Harus ada bukti jelas dari gangguan klinis yang bermakna dalam bidang social, akademis atau fungsi
pekerjaan.
E. Tidak ada secara eksklusif selama perjalanan penyakit perkembangan pervasive, skizofrenia atau
penyakit psikotik lainnya dan tidak disebabkan gangguan mood, ansietas atau gangguan kepribadian.

5.Diagnosis
1. Anamnesis
- Riwayat perkembangan
- Riwayat gangguan perilaku
- Riwayat keluarga
2. Pemeriksaan fisik.
Untuk menyingkirkan diagnosa banding
 Berat badan , tinggi badan, Lingkar kepala
 Gangguan perilaku misalnya kontak mata tidak ada, hiperaktivitas, inattensi dan impulsivitas
 Tes Denver, score Conners scale
 Pemeriksaan neurologis
3. Pemeriksaan penunjang
Tes pendengaran, tes IQ

Berdasarkan tipe :
- Attention Deficit/Hiperactivity Disorder, Predominantly Inattentive Type F90.0 : jika kriteria A(1)
dipenuhi tapi kriteria A(2) tidak, dalam 6 bulan terakhir.
- Attention Deficit/Hiperactivity Disorder, Predominantly Hiperactive Impulsive Type F90.1 : jika
kriteria A(2) dipenuhi tapi kriteria A(1) tidak, dalam 6 bulan terakhir.
- Attention Deficit/Hiperactivity Disorder, Combined Impulsive Type F 90.2 : jika kedua kriteria
A(!) dan kriteria A(2) dipenuhi dalam 6 bulan terakhir

6.Diagnosis Banding
 Gangguan perkembangan pervasif (autis dan penyakit seperti autis)
 Penyakit yang mempengaruhi perasaan (depresi).

19
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

 Reaksi-reaksi terhadap stress (mis: gangguan stress pasca trauma)


 Tuli
 Retardasi mental

7.Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan penunjang dilakukan hanya untuk menyingkirkan diagnosa banding
 Tes psikologis. Jika dicurigai masalah akademis dilakukan tes psikologis atau diagnostik
edukasi atau bicara dan bahasa, Beberapa tes dibutuhkan untuk menyingkirkan dan juga
mengidentifikasi secara adekuat masalah belajar

8.Terapi
A. Medikasi.
Stimulansia SSP dapat meningkatkan atensi, menurunkanhiperaktivitas dan mengurangi impulsif.
Jika anak juga melawan dan menyimpang akan meningkatkan kepatuhan, mengurangi kelabilan
emosi dan menurunkan sifat antisosial. Medikasi diberikan jika gejala ADHD menyebabkan efek
negatif yang nyata terhadap kemampuan akademik dan sosial anak. Obat-obat yang biasa dipakai
antara lain:
- Metilfenidat, dimulai dengan dosis 0,3 mg/ kg/ kali, 2 kali sehari. Dosis dapat ditingkatkan
0,15 mg/ kg/ kali sampai didapat efek optimal. Dosis maksimal 20 mg/ hari.
- Atomoxetine, dimulai dengan dosis 0,5 mg/kg/hari sehari sekali. Setelah 2-3 hari dosis dapat
ditingkatkan menjadi 2x0,5 mg/kg sampai dosis maksimal 1,4mg/kg/hari. Dapat
meningkatkan atensi dan mengurangi hiperaktif.
- Risperidon, dimulai dengan dosis 2 x 0,1 mg, dapat dinaikkan 0,05 mg setiap 3-5 hari sampai
tercapai dosis 1-2 mg/hari. Dapat memperbaiki hubungan sosial, atensi, agresifitas,
hiperaktifitas dan perilaku menyakiti diri sendiri.
- Dekstroamfetamin, dimulai dengan dosis 0,15 mg/ kg/ kali, 2 kali sehari. Dosis dapat
ditingkatkan 0,15 mg/ kg/ kali. Dosis maksimal 5 mg/ hari.
- Pemoline, dosis anak <8 tahun: 37,5 mg pada pagi hari, anak > 8 tahun: 37,5 mg pagi +
18,75 mg siang.
Jika satu obat tidak efektif atau timbul masalah, dapat dicoba kelompok obat lainnya. Medikasi
dimulai dengan dosis paling rendah yang dinaikkan perlahan-lahan sampai respon optimal. Efek
samping diminimalkan dengan pengaturan dosis, waktu atau bentuk medikasi. Sekali dosis yang
tepat sudah didapatkan harus dievaluasi ulang dan disesuaikan terus ke atas karena dapat terjadi
efek toleransi atau anak bertambah besar sehingga dibutuhkan dosis lebih tinggi. Terapi harus
diteruskan sampai lewat masa remaja ( kecuali 20% anak ADHD yang sembuh). Keputusan
untuk mengakhiri obat didasarkan pada periode singkat saat stop obat (biasanya 2-4 minggu)
selama masa stress berkurang.
B. Terapi Psikologi
- Latihan orangtua. Dalam tahap terapi tingkah laku, latihan untuk orang tua merupakan
prioritas tertinggi. Tujuannya untuk mengajar orang tua bagaimana mengatur pembatas
sekaligus insentif untuk tingkah laku yang tepat dan menimbulkan respon emosi destruktif.
Apa yang dibutuhkan adalah perubahan komplit dalam respon alami terhadap tindakan
negatif. Latihan untuk dewasa (orang tua dan guru) dalam penatalaksanaan tingkah laku
biasanya membutuhkan rujukan. Untuk orang tua pengobatan dilakukan dalam kelompok
kecil. Klinisi harus tahu bahwa tujuan terapi tatalaksana tingkah laku adalah perbaikan
lingkungan dimana dilakukan kehidupan sehari-hari, tidak untuk mengubah dasar alamiah
anak.

20
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

- Terapi tambahan. Terapi tambahan mungkin dibutuhkan tergantung pada lingkaran keluarga
dan anak. Terdapat keterbatasan usaha tradisional, psikoterapi individu untuk anak ADHD.
Tujuan terapi ini adalah untuk memperbaiki harga diri. Tidak ada bukti bahwa psikoterapi
individual memperbaiki kemampuan anak untuk memberikan perhatian atau mengurangi
impulsif. Bila anak mulai menjadi lebih tua dan lebih waspada, psikoterapi dapat
memfasilitasi pengertian bagaimana tingkah laku mempengaruhi yang lainnya. Psikoterapi
dinamis keluarga harus disiapkan. Latihan kemampuan komunikasi keluarga juga memiliki
keterbatasan fokus, mungkin ini lebih menolong jika anak ADHD mendekati remaja. Fokus
terapi ini adalah menciptakan pengaturan dan menguatkan peraturan di tempat keluarga.
C. Kriteria merujuk.
Kebanyakan klinisi tingkat dasar akan terlibat dalam 2 aspek terapi yaitu : (1) menjelaskan kondisi
terhadap anak dan keluarga (2) memberikan resep dan mengikuti pengobatan. Terapi psikososial
akan diberikan oleh yang lain walaupun klinisi juga harus tahu tipe pengobatan dan tujuan tiap
strategi pengobatan. Jika anak gagal merespon obat stimulan yang diberikan atau memberikan efek
samping yang tidak diharapkan, rujuk ke spesialis seperti dokter anak tumbuh kembang atau
psikiater anak

9.Edukasi :
-ADHD dapat berlanjut sampai remaja, bahkan samapi dewasa.
-Pendididkan Khusus

10.Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam: dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam

Sebanyak 30-80% kasus tetap menunjukkan gejala ADHD pada masa-masa adolesen dan sebanyak
65% kasus sampai dewasa. Riwayat keluarga ADHD, gangguan psikososial dan komorbiditas dengan
gangguan konduk, mood dan ansietas meningkatkan resiko menetapnya ADHD.
Delikuensi atau personalitas antisosial pada masa adolesen atau dewasa terlihat pada pemantauan 25-
40% anak dengan ADHD. Pasien ADHD dilaporkan mempunyai kecenderungan mencoba narkotika
den mengalami adiksi pada masa adolesen.
Kasus-kasus yang memperlihatkan tingkah laku agresif terhadap orang dewasa, IQ yang rendah,
hubungan dengan kawan yang buruk dan menetapnya gejala ADHD mempunyai prognosa yang
kurang baik

11.Tingkat evidens IB

12.Tingkat Rekomendasi A

13.Penelaah kritis
 Dr. Rismarini SpAK
 Dr. Yudianita kusuma SpA,Mkes
14.Indikator medis
 Perilaku
 Prestasi Akademik

21
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

15. Kepustakaan
1. Dalton R, Forman MA. Autistic Disorder. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB,
Stanton BF, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2007. h. 87-8
2. Caronna EB. Autism. Dalam: Parker S, Zuckerman B. Development and Behavioral Pediatric.
Edisi 2. Philadelphia: Lippincott; 2005. h. 124-9.
3. Daruna JH, Dalton R, Forman MA. Attention Deficit Hyperactivity Disorder. Dalam: Kliegman
RM, Behrman RE, Jenson HB,Stanton BF, penyunting. Nelson Textbook of pediatrics. Edisi ke-
18. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. h. 100-3.
4. Parker S. Attention Deficit Hyperactivity Disorder. Dalam: Parker S, Zuckerman B. Development
and Behavioral Pediatric. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott; 2005. h. 124-9.
5. Falconbridge J. Counselling. Dalam: Polnay L. Community Paediatrics. Edisi ke-3. Edinburgh;
Churcill; 2003. h. 469-78.
6. Tanguay PE. Pervasive developmental disorders A. 10 year- review. J. Am. Acad. Child Adolesc
Psychiatry. 2000; 39:1079-95
7. Task Force on DSM-IV. Diagnostic and statistical manual of mental disorders. Washington:
American Psychiatric Association; 1994. h 66-71.
8. David M, Albert JA, Joan B, Charles C, David D, Christopher K, Jeffrey N, Randy S, Bart S,
Keith S, Scott W, Douglas K, Joachim W, Nancy JT, Donald H. Once-Daily Atomoxetine
Treatment for Children and Adolescents With Attention Deficit Hyperactivity Disorder: A
Randomized, Placebo-Controlled Study. Am J Psychiatry 2002; 159:1896–1901

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016

Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Anak Kepala Divisi Tumbuh Kembang dan Pediatri
Sosial

dr.Yusmala Helmy, Sp.A(K) dr.Rismarini, Sp.A(K)


NIP. 19541128198032002 NIP.195801261985032001

22
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

RETARDASI MENTAL
F06.8

1.Pengertian
Fungsi intelektual dibawah rata-rata (IQ < 70), disertai adanya kendala dalam penyesuaian
perilaku adaptif sosial dan gejalanya timbul dalam masa perkembangan (usia < 18 tahun)

2.Anamnesa
1. Riwayat gangguan perkembangan dan pertumbuhan
2. Gangguan perilaku seperti hiperaktif, temper tantrum
3. Gangguan belajar seperti belajar lebih lama dan harus diulang-ulang
4. Faktor penyebab non organik dan organik
 Faktor non organik
a) Kemiskinan dan keluarga yang tidak harmonis
b) Faktor sosiokultural
c) Interaksi anak dan pengasuh yang tidak baik
 Faktor organik
a) Faktor prakonsepsi
- Abnormalitas single gene (penyakit-penyakit metabolik, kelainan
neurocutaneus)
- Kelainan kromosom (X-linked, tranlokasi, fragile-X)
- Sindrom polygenic familial
b) Faktor prenatal
- Gangguan pertumbuhan otak trimester I
 Kelainan kromosom (trisomy 21,18, 13, mosaik, dan lainnya)
 Infeksi intrauterine, misalnya TORCH, HIV
 Zat-zat teratogen (alkohol, radiasi, rokok, kokain, logam berat,
dan lainnya)
 Disfungsi plasenta
 Kelainan kongenital dari otak (idiopatik)
- Gangguan pertumbuhan otak trimester II dan III
 Infeksi intrauterine, misalnya TORCH, HIV
 Zat-zat teratogen
 Ibu diabetes mellitus, PKU(Phenylketonuria)
 Toksemia gravidarum
 Disfungsi plasenta
 Ibu malnutrisi
c) Faktor perinatal
- Sangat prematur
- Asfiksia neonatorum, HIE (hypoxic ischemic encephalopathy)
- Trauma lahir : perdarahan intrakranial
- Meningitis
- Kelainan metabolik : hipoglikemia, hiperbilirubinemia
d) Faktor postnatal
- Trauma berat pada kepala/susunan saraf pusat

23
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

- Gangguan perkembangan otak : hidrosefalus, lissencephaly


- Neurotoksin, misalnya logam berat
- CVA (Cerebrovascular accident)
- Anoksia, misalnya tenggelam
- Metabolik
- Gizi buruk
- Kelainan hormonal, misalnya hipotiroidosis, pseudohipoparatiroidosis
- Aminoaciduria, misalnya PKU (Phenylketonuria)
- Kelainan metabolism karbohidrat, galaktosemia, dll
- Polisakaridosis, misalnya sindrom Hurler
- Serebral lipidosis (Tay Sachs), dengan hepatomegaly (Gaucher)
- Penyakit degeneratif/metabolik lainnya
- Infeksi
- Meningitis, ensefalitis
- Subakut sklerosing panensefalitis
e) Masalah psikososial, misalnya : deprivasi maternal, kurang stimulasi,
kemiskinan, dan lainnya.

3.Pemeriksaan Fisis
 Berat badan, tinggi badan dan lingkar kepala mungkin di bawah normal
 Tanda-tanda dismorfik
 Tes Denver

4. Kieteria Diagnosis
 Anak dicurigai RM bila perkembangannya dibawah rata-rata anak seusianya
 Ada tanda-tanda dismorfik
 Mungkin ditemukan penyebab kelainan  organik / non organik
 Skrining  tes Denver anak RM perkembangan terlambat di semua bidang, kecuali kadang-
kadang pada bidang motorik kasar
 Tes IQ < 70

5.Diagnosis
 Anamnesis
Riwayat perkembangan terlambat
Riwayat kesulitan dalam belajar
 Pemeriksaan fisik
Tanda-tanda dismorfik , mikrosefali, tes Denver
 Pemerisaan penunjang
Test IQ

Berdasarkan nilai IQ RM dibagi menjadi:


- RM borline IQ 70 – 79
- RM ringan IQ 52 – 69
- RM sedang IQ 36 – 51
- RM berat IQ 20 – 35
- RM sangat berat IQ < 20
Berdasarkan gejala klinis RM dibagi menjadi :

24
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

- Tipe klinis: Kelainan fisik dan mental cukup berat sehingga mudah dideteksi dini. Kabanyakan
disebabkan oleh kelainan organik, memerlukan perawatan terus menerus
- Tipe sosial budaya: penampilan seperti anak normal, terdeteksi karena tidak bisa mengikuti
pelajaran di sekolah. Kebanyakan RM yang border line atau ringan

6.Diagnosa Banding
 Gangguan pendengaran
 Autisme

7.Pemeriksaan penunjang
 Test IQ
 Pemeriksaan penunjang lain tidak rutin sesuai indikasi untuk mencari penyebab dan sesuai
faktor risiko

8.Terapi
 Umum : masalah pendidikan, edukasi dan latihan
 Tim multidisiplin (dokter anak, psikiater, neurolog, psikolog, guru, terapis okupasi, terapi
bicara, perawat)
 Sesuai dengan IQ
 Pendidikan di SLB

RM ringan
 Mampu didik  diajar baca tulis
 Bisa dilatih keterampilan tertentu sebagai bekal hidup dan mandiri seperti orang dewasa normal
 Memerlukan bimbingan dari keluarga
RM sedang
 Mampu latih  bisa dilatih keterampilan tertentu (pertukangan, pertanian)
 Dilatih mengurus diri sendiri
 Selalu memerlukan bimbingan dan pengawasan
RM berat
 Dilatih higiene dasar saja
 Dilatih kemampuan bicara yang sederhana
 Tidak dapat dilatih keterampilan kerja
 Memerlukan pengawasan dan bimbingan seumur hidup
RM sangat berat
 Kemampuan berbahasa sangat minimal
 Seluruh hidup tergantung pada orang disekitarnya

9.Edukasi
 RM merupakan masalah jangka panjang
 Anak memerlukan bimbingan seumur hidup
 Sekolah dan pendidikan khusus
Prognosis

10.Prognosis
 Ad vitam : dubia ad bonam
 Ad sanationam: dubia ad mala

25
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

 Ad functionam : dubia ad malam

11.Tingkat evidens : 4

12.Tingkat Rekomendasi B

13.Penelaah kritis
 Dr. Rismarini SpAK
 Dr. Yudianita kusuma SpA,Mkes

14.Indikator medis
Kemampuan bicara, sosialisasi,kemandirian dan kognisi

15. Kepustakaan
1. Shonkoff JP. Mental Retardation. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF,
penyunting. Nelson Textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. h.
125-9
2. Kastner W. Mental Retardation: Behavioral Probelms Palsy. Dalam: Parker S, Zuckerman B.
Development and Behavioral Pediatric. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott; 2005. h. 234-7
3. Coulter DL. Mental Retardation: Diagnostic Evaluations. Dalam: Parker S, Zuckerman B.
Development and Behavioral Pediatric. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott; 2005. h. 238-41
4. Williams J, Venning H. Physical disability. Dalam: Polnay L. Community Paediatrics. Edisi ke-3.
Edinburgh: Churcill; 2003. h. 503-6.
5. Falconbridge J. Counselling. Dalam: Polnay L. Community Paediatrics. Edisi ke-3. Edinburgh:
Churcill; 2003. h. 469-478
6. Soetjiningsih, Gde Ranuh. Tumbuh Kembang Anak, Edisi 2. EGC. 2012. H.511-26

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016

Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Anak Kepala Divisi Tumbuh Kembang dan Pediatri
Sosial

dr.Yusmala Helmy, Sp.A(K) dr.Rismarini, Sp.A(K)


NIP. 19541128198032002 NIP.195801261985032001

26
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

SINDROMA DOWN
Q90

1.Pengertian
Sindroma Down (Down Syndrome) adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan
mental anak yang diakibatkan adanya gangguan perkembangan kromosom 21 yang dapat dikenal
dengan melihat manifestasi klinis yang cukup khas

2.Anamnesa
- Didapatkan keterlambatan pada semua aspek perkembangan anak, baik motorik, bahasa, personal
sosial dan kognisi.
- Adanya faktor resiko seperti infeksi intra uterin, paparan radiasi, usia ibu > 35 tahun
.
3.Pemeriksaan Fisis
Penderita dengan tanda khas sangat mudah dikenali dengan adanya penampilan fisik yang menonjol.
Kepala, muka dan leher :
 Paras muka yang hampir sama seperti muka orang Mongol.
 Hipertelorisme dan lipatan epicantus.
 Mata sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan (epicanthal folds), white
Brushfield spots di sekililing lingkaran di sekitar iris mata, medial epicanthal folds,
keratoconus, strabismus, katarak, dan retinal detachment.
 Sela hidung yang datar.
 Protruding tongue, hypoplasia maxilla, keterlambatan pertumbuhan gigi, hypodontia, juvenile
periodontitis, dan kadang ada bibir sumbing
 Low set ear.
 Didapatkan brachycephalic, sutura dan fontanela yang terlambat menutup.
Abdomen dan pelvis :
 Pada sistim pencernaan dapat ditemui kelainan berupa sumbatan pada esofagus (esophageal
atresia) atau duodenum (duodenal atresia).
 Tulang ileum dan sayapnya melebar disertai sudut asetabular yang lebih lebar, terdapat pada
87% kasus.
Ekstremitas :
 Tanda klinis pada bagian tubuh lainnya berupa tangan yang pendek termasuk ruas jari-jarinya
serta jarak antara jari pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki melebar. Tapak
tangan hanya terdapat satu garisan urat (simian crease).
 Tampilan kaki : Kaki agak pendek dan jarak di antara ibu jari kaki dan jari kaki kedua agak
jauh terpisah dan tapak kaki.
Genital :
 Hypogenitalism (penis, scrotum, dan testes kecil), hypospadia, cryptorchism, dan
keterlambatan perkembangan pubertas.
Kulit :
Kulit lembut, kering dan tipis, xerosis, atopic dermatitis, palmoplantar hyperkeratosis, dan seborrheic
dermatitis.

27
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

4. Kriteria Diagnosis
 Anamnesis : perkembangan terlambat
 Pemeriksaan fisik : gambaran dismorfik yang khas
 Pemeriksaan kromosom

5.Diagnosis
 Anamnesis
Perkembangan terlambat, adanya faktor resiko
 Pemeriksaan Fisik
Gambaran Dismorfik yang khas
 Pemeriksaan Penunjang
tes kromosom

6.Diagnosa Banding
 Hipotiroid Kongenital
 Fragile X Syndrom
 Prader Wili Syndrom
 CMV Kongenital

7.Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan Kromosom
 Tes fungsi Tiroid
 Pemeriksaan Radiologi, USG, ECG sesuai indikasi
 Tes IQ

8.Terapi
- Stimulasi dini.
Stimulasi sedini mungkin kepada bayi yang DS, terapi bicara, olah tubuh, karena otot-ototnya
cenderung lemah. Memberikan rangsangan-rangsangan dengan permainan-permainan layaknya
pada anak balita normal.
- Fisioterapi.
Penanganan fisioterapi menggunakan tahap perkembangan motorik kasar untuk mencapai
manfaat yang maksimal dan menguntungkan untuk tahap perkembangan yang berkelanjutan.
- Terapi Wicara.
Suatu terapi yang di perlukan untuk anak DS yang mengalami keterlambatan bicara dan
pemahaman kosakata
- Terapi Okupasi
Terapi ini diberikan untuk melatih anak dalam hal kemandirian, kognitif/pemahaman,
kemampuan sensorik dan motoriknya Terapi ini membantu anak mengembangkan kekuatan dan
koordinasi dengan atau tanpa menggunakan alat.
- Terapi Sensori Integrasi.
Terapi ini diberikan bagi anak DS yang mengalami gangguan integrasi sensori misalnya
pengendalian sikap tubuh, motorik kasar, motorik halus dll. Dengan terapi ini anak diajarkan
melakukan aktivitas dengan terarah sehingga kemampuan otak akan meningkat.
- Terapi perilaku
Mengajarkan anak DS yang sudah berusia lebih besar agar memahami tingkah laku yang sesuai
dan yang tidak sesuai dengan norma-norma dan aturan yang berlaku di masyarakat.

28
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

- Terapi Remedial.
Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan kemampuan akademis dan yang
dijadikan acuan terapi ini adalah bahan-bahan pelajaran dari sekolah biasa
- Pendidikan di SLB

9.Edukasi
Masalah perkembangan anak,pengobatan,pendidikan dan prognosa

10.Prognosis
 Ad vitam : dubia ad bonam
 Ad sanationam: dubia ad malam
 Ad functionam : dubia ad malam

11.Tingkat evidens :II-2

12.Tingkat Rekomendasi : A

13.Penelaah kritis
 Dr. Rismarini SpAK
 Dr. Yudianita kusuma SpA,Mkes

14.Indikator medis
Kemampuan bicara, sosialisasi,kemandirian dan kognisi

15. Kepustakaan
1. Hardy, Olga, Worley, Gordon, et.al., Hypothyroidism in Down Syndrome : Screening Guidelines
and Testing Methodology, 2004, NCBI Articles, PMC2683266
2. Leshin, Len, Pediatric Health Update on Down Syndrome dalam Down Syndrome Vision for 21st
Century, Cohen, William I, Lynn, Nadel, Madnick, Myra E, Willey Liss, New York, 2005.
3. Nelson, Behrman, Kliegman, Arvin, Ilmu Kesehatan Anak edisi 15. Jakarta : Penerbit EGC. 2000
4. Soetjiningsih, Tumbuh Kembang Anak Edisi 2. Jakarta : Penerbit EGC. 2014

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016

Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Anak Kepala Divisi Tumbuh Kembang dan Pediatri
Sosial

dr.Yusmala Helmy, Sp.A(K) dr.Rismarini, Sp.A(K)


NIP. 19541128198032002 NIP.195801261985032001

29
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

IMUNISASI PADA ANAK


ICD 10

1.Pengertian
Imunisasi adalah suatu tindakan untuk memberikan kekebalan dengan cara memasukkan vaksin ke
dalam tubuh manusia

2.Anamnesa
 Riwayat imunisasi sebelumnya
 Reaksi setelah mendapat imunisasi sebelumnya
 Adanya kontraindikasi imunisasi seperti : demam, penyakit imunocompromised

3.Pemeriksaan Fisis
 Pemeriksaan fisik rutin BB, TB, dan
 Pemeriksaan untuk menilai apakah ada kontraindikasi imunisasi seperti :
- Panas > 38,5 C
- Gizi buruk
- Penyakit imunocompromised

4.Jadwal imunisasi
1. Menurut Program Pengembangan Imunisasi Dep. Kes R.I. (PPI)
- Untuk bayi yang lahir di rumah sakit
- Untuk bayi yang datang ke rumah sakit/posyandu
2. Non PPI

Jadwal imunisasi Depkes pada bayi dengan menggunakan vaksin DPT dan HBdalam bentuk
terpisah menurut tempat lahir bayi
UMUR VAKSIN TEMPAT
Bayi lahir di rumah :
0 bulan HB1 Rumah
1 bulan BCG, Polio 1 Posyandu
2 bulan DPT1, Hb2, Polio2, HiB1 Posyandu
3 bulan DPT2, Hb3, Polio3, HiB2 Posyandu
4 bulan DPT1, Polio4, HiB3 Posyandu
9 bulan Campak Posyandu

0 bulan HB1, Polio1, BCG RS/RB/Bidan


2 bulan DPT1, Hb2, Polio2, HiB1 RS/RB/Bidan
3 bulan DPT2, Hb3, Polio3, HiB2 RS/RB/Bidan
4 bulan DPT1, Polio4, HiB3 RS/RB/Bidan

30
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

Jadwal imunisasi Depkes pada bayi dengan menggunakan vaksin DPT/HB/HiB combo
Umur Bayi Jenis Imunisasi
≤ 7 hari Hepatitis B (HB) 0
1 bulan BCG, Polio 1
2 bulan DPT/HB/HiB 1, Polio 2
3 bulan DPT/HB/HiB 2, Polio 3
4 bulan DPT/HB/HiB 3, Polio 4
9 bulan Campak

Jadwal Imunisasi IDAI

5.Jenis –jenis imunisasi


A. Hepatitis B
Jenis vaksin :
- Inactivated viral vaccine (IVV = HbSAg yang telah diinaktifasi)
- Vaksin rekombinan : HB Vax (MSD); Engerix (smith Kline Becham); Bimugen
(kahatsuka)
- Plasma derived : Hepa B: vaksin hepatitis B (biofarma) : Hepaccine B (Cheil
Chemical & ford)
Dosis: 0,5 cc/dosis.
Cara pemberian : SC/IM
Jadwal imunisasi :
 Disarankan untuk diberikan bersama BCG dan Polio I pada kesempatan kontak pertama
dengan bayi.
 Bayi yang lahir dari ibu dengan HbsAg negatif mendapat ½ dosis anak vaksin
rekombinan atau 1 dosis anak vaksin plasma derived. Dosis kedua harus diberikan 1
bulan atau lebih setelah dosis pertama.
 Bayi yang lahir dari ibu HbsAg positif mendapat 0,5 cc Hepatitis B immune Globulin
(HBIG) dalam waktu 12 jam setelah lahir dan 1 dosis anak vaksin rekombinan atau 1
dosis anak vaksin plasma derived pada tempat suntikan yang berlainan. Dosis kedua

31
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

direkomendasikan pada umur 1-2 bulan dan ketiga 6-7 bulan atau bersama dengan vaksin
campak pada umur 9 bulan.
 Bayi yang lahir dari ibu yang tidak diketahui status HbsAgnya mendapat 1 dosis anak
plasma rekombinan atau 1 dosis anak vaksin plasma derived dalam waktu 12 jam setelah
lahir. Dosis kedua direkomendasikan pada umur 1-2 bulan dan ketiga 6-7 bulan atau
bersama dengan vaksin campak pada umur 9 bulan. Diberikan booster 5 tahun kemudian,
dianjurkan pemeriksaan kadar anti HbsAg sebelumnya.
Kontra indikasi : defisiensi imun (mutlak)
Efek samping : reaksi lokal ringan, demam sedang 24-48 jam, lesu, saluran pencernaan rasa
tidakenak

B. BCG
Jenis Vaksin : Calmette & Guerin (Biofarma, Pasteur, Glaxo) suatu live attenuated vaccine
(LAV).
Dosis : 0,05 cc/dosis
Cara pemberian : intrakutan
Jadwal imunisasi: pada kesempatan kontak pertama dengan bayi, tidak diperlukan booster
Kontra indikasi :
- Defisiensi imun (mutlak)
- Dermatosis yang progresif (sementara)
Efek samping : reaksi lokal, adenitis

C. DPT
Jenis vaksin : Difteri (toksoid)
Pertusis (Inactivated Bacterial Vaccine-IBV, Bordetella pertusis tipe I)
Tetanus (toksoid)
Dosis: 0,5 cc/dosis
Cara pemberian : IM atau SC dalam
Jadwal imunisasi:
1. Imunisasi dasar : tiga dosis dengan interval 4-6 minggu. Dosis I diberikan pada umur 2
bulan
2. Booster : dosis IV diberikan 1 tahun setelah dosis III dan dosis V dan VI berupa DT
diberikan pada umur 6 dan 12 tahun
Kontra indikasi :
- Defisiensi imun (mutlak)
- Difteri : tidak ada
- Pertusis : riwayat kelainan neurologis
- Tetanus : tidak ada
Efek samping: reaksi lokal, demam, reaksi akinetik, kejang, gejala ensefalopati
akibat komponen vaksin pertusis.Jika muncul reaksi ini, imunisasi DPT
dilanjutkan hanya dengan DT

D. Polio
Jenis vaksin : vaksin polio oral sabin (LAV)
Dosis : 2 tetes/dosis
Cara pemberian : oral
Jadwal imunisasi :

32
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

 Dosis I diberikan pada umur sedini mungkin bila bayi lahir di RS (Bersama dengan
BGC) atau pada kontak pertama bila bayi datang ke RS atau posyandu (biasanya
umur 2 bulan). Selanjutnya dosis II, III dan IV diberikan dengan interval 4 minggu,
bersamaan dengan DPT I, II dan II. Jika BCG dan Polio I diberikan bersamaan
dengan DPT I, Polio IV diberikan 4-6 minggu setelah DPT/Polio III.
 Booster : dosis V diberikan I tahun setelah dosis IV dan dosis VI dan VII diberikan
pada umur 6 dan 12 tahun.
Kontra indikasi :
- Defisiensi imun (mutlak)
- Diare (sementara)
Efek samping : tidak ada reaksi klinis. Kemungkinan polio paralitik yang dapat dievaluasi
dari 1 per 8 juta dosis pada anak yang telah diimunisasi dan 1 per 5 juta dosis pada kontak.

E. Haemophylus Influenza Tipe B (Act-HiB)


Jenis vaksin : Conjugate H. Influenza Tipe B (Act-HiB) PRP-T (PasteurMerieux), telah
terdapat dalam bentuk gabungan dengan DPT dan Hepatitis B dalam bentuk Pentabio.
Dosis : 0,5 cc/dosis
Cara pemberian : SC atau IM

Jadwal imunisasi :
 Imunisasi dasar :
o Untuk vaksin conjugate H-Influenza Tipe B (Act-HiB)
 Bila anak datang pada umur 2-6 bulan, direkomendasikan diberikan pada umur
2,4 dan 6 bulan
 Bila anak datang pada umur 6-12 bulan, direkomendasikan diberikan pada umur
2 dosis dengan interval 1-2 bulan.
 Bila anak datang pada umur >12 bulan, Act HiB hanya diberikan 1 kali
o Untuk vaksin Pedvax HIB MSD
 Bila diberikan pada umur 2-14 bulan maka diberikan dalam 2 dosis dengan
interval 2 bulan.
 Bila diberikan pada umur > 15 bulan maka diberikan 1 kali saja.
 Booster :
o Untuk Act-HIB : bila imunisasi dasar diberikan pada umur 2-10 bulan, booster
pada umur 12-15 bulan setelah suntikan terakhir.
o Untuk Pedva: bila imunisasi dasar sebelum 1 tahun, booster diberikan 12 bulan
setelah suntikan terakhir.
Kontra indikasi : Hipersensitif terhadap komponen vaksin
Infeksi akut dengan demam
Efek samping :
- Lokal : eritema, nyeri dan indurasi
- Reaksi sistemik : demam, nausea, muntah dan/atau diare, menangis > ½-1 jam
dan rash.
- Infeksi akut dengan demam.

F. Campak
Jenis vaksin : Schwarz (LAV)
Dosis : 0,5 cc/dosis

33
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

Cara pemberian : SC atau IM


Jadwal imunisasi :
 Imunisasi dasar : diberikan pada umur 9 bulan
 Bisa diulang minimal 6 bulan setelah pemberian campak yang pertama.
Kontra indikasi : defisiensi imun (mutlak), alergi terhadap telur (benar-benar
terbukti), mendapat injeksi gammaglobulin dalam 6 minggu terakhir
Efek samping: demam dengan atau tanpa rash 6-12 hari setelahdiimunisasi pada 15-20% anak.

G. MMR (Measle-Mump-Rubela)
Jenis vaksin : Triple vaccine Measles, Mumps Rubella (LAV), isinya :
Measle : campak
Mump : Urabe (trimovax-pasteur), Jeryl Lynn
(MMR-MSD)
Rubella : RA 27/73
Dosis : 0,5 cc/dosis
Cara pemberian : SC atau IM
Jadwal imunisasi :
 Imunisasi dasar : diberikan pada umur 12 bulan atau 6 bulan setelah imunisasi
campak.
 Booster : diberikan pada umur 12 tahun
Kontra indikasi : sama dengan campak
Efek samping : sama dengan campak + parotitis: dmam, rash, ensefalitis,
parotitis, meningoensefalitis, tuli neural unilateral (tetapi dilaporkan sembuh
sempurna tanpa gejala sisa).

H. Tifus Abdominalis
Jenis vaksin : Vi CPS (capsular poly sacharide) : Typhim Vi (Pasteur Merieux)
Oral : Vivotif (Ty2/A strain)
Dosis : Polisakarida 0,5 cc/dosis
Oral : 1 kapsul lapis enterik atau 1 sachet.
Cara pemberian :
- Polisakarida : SC atau IM satu kali
- Oral, 3 kali selang sehari.
Jadwal imunisasi :
 Imunisasi dasar : Polisakasrida direkomendasikan diberikan pada umur > 2 tahun.
Oral direkomendasikan diberikan pada umur > 6 tahun dalam 3 dosis dengan interval
dosis selang sehari.
 Booster : polisakarida diberikan setiap 3 tahun
Oral : setelah 3-7 tahun.
Kontra indikasi :< 2 tahun (mutlak), tidak dianjurkan sebelum umur 6 tahun, proteinuria,
penyakit progresif
Efek samping :
- Reaksi lokal ditempat suntikan : indurasi, nyeri 1-5 hari
- Reaksi sistemik : demam, malaise, sakit kepala, nyeri otot, komplikasi neuropatik,
kadang-kadang bisa syok, kolaps.

34
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

I. Varisela
Jenis vaksin : Strain OKA dari virus Varicella zoster.
Dosis : 0,5 cc/dosis
Cara pemberian : SC
Jadwal imunisasi :
 Imunisasi dasar : Anak berumur 12 bulan sampai dengan 12 tahun diberikan 1 dosis.
Anak 13 tahun keatas diberikan 2 dosis dengan interval 4-8 minggu.
 Booster : Jika diberikan pada umur 12 bulan harus diulang umur 12 tahun.
Kontra indikasi:
- Defisiensi imun (mutlak)
- Penyakit demam akut yang berat (sementara)
- Hipersensitif terhadap neomisin atau komponen vaksin lainnya
- TBC aktif yang tidak diobati
- Penyakit kelainan darah
Efek samping :
- Ringan: reaksi lokal di tempat suntikan
- Reaksi sistemik : demam ringan, erupsi papulo vesikular dengan lesi kurang dari 10
Catatan : hindarkan pemberian salisilat selama 6 minggu setelah vaksinasi karena dilaporkan
terjadi Reye’s Syndrome setelah pemberian salisilat pada anak dengan varicella alamiah.

J. Hepatitis A
Jenis vaksin : partikel virus aktif yang diinaktivasi 9IVV0
Dosis : 0,5 cc/dosis
Cara pemberian : SC/ IM
Jadwal imunisasi :
- Imunisasi dasar : anak berumur > 2 tahun diberikan 3 dosis dengan jadwal 0 bulan,1
bulan, dan 6 bulan.
Kontra indikasi: defisiensi imun (mutlak)

35
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

Pedoman vaksinasi DPT pada anak/bayi dengan riwayat kejang

Kejang

Ya Tidak → beri DPT

Apakah kejang berhubungan dengan DPT


(kejang yang terjadi 48 jam setelah DPT dianggap
berhubungan dengan DPT)

Beri DT*←Ya Tidak

Apakah DPT III sudah diberikan dan apakah


sudah lewat 6 bulan sejak kejang terakhir

Tidak/salah satu Ya keduanya → lanjutkan DPT


Atau keduanya

Apakah ada gangguan neurologis


Yang sedang berlangsung
(ditunjang dengan evaluasi medis)

Ya Beri DT* Tidak → beri DPT

Keterangan:
* Bila mampu beri DTPa

6.Pemeriksaan Penunjang
Tidak memerlukan pemeriksaan penunjang

7.Terapi
Untuk imunisasi diberikan paracetamol 10 mg/kg BB/kali bila panas

8. Edukasi
- Manfaat imunisasi
- KIPI
- Cara mengatasi KIPI

9.Prognosis
- Ad vitam : bonam
- Ad sanationam: bonam
- Ad functionam :bonam

36
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

10.Tingkat evidens :4

11.Tingkat Rekomendasi : D

12.Penelaah kritis
- Dr. Rismarini SpAK
- Dr. Yudianita kusuma SpA,Mkes

13.Indikator medis
Kelengkapan imunisasi

14. Kepustakaan
- I.G.N. Gde Ranuh, Hariyono Suyitno,Sri Rezeki S Hadinegoro, Cissy B Kartasasmita,
Ismoedijanto, Soedjatmiko, penyunting. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi ke
4.Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016

Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Anak Kepala Divisi Tumbuh Kembang dan Pediatri
Sosial

dr.Yusmala Helmy, Sp.A(K) dr.Rismarini, Sp.A(K)


NIP. 19541128198032002 NIP.195801261985032001

37
DIVISI PEDIATRI SOSIAL

38

Anda mungkin juga menyukai