Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang
menandakan jumlah wali yang ada sembilan, bahasa jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa
kata songo/ sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab, berarti mulia. Pendapat
lainnya lagi menyebut kata sana berasal bahasa jawa, yang berarti tempat.
Dari nama para Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat 9 nama yang dikenal sebagai
anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:
Moh Main: tidak mau main judi, togel, taruhan dan sejenisnya.
Moh Madon: tidak mau berbuat zina, homoseks, lesbian dan sejenisnya.
Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika
Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa
seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang.
Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius
penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir
khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan saat ini makam aslinya berada di
kota Tuban. Lokasi makam Sunan Bonang ada dua karena konon, saat dia meninggal,
kabar wafatnya dia sampai pada seorang muridnya yang berasal dari Madura. Sang
murid sangat mengagumi dia sampai ingin membawa jenazah dia ke Madura. Namun,
murid tersebut tak dapat membawanya dan hanya dapat membawa kain kafan dan
pakaian-pakaian dia. Saat melewati Tuban, ada seorang murid Sunan Bonang yang
berasal dari Tuban yang mendengar ada murid dari Madura yang membawa jenazah
Sunan Bonang. Mereka memperebutkannya.
Di kota Tuban setiap tahunnya diadakan peringatan Haul Sunan Bonang yang
dilaksanakan setiap malam Jum'at Wage di bulan Muharram (Sura).
Usaha ke arah itu menjadi lebih mudah karena Sunan Drajat memperoleh kewenangan
untuk mengatur wilayahnya yang mempunyai otonomi.
Filosofi Sunan Drajat dalam pengentasan kemiskinan kini terabadikan dalam sap
tangga ke tujuh dari tataran komplek Makam Sunan Drajat. Secara lengkap makna
filosofis ke tujuh saf tangga tersebut sebagai berikut:
1. Memangun resep tyasing Sasoma (kita selalu membuat senang hati orang lain)
2. Jroning suka kudu éling lan waspada (di dalam suasana riang ki,,ta harus tetap
ingat dan waspada)
3. Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah (dalam
perjalanan untuk mencapai cita - cita luhur kita tidak peduli dengan segala
bentuk rintangan)
4. Mèpèr Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu)
5. Heneng - Hening - Henung (dalam keadaan diam kita akan memperoleh
keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita - cita
luhur).
6. Mulya guna Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai
dengan salatlima waktu)
7. Mènèhana teken marang wong kang wuta, Mènèhana mangan marang wong
kang luwé, Mènèhana busana marang wong kang wuda, Mènèhana ngiyup
marang wong kang kodanan(Berilah ilmu agar orang menjadi pandai,
Sejahterakanlah kehidupan masyarakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan pada
orang yang tidak punya malu, serta beri perlindungan orang yang menderita)
Sunan Drajat meninggal pada tahun 1522 dan dimakamkan di Desa Drajat,
Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan.
1. Sunan Kudus atau Ja'far Shadiq
Sunan Kudus adalah salah satu penyebar agama Islam di Indonesia yang tergabung
dalam walisongo, yang lahir sekitar 1400an Masehi di Quds, Palestina. Nama lengkapnya
adalah nama Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan. Ia adalah putra dari pasangan Sunan Ngudung.
Sunan Kudus memiliki beberapa pekerjaan yang dilakukan setiap hari, diantaranya, Penasehat
Sultan (Sultan Demak), Panglima Perang, Qadhi, Mufti, Imam Besar Masjid Demak &
Masjid Kudus, Mursyid Tarekat, Naqib Nasab Keturunan Azmatkhan, Ketua Pasar Islam
Walisongo, Penanggung Jawab Pencetak Dinar Dirham Islam, dan ketua Baitulmal
Walisongo.
Saat sudah cukup umur, Sunan Kudus menikahi Syarifah Dewi Rahil binti Sunan Bonang.
Beliau adalah Putri Sunan Bonang. Dari pernikahan itu, Sunan Kudus memiliki 10 anak yaitu,
Amir Hasan, Panembahan Kudus, Nyai Ageng Pambayun, Amir Hamzah (Panembahan
Palembang), Panembahan Makaos Honggokusumo, Panembahan Kadhi, Panembahan
Karimun, Panembahan Jaka, Ratu Pajaka, dan Ratu Probodinalar. Beliau juga memiliki
kerabat dekat yang bernama Syarifah Dewi Sujinah yang diperistri oleh Sunan Muria.
Sunan Kudus berhasil menampakkan warisan budaya dan tanda dakwah islamiyahnya yang
dikenal dengan pendekatan kultural yang begitu kuat. Hal ini sangat tampak jelas pada
Menara Kudus yang merupakan hasil akulturasi budaya antara Hindu-China-Islam yang
sering dikatakan sebagai representasi menara multikultural. Kanjeng Sunan Kudus
(selanjutnya disingkat KSK) banyak berguru kepada Sunan Kalijaga dan ia menggunakan
gaya berdakwah ala gurunya itu yang sangat toleran pada budaya setempat serta cara
penyampaian yang halus. Didekatinya masyarakat dengan memakai simbol-simbol Hindu-
Budha seperti yang tampak pada gaya arsitektur Masjid Kudus. Suatu waktu saat KSK ingin
menarik simpati masyarakat untuk mendatangi masjid guna mendengarkan tabligh akbarnya,
ia tambatkan Kebo Gumarang (sapinya) di halaman masjid. Masyarakat yang saat itu
memeluk agama Hindu pun bersimpati, dan semakin bersimpati selepas mendengarkan
ceramah KSK mengenai “sapi betina” atau Al-Baqarah dalam bahasa Al-qurannya. Teknik
lainnya lagi adalah dengan mengubah cerita ketauhidan menjadi berseri, betujuan menarik
rasa penasaran masyarakat.
Dalam perjalanan hidupnya, Sunan Kudus banyak berguru kepada Sunan Kalijaga.
Cara berdakwahnya pun sejalan dengan pendekatan dakwah Sunan Kalijaga yang
menekankan kearifan lokal dengan mengapresiasi terhadap budaya setempat.
Beberapa nilai toleransi yang diperlihatkan oleh Sunan Kudus terhadap pengikutnya
yakni dengan melarang menyembelih sapi kepada para pengikutnya. Bukan saja
melarang untuk menyembelih, sapi yang notabene halal bagi kaum muslim juga
ditempatkan di halaman masjid kala itu.
Langkah Sunan Kudus tersebut tentu mengundang rasa simpatik masyarakat yang
waktu itu menganggap sapi sebagai hewan suci. Mereka kemudian berduyun-duyun
mendatangi Sunan Kudus untuk bertanya banyak hal lain dari ajaran yang dibawa
oleh ia.
Selain berdakwah lewat sapi, bentuk toleransi sekaligus akulturasi Sunan Kudus juga
bisa dilihat pada pancuran atau padasan yang berjumlah delapan yang sekarang
difungsikan sebagai tempat berwudlu. Tiap-tiap pancurannya dihiasi dengan relief
arca sebagai ornamen penambah estetika. Jumlah delapan pada pancuran mengadopsi
dari ajaran Budha yakni Asta Sanghika Marga atau Delapan Jalan Utama yang
menjadi pegangan masyarakat saat itu dalam kehidupannya. Pola akulturasi budaya
lokal Hindu-Budha dengan Islam juga bisa dilihat dari peninggalan Sunan Kudus
berupa menara. Menara Kudus bukanlah menara yang berarsitektur bangunan Timur
Tengah, melainkan lebih mirip dengan bangunan Candi Jago atau serupa juga dengan
bangunan Pura di Bali.
Menara tersebut difungsikan oleh Sunan Kudus sebagai tempat adzan dan tempat
untuk memukul bedug setiap kali datangnya bulan Ramadhan. Kini, menara yang
konon merupakan menara masjid tertua di wilayah Jawa tersebut dijadikan sebagai
landmark Kabupaten Kudus.
Pada tahun 1550, Sunan Kudus meninggal dunia saat menjadi Imam sholat Subuh di
Masjid Menara Kudus, dalam posisi sujud. kemudian dimakamkan di lingkungan
Masjid Menara Kudus.