Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Tujuan Konseling
Secara umum tujuan konseling adalah agar klien dapat mengubah perilakunya ke arah yang
lebih maju (progressive behavior changed), melalui terlaksananya tugas-tugas perkembangan secara
optimal, kemandirian dan kebahagiaan hidup. Secara khusus tujuan konseling tergantung dari masalah
yang dihadapi oleh masing-masing klien.
Jones (1995:3) menyatakan setiap konselor dapat merumuskan tujuan konseling yang berbeda-beda
sesuai dengan kebutuhan masing-masing klien. Sebagai contoh tujuan konseling adalah agar klien
dapat memecahkan masalahnya saat ini, menghilangkan emosinya yang negatif, mampu beradaptasi,
dapat membuat keputusan, mampu mengelola krisis, dan memiliki kecakapan hidup ( lifeskill).
Ciri-ciri Konseling
Konseling merupakan pelayanan professional yang memiliki ciri-ciri tertentu yang berbeda
dengan pelayanan bimbingan yang lain. Combs and Avila (1985:1-2); Brammer and Shostrom
(1982:114); Depdiknas (2004:13-14); dan Asosiasi Bimbingan dan Konseling (2005:6) mengemukakan
beberapa ciri konseling yaitu: konseling sebagai suatu profesi bantuan ( helping profession), konseling
sebagai hubungan pribadi (relationship counseling), konseling sebagai bentuk intervensi ( interventions
repertoire), konseling untuk masyarakat luas ( counseling for all), dan konseling sebagai pelayanan
psikopedagogis (psycho-pedagogical service).
Fungsi advokasi
Fungsi advokasi adalah fungsi konseling yang menghasilkan kondisi pembelaan terhadap
berbagai bentuk pengingkaran atas hak-hak dan/atau kepentingan pendidikan dan perkembangan yang
dialami klien atau kelompok klien.
Syarat-syarat Konseling
Untuk mengadakan proses konseling, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh kedua
belah pihak, yaitu dari sisi guru sebagai konselor dan siswa sebagai konseli. Menurut Winkell (1989:87-
88), beberapa syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Di pihak konselor
Tiga sikap pokok, yaitu menerima ( acceptance), memahami (understanding), dan sikap
bertindak dan berkata jujur. Sikap menerima berarti pihak konselor menerima siswa sebagaimana
adanya dan tidak segera mengadili siswa karena kebenaran dan pendapatnya / perasaannya /
perbuatannya. Sikap memahami berkaitan dengan tuntutan seorang konselor agar berusaha dengan
sekuat tenaga menangkap dengan jelas dan lengkap hal-hal yang sedang diungkapkan oleh siswa, baik
dalam bentuk kata-kata maupun tindakan. Sedangkan sikap bertindak dan berkata secara jujur berarti
bahwa seorang konselor tidak berpura-pura sehingga siswa semakin percaya dan mantap ketika
sedang berhadapan dengan konselor.
Kepekaan terhadap apa yang ada di balik kata-kata yang diungkapkan konseli. Kepekaan yang
dibangun oleh konselor sekolah akan membantu dalam proses konseling karena konselor akan
mendapatkan banyak data yang mungkin secara verbal maupun nonverbal diungkapkan oleh konseli.
Kemampuan dalam hal komunikasi yang tepat ( rapport). Hal ini berarti konselor mampu
menyatakan pemahamannya terhadap hal-hal yang diungkapkan konseli.
Di pihak konseli
Motivasi yang mengandung keinsyafan akan adanya suatu masalah, kesediaan untuk
mengungkapkan masalahnya dengan tulus, jujur, dan adanya kemauan untuk mencari penyelesaian
masalah itu.
Keberanian untuk mengungkapkan data-data yang ada dalam dirinya sehingga konselor akan
lebih mudah memahami/mengenal konseli secara lebih mendalam. Selain itu, konselor juga harus
menyadari bahwa konseli yang dating mungkin sedang mengalami perasaan yang sangat sensitive,
kurang tenang, kecemasan yang berlebihan, atau kemarahan. Maka, konselor harus bias sabar dan
masuk melalui pintu yang tepat agar dapat membantu siswa mengungkapkan seluruh perasaan dan
pikiran yang mengganggunya saat itu.
Agar proses konseling berjalan lancer, pihak konselor harus memenuhi beberapa syarat di
atas. Di samping itu, konselor juga harus melihat beberapa syarat yang ada di pihak konseli, apakah
konseli layak atau tidak untuk dibantu. Jika saat itu konseli belum siap dibantu, pertemuan bias diundur
sampai konseli siap dengan keadaannya untuk proses konseling atau konseli harus segera dibantu,
tetapi dengan bantuan pihak psikolog ataupun psikiater.
Teknik-teknik Konseling (Verbal dan Nonverbal)
Dalam proses konseling, konselor harus mampu menggali perasaan dan pikiran konseli. Proses
penggalian ini membutuhkan sebuah teknik khusus agar pertanyaan/pernyataan yang dilontarkan
konselor kepada konseli dapat menghipnosis konseli untuk semakin terbuka. Untuk itu, konselor harus
menguasai teknik-teknik konseling secara verbal (dengan kata-kata) maupun nonverbal.
Penolakan (criticism)
Konselor menyatakan pendapatnya berdasarkan pertimbangan objektif, yang bersifat menolak
pandangan, tindakan, atau rencana konseli. Akan tetapi, pemberian teknik ini harus sangat hati-hati
karena penyampaian yang tidak tepat bias merusak hubungan dalam proses konseling. Dalam hal
tindakan moral dan pendidikan, teknik ini akan mudah digunakan.
Contoh:
Ko : saya tidak sependapat dengan tindakan anda yang main hakim sendiri.
Ko : pendapat anda, bahwa orang yang berpacaran harus melakukan hubungan seksual. Saya tidak
sependapat dengan saudara karena hal ini melanggar norma moralitas.
Teknik-teknik konseling tersebut harus digunakan oleh konselor secara spontan dan luwes.
Diharapkan dalam pendekatan konseling teknik-teknik ini dapat dimunculkan sehingga proses konseling
akan tersusun dengan sistematis. Semua konselor pasti mampu menggunakannya asalkan sering
berlatih dan menerapkannya. Di sisi lain, ketika proses konseling berlangsung, konseli akan
menyampaikan banyak pesan yang tersirat dalam bentuk ungkapan-ungkapan perasaan, baik perasaan
senang maupun tidak senang. Untuk itu, konselor harus tanggap dengan ungkapan-ungkapan tersebut.
Berikut adalah daftar perasaan yang biasa diungkapkan oleh konseli.
Perasaan senang
Merasa bahagia.
Merasa bebas.
Merasa puas.
Merasa tenang.
Merasa tertarik.
Merasa sabar.
Merasa nikmat.
Merasa yakin.
Merasa kagum.
Merasa cinta.
Merasa lega.
Merasa pantas.
Merasa santai.
Merasa takjub.
Merasa damai.
dan seterusnya.
Anggukan kepala; untuk menyatakan sependapat, setuju, searah dengan jalan yang diungkapkan
konseli.
Senyuman; untuk menyatakan sikap menerima. Biasanya pada saat menyambut kedatangan konseli.
Tatapan mata; untuk menyatakan sikap sedang memperhatikan. Tentunya tatapan mata yang
dimaksud adalah menatap/memperhatikan ke arah seluruh wajah konseli.
Diam; untuk menyatakan/mempersilahkan konseli untuk terus melanjutkan pembicaraan atau empati
terhadap ungkapan perasaan konseli. Diam bukan berarti membiarkan konseli. Diam adalah sikap
menghargai.
Gerakan tangan; untuk memperkuat/mendukung apa yang diucapkan konselor secara verbal.
Gerakan bibir; gerakan bibir harus dilakukan secara wajar jika konselor tidak berbicara karena gerakan
bibir yang berlebihan bisa menimbulkan efek sikap negative bagi konseli.
Pakaian; pakaian konselor akan sangat mendukung dalam proses konseling. Jika konselor
menggunakan pakaian yang bersih, rapi, wangi, dan sesuai, konseli akan sangat merasa nyaman
berbicara dengan konselor.
Jarak tempat duduk; konselor harus tepat dalam pengaturan jarak tempat duduk dengan konseli.
Karena jika terlalu jauh akan terkesan menolak, jika terlalu dekat konseli pun tidak akan merasa
nyaman.
Penggunaan teknik-teknik nonverbal ini akan sangat membantu dalam proses konseling. Ada beberapa
alasan yang mendasari mengapa teknik-teknik nonverbal sangat penting untuk dilakukan (Leather,
dalam Rakhmat, 1991:287-289), yaitu:
Perasaan dan emosi lebih dicermati jika disampaikan lewat pesan nonverbal daripada pesan verbal.
Perasaan dan emosi seseorang akan lebih mudah diungkapkan melalui bahasa nonverbal daripada
bahasa verbal.
Pesan nonverbal menyampaikan makna dan maksud yang relative bebas dari penipuan, distorsi, dan
kerancuan.
Pesan nonverbal jarang dapat diatur oleh komunikator secara sadar, kecuali oleh aktor-aktor yang telah
terlatih.
Pesan nonverbal menyampaikan fungsi metakomunikatif yang sangat diperlukan untuk mencapai
komunikasi yang berkualitas tinggi.
Fungsi metakomunikatif berarti memberikan informasi tambahan yang memperjelas maksud dan makna
pesan.
Pesan nonverbal merupakan cara berkomunikasi yang lebih efisien daripada pesan verbal.
Dari segi waktu, pesan verbal sangat tidak efisien. Dalam paparan verbal selalu terdapat redundasi
(lebih banyak lambing daripada yang diperlukan), repetisi, ambiguitas (kata-kata yang berarti ganda),
dan abstraksi. Diperlukan lebih banyak waktu untuk mengungkapkan kata secara verbal daripada
secara nonverbal.
Teori Konseling
Dari lima teori konseling, dikembangkan model pendekatan untuk wawancara konseling. Berikut adalah
teori konseling beserta contoh kasusnya sehingga konselor bisa menggunakan pendekatan yang tepat
untuk membantu memecahkan masalah konseli.
Konseling Behavioristik
Digunakan untuk membantu masalah konseli yang terkait dengan perilaku-perilaku maladaptif,
misalnya takut pada cicak, ketinggian, kolam renang, kepemimpinan, dan sebagainya.
Ekletik
Digunakan untuk membantu konseli yang kurang bisa menyesuaikan diri dengan tuntutan
lingkungan sekitar, misalnya tidak betah tinggal di rumah, tidak kerasan tinggal di kelas baru, kurang
nyaman dengan rumah baru, dan sebagainya. Selanjutnya pendekatan ini disebut konseling
penyesuaian diri (self-adjustment counseling).
Wawancara Konseling
Untuk melakukan wawancara konseling, konselor menggunakan langkah kerja/fase-fase agar
apa yang akan dibicarakan dan diselesaikan bersama konseli dapat tersusun secara sistematis. Berikut
adalah beberapa langkah dalam proses konseling menurut para ahli.
Mears dan Thorne (dalam McLeod, 2008:366)
Ada tiga fase dalam proses konseling, yaitu:
Fase awal : membantu konseli mengenali dan menjernihkan situasi masalah.
Fase tengah : mengembangkan program untuk situasi yang konstruktif.
Fase akhir : mengimplementasikan target.
Winkell (1991:227)
Fase pembukaan,
Fase penjelasan masalah,
Fase penggalian masalah,
Fase penyelesaian masalah, dan
Fase penutup.
Dari beberapa model fase/langkah kerja dalam proses konseling yang dijelaskan oleh para ahli
tersebut, berikut langkah kerja/fase-fase untuk mengadakan wawancara konseling, yaitu:
Hubungan Awal
Hubungan awal diletakkan pada dasar untuk membangun hubungan pribadi dengan konseli
yang nantinya akan mendukung proses wawancara konseling yang baik. Hal yang dilakukan konselor
dalam hubungan awal adalah sebagai berikut:
Menyambut kedatangan konseli dengan sikap ramah, senyuman, dan bahasa-bahasa yang
lembut.
Mempersilahkan konseli duduk.
Konselor mengajak konseli berbasa-basi. Dalam hal ini, basa-basi yang dimaksud kiranya
sesuai dengan konteks yang terhangat saat itu atau konteks mengenai seputar kehidupan
konseli, misalnya basa-basi dalam hal kegiatan yang baru saja konseli lakukan, hobi, atau
kebiasaannya. Dalam basa-basi ini konselor harus pandai mengatur waktunya, basa-basi yang
terlalu lama juga tidak baik.
Jika konseli dating karena dipanggil, konselor wajib menjelaskan alasan konseli dipanggil. Jika
ada peraturan khusus yang menjadi syarat bagi konseli, konselor juga perlu menjelaskannya.
Jika konseli datang karena kesadarannya sendiri, konselor tidak perlu menjelaskan alas an
konseli dipanggil.
Konselor mempersilahkan konseli untuk mengungkapkan masalahnya.
Penjelasan Masalah
Konseli mengungkapkan hal yang ingin dibicarakan dengan konselor. Inisiatif berada di pihak
konseli. Konseli bebas mengutarakan apa yang akan diungkapkan. Sambil mendengarkan ungkapan
masalah konseli, konselor mulai menentukan pendekatan yang tepat terhadap masalah konseli
tersebut.
Penggalian Masalah
Di dalam penjelasan masalah biasanya konseli hanya mengungkapkan hal-hal pokok yang
menjadi beban pikiran dan perasaannya. Penggalian masalah dipakai untuk mengungkapkan lebih
dalam masalah konseli. Penggalian ini tentunya akan disesuaikan dengan masalah dan pendekatan
yang digunakan dalam konseling. Menurut Winkell (1991:339-370), beberapa strategi yang bisa
dilakukan untuk melakukan penggalian masalah terhadap masing-masing pendekatan adalah sebagai
berikut:
Behavioristik
Konselor menggali informasi yang lebih dalam dari konseli. Data-data yang akan digali terkait
dengan kejadian pada masa sekarang, pengalaman-pengalaman negative yang pernah dialami pada
masa lalu, perasaan-perasaan sekarang, perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan pada kejadian
masa lalu, apa yang dipikirkan pada saat sekarang, apa yang dipikirkan pada masa lalu ketika
mengalami kejadian yang kurang menyenangkan, dan konsekuensi yang diterima setelah kejadian.
Dengan demikian, alur yang akan dipakai oleh konselor adalah:
Konselor menggali informasi yang lebih dalam dari konseli. Data-data yang akan digali terkait
dengan asal usul masalah konseli, unsur penting (pokok) yang mendukung munculnya konflik konseli,
perasaan-perasaan dan pikiran konseli, dan orang-orang yang terlibat sehingga ikut memunculkan
konflik konseli.
Penyelesaian Masalah
Konselor dan konseli membahas pilihan-pilihan yang akan dibuat oleh konseli. Konselor akan
menuntun konseli agar semakin terbuka untuk berani mengambil keputusan terhadap masalahnya.
Menurut Winkell (1991:339-370), beberapa strategi yang bisa digunakan untuk melakukan penggalian
masalah pada masing-masing pendekatan adalah sebagai berikut:
Behavioristik
Konselor menjelaskan sumber masalah yang dialami konseli, bahwa pengalaman pada masa
lalu mempengaruhi proses belajar sekarang. Konselor mengajak konseli untuk berperilaku baru yang
lebih realistic dengan menggali pengalaman-pengalaman positif di masa lalu. Pengalaman positif inilah
yang akan dijadikan patokan konseli untuk memiliki kognisi yang baru. Dengan demikian, konseli akan
merencanakan tindakan-tindakan konkret yang lebih baik.
Persiapan Konseling
Untuk mengadakan konseling, seorang konselor harus melakukan persiapan agar proses
konseling bisa berjalan dengan baik. Adapun persiapan yang harus dilakukan konselor adalah sebagai
berikut:
Persiapan data
Secara professional, sebelum melakukan wawancara konseling, konselor harus siap dengan
data-data yang ada, misalnya hasil tes psikologis konseli, nilai rapor, data orangtua, catatan-catatan
harian siswa, data dari pengamatan sehari-hari, dan sebagainya. Dengan mempersiapkan banyak data,
konselor akan kaya pemahaman untuk membantu konseli.
Konseling Psikoterapi
Secara umum kondisi psikologis merupakan keadaan, situasi yang bersifat kejiwaan. Konseling
merupakan profesi bantuan (helping profession) yang diberikan oleh konselor kepada klien yang
berlangsung dalam suatu kondisi psikologis yang diciptakan bersama. Kondisi psikologis ini akan
mempengaruhi proses dan hasil konseling.
Pelayanan konseling berlangsung dalam suatu kondisi psikologis tertentu yang dibina konselor dan
difokuskan untuk memfasilitasi klien agar dapat melakukan perubahan perilaku ke arah yang lebih maju
(progressive) sebagai hasil konseling. Jadi kondisi psikologis yang dimaksud di sini adalah kondisi
psikologis yang menunjang proses konseling.
Surya (2003:43-48) mengemukakan beberapa kebutuhan psikologis yang terkait dengan
proses konseling, yaitu: memberi dan mencapai prestasi, memiliki harapan, dan memiliki ketenangan.
Kebutuhan-kebutuhan psikologis ini harus diperhatikan konselor dalam membina hubungan konseling.
Konselor professional selalu menciptakan kondisi tersebut sebagai factor yang menunjang proses
konseling.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa ragam kondisi psikologis yang
menunjang proses konseling adalah sebagai berikut:
MACAM-MACAM KONSELING
Berikut ini disajikan beberapa pendekatan konseling yang lazim digunakan dalam membantu
masalah anak.
Konseling Pendidikan
Pendidikan merupakan institusi pembinaan anak didik yang memiliki latar belakang social
budaya dan psikologis yang beraneka ragam. Dalam mencapai maksud dan tujuan pendidikan banyak
anak didik yang menghadapi masalah dan sekaligus mengganggu tercapainya tujuan-tujuan
pendidikan. Masalah yang dihadapi sangat beraneka ragam, diantaranya masalah pribadi, sosial,
ekonomi, agama dan moral, belajar, dan vokasional.
Masalah-masalah tersebut seringkali menghambat kelancaran proses belajar, meskipun masalah yang
dihadapi tidak ada sangkut pautnya dengan kegiatan akademik. Penyelenggara pendidikan, khususnya
tenaga pendidikan bertanggung jawab membina anak didiknya sehingga berhasil sebagaimana yang
diharapkan, termasuk mereka yang mengalami masalah.
Konseling pada latar pendidikan ini telah banyak dikenal di Indonesia. Di Amerika, klinik konseling juga
didirikan di sekolah dan pusat-pusat pendidikan pada awal perkembangan konseling, misalnya di
Pennsylvania University pada tahun 1896.
Konseling Vokasional
Konseling vokasional dapat pula disebut dengan carir counseling atau employment counseling.
Konseling ini selain berkaitan dengan usaha membantu dalam penempatan tenaga kerja juga
membantu klien yang memiliki masalah-masalah yang berhubungan dengan pekerjaan, misalnya dalam
hubungan dengan pejabat di atasnya, dan penyesuaian dengan pekerjaan baru.
Konseling vokasional ini menduduki fungsi yang sangat penting dalam rekrutmen dan penempatan
tenaga kerja sebuah perusahaan atau departemen. Departemen Tenaga Kerja Amerika juga
menggunakan konseling vokasional untuk menempatkan para veteran Perang Dunia II pada bidang-
bidang yang lebih tepat.
Mengingat pentingnya konseling vokasional ini, National Employment Counselor Association
menetapkan dasar-dasar kompetensi yang harus dimiliki seorang konselor, yaitu:
Relationship skills
Individual and group assessment skills
Group counseling
Development and use of the careerrelated information
Occupational plan development and implementation
Placement skills
Community relation skills
Work load management and intra office relationship skills
Professional development skills (Gibson dan Mitchell, 1983:94)
Di masyarakat industry, konseling vokasional ini semakin dibutuhkan baik bagi industry untuk
peningkatan usaha-usahanya dan bagi pekerja untuk peningkatan penyesuaian kerja dan prestasi
kerja.
Konseling Agama
Konseling agama (religion counseling) digunakan untuk membantu klien yang mengalami
masalah-masalah yang berhubungan dengan agama, misalnya keragu-raguan akan nilai-nilai agama,
kebimbangan dalam mengikuti aliran-aliran keagamaan, terjadinya konflik keyakinan keagamaan
dengan pola pemikiran dan sebagainya.
Konseling agama tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi penganut agama lain agar masuk dalam
agama yang dianut konselor. Konseling agama biasanya dilakukan terhadap klien yang seagama
dengan konselor, dan diselenggarakan untuk membantu orang-orang yang bermasalah keagamaan.
Konseling Rehabilitasi
Konseling rehabilitasi merupakan konseling yang dilakukan terhadap orang-orang yang sedang
dalam proses rehabilitasi. Rehabilitasi berarti proses mempercepat sosialisasi atau berfungsi secara
wajar dari keadaan sebelumnya, misalnya rehabilitasi setelah bertahun-tahun mengalami perawatan
medis, rehabilitasi karena menjalankan hukuman, dan sebagainya.
Seseorang yang di penjara misalnya membutuhkan pelayanan konseling. Konseling tersebut
bermaksud membantu klien agar tidak mengalami masalah-masalah setelah keluar dari penjara
(lembaga pemasyarakatan). Sebagian orang yang di penjara mengalami perasaan yang tidak
diinginkan, seperti rasa tertekan, malu kepada masyarakat atau cemas tidak diterima oleh lingkungan
sosialnya nanti.
Konseling rehabilitasi ini juga dimaksudkan membantu klien yang cacat secara fisik, untuk
mengembalikan persepsi dan emosi sehingga memandang dirinya secara positif dan dapat berbuat
lebih tepat sesuai dengan potensi yang dimiliki.
Konseling Individual
Konseling individual atau disebut juga konseling perorangan adalah proses pemberian bantuan
yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh konselor kepada konseli yang sedang mengalami
suatu masalah, yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi konseli. Dengan demikian,
sasaran layanan konseling individual adalah subyek yang diduga memiliki masalah tertentu dan
membutuhkan pertolongan konselor untuk mengatasinya.
Layanan konseling individual dilakukan melalui kegiatan tatap muka ( face to face) antara
konselor dengan konseli, yang terjalin dalam bentuk hubungan professional yang khas. Tujuan dan
fungsi utama dari layanan konseling individual adalah teratasinya masalah yang diderita konseli,
mencakup: bidang pribadi, bidang social, bidang karier dan bidang belajar.
Hubungan konselor-konseli dibangun atas dasar saling percaya diantara kedua belah pihak,
dengan mengedepankan asas confidential (kerahasiaan) atas segala data tentang konseli yang
terungkap dalam proses konseling. Proses konseling individual dilakukan mengacu pada berbagai teori,
prosedur, tahapan dan teknik tertentu, baik yang bersifat umum maupun khusus.
Konseling berpusat pada person (person centered counseling) dikembangkan oleh Carl Person
Rogers, salah seorang psikolog klinis yang sangat menekuni bidang konseling dan psikoterapi.
Berdasarkan sejarahnya, teori konseling yang dikembangkan Rogers ini mengalami beberapa
pengetahuan. Pada mulanya dia mengembangkan pendekatan konseling yang disebut non-directive
counseling (1940). Pendekatan ini sebagai reaksi terhadap teori-teori konseling yang berkembang saat
itu yang terlalu berorientasi pada konselor atau directive counseling. Pada tahun1951 Rogers
mengubah namanya menjadi client centered counseling sehubungan dengan perubahan pandangan
tentang konseling yang menekankan pada upaya reflektif terhadap perasaan klien. Enam tahun
berikutnya, pada tahun 1957 Rogers mengubah sekali lagi pendekatannya menjadi konseling yang
berpusat pada person (person centered), yang memandang klien sebagai patner dan perlu adanya
keserasian pengalaman baik pada klien maupun konselor dan keduanya perlu mengemukakan
pengalamannya pada saat hubungan konseling berlangsung.
Konseling Kelompok
Ditinjau dari jumlah klien yang dibantu, konseling dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu
konseling individual dan konseling kelompok. Keonseling individual berarti konseling yang diberikan
kepada seorang klien, sedangkan konseling kelompok dilakukan terhadap beberapa klien.
Konseling kelompok (group counseling) merupakan salah satu bentuk konseling dengan memanfaatkan
kelompok untuk membantu, member umpan balik ( feedback) dan pengalaman belajar. Konseling
kelompok dalam prosesnya menggunakan prinsip-prinsip dinamika kelompok ( group dynamic).
Berdasarkan pengertian di atas, maka konseling kelompok secara prinsipil adalah sebagai berikut:
Konseling kelompok merupakan hubungan antara (beberapa) konselor dengan beberapa klien;
Konseling kelompok berfokus pada pemikiran dan tingkah laku yang disadari;
Dalam konseling kelompok terdapat faktor-faktor yang merupakan aspek terapi bagi klien;
Konseling kelompok bermaksud memberikan dorongan dan pemahaman kepada klien, untuk
memecahkan masalah yang dihadapi klien.
Pendekatan kelompok sebenarnya sangat banyak. Beberapa bentuk intervensi psikososial
yang menggunakan pendekatan kelompok adalah bimbingan kelompok, psikoterapi kelompok, dan
kelompok diskusi terfokus. Pendekatan-pendekatan kelompok tersebut dapat dibedakan menurut
jenisnya, sebagai berikut:
Psikoterapi Kelompok
Psikoterapi kelompok merupakan bantuan yang diberikan oleh psikoterapis terhadap klien
untuk mengatasi disfungsi kepribadian dan interpersonalnya dengan menggunakan interaksi emosional
dalam kelompok kecil. Karena itu psikoterapi kelompok lebih memfokuskan pada ketidaksadaran,
menangani pasien yang mengalami gangguan “neurotik” atau problem emosional berat lain, dan
biasanya dilakukan untuk jangka waktu panjang.
Konseling Kelompok
Konseling kelompok merupakan kelompok terapeutik yang dilaksanakan untuk membantu klien
mengatasi masalah yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Konseling kelompok umumnya
ditekankan untuk proses remedial dan pencapaian fungsi-fungsi secara optimal. Konseling kelompok
mengatasi klien dalam keadaan normal, yaitu sedang tidak megalami gangguan fungsi-fungsi
kepribadian. Pada umumnya konseling diselenggarakan untuk jangka pendek atau menengah.
Konseling Psikoanalisis
Peletak dasar teori psikoanalisis (psychoanalytic) adalah Sigmund Shlomo Freud, seorang ahli
saraf, yang menaruh perhatian pada ketidaksadaran. Kepribadian manusia terbesar berada pada dunia
ketidaksadaran dan merupakan sumber energy perilaku manusia yang sangat penting.
Letak keunggulan psikoanalisis dalam konseling menurut Freud adalah sangat efektif untuk
menyembuhkan klien/pasien yang hysteria, cemas, obsesi neurosis. Namaun demikian kasus-kasus
sehari-hari dapat juga digunakan pendekatan psikoanalisis ini untuk mengatasinya (Hansen, 1982).
Freud mengembangkan sejumlah teori kepribadian. Teori-teori kepribadian yang dikemukakan Freud
diantaranya: teori topografi, struktural, genetic, dan dinamika. Keempat macam teori tersebut memiliki
relevansi dengan proses konseling psikoanalisis, sehingga dipandang perlu untuk dijelaskan secara
garis besarnya sebagai berikut:
Teori topografi merupakan teori psikoanalisis yang menjelaskan tentang kepribadian manusia
yang terdiri dari sub-subsistem. Bagi Freud kepribadian itu berhubungan dengan alam kesadaran
(awareness). Alam kesadaran terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu alam sadar ( conscious/Cs), alam
prasadar (preconscious/Pcs), dan alam bawah sadar (unconscious/Ucs).
Alam sadar adalah bagian kesadaran yang memiliki fungsi mengingat, menyadari dan merasakan
sesuatu secara sadar. Alam sadar ini memiliki ruang yang terbatas dan saat individu menyadari
berbagai rangsangan yang ada di sekitar kita.
Alam prasadar adalah bagian kesadaran yang menyimpan ide, ingatan dan perasaan yang
berfungsi mengantarkan ide, ingatan, dan perasaan tersebut ke alam sadar jika kita berusaha
mengingatkannya kembali. Alam prasadar ini bukanlah bagian dari alam sadar, tetapi bagian lain yang
biasanya membutuhkan waktu beberapa saat untuk menyadari sesuatu.
Alam bawah sadar adalah bagian dari dunia kesadaran yang terbesar dan sebagai bagian terpenting
dari struktur psikis, karena segenap pikiran dan perasaan yang dialami sepanjang hidupnya yang tidak
dapat disadari lagi akan tersimpan di dalamnya. Perilaku manusia sebagian besar didorong oleh
perasaan dan pikiran yang tersimpan di dalam unconscious ini.
Freud beranggapan bahwa kepribadian manusia tersusun secara structural. Dalam dunia
kesadaran (awareness) individu terdapat pada subsistem struktur kepribadian yang berinteraksi secara
dinamis. Subsistem itu adalah id, ego dan superego. Teori struktural berarti penjelasan tentang interaksi
antara tiga elemen struktur peralatan mental ( mental apparatus) yaitu id, ego dan superego (Brenner,
1996).
Konseling Behavior
Dilihat dari sejarahnya, konseling behavior tidak dapat dipisahkan dengan riset-riset perilaku
belajar pada binatang, sebagaimana yang dilakukan Ivan Pavlov (abad ke 19) dengan teorinya
classical conditioning. Berikutnya adalah Skinner yang mengembangkan teori belajar operan, dan
sejumlah ahli yang secara terus menerus melakukan riset dan mengembangkan teori belajar
berdasarkan hasil eksperimennya (Hackmann, 1993).
Ahli behavioral yang berjasa mengembangkan konseling cukup banyak diantaranya adalah
Wolpe, Lazarus, Bandura, Krumboltz, Rachman, dan Thoresen.
Dalam pandangan behavioral, kepribadian manusia itu pada hakikatnya adalah perilaku.
Perilaku dibentuk berdasarkan hasil dari segenap pengalamannya berupa interaksi individu dengan
lingkungan sekitarnya. Tidak ada manusia yang sama, karena kenyataannya manusia memiliki
pengalaman yang berbeda dalam kehidupannya. Kepribadian seseorang merupakan cerminan dari
pengalaman, yaitu situasi atau stimulus yang diterimanya.
Pandangan dualism sebagaimana yang berkembang: jiwa raga, mental fifik, sikap perilaku, dan
sebagainya; bagi behavioral adalah tidak valid, tidak dapat dikenali dan dikendalikan di laboratorium.
Untuk itu memahami kepribadian individu tidak lain adalah perilakunya yang tampak.
Sesuai dengan namanya, pendekatan konseling ini berangkat dan didasari aliran Behaviorisme
yaitu salah satu aliran psikologi yang mengkaji perilaku individu dari setiap aktivitas individu yang dapat
diamati, bukan pada peristiwa hipotetis yang terjadi dalam diri individu. Behaviorisme memandang
bahwa pola-pola perilaku itu dapat dibentuk melalui proses pembiasaan dan penguatan ( reinforcement)
dengan mengkondisikan atau menciptakan stimulus-stimulus (rangsangan) tertentu dalam lingkungan.
Teori-teori yang dikembangkan oleh kelompok behaviorime terutama banyak dihasilkan melalui
berbagai eksperimen terhadap binatang, yang kemudian diterapkan untuk manusia untuk kepentingan
konseling. Karakteristik konseling Behavioral adalah:
Berfokus pada perilaku yang tampak dan spesifik.
Memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan konseling.
Mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah konseli.
Penilaian yang obyektif terhadap tujuan konseling.
Konseling behavioral mengasumsikan tentang perilaku bermasalah, sebagai berikut:
Perilaku bermasalah adalah perilaku atau kebiasaan-kebiasaan negative atau perilaku yang
tidak tepat, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan.
Perilaku yang salah hakekatnya terbentuk dari cara belajar atau lingkungan yang salah.
Manusia bermasalah itu mempunyai kecenderungan merespon perilaku negative dari lingkungannya.
Perilaku maladaptif terjadi juga karena kesalahpahaman dalam menanggapi lingkungan dengan tepat.
Seluruh perilaku manusia didapat dengan cara belajar dan juga perilaku tersebut dapat diubah
dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar.
Tujuan utama konseling Behavioral adalah berusaha menghapus/menghilangkan perilaku
maladaptif (masalah) untuk digantikan dengan perilaku baru yaitu perilaku adaptif yang diinginkan
konseli. Oleh karena itu, tujuan yang sifatnya umum harus dijabarkan ke dalam perilaku yang spesifik:
diinginkan oleh konseli; konselor mampu dan bersedia membantu mencapai tujuan tersebut; konseli
dapat mencapai tujuan tersebut; dan dirumuskan secara spesifik. Konselor dan konseli bersama-sama
(bekerja sama) menetapkan/merumuskan tujuan-tujuan khusus konseling.
Proses konseling adalah proses belajar, konselor membantu terjadinya proses belajar tersebut.
Dalam hal ini, konselor aktif: Merumuskan maslah yang dialami konseli dan menetapkan apakah
konselor dapat membantu pemecahannya atau tidak.
Memegang sebagian besar tanggung jawab atas kegiatan konseling, khusunya tentang teknik-
teknik yang digunakan dalam konseling. Mengontrol proses konseling dan bertanggung jawab atas
hasil-hasilnya.
Konseling Humanistik
Konseling Humanistik berakar dari kalangan eksistensialisme yang berkembang pada abad
pertengahan. Pada akhir tahun 1950-an, para ahli psikologi, seperti: Abraham Maslow, Carl Rogers dan
Clark Moustakas mendirikan sebuah asosiasi professional yang berupaya mengkaji secara khusus
tentang berbagai keunikan manusia, seperti tentang self (diri), aktualisasi diri, kesehatan, harapan,
cinta, kreativitas, hakikat, individualitas dan sejenisnya. Humanistik sangat memperhatikan tentang
dimensi manusia dalam berhubungan dengan lingkungannya secara manusiawi dengan menitik-
beratkan pada kebebasan individu untuk mengungkapkan pendapat dan menentukan pilihannya, nilai-
nilai, tanggung jawab personal, otonomi, tujuan dan pemaknaan.
Dalam hal ini, James Bugental (1964) mengemukakan tentang 5 (lima) dalil utama dari
humanistik, yaitu:
Keberadaan manusia tidak dapat direduksi ke dalam komponen-komponen;
Manusia memiliki keunikan tersendiri dalam berhubungan dengan manusia lainnya;
Manusia memiliki kesadaran akan dirinya dalam mengadakan hubungan dengan orang lain;
Menusia memiliki pilihan-pilihan dan dapat bertanggung jawab atas pilihan-pilihannya, dan
Manusia memiliki kesadaran dan sengaja untuk mencari makna, nilai dan kreativitas.
Konseling Rational Emotif Behavior
Albert Ellis adalah peletak dasar konseling rasional emotif behavior atau lebih tepatnya disebut
Rational Emotive Behavioral Therapy (REBT). Adalah klinisi yang memulai mengembangkan teorinya
sejak 1955. Dia menyusun REBT berdasarkan hasil pengamatannya bahwa banyak anak yang tidak
mencapai kemajuan karena dia tidak memiliki pemahaman yang tepat dalam hubungannya dengan
peristiwa-peristiwa yang dialami.
Ellis berpandangan bahwa REBT merupakan terapi yang sangat komprehensif, yang menangani
masalah-masalah yang berhubungan dengan emosi, kognisi, dan perilaku. Dia termasuk ahli terapi
yang berseberangan dengan penganut humanistik.
Untuk memahami dinamika kepribadian dalam pandangan REBT, perlu memahami konsep-
konsep dasar yang dikemukakan Ellis. Menurut Ellis (1994) ada tiga hal yang terkait dengan perilaku,
yaitu antecedent event (A), belief (B), dan emotional consequence (C), yang kemudian dikenal dengan
konsep A-B-C. Antecedent event (A) merupakan peristiwa pendahulu yang berupa fakta, peristiwa,
perilaku, atau sikap orang lain. Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi masuk
bagi calon karyawan dapat merupakan antecedent event bagi seseorang. Prinsipnya segenap peristiwa
luar yang dialami atau memapar individu adalah antecedent event.
Belief (B) adalah keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu
peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional ( rational belief atau rB)
dan keyakinan yang tidak rasional ( irrational belief atau iB). Keyakinan yang rasional merupakan cara
berpikir atau sistem keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan karena itu produktif. Sedangkan
keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan atau system berpikir seseorang yang salah, tidak
masuk akal, emosional, dan karena itu tidak produktif.
Emotional consequence (C), merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi
individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecedent
event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa
variabel antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rasional (rB) atau yang tidak rasional (iB).
Manusia pada dasarnya adalah unik yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan
irasional. Ketika berpikir dan berperilaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten. Ketika
berpikir dan berperilaku irasional individu itu menjadi tidak efektif. Reaksi emosional seseorang
sebagian besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan filosofi yang disadari maupun tidak disadari.
Hambatan psikologis atau emosional adalah akibat dari cara berpikir yang tidak logis dan irasional.
Emosi menyertai individu yang berpikir dengan penuh prasangka, sangat personal, dan irasional.
Berpikir irasional diawali dengan belajar secara tidak logis yang diperoleh dari orang tua dan
budaya tempat dibesarkan. Berpikir secara irasional akan tercermin dari verbalisasi yang digunakan.
Verbalisasi yang tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah dan verbalisasi yang tepat
menunjukkan cara berpikir yang tepat. Perasaan dan pikiran negative serta penolakan diri harus
dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang dapat diterima menurut akal sehat, serta
menggunakan cara verbalisasi yang rasional.
Konseling Realitas
William Glasser adalah psikiater yang mengembangkan konseling realitas (reality therapy) pada
1950-an. Pengembangan konseling realitas ini karena merasa tidak puas dengan praktik psikiatri yang
ada dan dia mempertanyakan dasar-dasar keyakinan terapi yang berorientasi pada Freudian, karena
hasilnya terasa tidak memuaskan (Colvin, 1980).
Teori yang dikembangkan Glasser ini dengan cepat memperoleh popularitas di kalangan
konselor, baik untuk kasus individual maupun kelompok dalam berbagai bidang, misalnya sekolah
lembaga kesehatan mental maupun petugas-petugas sosial lain. Banyak hal yang positif dari teori
konseling realitas ini, misalnya mudah dimengerti, nonteknis, didasarkan atas pengetahuan
masyarakat, efisien waktu, sumber daya dan usaha-usaha yang dilakukan konselor.
Konseling realitas merupakan suatu bentuk hubungan pertolongan yang praktis, relatif
sederhana dan bentuk bantuan langsung kepada konseli, yang dapat dilakukan konselor di sekolah
dalam rangka mengembangkan dan membina kepribadian/kesehatan mental konseli secara sukses,
dengan cara member tanggung jawab kepada konseli yang bersangkutan. Konseling realitas berprinsip
seseorang dapat dengan penuh optimis menerima bantuan dari terapist untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan dasarnya dan mampu menghaadapi kenyataan tanpa merugikan siapapun. Konseling
realitas lebih menekankan masa kini, maka dalam memberikan bantuan tidak perlu melacak sejauh
mungkin pada masa lalunya, sehingga yang paling dipentingkan adalah bagaimana konseli dapat
memperoleh kesuksesan pada masa yang akan datang.
Glasser berpandangan bahwa semua manusia memiliki kebutuhan dasar yaitu kebutuhan
fisiologis dan psikologis. Perilaku manusia dimotivasi untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut.
Kebutuhan fisiologis yang dimaksud adalah sama dengan pandangan ahli lain, sedangkan kebutuhan
psikologis manusia menurut Glasser yang mendasar ada dua macam yaitu: (1) kebutuhan dicintai dan
mencintai, dan (2) kebutuhan akan penghargaan (George dan Cristiani, 1990). Kedua kebutuhan
psikologis itu dapat digabung menjadi satu kebutuhan yang sangat utama yang disebut kebutuhan
identitas (identity).
Konseling Gestalt
Pendekatan konseling ini berpandangan bahwa manusia dalam kehidupannya selalu aktif
sebagai suatu keseluruhan. Setiap individu bukan semata-mata merupakan penjumlahan dari bagian-
bagian organ-organ seperti hati, jantung, otak, dan sebagainya, melainkan merupakan suatu koordinasi
semua bagian tersebut. Manusia aktif terdorong ke arah keseluruhan dan integrasi pemikiran,
perasaan, dan perilakunya. Setiap individu memiliki kemampuan untuk menerima tanggung jawab
pribadi, memiliki dorongan untuk mengembangkan kesadaran yang akan mengarahkan menuju
terbentuknya integritas atau keutuhan pribadi. Jadi hakikat manusia menurut pendekatan konseling ini
adalah: tidak dapat dipahami, kecuali dalam keseluruhan konteksnya; merupakan bagian dari
lingkungannya dan hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan lingkungannya itu; actor bukan
reactor; berpotensi untuk menyadari sepenuhnya sensasi, emosi, persepsi, dan pemikirannya; dapat
memilih secara sadar dan bertanggung jawab; mampu mengatur dan mengarahkan hidupnya secara
efektif.
Dalam hubungannya dengan perjalanan kehidupan manusia, pendekatan ini memandang
bahwa tidak ada yang “ada” kecuali “sekarang”. Masa lalu telah pergi dan masa depan belum dijalani,
oleh karena itu yang menentukan kehidupan manusia adalah masa sekarang. Dalam pendekatan ini,
kecemasan dipandang sebagai “kesenjangan antara saat sekarang dan kemudian”. Jika individu
menyimpang dari saat sekarang dan mejadi terlalu terpaku pada masa depan, maka mereka
mengalami kecemasan.
Dalam pendekatan gestalt terdapat konsep tentang urusan yang tak selesai (unfinished
business), yakni mencakup perasaan-perasaan yang tidak terungkap seperti dendam, kemarahan,
kebencian, sakit hati, kecemasan, kedudukan, rasa berdosa, rasa diabaikan. Meski pun tidak bisa
diungkapkan, perasaan-perasaan itu diasosiasikan dengan ingatan-ingatan dan fantasi-fantasi tertentu.
Karena tidak terungkapkan di dalam kesadaran, perasaan –perasaan itu tetap tinggal pada latar
belakang dan dibawa pada kehidupan sekarang dengan cara-cara yang menghambat hubungan yang
efektif dengan dirinya sendiri dan orang lain. Urusan yang tak selesai itu akan bertahan sampai ia
menghadapi dan menangani perasaan-perasaan yang tak terungkapkan itu.
Konseling Traumatik
Konseling traumatik adalah upaya konselor untuk membantu klien yang mengalami trauma
melalui proses hubungan pribadi sehingga klien dapat memahami diri sehubungan dengan masalah
trauma yang dialaminya dan berusaha untuk mengatasinya sebaik mungkin. Muro dan Kottman (1995)
menyebutkan bahwa tujuan konseling traumatik adalah:
Berpikir realistis, bahwa trauma adalah bagian dari kehidupan,
Memperoleh pemahaman tentang peristiwa dan situasi yang menimbulkan trauma,
Memahami dan menerima perasaan yang berhubungan dengan trauma serta
Belajar keterampilan baru untuk mengatasi trauma.
Ada empat keterampilan yang harus dimiliki oleh konselor dalam konseling traumatik, yaitu:
Pandangan yang realistik,
Orientasi yang holistik,
Fleksibiltas, dan
Keseimbangan antara empati dan ketegasan.
Hendaknya, konselor memiliki pandangan yang realistic terhadap peran mereka dalam
membantu orang yang mengalami trauma. Keterampilan ini berguna bagi konselor untuk memahami
kelemahan dan kelebihannya dalam membantu orang yang mengalami trauma.
Konselor konseling traumatik dalam bekerja harus holistik. Kondisi trauma pada diri klien bukan
harus dihadapi secara berlebihan atau sebaliknya. Dalam konseling traumatik, konselor harus
menerima berbagai baantuan dari berbagai pihak demi kesembuhan klien. Kadang-kadang klien lebih
tepat dirujuk pada psikiatri untuk disembuhkan dengan pendekatan medis. Mungkin juga klien lebih
tepat dirujuk pada ulama atau pendeta untuk memenuhi kebutuhan aspek spiritualnya.
Dengan memperhatikan kondisi klien secara holistik, konselor dituntut untuk dapat bekerja
sama dengan berbagai ahli yang ada di masyarakat untuk membantu kesembuhan klien.
Konseling traumatik memerlukan fleksibilitas. Karena keterbatasan-keterbatasan yang ada,
konseling traumatik mungkin lebih fleksibel dalam pelaksanaannya. Karena keterbatasan tempat,
mungkin konseling melalui telepon akan lebih tepat. Karena keterbatasan waktu, ada kemungkinan
terjadi perubahan waktu dalam konseling. Kemungkinan konseling di rumah klien terjadi daripada di
kantor konselor. Perpanjangan waktu dalam setiap sesi konseling mungkin saja terjadi. Melibatkan
keluarga dalam sesi konseling mungkin saja terjadi dan konselor memberikan sugesti pada klien juga
bisa terjadi.
Dalam konseling traumatik, konselor tidak banyak waktu untk melakukan konfrontasi, berlama-
lama, nondirektif, interpretasi perilaku dan mimpi, serta tidak terlalu mempermasalahkan terjadinya
transferensi ataupun center transferensi antara klien dan konselor. Kondisi trauma menuntut konselor
untuk bertindak cepat menangani klien.
Konseling traumatik membutuhkan keseimbangan yang kuat antara empati dan ketegasan.
Konselor harus mampu melihat kapan dia harus empati dan kapan dia harus tegas dalam mengarahkan
klien untuk kesembuhan klien. Jika konselor terlalu hanyut dengan perasaan klien, mmaka konselor
akan mengalami kesulitan dalam membantu klien. Begitu juga jika konselor tidak tepat waktunya dalam
memberikan arahan yang tegas pada klien maka konseling akan lebih efektif.
Empati ialah kemampuan konselor untuk merasakan apa yang dirasakan klien, merasa dan
berpikir bersama klien. Empati ada dua macam, yaitu empati primer dan empati tingkat tinggi. Empati
primer adalah suatu bentuk yang hanya memahami perasaan, pikiran, keinginan, dan pengalaman
klien. Tujuannya agar klien terlibat pembicaraan dan terbuka pada konselor. Adapun empati tingkat
tinggi adalah keikutsertaan konselor dalam merasakan dan memikirkan apa yang dirasakan dan
dipikirkan kliennya.
Adapun ketegasan untuk mengarahkan klien adalah kemampuan konselor untuk mengatakan
kepada klien agar klien berbuat sesuatu atau dengan kata lain mengarahkannya agar klien melakukan
sesuatu.
Dilihat dari tujuan, konseling traumatik lebih menekankan pada pulihnya kembali klien pada
keadaan sebelum trauma dan mampu menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan yang baru.
Proses konseling traumatik terlaksana karena hubungan konseling berjalan dengan baik.
Proses konseling traumatik adalah peristiwa yang tengah berlangsung dan member makna bagi klien
yang mengalami trauma dan member makna pula bagi konselor yang membantu mengatasi trauma
kliennya.
Konseling Karier
Proses psikologis yang digunakan oleh seorang professional (konselor) yang membantu
seorang individu (klien) yang relative normal dalam menjelajahi, memahami dan menerima dirinya agar
dia dapat membuat keputusan dan pilihan yang rasional, dan berbuat atas dasar pilihan tersebut yang
menyangkut seluruh gaya hidupnya dalam kaitannya dengan lingkungannya.
Dalam konseling karier seperti konseling pada umumnya, konselor harus mampu
mengidentifikasi dan merespon secara tepat terhadap sikap, tingkah laku pikiran, perasaan yang
dinyatakan klien. Lalu konselor membantu klien dalam mendapatkan, memproses, menerapkan
informasi diri dari informasi dunia kerja yang diperlukan untuk membantu pengambilan perencanaan itu.
Self expression rapport
Self understanding and self exploration
Decision making
Development a goal plan of action to implementation of the decision
Floow-up plan of action (career counseling)
Konseling Direktif
Aliran konseling yang dipelopori E.G. Williamson, yang disebut juga clinical counseling.
Pendekatan ini berakar dari aliran behaviorisme. Tujuan konseling di sini dititikberatkan secara spesifik
pada perubahan tingkah laku yang dapat diamati. Oleh karena itu, teknik direktif ini merupakan
konseling tingkah laku (behavior counseling) yang terarah.
Konselor memberikan arah bantuan kepada perubahan tingkah laku, konselor lebih aktif
daripada klien dalam proses pemecahan masalah. Konselor yang menetapkan langkah-langkah yang
harus dilakukan klien, sedangkan klien hanya menjalankan proses belajar yang diarahkan oleh
konselor.
Konseling Non-Direktif
Di dalam pendekatan ini konselor berkonsentrasi untuk menunjukkan empati dengan klien,
tidak member interpretasi sebelumnya terhadap problem klien, tidak memberikan nasehat langsung,
tidak membimbing apa yang klien kemukakan, tidak memberikan penilaian apa yang dikatakan klien.
Fokusnya adalah untuk memberi bantuan kepada klien untuk menjernihkan atau memperjelas
pikirannya sehingga mereka dapat mengatasi problemnya.
Konseling Ekletik
Teori ini merupakan pendekatan gabungan atau campuran antara non-direktif dan direktif.
Pemilihan teknik konseling yang digunakan oleh konselor dalam proses konseling yang akan
dipengaruhi oleh keyakinan dan gaya kepribadian yang paling cocok dengan pendekatan atau teknik
tertentu. Pendekatan ekletik ini menggunakan teori belajar, teori pengembangan karier, sosiologi,
ekonomi, dan teori membuat keputusan, tugas-tugas perkembangan untuk mencapai tujuan.
Mengingat keunikan, keragaman dan kompleksitas masalah yang dihadapi setiap konseli, maka
dalam praktiknya upaya pemecahan masalah konseli seringkali tidak bisa diselesaikan melalui satu
pendekatan tertentu secara eksklusif. Oleh karena itu, konselor dapat memilih dan mengkombinasikan
berbagai pendekatan yang ada untuk diterapkan dalam membantu menyelesaikan masalah konseli.
Pendekatan konseling semacam ini dikenal dengan sebutan konseling ekletik.
Pendekatan konseling ekletik berarti konseling yang didasarkan pada berbagai konsep dan
tidak berorientasi pada satu teori secara eksklusif. Ekletikisme berpandangan bahwa sebuah teori
memiliki keterbatasan konsep, prosedur dan teknik. Karena itu ekletikisme “dengan sengaja”
mempelajari berbagai teori dan menerapkannya sesuai dengan keadaan diri klien.
Konseling ekletik dapat pula disebut dengan pendekatan konseling integrative. Perkembangan
pendekatan ini sudah dimulai sejak tahun 1940-an, yaitu ketika F.C.Thorne menyumbangkan
pemikirannya dengan mengumpulkan dan mengevaluasi semua metode konseling yang ada (Gilliland
dkk, 1984).
Konseling ekletik pertama kali digagas oleh Frederick Thorne dlam bukunya yang berjudul
Principles of Personality Counseling (1950). Thorne menganalisis sumbangan-sumbangan pikiran dari
berbagai aliran dalam Psikologi Konseling dan mencoba mengintegrasikan unsur-unsur positif dari
masing-masing aliran dalam suatu sistematika baru dan terpadu, baik dalam segi teoritis maupun
praktis.
Ahli-ahli ekletik lainnya adalah Brammer dan Shostrom (1982) sejak 1960 yang
mengembangkan model konseling yang dinamakan “ actualization counseling”, dan telah membawa
konseling ke dalam kerangka kerja yang lebih luas, yang tidak terbatas pada satu pendekatan tetapi
mengupayakan pendekatan yang intergratif dari berbagai pendekatan.
Pada akhir 1960-an hingga 1977, R.Carkhuff juga telah mengembangkan konseling ekletik,
dengan cara melakukan testing dan riset secara komprehensif, sistematik, dan terintegratif. Ahli lain
yang turut membantu pengembangan konseling ekletik di antaranya G.Egan (1975) dengan istilah
systemic helping, Prochaska (1984) dengan nama integrative ecletic.
Konseling ekletik sebagaimana dikembangkan Thorne dianggap sesuai untuk diterapkan
terhadap orang-orang yang tergolong normal, yaitu tidak menunjukkan gejala-gejala kelainan dalam
kepribadiannya atau gangguan kesehatan mental yang berat.
Dalam konseling ekletik, peran konselor, tahapan dan teknik konseling yang diterapkan menjadi
sangat fleksibel. Konselor bisa bertindak sebagai psikoanalisis, mitra konseli, pelatih, motivator, dan
peran-peran lainnya, tergantung pada kombinasi pendekatan yang dipilihnya. Demikian juga dalam
tahapan dan teknik yang digunakan dalam konseling. Dalam hal ini, selain diperlukan kejelian dalam
memilih dan mengkombinasikan pendekatan dan teknik yang dianggap paling tepat, dan konselor itu
sendiri memiliki kemampuan untuk mengoperasikan teknik-teknik dari pendekatan yang dipilihnya.
Meski tidak memiliki akar teori tertentu, teknik konseling ekletik ini telah diakui sebagai salah
satu teknik dalam konseling dan mungkin termasuk salah satu teknik yang paling sering digunakan oleh
para konselor di lapangan.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa ekletik berusaha mempelajari berbagai teori dan
menerapkannya sesuai dengan keadaan klien. Berangkat dari cara pandang ekletik yang demikian,
Capuzzi dan Gross (1991) mengemukakan bahwa dalam penerapannya ada tiga macam aliran
konseling, yaitu formalism atau puritisme, sinkretisme, dan ekletikisme; yaitu:
Sinkretisme
Pandangan ini beranggapan bahwa setiap teori adalah baik, efektif, dan positif. Kalangan
sinkretisme akan menerapkan teori-teori yang dipelajari, tanpa perlu melihat kerangka dan latar
belakang teori itu dikembangkan. Dihubung-hubungkan teori-teori itu tanpa ada system yang jelas dan
teratur. Penganut sinkretisme akan mencampur aduk teori yang satu dengan yang lain sesuai dengan
kehendaknya sendiri.
Eklektikisme
Penganut pandangan eklektik akan menyeleksi berbagai pendekatan yang ada. Prinsipnya setiap teori
memiliki kelemahan dan keunggulan. Suatu teori dapat diterapkan sesuai dengan masalah klien dan
situasinya. Konselor menyeleksi teori-teori yang ada dan membawa ke dalam kerangka kerja prinsip-
prinsip teoritik dan prosedur praktis.
Konferensi Kasus
Konfrensi kasus merupakan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling untuk membahas
permasalahan konseli. Dalam suatu pertemuan, yang dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat memberikan
keterangan, kemudahan dan komitmen bagi teratasinya permasalahan konseli. Memang, tidak semua
masalah yang dihadapi konseli harus dilakukan konferensi kasus. Tetapi untuk masalah-masalah yang
tergolong pelik dan perlu keterlibatan pihak lain tampaknya konferensi kasus sangat penting untuk
dilaksanakan.
Melalui konferensi kasus, proses penyelesaian masalah konseli dilakukan tidak hanya
mengandalkan pada konselor di sekolah semata, tetapi bisa dilakukan secara kolaboratif, dengan
melibatkan berbagai pihak yang dianggap kompeten dan memiliki kepentingan dengan permasalahan
yang dihadapi konseli.
Kendati demikian, pertemuan konferensi kasus bersifat terbatas dan tertutup. Artinya, tidak
semua pihak bisa disertakan dalm konferensi kasus, hanya mereka yang dianggap memiliki pengaruh
dan kepentingan langsung dengan permasalahan konseli yang boleh dilibatkan dalam konferensi
kasus. Begitu juga, setiap pembicaraan yang muncul dalam konferensi kasus bersifat rahasia dan
hanya untuk diketahui oleh para peserta konferensi.
Konferensi kasus bukanlah sejenis “siding pengadilan” yang akan menentukan hukuman bagi
konseli. Misalkan, konferensi kasus untuk membahas kasus narkoba yang dialami siswa tertentu.
Keputusan yang diambil dalam konferensi bukan bersifat “mengadili” siswa yang bersangkutan, yang
ujung-ujungnya siswa dipaksa harus dikeluarkan dari sekolah, akan tetapi konferensi kasus harus bisa
menghasilkan keputusan bagaimana cara terbaik, agar siswa tersebut bisa sembuh dari
ketergantungan narkoba.
Secara umum, tujuan dilaksanakan kegiatan konferensi kasus yaitu untuk mengusahakan cara
yang terbaik bagi pemecahan masalah yang dialami konseli, sedangkan secara khusus konferensi
kasus bertujuan:
Mendapatkan konsistensi, kalau konselor ternyata menemukan berbagai data/informasi yang
dipandang saling bertentangan atau kurang serasi satu sama lain ( cross check data).
Mendapatkan consensus dari para peserta konferensi dalam menafsirkan data yang cukup
komprehensif dan pelik yang menyangkut diri konseli guna memudahkan pengambilan keputusan.
Mendapatkan pengertian, penerimaan, persetujuan dan komitmen peran dari para peserta konferensi
tentang permasalahan yang dihadapi konseli beserta upaya mengatasinya.
Kunjungan Rumah
Kunjungan rumah atau home visit adalah salah satu jenis kegiatan pendukung layanan
bimbingan dan konseling yang dilakukan konselor dalam rangka mengumpulkan dan melengkapi data
atau informasi tentang konseli, dengan cara mengunjungi rumah konseli. Seperti halnya dalam
konferensi kasus, tidak semua masalah yang dihadapi konseli harus dilaksanakan kegiatan home visit.
Home visit dilakukan jika konselor perlu melengkapi dan memvalidasi data yang berkaitan dengan latar
belakang kehidupan keluarga konseli, yang tidak bisa terungkap melalui teknik pengumpulan data
lainnya. Melalui home visit, proses penyelesaian masalah konseli bisa dilakukan secara kolaboratif
dengan melibatkan peran orang tua/keluarga.
KONSELOR
Konselor dalam istilah bahasa Inggris disebut Counselor atau Helper merupakan petugas
khusus yang berkualifikasi dalam bidang konseling ( counseling). Dalam konsep counseling for all, di
dalamnya terdapat kegiatan bimbingan ( guidance). Kata Counselor tidak bisa dipisahkan dari kata
Helping. Counselor menunjuk pada orangnya sedangkan helping menunjuk pada profesinya atau
bidang garapannya. Jadi konselor adalah seorang yang memiliki keahlian dalam bidang pelayanan
konseling, ia sebagai tenaga professional.
Menurut Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal
1 ayat 6 disebutkan bahwa konselor sebagai pendidik yang merupakan salah satu tenaga kependidikan
yang berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Selanjutnya menurut Buku Standar
Kompetensi Konselor Indonesia (2005:4), konselor adalah tenaga professional bimbingan dan
konseling (guidance and counseling) yang harus memiliki sertifikasi dan lisensi untuk
menyelenggarakan layanan professional bagi masyarakat. Tenaga professional ini disiapkan dan
dihasilkan oleh program studi bimbingan dan konseling, jenjang S1, S2 dan S3, termasuk pembinaan
profesi di dalamnya.
Konselor sebagai tenaga professional dalam bidang bimbingan dan konseling ( guidance and
counseling) merupakan tenaga khusus yang memiliki karakteristik atau ciri-ciri dalam aspek
kepribadian, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman.
Karakteristik Kepribadian
Karakteristik kepribadian konselor dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu karakteristik umum
dan khusus. Karakteristik umum berkaitan dengan kedudukan konselor sebagai tenaga pendidik,
sedangkan karakteristik khusus berhubungan dengan kualitas pribadi yang dapat memperlancar
perannya sebagai helper (pembimbing).
Karakteristik Pengetahuan
Dilihat dari aspek pengetahuan ( knowledge) konselor adalah tenaga ahli dalam bidang
pendidikan dan psikologis (psikopedagogis). Ia memiliki pengetahuan luas tentang teori-teori psikologi,
konseling, dan pendidikan, sehingga dapat mengembangkan dan menerapkannya dalam pelayanan
konseling kepada klien.
Karakteristik Keterampilan
Konselor sebagai tenaga professional memiliki keterampilan ( skill) yang memadai dalam
memberikan pelayanan konseling. Keterampilan konselor ini meliputi:
Keterampilan dalam menciptakan dan membina hubungan konseling kepada klien (helping
relationship).
Dalam hubungan konseling, konselor mampu menciptakan suasana yang hangat, simpatik, empati,
yang didukung sikap dan perilaku konselor yang tulus dan ikhlas untuk membantu klien, jujur dan
bertanggung jawab, terbuka, toleran, dan setia.
Keterampilan dalam menerapkan wawancara konseling . Menurut Hosking (1978:12) dan
Brammer (1979) terdapat beberapa keterampilan dasar wawancara konseling yang harus dikuasai oleh
konselor yaitu:
Keterampilan penampilan,
Keterampilan membuka percakapan,
Keterampilan membuat paraphrasing atau paraphrase,
Keterampilan mengidentifikasikan perasaan,
Keterampilan merefleksi perasaan,
Keterampilan konfrontasi,
Keterampilan memberi informasi,
Keterampilan memimpin,
Keterampilan menginterprestasi, dan
Keterampilan membuat ringkasan.
Karakteristik Pengalaman
Di samping karakteristik pengetahuan dan keterampilan yang memadai, menjadi konselor
professional juga memerlukan pengalaman kerja dalam menjalankan praktik konseling baik di sekolah
maupun di luar sekolah.
Kompetensi inti konselor ( common comperencies) adalah seperangkat pengetahuan, sikap,
dan keterampilan bersama yang dikuasai konselor dalam setting manapun. Setiap setting bimbingan
dan konseling (guidance and counseling) menghendaki kompetensi khusus yang harus dikuasai
konselor untuk dapat memberikan pelayanan dalam setting tersebut.
Kompetensi konselor merujuk kepada penguasaan konsep, penghayatan dan perwujudan nilai
serta penampilan ppribadi yang bersifat membantu ( helping personal) dan unjuk kerja professional yang
akuntabel. Kompetensi konselor dibangun dari landasan filosofis tentang hakekat manusia dan
kehidupannya sebagai makhluk Allah Yang Maha Kuasa, makhluk pribadi, dan warga Negara yang
berbasis budaya Indonesia.
Sejalan dengan perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia dewasa ini serta
mengacu kepada Undang-undang RI Nomer 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) konselor adalah pendidik. Dalam kapasitas sebagai pendidik, konselor berperan dan
berfungsi sebagai pendidik psikologis ( psychological educator atau psychoeducator), dengan perangkat
pengetahuan dan keterampilan psikologis yang dimilikinya, ia berperan memfasilitasi perkembangan
peserta didik.
Kompetensi inti konselor Indonesia telah dirumuskan dan ditetapkan sebagai kesepakatan bersama
oleh Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia sebagai standart kompetensi konselor Indonesia
(SKKI) yang terdiri dari 7 butir kompetensi; 27 butir sub kompetensi, dan 107 butir indicator kompetensi.
Ketujuh butir kompetensi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menguasai konsep dan praksis pendidikan;
2. Memiliki kesadaran dan komitmen etika professional;
3. Menguasai konsep dan praksis assessment;
4. Menguasai konsep dan praksis bimbingan dan konseling;
5. Memiliki kemampuan mengelola program bimbingan dan konseling; dan
6. Menguasai konsep dan praksis riset dalam bimbingan dan konseling.
Di dalam proses konseling, semua aspek tersebut saling terkait, sehingga tidak bisa dilepaskan
satu sama lain. Seorang konselor professional akan lebih berhasil dalam memberikaan pelayanan
konseling kepada kliennya, bila dibandingkan dengan konselor yang belum professional (konselor
pemula). Hal ini disebabkan oleh karena konselor professional memiliki perangkat pengetahuan,
keterampilan dan pengalaman yang lebih luas tentang konseling, serta lebih mempunyai sifat-sifat
kepribadian yang mantap, seperti: kewibawaan, kehangatan, kestabilan emosi, simpatik, empati,
kejujuran, tanggung jawab, dan dapat dipercaya.
Di pihak lain, seorang klien memiliki keunikan tertentu yang berbeda dengan klien lainnya,
sehingga bila konselor tidak mampu memahami hal ini, ia tidak akan mempu menciptakan hubungan
konseling yang efektif. Seorang konselor professional harus mampu memanfaatkan segala kondisi yang
menunjang proses konseling dan menghindari factor-faktor yang dapat menghambat konseling. Di
antara kondisi yang menunjang adalah menciptakan keamanan dan kebebasan psikologis, ketulusan
dan kejujuran, kehangatan dan penuh penerimaan, empati, perasaan yang menyenangkan, perasaan
mencapai prestasi, memiliki harapan dan ketenangan. Di samping itu, konselor professional juga harus
mampu menghindari perilaku yang merugikan diri seperti: berbohong, tidak bertanggung jawab, tidak
berwibawa, egois, amarah, rendah diri, cemburu, motivasi yang rendah untuk membantu klien, yang
dapat disebabkan oleh rendahnya penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman.
Konselor professional harus dapat memilih metode atau pendekatan-pendekatan konseling
yang tepat dan mampu menerapkannya dalam layanan konseling, sehingga ia dapat membawa klien ke
arah jalan dimana klien dapat mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki pola piker positif ( positive
thinking).
Dewasa ini perkembangan konseling di Indonesia diarahkan pada suatu bentuk pelayanan professional
dalam lingkup sekolah, karier, industry, keluarga, dan masyarakat luas ( counseling for all), dimana
konselor harus memahami ilmu filsafat, psikologi, sosiologi, antropologi, dan pendidikan, agar ia dapat
memberikan pelayanan konseling secara profesiona. Jadi jelas bahwa untuk menjadi konselor
professional harus juga memahami psikologi konseling.
KLIEN
Klien dalam istilah bahasa Inggris disebut Client adalah individu yang memperoleh pelayanan
konseling. Dalam konseling pada setting persekolahan, yang dimaksud klien adalah peserta didik yang
mendapatkan pelayanan konseling, sedangkan dalam konseling pada setting di luar sekolah
(counseling for all), yang dimaksud klien adalah seorang atau sekelompok orang sebagai anggota
masyarakat, yang memperoleh pelayanan konseling.
Menurut terminologi konvensional, dimana konseling dipandang sebagai jantungnya pelayanan
bimbingan yang bersifat penyembuhan (curative), klien didefinisikan sebagai seseorang atau
sekelompok orang individu yang mengalami masalah, sehingga mereka membutuhkan bantuan
konseling agar dapat menghadapi, memahami, dan memecahkan masalahnya.
Dalam terminologi modern siapa saja yang memperoleh pelayanan konseling disebut klien.
Klien tersebut bisa berstatus sebagai peserta didik, pegawai perusahaan atau lembaga pemerintah
ataupun swasta, ibu rumah tangga, ayah, pemuda/remaja, orang dewasa, dan lansia (lanjut usia).
Mereka secara sadar membutuhkan pelayanan konseling.
Klien adalah individu yang memiliki keunikan tertentu. Keunikan tersebut mencakup: keunikan
kebutuhan, keunikan kepribadian, keunikan intelegensi, keunikan bakat, keunikan motif dan motivasi,
keunikan minat, keunikan perhatian, keunikan sikap, dan keunikan kebiasaan, yang secara khas
mempengaruhi perilakunya.
Pada dasarnya setiap individu menghadapi permasalahan dalam hidupnya dalam jenis dan
intensitas yang berbeda. Di antara masalah individu tersebut, beberapa masalah bisa dipecahkan
sendiri tanpa intervensi konselor, sedangkan masalah lainnya masih belum bisa diselesaikan sehingga
mereka membutuhkan bantuan konselor. Pada umumnya masalah emosi klien yang cara
penyelesaiannya membutuhkan bantuan konseling adalah: (1) masalah kecewa, (2) masalah frustasi,
(3) masalah kecemasan, (4) masalah stress, (5) masalah depresi, (6) masalah konflik, dan (7) masalah
ketergantungan. Di antara keenam masalah ini dapat dialami klien secara bersamaan, misalnya di
samping klien mengalami masalah kecewa, ia juga menderita masalah frustasi, kecemasan, begitu juga
masalah yang lain.
Jika dilihat dari pihak orang yang akan dibantu, proses konseling ini membatasi beberapa hal
(Winkell, 1991:67), yaitu:
Orang harus sudah mencapai umur tertentu sehingga bisa sadar dengan tugas-tugasnya.
Kesadaran itu dapat terwujud dalam hal mengetahui secara reflektif. Tanpa kesadaran,
pelayanan tidak akan tercapai.
Orang harus bisa menggunakan pikiran dan kemauan sendiri sebagai manusia yang
berkehendak bebas serta harus bebas dari keterikatan yang keterlaluan pada perasaan-
perasaannya sendiri sehingga tidak terbawa pada perasaan-perasaannya sendiri.
Orang harus rela memanfaatkan pelayanan bimbingan dalam proses konseling. Dengan kata
lain, pelayanan bimbingan tidak dapat dipaksakan. Oleh karena itu, seseorang harus yakin
bahwa ia sudah mampu untuk mengatur kehidupannya sendiri.
Harus ada kebutuhan objektif untuk menerima pelayanan bimbingan. Subyek harus menyadari bahwa
ia harus menghadapi masalah dan mendapatkan pelayanan bimbingan sepenuhnya.
Seperti pada ilmu-ilmu lain, psikologi konseling juga memiliki bidang kaji tertentu, di antaranya adalah
sebagai berikut:
Hakikat, tujuan, prinsip-prinsip, dan asas-asas konseling.
Karakteristik dan kompetensi konselor professional.
Karakteristik klien dan masalah-masalahnya.
Kondisi psikologis yang menunjang berlangsungnya proses konseling.
Hambatan-hambatan dalam proses konseling.
Teori-teori psikologi untuk diterapkan ke dalam pelayanan konseling.
Penggunaan teknologi dalam konseling.
Ketujuh bidang tersebut merupakan aspek yang saling berkaitan dalam proses konseling.
Artinya kekurangpahaman konselor pada salah satu atau beberapa bidang kaji konseling, dapat
menghambat proses konseling, dan sebaliknya bila konselor menguasainya, maka konseling yang
dibinanya dapat berlangsung secara efisien dan efektif.
Psikologi konseling sebagai ilmu pengetahuan ( scientific) memiliki hubungan erat dengan
sosiologi dan antropologi. Pada hakekatnya manusia adalah makhluk social yang ditandai adanya
hubungan antara manusia yang satu dengan lainnya. Hubungan antar manusia merupakan kebutuhan
manusia bersama, sehingga tidak ada satu pun manusia yang sanggup hidup sendiri. Manusia,
dimanapun berada tidak dapat dipisahkan dari lingkungan masyarakatnya.
Pengembangan psikologi konseling secara ilmiah mencakup aktivitas yang dilakukan secara
sistematis tanpa prasangka dan menyusun deskripsi yang cermat dan obyektif, sehingga orang mampu
memberikan jawaban yang terpercaya dan tepat terhadap tantangan masalah-masalah teoritis dan
praktis.
Dilihat dari waktu pelaksanaannya, metode pengembangan psikologi konseling dapat dibedakan
menjadi dua bagian besar yaitu metode longitudinal dan metode cross-sectional.
Metode Longitudinal
Metode longitudinal merupakan metode pengembangan yang dilakukan dalam kurun waktu
relatif lama untuk mencapai suatu hasil yang diharapkan. Aktivitas pengembangan dilakukan hari demi
hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun. Karena itu bisa dilihat dari aspek perjalanan
pengembangan, metode ini digunakan untuk mengembangkan psikologi konseling secara vertikal
(kedalaman).
Contoh: konselor hendak mengembangkan penerapan teori-teori konseling tertentu seperti teori
gestalt, cognitive behavioral therapy, interaksional, atau transaksional untuk membantu klien yang
menderita depresi. Untuk dapat mengembangkan penerapan teori tersebut, konselor harus melakukan
rangkaian kegiatan konseling kepada seorang klien yang membutuhkan waktu cukup lama.
Metode Cross-sectional
Berbeda dengan metode longitudinal, metode cross-sectional merupakan metode
pengembangan yang tidak membutuhkan waktu terlalu lama, dengan kata lain hanya menggunakan
waktu yang relatif singkat dapat diperoleh data-data yang banyak dengan menggunakan sampel lebih
dari satu klien. Jadi metode ini digunakan untuk mengembangkan psikologi konseling secara horizontal.
Desain pengembangannya bisa eksperimen dan noneksperimen. Bila digunakan desain
eksperimen, peneliti harus melakukan treatment (pemberian perlakuan), misalnya treatmentnya berupa
penerapan teori konseling cognitive behavioral therapy atau teori lain seperti gestalt, trait and factor
untuk membantu klien yang menderita kecemasan dengan mengendalikan variabel-variabel lain yang
diduga mempengaruhi hasil treatment tersebut.
Bila digunakan desain noneksperimen, peneliti tidak memberikan treatment atau pemberian perlakuan,
tetapi ia cukup mengumpulkan data-data secara teliti dari beberapa klien dengan menggunakan
metode-metode tertentu dan hasilnya dianalisis serta diinterpretasi secara obyektif. Metode yang dapat
digunakan antara lain metode instropeksi, ekstrospeksi, kuesioner, interviu, dokumentasi, sosiometri,
biografi, kelompok, dan testing.
TEORI PSIKOLOGI DALAM KONSELING
Berikut teori-teori psikologi dalam konseling yaitu teori Psikoanalisis, teori Behavioristik, dan
teori Humanistik.
Teori Psikoanalisis
Psikologi Freudian atau lebih dikenal dengan Psikoanalisis diperkenalkan oleh Sigismund
(Sigmund) Schlomo Freud (1856-1939). Freud merupakan tokoh paling berpengaruh terhadap
perkembangan psikologi ilmiah.
Istilah psikoanalisis mempunyai tiga arti penting yaitu (a) teori tentang kepribadian dan
psikopatologi, (b) metode terapi untuk gangguan kepribadian, dan (c) teknik untuk menginvestigasi
pemikiran dan perasaan individu yang tidak disadari (Ziegler & Hjelle, 1994:86).
Formasi reaksi
Merupakan tindakan yang berlawanan dengan hasrat-hasrat tak sadar. Jika perasaan yang ada
dapat menimbulkan suatu ancaman, maka individu akan menampakkan perilaku yang berlawanan
untuk menyangkal perasaan yang bisa menimbulkan ancaman tersebut.
Identifikasi
Individu bertindak atau menanggapi suatu sirkumtansi yang diprakirakan atau dianggap
seakan-akan sama dengan yang pernah dialaminya, atau seseorang menyamakan dirinya dengan
orang lain, kelompok lain atau nilai-nilai tertentu. Identifikasi ini sering muncul pada orang-orang yang
memiliki kelemahan dalam konsep diri atau mereka yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan
kelompok tertentu atau disebabkan oleh kesulitan mereka dalam menerima diri sendiri (George &
Cristiani, 1990:43).
Sebagai contoh, seseorang tidak bisa menerima dirinya bahwa dia tidak dapat bermain bola
dengan baik, maka dia akan mengatakan bahwa dia adalah anggota dari suatu klub sepak bola
terkenal. Pernyataan tersebut sebenarnya adalah untuk menyatakan statusnya.
Introjeksi
Seorang individu menempatkan keinginan-keinginannya terhadap obyek atau individu, seakan-
akan benda atau individu tersebut adalah miliknya tanpa memperhatikan apakah benda atau individu
tersebut ada atau tidak.
Kompensasi
Seorang individu melakukan suatu tindakan tertentu (biasanya negative) karena apa yang dia
inginkan tidak bisa didapatkannya. Sebagai contoh, seorang anak yang tidak pernah mendapatkan
perhatian positif dari gurunya, maka dia akan mengembangkan suatu perilaku yang negative.
Penyangkalan
Perlawanan terhadap kecemasan dengan cara ‘menutup mata” terhadap kejadian yang ada.
Misalnya, seorang individu takut terhadap kematian orang tuanya, maka dia menyangkal bahwa orang
tuanya telah mati. Penyangkalan ini muncul karena individu tidak bisa menerima kenyataan yang ada.
Hjelle dan Ziegler (1994:107) menyatakan bahwa salah satu ungkapan yang dinyatakan oleh orang-
orang ini adalah ‘ini tidak dapat terjadi pada diri saya”. Mekanisme pertahanan diri ini dapat ditemui
pada anak-anak dan orang dewasa yang tidak matang.
Proyeksi
Mengalihkan sifat-sifat tertentu yang tidak bisa diterima oleh ego kepada orang lain atau
lingkungan (Hjelle & Ziegler, 1994:104), dengan demikian, seorang individu dapat menjelekkan atau
mengutuk orang lain karena dia yang melakukan tindak kejahatan tertentu.
Sebagai contoh, siswa SMA gagal dalam ujian akhir. Maka dia akan mengatakan bahwa soal-soal ujian
yang diberikan sudah bocor atau panitia ujian tidak fair.
Rasionalisasi
Individu membuat alasan-alasan yang menurutnya dapat “diterima” oleh akal sehat. Dia
membuat suatu pemalsuan diri, sehingga kenyataan sebenarnya yang pahit tidak terlalu menyakitkan
egonya.
Sebagai contoh, siswa yang gagal masuk ujian menjadi akuntan, maka selanjutnya dia akan
menyatakan dirinya bahwa dia tidak akan menjadi akuntan.
Represi
Suatu tindakan pencegahan terhadap pemikiran atau perasaan yang tidak menyenangkan.
Perasaan atau pemikiran yang tidak menyenangkan ini ditekan (repressed) ke dalam alam bawah
sadar. Freud (dalam Hjelle dan Ziegler, 1994:104) sering menyebutnya dengan “ motivated forgetting”.
Regresi
Merupakan salah satu bentuk mekanisme pertahanan diri dimana seseorang yang mengalami
kecemasan atau ketakutan (id terancam) akan memunculkan perilaku-perilaku yang lazim dilakukan
anak kecil seperti menangis, merusak barang, berbicara seperti anak kecil, memberontak, melawan
kekuasaan, ngebut dan mengendarai kendaraan secara serampangan (Hjelle & Ziegler Hjelle & Ziegler,
1994:106).
Tujuan Konseling
Tujuan konseling terapi psikoanalisis adalah mengembalikan fungsi ego agar dapat lebih kuat
(Cottone, 1992:104) atau membuat hal-hal yang tidak disadari oleh klien menjadi hal yang disadari
sepenuhnya. Proses terapeutik difokuskan pada pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak.
Pengalaman masa lalu direkonstruksi kembali, dianalisis dan ditafsirkan.
Dengan demikian klien diajak untuk bisa menyadari apa yang telah dilakukan dulu dan merasakannya,
dengan kata lain, perasaan dan ingatan yang berkaitan dengan pemahaman diri menajdi hal yang lebih
penting.
Teknik Konseling
Beberapa teknik yang digunakan dalam terapi psikoanalisis adalah sebagai berikut:
Penafsiran
Penafsiran merupakan suatu prosedur dasar yang dipergunakan untuk mengadakan analisis
terhadap teknik asosiasi bebas, mimpi-mimpi, hambatan-hambatan dan tranferensi. Dalam penafsiran
ini, terapis mencoba untuk menerangkan tentang suatu kejadian atau tingkah laku yang diwujudkan ke
dalam mimpi, hambatan-hambatan dan yang ditujukan kepada terapis itu sendiri (transferensi).
Analisis mimpi
Teknik ini dilaksanakan dengan cara membuat klien tidur dan bermimpi. Teknik ini merupakan
suatu prosedur yang penting untuk menyingkap hal-hal yang berada di alam bawah sadar klien. Selama
proses tidur, pertahanan diri klien biasanya mulai lemah dan perasaan-perasaan yang telah lama
ditekan akan dapat muncul dengan sendirinya. Hal ini dikarenakan Freud meyakini bahwa mimpi
merupakan refleksi konflik dari tekanan-tekanan dalam kepribadian manusia (Corey, dalam Koswara,
1988; Cottone, 1992).
Asosiasi bebas
Teknik asosiasi bebas dilakukan karena ada alasan bahwa seringkali terjadi kegagalan pada
saat terapis berusaha untuk menghipnotis klien. Teknik ini merupakan teknik utama dalam pendekatan
psikoanalisis. Dalam proses ini, pertama kali yang dilakukan oleh terapis adalah meminta klien untuk
rileks atau duduk di kursi. Klien diminta untuk mengkosongkan pikirannya dari kegiatan sehari-hari.
Kemudian klien diminta untuk mengungkapkan apa saja yang lewat di benaknya pada saat itu juga.
Apapun yang direspons dalam pikirannya itu harus dikatakan, walaupun apa yang dikatakannya itu
menyakitkan tidak logis, remeh dan lain sebagainya (Hjelle & Ziegler, 1994).
Melalui asosiasi bebas, klien dapat memanggil pengalaman-pengalaman masa lalu dan bisa
melepaskan emosi yang berkaitan dengan situasi traumatik. Dengan demikian, asosiasi bebas dapat
menjadi katarsis bagi klien, walau katarsis ini bersifat sementara, tetapi jika klien merasa “nyaman”
maka secara tidak langsung akan mempermudah jalannya terapi.
Teori Behavioristik
Aliran ini pada awalnya diperkenalkan oleh John B. Watson (1878-1958). Pada dasarnya, aliran
ini mencoba untuk mengilmiahkan semua perilaku manusia yang pada akhirnya memunculkan
paradigm bahwa semua perilaku manusia hanya dapat diamati, sehingga dapat dilakukan penilaian
secara obyektif.
Tokoh aliran behavioristik sangat banyak, diantaranya adalah Edward Thorndike, Clark Hull, John
Dolard, Bandura, Kazdin, Pavlov, Neal Miller, dan BF Skinner. Hanya saja, sampai saat ini banyak
karya Skinner yang masih dipergunakan untuk membantu klien melalui proses terapi konseling.
Operant Conditioning
Teori Operant Conditioning diperkenalkan oleh BF Skinner. Skinner dalam Cottone (1992:159)
menyatakan bahwa kondisi-kondisi tertentu seringkali mengontrol seseorang untuk berperilaku, hal ini
terjadi baik di rumah, di sekolah, di rumah sakit bahkan di penjara sekalipun. Seorang terapis akan
mengubah perilaku klien sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dan dia akan menciptakan
kondisi tersebut. Seorang terapis yakin dapat mengubah perilaku individu karena dia yakin dapat
mengkontrol kondisi yang diinginkan.
Tujuan Konseling
Tujuan konseling dalam terapi behavioristik adalah mengubah atau menghapus perilaku
dengan cara BELAJAR perilaku baru yang lebih dikehendaki. Hubungan antara konselor dengan klien
lebih sebagai hubungan antara guru dan murid. Hal ini dikarenakan konselor lebih berperan aktif dalam
usaha mengubah perilaku klien. Konselor lebih banyak mengajarkan tingkah laku baru klien sesuai
dengan hokum belajar (law of learning).
Teknik Konseling
Terapi perilaku sangat berbeda dengan pendekatan-pendekatan konseling yang lain.
Perbedaan mencolok ditandai pada (a) pemusatan perhatian pada bentuk perilaku yang tampak dan
spesifik, (b) kecermatan dan penguraian tujuan treatment, (c) perumusan prosedur treatment yang
spesifik yang sesuai dengan masalah dan (d) penafsiran yang obyektif terhadap hasil terapi.
Beberapa teknik yang dipergunakan dalam pendekatan behavioristik adalah sebagai berikut:
Self-management
Istilah self-management mengacu pada harapan agar klien dapat lebih aktif dalam proses
terapi. Cormier & Cormier dalam Sutijono & Soedarmadji (2005:55) menyatakan bahwa keaktifan ini
ditunjukkan untuk mengatur atau memanipulasi lingkungan sesuai dengan perilaku apa yang akan
dibentuk.
Disensitisasi Sistematik
Teknik ini diperkenalkan oleh Joseph Wolpe’s yang merupakan perpaduan beberapa teknik
seperti memikirkan sesuatu, menenangkan diri (relaksasi) dan membayangkan sesuatu. Dalam
pelaksanaannya, konselor berusaha untuk menanggulangi ketakutan atau kecemasan yang dihadapi
oleh klien. Teknik ini dipergunakan apabila klien merasa takut dengan hal tertentu seperti takut
menghadapi ujian, takut menghadapi operasi, takut naik pesawat terbang, dll. Selain itu Walker (1996)
menyatakan bahwa strategi disensitisasi sistematis dapat diberikan kepada individu yang mengalami
phobia seperti acrophobia, agoraphobia, dan claustrophobia.
Latihan Asertif
Latihan asertif (assertive training) merupakan teknik yang seringkali dipergunakan oleh
penganut aliran behavioristik. Teknik ini sangat efektif jika dipakai untuk mengatasi masalah-masalah
yang berhubungan dengan rasa percaya diri, pengungkapan diri atau ketegasan diri.
Corey (1986:189) menyatakan bahwa latihan asertif akan sangat berguna bagi mereka yang
mempunyai masalah tentang:
Tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau rasa tersinggung.
Menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk
mendahuluinya.
Memiliki kesulitan untuk mengatakan ‘tidak”.
Kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respons-respons positif lainnya.
Merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikirannya sendiri.
Pendekatan Rational Emotive Therapy (RET) dikembangkan oleh Albert Ellis. Pada tahun
1955, Ellis mencoba untuk mengkombinasikan teori-teori humanistic, philosophi dan behavioral.
Penggabungan ini pada akhirnya memunculkan pendekatan atau teori Rational Emotive Therapy
(RET). Pada tahun 1956, RET menjadi terapi yang pertama kali mempergunakan cara berpikir yang
rasional. Alhasil, Ellis disebut sebagai bapak RET juga sebagai kakek dari terapi kognitif-behavioral.
George & Cristiani (1990:83) menyatakan bahwa pendekatan RET ini menekankan pada proses
berpikir klien yang dihubungkan dengan perilaku serta kesulitan psikologis dan emosional.
Pendekatan RET lebih diorientasikan pada kognisi, perilaku dan aksi yang lebih mengutamakan
berpikir, menilai, menentukan, menganalisis, sangat direktif dan sangat perhatian terhadap pemikiran
daripada perasaan. Pendekatan ini mempunyai asumsi bahwa kognisi, emosi dan perilaku berinteraksi
secara signifikan dan mempunyai hubungan sebab akibat yang resiprokal (Ellis, dalam Corey
1986:209).
Salah satu pandangan pendekatan ini adalah bahwa permasalahan yang dimiliki seseorang
bukan disebabkan oleh lingkungan dan perasaannya, tetapi lebih pada system keyakinan dan cara
memandang lingkungan di sekitarnya. Lebih khusus lagi, gangguan emosi yang dimiliki seseorang akan
mempengaruhi keyakinan, bagaimana dia menilai dan bagaimana dia menginterpretasikan apa yang
terjadi padanya. Jika emosi seseorang terganggu, maka akan terganggu pula pola piker yang
dimilikinya, dengan demikian akan timbul pola piker yang irasional.
Selain hal yang telah disebutkan, orang sehat menurut RET adalah mereka yang mempunyai
daya kreativitas, memelihara diri, peka terhadap indra, memperhatikan orang lain, dan mampu belajar
dari kesalahan yang telah diperbuat.
Tujuan Konseling
Tujuan konseling dalam terapi Rasional Emotif adalah sebagai berikut:
Mendemonstrasikan kepada klien bahwa verbalisasi diri ( self verbalitization) merupakan
sumber gangguan emosi.
Menunjukkan kepada klien bahwa verbalisasi diri adalah tidak logis dan tidak rasional.
Mengeluarkan pemikiran sehingga verbalisasi diri dapat lebih logis dan efisien, dan tidak
berhubungan dengan emosi negative dan perilaku kekalahan diri.
Dalam melaksanakan terapi RET, Ellis dalam Cottone, (1992:114) berpendapat bahwa terapi dapat
dilihat sebagaimana mana dunia pendidikan, sehingga fungsi terapis dapat diibaratkan seperti guru
(teacher) dan klien sebagai orang yang belajar ( learner). Dengan kata lain bahwa pendekatan ini lebih
menekankan perilaku konselor untuk mendemonstrasikan ide-ide yang irasional yang menjadi dasar
perilaku klien, sehingga nantinya akan menghilangkan stress atau tekanan pada diri klien.
Teknik Konseling
Dalam pendekatan RET, sebagaimana dalam pendekatan Humanistik perlu dibangun adanya
hubungan baik (rapport) dan hubungan kolaboratif. Lebih lanjut dinyatakan pula bahwa dalam
penciptaan rapport maka perlu adanya kondisi penerimaan tanpa syarat, empati dan keaslian diri
terapis. Walen, DiGuiseppe dan Wessler (dalam Corey, 1986:219) menyatakan bahwa rapport yang
baik akan memaksimalkan perolehan hasil dalam konseling.
Sesuai dengan usaha konselor untuk mengubah diri klien secara langsung, maka terapis
mempergunakan beberapa teknik konseling sebagai berikut:
Terapi kognitif
Dalam teknik ini yang utama adalah mempersoalkan keyakinan irasional (Bir) yang dimiliki klien. Hanya
saja, dalam pelaksanaannya dipergunakan prosedur verbal. Setelah itu, terapis berusaha untuk
mengajari klien agar dapat berhubungan dengan pernyataan diri ( self-statement).
Humor
Penggunaan humor dalam konseling telah diaplikasikan dalam berbagai setting seperti di
sekolah dasar, pada konseling karier, treatment kelompok pasien yang mengidap depresi, terapi
keluarga, dan terapi analitik (Goldin dan Bordan, 1999; Roller & Lancaster, dalam Golding dan Bordan,
1999).
Lebih lanjut, humor dapat dipergunakan untuk menciptakan rapport dan sebagai teknik untuk
membuka diri klien, dimana konselor dapat menunjukkan adanya ketidaksempurnaan atau kelemahan
yang sebaiknya bisa diterima oleh setiap manusia. Dengan kata lain, dinyatakan bahwa tertawa adalah
suatu cara “menunjuk hidung sendiri” terhadap ketidakmampuan dan ketidak mengertian terhadap
perilaku yang ada saat ini.
Teknik emotif
Teknik ini dipergunakan untuk membantu klien dalam mengidentifikasi emosi dan keyakinan,
serta menemukan kesulitan melakukan verbalisasi. Pada saat tertentu, ada klien yang mampu
mengenal perasaan dan kognitifnya, tetapi dia tidak dapat mempergunakannya dalam kejadian-
kejadian tertentu. Dalam hal ini teknik yang bisa dipergunakan, yaitu: bermain peran ( role playing),
bahasa emosional yang diubah (emotionally changed language), teknik perilaku.
Teori Humanistik
Pandangan psikologi yang ketiga dan sangat bertolak belakang dengan dua pendekatan
terdahulu adalah aliran humanistik. Aliran humanistik seringkali disebut sebagai “kekuatan ketiga ( third
force) dalam bidang psikologi. Hal ini dikarenakan aliran ini berusaha untuk menolak anggapan-
anggapan yang dilontarkan oleh aliran psikoanalisis yang menyatakan bahwa manusia itu hasil ciptaan
dari instink dan konflik intrapsikis dan aliran behavioristik yang menyatakan bahwa manusia itu sebagai
korban dari lingkungan.
Berbeda dengan dua aliran terdahulu, aliran humanistik meyakini bahwa manusia mempunyai
sifat dasar yang baik. Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa manusia itu mempunyai
kemampuan untuk terus berkembang, mengarahkan diri, kreatif dan dapat memenuhi kebutuhannya
sendiri. Jelasnya, menurut aliran ini, manusia mempunyai kemampuan untuk menentukan arah
hidupnya sendiri dengan penuh kesadaran dan kebebasan. Aliran humanistik dperkenalkan oleh
Abraham Harold Maslow dan banyak diikuti oleh ahli lain seperti Carl Rogers, Fromm, Gordon Alport
dan Kelly.
Tujuan Konseling
Klien datang ke ruang konseling dalam keadaan yang incongruence. Keadaan ini terjadi akibat
adanya kesenjangan antara cara pandang diri ( self-concept) dengan pengalaman yang sebenarnya
terjadi (actual experience), atau adanya kesenjangan antara self-concept dengan apa yang ingin
dicapai (ideal self-concept).
Dalam proses konseling, klien diajak untuk dapat memahami dirinya sesuai dengan kenyataan
yang ada. Memang, sering terjadi klien yang datang ke ruang konseling dengan membawa keyakinan
diri yang tidak dapat diubah dan seringkali menyalahkan orang lain atau dengan membawa gangguan
psikologis. Pada saat ini konselor berusaha untuk menggali permasalahan dan perasaan yang dimiliki
oleh klien. Dengan penggalian ini, diharapkan klien akan dapat menyadari dan kemudian memiliki
permasalahan yang ada dalam dirinya.
Setelah klien sadar dan memiliki apa yang ada dalam dirinya, maka konselor kemudian
mengadakan revisi konsep diri yang dimiliki oleh klien. Revisi ini didasarkan pada pengalaman
perasaan yang dimiliki oleh klien selama proses konseling berjalan. Lebih lanjut, Rogers menyatakan
bahwa tujuan konseling adalah membantu klien agar menjadi manusia yang berfungsi seutuhnya ( fully
functioning person).
Gestalt Therapy
Terapi ini dikenalkan oleh Frederick (Fritz) Salomon Perls (1963-1970). Gestalt dalam bahasa
Jerman mempunyai arti bentuk, wujud atau organisasi. Kata itu mengandung pengertian kebulatan atau
keparipurnaan (Schultz, 1991:171). Lebih lanjut, Simkin dalam (Gilliland, 1989:92) menyatakan bahwa
kata Gestalt mempunyai makna keseluruhan ( whole) atau konfigurasi (configuration). Dengan demikian
Perls lebih mengutamakan adanya integrasi bagian-bagian terkecil kepada suatu hal yang menyeluruh.
Integrasi ini merupakan hal penting dan menjadi fungsi dasar bagi manusia.
Tujuan dasar konseling dalam terapi ini adalah untuk meraih kesadaran ( awareness) terhadap apa
yang sedang dialami oleh klien dan kemudian klien bertanggung jawab terhadap apa yang dirasakan,
dipikirkan dan dikerjakan. Untuk itu, maka terapi ini lebih mengutamakan keadaan di sini, dan saat ini
(here and now).
Terapi Gestalt menolak pencarian alasan tentang sebab-sebab terjadinya suatu perilaku,
pemikiran atau perasaan yang terjadi, tetapi lebih mengutamakan untuk meminta individu untuk
mencoba suatu aktivitas baru yang telah didesain untuk meningkatkan kesadaran. Dengan demikian,
klien akan mengalami sendiri apa yang dilihatnya, apa yang dirasakannya dan apa yang
diinterpretasikannya, sehingga klien dalam keadaan aktif dan tidak menunggu terapis untuk
meningkatkan kesadarannya (Yontef, dalam Gilliland, 1989:98). Lebih lanjut, Perls dkk dalam Cottone
(1992:140) menyatakan bahwa, terapi Gestalt tidak mengutamakan adanya penerimaan social seperti
pada behavioristik atau improvisasi hubungan interpersonal seperti dalam humanistic, tetapi lebih pada
bagaimana individu dapat memperoleh kesadaran dan berfungsi secara efektif.
Bertanggung jawab
Sesuai dengan uraian di atas, seseorang dikatakan sehat apabila mereka dapat
mempertanggungjawabkan serta mengambil resiko yang akan terjadi sebagai hasil dari perbuatannya.
Tanggungjawab ini muncul akibat adanya kesadaran diri di dalam melaksanakan suatu kegiatan.
Memiliki kematangan
Dalam terapi Gestalt, orang dikatakan sehat apabila mereka mempunyai kematangan.
Kematangan ini didasarkan pada kesadaran seseorang terhadap diri dan lingkungannya.
Introjections
Mempunyai arti penggabungan image sebuah obyek atau individu ke dalam psyche;
penyimpanan perasaan dalam image suatu obyek atau seseorang ketimbang dalam obyek atau orang
yang sesungguhnya; menempatkan keinginan terhadap obyek atau individu ke dalam psyche; dan
bertindak seakan-akan benda atau individu tersebut adalah miliknya tanpa memperhatikan apakah
benda atau orang tersebut ada atau tidak ada. Hal ini mengakibatkan orang yang melakukan introjeksi
tidak bisa membedakan antara “saya” dan “bukan saya” (Gilliland dkk, 1989:95).
Projection
Proyeksi ini mempunyai arti suatu mekanisme pertahanan diri dimana seseorang
mengatribusikan motif-motif dalam dirinya kepada orang lain (Harper, 1981). Biasanya seseorang
melakukan proyeksi ini dengan cara menuduh orang lain melakukan atau menjadi apa yang
sebenarnya diinginkannya.
Orang yang takut mengatakan bahwa orang lain agresif, orang yang berpegang teguh pada norma
moral mengutuk pelanggaran susila anak-anak muda, orangtua menyerang anak-anak muda yang
berambut gondrong, dan menuduh mereka sebagai orang yang homoseksual (Schultz, 1991). Orang
yang melakukan proyeksi akut disebut sebagai paranoia (Gilliland, 1989).
Retroflection
Berisi tentang diri seseorang yang mempunyai keinginan untuk menjadi sesuatu, tetapi
dialihkan pada orang lain. Sebagai contoh, saat kita mengalami kesakitan, kita seringkali mengarahkan
agresi yang kita takuti itu kepada orang lain. Agresi yang dilakukan untuk “menghilangkan” rasa sakit itu
dilakukan oleh seseorang dengan tidak sadar, dengan demikian perilaku itu jauh dari kesadaran.
Confluence
Suatu tingkatan kepribadian seseorang yang tidak dapat mempratekkan lingkaran antara
dirinya dengan lingkungan (mencakup orang lain); atau suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat
mentolerir perbedaan dengan orang lain.
Tujuan Konseling
Terapi Gestalt berusaha untuk membantu seseorang agar dapat menerima dan memiliki kembali
(reowning) suasana saat ini. Gestalt membantu individu agar dapat berada dalam kondisi saat ini dan di
sini (here and now). Mereka bisa berpijak dalam suasana aman pada momen kehidupan sekarang.
Lebih lanjut, dikatakan oleh Perls bahwa sasaran terapi adalah menjadikan klien tidak bergantung
kepada orang lain, menjadikan klien menemukan sejak awal bahwa dia bisa melakukan banyak hal,
lebih banyak daripada yang dikiranya, dengan kata lain ajaran Perls adalah kosongkan pikiran Anda
dan capailah kesadaran.
Dalam terapi Gestalt terdapat beberapa hal yang perlu kita perhatikan terlebih dulu. Menurut
terapi Gestalt seseorang dapat berhubungan dengan permasalahannya secara efektif jika mereka
mempergunakan kesadarannya terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Dengan demikian, klien
diasumsikan mempunyai kapasitas untuk mendukung dirinya sendiri serta mampu mengambil tanggung
jawab setelah menyelesaikan terapi. Untuk hal tersebut, Gestalt dalam Corey (1986:122-126)
mempergunakan beberapa istilah sebagaimana tersebut di bawah ini.
Penghindaran (avoidance)
Penghindaran ini sangat erat kaitannya dengan urusan yang belum selesai, dimana seseorang
mencoba untuk menghindari urusan yang belum selesai. Dengan kata lain bahwa seseorang akan
berusaha untuk menghindarkan dirinya dalam menghadapi urusan yang belum selesai dan dari suatu
pengalaman emosi yang tidak mengenakkan (Corey, 1986:123). Lebih lanjut, Perls berusaha untuk
menghindari dari suatu pengalaman emosi yang menyakitkan daripada membuat suatu perubahan
yang perlu.
Lapisan Neurosis
Terapi Gestalt bertujuan untuk membuat seseorang itu menjadi matang. Hanya saja, ada beberapa hal
(lapisan) yang dapat membuat seseorang itu terhambat untuk mencapai kematangan. Perls dalam
Corey (1986:124-125) menyebutkan lapisan-lapisan neurosis itu adalah:
Kebohongan (the phony)
Merupakan suatu cara yang dilakukan oleh seseorang untuk bereaksi terhadap perilaku atau kejadian
lain yang menimpa dirinya. Biasanya hal ini dilakukan dengan cara yang tidak sebenarnya (bohong).
Pada saat seseorang menyadari akaan kebohongan itu, maka pada saat itu pula mereka merasa tidak
enak atau merasa sakit.
Implosive
Pada keadaan seperti ini, seseorang akan mengatakan pada dirinya sendiri. Mereka akan lebih
banyak berbicara pada dirinya sendiri mengenal ketidakmampuannya atau perasaan bahwa dia ingin
mati.
Pelayanan konseling yang berkembang saat ini ternyata juga dipengaruhi oleh perkembangan
teknologi informasi. Ada pergeseran nilai-nilai yang dimiliki masyarakat yang memungkinkan
penggunaan teknologi informasi dalam pelayanan konseling. Individu saat ini seakan tidak memiliki
waktu untuk datang ke ruang konseling. Mereka telah disibukkan dengan permasalahan kerjanya, yang
pada akhirnya mengesampingkan masalah-masalah pribadinya.
Pelaksanaan konseling saat ini telah mengalami perubahan-perubahan yang sangat berarti.
Perubahan yang terjadi saat ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan teknologi terutama
teknologi informasi. Perkembangan dunia komputer saat ini telah mencapai tahap yang sangat canggih
(sophisticated) dan dapat dinikmati oleh hamper seluruh lapisan masyarakat. Bahkan dapat dikatakan
bahwa saat ini kita hidup dalam masyarakat teknologi yang mempengaruhi kehidupan kita baik di kantor
atau di rumah (Hansen daalam Pelling, 2002:1).
Dampak perkembangan teknologi informasi terhadap dunia konseling akan semakin tampak.
Teknologi komputer dalam pelayanan konseling dapat dpergunakan untuk konseling karier (pelling,
2002:2). Teknologi dalam konseling karier berkaitan erat dengan data atau informasi yang akurat dalam
hubungannya membantu klien membuat keputusan pendidikan dan kariernya (Harris & Bowlsbey dalam
Pelling, 2002;2). Data atau informasi yang dikumpulkan dapat diperoleh melalui World Wide Web (www)
dimana “www” didefinisikan sebagai suatu sistem global dari jaringan komputer yang dirangkai ( linked)
secara bersama dalam bentuk hypertext yang memungkinkan pengguna untuk beralih dari satu website
ke website yang lain dalam waktu singkat atau melalui email di internet (Guerra dalam Pelling, 2002:3).
Pengenalan siswa terhadap email pada akhirnya juga berdampak pada proses konseling. Klien
seringkali enggan dating ke ruang konseling, karena selama ini ruang konseling masih menjadi
“momok” bagi kebanyakan siswa. Untuk menjembatani ini, maka siswa atau klien dapat memanfaatkan
teknologi internet untuk melakukan konseling. Klien dapat mengirim email kepada konselor untuk
menyatakan permasalahan yang dimilikinya. Selanjutnya konselor akan menjawab permasalahan klien
tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah konseling.
Lebih lanjut, Offer dan Sampson yang dikutip Sampson dkk (2005:3) menyatakan bahwa
kegiatan konseling saat ini bergantung pada informasi dan perubahan teknologi yang dikembangkan
dalam website yang ada di internet. Sehingga mereka menyatakan bahwa penggunaan website untuk
konseling memiliki lima fungsi yaitu: Menyalurkan klien ke layanan lain sebagaimana yang ditawarkan
oleh pusat layanan (off-line), Mengalihkan klien untuk mengubah sumber daya yang ada dikarenakan
terbatasnya sumber layanan, Menyediakan klien adanya jasa on-line, seperti informasi dan penilaian,
yang sesuai dengan kebutuhan spesifik klien, Menyediakan klien suatu forum untuk mendiskusikan
konseling dan karier dengan para pemakai lain atau dengan praktisi, dan
Menyediakan klien suatu pembelajaran jarak jauh yang dikombinasikan dengan jasa on-line atau
sumber pembelajaran yang lain.
Pelaksanaan konseling pada akhir-akhir ini telah mempergunakan perangkat teknologi yang
semakin canggih. Penggunaan ini pada dasarnya menuntut konselor untuk dapat mengakses berbagai
sumber yang dapat dipergunakan untuk membantu mempertajam dan mengefektifkan siswa dalam
menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya (VanZandt dan Hayslip, dalam Clark & Stone, 2005:1).
Indiana State University – ISU dalam Hines (2002:3) menyatakan beberapa manfaat
penggunaan teknologi dalam konseling bagi konselor adalah sebagai berikut:
Menjadikan konselor sebagai pribadi yang terlatih, efektif dan efisien dalam mempergunakan
computer dan internet.
Menjadikan konselor sebagai guru yang efektif dan fasilitator bagi guru, siswa dan orangtua
yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan dan sumber-sumber informasi karier.
Menjadikan konselor familier terhadap trend penggunaan teknologi dalam pendidikan.
Menjadikan konselor memiliki kemampuan untuk mempergunakan sumber-sumber teknologi
lain yang dapat dipergunakan untuk melakukan proses konseling.
Menjadikan konselor mampu mengembangkan perencanaan penggunaan teknologi dalam
konseling dalam jangka waktu tertentu.
Menjadikan konselor mampu untuk mendesain, menciptakan, dan mengevaluasi efektivitas
penggunaan internet dalam konseling.
Dapat melakukan evaluasi program konseling secara obyektif.
Dapat memahami legalitas dan implikasi etik.
Dapat memanfaatkan teknologi secara efektif.
Dapat mempergunakan teknologi secara efektif dalam usaha pengelolaan dana dan sumber-
sumber lain.
Kesimpulan
Pribadi sehat menurut Rogers (Humanistik/ Person Centered Therapy), bukan merupakan keadaan yang
ada, melainkan suatu proses. Sedangkan pribadi tidak sehat adalah mereka yang mengalami
ketaksejajaran antara konsep diri dengan kenyataan yang ada.
Pribadi sehat menurut Frederick (Humanistik/Gestlat Therapy), adalah mereka yang memiliki
cirri kepribadian: mampu mengatur diri sendiri, memiliki kematangan, bertanggungjawab, memiliki
keseimbangan diri. Sedang manusia tidak sehat adanya kesenjangan akan kesadaran, kesenjangan
akan tanggungjawab, kehilangan kontak dengan lingkungan, tidak mampu menyelesaikan tugas, tidak
memiliki kebutuhan, dan melakukan dikotomi pribadi.
Kegiatan konseling saat ini bergantung pada informasi dan perubahan teknologi yang
dikembangkan dalam website yang ada di internet, banyak manfaat yang akan didapat bagi konselor
dan konseli.
Kepustakaan
Arbuckle, D.S., Counseling and Psychotherapy, Boston: Allyn and Bacon, 1975
Dawning, L.N., Guidance and Counseling Service, New York: McGraw Hill Book Company, 1968
Gibson, Robert. L dan Mitchell, Marianne H. (1990), Introduction to Counseling and Guidance, Englewood Cliff :
Prentice Hall, Inc.
Ohlsen, M.M., Group Counseling, Holt Rinehart and Winston, Inc., 1970
Rogers, C.R., The Counseling and Psychoteraphy, Boston: Houghton Mifflin, 1942
Singgih Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1996
Stone, Geral. L., (1985), Counseling Psychology : Perpsective and Functions, Monterey, California : Brooks/Cole
Publishing Company.