Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Indonesia
21 Agustus 2014 06:49 Diperbarui: 18 Juni 2015 02:59 1707 0 0
Pendidikan adalah jiwa masyarakat saat berpindah dari satu generasi ke generasi yang lain. ~ G.
K. Chesterton
Seorang anak menjadi salah satu korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh wali kelasnya.
Konon katanya, sang guru sudah kewalahan dengan tingkah laku sang murid yang tak bisa diatur
dan selalu melanggar aturan. Tindak kekerasan pun dinilai sebagai salah satu cara yang bisa
membuat anak didiknya berubah. Berhasilkah? Nyatanya, sang guru tersebut malah masuk
penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Kasus lain, seorang guru tega melakukan tindakan amoral kepada anak didiknya hanya karena
sang anak didik sering terlambat. Padahal, guru tersebut dikenal sebagai orang yang sabar dan
baik. Orangtua si anak tak terima dan melaporkan kejadian tersebut ke pihak yang berwajib.
Alhasil, sang guru harus merasakan dinginnya hotel prodeo karena kekhilafannya.
Kejadian di atas merupakan dua contoh kasus di antara berbagai macam kasus yang sering kita
jumpai akhir-akhir ini. Penyiksaan terhadap anak didik yang dilakukan oleh pihak yang
ditinggikan oleh masyarakat dan berpendidikan, yaitu guru.
Tindakan guru tersebut bagaimana pun juga jelas melanggar hukum. Seorang guru seharusnya
mengertietika pendidikan. Bagaimana pun juga, kekerasan tidak bisa menyelesaikan masalah dan
malah memperparah.
Sekarang, bukan zamannya lagi "penyiksaan" terhadap anak didik bila mereka tak menurut
terhadap perintah guru. Guru bukanlah segalanya dan bukanlah "Tuhan" bagi murid. Bila dulu
melakukan tindak kekerasan terhadap murid karena tidak mengerjakan PR dianggap wajar,
namun sekarang berbeda. Sedikit saja seorang guru melukai murid secara fisik, maka guru
tersebut bisa dituntut dan masuk penjara.
Seorang guru haruslah mengerti tentang etika pendidikan. Tugas mereka tak hanya mengisi "bak
yang kosong dengan air", namun juga membentuk kepribadian anak didik yang baik. Dan,
bagaimana mungkin seorang guru bisa membentuk kepribadian anak yang baik bila mereka
sendiri suka melakukan tindak kekerasan dengan alasan untuk mendidik. Sama saja hal tersebut
melanggar etika pendidikan.
Mendidik tidak harus dengan kekerasan. Itulah salah satu etika pendidikan yang wajib dipahami
oleh semua guru. Ingatlah bahwa anak didik bukanlah komputer atau mesin yang bila kita kesal
bisa dibanting sepuasnya. Anak didik adalah amanah bagi seorang guru. Anak didik adalah
"titipan" yang sudah selayaknya dijaga. Bila ada sesuatu yang membuat guru tersinggung dan
marah dengan ulah anak didiknya, selesaikanlah dengan baik-baik dan tidak dengan
menggunakan kekerasan karena hal tersebut sangat melanggar etika pendidikan.
Seorang guru haruslah memandang seorang anak didik sebagai sebuah aset yang harus dilindungi
dan bukan "dieksploitasi". Bila dalam proses belajar mengajar ada sesuatu yang kurang baik di
antara guru dan anak didik, sudah seharusnya hal tersebut diselesaikan dengan cara yang baik.
Berikut ini adalah beberapa moral yang paling umum, masalah hukum dan etika dalam
pendidikan yang paling sering dihadapi oleh para pemberi dan penerima pendidikan, bersama
dengan lembaga pendidikan sendiri, para stock holder, orang tua dan wali siswa.
1. Seragam Sekolah - Haruskah dilepaskan atau malah semakin wajib? Argumen yang
mendukung adana seragam selalu mengamati kepentingan dari dress code / seragam untuk
menyatukan siswa dan tidak membedakan diri mereka satu dengan yang lainnya.
Keseragaman bukan berarti kiamat bila masuk ke wilayah pendidikan, lebih dari itu dengan
berseragam bisa memberikan semacam semangat korps, di kalangan siswa, dan membuat mereka
menghargai kebersamaan kelompok prestasi satu dengan yang lainnya.
Karena apabila tidak diseragamkan apalagi zaman sekarang maka ada kecenderungan anak
berlaku tidak sopan dari busana, pakaian provokatif atau terlalu santai, warna rambut dan gaya
keterlaluan, mereka pada akhirnya akan berkelompok untuk sesuatu yang sama sekali jauh dari
semangat pendidikan, yakni berpikir kelompok sektarian.
Tidak ada jalan tengah untuk hal ini, jika baju di bebaskan, masalah etika bakal menjadi debat
panjang. Toh dengan memakai nama dan bendera berbeda dari setiap sekolah saja, anak anak
lantas cenderung tawuran.
2. Masalah Disiplin: anak mamu menjadi agresif pada masa pertumbuhan, namun mudah pula
jatuh pada semacam ritual narsistik yang mampu menghadirkan mereka sebagai orang yang
paling hebat di antara teman temannya. Bila guru tidak mampu menghadirkan sarana untuk
kenarsisan siswa untuk berprestasi, siap siap saja menuai murid yang tidak disiplin.
Apalagi guru sendiri berada dalam hidup yang sulit dalam kondisi untuk berprestasi, mengingat
di kalangan guru masih saja ada nilai penghargaan yang rendah secara finansial oleh negara dan
bangsanya sendiri. Nasib guru di Indonesia jauh dari rasa keadilan sosial, sehingga sulit bagi
mereka untuk mengajarkan prestasi.
3. Mengatasi Diversity: Kebhinekaan.. inilah masalah etika yang akan dihadapi di sekolah.
Negara ini negara bhineka, namun masyarakat malah mengajarkan kerusakan pada kesatuan.
Lalu apa yang tersisa untuk di ajarkan pada siswa.
Dengan siswa dari latar sosial dan etnis berbeda maka penerimaan di sekolah-sekolah saat ini,
masalah mereka siap berbeda? atau tidak? untuk mengatasi keragaman akhirnya muncul
pertanyaan serius. Ketidaksetaraan rasial dan perbedaan etnis telah menjadi masalah di sekolah
umum sejak zaman sekolah umum didirikan. Pembedaan pada minoritas, yang china, yang
papua, yang keling, yang putih, yang muslim, yang kristen, yang budha, merupaka masalah
serius. Karena mereka calon pemegang estafet republik, dan orang jahat tidak tinggal diam
melihat kesempatan emas memecah belah Indoensia,
Langkah utama untuk menangani keragaman di sekolah harus datang dari kurikulum itu sendiri.
Harus ada festival multikultural di sekolah akan menandai awal dari upaya untuk
menggabungkan siswa dari berbagai latar belakang ke dalam ikatan kesatuan kelembagaan.
Selain itu, masukan sejarah terkemuka yang berasal dari etnis yang berbeda sebagai bagian dari
studi kolektif sejarah nasional akan mendorong siswa untuk membiasakan diri dengan perbedaan
satu sama lain 'ras, budaya dan etnis. Daripada membiarkan keragaman datang di jalan
pendidikan, pentingnya keanekaragaman harus ditegakkan.
4. Grading - Menghubungkan Parameter dengan tujuan : dan satu hal Ujian nasional?
Apakah nilai mencerminkan hasil? Sebaliknya, apa yang yang harus mencerminkan nilai?
Haruskah anak terikat oleh gagasan akademisi? Kemudian lagi, apa, di bidang apa mereka harus
mencerminkan prestasi ? Haruskah nilai dipertimbangkan untuk menilai kemampuan belajar,
informasi menggenggam kecakapan, disiplin dalam memenuhi tenggat waktu akademis?
Negara bisa jadi pesakitan, dan bisa jadi penyelamat bila mampu menjawab pertanyaan itu, dan
sejauh ini, negara gagal memberikan pendidikan etis yang baik dengan menjawab pertanyaan
sebaik baiknya. Ujian nasional dipaksakan ada, karena itu adalah proyek dan semata proyeknya
para akademisi yang berpangkat, semua mengerti itu.
Selain masalah etika pendidikan tersebut, ada masalah lain yang patut dicatat - evaluasi guru,
pendidikan seks, pendidikan nilai, pelacakan dan tes narkoba, bahkan yang lebih gila tes
keperawanan. Tindakan gila yang sangat merendahkan perempuan, dan menjadikan murid
hancur sebelum berkembang. Para regulator, berpikirlah dengan lebih sehat.
Jadi Menurut saya etika pendidikan di Indonesia harus diperhatikan dan ditindak .Karena jika
tidak ditindak maka siswa/siswi yang menjadi korban kekerasan akan merasa tidak aman dan
nyaman belajar disekolah karena merasa takut .Sebaiknya pemerintah harus memberikan
pengarahan kepada guru dan pelajar agar bertindak sesuai dengan norma dan hukum yang tegas
agar etika pengajar dan pelajar menjadi baik .
sumber:
https://srahmahf.blogspot.com/2013/12/lunturnya-moral-dan-etika-di-indonesia.html
https://www.academia.edu/5863303/Kumpulan_Contoh_Judul_Artikel_dan_Makalah_Pendidika
n_Kesehatan_dan_Psikologi