Kebutuhan akan penggunaan energi terbarukan sebagai pengganti energi fosil yang saat ini masih
dijadikan sumber energi utama penggerak roda ekonomi semakin mendesak. Harga energi yang
meningkat dari waktu ke waktu menyebabkan semakin tingginya beban biaya energi pada sektor
industri untuk menjalankan aktifitas produksinya dan semakin besarnya pengeluaran rumah tangga
untuk memenuhi kebutuhan energinya. Di sisi lain, tingginya harga energi juga semakin
meningkatkan beban subsidi energi yang harus dikeluarkan pemerintah dari APBN. Dalam APBN-P
2014 telah disepakati besaran subsidi energi yang sangat fantastis hingga mencapai Rp350,31
triliun (anggaran subsidi BBM, LPG, dan BBN sebesar Rp246,49 triliun, sedangkan anggaran
subsidi listrik sebesar Rp103,81 triliun). Proporsi subsidi energi yang sebagian besar dinikmati
orang-orang kaya tersebut kini mencapai 22% terhadap total APBN. Sebaliknya, anggaran belanja
modal untuk pembangunan infrastruktur yang sangat dibutuhkan bangsa ini baru 8,2% dari total
belanja negara.
Masih tingginya ketergantungan pada energi fosil, menyebabkan upaya penurunan gas rumah kaca
(GRK) juga mengalami kelambatan. Idealnya, pengurangan subsidi harus dilakukan. Dengan
pengurangan subsidi BBM akan tercipta harga yang tinggi. Harga yang tinggi akan mendorong
pelaku ekonomi mencari barang substitusi sehingga masyarakat akan terdorong untuk
mengembangkan inovasi melalui energi terbarukan. Kenaikan harga BBM sendiri sebaiknya
dilakukan secara bertahap dan pasti, sehingga tidak ada spekulasi pasar yang akan membuat nilai
inflasi menjadi berlipat.
Berbagai potensi energi terbarukan telah dimanfaatkan dan dikembangkan melalui program-
program yang ada di Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Kementerian ESDM dengan
dukungan baik melalui APBN, hibah internasional, maupun kredit perbankan. Namun,
pengembangannya masih dirasa belum maksimal dikarenakan terbatasnya anggaran di APBN.
Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan pembiayaan pengembangan energi terbarukan yang lebih
berkelanjutan.
Terdapat beberapa jenis peluang dalam pembiayaan untuk pengembangan energi terbarukan di
Indonesia, antara lain kredit perbankan yang mendukung pemberdayaan usaha ramah lingkungan
(green business), program-program yang telah dilaksanakan oleh KLH berupa pinjaman lunak
antara lain Program Pollution Abatement Equipment (PAE), Program Industrial Efficiency and
Pollution Control (IEPC) Tahap 1 dan Tahap 2, Program Debt for Nature Swap (DNS), dan Program
Emission Reduction Investment (ERI), program-program dari Kementerian ESDM seperti Program
Biogas Rumah – BIRU, dan program dari Bappenas berupa Fasilitas Kemakmuran Hijau yang
merupakan bagian dari Proyek Kemakmuran Hijau yang saat ini masih berjalan dimana dananya
bersumber dari hibah Compact yang dikelola Millenium Challenge Corporation (MCC) sebesar
USD600 juta. Selain itu terdapat pula mekanisme pembiayaan berupa Dana Alokasi Khusus (DAK)
Bidang Energi Pedesaan, pendanaan dari Pusat Investasi Pemerintah (PIP), dan juga kredit
program eksisting dengan berbagai pola antara lain Pola Subsidi Bunga (Interest Subsidy Pattern),
Pola Jasa Penjaminan (Assurance Services Pattern), dan Kredit Program Pola Kombinasi
(Combination Pattern), dimana belum secara spesifik dapat dimanfaatkan untuk pengembangan
energi terbarukan.
Dana Alokasi Khusus Bidang Energi Perdesaan yang selanjutnya disebut DAK Bidang Energi
Perdesaan adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang
dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan
pembangunan energi terbarukan. Pemerintah mengucurkan dana alokasi khusus (DAK) kepada
tujuh puluh satu kabupaten di seluruh Indonesia pada tahun anggaran 2013. Mulai tahun anggaran
2013, dimana sebelumnya hanya diimplementasikan pada pengembangan energi baru terbarukan
untuk listrik, kegiatan DAK tahun 2013 juga akan memfasilitasi pemanfaatan biogas.
DAK ini dialokasikan untuk diversifikasi energi yaitu memanfaatkan sumber energi terbarukan
setempat untuk meningkatkan akses masyarakat perdesaan, termasuk masyarakat di daerah
tertinggal dan kawasan perbatasan, terhadap energi modern. Dalam Peraturan Menteri ESDM
Nomor 3 Tahun 2013, DAK Bidang Energi Perdesaan diarahkan untuk membiayai kegiatan fisik
pembangunan instalasi pemanfaatan energi terbarukan yang meliputi, pembangunan PLTMH baru;
rehabilitasi PLTMH yang rusak, perluasan atau peningkatan pelayanan tenaga listrik dari PLTMH
yang rusak; pembangunan PLTS Terpusat dan/atau PLTS Tersebar; serta pembangunan instalasi
Biogas skala rumah tangga.
Sasaran penerima/pemanfaat DAK Bidang Energi Perdesaan untuk kegiatan yang menghasilkan
energi listrik diprioritaskan pada desa yang belum terjangkau listrik dari PT PLN (Persero). Bupati
penerima DAK Bidang Energi Perdesaan wajib mengalokasikan dana pendamping dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah paling kurang 10% (sepuluh persen) dari jumlah DAK Bidang
Energi Perdesaan yang diterimanya. Dana pendamping sebagaimana dimaksud digunakan untuk
kegiatan yang bersifat fisik
Salah satu fokus bidang investasi dari PIP adalah program pembangunan yang ramah lingkungan,
salah satunya adalah energi terbarukan. Pada tahun 2012, PIP mulai fokus pada pembiayaan mini
hydro dan menerima mandat untuk mengelola dan melaksanakan Fasilitas Dana Geothermal. Pada
tahun 2013, PIP juga berfokus pada efisiensi energi dan biomassa, terutama limbah menjadi
energi. Untuk selanjutnya, PIP akan fokus pada sektor energi terbarukan yang lebih luas, termasuk
tenaga surya, tenaga angin, serta transportasi bersih dan pengelolaan air.
Ketenagalistrikan merupakan salah satu target investasi PIP pada proyek infrastruktur guna
mempercepat laju ekonomi dan transaksi bisnis bagi masyarakat Indonesia. Selain itu, investasi
PIP pada proyek ketenagalistrikan juga mendukung percepatan program sejuta listrik pemerintah.
Khusus untuk ketenagalistrikan, sumber daya kelistrikan berasal dari pembangkit listrik dengan
energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga air (hydro power), pembangkit listrik tenaga gas,
maupun sumber energi listrik lainnya yang ramah lingkungan.
Investasi pada sektor teknologi ramah lingkungan untuk tahun 2013 dilaksanakan melalui
skema/instrumen investasi berupa pinjaman daerah maupun kerjasama dengan pihak BUMN/D dan
swasta. Skema pinjaman daerah lebih diprioritaskan, mengingat investor/pengembang teknologi
ramah lingkungan di Indonesia yang masih relatif baru (2 s.d. 3 tahun), sehingga diperlukan adanya
peran pemerintah daerah yang berada pada lokasi sumber proyek/kegiatan investasi energi
terbarukan dan secara langsung mendapat manfaat dari investasi tersebut.
Pembiayaan Energi Terbarukan Melalui Kredit Program Ketahanan Pangan dan Energi
(KKP-E)
Pada KKP-E, sumber dana pembiayaan program pinjaman lunak berasal dari dana Bank
Pelaksana yang dikelola dan disalurkan berdasarkan ketentuan program. Insentif pembiayaan
berupa subsidi bunga diperoleh dari dana APBN yang dikucurkan melalui DIPA Kementerian
Keuangan. Dana subsidi dikucurkan kepada bank pelaksana untuk menutup selisih yang harus
ditanggung Bank Pelaksana atas pengurangan besaran bunga yang disalurkan terhadap besaran
bunga komersial. Dana subsidi juga dipergunakan untuk menutup selisih besaran jaminan yang
ditanggung nasabah terhadap cover jaminan sesuai ketentuan Bank Pelaksana.
Sampai dengan bulan Juli 2013 terdapat 22 Bank Pelaksana KKP-E yang terdiri dari 3 Bank
BUMN, yaitu BRI, BNI, Mandiri; 5 Bank Swasta Nasional, yaitu Bukopin, BCA, BRI Agro, BII, CIMB
Niaga; dan 14 Bank Pembangunan Daerah, yaitu BPD Sumut, Sumbar, Jambi, Sumsel Babel,
Riau, Jabar Banten, Jateng, DIY, Jatim, Bali, NTB, Kalsel, Sulsel, Papua. Dimana total plafon
pendanaan untuk KKP-E Tebu yaitu sebesar Rp3,38 triliun, sedagkan untuk KKP-E Lainnya
sebasar Rp7,23 triliun.
Untuk kegiatan pengembangan energi terbarukan yang membutuhkan dana yang tidak begitu
besar dapat digunakan skema kredit program berupa Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-
E), mengingat batasan dari skema pembiayaan investasi melalui KKP-E terutama terkait dengan
besaran kredit yang dapat diberikan (yaitu maksimum Rp100 juta untuk individu dan maksimum
Rp500 juta untuk kelompok) dan juga tenor waktu yang diberikan (yaitu maksimum 5 tahun).
Sedangkan untuk kegiatan pengembangan energi terbarukan yang membutuhkan dana yang cukup
besar, dapat digunakan pendanaan dari PIP atau melalui skema kredit program baru.
*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan merupakan sikap instansi dimana
penulis bekerja.