Anda di halaman 1dari 31

3.

1 Radioposisi

3.1.1 Radioposisi Foto Polos Abdomen

Foto polos abdomen adalah suatu pemeriksaan abdomen tanpa


menggunakan kontras dengan sinar X yang menggambaran struktur dan organ
di dalam abdomen, yaitu : lambung, hati, limpa, usus besar, usus kecil, dan
diafragma yang merupakan otot yang memisahkan dada dan daerah abdomen.
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup
seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film
ukuran 35 x 43 cm. Foto polos abdomen dapat dilakukan dalam 3 posisi, yaitu
(Sudarmo, 2008) :

1. Tiduran telentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi


anteroposterior (AP).
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan
sinar horizontal proyeksi AP.
3. Tiduran miring ke kiri (Left Lateral Decubitus = LLD), dengan sinar
horizontal, proyeksi AP.

Prosedur Kerja

a) Posisi AP supine

1. Persyaratan teknis : ukuran film 35x43 cm/30x40 cm, posisi memanjang


menggunakan grid yang bergerak maupun statis, dengan variasi 70-80 kV dan
20-25 mAs.

2. Sedangkan posisi pasien:

a)   Tidak ada persiapan khusus untuk pemeriksaan foto polos abdomen


b)  Penderita diminta untuk melepaskan pakaian dan perhiasan untuk
menghidanri terjadinya artefak pada film dan memakai perlindungan untuk
daerah gonad, terutama untuk pria

c)  Pasientidurterlentang,lenganpasiendiletakkkandisamping tubuh, garis


tengah badan terletak tepat pada garis tengah pemeriksaan, kedua tungkai
ekstensi.

1. Posisi obyek : bagian tengah kaset setinggi krista iliaka dengan batas tepi
bawah setinggi simfisis pubis, tidak ada rotasi pelvis dan bahu. Pusat sinar
pada bagian tengah film dengan jarak minimal 102 cm

b)  Posisi Left Lateral Decubitis (LLD)

Pasien tidur miring ke kiri, tekuk lengan melingkari kepala. Film diletakan di
depan atau belakang perut pasien. Mengikuti area simphisis pubis pada film.
Titik tengah terletak pada garis tengah film. Arah sinar horizontal 90o
dengan film dengan proyeksi AP untuk melihat air fluid level dan
kemungkinan perforasi usus.
c)  Posisi Setengah Duduk/ berdiri

Pasien dapat dengan posisi duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan
sinar horizontal proyeksi AP 90o dari film. Posisi pasien dalam posisi
anteroposterior dengan bagian belakang tegak. Pastikan punggung tidak
rotasi. Letakan lengan dan tangan dalam posisi anatomi. Pasien tidak boleh
bergerak. Point sentral terletak pada garis tengah tubuh dengan garis tengah
film.
3.1.2 Radioposisi Ultrasonografi

Pemeriksaan USG dimulai dengan pasien dalam posisi berbaring terlentang


kadang kadang pasien diposisikan dengan posisi miring ke kiri, jika diperlukan
periksa dalam posisi berdiri tegak atau merangkak. Menurut PES Palmer mulai
pemeriksaan dengan skening longitudinal, kemudian skening transversal jika
diperlukan, lakukan pemeriksaan dengan skening intercostal. Kemudian, suruh
pasien untuk berbaring miring ke kiri atau di oblik ke kiri dengan transduser di
sudutkan. Jika terdapat gas dalam usus, lakukan pemeriksaan USG dengan
posisi berdiri tegak (posisi duduk biasanya tidak akan memindahkan gas
didalam usus). Posisi merangkak pada tangan/lutut dapat dipakai untuk
memperlihatkan batu empedu secara lebih jelas dengan membiarkan batu
tersebut bergerak ke anterior (Swastinungrum, 2019).

Untuk melakukan skenning kandung empedu tempatkan probe di bawah


batas kostal kanan, diarahkan pada bahu kanan dengan marker probe
longitudinal. Sweep sepanjang batas kostal sampai gambaran kandung
empedu diperoleh. Jika mengalami kesulitan, pasien dapat diperintahkan
untuk mengambil napas dalam-dalam kemudian tahan napas agar kantong
empedu berada di bawah batas tulang rusuk. Jika masih mengalami kesulitan,
cobalah tempatkan pasien dalam posisi dekubitus lateral kiri. Langkah
berikutnya untuk mendapatkan gambaran longitudinal pada kandung empedu.
Dapat dilakukan dengan memutar probe pada porosnya. Setelah ini dilakukan,
cobalah untuk menunjukkan hubungan dengan portal triad. Ketika
mendapatkan gambaran longitudinal yang terlihat pada kandung empedu,
fisura lobar utama, dan vena portal, itu akan berbentuk seperti tanda seru.
Cara ini untuk memastikan bahwa yang tergambar memang kandung empedu,
dan bukan loop dari usus atau IVC (Swastinungrum, 2019).

3.1.3 Radioposisi Computed Tomography (CT Scan)

Pemeriksaan CT Scan biasanya digunakan untuk memindai struktur otak,


leher, abdomen, pelvis, dan tungkai. CT Scan dapat digunakan untuk
menentukan staging tumor primer (pada kolon dan paru), untuk mengetahui
apakah terdapat penyebaran, untuk menentukan kelayakan operasi, atau untuk
dasar kemoterapi (Jong, 2003).

CT Scan juga dapat digunakan untuk perencanaan radioterapi serta


mendapatkan detail anatomis yang tepat. Pemotretan awal atau permulaan
dilakukan dengan tabung yang dibiarkan diam, sedangkan pasien dalam posisi
supine dengan meja tidak digerakkan. Hasil sama dengan foto rontgen biasa dan
disebut sebagai topogram atau skenogram. Skenogram dibuat untuk
memprogramkan potongan-potongan mana saja yang akan dibuat. Kemudian
satu per satu dibuat scan-nya menurut program (Jong, 2003).

Penilaian densitas dalam gambar CT dikenal dengan istilah hiperdens,


hipodens dan isodens. Hiperdens menunjukkan gambaran putih, hipodens
memberikan gambaran hitam dan isodens memberikan gambaran yang sama
dengan organ sekitarnya. Perbedaan densitas tersebut tergantung pada
perbedaan daya serap organ tubuh terhadap sinar X. Oleh karena itu, dibuatlah
penomoran image dengan satuan HU (Housnsfield Unit). Semakin tinggi nilai
HU maka densitas gambar semakin tinggi. Beberapa zat telah ditetapkan nilai
HU-nya, misalnya densitas air adalah 0 HU dan udara adalah -1000 HU (Moch,
2013).

Prosedur Pemeriksaan CT-Scan abdomen, sebagai berikut (Moch, 2013) :

- Posisikan pasien terlentang (supine) diatas meja pemeriksaan dan


tangan di letakan di atas kepala
- Dibuat topogram dengan mengatur sejajar dengan garis batas atas
diafragma
- Buat pengaturan irisan mulai dari diafragma sampai simfisis pubis
dengan ketebalan 10 mm
- Dari ketebalan 10 mm, direkonstruksikan menjadi 1 mm
- Dari 1 mm direkonstruksikan menjadi 3 D untuk dibuat potongan
aksial, koronal, dan sagital (sesuai kebutuhan)
- Pada saat scanning berikan aba-aba tarik nafas, keluarkan nafas, dan
tahan nafas.

3.1.4 Radioposisi Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)

ERCP merupakan suatu perpaduan antara pemeriksaan endoskopi dan


radiologi untuk mendapatkan anatomi dari sistim traktus biliaris
(kolangiogram) dan sekaligus duktus pankreas (pankreatogram). Metode ini
memerlukan alat radiologi dengan kemampuan tinggi, monitor televisi serta
ketrampilan khusus dari ahli endoskopi. Prinsip teknik ERCP adalah mula-
mula memasukkan endoskop "optik samping" sampai duodenum dan mencari
papila Vateri yang merupakan muara bersama dari duktus koledokus dan dari
duktus pankreatikus. Kemudian dilakukan kanulasi dari muara papila dengan
kateter yang dimasukkan melalui kanal skop. Selanjutnya media kontras
disuntikkan melalui kateter tersebut sehingga didapatkan kolangiogram atau
pankreatogram yang akan terlihat pada monitor televisi (WHO, 1992).

Endoscopic Retrograde Choledoco Pancreatography (ERCP) adalah


pemeriksaan radiografi pada pankreas dan sistem billiary dengan bantuan media
kontras positif dan menggunakan peralatan fiber optik endoskopi untuk
menegakkan diagnosa. Atau suatu teknik yang mengkombinasikan endoskopi
dan flouroscopy untuk mendiagnosa dan menangani masalah yang berkaitan
dengan duktus biliaris dan duktus pankreatikus (WHO, 1992).

Peran endoskopi adalah masuk dan melihat bagian dalam gaster dan
duodenum dan peran flouroscopy adalah menginjeksikan zat radiokontras ke
dalam duktus biliaris dan pankreatikus agar bisa dilihat x-ray. Untuk kasus
tertentu seperti endoscopic sphincterotomy, pengangkatan batu, pemasangan
stent dan dilatation of stricture dilakukan ERCP Terapeutik (WHO, 1992).

Prinsip dari ERCP terapeutik adalah memotong sfingter papila Vateri dengan
kawat yang dialiri arus listrik sehingga muara papila menjadi besar
(spingterotomi endoskopik). Kebanyakan tumor ganas yang menyebabkan
obstruksi biliaris sering sekali inoperabel pada saat diagnosis ditegakkan.
Tindakan operasi yang dilakukan biasanya paliatif dengan membuat
anastomosis bilio-digestif. Pada penderita dengan usia lanjut atau dengan
penyulit operasi, drainase bilaer dapat dilakukan dengan ERCP terapeutik yaitu
memasang endoprostesis parendoskopik. Prinsip dari teknik ini adalah setelah
dilakukan small sphingterotomy kemudian dimasukkan prostesis yang terbuat
dari tenon dengan bantuan guide wire melalui papila Vateri ke dalam duktus
koledokus sehingga ujung proksimal prostesis terletak di bagian proksimal dari
lesi obstruksi dan ujung distal terletak di duodenum. Dengan cara ini akan
diperoleh drainase empedu internal melalui endosprotesis yang mempunyai
lubang-lubang di sampingnya (side holes) (WHO, 1992).

1. Persiapan Pasien (WHO, 1992)

a) Tanyakan apakah pasien hamil atau tidak.


b) Tanyakan apakah pasien mempunyai riwayat asma atau tidak.
c) Pasien diminta menginformasikan tentang obat-obatan yang
dikonsumsi.
d) Pemeriksaan darah lengkap dilakukan 1-2 hari sebelumnya.
e) Pasien puasa 5-6 jam sebelum pemeriksaan dimulai.
f) Bila diperlukan, pasien dapat diberikan antibiotik.
g) Penandatanganan informed consent (IC).
h) Plain foto abdomen
i) Premidikasi ameltocaine lozenge 30 mg.
j) Media kontras : untuk Pancreatic Duct diberikan Angiografin 65%
atau sejenisnya
k) Billiary Duct diberikan Conray 280 atau sejenisnya.
2. Teknik Radiografi (WHO, 1992).

a) Pasien disedasi atau dianesthesi.


b)  Pasien miring di sisi kiri pada meja pemeriksaan.
c) Endoskopdimasukanmelaluimulut,turunkeesofagus,kemudian
gaster,melalui pylorus, dan masuk ke dalam duodenum dimana
terdapat Ampulla of Vater (pembukaan common bile duct
danpancreatic duct) dan Sphincter of Oddi adalah muscular valve yang
mengatur pembukaan ampulla.
d) Kemudian sebuah cannula atau catheter dimasukan melalui ampulla,
dan zat radiokontras disuntikan ke dalam duktus biliaris dan duktus
pankreatikus.
e) Endoskopi diposisikan pada bagian tengah duodenum dan papilla
vateri.
f) Poly kateter diisi media kontras (berada di pertengahan endoskopi)
g) Dibuat spot foto dipandu dengan fluoroscopy.

Gambar. A, B, Posisi endoskopi pada saat pemeriksaan ERCP.


3.1.5 Radioposisi Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP)

Magnetic Resonance Cholangio Pancreatography (MRCP) merupakan teknik


imejing MRI yang digunakan untuk pemeriksaan pasien pada kelainan system
pancreatobiliaris. MRCP menggunakan sekuens T2 Weighted heavily, maka
cairan yang berada dalam kantung empedu beserta duktus-duktusnya intensitas
sinyalnya akan meningkat dibandingkan jaringan sekitar. Bila dibandingkan
dengan pemeriksaan lain seperti ERCP (Endoscopic Retrograde
Cholangiopancreatography) maka MRCP lebih bersifat non invansif, relatif
murah, tidak menggunakan radiasi, dan tidak memerlukan anastesi. MRCP
memungkinkan visualisasi yang lebih baik bila terjadi obstruksi pada duktus
proksimal serta bila dikombinasikan dengan sekuens konvensional T1-
Weighted dan T2-Weighted dapat menunjukkan kelainan ekstra duktus. Namun
MRCP belum mampu menghasilkan spatial resolution yang sama dengan
ERCP.. Adapun teknik pemeriksaan MRCP sebagai berikut (Astina, 2006) :

1. Posisi pasien
- Menggunakan coil abdomen
- Pasien supine pada meja MRI, dengan posisi feet first
- Memasang respiratory trigger
- Kedua tangan ke atas untuk menghindari artefak
- Landmark bagian bawah pada prosesus xiphoideus
2. Pengambilan Image

Sequence yang digunakan pada pemeriksaan MRCP antara lain Axial T2, 2D
MRCP (Thick slice) dan 3D MRCP (Thin slice) selain itu jika diperlukan
pada kasus-kasus keganasan/tumor diperlukan adanya sequence Axial T1.

1) Localizier
Parameter Localizier dijelaskan sebagai berikut:

 Irisan : Coronal dan sagital (three plane localizier jika mampu)


digunakan untuk planning potongan axial
 Pulsa sekuens : SSFSE /FMSGRE
 TR/TE : --/180

SAT : Non

NEX : 1

FOV : 40 cm

 Slice thicknes : 8 mm
 Spacing : 0 mm

Gambar. Localizier dan Planning Irisan.

Citra yang dihasilkan harus mampu menunjukan anatomi abdomen dengan


baik. Pengambilan citra dilakukan dengan single breath hold. Localizier ini
digunakan untuk perencanaan irisan pada seri 2 (Axial T2) dan seri 3 (Axial in-
phase) (Astina, 2006).

2) Axial T2 Weighted

Scanning kedua yaitu axial T2 Weighted digunakan untuk mengidentifikasi


hepar, pankreas, lesi yang lain dan menampilkan gambaran kandung empedu
secara umum untuk membantu dalam akuisisi dari sequence coronal oblique
MRCP. Untuk menampakkan irama pernafasan dengan interval yang teratur
digunakan respiratory triggering. Slice thickness menggunakan seperlunya
untuk menampakkan liver dan pankreas secara utuh (Astina, 2006).

3)  Axial (Fat Saturation)

Scanning ke tiga phase axial sangat bagus dalam memperlihatkan patologi


pankreas dan sangat sensitif untuk mengidentifikasi massa pankreas. Pada
scanning phase axial sebaiknya mencakup pankreas secara utuh dan jika
dibutuhkan slicenya dibuat setipis mungkin jika memungkinkan coverage yang
lebih luas. Coverage lebih luas dapat ditampakkan dengan cara tahan nafas, jika
pasien tidak mampu tahan nafas lebih panjang maka digunakan T1 Spin Echo
(slice thick interleaved 6 mm) dengan fat saturation (Astina, 2006).

4)  MRCP (Thin slice)

Tujuan dari sequence ini adalah untuk mendapatkan gambaran komprehensif


dari duktus biliaris pada pasien dengan suspek obstruksi akibat adanya batu
atau post trasplantasi hepar. Pengambilan gambar dilakukan dengan irisan
coronal dan untuk lebih lengkapnya dilakukan juga dengan coronal oblik.

Perencanan irisan menggunakan axial T2, citra yang dipilih harus


menampakkan duktus biliaris. Gunakan irisan 5 mm dan gap 0 mm. Slice
diambil sebanyak 15 irisan dengan menggunakan teknik tahan nafas.
Irisan coronal dimulai dari posterior CBD (Common Bile Duct) melalui kepala
pankreas ke arah anterior hepar. Idealnya gall bladder tercangkup sebanyak 15
irisan. Pada potongan coronal oblik (RAO) arah irisan dirotasikan berlawanan
arah jarum jam 20-30 derajat melalui CBD. Pada coronal oblik yang kedua
(LAO) arah irisan dirotasikan 20-30 derajat searah jarum jam berpusat pada
CBD dan pastikan seluruh gall bladder masuk (Astina, 2006).

Gambar. Planning Irisan MRCP Thin Slice.

5) MRCP (Thick Slab)

MRCP (Thick Slab) merupakan alternatif dalam proses akuisisi image


pada pemeriksaan MRCP yang mencakup seluruh sistem biliaris. Pengambilan
image dilakukan dengan beberapa slab dengan sudut yang berbeda. Teknik
MRCP ini digunakan untuk mengakuisisi image kandung empedu sampai
sistem billier, dilakukan hanya dalam 2 detik dengan menggunakan irisan
oblique (Astina, 2006).
Gambar. Potongan MRCP Thick slab.

Potongan yang dilakukan pertama kali untuk sistem billier adalah potongan
coronal melalui kaput pankreas, dengan besar penyudutan irisan sebesar 15°.
Teknik ini dapat mencegah terjadinya artefak misregistrasi dan artefak crosstalk
(Astina, 2006).

3.1.6 Radioposisi Percutaneous Transhepatic Choledochography (PTC)

Percutaneous Transhepatic Choledochography adalah pemeriksaan radiografi


invasive pada duktus biliaris dengan menggunakan sinar-x dan bantuan media
kontras positif untuk menegakkan diagnosa. Sangat berperan terutama pada
membedakan obstruksi jaundice dan non obtruksi dan digunakan untuk
menentukan posisi, ukuran dan penyebab obstruksi (Erviani, 2006).

1. Persiapan Pasien (Erviani, 2006).

- Puasa 5 jam sebelum pemeriksaan dimulai.


- Pemeriksaan darah dan urine lengkap.
- Pemeriksaan fungsi hati.
- Penandatangan Informed Consent.
- Buang air kecil sebelum pemeriksaan.
- Persiapan lokal pada tempat injeksi.
- Skin area diantara bagian bawah chest dan bagian atas abdomen
dibersihkan dengan larutan desinfektan (iodine, pyodine atau
chlorhexidine) kemudian ditutup dengan duk sterile.
- Anastesi lokal bagian lower intercostal space (antar costae 7,8, 9).

2. Teknik Radiografi (Erviani, 2006).


- Pasien tidur supine pada meja flouroscopy
- Foto AP right side/ sebelah kanan dari abdomen dengan batas bawah pada
sias
- Setelah dianastesi lokal, chiba needle dimasukkan kedalam liver secara
pecutan dengan pengawasan melalui flouroscopy
- Setelah diketahui letak bile duct, diambil cairan empedunya untuk untuk
pemeriksaan lab
- Selanjutnya media kontras disuntikkan sedikit untuk mengetahui posisi
jarum audah tepat atau belum
- Jumlah kontras media sangat bervariasi tergantung volume dari saluran
empedu
- Bila terjadi kebuntuan saluran, maka needle diganti dengan cateter
untuk drainase
- PA dan oblique menggunakan serial film changer dan meja
pemeriksaan dinaikkan sedikit sehingga posisi kepala lebih tinggi dari
kaki
- Apabila diidentifikasi adanya obstruksi pada saluran empedu
selanjutnya dipersiapkan untuk laparotomi.

Gambar. (A) Teknik PTC (B) Corresponding cholangiogram.


3.2 RADIOANATOMI

3.2.1 Radioanatomi Foto Polos Abdomen

Gambar. Hasil Radiografi Foto Polos Abdomen.

Kriteria radiografi yang tampak diantaranya tidak tampak batu pada


duktus hepatikus komunis maupun duktus biliaris komunis, tampak anatomi
abdomen mulai dari columna vertebra thoracal 12 sampai dengan simfisis
pubis, proccesus spinosus berada dipertengahan vertebra, tampak musculus
psoas line, dan tampak udara dilambung dan colon (Shojamanesh, 2010).
3.2.2 Radioanatomi Ultrasonografi

Pada skenning longitudinal, kandung empedu akan terlihat sebagai buah


pear yang bebas-eko. Posisi ukuran dan bentuknya sangat bervariasi tetapi
ukuran kandung empedu yang normal jarang melebihi 4 cm. Kandung empedu
bersifat mobile. Organ ini bentuknya bisa memanjang danpada skening dapat
ditemukan dibawah krista iliaka superior (khusus jika pasien berdiri tegak).
Kandung empedu dapat sampai ke sebelah kiri garis tengah. Ketebalan dinding
kandung empedu dapat diukur pada skening transversal. Pada pasien yang
sedang puasa, tebal normal kandung empedu adalah 3 mm atau kurang dan
dalam keadaan distensi, tebalnya 1 mm (Breyer, 2002).

Bagian dari kandung empedu antara lain (Breyer, 2002) :

1. Fundus, merupakan bagian kandung empedu yang paling akhir setelah


korpus vesikafelea.
2. Corpus, bagian dari kandung empedu yang didalamnya berisis getah empedu.
Getah emepedu adalah suatu cairan yang disekeresi setiap hari oleh sel hati
yang dihasilkan setiap hari 500-1000 cc, sekresinya berjalan terus menerus,
jumlah produksi meningkat sewaktu mencerna lemak.
3. Colum, Merupakan leher dari kandung empedu yaitu saluran yang pertama
masuknya getah empedu ke badan kandung emepedu lalu menjadi pekat
berkumpul dalam kandung emepedu.
4. Duktus sistikus, panjangnya kurang lebih 3 ¾ cm. berjalan dari leher kandung
emepedu dan bersambung denganduktus hepatikus membentuk saluran empedu
ke duodenum.
5. Duktus hepatikus, saluran yang keluar darihati.
6. Duktus koledokus, saluran yang membawa empedu ke duodenum.
Gambar. Skening longitudinal : kandung empedu normal yang terisi penuh.

Gambar. Skening longitudinal : kandung empedu normal yang sebagian


kosong.

Gambar. Skening longitudinal mid clavicula, gambaran sonoanaotmi kandung


empedu longitudinal.
Gambar. Skening transversal mid clavicula, gambaran sonoanatomi kandung
empedu.

3.2.3 Radioanatomi CT Scan

Pemeriksaan CT dapat dilakukan/dianjurkan karena termasuk sarana yang


tidak invasive (Debas, 2007).

Gambar. Normal Duktus Biliaris.


3.2.4 Radioanatomi Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography

ERCP merupakan suatu perpaduan antara pemeriksaan endoskopi dan


radiologi untuk mendapatkan anatomi dari system traktus biliaris
(kolangiogram) dan sekaligus duktus Pankreas (pankreatogram). Metode ini
memerlukan alat radiologi dengan kemampuan tinggi, monitor televise serta
keterampilan khusus dari ahli endoskopi. Prinsip teknik ERCP adalah mula-
mula memasukkan endoskop “optic samping” sampai duodenum dan mencari
papilla vateri yang merupakan muara bersama duktus koledokus dan dari
duktus pankreatikus. Kemudian dilakukan kanulasi dari muara papilla dengan
kateter yang dimasukkan melalui kanal skop. Selanjutnya media kontras
disuntik melalui kateter tersebut sehingga didapatkan kolangiogram atau
pankreatogram yang terlihat pada monitor televisi. Untuk penilaian dan
dokumentasi lalu dibuat beberapa foto dalam beberapa posisi. Bilirubin serum
kurang dari 7 mg%, kemungkinan besar disebabkan oleh batu. Demikian pula
hasil USG tampak jelas adanya gambaran batu di saluran empedu, maka
seyogyianya dilakukan ERCP (endoscopic retrograde cholangigraphy), yang
akan memperlihatkan gambaran seperti tersebut diatas. ERCP sendiri juga dapat
digunakan pada penanganan batu pada bagian distal ataupun ampular pada
duktus koledokus (Debas, 2007 ; Rosh, 2010).
Gambar. ERCP normal menunjukkan duktus koledokus (panah besar),
Duktus sistikus (panah kecil), dan kandung empedu (GB).

Gambar. (Kiri) normal ERCP, menunjukkan traktus biliaris dan duktus


pankreatikus pada pasien yang telah melakukan kolesistektomi. (Kanan)
menunjukkan terjadi pelebaran duktus koledokus yang mengandung batu yang
besar.
3.2.5 Radioanatomi Magnetic Resonance Cholangiopancretography (MRCP)

MRCP adalah tindakan non invasive, tidak membutuhkan kontras dan tidak
ada resiko untuk terkena radiasi. Hal-hal tersebut membuat MRC ideal untuk
digunakan pada wanita hamil, dan pada situasi dimana penggunaan kontras
meningkatkan resiko untuk terkena gagal ginjal. Pada MRC cairan berwarna
putih sehingga gambaran dari traktus biliaris dan duktus pankreatikus sebagus
gambaran sebenarnya (Norton, 2005).

Gambar. MRCP normal yang menunjukkan duktus sistikus komunis (panah


hijau) dan duktus pankreatikus (panah putih).
3.2.6 Radioanatomi Percutaneus transhepatic cholangigraphy (PTC)

Percutaneus transhepatic cholangigraphy menggambarkan traktus biliaris


intra dan ekstrahepatik secara sempurna. Transhepatic cholangiography
berguna pada lesi proksimal daerah duktus choledokus dan ERCP untuk daerah
distal. Pada foto PTC akan tampak jelas pelebaran saluran empedu baik intra
maupun ekstrahepatal. Pada ujung duktus koledokus bila tampak kekosongan
kontras media yang bulat atau oval, maka batu sebagai penyebab obstruksi.
Gambaran demikian biasanya disertai pembesaran kandung empedu yang
kemungkinan besar berisi batu. PTC sangat berguna untuk menggambarkan
keadaaan duktus koledokus serta bagian proksimal lesi dari traktus biliaris,
untuk biopsy lesi, pemasukan drain maupun stenting (Feldmen, 2006 ; Gagola,
2014).
Gambar. Traktus Biliaris Normal

3.3 RADIOPATOLOGI
3.3.1 Radiopatologi USG

Gambar 1. Laki-laki 68 tahun dengan infestasi ringan clonorchis sinensis.


Pada gambar 1.A Pemindaian transversal lobus hepatik kiri
menunjukkan dilatasi parah dari saluran empedu dengan pita echogenic
(antara panah) di sepanjang saluran empedu yang melebar, menunjukkan
penebalan fibrosa dinding yang parah. Dan gambar 1.B Saluran empedu
umum tidak spesifik (panah).

Gambar 2. Kolangitis supuratif akut yang disebabkan oleh refluks duodenum setelah
anastomosis Billroth tipe I pada pria 72 tahun dengan nyeri perut, demam tinggi, dan
ikterus.

Pada gambar 2.A Ultrasonogram transversal menunjukkan penebalan


hyperechoic difus pada dinding kandung empedu, suatu temuan yang
menunjukkan inflamasi akut (panah). Dan gambar 2.B, Kedua duktus
intrahepatik juga menunjukkan dilatasi difus dengan penebalan hyperechoic
(panah).

Gambar 3. Wanita 43 tahun dengan nyeri epigastrium.


Pada gambar 3 temuan USG, duktus biliaris komunis menunjukkan
penebalan dinding pada pemindaian transversal (panah). Penebalan dinding
saluran empedu didasarkan pada 2 mm, dan 3 mm atau lebih.
Diasumsikan bahwa ada penebalan dinding saluran empedu yang parah.
Dilatasi saluran empedu dapat dikenali secara visual oleh saluran empedu
perifer dalam kasus saluran empedu intrahepatik. Jika diameter terluas
dari saluran empedu intrahepatik adalah 3 mm atau lebih Itu didefinisikan
sebagai pelebaran saluran empedu, dan dalam kasus saluran empedu
ekstrahepatik, dilatasi saluran empedu didefinisikan sebagai kasus dengan
usus besar dengan diameter lebih besar dari 1 cm.

3.3.2 Radiopatologi CT Scan

Gambar 1. Laki-laki 68 tahun dengan infestasi ringan clonorchis sinensis.


Pada gambar 1. dapat dilihat temuan CT scan menunjukkan dilatasi
seragam ringan difus di kedua duktus intrahepatik perifer dan jaringan fibrosa
periductal ditingkatkan (panah).
Penebalan dinding saluran empedu didasarkan pada 2 mm, dan 3
mm atau lebih. Diasumsikan bahwa ada penebalan dinding saluran
empedu yang parah. Dilatasi saluran empedu dapat dikenali secara visual
oleh saluran empedu perifer dalam kasus saluran empedu intrahepatik.
Jika diameter terluas dari saluran empedu intrahepatik adalah 3 mm atau
lebih Itu didefinisikan sebagai pelebaran saluran empedu, dan dalam
kasus saluran empedu ekstrahepatik, dilatasi saluran empedu didefinisikan
sebagai kasus dengan usus besar dengan diameter lebih besar dari 1 cm.

Gambar 2. Kolangitis supuratif akut yang disebabkan oleh refluks duodenum setelah
anastomosis Billroth tipe I pada pria 72 tahun dengan nyeri perut, demam tinggi, dan
ikterus.

Pada gambar 2. temuan CT dengan kontras menunjukkan dilatasi


yang dalam dari saluran empedu dengan periductal (panah) dan pericapsular
(panah) peningkatan.
Gambar 3. Wanita 43 tahun dengan nyeri epigastrium.
Pada gambar 3.A dapat dilihat pembobotan T1 dengan penekanan
lemak yang direformasi kontras dengan format ulang koronal menunjukkan
dilatasi ringan pada duktus biliaris komunis dengan penebalan dan
peningkatan dinding (panah). Dan pada gambar 3.B massa atau batu abnormal
tidak ditemukan pada duktus biliaris komunis distal. Serta pada gambar 3.C
untuk 2 hari yang lalu, CT scan axial non-contrast yang diperiksa di klinik
setempat menunjukkan batu kalsifikasi kecil (panah) di saluran empedu
bagian distal.

Gambar 1. Laki-laki 67 tahun dengan batu saluran empedu

Pada gambar 1 (a,b) CT scan fase arteri (lebar jendela, 200 HU;
tingkat jendela, 120 HU) menunjukkan peningkatan berbintik-bintik difus
pada seluruh parenkim hati. Perhatikan juga dilatasi saluran empedu
intrahepatik (panah di b). Dan pada gambar 1 (c) CT scan yang tidak
disempurnakan menunjukkan batu terkalsifikasi di saluran empedu distal
(panah) dan kandung empedu (panah kecil). Pada analisis gambar, subskor
untuk sejauh mana perbedaan redaman hati sementara, kehadiran dilatasi
bilier dan identifikasi lesi obstruktif adalah 4, 2 dan 2, masing-masing
untuk kedua pengulas. Diagnosa dari kolangitis akut dibuat atas dasar
adanya nyeri perut, demam dan penyakit kuning (triad Charcot).
Gambar 2. Wanita 77 tahun dengan cholangiocarcinoma

Pada gambar 2 (a,b) CT scan fase arteri menunjukkan dilatasi bilier


(panah pada a) dan peningkatan halus pada segmen hati 3 (panah pada b).
dan pada gambar 2 (c) CT scan fase arteri menunjukkan massa polipoid
(panah) di dalam bagian distal duktus biliaris komunis. Secara patologis,
adenokarsinoma dikonfirmasi. Pada analisis gambar, subskor untuk tingkat
perbedaan redaman hati sementara, adanya dilatasi bilier dan identifikasi lesi
obstruktif adalah 1, 2 dan 1 untuk Reviewer 1 dan 1, 2 dan 2 untuk Reviewer
2, masing-masing.

Gambar 3. Wanita 84 tahun dengan batu saluran empedu

Pada gambar 3 (a,b) dapat dilihat CT scan fase arteri menunjukkan


peningkatan fokus hati di sekitar fossa kandung empedu (panah) dan batu
kandung empedu (panah kecil pada b). Dan pada gambar 3 (c) dapat
dilihat CT scan yang tidak disempurnakan menunjukkan batu
terkalsifikasi di saluran empedu distal (panah). Pada analisis gambar,
subskor untuk tingkat perbedaan redaman hati sementara, adanya dilatasi
bilier dan identifikasi lesi obstruktif adalah 1, 0 dan 2 untuk Reviewer 1,
dan 2, 1 dan 2 untuk Reviewer 2, masing-masing. Diagnosis kolangitis
akut dibuat atas dasar adanya nyeri perut, demam, dan penyakit kuning
(triad Charcot).
Gambar 4. Wanita 73 tahun dengan cholangiocarcinoma

Pada Gambar 4 (a,b) dapat dilihat pada CT scan fase arteri


menunjukkan peningkatan polimorf pada kedua lobus hati (panah besar) dan
dilatasi bilier (panah kecil pada a). Dan pada gambar 4 (c) CT scan fase arteri
menunjukkan peningkatan massa (panah) di bagian distal duktus biliaris
komunis. Keganasan didiagnosis berdasarkan hasil sitologi dan temuan
pencitraan. Pada analisis gambar, subskor untuk tingkat perbedaan redaman
hati sementara, adanya dilatasi bilier dan identifikasi lesi obstruktif adalah 4,
2 dan 1, masing- masing untuk kedua pengulas. Pasien diklasifikasikan
sebagai kelompok 2 (ikterus, sakit perut, tidak demam, kadar bilirubin 28 mg
dl-1 dan jumlah sel darah putih 8400 ml -1).

3.3.3 Radiopatologi MRI


Gambar 4. Kolangitis supuratif akut yang disebabkan oleh divertikulum duodenum pada
pria 70 tahun dengan nyeri perut, demam tinggi, dan ikterus

Pada gambar 4(A,B) dapat dilihat Kontras aksial yang


disempurnakan dengan penekanan lemak T1-weighted gambar
menunjukkan dilatasi ringan baik duktus intrahepatik (panah) dan duktus
umum saluran empedu dengan penebalan dinding antara 2-3 mm (panah)
dan peningkatan periductal menonjol. Dan Pada gambar 4(C,D) dapat
dilihat pada tingkat saluran empedu umum distal, divertikulum duodenum
besar berisi udara (panah) dicatat dengan saluran empedu umum distal
indentasi (mata panah). Gejalanya berkurang setelah divertikulektomi.
Gambar 1. Magnetic resonance cholangiopancreatography menjelaskan ciri khas kolangitis
sclerosing primer saluran besar

Pada gambar 1(A) terdapat striktur duktus hepatik umum (panah) dan
manik-manik duktus intrahepatic (panah). Pada gambar 1(B) terdapat striktur
dominan (panah) dan dilatasi duktus intrahepatik proksimal akibat striktur
distal (panah). Dan pada gambar 1(C) dapat dilihat area duktus intrahepatik
yang tidak terisi menunjukkan striktur ketat (panah) dan striktur duktus
hepatik umum (panah). Serta pada gambar 1(D) terdapat Pseudodivertikula.

Anda mungkin juga menyukai