Anda di halaman 1dari 39

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Prinsip Pengoperasian EAF (Electric Arc Furnace)

EAF untuk peleburan baja terdiri dari bejana dilapisi bahan refraktori untuk

penampungan cairan besi, tutup yang dilapisi bahan refraktori dengan pendingin air,

panel pendingin air dan elektoda grafit. Bahan refraktori adalah material non-metalik

yang tahan terhadap temperatur lebih besar dari 538oC dan kekuatan strukturnya

tidak berubah. Secara umum konstruksi EAF dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu:

1) Dinding pelindung (shell), terdiri dari dinding samping (sidewall) dan mangkuk

bawah (steel bowl)

2) Tungku (hearth), terdiri dari refraktori melingkupi mangkuk bawah

3) Tutup (roof), terdiri dari bahan refraktori dan panel pendingin air

Gambar 2.1 Penampang EAF

7
Universitas Sumatera Utara
8

Gambar 2.1 [4] adalah penampang EAF memperlihatkan model fisik EAF dengan

3 buah elektroda grafit yang bisa digerakkan vertikal ke atas dan ke bawah oleh

aktuator hidrolik. Pada saat elektroda mengenai besi tua, akan timbul busur listrik

dengan panas tinggi yang dapat melebur besi tua. Pengoperasian EAF untuk melebur

besi tua akan melalui 3 perioda yang diperlihatkan pada Gambar 2.2 [4] dan Gambar

2.3 [4] yaitu:

1) Perioda mengebor (boring) yaitu proses mengebor besi tua pada permulaan

peleburan

2) Perioda melebur (melting)

3) Perioda refining yaitu proses penyesuaian temperatur dan komposisi

Gambar 2.2 EAF yang sedang beroperasi (perioda mengebor dan melebur)

Secara umum konstruksi dan pengoperasian EAF adalah sebagai berikut:

1) Panas peleburan diperoleh dari busur listrik antara ketiga elektroda grafit

dengan besi tua

Universitas Sumatera Utara


9

2) Elektroda grafit terhubung ke transformator tanur melalui:

a. kabel berpendingin air

b. busbar tembaga berpendingin air

3) Transformator tanur dilengkapi dengan OLTC (On Load Tap Changer) untuk

mengatur tegangan sekunder

4) Arus peleburan pada elektroda grafit mulai puluhan kA hingga ratusan kA

5) Daya yang dikonversikan ke panas disesuaikan dengan tingkatan proses

peleburan dengan memilih tegangan sekunder transformator tanur dan jarak di

antara elektroda grafit dengan besi tua (panjang busur listrik)

6) Arus peleburan dan jatuh tegangan adalah akibat berbagai faktor yaitu

panjang busur listrik, level ionisasi dan interaksi gaya elektromagnetik [2]

Gambar 2.3 EAF yang sedang beroperasi (perioda refining)

Universitas Sumatera Utara


10

2.2 Karakteristik EAF

Sumber tegangan rendah berkisar beberapa ratus volt diperoleh dari transformator

tanur model OLTC dengan busbar pada sisi sekundernya yang dihubungkan ke

elektroda memakai kabel berpendingin air. Gambar 2.4 [3] memperlihatkan tipikal

level daya dan tahapan perioda peleburan untuk 1 siklus peleburan. Tampak bahwa

setelah perioda mengebor & melebur pada permulaan operasi, tanur akan diisi dengan

besi tua berikutnya dan perioda mengebor & melebur diulangi hingga proses refining.

Beban EAF dapat berubah dari suatu rangkaian terbuka 3 fasa menjadi rangkaian

hubung singkat 3 fasa. Pada kondisi operasi normal, fluktuasi tegangan yang tidak

beraturan selalu terjadi sebagai konsekuensi dari perubahan panjang busur listrik.

Fluktuasi tegangan yang berulang pada sistem tenaga perlu diatasi agar tidak

memberikan dampak negatif kepada konsumen lain.

Perioda mengebor & melebur adalah penyebab utama fluktuasi tegangan dan

flicker yang dikarakterisasikan oleh besarnya perubahan daya aktif dan daya reaktif

yang disebabkan variasi stokastik pada panjang busur listrik akibat permukaan besi

tua yang tidak teratur. Perioda refining dikarakterisasikan oleh arus peleburan yang

relatif stabil.

Secara praktis, faktor daya peleburan dijaga berkisar 0.7 ÷ 0.8 untuk mendapatkan

kestabilan pengoperasian, dalam arti bahwa daya reaktif berkisar sama dengan daya

aktif [2], [5]. Konsumsi daya reaktif ini menyebabkan jatuh tegangan pada PCC

selama pengoperasian EAF dan transformator tanur akan bekerja pada tegangan

Universitas Sumatera Utara


11

nominal yang lebih rendah sehingga konversi daya peleburan juga menjadi lebih

rendah. Harmonisa pada EAF disebabkan oleh karakteristik tegangan-arus yang

sangat non-linear dari busur listrik pada setiap siklus daya, sedangkan fluktuasi

tegangan disebabkan oleh perubahan panjang busur listrik selama peleburan [1].

Tabel 2.1 memperlihatkan tipikal harmonisa tegangan pada pengoperasian EAF untuk

perioda melebur dan refining [6].

Gambar 2.4 Tipikal level daya dan tahapan perioda untuk 1 siklus peleburan

Tabel 2.1 Tipikal tegangan harmonik pada perioda melebur dan refining
Harmonik ke: Perioda Melebur Perioda Refining
2 5.0% 2.0%
3 20.0% 10.0%
4 3.0% 2.0%
5 10.0% 10.0%
6 1.5% 1.5%
7 6.0% 6.0%
8 1.0% 1.0%
9 3.0% 3.0%
11 2.0% 2.0%
13 1.0% 1.0%

Universitas Sumatera Utara


12

Analisa harmonisa dan flicker EAF pada sistem tenaga [1], [7] merumuskan

karakteristik tegangan-arus melalui persamaan:

C (2.1)
V a = V at (l ) +
D + Ia

di mana:

Va = tegangan busur listrik

Ia = arus busur listrik

l = panjang busur listrik

Vat (l) = nilai ambang di mana tegangan mulai berubah bila arus meningkat

C, D = konstanta yang nilainya menyatakan perbedaan di antara bagian

peningkatan dan penurunan arus pada karakteristik tegangan-arus

Dengan referensi panjang busur listrik yang memberikan Vat (l ) = 200V , nilai

konstanta C dan D adalah:

dI a
> 0, ⇒ C = 190 KW , D = 5 KA
dt
dI a
< 0, ⇒ C = 39 KW , D = 5 KA
dt

Gambar 2.5 [1] memperlihatkan karakteristik tegangan-arus dari EAF yang

diperoleh dari model persamaan (2.1) mempergunakan program TACS (Transient

Analysis Control System) yang merupakan bagian dari program EMTP

(Electromagnetic Transient Program) dengan nilai konstanta C dan D yang diberikan.

Pada kondisi panjang busur listrik l tidak berubah terhadap waktu (l = l0 ) ,

Universitas Sumatera Utara


13

karakteristik tegangan-arus tidak tergantung kepada waktu dan pengoperasian EAF

tidak akan menimbulkan flicker, tetapi hanya akan menimbulkan harmonisa karena

sifat non-linear pada karakteristik tegangan-arus.

Gambar 2.5 Karakteristik tegangan–arus (V-I) dari EAF

Perubahan panjang busur listrik l sebagai penyebab flicker diberikan oleh

persamaan:

Va (I a ) = KVa0 (I a ) (2.2)

di mana Va0 adalah tegangan busur listrik dengan referensi panjang busur listrik

(pada contoh ini referensi panjang busur listrik adalah l0 = 39.5cm ).

Persamaan (2.1) dapat dituliskan menjadi persamaan lainnya yaitu:

C
Va0 ( I a ) = Vat (l0 ) + (2.3)
D + Ia

Universitas Sumatera Utara


14

Hubungan antara tegangan ambang Vat dengan panjang busur listrik l adalah:

Vat (l) = A + Bl (2.4)

di mana:

A ≈ 40V adalah konstanta yang memperhitungkan penjumlahan jatuh tegangan

anoda dan katoda

B ≈ 10V / cm adalah jatuh tegangan per unit panjang busur listrik

l adalah panjang busur listrik dalam cm, bervariasi pada rentang yang lebar

tergantung kepada nilai tegangan ambang (untuk tegangan sekunder

transformator tanur sebesar 600V, tegangan ambang V at adalah

40 V ≤ V at ≤ 240 V [7])

Parameter K pada persamaan (2.2) dapat dievaluasi melalui rasio antara tegangan

ambang pada panjang busur aktual Vat (l ) terhadap tegangan ambang pada panjang

busur referensi Vat (l0 ) yaitu:

Vat (l ) A + Bl
K= = (2.5)
Vat (l0 ) A + Bl0

Perubahan arus EAF yang cepat pada proses peleburan erat kaitannya dengan

variasi panjang busur listrik yang tergantung kepada komposisi besi tua, pemakaian

oksigen, gaya elektrodinamis dan posisi dari elektroda grafit. Panjang busur listrik

dengan variasi waktu diberikan oleh persamaan:

l(t) = l0 − r(t) (2.6)

Universitas Sumatera Utara


15

di mana:

l 0 adalah referensi panjang busur listrik (39.5cm)

r (t ) adalah sinyal derau putih (white noise signal) pada rentang frekuensi 5 ÷ 20Hz di

mana fluktuasi tegangan menghasilkan flicker dengan amplitudo

bervariasi hingga maksimum deviasi panjang busur listrik (30.1cm) dari

referensi panjang (39.5cm).

Resistansi busur listrik variasi waktu (time varying resistance) R f (t ) dapat

dihitung dari pembagian tegangan busur listrik yang dievaluasi Va (t ) dengan arus

busur listrik I a (t ) yang dituliskan oleh persamaan:

V a (t )
R f (t ) = (2.7)
I a (t )

di mana:

Va = tegangan busur listrik

Ia = arus busur listrik

Gambar 2.6 [8] adalah aktual karakteristik dan model linear tegangan-arus dari

EAF di mana tegangan busur pengapian vig dan tegangan busur pemadaman vex

ditentukan oleh panjang busur listrik selama pengoperasian EAF yaitu:

1) Perioda pertama, jalur OA, tegangan busur listrik mulai menyala dari

tegangan pemadaman -vex dan mencapai tegangan nyala vig . Saat tegangan

busur listrik mencapai tegangan nyala vig , rangkaian ekivalen bertindak

Universitas Sumatera Utara


16

sebagai rangkaian terbuka dan arus busur listrik naik dari 0 menuju i1 .

2) Perioda kedua, jalur AB, adalah permulaan proses peleburan di mana busur

listrik terjadi dan tegangan jatuh secara eksponensial dari vig ke vex yang

menaikkan konduktivitas dari busur listrik. Arus busur mengalami

peningkatan dari i1 menjadi i 2 .

3) Perioda ketiga, jalur BO, tegangan busur listrik mulai jatuh dan busur listrik

mulai padam.

Gambar 2.6 Aktual karakteristik dan model linear tegangan-arus dari EAF
untuk 1 siklus daya

Pada Gambar 2.6 jalur OA adalah perioda di mana arus lebih rendah mengalir

pada siklus peleburan. Jalur AB adalah perioda di mana bagian aktif dari siklus

peleburan dengan lebih banyak arus melalui elektroda grafit dan panjang busur listrik

berubah sehingga menimbulkan flicker yang lebih banyak. Model dinamis EAF

diperlukan untuk menganalisa flicker yang ditimbulkan oleh pengoperasian EAF.

Universitas Sumatera Utara


17

Untuk itu kemiringan dari kurva tegangan-arus pada Gambar 2.6 dirubah ke fungsi

sinusoidal dan resistansi busur listrik variasi waktu diberikan oleh persamaan:

R f (t ) = R f (l + m sin(ω f t )) (2.8)

di mana:

Rf adalah tahanan konstan dari EAF saat busur padam dan EAF dalam kondisi

sebagai rangkaian terbuka

ω f adalah frekuensi flicker

m adalah koefisien modulasi

Dengan demikian model beban dinamis dikaitkan terhadap efek tegangan ambang

Vat (l) = A + Bl dapat dipertimbangkan sebagai:

Vat (t ) = Vat (1 + m sin(ω f t )) (2.9)

Busur listrik direpresentasikan sebagai sebuah variabel resistor pada rangkaian

ekivalen satu fasa EAF dengan sistem sumbernya seperti pada Gambar 2.7 [3].

Walaupun model ini adalah penyederhanaan dari EAF sebenarnya dan menyatakan

pengoperasian EAF dalam beban seimbang, perhitungan pengoperasian EAF cukup

akurat dengan rata-rata kuantitas seperti diperlihatkan pada hasil pengukuran. Titik 1

pada Gambar 2.7 adalah terminal primer transformator tanur dan merupakan titik

untuk melakukan pengukuran. Reaktansi X = X 1 + X 2 adalah meliputi reaktansi

hubung singkat dari jaringan sumber ditambah reaktansi transformator tanur, busbar

tembaga, kabel fleksibel berpendingin air dan elektroda grafit.

Universitas Sumatera Utara


18

Gambar 2.7 Rangkaian ekivalen satu fasa EAF untuk memperkirakan


karakteristik EAF

Pengaturan pada rangkaian Gambar 2.7 adalah:

1) Pergerakan vertikal elektroda grafit untuk mengatur panjang busur listrik

2) Pengaturan tegangan dengan merubah perubah tap transformator tanur untuk

mengatur tegangan U0

Daya yang diberikan kepada beban sebagaimana Rf bervariasi, dibatasi oleh nilai

maksimum satu fasa yaitu:

E2
Pmax1 ph = (2.10)
2X

Nilai Rf pada kondisi daya maksimum adalah:

RP max = X (2.11)

Arus pada kondisi daya maksimum adalah:

E
I P max = (2.12)
2X

Universitas Sumatera Utara


19

Tegangan busur listrik adalah sama dengan jatuh tegangan pada X, keduanya

E
adalah sama dengan (2.13)
2

Pengukuran pada titik 1 di lapangan diperlukan untuk mendapatkan nilai reaktansi

X 1 , X 2 dan SCVD (Short Circuit Voltage Depression). SCVD adalah rasio depresi

tegangan hubung singkat yang menyatakan pengaruh flicker yang ditimbulkan pada

pengoperasian EAF di mana nilai 0.02 ÷ 0.025 berada dalam acceptable zone, 0.03 ÷

0.035 berada dalam borderline zone, dan di atas 0.035 adalah objectionable [9].

Perumusan SCVD diberikan oleh persamaan (2.14) dan Gambar 2.8 [9], [10] adalah

grafik SCVD sebagai fungsi dari daya MWmax nominal EAF.

2 xMWMaxRatingEAF
SCVD = (2.14)
MVAFaultPCC

Gambar 2.8 SCVD sebagai fungsi dari daya MWmax nominal EAF

Universitas Sumatera Utara


20

Bila ketiga buah elektroda dicelup ke dalam cairan besi, beban akan menjadi 3

fasa hubung singkat yang ekivalen dengan menjadikan R f = 0 seperti pada Gambar

2.7. Pada kondisi ini tegangan dan arus tiga fasa diukur pada titik 1. Pengujian

hubung singkat ini adalah sangat diperlukan untuk memperkirakan karakteristik

pengoperasian EAF dan akan diperoleh:

1) Reaktansi hubung singkat dari jaringan sumber adalah:

U 0 − U cc
X1 = Ω
I cc (2.15)

2) Reaktansi transformator tanur, busbar tembaga, kabel fleksibel berpendingin

air dan elektroda grafit adalah:

U cc
X2 = Ω
I cc (2.16)

3) Kapasitas hubung singkat steelwork busbar pada tegangan nominal UL adalah:

U L2
S sc = MVA
X1 (2.17)

4) Kapasitas hubung singkat EAF adalah:

U 0 − U cc
S scf = S sc MVA
U0 (2.18)

Dengan parameter yang diperoleh dan berdasarkan rangkaian ekivalen satu fasa

EAF pada Gambar 2.7, dapat digambarkan karakteristik pengoperasian EAF yaitu

daya aktif & faktor daya sebagai fungsi dari daya kompleks. Gambar 2.9 adalah plot

Universitas Sumatera Utara


21

hasil perhitungan teoritis karakteristik EAF kapasitas 8Ton, 2.5MW yang diperoleh

dari persamaan (2.10) s/d (2.18) dan dibandingkan dengan hasil pengukuran lapangan

pada Gambar 2.10 [3] .

Gambar 2.9 Karakteristik pengoperasian EAF kapasitas 8Ton, 2.5MW

Gambar 2.10 Karakteristik pengoperasian EAF kapasitas 8Ton, 2.5MW secara


teoritis dan hasil pengukuran di lapangan

Universitas Sumatera Utara


22

2.3 Fluktuasi Tegangan dan Flicker

Flicker adalah fluktuasi tegangan dengan perubahan amplitudo tegangan lebih

dari 0.5% pada rentang frekuensi 3 ÷ 10Hz, menyebabkan ketidaknyamanan

penglihatan dan memberikan efek psikologis pada manusia [11]. Fenomena flicker

merupakan sensasi (perasaan) yang dialami oleh penglihatan manusia terhadap

perubahan yang cepat dari intensitas cahaya lampu pijar, menyebabkan sakit kepala

dan lelah, dan akan dapat menimbulkan keluhan pelanggan listrik lain yang

merasakannya. Gambar 2.11 [12] memperlihatkan flicker dengan frekuensi 9Hz

bermodulasi pada frekuensi fundamental.

Gambar 2.11 Flicker dengan frekuensi 9Hz bermodulasi pada frekuensi


fundamental

Gambar 2.12 memperlihatkan maksimum jumlah fluktuasi tegangan persatuan

waktu yang diizinkan standar IEEE 519-1992 [13]. Standar IEC 61000-4-15 [14]

Universitas Sumatera Utara


23

mendefenisikan metodologi dan spesifikasi dari instrumen untuk mengukur flicker, di

mana hasil ukur tegangan sebuah bola lampu 60W, 230V ditapis dan diusahakan

untuk menyamai fungsi transfer mata / otak manusia. Nilai flicker meter Pst=1

menyebabkan 50% dari sekumpulan orang terganggu oleh flicker [5]. Maksimum

sensitivitas untuk fluktuasi pencahayaan adalah pada 8.8Hz. Fluktuasi tegangan yang

lebih lambat tidak terlalu mengganggu dan fluktuasi tegangan yang lebih cepat akan

“dihaluskan” oleh otak manusia.

Gambar 2.12 Maksimum fluktuasi tegangan yang diizinkan [IEEE 519-1992]

Kriteria untuk mengevaluasi flicker [10] adalah:

ΔV
%Flicker = x100% (2.10)
Vbase

Universitas Sumatera Utara


24

Pada pengoperasian EAF, flicker berubah dari satu siklus ke siklus lainnya dan

cukup tinggi selama perioda melebur, akan berkurang pada perioda refining

tergantung kepada beberapa parameter seperti misalnya kualitas dan jumlah besi tua,

referensi operasi, jumlah oksigen yang diinjeksi, longsor besi tua dan lainnya [6].

Gambar 2.13 Hasil pengukuran flicker Pst selama satu minggu pada steelwork
busbar EAF 8Ton, 2.5MW

Gambar 2.13 [3], [15] memperlihatkan contoh hasil pengukuran flicker Pst

selama satu minggu pada steelwork busbar EAF 8Ton, 2.5MW dan statistik hasil

pengukuran flickernya diperlihatkan pada Tabel 2.2. Batas emisi flicker diperlihatkan

pada Tabel 2.3 menuruti standar ENRE 99/97 [16]. Gambar 2.14 [17]

memperlihatkan besarnya perubahan daya reaktif yang mengakibatkan besarnya

persentase fluktuasi tegangan yang ditimbulkan.

Tabel 2.2 Statistik hasil pengukuran flicker dari Gambar 2.13


Total Pengamatan selama 10 menit 1008
Pst95% 2.21
Pengamatan dengan Pst > 1 288
Persentase pengamatan dengan Pst > 1 28.6%

Universitas Sumatera Utara


25

Tabel 2.3 Batas emisi flicker [ENRE 99/97]


MV and HV users Individual Emission Limits
( 1KV < U ≤ 220KV ) (Pst)
K2=SL/Ssc
K 2 ≤ 0.005 0.37
0.005 < K 2 ≤ 0.01 0.46
0.01 < K 2 ≤ 0.02 0.58
0.02 < K 2 ≤ 0.03 0.67
0.03 < K 2 ≤ 0.04 0.74
0.04 < K 2 0.79
SL=MVA dari EAF SSC=Kapasitas hubung singkat pada titik pengamatan

Gambar 2.14 Perubahan daya reaktif dan fluktuasi tegangan yang ditimbulkan

Menurut standar Eropa CENELEC EN 50160 [18], flicker yang ditimbulkan oleh

pengoperasian EAF dapat diestimasi dengan memakai formula empiris [3], [15]

yaitu:

S scf
Pst 95% ≈ K st x (2.20)
S sc

di mana:

Universitas Sumatera Utara


26

K st adalah koefisien keparahan flicker tanur busur, berkisar antara 40 hingga 70

Kst = 40 menyatakan kondisi tanur yang panas dengan campuran besi tua ataupun

besi sponge dan besi panas

Kst = 70 menyatakan kondisi terburuk yaitu tanur beroperasi pada kondisi dingin

dengan 100% besi tua

Sscf adalah kapasitas hubung singkat EAF yang biasanya adalah dengan faktor 2

atau 2 kali lebih besar dari daya nominal transformator tanur [19]

S sc adalah kapasitas hubung singkat pada titik pengamatan

Menurut standar IEC 61000-4-15 [14], rancangan flicker meter adalah berdasarkan

pengaruh fluktuasi tegangan dari cahaya sebuah bola lampu pijar 60W pada tegangan

230VAC. Keluaran dari flicker meter mengandung dua nilai dasar yaitu:

1) Pst (keparahan flicker jangka pendek) yang diperoleh setiap rentang 10 menit.

Dengan demikian dalam satu hari terdapat 144 buah nilai sampel Pst. Nilai pu

dari Pst menyatakan keparahan flicker yang mendekati sama dengan flicker

yang tampak pada cahaya bola lampu pijar 60W, 230V.

2) Plt (keparahan flicker jangka panjang) yang dihitung dari 12 buah nilai Pst

(setara dengan 2 jam) berturut-turut dengan memakai formula:

1 12
Plt = 3 ∑
12 j =1
Pst 3j (2.21)

Universitas Sumatera Utara


27

2.4 Prinsip Kerja DSTATCOM

DSTATCOM terhubung ke sistem distribusi melalui kopling reaktansi. Bila

tegangan konverter yang dibangkitkan lebih besar dari tegangan sistem, maka akan

mengalir arus kapasitif dari DSTATCOM ke sistem dan menghasilkan daya reaktif

kapasitif (disebut pembangkit daya reaktif). Sebaliknya bila tegangan konverter lebih

rendah dari tegangan sistem, maka akan mengalir arus induktif dari sistem ke

DSTATCOM dan menghasilkan daya reaktif induktif (disebut penyerap daya reaktif).

Gambar 2.15 Tipikal karakteristik V-I dan V-Q dari DSTATCOM

DSTATCOM mempunyai karakteristik V-I dan V-Q seperti diperlihatkan pada

Gambar 2.15 [20], [21] dan disimpulkan sebagi berikut:

1) DSTATCOM dapat beroperasi dengan arus beban penuh pada keluarannya

walaupun tegangan sistem turun ke level yang sangat rendah. Dengan kata

lain, arus keluaran dapat dijaga tanpa ada ketergantungan terhadap tegangan

sistem.

Universitas Sumatera Utara


28

2) VAR maksimum yang dibangkitkan ataupun yang diserap berubah secara

linear dengan tegangan sistem.

3) Ketidaktergantungan keluaran DSTATCOM dari ekivalen impedansi sistem

memberikan arti bahwa regulator pengatur keluaran tegangan DSTATCOM

dapat dirancang untuk respons yang lebih cepat dan dapat memberikan

regulasi yang stabil pada kondisi sistem mengalami kontigensi.

Diagram satu garis DSTATCOM untuk suplai daya reaktif ke sistem distribusi

diperlihatkan pada Gambar 2.16 [20] di mana U adalah tegangan pada steelwork

busbar dan Ec adalah tegangan keluaran konverter yang dapat diatur. Pertukaran daya

aktif dan daya reaktif pada jaringan [20], [21] adalah (Lampiran B):

U .E c
PDSTATCOM = sin(δ ) (2.22)
X

U
QDSTATCOM = (U − E c cos(δ )) (2.23)
X

di mana:

δ adalah beda sudut fasa antara U dan Ec

Gambar 2.16 Diagram satu garis DSTATCOM untuk pembangkitan daya


reaktif

Universitas Sumatera Utara


29


Bila amplitudo Ec dari phasor tegangan keluaran ( E c ) dinaikkan lebih besar dari


amplitudo U dari tegangan sistem AC (U ) , maka phasor arus mendahului phasor

tegangan dan arus mengalir dari konverter ke sistem AC. Pada kondisi ini konverter

membangkitkan daya reaktif (kapasitif). Sebaliknya bila amplitudo Ec dari phasor


tegangan keluaran ( E c ) diturunkan sehingga lebih kecil dari amplitudo U dari


tegangan sistem AC (U ) , maka phasor tegangan mendahului phasor arus dan arus

mengalir dari sistem AC ke konverter. Pada kondisi ini konverter menyerap daya

reaktif (induktif) dari sistem. Operasi ini diillustrasikan pada Gambar 2.17 [20].

Gambar 2.17 Sifat kapasitif dan induktif dari DSTATCOM

Persamaan pendekatan untuk memperkirakan daya nominal DSTATCOM pada

EAF [20] adalah:

QDSTATCOM = 0.54 x ( FI ) x S rated EAF (2.24)

di mana:

Universitas Sumatera Utara


30

FI adalah rasio perbaikan flicker (Flicker Improvement ratio), merupakan rasio

antara flicker yang terjadi dengan batas nilai flicker yang diizinkan

SratedEAF = (0.55 s / d 0.65) x Sscf , adalah daya nominal EAF

Sscf adalah kapasitas hubung singkat dari EAF

2.5 Komponen DSTATCOM

Gambar 2.18 Rangkaian dasar VSC (Voltage Source Converter)

Gambar 2.18 [21] adalah rangkaian dasar DSTATCOM yang merupakan suatu

VSC yang terdiri dari satu atau lebih unit konverter, kapasitor dc, reaktor,

transformator, ac filter, kontrol modul, monitoring, proteksi dan peralatan pendukung

lainnya.

2.6 VSC 6 Pulsa

Konfigurasi dasar VSC 6 pulsa terhubung ke sumber tegangan ac melalui

transformator kopling diperlihatkan pada Gambar 2.19 [21] di mana saklar GTO

Universitas Sumatera Utara


31

diganti dengan transistor IGBT. Saklar transistor IGBT berfungsi sebagai inverter dan

dioda antiparalel diperlukan sebagai jalur transfer energi dari sisi ac ke dc untuk

mengisi kapasitor. Ada perioda penyearah dan inversi pada setiap perioda. Proses

penyaklaran yang tepat pada inverter akan menghasilkan gelombang tegangan ac 3

fasa pada terminal tegangan keluaran konverter.

Penyaklaran inverter dapat dilakukan pada konduksi 120o atau 180o. Untuk

konduksi 180o ada tiga buah saklar yang nyala pada setiap waktu, memiliki utilisasi

saklar yang lebih baik dan lebih disukai dibandingkan dengan metode konduksi 120o.

Pada konduksi 180o ada 6 mode operasi dalam satu siklus dengan durasi setiap mode

adalah 60o dan saklar dinomori dengan urutan penyaklarannya yaitu 123, 234, 345,

456, 561 dan 612 [22]. Pada peralihan cepat di mana saat saklar bekerja, praktisnya

tegangan dc pada kapasitor harus dijaga konstan. Gambar 2.20 [22] dan Gambar 2.21

[22] memperlihatkan metode konduksi 180o pada inverter 6 pulsa dan bentuk

gelombang tegangan keluarannya.

Gambar 2.19 Rangkaian VSC 6 pulsa

Universitas Sumatera Utara


32

Gambar 2.20 Inverter 6 pulsa konduksi 180o

Gambar 2.21 Bentuk gelombang tegangan fasa keluaran inverter 6 pulsa


konduksi 180o

Universitas Sumatera Utara


33

2.7 Teknik Modulasi Lebar Pulsa (PWM)

Pengaturan tegangan keluaran yang sangat fleksibel dari VSC adalah

memanfaatkan penyaklaran frekuensi tinggi dengan teknik modulasi lebar pulsa

(PWM) pada sumber tegangan dc konstan, kemudian diambil rata-rata dari bentuk

gelombang tegangan keluaran untuk mendapatkan komponen fundamental tegangan

yang dapat diatur magnitudonya. Teknik PWM memberikan keuntungan di mana

harmonisa orde rendah berkurang sehingga akan mengurangi jumlah harmonisa dan

filter harmonik. Semakin tinggi rasio frekuensi penyaklaran terhadap frekuensi

fundamental maka semakin sedikit harmonisa orde rendah yang muncul. Tetapi hal

ini juga menyebabkan rugi-rugi penyaklaran bertambah.

Beberapa teknik PWM adalah sebagai berikut [22]:

1) Single-pulse-width modulation

2) Multiple-pulse-width modulation

3) Sinusoidal-pulse-width modulation (SPWM)

4) Modified SPWM

5) Phase-displacement control

2.7.1 Single-pulse-width modulation

Untuk metode single-pulse-width modulation hanya ada satu pulsa diberikan pada

setiap setengah siklus dan lebar pulsa divariasi untuk mengatur tegangan keluaran

inverter. Sinyal gating dibangkitkan dengan membandingkan sinyal referensi segi-

Universitas Sumatera Utara


34

empat (rectangular) beramplitudo Ar terhadap sinyal segi-tiga pembawa (triangular

carrier) beramplitudo Ac. Frekuensi sinyal referensi menentukan frekuensi

fundamental tegangan keluaran Vo. Rasio Ar terhadap Ac adalah merupakan variabel

pengaturan dan disebut indeks modulasi M, menentukan tegangan keluaran Vo.

Ar
M = (2.30)
Ac

Dengan merubah nilai Ar dari nol hingga Ac, lebar pulsa δ dapat berubah dari 0o

hingga 180o dan tegangan rms keluaran Vo bervariasi dari nol hingga Vs yaitu:

1/ 2
⎡ 2 ( π +δ ) / 2 ⎤ δ
Vo = ⎢ ∫(π −δ ) / 2 V d (ωt )⎥⎦ = Vs
2
(2.31)
⎣ 2π π
s

Gambar 2.22 [22] adalah inverter satu fasa jembatan penuh yang terdiri dari 4

buah transistor dengan sumber tegangan Vs, dan Gambar 2.23 [22] adalah sinyal

gating dan tegangan keluaran Vo. Urutan penyaklaran transistor adalah 12, 23, 34 dan

41. Harmonina yang dominan muncul pada tegangan keluaran adalah harmonisa

ketiga.

Gambar 2.22 Inverter 1 fasa jembatan penuh

Universitas Sumatera Utara


35

Gambar 2.23 Sinyal gating dan tegangan keluaran inverter single-pulse-width


modulation 1 fasa

2.7.2 Multiple-pulse-width modulation

Kandungan harmonisa dapat dikurangi dengan memberikan beberapa pulsa pada

setiap setengah siklus. Gambar 2.24 [22] memperlihatkan bahwa sinyal gating

dibangkitkan dengan membandingkan sinyal referensi segi-empat beramplitudo Ar

terhadap sinyal segi-tiga pembawa beramplitudo Ac. Frekuensi dari sinyal referensi

menentukan frekuensi keluaran fo, dan frekuensi pembawa fc menentukan jumlah

pulsa p untuk setiap setengah siklus. Rasio Ar terhadap Ac merupakan variabel

pengaturan dan disebut indeks modulasi M, menentukan tegangan keluaran Vo. Tipe

modulasi ini juga disebut uniform-PWM (UPWM). Jumlah pulsa p untuk setiap siklus

adalah:

Universitas Sumatera Utara


36

fc mf
p= = (2.32)
2 fo 2

fc
di mana m f = adalah rasio frekuensi modulasi.
fo

Gambar 2.24 Sinyal gating dan tegangan keluaran inverter multiple-pulse-width


modulation (UPWM) 1 fasa

Universitas Sumatera Utara


37

Bila δ adalah lebar dari setiap pulsa maka tegangan rms keluaran Vo adalah:

1/ 2
⎡ 2 p ( π / p +δ ) / 2 2 ⎤ pδ
Vo = ⎢ ∫ Vs d (ωt )⎥ = Vs (2.33)
⎣ 2π ( π / p −δ ) / 2
⎦ π

2.7.3 Sinusoidal PWM (SPWM)

Berbeda dengan teknik UPWM, pada SPWM lebar pulsa sinyal gating

dibangkitkan dengan membandingkan sinyal referensi sinusoidal terhadap sinyal

segitiga pembawa berfrekuensi fc yang diperlihatkan pada Gambar 2.25 [22]. Teknik

SPWM sangat umum dipergunakan pada aplikasi industri. Frekuensi sinyal referensi

fr menentukan frekuensi keluaran inverter fo, dan amplitudo sinyal referensi Ar

menentukan indeks modulasi M yang mempengaruhi tegangan rms keluaran Vo.

Jumlah pulsa untuk setiap setengah siklus tergantung pada frekuensi pembawa.

Gambar 2.25d memperlihatkan sinyal gating yang dibangkitkan memanfaatkan

gelombang segi-tiga pembawa yang unidirectional. Harmonisa pada tegangan

keluaran PWM berada di sekitar frekuensi penyaklaran inverter dan kelipatannya.

Tegangan rms keluaran Vo dapat divariasi mengan merubah indeks modulasi M. Bila

δ m adalah lebar dari pulsa ke m, maka persamaan (2.33) dapat dikembangkan untuk

mendapatkan tegangan rms keluaran Vo yaitu:


1/ 2
⎛ 2p δ ⎞
Vo = V s ⎜⎜ ∑ m ⎟⎟ (2.34)
⎝ m =1 π ⎠

Universitas Sumatera Utara


38

Gambar 2.25 Sinyal gating dan tegangan keluaran inverter SPWM 1 fasa

Universitas Sumatera Utara


39

2.7.4 Modified SPWM (MSPWM)

Pada SPWM Gambar 2.25c, lebar pulsa pada puncak gelombang sinus tidak

merubah variasi indeks modulasi secara signifikan karena karakteristik gelombang

sinus. Teknik SPWM dimodifikasi sehingga sinyal pembawa hanya diberikan pada

0o-60o dan 120o-180o untuk setiap setengah siklus menyebabkan komponen

fundamental bertambah dan kandungan harmonisa menurun. Jumlah penyaklaran

berkurang sehingga rugi-rugi penyaklaran juga berkurang. Sinyal gating MSPWM

diperlihatkan pada Gambar 2.26 [22].

Gambar 2.26 Sinyal gating inverter MSPWM 1 fasa

Universitas Sumatera Utara


40

2.8 Inverter SPWM 3 Fasa

Inverter 3 fasa dapat dipertimbangkan sebagai gabungan 3 buah inverter 1 fasa di

mana tegangan keluaran masing-masing inverter 1 fasa tersebut digeser 120o.

Pembangkitan sinyal gating inverter SPWM 3 fasa diperlihatkan pada Gambar 2.27

[22]. Ada 3 sinyal referensi sinusoidal (vra, vrb, vrc) yang berbeda 120o. Sinyal

pembawa dibandingkan dengan sinyal referensi terkait untuk menghasilkan sinyal

gating pada fasa tersebut. Sinyal pembawa vcr dibandingkan dengan sinyal referensi

fasa vra, vrb dan vrc menghasilkan sinyal gating berturutan g1, g3 dan g5. Tegangan rms

fasa-fasa keluaran inverter adalah fungsi dari tegangan dc bus dan indeks modulasi

(M) yang diberikan oleh persamaan:

M 3
V abrms = x xV s = Mx 0 . 612 xV s (2.35)
2 2

Gambar 2.27 Sinyal gating dan tegangan keluaran inverter SPWM 3 fasa

Universitas Sumatera Utara


41

2.9 Diagram Satu Garis Sistem Tenaga EAF & DSTATCOM

Gambar 2.28 [20] memperlihatkan suatu sistem tenaga dengan impedansi Zs = RS +

jXS terhubung ke PCC dengan sumber tegangan E s ∠ 0 . Tegangan pada steelwork

busbar adalah U ∠ ψ dan beban EAF adalah P f + jQ f


yang bervariasi terhadap

waktu. Fluktuasi tegangan karena kebutuhan daya reaktif diatasi dengan kompensasi

daya reaktif secara penuh oleh DSTATCOM.

Gambar 2.28 Diagram satu garis DSTATCOM dan EAF

2.10 Model Matlab/Simulink PSB Untuk Sistem Distribusi Utiliti dan EAF

Model simulasi digital jaringan distribusi dilakukan dengan mempergunakan

Matlab/Simulink PSB. Gambar 2.29 [20] memperlihatkan suatu model sistem

distribusi untuk studi mengurangi fluktuasi tegangan pada pengoperasian EAF.

Universitas Sumatera Utara


42

Gambar 2.29 Model Matlab/Simulink PSB sistem distribusi untuk utiliti, EAF
dan DSTATCOM

Kompensasi daya reaktif pada VSC membutuhkan kapasitor dc sebagai sumber

tegangan. Untuk mengatur tegangan pada kapasitor dc, perlu adanya aliran daya aktif

secukupnya dari sumber menuju inverter untuk mengisi kapasitor dc. Tanpa adanya

aliran daya aktif ini, tegangan kapasitor dc akan turun karena rugi-rugi penyaklaran

dan rugi-rugi daya aktif pada reaktansi kopling. Penyaklaran dapat dilakukan pada

komponen elektronika daya seperti GTO (Gate Turn Off thyristor), IGBT (Insulated

Gate Bipolar Transistor), IGCT (Integrated Gate Commutated Thyristor) dan lainnya.

Ada dua strategi pengaturan tegangan ac keluaran inverter yaitu:

1) Tegangan kapasitor dc dijaga konstan pada nilai tertentu dengan mengatur

aliran daya aktif ke inverter. Tegangan ac keluaran inverter diatur dengan

merubah indeks modulasi penyaklaran sehingga memberikan waktu respons

yang sangat cepat dan dinamis.

Universitas Sumatera Utara


43

2) Tegangan kapasitor dc divariasi dan indeks modulasi penyaklaran dijaga

konstan. Perubahan aliran daya aktif antara inverter dengan sistem ac

menyebabkan tegangan kapasitor naik ataupun turun sehingga akan merubah

tegangan ac keluaran inverter. Respons waktu pada strategi ini agak lambat

sebab dipengaruhi oleh nilai reaktansi kopling dan kapasitansi kapasitor dc.

Di dalam blok DSTATCOM pada gambar 2.29 terdapat blok pengatur

DSTATCOM yang terdiri dari beberapa fungsional blok seperti diperlihatkan pada

Gambar 2.30 [23] dengan fungsi masing-masing blok yaitu:

1) PLL (Phase Locked Loop)

Diperlukan untuk menyinkronisasikan komponen fundamental tegangan 3

fasa V1 pada perpotongan nol (zero crossing). Sudut θ = ω t hasil

perhitungan PLL dipergunakan sebagai referensi untuk transformasi abc_ dq0.

2) Sistem pengukuran (ac voltage measurement dan ac current measurement)

Blok pengukuran tegangan dan arus 3 fasa untuk menghitung komponen d

(poros langsung) dan komponen q (kuadratur) memanfaatkan transformasi

abc_ dq0.

3) Regulator tegangan ac (ac voltage regulator)

Keluaran regulator tegangan ac adalah arus referensi Iqref untuk regulator arus

Iq yaitu arus yang kuadratur terhadap tegangan untuk mengatur aliran daya

reaktif.

Universitas Sumatera Utara


44

4) Regulator tegangan dc (dc voltage regulator)

Keluaran dari regulator tegangan dc adalah arus referensi Idref untuk regulator

arus Id yaitu arus yang sefasa dengan tegangan untuk mengatur aliran daya

aktif

5) Regulator arus (current regulator)

Sinyal error dari Id dan Idref melalui pengatur PI menghasilkan tegangan Vd.

Sinyal error dari Iq dan Iqref melalui pengatur PI menghasilkan tegangan Vq.

Regulator arus mengatur magnitudo dan fasa dari tegangan Vd dan Vq.

6) PWM modulator

Indeks modulasi (M) dan sudut fasa tegangan (phi) yang diperlukan oleh

inverter untuk menghasilkan tegangan 3 fasa Vabc(t) diperoleh dari transformasi

rectangular ke polar dari komponen tegangan Vd dan Vq. Tegangan rms fasa-

fasa keluaran inverter adalah fungsi dari tegangan dc bus dan indeks modulasi

(M) pada rangkaian inverter yang diberikan oleh persamaan (2.35).

Universitas Sumatera Utara


45

Gambar 2.30 Blok diagram pengatur DSTATCOM

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai