Politik Hukum Penegakan HAM
Politik Hukum Penegakan HAM
Disusun oleh :
110620170033 Aria
Wirabhuana
Kelas A
Dosen Pengajar :
Prof.Dr.H.Rukmana Amanwinata,S.H.,M.H.
Dr.Hernadi Affandi,S.H.,LL.M.
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS PADJAJARAN
BANDUNG 2017
1
A. Latar Belakang
Politik dan hukum dapat diibaratkan sebagai dua sisi dari satu mata uang
logam. Pengibaratan itu memberi makna bahwa hubungan antara politik dan
hukum sangatlah erat. Penyelenggaraan negara atau pemerintahan baik di tingkat
pusat maupun daerah maka politik dan hukum selalu mendapat tempat yang sama.
Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat. Lagipula politik
menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai politik dan kegiatan
orang seorang (individu).1
Titik pertemuan antara hukum dan politik antara lain dapat dicari dalam
bidang hukum tata negara (constitutional law). Bidang ini mempelajari segi-segi
formal dari struktur politik tertentu sebagaimana dikehendaki oleh konstitusi yang
ada serta undang-undang dan peraturan-peraturan yang melengkapinya. Ia
menelaah tentang bagaimana kekuasaan politik diatur dan dibagi, apa-apa fungsi
lembaga-lembaga tertentu, apa saja hak dan kewajiban politik anggota-anggota
masyarakat (warga negara), bagaimana peraturan permainan poliik yang
sebenarnya harus berlaku.2
Dapat dikatakan bahwa politik hukum adalah “kebijakan” yang diambil
(ditempuh) oleh negara (melalui lembaganya atau pejabatnya) untuk menetapkan
hukum yang mana yang perlu diganti, atau yang perlu dirubah, atau hukum yang
mana yang perlu dipertahankan, atau hukum mengenai apa yang perlu diatur atau
dikeluarkan agar dengan kebijakan itu penyelenggaraan negara dan pemerintahan
dapat berlangsung dengan baik dan tertib sehingga tujuan negara secara bertahap
dan terencana dapat terwujud.3
Sudah begitu lama Indonesia menjalani masa reformasi, banyak terjadi
perubahan di berbagai sektor seperti infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, kondisi
sosial dan masih banyak lainnya, namun tidak dengan penanganan kasus
pelanggaran Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut HAM)
1
Bintan Regen Saragih, Politik Hukum, Bandung: CV. Utomo, 2006, hlm.6
2
Ibid., hlm.14
3
Ibid., hlm.17
2
Seperti telah diketahui masyarakat umum, bahwa di Indonesia pada masa
lalu banyak terjadi pelanggaran HAM, yang sampai sekarang belum menjumpai
titik terang. Berbagai aksi kekerasan, pengusiran dan politik bumi hangus yang
terjadi di Timor Timur, baik sebelum maupun sesudah Jajak Pendapat 1999, telah
menjadi keprihatinan masyarakat nasional dan internasional terhadap kondisi
HAM di Indonesia. Berbagai desakan muncul untuk menyelesaikan tragedi itu. Di
sisi lain, para korban Peristiwa Tanjung Priok 1984 terus mendesak pemeritah
untuk mengusut tuntas kasus tersebut. 4
Para pembela HAM merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan HAM
itu sendiri. Tidak jarang, para pembela HAM mendapatkan risiko kerja yang
tinggi. Perilaku yang kejam bahkan berakibat pada pembunuhan dan kematian.
Perjuangan para pembela HAM pada hakikatnya adalah perjuangan kemanusiaan.
Mereka berjuang dalam beragam profesinya untuk mendorong terciptanya iklim
yang kondusif bagi upaya pemenuhan HAM Universal.
4
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Pejaten Barat Jakarta, “Pemeriksaan Permulaan
Perkara Pelanggaran HAM yang berat berdasarkan UU No.26 Tahun 2000,
https://lama.elsam.or.id/downloads/1265872577_Pemeriksaan_Perkara_Pelanggaran_HAM_yan
g_Berat.pdf, (diakses : 20/11/2017), hlm. 2
3
5
Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM, Mengurai hak ekonomi, sosial, dan budaya, Jakarta:
Rajawali Pers, 2013, hlm.225
4
dan hukum, selalu meletakkan gagasan perlindungan HAM sebagai ciri utamanya.
6
6
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers,
2012, hlm.139
7
Ibid, hlm.164
8
Hernadi Affandi, Hak Asasi Manusia, Pemerintahan yang Baik, dan Demokrasi di Indonesia,
Bandung:CV Kancana Salakadomas, 2013 hlm.3
5
dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteran,
kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan, Oleh karena itu, eksistensi HAM
telah mendapat pengakuan secara hukum oleh negara Indonesia.9
9
Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, hlm.40
10
Ibid, hlm.41
11
Fadli Andi Natsif, Prahara Trisakti dan Semanggi, Makassar: toAACCAe Publishing, 2006,hlm.2
12
Andrey Sujatmoko, op.cit., hlm.42
6
Dan untuk pertamakalinya pada saat Undang-Undang ini berlaku, Pengadilan Hak
Asasi Manusia dibentuk di:13
1. Jakarta Pusat:
mencakup wilayah DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Banten,
Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat dan
Kalimantan Tengah.
2. Surabaya:
Mencakup wilayah Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, NTB dan
NTT.
3. Makassar:
Mencakup Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Tengah, Maluku, Maluku Utara, dan Irian Jaya.
4. Medan:
Mencakup wilayah Provinsi Sumara Utara, DI Aceh, Riau, Jambi dan
Sumatera Barat.
13
Knut D.Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta:
PUSHAM UII,2008, hlm.313
14
Lembaga Studi, op.cit., hlm.3
7
kendala yang berkaitan dengan peraturan sampai dengan kendala politis dalam
pengungkapan pelanggaran HAM menjadi pengganjal dalam penegakan HAM di
Indonesia. Juga mengenai efektifitas pemberlakuan pengadilan khusus untuk
kasus HAM di Indonesia akan dibahas dalam makalah ini, serta penyiapan
instrumen hukum apa yang tepat bagi Indonesia agar pelanggaran HAM dapat
dihindari.
Identifikasi Masalah
15
Fadli Andi Natsif, op.cit., hlm.3
8
menemukan bukti-bukti formal atas pelanggaran, atau bahkan adanya bukti formal
bahwa sesuatu yang dipersoalkan itu telah ada aturan resmi yang
membenarkannya, telah dijadikan alasan oleh para penasihat hukum (calon)
tersangka untuk menyatakan tidak adanya pelanggaran hukum.16
Selain itu, belum ada perangkat hukum yang cukup tegas bagi upaya
penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat sehingga tampak aneh bahwa kasus
itu diproses sambil (secara bersamaan) berusaha membuat dan menyiapkan aturan
hukum yang akan digunakan, seperti membuat UU No.39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
No.1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang kemudian ditolak
oleh DPR, dan (kini) menyiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia yang sudah mulai dibahas DPR. Pengadilan HAM itu
kemudian menimbulkan masalah hukum tersendiri ketika penyiapannya
dihadapkan pada permasalahan tentang bisa atau tidaknya UU tersebut suatu saat
diberlakukan (secara surut) terhadap kasus-kasus yang terjadi sebelum adanya UU
itu. Permasalahan itu muncul berkaitan dengan asas legalitas yang menjadi prinsip
hukum pidana Indonesia.17
Apalagi dengan adanya perubahan kedua UUD 1945 hasil ST-MPR tahun
2000 memuat Pasal 281 yang ditafsirkan menolak asas retroaktif. Asas retroaktif
yang menawarkan formula pemberlakuan oleh UU atas kasus masa lalu, yang
kemudian muncul di dalam perdebatan publik tentang pemberlakuan UU
Pengadilan HAM itu. Sebenarnya bisa saja asas retroaktif diberlakukan asalkan
pemberlakuannya ditetapkan dalam satu UU, sebab soal asas legalitas itu
merupakan muatan UU (Pasal 1 KUH Pidana). Prinsipnya, kalau ada isi UU baru
yang mengubah isi UU lama maka isi UU barulah yang berlaku. Selain itu, asas
retroaktif bisa diberlakukan untuk melaksanakan perintah konstitusi dalam
menegakkan keadilan.18
b. Kendala Politis
16
Mahfud MD,op.cit., hlm.170
17
Ibid, hlm.169
18
Ibid, hlm.170
9
Kendala politis terkait dengan penegakan HAM yaitu adanya campur
tangan dari pihak pejabat penting di birokrasi pemerintahan, yang secara langsung
maupun tidak langsung, terkait dengan banyak pelanggaran yang dilakukan rezim
Orde Baru. Masih banyaknya aparat penegak hukum dan pejabat lain yang korup
sebagai warisan Orde Baru di berbagai lembaga negara dan lembaga
pemerintahan yang sebenarnya gamang pada upaya mengadili pelanggaran HAM
dan KKN itu diperkuat oleh barisan kroni mantan pejabat korup yang kini masih
banyak berkeliaran di luar lembaga-lembaga resmi dan memiliki kekayaan yang
besar untuk melakukan upaya-upaya penghambatan.19
Pelanggaran HAM berat adalah suatu Criminal Extra Ordinaria yang
kemudian diakomodir melalui UU No.26 Tahun 200, sering dimanfaatkan oleh
penguasa melalui pengakuan asas retroaktif yang kemudian dipergunakan sebagai
sarana kekuasaan. Menurut Prof. Dr. Andi Hamzah,S.H. (Pakar Hukum Pidana),
berdasarkan tinjauan historis, penerapan asas retroaktif hanyalah merupakan
pengakuan terhadap eksistensi dari Asas Lex Talionis (pembalasan). Keberadaan
asas retroaktif tidak lain sekedar ajang dari political revenge secara rutin terhadap
para oposannya pada setiap peralihan kekuasaan.20
2. Efektifitas Pelaksanaan Pengadilan Ad Hoc terhadap kasus pelanggaran
HAM berat di Indonesia
Saat di era awal runtuhnya rezim pemerintahan Soeharto sampai dengan
masa pemerintahan Habibie pada Tahun 1992, terjadi banyak peristiwa yang
berindikasikan pelanggaran HAM, diantaranya yang faktual adalah tindakan
represif yang dilakukan aparat penegak hukum, dan juga terdapat banyak kasus
pelanggaran HAM, yaitu:
a) kasus Penembakan Trisakti 12 Mei 1998, (4 orang mahasiswa tewas),
b) Tragedi Semanggi I, (5 orang mahasiwa tewas),
c) Tragedi Semanggi II, (10 orang tewas),
d) Lhoksumawe 18 Januari 1999, (11 orang tewas),
19
Ibid, hlm. 171
20
O.C. Kaligis, Peradilan (Politik) HAM di Indonesia, Jakarta: O.C. Kaligis & Associates,2002,
hlm.15
1
e) Idi Cut Aceh Timur 12 Februari 1999, (7 orang tewas, puluhan luka-
luka),
f) Liquica 5-6 April 1999, (54 orang tewas dan 10 orang luka parah),
g) Eksekusi rumah Manuel Soares Gamma, Bobonaro, 13 April 1999, (5
orang tewas)
h) Ermera April 1999, (6 orang tertembak)
i) Simpang KKA Aceh Utara, 3 Mei 1999, (39 orang tewas, 125 orang
luka),
j) Beutong Ateuh, Aceh Bart, 6 Agustus 1999, (31 orang tewas, termasuk
Bantaqiah),
k) Suai, 6 September 1999, (20 orang tewas)
21
UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
1
Dan mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan diatur dalam Pasal 9 UU
Pengadilan HAM, bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu
perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil, berupa:
1. Pembunuhan;
2. Pemusnahan;
3. Perbudakan;
4. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
5. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok
hukum internasional;
6. Penyiksaan;
7. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan
kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-
bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
8. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan
yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis,
budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara
universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
9. Penghilangan orang secara paksa; atau
10. Kejahatan apartheid.
Definisi kedua jenis kejahatan di atas merupakan pengapdosian dari
kejahatan yang merupakan yurisdiksi Internasional Criminal Court (ICC) seperti
diatur dalam Pasal 6dan 7 Statuta Roma. Statuta Roma juga dilengkapi dengan
aturan terpisah yakni Rule of Procedure and Evidence mengenai hukum acaranya
serta Element of Crimes mengenai penjelasan unsur-unsur kejahatan yang
merupakan yurisdiksi ICC yakni kejahatan perang, kejahatan terhadap
kemanusiaan dan genosida. Element of Crimes ini ditujukan untuk memberikan
kesamaan pemahaman bagi hakim dan aparat penegak hukum ICC serta batasan
terhadap bentuk-bentuk kejahatan yang merupakan yurisdiksi ICC. Di Indonesia
1
sendiri, UU No 26 Tahun 2000 tidak dilengkapi Element of Crimes bagi kejahatan
terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida serta pertanggungjawaban
komando, sehingga seringkali membingungkan para penegak hukum khususnya
hakim ketika harus menafsirkanya sebagai suatu tindak pidana/delik yang
merupakan pelanggaran berat Hak Asasi Manusia.22
22
Knut D.Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta:
PUSHAM UII,2008, hlm.305
23
Harifin A.Tumpa, Peluang dan Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM di Indonesia,
Jakarta:Kencana,2010, hlm. 129
1
24
Knut D.Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi, op.cit.., hlm.306
1
dengan sistem hukum pidana yang menganut asas tidak berlaku surut (non
retroaktif) dan legality principle (prinsip legalitas) yang mengatakan bahwa tidak
dipidana seseorang kecuali berdasarkan ketentuan UU yang ada sebelumnya
(Pasal 1 ayat 1 KUHP). Begitupun dalam Pasal 28 (I) ayat 1 UUD 1945 (hasil
amandemen kedua) secara tegas diatur bahwa “..hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun”.25
Mengenai penerapan asas retroaktif pada Pengadilan HAM Ad Hoc,
menurut Indriyanto Seno Adji, yang hanya pengecualian sifatnya (eksepsional)
harus dilaksanakan secara cermat dengan beberapa pertimbangan, bahwa
penerapan asas ini berdasarkan pendekatan sejarah yang penuh dengan
stigmatisasi dalam hukum pidana berhadapan dengan kejahatan yang belum ada
aturannya secara tertulis (extra-ordinary crime). 26
Prinsip non retroaktif dapat dikesampinkan dalam kasus pelanggaran
HAM berdasarkan keadilan moral, walaupun memang juga bertentangan dengan
asas legalitas, akan tetapi dalam keadaan tertentu hal tersebut dapat diabaikan.
Argumen dasarnya bahwa sejarah hukum HAM internasional menunjukan prinsip
non retroaktif tidak berlaku absolut, untuk pertimbanga keadilan dan pencegahan
terulangnya kembali pelanggaran yang sama. Apalagi larangan melakukan
kejahatan terhadap kemanusiaan sudah menjadi bagian dari prinsip-prinsip hukum
umum (general principles) yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.27
Bagi Indonesia, pemberlakuan asas hukum tidak berlaku surut
dikesampingkan dalam penanganan kasus pelanggaran HAM Berat, khususnya
yang terjadi sebelum UU Pengadilan HAM terbentuk. Menurut Atmasasmita
bahwa hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:28
1. Pertama, pelanggaran HAM merupakan hal baru dalam sejarah
Indonesia yang belum diatur secara jelas dalam perundang-undangan;
25
Fadli Andi Natsif, op.cit., hlm. 34
26
Ibid.,hlm.52
27
Ibid, hlm 53
28
Ibid, hlm.54
1
2. Kedua, pelanggaran HAM berat tidak identik dengan pelanggaran
terhadap perundang-undangan pidana yang berlaku;
3. Ketiga, pemberlakuan surut UU Pengadilan HAM dengan muatan
materi mengenai ketentuan pidana di satu sisi melanggar asas hukum
tidak berlaku surut tetapi di sisi lain, jika asas hukum tidak berlaku
surut diabaikan berarti KUHP diberlakukan terhadap pelanggaran
HAM Berat padahal pelanggaran HAM Berat bukan kejahatan biasa,
tetapi extra-ordinary crimes (kejahatan luar biasa)
4. Keempat, pemberlakuan hukum berlaku surut memerlukan justifikasi
baik dari segi filosofis, yuridis, dan sosiologis.
C. Kesimpulan
D. Rekomendasi
Untuk jangka panjang politik hukum harus memanfaatkan momentum dan
proses amandemen atas UUD 1945 agar mampu mengelaborasi makna
konstutusionalisme yang menegaskan perlindungan HAM dan membatasi secara
ketat penggunaan kekuasaan. Sedangkan untuk jangka pendek, politik hukum
Indonesia harus mampu segera memberi solusi atas kasus-kasus pelanggaran
HAM di masa lalu yang kini bukan hanya menjadi persoalan hukum tetapi juga
menjadi persoalan politik.30
Mekanisme penyelesaian terhadap kasus yang terjadi di masa lalu, bisa
melalui jalur legal, dimana penyelesaiannya dengan cara pengungkapan kebenaran
atau kesalahan yang telah diperbuat oleh pelaku. Apabila dalam pengungkapan
kebenaran itu dirasa sulit karena terbentur aturan hukum dan juga kendala politis,
maka untuk memenuhi rasa kemanfaatan hukum, dapat melalui jalur non legal,
yaitu pengakuan dan penyesalan pelaku mengenai kesalahan yang telah diperbuat
lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Kemudian terhadap korban pelanggaran HAM Berat sebaiknya diberikan
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sebagaimana yang secara tegas diatur dalam
Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan HAM yaitu:31
29
Knut D.Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi,op.cit.,hlm.315
30
Mahfud MD, op.cit., hlm. 172
31
Fadli Andi Natsif, op.cit., hlm 15
1
1. Kompensasi, berarti ganti rugi yang diberikan oleh negara karena
pelaku tidak mampu memberikannya kepada korban.
2. Restitusi, adalah ganti kerugian yang dierikan kepada korban atau
keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa
pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk
kehilangan atau penderitaan atau penggantian biaya untuk tindakan
tertentu.
3. Rehabilitasi, adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya
kehormatan, nama baik, jabatan atau hak-hak lain.
1
E. DAFTAR PUSTAKA
Buku