Anda di halaman 1dari 14

TEKNIK PENATAAN POLA TUMPANGSARI JAGUNG DAN KOPI

DI LAHAN KERING

Sutoyo

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dibandingkan dengan tanaman padi, tanaman jagung mempunyai


kelebihan untuk dikembangkan di lahan kering dataran tinggi karena lebih tahan
terhadap kekurangan air. Tanaman jagung berbiji putih selain banyak
dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan pangan (nasi jagung), juga
dimanfaatkan sebagai bahan baku industri rumah tangga seperti marning
jagung, emping jagung dan lain-lain. Jagung putih lokal sudah biasa ditanam
petani di lahan kering dataran tinggi kabupaten Temanggung karena kebanyakan
petani di wilayah ini menggunakan jagung putih sebagai makanan pokok.
Sebagai bahan makanan, jagung mengandung nutrisi (karbohidrat, protein,
lemak dan mineral) yang tidak kalah dibandingkan dengan beras (Yasin, 2008).
Produktivitas jagung putih di tingkat petani umumnya masih rendah, yaitu
1,6 - 2 ton/ha. Produktivitas yang rendah tersebut antara lain disebabkan (1)
digunakannya benih yang kualitasnya rendah, (2) penerapan budidaya kurang
intensif, dan (3) sulitnya didapati jagung putih unggul di lapangan (BPTP Jateng,
2005).
Salah satu jagung putih unggul yang dihasilkan oleh Balai Penelitian
Tanaman Serealia adalah varietas Srikandi putih. Varietas ini mempunyai
kandungan protein yang cukup tinggi dengan kandungan protein endosperm biji
10,44%, triptofan 0,087% dan lisin 0,41%. Di dataran rendah varietas ini
mempunyai umur tanaman sekitar 110 hari dengan ketinggian tanaman sekitar
195 cm (ICERI, 2008).
Salah satu komoditas tahunan yang mepunyai potensi dan keunggulan
untuk dikembangkan di kawasan konservasi kabupaten Temanggung adalah
tanaman kopi (Disbun Jateng, 2002). Komoditas kopi ini selain memberikan
sumbangan yang penting dari aspek konservasi lingkungan pertanian yang ada di
kawasan tersebut juga dapat memberikan nilai ekonomi yang cukup tinggi bagi
petani.
Produktivitas perkebunan kopi rakyat umumnya relatif masih rendah yaitu
rata-rata hanya 458,1 kg/ha/tahun, sedangkan untuk perkebunan besar negara
mencapai rata-rata 658,1 kg/ha/tahun. Rendahnya produktivitas kopi rakyat
disebabkan oleh belum diterapkannya teknik budidaya yang dianjurkan
(Wiryadiputra et al., 2002), seperti tidak pernah dilakukan pemupukan, tidak
diterapkannya sistem pangkasan, tidak diperhatikan kondisi naungan, dan tidak
pernah dilakukan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT).
Praktek budidaya tanaman yang cocok untuk memaksimalkan produksi
dengan input luar yang lebih rendah dan sekaligus meminimalkan resiko adalah
sistem budidaya ganda. Menurut Reijntjes et al. (1999) manfaat budidaya ganda
bagi petani berlahan sempit antara lain meningkatkan produktivitas persatuan
luas yang dapat dipanen dari pada budidaya tanaman tunggal dengan tingkat
pengelolaan yang sama, dan kegagalan salah satu tanaman dapat
dikompensasikan oleh tanaman yang lain, sedangkan budidaya ganda dengan
tanaman tahunan dapat mengurangi tingkat erosi tanah.

1.2. Sumber Teknologi

Teknologi budidaya tanaman kopi Arabika bersumber dari Pusat Penelitian


Kopi dan Kakao (Puslitkoka) Jember (Jawa Timur), dan teknologi
budidaya/varietas jagung putih unggul bersumber dari Balai Penelitian Tanaman
Serealia, Maros, Sulawesi Selatan serta hasil kajian Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) Jawa Tengah.

1.3. Tujuan Dan Manfaat Penerapan Teknologi


• Untuk mendapatkan pola tumpangsari jagung putih dan kopi Arabika dengan
teknik perbaikan budidayanya di lahan kering daerah Temanggung.
• Mengoptimalkan pemanfaatan lahan, mengurangi degadasi lahan,
mengurangi resiko kegagalan dari salah satu komoditas dan meningkatkan
penghasilan petani.
II. PENGERTIAN BEBERAPA ISTILAH

Arabika Kate : jenis tanaman kopi arabika yang mempunyai sifat


pertumbuhan pendek (’dwarf’) = kate, antara lain varietas
Kartika 1 dan Kartika 2.
Jagung putih : jagung berbiji putih yang biasanya banyak dimanfaatkan
masyarakat sebagai bahan pangan (nasi jagung).
Pemupukan : penambahan bahan organik dan atau anorganik ke dalam
tanah atau tanaman dengan maksud untuk menyediakan
unsur hara yang diperlukan tanaman.
Pemangkasan tanaman kopi
: ada 2 macam, yaitu pemangkasan sebelum tanaman
menghasilkan dan sesudah tanaman menghasilkan.
Pemangkasan yang dilakukan sebelum tanaman
menghasilkan buah berguna untuk pembentukan tajuk
tanaman, sehingga disebut pemangkasan bentuk.
Sedangkan pemangkasan yang dilakukan setelah tanaman
menghasilkan buah disebut pemangkasan produksi.
Pemangkasan produksi
: untuk menumbuhkan cabang-cabang produktif dalam
jumlah cukup serta mempertahankan keseimbangan
kerangka tanaman. Pemangkasan ini dilakukan setelah
panen selesai dengan cara memangkas cabang-cabang
yang tidak produktif (cabang tua, cabang terserang
hama/penyakit, cabang balik, cabang liar). Pemangkasan
dilakukan 3 bulan sekali dan untuk musim hujan dilakukan
1 - 2 bulan sekali (wiwilan/pangkasan ringan).
Pola introduksi : usahatani yang dikelola dengan cara yang belum
diterapkan oleh petani setempat.
Pola petani : usahatani yang dikelola dengan cara yang sudah
umum dikerjakan oleh petani setempat.
R/C ratio : revenue per cost ratio, jumlah penerimaan dibagi dengan
jumlah pengeluaran.
III. LOKASI PENGKAJIAN DAN DAERAH REKOMENDASI

3.1 Lokasi Pengkajian


Desa Canggal, kecamatan Kledung, Temanggung. Wilayah ini mempunyai
ketinggian antara 1.000–1.300 m dari permukaan laut (dpl), dengan curah hujan
rata-rata tahunan 2.306,7 mm dan curah hujan bulanan 192,2 mm, dengan
jumlah bulan basah rata-rata 6 bulan, bulan kering 4 bulan dan bulan lembab 2
bulan per tahun, dan kisaran suhu udara harian antara 27–30 oC (Prasetyo,
2004). Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, wilayah ini termasuk
mempunyai tipe iklim C sampai D. Topogafi wilayah didominasi permukaan yang
berbukit sekitar 50%, bergelombang 40% dan datar sekitar 10%. Pengairan
untuk usaha pertanian sangat bergantung kepada curah hujan, sehingga jadwal
tanam dan pola tanam menyesuaikan kondisi curah hujan yang ada.

3.2 Daerah Rekomendasi


Selain wilayah Canggal, Kledung, Temanggung dan sekitarnya juga
wilayah yang mempunyai kondisi ketinggian dan iklim yang setipe, teknologi ini
bisa direkomendasikan ke wilayah lain yang mempunyai ketinggian minimal 800
m dpl (untuk teknologi budidaya kopi Arabika) dan dapat direkomendasikan
sampai ke wilayah dataran rendah untuk varietas jagung putih unggul Srikandi
putih.

IV. LANGKAH OPERASIONAL PENERAPAN TEKNOLOGI

Penerapan teknologi dilakukan dengan cara pendekatan pemenuhan


kebutuhan petani yang dilaksanakan di lahan petani dengan melibatkan 5–10
petani kooperator sebagai pelaksana aktif. Pada kegiatan ini utamanya
dilakukan dua macam penerapan teknologi, yaitu introduksi teknik
pemeliharaan/perbaikan budidaya tanaman kopi Arabika dan introduksi
perbaikan budidaya/varietas unggul jagung putih (Srikandi putih) yang
ditumpangsarikan dengan tanaman kopi.
4.1 Introduksi teknik perbaikan budidaya tanaman kopi.
Dalam hal ini dilakukan dua aspek budidaya, yaitu aspek kultur teknis dan
aspek pengendalian hama-penyakit. Jumlah tanaman yang digunakan dalam
penerapan teknik perbaikan budidaya adalah 200 tanaman kopi produktif
(varietas Kartika) yang tersebar pada 5 lahan milik petani kooperator. Introduksi
ini dilakukan pada tahun 2004 dan tahun 2005.

a. Aspek kultur teknis dengan penerapan komponen:


Pemangkasan (produktif): berguna untuk menumbuhkan cabang-cabang
produktif tanaman kopi dalam jumlah cukup dan membuang cabang-cabang
yang tidak produktif serta mempertahankan kerangka tanaman yang telah
diperoleh pada pemangkasan bentuk.
Penyiangan : dilakukan terutama untuk gulma yang tumbuh di sekitar wilayah
perakaran atau di bawah tajuk tanaman kopi.
Pemupukan : pemupukan dengan dosis rekomendasi dari Puslit kopi dan kakao,
Jember. Untuk pemupukan digunakan dosis pemupukan umum seperti pada
Tabel 1. Adapun cara pemupukan yang dilakukan adalah secara alur melingkar.
Tempat peletakan pupuk dibuat pada jarak 30-40 cm dari batang pokok sedalam
2-5 cm. Pemupukan dilakukan pada awal musim hujan dan akhir musim hujan
(Hulupi, 2002). Untuk pupuk TSP digantikan SP-36 karena pupuk yang tersedia
di pasaran adalah SP-36, dan pupuk KCl digantikan ZK (K2SO4) karena pada
musim kemarau para petani menanam tembakau agar tidak ada residu pupuk
KCl yang berdampak negatif terhadap kualitas tembakau.

b. Aspek pengendalian hama dan penyakit:


Dilakukan dengan menyesuaikan kondisi hama dan penyakit yang ada waktu
penerapan teknologi. Sebagai hama dominan, kutu putih (Planococcus citri),
diantisipasi dengan insektisida metidation 25% (Supracide 25 WP) (Wiryadiputra
et al., 1998). Serangan hama kutu putih biasanya dominan pada pertanaman
kopi yang tidak/kurang berpenaung (Wiryadiputra et al., 2002), dan penyakit
dominan, karat daun (Hemileia vastatrix), diantisipasi dengan fungisida tembaga
hidroksida 77% (Kocide 77 WP) atau fungisida sederhana (bubur bordo).
Tabel 1. Jenis dan dosis pemupukan umum untuk kopi Arabika sesuai
umur tanaman.

Umur tanaman Gam/pohon/semester Pupuk organik kg/


(tahun) Urea TSP KCl pohon / tahun
1. 25 25 25 5
2. 50 40 40 10
3. 75 40 60 15
4. 100 40 80 20
5-10 150 60 120 25
> 10 200 80 160 30
Sumber: Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia

Pada budidaya tumpangsari jagung dan kopi ini, tanaman kopi tidak
mempunyai tanaman penaung tetap seperti lamtoro atau yang lain, karena
petani memerlukan tanaman semusim (jagung, sayuran, dan tembakau) sebagai
tanaman tumpangsari yang merupakan sumber pangan dan pendapatan yang
lebih cepat dipanen. Oleh sebab itu, untuk introduksi bibit kopi Arabika yang baru
(tahun 2004-2006) maka dipilih varietas lini S 795, karena varietas ini lebih
sesuai ditanam pada kondisi budidaya secara tumpangsari.

4.2 Introduksi varietas jagung putih unggul sebagai tanaman


tumpang sari.

Sebagai tanaman tumpangsari, jagung varietas Srikandi putih


diintroduksikan dengan maksud agar dapat menjadi alternatif selain varietas lokal
karena dari penerapan sebelumnya varietas ini, di dataran medium, diketahui
mempunyai keunggulan dibanding varietas lokal, yaitu mempunyai hasil panen
yang lebih tinggi, mempunyai umur panen yang lebih pendek, lebih tahan
terhadap kerebahan, dan mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi
(Supadmo et al., 2005). Introduksi varietas ini dilakukan pada musim hujan
2005.
Jagung ditanam di antara tanaman kopi yang mempunyai jarak tanam
5-6 x 3 m, sedangkan benih jagung ditanam dengan jarak tanam 70 x 40 cm
(2 biji/lubang) pada guludan tanaman yang diusahakan sejajar dengan arah
kontur lahan. Dosis pemupukan yang digunakan untuk tanaman jagung yaitu
300 kg/ha Urea, 150 kg/ha SP-36 dan 100 kg/ha ZK serta pupuk kandang 1,5
ton/ha.
Tabel 2. Komponen teknologi tumpangsari jagung putih dan kopi
Arabika pada pola introduksi dan pola petani. Canggal, Kledung,
Temanggung 2005.

Komponen teknologi Pola introduksi Pola petani


Tanaman kopi Arabika
ƒ varietas Kartika Kartika
ƒ jarak tanam 5–6 x 3 m 5–6 x 3 m
ƒ pemupukan dipupuk kandang dan tidak dipupuk kimia,
kimia pada dosis & waktu hanya dipupuk kandang
seperti rekomendasi bagi yang punya pupuk
kandang
ƒ penyiangan dilakukan 3 – 4 kali kadang-kadang
/tahun
ƒ pemangkasan pangkasan produksi kadang-kadang
setelah panen selesai,
diulang setiap 3 bulan.
Pangkasan/ wiwilan pada
musim hujan setiap 1 - 2
bulan
ƒ pengendalian dilakukan 2-3 kali pada tidak dilakukan
hama/penyakit waktu populasi/intensitas
tinggi

Tanaman jagung putih


ƒ varietas Srikandi putih Lokal putih
ƒ perlakuan benih saromil 2.5 g/kg benih tidak pakai
ƒ pemupukan
a. kandang 1,5 ton/ha 1,5 ton/ha
b. kimia
Urea 300 kg/ha 200 kg/ha
SP 36 150 kg/ha 100 kg/ha
ZK 100 kg/ha tidak pakai
ƒ jarak tanam 70 x 40 cm 70 x 40 cm
V. HASIL KERAGAAN TEKNOLOGI

5.1. Introduksi tehnik perbaikan budidaya tanaman kopi.


Keragaan pertumbuhan tanaman.
Untuk mengetahui pertumbuhan tanaman maka dilakukan pengamatan
beberapa parameter pada waktu sebelum dan setelah introduksi (setelah 2
tahun introduksi). Parameter pertumbuhan tanaman yang diamati yaitu tinggi
tanaman, lingkar batang dan lebar kanopi tanaman. Pada pertanaman yang
diberi penerapan teknologi perbaikan budidaya yaitu dengan pemupukan,
penyiangan, pemangkasan dan pengendalian hama penyakit, maka didapat
keragaan pertumbuhan tanaman seperti tertera pada Tabel 3.
Kenaikan tinggi tanaman rata-rata pada tanaman dengan pola introduksi
sebesar 23,71 cm sedangkan pada tanaman dengan pola petani mempunyai
kenaikan tinggi tanaman rata-rata 8,79 cm. Kenaikan lingkar batang rata-rata
tanaman dengan pola introduksi sebesar 2,14 cm dan pada tanaman dengan
pola petani memiliki kenaikan lingkar batang rata-rata 0,75 cm. Kenaikan lebar
kanopi rata-rata pada tanaman dengan pola introduksi sebesar 40,43 cm
sedangkan pada tanaman pola petani mempunyai kenaikan lebar kanopi rata-
rata 20,36 cm. Secara umum, tanaman dengan pola introduksi perbaikan
budidaya mempunyai tingkat pertumbuhan lebih tinggi daripada pola petani.

Tabel 3. Kenaikan tinggi tanaman, lingkar batang, dan lebar kanopi


rata-rata pada tanaman kopi dengan pola introduksi dan pola
petani, tanaman umur 5 tahun.

Parameter Kenaikan masing-masing parameter (cm)


pertumbuhan Pola introduksi Pola petani
Tinggi tanaman 23,71 8,79

Lingkar batang 2,14 0,75

Lebar kanopi 40,43 20,36

Keterangan: rata-rata dari 50 tanaman contoh yang tersebar di 5 lahan petani


Keragaan hasil.
Panen kopi di wilayah lokasi penerapan teknologi biasanya dilakukan
Maret sampai dengan Juli. Hasil pengamatan persentase ranting tanaman
produktif dan hasil panen buah segar tercantum pada Tabel 4. Untuk mengetahui
penampilan tanaman contoh dengan pola introduksi dan pola petani dapat dilihat
Gambar pada Lampiran 1.

Tabel 4. Persentase ranting produktif dan hasil panen buah segar


pada tanaman pola introduksi dan pada pola petani, tanaman umur 5
tahun

Parameter Pola introduksi Pola petani

Persentase ranting 82,66 % 43,52 %


produktif

Hasil panen buah segar 4,61 kg/tanaman 1,96 kg/tanaman

Keterangan: rata-rata dari 50 tanaman contoh yang tersebar di 5 lahan


petani

Hasil pengamatan pada tanaman dengan pola introduksi didapat hasil


panen buah segar rata-rata 4,61 kg/tanaman, sedangkan pada tanaman pola
petani didapat hasil panen buah segar rata-rata 1,96 kg/tanaman. Dengan
demikian, introduksi paket perbaikan budidaya pada tanaman kopi umur lima
tahun (tahun kedua penerapan teknologi) dapat meningkatkan hasil panen buah
segar rata-rata sebesar 2,65 kg/tanaman.

5.2. Introduksi varietas unggul jagung putih sebagai tanaman


tumpangsari.

Sebagai tanaman tumpangsari, jagung unggul varietas Srikandi putih


diintroduksikan dengan maksud agar dapat menjadi alternatif selain varietas lokal
karena varietas Srikandi putih ini diketahui mempunyai beberapa keunggulan
dibanding varietas lokal.
Keragaan agonomis

Dari pengamatan tinggi tanaman dan umur tanaman pada varietas


introduksi (Srikandi putih) dan varietas lokal putih di delapan lahan yang
digunakan untuk penerapan teknologi, maka didapat tinggi tanaman, umur
tanaman, panjang tongkol dan kelobot rata-rata seperti tertera pada Tabel 5.
Untuk tinggi tanaman antara varietas Srikandi putih dan lokal putih tidak
menunjukkan perbedaaan, namun dari segi umur tanaman varietas Srikandi
putih yang diharapkan dapat berumur lebih pendek dari pada varietas lokal
ternyata setelah ditanam di lokasi penerapan (pada ketinggian sekitar 1.200 -
1.300 m dari permukaan laut) mempunyai umur tanaman 1 minggu lebih
panjang dari pada varietas lokal putih. Varietas Srikandi putih ini sebaiknya
ditanam pada areal yang datar atau lereng bukit yang menghadap ke timur dan
tidak ada tanaman yang lebih tinggi yang menaungi.
Dari hasil pengamatan panjang tongkol dan kelobot menunjukkan bahwa
panjang kelobot antara varietas introduksi dan varietas lokal tidak tampak
perbedaan, namun varietas Srikandi putih mempunyai panjang tongkol rata-rata
yang lebih panjang dibandingkan dengan panjang tongkol varietas lokal (Gambar
3).

Gambar 3. Contoh tampilan jagung lokal


putih (kiri), contoh tampilan
jagung introduksi varietas
Srikandi putih (kanan)
Tabel 5. Tinggi tanaman, umur tanaman, panjang tongkol dan
panjang kelobot rata-rata dari jagung introduksi (varietas Srikandi
putih) dan varietas lokal putih

Parameter Srikandi putih Lokal putih

Tinggi tanaman 185,77 cm 185,99 cm


Umur tanaman 149 hari 142 hari
Panjang tongkol 14,31 cm 11,74 cm
Panjang kelobot 24,69 cm 22,67 cm

Keterangan: rata-rata dari 8 lahan petani, masing-masing lahan diambil 20


tanaman contoh.

Keragaan hasil panen.


Dengan cara pengubinan seluas 5 x 5 m2 dan setiap lahan diambil pada
dua tempat pengubinan. Parameter yang diamati yaitu; berat pipilan kering per
ubinan beserta kadar airnya, dan konversi hasil jagung pipilan kering per hektar.
Dari pengamatan tersebut didapat hasil panen jagung pipilan rata-rata varietas
Srikandi putih sebesar 4.579 kg/ha (kadar air 15%). Sedangkan pada varietas
lokal putih, didapat hasil panen jagung pipilan rata-rata sebesar 2.351 kg/ha
(kadar air 15%).

Tabel 6. Rata-rata berat jagung pipilan per ubinan dan konversi hasil
jagung pipilan (k.a. 15%) varietas Srikandi putih dan Lokal putih

Varietas Berat pipilan/ubinan Hasil (konversi) jagung


(kg) pipilan kering (kg/ha)
Srikandi putih 11,45 4.579

Lokal putih 5,87 2.351

Keterangan : rata-rata dari 8 lahan petani, masing-masing lahan diambil 2


ubinan.
VI. KELAYAKAN FINANSIAL

Pertanaman kopi Arabika di desa lokasi penerapan teknologi umumnya


diusahakan secara tumpangsari dengan tanaman semusim, antara lain dengan
tanaman jagung. Sedangkan untuk tanaman jagung ada yang diusahakan secara
monokultur maupun tumpangsari. Adapun analisis usahatani tumpangsari
jagung putih dan kopi Arabika dengan pola introduksi dan pola petani seperti
tertera pada Tabel 7.
Tabel 7. Analisis usahatani tumpangsari jagung putih dan kopi Arabika,
pada kondisi penerapan teknologi tahun 2005, tanaman kopi umur 5
tahun, untuk luasan 1 ha

Uraian Pola introduksi Pola petani


(Rp.) (Rp.)
A. Tanaman kopi Arabika
1. Pengeluaran
ƒ pemupukan
kandang 3.000.000 1.200.000
kimia 388.000 0
ƒ pemangkasan/penyiangan 240.000 60.000
ƒ pengendalian hama/penyakit 30.000 0
ƒ tenaga kerja 90.000 60.000
Jumlah pengeluaran 3.748.000 1.320.000
2. Penerimaan
(hasil panen buah segar, Rp.3.000/kg) 8.148.000 3.378.000
3. Keuntungan 4.400.000 2.058.000
4. R/C ratio 2,17 2,55

Tanaman kopi Arabika


1. Pengeluaran
ƒ benih 75.000 50.000
ƒ fungisida 17.500 0
ƒ pemupukan
kandang 300.000 300.000
kimia 705.000 425.000
ƒ tenaga kerja 900.000 900.000
Jumlah pengeluaran
2. Penerimaan (hasil panen jagung pipilan kering, Rp.1.400/kg)
Jagung monokultur 7.978.000 3.804.600
Jagung tumpangsari dengan kopi 7.298.300 3.500.580
Jumlah penerimaan 7.298.380 3.500.580
3. Keuntungan 5.300.880 1.825.580
4. R/C ratio 3,65 2,08

Jumlah total A + B (tumpangsari)


1. pengeluaran 5.745.500 2.995.000
2. penerimaan 15.446.380 6.878.580
3. keuntungan 9.700.880 3.883.580
4. R/C ratio 2,68 2,29

Keterangan: lahan dan modal milik sendiri


DAFTAR PUSTAKA

BPTP Jateng. 2005. Jagung putih unggul bahan pangan Srikandi putih dan MS-
2 (leaflet). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah.
Disbun Jateng, 2002. Statistik Perkebunan 2002. Dinas Perkebunan Propinsi.
Jawa Tengah. 221 hal.
Hulupi, R. 2002. Budidaya Kopi Arabika (Pedoman teknis). Pusat Penelitian
Kopi dan Kakao Indonesia. Jember. 18 hal.
ICERI. 2008. Field Book of the Tenth Asian Regional Maize Workshop.
Indonesian Cereals Research Institute (ICERI/Balitsereal). Makassar,
Indonesia. 22 p.
Prasetyo, T. 2004. Studi pemahaman desa miskin secara partisipatif di
kabupaten Temanggung. Laporan PRA BPTP Jateng.
Reijntjes C., Haverkort B., dan Water Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan.
Pengantar untuk pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah.
Diterjemahkan oleh Sukoco Y. (Editor: Van de Fliertt dan Hidayat B).
Kanisius. 269 hal.
Supadmo, H., Joko H., Forita D.A., Sutrisno, dan Indah W. 2005. Laporan
Kegiatan: Kajian Pengembangan Inovasi Teknologi Usahatani Jagung
Putih. BPTP Jawa Tengah, Deptan. 20 hal.
Wiryadiputra, S., Saidi, S. Sukamto, E. Sulistyawati dan Y.J. Junianto.
1998. Pengenalan dan Pengendalian Hama-Penyakit Tanaman Kopi.
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember. 24 hal.
Wiryadiputra, S., Y.J. Junianto, E. Sulistyowati, Saidi, R. Hulupi, M.C.
Mahfud dan L. Rosmahani. 2002. Analisis status penelitian dan
pengembangan PHT pada pertanaman kopi dalam Risalah Simposium
Nasional Penelitian PHT Perkebunan Rakyat. Bogor. Hal: 129-146.
Wiryadiputra, S., E. Sulistyowati, Sri-Sukamto, Y.J. Junianto, M.C.
Mahfud dan L. Rosmahani. 2004. Hasil penelitian kajian ekosistem
dan teknologi pengendalian organisme pengganggu utama tanaman kopi.
Makalah pada Pertemuan Diseminasi Teknologi PHT Tanaman
Perkebunan, Malang, 17-19 Mei 2004.
Yasin, M. 2008. Technology Innovation Supporting Maize Production.
Indonesian Center for Food Crops Research and Development, Bogor. 32
p.
Lampiran 1. Foto - foto kegiatan tumpangsari jagung putih dan
kopi Arabika di lahan kering dataran tinggi pada tahun 2005.
Canggal, Kledung, Temanggung

Gambar 1 : Tanaman kopi yang


tidak diberi introduksi
(pola petani), berbuah
lebih sedikit

Gambar 2 : Tanaman kopi dengan


pola introduksi, berbuah
lebih banyak (bandingkan
dengan gambar 1)

Anda mungkin juga menyukai