Anda di halaman 1dari 95

K O N S E N S U S N A S I O N A L

PENATALAKSANAAN
HIPERTENSI PORTAL
DI INDONESIA

PERHIMPUNAN PENELITI HATI INDONESIA


2 0 2 1
K O N S E N S U S N A S I O N A L

PENATALAKSANAAN
HIPERTENSI PORTAL
DI INDONESIA

PERHIMPUNAN PENELITI HATI INDONESIA


2 0 2 1
Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia

xii + 81 Halaman
15 x 23 cm

ISBN 978-602-53358-6-0

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang:


Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh
isi buku ini dengan cara dan bentuk apapun tanpa seizin penulis dan penerbit

Diterbitkan oleh:
Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI)
Gedung Wisma Bhakti Mulya Lt. 6 Ruang 602
Jl. Kramat Raya No. 160
Jakarta 10430
Tim Penyusun
Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia

Ketua : Dr. dr. Juferdy Kurniawan, Sp.PD, K-GEH, FINASIM

Anggota : Prof. Dr. dr. Rino A. Gani, Sp.PD, K-GEH, FINASIM


Dr. dr. Irsan Hasan, Sp.PD, K-GEH, FINASIM
Dr. dr. Andri Sanityoso, Sp.PD, K-GEH, FINASIM
Dr. dr. C. Rinaldi A. Lesmana, Sp.PD, K-GEH, FACP, FACG, FINASIM
dr. Putut Bayupurnama, Sp.PD, K-GEH, FINASIM
Dr. dr. M. Begawan Bestari, Sp.PD, K-GEH, M.Kes, FINASIM, FASGE, FACG
Dr. dr. Fardah Akil, Sp.PD, K-GEH, FINASIM

Dibantu oleh :
Dr. Derlin Juanita Leander
Dr. Abirianty Araminta, Sp.PD
Dr. Maria Satya Paramitha

iii
Pengurus Besar Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia

Prof. dr. Ali Sulaiman, Ph.D, Sp.PD, K-GEH, FINASIM


Prof. dr. Nurul Akbar, Sp.PD, K-GEH, FINASIM
Prof. dr. Laurentius A. Lesmana, Ph.D, Sp.PD, K-GEH, FACP, FACG, FINASIM
Dr. Unggul Budihusodo, Sp.PD, K-GEH, FINASIM
Prof. Dr. dr. Rino A. Gani, Sp.PD, K-GEH, FINASIM
Dr. dr. Irsan Hasan, Sp.PD, K-GEH, FINASIM
Dr. dr. Andri Sanityoso, Sp.PD, K-GEH, FINASIM
Dr. dr. C. Rinaldi A. Lesmana, Sp.PD, K-GEH, FACP, FACG, FINASIM
Dr. dr. Hery Djagat Purnomo, Sp.PD, K-GEH, FINASIM
Dr. dr. Juferdy Kurniawan, Sp.PD, K-GEH, FINASIM
Dr. Lianda Siregar, Sp.PD, K-GEH, FINASIM
Dr. Tjahjadi Robert Tedjasaputra, Sp.PD, K-GEH, FINASIM
Dr. Agustinus Taolin, Sp.PD, K-GEH, FINASIM
Dr. Ruswhandi, Sp.PD, K-GEH, FINASIM
Dr. Arles, Sp.PD, K-GEH, FINASIM
Dr. Agasjtya Wisjnu Wardhana, Sp.PD, K-GEH, FINASIM
Dr. Indra Marki, Sp.PD, K-GEH, FINASIM
Dr. Titos Ahimsa, Sp.PD, K-GEH, FINASIM
Dr. Riki Tenggara, Sp.PD, K-GEH, FINASIM
Dr. Chyntia O. M. Jasirwan, Ph.D, Sp.PD, K-GEH, FINASIM
Dr. Saut Horas H. Nababan, Ph.D, Sp.PD, K-GEH
Dr. Imelda Maria Loho, Sp.PD
Dr. Kemal Fariz Kalista, Sp.PD

iv
Ketua Cabang Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia

1. Dr. dr. Fauzi Yusuf, Sp.PD, K-GEH, FINASIM Cabang Aceh


2. Dr. dr. M. Begawan Bestari, Sp.PD, K-GEH, M.Kes, FINASIM, FASGE, FACG Cabang Bandung
3. Dr. Abimanyu, Sp.PD, K-GEH, FINASIM Cabang Banjarmasin
4. Prof. Dr. dr. I Dewa Nyoman Wibawa, Sp.PD, K-GEH, FINASIM Cabang Denpasar
5. Dr. Ruswhandi, Sp.PD, K-GEH, FINASIM Cabang Jakarta
6. Dr. Yustar Mulyadi, Sp.PD, K-GEH, FINASIM Cabang Kalimantan Barat
7. Dr. Ali Imron Yusuf, Sp.PD, K-GEH, FINASIM Cabang Lampung
8. Dr. dr. Fardah Akil, Sp.PD, K-GEH, FINASIM Cabang Makassar
9. Dr. Bogi Pratomo Wibowo, Sp.PD, K-GEH, FINASIM Cabang Malang
10. Dr. Bradley Jimmy Waleleng, Sp.PD, K-GEH, FINASIM Cabang Manado
11. Dr. Haris Widita, Sp.PD, K-GEH, FINASIM Cabang Mataram
12. Prof. Dr. dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD, K-GEH, FINASIM Cabang Medan
13. Prof. Dr. dr. Nasrul Zubir, Sp.PD, K-GEH, FINASIM Cabang Padang
14. Dr. Fuad Bakry F, Sp.PD, K-GEH, FINASIM Cabang Palembang
15. Dr. Arles, Sp.PD, K-GEH, FINASIM Cabang Pekanbaru
16. Dr. Ignatia Sinta Murti, Sp.PD, K-GEH, FINASIM Cabang Samarinda
17. Dr. dr. Hery Djagat Purnomo, Sp.PD, K-GEH, FINASIM Cabang Semarang
18. Dr. Titong Sugihartono, Sp.PD, K-GEH, FINASIM Cabang Surabaya
19. Dr. dr. Triyanta Yuli Pramana, Sp.PD, K-GEH, FINASIM Cabang Surakarta
20. Dr. Putut Bayupurnama, Sp.PD, K-GEH, FINASIM Cabang Yogyakarta

v
SAMBUTAN KETUA
PERHIMPUNAN PENELITI HATI INDONESIA

Hipertensi portal merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering ditemukan
pada pasien dengan penyakit hati kronik, dimana insidensi dan prevalensi penyakit
hati kronik sendiri terus meningkat dari tahun ke tahun. Di Indonesia, data dari
sepuluh pusat pelayanan kesehatan di Indonesia mencatat lebih dari 1500 pasien
sirosis hati dalam satu tahun selama tahun 2020. Dari angka tersebut, sekitar
30% pasien mengalami hipertensi portal. Sayangnya, hanya sebagian kecil pasien
sirosis yang menjalani pemeriksaan endoskopi. Ketersediaan fasilitas pemeriksaan
penunjang untuk hipertensi portal yang belum merata berkontribusi terhadap
keterlambatan penegakan diagnosis dimana pasien baru diketahui menderita
hipertensi portal ketika telah terjadi komplikasi. Masalah efisiensi biaya serta
belum meratanya pengetahuan dan keahlian tenaga medis terkait hipertensi portal
di daerah juga berkontribusi terhadap masih tingginya angka kematian akibat
komplikasi klinis hipertensi portal di Indonesia.

Menyikapi masalah-masalah tersebut, Pengurus Besar Perhimpunan Peneliti Hati


Indonesia (PPHI) berinisiatif menyusun konsensus Penatalaksanaan Hipertensi
Portal di Indonesia dengan harapan dapat membantu tenaga kesehatan di
Indonesia, khususnya para dokter yang merawat pasien dengan hipertensi portal,
dalam menegakkan diagnosis, serta memberikan tatalaksana hipertensi portal
yang baik. Konsensus ini juga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi
para pemegang kebijakan yang terlibat dalam penatalaksanaan hipertensi portal
di Indonesia. Tujuan utama dari penyusunan konsensus ini adalah meningkatkan
pelayanan kesehatan bagi pasien hipertensi portal, serta meningkatkan kesintasan
pasien hipertensi portal di Indonesia. Konsensus ini disusun berdasarkan data-
data terbaru secara matang oleh tim kerja yang khusus dibentuk untuk pembuatan
konsensus ini, serta telah disepakati oleh perwakilan cabang PPHI di seluruh
Indonesia.

Pada kesempatan ini saya, atas nama Pengurus Besar PPHI, mengucapkan terima
kasih kepada seluruh anggota Tim Penyusun, seluruh Ketua Cabang PPHI, dan
anggota Pengurus Besar PPHI yang terlibat dalam penyusunan konsensus ini. Saya
juga mengucapkan terima kasih dan selamat kepada semua pihak yang terlibat
dalam proses penyusunan konsensus ini hingga selesai. Kami mohon maaf apabila
masih ada kekurangan dalam penyusunan konsensus ini. Kami percaya bahwa
konsensus ini masih akan terus mengalami perbaikan di kemudian hari sesuai
dengan kemajuan penelitian di bidang hipertensi portal. Semoga konsensus ini
dapat memberikan manfaat bagi seluruh dokter, tenaga medis, instansi terkait dan
tentunya masyarakat Indonesia yang membutuhkan pelayanan terkait hipertensi
portal.

Dr. dr. Irsan Hasan, Sp.PD, K-GEH, FINASIM


Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia

vii
METODE PENYUSUNAN KONSENSUS

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia ini


disusun berdasarkan telaah literatur terbaru dan prinsip kedokteran berbasis
bukti. Data-data mulai dikumpulkan dan dipilih sejak tahun 2020. Data-data
yang dipilih adalah data yang memiliki dampak cukup bermakna dalam
penatalaksanaan hipertensi portal dan relevan untuk diterapkan di Indonesia.
Setelah data disusun menjadi naskah awal, beberapa pertemuan dilakukan
untuk menampung masukan dari berbagai pihak. Pengambilan keputusan
dilakukan dengan teknik grup nominal atau Delphi. Derajat kualitas bukti dan
rekomendasi diadaptasi dari sistem GRADE.

Pertemuan-pertemuan tersebut adalah:


- Pembahasan draft konsensus dengan perwakilan cabang PPHI se-
Indonesia (18 Desember 2020, 21 Januari 2021)
- Pertemuan Tim Inti Penyusun (6 Maret 2021)

Hasil akhir dari pertemuan-pertemuan tersebut kemudian disepakati menjadi


Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia tahun
2021 dan diluncurkan pada bulan Maret tahun 2021.

Secara keseluruhan, konsensus ini mencerminkan telaah independen panel


tentang pengetahuan medis yang tersedia saat konsensus disusun dan bukan
merupakan pernyataan kebijakan dari Kementerian Kesehatan. Mohon diingat
pula bahwa pengetahuan yang baru akan terus bermunculan di masa yang
akan datang, sehingga tidak menutup kemungkinan akan adanya versi baru
yang diluncurkan secara khusus untuk update tatalaksana terbaru.

viii
DAFTAR ISTILAH

AKI Acute Kidney Injury


APC Argon Plasma Coagulation
APRI AST to Platelet Ratio Index
ARFI Acoustic Radiation Force Impulse
AUC Area Under the Curve
AVH Acute Variceal Hemorrhage
BATO Balloon-occluded Antegrade Transvenous Obliteration
BRTO Balloon-occluded Retrograde Transvenous Obliteration
BUN Blood Urea Nitrogen
ATN Acute Tubular Necrosis
CI Cardiac Index
CSPH Clinically Significant Portal Hypertension
CT Computed Tomography
CVP Central Venous Pressure
DDAVP Synthetic 1-deamino-8-D-arginine vasopressin/Desmopressin asetat
EBL Endoscopic Band Ligation
EGD Esofagogastroduodenoskopi
ESD Endoscopic Submucosal Dissection
FFP Fresh Frozen Plasma
FHVP Free Hepatic Venous Pressure
GAVE Gastric Antral Vascular Ectasia
GBS Glasgow-Blatchford Score
GRADE Grading of Recommendations Assessment, Development, and Evaluation
HRS Hepatorenal Syndrome
HVPG Hepatic Venous Pressure Gradient
INR International Normalized Ratio
LDH Laktat Dehidrogenase
LFG Laju Filtrasi Glomerulus
LT Liver Transplantation
LVP Large Volume Paracentesis
M2BPGi Mac2-binding Protein Glycosylation Isomer
MAP Mean Arterial Pressure
MARS Molecular Adsorbents Recirculating System
MELD Model for End-Stage Liver Disease
MRI Magnetic Resonance Imaging
NSBB Non-Selective Beta-Blocker
NVUGIH Non-Variceal Upper Gastrointestinal Hemorrhage
OAINS Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid
PDGF Platelet-Derived Growth Factors

ix
PGK Penyakit Ginjal Kronik
PHG Portal Hypertension Gastropathy
PlGF Placental Growth Factors
PMN Polymorphonuclear Leukocytes
PTE Polytetrafluoroethylene
RRA-RI Right Interlobar Renal Artery Resistive Index
RRT Renal Replacement Therapy
SAAG Serum Ascites Albumin Gradient
SARI Splenic Artery Resistance Index
SBP Spontaneous Bacterial Peritonitis
SLK Simultaneous Liver-Kidney Transplantation
SMA-PI Superior Mesenteric Artery-Pulsatility Index
SVR Systemic Vascular Resistance
TIMP-1 Tissue Inhibitor Metalloproteinase-1
TIPS Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt
UNGAL Urinary Neutrophil Gelatinase-Associated Lipocalin
USG Ultrasonografi
VEGF Vascular Endothelial Growth Factors
VITRO Von-Willebrand Factor Antigen/Thrombocyte Ratio
WHVP Wedged Hepatic Venous Pressure

x
DAFTAR ISI

Halaman Judul.......................................................................................................................... i
Lembar Pengesahan............................................................................................................... ii
Tim Penyusun............................................................................................................................ iii
Sambutan Ketua PPHI............................................................................................................ vii
Metode Penyusunan Konsensus........................................................................................ viii
Daftar Istilah.............................................................................................................................. ix
Daftar Isi .................................................................................................................................... xi
Sistem Grading Kekuatan Rekomendasi...................................................................... xii

BAB 1. Definisi, Klasifikasi, dan Patogenesis Hipertensi Portal ............... 1


1.1. Definisi dan Klasifikasi............................................................................................... 2
1.1.1. Hipertensi Portal Ringan............................................................................... 2
1.1.2. Hipertensi Portal Klinis Signifikan............................................................ 3
1.2. Stadium Klinis Hipertensi Portal........................................................................... 3
1.3. Patogenesis Hipertensi Portal................................................................................. 4

BAB 2. Diagnosis Hipertensi Portal pada Sirosis .............................................. 6


2.1. Pemeriksaan Non Invasif........................................................................................... 6
2.1.1. Pemeriksaan Klinis.......................................................................................... 6
2.1.2. Pemeriksaan Biomarker................................................................................ 6
2.1.3. Modalitas Pencitraan...................................................................................... 9
2.2. Pemeriksaan Invasif.................................................................................................... 12
2.2.1. Pemeriksaan Gradien Tekanan Vena Porta Hepatika (HVPG)....... 12
2.2.2. Esofagogastroduodenoskopi....................................................................... 13
2.2.3. Biopsi Hepar dan Analisis Histologik...................................................... 14

BAB 3. Tatalaksana Hipertensi Portal ..................................................................... 15


3.1. Asites.................................................................................................................................. 15
3.1.1. Asites tanpa Komplikasi................................................................................ 16
3.1.2. Asites Refrakter................................................................................................. 21
3.1.3. Hepatik Hidrotoraks....................................................................................... 25
3.1.4. Hiponatremia..................................................................................................... 26
3.1.5. Peritonitis Bakterial Spontan...................................................................... 28
3.2. Gangguan Ginjal pada Sirosis.................................................................................. 33
3.2.1. Sindrom Hepatorenal/Hepatorenal Syndrome (HRS)....................... 34
3.3. Pendarahan Saluran Cerna....................................................................................... 41
3.3.1. Diagnosis Varises.............................................................................................. 42
3.3.2. Pencegahan dan Tatalaksana Pendarahan Varises....................... 47

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 63

xi
SISTEM GRADING KEKUATAN REKOMENDASI

Tabel 1. Sistem grading rekomendasi, diadaptasi dari sistem GRADE

Kualitas Bukti
Tinggi Penelitian selanjutnya diperkirakan tidak memengaruhi estimasi A
efek yang telah direkomendasikan saat ini.
Sedang Penelitian selanjutnya dapat memiliki peranan penting dan B
mungkin mengubah rekomendasi saat ini.
Rendah Penelitian selanjutnya memiliki dampak yang sangat penting dan C
sangat mungkin mengubah rekomendasi saat ini.
Rekomendasi
Kuat Rekomendasi telah mempertimbangkan kualitas bukti, outcome 1
pasien, dan biaya.
Lemah Terdapat variasi preferensi yang luas. Rekomendasi yang dibuat 2
cukup lemah, membutuhkan biaya atau sumber daya yang tinggi.

xii
BAB 1
Definisi, Klasifikasi, dan Patogenesis Hipertensi Portal

Penyakit hati kronik berdampak pada lebih dari 300 juta pasien di dunia.
Seiring berjalannya waktu, terjadi pembentukan dan akumulasi jaringan
fibrosis ekstraselular di hati akibat cedera hati kronik, yang secara progresif
menimbulkan fibrosis septa. Keberadaan fibrosis septa ini akan menghambat
oksigenasi normal dan pertukaran darah pada jaringan parenkim hati. Tahap
akhir kerusakan ini ditandai dengan perubahan anatomis yang signifikan,
berupa hilangnya sel-sel hati normal, perubahan mikrovaskular dan
makrovaskular, neoangiogenesis, pembentukan nodul, serta timbulnya pirau
portosistemik. Kondisi terminal ini dikenal dengan istilah sirosis hati.1

Insiden dan prevalensi sirosis hati di Asia dan Dunia semakin meningkat dari
tahun ke tahun.2 Di Indonesia, data dari sepuluh pusat pelayanan kesehatan di
Indonesia mencatat lebih dari 1500 pasien sirosis hati dalam 1 tahun selama
tahun 2020. Dari angka tersebut, sekitar 30% pasien mengalami hipertensi
portal. Sayangnya, hanya sebagian kecil pasien sirosis yang menjalani
pemeriksaan endoskopi. Data di Indonesia menunjukkan, hanya sekitar 35.5%
pasien sirosis hati yang menjalani pemeriksaan endoskopi. Data temuan
varises esofagus pada pasien sirosis yang menjalani pemeriksaan endoskopi
saluran cerna diperlihatkan pada Gambar 1.1 di bawah ini.

Gambar 1.1 Prevalensi varises esofagus (%) pada pasien sirosis yang menjalani
pemeriksaan endoskopi di berbagai pusat pelayanan kesehatan di Indonesia

Sirosis hati merupakan penyebab keempat tersering kematian akibat penyakit


tidak menular. Kematian akibat sirosis meningkat hingga 65% dalam periode
17 tahun.3 Data agregat di RSCM juga menunjukkan bahwa sebagian besar
pasien sirosis adalah laki-laki (77%) dan termasuk dalam kategori Child-
Pugh A (51%). Data yang ada menunjukkan peningkatan kematian akibat
sirosis dan karsinoma sel hati mencapai 50 juta kematian per tahun dalam

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 1


dua dekade terakhir. Tingkat kematian yang tinggi berkaitan erat dengan
penegakan diagnosis yang terlambat. Tahap asimptomatik yang panjang
tanpa gejala yang signifikan merupakan salah satu karakteristik penyakit hati
kronik. Pada tahap awal, yaitu pada fase sirosis kompensata, pasien dapat
tidak bergejala atau hanya bergejala minimal. Dalam periode asimptomatik
tersebut, hipertensi portal perlahan muncul, seiring dengan penurunan fungsi
hepatoselular. Hipertensi portal merupakan proses kunci transisi dari sirosis
kompensata menjadi dekompensata yang ditandai dengan adanya komplikasi
klinis; seperti asites, pendarahan akibat varises gastroesofagus, peritonitis
bakterial spontan, sindrom hepatorenal, dan ensefalopati hepatikum.1,4

1.1 Definisi dan Klasifikasi


Hipertensi portal merupakan suatu sindrom klinis yang mencakup
hipersplenisme, asites, varises gastroesofageal, dan ensefalopati. Kondisi ini
ditandai dengan peningkatan gradien tekanan portal pada berbagai tingkatan
dalam sistem vena porta.5,6 Hipertensi portal dapat terjadi pada pasien dengan
sirosis maupun tanpa sirosis. Pada pasien sirosis, perubahan struktural pada
sinusoid hati, seperti fibrosis hati dan pembentukan nodul regeneratif, dapat
meningkatkan resistensi intrahepatik, yang mengakibatkan peningkatan
tekanan portal. Peningkatan produksi nitrit oksida (NO) di sirkulasi splanknik
akan menyebabkan terjadinya vasodilatasi splanknik. Vasodilatasi splanknik
akan meningkatkan aliran darah portal dan memperberat kondisi hipertensi
portal. Hipertensi portal yang semakin berat menyebabkan gangguan sirkulasi
yang disebut sirkulasi hiperdinamik.5 Hipertensi portal merupakan penyebab
utama terjadinya komplikasi berat sekaligus kematian pada pasien sirosis.
Penilaian gradien tekanan vena hepatika merupakan baku emas penilaian
tekanan portal sekaligus menjadi metode tidak langsung yang paling sering
digunakan untuk menilai tekanan vena porta. Gradien tekanan vena hepatika
(hepatic venous pressure gradient, HVPG) merupakan perbedaan tekanan
antara vena porta dan vena kava inferior. Rentang normal HVPG adalah 3-5
mmHg. Hipertensi portal ditegakkan apabila dijumpai HVPG > 5 mmHg.5,6

1.1.1 Hipertensi portal ringan


Secara umum, pasien dengan sirosis kompensata tidak menunjukkan gejala.
Pasien dengan sirosis kompensata dapat dibagi menjadi hipertensi portal
ringan dan hipertensi portal klinis signifikan (clinically significant portal
hypertension, CSPH).5,7 Hipertensi portal ringan adalah pasien dengan HVPG
6-9 mmHg. Tujuan terapi pada fase ini adalah untuk mencegah progresifitas
menjadi hipertensi portal klinis signifikan.7,8

2 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


1.1.2 Hipertensi portal klinis signifikan (clinically significant portal
hypertension/CSPH)
Hipertensi portal klinis signifikan merupakan kondisi dengan HVPG >10 mmHg.
Peningkatan tekanan portal melebihi 10 mmHg akan berkontribusi terhadap
progresi sirosis hati ke tahap lebih lanjut. Pasien dengan CSPH dapat mengalami
komplikasi ataupun tidak. Tujuan terapi pada pasien tanpa komplikasi maupun
dengan komplikasi adalah mencegah terjadinya dekompensasi pada kondisi
sirosis, terutama mencegah terjadinya pendarahan varises gastroesofageal.7,8

1.2 Stadium klinis hipertensi portal


Seperti yang telah disampaikan di bagian sebelumnya, CSPH didefinisikan
sebagai HVPG >10 mmHg.7,8 Pembagian stadium dari hipertensi portal dapat
dilihat pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1. Stadium, manifestasi klinis,


dan tujuan terapi hipertensi portal pada sirosis7

Stadium Kompensata Dekompensata


Penyakit
HVPG < 10 mmHg ≥ 10 mmHg ≥ 12 mmHg
Varises Tidak ada Tidak ada Ada Ada
Komplikasi Tidak ada Tidak ada Tidak ada Pendarahan Riwayat Riwayat
Hipertensi varises akut pendarahan pendarahan
Portal varises tanpa varises dengan
komplikasi lain** komplikasi lain
Tujuan Mencegah Mencegah Mencegah Mengontrol Mencegah Mencegah
Terapi CSPH dekompen- dekompen- pendarahan, dekompensasi dekompen-
sasi sasi (episode mencegah penda- lebih lanjut sasi lebih lanjut
pendarahan rahan berulang (pendarahan dan kematian/
pertama) secara dini dan berlanjut) dan komplikasi lain
kematian komplikasi lain**
**
Komplikasi lain = asites, ensefalopati.

Studi lain oleh Procopet, dkk.,9 menggunakan HVPG untuk menggambarkan


hasil luaran klinis seperti pada Tabel 1.2 di bawah ini.

Tabel 1.2. Korelasi nilai gradien tekanan vena hepatika dengan hasil luaran
klinis pada penyakit sirosis hati9

HVPG Hasil Luaran Klinis


< 5 mmHg Normal
6-9 mmHg Hipertensi portal ringan
> 6 mmHg Progresi dari hepatitis virus kronik, risiko tinggi rekurensi setelah transplantasi hati
10 mmHg Hipertensi portal klinis signifikan (CSPH)
> 10 mmHg Progresi menjadi varises esofagus, asites, dekompensasi, gangguan hepatosit lebih lanjut,
dekompensasi setelah reseksi hati
> 12 mmHg Pendarahan varises esofagus
> 16 mmHg Mortalitas tinggi
> 20 mmHg Kegagalan untuk mengontrol pendarahan
> 22 mmHg Mortalitas tinggi pada hepatitis alkoholik berat

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 3


1.3 Patogenesis hipertensi portal
Tekanan portal dipengaruhi oleh resistensi vaskular dan aliran darah pada
sistem vena porta (Gambar 1.1). 10 Peningkatan tekanan portal disebabkan
oleh 2 hal, yaitu:11
1. Peningkatan resistensi intrahepatik
2. Peningkatan aliran darah porta
Peningkatan resistensi intrahepatik dapat terjadi melalui dua faktor, yaitu
faktor mekanik (akibat distorsi struktur parenkim hati) dan faktor fungsional
(adanya peningkatan tonus pembuluh darah intrahepatik akibat kemampuan
vasodilatasi menurun/ketidakseimbangan vasokonstriktor-vasodilator).
Peningkatan aliran darah porta dapat terjadi melalui 2 mekanisme yang
berbeda terkait peningkatan produksi NO. Peningkatan produksi NO memicu
terjadinya vasodilatasi splanknik, sehingga aliran darah porta meningkat.
NO yang meningkat juga dapat memicu vasodilatasi pada sirkulasi sistemik
yang menyebabkan hipotensi arteriol dan hipoperfusi relatif pada ginjal.
Kedua kondisi tersebut akan merangsang aktivasi sistem renin-angiotensin-
aldosteron, retensi cairan dan natrium, peningkatan volume darah,
peningkatan curah jantung, sehingga akhirnya menyebabkan peningkatan
aliran darah menuju sistem porta serta peningkatan tekanan portal.12

Peningkatan tekanan portal memberikan sinyal terhadap sistem splanknik


untuk merangsang terjadinya vasodilatasi dan peningkatan aliran darah
portal. Mekanisme ini melibatkan berbagai faktor.12 Beberapa faktor
vasoaktif lokal; seperti NO, prostasiklin, dan karbon monoksida; diproduksi
oleh endotel vaskular. Angiogenesis yang dirangsang oleh produksi vascular
endothelial growth factors (VEGF) dan platelet-derived growth factors (PDGF)
menyebabkan peningkatan sirkulasi splanknik. Dalam hal ini, NO memainkan
peran utama dalam terjadinya vasodilatasi splanknik dan angiogenesis. Kadar
NO menurun pada sirkulasi hepatik namun meningkat pada area splanknik.11,12

Kondisi hipertensi portal merangsang pembentukan pembuluh darah kolateral


portosistemik sebagai respons terhadap peningkatan tekanan portal. Adanya
perubahan tekanan portal dideteksi oleh bantalan mikrovaskular intestinal,
serta arteri dari sirkulasi splanknik. Bantalan vaskular menghasilkan berbagai
macam faktor angiogenik, seperti VEGF dan placental growth factors (PIGF),
yang akan merangsang pembentukan kolateral porto-sistemik. Pembentukan
pembuluh darah kolateral atau angiogenesis ini merupakan proses penting
yang berperan dalam pembentukan varises dan asites.11,13

Hipertensi portal juga memicu perkembangan sindrom sirkulasi yang


hiperdinamik melalui aktivasi sistem adrenergik beta sebagai respons
kompensasi terhadap hipotensi sistemik.11 Kondisi ini ditandai dengan adanya

4 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


penurunan rerata tekanan arteri/Mean Arterial Pressure (MAP), penurunan
resistensi vaskular sistemik/ Systemic Vascular Resistance (SVR), dan
peningkatan indeks jantung /Cardiac Index (CI).13,14

Gambar 1.1 Patofisiologi terjadinya hipertensi portal11


(Diadaptasi dari Simonetto dkk, 2019)

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 5


BAB 2
Diagnosis Hipertensi Portal pada Sirosis

Perbedaan tekanan antara vena porta dan vena hepatika melebihi 5 mmHg,
hingga saat ini, dinilai cukup untuk menegakkan diagnosis hipertensi portal.5,7
Terdapat beberapa cara untuk mengukur tekanan portal, namun metode terbaik
adalah dengan mengukur tekanan portal melalui kateterisasi vena hepatika.
Perbedaan antara tekanan baji vena hepatika (wedged hepatic venous pressure/
WHVP) dan tekanan vena hepatika bebas (free hepatic venous pressure/FHVP)
didefinisikan sebagai HVPG. Hal ini menggambarkan perbedaan tekanan
antara vena porta dan vena kava inferior.7,8,15 Studi menunjukkan bahwa
HVPG > 10 mmHg merupakan indikator independen terjadinya varises,15
dekompensasi (pendarahan varises, asites, dan ensefalopati),16 peningkatan
insidensi karsinoma sel hati (hingga 6 kali lipat), dan prediktor buruk setelah
reseksi hati.17 Pada pasien dengan CSPH kompensata, nilai HVPG di atas 16
mmHg memprediksi terjadinya dekompensasi klinis.18 Pada pasien dengan
pendarahan varises akut, nilai HVPG di atas 20 mmHg memprediksi terjadinya
pendarahan berulang, kegagalan terapi, dan mortalitas yang lebih tinggi.19

Meskipun HVPG saat ini dianggap sebagai pemeriksaan baku emas untuk
mendiagnosis hipertensi portal, namun pengukurannya membutuhkan
keahlian khusus. Selain itu, metode ini tidak tersedia di semua pusat pelayanan
kesehatan. Prosedur HVPG yang tergolong invasif dan mahal juga membuat
modalitas ini tidak dijadikan standar pelayanan untuk setiap pasien sirosis.
Oleh karena itu, saat ini, banyak studi yang dilakukan untuk mengevaluasi
manfaat klinis modalitas non-invasif dalam menilai hipertensi portal.

2.1 Pemeriksaan Non-Invasif


2.1.1. Pemeriksaan Klinis
Terdapat beberapa uji non-invasif yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
CSPH. Evaluasi dimulai dari pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium,
pencitraan, pemeriksaan kekakuan hati, dan pemeriksaan kekakuan limpa.
Pada pasien dengan hipertensi portal, dari pemeriksaan fisis dapat ditemukan
gambaran spider nevi atau kolateral portosistemik abdomen yang jelas.
Splenomegali dan asites juga dapat ditemukan.7

2.1.2 Pemeriksaan Biomarker


Hasil pemeriksaan laboratorium yang paling sering ditemukan pada hipertensi
portal adalah turunnya nilai trombosit (trombositopenia). Trombositopenia
berkorelasi dengan HVPG dan varises gastroesofagus, namun tidak akurat
dalam mendiagnosis atau mengeksklusi adanya hipertensi portal atau varises
gastroesofagus.19

6 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


Beberapa biomarker telah diteliti dalam mendiagnosis CSPH atau hipertensi
portal berat (Tabel 2.1). Namun, sebagian besar studi tersebut memiliki besar
sampel yang kecil dengan etiologi yang paling banyak diakibatkan oleh riwayat
konsumsi alkohol. Pemeriksaan biomarker tersebut juga tidak tersedia secara
luas. Oleh karena itu, masih perlu dilakukan studi validasi lebih lanjut sebelum
biomarker tersebut dapat digunakan pada praktik klinis sehari-hari.

Tabel 2.1 Penelitian biomarker serum


untuk penilaian hipertensi portal pada sirosis hati

No Tahun Peneliti Biomarker Etiologi Hasil


1 2014 Busk, dkk.20 Tissue Inhibitor N=84 (mayoritas TIMP-1 berkorelasi signifikan dengan
Metalloprote- akibat alkohol) HVPG (r = 0.40, p < 0.0001)
inase-1 (TIMP-1) Untuk HVPG >= 12 mmHg :
Nilai ambang: 173.9 ng/ml: sensitivitas
99%, spesifisitas 40%, NPV 86%, PPV
88%
Cut-off: 333.6 ng/ml: sensitivitas 57%,
spesifisitas 93%, NPV 33%, PPV 98%
2 2015 Sandahl, dkk.21 CD163-fibrosis Estimation cohort = 80 Untuk deteksi CSPH (HVPG > 10
portal hypertension mmHg):
score
-0.05xsCD163 Alkohol = 31 Kohort estimasi
(mg/L) + Viral = 41 Nilai ambang: 1.4 sensitivitas 100%
0.03xP3NP (mg/L) Spesifisitas 25% PPV93% NPV 100%
+ 0.021x HA(mg/L)
+ 0.001x TIMP-1 Lain-lain = 8 Nilai ambang 3.6 sensitivitas 70%
(mg/L). Spesifisitas 88% PPV 99% NPV 27%
Validation cohort = 80 Kohort validasi
Alkohol= 63 Nilai ambang 1.4 sensitivitas 98%
Spesifisitas 50% PPV 89% NPV 94%
Viral = 3 Nilai ambang 3.6 sensitivitas 92%%
Spesifisitas 69%% PPV 93% NPV 73%
Lain-lain = 14  
3 2015 Leeming, dkk.22 Kolagen tipe V ( N=94 Korelasi Pro-C5 dan HVPG: r = 0.33,
Pro C5) p < 0.01
Alkohol Untuk deteksi CSPH:
  Nilai ambang: 330 ng/ml, sensitivitas
79.7%, spesifisitas 64%, PLR+ : 2.2 ,
NLR: 0.32, AUC: 0.73
  Untuk deteksi HVPG > 16 mmHg vs
10-16 mmHg:
  Nilai ambang: 346 ng/ml, sensitivitas
80.5%, Spesifisitas 48.3%, PLR 1.6,
NLR 0.4, AUC:0.68
4 2016 Hametner,dkk.23 Skor VITRO N=236 Untuk deteksi CSPH:
(Von Willebrand Alkohol = 93 Nilai ambang > 1.58, AUC: 0.86 (95%
Factor Antigen/ CI 0.81–0.91), sensitivitas 80% ,
Thrombocyte Ratio) Hepatitis C = 67
spesifisitas 70%, PPV 93.2%, NPV
NASH = 29 40.1%
Lain-lain = 19
Tidak diketahui = 28

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 7


No Tahun Peneliti Biomarker Etiologi Hasil
5 2016 Bruha, dkk.24 Osteopontin N= 154 Korelasi osteopontin dan HVPG; P =
0.002, r = 0.25.
Alkohol = 112 Untuk deteksi HVPG > 10 mmHg:
Viral = 22 Nilai ambang: 80 ng/ml, sensitivitas
75%, spesifisitas 63%, PPV 92% NPV
31% AUC 0.763
Lain-lain termasuk Untuk deteksi HVPG > 12 mmHg:
NASH = 20
  Nilai ambang: 90 ng/ml, sensitivitas
71%, spesifisitas 62%, AUC: 0.725
6 2016 Lim, dkk.25 Serum Apelin N=215 Korelasi s-apelin dan HVPG (R2=0.356,
p<0.001)
Alkohol = 155 AUC untuk prediksi CSPH : 0.962
HBV = 36 Rerata kadar s-apelin pada CSPH vs
HCV = 3 non-CSPH: 946.3±155.0 pg/mL vs
550.9±126.6 pg/mL, p<0.001.
Alkohol + HBV = 12
Alkohol + HCV = 2
Kriptogenik = 7
7 2018 Kirnake, dkk.26 APRI N=277 Korelasi antara APRI dan HVPG
(Spearman’s rho=0.450, p < 0.001)
Alkohol = 135 Untuk deteksi HVPG > 12 mmHg:
Kriptogenik/NASH Nilai ambang: 0.876, sensitivitas 71%
= 104 (95%IK 65%-77%) , spesifisitas 78%
(95%IK: 65%-89%), PPV 94%(95%IK:
90%-96%), NPV 38% (95%IK: 32%-
44%), AUC 73%(95%IK: 67%-78%)
Hepatitis B = 8  
Hepatitis C = 23  
Hepatitis B + C = 3  
8 2019 Zou, dkk.27 Faktor von Meta-analisis dari 6  
Willebrand (vWF) studi ( N= 994)
Alkohol = 282 Viral Untuk HVPG > 10 mmHg: Pooled
= 260, Etiologi lain = sensitivitas % spesifisitas: 82% (95%
tidak ada data CI 78 to 86) dan 76% (95% CI 68 to
83). PLR: 3.11 (95% CI 1.99 to 4.86);
NLR: 0.21 (95% CI 0.11 to 0.40); AUC:
0.87 (95% CI 0.80 to 0.94)
  Untuk HVPG > 12 mmHg: Pooled
sensitivitas & spesifisitas: 86% (95%
CI 80 to 90) & 75% (95% CI 66 to 83).
PLR: 3.43 (95% CI 2.49 to 4.72); NLR
0.19 (95% CI 0.14 to 0.27).

8 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


Pemeriksaan lainnya yang dapat dilakukan untuk penilaian hipertensi portal
secara non-invasif adalah APRI dan FIB-4. APRI dapat digunakan sebagai nilai/
indeks referensi untuk memprediksi varises esofagus yang berat. Pemeriksaan
APRI dan FIB-4 merupakan beberapa pemeriksaan yang direkomendasikan
oleh WHO untuk menilai derajat berat fibrosis hepar. Perhitungan APRI dan
FIB-4 dapat menggunakan rumus (1) dan rumus (2) berikut:28

Rumus (1) AST (Nilai batas atas) 109


APRI = x 100 x
Jumlah Trombosit Liter
Rumus (2) Usia (tahun)
FIB - 4= x AST
Jumlah Trombosit x √ALT

Studi oleh Kirnake V, dkk. yang dilakukan pada 277 pasien sirosis hati
menunjukkan korelasi signifikan antara APRI dan HVPG. Dengan menggunakan
cut-off 0.876, APRI memiliki nilai prediksi positif sebesar 94% untuk
memprediksi HVPG > 12 mmHg dengan akurasi moderat (73%). APRI dapat
digunakan sebagai nilai/indeks referensi untuk memprediksi varises esofagus
yang berat. Nilai APRI > 1.4 dengan sensitivitas 93.9% dan spesifisitas 60%
menjadi nilai indeks yang digunakan sebagai patokan untuk intervensi dini
varises esofagus yang berat.26 Studi oleh Cho EJ, dkk. membandingkan akurasi
beberapa biomarker dalam menilai CSPH dan varises esofagus pada pasien
sirosis akibat alkohol. Dalam studi tersebut FIB-4 dengan cut-off 4.1 untuk
mendeteksi CSPH menunjukkan sensitivitas 53.5%, spesifisitas 72.5% PPV
67.7% NPV 59.2% dengan nilai Area Under the Curve (AUC): 0.65 (95% IK:
0.5-0.8). Untuk mendeteksi varises esofagus risiko tinggi, nilai cut-off FIB-
4 2.6 menunjukkan sensitivitas 70%, spesifisitas 42.3 %, PPV 13.5% NPV
91.7% dengan nilai AUC 0.56 (0.4-0.73)29. Studi ini menunjukkan bahwa FIB-
4 memiliki akurasi yang rendah, baik dalam menilai CSPH ataupun varises
esofagus. Keterbatasan APRI dan FIB-4 adalah sangat dipengaruhinya nilai
aspartat aminotransferase (AST) dan alanin aminotransferase (ALT) oleh
derajat inflamasi, seperti pada hepatitis akut atau acute-on chronic liver failure
(ACLF).30 APRI memiliki nilai sensitivitas, spesifisitas, dan prediktif positif
yang rendah. Terlepas dari nilai prediktif negatif APRI yang cukup besar, APRI
tidak direkomendasikan untuk digunakan sebagai pengganti endoskopi dalam
melakukan skrining varises esofagus.31

2.1.3 Modalitas Pencitraan


Modalitas pencitraan yang dapat digunakan untuk penegakan diagnosis dan
evaluasi hipertensi portal diantaranya adalah ultrasonografi (USG) abdomen,
Magnetic Resonance Imaging (MRI), Computed Tomography (CT)-Scan, dan
elastografi transien.32

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 9


USG Abdomen
USG abdomen merupakan pemeriksaan yang bersifat non-invasif dan dapat
digunakan sebagai penunjang diagnostik, maupun follow-up, pada pasien
dengan penyakit hati kronik dan sirosis. USG abdomen merupakan metode
yang lebih aman dan murah dibandingkan CT-scan atau MRI abdomen dalam
menilai hipertensi portal atau fibrosis hati. Abnormalitas yang mendukung
adanya CSPH antara lain: adanya tanda sirosis hati, splenomegali, asites,
dilatasi vena porta, vena lienalis atau vena mesenterika, kolateral portosistemik
(rekanalisasi vena paraumbilikal, sirkulasi splenorenal spontan, dan pelebaran
vena gastrik), adanya aliran darah balik (hepatofugal) vena porta, serta
penurunan kecepatan aliran darah vena porta.31 Untuk mengetahui kondisi
aliran darah pada arteri dan vena hepatika serta vena porta, dapat digunakan
USG Doppler. Gambaran USG dengan M-mode pada limpa pasien dengan
hipertensi portal dapat dilihat pada Gambar 2.1.33

Gambar 2.1. Hasil pemeriksaan USG limpa pada pasien hipertensi portal.33

Gambar 2.1 menunjukkan adanya varises prominen (yang ditunjuk dengan


panah hitam) yang berada di sisi posterior limpa.33 Bentuk gelombang aliran
darah vena hepatika dapat digunakan sebagai prediktor untuk menilai derajat
keparahan hipertensi portal karena nilai tersebut dapat berhubungan dengan
nilai HVPG. Beberapa kelemahan USG Doppler adalah: operator dependent,
variabilitas intra- maupun inter-observer, dipengaruhi oleh inspirasi-ekspirasi,
adanya gas, asites, maupun obesitas.31

Beberapa parameter USG Doppler yang digunakan sebagai diagnosis


diantaranya adalah kecepatan aliran darah (velocity), arah aliran darah (flow
direction), damping index, indeks resistensi arteri splenika intraparenkim
(intraparenchymal splenic artery resistance index, SA-RI), indeks pulsatilitas
arteri mesenterika superior (superior mesenteric artery-pulsatility index/SMA-

10 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


PI), dan indeks resistensi arteri renalis interlobaris (right interlobar renal
artery resistive index/RRA-RI). Perhatikan Tabel 2.2.33

Tabel 2.2 Kemampuan Diagnostik Parameter Doppler

Studi Jumlah Etiologi Parameter Nilai titik Diagnosis Se/Sp/PPV/ AUROC


Subjek potong NPV (%)
Kondo, 236 Campuran Kecepatan aliran 12.8 cm/s Dekompen-sasi 68/75/68/75 0.7395
dkk.34
Arah aliran Hepato-fugal Prognosis 21.8/99.3/
70.6/60.6 -
Kim, 76 Campuran Damping index 0.6 Hipertensi Portal 75.9/81.8/ 0.860
dkk.35 Berat (HVPG >12 91.1/58.1
mmHg)
Vizzutti, 66 Virus SA-RI 0.6 Hipertensi Portal 84.6/70.4/ 0.82
dkk.36 Hepatitis C Berat 80/76

SMA-PI 2.7 Hipertensi Portal 85.7/65.2/ 0.78


Berat 79/75

RRA-RI 0.65 Hipertensi Portal 79.5/59.3/ 0.78


Berat 74/66

MRI dan CT-Scan


Modalitas ini dapat digunakan sebagai metode standar untuk diagnosis
karsinoma sel hati pada kondisi pasien dengan latar belakang penyakit hati,
termasuk sirosis. Akan tetapi, modalitas ini sulit digunakan untuk mendiagnosis
kondisi sirosis stadium awal. Namun demikian, pada kasus ditemukannya
komplikasi sirosis yang ditandai dengan asites dan pelebaran vena porta,
maka modalitas ini dapat digunakan. MRI dan CT-Scan merupakan metode
yang paling baik digunakan untuk melihat adanya perubahan morfologis dari
hepar dan jaringan di sekitarnya. Selain itu, untuk melihat adanya perubahan
hemodinamik, CT multidetektor mampu melakukan pemindaian hingga ukuran
submilimeter, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui kondisi vena
kolateral porto-sistemik dengan lebih baik. Sensitivitas dan spesifisitasnya
mencapai 93% dan 80% untuk mendeteksi varises esofagus. Modalitas CT-
Scan lainnya adalah Esofagografi CT multidetektor. Esofagografi memerlukan
insuflasi udara ke dalam esofagus melalui oral tube dan pasien diminta
menelan kapsul. Esofagografi CT multidetektor memerlukan evaluasi lebih
lanjut dalam penggunaannya. Metode pemeriksaan penunjang ini termasuk
aman, dapat dipercaya (reliabel), dan dapat digunakan sebagai alternatif pada
pasien yang tidak mampu menjalani esofagogastroduodenoskopi.2

Magnetic Resonance Elastography


Modalitas ini dapat menilai elastisitas hepar secara kuantitatif. Penggunaannya
dapat membedakan kontras antara jaringan tubuh yang berbeda dengan lebih
baik dibandingkan modalitas lain; seperti USG, CT Scan, dan MRI konvensional.

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 11


Keuntungan dari penggunaan alat ini adalah hasilnya tidak dipengaruhi oleh
habitus tubuh pasien, tidak bergantung pada operator, dan kemampuan
untuk menilai fungsi hepar secara menyeluruh. Akan tetapi, pemeriksaan ini
termasuk mahal dan tidak dapat dilakukan secara rutin pada praktik klinis.
Modalitas ini terutama ditujukan untuk penelitian.31

Elastografi Transien
Berdasarkan studi-studi yang telah dilakukan sebelumnya, progresivitas
akumulasi fibrosis hati yang mengarah pada sirosis berhubungan dengan
peningkatan kekakuan hati yang progresif. Elastografi transien (Fibroscan®)
merupakan metode yang paling sering digunakan dan tervalidasi dalam
menilai kekakuan hati secara non-invasif.32 Kekakuan hati memiliki korelasi
yang baik dengan HVPG (r= 0.55-0.86; p= <0.05) dan dapat mengidentifikasi
adanya CSPH. Konsensus Baveno VI merekomendasikan kekakuan hati >21
kPa dapat digunakan untuk mencurigai adanya CSPH pada pasien dengan
penyakit hati lanjut kompensata akibat infeksi virus.2,32

Seiring dengan terjadinya progresi hipertensi portal, terdapat pula peningkatan


ukuran limpa yang progresif akibat aliran darah balik ke limpa, hiperplasia,
peningkatan angiogenesis, dan fibrogenesis. Hal-hal tersebut kemudian akan
menghasilkan peningkatan kekakuan limpa.32 Terdapat korelasi yang baik
(r=0.78 p= <0.05) antara kekakuan limpa dengan hasil elastografi transien
dan HVPG. Studi pada pasien sirosis akibat hepatitis C menunjukkan ambang
batas kekakuan limpa <40 kPa untuk menyingkirkan kemungkinan CSPH
memiliki sensitivitas sebesar 98%. Sementara itu, ambang batas > 53 kPa
untuk mencurigai adanya CSPH memiliki spesifisitas sebesar 97%.37 Namun
demikian, pengukuran kekakuan limpa dengan elastografi transien memiliki
angka kegagalan hingga 15% - 20%.5

2.2 Pemeriksaan Invasif


2.2.1 Pemeriksaan Gradien Tekanan Vena Porta Hepatika (HVPG)
Pengukuran HPVG merupakan pemeriksaan baku emas untuk mengevaluasi
hipertensi portal pada penyakit hepar yang bersifat invasif, terpercaya, dan
bersifat indirek. HVPG yang diperiksa merupakan perbedaan antara WHVP
dan FHVP. WHVP diukur dengan cara mengoklusi vena hepatika sehingga
aliran darah berhenti dan terjadi stasis. Oklusi vena hepatika dapat dilakukan
dengan melalui distensi vena hepatika dengan balon kateter, sementara
balon kateter yang tidak didistensikan dapat digunakan untuk pengukuran
tekanan vena hepatika bebas (non-oklusi). Pada pasien dengan sirosis, HVPG
merupakan prediktor untuk menilai kesintasan dan risiko dekompensasi.
Sementara itu, pada pasien yang sudah mengalami dekompensasi, HVPG dapat
digunakan untuk menilai risiko mortalitas pasien. Selain itu, pengukuran
HVPG juga dapat digunakan sebagai indikator prognosis dan penilaian

12 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


efek terapi pada hipertensi portal, misalnya pada penggunan propanolol.25
Pengukuran dan monitoring HPVG penting sebagai panduan pemberian terapi
dan mengevaluasi efikasi terapi dengan melihat penurunan target tekanan.38
Hingga saat ini belum ada alternatif pemeriksaan HVPG non invasif yang dapat
menggantikannya.25

Monitoring perubahan HVPG perlu dilakukan karena berhubungan dengan


morbiditas dan mortalitas pasien. Studi menunjukkan bahwa jika nilai HVPG
dapat turun lebih dari 20% dari nilai baseline atau menurun hingga < 12 mmHg;
maka risiko pendarahan berulang, asites, ensefalopati dan kematian menurun
secara signifikan. Pada sirosis hati kompensata, penurunan HVPG > 10% dari
baseline menurunkan risiko terjadinya varises esofagus, pendarahan akibat
varises, dan kematian.39 Namun, hingga saat ini, belum ada pemeriksaan non-
invasif yang akurat dalam mendiagnosis perubahan HVPG. Studi retrospektif
oleh Choi SY,dkk. pada 23 pasien sirosis hati dengan pengukuran serial HVPG
menunjukkan bahwa perubahan derajat kekakuan hati menggunakan shear-
wave elastography berkorelasi dengan perubahan nilai HVPG. Masih perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar untuk
memvalidasi manfaat monitoring HVPG dengan elastografi hati.40

Pemeriksaan HVPG juga dapat digunakan sebagai monitoring dan pengukuran


prognosis pada pasien dengan penyakit hati kronik seperti yang dapat dilihat
pada Tabel 1.2.41 Akan tetapi, masih sedikit data yang mendukung monitoring
HVPG dalam penurunan target tekanan pada pasien yang diberikan profilaksis
primer dan validitas serta aplikabilitasnya masih dipertanyakan, sehingga
masih diperlukan berbagai studi yang mendukung.42

2.2.2 Esofagogastroduodenoskopi (EGD)


Esofagogastroduodenoskopi merupakan metode standar pemeriksaan untuk
melakukan diagnosis varises esofagogastrik dan untuk memprediksi risiko
pendarahan. Lokasi, ukuran, dan karakteristik varises esofagus dapat dinilai
dengan EGD. Kekurangan dari prosedur ini adalah metode yang cenderung
invasif, mahal, dan dapat menyebabkan beberapa komplikasi, seperti infeksi,
pendarahan, dan perforasi.7,37

Skrining EGD direkomendasikan pada semua pasien saat diagnosis sirosis


ditegakkan. Setelah dilakukan skrining endoskopi, pasien dengan varises
sedang atau besar harus dilakukan tatalaksana untuk mencegah pendarahan,
sementara pasien lainnya harus menjalani endoskopi surveilans secara
berkala. Skrining varises esofagus dengan endoskopi dianjurkan dilakukan
setiap dua tahun terhadap pasien sirosis hati tanpa riwayat varises esofagus
sebelumnya, yang belum mendapat terapi etiologi. Sementara itu, skrining
dianjurkan untuk dilakukan setiap tiga tahun jika pasien telah mendapat terapi.

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 13


Jika pada skrining awal didapatkan varises esofagus kecil, maka disarankan
endoskopi ulang setelah satu tahun jika belum mendapat terapi etiologi atau
setelah dua tahun jika sudah mendapat terapi etiologi. Jika pasien mengalami
dekompensasi, maka disarankan juga untuk dilakukan kembali EGD.7

2.2.3 Biopsi Hati dan Analisis Histol ogik


Biopsi hati merupakan pemeriksaan baku emas untuk diagnosis sirosis hati
yang selanjutnya dilakukan penilaian dengan sistem skoring untuk menilai
derajat dan stadium dari hepatitis kronik. Akan tetapi, pemeriksaan ini bersifat
invasif, sehingga penggunaannya bersifat terbatas. Risiko terjadinya kesalahan
dalam pengambilan sampel juga dapat memengaruhi hasilnya.2

Tabel 2.3 di bawah memperlihatkan rangkuman hasil temuan pemeriksaan


noninvasif dan invasif pada pasien sirosis dengan hipertensi portal.43

Tabel 2.3 Temuan pemeriksaan noninvasif dan invasif


pada pasien sirosis dengan hipertensi portal.43

Metode Diagnostik Temuan Pemeriksaan


Non-invasif
Ultrasonografi (USG)
Hepar permukaan ireguler, inhomogen, lesi fokal pada hepar
Vena porta dilatasi, trombosis +/-
Limpa splenomegali
Kolateral portosistemik, asites +
Pemeriksaan CEUS penyangatan periportal lambat/heterogen/homogen
Pencitraan potong lintang karakterisasi lesi fokal hepar yang lebih baik
Elastografi
Kekakuan hati ↑
Kekakuan limpa ↑
Invasif
Biopsi hati gambaran fibrosis dan perubahan arsitektur hepar
Hemodinamik hati FHVP normal, WHVP↑, HVPG↑,
keadaan sirkulasi hiperdinamik
Endoskopi varises esofagus dan gastropati hipertensi portal lebih sering,
varises gaster jarang ditemukan

14 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


BAB 3
Tatalaksana Hipertensi Portal

Penurunan tekanan portal yang efektif dapat menurunkan insiden komplikasi


sirosis pada pasien, serta meningkatkan kesintasan. Efek obat atau tindakan
intervensi pada tekanan portal dapat dinilai secara tidak langsung melalui
luaran klinis, seperti kejadian pendarahan varises, atau secara langsung
melalui penilaian HVPG. Pencapaian gradien tekanan kurang dari 12 mmHg
atau penurunan 20% dari nilai awal berhubungan dengan penurunan insiden
komplikasi yang signifikan.12

3.1 Asites
Sekitar 5-10% pasien sirosis mengalami asites tiap tahunnya. Munculnya
asites merupakan salah satu penanda prognosis buruk pada pasien sirosis,
dengan adanya penurunan kesintasan 5 tahun dari 80% pada pasien sirosis
kompensata menjadi 30% pada pasien sirosis dekompensata dengan asites.
Oleh karena itu, pasien dengan asites sebaiknya dipertimbangkan untuk
dilakukan transplantasi hati. Patofisiologi utama terjadinya asites adalah
retensi natrium oleh ginjal yang disebabkan oleh aktivasi sistem retensi natrium,
seperti sistem renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf simpatetik.
Menurunnya volume efektif akibat vasodilatasi arteri splanknik merupakan
penentu terjadinya balans cairan positif yang menyebabkan peningkatan
volume cairan ekstraselular.4 Klasifikasi asites dibagi berdasarkan banyaknya
cairan dalam rongga abdomen, seperti pada Tabel 3.1 di bawah ini.5,44

Tabel 3.1. Klasifikasi dan strategi tatalaksana asites berdasarkan tingkat keparahan.4

Klasifikasi dan definisi Strategi tatalaksana


Derajat 1 (asites ringan) Gambaran asites yang hanya terdeteksi Tidak diperlukan tatalaksana khusus
melalui pemeriksaan ultrasonografi
Derajat 2 (asites Gambaran asites berupa distensi Restriksi natrium dan pemberian diuretik
sedang) abdomen yang simetris
Derajat 3 (asites besar) Gambaran asites disertai distensi Parasentesis volume besar dan albumin
abdomen yang signifikan 8 gram/L cairan asites yang dikeluarkan,
diikuti dengan restriksi natrium dan
pemberian diuretik

Parasentesis diagnostik diindikasikan pada semua pasien dengan episode


pertama asites derajat dua atau tiga, serta pada semua pasien yang
membutuhkan perawatan akibat komplikasi sirosis. Penilaian kadar neutrofil,
protein total, dan konsentrasi albumin, serta kultur cairan sebaiknya dilakukan.
Kultur dengan setidaknya 10 mL cairan asites dilakukan untuk mengeksklusi
kemungkinan peritonitis bakterial. Peritonitis bakterial spontan ditegakkan
apabila kadar neutrofil lebih dari 250 sel/µL. Pada kasus dengan kecurigaan

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 15


penyebab asites tidak jelas, perhitungan gradien albumin serum-asites (SAAG)
dapat membantu dimana SAAG > 1.1 g/dL mengindikasikan keterlibatan
hipertensi portal dalam pembentukan asites. Pemeriksaan tambahan lain;
seperti amilase, sitologi, atau kultur Mycobacteria; disesuaikan dengan
gambaran klinis pasien.45 Seperti halnya pada pasien yang dicurigai mengalami
infeksi yang serius, maka kultur darah dan cairan asites harus diambil sebelum
regimen antibiotik diberikan pada pasien yang diduga mengalami SBP.46

3.1.1 Asites tanpa komplikasi


Asites tanpa komplikasi adalah asites yang tidak terinfeksi, tidak berulang,
dan tidak disertai dengan sindrom hepatorenal. Tidak ada tatalaksana khusus
terkait asites derajat 1. Pada asites derajat 2, restriksi natrium dan peningkatan
ekskresi natrium melalui diuretik membantu memperbaiki keseimbangan
natrium yang berlebih. Hingga saat ini, tidak ditemukan bukti kuat terkait
posisi tubuh tertentu pada tatalaksana asites, meskipun posisi tubuh tegak
mendukung reabsorpsi natrium oleh ginjal dan melemahkan respons
diuretik.47,48 Terjadinya asites derajat 2 atau 3 pada pasien sirosis berhubungan
dengan kesintasan yang lebih buruk. Oleh karena itu, transplantasi hati
sebaiknya tetap dipertimbangkan sebagai pilihan terapi potensial.4

Restriksi natrium
Pada pasien sirosis tanpa asites, restriksi natrium profilaksis tidak disarankan.
Sebaliknya, restriksi natrium memperbaiki asites pada 10% pasien, terutama
pada pasien dengan asites onset baru. Asupan natrium dipertahankan antara
80-120 mmol/hari setara dengan 4.6-6.9 gram garam/hari. Restriksi natrium
yang lebih ketat tidak direkomendasikan karena berisiko mengganggu status
nutrisi. Diet dengan asupan natrium yang sangat rendah (<40 mmol/hari),
sebaiknya dihindari karena dapat menimbulkan komplikasi akibat diuretik
dan mengganggu status nutrisi pasien. Restriksi cairan hanya disarankan
pada pasien hiponatremia hipervolemik dengan kadar natrium <130 mEq/L
disertai asites dan/atau edema.4,49

Diuretik
Tujuan pemberian diuretik adalah pencapaian balans cairan negatif yang
mengacu pada penurunan berat badan. Idealnya, penurunan berat badan tidak
melebihi 500 mg/hari pada pasien tanpa edema perifer dan tidak melebihi
1000 mg/hari pada pasien dengan edema perifer untuk menghindari kontraksi
volume plasma yang dapat menyebabkan gagal ginjal atau hiponatremia.50
Efektivitas pemberian diuretik dalam mengontrol asites sekitar 90% pada
pasien tanpa gangguan ginjal.49

Pada pasien sirosis, hiperaldosteronisme sekunder memainkan peran


utama dalam retensi natrium sehingga obat-obatan dengan kerja anti

16 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


mineralokortikoid (contoh: spironolakton, canrenone, K-canrenoate) menjadi
pilihan utama tatalaksana asites. Dosis maksimal yang direkomendasikan
adalah 400 mg/hari. Terkait dengan efek anti mineralokortikoid yang lambat,
dosis obat-obatan ini sebaiknya tidak dinaikkan dalam kurun waktu kurang
dari 72 jam.4

Pada pasien dengan asites yang sudah berlangsung lama, reabsorpsi natrium
pada tubulus proksimal dapat terjadi sehingga pada kelompok pasien ini,
diuretik kuat (loop diuretic) dapat diberikan. Perlu diingat, kelompok diuretik
ini sebaiknya dikombinasikan dengan, bukan menggantikan, kerja anti
mineralokortikoid. Indikasi pemberian anti mineralokortikoid tunggal atau
kombinasi dengan diuretik kuat hingga saat ini masih diperdebatkan. Hasil
penelitian yang membandingkan efektivitas pemberian anti mineralokortikoid
tunggal dengan dosis titrasi disertai pemberian diuretik kuat pada pasien
yang tidak respons dan pemberian kombinasi anti mineralokortikoid dan
diuretik kuat secara bersamaan menyimpulkan bahwa kombinasi anti
mineralokortikoid dan diuretik kuat merupakan pendekatan paling adekuat
pada pasien dengan asites rekuren, namun tidak direkomendasikan pada
pasien dengan episode awal asites. Pada pasien dengan asites onset awal
dapat diberikan anti mineralokortikoid tunggal dengan dosis awal 50-100 mg/
hari. Pasien dengan asites rekuren atau edema perifer sebaiknya diberikan
kombinasi spironolakton 100 mg/hari dengan furosemide 40 mg/hari. Bila
tidak didapatkan respons terapi yang adekuat, penilaian kepatuhan terhadap
diet rendah natrium dan terapi diuretik dilakukan melalui anamnesis dan
penilaian ekskresi natrium urin 24 jam.49 Bila rasio natrium/kalium urin >1,
maka pasien seharusnya memberikan respons baik terhadap terapi. Semakin
tinggi rasionya, semakin tinggi ekskresi natrium urin.51 Pada pasien dengan
kepatuhan yang baik, namun asites masih belum terkontrol, dosis diuretik
dapat ditingkatkan dengan menggandakan dosis (rasio 1:1) hingga dosis
maksimal spironolakton (400 mg/hari) dan furosemide (160 mg/hari)
tercapai. Setelah mobilisasi asites tercapai, dosis diuretik sebaiknya diturunkan
bertahap hingga dosis terendah yang dibutuhkan untuk mengontrol asites
agar dapat meminimalisasi efek samping.49 Pada pasien yang mendapatkan
antagonis aldosteron namun tidak memberikan respon terapi adekuat (i.e.
penurunan berat badan kurang dari 2 kg/minggu), atau pada pasien yang
mengalami kondisi hiperkalemia; maka furosemide dapat diberikan sebagai
terapi tambahan dengan menaikkan dosis bertahap (mulai dari 40 mg/hari
hingga 160 mg/hari; rentang kenaikan 40 mg)4,49.

Efek samping yang harus diperhatikan pada pemberian diuretik adalah


ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, seperti hiponatremia, dehidrasi,
gangguan ginjal, hiperkalemia atau hipokalemia, dan selanjutnya, ensefalopati
hepatikum. Untuk itu, diperlukan evaluasi elektrolit serum dan urin dalam
dua minggu awal inisiasi diuretik atau setelah modifikasi dosis. Selain itu,

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 17


terapi diuretik juga umumnya tidak direkomendasikan untuk pasien dengan
ensefalopati hepatikum overt dan persisten. Spironolakton juga memiliki
kecenderungan untuk menimbulkan ginekomastia dan kram otot pada
beberapa pasien. Pada pasien dengan efek samping yang signifikan, alternatif
diuretik yang diberikan adalah amiloride, meskipun efektivitasnya lebih
rendah dibandingkan antagonis aldosteron. Pada dasarnya, seluruh terapi
diuretik, baik furosemide maupun antagonis aldosteron, sebaiknya dihentikan
apabila timbul komplikasi hiponatremia berat (konsentrasi natrium serum <
125 mEq/L), gagal ginjal akut, perburukan ensefalopati hepatikum, atau kram
otot yang tidak dapat ditoleransi oleh pasien. Pemberian furosemide juga
sebaiknya dihentikan jika pasien mengalami hipokalemia berat (kadar kalium
serum < 3 mEq/L). Sebaliknya, antagonis aldosteron dapat dipertimbangkan
untuk dihentikan apabila timbul hiperkalemia berat (kadar kalium serum > 6
mEq/L).4,49

Pada pasien dengan asites besar atau derajat 3, pilihan terapi pertama adalah
parasentesis volume besar. Tindakan parasentesis umumnya memiliki risiko
komplikasi lokal yang sangat rendah, terutama pendarahan, bahkan pada
pasien dengan INR >1.5 atau trombosit <50,000/µL. Tidak ada bukti adekuat
yang mendukung transfusi profilaksis fresh frozen plasma (FFP) atau trombosit
konsentrat pada pasien sebelum parasentesis. Kontraindikasi dilakukannya
parasentesis volume besar antara lain pasien yang tidak kooperatif, infeksi
kulit abdomen pada titik pungsi, kehamilan, koagulopati berat (disertai
gambaran koagulasi intravaskular diseminata), dan distensi usus yang berat.52
Parasentesis volume besar sebaiknya dilakukan dengan panduan USG untuk
mencegah risiko efek samping.

Saat ini, parasentesis volume besar (lebih dari 5 liter) masih direkomendasikan
sebagai tatalaksana lini pertama pada pasien dengan asites masif atau asites
derajat 3, yang dilakukan dalam satu sesi tunggal. Bila dibutuhkan, parasentesis
volume besar juga dapat dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal akut atau
peritonitis bakterial spontan. Namun demikian, pengambilan cairan asites
dalam volume besar berpotensi menyebabkan penurunan volume efektif
darah lebih lanjut, yang disebut sebagai disfungsi sirkulasi pasca parasentesis.
Manifestasi klinis yang timbul berupa gagal ginjal, hiponatremia dilusional,
ensefalopati hepatikum, dan penurunan kesintasan. Untuk menghindari hal
tersebut, ekspansi volume plasma di akhir parasentesis perlu dilakukan.
Pemberian ekspander plasma, seperti dextran-70 (8 gram/L cairan asites yang
diambil), polygeline (150 ml/L), cairan saline (170 ml/L), memperlihatkan
efektivitas yang serupa dengan albumin 20% (8 gram/L) Ketika cairan yang
dikeluarkan kurang dari lima liter.49 Meta-analisis yang dilakukan oleh Bernardi,
dkk.53 memperlihatkan superioritas albumin dibandingkan ekspander plasma
lainnya dalam mencegah terjadinya disfungsi sirkulasi pasca parasentesis dan
komplikasi klinis lain, seperti hiponatremia dan risiko mortalitas. Tindakan

18 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


parasentesis volume besar disertai pemberian albumin lebih efektif dan
aman dibandingkan pemberian diuretik. Namun demikian, parasentesis tidak
mengatasi abnormalitas patofisiologi terjadinya asites sehingga pemberian
diuretik dibutuhkan untuk mencegah pembentukan asites kembali.49

Obat anti-inflamasi non steroid (OAINS) bekerja dengan menghambat sintesis


prostaglandin renal. Pada pasien sirosis dengan hipertensi portal, penggunaan
OAINS sebaiknya dihindari dengan pertimbangan OAINS dapat memperberat
kerusakan ginjal hingga mencetuskan sindrom hepatorenal. Penghambatan
sintesis prostaglandin menyebabkan penurunan perfusi ginjal, penurunan laju
filtrasi glomerulus dan retensi natrium yang nyata. Prostaglandin dibutuhkan
pada pasien sirosis untuk melawan kerja renin-angiotensin-aldosteron dan
sistem simpatetik yang menyebabkan vasokonstriksi ginjal. Pemberian OAINS
meningkatkan risiko gagal ginjal akut, hiponatremia, dan resistensi diuretik.
Pemeliharaan tekanan arteri yang adekuat pada pasien sirosis dengan asites
diperantarai oleh aktivasi sistem vasokonstriksi endogen. Oleh karena
itu, penggunaan obat-obatan penyekat reseptor angiotensin II, inhibitor
enzim pengubah angiotensin, dan penyekat adrenergik alfa-1 sebaiknya
dihindari karena dapat menyebabkan hipotensi arterial dan gangguan fungsi
ginjal. Antibiotik golongan aminoglikosida juga sebaiknya dihindari karena
meningkatkan insidensi nefrotoksisitas.49

Rekomendasi
Restriksi natrium dan tirah baring
1. Pada pasien dengan asites sedang tanpa komplikasi, konsumsi
natrium dibatasi 80-120 mmol/hari atau setara dengan 4.6-6.9 gram
garam/hari. (A1)
2. Diet dengan asupan natrium yang sangat rendah (<40 mmol/hari)
sebaiknya dihindari karena berisiko untuk terjadinya komplikasi
akibat diuretik dan mengganggu status nutrisi pasien. (B1)
3. Tirah baring berkepanjangan tidak disarankan terkait terbatasnya
bukti adekuat dalam tatalaksana asites. (C1)

Terapi diuretik
4. Pasien dengan episode pertama asites derajat 2 sebaiknya diberikan
antagonis aldosteron tunggal dengan dosis awal 100 mg/hari
dinaikkan bertahap setiap 72 jam (dengan rentang 100 mg) hingga
dosis maksimal 400 mg/hari bila respons belum adekuat. (A1)
5. Pasien yang tidak memberikan respons terhadap antagonis aldosteron
tunggal, didefinisikan sebagai penurunan berat badan kurang dari
2 kg/minggu, atau pada pasien yang mengalami hiperkalemia,
furosemide dapat diberikan sebagai terapi tambahan dengan titrasi
dosis bertahap mulai dari 40 mg/hari hingga dosis maksimal 160 mg/
hari (dengan rentang kenaikan 40 mg). (A1)

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 19


Rekomendasi
Terapi diuretik
6. Pasien dengan asites lama atau rekuren sebaiknya diberikan kombinasi
antagonis aldosterone dan furosemide, dengan titrasi dosis yang
disesuaikan dengan respon pasien. (A1)
7. Pada pasien dengan terapi diuretik, penurunan berat badan disarankan
tidak melebihi 500 mg/hari pada pasien tanpa edema perifer dan tidak
melebihi 1000 mg/hari pada pasien dengan edema perifer. (B1)
8. Bila asites sudah terkontrol, dosis diuretik diturunkan bertahap hingga
dosis terendah yang paling efektif. (C1)
9. Pada pasien dengan pendarahan saluran cerna, gangguan ginjal,
ensefalopati hepatikum, hiponatremia, atau gangguan pada konsentrasi
kalium serum, kelainan tersebut sebaiknya diatasi sebelum memulai
terapi diuretik. (C1)
10. Terapi diuretik umumnya tidak direkomendasikan pada pasien dengan
ensefalopati hepatikum overt yang persisten. (C1)
11. Evaluasi klinis dan elektrolit sebaiknya dilakukan pada minggu-minggu
awal dimulainya terapi diuretik untuk menilai terjadinya efek samping.
(A1)
12. Seluruh diuretik, baik furosemide maupun antagonis aldosteron,
sebaiknya dihentikan apabila timbul hiponatremia berat (konsentrasi
natrium serum <125 mEq/L), gagal ginjal akut, perburukan ensefalopati
hepatikum, atau kram otot yang tidak dapat ditoleransi. (C1)
13. Furosemide sebaiknya dihentikan apabila timbul hipokalemia berat
(<3 mEq/L). Antagonis aldosteron sebaiknya dihentikan apabila
timbul hiperkalemia berat (>6 mEq/L). (C1)

Parasentesis volume besar


14. Parasentesis volume besar (lebih dari 5 liter) merupakan terapi lini
pertama pada pasien dengan asites besar atau derajat 3, yang dilakukan
dalam satu sesi tunggal. (A1)
15. Pemberian ekspander volume plasma sebaiknya dilakukan setelah
parasentesis volume besar untuk menghindari terjadinya disfungsi
sirkulasi pasca parasentesis. (A1) Pemberian ekspander volume
plasma sebaiknya menggunakan albumin (8 gram/L cairan asites yang
dikeluarkan), karena lebih efektif dibandingkan pilihan ekspander
plasma lainnya. (A1)
16. Pasca parasentesis volume besar, pasien sebaiknya diberikan dosis
diuretik minimal untuk mencegah terbentuknya asites kembali. (A1)
17. Jika diperlukan, parasentesis volume besar dapat dilakukan pada
pasien dengan gagal ginjal akut atau peritonitis bakterial spontan. (C1)

20 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


Rekomendasi
Obat yang dikontraindikasikan pada pasien asites
18. Obat anti inflamasi non steroid sebaiknya tidak digunakan pada pasien
dengan asites karena meningkatkan retensi natrium, hiponatremia
dan gagal ginjal akut. (B1)
19. Penggunaan penyekat reseptor angiotensin II, inhibitor enzim
pengubah angiotensin, dan penyekat adrenergik alfa-1 sebaiknya
tidak digunakan pada pasien dengan asites terkait peningkatan risiko
gangguan ginjal. (B1)
20. Penggunaan aminoglikosida tidak disarankan terkait risiko gagal
ginjal akut yang meningkat, kecuali terdapat infeksi bakteri yang
tidak dapat diatasi dengan golongan antibiotik lain. (B1)

3.1.2 Asites refrakter


Asites refrakter adalah asites yang tidak dapat dimobilisasi atau berulang
cepat (misalnya, setelah parasentesis volume besar) yang tidak dapat dicegah
dengan terapi medikamentosa. Dengan kata lain, diet restriksi natrium dan
pemberian diuretik dosis maksimal tidak memberikan respons yang adekuat.
Kriteria diagnostik asites refrakter diperlihatkan pada Tabel 3.2 di bawah.
Asites refrakter merupakan salah satu penanda prognosis buruk untuk pasien,
dengan durasi kesintasan rata-rata selama enam bulan. Istilah lain, yaitu
asites rekuren, digunakan untuk mendefinisikan asites yang yang berulang
setidaknya tiga kali dalam satu tahun dan membutuhkan perawatan rumah
sakit akibat akumulasi berulang asites. Pasien dalam kategori ini membutuhkan
pendekatan terapeutik lain selain medikamentosa.4,49

Tabel 3.2. Definisi dan kriteria diagnostik asites refrakter.4


Definisi
Diuretic-resistant Asites yang tidak dapat dimobilisasi atau berulang cepat yang tidak dapat dicegah karena
ascites respons yang tidak adekuat dengan restriksi natrium dan terapi diuretik.
Diuretic-intractable Asites yang tidak dapat dimobilisasi atau berulang cepat yang tidak dapat dicegah karena
ascites munculnya komplikasi akibat diuretik yang menghambat tercapainya dosis efektif diuretik.
Kriteria Diagnostik
Durasi terapi Pasien sudah dalam terapi diuretik intensif (spironolakton 400 mg/hari dan furosemide
160 mg/hari) setidaknya satu minggu dan dalam restriksi natrium <90 mmol/hari.
Respons inadekuat Penurunan berat badan rerata <800 gram setelah empat hari dan ekskresi natrium urin
lebih rendah daripada asupan natrium.
Rekurensi awal asites Munculnya kembali asites derajat 2 atau 3 dalam waktu 4 minggu setelah mobilisasi awal.
Komplikasi akibat - Ensefalopati hepatikum akibat diuretik: ensefalopati yang timbul tanpa adanya faktor
diuretik pencetus lain.
- Gangguan ginjal akibat diuretik: peningkatan kreatinin serum >100% hingga >2 mg/dL
(177 µmol/L) pada pasien dengan asites yang respons terhadap terapi.
- Hiponatremia akibat diuretik: penurunan kadar natrium serum >10 mEq/L hingga
<125 mEq/L.
- Hipo- atau hiperkalemia akibat diuretik: perubahan kadar kalium hingga <3 mEq/L
atau >6 mEq/L.
- Kram otot yang tidak dapat dijelaskan.

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 21


Parasentesis volume besar dan terapi diuretik
Dalam penatalaksanaan asites refrakter, parasentesis volume besar
merupakan terapi yang aman dan efektif, yang disertai pemberian albumin
untuk mencegah disfungsi sirkulasi pasca parasentesis. Di sisi lain, pemberian
diuretik sebaiknya dihentikan saat penegakkan asites refrakter. Terapi diuretik
dapat dipertimbangkan untuk dilanjutkan apabila ditoleransi baik oleh pasien
dengan ekskresi natrium ginjal lebih dari 30 mmol/hari.49

Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS)


Pilihan terapi lainnya untuk asites refrakter adalah pembuatan pirau
portosistemik transjugular intrahepatik (TIPS), dimana stent intrahepatik
akan diletakkan di antara vena hepatika dan vena porta dengan tujuan
dekompresi portal untuk mencegah berulangnya asites. Gradien tekanan
portal yang diharapkan untuk mengontrol asites masih belum jelas, namun
dapat lebih rendah dari 12 mmHg, yang telah tervalidasi untuk mencegah
pendarahan berulang pada varises esofagus. Penempatan stent tersebut akan
merangsang vasodilatasi arteri perifer dalam jangka waktu yang singkat.
Dalam 4-6 minggu, akan terjadi peningkatan volume efektif dan fungsi ginjal,
yang kemudian meningkatkan ekskresi natrium ginjal. Meskipun demikian,
beberapa faktor dapat memperlambat natriuresis pasca TIPS, seperti usia
lanjut dan penurunan fungsi ginjal sebelum TIPS. Gangguan intrinsik ginjal
juga dapat menghambat efek natriuresis yang diharapkan. Selain mengontrol
asites, TIPS juga memberikan efek positif pada balans nitrogen dan nutrisi,
serta perbaikan kualitas hidup.49 Sebaliknya, komplikasi utama prosedur TIPS
adalah ensefalopati hepatikum yang terjadi pada hampir 50% pasien dengan
penggunaan bare stent graft.54,55 Angka komplikasi ini menurun hingga 18%
dengan penggunaan polytetrafluoroethylene (PTFE)-covered stent, terutama
dengan diameter 8 mm bila dibandingkan dengan stent berdiameter 10 mm.56,57
Umumnya, prosedur TIPS tidak direkomendasikan pada pasien dengan kadar
bilirubin serum > 3 mg/dl, hitung trombosit < 75,000, ensefalopati hepatikum
derajat > 2 atau kronik, infeksi penyerta aktif, gagal ginjal progresif, disfungsi
diastolik atau disfungsi sistolik berat, atau hipertensi pulmonal.4

Meta-analisis terkait efek klinis TIPS menggunakan bare stent pada pasien
dengan asites refrakter menyimpulkan dua hal: TIPS mampu mengontrol
asites refrakter lebih baik dibandingkan dengan parasentesis volume besar,
serta terdapat peningkatan insidensi ensefalopati hepatikum pasca dilakukan
TIPS.58 Dalam hal kesintasan, TIPS memperlihatkan hasil yang berbeda dan
inkonsisten terkait derajat keparahan penyakit. Data yang ada hingga saat ini
memperlihatkan perbaikan kesintasan pasca TIPS dibandingkan parasentesis
volume besar pada pasien dengan asites rekuren, namun tidak lebih baik pada
pasien dengan asites refrakter. Pemilihan kandidat pasien yang akan menjalani
TIPS menjadi langkah penting untuk memaksimalkan efek positif TIPS.4

22 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


Terapi lain
Vasodilatasi arteri splanknik berperan penting dalam patogenesis terjadinya
asites sehingga penggunaan vasokonstriktor telah diuji dalam tatalaksana
pasien dengan asites refrakter atau rekuren. Midodrin, suatu agonis
adrenergik alfa-1, dapat memperbaiki hemodinamik sistemik dan ekskresi
natrium oleh ginjal pada pasien sirosis dengan asites.59,60 Pada pasien sirosis
dengan asites refrakter, midodrin memperbaiki hemodinamik sistemik
secara signifikan tanpa komplikasi bermakna dan menunjukkan superioritas
dalam kontrol asites pada 3 bulan pasca inisiasi terapi, namun tidak pada 1
dan 6 bulan pemberian terapi. Angka mortalitas tampak lebih rendah pada
kelompok yang mendapat midodrin dibandingkan pasien yang mendapat
terapi standar.61 Terapi lain yang dapat dipertimbangkan untuk digunakan
adalah klonidin, agonis alfa-2 yang bekerja sentral sekaligus agen simpatolitik.
Klonidin telah dievaluasi sebagai terapi tambahan pada pasien dengan sirosis
dan asites refrakter. Pemberian klonidin sebagai terapi tambahan diuretik
pada pasien sirosis dan asites selama tiga bulan memberikan respons lebih
baik terhadap diuretik pada 60% kasus dibandingkan diuretik tunggal.62
Terapi lain yang telah dievaluasi pada kondisi sirosis hati dan asites refrakter
adalah antagonis reseptor vasopresin V2, berupa vaptan. Tolvaptan bekerja
pada ginjal dan merangsang diuresis. Uji acak terkontrol memperlihatkan
tolvaptan lebih efektif dibandingkan plasebo dalam mengatasi gejala klinis
terkait asites.63,64 Kendatipun demikian, efektivitas tolvaptan menurun seiring
dengan penghentian obat, sedangkan Food and Drug Administration (FDA)
menetapkan pemberian tolvaptan tidak lebih dari 30 hari. FDA juga tidak
merekomendasikan penggunaan vaptan pada pasien dengan penyakit hati
kronik karena kemungkinan terjadinya efek samping cedera hati berat masih
belum dapat disingkirkan.49 Oleh karena itu, penggunaan terapi-terapi lain
tersebut, hingga saat ini, masih belum dapat direkomendasikan untuk asites
refrakter dan rekuren karena masih membutuhkan validasi lebih lanjut melalui
uji acak klinis dengan power dan metodologi yang lebih baik dibandingkan
studi-studi sebelumnya.4

Alfapump® merupakan pompa subkutan dengan sumber energi menggunakan


baterai yang memindahkan asites dari rongga peritoneum ke kantong kemih.
Setiap 5-10 menit, sekitar 5-10 mL volume asites dipindahkan ke kantong
kemih, dengan rerata volume harian mencapai 500-2500 mL. Penelitian oleh
Bellot, dkk. dan Stirnimann, dkk. memperlihatkan Alfapump® menurunkan
jumlah dan volume parasentesis secara signifikan pada pasien dengan
sirosis lanjut dan asites refrakter.65,66 Meskipun demikian, tidak ditemukan
perbaikan kesintasan pada penggunaan Alfapump®. Sebaliknya, Alfapump®
dihubungkan dengan insidensi efek samping yang lebih tinggi, yang umumnya
digambarkan dengan gangguan ginjal akut.67

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 23


Pada pasien dengan asites refrakter yang bukan kandidat TIPS, dapat
dipertimbangkan pemilihan drainase kontinu. Kateter peritoneal dapat
diletakkan secara perkutan menggunakan teknik tunnel ataupun non­-tunnel
bergantung pada jenis kateter yang digunakan dan status klinis pasien. Dari
penelitian, didapatkan tingkat kesuksesan dalam hal teknik pemasangan
mencapai 100%. Angka patensi didapatkan cukup tinggi terutama pada
penggunaan kateter tunnel. Drainase dapat dilakukan di rumah dan angka
komplikasi cukup rendah dengan edukasi penggunaan kateter yang adekuat
pada pasien dan anggota keluarga. Frekuensi drainase dapat disesuaikan
dengan kebutuhan pasien. Meskipun demikian, terdapat beberapa efek
samping yang harus diwaspadai, yaitu hiponatremia, peningkatan kreatinin,
dan risiko infeksi.68,69 Penggunaan kateter drainase kontinu yang dibatasi
hanya 72 jam membuktikan tidak adanya infeksi yang terjadi.70 Di sisi lain,
penggunaan kateter drainase lebih dari 12 minggu berhubungan dengan
tingkat infeksi yang bermakna, terutama dalam hal terjadinya peritonitis.68,69

Rekomendasi
21. Parasentesis volume besar berulang disertai albumin (8 g/L cairan
asites yang dikeluarkan) direkomendasikan sebagai terapi lini
pertama untuk asites refrakter. (A1)
22. Diuretik sebaiknya dihentikan pada pasien asites refrakter tanpa
ekskresi natrium ginjal >30 mmol/hari dalam terapi diuretik. (C1)
23. TIPS dapat dipertimbangkan pada pasien dengan asites refrakter
atau rekuren (A1), atau pada kondisi parasentesis tidak efektif untuk
mengontrol asites. (C1)
24. Pemasangan TIPS direkomendasikan pada pasien dengan asites
rekuren terkait kesintasan yang lebih baik dan pada pasien dengan
asites refrakter terkait kontrol asites yang lebih baik. (A1)
25. Prosedur TIPS umumnya tidak direkomendasikan pada pasien
dengan bilirubin serum >3 mg/dl dan trombosit <75,000, ensefalopati
hepatikum derajat >2 atau kronik, infeksi penyerta yang aktif, gagal
ginjal progresif, disfungsi diastolik atau sistolik berat, atau hipertensi
pulmonal. (C1)
26. Hingga saat ini, terapi tambahan klonidin atau midodrin selain
diuretik tidak bisa direkomendasikan. (C1)
27. Penggunaan kateter drainase kontinu sebaiknya dipertimbangkan
pada pasien dengan asites refrakter yang bukan kandidat TIPS. Risiko
infeksi meningkat signifikan pada pasien dengan kateter drainase
lebih dari 12 minggu. (B1)

24 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


3.1.3 Hepatik hidrotoraks
Hepatik hidrotoraks adalah akumulasi cairan transudat di rongga pleura,
biasanya lebih dari 500 ml, pada pasien sirosis dekompensata tanpa penyakit
penyerta kardiopulmonal atau gangguan pleura.4,71,72 Sekitar 4%-10% pasien
sirosis lanjut mengalami komplikasi ini.71,72 Adanya tekanan negatif intratorakal
dan tekanan positif intraabdominal menyebabkan pergerakan cairan asites
melalui defek diafragma (lokus minoris) yang menyebabkan terjadinya
hepatik hidrotoraks. Lokus minoris tersebut biasanya berada pada bagian
tendinosa dari diafragma yang umumnya tertutup oleh pleuroperitoneum.
Hepatik hidrotoraks sangat jarang ditemukan tanpa adanya penyerta asites.72
Adanya komplikasi ini merupakan penanda prognosis buruk pada pasien
dengan rerata kesintasan 8-12 bulan.73,74

Ketika efusi pleura ditemukan pada pasien sirosis, kemungkinan penyebab


kardiopulmonal serta penyakit pleura primer perlu disingkirkan.
Torakosentesis diagnostik diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan
infeksi bakteri.4 Efusi pleura pada hepatik hidrotoraks umumnya ditemukan
pada pleura kanan disertai gambaran transudat dengan temuan analisis
cairan pleura berupa: hitung sel <250 polymorphonuclear leukocytes (PMN)/
mm3, konsentrasi protein <2.5 gram/dL, rasio protein cairan/serum <0.5
dengan gradien albumin serum-cairan pleura >1.1 gram/dL, dan rasio laktat
dehidrogenase (LDH) cairan/serum <2:3. Sama halnya dengan cairan asites,
hepatik hidrotoraks pada pasien sirosis mengandung kadar komplemen dan
aktivitas opsonisasi yang rendah. Hal ini menyebabkan pasien mudah jatuh ke
dalam kondisi empiema bakterial spontan.72

Terapi lini pertama dalam tatalaksana hepatik hidrotoraks adalah mengatasi


asites dengan diuretik dan/atau parasentesis volume besar. Tidak jarang, efusi
pleura bertahan meskipun asites telah teratasi (hepatik hidrotoraks refrakter).
Dalam kondisi ini, torakosentesis terapeutik tetap dibutuhkan. Torakosentesis
sebaiknya tidak lebih dari dua liter dalam satu sesi tunggal untuk menghindari
risiko edema pulmonal re-ekspansi.72 Pada kondisi hepatik hidrotoraks
rekuren, torakosentesis terapeutik hanya memberikan manfaat terapeutik
sementara dan dikaitkan dengan peningkatan risiko pneumotoraks, infeksi
pleura dan jaringan lunak, serta pendarahan akibat tindakan torakosentesis
berulang. Seringnya komplikasi tersebut menyebabkan penggunaan drainase
pleural jangka panjang tidak direkomendasikan. Dalam kondisi hepatik
hidrotoraks refrakter, transplantasi hati menjadi pilihan terbaik. Di sisi
lain, TIPS dapat menjadi terapi yang efektif atau menjadi terapi perantara
selama menunggu transplantasi hati. Pleurodesis dengan menggunakan
berbagai agen, seperti talc, tetrasiklin, doksisiklin, bleomisin dan povidone-
iodine, dapat menjadi pilihan dimana TIPS atau transplantasi hati tidak
memungkinkan. Angka keberhasilan pleurodesis mencapai 72%, meskipun

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 25


angka komplikasi yang menyertai cukup tinggi, yaitu sekitar 82%.75 Prosedur
torakoskopik menggunakan mersilene mesh cukup efektif pada pasien dengan
defek diafragma yang terlokalisasi dengan baik.76 Saat ini, pemasangan mesh
pada defek diafragma direkomendasikan untuk dilakukan pada pasien-pasien
yang memenuhi kriteria klinis yang sudah ditentukan sebelumnya. Hasil
terbaik dapat tercapai ada pasien dengan sirosis non-lanjut dengan fungsi
ginjal normal.4

Infeksi dari hidrotoraks dikenal sebagai empiema pleura bakterial spontan. Hal
ini cukup jarang terjadi, meskipun prevalensi pasti tidak diketahui. Empiema
bakterial spontan berhubungan dengan peritonitis bakterial spontan pada
sekitar 50% kasus. Diagnosis ditegakkan berdasarkan analisis cairan pleura
yang diambil melalui torakosentesis dengan ditemukannya kultur cairan
pleura yang positif disertai kenaikan neutrofil >250/mm3 atau kultur negatif
dengan kenaikan neutrofil >500/mm3.4

Rekomendasi
28. Pasien dengan hidrotoraks sebaiknya dievaluasi untuk eligibilitas
transplantasi hati. (C1)
29. Diuretik dan torakosentesis direkomendasikan sebagai lini pertama
tatalaksana hepatik hidrotoraks. (C1)
30. Torakosentesis terapeutik diindikasikan pada pasien dengan keluhan
sesak nafas. (C1)
31. Penggunaan drainase pleura jangka panjang sebaiknya tidak
digunakan terkait komplikasi. (B1)
32. Pada beberapa pasien, insersi TIPS direkomendasikan pada kasus
hepatik hidrotoraks rekuren. (B1)
33. Pleurodesis dapat disarankan pada pasien dengan hepatik hidrotoraks
refrakter yang tidak memungkinkan dilakukan transplantasi hati atau
insersi TIPS. Meskipun demikian, terjadinya komplikasi membatasi
dilakukannya pleurodesis pada beberapa pasien. (A2)
34. Perbaikan defek diafragma menggunakan mesh, disarankan sebagai
tatalaksana hepatik hidrotoraks pada pasien dengan sirosis tidak
lanjut tanpa disfungsi ginjal. (B2)
35. Empiema pleura bakterial spontan sebaiknya ditatalaksana seperti
peritonitis bakterial spontan.

3.1.4 Hiponatremia
Hiponatremia merupakan kelainan elektrolit tersering yang ditemukan pada
pasien sirosis tahap lanjut. Hiponatremia, didefinisikan sebagai kadar natrium
darah di bawah 130 mEq/L, yang dapat ditemukan pada 22% pasien sirosis.
Sekitar 6% pasien memiliki kadar natrium darah < 125 mEq/L dan 1.2%
pasien memiliki kadar < 120 mEq/L.77

26 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


Pada pasien sirosis, mayoritas kasus hiponatremia (90%) masuk dalam kondisi
hipervolemia (dilusional) akibat peningkatan volume cairan ekstraseluler.
Pasien sirosis mengalami penurunan volume efektif darah akibat vasodilatasi
sekunder arteri splanknik terhadap peningkatan produksi vasodilator. Hal
ini menyebabkan aktivasi dari sistem renin-angiotensin-aldosteron dan
penekanan ekskresi cairan akibat hormon antidiuretik yang berlebihan. Sekitar
10% kasus hiponatremia pada sirosis masuk dalam kondisi hipovolemia akibat
diuresis yang berlebihan.77 Hiponatremia hipovolemia biasanya ditemukan
pada pasien tanpa asites dan edema.4

Hiponatremia dikorelasikan dengan prognosis yang buruk. Pasien sirosis


dengan hiponatremia memiliki angka mortalitas dan morbiditas yang lebih
tinggi, termasuk angka kesintasan setelah transplantasi hati yang lebih
rendah. Hal ini mendorong dimasukkannya komponen natrium ke dalam
perhitungan skor Model for End-Stage Liver Disease (MELD) yang dikenal
sebagai MELD-Na. Skor MELD-Na merupakan prediktor kesintasan yang lebih
baik pada kandidat transplantasi hati, terutama pada pasien dengan asites
dan hiponatremia disertai skor MELD sedang (skor 15-24). Penggunaan
MELD-Na dikorelasikan dengan penurunan 7% kematian selama masa tunggu
transplantasi dibandingkan skor MELD konvensional.78

Tatalaksana hiponatremia dipertimbangkan saat kadar natrium darah di


bawah 130 mEq/L. Hiponatremia hipovolemia membutuhkan ekspansi
volume plasma menggunakan cairan saline dan tatalaksana faktor penyebab.
Sebaliknya, target tatalaksana hiponatremia hipervolemik adalah balans cairan
negatif. Restriksi cairan non-osmotik membantu mencegah penurunan kadar
natrium serum lebih lanjut, namun jarang memperbaiki kondisi hiponatremia.
Pemberian cairan hipertonik natrium klorida pada pasien dengan sirosis
dekompensata dapat memperbaiki kondisi hiponatremia, namun dapat pula
menginduksi terjadinya kondisi volume cairan berlebih dan memperburuk
asites serta edema, sehingga penggunaannya harus dibatasi pada pasien
dengan hiponatremia berat simptomatik yang dapat mengancam nyawa.
Selain itu, penggunaan cairan hipertonik natrium klorida dapat diberikan
pada pasien dengan hiponatremia berat yang akan menjalani transplantasi
hati dalam beberapa hari ke depan. Koreksi cepat lebih dari 8 mEq/L dalam
24 jam sebaiknya dihindari terkait risiko terjadinya sindroma demielinisasi
osmotik. Transplantasi hati merupakan tatalaksana definitif untuk penyakit
hati lanjut dengan hiponatremia. Di sisi lain, pemberian albumin intravena
juga menunjukkan manfaat. Meskipun demikian, data lebih lanjut dengan
studi jangka panjang diperlukan untuk mengonfirmasi temuan ini.4

Vaptan merupakan antagonis selektif reseptor arginine-vasopresin V2 pada


duktus kolektivus yang bekerja pada ekskresi cairan bebas. Studi pada pasien
dengan hiponatremia hipervolemia dilusional menyimpulkan tolvaptan

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 27


memperbaiki konsentrasi natrium serum hingga lebih dari 135 mEq/L
pada 41% pasien selama 4 hari dan 33% pasien pada hari ke-30. Meskipun
demikian, FDA mengeluarkan peringatan keras terkait penggunaan tolvaptan
pada pasien dengan penyakit hati terkait peningkatan enzim hati pada
pasien dengan penyakit ginjal polikistik autosomal dominan.79,80 Suatu meta-
analisis terkait efektivitas dan keamanan vaptan pada pasien sirosis dengan
hiponatremia menunjukkan bahwa vaptan memperbaiki konsentrasi natrium
serum dan mobilisasi asites, namun tidak ditemukan perbaikan kesintasan.81

Rekomendasi
36. Hiponatremia (kadar natrium darah < 130 mEq/L) pada pasien
sirosis dihubungkan dengan prognosis yang buruk, terkait dengan
peningkatan mortalitas dan morbiditas. Kelompok pasien ini
sebaiknya dievaluasi untuk transplantasi hati. (B1)
37. Tatalaksana penyebab dan pemberian cairan normal saline dapat
dipertimbangkan pada kondisi hiponatremia hipovolemia. (C1)
38. Restriksi cairan hingga 1000 ml/hari dapat dipertimbangkan sebagai
tatalaksana hiponatremia hipervolemik untuk mencegah penurunan
lebih lanjut kadar natrium. (C1)
39. Penggunaan cairan hipertonik dalam tatalaksana hiponatremia
hipervolemia sebaiknya dibatasi hanya pada pasien dengan komplikasi
yang mengancam nyawa. Koreksi kadar natrium serum sebaiknya
diperlambat (< 8 mEq/L per hari) bila gejala telah teratasi untuk
menghindari komplikasi neurologis, seperti demielinisasi osmotik.
(B1)
40. Pemberian albumin dapat disarankan pada kondisi hiponatremia
hipervolemia. Namun, data yang ada masih sangat terbatas untuk
mendukung penggunaannya. (B2)
41. Vaptan tidak disarankan untuk penggunaan rutin pada pasien sirosis
dengan kondisi hiponatremia. (C1)

3.1.5 Peritonitis bakterial spontan


Peritonitis bakterial spontan (spontaneous bacterial peritonitis/ SBP) adalah
infeksi bakteri pada cairan asites tanpa sumber infeksi intraabdomen yang
jelas. Peritonitis bakterial spontan sering ditemukan pada pasien sirosis
dengan asites. Prevalensi SBP pada pasien sirosis rawat jalan adalah sekitar
1.5% - 3.5% sedangkan pada pasien rawat inap mencapai 10%.82

Translokasi bakteri dari usus, perubahan mekanisme pertahanan sistemik, dan


defisiensi aktivitas antimikrobial pada cairan asites merupakan kunci penting
terjadinya SBP. Translokasi bakteri terjadi akibat adanya pertumbuhan bakteri
yang berlebihan (bacterial overgrowth) akibat gangguan transit kolon pada
pasien sirosis. Hipertensi portal menyebabkan peningkatan permeabilitas

28 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


kolon melalui hipoksia mukosa dan kerusakan oksidatif, stasis vaskular
splanknik, serta kongesti mukosa kolon. Adanya peningkatan permeabilitas
mukosa kolon mendukung terjadinya translokasi bakteri dari kelenjar getah
bening ke darah dan kemudian masuk ke cairan asites. Perubahan sistem
imun sistemik diperlihatkan dengan adanya gangguan aktivitas fagositik
pada sistem retikuloendotelial. Di sisi lain, kadar C3 dan aktivitas opsonisasi
cairan asites yang rendah menyebabkan penurunan aktivitas antimikrobial
pada cairan asites. Konsentrasi protein cairan asites memiliki korelasi positif
dengan aktivitas opsonisasi cairan asites sehingga kadar protein cairan yang
rendah (< 1 gram/dL) merupakan faktor risiko SBP.72

Pasien dengan SBP dapat memiliki satu atau lebih gejala berikut: gejala
dan/atau tanda peritonitis lokal: nyeri abdomen, muntah, diare, ileus; tanda
inflamasi sistemik: hiper- atau hipotermia, menggigil, abnormalitas jumlah
leukosit, takikardi, dan/atau takipneu; perburukan fungsi hati; ensefalopati
hepatikum; syok; gangguan ginjal; atau pendarahan saluran cerna.

Penegakkan diagnosis SBP memerlukan parasentesis diagnostik dengan


menilai analisis dan kultur cairan asites. Diagnosis SBP ditegakkan bila
ditemukan peningkatan hitung PMN absolut > 250 sel/mm3 pada cairan
asites, yang disebut sebagai asites neutrositik, tanpa adanya sumber infeksi
intraabdomen. Jika kultur cairan asites terbukti positif disertai asites
neutrositik maka diagnosisnya adalah asites neutrositik dengan kultur positif.
Jika kultur asites negatif pada asites neutrositik, maka diagnosisnya menjadi
asites neutrositik pada kultur negatif. Di sisi lain, bila pasien dengan kultur
positif dari cairan asites tanpa disertai asites neutrositik maka diklasifikasikan
sebagai bakterasites.82

Penyebab tersering SBP yang ditemukan dari kultur adalah Escherichia coli,
Klebsiella pneumoniae, dan Streptococcus pneumoniae. Kultur organisme
ditemukan positif pada 60% - 70% kasus, sedangkan sisanya merupakan SBP
dengan kultur negatif.49 Sebagian pasien dapat menunjukkan nilai PMN <250/
mm3 namun dengan kultur cairan asites yang positif. Kondisi bakterasites
ini dapat ditemukan pada kolonisasi bakteri sekunder akibat infeksi
ekstraperitoneal.4

Tatalaksana SBP
Prognosis pasien dengan SBP sangat buruk. Angka mortalitas selama
perawatan masih tinggi, yaitu sekitar 20% - 40%. Pentingnya diagnosis
dini dan pemberian terapi yang adekuat merupakan langkah penting dalam
memperbaiki prognosis pasien.49 Terapi antibiotik empirik harus diberikan
segera setelah diagnosis SBP ditegakkan. Pemberian antibiotik empirik
pada SBP sebaiknya disesuaikan dengan kemungkinan bakteri penyebab
(community-acquired, health care-associated, atau nosokomial), derajat
keparahan infeksi, dan profil resistensi lokal.4

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 29


Pemberian terapi dilakukan berdasarkan pada diagnosis yang ditegakkan.
Pada kasus SBP, terapi antibiotik diberikan berdasarkan kultur resistensi
mikroorganisme. Pasien SBP dengan kultur negatif atau positif ditatalaksana
dengan prinsip yang sama. Pada kasus asites non-neutrositik monomikrobial,
terapi antibiotik juga diberikan berdasarkan hasil kultur pada pasien
bergejala. Pada bakterasites polimikrobial, diberikan terapi antibiotik
golongan sefalosporin generasi ketiga ditambahan anti-anaerobik, seperti
metronidazole.83

Sefalosporin generasi ketiga menunjukkan efektivitas yang baik dalam terapi


SBP. Resolusi infeksi didapatkan pada 77%-98% pasien.84 Durasi pemberian
terapi selama 5 hari menunjukkan efektivitas yang sama dengan durasi 10
hari.85 Sebagai alternatif, amoksisilin/klavulanat (diberikan secara intravena,
lalu dilanjutkan secara per oral) menunjukkan resolusi infeksi dan angka
mortalitas yang sebanding dengan sefotaksim dengan biaya yang lebih
murah,86 namun dengan risiko terjadinya hepatitis imbas obat yang lebih
sering.87 Pemberian siprofloksasin intravena selama 7 hari menunjukkan
resolusi infeksi yang serupa.88

Dalam beberapa tahun terakhir, terlihat penurunan efektivitas sefotaksim


yang dicurigai akibat pemberian profilaksis norfloksasin dan prosedur invasif.
Pada negara dengan tingkat resistensi sefalosporin generasi ketiga yang tinggi,
piperasilin/tazobaktam atau karbapenem merupakan antibiotik pilihan.49
Pasien dengan sirosis tahap lanjut rentan terhadap infeksi yang disebabkan
oleh organisme resisten multi-obat (multi-drug resistant organisms) akibat
perawatan rumah sakit yang berulang, prosedur invasif, serta pajanan
terhadap antibiotik yang sering.89,90 Hal ini terlihat pada pasien dengan SBP
nosokomial yang menunjukkan respon yang buruk terhadap sefalosporin
generasi ketiga pada 25% - 66% kasus.49 Pada SBP nosokomial, golongan
piperasilin/tazobaktam atau karbapenem merupakan antibiotik pilihan.
Pada kondisi dicurigai adanya carbapenemase-producing dan carbapenem-
resistant non-carbapenemase-producing Enterobacteriaceae, dapat diberikan
tigesiklin atau kombinasi tigesiklin dengan karbapenem. Pada kondisi lain
dimana terdapat infeksi berat akibat Pseudomonas aeuruginosa yang resisten
terhadap karbapenem dan kuinolon, pemberian kombinasi amikasin/
tobramisin atau kolistin + karbapenem/seftazidim dapat menjadi pilihan. Bila
ditemukan adanya Enterococci yang resisten terhadap vankomisin, sebaiknya
diberikan terapi dengan linezolid, daptomisin, atau tigesiklin. Adanya bakteri
yang resisten meningkatkan risiko kematian akibat SBP hingga empat kali.
Oleh karena itu, de-eskalasi antibiotik perlu pula dilakukan berdasarkan hasil
kultur resistensi untuk meminimalisasi risiko resistensi90,91

Selain terapi antibiotik, pemberian albumin intravena sebagai terapi tambahan


pada pasien SBP menunjukkan penurunan signifikan insidensi sindrom

30 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


hepatorenal tipe 1 dan penurunan angka mortalitas dibandingkan dengan
pasien yang hanya mendapat terapi antibiotik.92 Pemberian probiotik dapat
digunakan sebagai terapi kombinasi dengan norfloksasin pada salah satu studi
acak terkontrol yang dilakukan pada kelompok pasien sebagai pencegahan
primer dan sekunder SBP. Tidak ada manfaat tambahan yang dilaporkan.93

Rekomendasi
42. Terapi antibiotik empirik sebaiknya dimulai segera setelah diagnosis
SBP ditegakkan. (B1)
43. Golongan sefalosporin generasi ketiga direkomendasikan sebagai
antibiotik lini pertama untuk community-acquired SBP pada negara
dengan tingkat resistensi bakteri yang rendah (A1). Pada negara
dengan tingkat resistensi yang tinggi, piperasilin/tazobaktam atau
carbapenem sebaiknya dipertimbangkan (B1).
44. Health care-associated SBP dan SBP nosokomial lebih mungkin untuk
menunjukkan resistensi terhadap antibiotik. Piperasilin/tazobaktam
sebaiknya diberikan pada area dengan resistensi multiobat yang
rendah sedangkan karbapenem sebaiknya diberikan pada area
dengan prevalensi ESBL-producing enterobacteriaceae yang tinggi.
Karbapenem sebaiknya dikombinasikan dengan glikopeptida atau
daptomisin atau linezolid untuk area dengan prevalensi tinggi bakteri
gram positif multi-drug resistance (MDR). (A1)
45. De-eskalasi antibiotik dilakukan berdasarkan hasil kultur resistensi
untuk meminimalisasi risiko resistensi. (B1)
46. Efektivitas antibiotik sebaiknya dievaluasi melalui parasentesis kedua
pada 48 jam setelah terapi dimulai. Kegagalan antibiotik lini pertama
perlu dicurigai jika terdapat perburukan tanda/gejala klinis dan/atau
peningkatan atau tidak adanya penurunan (setidaknya 25%) dari
jumlah leukosit dalam 48 jam. (B1)
47. Durasi terapi antibiotik sebaiknya diberikan selama 5-7 hari. (C1)

Profilaksis SBP
Terdapat tiga populasi pasien yang berisiko tinggi mengalami SBP: (1) pasien
dengan pendarahan gastrointestinal akut, (2) pasien dengan konsentrasi
protein dalam cairan asites yang rendah (<1 g/dL) tanpa riwayat SBP
sebelumnya (profilaksis primer), dan (3) pasien dengan riwayat SBP
sebelumnya (profilaksis sekunder).4 Suatu penelitian membandingkan pasien
sirosis dengan kadar protein cairan asites yang rendah dengan gangguan hati
lanjut (skor Child-Pugh > 9 dan kadar bilirubin serum > 3 mg/dL) atau adanya
gangguan fungsi ginjal atau hiponatremia yang mendapatkan norfloksasin
atau dengan plasebo sebagai terapi profilaksis primer. Pasien sirosis dengan
konsentrasi protein cairan asites yang rendah dan/atau kadar bilirubin
serum yang tinggi memiliki risiko terjadinya episode pertama SBP yang

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 31


lebih besar. Pemberian norfloksasin (400 mg/hari per oral) jangka panjang
memperlihatkan perbedaaan rekurensi yang signifikan antara kelompok
kontrol dan kelompok yang mendapat norfloksasin (68% vs 20%).93 Pada
pasien dengan riwayat SBP, angka kumulatif terjadinya rekurensi dalam
1 tahun mencapai 70%. Oleh karena itu, pasien yang sembuh dari episode
akut SBP sebaiknya dipertimbangkan untuk transplantasi hati. Penggunaan
norfloksasin menurunkan probabilitas terjadinya rekurensi dari 68% menjadi
20%.4

Pada kondisi tidak tersedianya norfloksasin, siprofloksasin 500 mg/hari


direkomendasikan sebagai profilaksis primer maupun sekunder. Suatu uji
kontrol tersamar ganda membuktikan bahwa pemberian siprofloksasin
pada kelompok pasien dengan asites dan konsentrasi protein dalam cairan
asites yang rendah (<1.5 g/dL) menunjukkan probabilitas kesintasan satu
tahun yang lebih tinggi dibandingkan kelompok plasebo (86% vs 66%;
p<0.04).94 Selain siprofloksasin, trimetroprim-sulfametoksazol oral 960
mg/hari, levofloxacin oral 250 mg/hari, atau seftriakson 1 gram intravena/
hari dapat menjadi alternatif.95–97 Profilaksis primer dan sekunder diberikan
hingga manifestasi klinis asites teratasi atau dilakukannya transplantasi hati,
atau kematian. Dengan kata lain, profilaksis SBP diberikan selama masih
ditemukannya asites.97 Hasil meta-analisis menemukan bahwa pemberian
profilaksis menunjukkan efek preventif yang bermakna terhadap SBP (RR 0.2;
95% CI 0.07-0.52; p=0.001).98,99

Rekomendasi
48. Profilaksis primer dengan norfloksasin (400 mg/hari)
direkomendasikan pada pasien dengan skor Child-Pugh > 9 dan
bilirubin serum > 3 mg/dL, dengan gangguan fungsi ginjal atau
hiponatremia, dan konsentrasi protein cairan asites <1.5 g/dL. (A1)
49. Pemberian profilaksis sekunder dengan norfloksasin (400 mg/hari
per oral) direkomendasikan pada pasien yang baru pulih dari episode
SBP. (A1)
50. Siprofloksasin 500 mg/hari, levofloxacin 250 mg/hari, atau
trimetroprim-sulfametoksazole oral 960 mg/hari dapat menjadi
alternatif antibiotik profilaksis, baik primer maupun sekunder.(B1)
51. Antibiotik profilaksis diberikan hingga jangka waktu yang tidak dapat
ditentukan selama masih ditemukan adanya asites (B1) atau dapat
dihentikan bila ditemukan perbaikan klinis yang menetap. (C1)
52. Pasien yang baru pulih dari SBP memiliki kesintasan jangka panjang
yang buruk dan sebaiknya dipertimbangkan untuk transplantasi hati.
(B1)

32 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


3.2 Gangguan Ginjal
Gangguan ginjal dapat terjadi pada pasien dengan sirosis yang ditandai dengan
adanya peningkatan kreatinin serum ≥ 1.5 mg/dL atau terjadi peningkatan
kreatinin serum > 50% dari baseline dengan indeks Laju Fitrasi Glomerulus
(LFG) ≤ 40 mL/menit.100 Penggunaan pemeriksaan kreatinin serum sebagai alat
diagnostik untuk evaluasi fungsi ginjal pada pasien dengan sirosis hati masih
memiliki beberapa keterbatasan. Namun demikian, hingga saat ini, metode
pemeriksaan tersebut masih menjadi pilihan utama dalam menentukan
diagnosis gangguan ginjal pada pasien dengan kelainan hati. Gangguan ginjal
yang dapat terjadi merupakan gagal ginjal akut dan penyakit ginjal kronik.
Alur tatalaksana gangguan ginjal pada pasien sirosis dapat dilihat pada
Gambar 3.1.100-102

Gambar 3.1. Algoritme Tatalaksana Pasien Gangguan Ginjal dengan Sirosis103


(Diadaptasi dari Allegretti dkk, 2020)

Tatalaksana Acute Kidney Injury (AKI)


Penyebab AKI harus diperiksa sesegera mungkin untuk mencegah progresi AKI
dan untuk tatalaksana segera pada fase awal. Selain itu, meskipun penyebab
AKI masih belum diketahui, penggunaan diuretik dan penghambat beta
harus dihentikan. Tatalaksana selanjutnya dengan skrining dan pengobatan
terhadap infeksi yang dialami, rehidrasi bilamana diperlukan, dan penghentian
obat-obatan nefrotoksik, seperti vasodilator atau OAINS. Penggantian volume
cairan harus berdasarkan dengan penyebab dan keparahan dari hilangnya
cairan. Pasien dengan diare atau diuresis berlebih harus ditangani dengan
kristaloid, sementara pasien dengan pendarahan saluran cerna akut harus
diberikan transfusi darah untuk mempertahankan Hb dengan rentang 7-9
g/dL. Transfusi darah pada prinsipnya dilakukan secara restriktif karena
semakin tinggi Hb, maka semakin tinggi tekanan portal dan risiko untuk

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 33


pendarahan kembali juga semakin besar. Pada pasien dengan AKI dan asites
derajat 3, parasentesis terapeutik harus disertai dengan pemberian albumin
intravena untuk memperbaiki fungsi ginjal. Pada kondisi AKI stadium > 1A
dengan penyebab yang tidak diketahui, pemberian larutan albumin 20%
dengan dosis 1 gram albumin/kgBB (maksimal 100 gram albumin) untuk dua
hari berturut-turut direkomendasikan. Pilihan terapi lainnya, terutama Terapi
Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy/RRT) dan transplantasi ginjal,
dapat menjadi pilihan untuk tatalaksana lanjutan.102,103

Rekomendasi
53. Penyebab AKI dapat berupa obat diuretik, penghambat beta,
vasodilator, OAINS, dan obat nefrotoksik. (B1)
54. Pada kondisi tidak ditemukannya penyebab AKI yang jelas, stadium
AKI > 1A atau AKI yang diinduksi infeksi, larutan albumin 20% harus
diberikan secara intravena pada dosis 1 gram albumin/kgBB/ hari
(maksimal 100 gram albumin) selama dua hari berturut-turut. (C1)
55. Pada pasien dengan asites derajat 3 dan AKI, parasentesis terapeutik
masih dapat tetap dilakukan, disertai dengan pemberian albumin
intravena. (C1)

Prognosis
Pada pasien dengan sirosis dekompensata, AKI memiliki dampak pada laju
harapan hidup di rumah sakit berdasarkan pada stadium awal atau akhir.
Adanya temporary AKI juga berkaitan dengan penurunan angka harapan
hidup. Pasien dengan sirosis dekompensata berisiko tinggi mengalami AKI
berulang dan kemudian dapat berkembang menjadi Penyakit Ginjal Kronik
(PGK).103

3.2.1 Sindrom Hepatorenal/Hepatorenal Syndrome (HRS)


Definisi, Diagnosis, dan Klasifikasi
Sindrom Hepatorenal merupakan kondisi gagal ginjal yang disebabkan oleh
vasokonstriksi yang terjadi pada pasien dengan penyakit hati stadium akhir
seperti halnya pasien dengan kegagalan hati akut atau hepatitis alkoholik.
Gabungan antara Hepatorenal Syndrome-Acute Kidney Injury (HRS-AKI) dapat
terjadi pada pasien dengan PGK tipe 1 dan 2 yang ditandai dengan peningkatan
kadar kreatinin serum. HRS tipe 2 atau HRS non-AKI (NAKI) harus memenuhi
kriteria HRS, namun tidak boleh memenuhi kriteria AKI.102,104

Patofisiologi
HRS dapat terjadi pada kondisi hipoperfusi ginjal karena gangguan
mikrosirkulasi, seperti pada vasodilatasi arteri splanknik dan penurunan curah
jantung. Teori yang menjelaskan mekanisme ini adalah melalui peningkatan

34 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


sitokin pro-inflamasi dan kemokin yang dapat berperan secara langsung
terhadap perkembangan HRS. Sitokin-sitokin tersebut berhubungan dengan
terjadinya gangguan ginjal pada studi hewan dengan sirosis dan infeksi. Hasil
percobaan ini mendukung bahwa AKI maupun HRS-AKI berhubungan dengan
adanya infeksi bakteri.

Inflamasi dan gangguan mikrovaskular merupakan dua faktor yang saling


mempengaruhi secara sinergis pada patofisiologi sindrom hepatorenal. Secara
umum, hubungan antara inflamasi dan gangguan mikrovaskular berpengaruh
pada amplifikasi sinyal yang dikeluarkan oleh PAMPs dan DAMPs pada
sel-sel epitel dari tubulus proksimal. Proses pengenalan sinyal ini, serta
penyaluran sinyal pada sel-sel epitel tubulus proksimal lain yang terjadi
kemudian, akan menyebabkan terjadinya proses downregulation metabolik
yang diperantarai oleh mitokondria. Selain itu, mekanisme transduksi sinyal
tersebut juga menyebabkan terjadinya perubahan prioritas fungsi sel menjadi
lebih mengutamakan viabilitas sel. Peningkatan kadar natrium klorida ke
makula densa akan memicu aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron
dan menurunkan laju filtrasi glomerulus (LFG). Selain itu, kolestasis juga
dapat memperburuk fungsi ginjal melalui peran garam empedu yang dapat
mencetuskan inflamasi, mengganggu sirkulasi, dan merusak tubulus ginjal.105

Tatalaksana
Tatalaksana yang dapat dipertimbangkan adalah tatalaksana non spesifik,
diantaranya adalah terapi medikamentosa, TIPS, terapi pengganti ginjal,
sistem pendukung ginjal, transplantasi hepar, transplantasi hepar-ginjal
secara simultan, dan pencegahan HRS.4

Terapi Medikamentosa
Pilihan terapi medikamentosa yang dapat diberikan pada pasien HRS-
AKI berupa terapi vasokonstriktif yang dikombinasikan dengan albumin.
Terapi vasokonstriktif akan menetralisasi vasodilatasi arteri splanknik dan
memperbaiki perfusi ginjal. Contoh obat yang digunakan adalah terlipresin
(analog vasopresin).4 Dari dua meta-analisis yang telah dilakukan, didapatkan
bahwa pemberian terlipresin dan albumin terbukti dapat memperbaiki fungsi
ginjal dan, dalam jangka pendek, meningkatkan laju harapan hidup pada pasien
dengan HRS. 106,107 Terlipresin awalnya diberikan secara bolus intravena dengan
dosis 0.5 – 1 mg setiap 4-6 jam dan ditingkatkan maksimal hingga 2 mg setiap
4-6 jam jika terdapat penurunan kreatinin serum < 25%. Terlipresin berperan
dalam menurunkan curah jantung pasien HRS. Penambahan albumin juga
menunjukkan efikasi terapi yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian
terlipresin saja. Albumin memiliki sifat antioksidan dan antiinflamasi. Hingga
saat ini, belum ada kepastian mengenai dosis albumin yang dapat diberikan,
namun pertimbangan dosis pemberian dapat dilakukan berdasarkan pada

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 35


tekanan vena pusat/central venous pressure (CVP). Albumin dapat diberikan
dengan dosis 20-40 gram/hari. Terapi albumin harus dipertahankan hingga
terdapat adanya perubahan tuntas (kadar kreatinin di bawah 1.5 mg/dL)
selama maksimal 14 hari atau perubahan parsial (penurunan kadar kreatinin
≥ 50 % dengan nilai akhir lebih tinggi dari 1.5 mg/dL) atau pada kasus yang
tidak menunjukkan adanya perubahan. Saat ini, juga direkomendasikan agar
albumin 1.5 gram/kgBB diberikan pada hari pertama dalam waktu 6 jam sejak
diagnosis SBP ditegakkan dan pada hari ke-3 diberikan 1 gram/kgBB untuk
mencegah AKI pada SBP.4

Pemberian terlipresin intravena secara kontinu pada dosis awal 2 mg/hari


menunjukkan laju perubahan yang sama dengan efek samping lebih rendah
dibandingkan dengan pemberian terlipressin secara bolus intravena.108
Terlipresin intravena yang diberikan secara kontinu juga memiliki efek
penurunan lebih stabil pada tekanan portal bahkan saat diberikan dalam dosis
rendah. Efek samping terlipresin berupa diare, nyeri abdomen, komplikasi
kardiovaskular berupa iskemia, dan kondisi volume cairan berlebih dapat
ditemukan pada kurang lebih 45-56% pasien yang mendapat terlipressin
secara bolus intravena. Pengobatan ulang dengan terlipresin umumnya masih
efektif, namun terdapat risiko rekurensi serta angka rawat inap yang lebih
tinggi dengan pengobatan jangka panjang.4,108

Efek terlipresin dapat berbeda pada satu pasien dengan pasien lainnya,
tergantung pada derajat kegagalan hati. Pada pemberian terlipressin dan
albumin, jika terjadi penurunan kreatinin serum tidak lebih dari 30%
dibandingkan baseline, maka dosis terlipressin dapat dipertimbangkan
untuk dinaikkan sebanyak 1 mg/hari atau maksimal 14 hari terapi. Pada
pasien yang memerlukan terapi terlipresin 5 hari, dan jika kreatinin serum
meningkat pada saat terapi, maka terlipresin harus dilanjutkan setelah 5 hari
dan diindikasikan untuk melakukan transplantasi hati sebagai terapi definitif.
Strategi konvensional untuk mengatasi HRS dengan terlipresin adalah dengan
dosis 0.5 – 1.0 mg setiap 4-6 jam dalam bentuk bolus dan ditingkatkan dosisnya
sebanyak dua kali lipat setiap dua hari hingga dosis maksimal 12 mg/hari jika
kreatinin tidak menurun > 25%. Terapi dapat diperpanjang selama 2 minggu,
namun dapat diakhiri lebih awal jika terdapat respon komplit HRS.4

Selain terlipresin, terdapat beberapa pilihan terapi vasokonstriktif lain yang


dapat digunakan. Noradrenalin dapat diberikan dalam bentuk infus kontinu
dengan dosis 0.5-3 mg/jam dan dinilai sama efektifnya dalam menurunkan
tekanan arteri rata-rata, mengembalikan fungsi ginjal, dan meningkatkan laju
harapan hidup dalam 1 bulan. Pemberian noradrenalin memerlukan akses vena
sentral dan, di beberapa negara, harus dilakukan di unit perawatan intensif.4
Target peningkatan rerata tekanan arteri adalah setidaknya 10 mmHg atau

36 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


peningkatan produksi urin > 200 ml/4 jam. Midodrin dan octreotide dapat
menjadi pilihan ketika terlipresin atau noradrenalin tidak tersedia, namun
efektivitasnya lebih rendah dibandingkan dengan terlipresin.109 Respon
komplit didapatkan apabila kadar kreatinin mencapai rentang normal. Respon
parsial terjadi bila ditemukan regresi AKI ke stadium lebih rendah, meskipun
nilai kreatinin tidak mencapai rentang normal. Sementara itu, midodrin dapat
diberikan dengan dosis awal sebesar 7.5 mg/8 jam (dosis maksimal 15 gram/8
jam). Dosis octreotide yang dapat diberikan sebesar 50 mcg/jam subkutan atau
infus kontinu dengan dosis 100-200 mcg/8 jam.110 Secara ringkas, pemberian
terapi vasokonstriktor untuk sindrom hepatorenal dapat dilihat pada Tabel
3.3.4,110

Kejadian tidak diinginkan melalui penggunaan terlipresin atau noradrenalin


meliputi kejadian iskemia terkait komplikasi kardiovaskular, sehingga
diperlukan pemeriksaan elektrokardiografi sebelum inisiasi terapi. Pasien dapat
dirawat di ruang rawat biasa, namun dengan pengawasan ketat.4,111 Pengobatan
ulang dengan terlipresin dapat dilakukan jika terdapat rekurensi HRS-AKI
pasca penghentian obat. Terlipresin dan albumin efektif dalam pengobatan
HRS tipe 1, maupun HRS tipe 2. Rekurensi yang terjadi pasca penghentian
obat dapat terjadi, dan terdapat pula kemungkinan adanya efek samping pada
terapi jangka panjang. Pemberian terapi vasokonstriktif bersamaan dengan
albumin tidak dikontraindikasikan, namun tidak direkomendasikan karena
dari hasil-hasil studi yang ada tidak meningkatkan laju harapan hidup pada
pasien HRS-NAKI, terutama pasien yang akan menjalani transplantasi hati.4
Pemberian noradrenalin perifer dapat meningkatkan risiko kerusakan kulit
setelah terjadinya ekstravasasi noradrenalin melalui jalur intravena. Ketika
terjadi ekstravasasi, dapat terjadi pula kerusakan berat, nekrosis kulit, hingga
amputasi. Namun demikian, secara umum, angka kejadian ekstravasasi
tergolong rendah.112

Rekurensi HRS setelah akhir terapi dapat terjadi hingga 20% kasus dan dapat
dlakukan pengobatan ulang dengan pemberian terlipresin dan albumin.
Secara umum, efikasi pemberian terapi ulang cukup baik. Namun, dalam
beberapa kasus, dapat terjadi rekurensi secara kontinu, sehingga terapi jangka
panjang dengan terlipresin dan albumin serta rawat inap diperlukan. Saat ini
kombinasi terapi farmakologis lainnya, seperti noradrenalin atau kombinasi
midodrin per oral dan octreotide, yang masing-masing dikombinasikan
dengan albumin dapat dipergunakan. Pemberian noradrenalin intravena
secara kontinu terbukti memiliki efektivitas yang sama dengan terlipresin
dengan memperhatikan peningkatan rerata tekanan arteri, perbaikan fungsi
ginjal, dan perbaikan angka harapan hidup dalam 1 bulan.4

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 37


Tabel 3.3. Dosis Rekomendasi Vasokontriktor pada Sindrom Hepatorenal4,109,110

Terapi Terlipresin Noradrenalin Midodrin Octreotide


Dosis Dosis bolus intravena Infus kontinu dengan Dosis inisial 7.5 mg/8 Dosis 50 mcg/jam
Rekomendasi inisial 0.5 - 1 mg dosis 0.5-3 mg/jam. jam subkutan atau infus
setiap 4-6 jam kontinu dengan dosis
Atau Dosis maksimal 15 100-200 mcg/8 jam
Atau
Pemberian dosis awal gram/8 jam
Dosis infus kontinu 0.5 mg/jam, dinaikkan
2 mg/hari, setelah 2 0.5 mg/jam setiap 4
hari dosis dinaikkan jam hingga maksimal
maksimal 12 mg/hari 3 mg/jam (bila salah
satu dari target
Atau kenaikan MAP
Dosis tetap (1 mg minimal 10 mmHg
setiap 8-12 jam) yang atau peningkatan
dinaikkan 2 mg setiap keluaran urin > 200
4 jam mL/4 jam tidak
tercapai).
Durasi Tatalaksana hingga Tatalaksana hingga Tatalaksana hingga Tatalaksana hingga
kadar kreatinin serum kadar kreatinin serum kadar kreatinin serum kadar kreatinin serum
≤ 1.5 mg/dL atau ≤ 1.5 mg/dL atau ≤ 1.5 mg/dL atau ≤ 1.5 mg/dL atau
durasi maksimal 14 durasi maksimal 14 durasi maksimal 14 durasi maksimal 14
hari terapi hari terapi hari terapi hari terapi

Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunts (TIPS)


Penggunaan TIPS dapat memperbaiki fungsi ginjal pada pasien dengan HRS
tipe 1. Akan tetapi, penggunaan TIPS masih terbatas dan dikontraindikasikan
pada pasien dengan gagal hati derajat berat. Studi-studi sebelumnya
telah menunjukkan peran TIPS pada pasien dengan HRS tipe 2 dan dalam
tatalaksana asites refrakter. TIPS dapat memperbaiki fungsi ginjal pada
pasien HRS tipe 2.113

Terapi Pengganti Ginjal/Renal Replacement Therapy (RRT)


Terapi pengganti ginjal (RRT) harus diberikan pada pasien AKI. RRT
harus dipertimbangkan pada pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir.
Indikasi untuk RRT sama antara pasien sirosis dan non-sirosis, yaitu
ketidakseimbangan asam basa, ketidakseimbangan elektrolit refrakter dan/
atau berat. Pemberian RRT dapat meningkatkan kesintasan pada semua pasien
AKI dengan kegagalan hati berat, maupun pada pasien yang sakit kritis tanpa
penyakit hati. Hemodialisis maupun RRT kontinu/continuous RRT (CRRT)
dapat diterapkan pada pasien dengan sirosis, meskipun bukti yang ada masih
belum banyak tersedia. CRRT berkontribusi terhadap stabilitas jantung dan
pembuluh darah yang lebih baik dibandingkan dengan hemodialisis.104 Selain
itu, CRRT juga berkontribusi terhadap koreksi natrium yang lebih lambat pada
kondisi hiponatremia berat atau refrakter;4 sehingga dapat meminimalisasi
risiko terjadinya sindrom demielinisasi osmotik dibandingkan dengan apabila
dilakukan hemodialisis.

38 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


Sistem Penyokong Hepar
Dari dua studi terkontrol, didapatkan bahwa sistem penyokong hepar dengan
Sistem Resirkulasi Adsorben Molekuler/Molecular Adsorbents Recirculating
System (MARS®) atau Prometeus menunjukkan efek yang bermanfaat pada
pasien dengan HRS tipe 1, namun masih perlu validasi lebih lanjut.114

Transplantasi Hati dan Transplantasi Hati-Ginjal secara Simultan


Pilihan tatalaksana definitif terbaik pada pasien dengan HRS adalah
tranplantasi hati/Liver Transplantation (LT). Studi-studi yang ada sebelumnya
menunjukkan adanya peningkatan kadar kreatinin serum pada pasien
HRS setelah dilakukan LT, serta angka harapan hidup yang lebih rendah
setelah dilakukan LT pada pasien dengan HRS. Simultaneous Liver-Kidney
transplantation (SLK) dapat diindikasikan pada pasien sirosis dan PGK dengan
kondisi berikut:4
a. Estimasi Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) (dengan menggunakan persamaan
MDRD) bernilai ≤ 40 mL/menit atau LFG yang terukur menggunakan
klirens iotalamat bernilai ≤ 30 mL/menit.
b. Proteinuria ≥ 2 gram per hari.
c. Biopsi ginjal menunjukkan > 30% glomerulosklerosis atau > 30% fibrosis
interstitial.
d. Penyakit metabolik yang diturunkan.

SLK juga diindikasikan pada pasien dengan sirosis dan AKI yang menetap,
apapun tipenya, termasuk HRS-AKI ketika refrakter terhadap terapi obat pada
kondisi berikut ini:4
a. AKI pada RRT ≥ 4 minggu, atau
b. LFG estimasi ≤ 35 mL/menit atau LFG yang terukur ≤ 25 mL/menit selama
≥ 4 minggu.

SLK dapat dipertimbangkan pada kondisi adanya faktor risiko yang mendasari
PGK yang tidak terdiagnosis (diabetes mellitus, hipertensi, pencitraan ginjal
abnormal, dan proteinuria > 2 gram/hari).115

Pemeriksaan UNGAL
UNGAL (Urinary Neutrophil Gelatinease-associated Lipocalin) merupakan
salah satu penanda yang dapat digunakan untuk mendeteksi disfungsi ginjal.
UNGAL dapat digunakan juga untuk mendeteksi derajat keparahan dan luaran
klinis dari AKI. Selain itu, pemeriksaan ini juga dapat memprediksi luaran
mortalitas pada pasien dengan sirosis dan SBP. Biomarker ini diekspresikan
secara berlebihan pada tubulus ginjal ketika terjadi trauma pada ginjal. UNGAL
dinilai memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik dalam mendeteksi dan
membedakan penyebab AKI pada pasien sirosis.116 Setelah terjadi trauma pada
ginjal, maka UNGAL akan meningkat, baik pada urin maupun plasma. Akan

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 39


tetapi, konsentrasinya lebih banyak berada di urin (5 kali lipat) dibandingkan
di plasma, sehingga deteksi UNGAL pada urin cenderung lebih mudah
dibandingkan deteksi UNGAL pada plasma. Bukti-bukti yang ada sebelumnya,
menunjukkan UNGAL yang terdeteksi lebih tinggi pada pasien dengan sirosis
hati dan AKI, dibandingkan dengan pasien tanpa AKI. Kadar UNGAL juga lebih
tinggi secara bermakna pada pasien dengan AKI persisten, dibandingkan
dengan pada pasien AKI transien. Pada populasi dengan AKI, kadar UNGAL juga
ditemukan lebih tinggi secara signifikan pada pasien dengan nekrosis tubular
akut, dibandingkan dengan pasien HRS tipe 1, azotemia pra-renal, atau PGK.117

Pada sirosis hati, diagnosis banding meliputi azotemia pra-renal, HRS, dan
AKI yang bersifat intrinsik.49 Perubahan hemodinamik pada HRS dengan
konstriksi pembuluh darah ginjal dan penurunan LFG dapat dipertimbangkan
pada kondisi pra-renal. Kerusakan glomerulus dan tubulus akut pada ginjal
pasien dengan HRS juga dilaporkan dalam beberapa studi, yang kebanyakan
disebabkan oleh aktivasi kronik dari jalur transduksi sinyal angiotensin-
aldosteron. Hal ini yang menjelaskan mengapa kadar UNGAL pada pasien
HRS berada di antara nilai pada kelainan pra-renal maupun ATN. Salah satu
studi yang dilakukan oleh Hamdy, dkk. menunjukkan nilai UNGAL yang setara
dengan 21.70 ± 7.31 ng/mg kreatinin pada pasien dengan azotemia pra-renal,
115.53 ± 68.19 ng/mg kreatinin pada pasien HRS, dan 240.83 ± 116.94 ng/
mg kreatinin pada pasien ATN. Pada pasien yang hidup, nilai rata-rata UNGAL
mencapai 73.46 ± 111.87, sementara pada kelompok pasien yang mengalami
kematian menunjukkan kadar UNGAL yang lebih tinggi secara bermakna, yaitu
104.96 ± 84.17 (p = 0.009).118 UNGAL merupakan protein kecil (25 KDa) yang
dihasilkan oleh beberapa organ, termasuk ginjal, paru, lambung, dan kolon.
Kadar UNGAL akan meningkat dan dilepaskan ke urin apabila terjadi kondisi
iskemia atau nefrotoksisitas. Peningkatan konsentrasi UNGAL dalam urin
terjadi sangat cepat (dalam dua jam) setelah iskemia terjadi.117 Pemeriksaan
UNGAL sangat berguna untuk mendeteksi AKI pada stadium dini. Pada kondisi
terjadinya sepsis, syok septik, pencitraan dengan kontras, operasi jantung,
politrauma, dan hipotermia, kadar UNGAL juga dapat ditemukan meningkat.119
Kadar UNGAL cenderung lebih tinggi pada kondisi ATN dibandingkan HRS AKI
dan azotemia prerenal/PGK. Pada pasien HRS AKI, kadar UNGAL cenderung
lebih tinggi pada pasien yang mengalami infeksi. Penanda biologis ini juga
dapat digunakan untuk memprediksi mortalitas pada pasien sirosis dengan
AKI. UNGAL dapat berasal dari sel leukosit, lengkung Henle, dan duktus
kolektivus, yang akan dilepaskan ke plasma atau urin. Keterbatasan utama
dari pemeriksaan UNGAL adalah spesifisitas yang tidak terlalu tinggi karena
peningkatan kadar UNGAL dapat terjadi pada kondisi PGK atau inflamasi. Studi-
studi yang ada sebelumnya merekomendasikan nilai potong UNGAL 194 µg/
gram kreatinin untuk membedakan HRS tipe 1 dengan nekrosis tubular akut,
dimana diagnosis nekrosis tubular akut dipikirkan ketika nilai UNGAL > 194
µg/gram, sementara diagnosis HRS atau AKI dengan penyebab lain dipikirkan

40 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


bila nilai UNGAL < 194 µg/gram. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan
pada penggunaan UNGAL adalah tidak dapat dilakukannya pemeriksaan
UNGAL pada pasien dengan anuria, validitas hasil pemeriksaan UNGAL pada
pasien dengan oliguria berat, perbedaan kemampuan diagnostik UNGAL pada
fenotipe-fenotipe yang berbeda, serta kemungkinan peningkatan UNGAL pada
pasien dengan infeksi. 118

Pencegahan Sindrom Hepatorenal


Pencegahan HRS-AKI, seperti halnya penyebab AKI lainnya dilakukan
pemberian albumin pada pasien yang menunjukkan gejala SBP dan
pencegahan SBP dengan norfloksasin. Selain itu, penggunaan pentoksifilin
dapat menurunkan insidensi gagal ginjal pada pasien dengan sirosis dan
HRS tipe 1, seperti halnya menurunkan angka mortalitas pada pasien dengan
hepatitis alkoholik berat. Studi lebih lanjut tetap dibutuhkan untuk validasi
penemuan-penemuan ini.120

Rekomendasi
56. Terlipresin dan albumin harus dipertimbangkan sebagai lini pertama
terapi HRS-AKI. (A1)
57. Larutan albumin harus diberikan pada pasien dengan HRS-AKI yang
dilakukan monitoring rutin. (B1)
58. Noradrenalin dapat digunakan sebagai alternatif terlipresin. (A1)
59. Pengobatan ulang dengan terlipresin dapat dilakukan jika terdapat
rekurensi HRS-AKI pasca penghentian obat. (A1)
60. Terlipresin dan albumin efektif dalam pengobatan HRS tipe 1 maupun
HRS tipe 2. (A1)
61. TIPS dapat dipertimbangkan sebagai tatalaksana dalam HRS-AKI
maupun HRS-NAKI. (B2)
62. Transplantasi hati merupakan pilihan terbaik untuk pasien dengan
HRS, tanpa melihat respon terhadap terapi medikamentosa. (A1)
63. Keputusan untuk memulai terapi pengganti ginjal harus berdasarkan
pada derajat keparahan penyakit. (A2)
64. Indikasi untuk transplantasi hati-ginjal masih kontroversial. Tindakan
ini harus dipertimbangkan pada pasien dengan PGK signifikan atau
AKI yang menetap, termasuk HRS-AKI tanpa respon terhadap terapi
medikamentosa. (B1)
65. Albumin 1.5 gram/kgBB diberikan pada hari pertama dalam waktu 6
jam sejak diagnosis SBP ditegakkan dan pada hari ketiga diberikan 1
gram/kgBB untuk mencegah AKI. (A1)

3.3 Pendarahan Saluran Cerna


Pendarahan saluran cerna yang dapat terjadi pada pasien dengan sirosis
dekompensata yang mengalami hipertensi portal diantaranya adalah
pendarahan varises gastroesofageal.121

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 41


3.3.1 Diagnosis Varises
Pasien dengan sirosis dekompensata menunjukkan gambaran CSPH, sekaligus
berisiko tinggi terjadinya varises gastroesofagus. Ketika ditemukan kondisi
dekompensata, pasien tanpa varises pada pemeriksaan endoskopi sebelumnya
sebaiknya menjalani pemeriksaan endoskopi ulang terkait adanya perburukan
hipertensi portal dan disfungsi hati yang meningkatkan risiko timbulnya
varises. Pemeriksaan baku emas untuk mendiagnosis varises esofagus adalah
EGD. Ada tidaknya varises beserta lokasi, ukuran, dan karakteristiknya
dapat dinilai melalui EGD. Faktor-faktor yang dinilai dan berkaitan dengan
pendarahan varises adalah ukuran dan ketebalan dinding varises.122 Di sisi
lain, pemeriksaan EGD merupakan pemeriksaan invasif, mahal, dan berisiko
terjadinya komplikasi, seperti infeksi, pendarahan, dan perforasi.7,123 Saat ini,
terdapat studi-studi yang menilai metode non-invasif untuk memprediksi
varises esofagus risiko tinggi dan dapat menunda kebutuhan EGD skrining.124

Pasien dengan varises esofagus derajat tinggi cenderung memiliki skor Child-
Pugh yang lebih besar.125 Studi potong lintang yang dilakukan pada 37 pasien
sirosis menunjukkan korelasi positif antara varises esofagus dengan derajat
yang lebih tinggi dan skor Child-Pugh yang lebih besar (stadium sirosis lebih
lanjut).126 Studi di RSCM menunjukkan adanya varises risiko tinggi pada 20%
pasien sirosis hati dengan Child-Pugh A. Angka ini meningkat menjadi 75%
pada pasien dengan sirosis hati Child-Pugh C.127 Nilai trombosit juga dikaitkan
dengan derajat varises esofagus yang ditemukan pada pemeriksaan EGD. Nilai
trombosit juga cenderung lebih rendah pada pasien dengan berbagai derajat
varises esofagus dibandingkan dengan pasien tanpa varises esofagus. Lebih
lanjut, nilai trombosit ditemukan lebih rendah pada pasien dengan varises
esofagus derajat II dan III (varises besar) dibandingkan pada pasien dengan
varises esofagus derajat I. Ambang batas trombosit yang ditemukan adalah
130 x 103/mm3 dengan sensitivitas 95% dan spesifisitas 95%. Ambang batas
yang lebih rendah yaitu 80 x 103/mm3 merupakan prediktor adanya varises
esofagus besar dengan sensitivitas 91.2% dan spesifisitas 86.7%.128 Nilai
trombosit berkorelasi negatif dengan derajat varises esofagus pada pasien
sirosis.128,129

Rasio trombosit dan diameter limpa diuji sebagai suatu penilaian sederhana
dan non-invasif untuk memprediksi varises. Satu studi yang menggunakan
ambang batas 909 (N/mm3)/mm memiliki akurasi diagnosis sebesar 86%
dengan sensitivitas 91.5%, spesifisitas 67%, Positive Predictive Value (PPV)
76.6%, dan Negative Predictive Value (NPV) 87%.130 Suatu meta-analisis yang
menilai metode ini mendapatkan angka spesifisitas 78% dan 67% untuk
memprediksi varises dan varises risiko tinggi, secara berurutan.131

42 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


Hasil studi non-invasif yang menggabungkan kekakuan hati dan nilai
trombosit menunjukkan hanya <5% pasien dengan varises risiko tinggi yang
dapat terlewat diagnosisnya dengan penggunaan modalitas ini. Sementara itu,
20%-40% EGD dapat dihindari pada pasien dengan kekakuan hati <20 kPa
(berdasarkan elastografi transien) dan nilai trombosit >150.000/mm3.132-137
Eliminasi virus juga terbukti dapat menurunkan derajat kekakuan hati dan
meningkatkan nilai trombosit. Studi terbaru pada pasien dengan hepatitis B dan
hepatitis C yang mencapai respons virus menetap menunjukkan hasil serupa.
Studi ini juga menunjukkan bahwa dengan mengombinasikan kekakuan hati
<20 kPa dan nilai trombosit >150.000/mm3, 25% EGD dapat dihindari dan
hanya 1% varises esofagus risiko tinggi yang terlewat diagnosisnya.135

Kekakuan limpa merupakan metode yang menjanjikan untuk mendiagnosis


dan menyingkirkan diagnosis varises risiko tinggi. Dengan penggunaan acoustic
radiation force impulse (ARFI), suatu studi dengan ambang batas kekakuan
limpa 3.3 m/s mengidentifikasi pasien dengan varises risiko tinggi (NPV
99.4% dan sensitivitas 98.9%). Nilai kekakuan limpa <3.3 m/s menyingkirkan
dugaan varises risiko tinggi pada pasien dengan sirosis kompensata atau
dekompensata.138

Studi lain yang mengombinasikan kekakuan limpa (berdasarkan elastografi


transien) dengan kriteria Baveno VI menunjukkan bahwa jika hasil pemeriksaan
kekakuan limpa pada pasien yang tidak memenuhi kriteria Baveno VI sebesar
< 46 kPa, maka pasien tidak akan menjalani EGD. Model kombinasi Baveno VI
dan kekakuan limpa <46 dapat mengurangi tindakan EGD hingga 37.4% tanpa
adanya varises risiko tinggi yang terlewat.2

Studi terbaru terkait metode non-invasif untuk mendeteksi varises risiko


tinggi menggunakan Mac-2 binding protein glycosylation isomer (M2BPGi),
yang merupakan penanda fibrosis hati dan digunakan untuk menilai adanya
fibrosis pada penyakit hati kronik akibat berbagai etiologi.139 Dari hasil
studi yang dilakukan di Indonesia, didapatkan bahwa kadar M2BPGi dapat
digunakan sebagai penanda non-invasif untuk mengeksklusi adanya varises
esofagus risiko tinggi pada pasien sirosis dengan sensitivitas 92.6% dan
spesifisitas 88.9% pada cut-off 5 COI. Studi ini juga menunjukkan sensitivitas
yang lebih baik dari M2BPGi dibandingkan dengan Kriteria Baveno VI
(expanded); serta spesifisitas yang lebih baik dibandingkan dengan kriteria
Baveno VI dan kriteria Baveno VI (expanded).127 Metode ini merupakan
pemeriksaan yang praktis karena hanya memerlukan pengambilan sampel
darah, tanpa memerlukan keahlian ataupun alat khusus, sehingga potensial
untuk digunakan pada kondisi keterbatasan sumber daya.

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 43


Sistem Skor Prediksi Luaran Pada Pendarahan Varises
Sistem skor prediksi luaran pada pasien dengan pendarahan varises dapat
dilakukan dengan penilaian skor Glasgow-Blatchford (GBS). Sebuah telaah
literatur yang dilakukan oleh Kalafateli, dkk. menunjukkan bahwa salah satu
penyebab pendarahan saluran cerna non-variseal pada kondisi sirosis hati
adalah gastropati hipertensi portal, dimana prevalensi pada pasien sirosis
berkisar antara 2-12% pada pendarahan saluran cerna akut. Sementara itu,
studi tersebut juga menunjukkan bahwa 3-26% dari pasien dengan gastropati
hipertensi portal mengalami pendarahan saluran cerna kronik.140

Glasgow-Blatchford Score (GBS)


Pemeriksaan dengan sistem Glasgow-Blatchford score (GBS) merupakan salah
satu sistem skoring yang dapat digunakan untuk menentukan mortalitas jangka
pendek pada pasien dengan pendarahan varises esofagus. Hasil studi Iino,
dkk. pada tahun 2017 menunjukkan bahwa GBS lebih superior dibandingkan
skor Model for End-Stage Liver Disease (MELD) dan skor Child-Pugh untuk
memprediksi mortalitas dalam 1 minggu admisi dengan menggunakan kurva
Receiver Operating Characteristic (ROC). Nilai Area Under the Curve (AUC)
masing-masing sebesar 0.82, 0.71, dan 0.72. Akan tetapi, MELD lebih superior
dalam memprediksi mortalitas dalam 6 minggu admisi dibandingkan GBS
dan skor Child-Pugh dengan nilai AUC masing-masing 0.83, 0.69, dan 0.67.141
GBS sendiri mencakup beberapa parameter, yaitu Blood Urea Nitrogen (BUN),
hemoglobin (Hb), tekanan darah sistolik, frekuensi nadi, melena, sinkop,
penyakit hati, gagal jantung, dan lesi metastatik.142

Dalam perhitungan skor MELD, dapat digunakan rumus berikut: 3.8 log
e [bilirubin serum (mg/dL)] + 11.2 log e (INR) + 9.6 log e [kreatinin serum
(mg/dL)] + 6.4 (etiologi: 0 jika kolestatik atau alkohol, 1 tidak). Komponen-
komponen skor Child-Pugh meliputi asites, ensefalopati, kadar albumin serum,
bilirubin total, dan waktu protrombin.143 GBS juga dapat digunakan sebagai alat
untuk penilaian risiko pra-endoskopik pada pasien yang menunjukkan gejala
pendarahan saluran cerna bagian atas. Terdapat beberapa data yang dapat
digunakan pada pasien dengan risiko tinggi pendarahan varises. Penelitian yang
dilakukan oleh Reed, dkk. menunjukkan bahwa GBS dapat mengidentifikasi
secara tepat pasien yang berisiko tinggi mengalami pendarahan varises
dengan penilaian yang lebih superior dibandingkan hasil pemeriksaan dengan
skor Rockall. Kendati demikian, keduanya tidak dapat memprediksi secara
adekuat luaran klinis masing-masing subjek dalam kelompok. AUC GBS, skor
Rockall pada saat admisi, dan skor Rockall secara penuh bernilai 0.72, 0.46,
dan 0.66. Untuk memprediksi mortalitas, nilai AUC GBS, skor Rockall pada saat
admisi, dan skor Rockall secara penuh adalah sebesar 0.58, 0.68, dan 0.72.144

44 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


Perhatikan komponen skor GBS pada Tabel 3.4.145

Tabel 3.4. Skor Glasgow Blatchford145


Penanda risiko admisi Skor
Urea darah (mmol/L)
6.5-8 2
8-10 3
10-25 4
> 25 6
Hb (g/dL)
Laki-laki
12-13 1
10-12 3
< 10 6
Perempuan
10-12 1
< 10 6
TD Sistolik (mmHg)
100-109 1
90-99 2
< 90 3
Nadi ≥ 100 kali/menit 1
Riwayat dan komorbiditas
Melena 1
Sinkop 2
Penyakit hepar1 2
Gagal jantung2 2
1 Riwayat bukti klinis/laboratorium dari penyakit hepar;
2 Riwayat bukti klinis/ekokardiografik dari gagal jantung. Skor nol
mengidentifikasi pasien berisiko rendah yang sesuai untuk non-admisi.

Skor Rockall
Skor Rockall merupakan salah satu sistem skoring pada pendarahan saluran
cerna bagian atas yang pertama kali dibuat tahun 1996 setelah dilakukan
analisis data dari audit besar di Inggris. Skor ini dikembangkan untuk menilai
risiko kematian setelah manifestasi pendarahan saluran cerna bagian atas.
Sistem skoring ini juga digunakan untuk melihat peran variabel usia, kondisi
hemodinamik, komorbiditas dan temuan endoskopik menilai risiko pendarahan
saluran cerna atas. Adanya kelainan penyerta mayor lain, seperti: gagal hati
atau gagal jantung atau gagal ginjal, juga mempengaruhi pertimbangan dalam
menentukan prognosis. Oleh karena itu, maka komponen-komponen tersebut
juga dimasukkan dalam skor Rockall. Perhatikan Tabel 3.5.145,146

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 45


Tabel 3.5. Skor Rockall146

Komponen Skor 0 1 2 3
Usia (tahun) < 60 60-79 ≥ 80 -
Hemodinamik:
Denyut nadi (denyut < 100 ≥ 100 - -
per menit)
TD Sistolik (mmHg) ≥ 100 ≥ 100 < 100 -
Komorbiditas Tidak ada - PJI, gagal jantung, Gagal hepar atau
komorbid mayor ginjal, keganasan
lainnya diseminata
Diagnosis MW/ tanpa lesi/ tanpa Semua diagnosis Lesi malignan saluran -
stigmata lainnya cerna atas
Stigmata pendarahan Tidak ada stigmata/ - Darah pada saluran -
bintik hitam pada ulkus cerna atas, bekuan
lengket, pembuluh
darah muncul atau
terbentuk yang baru

Skor ≤ 2 menunjukkan pasien berisiko rendah (low-risk) yang sesuai untuk pulang
lebih awal. PJI: Penyakit Jantung Iskemik. MW: Mallory-Weiss tear; GI: Gastrointestinal

Skor Rockall sudah divalidasi secara eksternal di beberapa negara dan dapat
mengidentifikasi pasien berisiko di antara studi kohort pendarahan non varises.
Rockall merupakan sistem skoring yang paling luas digunakan dan dinilai dapat
memprediksi luaran pasca prosedur endoskopi. Rockall pra-endoskopik atau
Rockall admisi sering digunakan, biasanya dengan menghilangkan komponen
endoskopik, sehingga berbeda dengan skor Rockall penuh. Namun demikian,
kontroversi masih muncul dari berbagai studi terkait akurasi diagnostik sistem
skor Rockall admisi dalam praktik klinis. Jika Skor Rockall sudah termasuk
dalam risiko tinggi, maka perlu dilakukan endoskopi segera dalam 1x24 jam.
Skor Rockall bersifat superior dalam memprediksi stigmata endoskopik yang
berisiko tinggi atau risiko pendarahan berulang yang dilaporkan di Amerika
Utara, sementara GBS lebih superior dibandingkan Rockall admisi dan Rockall
penuh karena GBS mencakup nilai Hb sebagai variabel komponen. Studi ini
menduga bahwa skor pra-endoskopik sebanding atau lebih baik dibandingkan
dengan skor Rockall penuh dalam memprediksi luaran pasien berisiko tinggi
yang memerlukan endoskopi selama rawat inap untuk menegakkan diagnosis
dan mengatasi penyakit dasar.145

Perbandingan Skor Glasgow-Blatchford dan Rockall


Glasgow-Blatchford Scores (GBS) dan skor Rockall merupakan sistem skoring
yang selama ini digunakan untuk menstratifikasi pasien dengan pendarahan
saluran cerna atas non-variseal/Nonvariceal Upper Gastrointestinal
Hemorrhage (NVUGIH). Kedua nilai prediktif dari masing-masing sistem skor
sudah divalidasi, namun efektivitas klinisnya masih belum jelas. Dilakukan

46 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


studi oleh Lu, dkk. pada pasien yang diikutsertakan tahun 2008-2012 untuk
membandingkan kemampuan prediksi terhadap pendarahan, kebutuhan
tindakan pembedahan lanjutan, intervensi endoskopik, dan mortalitas melalui
nilai kurva ROC dan AUC. Didapatkan hasil bahwa skor pra-endoskopik dan
skor Rockall penuh lebih superior dibandingkan GBS dalam memprediksi
mortalitas pasien. Skor Rockall pre-endoskopik juga memiliki nilai lebih besar
untuk dapat memprediksi risiko pendarahan berulang dibandingkan Complete
Rockall Scores dan GBS. Akan tetapi, ketiga sistem skor ini belum adekuat
untuk digunakan sebagai prediktor efektivitas prosedur pembedahan. Hasil
studi ini konsisten dengan studi sebelumnya, dimana skor Rockall dan skor
Rockall penuh dapat menunjukkan perannya dalam memprediksi mortalitas.
Nilai prediksi pendarahan berulang juga lebih besar secara bermakna pada
skor Rockall pra-endoskopik dibandingkan skor Rockall penuh.147 Sebuah
studi kohort retrospektif yang dilakukan oleh Mohamed, dkk. menunjukkan
manfaat penggunaan skor Rockall dan GBS sebagai prediktor prognosis pasien
sirosis hati dengan pendarahan non-variseal. Studi ini menunjukkan angka
mortalitas yang lebih rendah (8.3% vs 12.5%, p = 0.023), durasi rawat inap
yang lebih singkat (4.33 + 1.18 hari vs 5.84 + 2.16 hari, p = 0.001), serta angka
re-admisi dalam 30 hari yang lebih rendah (16.7% vs 23.1%, p = 0.042) pada
pasien sirosis dengan pendarahan non-variseal dibandingkan dengan pasien
sirosis yang mengalami pendarahan variseal.148

GBS digunakan selama terapi rawat jalan pada pasien yang sebelumnya dirawat
inap untuk menentukan apakah pasien dapat menerima terapi rawat jalan
atau terapi pulang dalam 24 jam. Skor Blatchford 0 poin dapat dikategorikan
sebagai risiko rendah, sehingga dapat menghemat pembiayaan medis. Studi
lain yang dilakukan oleh Ahn, dkk. menunjukkan bahwa GBS memilik prediksi
yang baik untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan intervensi klinis
(endoskopi, embolisasi angiografik, dan pembedahan) pada pasien dengan
keganasan.149

Studi yang dilakukan oleh Lim, dkk. menunjukkan bahwa laju mortalitas pada
pasien yang berisiko dengan nilai GBS > 12 poin dapat diturunkan jika pasien
menjalani pemeriksaan endoskopik dalam 13 jam. Selanjutnya, pemeriksaan
endoskopik dapat dilakukan sesegera mungkin jika nilai GBS > 12 poin.150

3.3.2 Pencegahan dan Tatalaksana Pendarahan Varises


Pendarahan varises akut/acute variceal hemorrhage (AVH) didefinisikan
sebagai pendarahan varises pada kasus yang diduga atau diketahui sebagai
akibat dari hipertensi portal, dengan adanya hematemesis dalam 24 jam dan/
atau melena yang masih berlangsung dalam 24 jam terakhir. Kerangka waktu
untuk episode AVH adalah 48 jam.151

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 47


Tujuan terapeutik pada pendarahan varises akut dilakukan dengan cara:152
1. Mengoreksi hipovolemia.
2. Menghentikan pendarahan sesegera mungkin.
3. Mencegah pendarahan berulang.
4. Mencegah komplikasi yang berkaitan dengan pendarahan.
5. Mencegah perburukan fungsi hepar.

Prinsip utama tatalaksana pendarahan varises adalah:2,4


1. Mencegah pendarahan berulang.
2. Mencegah kematian.

Pencegahan dan tatalaksana ini ditujukan terutama pada pasien dengan sirosis
dekompensata. Gambar 3.2 di bawah ini memperlihatkan alur tatalaksana
pendarahan saluran cerna pada pasien sirosis2.

Gambar 3.2. Algoritme Tatalaksana Pendarahan Gastrointestinal


pada Pasien dengan Sirosis2
(Diadaptasi dari Franchis R De, Vi B. Position Paper Expanding consensus in portal
hypertension Report of the Baveno VI Consensus Workshop : Stratifying risk and
individualizing care for portal hypertension. J Hepatol. 2015;63(3):743–52.)

Profilaksis Primer dan Sekunder Pendarahan Varises pada Pasien Dekompensata


Penghambat beta non selektif (Non Selective Beta Blocker/NSBB) merupakan
profilaksis primer (Tabel 3.6), sementara Endoscopic Band Ligation/EBL

48 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


berperan sebagai profilaksis sekunder untuk pendarahan varises pada pasien
sirosis yang memiliki varises risiko tinggi. NSBB maupun EBL memiliki
efektivitas yang sama dalam mencegah pendarahan pertama pada pasien
dengan risiko tinggi varises. EBL memiliki risiko terjadinya komplikasi yang
berat, yang dapat menyebabkan pendarahan pada ulkus pasca prosedur EBL.
Sebagai profilaksis sekunder, NSBB dan EBL dapat menjadi pilihan terapi
kombinasi yang menurunkan kemungkinan risiko pendarahan dibandingkan
monoterapi dengan medikamentosa atau EBL. Dosis pemberian terapi NSBB
untuk profilaksis dapat dilihat pada Tabel 3.6. NSBB dapat meningkatkan
angka kesintasan bila dikombinasikan dengan EBL. Terapi kombinasi NSBB
dan EBL memiliki efikasi terapi yang sebanding dengan TIPS yang dalam
mencegah pendarahan. Penghambat beta non selektif yang dapat diberikan
adalah propranolol dan nadolol yang berperan untuk mengatasi hipertensi
portal dengan menurunkan curah jantung dan aliran darah splanknik,
sementara, secara simultan, efek reseptor alfa-1 adrenergik memicu terjadinya
vasokonstriksi splanknik yang menurunkan tekanan portal dan komplikasi
yang dapat terjadi. Karvedilol dapat menjadi alternatif untuk menurunkan
resistensi intrahepatik dan aliran darah porto-kolateral. Mekanisme yang
mendasari temuan ini dipikirkan berkaitan dengan induksi lanjutan dari
hipotensi arteri sistemik dan gangguan cadangan jantung. Penggunaan NSBB
dipertimbangkan berdasarkan dengan risiko dan kondisi klinis pasien, yaitu
ada tidaknya asites refrakter dan tanda-tanda ganggguan sirkulasi sistemik.
Terapi NSBB harus dihentikan jika ditemukan hiponatremia berat dengan
natrium < 130 mEq/L, rerata tekanan darah arteri (MAP) yang rendah (< 65
mmHg), curah jantung rendah dengan tekanan darah sistolik < 90 mmHg, dan
kadar kreatinin serum yang meningkat > 1.5 mg/dL. Jika pasien intoleransi
terhadap NSBB, maka dapat dilakukan tindakan EBL.4,109

Pilihan terapi juga dipertimbangkan berdasarkan dengan ketersediaan


sumber daya di fasilitas kesehatan lokal, preferensi pasien, kontraindikasi,
dan kemungkinan efek samping terapi. Salah satu manfaat utama NSBB adalah
penurunan tekanan portal. Pada asites berat atau refrakter, penggunaan NSBB
dosis tinggi sebaiknya dihindari, sementara penggunaan karvedilol tidak
direkomendasikan. Setelah pulih, pengobatan NSBB dapat dimulai kembali.
Rekomendasi yang sama seperti pada profilaksis primer dapat dibuat dengan
memperhatikan penggunaan NSBB pada pasien dengan asites atau pada
kondisi akut.4

Pendarahan akut saluran cerna, baik varises gastroesofageal atau lesi non
varises, memiliki insidensi tinggi terjadinya komplikasi dan mortalitas pada
sirosis dekompensata, sehingga memerlukan terapi medikamentosa yang
tepat, terapi pengganti cairan, serta monitoring yang ketat. Kriteria untuk
pasien dengan risiko tinggi, yaitu klasifikasi Child-Pugh B dengan pendarahan
masih aktif, masih memerlukan studi lebih lanjut. Terapi pengganti cairan

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 49


harus dimulai sesegera mungkin untuk mengembalikan dan mempertahankan
stabilitas hemodinamik. Cairan yang direkomendasikan untuk digunakan dapat
berupa kristaloid atau koloid. Hingga saat ini, starch tidak direkomendasikan
untuk digunakan sebagai terapi pengganti cairan. 4,109 NSBB (propranolol,
nadolol, karvedilol) dapat diberikan pada pasien varises kecil dengan red
wale marks atau pasien dengan klasifikasi Child-Pugh C. Penggunaan NSBB
sebaiknya dihentikan pada pasien dengan hipotensi progresif (TD sistolik < 90
mmHg) atau pasien dengan kondisi pendarahan, sepsis, SBP, atau AKI. Dosis
yang direkomendasikan untuk terapi NSBB sebagai pencegahan primer pada
varises esofageal sedang dan besar, serta sebagai pencegahan sekunder dapat
dilihat pada Tabel 3.7.153,154 Pada pasien dengan intoleransi terhadap NSBB
atau pasien dengan penyerta asites refrakter atau dalam kondisi dibutuhkannya
profilaksis sekunder, pemasangan covered TIPS dapat dipertimbangkan bila
pasien tidak memiliki kontraindikasi absolut.4

Tabel 3.6. Dosis Terapi NSBB sebagai Profilaksis Primer Varises


Esofageal Sedang dan Besar.153

Terapi Propranolol Nadolol Karvedilol


Dosis 20-40 mg 2 kali sehari. 20-40 mg 1 kali sehari. Dosis inisial 6.25 mg 1 kali
Rekomendasi Dosis dinaikkan 20 mg 2 kali Tingkatkan dosis 20 mg 1 kali sehari.
sehari setiap 2-3 hari hingga sehari setiap 2-3 hari hingga Setelah 3 hari, dosis dinaikkan
mencapai tujuan terapi; tercapai target terapeutik; menjadi 6.25 mg 2 kali sehari.
turunkan dosis jika tidak turunkan dosis berkala jika
dapat ditoleransi. tidak dapat ditoleransi.
Dosis maksimal:
Dosis maksimal: Dosis harian maksimal: 160 12.5 mg/hari (pada pasien
320 mg/hari (tanpa asites/ mg/hari (tanpa asites/asites dengan hipertensi arteri
asites ringan) ringan) persisten, dosis dapat
160 mg/hari pada pasien 80 mg/hari pada pasien dinaikkan hingga 12.5 mg 2
dengan asites berat. dengan asites berat. kali sehari (25 mg/hari).
Tujuan Terapi Menurunkan frekuensi denyut Sama seperti propranolol. Mempertahankan tekanan
nadi saat istirahat hingga 55- darah sistolik > 90 mmHg.
60 denyut per menit.
Penurunan denyut nadi tidak
Mempertahankan tekanan dapat digunakan sebagai
darah sistolik > 90 mmHg. acuan untuk titrasi dosis.
Dosis akhir secara klinis harus
dapat ditoleransi.
Terapi Periksa denyut nadi, tekanan Periksa denyut nadi, tekanan
Rumatan/ darah, dan toleransi klinis darah, dan toleransi klinis
Follow up pada setiap kali kunjungan pada setiap kali kunjungan
dan sesuaikan dosis jika dan sesuaikan dosis jika
diperlukan. diperlukan.
Edukasi terkait penting-nya Edukasi terkait pentingnya
kepatuhan berobat. kepatuhan berobat.
Tidak perlu dilakukan sur- Tidak perlu dilakukan
veilans dengan endoskopik. surveilans dengan endoskopik.

50 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


Tabel 3.7. Terapi untuk Pencegahan Pendarahan Varises Esofageal Rekuren.154

Terapi Dosis Rekomendasi Tujuan Terapi Terapi Rumatan


Propranolol 20-40 mg 2 kali sehari. Denyut jantung saat Dilanjutkan terus.
istirahat 55-60 denyut per
Dilakukan penyesuaian dosis 2-3 menit.
hari.
Dosis harian maksimal: 320 mg/ Tekanan darah sistolik
hari pada pasien tanpa asites, 160 seharusnya tidak < 90
mg/hari pada pasien dengan asites. mmHg
Nadolol 20-40 mg 1 kali sehari.
Dilakukan penyesuaian dosis: 160
mg/hari pada pasien tanpa asites,
80 mg/hari pada pasien dengan
asites.
EBL Setiap 2-8 minggu hingga terjadi Eradikasi varises. Esofagogastroduodenoskopi
eradikasi varises. pertama dilakukan dalam 3-6
bulan setelah eradikasi dan
setiap 6-12 bulan setelahnya.

Rekomendasi
66. Profilaksis primer harus diberikan sesegera mungkin pada saat
didapatkan varises berisiko tinggi (contoh: varises kecil dengan
tanda-tanda pendarahan (red signs), varises sedang atau besar
tanpa melihat klasifikasi Child-Pugh) karena meningkatkan risiko
pendarahan varises. (A1)
67. NSBB (propranolol, nadolol, karvedilol) dapat diberikan pada pasien
varises kecil dengan red wale marks atau pasien dengan klasifikasi
Child-Pugh C. (C1)
68. Pasien dengan varises sedang-besar sebaiknya ditatalaksana dengan
NSBB atau EBL. (A1)
69. Pemberian NSBB (propranolol, nadolol, atau karvedilol) sebagai
profilaksis pada pasien dengan varises risiko tinggi (derajat I dengan
red signs atau derajat II-III) memerlukan pemantauan denyut nadi
dengan target saat istirahat adalah 55-60 kali per menit. (B1)
70. NSBB tidak dikontraindikasikan pada asites, namun hati-hati
digunakan pada kondisi asites berat atau refrakter. (A1)
71. Pada pasien dengan hipotensi progresif (TD sistolik < 90 mmHg) atau
pasien dengan kondisi pendarahan, sepsis, SBP, atau AKI; penggunaan
NSBB sebaiknya dihentikan. (C1)
72. Pasien dengan risiko pendarahan tinggi, namun kontraindikasi atau
intoleransi dengan NSBB, dapat dilakukan tindakan EBL. (C1)
73. Profilaksis sekunder dengan kombinasi terapi NSBB + EBL
direkomendasikan karena dapat menurunkan risiko pendarahan akut
berulang dibandingkan dengan monoterapi. (A1)
74. Jika pada pasien yang intoleran terhadap NSBB, covered TIPS dapat
direkomendasikan pada pasien yang tidak memiliki kontraindikasi
absolut. (C1)

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 51


Pendarahan Varises
Pendarahan saluran cerna akut pada sirosis dapat terjadi akibat varises
gastroesofageal maupun lesi non varises. Kondisi ini merupakan
kegawatdaruratan medis dengan risiko komplikasi dan kematian yang
tinggi. Pendarahan varises akut dapat diduga terjadi pada pasien sirosis
yang menunjukkan adanya tanda pendarahan saluran cerna atas akut.
Kondisi ini harus ditatalaksana sesegera mungkin, meskipun diagnosis belum
terkonfirmasi dengan pemeriksaan endoskopi.122 Terapi inisial ditujukan
untuk mengembalikan stabilitas hemodinamik. Terapi vasoaktif dan antibiotik
profilaksis harus diberikan sedini mungkin jika dicurigai adanya AVH.2 Tujuan
terapi pada AVH adalah mengontrol pendarahan, mencegah rekurensi dini,
dan pencegahan mortalitas dalam waktu 6 minggu.155

Restitusi darah harus diinisiasi segera untuk mengembalikan dan


mempertahankan stabilitas hemodinamik, sehingga perfusi jaringan dan
oksigen dapat terjaga. Untuk memfasilitasinya, diperlukan pemasangan 2 jalur
intravena agar ekspansi volume dapat dilakukan secara cepat. Cairan yang
biasanya diberikan adalah kristaloid.155 Pemberian sel darah merah dapat
digunakan untuk membantu penyampaian oksigen ke jaringan pada kasus
anemia berat, sehingga transfusi restriktif dapat dipertimbangkan untuk
diberikan pada pasien dengan pendarahan saluran cerna akut yang memiliki
kadar Hb < 7 g/dL (target Hb setelah transfusi adalah 7-9 g/dL).156 Nilai
ambang untuk transfusi dapat lebih tinggi pada pasien dengan pendarahan
masif atau pasien yang tidak menunjukkan respon fisiologis terhadap anemia
akut. Hingga saat ini, rekomendasi untuk penatalaksanaan trombositopenia
dan koagulopati belum tersedia.7

Inisiasi obat vasoaktif sebelum pemeriksaan endoskopi dapat menurunkan


insidensi pendarahan aktif selama endoskopi, memfasilitasi terapi endoskopik,
mengontrol pendarahan serta meningkatkan laju harapan hidup.157 Pilihan
agen vasoaktif yang dapat diberikan adalah terlipresin, somatostatin atau
octreotide. Ketiga obat ini memiliki efikasi yang sudah teruji klinis.158 Ketiga
obat ini diberikan secara intravena dengan dosis rekomendasi yang dapat
dilihat pada Tabel 3.8. Dosis rekomendasi untuk terlipresin adalah 2 mg/4
jam selama 48 jam pertama, diikuti dengan 1 mg/4 jam kemudian. Dosis
rekomendasi untuk somatostatin adalah infus kontinu sebanyak 250 µg/jam
(yang dapat ditingkatkan hingga 500 µg/jam) dengan bolus awal 250 µg. Dosis
rekomendasi untuk octreotide adalah 50 µg/jam dengan bolus awal 50 µg.
Bolus somatostatin atau octreotide dapat diberikan jika pendarahan masih
berlangsung. Saat AVH terkonfirmasi, obat vasoaktif dilanjutkan selama 5
hari untuk mencegah pendarahan berulang secara dini. Pemberian vasoaktif
yang lebih singkat (48-72 jam) dapat dipertimbangkan apabila episode
pendarahan tidak terlalu berat. Saat resusitasi volume darah dan stabilitas

52 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


hemodinamik telah tercapai, maka pemeriksaan endoskopi harus dilakukan
sesegera mungkin dalam waktu 12 jam admisi untuk memastikan penyebab
pendarahan dan pertimbangan terapi selanjutnya.159

Saat diagnosis AVH sudah terkonfirmasi, EBL harus dilakukan pada prosedur
dalam waktu bersamaan. EBL lebih efektif dibandingkan skeloterapi untuk
mengontrol pendarahan varises esofagus, dengan efek samping lebih minimal,
dan dapat memperbaiki laju harapan hidup.155 Skleroterapi dengan injeksi
sianoakrilat dapat digunakan ketika ligasi tidak memungkinkan. Kombinasi
terapi endoskopik dan vasoaktif lebih efektif daripada salah satunya saja
karena adanya efek hemostatik lokal dari endoskopi dan penurunan tekanan
portal dari vasoaktif.160 Saat ini, kombinasi terapi ini menjadi salah satu terapi
standar untuk AVH.159 Injeksi sianoakrilat merupakan pilihan yang dapat
diterima untuk terapi endoskopik pada pasien yang mengalami pendarahan
gaster (varises kardiofundal) karena kedua terapi ini sama efektifnya.161
Saat ini, EBL tidak dilakukan untuk mengatasi pendarahan varises gaster.
Selain terapi endoskopik dengan injeksi sianoakrilat, insersi kawat (coil)
yang dipandu fluoroskopi dan/atau injeksi sianoakrilat juga dapat dilakukan
untuk varises fundal. Komplikasi utama pendarahan (apapun penyebabnya)
adalah infeksi bakteri (pneumonia, SBP), ensefalopati hepatikum, dan
perburukan fungsi ginjal. Infeksi bakteri dapat ditemukan pada > 50% pasien
dengan sirosis hati yang mengalami pendarahan variseal, dimana 20% dari
pasien tersebut diduga telah mengalami infeksi bakteri pada saat terjadinya
pendarahan variseal. Pada pasien-pasien tersebut, infeksi bakteri juga
dapat menjadi faktor presipitasi terjadinya peningkatan tekanan portal.155
Profilaksis antibiotik direkomendasikan untuk menurunkan insidensi
infeksi, meningkatkan kontrol pendarahan, dan meningkatkan harapan
hidup.7 Perhatikan Tabel 3.9. Seftriakson (1 gram/24 jam) selama 7 hari
merupakan antibiotik pilihan pertama yang diberikan pada pasien dengan
sirosis fase lanjut, yang sedang mengonsumsi profilaksis kuinolon dengan
riwayat perawatan pada fasilitas kesehatan dengan prevalensi tinggi infeksi
bakteri yang resisten kuinolon.95 Kuinolon oral (norfloksasin 400 mg bid
atau siprofloksasin 500 bid PO atau 400 mg bid intravena) dapat diberikan
pada pasien yang tidak memenuhi kriteria di atas, namun perlu disesuaikan
dengan pola resistensi bakteri setempat.162 Selain itu, fungsi ginjal juga harus
dipertahankan melalui terapi pengganti cairan dan kontrol elektrolit yang
adekuat.163 Obat-obatan nefrotoksik (seperti aminoglikosida dan OAINS), serta
obat-obatan, seperti penghambat beta, vasodilator, dan obat-obat hipotensif
lainnya harus dihindari selama pengobatan AVH. Disakarida non-absorbable
oral dapat diberikan untuk mencegah ensefalopati hepatikum, walaupun studi
lebih lanjut masih diperlukan. Ketika ensefalopati berkembang, laktulosa
atau laktitol harus diberikan.155 Penghambat pompa proton (PPIs) tidak
menunjukkan efikasi dalam tataksana AVH. Akan tetapi, terapi jangka pendek
PPI setelah EBL dapat menurunkan ukuran ulkus pasca banding ligation.159

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 53


Meskipun telah dilakukan terapi kombinasi obat vasoaktif ditambah EBL dan
antibiotik profilaksis, pasien dengan AVH masih dapat mengalami pendarahan
persisten atau pendarahan berulang secara dini sebesar 10-15%.7 Pada kasus
tertentu, TIPS harus dipertimbangkan sebagai pilihan terapi penyelamatan
(salvage therapy). Ketika TIPS tidak memungkinkan dilakukan atau terjadi
pendarahan berulang, terapi endoskopik kedua dapat dilakukan ketika terapi
vasoaktif dioptimalkan, dengan cara menaikkan dosis somatostatin dua kali
lipat dan/atau diganti menjadi terlipresin jika sebelumnya tidak diberikan.
Tamponade balon harus diterapkan pada kasus adanya pendarahan masif,
sebagai terapi bridging sementara hingga terapi definitif bisa dilakukan dan
hanya maksimal selama 24 jam pada fasillitas perawatan intensif.159 Intubasi
orotrakeal harus dilakukan sebelum dilaksanakan tamponade pada pasien
yang sedang koma atau mengalami ensefalopati. Self-expanding oesophageal
stents merupakan alternatif tamponade balon yang memiliki efek samping
lebih sedikit.164 Polytetrafluoroethylene-coated Transjugular Intrahepatic
Portosystemic Shunt (PTFE-coated TIPS) perlu dilakukan dalam waktu 72
jam (idealnya < 24 jam) yang berfungsi untuk kontrol permanen pendarahan
dan meningkatkan harapan hidup. Kriteria Child-Pugh kelas C atau kriteria
Child-Pugh kelas B disertai pendarahan aktif yang ditemukan pada saat
dilakukan pemeriksaan endoskopi, merupakan kriteria pasien berisiko
tinggi.165 Beberapa ahli menganjurkan bahwa penggunaan skor MELD lebih
baik dalam mengidentifikasi risiko tinggi dibandingkan skor lainnya. Early
TIPS harus dipertimbangkan pada pasien dengan Child-Pugh kelas C dengan
skor < 13.165-166

Tabel 3.8. Dosis Rekomendasi Terapi Vasoaktif dalam


Penanganan Pendarahan Varises Akut4

Terapi Dosis Rekomendasi Durasi


Octreotide Bolus IV awal 50 mcg (dapat diulang dalam 1 jam pertama jika pendarahan 2-5 hari
masih berlanjut)
Diberikan infus IV 50 mcg/jam
Somatostatin Bolus IV awal 250 mcg (dapat diulang dalam 1 jam pertama jika pendarahan 2-5 hari
masih berlanjut)
Diberikan infus IV 250-500 mcg/jam
Terlipresin Dalam 48 jam awal: 2 mg IV setiap 4 jam hingga pendarahan terkontrol 2-5 hari
Rumatan: 1 mg IV setiap 4 jam untuk mencegah pendarahan berulang

Tabel 3.9. Dosis Rekomendasi Antibiotik Profilaksis Pendarahan Varises Akut.4,162

Terapi Dosis Rekomendasi Durasi


Siprofloksasin 500 mg 2 kali sehari PO atau 400 mg 2 kali sehari IV 3-7 hari
Seftriakson 1 gram/hari (pilihan pertama pada pasien dengan sirosis dekompensata, 7 hari
pasien dengan profilaksis kuinolon, dan pada setting fasilitas kesehatan dimana
ditemukan prevalensi tinggi infeksi bakteri yang resisten terhadap kuinolon).

54 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


Definisi dan kriteria yang digunakan dalam penatalaksanaan pendarahan
varises akut dan pendarahan berulang, saat ini, dibuat berdasarkan konsensus
Baveno IV, konsensus Baveno V, dan rekomendasi Asian Pacific Association for
Study of the Liver (APASL). Penentuan jangka waktu yang digunakan untuk
episode pendarahan akut adalah 120 jam (5 hari). Kegagalan mengontrol
pendarahan variseal akut mengacu pada kejadian-kejadian yang dialami
setelah pemberian terapi kombinasi (medikamentosa dan ligasi). Kejadian-
kejadian tersebut terjadi dalam 48 jam sejak pemberian terapi dan dapat
didefinisikan sebagai salah satu dari kejadian sebagai berikut: hematemesis
aktif dalam kurun waktu 2 jam setelah pemberian terapi kombinasi, penurunan
kadar hemoglobin > 2 gram/dL (atau penurunan kadar hematokrit > 6%)
tanpa adanya riwayat transfusi, peningkatan frekuensi nadi dan penurunan
tekanan darah sistolik berkelanjutan walaupun sudah diberikan terapi cairan
adekuat, serta kematian. Sementara itu, pendarahan berulang didefinisikan
sebagai episode baru hematemesis atau 5 episode baru melena dalam kurun
waktu 48 jam sejak dimulainya gejala dan dalam kurun waktu 24 jam setelah
stabilitas hemodinamik. Perhatikan Tabel 3.10 untuk klasifikasi subtipe
pendarahan berulang. T0 didefinisikan sebagai waktu terjadinya gejala.
Pendarahan berulang yang signifikan secara klinis didefinisikan sebagai
pendarahan berulang yang terkait dengan salah satu dari kejadian berikut:
penurunan kadar hemoglobin 2 gram bila tidak diberikan transfusi darah atau
Adjusted Blood Requirement Index (ABRI) > 0.5.151,163

Tabel 3.10 Definisi Pendarahan Varises Akut dan Pendarahan


Berulang bergantung Waktu151
Keadaan Kerangka waktu dari T0 Subtipe Kerangka waktu dari T0
Pendarahan varises akut 48 jam Aktif (berdasarkan endoskopi) 48 jam
Inaktif (berdasarkan endoskopi) 48 jam
Pendarahan berulang Setelah 48 jam Pendarahan berulang sangat dini 48-120 jam
Pendarahan ulang dini 6-42 hari
Pendarahan ulang akhir Setelah 42 hari

Rekomendasi
75. Terapi pengganti cairan harus dimulai sesegera mungkin untuk
mengembalikan dan mempertahankan stabilitas hemodinamik. (C1)
76. Strategi transfusi restriktif direkomendasikan pada pasien dengan
kadar Hb < 7 g/dL hingga rentang target 7-9 g/dL. (A1)
77. Profilaksis antibiotik direkomendasikan pada pasien sirosis dengan
pendarahan saluran cerna akut karena menurunkan insidensi infeksi
dan memperbaiki kontrol pendarahan, serta laju harapan hidup. Terapi
harus dimulai pada saat ada pendarahan dan dilanjutkan hingga 7 hari.
(A1) Seftriakson 1 gram/24 jam merupakan pilihan pertama pada pasien
dengan sirosis dekompensata yang sudah menerima profilaksis kuinolon,
dan pada kondisi rumah sakit dengan prevalensi tinggi infeksi bakteri
resisten kuinolon. Kuinolon oral (norfloksasin 400 mg 2 kali sehari)
harus diberikan pada pasien yang tidak memenuhi kriteria di atas (A1).

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 55


Rekomendasi
78. Terapi obat vasoaktif harus dimulai sesegera mungkin jika diduga
ada pendarahan varises akut dan dilakukan sebelum endoskopi.
Terlipresin, somatostatin, atau octreotide merupakan pilihan yang
dapat digunakan selama 3-5 hari. (A1)
79. Gastroskopi harus dikerjakan dalam 12 jam pertama setelah admisi
ketika stabilitas hemodinamik tercapai untuk memastikan penyebab
pendarahan dan dilakukan endoskopi terapetik. (B1)
80. Ketika pendarahan akut sudah terkonfirmasi melalui endoskopi,
ligasi varises harus dilakukan dengan prosedur pada waktu yang
sama. (A1)
81. Kombinasi obat vasoaktif dan ligasi direkomendasikan sebagai pilihan
pertama untuk pendarahan varises akut. (A1)
82. Penempatan covered TIPS secara dini (dalam waktu 24-72 jam)
disarankan pada pasien tertentu yang berisiko tinggi, seperti kelas
Child-Pugh C dengan skor < 13 (A2).

Tatalaksana Koagulopati pada Pasien Sirosis Hati Dekompensata


Defisiensi vitamin K merupakan kelainan yang sering ditemukan pada
pasien sirosis hepatis dekompensata. Kelainan ini dipengaruhi oleh berbagai
mekanisme kompleks yang meliputi defisiensi garam empedu, kegagalan
sekresi garam empedu, dan penggunaan antibiotik spektrum luas. Saat ini,
injeksi vitamin K sebanyak 10 mg/hari selama 3 hari dinilai cukup adekuat
untuk dapat mengoreksi defisiensi vitamin K dan direkomendasikan untuk
diberikan pada pasien dengan sirosis hati dekompensata. Sementara itu,
pemberian vitamin K per oral dinilai tidak memberikan peran terapeutik
yang berarti. Koreksi profilaktik waktu protrombin menggunakan plasma
beku segar (Fresh Frozen Plasma) juga tidak dapat direkomendasikan karena
kecil kemungkinan mengoreksi waktu protrombin yang memanjang > 4 detik
dari kontrol dengan pemberian plasma beku segar. Selain itu, efek pemberian
plasma beku segar tidak dapat diprediksi pada pasien dengan sirosis hati
dekompensata dan memiliki hubungan bermakna dengan kejadian efek
samping, seperti kelebihan cairan, eksaserbasi hipertensi portal, risiko infeksi,
dan risiko cedera hati akut yang berkaitan dengan transfusi.167

Dalam penatalaksanaan pasien dengan episode pendarahan terkait


koagulopati, kemungkinan penyebab koagulopati lain seperti infeksi, gagal
ginjal, dan sebagainya juga harus dievaluasi. Transfusi trombosit dapat
dipertimbangkan jika jumlah trombosit < 50.000/mm3. Target trombosit
yang ingin dicapai > 70.000/mm3. Plasma beku segar dapat menjadi salah
satu pilihan terapi karena mengandung semua faktor koagulasi, penghambat
koagulasi, dan faktor fibrinolitik. Plasma beku segar harus disediakan dalam
bentuk plasma solvent detergent-treated atau donor-retested. Hal lain yang

56 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


harus diperhatikan dalam penatalaksanaan koagulopati adalah perbaikan
terapeutik yang cenderung bersifat sementara dan efek samping terkait.
Terapi kriopresipitat juga memiliki peran dalam tatalaksana terkait kondisi
hipofibrinogenemia (fibrinogen < 10 mg/dL). Agen lain yang digunakan
dalam pengobatan fibrinolisis pada pasien dengan sirosis hati dekompensata
adalah aprotinin, asam traneksamat, dan asam amino kaproik epsilon. Agen-
agen tersebut terutama berperan dalam mengatasi pendarahan lokal. Namun
demikian, di sisi lain, agen-agen tersebut juga dapat meningkatkan risiko
komplikasi trombotik, sehingga penggunaannya masih perlu dipelajari
dalam uji klinis. Desmopresin asetat/synthetic 1-deamino-8-D-arginine
vasopresssin (DDAVP), sebagai analog dari hormon anti diuretik vasopresin,
juga berperan dalam melepas vWf dan faktor VIII. Kedua faktor ini akan
mempersingkat waktu pendarahan dan respon maksimal dapat dicapai
dalam 30-60 menit setelah pemberian secara intravena. Sayangnya, tidak ada
manfaat pemberian DDAVP yang terlihat pada pasien dengan pendarahan
varises ataupun pada pasien dengan riwayat tindakan pembedahan pada hati.
Rekombinan faktor VIIa yang teraktivasi juga terbukti dapat memperbaiki
kelainan waktu protrombin ataupun kelainan pembentukan bekuan darah
tanpa disertai peningkatan fibrinolisis. Kendatipun demikian, kekurangan
dari terapi ini adalah diperlukannya pemberian dosis secara berulang dan
biaya yang sangat mahal. Selain itu, rekombinan faktor VIIa, meskipun secara
jelas dapat mengoreksi kelainan koagulasi, namun tidak terbukti efektif
pada pasien dengan pendarahan varises. Hal lain yang harus diperhatikan
adalah keterbatasan dalam penggunaan faktor rekombinan Va, berupa risiko
komplikasi trombotik, biaya terapi yang mahal, serta masih terbatasnya
bukti terkait manfaat klinis. Kontrol pendarahan dapat dicapai pula dengan
pemberian agen hemostatik topikal seperti lem fibrin, sianoakrilat, trombin,
dan penyangga jahitan. Mempertahankan tekanan vena sentral yang rendah
dan mengurangi tekanan portal juga dapat membantu dalam mengontrol
pendarahan selama tindakan pembedahan.167

Gastropati Hipertensi Portal dan Intestinopati


Gastropati Hipertensi Portal (Portal Hypertension Gastropathy /PHG) seringkali
terjadi pada pasien sirosis hati dekompensata dengan perjalanan klinis
dipengaruhi oleh penyakit hati dan hipertensi portal. Adanya varises esofageal
dan Child-Pugh kelas B atau C dapat memprediksi insidensi PHG.168 Insidensi
dan keparahan PHG dapat meningkat setelah dilakukan terapi endoskopi
untuk varises esofagus.169 Hipertensi portal harus dibedakan dari ektasia
vaskular antral gastrik (Gastric Antral Vascular Ectasia /GAVE atau watermelon
stomach), karena memiliki patofisiologi dan pendekatan terapeutik yang
berbeda. Diagnosis dari PHG dilakukan dengan cara pemeriksaan endoskopi
dan umumnya menunjukkan pola mosaik seperti kulit ular (subtipe ringan),
yang dapat tumpang tindih dengan red signs (PHG berat) dan umumnya terletak
di bagian proksimal gaster (fundus dan korpus), sementara GAVE dicirikan

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 57


dengan adanya bintik merah tanpa pola mosaik dan umumnya berlokasi di
antrum.170,171 PHG dan setiap bentuk enteropati secara klinis penting karena
berperan pendarahan okulta (penyebab anemia defisiensi besi kronik) dan
pada kasus tertentu dapat menyebabkan pendarahan akut yang jelas. PHG
dapat merupakan suatu temuan asimptomatik insidental tanpa adanya varises
gaster atau esofageal, sehingga follow-up endoskopik atau terapi endoskopik
tidak direkomendasikan.2

Terapi lini pertama untuk pendarahan kronik pada PHG adalah NSBB.2 Oleh
karena itu, pertimbangan untuk pemberian NSBB pada pasien dengan sirosis
dekompensata harus diutamakan sebagaimana pertimbangan pemberian
NSBB pada kondisi varises gastroesofageal, dengan kondisi dimana pada
pasien PHG, tidak terdapat pilihan intervensi endoskopi standar yang dapat
dilakukan. Selain NSBB, suplementasi besi dan/atau transfusi darah juga
dapat diberikan.4 Pada pasien PHG refrakter dan sirosis kompensata, TIPS
dapat memperbaiki tampilan visual endoskopik dan menurunkan kebutuhan
transfusi.172 Pada kasus pendarahan PHG akut, walaupun jarang, namun
beberapa studi sebelumnya memperkirakan bahwa analog somatostatin
atau terlipresin memiliki efek penurunan tekanan portal dan aliran darah
gastrik.173,174 Selain itu, tata laksana yang sama seperti yang dilakukan untuk
AVH; berupa profilaksis antibiotik dan transfusi restriktif; juga disarankan
untuk dilakukan pada pasien dengan pendarahan PHG akut. Namun demikian,
pada kondisi intestinopati hipertensi portal, tidak ada terapi standar dan analogi
pendekatan tata laksana yang sama seperti pada PHG yang direkomendasikan.
Transplantasi hati harus dipertimbangkan untuk tatalaksana pasien dengan
sirosis hati dekompensata.4,172

Koagulasi plasma argon (Argon Plasma Coagulation/APC) merupakan suatu


teknik elektrosurgikal yang digunakan untuk manajemen pendarahan dan
devitalisasi jaringan abnormal. Tindakan ini dilakukan dengan cara koagulasi
termal non-kontak dimana aliran listrik/Alternating Current (AC) berfrekuensi
tinggi digunakan untuk menargetkan jaringan target melalui jet plasma argon
agar tercapai hemostasis efektif dan terjadi koagulasi permukaan homogen
dengan kedalaman penetrasi yang terbatas.175 Peralatan APC yang digunakan
pada studi ini terdiri atas probe APC (diameter lumen 1.5 mm, diameter luar
2.0 mm) dari ujung kanal aksesoris terapeutik dari endoskop, sumber gas
dan generator frekuensi tinggi. Aliran gas argon disesuaikan pada 2.5 L/
menit. Luaran kekuatan elektrik disesuaikan hingga 60-90 W, dimana aliran
listrik ini dinilai relatif aman terhadap risiko adanya perforasi. APC dapat
diterapkan pada semua lesi vaskular di mukosa yang terlihat dalam waktu
1-3 detik, hingga mencapai jarak 5 mm diantara probe APC dan lesi mukosa
gaster. Probe dapat diaplikasikan ke aksial atau lateral. Ujung titik dari terapi
endoskopik ini menyebabkan terbentuknya koagulum putih yang membatasi
kedalaman koagulasi. Durasi sesi berlangsung selama 15-30 menit. Semua

58 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


pasien pada studi ini juga diberikan terapi penghambat pompa proton (Proton
Pump Inhibitor/PPI) setelah tindakan APC untuk mempercepat penyembuhan
mukosa. Hasil studi menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar Hb dan
penurunan kebutuhan transfusi pada pasien dengan PHG setelah dilakukan
terapi APC. 176

Berdasarkan studi Hanafy, dkk., dilakukan follow-up melalui surveilans


endoskopik, evaluasi darah lengkap, hitung jenis, dan evaluasi klinis untuk
mengetahui perubahan derajat PHG setelah terapi pertama diberikan. Respon
klinis perbaikan PHG dapat dilihat dari pemeriksaan endoskopi, perbaikan
gejala, kenaikan Hb, dan tidak diperlukannya lagi transfusi.176 Studi sebelumnya
juga mendukung manfaat penggunaan APC untuk mengatasi pendarahan
vaskular dari saluran cerna bagian atas yang meliputi GAVE, angiodisplasia
sporadik, telangiektasis hemoragik, dan enteropati yang diinduksi radiasi.177
APC merupakan metode yang aman dan efektif dalam menghentikan
pendarahan pada pasien dengan PHG disamping penggunaan nadolol dan
nitrat dan harus dipertimbangkan untuk dilakukan sebelum pemberian terapi
yang lebih agresif. Kombinasi APC dan NSBB dapat memiliki efek singergik
dalam mengontrol PHG. Terapi ini dapat diberikan terutama dalam kondisi
dimana pemberian terapi penghambat beta dapat menimbulkan efek samping
yang membahayakan nyawa atau dikontraindikasikan. Kombinasi terapi
penghambat beta dengan terapi ligasi varises endoskopik direkomendasikan
sebagai profilaksis sekunder karena dapat menurunkan insidensi PHG.178

Penggunaan rebamipide dengan PPI memiliki manfaat yang terbatas


dibandingkan dengan monoterapi PPI pada ulkus gaster pasca Diseksi
Submukosa Endoskopik (Endoscopic Submucosal Dissection/ESD). Rebamipide
memiliki efek tambahan dalam terapi ulkus gaster post ESD ketika digunakan
bersama dengan PPI.179 Sementara itu, manfaat penggunaan rebamipide
terhadap PHG dipelajari lebih lanjut pada uji acak terkontrol prospektif yang
dilakukan oleh Kijdamrongthum, dkk., yang tidak menunjukkan manfaat
bermakna pada pemberian rebamipide selama 12 minggu dibandingkan
dengan plasebo. Namun, studi ini juga memiliki keterbatasan jumlah sampel
(hanya melibatkan 8 subjek).180 Sebuah studi lain yang dilakukan oleh Xu, dkk.
menunjukkan hasil yang berlawanan pada jumlah sampel yang lebih besar.
Studi ini menunjukkan peningkatan ekspresi leptin mRNA yhang bermakna
setelah pemberian rebamipide selama 4 minggu pada kelompok dengan PHG.
Terdapat pula perbaikan hasil histopatologi pada kelompok intervensi. Secara
keseluruhan, studi ini menunjukkan potensi rebamipide dalam memberikan
efek protektif pada mukosa lambung melalui peningkatan ekspresi leptin.181
Walaupun masih membutuhkan validasi melalui studi-studi lanjutan, sebagai
agen farmakologis anti-ulkus, rebamipide diduga memiliki potensi dalam
meredakan stres oksidatif melalui mekanisme scavenging radikal bebas,

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 59


menurunkan proses nitrasi residu tirosin dari Extracellular Signal-Regulated
Kinases (ERK), serta memperbaiki proses penyembuhan mukosa yang sering
tertunda pada kondisi PHG.182

Varises Gaster
Varises gaster mengacu pada Klasifikasi Sarin yang dibuat berdasarkan pada
stratifikasi risiko dan tatalaksana varises gastrik. Perhatikan Tabel 3.11.4,151

Tabel 3.11 Klasifikasi, prevalensi, dan persentase risiko pendarahan varises gastrik.4,151

Frekuensi Risiko pendarahan


Jenis Definisi
Relatif tanpa terapi
GOV 1 Varises esofageal yang meluas ke bawah 70% 28%
kardia menuju kurvatura minor
GOV 2 Varises gastroesofageal yang meluas di bawah 21% 55%
kardia menuju ke fundus
IGV 1 Varises terisolasi di fundus 7% 78%
IGV 2 Varises terisolasi di tempat lainnya dari gaster 2% 9%

*GOV, gastro-oesophageal varices; IGV, isolated gastric varices

Varises gaster dapat ditemukan pada 20% pasien sirosis. GOV 1, sebagai
jenis yang paling sering ditemukan dari varises gaster (75%), didefinisikan
sebagai varises esofageal yang meluas hingga di bawah kardia ke dalam
kurvatura minor dengan metode penatalaksanaan berdasarkan pada varises
esofageal.2 Varises kardiofundal (GOV 2 dan IGV 1) lebih jarang terjadi. Akan
tetapi, pendarahan pada varises kardiofundal lebih berat dan sulit dikontrol.
Selain itu, varises kardiofundal juga memiliki risiko rekurensi tinggi dengan
angka mortalitas lebih tinggi (mencapai 45%) dibandingkan dengan varises
esofageal.151 Varises kardiofundal lebih sering terjadi pada pasien dengan
trombosis vena splanknik, yang selanjutnya harus dilakukan pemeriksaan
dengan modalitas pencitraan. Bukti yang mendukung rekomendasi tatalaksana
pendarahan varises gastrik masih kurang kuat dibandingkan varises esofageal.
Mengacu pada profilaksis primer pendarahan varises gastrik, studi acak
terkontrol menduga bahwa injeksi sianoakrilat lebih efektif dibandingkan
NSBB untuk mencegah pendarahan pertama pada pasien dengan varises
kardiofundal besar, walaupun tidak terdapat perbedaan bermakna pada
angka harapan hidup.183 Konsensus Baveno VI menyimpulkan bahwa studi
lebih lanjut diperlukan untuk mengevaluasi rasio manfaat/risiko sianoakrilat
sebelum dibuat rekomendasi secara formal, sementara NSBB diajukan sebagai
pendekatan primer.2 Pendarahan varises gaster akut memiliki penatalaksanaan
yang serupa dengan pendarahan varises esofageal. Akan tetapi, injeksi
sianoakrilat (sebagai ‘lem’) merupakan pilihan yang lebih dianjurkan untuk
hemostasis endoskopik.160 Walapun memiliki efikasi yang sebanding dengan
EBL pada hemostasis awal, angka laju pendarahan berulang secara signifikan
lebih rendah pada kelompok yang mendapatkan terapi injeksi sianoakrilat.184

60 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


Saat ini, NSBB direkomendasikan sebagai profilaksis primer untuk pendarahan
varises akibat varises gastroesofageal tipe 2 atau varises gaster terisolasi
tipe 1. Sementara itu, profilaksis primer untuk varises gastroesofageal tipe 1
disesuaikan dengan rekomendasi profilaksis primer untuk varises esofagus.
Pada kondisi terdapat pendarahan varises gaster dan esofagus secara
bersamaan, tatalaksana yang dilakukan adalah dengan melakukan injeksi
sianoakrilat untuk mengatasi pendarahan varises gaster, yang diikuti dengan
Endoscopic Band Ligation (EBL) untuk mengatasi varises esofagus. TIPS,
dengan atau tanpa embolisasi kolateral tambahan, menunjukkan efektivitas
sebanding pada pendarahan varises gastrik dan esofageal untuk mengontrol
kejadian pendarahan akut dan pencegahan pendarahan berulang.185 Pada
kondisi adanya pendarahan masif, metode balloon tamponade dengan tabung
Linton-Nachlas dapat berperan sebagai jembatan untuk terapi lainnya.
Terkait potensi injeksi sianoakrilat sebagai profilaksis sekunder, salah satu
studi acak terkontrol yang dilakukan Mishra, dkk. menunjukkan bahwa
injeksi sianokarilat berulang menunjukkan efikasi terapeutik lebih baik
dibandingkan NSBB untuk mencegah pendarahan berulang akibat varises
kardiofundal.184 Sementara, studi acak terkontrol lain tidak menunjukkan
perbedaan bermakna pada kejadian pendarahan berulang dan mortalitas
antara kelompok yang mendapatkan kombinasi terapi injeksi sianoakrilat
dan NSBB dengan kelompok yang mendapatkan terapi injeksi sianoakrilat
saja.186 Kendatipun demikian, saat ini, kombinasi NSBB dan EBL merupakan
tatalaksana yang paling direkomendasikan sebagai profilaksis sekunder
untuk menurunkan probabilitas pendarahan berulang dibandingkan dengan
EBL saja atau medikamentosa saja.4 Studi lain menunjukkan superioritas
TIPS dibandingkan dengan injeksi sianoakrilat dalam mencegah pendarahan
berulang akibat varises gaster, dengan angka harapan hidup dan frekuensi
komplikasi yang sebanding.187 Pemilihan TIPS harus dipertimbangkan dengan
seksama, terutama pada varises kardiofundal yang cenderung menunjukkan
angka laju pendarahan berulang lebih tinggi. Modalitas terapeutik alternatif
lainnya adalah balloon-occluded retrograde transvenous obliteration (BRTO).
Prosedur radiologi intervensi dengan tatalaksana varises fundal yang
berhubungan dengan kolateral gastro/splenorenal besar yang secara teoritis
lebih menguntungkan dari TIPS, yaitu tidak mengubah aliran masuk darah ke
hepar. Akan tetapi, belum ada studi acak terkontrol yang dapat membandingkan
BRTO dengan terapi lainnya. Beberapa variasi dari teknik ini tersedia, seperti
balloon-occluded antegrade transvenous obliteration (BATO).188

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 61


Rekomendasi
83. NSBB direkomendasikan untuk pencegahan primer pendarahan
varises akibat varises gastroesofageal tipe 2 atau varises gaster
terisolasi tipe 1. (C2)
84. Pencegahan primer untuk varises gastroesofageal tipe 1 mengikuti
rekomendasi untuk varises esofagus (C2).
85. Pendarahan varises gastrik akut harus diterapi sedini mungkin,
seperti pada pendarahan varises esofageal. (A1)
86. Injeksi sianoakrilat direkomendasikan untuk terapi hemostasis
endoskopi pada varises kardiofundal (varises gastroesofageal tipe 2).
(A2)
87. Pada kondisi terdapat pendarahan varises gaster dan esofagus secara
bersamaan, tatalaksana yang dilakukan adalah dengan melakukan
injeksi sianoakrilat untuk mengatasi pendarahan varises gaster,
yang diikuti dengan Endoscopic Band Ligation/EBL untuk mengatasi
varises esofagus. (B1)
88. TIPS dengan kemampuan embolisasi efektif dapat mengontrol
pendarahan dan mencegah pendarahan berulang pada pendarahan
varises fundal (varises gastroesofageal tipe 2 atau varises gaster
terisolasi tipe 1) (B1)
89. Embolisasi selektif (BRTO/BATO) dapat juga digunakan untuk
mengatasi pendarahan pada varises fundal yang berkaitan dengan
kolateral gastro/splenorenal, walaupun data lebih lanjut diperlukan.
(C2)

62 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


Daftar Pustaka

1. Berzigotti A. Advances and challenges in cirrhosis and portal hypertension.


BMC Med. 2017;15:200.
2. Franchis R De, Vi B. Position Paper Expanding consensus in portal
hypertension Report of the Baveno VI Consensus Workshop : Stratifying
risk and individualizing care for portal hypertension. J Hepatol.
2015;63(3):743–52.
3. Tapper E, Parikh N. Mortality due to cirrhosis and liver cancer in the United
States, 1999-2016: observational study. BMJ. 2018;362:k2817.
4. European Association of the Liver Study. EASL Clinical Practice Guidelines
for the management of patients with decompensated cirrhosis. J Hepatol.
2018;69:406–60.
5. Turco L, Garcia-tsao G. Portal hypertension: pathogenesis and management.
Clin Liver Dis. 2019;23(4):573–87.
6. Koh C, Heller T. Approach to the diagnosis of portal hypertension. Clin Liver
Dis. 2012;1(5):133–5.
7. Garcia-Tsao G, Abraldes JG, Berzigotti A, Bosch J. Portal Hypertensive
Bleeding in Cirrhosis: Risk Stratification, Diagnosis, and Management:
2016 Practice Guidance by the American Association for the Study of Liver
Diseases. Hepatology. 2017;65(1):310–35.
8. Garcia-Tsao G, Bosch J, Haven N, Haven W. Varices and Variceal Hemorrhage
in Cirrhosis. A new view of an old problem. Clin Gastroenterol Hepatol.
2016;13(12):2109–17.
9. Procopet B, Berzigotti A. Diagnosis of cirrhosis and portal hypertension:
imaging, non-invasive markers of fibrosis and hepar biopsy. Gastroenterol
Rep. 2017;5(2):78–89.
10. Berzigotti A, Bosch J, Escorsell A. Pathophysiology of variceal bleeding in
cirrhotics. Ann Gastroenterol. 2001;14:150–7.
11. Simonetto DA, Liu M, Kamath PS. Portal Hypertension and Related
Complications: Diagnosis and Management. Mayo Clin Proc.
2019;94(4):714–26.
12. García-Pagán J, Groszmann R, Bosch J. Portal Hypertension. In: Hawkey
C, Bosch J, Richter J, Garcia-Tsao G, Chan F, editors. Textbook of Clinical
Gastroenterology and Hepatology. 2nd. Sussex: Wiley-Blackwell; 2012.
13. Iwakiri Y. Pathophysiology of portal hyperthension. Clin Hepar Dis.
2014;18(2):281–91.
14. Gulamhusein A, Kamath P. The epidemiology and pathogenesis of
gastrointestinal varices. Tech Gastrointest Endosc. 2017;19(2):62–8.

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 63


15. Atterbury C, Glickman M, Garcia-Tsao G, Roberto G, Fisher R, Conn H. Portal
Pressure, Presence of Gastroesophageal Varices and Variceal Bleeding.
Hepatology. 1985;5(3):419–24. Hepatology. 1985;5(3):419–24.
16. Ripoll C, Groszmann R, Garcia-Tsao G, Grace N, Burroughs A, Planas R, et
al. Hepatic venous pressure gradient predicts clinical decompensation in
patients with compensated cirrhosis. Gastroenterology. 2007;133(2):481–
8.
17. Ripoll C, Groszmann R, Garcia-tsao G, Bosch J, Grace N, Burroughs A, et al.
Hepatic venous pressure gradient predicts development of hepatocellular
carcinoma independently of severity of cirrhosis. J Hepatol. 2009;50(5):923–
8.
18. Turco L, Garcia-Tsao G, Magnani I, Bianchini M, Costetti M, Caporali C, et
al. Cardiopulmonary hemodynamics and C-reactive protein as prognostic
indicators in compensated and decompensated cirrhosis. J Hepatol.
2018;68(5):949–58.
19. Abraldes J, Villanueva C, Bañares R, Aracil C, Catalina M, García-Pagán J, et
al. Hepatic venous pressure gradient and prognosis in patients with acute
variceal bleeding treated with pharmacologic and endoscopic therapy. J
Hepatol. 2008;48(2):229–36.
20. Busk T, Bendtsen F, Nielsen H, Jensen V, Brünner N, Møller S. TIMP-1 in
patients with cirrhosis: relation to liver dysfunction, portal hypertension,
and hemodynamic changes. Scand J Gastroenterol. 2014;49(9):1103–10.
21. Sandahl T, McGrail R, Møller H, Reverter E, Møller S, Turon F, et al. The
macrophage activation marker sCD163 combined with markers of
the Enhanced Liver Fibrosis (ELF) score predicts clinically significant
portal hypertension in patients with cirrhosis. Aliment Pharmacol Ther.
2016;43:1222–31.
22. Leeming D, Veidal S, Karsdal M, Nielsen M, Trebicka J, Busk T, et al. Pro-C5,
a marker of true type V collagen formation and fibrillation, correlates
with portal hypertension in patients with alcoholic cirrhosis. Scand J
Gastroenterol. 2015;50(5):584–92.
23. Hametner S, Ferlitsch A, Ferlitsch M, Etschmaier A, Schöfl R, Ziachehabi
A, et al. The VITRO Score (Von Willebrand Factor Antigen/Thrombocyte
Ratio) as a New Marker for Clinically Significant Portal Hypertension in
Comparison to Other Non-Invasive Parameters of Fibrosis Including ELF
Test. PLoS One. 2016;11(2):e0149230.
24. Bruha R, Jachymova M, Petrtyl J, Dvorak K, Lenicek M, Urbanek P, et
al. Osteopontin: A non-invasive parameter of portal hypertension and
prognostic marker of cirrhosis. World J Gastroenterol. 2016;22(12):3441–
50.

64 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


25. Lim Y, Choi E, Jang Y, Cho Y, Kang Y, Baik S, et al. Clinical Implications of
the Serum Apelin Level on Portal Hypertension and Prognosis of Liver
Cirrhosis. Gut Liver. 2016;10(1):109–16.
26. Kirnake V, Arora A, Sharma P, Goyal M, Chawlani R, Toshniwal J. Non-
invasive aspartate aminotransferase to platelet ratio index correlates well
with invasive hepatic venous pressure gradient in cirrhosis. 2018;(M).
27. Zou Z, Yan X, Li C, et al. von Willebrand factor as a biomarker of clinically
significant portal hypertension and severe portal hypertension: a systematic
review and meta-analysis. BMJ Open. 2019;9:e025656.
28. Yen Y, Kuo F, Kee K, Chang K, Tsai M, Hu T, et al. APRI and FIB-4 in the
evaluation of liver fibrosis in chronic hepatitis C patients stratified by AST
level. 2018;1–16.
29. Cho EJ, Kim MY, Lee JH, Lee UY, Li YL, Choi DH, et al. Diagnostic and
prognostic values of noninvasive predictors of portal hypertension in
patients with alcoholic cirrhosis. PLoS ONE. 2015; 10(7): e0133935. DOI:
10.1371/journal.pone. 0133935.
30. Yen Y, Kuo F, Kee K, Chang K, Tsai M, Hu T, et al. APRI and FIB-4 in the
evaluation of liver fibrosis in chronic hepatitis C patients stratified by AST
level. 2018;1–16.
31. Leung JC, Loong TC, Pang J, Lok J, Vincent W. Invasive and non-invasive
assessment of portal hypertension. Hepatol Int. 2017;30–2.
32. Ferraioli G, Wong V, Castera L, Berzigotti A, Sporea I, Dietrich C, et al.
Liver Ultrasound Elastography: An Update to the World Federation for
Ultrasound in Medicine and Biology Guidelines and Recommendations.
Ultrasound Med Biol. 2018;44(12):2419–40.
33. Owen C, Meyers P. Sonographic evaluation of the portal and hepatic
systems. Journal of Diagnostic Medical Sonography. 2006; 22(5): 317-328.
DOI: 10.1177/8756479306293101.
34. Kondo T, Maruyama H, Sekimoto T, Shimada T, Takahashi M,
Okugawa H, Yokosuka O. Impact of portal hemodynamics on Doppler
ultrasonography for predicting decompensation and long-term outcomes
in patients with cirrhosis. Scand J Gastroenterol. 2016; 51(2): 236-244. DOI:
10.3109/00365521.2015.1081275.
35. Kim MY, Baik SK, Park DH, Lim DW, Kim JW, Kim HS, et al. Damping
index of Doppler hepatic vein waveform to assess the severity of portal
hypertension and response to propranolol in liver cirrhosis: A prospective
nonrandomized study. Liver International. 2007; 27(8): 1103-1110. DOI:
10.1111/j.1478-3231.2007.01526.x.

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 65


36. Vizzutti F, Arena U, Rega L, Romanelli RG, Colagrande S, Cuofano S,
et al. Performance of Doppler ultrasound in the prediction of severe
portal hypertension in hepatitis C virus-related chronic liver disease.
Liver International. 2007; 27(10): 1379-1388. DOI: 10.1111/j.1478-
3231.2007.01563.x.
37. Colecchia A, Montrone L, Scaioli E, Bacchireggiani M, Colli A, Casazza G, et
al. Measurement of spleen stiffness to evaluate portal hypertension and
the presence of esophageal varices in patients with HCV-related cirrhosis.
Gastroenterology. 2012;143(3):646–54.
38. Ravaioli F, Montagnani M, Lisotti A, Festi D, Mazzella G, Azzaroli F. Review
Article Noninvasive Assessment of Portal Hypertension in Advanced
Chronic Liver Disease : An Update. 2018;2018.
39. Sharma BC, Sarin SK. Hepatic venous pressure gradient in cirrhosis: Role in
variceal bleeding, non-bleeding complications and outcome. Asian Journal
of Surgery. 2006; 29(3): 113-119.
40. Choi SY, Jeong WK, Kim Y, Kim J, Kim TY, Sohn JH. Shear-Wave Elastography:
A noninvasive tool for monitoring changing hepatic venous pressure
gradients in patients with cirrhosis. Radiology. 2014; 273(3): 917-926.
41. Xu G, Li F, Mao Y. Portal pressure monitoring — state-of-the-art and future
perspective. 2019;7(20).
42. Thalheimer U, Mela M, Patch D, Burroughs AK. Monitoring target reduction
in hepatic venous pressure gradient during pharmacological therapy of
portal hypertension: A close look at the evidence. Gut. 2004;53(1):143–8.
43. Nicoară-farcău O, Stefănescu H, Tanțău M, Procopeț B. Diagnostic challenges
in non-cirrhotic portal hypertension - porto sinusoidal vascular disease.
2020;26(22):3000–11.
44. Runyon B. Introduction to the revised American Association for the Study
of Liver Diseases Practice Guideline management of adult patients with
ascites due to cirrhosis 2012. Hepatology. 2013;57(4):1651–3.
45. Gerbes A, Jungst D, Xie T, Permanetter W, Paumgartner G. Ascitic fluid
analysis for the differentiation of malignancy-related and nonmalignant
ascites: proposal of a diagnostic sequence. Cancer1. 1991;68:1808-14.
46. Alaniz C, Regal RE. Spontaneous bacterial peritonitis a review of treatment
options. P T. 2009;34(4):204–13.
47. Bernardi M, Santini C, Trevisani F, Baraldini M, Ligabue A, Gasbarrini G.
Renal function impairment induced by change in posture in patients with
cirrhosis and ascites. Liver Int. 2015;35:184–91.
48. Ring-Larsen H, Henriksen J, Wilken C, Clausen J, Pals H, Christensen N.
Diuretic treatment in decompensated cirrhosis and congestive heart
failure: effect of posture. Br Med J. 1986;292(1351–3).

66 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


49. Huelin P, Fortea JI, Crespo J, Fábrega E. Ascites: Treatment, Complications,
and Prognosis. In: Rodrigo L, editor. Ascites - Physiopathology, Treatment,
Complications and Prognosis. IntechOpen; 2017.
50. Pockros P, Reynolds T. Rapid diuresis in patients with ascites from chronic
liver disease: the importance of peripheral edema. Gastroenterology.
1986;90:1827–33.
51. El-Bokl M, Senousy B, El-Karmouty K, Mohammed IK, Mohammed S, Shabana
S, et al. Spot urinary sodium for assessing dietary sodium restriction in
cirrhotic ascites. WJG. 2009;15(29):3631–5.
52. Lin C, Shih F, Ma M, Chiang W, Yang C, Ko P. Should bleeding tendency deter
abdominal paracentesis? Dig Liver Dis. 2005;37:946–51.
53. Bernardi M, Caraceni P, Navickis R, Wilkes M. Albumin infusion in patients
undergoing large-volume paracentesis: a meta-analysis of randomized
trials. Hepatology. 2012;55:1172–81.
54. Casado M, Bosch J, Garcia-Pagan J, Bru C, Banares R, Bandi J, et al. Clinical
events after transjugular intrahepatic portosystemic shunt: correlation
with hemodynamic findings. Gastroenterology. 1998;114:1296–303.
55. Riggio O, Angeloni S, Salvatori F, De Santis A, Cerini F, Farcomeni A, et al.
Incidence, natural history, and risk factors of hepatic encephalopathy after
transjugular intrahepatic portosystemic shunt with polyetrafluoroethylene-
covered stent grafts. Am J Gastroenterol. 2008;103:2738–46.
56. Sauerbruch T, Mengel M, Dollinger M, Zipprich A, Rossie M, Panther E, et al.
Prevention of rebleeding from esophageal varices in patients with cirrhosis
receiving small-diameter stents vs hemodynamically controlled medical
therapy. Gastroenterology. 2015;149:660–8.
57. Wang Q, Lv Y, Bai M, Wang Z, Liu H, He C, et al. Eight milimetre covered TIPS
does not compromise shunt function but reduces hepatic encephalopathy
in preventing variceal rebleeding. J Hepatol. 2017;67:508–16.
58. Salerno F, Camma C, Enea M, Rossie M, Wong F. Transjugular intrahepatic
portosystemic shunt for refractory ascites: a meta-analysis of individual
patient data. Gastroenterology. 2007;133:825–34.
59. Angeli P, Volpin R, Piovan D, Bortoluzzi A, Craighero R, Bottaro S, et al.
Acute effects of the oral administration of midodrine, an alpha-adrenergic
agonist, on renal hemody- namics and renal function in cirrhotic patients
with ascites. Hepatology. 1998;28(4):937–43.
60. Kalambokis G, Fotopoulos A, Economou M, Pappas K, Tsianos E. Effects of
a 7-day treatment with midodrine in non-azotemic cirrhotic patients with
and without ascites. J Hepatol. 2007;46(2):213–21.

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 67


61. Singh V, Dhungana S, Singh B, Vijayverghia R, Nain C, N S, et al. Midodrine
in patients with cirrhosis and refractory or recurrent ascites: A randomized
pilot study. J Hepatol. 2012;56(2):348–54.
62. Lenaerts A, Codden T, Meunier J, Henry J, Ligny G. Effects of clonidine
on diuretic response in ascitic patients with cirrhosis and refractory or
recurrent ascites: a randomized pilot study. Hepatology. 2006;44:844–9.
63. Sakaida I, Kawazoe S, Kajimura K, Saito T, Okuse C, Takaguchi K, et al.
Tolvaptan for improvement of hepatic edema: A phase 3, multicenter,
randomized, double-blind, placebo-controlled trial. Hepatol Res.
2014;44(1):73–82.
64. Okita K, Kawazoe S, Hasebe C, Kajimura K, Kaneko A, Okada M, et al.
Dose-finding trial of tolvaptan in liver cirrhosis patients with hepatic
edema: A randomized, double-blind, placebo-controlled trial. Hepatol Res.
2014;44(1):83–91.
65. Bellot P, Welker M, Soriano G, von Schaewen M, Appenrodt B, Wiest R, et al.
Automated low flow pump system for the treatment of refractory ascites: a
multi-center safety and efficacy study. J Hepatol. 2013;58:922–7.
66. Stirnimann G, Berg T, Spahr L, Zeuzem S, McPherson S, Lammert F, et al.
Treatment of refractory ascites with an automated low-flow ascites pump
in patients with cirrhosis. Aliment Pharmacol Ther. 2017;46:981–91.
67. Bureau C, Adebayo D, Chalret de Rieu M, Elkrief L, Valla D, et al. Alfapump
system vs. large volume paracentesis for refractory ascites: A multicenter
randomized controlled study. J Hepatol. 2017;67:940–9.
68. Caldwell J, Edriss H, Nugent K. Chronic peritoneal indwelling catheters for
the management of malignant and nonmalignant ascites. Proc (Bayl Univ
Med Cent). 2018;31(3):297–302.
69. Reinglas J, Amjadi K, Petrcich BP, Momoli F, Shaw-Stiffel T. The Palliative
Management of Refractory Cirrhotic Ascites Using the PleurX (©) Catheter.
Can J Gastroenterol Hepatol. 2016;4680543.
70. Thiel DH Van, Moore C, Garcia M, George M, Nadir A. Continuous peritoneal
drainage of large-volume ascites. Dig Dis Sci. 2011;56(9):2723–7.
71. Rossle M, Gerbes AL. TIPS for the treatment of refractory ascites, hepatorenal
syndrome and hepatic hydrothorax: a critical update. Gut. 2010;59:988–
1000.
72. Kashani A, Landaverde C, Medici V, Rossaro L. Fluid retention in cirrhosis:
pathophysiology and management. Q J Med. 2008;101:71–85.
73. Garbuzenko D, Arefyev N. Hepatic hydrothorax: an update and review of
the literature. World J Hepatol. 2017;1197–204.

68 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


74. Badillo R, Rockey D. Hepatic hydrothorax: clinical features, management,
and outcomes in 77 patients and review of the literature. Medicine
(Baltimore). 2014;93:135–42.
75. Hou F, Qi X, Guo X. Effectiveness and safety of pleurodesis for hepatic
hydrothorax: A systematic review and meta-analysis. Dig Dis Sci.
2016;61:3321–34.
76. Huang P, Kuo S, Chen J, Lee J. Thoracoscopic mesh repair of diaphragmatic
defects in hepatic hydrothorax: results of a survey. Ann Thorac Surg.
2016;101:1921–7.
77. Attar B. Approach to hyponatremia in cirrhosis. Clin Liver Dis. 2019;13:98–
101.
78. Kim W, Biggins S, Kremers W, Wiesner R, Kamath P, Benson J, et al.
Hyponatremia and mortality among patients on the liver-transplant waiting
list. N Engl J Med. 2008;359:1018–26.
79. Cárdenas A, Ginès P, Marotta P, Czerwiec F, Oyuang J, Guevara M, et al.
Tolvaptan, an oral vasopressin antagonist, in the treatment of hyponatremia
in cirrhosis. J Hepatol. 2012;56:571–8.
80. Torres VE, Chapman AB, Devuyst O, Ganservoort RT. Tolvaptan in Patients
with Autosomal Dominant Polycystic Kidney Disease. N Engl J Med.
2012;367:2407–18.
81. Dahl E, Gluud L, Kimer N, Krag A. Meta-analysis: The safety and efficacy of
vaptans (tolvaptan, satavaptan and lixivaptan) in cirrho-sis with ascites or
hyponatremia. Aliment Pharmacol Ther. 2012;36(7):619–26.
82. Evans L, Kim W, Poterucha J, Kamath P. Spontaneous bacterial peritonitis in
asymptomatic outpatients with cirrhotic ascites. Hepatology. 2003;37:897–
901.
83. Feldman M, Friedman L, Brandt J. Sleisenger and Fordtran’s Gastrointestinal
and Liver Disease. 8th ed. Saunders. Philadelphia; 2006. p. 1935–64.
84. Rimola A, Salmeron J, Clemente G, Rodrigo L, Obrador A, Miranda M, et
al. Two different dosages of cefotaxime in the treatment of spontaneous
bacterial peritonitis in cirrhosis: results of a prospective, randomized,
multicenter study. Hepatology. 1995;21:674–9.
85. Runyon B, McHutchison J, Antillon M, Akriviadis E, Montano A. Short course
vs long course antibiotic treatment of spontaneous bacterial peritonitis:
A randomized controlled study of 100 patients. Gastroenterology.
1991;100:1737–42.
86. Ricart E, Soriano G, Novella M, Ortiz J, Sabat M, Kolle L, et al. Amoxicillin-
clavulanic acid vs cefotaxime in the therapy of bacterial infections in
cirrhotic patients. J Hepatol. 2000;32:596–602.

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 69


87. DeLemos A, Ghabril M, Rockey D, Gu J, Barnhart H, Fontana R, et al. Drug-
induced liver injury network (DILIN). Amoxicillin-clavulanateinduced liver
injury. Dig Dis Sci. 2016;61:2406–16.
88. Terg R, Cobas S, Fassio E, Landeira G, Rios B, Vasen W, et al. Oral ciprofloxacin
after a short course of intravenous ciprofloxacin in the treatment of
spontaneous bacterial peritonitis: results of a multicenter, randomized
study. J Hepatol. 2000;33:564–9.
89. Fernandez J, Bert F, Nicolas-Chanoine M. The challenges of multidrug-
resistance in hepatology. J Hepatol. 2016;65:1043–54.
90. Fernandez J, Acevedo J, Castro M, Garcia O, de Lope C, Roca D, et al.
Prevalence and risk factors of infections by multiresistant bacteria in
cirrhosis: a prospective study. Hepatology. 2012;55:1551–61.
91. Magiorakos A, Srinivasan A, Carey R, Carmeli Y, Falagas M, Giske C, et al.
Multidrug-resistant, extensively drug-resistant and pandrugresistant
bacteria: an international expert proposal for interim standard definitions
for acquired resistance. Clin Microbiol Infect. 2012;18:268–81.
92. Sort P, Navasa M, Arroyo V, Aldeguer X, Planas R, Ruiz-del-Arbol L, et
al. Effect of intravenous albumin on renal impairment and mortality in
patients with cirrhosis and spontaneous bacterial peritonitis. N EnglJ Med.
1999;341:403–9.
93. Gines P, Rimola A, Planas R, Vargas V, Marco F, Almela M, et al. Norfloxacin
prevents spontaneous bacterial peritonitis recurrence in cirrhosis: Results
of a double-blind, placebo-controlled trial. Hepatology. 1990;12(4 Pt
1):716–24.
94. Terg R, Fassio E, Guevara M, Cartier M, Longo C, Lucero R, et al. Ciprofloxacin
in primary prophylaxis of spontaneous bacterial peritonitis: A randomized,
placebo-controlled study. J Hepatol. 2008;48:774–9.
95. Fernández J, Ruiz L, Arbol DEL, Gómez C, Durandez R, Serradilla R, et al.
Norfloxacin vs Ceftriaxone in the Prophylaxis of Infections in Patients With
Advanced Cirrhosis and Hemorrhage. Gastroenterology. 2006;131(4):1049–
56.
96. Singh N, Gayowski T, Yu V, Wagener M. Trimethoprim-sulfamethoxazole
for the prevention of spontaneous bacterial peritonitis in cirrhosis: a
randomized trial. Ann Intern Med. 1995;122(8):595–8.
97. Garcia-Tsao G. Bacterial infections in cirrhosis: treatment and prophylaxis.
J Hepatol. 2005;42(Supple(1)):S85-92.
98. Loomba R, Wesley R, Bain A, Csako G, Pucino F. Role of Fluoroquinolones
in the Primary Prophylaxis of Spontaneous Bacterial Peritonitis: Meta-
Analysis. Clin Gastroenterol Hepatol. 2009;7:487-93.

70 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


99. Saab S, Hernandez J, Chi A, Al E. Oral antibiotic prophylaxis reduces
spontaneous bacterial peritonitis occurrence and improves short-term
survival in cirrhosis: a meta-analysis. Am J Gastroenterol. 2009;104:993–
1001.
100. Arroyo V, Ginès P, Gerbes AL, Dudley FJ, Gentilini P, Laffi G, et al. Definition
and diagnostic criteria of refractory ascites and hepatorenal syndrome in
cirrhosis. Hepatology. 1996;23(1):164–76.
101. Piano S, Romano A, Di Pascoli M, Angeli P. Why and how to measure
renal function in patients with liver disease. Liver Int. 2017;37(October
2016):116–22.
102. Angeli P, Ginès P, Wong F, Bernardi M, Boyer TD, Gerbes A, et al. Diagnosis
and management of acute kidney injury in patients with cirrhosis:
Revised consensus recommendations of the International Club of Ascites.
J Hepatol [Internet]. 2015;62(4):968–74. Available from: http://dx.doi.
org/10.1016/j.jhep.2014.12.029
103. Allegretti AS, Sola E, Gines P. Clinical application of kidney biomarkers
in cirrhosis. Am J Kidney Dis. 2020; 76(5): 710-719. DOI: 10.1053/j.
ajkd.2020.03.016.
104. Wong F, Nadim MK, Kellum JA, Salerno F, Bellomo R, Gerbes A, et al. Working
Party proposal for a revised classification system of renal dysfunction in
patients with cirrhosis. Gut. 2011;60(5):702–9.
105. Erly B, Carey WD, Kapoor B, McKinney JM, Tam M, Wang W. Hepatorenal
syndrome: A review of pathophysiology and current treatment options.
Seminars in Interventional Radiology. 2015; 32(4): 445-454. DOI: 10.1055/
s-0035-1564794.
106. Gluud LL, Christensen K, Christensen E, Krag A. Terlipressin for hepatorenal
syndrome. Cochrane Database Syst Rev. 2012; CD005162.
107. Facciorusso A, Chandar AK, Murad MH, Prokop LJ, Muscatiello N, Kamath
PS, Singh S. Comparative efficacy of pharmacological strategies for
management of type 1 hepatorenal syndrome: A systematic review and
network meta-analysis. Lancet Gastroenterol Hepatol. 2017; 2: 94-102.
108. Cavallin M, Piano S, Romano A, Fasolato S, Frigo AC, Benetti G, et al.
Terlipressin given by continuous intravenous infusion versus intravenous
boluses in the treatment of hepatorenal syndrome: A randomized controlled
study. Hepatology. 2016;63(3):983–92.
109. Biggins SW, Angeli P, Garcia-Tsao G, Gines P, Ling S, Nadim MK, Wong F,
Kim WR. Diagnosis, evaluation, and management of ascites and hepatorenal
syndrome. Hepatology. 2021. DOI: 10.1002/hep.31884.

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 71


110. Esrailian E, Pantangco ER, Kyulo NL, Hu KQ, Runyon BA. Octreotide/
midodrine therapy significantly improves renal function and 30-day
survival in patients with type 1 hepatorenal syndrome. Dig Dis Sci.
2007;52(3):742–8.
111. Acevedo JG, Cramp ME. Hepatorenal syndrome: Update on diagnosis and
therapy. World J Hepatol. 2017; 9(6): 293-299. DOI: 10.4254/wjh.v9.i6.293.
112. Overgaard CB, Dzavik V. Inotropes and vasopressores: Review of physiology
and clinical use in cardiovascular disease. Circulation. 2008; 118: 1047-
1056.
113. Guevara M, Ginès P, Bandi JC, Gilabert R, Sort P, Jiménez W, et al. Transjugular
intrahepatic portosystemic shunt in hepatorenal syndrome: Effects on
renal function and vasoactive systems. Hepatology. 1998;28(2):416–22.
114. Kribben A, Gerken G, Haag S, Hergetrosenthal S, Treichel U, Betz C, et al.
Effects of fractionated plasma separation and adsorption on survival in
patients with acute-on-chronic liver failure. Gastroenterology [Internet].
2012;142(4):782-789.e3. Available from: http://dx.doi.org/10.1053/j.
gastro.2011.12.056
115. Nadim MK, Sung RS, Davis CL, Andreoni KA, Biggins SW, Danovitch GM, et
al. Simultaneous liver-kidney transplantation summit: Current state and
future directions. Am J Transplant. 2012;12(11):2901–8.
116. Verna EC, Brown RS, Farrand E, Pichardo EM, Forster CS, Sola-Del Valle DA,
et al. Urinary neutrophil gelatinase-associated lipocalin predicts mortality
and identifies acute kidney injury in cirrhosis. Dig Dis Sci. 2012;57(9):2362–
70.
117. Francoz C, Nadim MK, Durand F. Kidney biomarkers in cirrhosis. J
Hepatol [Internet]. 2016;65(4):809–24. Available from: http://dx.doi.
org/10.1016/j.jhep.2016.05.025
118. Hamdy HS, El-Ray A, Salaheldin M, Lasheen M, Aboul-Ezz M, Abdel-Moaty
AS, et al. Urinary neutrophil gelatinase-associated lipocalin in cirrhotic
patients with acute kidney injury. Ann Hepatol [Internet]. 2018;17(4):624–
30. Available from: http://dx.doi.org/10.5604/01.3001.0012.0931
119. Yang Y, Ge B, Liu Y, Feng J. The efficacy of biomarkers in the diagnosis of
acute kidney injury secondary to liver cirrhosis. Medicine (Baltimore).
2021;100(14):e25411.
120. Sort P, Navasa M, Arroyo V, Aldeguer X, Planas R, Ruiz-Del-Arbol L, et
al. Effect of intravenous albumin on renal impairment and mortality in
patients with cirrhosis and spontaneous bacterial peritonitis. N Engl J Med.
1999; 341: 403-409.

72 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


121. Bosch J, Groszmann RJ, Shah V. Evolution in the understanding of the
pathophysiological basis of portal hypertension. J Hepatol. 2015;62(10):1–
22.
122. Garcia-Tsao G, Bosch J. Management of Varices and Variceal Hemorrhage in
Cirrhosis. N Engl J Med. 2010;362(9):823–32.
123. LaBreque D, Dite P, Fried M, Gangl A, Kan A. Esophageal varices. World
Gastroenterol Organ Glob Guid. 2014;2–3.
124. Nagashima K, Irisawa A, Tominaga K, Kashima K, Kunogi Y, Minaguchi T, et
al. The role of endoscopic ultrasound for esophageal varices. Diagnostics
2020;10:1007. DOI:10.3390/diagnostics10121007.
125. Thapa B, Maharjan D, Tamang T, Shrestha S. Clinical correlation between
Child Pugh’s score and oesophageal varices in upper gastrointestinal
endoscopy in cirrhotic patient. J Kathmandu Med Coll. 2015;4(14):135–9.
126. Sumon SMS, Sutradhar S, Chowdhury M, Khan N, Uddin M, Hasan M, et al.
Relation of different grades of esophageal varices with Child-Pugh classes
in cirrhosis of liver. Mymensingh Med J. 2013;22(1):37–41.
127. Nababan SHH, Kalista K, Jasirwan C, Kurniawan J, Lesmana CRA, Sulaiman
A, et al. Mac-2 Binding Protein Glycosylation Isomer for Screening High-
Risk Esophageal Varices in Liver Cirrhotic Patient. Livers. 2021; 1: 60-67.
DOI: 10.3390/livers1020006.
128.
Nouh MAE-D, Ali KAE-M, Badawy AM, El-Daly AH. Correlation of
thrombocytopenia with grading of esophageal varices in chronic liver
disease patients. Menoufia Med J. 2018;31(2):588–93.
129. Priyadarshi BP, Khan IK, Kumar V, Verma AK, Midha T, Madhuri, et al. Study
the association between platelets count and grades of oesophageal varies
in patients of cirrhosis of liver with portal hypertension. Int J Adv Med.
2020;7(4):603–7.
130. Giannini E, Zaman A, Kreil A, Floreani A, Dulbecco P, Testa E, et al. Platelet
count/spleen diameter ratio for the noninvasive diagnosis of esophageal
varices: Results of a multicenter, prospective, validation study. Am J
Gastroenterol. 2006;101(11):2511–9.
131. Chen R, Deng H, Ding X, Xie C, Wang W, Shen Q. Platelet Count to Spleen
Diameter Ratio for the Diagnosis of Gastroesophageal Varices in Liver
Cirrhosis: A Systematic Review and Meta-Analysis. Gastroenterol Res Pr.
2017;7407506.
132. Maurice J, Brodkin E, Arnold F, Navaratnam A, Paine H, Khawar S, et al.
Validation of the Baveno VI criteria to identify low risk cirrhotic patients not
requiring endoscopic surveillance for varices. J Hepatol. 2016;65(5):899–
905.

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 73


133. Moctezuma-velazquez C, Saffioti F, Tasayco-huaman S, Casu S, Mason A,
Roccarina D, et al. Non-invasive Prediction of High-risk Varices in Patients
with Primary Biliary Cholangitis and Primary Sclerosing Cholangitis. Am J
Gastroenterol. 2019;114(3):446–52.
134. Berzigotti A, Ashkenazi E, Reverter E, Abraldes J, Bosch J. Non-invasive
diagnostic and prognostic evaluation of liver cirrhosis and portal
hypertension. Dis Markers. 2011;31(3):129–38.
135. Thabut D, Bureau C, Layese R, Bourcier V, Hammouche M, Cagnot C, et al.
Validation of Baveno VI Criteria for Screening and Surveillance of Esophageal
Varices in Patients With Compensated Cirrhosis and a Sustained Response
to Antiviral Therapy. Gastroenterology. 2019;156(4):997–1009.
136. Giannini E, Botta F, Borro P, Risso D, Romagnoli P, Fasoli A, et al. Platelet
count/spleen diameter ratio: proposal and validation of a non-invasive
parameter to predict the presence of oesophageal varices in patients with
liver cirrhosis. Gut. 2003;52(8):1200–5.
137. Abraldes J, Bureau C, Stefanescu H, Augustin S, Ney M, Blasco H, et al.
Noninvasive tools and risk of clinically significant portal hypertension
and varices in compensated cirrhosis: The “Anticipate” study. Hepatology.
2016;64(6):2173–84.
138. Toshikuni N, Takabatake H, Shimomura H, Doi A, Sakakibara I, Matsueda
K, et al. Measurement of Spleen Stiffness by Acoustic Radiation Force
Impulse Imaging Identifies Cirrhotic Patients With Esophageal Varices.
Gastroenterology. 2013;144(1):92–101.
139. Tamaki N, Kurosaki M, Loomba R, Izumi N. Clinical utility of Mac-2 Binding
Protein Glycosylation Isomer in chronic liver diseases. Ann Lab Med. 2021;
41(1): 16-24. DOI: 10.3343/alm.2021.41.1.16.
140. Kalafateli M, Triantos CK, Nikolopoulou V, Burroughs A. Non-variceal
gastrointestinal bleeding in patients with liver cirrhosis: A review. Dig Dis
Sci. 2012;57(11):2743–54.
141. Iino C, Shimoyama T, Igarashi T, Aihara T, Ishii K, Sakamoto J, et al.
Usefulness of the Glasgow-Blatchford score to predict 1-week mortality in
patients with esophageal variceal bleeding. Eur J Gastroenterol Hepatol.
2017;29(5):547–51.
142.
Blatchford O, Murray WR, Blatchford M. A risk score to predict
need for treatment for upper-gastrointestinal haemorrhage. Lancet.
2000;356(9238):1318–21.
143. Durand F, Valla D. Assessment of the prognosis of cirrhosis: Child-Pugh
versus MELD. Journal of Hepatology. 2005; 42: S100-S107. DOI: 10.1016/j.
jhep.2004.11.015.

74 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


144. Reed B, Dalton HR, Blatchford O, Ashley D, Mowat C, Gaya DR, et al. Is
the Glasgow Blatchford Score useful in the risk assessment of patients
presenting with variceal haemorrhage? Gut. 2011;60(Suppl 1):A45–A45.
145. Stanley AJ. Update on risk scoring systems for patients with upper
gastrointestinal haemorrhage. World J Gastroenterol. 2012;18(22):2739–
44.
146. Monteiro S. Upper gastrointestinal bleeding risk scores: Who, when and
why? World J Gastrointest Pathophysiol. 2016;7(1):86.
147. Lu M, Sun G, Huang H, Zhang X, Xu Y, Chen S, et al. Comparison of the
Glasgow-Blatchford and Rockall Scores for prediction of nonvariceal
upper gastrointestinal bleeding outcomes in Chinese patients. Med (United
States). 2019;98(21):1–5.
148. Mohamed MS, Elgohary MN, Bassiony MAA, Hanafy AS. Upper
gastrointestinal bleeding in patients with cirrhosis, is the difference of
clinical outcomes depend on the sources? Research Square. 2020. DOI:
10.21203/rs.2.21312/v1.
149. Ahn S, Lim KS, Lee YS, Lee JL. Blatchford score is a useful tool for predicting
the need for intervention in cancer patients with upper gastrointestinal
bleeding. J Gastroenterol Hepatol. 2013;28(8):1288–94.
150. Lim LG, Ho KY, Chan YH, Teoh PL, Khor CJL, Lim LL, et al. Urgent endoscopy
is associated with lower mortality in high-risk but not low-risk nonvariceal
upper gastrointestinal bleeding. Endoscopy. 2011;43(4):300–6.
151. Sarin SK, Kumar A, Angus PW, Baijal SS, Baik SK, Bayraktar Y, et al. Diagnosis
and management of acute variceal bleeding: Asian Pacific Association for
study of the Liver recommendations. Hepatol Int. 2011;5(2):607–24.
152. Patch D, Dagher L. Acute variceal bleeding: General management. World J
Gastroenterol. 2001;7(4):466–75.
153. Rodrigues SG, Mendoza YP, Bosch J. Beta-blockers in cirrhosis: Evidence-
based indications and limitations. JHEP Reports. 2020;2(1):100063.
154. Braldes J, Berzigotti A, Bosch J. Portal Hypertensive Bleeding in Cirrhosis:
Risk Stratification, Diagnosis and Management - 2016. 2016;
155. Villanueva C, Escorsell À. Optimizing general management of acute variceal
bleeding in cirrhosis. Curr Hepat Rep. 2014;13(3):198–207.
156. Villanueva C, Colomo A, Bosch A, Concepción M, Hernandez-Gea V, Aracil C,
et al. Transfusion Strategies for Acute Upper Gastrointestinal Bleeding. N
Engl J Med. 2013;368(1):11–21.
157. Levacher S, Letoumelin P, Pateron D, Blaise M, Lapandry C, Pourriat JL.
Early administration of terlipressin plus glyceryl trinitrate to control
active upper gastrointestinal bleeding in cirrhotic patients. Lancet. 1995;
346(8979): 865-868. DOI: 10.1016/s0140-6736(95)92708-5.

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 75


158. Seo YS, Park SY, Kim MY, Kim JH, Park JY, Yim HJ, et al. Lack of difference
among terlipressin, somatostatin, and octreotide in the control of acute
gastroesophageal variceal hemorrhage. Hepatology. 2014;60(3):954–63.
159. Garcia-Tsao G, Sanyal AJ, Grace ND, Carey W, Shuhart MC, Davis GL, et al.
Prevention and management of gastroesophageal varices and variceal
hemorrhage in cirrhosis. Hepatology. 2007;46(3):922–38.
160. Salcedo M, Alonso S, Rincón D, Bañares R, Ruiz-Del-Arbol L, González M, et
al. Endoscopic treatment versus endoscopic plus pharmacologic treatment
for acute variceal bleeding: A meta-analysis. Hepatology. 2002;35(3):609–
15.
161. Ríos Castellanos E, Seron P, Gisbert JP, Bonfill Cosp X. Endoscopic injection of
cyanoacrylate glue versus other endoscopic procedures for acute bleeding
gastric varices in people with portal hypertension. Cochrane Database Syst
Rev. 2015;2015(5).
162. Garcia-Tsao G, Lim J. Management and treatment of patients with cirrhosis
and portal hypertension: Recommendations from the department of
veterans affairs hepatitis C resource center program and the national
hepatitis C program. Am J Gastroenterol [Internet]. 2009;104(7):1802–29.
Available from: http://dx.doi.org/10.1038/ajg.2009.191
163. Franchis R, on behalf of the Baveno V Faculty. Revising consensus in portal
hypertension: Report of the Baveno V consensus workshop on methodology
of diagnosis and therapy in portal hypertension. Journal of Hepatology.
2010; 53: 762-768.
164. Escorsell À, Pavel O, Cárdenas A, Morillas R, Llop E, Villanueva C, et al.
Esophageal balloon tamponade versus esophageal stent in controlling
acute refractory variceal bleeding: A multicenter randomized, controlled
trial. Hepatology. 2016;63(6):1957–67.
165. Korula J. Early use of TIPS in patients with cirrhosis and variceal bleeding:
Response. Ann Intern Med. 2010;153(10).
166. Reverter E, Tandon P, Augustin S, Turon F, Casu S, Bastiampillai R, et al.
A MELD-based model to determine risk of mortality among patients with
acute variceal bleeding. Gastroenterology [Internet]. 2014;146(2):412-
419.e3. Available from: http://dx.doi.org/10.1053/j.gastro.2013.10.018
167. Amarapurkar PD, Amarapurkar DN. Management of Coagulopathy in
Patients with Decompensated Liver Cirrhosis. Int J Hepatol. 2011;2011:1–
5.
168. Merli M, Nicolini G, Angeloni S, Gentili F, Attili AF, Riggio O. The natural
history of portal hypertensive gastropathy in patients with liver cirrhosis
and mild portal hypertension. Am J Gastroenterol. 2004;99(10):1959–65.

76 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


169. Yoshikawa I, Murata I, Nakano S, Otsuki M. Effects of endoscopic variceal
ligation on portal hypertensive gastropathy and gastric mucosal blood flow.
Am J Gastroenterol. 1998;93(1):71–4.
170. Nakamura K, Honda K, Akahoshi K, Ihara E, Matsuzaka H, Sumida Y, et al.
Suitability of the expanded indication criteria for the treatment of early
gastric cancer by endoscopic submucosal dissection: Japanese multicenter
large-scale retrospective analysis of short- and long-term outcomes. Scand
J Gastroenterol. 2015;50(4):413–22.
171. Nguyen H, Le C, Ngyuyen H. Gastric antral vascular ectasia (watermelon
stomach) – An enigmatic and often overlooked cause of gastrointestinal
bleeding in the elderly. The Permanente Journal. 2009; 13(4): 46-49.
172. Kamath PS, Lacerda M, Ahlquist DA, McKusick MA, Andrews JC, Nagorney
DA. Gastric mucosal responses to intrahepatic portosystemic shunting in
patients with cirrhosis. Gastroenterology. 2000;118(5):905–11.
173. Ripoll C, Garcia-Tsao G. Treatment of gastropathy and gastric antral
vascular ectasia in patients with portal hypertension. Curr Treat Options
Gastroenterol. 2007; 10: 484-494.
174. Zhou Y, Qiao L, Wu J, Hu H, Xu C. Comparison of the efficacy of octreotide,
vasopressin, and omeprazole in the control of acute bleeding in patients
with portal hypertensive gastropathy: A controlled study. J Gastroenterol
Hepatol. 2002; 17: 973-979.
175.
Zenker M. Argon plasma coagulation. GMS Krankenhaushygiene
Interdisziplinar. 2008; 3(1), ISSN 1863-5245.
176. Hanafy A, El Hawary A. Efficacy of argon plasma coagulation in the
management of portal hypertensive gastropathy. Endosc Int Open.
2016;04(10):E1057–62.
177. Roman S, Saurin JC, Dumortier J, Perreira A, Bernard G, Ponchon T.
Tolerance and efficacy of argon plasma coagulation for controlling bleeding
in patients with typical and atypical manifestations of watermelon stomach.
Endoscopy. 2003;35(12):1024–8.
178. Lo GH, Lai KH, Cheng JS, Hsu PI, Chen TA, Wang EM, et al. The effects of
endoscopic variceal ligation and propranolol on portal hypertensive
gastropathy: A prospective, controlled trial. Gastrointest Endosc.
2001;53(6):579–84.
179. Kato T, Araki H, Onogi F, Ibuka T, Sugiyama A, Tomita E, et al. Clinical trial:
Rebamipide promotes gastric ulcer healing by proton pump inhibitor
after endoscopic submucosal dissection-a randomized controlled study. J
Gastroenterol. 2010;45(3):285–90.

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 77


180. Kijdamrongthum P, Thongsawat S, Taned Chitapanarux. Effect of rebamipide
on portal hypertensive gastropathy: A prospective randomized controlled
trial – A pilot study. Semantic Scholar. 2010. Corpus ID: 2192415.
181. Xu KS, Li Q, Zhou X. Influence of Rebamipide on leptin expression in gastric
mucosa with portal hypertensive gastropathy. World Chinese Journal of
Digestology. 2006; 14(3): 346-349.
182. Gjeorgjievski M, Cappell MS. Portal hypertensive gastropathy: A systematic
review of the pathophysiology, clinical presentation, natural history, and
therapy. World Journal of Hepatology. 2016; 8(4): 231-262. DOI: 10.4254/
wjh.v8.i4.231.
183. Harnois DM. Primary prophylaxis of gastric variceal bleeding comparing
cyanoacrylate injection and beta-blockers: A randomized controlled trial.
Yearb Gastroenterol [Internet]. 2011;2011:261–2. Available from: http://
dx.doi.org/10.1016/j.ygas.2011.07.090
184. Mishra SR, Sharma BC, Kumar A, Sarin SK. Endoscopic cyanoacrylate
injection versus β-blocker for secondary prophylaxis of gastric variceal
bleed: A randomised controlled trial. Gut. 2010;59(6):729–35.
185. Tai Nin Chau, Patch D, Yu Wai Chan, Nagral A, Dick R, Burroughs AK. “Salvage”
transjugular intrahepatic portosystemic shunts: Gastric fundal compared
with esophageal variceal bleeding. Gastroenterology. 1998;114(5):981–7.
186. Hung HH, Chang CJ, Hou MC, Liao WC, Chan CC, Huang HC, et al. Efficacy
of non-selective β-blockers as adjunct to endoscopic prophylactic
treatment for gastric variceal bleeding: A randomized controlled trial. J
Hepatol [Internet]. 2012;56(5):1025–32. Available from: http://dx.doi.
org/10.1016/j.jhep.2011.12.021
187. Kochhar GS, Navaneethan U, Hartman J, Parungao JM, Lopez R, Gupta R, et al.
Comparative study of endoscopy vs transjugular intrahepatic portosystemic
shunt in the management of gastric variceal bleeding. Gastroenterology
Report. 2015; 3(1): 75-82. DOI: 10.1093/gastro/gou095.
188.
Saad WE. Endovascular management of gastric varices. Clin Liver
Dis [Internet]. 2014;18(4):829–51. Available from: http://dx.doi.
org/10.1016/j.cld.2014.07.005.
189. Khungar V, Saab S. Cirrhosis With Refractory Ascites: Serial Large Volume
Paracentesis, TIPS, or Transplantation? Clin Gastroenterol Hepatol
[Internet]. 2011;9(11):931–5. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.
cgh.2011.04.028
190. Mahmoudi N, Whittaker JS. Glueing of fundal varices. Can J Gastroenterol.
2006;20(11):691–3.

78 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


LAMPIRAN
Parasentesis volume besar/large volume paracentesis (LVP)
Parasentesis volume besar berulang/large volume paracentesis (LVP) saat
ini dianggap sebagai tatalaksana lini pertama yang aman dan efektif untuk
asites refrakter. Pemberian albumin secara intravena, sebagai bagian dari
prosedur LVP, juga bermanfaat dalam mencegah disfungsi sirkulasi darah
pasca parasentesis. Komplikasi ini dapat disebabkan oleh adanya perpindahan
cairan, hipovolemia; dan aktivasi lebih lanjut dari sistem renin-angiotensin-
aldosteron, yang pada akhirnya menyebabkan komplikasi lanjutan berupa
hiponatremia akibat gagal ginjal, akumulasi asites yang cepat, dan laju
harapan hidup yang lebih singkat. Derajat keparahan koagulopati tidak
memprediksi kejadianpendarahan pada pasien dengan sirosis. Hingga saat
ini juga tidak ada data yang mendukung penggunaan rutin plasma beku
segar atau trombosit sebelum LVP. Pedoman-pedoman yang ada saat ini
menunjukkan tidak ada nilai batas yang jelas untuk parameter kontraindikasi
dilakukannya parasentesis. Akan tetapi, jumlah trombosit masih mungkin
menjadi salah satu faktor yang memprediksi terjadinya pendarahan. Hal-hal
yang saat ini dianggap sebagai kontraindikasi dilakukannya LVP termasuk
koagulasi intravaskular diseminata, distensi usus, kehamilan, infeksi di lokasi
tusukan, dan pasien yang tidak kooperatif.3 Panduan yang dikeluarkan dari
bidang vaskular merekomendasikan agar terapi aspirin tetap dilanjutkan.
Kendatipun demikian, jika memungkinkan, klopidogrel atau tikagrelor harus
dihentikan setidaknya lima hari sebelum prosedur. Prosedur juga sebaiknya
dilakukan di rumah sakit. Keunggulan dari prosedur parasentesis adalah
tindakan yang dapat dilakukan untuk tujuan diagnostik dan/atau terapeutik.
Parasentesis juga dapat mengurangi keluhan sesak dan kembung pada pasien.
Dibandingkan dengan terapi diuretik standar, LVP dengan pemberian albumin
secara intravena dinilai lebih efektif dengan angka komplikasi tindakan yang
lebih sedikit. Selain itu, prosedur parasentesis yang dilakukan setiap dua
minggu sekali diketahui dapat mengontrol asites pada pasien tanpa ekskresi
natrium di urin. Parasentesis dengan panduan USG dapat bermanfaat pasien
dengan asites yang ditemukan di kompartemen.189

Terapi Endoskopi dengan Injeksi Sianoakrilat


Terapi endoskopi dengan injeksi sianoakrilat (N-butil-2-sianoakrilat) telah
berhasil digunakan di banyak negara selama 20 tahun dan dianggap sebagai
tatalaksana awal yang optimal untuk pendarahan varises lambung. Meskipun
saat ini sianoakrilat telah banyak digunakan, namun kontroversi terkait
penggunaannya juga masih bermunculan. N-butil-2-sianoakrilat adalah
larutan encer yang berpolimerisasi dan mengeras dalam waktu 20 detik
ketika beradadalam lingkungan fisiologis dan/atau jika bersentuhan dengan

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 79


darah. Karena tekstur sianoakrilat yang cepat memadat, maka penggunaan
sianoakrilat pada tindakan endoskopi pun cukup sulit dilakukan secara teknis;
sehingga agen ini perlu diencerkan dengan agen kontras berminyak; seperti
Lipiodol Ultra Fluid (Therapex, Kanada). Campuran Histoakril 50/50 (B.Braun
Melsungen AG, Jerman) dan Lipiodol juga dapat digunakan untuk injeksi.190

Persiapan
Selama terjadinya pendarahan varises akut, endoscope dengan diameter 6
mm working channel digunakan untuk menghisap darah secara adekuat.
Untuk injeksi lem sianoakrilat ini, endoscope terapeutik dengan diameter 3.7
mm working channel lebih direkomendasikan untuk digunakan agar dapat
mengontrol kateter injector secara lebih akurat (gastroscope standar dengan
diameter 3.2 mm working channel sering tidak memungkinkan untuk dilewati
kateter injeksi saat gastroscope berada dalam posisi retrofleksi di lambung).
Untuk pengobatan varises lambung, diperlukan dua orang asisten endoskopi
yang terlatih. Peralatan-peralatan lain yang dapat digunakan adalah kateter
injeksi Marcon-Haber MH-1-240 (Wilson-Cook Medical Inc., USA) (jarum
23 gauge, 7 Fr dan 240 cm) untuk injeksi lem. Jarum injeksi harus diperiksa
sebelum digunakan dengan endoscope dalam posisi retrofleksi untuk
memastikan bahwa jarum dapat dikeluarkan dan ditarik sepenuhnya di dalam
tubuh pasien. Setidaknya tiga kateter perlu disediakan untuk mengantisipasi
masalah penyumbatan kateter oleh lem. Sebelum menggunakan kateter injeksi
tertentu, larutan salin harus disuntikkan ke dalam kateter dengan jumlah yang
tepat (perkiraan ruang rugi sekitar 0.8 mm pada kateter, namun, tetap harus
ditentukan secara empiris). Kalkulasi ini penting agar setelah lem disuntikkan
ke dalam varises dengan spuit, spuit dapat dibilas dengan jumlah cairan
yang tepat (dan tidak berlebihan) untuk mengosongkan kateter lem. Selama
prosedur dengan histoakril, operator harus menggunakan sarung tangan dan
goggles, serta mata dan dahi pasien ditutupi dengan handuk.190

Teknik injeksi
Teknik injeksi diawali dengan mengoleskan lipiodol atau minyak silikon
dioleskan ke port biopsi terbuka. Gastroscope kemudian ditempatkan pada
posisi retrofleksi untuk persiapan injeksi. Suction juga harus dimatikan.
Kateter yang telah disiapkan sebelumnya dimasukkan ke dalam kanal,
kemudian diobservasi secara endoskopik. Kateter, dengan jarum yang masih
ditarik, dimajukan sedikit tanpa berkontak dengan varises untuk memastikan
bahwa arah inserter mengarah ke lokasi yang tepat untuk injeksi lem ke dalam
varises. Jarum tersebut kemudian didorong keluar dan ditempatkan langsung
ke dalam varises gaster. Campuran Histoakril/Lipiodol kemudian disuntikkan
melalui kateter, diikuti dengan suntikan Lipiodol atau air (bukan dengan salin,
karena salin dapat menyebabkan polimerisasi lem). Tindakan penyuntikan
Lipiodol atau air ini digunakan untuk membersihkan sisa lem. Lipiodol dapat

80 | Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia


digunakan untuk pembilasan, namun air memiliki viskositas lebih rendah,
sehingga lebih mudah untuk didorong. Setelah asisten endoskopi memberi tahu
operator bahwa proses pembilasan telah selesai, kateter ditarik dari varises
dengan jarum yang masih dalam posisi keluar. Selama proses ini dilakukan,
kateter terus dibilas dengan air (atau Lipiodol) hingga suntikan lem diperlukan
lagi. Dalam proses ini pula, ahli endoskopi akan terus mengisi lambung dengan
udara. Bila suntikan lanjutan sudah tidak diperlukan, maka akan dilakukan
penarikan kembali jarum ke dalam sarungnya. Jika berhasil, kateter dapat
digunakan untuk palpasi varises dan memastikan kepadatan konsistensinya.
Jika konsistensi varises masih teraba lunak, maka diperlukan suntikan lebih
lanjut. Bila akan dilakukan prosedur penyuntikan lanjutan, kateter injeksi diisi
dengan campuran Histoakril/Lipiodol. Jarum suntik kemudian dimasukkan ke
dalam varises untuk menyuntikkan Histoakril/Lipiodol. Selanjutnya dilakukan
pembilasan dengan air menggunakan volume ruang rugi dari kateter. Saat
kateter ditarik, lanjutkan membilas kateter dengan air hingga kateter keluar
dari varises.190

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hipertensi Portal di Indonesia | 81

Anda mungkin juga menyukai