Anda di halaman 1dari 14

I.

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara ke empat dengan lahan rawa gambut terluas di
dunia, yaitu sekitar 17,2 juta ha setelah Kanada seluas 170 juta ha, Uni Soviet
seluas 150 juta ha, dan Amerika Serikat seluas 40 juta ha (Euroconsult, 1984a).
Namun demikian, dari berbagai laporan (lihat Tabel 1), Indonesia sesungguhnya
merupakan negara dengan kawasan gambut tropika terluas di dunia, yaitu antara
13,5 – 26,5 juta ha (rata-rata 20 juta ha). Jika luas gambut Indonesia adalah 20
juta ha, maka sekitar 50% gambut tropika dunia yang luasnya sekitar 40 juta ha
berada di Indonesia [catatan: hingga kini data luas lahan gambut di Indonesia
belum dibakukan, karenanya data luasan yang dapat digunakan masih dalam
kisaran 13,5 – 26,5 juta ha. Pada luasnya tanah gambut ini membuat para petani
ingin bercocok tanam pada lahan gambut dengan pengeloaan tanah pada tanah
gambut untuk memperbaiki sifat tanah gambut agar dapat ditanaman. Dengan
berbagai pengelolaan tanah agar memperbaiki sifat kimia, fisik dan biologi tanah.
Hutan gambut adalah jenis hutan yang tumbuh pada suatu lapisan tebal dari
bahan organik dengan tebal ± 50 cm. Lapisan bahan organik ini terdiri atas
tumbukan tumbuhan yang telah mati seperti dedaunan, akar-akar, ranting, bahkan
batang pohon lengkap, yang terakumulasi selama ribuan tahun. Lapisan gambut
terbentuk karena tumbuhan yang mati dalam keadaan normal dengan cepat
mengalami penguraian oleh bakteri dan organisme lainnya. Namun karena sifat
tanah gambut yang anaerob dan memiliki keasaman tinggi, serta kurangnya unsur
hara, maka proses dekomposisi berlangsung lambat (Utomo, 2008). Menurut
Agus et al. (2011), hutan gambut yang masih alami berperan sebagai penyerap gas
CO2 dan menyimpan cadangan air. Tanah gambut memiliki cadangan karbon
dalam tanah sebesar 300-700 t/ha. Gambut merupakan tanah hasil akumulasi
timbunan bahan organik dengan komposisi lebih dari 65% yang terbentuk secara
alami dalam jangka waktu ratusan tahun dari lapukan vegetasi yang tumbuh di
atasnya yang terhambat proses dekomposisinya karena suasana anaerob dan
basah. Setiap lahan gambut mempunyai karakteristik yang berbeda tergantung
dari sifat-sifat dari badan alami yang terdiri dari sifat fisika, kimia, dan biologi

1
serta macam sedimen di bawahnya, yang akan menentukan daya dukung wilayah
gambut, menyangkut kapasitasnya sebagai media tumbuh, habitat biota,
keanekaragaman hayati, dan hidrotopografi (Menteri Pertanian, Peraturan Nomor:
14/Permentan/PL.110/2/ 2009).
Lahan gambut sebenarnya cukup potenslal untuk di jadikan lahan pertanian;
dengan syarat adanya perbaikan yang cukup intensif untuk mengubah kondisi
alamiahnya menjadi bentuk lahan pertanian yang menguntungkan. Penguasaan
serta pengelolaan air merupakan kunci keberhasilan program pengembangan
daerah rawa, khususnya rawa gambut. Dalam proyek-proyek pengembangan lahan
gambut perencanaan, pengelolaan dan pengembangan sumberdaya air selama ini
belum banyak mendapat perhatian. Hal yang mendasar dalam pengelolaan lahan
rawa gambut adalah sistem drainase. Drainase diperlukan dengan tetap menjaga
muka air tanah pada batas yang optimum, untuk mendukung pertumbuhan
tanaman (Andriesse, 1988), serta harus dilakukan secara sangat berhati-hati.
Saluran drainase (pembuang) harus terpisah dari saluran pemberi dan merupakan
suatu  pasangan yang harus selalu berdampingan. Pengelolaan lahan gambut
mendapat perhatian besar, terutama untuk  budidaya tanaman perkebunan. Selain
itu lahan gambut juga berpotensi besar untuk  budidaya tanaman pangan
(Utama&Haryoko, 2009). Sedangkan menurut Sagiman (2007) pengembangan
lahan gambut untuk pertanian tidak hanya ditentukan oleh sifat-sifat fisika
maupun kimia gambut, namun dipengaruhi pula oleh manajemen yang akan
diterapkan.

I.2 Tujuan Praktikum


Adapun tujuan di adakannya praktikum ini yaitu untuk mengerahui
penegeloaan tanah pada tanah gambut untuk dapat ditanami tanaman papaya
golden (Carica papaya L.)

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem Pengelolaan Tanah


Tanah merupakan medium alami pertumbuhan tanaman. Tanah
menyediakan sumber organik sebagai nutrisi tanaman. Tanah memiliki kesuburan
yang berbeda-beda tergantung faktor pembentuk tanah yaitu bahan induk, iklim,
dan organisme tanah. Kesuburan tanah juga dipengaruhi oleh sistem pengelolaan
tanah (Rao, N. S. Subba, 1994 :15). Suhardi Sutedja (2001: 9) mendefinisikan
sistem pengelolaan tanah merupakan suatu proses mengelola tanah untuk menjaga
dan meningkatkan kesuburan tanah. Sistem pengelolaaan tanah dapat dilakukan
dengan pemupukan organik dan anorganik. Menurut Idjudin (2011) lahan adalah
salah satu sistem bumi, yang bersama dengan sistem bumi yang lain, yaitu air
alam dan atmosfer, menjadi inti fungsi, perubahan, dan kemantapan ekosistem.
Tanah berkedudukan khas dalam masalah lingkungan hidup, merupakan kimah
(aset) lingkungan dan membentuk landasan hakiki bagi kemanusiaan. Menurut
Sarpain (2003) Tanah merupakan komponen terpenting dalam kehidupan
manusia, sehinga menjadi faktor paling strategis bagi kelangsungan kehidupan.
Oleh sebeb itu kondisi dari tanah harus tetap terjaga dan terkontrol agar bahan-
bahan organik yang ada pada tanah tetap tersimpan dan menjaga keagregatan sifat
tanah.
Pengelolaan tanah secara organik banyak dikembangkan oleh masyarakat
sehubungan dengan penggunanan pupuk kimia. Penggunaan pupuk kimia secara
terus menerus dapat menyebabkan perubahan struktur tanah dan kekurangan hara.
Pengelolaan tanah organik lebih menekankan pada penggunaan pupuk organik
yang ramah lingkungan dan dapat memperbaiki struktur tanah (Sukamto
Hadisuwito, 2007: 25). Pupuk adalah suatu bahan yang bersifat organik ataupun
anorganik, bila ditambahkan ke dalam tanah ataupun melalui tanaman dapat
menambah unsure hara serta dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi
tanah, atau kesuburan tanah. Pupuk organik adalah pupuk yang terbuat dari sisa-
sisa makhluk hidup yang diolah melalui proses pembusukan (dekomposisi) oleh
bakteri pengurai, misalnya pupuk kompos dan pupuk kandang (Anonim, 2009: 2).

3
Berdasarkan bentuknya, pupuk organik dibagi menjadi 2, yaitu pupuk organik
padat dan pupuk organik cair. Pupuk organik padat antara lain: a) Pupuk kandang
Pupuk kandang merupakan pupuk organik dari hasil fermentasi kotoran padat dan
urin hewan ternak yang umumnya berupa mamalia dan unggas. Pupuk organik
(pupuk kandang) mengandung unsur hara lengkap yang dibutuhkan tanaman
untuk pertumbuhannya. Di samping mengandung unsur hara makro seperti
nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K), pupuk kandang mengandung unsur
mikro seperti kalsium (Ca), magnesium (Mg), dan sulfur (S). Unsur fosfor dalam
pupuk kandang sebagian besar berasal dari kotoran padat, sedangkan nitrogen dan
kalium bersal dari kotoran cair (Anonim, 2009: 4); b) Pupuk kompos Pupuk
kompos berasal dari sisa-sisa bahan organik tanaman maupun hewan. Pupuk
kompos merupakan hasil dekomposisi dari kotoran dan urin hewan serta beberapa
tanaman di antaranya adalah jerami, sekam padi, pelepah pisang dan lain-lainnya
(Sukamto Hadisuwito, 2007: 13). Pupuk organik sangat penting terutama karena
sebagai memperbaiki struktur tanah, Menaikkan daya serap tanah terhadap air dan
mengandung zat makanan tanaman.

2.2. Tanaman Pepaya Golden (Carica papaya L.)

Gambar 1. Papaya (Carica papaya L.)


(sumber:dokumen.pribadi)
Klasifikasi Tanaman Pepaya (Carica papaya L.)
Kingdom : Plantae ( Tumbuhan )
Subkingdom : Tracheobionta ( Tumbuhan berpembulu )
Super Divisi : Spermatophyta ( Menghasilkan biji )
Divisi : Magnoliophyta ( Tumbuhan berbunga )

4
Kelas : Magnoliosida ( berkeping dua / dikotil )
Sub Kelas : Dilleniidae
Famili : caricaceae
Genus : Carica
Spesies : Carica papaya L
Pepaya bangkok bukan tanaman asli Indonesia. Jenis pepaya ini
didatangkan dari Thailand sekitar tahun 70-an. Pepaya bangkok diunggulkan
karena ukurannya paling besar dibanding jenis pepaya lainnya. Beratnya dapat
mencapai 3,5 kg per buahnya. Selain ukuran, keunggulan lainnya ialah rasa dan
ketahanan buah. Daging buahnya berwarna jingga kemerahan, rasanya manis
segar dan teksturnya keras sehingga tahan dalam pengangkutan. Rongga buahnya
kecil sehingga dagingnya tebal. Permukaan kulit buah kasar dan tidak rata. Syarat
Tumbuh Tanaman pepaya dapat tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian
1.000 m dpl. Tanaman ini lebih senang tumbuh di lokasi yang banyak hujan
(cukup tersedia air), curah hujan 1000-2000 mm per tahun dan merata sepanjang
tahun. Di daerah yang beriklim kering, musim hujannya 2-5 bulan, dan musim
kemaraunya 6-8 bulan, tanaman pepaya masih mampu berbuah, asalkan
kedalaman air tanahnya 50-150 cm. Tanah yang subur dengan porositas baik,
mengandung kapur, dan ber-pH 6-7 paling disenangi oleh tanaman pepaya.
Tanaman pepaya lebih menyukai daerah terbuka (tidak ternaungi) dan tidak
tergenang air. Tanah yang berdrainase tidak baik menyebabkan tanaman mudah
terserang penyakit akar.
Perbanyakan tanaman: Pepaya hanya diperbanyak dengan bijinya yang
berwarna hitam. Biji yang berwarna putih dibuang karena bersifat abortus, yakni
tidak mempunyai embrio dan mati sejak buah pentil. Biji diambil dari buah
pepaya sempurna yang telah matang pohon. Untuk menghasilkan tanaman
sempurna sebanyak banyaknya maka biji yang akan dibiakkan diambil dari bagian
ujung buah pepaya yang telah matang pohon. Biji-biji dari bagian ujung buah
akan menghasilkan tanaman sempurna antara 70-80%, sedangkan bagian pangkal
menghasilkan tanaman sempurna antara 50—65%. Biji disemaikan dulu atau
ditanam langsung. Budi daya tanaman Pepaya ditanam dari biji terpilih. Biji

5
disemai di polibag kecil dan ditanam di kebun setelah berumur tiga bulan. Seleksi
dilakukan saat tanaman mulai berbunga.

6
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pembahasan
4.1.1. Permasalahan Gambut Sebagai Lahan Budidaya
Lahan gambut tropis memiliki sifat fisik dan kimia yang sangat beragam.
Karakteristiknya sangat ditentukan oleh ketebalan gambut, substratum, tanah
mineral yang ada di bawahnya, kematangannya, dan ada atau tidak pengayaan
yang berasal dari luapan sungai yang ada di sekitarnya. Karakteristik lahan
gambut biasanya dijadikan acuan dalam pemanfaatannya untuk mencapai
produktivitas yang tinggi dan berkelanjutan. Sesuai dengan Keppres No. 32/1990
tentang pengelolaan kawasan lindung, gambut dengan ketebalan >3 m
diperuntukkan sebagai kawasan konservasi. Hal ini disebabkan semakin tebal
lapisan gambut, maka gambut tersebut akan semakin rapuh (fragile). Gambut
dengan kedalaman <3 m dapat dimanfaatkan untuk pertanian dengan syarat
lapisan mineral yang ada di bawah gambut bukan pasir kuarsa atau liat berpirit,
dan tingkat kematangan gambut bukan fibrik. Departemen Pertanian
merekomendasikan bahwa gambut yang dapat digunakan untuk tanaman pangan
dan hortikultura adalah gambut dangkal (<100 cm) dan gambut yang
direkomendasikan untuk tanaman tahunan adalah gambut yang memiliki
ketebalan 2–3 m (Sabiham, Wahyunto, Nugroho, Subiksa, & Sukarman, 2009).
Hal ini karena gambut dangkal memiliki tingkat kesuburan relatif lebih tinggi dan
risiko lingkungan lebih rendah dibandingkan gambut dalam (Subiksa, Hartatik, &
Fahmuddin, 2011). Tabel 1. berikut adalah kriteria pemanfaatan gambut
berdasarkan ketebalan lapisan bagian bawah dan kaitannya dengan hidrologi
(Limin et al., 2000).
pada gambut dangkal (≤50 cm) hingga gambut dalam (>200 cm), apabila
bagian bawah gambut berupa lapisan mineral, maka hidrologi menjadi tidak
bermasalah. Sehingga gambut dapat dimanfaatkan untuk peruntukkan tertentu,
misalnya padi, palawija, usaha tambak, beje atau perkebunan. Tetapi, jika bagian
bawah lapisan gambut berupa pasir atau granit, maka hidrologi akan menjadi
masalah sehingga diperuntukkan hanya untuk konservasi. Beberapa hal lainnya yang
harus mendapatkan perhatian dalam pemanfaatan gambut sebagai lahan budidaya

7
adalah: drainase, pengelolaan air, muka air tanah, pH gambut, dan pemupukan.
Pengaruh aspek-aspek tersebut terhadap fungsi gambut sebagai lahan budidaya
dan kelestarian gambut. Pada pengamatan langsung dilapangan tanah yang
sebelumnya tanah gambut ditimbun dengan pasir agar porositas dan agregat tanah
terbaiki dan setelah ditimbun kemudian diberi amileoran baik itu pupuk kandang
maupun kapur untuk memberi untur hara yang tidak tersedia menjadi tersedia.
Pada produktifitas dari tanah gambut yang dikelola jika di kelola dengan baik dan
diperhatikan sistem pemupukan yang benar dapat berproduktif 4-5 tahun untuk
lahan gambut yang baru dikelola dan pada pengelolaan tanah gambut yang
ditanamai papaya golden ini hanya mengunakan pupuk kadang. Dan sistem
pengelolaan yang digunakan mengunakan alat modern yaitu dengan traktor untuk
melakukan pengemburan tanah.

4.1.2. Pengelolaan Air


Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan harus dimulai
dari  perencanaan penataan lahan yang disesuaikan dengan karakteristik lahan
gambut setempat, dan komoditas yang akan dikembangkan. Penataan lahan
meliputi aktivitas mengatur jaringan saluran drainase, perataan tanah (leveling),
pembersihan tunggul, pembuatan surjan, guludan, dan pembuatan drainase
dangkal intensif. Dimensi dan kerapatan jaringan drainase disesuaikan dengan
komoditas yang dikembangkan apakah untuk tanaman pangan, sayuran,
perkebunan atau hutan tanaman industri (HTI). Perataan tanah penting jika akan
dikembangkan tanaman  pangan dan sayuran. Pembersihan tunggul juga sangat
membantu meningkatkan  produktivitas, karena keberadaan tunggul akan
membatasi area yang bisa ditanami dan menjadi sarang hama. Pembuatan surjan
hanya mungkin dilakukan pada gambut dangkal dan lahan bergambut. Guludan
dan drainase dangkal intensif diperlukan jika dikembangkan tanaman sayuran dan
buah-buahan (Agus dan Subiksa, 2008).

4.1.3. Drainase
Di Indonesia, pembuatan saluran drainase di lahan gambut sebenarnya
sudah dipraktikkan sejak lama, namun dalam jumlah sedikit dan ukuran yang

8
kecil. Seiring dengan alih fungsi lahan gambut menjadi perkebunan sawit, jumlah
saluran drainase semakin bertambah. Hal ini dapat memicu terjadi subsiden.
Dalam kondisi alami, lahan gambut selalu dalam keadaan jenuh air (anaerob).
Sebaliknya, sebagian besar tanaman yang dibudiyakan memerlukan kondisi yang
aerob. Upaya untuk mengatasi hal yang kontradiktif ini, maka dilakukan
pembuatan saluran drainase untuk menurunkan permukaan air tanah hanya sebatas
untuk menciptakan kondisi aerob di zona perakaran tanaman agar akar tanaman
tidak terendam dan tanaman dapat tumbuh secara optimal. Pada praktikum yang
telah dilakukan pembuatan drainase yang terlihat dilapangan cukup dalam untuk
menghindari agar akar tanaman tidak terendam dan menyebakan busuk akar
karena tanaman yang diamati adalah tanaman papaya golden. Yang dimana akar
tanaman papaya tidak bersifat anaerob, jika akar tanaman terendam air atau jenuh
air dapat menyebakan kematian pada tanaman karena busuk akar. Sehingga
drainase yang dibuat dilapangan pada tanah gambut sekitar 1,5 m kedalamannya.

4.1.4. Pemilihan Komoditas Yang Sesuai


Pemilihan komoditas yang mampu beradaptasi baik dilahan gambut sangat
penting untuk mendapatkan produktivitas tanaman yang tinggi. Pemilihan
komoditas disesuaikan dengan daya adaptasi tanaman, nilai ekonomi, kemampuan
modal, keterampilan, dan skala usaha. Jenis tanaman yang diamati dilapangan
adalah tanaman papaya golden yang dimana tanaman ini memiliki nilai ekonomi
tinggi dan  beradaptasi sangat baik di lahan gambut selain itu peluang pada bisnis
sangat menguntungkan karena belum ada di Kalimantan Tengah, Palangka Raya
belum banyak yang mmembudidayakan tanaman papaya jenis papaya golden.

4.1.5. Pengaturan Muka Air Tanah


Upaya untuk menurunkan muka air tanah sangat diperlukan untuk
menjaga kondisi media perakaran tetap dalam kondisi aerob sehingga akar
tanaman cukup mendapatkan oksigen. Tetapi upaya ini harus membuat gambut
tetap lembab untuk menghindari emisi yang besar akibat gambut mengering.
Pengaturan pintu air merupakan tindakan mitigasi emisi CO2 yang terjadi.
Wosten dalam Hooijer, Silvius, Wösten, & Page (2006) mengemukakan bahwa

9
laju emisi berbanding lurus dengan kedalaman saluran drainase. Hal ini diperkuat
oleh pernyataan Rieley & Page (2005) bahwa ada hubungan yang bersifat linier
antara kedalaman muka air tanah dengan emisi gas rumah kaca. Upaya mengatur
muka air tanah pada tingkat yang aman merupakan tindakan yang paling efektif
dalam mencegah kerusakan lahan gambut dan menjaga agar tanaman tetap
berproduksi dalam kondisi optimal. Noor (2010) mengemukakan bahwa ada
hubungan antara penggunaan jenis tanaman dengan emisi. Hal ini disebabkan
masing-masing tanaman membutuhkan kedalaman air tanah yang berbeda. Salah
satu komponen penting dalam pengaturan tata air lahan gambut adalah pembuatan
pintu air atau canal blocking di setiap saluran. Pembuatan saluran, pintu air, dan
canal blocking di lahan gambut ditujukan untuk menghindari perubahan kondisi
lahan yang drastis, seperti pengeringan. Pintu air berfungsi untuk mengatur muka
air tanah yang disesuaikan dengan kebutuhan tanaman. Namun demikian, pada
lahan gambut yang difungsikan untuk transmigrasi, jaringan saluran drainasenya
tidak terawat, terjadi pendangkalan saluran dan tertutup rumput. Akibatnya, pintu
air mengalami kerusakan sehingga air akan mengalir melalui pinggir pintu air.
Padahal selayaknya hal ini tidak terjadi, pintu air harus tetap berfungsi secara
optimal agar permukaan air tanah tidak dangkal dan kering.

4.1.5. Pemupukan
Pemupukan pada lahan gambut diperlukan karena gambut sangat miskin
mineral dan hara yang diperlukan tanaman. Jenis pupuk yang diperlukan pada
lahan gambut adalah pupuk lengkap terutama yang mengandung N, P, K, Ca, Mg
dan unsur mikro Cu, Zn dan B. Daya pegang (sorption power) hara tanah gambut
rendah. Oleh karenanya, pemupukan pada lahan gambut harus dilakukan secara
bertahap pada takaran rendah agar pupuk tidak terbuang percuma akibat tercuci.
Penggunaan pupuk fosfat alam dan Pugam secara slow release akan lebih efektif
dan efisien dibandingkan dengan SP-36, karena selain harganya murah juga dapat
meningkatkan pH tanah (Subiksa, Suganda, & Purnomo, 2009). Pugam dengan
kandungan hara utama P, juga tergolong pupuk slow release yang mampu
meningkatkan serapan hara, mengurangi pencucian hara P, dan meningkatkan

10
pertumbuhan tanaman. Pada pengamatan langsung dan wawancara langsung
dengan petani, bahwa pada pengelolaan tanah sebelum ditanam tanaman papaya
golden tersebut dilakukan pemupukan dan penambahan sedikit kapur. Dari hasil
wawan cara yang didaptkan bahwa petani mengunakan pupuk kandang yaitu
pupuk kadang ayam yang sebelum diaplikasikan ketanah sebelumnya diikubasi
menjadi pupuk selama 12 hari agar dapat terurai dengan baik di tanah dan
tanamanan dapat dengan mudah menyerap unsure hara yang terdapat pada pupuk
tersebut. Pupuk tersebut ditimbun dengan pasir lagi lalu dicampur agar rata
bersama tanah gambut pasir dan juga kapur. Karena jika pupuk di letakan diatas
atau diberi pada saat sudah ditanam lalu diberi pupuk itu mengurangi produktifitas
dari tanaman dan hasilnya kurang maksimal karena akar tanaman tidak menyerap
semua unsure hara yang ada pada pupuk tersebut. Setelah tanah diberi pupuk lalu
tanah di istirahatkan kurang lebih 2 minggu agar pada saat penanaman tanaman
tidak mudah mati karena pupuk yang diberikan. Karena sifat pupuk mudah panas
yang bisa menyebabkan akar tanaman tidak dapat menyerap air dan menyebakan
kematian pada tanaman.

11
V. PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang didapatkan adapun kesimpulan tentang
pengelolaan tanah yaitu pada tanah gambut atau pun tanah mineral perlu
dilakukan pengelolaan tanah yang baik dan benar dan kesungguhan. Pada tanah
gambut pengelolaan tanah yang paling perlu diperhatikan karena tidak semua
jenis tanaman yang dapat tumbuh dalam pengeloaan tanahnya juga membutuhkan
perhatian yang maksimal sistem pengelolaan yang dilakuakan yaitu dengan
memperhatikan drainase, pengelolaan air, muka air tanah, pH gambut, dan
pemupukan. Pemupukan dengan benar dapat menghasilkan produksi yang tinggi
pada tanaman. Pengaruh aspek-aspek tersebut terhadap fungsi gambut sebagai
lahan budidaya dan kelestarian gambut.

4.2. Saran
Saran untuk praktikum selanjutnya mahasiswa haru lebih memperhatikan dan
lebih aktif bertanya agar praktikum berjalan dengan baik dan semua mengetahui
pentingnya praktikum yang dilaksanakan

12
DAFTAR PUSTAKA

Abdulrachman, T. (2013). Penggunaan lumpur laut cair dan pupuk kotoran sapi
dalam meningkatkan pertumbuhan dan hasil jagung di gambut. Indonesian
Journal of Applied Sciences, 3(3), 78-83.

Afni, A.N. (2017). Pengembangan sayuran di lahan gambut. Diakses melalui


industri.bisnis.com/read/20171026/99/703444/ pada 14 September 2018.
Badan Ketahanan Pangan (2018). Indonesia menuju lumbung pangan
dunia.

Balai Penelitian Lahan Rawa. (2018). Sistem surjan di rawa untungkan petani.
Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian (2006). Pedoman pengelolaan
limbah industri kelapa sawit. Jakarta: Ditjen Pengolahan Hasil Pertanian,
Departemen Pertanian.

Hartatik, W. (2003). Pemanfaatan beberapa jenis fosfat alam dan SP-36 pada
tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral dalam
kaitannya dengan pertumbuhan tanaman padi (Disertasi). Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H. & Page, S. (2006). Peat-CO2, Assessment of
CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics
Report Q3943 2006.

Indonesia Climate Change Trust Fund (2017). Program Tata Kelola Hutan dan
Lahan Gambut Untuk Mengurangi Emisi di Indonesia Melalui Kegiatan
Lokal. Jakarta: Kementerian PPN
Joosten, H. 2007. Peatland and carbon. pp. 99-117 In Parish, F., Siri, A.,
Chapman, D., Joosten H., Minayeva, T., and Silvius M. (Eds.)
Assessment on Peatland, Biodiversity and Climate Change.Global
Environmental Centre, Kuala Lumpur and Wetand International,
Wageningen
Limin, S. H. 2006. Pemanfaatan Lahan Gambut Dan Permasalahannya.
Disampaikan pada “Workshop Gambut Dengan Tema : Pemanfaatan
Lahan Gambut Untuk Pertanian, Tepatkah?. Kerjasama antara Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Kementerian
Koordinator Kesejahteraan Rakyat di Jakarta.
Paiman, A. (2017). Efek pemberian berbagai jenis amelioran dan abu terhadap
pertumbuhan dan produksi kedelai pada lahan gambut. Jurnal
Agronomi, 10(2), 85-92.
Subiksa, I.G.M., Hartatik W., & Fahmuddin A. (2011). Pengelolaan lahan
gambut berkelanjutan. Jakarta: Balai Penelitian Tanah, Balai Besar

13
Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan
Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian.

Subiksa, IGM., Suganda, H. & Purnomo, J. (2009). Pengembangan formula


pupuk untuk lahan gambut sebagai penyedia hara dan menekan emisi
gas rumah kaca (GRK). Laporan Penelitian Kerjasama antara Balai
Penelitian Tanah dengan Departemen Pendidikan Nasional.

Widodo. T. B. P. & Suliansah, I. (2009). Eksplorasi, seleksi, karakterisasi


varietas padi toleran asam-asam organik, dan ameliorasi sebagai
upaya meningkatkan produktivitas sawah gambut. Laporan Penelitian.
Fakultas Pertanian Universitas Taman Siswa Padang.

14

Anda mungkin juga menyukai