MUHAMMADIYAH DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar dan terpenting yang ada di Indonesia adalah
Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H
bertepatan dengan tanggal 18 November 1912M di Yogyakarta. Muhammadiyah didirikan dengan
tujuan “menegakkan dan menjunjung tinggi ajaran Islam sehingga terwujud masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya”.
Jauh sebelum Muhammadiyah resmi berdiri pada tahun 1912, KH. Ahmad Dahlan telah
merintis pendidikan modern yang memadukan antara pendidikan Barat yang hanya mengajarkan “
ilmu-ilmu umum” dan pendidikan Islam yang hanya mengajarkan “ilmu-ilmu agama”.Gagasan
pembaharuan Muhammadiyah di dalamnya sudah termasuk gagasan pembaharuan di bidang
pendidikan. KH. Dahlan melihat adanya problematika obyektif yang dihadapi oleh pribumi yaitu
terjadinya keterbelakangan pendidikan yang takut karena adanya dualisme model pendidikan yang
masing-masing memiliki akar dan kepribadian yang saling bertolak belakang. Di satu pihak
pendidikan Islam yang berpusat di pesantren mengalami kemunduran karena terisolasi dari
perkembangan pengetahuan dan perkembangan masyarakat modern, di pihak lain sekolah model
Barat bersifat sekuler dan nasional mengancam kehidupan batin para pemuda pribumi karena
dijauhkan dari agama dan budaya negerinya.
5. Untuk mengetahui perbedaan pendidikan Muhammadiyah dengan dengan pendidikan pada
umumnya.
Dan masih banyak lagi sekolah/madrasah yang didirikan oleh Muhammadiyah ini,
semua sekolah/madrasah ini didirikan pada masa penjajahan Belanda dan pendudukan
Jepang, yang tersebar pada tiap-tiap Cabang Muhammadiyah seluruh kepulauan Indonesia.
Pada masa Indonesia merdeka Muhammadiyah mendirikan sekolah/madrasah berlipat-
lipat ganda banyaknya dari masa penjajahan Belanda dahulu. Jika di jumlahkan ada 682 buah
Madrasah dan 877 buah Sekolah Umum dan totalnya 1559 buah madrasah dan sekolah umum
Mula-mula K.H Ahmad Dahlan memberi pelajaran agama islam di Kweekschool Jetis,
sekolah guru pada zaman penjajahan Belanda meskipun pelajaran itu hanya diberikan diluar
pelajaran-pelajaran yang formal. Sistem yang beliau gunakan sudah sangat pedagogis. Di
samping memberikan pelajaran islam di Kweekschool. K.H Ahmad Dahlan mendirikan
sekolah-sekolah yang sebagian mengikuti teknik sekolah-sekolah kursi, meja, kapur dan lain-
lain tetapi diberi juga pelajaran agama. Di samping itu didirikan juga madrasah-madrasah
yang merupakan modernisasi dari pesantren-pesantren yang telah ada kitab-kitab, metode
mengajarnya, latihan dan ujian diambil dari sekolah model barat. Dengan demikian
Muhammadiyah berhasil mendekatkan dua golongan rakyat, yakni kaum intelek Indonesia
yang memperoleh didikan model Barat dengan rakyat dengan rakyat selebihnya yang melulu
mendapatkan pelajaran agama, dua golongan yang sudah mulai terpisah dan tercerai.
Muhammadiyah telah mengadakan pembaharuan pendidikan agama dengan jalan
modernisasi dalam sistem pendidikan, menukar sistem pondok pesantren dengan sistem
pendidikan yang modern yang sesuai dengan tuntutan dan kehendak zaman. Mengajarkan
agama dengan cara yang mudah di faham, didaktis, dan pedagogis, selalu menjadi pemikiran
dalam Muhammadiyah.
Selain jasa di bidang pendidikan, ada pula usaha dan jasa-jasanya yang besar lainnya yaitu :
mengubah dan membetulkan arah kiblat yang tidak tepat menurut mestinya. Umumnya
masjid-masjid dan langgar-langgar di Yogyakarta menghadap ke jurusan timur dan orang-
orang sembahyang di dalamnya menghadap ke arah barat lurus. Padahal kiblat yang
sebenarnya menuju Ka’bah dari tanah Jawa haruslah miring ke arah utara ± 24 derajat dari
sebelah barat. Berdasarkan ilmu pengetahuan tentang ilmu falak itu orang tidak boleh
menghadap kiblat menuju barat lurus, melainkan harus miring ke utara ± 24 derajat. Oleh
sebab itu K.H Ahmad Dahlan mengubah bangunan pesantrennya sendiri, supaya menuju arah
kiblat yang betul. K.H Ahmad Dahlan juga mengajarkan agama islam secara populer, bukan
saja di pesantren, melainkan ia pergi ke tempat-tempat lain seperti mendatangi berbagai
golongan bahkan dapat dikatakan bahwa K.H Ahmad Dahlan adalah bapak mubaliq islam di
Jawa Tengah. K.H Ahmad Dahlan memberantas bit’ah-bit’ah dan khurafat serta adat istiadat
yang bertentangan dengan ajaran agama islam.
Maka atas dasar dua sistem pendidikan di atas KHA. Dahlan kemudian dalam
mendirikan lembaga pendidikan Muhammadiyah coba menggabungkan hal-hal yang positif
dari dua sistem pendidikan tersebut. KHA. Dahlan kemudian coba menggabungkan dua
aspek yaitu, aspek yang berkenaan secara ideologis dan praktis. Aspek ideologisnya yaitu
mengacu kepada tujuan pendidikan Muhammadiyah, yaitu untuk membentuk manusia yang
berakhlak mulia, pengetahuan yang komprehensif, baik umum maupun agama, dan memiliki
kesadaran yang tinggi untuk bekerja membangun masyarakat (perkembangan filsafat dalam
pendidikan Muhmmadiyah, syhyan rasyidi). Sedangkan aspek praktisnya adalah mengacu
kepada metode belajar, organisasi sekolah mata pelajaran dan kurikulum yang disesuaikan
dengan teori modern. Maka inilah sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan
Muhammadiyah yang jika disimpulkan ihwal berdirinya lembaga pendidikan
Muhammadiyah untuk mencetak ulama atau pemikir yang mengedepankan tajdid atau tanzih
dalam setiap pemikiran dan gerakannya bukan ulama atau pemikir yang say yes pada
kemapanan yang sudah ada (established) karena KHA. Dahlan dalam memadukan dua sistem
tersebut coba untuk menciptakan ulama/pelajar yang dinamis dan kreatif serta penuh percaya
diri dan taat dalam menjalankan perintah agama.
Meskipun tema pembaharuan pendidikan Muhammadiyah memperoleh perhatian yang
cukup serius dari para pengkaji sejarah pendidikan Indonesia, namun sejauh ini belum ada
satu karya pun yang menunjukkan bagaimana sebenarnya model filsafat pendidikan yang
dikembangkan oleh Muhammadiyah. Untuk melangkah ke arah itu bisa dilakukan dengan
beberapa pendekatan:
1. Pendekatan normatif yakni bertitik tolak dari sumber-sumber otoritatif Islam (al-
Qur’an dan Sunnah Nabi), terutama tema-tema pendidikan, kemudian dieksplorasi
sedemikian rupa sehingga terbangun satu sistem filsafat pendidikan;
2. Pendekatan filosofis yang diberangkatkan dari mazhab-mazhab pemikiran filsafat
kemudian diturunkan ke dalam wilayah pendidikan;
3. Pendekatan formal dengan merujuk pada hasil-hasil keputusan resmi persyarikatan;
4. Pendekatan historis-filisofis yaitu dengan cara melacak bagaimana konsep dan praksis
pendidikan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh kunci dalam Muhammadiyah lalu
dianalisis dengan dengan pendekatan filosofis.
Corak pendekatan keempat yang dipilih dalam tulisan ini, dengan menampilkan Kyai
Dahlan, pendiri Muhammadiyah, sebagai tokoh kuncinya. Benar bahwa dia belum
merumuskan landasan filosofis pendidikan tapi sebenarnya ia memiliki minat yang besar
terhadap kajian filsafat atau logika sehingga pada tingkat tertentu telah memberikan jalan
lempang untuk perumusan satu filsafat pendidikan. K.H Ahmad Dahlan (1868-1923) adalah
tipe man of action sehingga sudah pada tempatnya apabila mewariskan cukup banyak amal
usaha bukan tulisan. Oleh sebab itu untuk menelusuri bagaimana orientasi filosofis
pendidikan kyai musti lebih banyak merujuk pada bagaimana ia membangun sistem
pendidikan. Namun naskah pidato terakhir Kyai yang berjudul Tali Pengikat Hidup menarik
untuk dicermati karena menunjukkan secara eksplisit konsen Kyai terhadap pencerahan akal
suci melalui filsafat dan logika. Sedikitnya ada tiga kalimat kunci yang menggambarkan
tingginya minat Kyai dalam pencerahan akal, yaitu:
1. Pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat dicapai
dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan istiqomah
terhadap kebenaran akali dengan di dasari hati yang suci;
2. Akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia;
3. Ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang hanya akan
dicapai hanya jika manusia menyerah kepada petunjuk Allah swt.
Pribadi Kyai Dahlan adalah pencari kebenaran hakiki yang menangkap apa yang
tersirat dalam tafsir Al-Manaar sehingga meskipun tidak punya latar belakang pendidikan
Barat tapi ia membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam sendiri,
menyerukan ijtihad dan menolak taqlid. Dia dapat dikatakan sebagai suatu "model" dari
bangkitnya sebuah generasi yang merupakan "titik pusat" dari suatu pergerakan yang bangkit
untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi golongan Islam yang berupa
ketertinggalan dalam sistem pendidikan dan kejumudan paham agama Islam. Berbeda dengan
tokoh-tokoh nasional pada zamannya yang lebih menaruh perhatian pada persoalan politik
dan ekonomi, Kyai Dahlan mengabdikan diri sepenuhnya dalam bidang pendidikan. Titik
bidik pada dunia pendidikan pada gilirannya mengantarkannya memasuki jantung persoalan
umat yang sebenarnya. Seiring dengan bergulirnya politik etis atau politik asosiasi (sejak
tahun 1901), ekspansi sekolah Belanda diproyeksikan sebagai pola baru penjajahan yang
dalam jangka panjang diharapkan dapat menggeser lembaga pendidikan Islam semacam
pondok pesantren. Pendidikan di Indonesia pada saat itu terpecah menjadi dua: pendidikan
sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, yang tak mengenal ajaran-ajaran yang berhubungan
dengan agama; dan pendidikan di pesantren yang hanya mengajar ajaran-ajaran yang
berhubungan dengan agama saja. Dihadapkan pada dualisme sistem (filsafat) pendidikan ini
Kyai Dahlan “gelisah”, bekerja keras sekuat tenaga untuk mengintegrasikan, atau paling tidak
mendekatkan kedua sistem pendidikan itu.
Cita-cita pendidikan yang digagas Kyai Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru
yang mampu tampil sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang muslim
yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam rangka
mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, Kyai Dahlan melakukan dua tindakan
sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, dan
mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan umum bersama-sama
diajarkan. Kedua tindakan itu sekarang sudah menjadi fenomena umum; yang pertama sudah
diakomodir negara dan yang kedua sudah banyak dilakukan oleh yayasan pendidikan Islam
lain. Namun, ide Kyai Dahlan tentang model pendidikan integralistik yang mampu
melahirkan muslim ulama-intelek masih terus dalam proses pencarian. Sistem pendidikan
integralistik inilah sebenarnya warisan yang musti kita eksplorasi terus sesuai dengan konteks
ruang dan waktu, masalah teknik pendidikan bisa berubah sesau dengan perkembangan ilmu
pendidikan atau psikologi perkembangan.
Dalam rangka menjamin kelangsungan sekolahan yang ia dirikan maka atas saran
murid-muridnya Kyai Dahlan akhirnya mendirikan persyarikatan Muhammadiyah tahun
1912. Metode pembelajaran yang dikembangkan Kyai Dahlan bercorak kontekstual melalui
proses penyadaran. Contoh klasik adalah ketika Kyai menjelaskan surat al-Ma’un kepada
santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat itu
menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan harus
mengamalkan isinya. Setelah santri-santri itu mengamalkan perintah itu baru diganti surat
berikutnya. Ada semangat yang musti dikembangkan oleh pendidik Muhammadiyah, yaitu
bagaimana merumuskan sistem pendidikan ala al-Ma’un sebagaimana dipraktekan Kyai
Dahlan.
Anehnya, yang diwarisi oleh warga Muhammadiyah adalah teknik pendidikannya,
bukan cita-cita pendidikan, sehingga tidak aneh apabila ada yang tidak mau menerima
inovasi pendidikan. Inovasi pendidikan dianggap sebagai bid’ah. Sebenarnya, yang harus kita
tangkap dari Kyai Dahlan adalah semangat untuk melakukan perombakan atau etos
pembaruan, bukan bentuk atau hasil ijtihadnya. Menangkap api tajdid, bukan arangnya.
Dalam konteks pencarian pendidikan integralistik yang mampu memproduksi ulama-intelek-
profesional, gagasan Abdul Mukti Ali menarik disimak. Menurutnya, sistem pendidikan dan
pengajaran agama Islam di Indonesia ini yang paling baik adalah sistem pendidikan yang
mengikuti sistem pondok pesantren karena di dalamnya diresapi dengan suasana keagamaan,
sedangkan sistem pengajaran mengikuti sistem madrasah/sekolah, jelasnya madrasah/sekolah
dalam pondok pesantren adalah bentuk sistem pengajaran dan pendidikan agama Islam yang
terbaik. Dalam semangat yang sama, belakangan ini sekolah-sekolah Islam tengah berpacu
menuju peningkatan mutu pendidikan. Salah satu model pendidikan terbaru adalah full day
school, sekolah sampai sore hari, tidak terkecuali di lingkungan Muhammadiyah.
Dalam rangka menjamin kelangsungan sekolahan yang ia dirikan maka atas saran
murid-muridnya Kyai Dahlan akhirnya mendirikan persyarikatan Muhammadiyah tahun
1912. Metode pembelajaran yang dikembangkan Kyai Dahlan bercorak kontekstual melalui
proses penyadaran. Contoh klasik adalah ketika Kyai menjelaskan surat al-Ma’un kepada
santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat itu
menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong fakir miskin, dan harus
mengamalkan isinya. Setelah santri-santri itu mengamalkan perintah itu baru diganti surat
berikutnya. Ada semangat yang musti dikembangkan oleh pendidik Muhammadiyah, yaitu
bagaimana merumuskan sistem pendidikan ala al-Ma’un sebagaimana dipraktekkan Kyai
Dahlan.
Satu dekade terakhir ini virus sekolah unggul benar-benar menjangkiti seluruh warga
Muhammadiyah. Lembaga pendidikan Muhammadiyah mulai Taman Kanak-kanak (TK)
hingga Perguruan Tinggi (PT) berpacu dan berlomba-lomba untuk meningkatkan kualitas
pendidikan untuk menuju pada kualifikasi sekolah unggul. Sekarang ini hampir di semua
daerah kabupaten atau kota terdapat sekolah unggul Muhammadiyah, terutama untuk tingkat
TK dan Sekolah Dasar. Sekolah yang dianggap unggul oleh masyarakat sehingga mereka
menyekolahkan anak-anak di situ pada umumnya ada dua tipe; sekolah model konvensional
tetapi memiliki mutu akademik yang tinggi, atau sekolah model baru dengan menawarkan
metode pembelajaran mutakhir yang lebih interaktif sehingga memiliki daya panggil luas.
Jika menengok sekolah atau universitas Muhammadiyah saat ini, dari sisi kurikulumnya
itu sama persis dengan sekolah atau universitas negeri ditambah materi al-Islam dan
kemuhammadiyahan. Kalau melihat materi yang begitu banyak, maka penambahan itu malah
semakin membebani anak, karenanya amat jarang lembaga pendidikan melahirkan bibit-bibit
unggul. Apakah tidak sudah waktunya untuk merumuskan kembali Al-Islam dan
kemuhammadiyahan yang terintegrasikan dengan materi-materi umum, atau paling tidak
disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik; misalnya, evaluasi materi ibadah dan Al-Qur’an,
serta bahasa dengan praktek langsung tidak dengan sistem ujian tulis seperti sekarang ini.
Perhatian dan komitmen Muhammadiyah dalam bidang pendidikan tidak pernah surut,
hal ini nampak dari keputusan-keputusan persyarikatan yang dengan konsisten dalam setiap
muktamar (sebagai forum tertinggi persyarikatan Muhammadiyah) senantiasa ada agenda
pembahasan dan penetapan program lima tahunan bidang pendidikan, sejak pendidikan dasar
sampai pendidikan tinggi. Dalam lima belas tahun terakhir (tiga kali muktamar) dapat dilihat
bahwa Muhammadiyah senantiasa memiliki agenda yang jelas berkenaan dengan program
pendidikan, keputusan-keputusan dalam muktamar sebagaimana dapat kita lihat sebagai
berikut:
2. Menata kembali kurikulum Pendidikan dasar dan Menengah Muhammadiyah pada semua
jenjang dan jenis sekolah Muhammadiyah yang meliputi pendidikan al-Islam
Kemuhammadiyahan dan sebagai kekhasan sekolah Muhammadiyah, spesifikasi setiap
wilayah sesuai kebutuhan dan kondisi setempat, pendidikan budaya dan seni yang bernafas
Islam.
3. Menyusun peta Nasional Pendidikan Muhammadiyah yang memuat spesifikasi tiap
wilayah/daerah, agar didapatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat
setempat.
6. Mengarahkan program PTM untuk penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang relevan
dengan kebutuhan masyarakat dan kebutuhan masa depan.
7. Kaidah pendidikan dasar dan menengah serta kaidah PTM perlu disempurnakan, sesuai
dengan perkembangan tuntutan masyarakat.
8. Koordinasi dan pengawasan pelaksanaan kaidah pendidikan dasar dan menengah serta
perguruan tinggi perlu ditingkatkan.
9. Meningkatkan dan memantapkan kerja sama antara Majelis Dikdasmen dan Majelis Dikti.
10.Mengupayakan beasiswa Muhammadiyah bagi para siswa dan atau mahasiswa yang
berprestasi.
11.Melalui amal usaha pendidikan meningkatkan kualitas kader-kader ulama yang tersebar di
seluruh pelosok Indonesia.
(1). Membangun system informasi kekuatan Sumber Daya Insani (SDI) Muhammadiyah
dalam bidang Iptek.
(4). Membangun cetak biru (blue print) pendidikan Muhammadiyah untuk menjawab
ketertinggalan pendidikan Muhammadiyah selama ini, dan sebagai langkah antisipasi
bagi masa depan pendidikan yang lebih kompleks.
(5). Menegaskan posisi dan implementasi nilai Islam, Kemuhammadiyahan dan kaderisasi
dalam seluruh system pendidikan Muhammadiyah.
(6). Mempercepat proses pengembangan institusi perndidikan Muhammdiyah sebagai pusat
keunggulan dengan menyusun standar mutu.
(7). Menjadikan mutu sebagai tujuan utama bagi seluruh usaha pengembangan amal usaha
pendidikan Muhammadiyah.
(9). Menyusun system pendidikan Muhammadiyah yang berbasis al-Qur’an dan sunnah.
Kedua : Memperkuat landasan moral. Kita melihat pengaruh dari globalisasi yang telah
menimpa Indonesia, moral barat dengan mudahnya masuk ke dalam negari ini dan dapat
mempengaruhi masyarakat Indonesia, Maka sangat urgen sekali kalau moral para praktisi
pendidikan Islam dibangun dan dibentuk dengan kokoh, supaya tidak terpengaruh dengan
budaya barat tersebut.
Ketiga : Menguasai lebih dari dua bahasa.
Keempat : Menguasai komputer dan berbagai program dasarnya.
Kelima : Pengembangan kompetensi kepemimpinan.Adapun menurut hemat penulis agar
pendidikan Islam terus berkembang dan selalu sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, Maka perlu adanya integrasi antara pendidikan Islam Tradisional
(pesantren) yang sepanjang sejarahnya dikembangkan oleh NU dan pendidikan Islam modern
yang dikembangkan oleh Muhammadiyah. Pendidikan Pesantren diharapkan untuk tetap
dapat menjaga originilitas ulama’. Sedangkan pendidikan Islam modern diharapkan dapat
menyesuaikan dengan perkembangan IPTEK. Dalam kaedah usul dikatakan “al-muhafadhoh
‘alal qodimis soleh wal akhdu biljadidil ashlah (menjaga tradisi lama yang baik, dan
mengambil tradisi baru yang lebih baik)”
Selain itu juga perlu adanya rekontruksi metode atau model pembelajaran yang
digunakan di dalam pendidikan Islam. Dalam hal ini pendidikan Islam dapat menggunakan
metode pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning). Ini diharapkan dapat
mengikuti tuntutan anak modern yang selalu kritis dan lebih berpikiran maju dari anak zaman
dahulu yang cenderung manut dan tunduk terhadap apa yang disampaikan guru.
Pendidikan Islam ke depan harus lebih memprioritaskan kepada ilmu terapan yang
sifatnya aplikatif, bukan saja dalam ilmu-ilmu agama akan tetapi juga dalam bidang
teknologi. Sebab selama ini Pendidikan Islam terlalu terkonsentrasikan pada pendalaman
dikotomi halal haram dan sah batal, namun terlalu mengabaikan kemajuan IPTEK yang
menjadi sarana untuk mencapai kemajuan di era modern ini.
Bila dianalisis lebih jeli selama ini, khususnya sistem pendidikan Islam seakan-akan
terkotak-kotak antara urusan duniawi dengan urusan ukhrowi. Ada pemisahan antara
keduanya. Sehingga dari paradigma yang salah itu, menyebabkan umat Islam belum mau ikut
andil atau berpartisipasi banyak dalam agenda-agenda yang tidak ada hubungannya dengan
agama atau sains sebaliknya. Sebagai permisalan tentang sains, sering kali umat Islam Phobia
dan merasa sains bukan urusan agama. Dalam hal ini ada pemisahan antara urusan agama
yang berorientasi akhirat dengan sains yang dianggap hanya berorientasi dunia saja.
Sejarah telah mencatat, pada awal abad VIII umat Islam telah menorehkan tinta emas
kemajuan iptek jauh sebelum terjadinya revolusi Industri yang diagung-agungkan bangsa
Eropa. Kala itu, Ilmuwan-ilmuwan Islam dapat meletakkan dasar kemajuan iptek yang tentu
saja atas dasar agama. Di antara ilmuwan seperti, Abu Bakar Muhammad bin Zakariya ar-
Razi (Razes [864-930 M]) yang dikenal sebagai ‘dokter Muslim terbesar’, atau pakar
kedokteran Abu Ali Al-Hussain Ibn Abdallah Ibn Sina (Avicenna [981-1037 M]) yang hasil
pemikirannya The Canon of Medicine (Al-Qanun fi At Tibb) menjadi rujukan utama ilmu
kedokteran di eropa. Al Kawarijmi Jabir Ibnu Hayyan yang meninggal tahun 803 M disebut-
sebut sebagai Bapak Kimia. Algoritma yang kita kenal dalam pelajaran matematika itu
berasal dari nama seorang ahli matematik Muslim bernama Muhammad bin Musa Al-
Khwarizmi (770-840M)
Ilmuwan muslim telah diakui menjadi “jembatan” yang menghubungkan Pra-revolusi
dengan kemajuan Eropa melalui revolusi industri yang sempat diklaim mengubah dunia.
Lantas apa yang menyebabkan Islam dapat bersinar kala itu?. Alasannya adalah peran Islam
dalam mengembangkan iptek sangatlah luar biasa. Selain ilmuwan-ilmuwan yang bekerja
keras, ditambah pemerintahan yang mendukung dengan rela menyewa penerjemah-
penerjemah untuk menerjemahkan warisan-warisan ilmuan kuno Yunani. Sehingga nampak
bahwa Islam tidak hanya berorientasi pada agama, tetapi juga turut mengembangkan iptek
yang sebelumnya dianggap berorientasi pada dunia.
Saat ini bangsa Eropa dan Amerika sedang berada pada posisi atas, mereka memegang
peran yang signifikan dalam penguasaan seluruh tataran kehidupan di dunia. Hal ini sesuai
dengan Sunatullah yang menyebutkan bahwa, akan ada pergiliran kekuasaan di antara
manusia dan ini adalah sebuah kepastian. “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, kami
pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran) …” Namun pergiliran ini
terjadi, selain atas izin Allah, juga bergulir sesuai dengan sunatullah yang lain yaitu usaha
keras bangsa Eropa dan Amerika dalam penguasaan berbagai macam disiplin ilmu. Salah
satunya adalah sains.
Oleh karena itu, umat Islam harus mengusahakan agar roda itu terus berputar hingga
suatu saat nanti giliran umat Islam berada pada posisi di atas dengan cara memadukan Islam
dan sains melalui sistem pendidikan. Sehingga Umat Islam dapat menggenggam dunia
dengan sistem yang lebih baik dari sekarang. Dan perlu diingat, bahwa Allah tidak akan
mengubah keadaan suatu kaum, bila kaum itu yang mengubah keadaannya sendiri.
Dan yang sampai sekarang bergolak dalam dada penulis, kapan Rifaiyah akan
melakukan rekonstruksi untuk menuju dan ikut serta menorehkan tinta emas dalam
percaturan sejarah nasional ?. Sekali lagi, sambil bergumam dalam hati sembari memejamkan
mata membangun imajinasi yang rupawan tentang Rifaiyah, penulis mengajak semua
intelektual Rifaiyah untuk bersatu dan bersama membangun warisan sang guru ini.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Setelah membahas maka dapat disimpulkan tujuan utama Muhammadiyah adalah:
a. Mengembalikan amal dan perjuangan umat pada sumber Al Qur’an dan Hadist, bersih dari
Bid’ah dan khurafat.
b. Menafsirkan ajaran-ajaran Islam secara modern.
c. Memperbaharui sistem pendidikan Islam secara modern sesuai dengan kehendak dan kemajuan
jaman.
d. Membebaskan umat dari ikatan-ikatan tradisionalisme, konservatisme, taqlidisme dan
formalisme yang membelenggu kehidupan umat.
DAFTAR PUSTAKA
Http://perkembanganislamdieramodern.blogspot.com/2010/12/perbedaan-pendidikan-islam-
dengan.html: akses April 2013
Http://solomoncell.wordpress.com/2012/06/04/pendidikan-muhammadiyah/: akses April
2013
Muhammad Amien Rais dkk, 1985. Pendidikan Muhammadiyah dan Perubahan Sosial
(sarasehan pimpinan pusat ikatan pelajar Muhammadiyah). Yogyakarta : PLP2M.
Mahmud Yunus, 1996.Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung.
Mulkhan, Abdul Munir. 1990. Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah. Jakarta:
Bumi Aksara.