Laparotomi 130717234338 Phpapp01
Laparotomi 130717234338 Phpapp01
PENDAHULUAN
1. Midline incision
2. Paramedian, yaitu ; sedikit ke tepi dari garis tengah (± 2,5 cm), panjang
(12,5 cm).
3. Transverse upper abdomen incision, yaitu ; insisi di bagian atas, misalnya
pembedahan colesistotomy dan splenektomy.
4. Transverse lower abdomen incision, yaitu; insisi melintang di bagian
bawah ± 4 cm di atas anterior spinal iliaka, misalnya; pada operasi
appendictomy
1
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Bp. S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 49 tahun
Alamat :Plupuh, Sragen
Agama : Islam
No RM : 2266xx
Tanggal masuk RS : 09 juli 2012
Tanggal Operasi : 11 juli 2012 Jam : 12.20 WIB
II. ANAMNESIS
A. Keluhan utama: Nyeri perut
B. Status Lokalis
a) Kepala
Bentuk : mesocephal
Rambut :
Mata :
o Palpebra : Tidak didapatkan informasi
o Konjungtiva : Tidak didapatkan informasi
o Sklera : Tidak didapatkan informasi
o Pupil : Tidak didapatkan informasi
o Refleks cahaya : Tidak didapatkan informasi
o Pandangan kabur : Tidak didapatkan informasi
o Adanya pemandangan dua : Tidak didapatkan informasi
Hidung : Tidak didapatkan informasi
Mulut : Tidak didapatkan informasi
Mallampati : Tidak didapatkan informasi
b) Leher
KGB : Tidak didapatkan informasi
Kelenjar thyroid : Tidak didapatkan informasi
Sikatrik : Tidak didapatkan informasi
c) Thoraks
Paru : Tidak didapatkan informasi
Jantung : Tidak didapatkan informasi
Dada dan Aksila : dalam batas normal
d) Abdomen : Tidak didapatkan informasi
e) Ekstremitas
Tungkai simetris (+)
Akral hangat
Oedem - -
- -
V. DIAGNOSA KERJA
VI. KESIMPULAN
VII. PENATALAKSANAAN
Terapi operatif : laparotomi dengan general anestesi pada pasien
ASA II.
VIII. TINDAKAN ANESTESI PADA PERI-OPERASI
Macam :
Jenis AN : General anestesi
Teknik AN : IV
- Induksi Propofol 160 mg dan Notrixum 35 mg
Anestesi mulai : 12.15 WIB Operasi mulai :12.20 WIB
Anestesi selesai : 13.50 WIB Operasi selesai :13.50 WIB
A. Pre-operatif
Pasien puasa 6 jam pre-operatif.
Infus RL 25 tpm
Keadaan umum dan vital sign baik (TD=110/80 mmHg, N=76/’,
RR=20/’, S=360C)
B. Intra operatif
Pasien masuk ke ruang OK, diposisikan di atas meja operasi,
pasang alat monitoring: monitor tensi, Heart Rate, SpO2, untuk
monitoring ulang vital sign pasien.
(TD : 160/80 mmHg, N : 80x/menit, Saturasi O2%)
Pasien diminta untuk tetap berbaring dimeja operasi kemudian
diberi injeksi obat premedikasi Fentanhyl 2,5 mg IV untuk
memberi efek analgetik.Induksi anestesi dilakukan dengan injeksi
Propofol 160 mg IV secara perlahan agar mengurangi rasa nyeri
terbakar. Sungkup muka ditempatkan pada muka dan oksigen 4-6
lt/menit, kalau perlu nafas dibantu dengan menekan balon nafas
(below) secara periodik untuk mengatasi timbulnya apneu setelah
induksi Fentanhyl dan untuk memberikan efek hiperventilasi pada
paru. Setelah reflek bulu mata menghilang, berikan obat pelumpuh
otot Notrixum 3 mg. Pemberian notrixum mengakibatkan
fasikulasi (getaran otot) dan apnue sehingga nafas harus tetap
dibantu dengan memberikan tekanan pada balon nafas. Setelah
fasikulasi menghilang, pasien diintubasi dengan Endotrakeal Tube
(ET), kemudian balon pipa ET dikembangkan sampai tidak ada
kebocoran pada waktu melakukan nafas buatan dengan balon
nafas. Yakinkan bahwa pipa ET benar-benar didalam trakea dan
tidak masuk terlalu dalam di salah satu bronkus atau esofagus,
periksa dengan stetoskop dan dengarkan bising nafas yang harus
sama di paru kiri dan kanan, dinding dada juga harus bergerak
sama (simetris) pada setiap inspirasi buatan. Kemudian masukkan
Orofaringeal Airway (Guedel) pada mulut supaya pipa ET tidak
tergigit lalu kedua-duanya difiksasi. Kemudian pipa ET
dihubungkan dengan konektor kepada sirkuit nafas alat anestesi.
Selanjutnya dilakukan tahap pemeliharaan anestesi (maintenance)
dengan N2O dibuka 2,5 liter/menit dan O2 2 liter/menit (50% :
50%), kemudian Isoflurane 1,5-2 vol % dibuka. Nafas pasien
dikendalikan dengan menekan balon nafas (12-16 x/menit) setelah
ada tanda-tanda nafas spontan kemudian dicoba membantu nafas
sedikit-sedikit sampai pernafasan normal kuat kembali. Nafas
dapat dibiarkan spontan kalau usaha nafas ternyata cukup kuat, ini
dapat dilihat dari besarnya kembang kempis balon nafas.
Kedalaman anestesi dipertahankan dengan kombinasi N2O 2,5
L/menit dan O2 2 lt/menit, serta isoflurane 1,5-2 vol%. Ketika
operasi menjelang selesai (±10 menit), N2O mulai diturunkan
volumenya dan O2 dinaikkan volumenya, serta dosis Isoflurane
juga perlahan dikurangi hingga akhirnya 0 vol%.
Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah dan nadi
senantiasa dikontrol setiap 5 menit, sebagai berikut :
Menit ke- Sistole Diastole Pulse Sp O2
1 140 80 75 98 %
5 115 70 70 98 %
10 185 95 60 98 %
15 110 70 58 98%
20 100 60 58 98%
25 140 90 58 98%
30 130 90 59 98%
35 120 80 58 98%
40 135 75 57 98%
45 120 70 56 98%
50 130 75 56 98%
51 130 80 57 98%
52 130 90 58 98%
53 125 80 58 98%
54 125 80 58 98%
55 140 90 57 98%
56 145 90 58 97%
57 140 85 58 97%
58 120 80 58 97%
C. Post operatif
Operasi berakhir pukul 13.40WIB.
Rawat pasien di RR (Recovery Room) dengan posisi
supine. Berikan oksigen 3 liter/menit (nasal). Kemudian awasi
respirasi, nadi, tensi setiap 15 menit. Bila pasien muntah, berikan
Cedantron 8mg intravena. Bila pasien merasakan kesakitan,
berikan Remopain 30mg intravena.
A. PENGERTIAN
B. ETIOLOGI
C. PATOFISIOLOGI PENYAKIT
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
F. KOMPLIKASI
G. PENATALAKSANAAN MEDIS
H. CARA PENCEGAHAN
a. Tablet 12,5 mg tiap 4-5 jam atau 25 mg tiap 8 jam. Untuk nyeri paska
operasi 25mg tiap 8 jam maksimal 75 mg.
b. Ampul 50mg/mL tiap 8-12 jam. Dosis IV/IM maksimal 150mg.
PETHIDIN
Merupakan narkotik sintetik derivat fenilpiperidinan dan terutama berefek
terhadap susunan saraf pusat yaitu menimbulkan analgesia, sedasi, euphoria,
depresi pernapasan serta efek sentral lain seperti morfin. Efek analgesi pethidin
timbul agal lebih cepat daripada efek analgesic morfin, yaitu kira-kira 10 menit,
setelah suntikan subkutan atau intramuscular, tetapi masa kerjanya lebih pendek,
yaitu 2-4 jam. Obat ini mengalami metabolisme di hati dan diekskresikan melalui
urin.Digunakan untuk meringankan rasa nyeri sedang sampai berat yang tidak
responsive terhadap analgetik non-narkotika.
Defisit cairan perioperatif timbul sebagai akibat puasa pra-bedah yang
kadang-kadang dapat memanjang, kehilangan cairan yang sering menyertai
penyakit primernya, perdarahan, manipulasi bedah, dan lamanya pembedahan
yang mengakibatkan terjadinya sequestrasi atau translokasi cairan.Tujuan utama
terapi cairan perioperatif adalah untuk mengganti defisit pra, selama dan pasca
bedah.Terapi dinilai berhasil apabila pada penderita tidak ditemukan tanda-tanda
hipovolemik dan hipoperfusi atau tanda-tanda kelebihan cairan.Pada prakteknya
banyak hal yang sulit ditentukan atau diukur secara objektif.
Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular
dankompartemen ekstraselular. Kompartemen ekstraselular dibagi menjadi cairan
intravaskular dan intersisial. Selain air, cairan tubuh mengandung elektrolit
(Na+,K+,Cl- ,HCO3-, PO43-) dan non elektrolit (kreatinin, bilirubin). Proses
pergerakan cairan tubuh antar kompertemen dapat berlangsung secara osmosis,
difusi, pompa natrium-kalium. Perubahan dalam cairan tubuh dapat terjadi karena
perubahan volume (defisit volume seperti dehidrasi dan kelebihan volume),
perubahan konsentrasi (elektrolit), perubahan komposisi (asidosis dan alkalosis).
Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang umum
terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif,
perioperatif dan postoperatif. Oleh karena itu dasar terapi cairan dan elektrolit
perioperatif berdasar kepada kebutuhan normal cairan dan elektrolit harian, defisit
pra, saat, dan pasca pembedahan.Kebutuhan normal cairan orang dewasa rata-rata
30-35 ml/kgBB dan elektrolit Na+= 1-2mmol/kgBB/hari dan K+=1
mmol/kgBB/hari.Saat pembedahan harus dilihat banyaknya perdarahan untuk
digantikan.Selain mengganti cairan tubuh, perlu diperhatikan pula jenis cairan
yang digunakan untuk menggantinya.Cairan tersbut dapat berupa kristaloid atau
koloid yang masing-masing mempunyai keuntungan tersendiri yang diberikan
sesuai dengan kondisi pasien.
Pada kasus ini, terapi cairan yang digunakan ada dua macam yaitu larutan
koloid dan kristaloid.Pada pre-operatif dan awal operatif, digunakan cairan gelatin
(koloid) yaitu succinylated gelatins. Cairan koloid disebut juga sebagai cairan
pengganti plasma atau biasa disebut “plasma substitute” atau “plasma expander”.
Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi
dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak
lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Sedangkan gelatin sendiri
adalah larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul
rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang. Penggunaan koloid pada
kasus ini diindikasikan pada anestesi spinal untuk resusitasi cairan akibat
kehilangan darah yang cukup banyak serta mengatasi hipoalbuminemia pada
pasien ini (protein urine didapatkan +++ ).
Sedangkan cairan kristaloid yang digunakan adalah Ringer Laktat. Cairan
kristaloid merupakan cairan yang mempunyai komposisi mirip cairan
ekstraseluler (CES = CEF). Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah,
tersedia dengan mudah di setiap pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross
match, tidak menimbulkan alergi atau syok anafilaktik, penyimpanan sederhana
dan dapat disimpan lama. Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang
paling banyak digunakan untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan
susunan yang hampir menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung
dalam cairan tersebut akan mengalami metabolisme di hati menjadi bikarbonat.
BAB IV
KESIMPULAN
Gunawan Sulistia Gan. 2007. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta : FKUI
Hadi H., 2000. Metode Pematangan Serviks dan Induksi Persalinan.FK USU.
Lubis A.B., 2010. Agen Anestesi Lokal. Jakarta: Fakultas Kedokteran Yarsi.