Anda di halaman 1dari 105

UNTAD

HUBUNGAN FAKTOR GENETIK DAN DURASI AKTIVITAS


MEMBACA DEKAT DENGAN PENURUNAN VISUS MATA
(LOW VISION) PADA MAHASISWA TINGKAT KEDUA
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN UNIVERSITAS
TADULAKO

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan


dalam menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S1)
Program Studi Kedokteran FKIK
Universitas Tadulako

DIKI PRANATAL RAMBA SIBANNANG


N 101 13 108

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
Februari 2017

1
iv
v
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tugas akhir ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis
atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan
disebutkan dalam daftar pustaka.

Palu, 3 Februari 2017


Penulis

Diki Pranatal Ramba Sibannang

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan karunia dan rahmat-Nya sehingga pembuatan skripsi dengan judul

“Hubungan Faktor Genetik Dan Durasi Aktivitas Membaca Dekat Dengan

Penurunan Visus Mata (Low vision) Pada Mahasiswa Tingkat Kedua

Program Studi Kedokteran Universitas Tadulako” dapat terwujud. Penelitian

dan penulisan ini dalam rangka memenuhi persyaratan untuk menyelesaikan

Program Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan Universitas Tadulako, Palu.

Dengan terselesaikannya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan hormat

dan terima kasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada kedua

orangtua tercinta Ir. Andarias Sibannang dan dr. Yuliana Ramba yang

senantiasa dan tak henti-hentinya memberikan doa, kasih sayang, didikan,

bimbingan, bantuan, dorongan, dan segala fasilitas yang menjadi motivasi penulis

dalam menyelesaikan studi ini. Semoga Tuhan Yesus Kristus senantiasa

melimpahkan kasih karunia, kesehatan dan kesejahteraan-Nya. Amin.

Ucapan terima kasih dan rasa hormat setinggi-tingginya juga disampaikan

kepada Ibu dr. Indah P. Kiay Demak, M.Med.Ed selaku pembimbing I, dan

Bapak dr. Mohammad Salman selaku pembimbing II yang penuh kesabaran dan

keikhlasan dalam memberikan waktu, arahan secara terus menerus dan juga

memberikan motivasi serta masukan yang sangat membantu penulis dalam

iv
v

menyelesaikan skripsi ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan

atas kebaikan ini. Amin.

Pada penulisan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak,

untuk itu perkenankan pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih

yang tak terhingga kepada:

1. Bapak Prof. DR. Ir. Muh. Basir, S.E, M.S selaku Rektor Universitas

Tadulako.

2. Bapak dr. Masyur Romi, S.U, PA selaku dekan FKIK Untad dan Bapak

dr. Fajar Waskito, Sp.KK(K), M.Kes selaku dekan FKIK Untad yang

menjabat pada periode sebelumnya.

3. Bapak Dr. dr. M. Sabir, M.Si selaku Wakil Dekan I FKIK Untad.

4. Ibu drg. Tri Setyawati, M.Sc selaku Wakil Dekan II FKIK Untad

5. Bapak dr. Muh. Ardi Munir, M.Kes, Sp.OT., FICS, M.H selaku Wakil

Dekan III FKIK Untad.

6. Ibu dr. Indah Puspasari Kiay Demak M.Med.Ed selaku Koordinator

Program Studi Kedokteran FKIK Untad dan Pembimbing I.

7. Bapak dr. Mohammad Salman selaku Pembimbing II.

8. Bapak dr. I Nyoman Widajadnja M.Kes selaku Kepala Bagian Fisiologi

Program Studi Kedokteran FKIK Untad dan Penguji 1

9. Ibu dr. Sumarni Sp.GK, M. Kes selaku Penguji II.

10. Ibu dr. Rahma Baddaruddin selaku Penguji III

11. Ibu dr. Ayu Sekarani


vi

12. Segenap pegawai tata usaha FKIK Untad yang banyak membantu semasa

perkuliahan penulis.

13. Kakak saya terkasih dr. Dhita Yunita Yulanda, dr. Alistan Patandianan,

Dito Made Putranto, ST, Monita Rantesalu, S. Farm, dr. Yulia Dewi

Suandari, Sp.M yang selalu memberi bantuan ide, saran, motivasi dan

hiburan bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

14. Saudara-saudari seperjuangan dari awal hingga sekarang, angkatan 2013

P13XUS yang penulis cintai dan banggakan, terima kasih atas segala

kebersamaan, do’a, semangat, tawa canda serta tangis yang dilalui bersama.

Semoga kelak dapat menjadi dokter yang menjadi teladan, baik dan sukses

sebagaimana dicita-citakan bersama. Amin.

15. Teman-teman seperjuangan saya ”Funtastic 4”, Haifa Az Zahra, Luh Dita

Yuliandina, Zha Zha Nurul Zahra yang membantu dalam proses

pengajuan proposal, proses penelitian hingga akhir dan selalu memberikan

ide, saran, semangat serta motivasi kepada penulis.

16. Teman-teman Teroris PENDPRO HMPD 2015-2016 yang memberikan

motivasi dan semangat dalam berorganisasi dan penyelesaian akademik,

Ahmad Febriady, Kurniawan Syam, Dewi Indah Sari, Nurul Muthiah,

Khairunnisa, dan Firyal Amyrah Delicia.

17. Rekan-rekan Asisten Dosen Fisiologi FKIK Untad, terima kasih atas

kerjasama dan kebersamaan yang dilalui semasa menjadi asisten serta

membantu dalam proses penelitian ini yaitu asisten angkatan 2013 (Agung

Cahya Pratama, Kurniawan Syam, Multazam Eko Putra, Gita Dewi,


vii

Nurul Amelya Amsyar), Asisten angkatan 2014 dan 2015 (Hendra

Kuganda, Euniche Kamase Singkali, Syarifah Ayu Rahmanisa, dan

Yulia Margaretha Alatinge).

18. Teman-teman CRANIAS yaitu, Yevan Harrybrata Adjimat, Hendra

Saleh, Yudit Setiawan, Nalto Mentara, Rizky Apriandi Patodo,

Marchel Bamba, Andi Belgratia, Lady Liberties BTKT, Imelda Friska

Ta’uro, Lia Aswika Via Costa, Anugrah La’bi Tulak, Florencia Irena

Halim, Angelia Tikumali Pirade, Magdalena Riris, Kak Greis Novelin

Mogelea, dan Mauren Cesaria Wenno, yang memberikan dukungan,

motivasi, dan doa dalam perkuliahan dan penelitian.

19. Teman-teman saya CR SMADA, Andiny Puteri, Dian Anggreani, Iga

Maghfira Deviana dan Alifia Arabella yang memberikan motivasi dan

semangat bagi penulis.

20. Organisasi Himpunan Mahasiswa Pendidikan Dokter (HMPD), Tim

Bantuan Medis Axis (TBM Axis), Asian Medical Student Association

Untad dan PMK Faith yang banyak memberikan penulis pengalaman

berharga dan membantu dalam menunjang akademik penulis.

21. Senior Olfactorius, Osteo9en, Card10, Ach11les, A12thron, junior At14s

dan 2016 seta terkhusus adik-adik V15cera yang telah ikut berpartisipasi

dalam penelitian ini.

22. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah

membantu dan memberikan dukungan dalam penulisan skripsi ini.


viii

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat banyak kekurangan

dalam penulisan skripsi ini karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan

penulis. Untuk itu, diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi

kesempurnaan skripsi ini.

Dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga skripsi ini dapat

memberikan manfaat yang berarti bagi kita semua.

Palu, 3 Februari 2017

Diki Pranatal Ramba Sibannang


DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................................................ii
PERNYATAAN....................................................................................................iii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iv
DAFTAR ISI..........................................................................................................ix
DAFTAR GAMBAR..…….……………………………………………………xii

DAFTAR TABEL…………………………………………………………...…xiii

DAFTAR LAMPIRAN..……………………………………………………….xiv

ABSTRAK............................................................................................................xv
ABSTRACT..........................................................................................................xvi
BAB I – PEDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................................1
B. Perumusan Masalah....................................................................................3
C. Tujuan Penelitian........................................................................................4
D. Manfaat Penelitian......................................................................................4
E. Keaslian Penelitian.....................................................................................5
BAB II – TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka...........................................................................................7
1. Anatomi Mata......................................................................................7
a. Tunika Fibrosa...............................................................................7
b. Tunika Vaskular............................................................................7
c. Tunika Nervosa.............................................................................9
d. Struktur Interior Bola Mata...........................................................12
2. Penglihatan Mata.................................................................................14
a. Definisi Penglihatan......................................................................14
b. Jaras Neurosensori Penglihatan.....................................................14
c. Mekanisme Adaptasi Gelap dan Terang (Fototransduksi)...........17

ix
x

d. Akomodasi Mata...........................................................................19
e. Refleks Pupil Terhadap Cahaya....................................................20
f. Refleks Konsensual Mata..............................................................20
g. Pemeriksaan Untuk Ketajaman Penglihatan.................................21
h. Klasifikasi Ketajaman Penglihatan................................................27
i. Kelainan Refraksi Mata.................................................................29
3. Faktor Resiko Penurunan Tajam Penglihatan..........................................39
B. Kerangka Teori..........................................................................................43
C. Kerangka Konsep......................................................................................42
D. Landasan Teori..........................................................................................43
E. Hipotesis....................................................................................................44
BAB III – METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penilitian.................................................................................45
B. Lokasi dan Waktu Penelitian.....................................................................45
C. Populasi dan Sampel..................................................................................45
1. Populasi..............................................................................................45
2. Sampel................................................................................................45
D. Teknik Pengambilan Sampel.....................................................................46
E. Definisi Operasional Variabel...................................................................47
F. Instrumen Penelitian..................................................................................48
G. Langkah Penelitian....................................................................................48
H. Jenis dan Sumber Data Penelitian..............................................................49
I. Pengolahan Data........................................................................................49
J. Penyajian Data...........................................................................................49
K. Analisis Data..............................................................................................49
L. Alur Penelitian...........................................................................................51
M. Etika Penelitian..........................................................................................51
BAB IV – HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil penelitian..........................................................................................53
1. Karakteristik Sampel Penelitian..........................................................53
xi

2. Analisis Univariat................................................................................54
3. Analisis Bivariat..................................................................................56
B. Pembahasan...............................................................................................58
BAB V – KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan................................................................................................62
B. Saran..........................................................................................................63
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................64

Lampiran
xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Tampakan Oftalmoskop Retina ……………………………….……11

Gambar 2.2 Potongan Transversal dari Struktur Bola Mata.................................14


Gambar 2.3 Jaras Penglihatan...............................................................................16
Gambar 2.4 Fotopigmen dan Fototransduksi Adaptasi Terang dan Gelap……... 19

Gambar 2.5 Flow Chart Komorbid Okular, sistemik dan genetik Pada
Gangguan Vius Mata ……………………………………..……….31
xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tabel Tajam Penglihatan …………………………………………......24

Tabel 2.2 Tabel Tajam Penglihatan …………………………………………......25

Tabel 2.3 Tabel Tajam Penglihatan normal ……………………………………..27

Tabel 2.4 Tabel low vision ringan …………………………………………….....27

Tabel 2.5 Tabel low vision sedang ……………………………………………....27

Tabel 2.6 Tabel low vision berat ………………………………………………...28

Tabel 2.7 Tabel low vision nyata …………………………………....…………...28

Tabel 2.8 Klasifikasi Ametropia ………………………………………………...32

Tabel 2.9 Kekuatan Lensa Presbiopia Berdasar Umur …………………….........39

Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Sampel Berdasarkan Visus Awal……………54

Tabel 4.2 Distribusi gambaran visus awal pada sampel……………………....…54

Tabel 4.3 Distribusi sampel menurut Faktor Genetik……………………...….…55


Tabel 4.4 Distribusi sampel menurut durasi aktivitas membaca dekat………..…56

Tabel 4.5 Distribusi sampel menurut astenopia (kelelahan pada mata)……….…56

Tabel 4.6 Hasil Uji Chi-Square Hubungan Faktor Genetik Dan Durasi

Aktivitas Membaca Dekat Dengan Penurunan Visus Mata (Low

Vision)……...……………………………………………….………….57

Tabel 4.7 Hasil Uji Chi-Square Hubungan Durasi Aktivitas Membaca


Dekat Dengan Penurunan Visus Mata (Low Vision)……….…………58
xiv

DAFTAR LAMPIRAN

A. Lampiran 1 Informed Consent....................................................................70


B. Lampiran 2 Definisi pada kuesioner...........................................................71
C. Lampiran 3 Kuesioner Hubungan antara Faktor Genetik dan
Durasi Aktivitas Jarak Dekat dengan Penurunan Visus Mata
pada Mahasiswa Tingkat Kedua Program Studi Kedokteran
Universitas Tadulako...........................................................................................72
D. Lampiran 4 Hasil visus mata dan kuesioner.........................................................74
E. Lampiran 5 Validasi kuesioner............................................................................76
F. Lampiran 6 Hasil analisa data menggunakan SPSS.............................................78
G. Lampiran 7 Dokumentasi penelitian....................................................................82
H. Lampiran 8 Surat penelitian.................................................................................85
ABSTRAK

Latar Belakang:. Kelainan pada mata yaitu gangguan penglihatan dan kebutaan
merupakan masalah kesehatan yang penting. Dua penyebab terbanyak yaitu
gangguan refraksi dan katarak. Deteksi prevalensi penurunan visus (low vision)
dan faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian penurunan visus mata (low
vision) pada Mahasiswa Tingkat Kedua Program Studi Kedokteran Universitas
Tadulako. Adanya hubungan faktor riwayat keluarga (genetik) oleh mutasi gen
ABCA4 dan durasi aktivitas membaca dekat dengan penurunan visus (low vision).
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan faktor genetik dan durasi aktivitas
membaca dekat dengan penurunan visus mata (low vision) pada Mahasiswa
Tingkat Kedua Program Studi Kedokteran Universitas Tadulako.
Metode: Pada penelitian ini, jenis penelitian yang dipakai adalah jenis penelitian
analitik dengan pendekatan cross sectional. Pengambilan sampel dilakukan secara
probability dengan cara total sampling. Total sampel pada penelitian ini adalah 54
orang. Perbedaan dari kedua kelompok sampel yaitu yang mengalami penurunan
visus mata (low vision) yaitu pada visus <6/6 dan yang tidak mengalami
penurunan visus ≥ 6/6.
Hasil: Analisis data menggunakan uji chi-square yates correction diperoleh nilai
probabilitas (0,001<0,05) untuk hubungan faktor genetik dengan penurunan visus
mata (low vision) pada Mahasiswa Tingkat Kedua Program Studi Kedokteran
Universitas Tadulako. Nilai probabilitas (0,001<0,05) untuk hubungan durasi
aktivitas membaca dekat dengan penurunan visus mata (low vision) pada
Mahasiswa Tingkat Kedua Program Studi Kedokteran Universitas Tadulako.
Kesimpulan: Adanya hubungan bermakna antara faktor genetik dengan
penurunan visus mata (low vision) pada mahasiswa tingkat kedua program studi
kedokteran Universitas Tadulako. Adanya hubungan bermakna antara durasi
aktivitas membaca dekat dengan penurunan visus mata (low vision) pada
Mahasiswa Tingkat Kedua Program Studi Kedokteran Universitas Tadulako.

Kata Kunci: Faktor genetik, Durasi aktivitas membaca dekat, Penurunan visus
mata (low vision).

xv
ABSTRACT

Background: Disorders of the eye that visual impairment and blindness is an


important health problem. Two of the most common cause is refractive errors and
cataracts. Detection prevalence decrease of visual acuity (low vision) and the risk
factors associated with the occurrence of a decrease in eye vision (low vision) on
the Second Level Medical Students of Tadulako University. The existence of the
correlation between family history (genetics) by gene mutation ABCA4 and
duration close reading activities with decreased visual acuity (low vision).
Objective: To determine correlation of genetic factor and the duration close
reading activities with decreased visual acuity (low vision) on the Second Level
Medical Students of Tadulako University.
Methods: This research was an analytical research which used cross sectional
approach. Sampling method used was probability sampling through employing
total sampling technique. Total of sample in this research was 54 students. From
two groups of sample, found that those who have decrease visual acuity are at
less than 6/6 while those who don’t have decrease visual acuity are at greater
than 6/6 .
Results: Data were analyzed using by chi-square test yates correction obtained
the probability value (0.001 <0.05) for the correlation of genetic factors to the
decrease in eye vision (low vision) on the Second Level Medical Students of
Tadulako University. Probability value (0.001 <0.05) for the duration close
reading activities correlation with decreased visual acuity (low vision) on the
Second Level Medical Students of Tadulako University.
Conclusion: There is significant correlation between genetic factors with
decreased visual acuity (low vision) at the Second Level Medical Students of
Tadulako University. There is significant correlation between the duration close
reading activities with decreased visual acuity (low vision) at the Second Level
Medical Students of Tadulako University.

Keywords: Genetic factor, duration close reading activities, decreased visual


acuity (low vision).

xvi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tajam penglihatan dibedakan atas 3 kriteria; penglihatan normal, low vision
dan buta. Kriteria kebutaan agak berlainan ditiap negara di dunia tergantung pada
faktor sosio-ekonomi. Pengertian buta menurut WHO dan UNICEF yaitu, “ Buta
adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat menjalankan pekerjaan-
pekerjaan yang memerlukan penglihatannya sebagai hal yang esensial
sebagaimana orang sehat” (Ilyas, 2014).
Untuk menangani permasalahan kebutaan dan gangguan penglihatan, WHO
membuat program Vision 2020 yang direkomendasikan untuk diadaptasi oleh
negara-negara anggotanya. Dalam upaya mencapai Vision 2020 ini WHO telah
menetapkan setiap hari Kamis minggu kedua di bulan Oktober sebagai Hari
Penglihatan Sedunia (World Sight Day/WSD) yang sudah dilaksanakan sejak
tahun 2000. Pada tahun 2014 WSD jatuh pada tanggal 9 Oktober. Sekitar 80%
gangguan penglihatan dan kebutaan di dunia dapat dicegah. Dua penyebab
terbanyak adalah gangguan refraksi dan katarak, yang keduanya dapat ditangani
dengan hasil yang baik dan cost-effective di berbagai negara termasuk Indonesia.
Pada dokumen WHO, WHA 66.4 tahun 2013, Menuju Universal Eye Health 2014-
2019, terdapat tiga indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kemajuan
kesehatan mata di tingkat nasional di suatu negara, yaitu: Prevalensi Kebutaan
dan gangguan penglihatan, jumlah tenaga kesehatan mata, jumlah operasi katarak,
yang dapat berupa angka CSR (Cataract Surgical Rate) atau CSC (Cataract
Surgical Coverage). Ketiga indikator akan terjadi penurunan prevalensi gangguan
penglihatan (yang dapat dicegah) mencapai 25% di tahun 2019 (Pusat Data dan
Informasi KEMENKES RI, 2014).
Pembangunan kesehatan sebagai bagian integral dari Pembangunan Nasional
pada hakekatnya adalah penyelenggaraan upaya kesehatan untuk mencapai
kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal yang besar artinya bagi pengembangan dan pembinaan

1
2

sumber daya manusia sebagai modal Pembangunan Nasional. Salah satu upaya
kesehatan yang harus dicapai adalah upaya kesehatan mata dan pencegahan
kebutaan dalam rangka optimalisasi fungsi penglihatan masyarakat dengan
melibatkan tenaga kesehatan yang mampu memberikan pelayanan yang sesuai
dengan tanggung jawab profesinya. Peranan refraksionis optisien sebagai salah
satu tenaga kesehatan sangat diperlukan untuk melaksanakan upaya kesehatan
mata dan pencegahan kebutaan (KEMENKES RI, 2008).
Kejernihan penglihatan bisa disebut ketajaman visus, yang berkisar dari
penglihatan penuh sampai tampak penglihatan. Jika ketajaman menurun,
pengihatan menjadi kabur. Ketajaman penglihatan biasanya diukur dengan skala
yang membandingkan penglihatan seseorang pada jarak 6 meter dengan seseorang
yang memiliki ketajaman penuh. Visus 6/6 artinya seseorang melihat benda jarak
6 meter dengan tajam penuh (Tamboto dkk., 2015).
Data gangguan penglihatan di seluruh dunia diperoleh dari hasil estimasi
yang dilakukan oleh WHO. Low vision jika tajam penglihatan berkisar <6/18 -
≥3/60 dan buta jika tajam penglihatan kurang dari 3/60. Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2007 dan 2013 mengumpulkan data mengenai kesehatan indera
penglihatan. Dalam Riskesdas 2007 maupun 2013, responden yang diperiksa
adalah responden yang berusia 6 tahun ke atas dan memungkinkan untuk
diperiksa visusnya. Pemeriksaan dilakukan tanpa atau dengan koreksi optimal.
Untuk tahun 2013, responden yang dianalisis berjumlah 924.780 orang.
Responden diklasifikasikan menderita severe visual impairment jika tajam
penglihatan berkisar antara <6/60 - ≥3/60 dan diklasifikasikan menyandang
kebutaan jika tajam penglihatan <3/60. Berdasarkan provinsi, prevalensi kebutaan
penduduk umur 6 tahun keatas tertinggi ditemukan di Gorontalo (1,1%), diikuti
Nusa Tenggara Timur (1,0%), Sulawesi Selatan, dan Bangka Belitung (masing-
masing 0,8%). Untuk sulawesi tengah tingkat kebutaannya cukup rendah yaitu 0,3
% tetapi untuk Severe Low Vision prevalensinya cukup tinggi yaitu 0,6% (Pusat
Data dan Informasi KEMENKES RI, 2014).
Faktor genetik mewarisi dari degenerasi retina yang penyebarannya luas
sehingga gangguan herediter ini dapat mempengaruhi retina. Biasanya, penyakit
3

ini mempengaruhi sel kerucut dan sel batang fotoreseptor serta epitel pigmen
retina (RPE), kemajuannya lambat sehingga menyebabkan ireversibel dan
hilangnya ketajaman penglihatan dari mata. Degenerasi makula yang paling
umum terkait dengan mutasi pada gen ABCA4 dan sering disebut sebagai fundus
flavimaculatus. Kondisi ini terkait dengan penurunan progresif pada ketajaman
penglihatan (Carlo et al., 2016).
Nearwork merupakan pengaruh lingkungan yang kuat terhadap
perkembangan pertambahan miopia. Seiring kemajuan teknologi dan
telekomunikasi seperti televisi, komputer, video game, dan lain-lain secara
langsung maupun tidak langsung akan meningkatkan aktivitas melihat dekat
terutama pada anak-anak di daerah perkotaan yang berpengaruh terhadap
penurunan visus mata (Tiharyo dkk., 2012).
Penelitian lain di Fakultas Kedokteran Grant Norwegia, juga menunjukkan
bahwa 78% mahasiswa kedokteran tahun pertama mengalami miopia, dan
prevalensi miopia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran dua kali lebih tinggi dari
pada populasi biasa. Dari total mahasiswa yang mengambil masuk ke kurikulum
NRI Medical College didapatkan penurunan visus yang meningkat setiap
tahunnya (Chalasani et al., 2012).
Dari pernyataan diatas belum terungkap pasti apakah faktor genetik dan
aktivitas jarak dekat berpengaruh terhadap penurunan visus mata. Oleh karena itu,
berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitan dengan judul “Hubungan Faktor Genetik Dan Durasi Aktivitas
Membaca Dekat Dengan Penurunan Visus Mata (Low Vision) Pada Mahasiswa
Tingkat Kedua Program Studi Kedokteran Universitas Tadulako”.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah : Apakah ada hubungan faktor genetik dan durasi aktivitas
membaca dekat dengan penurunan visus mata (Low Vision) pada Mahasiswa
Tingkat Kedua Program Studi Kedokteran Universitas Tadulako?
4

C. Tujuan Penelitian
1) Tujuan Umum

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai


adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan faktor genetik dan durasi
aktivitas membaca dekat dengan penurunan visus mata (Low Vision) pada
Mahasiswa Tingkat Kedua Program Studi Kedokteran Universitas Tadulako.

2) Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui gambaran visus mata pada Mahasiswa Tingkat Kedua
Program Studi Kedokteran Universitas Tadulako.
b. Untuk mengetahui hubungan faktor genetik (keterunan) pada keluarga
yang memiliki gangguan refraksi mata dengan penurunan visus mata
(Low Vision) pada Mahasiswa Tingkat Kedua Program Studi Kedokteran
Universitas Tadulako.
c. Untuk mengetahui hubungan lamanya aktivitas membaca dekat dengan
penurunan visus mata (Low Vision) pada Mahasiswa Tingkat Kedua
Program Studi Kedokteran Universitas Tadulako.

D. Manfaat Penelitian
1) Bagi Peneliti
Dapat memperoleh pengalaman belajar dan pengetahuan dalam melakukan
penelitian di bidang kesehatan, sehingga dapat menambah wawasan peneliti.
2) Bagi Instansi Kesehatan
a. Dapat mengetahui hubungan antara faktor genetik dan lamanya aktivitas
membaca dekat dengan penurunan visus mata agar dapat dilakukan upaya
preventif (pencegahan) penurunan visus mata.
b. Dapat sebagai data penunjang kondisi visus mata pada Mahasiswa Tingkat
Kedua Program Studi Kedokteran Universitas Tadulako.
5

3) Bagi Masyarakat
Dapat mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan penurunan visus mata,
sehingga dapat menambah pengetahuan masyarakat khususnya dalam hal
preventif.
4) Bagi Pendidikan
Untuk bidang pendidikan, penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan
referensi pembelajaran.

E. Keaslian Penelitian
Terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang sedikit
mempunyai kemiripan dengan penelitian ini. Nurullah (2013), dengan metode
penelitian yang digunaan yaitu dengan survey analitik dengan rancangan cross
sectional (potong lintang). Waktu penelitian yang dilakukan dimulai dari 11
Maret - 22 Maret 2013. Hasil yang diperoleh yaitu dari 21 pelajar dengan yang
menderita miopia, didapatkan bahwa proporsi kejadian miopia lebih banyak pada
perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Melalui hasil analisa data dengan
menggunakan uji statistik Chi square didapatkan p value 0.612 (p>0.05), dapat
diartikan bahwa H0 diterima atau dapat dikatakan bahwa tidak terdapat hubungan
antara jenis kelamin dengan kejadian miopia. Melalui hasil analisa data dengan
menggunakan uji statistik Fisher didapatkan p value 0,214 (p>0.05), dapat
diartikan bahwa H0 diterima atau dapat dikatakan bahwa tidak terdapat hubungan
antara faktor genetik dengan kejadian miopia. Jumlah pelajar yang memiliki pola
membaca buku berisiko dan menderita miopia adalah 18 orang (85,7%),
sedangkan pelajar yang memiliki pola membaca buku berisiko tetapi tidak
mengalami miopia berjumlah 11 orang (39,3%). Dari perhitungan nilai p
didapatkan aktivitas membaca buku memiliki nilai p < 0,05 yaitu 0,001 (POR=
9.27, 95% CI 2,20-39.07) sehingga didapatkan hubungan yang bermakna antara
membaca buku dengan kejadian miopia.
Hasibuan (2009) dengan menggunakan metode penelitian analitik dengan
pendekatan Cross Sectional. Waktu penelitian dari agustus-september tahun 2009.
Total sampel yang digunakan yaitu 93 orang. Hasil yang diperoleh hubungan
6

antara lamanya pekerjaan jarak dekat inidan miopia dapat dirinci sebagai beriku
yaitu; mengerjakan tugas kuliah (P=0,147), membaca untuk hobi (P=0,379),
menonton tv (P=0,177), menggunakan komputer (P=0,025), dan diophter hour
(P=0,208), sedangkan variabel lamanya waktu yang dihabiskan untuk berada
diluar rumah memiliki nilai P=0,015. Selain itu didapati bahwa dari 59 orang
mahasiswa yang mengalami, miopia, lima orang mempunyai kedua orang tua
yang miopia. Lima belas orang lainya mempunyai salah satu orang tua yang
mengalami miopia dan 39 orang mahasiswa miopia tidak memiliki orang tua
miopia (P=0,010). Faktor keturunan dimana anak yang memiliki kedua orang tua
mempunyai resiko paling besar mengalami miopia, sedangkan hubungan antara
lamanya bekerja jarak dekat dengan kejadian miopia tidak tampak.

Penelitian yang akan dilakukan kali ini hampir memiliki kesamaan dengan
penelitian sebelumnya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik
dengan rancangan Cross Sectional (potong lintang). Dengan teknik pengambilan
sampel secara total sampling. Perbedaan penelitian terletak pada, variabel yang
digunakan, waktu penelitian, tempat penelitian, dan sampel penelitian. Sehingga
keaslian penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka
1. Anatomi Mata
a. Tunika Fibrosa
Tunika fibrosa adalah lapisan superfisial dari bola mata dan
terdiri dari bagian anterior yaitu kornea dan posteriornya yaitu
sklera. Kornea adalah mantel transparan yang menutupi iris. Karena
bentuknya melengkung, kornea akan membantu fokus cahaya
menuju ke retina. Permukaan luarnya terdiri dari mukosanya epitel
bertingkat skuamosa dan tidak berkeratin. Mantel tengah kornea
terdiri dari serat kolagen dan fibroblas, dan permukaan bagian dalam
epitel selapis skuamosa. Pada bagian tengah kornea menerima
oksigen dari udara luar, lensa kontak yang dipakai untuk jangka
waktu yang lama harus permeabel untuk mengizinkan oksigen untuk
melewati struktur tersebut (Tortora & Derrickson, 2012).
Sklera merupakan struktur yang berwarna "Putih" dari mata,
adalah lapisan jaringan ikat padat terdiri sebagian besar dari serat
kolagen dan fibroblas. Sklera mencakup seluruh yang bola mata
kecuali kornea; struktur tersebut memberi bentuk kepada bola mata,
membuat lebih kaku, melindungi bagian dalamnya, dan berfungsi
sebagai otot mata ekstrinsik. Pada persimpangan sklera dan kornea
adalah pembukaan yang dikenal sebagai sinus vena skleral (Kanal
Schlemm). Sebuah cairan yang disebut aqueous humor, cairan
tersebut akan mengalir ke sinus vena skleral (Tortora & Derrickson,
2012).
b. Tunika Vaskular
Tunika vaskular atau uvea adalah lapisan tengah bola mata.
Hal ini terdiri dari tiga bagian : koroid, badan silia, dan iris. Struktur
ini banyak memiliki koroid vaskularisasi, yang merupakan bagian

7
8

posterior dari tunika vaskular. Strutur yang banyak memiliki


pembuluh darah ini menyediakan nutrisi pada permukaan posterior
retina. Koroid juga mengandung melanosit yang menghasilkan
pigmen melanin, yang menyebabkan lapisan ini akan timbul warna
coklat gelap. Melanin di koroid menyerap sinar cahaya, yang
mencegah refleksi dan hamburan cahaya dalam bola mata . Akibatnya,
gambaran yang didapatkan pada retina oleh kornea dan lensa tetap
tajam dan jelas. Pada bagian anterior dari tunika vaskular, koroid
menjadi badan siliaris. Seperti koroid, badan silia timbul warna coklat
gelap karena mengandung melanosit yang memproduksi melanin.
Selain itu, badan siliaris terdiri dari silia dan otot siliaris. Siliaris yang
merupakan tonjolan atau lipatan pada permukaan internal badan
siliaris. Struktur ini mengandung kapiler darah yang mensekresikan
aquous humor (Tortora & Derickson, 2012).
Struktur yang memanjang dari silia adalah serat zonula
(ligamen suspensori) yang akan menempel pada lensa mata. Serat
terdiri atas lapisan tipis, fibril berongga menyerupai jaringan ikat yang
fibrous elastis. Otot siliaris menyerupai pita melingkar dari otot polos.
Kontraksi atau relaksasi dari otot siliaris perubahan elastisitas dari
serat zonula, yang mengubah bentuk lensa, fungsinya untuk
beradaptasi penglihatan jarak dekat ataupun jarak jauh. Iris, bagian
berwarna dari bola mata. Struktur ini berada diantara kornea dan lensa
dan melekat pada batas luar untuk silia. Struktur ini terdiri dari
melanosit dan mengelilingi serat radial otot polos. Jumlah melanin di
iris menentukan warna mata. Mata tampak berwarna coklat sampai
hitam ketika iris mengandung sejumlah besar melanin, biru ketika
melanin yang terkonsentrasi sangat rendah, dan hijau ketika
konsentrasi melanin yang moderate (sedang). Fungsi utama dari iris
adalah untuk mengatur jumlah cahaya yang masuk bola mata melalui
pupil. Pupil berwarna hitam, seperti yang terlihat melalui lensa. Pada
bagian posterior mata memiliki banyak pigmen (koroid dan retina).
9

Namun, jika cahaya terang diarahkan ke pupil, cahaya yang


dipantulkan berwarna merah karena terdapat pembuluh darah di
permukaan retina (Tortora & Derrickson, 2012).
Hal tersebut yang menyatakan bahwa mata seseorang akan
tampak berwarna merah disaat kita memberi cahaya yang diarahkan
menuju pupil. Refleks otonom berfungsi untuk mengatur diameter
pupil dalam merespon cahaya yang masuk. Ketika cahaya yang
intensitasnya terang akan merangsang mata, kerja sistem parasimpatis
dari nervus okulomotor (III) yaitu saraf yang merangsang musculus
sphincter pupillae dari iris untuk berkontraksi, menyebabkan
penurunan ukuran pupil (miosis pupil). Dalam cahaya yang intensitas
redup, neuron sistem simpatik merangsang otot radial atau musculus
dilator pupillae dari iris berkontraksi, menyebabkan peningkatan dari
ukuran pupil (dilatasi pupil) (Tortora & Derrickson, 2012).

c. Tunika Nervosa
Lapisan ketiga dan bagian dalam dari bola mata yaitu retina,
garis posterior tiga perempat dari bola mata dan merupakan jalur awal
visual. Struktur anatomi dari lapisan ini dapat dilihat dengan
oftalmoskop, sebuah alat yang meneruskan cahaya ke dalam mata dan
memungkinkan pengamat untuk melihat struktur tersebut, sehingga
memberikan perbesaran gambar dari retina dan vaskularisasi serta
Nervus optikus (II). Permukaan retina adalah satu-satunya tempat di
tubuh di mana pembuluh darah bisa dilihat langsung dan diperiksa
untuk perubahan patologis yang terjadi, seperti yang terjadi pada
penderita hipertensi, diabetes mellitus, katarak, dan penyakit terkait
usia seperti penyakit makula. Beberapa lapang pandang terlihat
melalui oftalmoskop. Diskus optikus adalah saluran di mana nervus
optikus (II) akan keluar dari bola mata. Struktur yang bersama dengan
nervus optikus adalah arteri sentral retina. Arteri dan vena sentral
retina berfungsi untuk memelihara permukaan anterior retina; vena
10

sentral retina berfungsi mengalirkan darah dari retina melalui diskus


optikus. Juga terlihat adalah makula lutea dan fovea sentralis. Retina
terdiri dari lapisan berpigmen dan lapisan saraf (Tortora & Derickson,
2012).
Lapisan pigmen adalah kumpulan lembaran epitel melanin
yang mengandung sel-sel yang terletak antara koroid dan bagian saraf
dari retina . Melanin di lapisan pigmen retina, juga membantu untuk
menyerap sinar cahaya. Saraf sensorik lapisan retina yang memproses
data visual secara luas sebelum mengirim saraf impuls ke akson yang
membentuk saraf optik . Tiga struktur yang berbeda lapisan neuron
retina-lapisan fotoreseptor, lapisan sel bipolar, dan lapisan sel
ganglion yang dipisahkan oleh dua zona yaitu zona luar dan dalam
lapisan sinaptik. Dua jenis sel lainnya yang hadir dalam lapisan sel
bipolar retina yang disebut sel horizontal dan sel amakrin. Sel ini
membentuk jalur lateral diarahkan sirkuit saraf yang memodifikasi
sinyal ditransmisikan sepanjang jalur dari fotoreseptor sel-sel bipolar
sel ganglion. Fotoreseptor sel-sel khusus yang dimulai proses dengan
yang sinar cahaya pada akhirnya dikonversi ke impuls saraf. Terdapat
dua jenis fotoreseptor: sel batang (Rods) dan sel kerucut (Konus).
Setiap retina memiliki sekitar 6 juta sel kerucut dan 120 juta sel
batang. Sel batang memungkinkan kita untuk melihat dalam cahaya
redup, seperti cahaya bulan. Karena sel batang tidak memberikan
penglihatan warna, dalam cahaya redup kita dapat melihat hanya
hitam, putih, dan semua warna abu-abu. Cahaya terang merangsang
kerucut, yang menghasilkan penglihatan warna.
Menurut Tortora dan Derrickson (2012) tiga jenis kerucut yang
hadir di retina yaitu :
(1) Kerucut biru, yang sensitif terhadap cahaya biru,
(2) Kerucut hijau, yang sensitif terhadap cahaya hijau, dan
(3) Kerucut merah, yang sensitif terhadap cahaya merah.
11

Hasil penglihatan warna dari stimulasi berbagai kombinasi dari


ketiga jenis kerucut tersebut. Dari fotoreseptor, informasi berlanjut
melalui bagian luar lapisan sinaptik ke sel bipolar dan kemudian dari
sel bipolar melalui sinaptik lapisan sel ganglion. Akson sel ganglion
menuju posterior diskus optikus dan keluar bola mata sebagai nervus
optikus (II). Diskus optikus juga disebut blind spot (bintik buta).
Karena tidak mengandung fotoreseptor yaitu batang atau kerucut,
yaitu kondisi subjek tidak dapat melihat gambar yang tepat mengenai
blind spot (Tortora & Derickson, 2012).
Makula lutea adalah tepat di tengah posterior bagian retina,
berada pada sumbu visual dari mata. Selain itu, lapisan bipolar dan
ganglion sel, yang menghamburkan cahaya sampai batas tertentu,
menuju ke fovea sentralis. Fovea sentralis merukan struktur kecil yang
terdepresi tepat pada bagian tengah dari makula lutea. Fovea sentralis
adalah area yang memiliki ketajaman visual tertinggi atau resolusi
(ketajaman penglihatan). Karena pada area ini terdapat banyak
fotoreseptor khususnya konus yang membantu dalam melakukan
proses visualisasi warna (Tortora & Derickson, 2012)

Gambar 2.1 Tampakan Oftalmoskop Retina


(Tortora & Derrickson, 2012:647)
12

d. Struktur Interior Bola Mata


Struktur interior dari bola mata diatur oleh lensa yang
membagi interior bola mata menjadi dua ruang yaitu ruang anterior
dan ruang vitreous. Ruang anterior lensa, terdiri dari dua kamar.
kamar anterior (bilik mata depan) terletak di antara kornea dan iris dan
kamar posterior (bilik mata belakang) terletak di belakang iris dan di
depan serat zonula dan lensa. Kedua cavitas anterior (kamera okuli
anterior dan kamera okuli posterior) yang diisi dengan humor
aqueous, sebuah cairan berair transparan yang memelihara lensa dan
kornea. Aqueous humor terus diproduksi dari kapiler darah di silia
khususnya pada korpus siliar (prosesus siliaris) akan memasuki
kamera okuli posterior. Dari kamera okuli posterior aqueous humor
menuju kamera okuli anterior, saluran aqueous humor masuk ke
dalam sinus vena scleral (kanal Schlemm) dan kemudian masuk
kembali kedalam sirkulasi. Biasanya, aqueous humor akan diganti
setiap 90 menit. Ruang posterior bola mata adalah ruang vitreous,
yang terletak di antara lensa dan retina. Dalam ruang vitreous berisi
vitreous humor, substansi transparan yang memegang peranan retina
terhadap koroid, memberikan retina permukaan untuk penerimaan
gambar yang jelas. Struktur ini menempati sekitar empat-perlima dari
bola mata (Tortora & Derrickson, 2012).
Tidak seperti aqueous humor, vitreous humor tidak mengalami
pengganti konstan. Hal ini terbentuk selama hidup embrio dan terdiri
dari sebagian besar air ditambah serat kolagen dan asam hyaluronic.
Korpus vitreous juga mengandung sel fagosit yang menghilangkan
kotoran, menjaga bagian dari mata untuk melihat dengan jelas.
Tekanan di mata, yang disebut tekanan intraokular, dihasilkan
terutama oleh aqueous humor dan sebagian oleh vitreous humor;
biasanya sekitar 16 mmHg (milimeter air raksa). Tekanan intraokular
mempertahankan bentuk bola mata dan mencegah dari kerusakan.
13

Luka tusukan ke bola mata dapat menyebabkan hilangnya aqueous


humor dan corpus vitreous. Hal tersebut menyebabkan penurunan
tekanan intraokular sehingga retina terpisah, dan menyebabkan
beberapa kasus kebutaan (Tortora & Derrickson, 2012).
Otot siliaris terdiri atas :
a. Otot polos yang tersusun atas satu cincin yang menutup prosesus
siliaris.
b. Dipersarafi oleh sistem parasimpatis melalui saraf kranial ketiga.
c. Bertanggung jawab dalam perubahan ketebalan dan kelengkungan
lensa selama akomodasi. Sebaut zonula yang menyangga lensa
mengalami penegangan selama penglihatan jauh. Kontraksi otos
siliaris merelaksasikan zonula ini dan menyebabkankan
kelengkungan lensa bertambah sehingga menambah kekuatan
refraksinya (James et al., 2006).
Prosesus siliaris (Pars Plikata) fungsinya yaitu :
a. Prosesus ini bertugas menghasilkan aqueous humor dan tiap
prosesus dibentuk oleh epitel dengan 2 lapis dengan stroma
vascular.
b. Kapiler stroma berfenestrasi sehingga plasma dapat masuk.
c. Manghasilkan sawar untuk mencegah terjadinya difusi (James et
al., 2006).
Iris melekat pada perifer bagian anterior korpus siliaris,
membentuk pupil dibagian tengahnya. Lapisan batas anteriornya
mengandung fibroblast dan kolagen serta stroma seluler dimana otot
sfingter melekat pada batas pupil (James et al., 2006)
14

Gambar 2.2 Potongan Transversal dari Struktur Bola Mata


(Tortora & Derrickson, 2012:645)
2. Penglihatan Mata
a. Definisi Penglihatan

Tajam penglihatan dikenal dengan tajam penglihatan perifer


merupakan penglihatan tepi yang dilaksanakan terutama oleh sel batang
yang menempati retina pada bagian perifer. Tajam penglihatan perifer
merupakan kemampuan menangkap adanya benda, gerakan, atau warna
objek diluar garis langsung penglihatan. Tajam penglihatan didefinisikan
sebagai kemampuan seseorang untuk membaca tes pola standar pada
jarak tertentu. Pada umumnya hasil pengukuran dibandingkan dengan
penglihatan orang normal (Ilyas, 2014).

b. Jaras Neuro Sensori Penglihatan


Pada langkah pertama jaras penglihatan cahaya dari lingkungan
masuk kemata. Namun sebelum mengenai retina cahaya dimodifikasi
15

melalui 2 cara. Pertama jumlah cahaya yang sampai pada fotoreseptor


dimodulasi oleh perubahan ukuran pupil. Kedua cahaya difokuskan oleh
pengubahan bentuk lensa (Silverthorn et al., 2014).
Pengaturan jumlah cahaya yang mencapai retina akan diatur oleh
pupil. Pada pencahayaan terang matahari, pupil mengecil sampai
diameter 1,5 mm ketika jaras parasimpatis menkonstriksikan otot
pupilaris sirkular. Didalam keadaan gelap , pupil berdilatasi sampai 8
mm, peningkatan 28 kali lipat area pupil. Dilatasi terjadi bila otot pupilae
radialis yang tersusun tegak lurus terhadap otot sirkuler berkontraksi
dibawah neuron simpatis (Silverthorn et al., 2014).
Kerja dari lensa akan menfokuskan cahaya menuju keretina untuk
kerja dari fotoreseptor retina mengubah energi cahaya menjadi energi
listrik. Fotoreseptor terdiri atas sel kerucut dan sel batang dan penelitian
terbaru menambahkan melanosin ganglion sebagai sel peka cahaya pada
retina (Silverthorn et al., 2014).
Saraf kranialis II merupakan indera khusus untuk penglihatan.
Cahaya dideteksi oleh sel-sel batang dan kerucut yang ada diretina, yang
dianggap sebagai end-organ sensorik khusus untuk penglihatan. Badan
sel dari reseptor-reseptor ini mengeluarkan tonjolan (prosesus) yang akan
bersinaps dengan sel bipolar, neuron kedua dijalur penglihatan. Sel-sel
bipolar kemudian bersinaps dengan sel-sel ganglion retina. Akson-akson
sel ganglion membentuk lapisan serat saraf pada retina dan menyatu
membentuk saraf optikus. Saraf keluar dari belakang bola mata dan
berjalan ke posterior didalam kerucut otot untuk masuk kedalam rongga
tengkorak melalui kanalis optikus (Vaughan & Asbury, 2010).
Bagian dalam tengkorak dua saraf optikus menyatu dan bersilang
membentuk kiasma optikus. Dikiasma, lebih dari separuh serat (yang
berasal dari separuh retina bagian nasal) mengalami dekuasi dan menyatu
dengan serat-serat temporal yang tidak menyilang dari saraf optikus sisi
lain untuk membentuk traktus optikus. Masing-masing traktus optikus
berjalan mengelilingi pedunkulus serebrum menuju ke nukleus
16

genikulatum lateral, tempat traktus tersebut bersinaps. Dengan demikian,


semua serat yang menerima impuls dari separuh kanan lapang pandang
masing-masing mata membentuk traktus optikus kiri dan akan
berproyeksi ke hemisfer serebrum kiri (Vaughan & Asbury, 2010).
Demikian juga, separuh kiri lapang pandang berproyeksi ke
hemisfer serebrum kanan. Dua puluh persen serat ditraktus melayani
fungsi pupil Serat-serat ini meninggalkan traktus tepat disebelah anterior
dari nucleus dan melewati brakium kolikulus superior menuju ke nucleus
pretektalis otak tengah. Serat-serat lainnya bersinaps di nucleus
genikulatum lateral. Badan-badan sel dari struktur ini membentuk
struktur traktus genikulo-kalkarina. Traktus ini berjalan melalui bagian
posterior kapsula interna dan menyebar kedalam radiasi optikus yang
melintasi lobus temporalis dan parietalis ke korteks oksipital (korteks
kalkarina) (Vaughan & Asbury, 2010).

Gambar 2.3 Jaras Penglihatan (Tortora &Derrickson, 2012:657)


17

c. Mekanisme Adaptasi Gelap dan Terang (Fototransduksi)


Proses fototransduksi untuk rhodopsin (dibatang) dan untuk ketiga
pigmen warna (dikerucut) saling bersesuaian. Rodopsin tersusun dari dua
molekul yaitu : opsin yaitu protein yang tertanam pada membran cakram
batang dan retinal yaitu derivat vitamin A yang merupakan bagian
pigmen penyerap cahaya. Dalam keadaan tanpa cahaya, retinal berkaitan
dengan situs pengikatan diopsin. Ketika teraktifasi oleh foton cahaya,
retinal mengubah bentuk menjadi konfigurasi baru. Retinal yang
teraktivasi tidak lagi terikat dengan opsin dan dilepaskan dari pigmen
dalam proses yang dikenal dengan bleaching (pemucatan) (Silverthorn et
al., 2014).
Sinyal listrik sel disebabkan oleh pergerakan ion antara
kompartemen intraseluler dan ekstraseluler. Batang mengandung tiga
kanal ion utama yaitu : cyclic nucleotide-gated channel (kanal CNG)
yang memungkinkan Na+ dan Ca2+ memasuki batang, kanal K+ akan
keluar dari batang dan kanal Ca2+ membantu mengatur eksositosis
neurotransmitter (Silverthorn et al., 2014).
Bila berada dalam kegelapan rhodopsin tidak aktif sehingga GMP
siklik (cGMP) dikerucut adalah tinggi sehingga kanal CNG dan K+
terbuka sehingga Ca2+ dan Na2+ masuk dan K+ keluar. Karena dalam
posisi terdepolarisasi maka kanal Ca2+ terjadi pelepasan tonik
neurotransmitter glutamate yang akan bersinaps ke sel bipolar
(Silverthorn et al, 2014).
Ketika cahaya mengaktifkan rhodopsin, kaskade caraka kedua
diinisiasi melalui protein G transdusin. Kaskade caraka kedua transdusin
akan mengurangi konsentrasi cGMP sehingga memuat menutupnya kanal
CNG. Akibatnya influks kation yang turun dan tetap berlangsungnya
efluks K+ bagian dalam batang akan terhiperpolarisasi sehingga
pelepasan glutamate ke neuron bipolar berkurang. Cahaya terang
menutup semua kanal CNG dan menghentikan semua pelepasan
neurotransmitter (Silverthorn et al., 2014).
18

Pelepasan neurotransmitter berfungsi sebagai inhibitor sehingga


tidak timbulnya potensial aksi disel ganglion sehingga tidak terjadinya
perambatan potensial aksi menuju korteks penglihatan pada kondisi
gelap. Sedangkan pada kondisi terang karena terjadinya penurunan
pelepasan neurotransmitter inhibitor akibatnya proses inhibisi akan
menghilang sehingga sel bipolar tidak dihambat akan terjadi potensial
aksi pada sel ganglion yang membuat perambatan potensial aksi menuju
korteks penglihatan dilobus oksipitalis otak untuk proses penglihatan
(Sherwood, 2013).

Dalam kegelapan, retina memiliki bentuk yang mengerut, disebut


cis-retinal, yang berpasangan dengan opsin pada fotopigmen. Ketika cis-
retinal menyerap foton cahaya, cis- retinal akan ke bentuk yang disebut
trans - retinal. Konversi cis ke trans disebut isomerisasi dan merupakan
langkah pertama transduksi visual. Setelah isomerisi retina, beberapa
stabil akan membentuk intermediet kimia. Dalam sekitar satu menit,
trans-retinal akan memisahkan diri dari opsin (Tortora & Derrickson,
2012).
Produk akhir terlihat tidak berwarna, jadi ini bagian dari siklus
yang disebut pemutihan fotopigmen. Sebuah enzim yang disebut retina
isomerase akan mengubah trans– retinal kembali ke bentuk cis-retina.
Cis-retina kemudian dapat mengikat opsin, untuk reformasi fungsional
dari fotopigmen dan merupakan siklus resintesis fotopigmen (Tortora &
Derrickson, 2012).
19

Gambar 2.4 Fotopigmen dan Fototransduksi Adaptasi Terang


dan Gelap (Tortora & Derrickson, 2012:654-55)

d. Akomodasi Mata
Bila musculus siliaris dalam keadaan istirahat, berkas sinar pararel
yang jatuh dimata yang optiknya normal (emetropia) akan difokuskan ke
retina. Selama relaksasi ini dipertahankan maka berkas sinar yang kurang
dari 6 meter akan difokuskan ke belakang retina akibatnya benda tersebut
tampak kabur. Masalah yang timbul dalam membawa berkas divergen
20

dari benda dekat ke suatu fokus retina dapat diatasi dengan meningkatkan
jarak antara lensa dan retina dengan meningkatkan kelengkungan atau
daya bias lensa (Ganong, 2008)
Proses meningkatnya kelengkungan lensa disebut dengan
akomodasi. Pada keadaan istirahat, ketegangan lensa dipertahankan oleh
tarikan ligamentum lensa. Karena bahan lensa mudah dibentuk dan
kelenturan kapsul lensa cukup tinggi, lensa dapat ditarik menjadi gepeng.
Bila pandangan diarahkan ke benda yang dekat, otot siliaris akan
berkontraksi. Hal ini mengurangi jarak antara tepi korpus siliaris dan
melemaskan ligamentum lensa sehingga lensa membentuk benda yang
lebih cembung. Lemasnya ligamentum lensa akibat kontraksi musculus
siliaris sebagian disebabkan oleh serat otot sirkular korpus siliaris yang
seperti sfingter dan sebagian oleh kontraksi serat otot longitudinal yang
melekat ke anterior dekat batas kornea dan sklera (Ganong, 2008).

e. Refleks Pupil Terhadap Cahaya


Pengujian tefleks pupil merupakan pemeriksaan standar
neurologis. Cahaya yang mengenai retina disalah satu mata akan
mengaktifkan refleks. Sinyal akan diantarkan melalui nervus optikus ke
thalamus lalu ke otak tengah, tempat dimana neuron eferen
mongkontriksikan pupil bola mata. Respon ini dikenal dengan reflex
konsensual yang diperantarai oleh serat parasimpatis yang berjalan
melalui nervus kranialis III (Silverthorn et al., 2014).

f. Refleks Konsensual Mata


Bila sinar diarahkan ke salah satu mata, maka pupil akan
berkonstriksi (Refleks cahaya pupil). Pupil mata yang lain juga
berkontriksi (refleks cahaya konsensual). Serat-serat nervus optikus yang
membawa impuls untuk respon pupil ini memisahkan diri dari nervus
optikus dekat korpus genikulatum lateralis. Dikedua sisi serat ini masuk
keotak tengah melalui brakium kolikulum superior dan berakhir di
21

nukleus pretektal. Dari nukleus ini, neuron ordo kedua menuju nucleus
Edinger-Westphal ipsilateral dan kontralateral. Neuron ordo ketiga
berjalan dari nucleus ini ke ganglion siliaris di nervus okulomotorius, dan
neuron ordo keempat berjalan dari ganglion ini menuju ke korpus siliaris.
Jaras ini terletak sebelah dorsal dari jaras respon dekat. Dengan
demikian, respon cahaya dapat menghilang sedangkan respon akomodasi
tetap utuh (Ganong, 2008).

g. Pemeriksaan untuk Ketajaman Penglihatan


Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan pada mata tanpa atau
dengan kaca mata. Setiap mata diperiksa terpisah. Biasakan memeriksa
tajam penglihatan kanan terlebih dahulu kemudian kiri lalu mencatatnya.
Pemeriksaan refraksi mata terbagi atau dua yaitu secara subjektif dan
objektif. Refraksi subjerktif yaitu pasien menbedakan efek berbagai lensa
berdasarkan kemampuan melihat huruf-huruf pada kartu snellen dan
LogMar. Refraksi objektif mencakup pemeriksaan oftalmoskop,
retinoskop, atau berbagai jenis atorefraktor (Cassidy & Olver, 2011;Ilyas,
2014).
Dengan gambar atau kartu snelen ditentukan tajam penglihatan
dimana mata hanya dapat membedakan 2 titik tersebut membentuk sudut
1 menit. Satu huruf hanya dapat dilihat bila seluruh huruf membentuk
sudut 5 menit dan setiap bagian dipisahkan dengan sudut 1 menit. Makin
jauh huruf harus terlihat, maka makin besar huruf tersebut harus dibuat
karena sudut yang dibentuk harus tetap 5 menit. Pemeriksaan tajam
penglihatan sebaiknya dilakukan pada jarak 5 atau 6 meter, karena pada
jarak ini mata akan melihat benda dalam keadaan beristirahat atau tanpa
akomodasi (Ilyas, 2014).
Pada pemeriksaan tajam penglihatan dipakai kartu baku atau
standar misalnya kartu baca Snellen yang setiap hurufnya membentuk
sudut 5 menit pada jarak tertentu sehingga huruf pada baris tanda 60,
berarti huruf tersebut membentuk sudut 5 menit pada jarak 60 meter; dan
22

pada baris tanda 30, berarti huruf tersebut membentuk sudut 5 menit pada
jarak 30 meter. Huruf pada baris tanda 6 adalah huruf yang membentuk
sudut 5 menit pada jarak 6 meter, sehingga huruf yang membentuk sudut
5 menit pada jarak 6 meter, sehingga huruf ini pada orang normal akan
dapat dilihat dengan jelas (Ilyas, 2014).
Ilyas (2014) menyebutkan bahwa dengan kartu Snellen standar
dapat ditentukan tajam penglihatan atau kemampuan melihat seseorang
seperti :
1) Bila tajam penglihatan 6/6 maka berarti ia dapat melihat huruf pada
jarak 6 meter, yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat
pada jarak 6 meter.
2) Bila pasien hanya dapat membaca pada baris yang menunjukkan
angka 30, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/30
3) Bila pasien hanya dapat membaca pada baris yang menunjukkan
angka 50, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/50
4) Bila tajam penglihatan adalah 6/60 berarti ia hanya dapat melihat pada
jarak 6 meter tetapi oleh orang normal dapat membaca huruf tersebut
pada jarak 60 meter
5) Bila pasien tidak dapat mengenal hruf terbesar kartu snellen maka
dilakukan uji hitung jari. Jari dapat dilihat terpisah oleh orang normal
pada jarak 60 meter.
6) Bila pasien hanya dapat melihat atau menunjukkan jumlah jari yang
diperlihatkan pada jarak 3 meter, maka dinyatakan tajam 3/60.
Dengan pengujian ini tajam penglihatan hanya dapat dinilai sampai
1/60 berarti hanya dapat menghitung jari pada jarak 1 meter.
7) Dengan uji lambaian tangan, maka dapat dinyatakan tajam
penglihatan pasien yang lebih buruk dari 1/60. Orang normal dapat
melihat gerakan atau lambaian tangan pada jarak 1 meter berarti tajam
penglihatannya adalah 1/300.
8) Kadang-kadang mata hanya dapat mengenal dengan adanya sinar saja
dan tidak dapat melihat dengan lambaian tangan. Keadaan ini disebut
23

dengan tajam penglihatan 1/∞. Orang normal dapat melihat adanya


sinar pada jarak tak hingga.
9) Bila pebglihatan sama sekali tidak mengenal adanya sinar maka
dikatakan penglihatannya adalah 0 (nol) atau buta total.

Hal diatas dapat dilakukan pada orang dewasa atau yang dapat
berkomunikasi. Pada bayi adalah tidak mungkin melakukan pemeriksaan
tersebut. Pada bayi yang belum mempunyai penglihatan seperti orang
dewasa secara fungsional dapat dinilai apakah penglihatannya akan
berkembang normal dalah dengan melihat refleks fiksasi. Bayi normal
akan dapat berfiksasi pada usia 6 minggu, sedang mempunyai
kemampuan untuk dapat mengikuti sinar pada usia 2 bulan. Refleks pupil
sudah mulai terbentuk sehingga dengan cara ini dapat diketahui keadaan
fungsi penglihatan bayi pada masa perkembangannya. Pada anak yang
lebih besar dan berwarna untuk digunakan dalam pengujian
penglihatannya (Ilyas, 2014).
Bila seseorang diragukan apakah penglihatannya berkurang akibat
kelainan refraksi, maka dilakukan uji pinhole. Bila dengan pinhole
penglihatan lebih baik, maka berarti ada kelainan refraksi yang masih
dapat dikoreksi dengan kacamata. Bila penglihatan berkurang dengan
diletakkannya pinhole didepan mata berarti ada kelainan organik atau
kekeruhan media penglihatan yang mengakibatkan penglihatan menurun
(Ilyas, 2014).
Menurut Ilyas (2014) pada seseorang yang terganggu
akomodasinya atau adanya presbiopia, maka apabila melihat benda-
benda yang sedikit didekatkan akan terlihat kabur. Sebaiknya diketahui
bahwa :
1) Bila dapat huruf tunggal pada uji tajam penglihatan maka penderita
amblyopia akan mempunyai tajam penglihatan huruf tunggal lebih
baik dibandingkan dengan huruf ganda.
24

2) Huruf pada satu baris tidak sama mudahnya terbaca karena bentuknya
seperti huruf T dan W.
3) Pemeriksaan tajam penglihatan mata anak jangan sampai terlalu
melelahkan anak.
4) Gangguan lapang pandang dapat memberikan gangguan penglihatan
pada satu sisi pembacaan uji baca.
5) Tajam penglihatan dengan kedua mata akan lebih baik disbanding
dengan membaca dengan satu mata.
6) Amati pasien selama pemeriksaan karena mungkin akan mengintip
dengan mata yang lainnya.
Pada tabel dibawah ini terlihat tajam penglihatan yang dinyatakan
dalam sistem desimal, Snellen dalam meter dan kaki :
Tabel 2.1 Tabel Tajam Penglihatan (Ilyas, 2014:68)
Snellen 6 m 20 kaki Sistem desimal

6/6 20/20 1,0

3/6 20/25 0,8

6/9 20/30 0,7

5/9 15/25 0,6

6/12 20/40 0,5

5/12 20/50 0,4

6/18 20/70 0,3

6/60 20/200 0,1


25

Pada tabel dibawah ini terlihat tajam penglihatan yang dinyatakan


dalam sistem desimal, Snellen dalam meter, kaki, efisiensi dan hilang
sentral :
Tabel 2.2 Tabel Tajam Penglihatan (Ilyas, 2014:68)
Snellen Meter % Efisiensi % Hilang
Kaki Sentral
20/16 6/5 100 0
20/20 6/6 100 0
20/25 6/7,5 95 5
20/30 6/10 90 10
20/40 6/12 85 15
20/50 6/15 75 25
20/64 6/20 65 35
20/80 6/24 60 40
20/100 6/30 50 50
20/125 6/38 40 60
20/160 6/48 30 70
20/200 6/60 20 80
20/300 6/90 15 85
20/400 6/120 10 90
20/800 6/240 5 95
Perkembangan kemampuan melihat sangat bergantung pada
perkembangan tumbuh anak pada keseluruhan, mulai dari daya
membedakan sampai pada kemampuan menilai pengertian melihat.
Walaupun perkembangan bola mata sudah lengkap waktu lahir,
mielinisasi berjalan terus sesudah lahir. Tajam penglihatan bayi sangat
kurang dibanding penglihatan anak. Perkembangan penglihatan
berkembang cepat sampai usia dua tahun dan secara kuantitatif pada
usia lima tahun (Ilyas, 2014).
Ilyas (2014) menyebutkan bawha tajam penglihatan bayi yang
sedang berkembang adalah sebagai berikut:
26

a. Baru lahir : Menggerakkan kepala ke sumber cahaya besar


b. 6 minggu : Mulai melakukan fiksasi; Gerakan mata tidak teratur ke
arah sinar
c. 3 bulan : Dapat menggerakkan mata ke arah benda bergerak
d. 4-6 bulan : Koordinasi penglihatan dengan gerakan mata; Dapat
melihat dan mengambil objek
e. 9 bulan : Tajam penglihatan 20/200
f. 1 tahun : Tajam penglihatan 20/100
g. 2 tahun : Tajam penglihatan 20/40
h. 3 tahun : Tajam penglihatan 20/30
i. 5 tahun : Tajam penglihatan 20/20
Cassidy & Olver (2011) menyatakan bahwa lapang pandang
merupakan suatu peta yang mewakili retina, nervus optikus dan sistem
penglihatan sentral pasien. Uji lapang pandang dengan konfrotasi untuk
mendeteksi kelainan menyeluruh dan masalah neurologis. Perimetri
statik otomatis bersifat sangat sensitif sehingga lebih baik untuk
mendeteksi defek yang lebih terlihat seperti pada glaukoma dini.
Lapang pandang normal dengan jaras visual yang normal dan
sehat, peta tipikal lapang pandang dibuat secara bergambar. Terdapat
bintik buta temporal pada setiap lapang pandang dan ini mewakili
nervus optikus. Perlengkapan yang diperlukan untuk pemeriksaan
lapang pandang konfrontasional: pin merah, tetapi pena dengan tutup
merah juga dapat digunakan (Cassidy & Olver, 2011).
Prosedurnya dengan tahap memperkenalkan diri dan menanyakan
persetujuan dari pasien dan apakah ia dapat melihat pada jarak 0,5 m.
Selalu melakukan pemeriksaan pada mata kanan terlebih dahulu dan
mata kirinya ditutup, lalu memegang pin merah dan letakkan didaerah
kuadran inferotemporal, inferonasal dan superonasal (Cassidy & Olver,
2011).
27

h. Klasifikasi Ketajaman Penglihatan


1) Penglihatan normal
Pada keadaan ini penglihatan mata adalah normal dan sehat.
Berikut tabel pembagian tajam penglihatan penglihatan normal :

Tabel 2.3 Tabel Tajam Penglihatan normal (Ilyas, 2014:70)


Sistem Snellen jarak Snellen jarak Efisiensi
desimal 6 meter 20 kaki penglihatan
2,0 6/3 20/10
1,33 6/5 20/15 100%
1,0 6/6 20/20 100%
0,8 6/7,5 20/25 95%

2) Low vision ringan


Pada keadaan ini tidak meinmbulkan masalah yang gawat,
akan tetapi perlu dikeetahui penyebab mungkin suatu penyakit
yang masih dapat diperbaiki. Berikut tabel pembagian low vision
ringan :

Tabel 2.4 Tabel low vision ringan (Ilyas, 2014:70)


Sistem Snellen jarak Snellen jarak Efisiensi
desimal 6 meter 20 kaki penglihatan
0,7 6/9 20/30 90%
0,6 5/9 15/25
0,5 6/12 20/40 85 %
0,4 6/15 20/50 75 %
0,33 6/18 20/60
0,285 6/21 20/70

3) Low vision sedang


Pada keadaan ini dengan kaca mata kuat atau kaca mata
pembesar dapat membaca dengan cepat. Berikut tabel pembagian
low vision sedang :

Tabel 2.5 Tabel low vision sedang (Ilyas, 2014:71)


Sistem Snellen jarak 6 Snellen jarak Efisiensi
desimal meter 20 kaki penglihatan
0,25 6/24 20/80 60%
0,2 6/30 20/100 50%
6/38 20/125 40%
28

4) Low vision berat


Low vision berat dinyatakan buta di Amerika Serikat. Pada
keadaan ini masih mungkin orientasi dan mobilitas umum akan
tetapi mendapat kesukaran pada lalu lintas dan melihat nomor
mobil. Untuk membaca diperlukan lensa pembesar yang kuat.
Berikut tabel pembagian low vision berat :

Tabel 2.6 Tabel low vision berat (Ilyas, 2014:71)


Sistem Snellen jarak 6 Snellen jarak Efisiensi
decimal meter 20 kaki penglihatan
0,1 6/60 20/200 25%
0,066 6/90 20/300 15%
0,05 6/120 20/400 10%

5) Low vision nyata


Pada kondisi ini bertambahnya masalah orientasi dan
mobilisasi. Diperlukan tongkat putih unutk mengenal lingkungan.
Hanya minat yang kuat masih mungkin membaca dengan kaca
pembesar, umumnya memerlukan Braille, radio, dan pustaka
kaset. Berikut tabel gambaran low vision berat :
Tabel 2.7 Tabel low vision nyata (Ilyas, 2014:71)
Sistem Snellen Snellen jarak Efisiensi
decimal jarak 6 20 kaki penglihatan
meter
0,025 6/240 20/800 5%

6) Hampir Buta
Penglihatan kurang dari 4 kaki untuk menghitung jari.
Penglihatan tidak bermanfaat kecuali pada keadaan tertentu.
Harus menggunakan alat nonvisual (Ilyas, 2014).
7) Buta Total
Tidak mengenal rangsangan sinar sama sekali. Seluruhnya
tergantung pada alat indera lainnya yang bukan berupa mata
(Ilyas, 2014).
29

i. Kelainan Refraksi Mata


1) Gangguan Visus
Menurut Hartono (2009) fungsi penglihatan akan baik bila :
1. Refraksi mata emetrop
2. Media refrakta jernih
3. Keadaan fundus sehat
4. Lintasan penglihatan baik
5. Pusat penglihatan baik
6. Kesadaran baik.
Gangguan dari salah satu komponen tadi akan menyebabkan
gangguan penglihatan yang disertai gangguan-gangguan ikutan yang
lain. Yang perlu ditekankan disini bahwa refraksi emetrop, dengan
demikian hanyalah salah satu syarat untuk normalnya visus. Emetrop
adalah status refraksi mata yang ditandai dengan terfokusnya cahaya
diretina saat melihat jauh tanpa akomodasi. Dengan demikian,
meskipun cahaya bias terfokus diretina, tetapi jika retina cacat atau
bagian lainnya cacat maka akan terjadi gangguan visus. Demikian
pula orang yang berkurang kesadarannya fungsi penglihatannya akan
sulit untuk diperiksa. Hal yang sama juga terjadi pada anak-anak
dengan keterlambatan mental. Untuk penglihatan dekat yang baik,
perlu ditambahkan dengan adanya akomodasi yang cukup. Sedangkan
untuk penglihatan inokuler yang baik diperlukan visus kedua mata
yang seimbang serta gerak kedua mata yang baik. (Hartono, 2009).
Gangguan visus merupakan gejala yang paling umum
dikemukakan oleh pasien yang mengalami gangguan lintasan visual.
Pasien dengan gangguan lintasan visual anterior (didepan korpus
genikulatum lateral) akan sadar adanya gangguan visus, suasana
menjadi redup dan disertai pengurangan intensitas warna (Hartono,
2009).
Pada mata dengan daya bias mata adalah normal, dimana sinar jauh
difokuskan sempurna dimakula lutea tanpa bantuan akomodasi. Bila
30

sinar sejajar tidak difokuskan di makula lutea (fovea sentralis) disebut


ametropia. Mata emetropia akan mempunya penglihatan normal atau
6/6 atau 100%. Bila media penglihatan seperti kornea, lensa dan badan
kaca keruh makan sinar tidak dapat diteruskan ke macula lutea. Pada
keadaan media penglihatan keruh maka penglihatan tidak akan 100 %
atau 6/6 (Ilyas, 2014).
Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh
dataran depan dan kelengkungan kornea dan panjang bola mata.
Kornea memiliki daya pembiasan sinar terkuat dibanding bagian mata
lainnya. Lensa memegang peranan membiaskan sinar terutama pada
saat melakukan akomodasi atau bila melihat benda yang dekat.
Panjang bola mata seseorang dapat berbeda-beda. Bila terdapat
kelainan pembiasan sinar oleh kornea (mendatar, mencembung) atau
adanya perubahan panjang bola mata maka sinar normal tidak dapat
terdokus pada makul. Keadaan ini disebut sebagai emetropia yang
berupa miopia, hipermetropia, atau astigmat (Ilyas, 2014).
Kelainan lain pada pembiasan masa normal adalah gangguan
perubahan kecembungan lensa yang dapat berkurang akibat
berkurangnya elastisitas lensa sehingga terjadi gangguan akomodasi.
Gangguan akomodasi dapat terlihat pada usia lanjut sehingga terlihat
keadaan yang disebut presbiopia (Ilyas, 2014) .
31

Gambar 2.2 Flow Chart Komorbid Okular, sistemik dan


genetik Pada Gangguan Vius Mata (Duran, et al., 2016:2)
a) Ametropia
Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh
dataran depan dan kelengkungan kornea dan panjangnya bola mata.
Kornea mempunyai daya pembiasan sinar terkuat dibanding bagian
mata lainnya. Lensa memegang peranan membiaskan sinar
terutama pada saat melakukan akomodasi atau bila melihat benda
yang dekat (Ilyas, 2014).
Ametropia dalam keadaan tanpa akomodasi atau dalam keadaan
istirahat memberikan bayangan sinar sejajar pada fokus yang tidak
terletak pada retina. Pada keadaan ini bayangan pada selaput jala
tidak sempurna terbentuk. Dikenal berbagai bentuk ametropia,
seperti :
1) Ametropia aksial yaitu ametropia yang terjadi akibat sumbu
optik bola mata lebih panjang, atau lebih pendek sehingga
bayangan benda difokuskan didepan atau dibelakang retina.
Pada Miopia aksial fokus akan terletak didepan retina karena
bola mata lebih panjang dan pada hipermetropia aksial fokus
bayangan terletak dibelakang retina.
32

2) Ametropia refraktif yaitu ametropia akibat kelainan sistem


pembiasan sinar didalam mata. Bila daya bias kuat maka
bayangan benda terletak didepan retina (miopia) atau bila daya
bias kurang maka bayangan benda akan terletak dibelakan
retina (hipermetropia refraktif) (Ilyas, 2014).
Ametropia dapat disebabkan kelengkungan kornea atau lensa
yang tidak normal (ametropia kurvatur) atau indeks bias abnormal
di dalam mata (ametropia indeks). Ametropia dapat ditemukan
dalam bentuk kelainan seperti, miopia, hipermetropia, astigmatisma
(Ilyas, 2014).
Tabel 2.8 Klasifikasi Ametropia (Ilyas, 2014:76).
No Ametropia Lensa Kausa
Koreksi
1 Miopia Lensa (-) Refraktif aksial
2 Hipermetropia Lensa (+) Bias kuat (Panjang
bola mata
Bias lemah (bola
mata pendek)
3 Astigmatisma Kacamata Kurvatur 2 meridian
regular silinder tegak lurus
4 Astigmatisma Lensa kontak Kurvatur kornea
ireguler ireguler

Pengendalian perkembangan miopia telah menjadi penting.


Tujuan klinis karena kekhawatiran tentang signifikan peningkatan
risiko miopia patologis pada mereka dengan miopia tinggi. Hal ini
jelas telah terjadi peningkatan besar dalam prevalensi miopia
tinggi, serta total miopia, di Timur dan Tenggara Asia. Prevalensi
miopia tinggi telah meningkat selama sama periode dari beberapa
persen menjadi sekitar 20%. Meskipun situasinya jauh lebih
ekstrim di bagian lain dunia, meningkatkan tingkat prevalensi
33

miopia telah dilaporkan dari Amerika Serikat, Eropa, Israel, dan


bahkan Australia. Kecenderungan ini pertanda peningkatan yang
signifikan dalam beban penyakit yang berhubungan dengan miopia
tinggi, sebagai tingkat tinggi miopia tinggi terlihat di muda orang
dewasa menyebar ke seluruh populasi orang dewasa (Morgan et al.,
2016).
Pada miopia panjang bola mata anteroposterior dapat terlalu
besar atau kekuatan pembiasan media refraksi terlalu kuat. Dikenal
beberapa bentuk miopia seperti :
1) Miopia refraktif bertambahnya indeks bias media penglihatan
seperti terjadi pada katarak intumesen dimana lensa menjadi
lebih cembung sehingga pembiasan lebih kuat. Sama dengan
Miopia bias atau miopia indeks, miopia yang terjadi akibat
pembiasan media penglihatan kornea dan lensa yang terlalu
kuat.
2) Miopia aksial yaitu miopia akibat panjangnya bola mata
dengan kelengkungan kornea dan lensa yang normal (Ilyas,
2014).
Menurut Ilyas (2014) berdasarkan derajat beratnya, miopia
dibagi dalam :
1) Miopia ringan, dimana miopia kecil daripada 1-3 dioptri.
2) Miopia sedang, dimana miopia lebih antara 3-6 dioptri.
3) Miopia berat atau tinggi, dimana miopia lebih besar dari 6
dioptri.
Menurut Ilyas (2014) berdasarkan perjalanan miopia dikenal
bentuk :
a. Miopia stasioner, miopia yang menerap setelah dewasa.
b. Miopia progresif, miopia yangbertambah terus pada usia
dewasa akibat bertambahnya panjang bola mata.
34

c. Miopia maligna, miopia yang berjalan progresif, yang dapat


mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan
miopia pernisiosa = miopia maligna = miopia degeneratif.
Pasien dengan miopia akan menyatakan melihat jelas bila
dekat atau membaca dekat, sedangkan melihat jauh kabur atau
disebut pasien adalah rabun jauh. Pasien dengan miopia akan
memberikan keluhan sakit kepala, sering disertai juling dan celah
kelopak sempit. Seseorang Miopia mempunyai kebiasaan menutup
matanya untuk mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan
efek pinhole (lubang kecil) (Ilyas, 2014).
Pada pemeriksaan funduskopi terdapat miopik kresen yaitu
gambaran bulan sabit yang terlihat pada polus posterior fundus
mata Miopia, sclera oleh koroid. Pada mata dengan Miopia tinggi
akan terdapat pula kelainan pada fundus okuli seperti degenerasi
macula dan degenerasi retina bagian perifer (Ilyas, 2014).
Pengobatan pasien dengan miopia adalah dengan memberikan
kacamata sferis negatif terkecil yang memberikan ketajaman
penglihatan maksimal. Sebagai contoh bila pasien dikoreksi dengan
lensa 3.0 memberikan tajam penglihatan 6/6, demikian juga S-3.25,
maka sebaiknya diberikan lensa koreksi 3.0 agar untuk
memberikan istirahat mata dengan baik sesudah dikoreksi (Ilyas,
2014).
“Atropine for the Treatment of Miopia” ATOM 2, sekarang
mencakup 2 tahun tahap awal dalam menggunakan 0,5% , 0,1% ,
dan 0,01% atropin, periode pencuciannya 1 tahun, dan lanjut 2
tahun pengobatan dengan 0,01 % atropin pada pasien yang
berkembang kekuatan lensa lebih dari 0,5 dioptri (D). Hal ini
menunjukkan bahwa 0,01 % atropin menghasilkan hasil yang lebih
baik dalam penurunan perkembangan kekuatan lensa dengan dosis
yang lebih tinggi, dengan ditandainya pengurangan efek samping
35

jangka pendek yang diperlukan penggunaan kacamata baca


Photochromic (Morgan, et al., 2016).
Penyulit yang dapat timbul pada pasien dengan miopia adalah
terjadinya ablasi retina dan juling. Juling biasanya esotropia atau
juling kedalam akibat mata yang berkonvergensi terus-menerus.
Bila terdapat juling keluar mungkin fungsi satu mata telah
berkurang atau terdapat ambliopia (Ilyas, 2014).
Hipermetropia atau rabun dekat merupakan keadaan gangguan
kekuatan pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup
dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak dibelakang retina. Pada
hipermetropia sinar sejajar di fokuskan di belakang macula lutea.
Hipermetropia disebabkan oleh:
1) Hipermetropia sumbu atau hipermetropia aksial merupakan
kelainan refraksi akibat bola mata pendek, atau sumbu
anteroposterior yang pendek.
2) Hipermetropia kurvatur, dimana kelengkungan kornea atau
lensa kurang sehingga bayangan difokuskan dibelakang retina
3) Hipermetropia refraktif, dimana terdapat indeks bias yang
kurang pada sistem optik mata (Ilyas, 2014).
Hipermetropia dikenal dalam berbagai bentuk berupa :
1) Hipermetropia manifes ialah hipermetropia yang dapat
dikoreksi dengan kacamata positif maksimal yang memberikan
tajam penglihatan normal. Hipermetropia ini terdiri atas
hipermetropia absolut ditambah hipermetropia fakultatif.
Hipermetropia manifest didapatkan tanpa siklopegik dan
hipermetropia yang didapat dilihat dengan koreksi kacamata
maksimal.
2) Hipermetropia absolut ialah kelainan refraksi tidak diimbangi
dengan akomodasi dan memerlukan kacamata positif untuk
melihat jauh. Biasanya hipermetropia laten yang ada berakhir
dengan hipermetropia absolut ini. Hipermetropia manifes yang
36

tidak memakai tenaga akomodasi sama sekali disebut sebagai


hipermetropia absolut, sehingga jumlah hipermetropia
fakultatif dengan hipermetropia absolut adalah hipermetropia
manifes.
3) Hipermetropia fakultatif, dimana kelainan hipermetropia dapat
diimbangi dengan akomodasi ataupun dengan kamata positif.
Pasien yang hanya mempunyai hipermetropia fakultatif akan
melihat normal tanpa kacamata yang bila diberikan kacamata
positif yang memberikan penglihatan normal maka otot
akomodasinya akan beristirahat. Hipermetropia manifest yang
masih memakai tenaga akomodasi disebut dengan
hipermetropia fakultatif.
4) Hipermetropia laten dimana kelainan hipermetropia tanpa
sikloplegia (atau dengan obat yang melemahkan akomodasi)
diimbangi seluruhnya dengan akomodasi. Hipermetropia laten
hanya dapat diukur bila diberikan sikloplegia. Makin muda
makin besar komponen hipermetropia laten seseorang. Makin
tua seseorang akan terjadi kelemahan akomodasi sehingga
hipermotropia laten menjadi hipermetropia fakultatif dan
kemudian menjadi hipermetropia absolut. Hipermetropia laten
sehari-hari diatasi dengan akomodasi terus-menerus, terutama
bila pasien masih muda dengan akomodasi yang kuat.
5) Hipermetropia total, hipermetropia yang ukurannya
didapankan setelah sikloplegia (Ilyas, 2014).
Gejala yang ditemukan pada hipermetropia adalah penglihatan
dekat dan jauh kabur, sakit kepala, sialu, dan kadang rasa juling
atau lihat ganda. Pasien ini sering disebut dengan pasien rabun
dekat. Pasien dengan hipermetropia apapun penyebabnya akan
mengeluh matanya lelah dan sakit karena terus-menerus harus
berakomodasi untuk memfokuskan bayangan yang terletak
37

dibelakang macula lutea agar terletak didaerah macula lutea maka


keadaan ini disebut dengan astenopia akomodatif (Ilyas, 2014).
Pengobatan hipermetropia adalah diberikan koreksi
hipermetropia dimana tanpa sikloplegia didapatkan ukuran lensa
postif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal (6/6).
Bila terdapat juling ke dalam atau esotropia diberikan kacamata
koreksi hipermetropia total. Bila terdapat tanda atau bakat juling
keluar (eksoforia) maka diberikan kacamata positif koreksi positif
kurang. Penyulit pada pasien dengan hipermetropia adalah
esotropia dan glaucoma. Esotropia dapat terjadi akibat pasien
selamanya melakukan akomodasi dan glaucoma sekunder terjadi
akibat hipertrofi otot siliar yang mempersempit sudut bilik mata
(Ilyas, 2014).
Astigmatisma merupakan kelainan refraksi mata yang
menyebabkan bayangan penglihatan pada satu bidang difokuskan
pada jarak yang berbeda dari bidang yang tegak lurus terhadap
bidang tersebut. Hal ini paling sering disebabkan oleh terlalu
besarnya kelengkungan kornea pada salah satu bidang mata. Pada
astigmastisma berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan
tajam pada retina akan tetapi pada 2 garis titik api yang saling tegak
lurus yang terjadi akibat kelainan kelengkungan permukaan kornea
(Guyton & Hall, 2007; Ilyas, 2014).
Adapun bentuk dari astigmatisma terbagi atas 2 yaitu :
1) Astigmatisma regular yang memperlihatkan kekuatan
pembiasan bertambah atau berkurang perlahan-lahan secara
teratur dari satu meridian ke meridian berikutnya. Bayangan
yang terjadi pada astigmatisma regular dengan bentuk yang
teratur dapat berbentuk garis, lonjong atau lingkaran.
2) Astigmatisma ireguler yang terjadi tidak mempunyai 2
meridian yang saling tegak lurus. Astigmatisma ireguler dapat
terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian yang sama
38

berbeda sehingga bayangan menjadi ireguler. Astigmatisma


ireguler terjadi akibar infeksi kornea, trauma, dan distrofi atau
akibat kelainan permbiasan pada meridian lensa yang berbeda
(Ilyas, 2014).
Pada astigmatisma, bagian meridian kornea posterior adanya
temuan bahwa lapisan kornea tebal sepanjang meridian vertikal.
Oleh karena itu, ketika bagian posterior kornea meridian sejajar
secara vertikal, hal tersebut akan mengurangi kekuatan dari sistem
optik keseluruhan. Dengan demikian, dengan menggunakan
refraksi, penggunaan lensa silindris adalah salah satu pengobatan
astigmatisma (Galvis et al., 2015).
Pengobatan astigmatisma dengan lensa kontak lembek bila
menyebabkan infeksi, trauma dan distrofi akan memberikan efek
permukaan yang ireguler. Dapat diperiksa dengan plasidoskopi
akan menunjukkan gambaran permukaan kornea yang ireguler
(Illyas, 2014).
Selama operasi katarak, status bias pasien akan berubah.
Beberapa lensa intraokular (IOLs) akan mengalami bias, sedangkan
bola mata yang lain akan mengalami astigmatisma. Praoperasi
astigmatisma dengan 1,5 dioptri (D) atau lebih besar dapat hadir
sekitar 20 % dari pasien yang menjalani operasi katarak. Terkait
usia residual astigmatisma pasca operasi adalah penyebab penting
karena tidak memperoleh emetropia direncanakan setelah operasi
katarak tersebut. Pasien 34 kali lebih mungkin untuk menggunakan
kacamata diopter astigmatisma untuk mata. Mengoreksi silindris
secara signifikan meningkatkan ketajaman visual di semua tingkat
kontras pada jarak dan kedekatannya setelah operasi tersebut
(Kessel et al., 2016).
b) Presbiopia
Presbiopia adalah gangguan penglihatan dekat yang terjadi
pada orang tua. Hal ini dapat dibagi menjadi 2 jenis : presbiopia
39

fungsional dan presbiopia objektif. Presbiopia fungsional


menggambarkan situasi dimana seseorang memiliki visus < N8
( yaitu, < 6/18 ketajaman visual) yang dapat dikembalikan dengan
lensa tambahan , tetapi tidak termasuk dalam miopia moderat yang
bisa membaca tanpa bantuan kacamata (Frick et al., 2015)
Gangguan akomodasi pada usia lanjut dapat terjadi akibat
kelemahan otot akomodasi dan lensa mata tidak kenyal atau
berkurangnya elastisitasnya akibat sclerosis lensa. Akibat gangguan
ini maka pasien berusia 40 tahun akan memberi keluhan setelah
membaca yaitu mata lelah, berair dan sering terasa pedas (Ilyas,
2014).
Pada pasien presbiopia kacamata atau adisidiperlukan untuk
membaca dekat yang berkekuatan tertentu biasanya :
Tabel 2.9 Kekuatan Lensa Presbiopia Berdasar Umur
(Ilyas, 2014:74).
Kekuatan Lensa Untuk Usia
+ 1.0 D 40 Tahun
+ 1.5 D 45 Tahun
+ 2.0 D 50 Tahun
+ 2.5 D 55 Tahun
+ 3.0 D 60 Ahun

3. Faktor Resiko Penurunan Tajam Penglihatan


Pada mereka yang berusia 35-84 tahun, prevalensi penurunan visus
mata dengan yang mengambil pendidikan tinggi adalah sekitar dua kali lipat
dibandingkan pada mereka dengan pendidikan primer (dasar). Peningkatan
prevalensi miopia disebabkan oleh multifaktorial. Peningkatan prevalensi
miopia akibat meningkatnya penggunaan komputer, peningkatan waktu
belajar, dan sedikitnya waktu yang dihabiskan di luar ruangan (Williams et
al., 2016).
40

Selain dampak optik miopia pada ketajaman penglihatan dan biaya


yang terkait koreksi, miopia merupakan faktor risiko utama untuk penyakit
mata. Miopia meningkatkan risiko penyakit mata, termasuk glaukoma,
katarak, dan penempelan (infeksi) pada retina. Risiko yang terkait dengan
miopia yang signifikan bahkan dalam miopia rendah (<3 dioptri [D]) dan
sebanding untuk risiko orang yang merokok dan terkena hipertensi untuk
penyakit kardiovaskular. Miopia adalah faktor risiko utama untuk terjadinya
Blindness Maculopathy, merupakan penyebab paling umum kedua low
vision di Beijing (Huang et al., 2016).
Retinitis pigmentosa (RP) adalah temuan klinis didefinisikan oleh
kehilangan penglihatan perifer karena gangguan fungsi retina yang
mempengaruhi sekitar 1 : 3,000 - 1 : 5.000 individu. Dasar genetik dari RP
sangat heterogen, dengan setidaknya lima puluh gen diidentifikasi terkait
dengan non-sindrom retinitis pigmentosa. Bentuk yang paling dikenal dari
yang dipengaruhi faktor genetik telah dibuktikan untuk retinitis pigmentosa
ini, termasuk autosomal gen tunggal resesif, autosomal dominan, dan
warisan mutasi x dan warisan digenik (Strom et al., 2016).
Distrofi retina (RD) merupakan sekelompok penyakit yang ditandai
dengan variabilitas klinis dan heterogenitas genetik. Bentuk sindrom dari
distrofi retina dapat dikaitkan dengan mutasi pada lebih dari 200 gen.
Karena itu, generasi berikutnya dengan teknologi sequencing (NGS) adalah
yang paling menjanjikan untuk pendekatan dalam mengidentifikasi mutasi
pada distrofi retina (Weisschuh et al., 2016).
Menurut Tiharyo (2012) faktor resiko yang paling nyata dengan
penurunan visus mata adalah berhubungan dengan aktivitas jarak dekat,
seperti :
1) Membaca
2) Menulis
3) Menggunakan komputer dan bermain video game.
Selain aktivitas, miopia juga berhubungan dengan genetik. Anak dengan
orang tua yang miopia cenderung mengalami miopia. Prevalensi miopia
41

pada anak dengan kedua orang tua miopia adalah 32,9%, sedangkan 18,2%
pada anak dengan salah satu orang tua yang miopia dan kurang dari 6,3%
pada anak dengan orang tua tanpa miopia (Arianti, 2013).
Pada penelitian Jones tentang riwayat miopia orang tua, efek olahraga
dan aktivitas di luar rumah terhadap kejadian miopia, didapatkan hasil
bahwa jumlah olahraga dan aktivitas di luar rumah yang rendah
meningkatkan kejadian miopia pada anak yang mempunyai kedua orang tua
miopia daripada anak yang hanya mempunyai salah satu atau tidak satupun
orangtua dengan riwayat miopia. Usia juga merupakan faktor yang
mempengaruhi visus mata dengan bertambahnya usia maka lensa
mengalami kemunduran kemampuan untuk mencembungkan atau
berkurangnya daya akomodasi (Arianti, 2013; Fadhillah, 2013).
42

B. Kerangka Teori

Visus Mata

Gangguan refraksi Gangguan


Media refraktori keruh
mata anatomis

Gangguan pusat Terganggu jaras penglihatan


penglihatan

Ametropia Miopia

Hipermetropi
Presbiopi
a Penurunan visus
Astigmatisma mata (low vision)

Faktor Internal
Faktor Eksternal

Faktor Lingkungan Faktor Genetik

Faktor Aktivitas
Faktor Usia
Membaca Dekat

Aktivitas diluar ruangan (olahraga)

Keterangan :

= Variabel yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti

Gambar 2.2 Kerangka Teori

(Hartono, 2009; Tiharyo dkk., 2012; Williams et al., 2016)


43

C. Kerangka Konsep

Faktor Genetik
Penurunan Visus
Mata (Low
Vision)
Durasi Aktivitas
Membaca Dekat

Gambar 2.3 Kerangka Konsep

Keterangan :

1. Variabel Dependen : Penurunan Visus Mata (Low Vision)


2. Variabel Independen : Faktor Genetik dan Durasi Aktivitas Jarak
Dekat

D. Landasan Teori
Fungsi penglihatan akan baik bila, refraksi mata emetrop, media refrakta
jernih, keadaan fundus sehat, lintasan penglihatan baik, pusat penglihatan baik,
kesadaran baik. Gangguan dari salah satu komponen sebelumnya akan
menyebabkan gangguan penglihatan yang disertai gangguan-gangguan ikutan
yang lain. Yang perlu ditekankan disini bahwa refraksi emetrop, dengan demikian
hanyalah salah satu syarat untuk normalnya visus. Emetrop adalah status refraksi
mata yang ditandai dengan terfokusnya cahaya diretina saat melihat jauh tanpa
akomodasi. Dengan demikian, meskipun cahaya bias terfokus diretina, tetapi jika
retina cacat atau bagian lainnya cacat maka akan terjadi gangguan visus.
Demikian puka orang yang berkurang kesadarannya fungsi penglihatannya akan
sulit untuk diperiksa. Hal yang sama juga terjadi pada anak-anak dengan
keterlambatan mental. Untuk penglihatan dekat yang baik, perlu ditambahkan
dengan adanya akomodasi yang cukup. Sedangkan untuk penglihatan inokuler
44

yang baik diperlukan visus kedua mata yang seimbang serta gerak kedua mata
yang baik (Hartono, 2009).
Faktor resiko yang paling nyata adalah berhubungan dengan aktivitas jarak
dekat, seperti : membaca, menulis, menggunakan komputer dan bermain video
game. Selain aktivitas, miopia juga berhubungan dengan genetik. Anak dengan
orang tua yang miopia cenderung mengalami miopia. Prevalensi miopia pada anak
dengan kedua orang tua miopia adalah 32,9%, sedangkan 18,2% pada anak
dengan salah satu orang tua yang miopia dan kurang dari 6,3% pada anak dengan
orang tua tanpa Miopia (Arianti, 2013).
Pada penelitian Jones tentang riwayat miopia orang tua, efek olahraga dan
aktivitas di luar rumah terhadap kejadian miopia, didapatkan hasil bahwa jumlah
olahraga dan aktivitas di luar rumah yang rendah meningkatkan kejadian miopia
pada anak yang mempunyai kedua orang tua miopia daripada anak yang hanya
mempunyai salah satu atau tidak satupun orangtua dengan riwayat Miopia
(Arianti, 2013).
Faktor genetik mewarisi dari degenerasi retina yang penyebarannya luas
sehingga gangguan herediter ini dapat mempengaruhi retina. Biasanya, penyakit
ini mempengaruhi sel kerucut dan sel batang fotoreseptor serta epitel pigmen
retina (RPE), kemajuannya lambat, dan menyebabkan ireversibel hilangnya
ketajaman penglihatan dari mata. Degenerasi makula yang paling umum terkait
dengan mutasi pada gen ABCA4 dan sering disebut sebagai fundus flavimaculatus.
Kondisi ini terkait dengan penurunan progresif pada ketajaman penglihatan (Carlo
et al., 2016).

E. Hipotesis
1. Adanya hubungan antara faktor genetik dengan penurunan visus mata (low
vision) pada mahasiswa tingkat kedua program studi kedokteran Universitas
Tadulako.
2. Adanya hubungan antara durasi aktivitas membaca dekat dengan penurunan
visus mata (low vision) pada mahasiswa tingkat kedua program studi
kedokteran Universitas Tadulako.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Pada penelitian ini, jenis penelitian yang dipakai adalah jenis penelitian
analitik dengan pendekatan cross sectional yang dimaksudkan untuk dapat
mengetahui hubungan antara faktor genetik dan durasi aktivitas membaca dekat
dengan penurunan visus mata (low vision) pada mahasiswa tingkat kedua Program
Studi Kedokteran Universitas Tadulako.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Tadulako. Penelitian ini mulai
dilakukan pada 20 Oktober – 14 Desember 2016.

C. Populasi dan Sampel Penelitian


1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini yakni mahasiswa angkatan 2015
Program Studi Kedokteran Universitas Tadulako.
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi terjangkau yang dapat dipergunakan
sebagai subjek penelitian melalui sampling. Sedangkan sampling adalah
proses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat mewakili populasi yang
ada (Notoatmodjo, 2010). Sampel dalam penelitian ini adalah Mahasiswa
tingkat kedua yaitu angkatan 2015 Program Studi Pendidikan Dokter
Universitas Tadulako. Besar minimal sampel pada penelitian ini dihitung
dengan menggunakan rumus Slovin sebagai berikut :

N
n= 2
1+ N ( e)

45
46

Keterangan:
n = jumlah sampel
N = jumlah populasi
e = proporsi sampling error (derajat kemaknaan)
Dimana :
e = Proporsi sampling error 10% (0,10)

N
n= 2
1+ N ( e)
56
n=
1+56 (0,10)2
56
n=
1+56 (0.01)
56
n= =35,89
1,56

Jadi, jumlah sampel yang dibutuhkan adalah = 35,89 ≈ 36 sampel

D. Teknik Pengambilan Sampel


Pengambilan sampel dilakukan secara probability dengan cara total
sampling. Dengan cara pengumpulan berdasarkan jumlah populasi (Notoatmodjo,
2010).
Adapun yang menjadi kriteria sampel pada penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Kriteria Inklusi
a. Mahasiswa tingkat kedua Program Studi Kedokteran Universitas
Tadulako yang mengikuti penelitian
2. Kriteria eksklusi
a. Mahasiswa yang tidak hadir pada saat pengambilan data sehingga
dinggap dropout
b. Mahasiswa tidak mengisi kuesioner secara lengkap sehingga dinggap
dropout
47

E. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional
berdasarkan karateristik yang diamati (Nursalam, 2008). Dalam penelitian ini
terdapat beberapa definisi operasional sebagai berikut:
1. Penurunan Visus Mata (Low Vision)
a. Definisi : Penurunan visus mata (low vision) adalah kondisi mata yang
memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 6/6 .
b. Alat ukur : Kartu Snellen 6 m
c. Cara ukur : Pengukuran dilakukan di ruang lab fisiologi FKIK UNTAD
yang pencahayaannya cukup, dengan cara mahasiswa berdiri dangan
jarak 6 meter dari kartu Snellen. Kemudian tajam penglihatan kedua
mata diperiksa satu persatu. Pada saat memeriksa mata kanan, mata kiri
ditutup, demikian pula sebaliknya.
d. Hasil ukur :
Nilai 1 : Penurunan visus mata (low vision)
Nilai 2 : Tidak penurunan visus mata
e. Skala Ukur : Nominal
2. Faktor genetik
a. Definisi : Faktor genetik adalah faktor yang diturunkan atau memiliki
riwayat gangguan refraksi mata yaitu ametropia (miopia, hipermetropi,
dan astigmatisma) dan presbiopia pada orang tuanya yang akan
mempengaruhi tajam penglihatan.
b. Alat ukur : Kuesioner
c. Cara ukur : Melalui pencatatan variabel yang diperoleh dari kuesioner
d. Hasil ukur :
Nilai 1 : Adanya anggota keluarga yang mengalami gangguan
refraksi mata
Nilai 2 : Tidak adanya anggota keluarga yang mengalami
gangguan refraksi mata
e. Skala Ukur : Nominal
48

3. Durasi Aktivitas Membaca Dekat


a. Definisi : Kebiasaan subjek dalam membaca (menelaah materi)
menggunakan buku, gadget (handphone dan tablet), dan laptop
bedasarkan dengan jarak mata terhadap bacaan adalah kurang dari 30
cm, dan durasi lebih dari 2 jam sehari tanpa henti/beristirahat.
b. Alat ukur : Kuesioner
c. Cara ukur : Melalui pencacatan kebiasaan membaca mahasiswa pada
kuesioner
d. Hasil Ukur :
Nilai 1 : Memenuhi syarat
Nilai 2 : Tidak memenuhi syarat
e. Skala ukur : Nominal

F. Instrumen Penelitian
Pada penelitian kali ini instrumen yang digunakan adalah kuesioner oleh
Fatika Sari Hasibuan (2010) dan Pheasant (1991) dan data hasil visus mata
menggunakan Snellen Chart 6 meter (pada lampiran gambar) yang akan
dilakukan di Laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Tadulako.

G. Langkah Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Tadulako. Dalam penelitian ini akan dilakukan
dengan beberapa tahap, yakni :
1. Pengambilan kuesioner pada mahasiswa tingkat kedua yang mengalami
penurunan visus mata (low vision)
2. Pengambilan data hasil uji visus mata pada sampel di Laboratorium
Fisiologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Tadulako
3. Data yang didapatkan kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk tabel.
49

H. Jenis dan Sumber Data Penelitian


Data yang dikumpulkan adalah data primer, yaitu data yang didapat
langsung dari sampel hasil uji visus mata dan juga kuesioner di Laboratorium
Fisiologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Tadulako.

I. Pengolahan Data
1. Editing
Pengecekan atau penyuntingan kuesioner. Data yang telah didapatkan
terlebih dahulu dilakukan pengecekan untuk mengkoreksi kesalahan
pengisian ataupu pengisian yang belum lengkap
2. Coding
Memberikan kode pada semua variabel untuk mempermudah dalam
pengelolahan dan analisis data yang dilakukan.

3. Entry
Memasukkan data yang telah diberi kode atau simbol tertentu untuk
diolah.

4. Tabulating
Menyusun seluruh data yang diperoleh ke dalam bentuk tabel. Dimana
data yang memiliki kriteria yang sama dikelompokkan dengan teliti dan
teratur sebelum dimasukkan ke dalam tabel.

J. Penyajian Data
Data-data yang diperoleh dari hasil penelitian ini akan disajikan dalam
bentuk tabel.

K. Analisis Data

Data dianalisa menggunakan metode Chi-square, yaitu metode statistik


yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara faktor genetik dan durasi
aktivitas membaca dekat dengan penurunan visus mata (low vision) pada
mahasiswa tingkat kedua Program Studi Kedokteran Universitas Tadulako. Yang
50

dimana melihat kemaknaan dan hubungan antara variabel kategorik tidak


berpasangan tabel 2x2. Syarat untuk uji Chi Square adalah sel yang mempunyai
nilai expected kurang dari 5 maksimal 20% dari jumlah sel.

Jika syarat uji Chi Square tidak terpenuhi maka uji alternatifnya adalah uji
Fisher. Uji ini digunakan untuk melihat kejelasan tentang dinamika hubungan
antara faktor risiko dan faktor efek. Untuk interpretasi hasil menggunakan derajat
kemaknaan α (P alpha) sebesar 5% dengan catatan jika
p<0,05 (p value ≤ p alpha) maka H0 di tolak (ada hubungan antara variabel bebas
dengan terikat), sedangkan bila p>0,05 maka H0 diterima (tidak ada hubungan
antara variabel bebas dengan terikat).

Rumus Chi-square 2x2 (yates correction):

n ad  bc  1 / 2n 
2
2
X 
a  b a  c b  d c  d 

Keterangan :
2
χ
= Kai Kuadrat
N = Number of cases (jumlah sampel)
A, B, C, D = lambang bagi sel yang terdapat pada tabel kontigensi, yaitu sel
pertama, kedua, ketiga dan keempat.
51

L. Alur Penelitian
Adapun rencana penelitian ialah seperti tabel 3.1.
Tabel 3.1. Rancangan jadwal penelitian
Tanggal Rencana Kegiatan
3 Juni – 12 September 2016 Tahap persiapan, tahap ini peneliti
melakukan identifikasi masalah,
pengajuan judul, penelusuran
literatur, dan konsultasi kepada
dosen pembimbing,
13 September 2016 Ujian Proposal
3 Oktober 2016 Permohonan izin untuk melakukan
penelitian kepada Laboratorium
Fisiologi Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas
Tadulako

4-20 Oktober 2016 Validasi kuesioner dan pelaksanaan


penelitian
21 Oktober - 14 Desember Pengolahan data hasil penelitian,
2016 konsultasi kepada dosen
pembimbing dan perencanaan
pemaparan hasil penelitian
15 Desember 2016 Seminar hasil penelitian
3 Februari 2017 Skripsi

M. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti memandang perlu adanya
rekomendasi dari pihak institusi dengan mengajukan permohonan izin kepada
instansi tempat penelitian dilaksanakan. Setelah mendapat persetujuan tersebut,
barulah dilakukannya penelitian dengan menekankan masalah etika penelitian
sebagai berikut (Yurisa, 2008)

1. Informed Consent
Yaitu persetujuan responden untuk ikut terlibat dalam penelitian ini.
Peneliti menjelaskan tujuan dari penelitian, kemudian menanyakan
kesediaan responden untuk ikut terlibat dalam penelitian.Selanjutnya
responden yang bersedia menandatangani lembar persetujuan yang telah
disediakan.
52

2. Anonymity (tanpa nama)


Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan mencantumkan nama
responden tetapi lembar tersebut diberikan kode.

3. Confidentiality (kerahasiaan)
Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dijamin
kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan
dilaporkan sebagai hasil penelitian.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
1. Karakteristik Sampel Penelitian
Penelitian yang dilakukan dimulai pada tanggal 20 Oktober 2016
terhadap mahasiswa tingkat kedua Program Studi Kedokteran Universitas
Tadulako. Sampel dalam penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi
Kedokteran, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Tadulako
angkatan 2015 yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk ke dalam
kriteria eksklusi berjumlah 54 orang mahasiswa. Karakteristik yang digunakan
sebagai sampel pada penelitian ini berdasarkan visus awal mata kanan dan
mata kiri dan hasil uji kuesioner.

Penilaianya penurunan visus mata (low vision) dilakukan dengan


menggunakan kartu snellen dimana pengukuran dilakukan di ruangan yang
pencahayaannya cukup, dengan cara mahasiswa berdiri dangan jarak 6 meter
dari Kartu Snellen. Kemudian tajam penglihatan kedua mata diperiksa satu
persatu. Pada saat memeriksa mata kanan, mata kiri ditutup, demikian pula
sebaliknya. Kuesioner didistribusikan kepada mahasiswa dan dijawab dalam
jangka waktu 15 menit.

Data yang dikumpul diolah dengan menggunakan metode


komputerisasi yaitu dengan menggunakan program SPSS 16.0, Microsoft
Excel dan Microsoft Words serta disajikan dalam bentuk tabel berdasarkan
tujuan penelitian. Analisa data dilakukan menggunakan metode Chi-square.

Karakteristik yang digunakan sebagai sampel pada penelitian ini


berdasarkan visus mata awal. Untuk karakteristik sampel terbagi atas dua yaitu
yang mengalami penurunan visus mata (Low Vision) dan yang tidak
mengalami penurunan visus mata (visus normal), dapat dilihat pada tabel 4.1.

53
54

Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Sampel Berdasarkan Visus Awal

Visus Mata Jumlah Mahasiswa Total Sampel

Penurunan visus mata (Low


Vision) 19
(<6/6) 54
Tidak penurunan visus mata
35
(6/3-6/6)

(Sumber: Data primer, 2016)


Berdasarkan Tabel 4.1, penurunan visus mata (Low Vision) dan tidak
penurunan visus mata pada penelitian ini dikelompokkan sendiri oleh peneliti
berdasarkan visus mata awal. Dilihat dari jumlah mahasiswa yang dikatakan
sebagai penurunan visus mata (Low Vision) yaitu jika visus mata diperoleh
dari <6/6 adalah 19 orang mahasiswa. Jika dilihat dari jumlah mahasiswa yang
dikatakan tidak penurunan visus mata yaitu jika visus mata diperoleh dari 6/3-
6/6 adalah 35 orang mahasiswa. Adapun total sampel yang di teliti yaitu 54
orang.

2. Analisis Univariat
Analisis univariat berdasarkan gambaran visus mata mata awal, faktor
genetik (riwayat), durasi aktivitas membaca dekat pada sampel dan astenopia
pada mata. Distribusi gambaran visus awal pada sampel dapat dilihat pada
tabel 4.2 berikut ini:
Tabel 4.2. Distribusi gambaran visus awal pada sampel

Visus Mata Jumlah Mahasiswa Persentase

Penurunan visus mata (Low Vision)


19 35,2%
(<6/6)
Tidak penurunan visus mata (6/3-
35 64,8%
6/6)
Total (n) 54 100%

(Sumber: Data primer, 2016)


55

Tabel 4.2 diatas menunjukkan pada sampel yang mengalami penurunan


visus mata (Low Vision) persentasenya sebesar 35,2% sedangkan pada sampel
yang tidak mengalami penurunan visus mata persentasenya sebesar 64,8%.

Distribusi sampel menurut faktor genetik dapat dilihat pada tabel 4.3
berikut ini:
Tabel 4.3. Distribusi sampel menurut faktor genetik
Karakteristik Jumlah Mahasiswa Persentase
Adanya riwayat orang tua gangguan
refraksi dan presbiopia yang 34 62,96%
menggunakan kacamata koreksi
Tidak adanya riwayat orang tua
gangguan refraksi dan presbiopia
20 37,04%
yang tidak menggunakan kacamata
koreksi
Total (n) 54 100%

(Sumber: Data primer, 2016)


Berdasarkan Tabel 4.3, pada sampel yang orang tuanya memiliki riwayat
gangguan refraksi dan presbiopia serta menggunakan kacamata koreksi adalah
34 orang mahasiswa dengan persentase 62,96 %. Jika dilihat pada sampel
yang orang tuanya tidak memiliki riwayat gangguan refraksi dan presbiopia
serta tidak menggunakan kacamata koreksi yaitu 20 orang mahasiswa dengan
persentase 37,04 %.
Distribusi sampel menurut durasi aktivitas membaca dekat dilihat pada
tabel 4.4 berikut ini:
56

Tabel 4.4 Distribusi sampel menurut durasi aktivitas membaca dekat


Karakteristik Jumlah sampel Persentase
Durasi Aktivitas Memenuhi syarat 15 27,78%
Membaca Dekat Tidak memenuhi 39 72,22%
syarat
Total (n) 54 100 %

(Sumber: Data primer, 2016)


Berdasarkan Tabel 4.4, sampel yang memenuhi syarat dalam durasi
aktivitas membaca dekat adalah 15 orang mahasiswa dengan persentase
27,78%. Sampel yang tidak memenuhi syarat dalam durasi aktivitas membaca
dekat adalah 39 orang mahasiswa dengan persentase 72,22%.
Distribusi sampel menurut astenopia refraksi (kelelahan pada mata)
dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut ini:
Tabel 4.5 Distribusi sampel menurut astenopia refraksi
(kelelahan pada mata)
Karakteristik Jumlah sampel Persentase
Astenopia Ada 39 72,22%
(Kelelahan Mata) Tidak ada 15 27,78%
Total (n) 54 100%

(Sumber: Data primer, 2016)


Berdasarkan Tabel 4.5 diatas, sampel yang mengalami astenopia mata
(kelelahan mata) yaitu 39 orang mahasiswa dengan persentase 72,22% dan
yang tidak mengalami keluhan kelelahan mata yaitu 15 orang mahasiswa
dengan persentase 27,78%.

3. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mempelajari hubungan antara dua
variabel dalam penelitian ini, yaitu faktor genetik dengan penurunan visus
mata (Low Vision), dan durasi aktivitas membaca dekat seperti membaca pada
57

buku, gadget, atau handphone dengan penurunan visus mata (Low Vision).
Analisis bivariat dilakukan untuk mencari asosiasi antara kedua variabel yang
diteliti. Uji yang dilakukan dalam mencari asosiasi antara kedua variabel
adalah dengan menggunakan uji statistik chi-square. Berikut hasil uji Chi-
Square hubungan faktor genetik dengan penurunan visus mata pada tabel 4.5
dan hubungan durasi aktivitas membaca dekat dengan penurunan visus mata
pada tabel 4.6.

Tabel 4.6 Hasil Uji Chi-Square Hubungan Faktor Genetik Dan Durasi
Aktivitas Membaca Dekat Dengan Penurunan Visus Mata
(Low Vision)
Visus Mata
Tidak
Variabel Penurunan Total P Value
Penurunan
visus mata
visus mata
Ada
18 16 34
Faktor riwayat
Genetik Tidak ada 0,001
1 19 20
riwayat
Total 19 35 54

(Sumber: Data primer, 2016)

Berdasarkan Tabel 4.6 diatas terlihat bahwa terdapat hubungan faktor


genetik dengan penurunan visus mata (Low Vision). Dari hasil uji statistik chi-
square (Kai Kuadrat) 2x2, diperoleh nilai probabilitas 0,001 (<0,05) maka hal
ini menunjukkan (p value < α), yang berarti hipotesis 1 (H1) diterima, yaitu
Terdapat terdapat hubungan faktor genetik dengan penurunan visus mata (Low
Vision) pada mahasiswa tingkat kedua Program Studi Kedokteran Universitas
Tadulako.
58

Tabel 4.7 Hasil Uji Chi-Square Hubungan Durasi Aktivitas Membaca


Dekat Dengan Penurunan Visus Mata (Low Vision)
Visus Mata
Tidak
Variabel Penurunan Total P Value
Penurunan
visus mata
visus mata
Memenuhi
Durasi 11 4 15
syarat
aktivitas
Tidak
membaca 0,001
memenuhi 8 31 39
dekat
syarat
Total 19 35 54
(Sumber: Data primer, 2016)
Berdasarkan Tabel 4.7 diatas terlihat bahwa terdapat hubungan durasi
aktivitas membaca dekat dengan penurunan visus mata (Low Vision). Dari hasil
uji chi-square (Kai Kuadrat) 2x2, diperoleh nilai probabilitas 0,001 (<0,05)
maka hal ini menunjukkan (p value < α), yang berarti hipotesis 1 (H1) diterima,
yaitu terdapat hubungan durasi aktivitas membaca dekat dengan penurunan
visus mata (low vision) pada mahasiswa tingkat kedua Program Studi
Kedokteran Universitas Tadulako. Dari analisis bivariat tidak menggunakan uji
alternatif fisher dikarenakan uji chi-square telah memenuhi syarat.

B. Pembahasan
1. Hubungan Faktor Genetik Dengan Penurunan Visus Mata (Low Vision)
Melalui hasil analisa data dengan menggunakan uji statistik chi-square
(Kai Kuadrat) 2x2, diperoleh nilai probabilitas 0,001 (<0,05) maka hal ini
menunjukkan (p value < α), yang berarti hipotesis 1 (H1) diterima, yaitu dapat
dikatakan bahwa terdapat terdapat hubungan faktor genetik dengan penurunan
visus mata (Low Vision) pada mahasiswa tingkat kedua Program Studi
Kedokteran Universitas Tadulako. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mutti
(2012), yang menyatakan bahwa keturunan merupakan faktor terpenting yang
59

berhubungan dengan penurunan tajam penglihatan. Beberapa individu yang


menderita miopia, kemungkinan besar terkait dengan genetik jika terpajan oleh
faktor lingkungan tertentu. Prevalensi miopia yang tinggi pada beberapa
kelompok etnik tertentu (Cina dan Jepang) menunjukkan bahwa genetik
memainkan peranan yang penting, namun perubahan prevalensi pada beberapa
generasi terakhir menunjukkan bahwa faktor lingkungan juga merupakan
faktor yang penting.
Hasil distribusi juga memperlihatkan pada mahasiswa angkatan 2015
Program Studi Kedokteran Universitas Tadulako yang mempunyai riwayat
kelainan refraksi pada orang tua mengalami penurunan visus mata yaitu 18
orang (33,3%), ada riwayat tetapi tidak penurunan visus mata yaitu 16 orang
(29,6%), tidak ada riwayat dan mengalami penurunan visus mata 1 orang
(1,9%), dan tidak ada riwayat dan tidak mengalami penurunan visus mata
berjumlah 19 orang (35,2%). Menurut Huang (2016) selain dampak optik
miopia pada ketajaman penglihatan dan biaya yang terkait koreksi, miopia dan
refraksi lain merupakan faktor risiko utama untuk penyakit mata. Miopia
meningkatkan risiko penyakit mata, termasuk glaukoma, katarak, dan infeksi
pada retina. Risiko yang terkait dengan miopia yang signifikan bahkan dalam
miopia rendah (<3 dioptri [D]) dan sebanding untuk risiko orang yang merokok
dan terkena hipertensi untuk penyakit kardiovaskular. Miopia adalah faktor
risiko utama untuk terjadinya Blindness Maculopathy, merupakan penyebab
paling umum kedua Low Vision di Beijing.
Menurut Carlo (2016) faktor genetik mewarisi dari degenerasi retina yang
penyebarannya luas sehingga gangguan herediter ini dapat mempengaruhi
retina. Biasanya, penyakit ini mempengaruhi sel kerucut dan sel batang
fotoreseptor serta epitel pigmen retina (RPE), kemajuannya lambat sehingga
menyebabkan ireversibel dan hilangnya ketajaman penglihatan dari mata.
Degenerasi makula yang paling umum terkait dengan mutasi pada gen ABCA4
dan sering disebut sebagai fundus flavimaculatus. Kondisi ini terkait dengan
penurunan progresif pada ketajaman penglihatan.
60

2. Hubungan Durasi Aktivitas Membaca Dekat Dengan Penurunan Visus


Mata (Low Vision)
Melalui analisa data didapatkan hasil uji chi-square (Kai Kuadrat) 2x2,
diperoleh nilai probabilitas 0,001 (<0,05) maka hal ini menunjukkan
(p value < α), yang berarti hipotesis 1 (H1) diterima, yaitu terdapat hubungan
durasi aktivitas membaca dekat dengan penurunan visus mata (Low Vision)
pada mahasiswa tingkat kedua Program Studi Kedokteran Universitas
Tadulako. Hal ini telah sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh William.
Menurut William (2016) prevalensi penurunan visus mata terjadi pada meraka
yang mengambil pendidikan tinggi adalah sekitar dua kali lipat dibandingkan
pada mereka dengan pendidikan primer (dasar). Peningkatan prevalensi miopia
disebabkan oleh multifaktorial. Peningkatan prevalensi miopia akibat
meningkatnya penggunaan komputer, peningkatan waktu belajar, dan
sedikitnya waktu yang dihabiskan di luar ruangan. Menurut Tiharyo (2012)
faktor resiko yang paling nyata dengan penurunan visus mata adalah
berhubungan dengan aktivitas jarak dekat, seperti membaca, menulis,
menggunakan komputer dan bermain video game.
Data distribusi hasil yang dilakukan pada diperoleh pada mahasiswa
angkatan 2015 Program Studi Kedokteran Universitas Tadulako yang
memenuhi syarat dalam durasi aktivitas membaca dekat dan mengalami
penurunan visus mata yaitu 11 orang (20,4%), yang memenuhi syarat tetapi
tidak penurunan visus mata yaitu berjumlah 4 orang (7,4%), yang tidak
memenuhi syarat tetapi mengalami penurunan visus mata berjumlah 8 orang
(14,8%), dan yang tidak memenuhi syarat dan tidak penurunan visus mata
yaitu 31 orang (57,4%). Sampel yang mengalami astenopia mata (kelelahan
mata) yaitu 39 orang mahasiswa dengan persentase 72,22% dan yang tidak
mengalami keluhan kelelahan mata yaitu 15 orang mahasiswa dengan
persentase 27,78%. Penelitian yang dilakukan oleh Chalasani (2012) di
Fakultas Kedokteran Grant Norwegia, juga menunjukkan bahwa 78%
mahasiswa kedokteran tahun pertama mengalami miopia, dan prevalensi
miopia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran dua kali lebih tinggi dari pada
61

populasi biasa. Dari total mahasiswa yang mengambil masuk ke kurikulum


NRI Medical College didapatkan penurunan visus yang meningkat setiap
tahunnya.
Hasil penelitian ini juga terlihat banyak mahasiswa kedokteran yang
melakukan aktivitas membaca dekat dengan durasi yang lama. Terdapat teori
yang menyatakan bahwa faktor gaya hidup yaitu aktivitas melihat dekat yang
terlalu banyak, seperti membaca buku, menonton TV, melihat layar komputer,
bermain video game, dapat menyebabkan melemahnya otot siliaris mata
sehingga mengakibatkan gangguan otot untuk melihat jauh. Daerah perkotaan
yang padat juga mengakibatkan sempitnya ruang bermain sehingga anak
cenderung melakukan aktivitas bermain di dalam ruangan yang jarang
menggunakan penglihatan jauh (Fachrian dkk, 2009).
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, maka dapat disimpulkan
bahwa :
3. Adanya hubungan bermakna antara faktor genetik dengan penurunan visus
mata (low vision) pada mahasiswa tingkat kedua program studi kedokteran
Universitas Tadulako dengan p value 0,001.
4. Adanya hubungan bermakna antara durasi aktivitas membaca dekat dengan
penurunan visus mata (low vision) pada mahasiswa tingkat kedua program
studi kedokteran Universitas Tadulako dengan p value 0,001.
5. Distribusi gambaran visus mata pada mahasiswa tingkat kedua Program Studi
Kedokteran Universitas Tadulako yang mengalami penurunan visus mata
(low vision) sebanyak 19 orang (35,2%) dan yang tidak mengalami
penurunan visus mata (low vision) sebanyak 35 orang (64,8%).

B. Saran
1. Bagi pemerintah sebaiknya lebih ditingkatkan pemeriksaan ketajaman
penglihatan pada kelompok usia yang sering terpapar dengan faktor resiko
penurunan visus mata . Skrining kelainan tajam penglihatan dianjurkan untuk
dilakukan di tiap-tiap sekolah atau secara berkala pada anak usia sekolah.
2. Bagi masyarakat dapat dijadikan acuan bahwa mata adalah organ visualisasi
yang penting jadi perlu dihindari faktor-faktor apa saja yang dapat mengurangi
kualitas dalam tajam penglihatan.
3. Faktor genetik cenderung tidak dapat dihindari.walaupun demikian, hal yang
dapat dilakukan adalah mencegah agar tidak terjadi penurunan visus mata
secara signifikan dengan: mengubah kebiasaan buruk, misalnya batasi jam
membaca ≤ 2 jam lalu istirahatkan mata dan mengatur jarak baca yang tepat
yaitu 30 sentimeter

62
63

4. Bagi peneliti lain, dapat mengembangkan metode penelitian yang lebih baik
dengan mengidentifikasi faktor lain seperti posisi membaca, penerangan, dan
lain sebagainya yang dapat menyebabkan penurunan visus mata pada
seseorang.
5. Diperlukan penelitian lebih lanjut dalam jumlah sampel yang jauh lebih besar
dengan mengevaluasi keadaan penurunan visus mata pada kelompok orang
yang beresiko.
DAFTAR PUSTAKA

Arianti. (2013). Hubungan Antara Riwayat Miopia Di Keluarga Dan Lama


Aktivitas Jarak Dekat Dengan Miopia Pada Mahasiswa PSPD Untan
Angkatan 2010-2012. Repository UNTAN, pp. 4-5. [Diakses 11 Juli 2016].
dari [http://download.portalgaruda.org/article.php?article=111639&val=2307].

Carlo, T. E., Adhi, M., Salz, D. A., Joseph, T., Waheed, N. K., Seddon, J. M.,
Duker, J. S., Reichel, E. (2016). Analysis of Choroidal and Retinal Vasculature
in Inherited Retinal Degenerations Using Optical Coherence Tomography
Angiography. Ophthalmic Surgery, Lasers & Imaging Retina. pp. 120-1
[Diakses 11 Juli 2016]. dari [http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26878444].

Cassidy,J & Olver, L. (2011). At a Glance Oftalmology. Jakarta: Erlangga


Medical Series

Chalasani, S., Jampala, V. K., Nayak, P. (2012). Myopia among Medical


Students-A Cross Sectional Study in A South Indian Medical College. Al
Ameen J Med Sci, vol 5, no 3, pp. 239-40. [Diakses 11 Juli 2016]. dari
[http://ajms.alameenmedical.org/ArticlePDFs/AJMS%20V5.N3.2012%20p
%20233-242.pdf].

Duran, M., D., P., Moreno, V., Z., Medina, J., J., G., Arevalo, J., F., Pinazo, R.,
G., Nucci, C. (2016). Eclectic Ocular Comorbidities and Systemic Diseases
with Eye Involvement: A Review. Hindawi Publishing Corporation BioMed
Research International, pp. 2. [Diakses 11 Juli 2016]. Dari
[https://www.hindawi.com/journals/bmri/2016/6215745/].

Fachrian D., Rahayu A.R., Naseh A.P. (2009). Prevalensi Kelainan Tajam
Penglihatan pada Pelajar SD “X” Jatinegara Jakarta Timur. Jurnal Kedokteran
Indonesia, Vol 59, no 6. Pp. 11. [Diakses 7 November 2016]. dari
[http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/
646/%20641]

64
65

Fadhillah, S. L. (2013). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keluhan


Kelelahan Mata Pada Penggunaan Komputer di Accounting Group PT Bank
X, Jakarta Tahun 2013. Repository UIN JKT, pp 2-3. [Diakses 14 Juli 2016].
Dari [http://repository.uinjkt.ac.id].

Frick, K. D., Joy, S. M., Wilson, D. A., Naidoo, K. S., Holden, B. A. (2015). The
Global Burden of Potential Productivity Loss from Uncorrected Presbyopia.
American Academy Of Ophthalmology, pp. 1706-7. [Diakses 11 Juli 2016].
dari [http://www.aaojournal.org/article/s0161-6420(15)00366-8/pdf].

Galvis, V., Tello, A., Parra, M. M. (2015). Re: Ueno et al.: Corneal thickness
profile and posterior corneal astigmatism in normal corneas. American
Academy Of Ophthalmology, vol 122, no 11, pp. 66. [Diakses 11 Juli 2016].
dari [http://www.aaojournal.org/article/S0161-6420(15)00091-3/.pdf].

Ganong, W. F. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: EGC

Guyton and Hall. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC

Hartono. (2009). Oftalmoskopi: Dasar dan Klinik. Yogyakarta: Pustaka Cedikia

Hasibuan, F. S. (2009). Hubungan Faktor Keturunan, Lamanya Bekerja Jarak


Dekat, Dengan Miopia Pada Mahasiswa FK USU. Repository FK USU.
[Diakses 9 Juli 2016]. dari [repository.usu.ac.id].

Huang, J., Wen, D., Wang, Q., McAlinden, C., Flitcroft, I., Chen, H., Saw, S. M.,
Chen, H., Bao, F., Zhao, Y., Hu, L., Li, X., Gao, R., Lu, W., Du, Y., Jinag, Z.,
Yu, A., Lian, H. (2016). Efficacy Comparison of 16 Interventions for Myopia
Control in Children A Network Meta-analysis. American Academy Of
Ophthalmology, pp 697-98. [Diakses 14 Juli 2016]. dari
[http://www.aaojournal.org/article/S0161-6420(15)01356-1/.pdf].

Ilyas, S. (2014). Buku Ajar Penyakit Mata. Edisi 5. Jakarta: EGC.

James, B., Chew, C., Bron, A. (2006). Lecture Notes Oftalmologi. Edisi 9.
Jakarta: Erlangga Medical Series
66

Kessel, L., Andresen, J., Tendal, B., Erngaard, D., Flesner, P., Hjortdal, J. (2016).
Toric Intraocular Lenses in the Correction of Astigmatism During Cataract
Surgery : A Systematic Review and Meta-analysis. American Academy Of
Ophthalmology, pp. 275-76. [Diakses 11 Juli 2016]. dari
[http://www.aaojournal.org/article/S0161-6420%2815%2901148-3/].

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Standar Profesi Refraksionis


Optisien. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
573/Menkes/SK/VI/2008. [Diakses 11 Juli 2016]. dari
[https://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMKNo.572ttgStandar
ProfesiRefraksionisOptisien.pdf].

Morgan, I. G. & He, M. (2016). An Important Step Forward in Myopia


Prevention: Low-Dose Atropine. American Academy Of Ophthalmology, pp
232. [Diakses 11 Juli 2016]. dari [http://www.aaojournal.org/article/S0161-
6420%2815%2901189-6/references].

Mutti, D. O., Mitchell, G. L., Moeschberger, M. L., Jones, L. A., Zadnik, K. (2012).
“Parental Myopia, Near Work, School Achievement, and Children’s Refractive
Error”. Investigative Ophthalmology & Visual Science. Vol 43, no 12. Pp. 3633
[Diakses 7 November 2016]. dari [http://iovs.arvojournals.org/article.aspx?
articleid=2162292]

Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika

Nurullah, N. (2013). Hubungan Antara Jenis Kelamin, Faktor Genetik Dan


Aktivitas Melihat Jarak Dekat Dengan Kejadian Miopia Pada Pelajar SMK.
ST Patrick Di Sabah, Malaysia. Repository FK UNHAS. [Diakses 9 Juli
2016]. dari [repository.unhas.ac.id].

Pheasant, Stephen. 1991. Ergonomic: Work and Health. Maryland: Asphen


Publisher
67

Pusat Data dan Informasi KEMENKES RI. (2014). Situasi Gangguan


Penglihatan dan Kebutaan. Jakarta: KEMENKES RI

Sherwood, L. (2013). Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta:


EGC

Silverthorn, D. U., Jhonson, B. R., Ober, W. C., Garrison, C. W., Slverthorn, A.


C. (2014). Fisiologi Manusia: Sebuah Pendekatan Terintergrasi. Edisi 6.
Jakarta: EGC

Strom, S. P., Clark, M. J., Martinez, A., Garcia, S., Abelazeem, A., Matynia, A.,
Parikh, S., Sullivan, L. S., Bowne, S. J., Daiger, P. S., Gorin, M. B. (2016). De
Novo Occurrence of a Variant in ARL3 and Apparent Autosomal Dominant
Transmission of Retinitis Pigmentosa. PLOS ONE Journal : Research Article,
pp. 2. [Diakses 14 Juli 2016]. dari [http://journals.plos.org/plosone/article?
id=10.1371/journal.pone.0150944].

Tamboto, P. F. C., Wungouw, H., I. S., Pangemanan, D. H. C. (2015). Gambaran


Visus Mata Pada Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam
Ratulangi. Jurnal e-Biomedik, vol. 3, no.3, pp. 606. [Diakses 11 Juli 2016].
dari [http://ejournal.unsrat.ac.id/].

Tiharyo, I., Gunawan, W., Suhardjo. (2012). Pertambahan Miopia Pada Anak
Sekolah Dasar Daerah Perkotaan dan Pedesaan di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Jurnal Oftamologi Indonesia, vol 6, no. 2, pp. 1-2. [Diakses 11 Juli
2016]. dari [http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-06.ok-Lap.
%20Penlt.%20Dr.%20Imam%20T.pdf].

Tortora, G. J & Derrickson, B. (2012). Principles of Anatomy & Physiology. 13th


Edition. United State of America: John Wiley & Sons, Inc.

Vaughan, D. G., Asbury, T., Eva, P. R. (2010). Oftalmologi Umum. Edisi 17.
Jakarta: EGC.
68

Weisschuh, N., Mayer, A. K., Strom, T. M., Kohl, S., Glockle, N., Schubach, M.,
Andreasson, S., Bernd, A., Birch, D. G., Harnel, C. P., Hackenlively, J. R.,
Jacobson, S. G., Kamme, C., Kellner, U., Kunstmann, E., Maffei, P., Reiff, C.
M., Rohrschneider, K., Rosenberg, T., Rudolph, G., Vamos, R., Varsanyi, B.,
Weleber, R. G., Wissinger, B. (2016). Mutation Detection in Patients with
Retinal Dystrophies Using Targeted Next Generation Sequencing. PLOS ONE
Journal: Research Article, pp. 1-2. [Diakses 14 Juli 2016]. dari
[http://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0145951].

Williams, K. M., Bertelsen, G., Cumberland, P., Wolfram, C., Verhoeven, V. J.,
M., Anastasopoulos, E. (2015). Increasing Prevalence of Myopia in Europe
and the Impact of Education. American Academy Of Ophthalmology, vol 123,
no 4. Pp. 1489-90. [Diakses 14 Juli 2016]. dari
[http://www.aaojournal.org/article/S0161-6420%2815%2900280-8/pdf].

Yurisa. (2008). Etika Penelitian Kesehatan. Riau: Universitas Riau.


LAMPIRAN

69
70

Lampiran 1

Informed Consent

SURAT PERSETUJUAN RESPONDEN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama :

Stambuk :

Kelompok :

Angkatan :

No.HP :

Setelah mendapat penjelasan mengenai prosedur penelitian, dengan ini saya bersedia
berpartisipasi sebagai responden dalam penelitian yang dilakukan oleh saudara Diki Pranatal
Ramba Sibannang selaku mahasiswa Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Tadulako dengan judul “Hubungan Faktor Genetik dan Durasi Aktivitas
Membaca Dekat dengan Penurunan Visus Mata (Low Vision) Pada Mahasiswa Tingkat Kedua
Program Studi Kedokteran Universitas Tadulako”, dengan suka reladan tanpa paksaan dari
siapapun. Penelitian ini tidak akan merugikan saya ataupun berakibat buruk bagi saya dan
keluarga saya. Kerahasiaan semua informasi akan dijaga dan dipergunakan untuk kepentingan
penelitian maka jawaban yang saya berikan adalah yang sebenar-benarnya. Demikian surat
persetujuan ini saya buat untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Palu, Oktober 2016

Responden

(…………………………..)
71

Lampiran 2

Definisi pada kuisioner

1. Miopia adalah rabun jauh tetapi dapat melihat jarak dekat, koreksi lensa dengan lensa
negatif

2. Hipermetropia adalah rabun dekat tetapi dapat melihat jauh, koreksi lensa dengan lensa
positif

3. Astigmatisma adalah penyimpangan dalam pembentukkan bayangan pada lensa, hal ini


disebabkan oleh cacat lensa yang tidak dapat memberikan gambaran/ bayangan garis
vertikal dengan horizotal secara bersamaan, sehingga jika melihat garis seperti melihat
banyak garis yang terbayang-bayang, koreksi lensa dengan lensa silinder.

4. Presbiopia cacat mata tua, akibat lemahnya otot penglihatan mata, koreksi lensa yaitu
dengan lensa gabungan positif dan negatif
72

Lampiran 3

Kuesioner Hubungan antara Faktor Genetik dan Durasi Aktivitas Jarak Dekat dengan
Penurunan Visus Mata pada Mahasiswa Tingkat Kedua Program Studi Kedokteran
Universitas Tadulako

Nama Mahasiswa :……………………………………………………………………

Tanggal :……………………………………………………………………

Umur :……………………………………………………………………

Stambuk :……………………………………………………………………

Jenis Kelamin :……………………………………………………………………

VOD :……………………… (Diisi Peneliti)

VOS :……………………….(Diisi Peneliti)

Faktor Genetik

Ceklistlah (√) pilihan jawaban dari pertanyaan dibawah ini

1. Apakah anda mengalami kelainan refraksi mata (seperti Miopia, Hipermetropia atau
Astigmatisma) ?

Ya Tidak

2. Apakah anda memakai kacamata koreksi ?

Ya Tidak

3. Apakah orang tua anda mengalami kelainan refraksi (seperti Miopi, Hipermetropi
atau Astigmatisma) atau presbiopia ?

Ya Tidak
73

4. Apakah Orang Tua anda memakai kacamata koreksi ?

Ya, kedua atau salah satu Orang Tua saya

Tidak

Durasi Aktivitas Jarak Dekat

1. Berapa lama waktu maksimum anda yang digunakan untuk membaca bacaan materi
menggunakan buku/gadget/laptop tanpa melakukan istirahat __________

2. Berapa jarak mata anda saat membaca bacaan materi pada buku/gadget/laptop_________

3. Setelah melakukan aktivitas membaca, apakah anda merasakan keluhan kelelahan mata.
Ceklislah (√) pilihan jawaban pada pernyataan dibawah ini

No Keluhan yang dirasakan Ya Tidak

1 Nyeri/terasa berdenyut disekitar


mata

2 Penglihatan kabur

3 Penglihatan rangkap/ganda

4 Sulit focus

5 Mata perih

6 Sakit kepala

7 Pusing disertai mual

8 Mata merah

9 Mata berair
74

Lampiran 4

HASIL VISUS MATA DAN KUESIONER

No Sampling Coding VOD VOS 1 2 3 4 5 6 7


1 A1 6/5 6/5 2 2 2 2 2 2 2
2 A2 6/9 6/7,5 2 2 1 1 2 2 1
3 A3 6/18 6/6 1 2 1 1 1 1 1
4 A4 6/5 6/7,5 2 2 1 1 2 2 2
5 A5 6/5 6/5 2 2 2 2 2 1 2
6 A6 6/6 6/6 2 2 2 2 2 2 1
7 A7 6/5 6/5 2 2 2 2 2 2 1
8 A8 6/5 6/5 1 2 1 1 2 2 1
9 A9 6/9 6/10 2 2 2 2 1 2 2
10 A10 6/18 6/15 1 1 1 1 2 1 1
11 B1 6/5 6/12 1 1 1 1 2 1 1
12 B2 6/7,5 6/9 2 2 1 1 2 2 1
13 B3 6/5 6/5 2 2 2 2 1 2 1
14 B4 6/12 6/12 1 1 2 2 1 1 1
15 B5 6/20 6/15 1 1 1 1 2 2 1
16 B6 6/5 6/5 2 2 2 2 2 2 1
17 B7 6/12 6/18 1 1 1 1 2 2 1
18 B8 6/60 6/60 1 1 1 1 1 1 1
19 B9 6/5 6/6 2 2 2 2 2 1 1
20 B10 6/5 6/5 2 2 2 2 2 2 1
21 C1 6/300 6/300 1 1 1 1 2 2 1
22 C2 6/15 6/10 1 1 1 1 1 1 1
23 C3 6/5 6/5 2 2 1 1 1 1 1
24 C4 6/6 6/6 2 2 2 2 2 2 2
25 C5 6/50 6/50 1 1 1 1 1 1 1
26 C6 6/5 6/5 2 2 1 1 1 2 1
27 C7 6/5 6/5 2 2 1 1 2 2 2
28 C8 6/5 6/6 2 2 1 1 2 2 1
29 C9 6/60 6/60 1 1 1 1 1 1 1
30 C10 6/6 6/6 2 2 2 2 2 2 2
31 D1 1/60 6/60 1 1 1 1 1 1 1
32 D2 6/6 6/6 2 2 1 1 2 2 2
33 D3 6/6 6/6 2 2 1 1 2 2 2
34 D4 6/6 6/6 2 2 2 2 2 1 1
35 D5 6/6 6/6 2 2 2 2 2 2 1
36 D6 6/10 6/10 1 1 1 1 1 1 1
37 D7 6/6 6/6 2 2 1 1 1 1 1
38 D8 6/6 6/6 2 2 2 2 2 2 1
75

39 D9 6/5 6/5 2 2 1 1 2 1 1
40 D10 6/6 6/5 2 2 1 1 2 2 1
41 E1 6/6 6/6 2 2 2 2 2 1 1
42 E2 6/50 6/20 1 1 1 1 1 1 1
43 E3 6/6 6/6 2 2 2 2 2 2 2
44 E4 6/6 6/6 2 2 1 1 2 2 1
45 E5 6/6 6/6 2 2 2 2 2 1 2
46 E6 6/6 6/6 2 2 1 1 2 2 1
47 E7 6/7,5 6/6 2 2 2 2 2 2 2
48 E8 6/40 6/40 1 1 1 1 1 1 1
49 E9 6/5 6/5 1 1 2 2 2 1 1
50 E10 6/20 6/50 1 1 1 1 1 1 1
51 D1 6/5 6/5 2 2 1 1 2 2 2
52 D2 6/5 6/5 2 2 1 1 2 2 1
53 D3 6/5 6/5 2 2 1 1 2 2 2
54 D4 6/6 6/6 2 2 1 1 2 2 2
76

Lampiran 5

VALIDASI KUISIONER
77
78

Lampiran 6

HASIL ANALISA DATA MENGGUNAKAN SPSS

A. Faktor Genetik dengan Penurunan Visus Mata (Low Vision)


79
80

B. Durasi Aktivitas Membaca Dekat dengan Penurunan Visus Mata


81
82
83

Lampiran 7

DOKUMENTASI PENELITIAN

Gambar 1. Proses pengisian kuesioner yang dilakukan oleh sampel penelitian

Gambar 2. Tahap preparasi untuk pengujian visus mata


84

Gambar 3. Proses pengujian visus Mata

Gambar 4. Sampel yang sedang dilakukan pemeriksaan visus mata


85

Gambar 5. Snellen Chart 6 meter


86

Lampiran 8

SURAT PENELITIAN
87
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DIKI PRANATAL RAMBA SIBANNANG, anak ketiga dari tiga


bersaudara ini adalah putra kandung dari pasangan bapak Ir. Andarias
Sibannang dan ibu dr. Yuliana Ramba. Lahir di Tana Toraja pada
tanggal 10 Desember 1995. Saat ini penulis menetap di Kota Palu.
Penulis lahir dan dibesarkan ditengah lingkungan keluarga yang
mementingkan agama dan pendidikan, berikut riwayat pendidikan
penulis:
Taman Kanak-kanak : TK GKST Imanuel Palu (1999-2001)
Sekolah Dasar : SD GKST Imanuel Palu (2001-2007)
SMP : SMP Negeri 2 Palu (2007-2010)
SMA : SMA Negeri 2 Palu (2010-2013)
Universitas : Universitas Tadulako (2013-2017)
Selama masa perkuliahan penulis :
1. Menjabat sebagai Asisten Dosen Departemen Fisiologi Program Studi Kedokteran Untad Periode
2015-2017
2. Menjabat sebagai Koordinator Bidang Pendidikan dan Profesi HMPD FKIK Untad Periode 2015-
2016.
3. Menjabat sebagai Executive Board of Research and Academic Asian Medical Students’ Association
(AMSA) Untad Periode 2014-2015.
4. Menjabat sebagai Anggota Pembinaan Kerohanian PMK Faith Untad Periode 2015-2016
5. Anggota Tim Bantuan Medis AXIS (TBM AXIS) Untad.
Melakukan penelitian dengan judul “ Hubungan Faktor Genetik dan Aktivitas Membaca Dekat Dengan
Penurunan Visus Mata (Low Vision) Pada Mahasiswa Tingkat Kedua Program Studi Kedokteran
Universitas Tadulako” tahun 2016 dan dinyatakan LULUS pada tahun 2017

Anda mungkin juga menyukai