Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Pancasila adalah dasar filsafat negara Republik Indonesia yang secara resmi disahkan
oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang
diundangkan dalam berita Republik Indonesia tahun II No.7 bersamaan dengan batang
tubuh UUD 1945.
Pancasila sebagai paradigma dimaksudkan bahwa Pancasila sebagai sistem nilai
acuan, kerangka-acuan berpikir, pola acuan berpikir; atau jelasnya sebagai sistem nilai
yang dijadikan kerangka landasan, kerangka cara, dan sekaligus kerangka arah atau tujuan
bagi yang menyandangnya.
Kehidupan NKRI ini tergantung kepada seberapa besar penghargaan warga Negara
terhadap Pancasila, baik dari segi pengkajian dan pengamalan Pancasila itu sendiri dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai tertib hukum tertinggi keberadaan Pancasila tidak dapat diganggu gugat,
karena merubah dan mengamandemen Pancasila sama halnya dengan membubarkan NKRI
yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Memang fakta sejarah membuktikan
berkali-kali konstitusi Negara ini diubah-ubah, dimulai dengan keluarnya peraturan
pemerintah yang mengganti sistem presidensil dengan system parlementer, hingga
ditetapkannya konstitusi RIS yang RI merupakan salah satu Negara bagian saja dari Negara
Federal tersebut, sebagai akibat ditandatanganinya perjanjian KMB. Seiring bergulirnya
waktu konstitusi RIS pun akhirnya diubah. Dengan diadakannya pemilu 1955, yang salah
satu tujuannya adalah memilih anggota konstituante. Dewan Konstituante diberi mandat
untuk menyusun konstitusi baru bagi Negara, namun rencana pembentukan dasar Negara
baru itupun gagal, seiring dengan keluarnya dekrit presiden 5 Juli 1959, yang menyatakan
kembali ke UUD 1945.Suatu pembuktian bahwa rakyat Indonesia membutuhkan Pancasila
untuk merekat persatuan diantara mereka.
Sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia, pancasila mengalami berbagai
macam interpretasi dan manipulasi politik. Karena hal tersebut pancasila tidak lagi
diletakkan sebagai dasar filsafat serta pandangan hidup bangsa dan negara Indonesia
melainkan direduksi, dibatasi dan dimanipulasi demi kepentingan politik penguasa pada
saat itu. Pancasila sebagai paradigma dimaksudkan bahwa Pancasila sebagai sistem nilai
acuan, kerangka acuan berpikir, pola acuan berpikir atau lebih jelasnya sebagai sistem nilai
yang dijadikan kerangka landasan, kerangka cara, dan sekaligus kerangka arah ataun
tujuan bagi yang menyandangnya antara lain adalah bidang politik, bidang ekonomi,
bidang sosial budaya, bidang hukum, dan bidang kehidupan antar umat beragama di
Indonesia.
B.            Rumusan Masalah
1.    Apa yang dilaksud dengan paradigma?
2.    Jelaskan pancasila sebagai paradigma kehidupan Bangsa Indonesia ditinjau dari kodrat
manusia!
3.    Jelaskan nilai nilai pancasila sebagai paradigma reformasi dalam perkembangan
ketatanegaraan Republik Indonesia
C.           Tujuan
1.    Mengetahui apa yang dimaksud dengan paradigma.
2.    Mengetahui pancasila sebagai paradigma kehidupan Bangsa Indonesia ditinjau dari kodrat
manusia.
3.    Mengetahui nilai-nilai pancasila sebagai paradigma reformasi dalam perkembangan
ketatanegaraan Republik Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian Paradigma

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003) yang dilaksud dengan paradigma
adalah daftar semua bentukan dari sebuah kata yang memperlihatkan konjugasi dan
deklinasi kata tersebut (Ling), model dalam teori ilmu pengetahuan, kerangka berpikir.
Paradigma secara sederhana dapat diartikan sebagai kerangka pikir untuk melihat
suatu permasalahan. Pengertian paradigma berkembang dari definisi paradigma
pengetahuan yang dikembangkan oleh Thomas Kuhn dalam rangka menjelaskan cara kerja
dan mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya ilmu-ilmu alam. Paradigma
pengetahuan merupakan perspektif intelektual yang dalam kondisi normal memberikan
pedoman kerja terhadap ilmuwan yang membentuk ‘masyarakat ilmiah’ dalam disiplin
tertentu.
Robert Winslow menambahkan pengertian paradigma ilmiah sebagai gambaran
intelektual yang daripadanya dapat ditentukan suatu subjek kajian. Perspektif intelektual
inilah yang kemudian akan membentuk ilmu pengetahuan normal (normal science) yang
mendasari pembentukan kerangka teoritis terhadap kajian-kajian ilmiah.
George Ritzer memberikan pengertian paradigma sebagai gambaran fundamental
mengenai subjek ilmu pengetahuan. Paradigma memberikan batasan mengenai apa yang
harus dikaji, pertanyaan yang harus diajukan, bagaimana harus dijawab dan aturan-aturan
yang harus diikuti dalam memahami jawaban yang diperoleh.
Paradigma ialah unit konsensus yang amat luas dalam ilmu pengetahuan dan dipakai
untuk melakukan pemilahan masyarakat ilmu pengetahuan (sub-masyarakat) yang satu
dengan masyarakat pengetahuan yang lain. Paradigma membantu para ilmuwan dan
teoritisi intelektual untuk memandu, mengintegrasikan dan menafsirkan karya mereka
agar terhindar dari penciptaan informasi yang acak dan tidak beraturan.
Menurut Kuhn, tidak ada sejarah kehidupan yang dapat diinterpretasikan tanpa
sekurang-kurangnya beberapa bentuk teori dan keyakinan metodologik implicit yang
berkaitan satu sama lain yang memungkinkan untuk melakukan seleksi, evaluasi dan
bersikap kritis. Meskipun terlihat terlalu bernuansa akademis, sebenarnya paradigma tidak
menjadi bahan kaji atau dominasi para kaum intelektual untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan, paradigma juga mungkin diterapkan pada ranah-ranah kehidupan sosial
yang lain. Sebenarnya Kuhn mendapatkan gagasannya mengenai paradigma tersebut dari
dunia sejarah dan sastra yang kemudian diterapkannya ke dalam domain ilmu-ilmu alam
yang pada waktu itu dianggap sebagai satu-satunya ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah.
Sedangkan cabang ilmu pengetahuan yang sekarang telah dianggap sebagai ilmu, dulunya
hanya dianggap sebagai seni saja misalnya sejarah, sastra, dan politik.

B.            Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan Bangsa Indonesia Ditinjau dari Kodrat
Manusia.
Pancasila sebagai paradigma dimaksudkan bahwa Pancasila sebagai sistem nilai
acuan, kerangka-acuan berpikir, pola-acuan berpikir; atau jelasnya sebagaisistem nilai
yang dijadikan kerangka landasan, kerangka cara, dan sekaligus kerangka arah atau tujuan
bagi yang menyandangnya.
Yang menyandangnya itu di antaranya:
(a) bidang politik, (b) bidang ekonomi, (c) bidang social budaya, (d) bidang hukum,
(e) bidang kehidupan antar umat beragama, Memahami asal mula Pancasila.

1. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan

Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan.
Menurut Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut
menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma.
Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi
pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Istilah paradigma makin lama makin
berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti
bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi.
Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir,
kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan.
Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok
ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan.
Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam
melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia. Pancasila sebagai paradigma, artinya
nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur
segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai
konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila sebagai
dasar negara dan ideologi nasional.
Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara
Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia maka
tidak berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur penyelenggaraan
bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan.
Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat
manusia menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang
monopluralis tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain:

a. susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga


b. sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial
c. kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan.
Berdasarkan itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan
harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga,pribadi, sosial, dan aspek
ketuhanan. Secara singkat, pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan manusia
secara totalitas.
Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia
secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang
mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi bidang politik,
ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Pancasila menjadi paradigma dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya,
dan pertahanan keamanan.
a.              Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Politik

Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau
pelaku politik bukan sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari kodrat manusia maka
pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sistem
politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan
kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai paradigma adalah sistem
politik demokrasi bukan otoriter.
Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan
(sila IV Pancasila). Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik didasarkan pada asas-
asas moral daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem
politik Indonesia dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral
persatuan, moral kerakyatan, dan moral keadilan.
Perilaku politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara negara
dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik yang
santun dan bermoral.
Pancasila sebagai paradigma pengembangan sosial politik diartikan bahwa Pancasila
bersifat sosial-politik bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin diwujudkan dengan
menggunakan nilai-nilai dalam Pancasila. Pemahaman untuk implementasinya dapat
dilihat secara berurutan-terbalik:
·           Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya, agama, dan
ekonomi dalam kehidupan sehari-hari;
·           Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan keputusan;
·           Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep
mempertahankan persatuan;
·           Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan
beradab;
·           Tidak dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan kemanusiaan
(keadilan-keberadaban) tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di era globalisasi informasi seperti sekarang ini, implementasi tersebut perlu
direkonstruksi kedalam pewujudan masyarakat-warga (civil society) yang mencakup
masyarakat tradisional (berbagai asal etnik, agama, dan golongan), masyarakat industrial,
dan masyarakat purna industrial. Dengan demikian, nilai-nilai sosial politik yang dijadikan
moral baru masyarakat informasi adalah:
Ø  nilai toleransi;
Ø  nilai transparansi hukum dan kelembagaan;
Ø  nilai kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai dengan kata);
Ø  bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000: 3).

b.             Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi

Sesuai dengan paradigma pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan
pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral daripada pancasila. Secara khusus,
sistem ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan (sila I Pancasila) dan
kemanusiaan ( sila II Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas dam
humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang berperikemanusiaan. Sistem ekonomi
yang menghargai hakikat manusia, baik selaku makhluk individu, sosial, makhluk pribadi
maupun makhluk tuhan.
Sistem ekonomi yang berdasar pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal
yang hanya menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem
ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang tidak
mengakui kepemilikan individu.
Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek. Oleh
karena itu, sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan
ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem ekonomi
yang berdasar pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan.
Sistem ekonomi Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan.
Pembangunan ekonomi harus mampu menghindarkan diri dari bentuk-bentuk
persaingan bebas, monopoli dan bentuk lainnya yang hanya akan menimbulkan
penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan warga negara.
Pancasila sebagai paradigma pengembangan ekonomi lebih mengacu pada Sila
Keempat Pancasila; sementara pengembangan ekonomi lebih mengacu pada pembangunan
Sistem Ekonomi Indonesia. Dengan demikian subjudul ini menunjuk pada pembangunan
Ekonomi Kerakyatan atau pembangunan Demokrasi Ekonomi atau pembangunan Sistem
Ekonomi Indonesia atau Sistem Ekonomi Pancasila.
Dalam Ekonomi Kerakyatan, politik/kebijakan ekonomi harus untuk sebesarbesar
kemakmuran/kesejahteraan rakyat yang harus mampu mewujudkan perekonomian
nasional yang lebih berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat (tidak lagi yang seperti
selama Orde Baru yang telah berpihak pada ekonomi besar/konglomerat). Politik Ekonomi
Kerakyatan yang lebih memberikan kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi
rakyat yang mencakup koperasi, usaha kecil, dan usaha menengah sebagai pilar utama
pembangunan ekonomi nasional.
Oleh sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan ini ialah koperasi. Ekonomi
Kerakyatan akan mampu mengembangkan program-program kongkrit pemerintah daerah
di era otonomi daerah yang lebih mandiri dan lebih mampu mewujudkan keadilan dan
pemerataan pembangunan daerah.
Dengan demikian, Ekonomi Kerakyatan akan mampu memberdayakan daerah/rakyat
dalam berekonomi, sehingga lebih adil, demokratis, transparan, dan partisipatif. Dalam
Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang demokratis berperanan
memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau
meningkatkan kepastian hukum.

c.              Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya

Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak


dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang
dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial
budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia
yang berbudaya dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-
manusia biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita
menjadi manusia adil dan beradab.
Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan
derajat kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo
menjadi human. Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya
dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang
beragam di seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai
bangsa.
Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial
berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima
sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan
kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial. Paradigma-baru dalam
pembangunan nasional berupa paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dalam
perencanaan dan pelaksanaannya perlu diselenggarakan dengan menghormati hak budaya
komuniti-komuniti yang terlibat, di samping hak negara untuk mengatur kehidupan
berbangsa dan hak asasi individu secara berimbang (Sila Kedua).
Hak budaya komuniti dapat sebagai perantara/penghubung/penengah antara hak
negara dan hak asasi individu. Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang
sentralistik dan yang mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman
kebudayaan Indonesia. Dengan demikian, era otonomi daerah tidak akan mengarah pada
otonomi suku bangsa tetapi justru akan memadukan pembangunan lokal/daerah dengan
pembangunan regional dan pembangunan nasional (Sila Keempat), sehingga ia akan
menjamin keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima) dalam rangka memperkuat
persatuan dan kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakan kedaulatan dan keutuhan
wilayah NKRI (Sila Ketiga).
Apabila dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria sebagai
puncak-puncak kebudayaan, sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi kebudayaan -
kebudayaan di daerah:
1)        Sila Pertama, menunjukan tidak satu pun sukubangsa ataupun golongan sosial dan
komuniti setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa;
2)        Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara
Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun
golongannya;
3)        Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat
majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa yang
berdaulat;
4)        Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan masyarakat
majemuk Indonesia untuk melakukan kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat
relevan untuk mengendalikan nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan
perorangan;
5)        Sila Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang membangkitkan
semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
d.             Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum
Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan
tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia
secara keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah
mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunan pertahanan dan
keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta
(sishankamrata).
Sistem pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah,
dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan
diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan
negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan pada kesadaran atas hak dan
kewajiban warga negara, serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan
dari rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan
negara dan bela negara. Pancasila sebagai paradigma pembangunan pertahanan keamanan
telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002
tentang pertahanan Negara.
Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak
pada falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap
tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945.
Dengan ditetapkannya UUD 1945, NKRI telah memiliki sebuah konstitusi, yang di
dalamnya terdapat pengaturan tiga kelompok materi-muatan konstitusi, yaitu:
1)             adanya perlindungan terhadap HAM
2)             adanya susunan ketatanegaraan negara yang mendasar, dan
3)             adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar.
Sesuai dengan UUD 1945, yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila, Pembukaan UUD
1945 merupakan bagian dari UUD 1945 atau merupakan bagian dari hukum positif. Dalam
kedudukan yang demikian, ia mengandung segi positif dan segi negatif. Segi positifnya,
Pancasila dapat dipaksakan berlakunya (oleh negara); segi negatifnya, Pembukaan dapat
diubah oleh MPR sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945.
Hukum tertulis seperti UUD termasuk perubahannya, demikian juga UU dan
peraturan perundang-undangan lainnya, harus mengacu pada dasar negara (sila - sila
Pancasila dasar negara).

Dalam kaitannya dengan Pancasila sebagai paradigma pengembangan hukum, hukum


(baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak
boleh bertentangan dengan sila-sila:

1) Ketuhanan Yang Maha Esa,


2) Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3) Persatuan Indonesia,
4)   Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
5)   Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, substansi hukum yang dikembangkan harus merupakan
perwujudan atau penjabaran sila-sila yang terkandung dalam Pancasila. Artinya, substansi
produk hukum merupakan karakter produk hukum responsif (untuk kepentingan rakyat
dan merupakan perwujuan aspirasi rakyat).
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Umat Beragama Bangsa
Indonesia sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun, bahkan predikat ini
menjadi cermin kepribadian bangsa kita di mata dunia internasional. Indonesia adalah
Negara yang majemuk, bhinneka dan plural. Indonesia terdiri dari beberapa suku, etnis,
bahasa dan agama namun terjalin kerja bersama guna meraih dan mengisi kemerdekaan
Republik Indonesia kita.
Namun akhir-akhir ini keramahan kita mulai dipertanyakan oleh banyak kalangan
karena ada beberapa kasus kekerasana yang bernuansa Agama. Ketika bicara peristiwa
yang terjadi di Indonesia hampir pasti semuanya melibatkan umat muslim, hal ini karena
mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Masyarakat muslim di Indonesia memang
terdapat beberapa aliran yang tidak terkoordinir, sehingga apapun yang diperbuat oleh
umat Islam menurut sebagian umat non muslim mereka seakan-seakan merefresentasikan
umat muslim.
Paradigma toleransi antar umat beragama guna terciptanya kerukunan umat
beragama perspektif Piagam Madinah pada intinya adalah seperti berikut:

1.      Semua umat Islam, meskipun terdiri dari banyak suku merupakan satu komunitas
(ummatan wahidah).
2.      Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara komunitas Islam dan
komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsi:
a.       Bertentangga yang baik
b.      Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
c.       Membela mereka yang teraniaya
d.      Saling menasehati
e.       Menghormati kebebasan beragama.
Lima prinsip tersebut mengisyaratkan:
1) Persamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara tanpa diskriminasi yang
didasarkan atas suku dan agama;
2) Pemupukan semangat persahabatan dan saling berkonsultasi dalam menyelesaikan
masalah bersama serta saling membantu dalam menghadapi musuh bersama. Dalam
“Analisis dan Interpretasi Sosiologis dari Agama” (Ronald Robertson, ed.) misalnya,
mengatakan bahwa hubungan agama dan politik muncul sebagai masalah, hanya pada
bangsa-bangsa yang memiliki heterogenitas di bidang agama.

Hal ini didasarkan pada postulat bahwa homogenitas agama merupakan kondisi
kesetabilan politik. Sebab bila kepercayaan yang berlawanan bicara mengenai nilai-nilai
tertinggi (ultimate value) dan masuk ke arena politik, maka pertikaian akan mulai dan
semakin jauh dari kompromi.

Dalam beberapa tahap dan kesempatan masyarakat Indonesia yang sejak semula
bercirikan majemuk banyak kita temukan upaya masyarakat yang mencoba untuk
membina kerunan antar masayarakat. Lahirnya lembaga-lembaga kehidupan sosial budaya
seperti “Pela” di Maluku, “Mapalus” di Sulawesi Utara, “Rumah Bentang” di Kalimantan
Tengah dan “Marga” di Tapanuli, Sumatera Utara, merupakan bukti-bukti kerukunan umat
beragama dalam masyarakat.
Ke depan, guna memperkokoh kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia
yang saat ini sedang diuji kiranya perlu membangun dialog horizontal dan dialog Vertikal.
Dialog Horizontal adalah interaksi antar manusia yang dilandasi dialog untuk mencapai
saling pengertian, pengakuan akan eksistensi manusia, dan pengakuan akan sifat dasar
manusia yang indeterminis dan interdependen.
Identitas indeterminis adalah sikap dasar manusia yang menyebutkan bahwa posisi
manusia berada pada kemanusiaannya. Artinya, posisi manusia yang bukan sebagai benda
mekanik, melainkan sebagai manusia yang berkal budi, yang kreatif, yang berbudaya.
C.           Nilai-Nilai Pancasila sebagai Paradigma Reformasi dalam Perkembangan
Ketatanegaraan Republik Indonesia.

Makna Reformasi secara etimologis berasal dari kata reformation dari akar kata
reform, sedangkan secara harafiah reformasi mempunyai pengertian suatu gerakan yang
memformat ulang, menata ulang, menata kembali hal-hal yang menyimpang, untuk
dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang di cita-
citakan rakyat. Reformasi juga di artikan pembaharuan dari paradigma, pola lama ke
paradigma, pola baru untuk memenuju ke kondisi yang lebih baik sesuai dengan harapan
Apabila gerakan reformasi ingin menata kembali tatanan kehidupan yang lebih baik,
tiada jalan lain adalah mendasarkan kembali pada nilai-nilai dasar kehidupan yang dimiliki
bangsa Indonesia. Nilai-nilai dasar kehidupan yang baik itu sudah terkristalisasi dalam
pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Oleh karena itu, pancasila sangat tepat sebagai
paradigma, acuan, kerangka, dan tolok ukur gerakan reformasi di Indonesia.
Reformasi dengan paradigma pancasila adalah sebagai berikut :
1.      Reformasi yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, gerakan reformasi berdasarkan
pada moralitas ketuhanan dan harus mengarah pada kehidupan yang baik sebgai manusia
makhluk tuhan.
2.      Reformasi yang berperikemanusiaan yang adil dan beradab. Artinya, gerakan reformasi
berlandaskan pada moral kemanusiaan yang luhur dan sebagai upaya penataan kehidupan
yang penuh penghargaan atas harkat dan martabat manusia.
3.      Reformasi yang berdasarkan nilai persatuan. Artinya, gerakan reformasi harus menjamin
tetap tegaknya negara dan bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan. Gerakan reformasi
yang menghindarkan diri dari praktik dan perilaku yang dapat menciptakan perpecahan
dan disintegrasi bangsa.
4.      Reformasi yang berakar pada asas kerakyatan. Artinya, seluruh penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara harus dapat menempatkan rakyat sebagai subjek dan
pemegang kedaulatan. Gerakan reformasi bertujuan menuju terciptanya pemerintahan
yang demokratis, yaitu rakyat sebagai pemegang kedaulatan.
5.      Reformasi yang bertujuan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya,
gerakan reformasi harus memiliki visi yang jelas, yaitu demi terwujudnya keadilan sosial
bagi seluruh rakyat. Perlu disadari bahwa ketidakadilanlah penyebab kehancuran suatu
bangsa.

1.      Gerakan Reformasi

Reformasi merupakan suatu perubahan tatanan perikehidupan lama dengan tatanan


perikehidupan yang baru dan secara hukum menuju kearah perbaikan. Gerakan reformasi
yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 merupakan suatu gerakan untuk mengadakan
pembaharuan dan perubahan terutama perbaikan dalam bidang politik, social, ekonomi,
dan hukum.
Beberapa sebab lahirnya gerakan reformasi adalah krisis moneter, ekonomi, politik,
hukum, sosial, budaya, dan kepercayaan terhadap pemerintahan Presiden Suharto. Nilai
tukar rupiah terus merosot. Para investor banyak yang menarik investasinya. Inflasi
mencapai titik tertinggi dan pertumbuhan ekonomi mencapai titik terendah selama
pemerintahan Orde Baru.
Terutama praktek-praktek pemerintahan di bawah orde baru hanya membawa
kebahagiaan semu, ekonomi rakyat menjadi semakin terpuruk sistem ekonomi manjadi
kapitalistik di mana kekuasaan ekonomi di Indonesia hanya berada pada sebagian kecil
penguasa dan kongklomerat. Terlebih lagi merajalelanya praktek Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme pada hampir seluruh instansi serta lembaga pemerintahan, serta
penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang di kalangan para pejabat dan pelaksana
pemerintahan Negara membawa rakyat semakin menderita.
Puncak dari keadaan tersebut ditandai dengan hancurnya ekonomi nasional, maka
timbullah berbagai gerakan masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa, cendekiawan dan
masyarakat sebagai gerakan moral politik yang menuntut adanya Reformasi disegala
bidang terutama bidang politik, ekonomi, dan hukum.
Pada bulan Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai daerah mulai bergerak
menggelar demonstrasi dan aksi keprihatinan yang menuntut penurunan harga barang-
barang kebutuhan (sembako), penghapusan KKN, dan mundurnya Suharto dari kursi
kepresidenan.
Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 di Istana Negara, Presiden Suharto
meletakkan jabatannya sebagai Presiden RI di hadapan Ketua dan beberapa anggota
Mahkamah Agung. Berdasarkan pasal 8 UUD 1945, kemudian Suharto menyerahkan
jabatannya kepada Wakil Presiden B.J. Habibie sebagai Presiden RI. Pada waktu itu juga B.J.
Habibie dilantik menjadi Presiden RI oleh Ketua MA.

2.      Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Hukum


Dalam proses réformasi sudah seharusnya dilakukan adanya perubahan terhadap
perundang-undangan. Hal ini berdasar pada adanya kenyataan setelah peristiwa 21 mei
1998 saat runtuhnya kekuasaan orde baru, salah satu subsistem yang dampaknya sangat
parah adalah dibidang hukum. Subsistem hukum tidak mampu menjadi pelindung bagi
kepentingan masyarakat dan cenderung bersifat imperatif bagi penyelenggara pemerintah.
Jadi untuk melakukan adanya reformasi harus memiliki dasar, landasan serta sumber nilai
yang terkandung dalam pancasila yang merupakan dasar cita-cita reformasi.

a.    Pancasila sebagai sumber nilai perubahan hukum

Dalam Negara terdapat suatu dasar fundamental atau pokok kaidah yang merupakan
sumber hukum positif yang dalam ilmu hukum tata Negara disebut staats fundamental
norm. Dalam negara indonesia staats fundamental norm nya adalah Pancasila, yang artinya
Pancasila merupakan pokok kaidah sumber hukum positif. Dalam pengertian inilah maka
Pancasila berfungsi sebagai paradigma hukum terutama yang berkaitan dengan berbagai
macam upaya perubahan hukum. Maka dari itu supaya hukum berfungsi sebagai pelayanan
kebutuhan masyarakat, harus senantiasa diperbaharui agar tetap sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, dan pembaharuan tersebut harus tetap meletakkan Pancasila sebagai
kerangka pikir, sumber norma, dan sumber nilai-nilainya.
Sebagai paradigma dalam pembaharuan tatana hukum pancasila dipandang sebagai
cita-cita hukum, dan sebagai cita-cita hukum Pancasila dapat memenuhi fungsi konstitutif
maupun fungsi regulatif. Sebagai fungsi konstitutif Pancasila menentukan dasar suatu
tatanan hukum yang memberi arti dan makna bagi hukum itu sendiri, sehingga hukum
sangat bergantung pada dasar-dasar yang diberikan oleh nilai-nilai Pancasila. Begitu pula
dengan fungsi regulatif, Pancasila menetukan apakah suatu hukum positif itu sebagai
produk yang adil atau tidak. Sebagai staatsfundamentalnorm pancasila merupakan pangkal
sumber penjabaran dari tertib hukum di indonesia termasuk juga UUD 1945. Dalam
pengertian inilah istlah ilmu hukum disebut sumber dari segala peraturan perundang-
undangan di indonesia (mahfud, 1999;59). Sumber hukum meliputi dua macam
pengertian :
1.             Sumber Hukum Formal, yaitu sumber hukum ditinjau dari bentuk dan tata cara
penyusunan hukum yang bersifat mengikat terhadap komunitasnya, misalnya Undang-
undang, perda dll.
2.             Sumber materila hukum, yaitu sumber hukum yang menentukan materi atau isi suatu
norma hukum (Darmodihardjo, 1996:206)

b.    Dasar Yuridis Reformasi Hukum


Dalam upaya reformasi telah banyak dilontarkan berbagai macam pendapat tentang
aspek-aspek yang dapat dilakukan dalam perubahan hukum di Indonesia, bahkan semakin
banyak bermunculan usulan tentang amandemen atau perubahan secara menyeluruh
terhadap Pasal-pasal UUD 1945, namun harus dipahami secara obyektif, apabila terjadi
suatu amandemen terhadap seluruh pasal UUD 1945, maka tidak terjadi pula perubahan
terhadap Pembukaan UUD 1945, karena pembukaan UUD 1945 merupakan pokok kaidah
negara yang fundamental, sebagai sumber positif, memuat Pancasila sebagai dasar filsafat
negara yang melekat pada kelangsungan hidup negara proklamasi 17 agustus 1945. Oleh
karena itu apabila ada perubahan pembukaan UUD 1945 sama halnya dengan
menghilangkan eksistensi bangsa dan negara Indonesia, atau sama halnya dengan
pembubaran negara Indonesia.
Dasar yuridis Pancasila sebagai paradigma reformasi hukum adalah Tap
No.XX/MPRS/1996, yang menyatakan Panacasila adalah sumber dari segala sumber
hukum di Indonesia, yang berarti sebagai sumber produk serta proses penegakan hukum
harus selalu bersumber pada niali-nilai yang terkandung dalam pancasila, dan secar
eksplisit dirinci tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang bersumber
pada nilai-nilai Pancasila.
Ada beberapa macam produk peraturan perundang-undangan yang telah dihasilkan
dalam reformasi hukum, antara lain undang-undang politik tahun 1999, yaitu UU No.2
tahun 1999, tentang partai politik, UU No.3 tahun 1999, tentang Pemilu, dan UU No.4 tahun
1999 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, Dan DPRD, kemudian UU pokok Pers
yang diharapkan menghasilkan pers yang bebas dan demokratis, lalu UU otonomi daerah
yang meliputi UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, UU No. 25 tahun 1999,
tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, dan UU No.28 tahun
1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN.
Demikian juga terjadi pada tingkatan ketetapan MPR yang telah dilakukan reformasi
hukum melalui sidang istimewa MPR pada bulan November 1998 yang menghasilkan
berbagai macam ketetapan antara lain Tap No. VII/MPR/1998 tentang pencabutan
referendum, karena dianggap menghambat demokrasi, Tap No. IX/MPR/1998 tentang
GBHN yang tidak mungkin dilaksanakan karena krisis ekonomi serta politik, Tap No.
X/MPR/1998 tentang poko-pokok reformasi pembangunan, Tap No. XI/MPR/1998 tentang
negara yang bebas KKN, Tap No. XIII/MPR/1998 tentang masa jabatan presiden , Tap No.
XIV/MPR/1998 tentang Pemilu Tahun 1999, Tap No. XV/MPR/1998 tentang otonomi
daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah, Tap No. XVI/MPR/1998 tentang
Demokrasi Ekonomi, Tap No. XVII/MPR/1998 tentang Hak asasi manusia, serta Tap No.
XVIII/MPR/1998 tentang pencabutan P4, serta berbagai macam peraturan perundang-
undangan lainya.

c.    Pancasila sebagai Paragidma Reformasi Pelaksanaan Hukum


Dalam Era reformasi pelaksanaan hukum harus didasarkan pada suatu nilai sebagai
landasan operasionalnya guna mencapai tujuan daripada reformasi itu sendiri yaitu
melindungi bangsa dan seluruh tumpah darah. Pelaksanaan hukum pada masa reformasi
ini harus benar-benar dapat mewujudkan negara demokratis dengan suatu supremasi
hukum, yang artinya pelaksanaan hukum harus mampu mewujudkan jaminan atas
terwujudnya keadilan (sila V) dalam suatu negara yaitu keseimbangan antara hak dan
kewajiban setiap warga negara, tanpa memandang pangkat, jabatan ataupun golongan
maupun agama. Konsekuensi dari pelaksanaan hukum aparat penegak hukum terutama
pihak kejaksaan adalah sebagai ujung tombaknya sehingga harus benar-benar bersih dari
praktek KKN.

3.             Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Politik

Landasan aksiologi (sumber nilai) bagi sistem politik Indonesia adalah sebagaimana
terkandung dalam Deklarasi Bangsa Indonesia yaitu pembukaan UUD 1945 alinea IV. Nilai
demokrasi politik yang terkandung dalam Pancasila merupakan fondasi bangunan negara
yang dikehendaki oleh para pendiri negara kita dalam kenyataanya tidak dilaksanakan
berdasarkan suasana kerokhanian berdasarkan nilai-nilai tersebut, dan pada realisasinya
baik pada masa orde lama maupun orde baru negara lebih mengarah pada praktek
otoritarianisme yang mengarah pada porsi kekuasaan yang terbesar kepada presiden. Nilai
demokrasi politik tersebut secara normatif terjabar dalam pasal-pasal UUD 1945.
Adapun esensi dari pasal-pasal tersebut berdasarkan UUD 1945 adalah :
a.         Rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi dalam Negara
b.        Kedaulatan rakyat dijalankan sepenuhnya oleh MPR
c.         Presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR, dan bertanggung jawab kepada MPR
d.        Produk hukum apapun yang dihasilkan oleh presiden baik sendiri maupun bersama
dengan lembaga lain, kekuatanya berada dibawah MPR atau produk-produknya.
Perlu diketahui pula bahwa rakyat adalah asal mula kekuatan negara, oleh sebab itu
paradigma ini merupakan dasar pijak dalam reformasi politik. Dan reformasi politik atas
sistem politik harus melalui Undang-undang yang mengatur sistem politik tersebut, dengan
tetap mendasarkan pada paradigma nilai-nilai kerakyatan sebagaimana terkandung dalam
Pancasila.
a.    Reformasi atas system politik
System mekanisme demokrasi tersebut tertuang dalam undang-undang politik yang
berlaku selama orde baru yaitu:
·      UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD ( UU No. 16/1969 jis UU No.
5/1975 dan UU No. 2/1985 )
·      UU tentang Partai Politik dan Golongan Karya ( UU No.3/1975, jo. UU No.3/1985 )
·      UU tentang Pemilihan Umum (UU No.15/1969 jis UU No.4/1975. UU No.2/1980, dan UU
No.1/1985)

b.    Reformasi atas Kehidupan Politik


Untuk mencapai kehidupan politik yang benar-benar demokratis maka harus
dilakukan dengan cara Revitalisasi politik yaitu dengan mengembalikan Pancasila pada
kedudukan serta fungsi yang sebenarnya seperti yang tertuang pada UUD 1945.

4.    Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Ekonomi


Langkah yang startegis dalam upaya melakukan reformasi ekonomi yang berbasis pada
ekonomi rakyat yang berdasarkan nilai-nilai pancasila yang mengutamakan kesejahteraan
seluruh bangsa adalah sebagai berikut:      
a.              Keamanan pangan dan mengembalikan kepercayaan, yaitu dilakukan dengan program
“social safety net” yang popular dengan program jaringan pengaman social (JPS).
b.             Program rehabilitasi dan pemulihan ekonomi untuk menciptakan kondisi kepastian usaha.
c.              Transformasi struktur untuk memperkuat ekonomi rakyat.
BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan

Dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa Pancasila sebagai paradigma mempunyai
kaitan yang erat dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Karena
Pancasila mempunyai peran yang sangat penting dalam berbagai bidang seperti dalam
bidang hukum, ekonomi, sosial budaya, dan juga pembangunan
Pancasila sebagai paradigma bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ini
dimaksudkan untuk dipergunakan sebagai acuan setiap warganegara utamanya para
penyelenggara negara dan pemerintahan dalam menentukan kebijakan, melaksanakan
kegiatan dan mengadakan evaluasi hasilnya serta dalam menghadapi berbagai dinamika
perubahan.
Secara umum Pancasila merupakan dasar cita-cita reformasi di bidang hukum, politik,
ekonomi dan bidang pendidikan tidak mungkin dilakukan dengan pemikiran secara teori
namun haruslah mendasar dan memiliki landasan yang mana bersumber pada nilai-nilai
Pancasila.
Berdasarkan hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan individu, masyarakat
dalam pergaulannya berbangsa dan bernegara harus melaksanakan hak dan
kewajibansesuai tugas dan fungsinya. Maka diperlukan aturan yang menjadi acuan dalam
bertingkah laku yaitu Pancasila.

B.            Saran
1.             Kepada pembaca diharapkan makalah ini dapat menambah pengetahuan mengenai
peranan dan makna Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan manusia dan Pancasila
sebagai paradigma reformasi.
2.             Kepada rakyat Indonesia diharapkan bisa menerapkan nilai-nilai pancasila dalam
melakukan gerakan Reformasi di bidang hukum, politik,budaya dan Ekonomi serta
Pendidikan. Selain itu dapat memaknai pancasila sebagai paradigma kehidupan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Badrika, I Wayan.2006. Sejarah, Jakarta : Erlangga

Gudangmateri. 2010. Pancasila sebagai Paradigma Masyarakat. Diunduh dari


http://www.gudangmateri.com/2010/04/makalah-pancasila-sebagai-paradigma.html
pada tanggal 22 Desember 2012.
Nisa, Choirun. 2012. “Pancasila Sebagai Paradigma Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, Dan
Bernegara”.Malang. Diunduh dari
http://menuez-muaniz.blogspot.com/2012/04/pancasila-sebagai-paradigma-
kehidupan.htm pada tanggal 22 Desember 2012.

Rahmadani, Riska. 2012. Pancasila Sebagai Paradigma Kehidupan Dalam Bermasyarakat, Berbangsa
Dan Bernegara. Riau. Diunduh dari
http://isaythisisaythat.blogspot.com/2012/03/pancasila-sebagai-paradigma-
kehidupan.html pada tanggal 23 Desember 2012.

Setijo, Pandji. Pendidikan Pancasila. Grasindo (hal: 80)

Suwono, Adji. 2010. Paradigma dalam Ilmu Pendidikan (Online), Diunduh dari
http://www.gudangmateri.com/2010/07/paradigma-dalam-ilmu-pendidikan.html pada
tanggal 23 Desember 2012.
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga.
Jakarta: Balai Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai