CIVIL SOCIETY
Dukungan facebookers terhadap beberapa kasus di negeri ini membawa implikasi bagi
demokratisasi di dalam bangsa dan negara Indonesia. Meluasnya akses terhadap aplikasi
dunia maya, khususnya yang berbasis komunitas berbagi (sharing community), seperti
facebook dan twitter ditenggarai mendekatkan masyarakat kepada isu-isu sosial politik
kekinian. Internet menjadi jalur alternatif bagi warga negara Indonesia untuk turut
berpartisipasi secara masif dalam berbagai ranah kehidupan. Hal ini jelas berbeda dengan
media cetak atau elektronik lainnya yang berlandaskan pada pemetaan redaksional dalam
menentukan opini publik di setiap edisi terbitnya.
Dunia Maya: Antara Sandiwara Keberbagian dan Wahana Civil Society Bagi
Demokratisasi
Konsolidasi antar pengguna internet di facebook maupun twitter dalam beberapa hal
menjadi begitu “terorganisir”, dalam rangka melawan kekuatan negara, pasar, atau pun
kombinasi keduanya. Meski belum mampu dibuktikan di ranah kehidupan nyata,
fenomena tersebut menjadi peristiwa yang cukup relevan tatkala memperhitungkan gejala
penguatan civil society di Indonesia. Di sini, kehadiran facebook, twitter, bahkan kaskus
(forum dunia maya terbesar di Indonesia meliputi berbagai pembahasan isu),
memungkinkan setiap individu membicarakan perihal permasalahan hidupnya sehari-
hari. Hal inilah yang dinilai sebagai wajah dari civil society di mana terdapat banyak klub
atau komunitas hobi, sehingga merunut pada kebebasan berekspresi, berkembang,
berserikat, dan berkumpul. Kegiatan-kegiatan tersebut kemudian melahirkan jejaring
sosial (social networking) dan membangun spektrum dalam asosiasi gerakan sosial
melalui bentuk-bentuk penyuaran kolektif secara spontan atau sporadis.
Oleh karena aktivitasnya yang “cair”, spontan, dan sulit terduga, kegiatan di dunia maya
memiliki beberapa kelemahan jika benar-benar ingin dikatakan sebagai wadah bagi
penguatan civil society. Dalam hal jejaring sosial, komunitas dunia maya tidak
membuktikan ikatan solidaritas yang kuat antar sesamanya. Kita bisa memikirkan
bagaimana pertemuan antar indvidu di dunia maya cenderung tidak melibatkan aspek
emosional dan kepercayaan yang utuh sehingga tidak mungkin mengharapkan modalitas
kekuatan yang potensial serta berkelanjutan bagi suatu capaian atau tujuan-tujuan
tertentu. Sedangkan civil society adalah kelompok sosial yang bertujuan membuka sekat-
sekat sosial, hukum, dan politik sehingga menuju kehidupan yang lebih demokratis.
Tentunya, tujuan-tujuan tersebut tidak bisa dicapai tanpa upaya yang berkelanjutan.
Kini, kita patut berpikir dari sudut pandang kelemahan gejala di dunia maya tersebut.
Artinya, pertanyaannya menjadi, ”bagaimana prospek aktivisme virtual tersebut dalam
kerangka civil society?” Boleh jadi, seperti tanggapan Effendi Gazhali di TV One, Sabtu,
30 Januari 2010 tentang panitia khusus Bank Century di Senayan. Pada wawancara
tersebut, Effendi menyebutkan istilah “teater politik” bagi pansus Bank Century yang
setiap harinya disaksikan secara luas oleh masyarakat. Konsekuensinya, sebagaimana
penonton teater/bioskop, yang akan meninggalkan begitu saja gedung pertunjukan setelah
film usai. Film bisa menampilkan sesuatu yang berkualitas dibandingkan sekedar
hiburan, namun tak jarang hanya berisi hiburan semata tanpa filosofi yang membangun
kesadaran. Film akan diperbincangkan terus selama ia memiliki dasar filosofi yang kuat,
tetapi akan menjadi angin lalu ketika terbatas hanya pada aspek hiburannya. Hal ini
sebagaimana aktivisme virtual yang lebih menampilkan jumlah membludak, namun sulit
dibuktikan secara empiris keterkaitannya dengan isu yang diangkat. Lebih lanjut, Effendi
menyimpulkan akan terjadi antiklimaks pada kasus Bank Century dikarenakan pihak
pansus yang terkesan “overacting” memainkan sosok pertunjukan yang mereka perankan.
Apa yang mereka tampilkan, kemudian disaksikan masyarakat, tidak lain hanyalah
sebuah pentas hiburan alias “seru-seruan” belaka. Hal ini menjadi pertanyaan bagi
aktivisme virtual pula, apakah dukungan yang mengalir berkorelasi dengan perubahan
yang terjadi? Ataukah, fenomena tersebut hanyalah gerakan kosong tanpa isi? Jika
korelasi ditemukan, hal itu bisa menjadi harapan masa depan bagi gerakan massa di
masyarakat Indonesia. Akan tetapi, jika sebaliknya, aktivisme virtual hanyalah panggung
sandiwara yang kebetulan dalam waktu tertentu merepresentasikan gejala kehidupan
yang sebenarnya. Sedangkan untuk tahap yang berkelanjutan, hal tersebut masih banyak
memerlukan alasan.