Anda di halaman 1dari 4

MENAKAR AKTIVISME MASYARAKAT VIRTUAL BAGI PENGUATAN

CIVIL SOCIETY

Dukungan facebookers terhadap beberapa kasus di negeri ini membawa implikasi bagi
demokratisasi di dalam bangsa dan negara Indonesia. Meluasnya akses terhadap aplikasi
dunia maya, khususnya yang berbasis komunitas berbagi (sharing community), seperti
facebook dan twitter ditenggarai mendekatkan masyarakat kepada isu-isu sosial politik
kekinian. Internet menjadi jalur alternatif bagi warga negara Indonesia untuk turut
berpartisipasi secara masif dalam berbagai ranah kehidupan. Hal ini jelas berbeda dengan
media cetak atau elektronik lainnya yang berlandaskan pada pemetaan redaksional dalam
menentukan opini publik di setiap edisi terbitnya.

Pada kasus Bibit-Chandra, dukungan dari facebookers menembus angka 1.000.147


(www.solopos.com, Sabtu, 7 November 2009). Meski tak sefantastis “cicak vs buaya”,
beberapa pihak yang memperoleh dukungan dari kalangan dunia maya ialah Prita
Mulyasari, Luna Maya, dan Nenek Minah. Persamaan kelimanya adalah mereka secara
struktural dan kultural mengalami subordinasi dalam kapasitasnya sebagai individu di
bidang hukum, sosial, dan politik. Kisah Prita ketika menerima pelayanan tak memadai
dari pihak tertentu sesungguhnya sering terjadi di kalangan masyarakat. Dalam kasusnya,
Prita mencurahkan beberapa keluhan atas layanan kesehatan yang tak memadai dari RS
Omni Internasional melalui surat elektronik (e mail) ke pelosok dunia maya. Hal ini
memudahkan proses berkembangnya animo masyarakat dalam menanggapi kasus “Prita
vs RS Omni”. Setali tiga uang dengan artis tersohor Luna Maya. Pihak infotainment,
dalam beberapa fakta, adalah institusi yang kerap menghidupi ruang sehari-hari
masyarakat, digemari akan tetapi lebih banyak dihujati tidak hanya di kalangan selebritis,
melainkan juga oleh kalangan luas. Akumulasi kejengkelan publik pun bisa dikatakan
bukan semata pembelaan atas sosok Luna Maya sebagai public figure, akan tetapi juga
terhadap “kekacauan” jurnalis infotainment dalam mengungkap salah satu sisi dari
kehidupan seorang manusia. Kejengkelan masyarakat akhirnya juga tersalurkan dalam
kasus Nenek Minah, di mana hukum bertindak begitu tangkas hanya ketika menghadapi
kesalahan yang dilakukan oleh rakyat kecil. Dalam hal ini, penegakan hukum bagi rakyat
jelata menjadi keharusan, sedangkan bagi pejabat tinggi negara (misalnya, keputusan
presiden Yudhoyono agar konflik aparat terkait aliran Bank Century diselesaikan di luar
pengadilan), berada di ruang negosiasi (Kompas, 4 Desember 2009). Kontan, persepsi
masyarakat tentang “maling ayam lebih berbahaya daripada koruptor” semakin menjadi
hidup, bahkan lebih membara. Kasus seperti Bibit-Chandra, Prita Mulyasari, Luna Maya,
dan Nenek Minah tersebut menjajaki dunia maya, untuk kemudian melahirkan partisipasi
warga negara secara luas dalam menyuarakan hak-hak politik dan sipil.

Dunia Maya: Antara Sandiwara Keberbagian dan Wahana Civil Society Bagi
Demokratisasi

Konsolidasi antar pengguna internet di facebook maupun twitter dalam beberapa hal
menjadi begitu “terorganisir”, dalam rangka melawan kekuatan negara, pasar, atau pun
kombinasi keduanya. Meski belum mampu dibuktikan di ranah kehidupan nyata,
fenomena tersebut menjadi peristiwa yang cukup relevan tatkala memperhitungkan gejala
penguatan civil society di Indonesia. Di sini, kehadiran facebook, twitter, bahkan kaskus
(forum dunia maya terbesar di Indonesia meliputi berbagai pembahasan isu),
memungkinkan setiap individu membicarakan perihal permasalahan hidupnya sehari-
hari. Hal inilah yang dinilai sebagai wajah dari civil society di mana terdapat banyak klub
atau komunitas hobi, sehingga merunut pada kebebasan berekspresi, berkembang,
berserikat, dan berkumpul. Kegiatan-kegiatan tersebut kemudian melahirkan jejaring
sosial (social networking) dan membangun spektrum dalam asosiasi gerakan sosial
melalui bentuk-bentuk penyuaran kolektif secara spontan atau sporadis.

Oleh karena aktivitasnya yang “cair”, spontan, dan sulit terduga, kegiatan di dunia maya
memiliki beberapa kelemahan jika benar-benar ingin dikatakan sebagai wadah bagi
penguatan civil society. Dalam hal jejaring sosial, komunitas dunia maya tidak
membuktikan ikatan solidaritas yang kuat antar sesamanya. Kita bisa memikirkan
bagaimana pertemuan antar indvidu di dunia maya cenderung tidak melibatkan aspek
emosional dan kepercayaan yang utuh sehingga tidak mungkin mengharapkan modalitas
kekuatan yang potensial serta berkelanjutan bagi suatu capaian atau tujuan-tujuan
tertentu. Sedangkan civil society adalah kelompok sosial yang bertujuan membuka sekat-
sekat sosial, hukum, dan politik sehingga menuju kehidupan yang lebih demokratis.
Tentunya, tujuan-tujuan tersebut tidak bisa dicapai tanpa upaya yang berkelanjutan.

Kini, kita patut berpikir dari sudut pandang kelemahan gejala di dunia maya tersebut.
Artinya, pertanyaannya menjadi, ”bagaimana prospek aktivisme virtual tersebut dalam
kerangka civil society?” Boleh jadi, seperti tanggapan Effendi Gazhali di TV One, Sabtu,
30 Januari 2010 tentang panitia khusus Bank Century di Senayan. Pada wawancara
tersebut, Effendi menyebutkan istilah “teater politik” bagi pansus Bank Century yang
setiap harinya disaksikan secara luas oleh masyarakat. Konsekuensinya, sebagaimana
penonton teater/bioskop, yang akan meninggalkan begitu saja gedung pertunjukan setelah
film usai. Film bisa menampilkan sesuatu yang berkualitas dibandingkan sekedar
hiburan, namun tak jarang hanya berisi hiburan semata tanpa filosofi yang membangun
kesadaran. Film akan diperbincangkan terus selama ia memiliki dasar filosofi yang kuat,
tetapi akan menjadi angin lalu ketika terbatas hanya pada aspek hiburannya. Hal ini
sebagaimana aktivisme virtual yang lebih menampilkan jumlah membludak, namun sulit
dibuktikan secara empiris keterkaitannya dengan isu yang diangkat. Lebih lanjut, Effendi
menyimpulkan akan terjadi antiklimaks pada kasus Bank Century dikarenakan pihak
pansus yang terkesan “overacting” memainkan sosok pertunjukan yang mereka perankan.
Apa yang mereka tampilkan, kemudian disaksikan masyarakat, tidak lain hanyalah
sebuah pentas hiburan alias “seru-seruan” belaka. Hal ini menjadi pertanyaan bagi
aktivisme virtual pula, apakah dukungan yang mengalir berkorelasi dengan perubahan
yang terjadi? Ataukah, fenomena tersebut hanyalah gerakan kosong tanpa isi? Jika
korelasi ditemukan, hal itu bisa menjadi harapan masa depan bagi gerakan massa di
masyarakat Indonesia. Akan tetapi, jika sebaliknya, aktivisme virtual hanyalah panggung
sandiwara yang kebetulan dalam waktu tertentu merepresentasikan gejala kehidupan
yang sebenarnya. Sedangkan untuk tahap yang berkelanjutan, hal tersebut masih banyak
memerlukan alasan.

Menyambung Dua Dunia


Melihat kemungkinan dari paparan di atas, aksi kolektif yang lahir dari pengorganisasian
di dunia maya itu seharusnya memiliki keterkaitan erat dengan kerja-kerja ornop
(organisasi non pemerintah), LSM, maupun organisasi kemasyarakatan lain yang
memang membutuhkan alokasi sumber daya kolektif cukup besar dalam mencapai
tujuan-tujuan civil society yang diembannya. Hal ini mengingat berbagai gerakan politik
oleh parpol dan ekonomi oleh para pengusaha telah melakukan hal tersebut -
menggunakan pengorganisasian massa di dunia maya sebagai wahana tujuan-tujuan
mereka. Peningkatan jumlah dukungan facebookers pada beberapa kasus yang
disinggung di muka memang patut diapresiasi sebagai bentuk positif dari kebebasan
“tanpa batas” bagi aktivisme individu di dunia maya. Artinya, posisi warga negara yang
biasanya terpinggirkan secara politis dapat digiring masuk menuju pusat-pusat gerakan
mengkritisi atau menolak kebijakan kekuasaan dominan. Pun belum terlihat
menghasilkan tindakan nyata yang berarti pada setiap realitas di lapangan, jumlah suara
dukungan di dunia maya tersebut telah berkali-kali dirujuk oleh media massa cetak
maupun elektronik sebagai indikator untuk penuntasan kasus “cicak vs buaya”, “Prita vs
RS Omni”, dan Luna Maya menghadapi tindak asusila infotainment. Oleh karena itu,
fenomena ini bisa menjadi rujukan bagi aktivis-aktivis sosial untuk mengembangkan
gerakannya. Hal ini mengingat keperluan warga negara dalam membangun akses politik
begitu mendesak, dalam rangka mentransformasikan demokrasi prosedural yang sering
ditampilkan oleh elite politik menjadi demokrasi substantif yang dicita-citakan oleh
seluruh bangsa Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai