Anda di halaman 1dari 25

REINVENTING GOVERNMENT

Universitas Muhammadiyah Sidenreng Rappang

AMIRUDDIN
Email: amiruddin1599@gmail.com

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan prinsip-prinsip good


governance terhadap kinerja pelayanan publik pada harus lebih berorientasi pada tujuan
paradigma pemerintahan yang didasarkan pada pendekatan manajemen baru, baik secara
teori maupun praktis. Secara bersamaan, paradigma dari tujuan pemerintahan diharapkan
dapat menghilangkan praktek bahwa birokrasi Weberian adalah negatif seperti struktur
birokrasi hierarkhikal yang menghasilkan biaya operasional lebih mahal (ekonomi biaya
tinggi) daripada manfaat yang diperoleh, prevalensi birokrasi, kurangnya inisiatif dan
kreativitas aparatur, pertumbuhan mediokratis budaya (sebagai lawan dari budaya
meritokratis) dan in-efisiensi. Oleh karena itu, institusi pelayanan publik dapat dilakukan
oleh pemerintah dan organisasi non-pemerintah. Jika pemerintah, organisasi birokrasi
pemerintah adalah garis depan organisasi (jalan birokrasi tingkat) terkait dengan pelayanan
publik. Jika non-pemerintah, kemudian membentuk organisasi partai politik, organisasi
keagamaan, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi masyarakat sipil yang lain.
Siapapun pelayanananya bentuk kelembagaan, hal yang paling penting adalah bagaimana
memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi
kebutuhan dan kepentingan.

Kata kunci: Good Governance, Kemitraan, Pelayanan Publik


A. PENDAHULUAN
Good governance merupakan prasyaratan utama untuk mewujudkan aspirasi
masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan Negara. Dalam rang- ka hal
tersebut, diperlukan pengem- bangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang
tepat, jelas dan nyata sehingga dalam penyelenggaraan pemerintahan dapat berlangsung
secara berdaya guna, berhasil guna bertanggung jawab serta bebas KKN. Konsep good
gov- ernance untuk dilaksanakan dalam penye- lenggaraan kehidupan berbangsa dan
bernegara dilatar belakangi oleh banyak faktor. Namun demikian salah satu faktor yang
terbesar adalah ketidak berdayaan pemerintah negara-negara berkembang dalam
menghadapi era globalisasi yang penuh dengan persaingan kompetensi standar tinggi.
Pemerintah tidak lagi men- jadi pemain tetapi mengharapkan peran lebih besar dari
sektor swasta dan masyarakat sipil. (Latif, Mustanir, & ir, 2019)
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, sehingga masih diperlukan adanya
penyadaran kesetiaan terhadap bangsa dan negara. Ketika ada riak-riak kecil dan
persilangan kepentingan, itu biasa dalam kehidupan bangsa dan itu suatu dinamika,
sejauh menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan kelompok.
Malahan akan menjadi statis jika isu persatuan dan kesatuan itu dikedepankan dengan
mematikan dinamika, dan hal ini tidak sehat bagi masa depan bangsa kita yang akan
menghadapi tantangan-tantangan berat memasuki era globalisasi.(Dawabsheh et al.,
2020)
Kemandirian birokrasi merupakan prasyarat bagi berlangsungnya fungsi
birokrasi yang Hegelian. Hegel melihat fungsi birokrasi adalah sebagai penghubung
antara negara dengan civil society. Negara mengejawantahkan kepentingan umum
sedang civil society mempresentasikan kepentingan khusus yang ada di dalam
masyarakat. Keberhasilan birokrasi diukur dari kemampuannya untuk
mengartikulasikan kepentingan-kepentingan khusus di dalain masyarakat dan
mengkorporasikannya di dalam kepentingan umum Negara.(Kholifah R & Mustanir,
2019)
Pelayanan publik di Indonesia masih sangat rendah. Buruknya pelayanan publik
memang bukan hal baru, fakta di lapangan masih banyak menunjukkan hal ini.
Beberapa masalah penting yang banyak terjadi di lapangan dalam penyelenggaraan
pelayanan publik, yaitu pertama, besarnya diskriminasi pelayanan. Penyelenggaraan
pelayanan masih amat dipengaruhi oleh hubungan per-konco-an, kesamaan afiliasi
politik, etnis, dan agama. Fenomena semacam ini tetap marak walaupun telah
diberlakukan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari
KKN yang secara tegas menyatakan keharusan adanya kesamaan pelayanan, bukannya
diskriminasi. Kedua, tidak adanya kepastian biaya dan waktu pelayanan. Ketidakpastian
ini sering menjadi penyebab munculnya KKN, sebab para pengguna jasa cenderung
memilih menyogok dengan biaya tinggi kepada penyelenggara pelayanan untuk
mendapatkan kepastian dan kualitas pelayanan. Dan ketiga, rendahnya tingkat kepuasan
masyarakat terhadap pelayanan publik. Ini merupakan konsekuensi logis dari adanya
diskriminasi pelayanan dan ketidak pastian tadi. (Fitrah et al., 2021)
Krisis ekonomi di Indonesia berjalan cukup lama sejak Juli 1997 sampai sekarang,
bahkan kali ini sudah berkembang menjadi krisis multi dimensi, krisis Iman, Moral, dan
Taqwa diperkirakan akan cukup lama paling tidak 10 tahun. Bagai- mana sikap
pengusaha dan aparat pemerintah di dalam mengantisipasi situasi seperti ini. Yang
menjadi permasalahan adalah sebelum kita membahas hal tersebut perlu kita flash back
dengan situasi reformasi sejak 1999 dan sejak diberlakukan- nya UU No. 22 dan 25
Tahun 1999 pada 1 Januari 2000 tentang Otonomi Daerah. Otonomi Daerah adalah
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Dari batasan di atas nampak jelas bahwa keputusan-keputusan pembangunan
guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan pembangunan daerah telah
bergeser dari dominan sentralistik menuju desentralistis. (Mustanir & Rusdi, 2019)
Pola sentralisasi masih melekat dalam manajemen pelayanan publik masa kini. Hal
tersebut tentunya menjadi sangat problematis dan dilematis mengingat diskursus
inovasi penyelenggaraan pelayanan publik mulai banyak dipratikkan di level daerah
sebagai manifestasi mempublikkan pelayanan publik yang efisien, efektif, dan
demokratis. Proses transisi reformasi pelayanan publik yang masih berjalan lambat dan
setengah – tengah ditengarai menjadi penyebabnya sehingga terjadi ambivalensi dalam
proses pelayanan publik. Adapun ambivalensi yang dimaksud adalah citra biner yang
ditampilkan antara keinginan “relatif” birokrat untuk berubah sesuai tuntuan reformasi
pelayanan berbasiskan mekanisme pasar, sementara ada keinginan lain yang ingin
mempertahankan unsur konservatif yakni mempertahankan adanya sentralisasi
pelayanan publik yang komprehensif di Samsat dengan warisan prosedur yang
membingungkan. Adapun dinamika perubahan dari Old Public Administration menuju
New Public Management sendiri tidak berjalan mulus dalam pelayanan di Kantor
Samsat yang justru tidaklah berjalan maksimal. Yang terjadi justru adalah dikotomi
praktik pelayanan publik di mana Kantor Samsat Kota Yogyakarta masih menggunakan
cara – cara konvensional, sementara pada kasus yang terjadi di Samsat Drive Thru
adalah bentuk pelayanan publik berbasiskan NPM.(Jamal et al., 2020)
Pada era orde baru, praktik KKN dan kepentingan penguasa seakan-akan
menjadi perilaku para birokrat. Bahkan birokrasi yang berjalan di dalamnya seakan-
akan dibangun untuk memperkuat para penguasa dan diibarakan sebagai kerajaan
pejabat (Thoha, 2012). Padahal fungsi birokrasi ini menentukan kemiskinan,
kesenjangan, dan pertumbuhan ekonomi suatu negara (Rasul and Rogger, 2017).
Perilaku birokrat yang cenderung melalukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
semakin mengerucutkan image negatif birokrasi publik di masyarakat Memasuki era
reformasi, tantangan pemerintah Indonesia dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan
yang baik adalah dengan mengatasi krisis kepercayaan masyarakat terhadap layanan
publik. Krisis yang muncul akibat bangunan birokrasi selama periode orde baru ini
bahkan memicu protes di tingkat pusat maupun daerah (Dwiyanto et al., 2002; Thoha,
2012). Akibat dari perilaku birokrat yang cenderung tidak mendukung pelayanan publik
telah menyebabkan tujuan awal birokrat dalam memberikan layanan publik bergeser ke
arah pragmatisme dan menurunkan integritas dan kualitasnya (Horhoruw et al., 2012).
Idealnya penyelenggaraan layanan publik oleh aparat pemerintah pemberi layanan
public harus dilakukan tanpa adanya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
(Girindrawardana, 2002). Lebih lanjut, dari sebuah survei dilaporkan bahwa indeks
integritas layanan publik berada di peringkat 70 dari 109 negara, bahkan di bawah
negara-negara tetangga seperti Timor Leste, Filipina, Malaysia, dan Thailand. Bahkan,
dalam survei tersebut, komponen layanan administrasi menjadi yang terburuk dengan
berada pada peringkat 97 (Mungiu- Pippidi et al., 2017). Hal tersebut sekaligus
menandakan bahwa perlu adanya perbaikan terutama pada aspek administrasi publik
agar penyelenggaraan pelayanan publik menjadi lebih optimal. (Akhmad et al., 2006)
Implikasi otonomi daerah secara kausalitas telah membuka peluang re-
orientasi sistem tata kelola pemerintahan daerah untuk menjadi lebih baik. Sebuah
tatanan sistem yang melampaui normativitas sistem birokratis ori- ented dengan
memberikan peluang sebesar-besarnya kepada daerah. Pe- luang untuk mengelola
daerahnya sendiri sesuai dengan idealitas, cita-cita, dan harapan masyarakat. Sebuah
idealitas, cita-cita dan harapan masyarakat dalam orientasi maksimalisasi capaian hasil
untuk memberikan pelayanan publik (public services)1.Maksimalisasi capaian hasil
berupa percepatan pem-bangunan daerah dalam iklim transparansi, pemerataan, dan
berkeadilan.(Sulaeman et al., 2019)
Artikulasi kebijakan, benar-benar diterjemahkan sebagai peluang ke- 1Widjaja,
bijakan yang berangkat dari potensi lokalitas daerah dan ditujukan untuk kemajuan dan
kemakmuran daerah tersebut. Suatu kebijakan yang mem- berikan pelayanan sebaik-
baiknya kepada masyarakat, kesejahteraan masya- rakat, dan ketentraman masyarakat.
Apa yang menjadi kebutuhan masya- rakat, benar-benar terlayani melalui kebijakan
pemerintah daerah yang ada 2. Sebagai contoh, tidak adanya masyarakat yang dilarang
bersekolah karena mahalnya pendidikan, dan tidak ada larangan masyarakat yang sakit
untuk berobat karena mahalnya pengobatan. Semua kebutuhan masyarakat yang
sifatnya prinsip adalah tanggung jawab pemerintah. Tarikannya pada oto- nomi daerah
adalah tanggung jawab pemerintah daerah pula untuk me- layani masyarakatnya.
(Mustanir, 2017)
Pada masa kemerdekaan atau masa Orde Lama, misalnya, pernyataan tentang
otonomi yang seluas-luasnya tercantum dalam UU No. 1 tahun 1945, UU No. 22 tahun
1948, dan disusul kemudian dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957. Setahun
sebelumnya juga muncul undang-undang yang mengatur perimbangan keuangan antara
pusat dan daerah, yakni Undang- Undang No. 32 Tahun 1956. Di era pemerintahan
Orde Baru, kita mengenal Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang menegaskan
bahwa otonomi daerah dititikberatkan pada daerah tingkat II. Selanjutnya, pasal 11
undang-undang ini menyebutkan bahwa pelaksanaan otonomi dengan titik berat pada
daerah tingkat II dilaksanakan dengan memuat tiga aspek utama, yakni aspek
administrasi, aspek politik, dan aspek kemandirian. Aspek administrasi merujuk pada
pemerataan dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
daerah. Aspek politik merujuk pada upaya pendemokrasian pemerintah di daerah,
sedangkan aspek kemandirian dimaksudkan agar daerah mampu mandiri, khususnya
dalam melaksanakan urusan rumah tangganya sehingga pemerintah daerah dituntut
untuk menciptakan kondisi di mana masyarakat ikut berperan serta, kreatif, dan inovatif
dalam pembangunan daerah. Dengan demikian, isu mengenai otonomi daerah telah
lama diperdebatkan dalam tata pemerintahan Indonesia, terutama dalam konteks
hubungan antara pusat dan daerah. (Mustainir et al., 2017)
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Reinventing Government
Reinveting Government yaitu praktik manajemen publik yang didukung oleh
birokrasi dengan semangat kewirausahaan. Beberapa acuan utama dalam
menyelenggarakan pemerintahan yang berorientasi kewirausahaan menurut prinsip
dasar Osborne dan Gaebler (1992) yang harus diterapkan pada sektor publik adalah:
Pertama, pemerintahan yang katalis, yaitu tidak hanya terfokus pada penyediaan
jasa publik, tetapi juga dalam mengkatalisasi seluruh sektor publik, swasta, dan
sukarelawan dalam bertindak menyelesaikan masalah di komunitas mereka. Kedua,
memberdayakan rakyat dengan memberikan wewenang dalam pengendalian.
(empowering rather than service). Ketiga, pemerintahan kompetitif, menciptakan
persaingan pelayanan. Keempat, pemerintahan yang digerakkan oleh misi,
mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan dan regulasi. Kelima,
pemerintahan yang berorientasi hasil, membiayai hasil bukan masukan (funding
outcomes, not input). Keenam, pemerintahan berorientasi pelanggan: memenuhi
kebutuhan pelanggan dan menyediakan pilihan bagi mereka. Ketujuh, pemerintahan
wirausaha: menghasilkan ketimbang membelanjakan (earning rather than spending).
Kedelapan pemerintahan yang antisipatif: mencegah daripada mengobati,
Kesembilan, pemerintahan desentralisasi. Kesepuluh, pemerintahan berorientasi
pasar: mendongkrak perubahan melalui pasar (leveraging change through out the
market). (Mustanir, 2015)
Konsep good governance muncul karena adanya ketidakpuasan pada kinerja
pemerintahan yang selama ini dipercaya sebagai penyelenggara urusan publik.
Menerapkan praktik good governance dapat dilakukan secara bertahap sesuai
dengan kapasitas pemerintah, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar. Salah satu
pilihan strategis untuk menerapkan good governance di Indonesia adalah melalui
penyelenggaraan pelayanan publik.(Mustanir, 2018)
“ Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa dan / atau pelayanan
administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik (Pemerintah). “
(Mustanir, 2016)
Gagasan Reinventing Government yang dicetuskan oleh David Osborne dan
Ted Gaebler adalah gagasan yang mengkritisi dan memperbaiki konsep- konsep dan
teori-teori klasik tersebut untuk optimalisasi pelayanan publik. Gagasan
Reinventing Government dikemukakan oleh David Osborne dan Ted Gaebler pada
tahun l992. Gagasan ini muncul sebagai respon atas buruknya pelayanan publik
yang terjadi di pemerintahan Amerika Serikat sehingga timbul krisis kepercayaan
terhadap pemerintah. (Mustanir, 2020)
Di dalam Buku “reinventing government, how intrepreneural spirit is
transporming in the public sector” karya David Osborn dan Peter Plastrik (1993)
dikategorikan sebagai salahsatu karya yang banyak dibaca kalangan pemerhati ilmu
administrasi. Walaupun bukan untuk pertamankali, usaha menginjeksi semangat
keweirausahaan ke dalam sector public, buku tersebut memberikan nuansa aplikasi
penerapan disektor pengelolaan sumberdaya pemerintah lebih mudah di pahami.
(Samad et al., 2019)
Menurut David Osborne dalam bukunya Reinventing Government (hal. xix)
dijelaskan sebagai berikut ”Istilah pemerintahan wirausaha” – mungkin
mengejutkan banyak pembaca, yang berpikir bahwa wirausahawan semata-mata
adalah pria atau wanita yang menjalankan bisnis. Tetapi arti sebenarnya adalah dari
kata wirausaha (entrepreneurial) jauh lebih luas. Kata ini diciptakan oleh ahli
ekonomi berkebangsaan Perancis, J.B. Say, sekitar tahun 1800. ”Wirausaha” tulis
Say” memindahkan berbagai sumber ekonomi dari suatu wilayah dengan
produktivitas rendah ke wilayah dengan produktivitas lebih tinggi dan hasil yang
lebih besar”. Dengan kata lain, seorang wirausahawan menggunakan sumber daya
dengan cara baru untuk memaksimalkan produktivitas dan efektivitas. (Uceng,
Erfina, et al., 2019)
Pelayanan publik menjadi tolok ukur keberhasilan pelaksanaan tugas dan
pengukuran kinerja pemerintah melalui birokrasi. Pelayanan publik sebagai
penggerak utama juga dianggap penting oleh semua aktor dari unsur good
governance. Para pejabat publik, unsur-unsur dalam masyarakat sipil dan dunia
usaha sama-sama memiliki kepentingan terhadap perbaikan kinerja pelayanan
publik. Ada tiga alasan penting yang melatarbelakangi bahwa pembaharuan
pelayanan publik dapat mendorong praktik good governance di Indonesia. Pertama,
perbaikan kinerja pelayanan publik dinilai penting oleh stakeholders, yaitu
pemerintah, warga, dan sektor usaha. Kedua. Pelayanan publik adalah ranah dari
ketiga unsur governance melakukan interaksi yang sangat intensif. Ketiga, nilai-
nilai yang selama ini mencirikan praktik good governance diterjemahkan secara
lebih mudah dan nyata melalui pelayanan publik. (Uceng, Ali, et al., 2019)
Reformasi pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai
pengembangan good governance. Sebab, pertama,pelayanan publik menjadi ranah
interaksi antara negara yangdiwakili pemerintah dan lembaga-lembaga non-
pemerintah (masyarakat sipil dan mekanisme pasar). Dan, kedua, berbagai aspek
good governance dapat diartikulasikan secara lebih mudah pada ranah pelayanan
publik, sekaligus lebih mudah dinilai kinerjanya. (Mustanir & Darmiah, 2016)
Krisis kepercayaan terhadap sistem pemerintahan birokrasi Negara kita pada
saat ini sangatlah tinggi, hal ini amat mudah dipahami mengingat birokrasi public
selama ini menjadi instrument yang sangat efektif bagi penguasa untuk
mempertahankan kekuasaannya. Birokrasi public, baik sipil maupun militer telah
menempatkan dirinya lebih sebagai alat penguasa daripada pelayan masyarakat.
Kepentingan penguasa cenderung menjadi sentral darerung menjadi sentral dari
kehidupan dan perilaku birokrasi public. Hal ini tercermin dalam proses kebijakan
public yang kepentingan penguasa itu selalu menjadi criteria yang dominan dan
sering kali menggusur kepentingan masyarakat yang banyak manakala keduanya
tidak berjalan bersama-sama. Kesempatan dan ruang yang dimiliki oleh masyarakat
untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan public selama ini juga amat terbatas.
Akibatnya banyak kebijakan public dan program-program pemerintah yang tidak
responsive dan mengalami kegagalan karena tidak memperoleh dukungan dari
masyarakat. (Adam Latif, Irwan, Muhammad Rusdi, Ahmad Mustanir, 2019)
Berbicara mengenai efektivitas, pada dasarnya pelayanan masyarakat dapat
dikategorikan efektif apabila masyarakat mendapatkan kemudahan dengan prosedur
yang singkat, cepat, dan tepat serta memuaskan. Keberhasilan dalam meningkatkan
efektivitas pelayanan umum ditentukan oleh faktor kemampuan pemerintah dalam
meningkatkan disiplin kerja aparat pelayanan. (Ahmad Mustanir1, Hariyanti
Hamid2, 2019)
Indonesia termasuk negara sedang berkembang, permasalahan yang ada di
negara berkembang lebih kompleks dibandingkan dengan negara-negara maju,
mulai dari pertumbuhan penduduk yang tinggi, kesenjangan sosial, hingga
kurangnya sarana dan prasarana yang menunjang pembangunan itu sendiri. Diantara
banyak permasalahan itu adalah kemacetan atau kongesti. Kemacetan adalah situasi
atau keadaan tersendatnya atau bahkan terhentinya lalu lintas yang disebabkan oleh
banyaknya jumlah kendaraan melebihi kapasitas jalan. Kemacetan banyak terjadi di
kota-kota besar, terutamanya yang tidak mempunyai transportasi publik yang baik
atau memadai ataupun juga tidak seimbangnya kebutuhan jalan dengan kepadatan
penduduk, misalnya Semarang, Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Kemacetan
sering dijumpai di kota-kota besar di negara berkembang seperti Semarang, Jakarta,
Makassar dan kota-kota lainnya. (Andi Asmawati AR, Haeruddin Syarifuddin,
Abdul Jabbar, Kamaruddin Sellang, Muhammad Rais Rahmat Razak, Monalisa
Ibrahim, 2021)
Undang-undang nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik, pelayanan
public merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan. Di jelaskan pula dalam
Undang-undang nomor 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik pada Bab II pasal
3 dijabarkan tentang tujuan undang- undang tentang pelayanan publik (Mustanir,
Samad, et al., 2019):
a. Terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab,
kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan
pelayanan publik;
b. Terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan
asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik;
c. Terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan public sesuai dengan peraturan
perundang-undangan; dan
d. Terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan publik.(Irwan et al., 2019)
Dalam Permenpan Nomor 15 Tahun 2014 tentang pedoman standard
pelayanan public Bab II Bagian B dijelaskan mengenai prinsip dalam penyusunan,
penetapan, dan penerapan Standar Pelayanan dilakukan dengan memperhatikan
prinsip: 1. Sederhana. Standar Pelayanan yang mudah dimengerti, mudah diikuti,
mudah dilaksanakan, mudah diukur, dengan prosedur yang jelas dan biaya
terjangkau bagi masyarakat maupun penyelenggara. 2. Partisipatif. Penyusunan
Standar Pelayanan dengan melibatkan masyarakat dan pihak terkait untuk
membahas bersama dan mendapatkan keselarasan atas dasar 2 komitmen atau hasil
kesepakatan. 3. Akuntabel. Hal-hal yang diatur dalam Standar Pelayanan harus
dapat dilaksanakan Dan dipertanggungjawabkan kepada pihak yang berkepentingan.
4. Berkelanjutan. Standar Pelayanan harus terus-menerus dilakukan perbaikan
sebagai upaya peningkatan kualitas dan inovasi pelayanan. 5. Transparansi. Standar
Pelayanan harus dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat. 6. Keadilan. Standar
Pelayanan harus menjamin bahwa pelayanan yang diberikan dapat menjangkau
semua masyarakat yang berbeda status ekonomi, jarak lokasi geografis, dan
perbedaan kapabilitas fisik dan mental. (Irwan et al., 2021)
Menghadapi era globalisasi yang penuh tantangan dan peluang, aparatur
negara sebagai pelayan masyarakat yang memberikan pelayanan sebaik-baiknya
menuju good governance. Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat setiap
waktu selalu menuntut pelayanan publik yang berkualitas dari birokrat yang
dilakukan secara transparan dan akuntabilitas. Berangkat dari fakta sementara, saat
ini konsep desentralisasi dan otonomi daerah diartikulasikan oleh daerah untuk
hanya terfokus pada usaha menata dan mempercepat pembangunan di wilayahnya
masing-masing. Penerjemahan seperti ini ternyata belum cukup efisien dalam
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Perkembangan teknologi yang
berkembang pesat mengakibatkan sertiap instansi harus berbenah, dalam berbagai
hal, terutama yang berkaitan dengan pelayanan publik yang efektif dan efisien yaitu
dengan selalu update serta melek teknologi informasi. Desa sebagai garda terdepan
merupakan gerbang pelayanan menuju goodcitizhenship. Sebagai upaya dalam
menciptakan dan memajukan setiap pelayanan publik yang ada. Perkembangan
yang maju juga harus diimbangi oleh SDM yang mumpuni dan memadahi.
Pemerintahan menjadi pelayanan publik dalam keberlangsungan kehidupan
berbagsa dan bernegara terkait adminsitrasi tertib hokum. (Latif, Mustanir, & Irwan,
2019)
Orientasi pelayanan mengartikan pada kualitas birokrasi yang dimanfaatkan
untuk penyelenggaraan pelayanan publik. Sistem pelayanan yang baik dapat dilihat
dari sumber daya manusia yang dimiliki oleh birokrasi, sehingga secara efektif
dapat didayagunakan untuk melayani kepentingan pelayanan. Idealnya, segenap
kemampuan dan sumber daya yang dimiliki oleh birokrasi (pemerintahan)
dikonsentrasikan dalam melayani kebutuhan dan kepentingan masyarakat sebagai
pengguna jasa dari pelayanan itu sendiri.(Mustanir, Justira, et al., 2018)
Pelayanan merupakan tugas utama yang hakiki dari sosok aparatur, sebagai
abdi negara dan abdi masyarakat. Tugas ini telah jelas digariskan dalam pembukaan
UUD 1945 alinea keempat yang meliputi 4 (empat) aspek pelayanan pokok aparatur
terhadap masyarakat, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (Saputro, 2015). Aparat
(Mustanir, Ali, et al., 2020)

C. . METODE
metode penelitian yang digunakan pada peneletian ini adalah metode studi
kepustakaan.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pelayanan masyarakat dapat dikategorikan efektif apabila masyarakat
mendapatkan kemudahan pelayanan dengan prosedur yang singkat, cepat, tepat dan
memuaskan. (Mustanir, Hamid, et al., 2020)
Hak atas pelayanan publik juga merupakan hak yang diakui secara mendunia
sebagaimana diatur dalam International Covenant on Economic, Social, and
Cultural Rights (Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya) serta International Covenant on Civil and Political Rights (Konvenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Hak untuk mendapatkan pelayanan
publik merupakan bagian dari hak asasi setiap warga negara. Hal tersebut
merupakan bagian dari penciptaan good governance. (Mustanir, Fitriani, et al.,
2020)
Pembahasan paradigma ilmu administrasi Negara meliputi pengertian
paradigma,. Perkembangan Paradigma Ilmu administrasi Negara dan paradigma
paling akhir dalam ilmu administrasi Negara yaitu Reinventing Government dan
Good Governance.(Mustanir, Jermsittiparsert, et al., 2020)
Konsep Pelayanan Publik dalam PP No. 96 tahun 2012 menyatakan bahwa
Pelayanan Publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap
warga negara. Standar Pelayanan publik adalah tolak ukur yang dipergunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan publik dan acuan penilaian kualitas
pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam
rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur. Artinya
penyelenggra/pemerintah sebagai pihak yang melayani, mengayomi, dan
memberdayakan lebih mendahulukan kepentingan masyarakatnya diatas
kepentingannya dalam pemenuhan kebutuhan pelayanan, baik itu pelayanan barang
publik, Jasa publik dan pelayanan administratif. Dengan demikian pelayanan
merupakan implementasi dari pada hak dan kewajiban antara negara/pemerintah
dan masyarakat yang harus diwujudkan secara berimbang dalam penyelenggaraan
pemberian pelayanan oleh aparatur negara/pemerintahan. Sekarang ini kualitas
pelayanan yang diberikan kepada masyarakat telah mengalami penurunan kualitas
dan perlu diadakan perbaikan, bila dilihat dari sisi efisiensi dan efektivitas,
responsivitas, kesamaan perlakuan (tidak diskriminatif) maka pelayanan yang
diberikan masih jauh dari yang diharapkan oleh masyarakat dan masih memiliki
berbagai kelemahan. Rendahnya kualitas pelayanan publik yang terjadi akhir-akhir
ini merupakan salah satu sorotan yang diarahkan pada pemerintah dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemberian pelayanan yang baik kepada
masyarakat diharapkan menjadi lebih responsif terhadap kepentingan masyarakat itu
sendiri, di mana paradigma pelayanan masyarakat yang telah berjalan selama ini
beralih dari pelayanan yang sifatnya sentralistik ke pelayanan yang lebih
memberikan fokus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan masyarakat.
(Mustanir, Ibrahim, et al., 2020)
Pasca otonomi daerah, desentralisasi kewenangan harus mampu mendorong
terjadinya layanan publik yang lebih dekat dengan masyarakat yamg membutuhkan.
Kebijakan publik yang dihasilkan diharapkan dapat memangkas rentang birokrasi
yang panjang untuk menghindari penundaan dan penurunan kualitas dari layanan
publik yang menjadi kewajiban negara kepada warganya. Keberhasilan proses
desentralisasi dapat diukur dari kualitas layanan publik yang semakin baik.
Kebijakan desentralisasi yang hanya dimaksudkan untuk menggantikan peran
pemerintah pusat di daerah tanpa melakukan perubahan pada transaksi sosial yang
terjadi, maka sangat sulit diharapkan terjadinya efek positif dari kebijakan publik
tersebut. Oleh sebab itu perbaikan kualitas layanan publik menjadi faktor yang
determinan dalam implementasi kebijakan desentralisasi. Terlebih pelayanan publik
telah diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 di alinea ke-4 (PKP2A II LAN,
2012). (Mustanir, 2019b)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
mengamanatkan pemberian otonomi luas kepada daerah yang diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan, dan peran masyarakat. Dalam penyelenggaraan
pemerintah daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah. Perangkat daerah
Kabupaten Kota terdiri dari Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah,
Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan, dan Kelurahan. (Mustanir & Yasin, 2018)
Dalam bahasa Indonesia, pelayanan diartikan sebagai suatu cara atau
perbuatan dalam melayani (Poerwadarminta, 1982). Sedangkan melayani adalah
menolong menyediakan segala apa yang diperlukan orang lain. (Mustanir &
Jusman, 2016)
Reformasi birokrasi Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah selama
ini lebih diarahkan pada upaya-upaya pembentukan karakter birokrasi yang efisien,
mampu, tanggap dan dinamis terhadap tuntutan-tuntutan yang ditujukan kepada
birokasi itu sendiri yang berdasarkan pada prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan
yang baik (good governance) terutama prinsip transparansi, dan akuntabilitas dalam
pemberian pelayanan publik. (Mustanir, Dema, et al., 2018)
Salah satu fungsi dasar pada pemerintahan adalah menyelenggarakan
pelayanan publik. Layanan admisitratif adalah salah satu jenis pelayanan publik dari
yang ada. Pada Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 25 Tahun Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik menekankan pemerintah harus memberikan
pelayanan publik kepada masyarakat, baik pusat maupun daerah. Dalam era
desentralisasi saat ini, pemerintah desa menjadi salah satu lembaga publik yang
memliki kewenangan dan kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan publik
yang terbuka, efisien dan efektif serta bertanggung jawab. (Mustanir, Yasin, et al.,
2018)
Pelajaran penting dapat dicontoh dari inovasi pelayanan publik di Kabupaten
Bantaeng (Tamimi, 2015), beberapa hal yang patut ditiru dalam inovasi khususnya
dalam hal Tim Emergency Service adalah adanya standar kerja yang tegas dan jelas,
tersedianya kemudahan dan kejelasan tentang informasi, respon time yang jelas atau
tanggapan terhadap persoalan dan penyelesaiannya yang cepat, dukungan teknologi
yang benar-benar membantu pekerjaan, revolusi mental atau mindset berfikir dari
pemerintah atau birokrasi, serta tidak cepat puas atau perbaikan dengan terus
menerus. (Sapri, S., Mustanir, A., Ibrahim, M., Adnan, A. A., Wirfandi, 2019)
Birokrasi diperlukan, tapi terkadang menjadi penghambat dan sumber
masalah berkembangnya demokrasi. Reformasi merupakan langkah-langkah
perbaikan pembusukan politik. (Ibrahim et al., 2020)
Melihat kompleksitas masalah dan implikasinya terhadap pengembangan
praktik good governance, maka pemberian prioritas pada pembenahan kinerja
birokrasi pemerintah dalam pelayanan publik menjadi langkah awal yang sangat
strategis. Kinerja birokrasi dipilih sebagai langkah awal karena selama ini para
pejabat birokrasi lebih menempatkan diri sebagai penguasa yang membutuhkan
pelayanan daripada menjadi pelayan masyarakat sehingga menyebabkan
pengembangan orientasi dan tradisi pelayanan kepada warga dalam orientasi
pemerintah selalu mengalami kesulitan. (Mustanir, Sellang, et al., 2018)
Dalam era otonomi daerah, tuntutan-tuntutan masyarakat kini semakin
beragam, kesadaran akan hak politik, ekonomi dan sosial mereka pun telah
berkembang begitu jauh dibanding satu dekade lalu. Birokrasi dituntut mampu
melakukan transformasi diri (self transformation) untuk menjadi semakin poduktif,
profesional, efisien, efektif, memiliki visi yang jauh ke depan dan berorientasi pada
masyarakat (customers- oriented) dalam menghadapi tantangan kehidupan
masyarakat yang semakin kompleks dan maju seperti sekarang ini, juga justru demi
tercapainya semangat inti pemerintah, birokrasi yang berjiwa wirausaha
(entrepreneurial bureaucracy) menjadi sesuatu yang imperatif.(Mustanir, 2019a)
Era globalisasi yang ditandai dengan semakin terbukanya arus informasi,
komunikasi dan transportasi, komunikasi dan transportasi antar Negara di dunia,
menuntut suatu Negara untuk memprakondisikan dirinya dengan melakukan upaya
pemberdayaan (empowering) dan reformasi total atas kehidupan politik dan
pemerintahan, hukum, ekonomi, sosial, budaya, dan pertanahan serta keamanan
nasional. Dalam kondisi persaingan bebas di era globalisasi, peran pemerintah
mengalami pergeseran, dalam arti bahwa pemerintah sudah tidak lagi menjalankan
peran secara dominan dalam berbagai aktivitas Negara melainkan hanya sebagai
fasilitator bagi kelancaran arus perdagangan dan persaingan bebas. Ini menuntut
kondisi Negara (pemerintah) dangan pernerintah yang bersih dan bebas dari
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) agar memperoleh kepercayaan yang besar
dari masyarakat serta agar terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi peningkatan
arus investasi guna mendorong laju pertumbuhan dan perkembangan ekonomi
maupun mikro ekonomi.(Mustanir, Muhammadiyah, et al., 2019)
The United Development Programme (UNDP) mendefinisikan
kepemerintahan (governance) sebagai Governance is the exercise of economic,
political, and administrative authory to manage a country’s affairs at all levels and
means by which states promote social cohesion, integration, and ensure the well
being of their population.4 Lebih lanjut UNDP menegaskan bahwa “It is complex
mechanisms, process, relationships, and institutions trough which citizens and
groups articulate their interest, exercise their rights and obligations and mediate
their differences”.5(Mustanir & Jaya, 2016)
Entrepreneurial Government (Pemerintahan Bergaya Wirausaha)
Kewirausahaan dikenal sebagai suatu proses penciptaan nilai dengan menggunakan
berbagai sumber daya tertentu untuk mengeksploitasi peluang (Lupiyoadi,1999).
Konsep kewirausahaan telah mendapat perhatian yang sangat luas dan intensif
dikalangan pakar akademis maupun dikalangan praktisi baik ekonomi, manajemen
bisnis serta para pejabat yang bergerak disektor publik. Dalam sejarah
perkembangan konsep kewirausahaan selalu dikaitkan dengan persoalan ekonomi
dan bisnis perusahaan. Dalam bukunya yang berjudul “The Management
Challenge“ James M. Higins (Dalam Mutis,1995) telah menguraikan secara historis
mengenai konsep kewirausahaan dan dianggap sebagai salah satu fungsi ekonomi.
Menurut Hisrich (1986) yang dimaksud kewirausahaan adalah, “Entrepreneurship is
the process of creating something different with value by devoting the necessary
time ang effort, assuming the accompanying financial, psychological and time risks
ang receiving the resulting rewards financially and personal satisfaction”
Selanjutnya Kao (1989) menyatakan bahwa, “wirausaha adalah usaha untuk
menciptakan nilai dengan mengenali peluang bisnis, pengelolaan atas pengambilan
resiko peluang dan melalui komunikasi serta ketrampilan melakukan mobilitas
manusia, finansial dan sumber-sumberyang dibutuhkan agar rencana dapat
terlaksana dengan baik” David Osborne dan Ted Gaebler (1996) dengan karyanya
yang monumental “Reinventing Government,(Mustanir et al., 2017)
How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sektor” mencoba
untuk menemukan kembali pemerintahan dengan mengembangkan konsep
pemerintahan yang bergaya wirausaha (Enterpreneurial Government). Esensi dasar
yang sangat strategis dari pemikiran Osborne dan Ted tersebut berkaitan erat
dengan birokrasi pemerintahan yang tidak lagi berorientasi pada budaya sentralisasi,
strukturalisasi, formalisasi dan apatistik melainkan pada desentralisasi
pemberdayaan, kemitraan, fungsionalisasi dan demokratisasi. Fungsi pemerintahan
yang moderen strateginya harus diarahkan pada daya dukung dan daya dorong
untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses kebijakan,
penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan.

Menurut data statistik, ada sepuluh provinsi dengan angka kemiskinan


tertinggi di Indonesia yang salah satunya termasuk Provinsi Nusa Tenggara Barat
(NTB) yang berada pada urutan kedepalan (8) setelah Provinsi Aceh dengan
pesentase 16,54 %. Dari data tersebut menunjukkan Provinsi NTB memiliki tingkat
kemiskinan yang terbilang masih cukup tinggi. Untuk mengatasi problema
kemiskinan tersebut salah satu langkah pemerintah dengan menanamkan jiwa
wirausaha dalam diri masyarakat melalui konsep reinventing goverment
(mewirusahakan birokrasi). Salah satu prinsip reinventing goverment adalah
pemerintahan milik rakyat (community owned government) yaitu memberi
wewenang ketimbang melayani, dimana Program Pemberdayaan masyarakat adalah
bentuk dari prinsip tersebut. Adapun Program pemberdayaan masyarakat tersebut
berupa program peningkatan kesejahteraan keluarga melalui pemberdayaan
masyarakat pengembangan penghidupan berkelanjutan (PKKPM-P2B) yang
diluncurkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah tertinggal, dan
Transmigrasi melalui Direktoral Jenderal Pembangunan Kawasan Perdesaan pada
tahun 2015 yang manfaatnya sampai tahun 2016 dan seterusnya, masih dapat
dirasakan oleh masyarakat. (Mustanir & Abadi, 2017)

E. DAFTAR PUSTAKA

Adam Latif, Irwan, Muhammad Rusdi, Ahmad Mustanir, M. S. (2019). Partisipasi


Masyarakat Dalam Pembangunan Infrastruktur Di Desa Timoreng Panua Kecamatan
Panca Rijang Kabupaten Sidenreng Rappang. Jurnal MODERAT, 5(1), 5.
https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/moderat/article/view/1898
Ahmad Mustanir1, Hariyanti Hamid2, R. N. S. (2019). Pemberdayaan Kelompok
Masyarakat Desa Dalam Perencanaan Metode Partisipatif. Jurnal Moderat, 5(3), 227–
239.
Akhmad, I., Mustanir, A., & Ramadhan, M. R. (2006). Enrekang. 89–103.
Andi Asmawati AR, Haeruddin Syarifuddin, Abdul Jabbar, Kamaruddin Sellang,
Muhammad Rais Rahmat Razak, Monalisa Ibrahim, A. A. (2021). Sipil Negara
Kabupaten Sidenreng Rappang. Jurnal Sosial-Politika, 2(1), 65–73.
Dawabsheh, M., Mustanir, K., & Jermsittiparsert, K. (2020). School Facilities as a Potential
Predictor of Engineering Education Quality: Mediating Role of Teaching Proficiency
and Professional Development. TEST Engineering & Management, 82(3511), 3511–
3521. http://www.testmagzine.biz/index.php/testmagzine/article/view/1417
Fitrah, N., Mustanir, A., Akbari, M. S., Ramdana, R., Jisam, J., Nisa, N. A., Qalbi, N.,
Febriani, A. F., Irmawati, I., Resky S., M. A., & Ilham, I. (2021). Pemberdayaan
Masyarakat Melalui Pemetaan Swadaya Dengan Pemanfaatan Teknologi Informasi
Dalam Tata Kelola Potensi Desa. SELAPARANG Jurnal Pengabdian Masyarakat
Berkemajuan, 5(1), 337. https://doi.org/10.31764/jpmb.v5i1.6208
Ibrahim, M., Mustanir, A., Astinah Adnan, A., & Alizah P, N. (2020). Pengaruh
Manajemen Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa Terhadap Peningkatan Partisipasi
Masyarakat Di Desa Bila Riase Kecamatan Pitu Riase Kebupaten Sidenreng Rappang.
Movere Journal, 2(2), 56–62. https://doi.org/10.53654/mv.v2i2.118
Irwan, I., Latif, A., & Mustanir, A. (2021). Pendekatan Partisipatif Dalam Perencanaan
Pembangunan di Kabupaten Sidenreng Rappang. GEOGRAPHY Jurnal Kajian,
Penelitian Dan Pengembangan Pendidikan, 9(2), 137–151.
https://journal.ummat.ac.id/index.php/geography/article/view/5153
Irwan, I., Latif, A., Sofyan, Mustanir, A., & Fatimah, Fa. (2019). Gaya Kepemimpinan,
Kinerja Aparatur Sipil Negara dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Pembangunan di
Kecamatan Kulo Kabupaten Sidenreng Rappang. Jurnal Moderat, 5(1), 32–43.
https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/moderat
Jamal, Y., Mustanir, A., & Latif, A. (2020). Penerapan Prinsip Good Governance Terhadap
Aparatur Desa Dalam Pelayanan Publik Di Desa Ciro-Ciroe Kecamatan Watang Pulu
Kabupaten Sidenreng Rappang. PRAJA: Jurnal Ilmiah Pemerintahan, 8(3), 207–212.
https://doi.org/10.55678/prj.v8i3.298
Kholifah R, E., & Mustanir, A. (2019). Food Policy and Its Impact on Local Food.
October, 27–38. https://doi.org/10.32528/pi.v0i0.2465
Latif, A., Mustanir, A., & ir. (2019). Buku Kepemimpinan Adam Irwan 2020.pdf (p. 154).
Latif, A., Mustanir, A., & Irwan, I. (2019). Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Partisipasi
Masyarakat Pada Perencanaan Pembangunan. JAKPP (Jurnal Analisis Kebijakan &
Pelayanan Publik), 144–164. https://doi.org/10.31947/jakpp.v1i2.7977
Mustainir, A., Barisan, & Hamid, H. (2017). Towards Open Goverment: Finding The
Whole-Goverment Approach Participatory Rural Appraisal As The Participatory
Planning Method Of Development Planning. Iapa, 78–84.
Mustanir, A. (2015). Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Bina Desa. Osf.
Mustanir, A. (2016). Magang mahasiswa. 1–7.
https://www.academia.edu/38492683/Panduan_magang_STISIP_Muhammadiyah_Ra
ppang_2015_2016.pdf
Mustanir, A. (2017). Deskripsi Tentang Keamanan Di Gedung dan Jalanan Kota Kuala
Lumpur.
https://www.researchgate.net/publication/331064740_Deskripsi_Tentang_Keamanan_
Di_Gedung_dan_Jalanan_Kota_Kuala_Lumpur
Mustanir, A. (2018). Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam Optimalisasi Pelayanan
Publik dan Potensi Desa Sereang Utilization of Information Technology in Optimizing
Public Services and the Potential of Sereang Village. Doi 10.17605/Osf.Io/Jmsx8.
https://osf.io/preprints/pv4bf/
Mustanir, A. (2019a). Pemberdayaan Badan Usaha Milik Desa Melalui Kelompok
Ekonomi Kewirausahaan Secara Partisipatif Empowerment of Badan Usaha Milik
Desa Through Participatory Entrepreneurship Economic Groups Unggul , Profesional ,
Islami Unggul , Profesional , Islami. Jurnal, February, 2–44.
https://www.researchgate.net/publication/331189545_Pemberdayaan_Badan_Usaha_
Milik_Desa_Melalui_Kelompok_Ekonomi_Kewirausahaan_Secara_Partisipatif
Mustanir, A. (2019b). Pemberdayaan Perempuan Anggota Badan Usaha Milik Desa
dengan Pemanfaatan Lahan Kebun Bibit Desa. https://doi.org/10.31219/osf.io/vs5bw
Mustanir, A. (2020). Implementasi E Government Pemerintahan Desa Dalam Administrasi
Pelayanan Publik (Studi Kasus Web Site Desa Kanie Kecamatan Maritengngae
Kabupaten Sidenreng Rappang). Osf.
Mustanir, A., & Abadi, P. (2017). Partisipasi Masyarakat Dalam Musyawarah Rencana
Pembangunan Di Kelurahan Kanyuara Kecamatan Watang Sidenreng Kabupaten
Sidenreng Rappang. Jurnal Politik Profetik, 5(2), 247–261. http://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/jpp/article/viewFile/4347/3986%0Ahttp://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/jpp/issue/view/636
Mustanir, A., Abadi, P., & A., N. (2017). Participation of Ethnic Community Towani
Tolotang in Deliberation of Development Plan. 84(Iconeg 2016), 356–359.
https://doi.org/10.2991/iconeg-16.2017.79
Mustanir, A., Ali, A., Yasin, A., & Budiman, B. (2020). Transect on Participatory
Development Planning in Sidenreng Rappang Regency. 250–254.
https://doi.org/10.4108/eai.25-10-2019.2300523
Mustanir, A., & Darmiah, D. (2016). Implementasi Kebijakan Dana Desa Dan Partisipasi
Masyarat Dalam Pembangunan Di Desa Teteaji Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten
Sidenreng Rappang. Jurnal Politik Profetik, 4(2), 225–238. http://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/jpp/article/view/2749%0Ahttp://journal.uin-alauddin.ac.id/
index.php/jpp/issue/view/457
Mustanir, A., Dema, H., Syarifuddin, H., Irwan, & Sri Wulandari, K. M. (2018). Pengaruh
Motivasi dan Partisipasi Masyarakat terhadap Pembangunan di Kelurahan Lalebata
Kecamatan Panca Rijang Kabupaten Sidenreng Rappang. Jurnal Ilmiah Clean
Government (JCG), 2(1), 27–39.
http://lonsuit.unismuhluwuk.ac.id/index.php/clean/article/view/212
Mustanir, A., Fitriani, S., Adri, K., Nurnawati, A. A., & Goso, G. (2020). Sinergitas Peran
Pemerintah Desa dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Perencanaan Pembangunan di
Kabupaten Sidenreng Rappang (The Synergy of Village Government’s Role and
Community Participation in the Process of Development Planning in Sidenreng
Rappang D. Journal of Government Science (GovSci), 2020(2), 84–108.
Mustanir, A., Hamid, H., & Syarifuddin, R. N. (2020). Perencanaan Partisipatif Pada
Pemberdayaan Masyarakat Kelompok Wanita Tani. 1, 1–120.
https://play.google.com/store/books/details/Ahmad_Mustanir_S_I_P_M_Si_PERENC
ANAAN_PARTISIPATIF?id=E1sAEAAAQBAJ
Mustanir, A., Ibrahim, M., Rusdi, M., & Jabbareng, M. (2020). Pembangunan Partisipatif
dan Pemberdayaan Masyarakat. July, 111.
Mustanir, A., & Jaya, I. (2016). Pengaruh Kepemimpinan Dan Budaya Politik Terhadap
Perilaku Pemilih Towani Tolotang Di Kecamatan Maritengngae Kabupaten Sidenreng
Rappang. Jurnal Politik Profetik, 4(1), 84–97.
http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/jpp/article/view/2741#%0Ahttp://
journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/jpp/issue/view/430
Mustanir, A., Jermsittiparsert, K., Ali, A., Hermansyah, S., & Sakinah, S. (2020). Village
Head Leadership and Bureaucratic Model Towards Good Governance in Sidenreng
Rappang. https://doi.org/10.4108/eai.21-10-2019.2291532
Mustanir, A., & Jusman. (2016). Implementasi Kebijakan Dan Efektivitas Pengelolaan
Terhadap Penerimaan Retribusi Di Pasar Lancirang Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten
Sidenreng Rappang. Jurnal Ilmiah Akmen, 13(3), 542–558. https://e-jurnal.stienobel-
indonesia.ac.id/index.php/akmen/article/view/69%0Ahttps://e-jurnal.stienobel-
indonesia.ac.id/index.php/akmen/issue/view/6
Mustanir, A., Justira, N., Sellang, K., & Muchtar, A. I. (2018). Democratic Model On
Decision-Making At Deliberations Of Development Planning. International
Conference on Government Leadership and Social Science (ICOGLASS). Demanding
Governance Accountability and Promoting Democratic Leadership for Public Welfare
Achievement, April, 110 – 115.
https://www.researchgate.net/publication/330090538_Democratic_Model_On_Decisio
n-Making_At_Deliberations_Of_Development_Planning
Mustanir, A., Muhammadiyah, U., & Rappang, S. (2019). Pemberdayaan Masyarakat
Kewirausahaan Entrepreneurship Community Empowerment. Jurnal, February, 1–14.
https://www.researchgate.net/publication/331311483_Pemberdayaan_Masyarakat_Ke
wirausahaan
Mustanir, A., & Rusdi, M. (2019). Participatory Rural Appraisal (PRA) Sebagai Sarana
Dakwah Muhammadiyah Pada Perencanaan Pembangunan di Kabupaten Sidenreng
Rappang. Prosiding Konferensi Nasional Ke-8 Asosiasi Program Pascasarjana
Perguruan Tinggi Muhammadiyah Aisyiyah (APPPTMA), 467–475.
http://asosiasipascaptm.or.id/index.php/publikasi/prosiding-konferensi-nasional-
appptma-ke-8
Mustanir, A., Samad, Z., Jabbar, A., Ibrahim, M., & Juniati, J. (2019). Kepemimpinan
Lurah Terhadap Pemberdayaan Masyarakat Di Kelurahan Lautang Benteng Kabupaten
Sidenreng Rappang. Journal of Social Politics and Governance (JSPG), 1(2), 99–118.
https://doi.org/10.24076/jspg.v1i2.185
Mustanir, A., Sellang, K., Ali, A., Madaling, M., & Mutmainna, M. (2018). Peranan
Aparatur Pemerintah Desa Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Musyawarah
Perencanaan Pembangunan Di Desa Tonrongnge Kecamatan Baranti Kabupaten
Sidenreng Rappang. Jurnal Ilmiah Clean Government (JCG), 2(1), 67–84.
http://lonsuit.unismuhluwuk.ac.id/index.php/clean/article/view/213
Mustanir, A., & Yasin, A. (2018). Community Participation in Transect on Development
Planning. Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi Publik, 8(2), 137.
https://doi.org/10.26858/jiap.v8i2.7994
Mustanir, A., Yasin, A., Irwan, & Rusdi, M. (2018). Potret Irisan Bumi Desa Tonrong
Rijang Dalam Transect Pada Perencanaan Pembangunan Partisipatif. Jurnal
MODERAT, 4(November), 1–14. https://media.neliti.com/media/publications/44443-
ID-pengaruh-komponen-indeks-pembangunan-manusia-terhadap-pertumbuhan-
ekonomi-provin.pdf
Samad, Z., Mustanir, A., & Pratama, M. Y. P. (2019). Partisipasi Masyarakat Dalam
Musyawarah Rencana Pembangunan Untuk Mewujudkan Good Governance
Kabupaten Enrekang. Moderat: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, 5(4), 379–395.
https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/moderat/article/viewFile/3014/2750
Sapri, S., Mustanir, A., Ibrahim, M., Adnan, A. A., Wirfandi, W. (2019). Peranan Camat
dan Partisipasi Masyarakat Dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Di
Kecamatan Enrekang Kabupaten Enrekang. MODERAT: Jurnal Ilmiah Ilmu
Pemerintahan, 5(2), 33–48.
https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/moderat/article/view/2127
Sulaeman, Z., Mustanir, A., & Muchtar, A. I. (2019). Partisipasi Masyarakat Terhadap
Perwujudan Good Governance Di Desa Damai Kecamatan Watang Sidenreng
Kabupaten Sidenreng Rappang. PRAJA: Jurnal Ilmiah Pemerintahan, 7(3), 88–92.
https://doi.org/10.51817/prj.v7i3.374
Uceng, A., Ali, A., Mustanir, A., Universitas Muhammadiyah Sidenreng Rappang
ABSTRAK, M., Kunci, K., Masyarakat, P., & Sumber Daya Manusia, P. (2019).
Analisis Tingkat Partisipasi Masyarakat Terhadap Pembangunan Sumber Daya
Manusia Di Desa Cemba Kecamatan Enrekang Kabupaten Eenrekang Dosen
Universitas Muhammadiyah Sidenreng Rappang 4). Jurnal MODERAT, 5(2), 1–17.
Uceng, A., Erfina, E., Mustanir, A., & Sukri, S. (2019). Partisipasi Masyarakat Dalam
Musyawarah Perencanaan Pembangunan Di Desa Betao Riase Kecamatan Pitu Riawa
Kabupaten Sidenreng Rappang. MODERAT: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, 5(2),
18–32. https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/moderat/article/view/2126

Anda mungkin juga menyukai