Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan prinsip-prinsip good
governance terhadap kinerja pelayanan publik pada harus lebih berorientasi pada tujuan paradigma pemerintahan yang didasarkan pada pendekatan manajemen baru, baik secara teori maupun praktis. Secara bersamaan, paradigma dari tujuan pemerintahan diharapkan dapat menghilangkan praktek bahwa birokrasi Weberian adalah negatif seperti struktur birokrasi hierarkhikal yang menghasilkan biaya operasional lebih mahal (ekonomi biaya tinggi) daripada manfaat yang diperoleh, prevalensi birokrasi, kurangnya inisiatif dan kreativitas aparatur, pertumbuhan mediokratis budaya (sebagai lawan dari budaya meritokratis) dan in-efisiensi. Oleh karena itu, institusi pelayanan publik dapat dilakukan oleh pemerintah dan organisasi non-pemerintah. Jika pemerintah, organisasi birokrasi pemerintah adalah garis depan organisasi (jalan birokrasi tingkat) terkait dengan pelayanan publik. Jika non-pemerintah, kemudian membentuk organisasi partai politik, organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi masyarakat sipil yang lain. Siapapun pelayanananya bentuk kelembagaan, hal yang paling penting adalah bagaimana memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingan.
Kata kunci: Good Governance, Kemitraan, Pelayanan Publik
A. PENDAHULUAN Good governance merupakan prasyaratan utama untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan Negara. Dalam rang- ka hal tersebut, diperlukan pengem- bangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas dan nyata sehingga dalam penyelenggaraan pemerintahan dapat berlangsung secara berdaya guna, berhasil guna bertanggung jawab serta bebas KKN. Konsep good gov- ernance untuk dilaksanakan dalam penye- lenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dilatar belakangi oleh banyak faktor. Namun demikian salah satu faktor yang terbesar adalah ketidak berdayaan pemerintah negara-negara berkembang dalam menghadapi era globalisasi yang penuh dengan persaingan kompetensi standar tinggi. Pemerintah tidak lagi men- jadi pemain tetapi mengharapkan peran lebih besar dari sektor swasta dan masyarakat sipil. (Latif, Mustanir, & ir, 2019) Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, sehingga masih diperlukan adanya penyadaran kesetiaan terhadap bangsa dan negara. Ketika ada riak-riak kecil dan persilangan kepentingan, itu biasa dalam kehidupan bangsa dan itu suatu dinamika, sejauh menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan kelompok. Malahan akan menjadi statis jika isu persatuan dan kesatuan itu dikedepankan dengan mematikan dinamika, dan hal ini tidak sehat bagi masa depan bangsa kita yang akan menghadapi tantangan-tantangan berat memasuki era globalisasi.(Dawabsheh et al., 2020) Kemandirian birokrasi merupakan prasyarat bagi berlangsungnya fungsi birokrasi yang Hegelian. Hegel melihat fungsi birokrasi adalah sebagai penghubung antara negara dengan civil society. Negara mengejawantahkan kepentingan umum sedang civil society mempresentasikan kepentingan khusus yang ada di dalam masyarakat. Keberhasilan birokrasi diukur dari kemampuannya untuk mengartikulasikan kepentingan-kepentingan khusus di dalain masyarakat dan mengkorporasikannya di dalam kepentingan umum Negara.(Kholifah R & Mustanir, 2019) Pelayanan publik di Indonesia masih sangat rendah. Buruknya pelayanan publik memang bukan hal baru, fakta di lapangan masih banyak menunjukkan hal ini. Beberapa masalah penting yang banyak terjadi di lapangan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu pertama, besarnya diskriminasi pelayanan. Penyelenggaraan pelayanan masih amat dipengaruhi oleh hubungan per-konco-an, kesamaan afiliasi politik, etnis, dan agama. Fenomena semacam ini tetap marak walaupun telah diberlakukan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN yang secara tegas menyatakan keharusan adanya kesamaan pelayanan, bukannya diskriminasi. Kedua, tidak adanya kepastian biaya dan waktu pelayanan. Ketidakpastian ini sering menjadi penyebab munculnya KKN, sebab para pengguna jasa cenderung memilih menyogok dengan biaya tinggi kepada penyelenggara pelayanan untuk mendapatkan kepastian dan kualitas pelayanan. Dan ketiga, rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik. Ini merupakan konsekuensi logis dari adanya diskriminasi pelayanan dan ketidak pastian tadi. (Fitrah et al., 2021) Krisis ekonomi di Indonesia berjalan cukup lama sejak Juli 1997 sampai sekarang, bahkan kali ini sudah berkembang menjadi krisis multi dimensi, krisis Iman, Moral, dan Taqwa diperkirakan akan cukup lama paling tidak 10 tahun. Bagai- mana sikap pengusaha dan aparat pemerintah di dalam mengantisipasi situasi seperti ini. Yang menjadi permasalahan adalah sebelum kita membahas hal tersebut perlu kita flash back dengan situasi reformasi sejak 1999 dan sejak diberlakukan- nya UU No. 22 dan 25 Tahun 1999 pada 1 Januari 2000 tentang Otonomi Daerah. Otonomi Daerah adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Dari batasan di atas nampak jelas bahwa keputusan-keputusan pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan pembangunan daerah telah bergeser dari dominan sentralistik menuju desentralistis. (Mustanir & Rusdi, 2019) Pola sentralisasi masih melekat dalam manajemen pelayanan publik masa kini. Hal tersebut tentunya menjadi sangat problematis dan dilematis mengingat diskursus inovasi penyelenggaraan pelayanan publik mulai banyak dipratikkan di level daerah sebagai manifestasi mempublikkan pelayanan publik yang efisien, efektif, dan demokratis. Proses transisi reformasi pelayanan publik yang masih berjalan lambat dan setengah – tengah ditengarai menjadi penyebabnya sehingga terjadi ambivalensi dalam proses pelayanan publik. Adapun ambivalensi yang dimaksud adalah citra biner yang ditampilkan antara keinginan “relatif” birokrat untuk berubah sesuai tuntuan reformasi pelayanan berbasiskan mekanisme pasar, sementara ada keinginan lain yang ingin mempertahankan unsur konservatif yakni mempertahankan adanya sentralisasi pelayanan publik yang komprehensif di Samsat dengan warisan prosedur yang membingungkan. Adapun dinamika perubahan dari Old Public Administration menuju New Public Management sendiri tidak berjalan mulus dalam pelayanan di Kantor Samsat yang justru tidaklah berjalan maksimal. Yang terjadi justru adalah dikotomi praktik pelayanan publik di mana Kantor Samsat Kota Yogyakarta masih menggunakan cara – cara konvensional, sementara pada kasus yang terjadi di Samsat Drive Thru adalah bentuk pelayanan publik berbasiskan NPM.(Jamal et al., 2020) Pada era orde baru, praktik KKN dan kepentingan penguasa seakan-akan menjadi perilaku para birokrat. Bahkan birokrasi yang berjalan di dalamnya seakan- akan dibangun untuk memperkuat para penguasa dan diibarakan sebagai kerajaan pejabat (Thoha, 2012). Padahal fungsi birokrasi ini menentukan kemiskinan, kesenjangan, dan pertumbuhan ekonomi suatu negara (Rasul and Rogger, 2017). Perilaku birokrat yang cenderung melalukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin mengerucutkan image negatif birokrasi publik di masyarakat Memasuki era reformasi, tantangan pemerintah Indonesia dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik adalah dengan mengatasi krisis kepercayaan masyarakat terhadap layanan publik. Krisis yang muncul akibat bangunan birokrasi selama periode orde baru ini bahkan memicu protes di tingkat pusat maupun daerah (Dwiyanto et al., 2002; Thoha, 2012). Akibat dari perilaku birokrat yang cenderung tidak mendukung pelayanan publik telah menyebabkan tujuan awal birokrat dalam memberikan layanan publik bergeser ke arah pragmatisme dan menurunkan integritas dan kualitasnya (Horhoruw et al., 2012). Idealnya penyelenggaraan layanan publik oleh aparat pemerintah pemberi layanan public harus dilakukan tanpa adanya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) (Girindrawardana, 2002). Lebih lanjut, dari sebuah survei dilaporkan bahwa indeks integritas layanan publik berada di peringkat 70 dari 109 negara, bahkan di bawah negara-negara tetangga seperti Timor Leste, Filipina, Malaysia, dan Thailand. Bahkan, dalam survei tersebut, komponen layanan administrasi menjadi yang terburuk dengan berada pada peringkat 97 (Mungiu- Pippidi et al., 2017). Hal tersebut sekaligus menandakan bahwa perlu adanya perbaikan terutama pada aspek administrasi publik agar penyelenggaraan pelayanan publik menjadi lebih optimal. (Akhmad et al., 2006) Implikasi otonomi daerah secara kausalitas telah membuka peluang re- orientasi sistem tata kelola pemerintahan daerah untuk menjadi lebih baik. Sebuah tatanan sistem yang melampaui normativitas sistem birokratis ori- ented dengan memberikan peluang sebesar-besarnya kepada daerah. Pe- luang untuk mengelola daerahnya sendiri sesuai dengan idealitas, cita-cita, dan harapan masyarakat. Sebuah idealitas, cita-cita dan harapan masyarakat dalam orientasi maksimalisasi capaian hasil untuk memberikan pelayanan publik (public services)1.Maksimalisasi capaian hasil berupa percepatan pem-bangunan daerah dalam iklim transparansi, pemerataan, dan berkeadilan.(Sulaeman et al., 2019) Artikulasi kebijakan, benar-benar diterjemahkan sebagai peluang ke- 1Widjaja, bijakan yang berangkat dari potensi lokalitas daerah dan ditujukan untuk kemajuan dan kemakmuran daerah tersebut. Suatu kebijakan yang mem- berikan pelayanan sebaik- baiknya kepada masyarakat, kesejahteraan masya- rakat, dan ketentraman masyarakat. Apa yang menjadi kebutuhan masya- rakat, benar-benar terlayani melalui kebijakan pemerintah daerah yang ada 2. Sebagai contoh, tidak adanya masyarakat yang dilarang bersekolah karena mahalnya pendidikan, dan tidak ada larangan masyarakat yang sakit untuk berobat karena mahalnya pengobatan. Semua kebutuhan masyarakat yang sifatnya prinsip adalah tanggung jawab pemerintah. Tarikannya pada oto- nomi daerah adalah tanggung jawab pemerintah daerah pula untuk me- layani masyarakatnya. (Mustanir, 2017) Pada masa kemerdekaan atau masa Orde Lama, misalnya, pernyataan tentang otonomi yang seluas-luasnya tercantum dalam UU No. 1 tahun 1945, UU No. 22 tahun 1948, dan disusul kemudian dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957. Setahun sebelumnya juga muncul undang-undang yang mengatur perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, yakni Undang- Undang No. 32 Tahun 1956. Di era pemerintahan Orde Baru, kita mengenal Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang menegaskan bahwa otonomi daerah dititikberatkan pada daerah tingkat II. Selanjutnya, pasal 11 undang-undang ini menyebutkan bahwa pelaksanaan otonomi dengan titik berat pada daerah tingkat II dilaksanakan dengan memuat tiga aspek utama, yakni aspek administrasi, aspek politik, dan aspek kemandirian. Aspek administrasi merujuk pada pemerataan dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Aspek politik merujuk pada upaya pendemokrasian pemerintah di daerah, sedangkan aspek kemandirian dimaksudkan agar daerah mampu mandiri, khususnya dalam melaksanakan urusan rumah tangganya sehingga pemerintah daerah dituntut untuk menciptakan kondisi di mana masyarakat ikut berperan serta, kreatif, dan inovatif dalam pembangunan daerah. Dengan demikian, isu mengenai otonomi daerah telah lama diperdebatkan dalam tata pemerintahan Indonesia, terutama dalam konteks hubungan antara pusat dan daerah. (Mustainir et al., 2017) B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Reinventing Government Reinveting Government yaitu praktik manajemen publik yang didukung oleh birokrasi dengan semangat kewirausahaan. Beberapa acuan utama dalam menyelenggarakan pemerintahan yang berorientasi kewirausahaan menurut prinsip dasar Osborne dan Gaebler (1992) yang harus diterapkan pada sektor publik adalah: Pertama, pemerintahan yang katalis, yaitu tidak hanya terfokus pada penyediaan jasa publik, tetapi juga dalam mengkatalisasi seluruh sektor publik, swasta, dan sukarelawan dalam bertindak menyelesaikan masalah di komunitas mereka. Kedua, memberdayakan rakyat dengan memberikan wewenang dalam pengendalian. (empowering rather than service). Ketiga, pemerintahan kompetitif, menciptakan persaingan pelayanan. Keempat, pemerintahan yang digerakkan oleh misi, mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan dan regulasi. Kelima, pemerintahan yang berorientasi hasil, membiayai hasil bukan masukan (funding outcomes, not input). Keenam, pemerintahan berorientasi pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan dan menyediakan pilihan bagi mereka. Ketujuh, pemerintahan wirausaha: menghasilkan ketimbang membelanjakan (earning rather than spending). Kedelapan pemerintahan yang antisipatif: mencegah daripada mengobati, Kesembilan, pemerintahan desentralisasi. Kesepuluh, pemerintahan berorientasi pasar: mendongkrak perubahan melalui pasar (leveraging change through out the market). (Mustanir, 2015) Konsep good governance muncul karena adanya ketidakpuasan pada kinerja pemerintahan yang selama ini dipercaya sebagai penyelenggara urusan publik. Menerapkan praktik good governance dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kapasitas pemerintah, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar. Salah satu pilihan strategis untuk menerapkan good governance di Indonesia adalah melalui penyelenggaraan pelayanan publik.(Mustanir, 2018) “ Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa dan / atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik (Pemerintah). “ (Mustanir, 2016) Gagasan Reinventing Government yang dicetuskan oleh David Osborne dan Ted Gaebler adalah gagasan yang mengkritisi dan memperbaiki konsep- konsep dan teori-teori klasik tersebut untuk optimalisasi pelayanan publik. Gagasan Reinventing Government dikemukakan oleh David Osborne dan Ted Gaebler pada tahun l992. Gagasan ini muncul sebagai respon atas buruknya pelayanan publik yang terjadi di pemerintahan Amerika Serikat sehingga timbul krisis kepercayaan terhadap pemerintah. (Mustanir, 2020) Di dalam Buku “reinventing government, how intrepreneural spirit is transporming in the public sector” karya David Osborn dan Peter Plastrik (1993) dikategorikan sebagai salahsatu karya yang banyak dibaca kalangan pemerhati ilmu administrasi. Walaupun bukan untuk pertamankali, usaha menginjeksi semangat keweirausahaan ke dalam sector public, buku tersebut memberikan nuansa aplikasi penerapan disektor pengelolaan sumberdaya pemerintah lebih mudah di pahami. (Samad et al., 2019) Menurut David Osborne dalam bukunya Reinventing Government (hal. xix) dijelaskan sebagai berikut ”Istilah pemerintahan wirausaha” – mungkin mengejutkan banyak pembaca, yang berpikir bahwa wirausahawan semata-mata adalah pria atau wanita yang menjalankan bisnis. Tetapi arti sebenarnya adalah dari kata wirausaha (entrepreneurial) jauh lebih luas. Kata ini diciptakan oleh ahli ekonomi berkebangsaan Perancis, J.B. Say, sekitar tahun 1800. ”Wirausaha” tulis Say” memindahkan berbagai sumber ekonomi dari suatu wilayah dengan produktivitas rendah ke wilayah dengan produktivitas lebih tinggi dan hasil yang lebih besar”. Dengan kata lain, seorang wirausahawan menggunakan sumber daya dengan cara baru untuk memaksimalkan produktivitas dan efektivitas. (Uceng, Erfina, et al., 2019) Pelayanan publik menjadi tolok ukur keberhasilan pelaksanaan tugas dan pengukuran kinerja pemerintah melalui birokrasi. Pelayanan publik sebagai penggerak utama juga dianggap penting oleh semua aktor dari unsur good governance. Para pejabat publik, unsur-unsur dalam masyarakat sipil dan dunia usaha sama-sama memiliki kepentingan terhadap perbaikan kinerja pelayanan publik. Ada tiga alasan penting yang melatarbelakangi bahwa pembaharuan pelayanan publik dapat mendorong praktik good governance di Indonesia. Pertama, perbaikan kinerja pelayanan publik dinilai penting oleh stakeholders, yaitu pemerintah, warga, dan sektor usaha. Kedua. Pelayanan publik adalah ranah dari ketiga unsur governance melakukan interaksi yang sangat intensif. Ketiga, nilai- nilai yang selama ini mencirikan praktik good governance diterjemahkan secara lebih mudah dan nyata melalui pelayanan publik. (Uceng, Ali, et al., 2019) Reformasi pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai pengembangan good governance. Sebab, pertama,pelayanan publik menjadi ranah interaksi antara negara yangdiwakili pemerintah dan lembaga-lembaga non- pemerintah (masyarakat sipil dan mekanisme pasar). Dan, kedua, berbagai aspek good governance dapat diartikulasikan secara lebih mudah pada ranah pelayanan publik, sekaligus lebih mudah dinilai kinerjanya. (Mustanir & Darmiah, 2016) Krisis kepercayaan terhadap sistem pemerintahan birokrasi Negara kita pada saat ini sangatlah tinggi, hal ini amat mudah dipahami mengingat birokrasi public selama ini menjadi instrument yang sangat efektif bagi penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Birokrasi public, baik sipil maupun militer telah menempatkan dirinya lebih sebagai alat penguasa daripada pelayan masyarakat. Kepentingan penguasa cenderung menjadi sentral darerung menjadi sentral dari kehidupan dan perilaku birokrasi public. Hal ini tercermin dalam proses kebijakan public yang kepentingan penguasa itu selalu menjadi criteria yang dominan dan sering kali menggusur kepentingan masyarakat yang banyak manakala keduanya tidak berjalan bersama-sama. Kesempatan dan ruang yang dimiliki oleh masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan public selama ini juga amat terbatas. Akibatnya banyak kebijakan public dan program-program pemerintah yang tidak responsive dan mengalami kegagalan karena tidak memperoleh dukungan dari masyarakat. (Adam Latif, Irwan, Muhammad Rusdi, Ahmad Mustanir, 2019) Berbicara mengenai efektivitas, pada dasarnya pelayanan masyarakat dapat dikategorikan efektif apabila masyarakat mendapatkan kemudahan dengan prosedur yang singkat, cepat, dan tepat serta memuaskan. Keberhasilan dalam meningkatkan efektivitas pelayanan umum ditentukan oleh faktor kemampuan pemerintah dalam meningkatkan disiplin kerja aparat pelayanan. (Ahmad Mustanir1, Hariyanti Hamid2, 2019) Indonesia termasuk negara sedang berkembang, permasalahan yang ada di negara berkembang lebih kompleks dibandingkan dengan negara-negara maju, mulai dari pertumbuhan penduduk yang tinggi, kesenjangan sosial, hingga kurangnya sarana dan prasarana yang menunjang pembangunan itu sendiri. Diantara banyak permasalahan itu adalah kemacetan atau kongesti. Kemacetan adalah situasi atau keadaan tersendatnya atau bahkan terhentinya lalu lintas yang disebabkan oleh banyaknya jumlah kendaraan melebihi kapasitas jalan. Kemacetan banyak terjadi di kota-kota besar, terutamanya yang tidak mempunyai transportasi publik yang baik atau memadai ataupun juga tidak seimbangnya kebutuhan jalan dengan kepadatan penduduk, misalnya Semarang, Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Kemacetan sering dijumpai di kota-kota besar di negara berkembang seperti Semarang, Jakarta, Makassar dan kota-kota lainnya. (Andi Asmawati AR, Haeruddin Syarifuddin, Abdul Jabbar, Kamaruddin Sellang, Muhammad Rais Rahmat Razak, Monalisa Ibrahim, 2021) Undang-undang nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik, pelayanan public merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan. Di jelaskan pula dalam Undang-undang nomor 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik pada Bab II pasal 3 dijabarkan tentang tujuan undang- undang tentang pelayanan publik (Mustanir, Samad, et al., 2019): a. Terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik; b. Terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik; c. Terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan public sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan d. Terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik.(Irwan et al., 2019) Dalam Permenpan Nomor 15 Tahun 2014 tentang pedoman standard pelayanan public Bab II Bagian B dijelaskan mengenai prinsip dalam penyusunan, penetapan, dan penerapan Standar Pelayanan dilakukan dengan memperhatikan prinsip: 1. Sederhana. Standar Pelayanan yang mudah dimengerti, mudah diikuti, mudah dilaksanakan, mudah diukur, dengan prosedur yang jelas dan biaya terjangkau bagi masyarakat maupun penyelenggara. 2. Partisipatif. Penyusunan Standar Pelayanan dengan melibatkan masyarakat dan pihak terkait untuk membahas bersama dan mendapatkan keselarasan atas dasar 2 komitmen atau hasil kesepakatan. 3. Akuntabel. Hal-hal yang diatur dalam Standar Pelayanan harus dapat dilaksanakan Dan dipertanggungjawabkan kepada pihak yang berkepentingan. 4. Berkelanjutan. Standar Pelayanan harus terus-menerus dilakukan perbaikan sebagai upaya peningkatan kualitas dan inovasi pelayanan. 5. Transparansi. Standar Pelayanan harus dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat. 6. Keadilan. Standar Pelayanan harus menjamin bahwa pelayanan yang diberikan dapat menjangkau semua masyarakat yang berbeda status ekonomi, jarak lokasi geografis, dan perbedaan kapabilitas fisik dan mental. (Irwan et al., 2021) Menghadapi era globalisasi yang penuh tantangan dan peluang, aparatur negara sebagai pelayan masyarakat yang memberikan pelayanan sebaik-baiknya menuju good governance. Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat setiap waktu selalu menuntut pelayanan publik yang berkualitas dari birokrat yang dilakukan secara transparan dan akuntabilitas. Berangkat dari fakta sementara, saat ini konsep desentralisasi dan otonomi daerah diartikulasikan oleh daerah untuk hanya terfokus pada usaha menata dan mempercepat pembangunan di wilayahnya masing-masing. Penerjemahan seperti ini ternyata belum cukup efisien dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Perkembangan teknologi yang berkembang pesat mengakibatkan sertiap instansi harus berbenah, dalam berbagai hal, terutama yang berkaitan dengan pelayanan publik yang efektif dan efisien yaitu dengan selalu update serta melek teknologi informasi. Desa sebagai garda terdepan merupakan gerbang pelayanan menuju goodcitizhenship. Sebagai upaya dalam menciptakan dan memajukan setiap pelayanan publik yang ada. Perkembangan yang maju juga harus diimbangi oleh SDM yang mumpuni dan memadahi. Pemerintahan menjadi pelayanan publik dalam keberlangsungan kehidupan berbagsa dan bernegara terkait adminsitrasi tertib hokum. (Latif, Mustanir, & Irwan, 2019) Orientasi pelayanan mengartikan pada kualitas birokrasi yang dimanfaatkan untuk penyelenggaraan pelayanan publik. Sistem pelayanan yang baik dapat dilihat dari sumber daya manusia yang dimiliki oleh birokrasi, sehingga secara efektif dapat didayagunakan untuk melayani kepentingan pelayanan. Idealnya, segenap kemampuan dan sumber daya yang dimiliki oleh birokrasi (pemerintahan) dikonsentrasikan dalam melayani kebutuhan dan kepentingan masyarakat sebagai pengguna jasa dari pelayanan itu sendiri.(Mustanir, Justira, et al., 2018) Pelayanan merupakan tugas utama yang hakiki dari sosok aparatur, sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Tugas ini telah jelas digariskan dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang meliputi 4 (empat) aspek pelayanan pokok aparatur terhadap masyarakat, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (Saputro, 2015). Aparat (Mustanir, Ali, et al., 2020)
C. . METODE metode penelitian yang digunakan pada peneletian ini adalah metode studi kepustakaan.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pelayanan masyarakat dapat dikategorikan efektif apabila masyarakat mendapatkan kemudahan pelayanan dengan prosedur yang singkat, cepat, tepat dan memuaskan. (Mustanir, Hamid, et al., 2020) Hak atas pelayanan publik juga merupakan hak yang diakui secara mendunia sebagaimana diatur dalam International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) serta International Covenant on Civil and Political Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Hak untuk mendapatkan pelayanan publik merupakan bagian dari hak asasi setiap warga negara. Hal tersebut merupakan bagian dari penciptaan good governance. (Mustanir, Fitriani, et al., 2020) Pembahasan paradigma ilmu administrasi Negara meliputi pengertian paradigma,. Perkembangan Paradigma Ilmu administrasi Negara dan paradigma paling akhir dalam ilmu administrasi Negara yaitu Reinventing Government dan Good Governance.(Mustanir, Jermsittiparsert, et al., 2020) Konsep Pelayanan Publik dalam PP No. 96 tahun 2012 menyatakan bahwa Pelayanan Publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara. Standar Pelayanan publik adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan publik dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur. Artinya penyelenggra/pemerintah sebagai pihak yang melayani, mengayomi, dan memberdayakan lebih mendahulukan kepentingan masyarakatnya diatas kepentingannya dalam pemenuhan kebutuhan pelayanan, baik itu pelayanan barang publik, Jasa publik dan pelayanan administratif. Dengan demikian pelayanan merupakan implementasi dari pada hak dan kewajiban antara negara/pemerintah dan masyarakat yang harus diwujudkan secara berimbang dalam penyelenggaraan pemberian pelayanan oleh aparatur negara/pemerintahan. Sekarang ini kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat telah mengalami penurunan kualitas dan perlu diadakan perbaikan, bila dilihat dari sisi efisiensi dan efektivitas, responsivitas, kesamaan perlakuan (tidak diskriminatif) maka pelayanan yang diberikan masih jauh dari yang diharapkan oleh masyarakat dan masih memiliki berbagai kelemahan. Rendahnya kualitas pelayanan publik yang terjadi akhir-akhir ini merupakan salah satu sorotan yang diarahkan pada pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemberian pelayanan yang baik kepada masyarakat diharapkan menjadi lebih responsif terhadap kepentingan masyarakat itu sendiri, di mana paradigma pelayanan masyarakat yang telah berjalan selama ini beralih dari pelayanan yang sifatnya sentralistik ke pelayanan yang lebih memberikan fokus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan masyarakat. (Mustanir, Ibrahim, et al., 2020) Pasca otonomi daerah, desentralisasi kewenangan harus mampu mendorong terjadinya layanan publik yang lebih dekat dengan masyarakat yamg membutuhkan. Kebijakan publik yang dihasilkan diharapkan dapat memangkas rentang birokrasi yang panjang untuk menghindari penundaan dan penurunan kualitas dari layanan publik yang menjadi kewajiban negara kepada warganya. Keberhasilan proses desentralisasi dapat diukur dari kualitas layanan publik yang semakin baik. Kebijakan desentralisasi yang hanya dimaksudkan untuk menggantikan peran pemerintah pusat di daerah tanpa melakukan perubahan pada transaksi sosial yang terjadi, maka sangat sulit diharapkan terjadinya efek positif dari kebijakan publik tersebut. Oleh sebab itu perbaikan kualitas layanan publik menjadi faktor yang determinan dalam implementasi kebijakan desentralisasi. Terlebih pelayanan publik telah diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 di alinea ke-4 (PKP2A II LAN, 2012). (Mustanir, 2019b) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah mengamanatkan pemberian otonomi luas kepada daerah yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran masyarakat. Dalam penyelenggaraan pemerintah daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah. Perangkat daerah Kabupaten Kota terdiri dari Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan, dan Kelurahan. (Mustanir & Yasin, 2018) Dalam bahasa Indonesia, pelayanan diartikan sebagai suatu cara atau perbuatan dalam melayani (Poerwadarminta, 1982). Sedangkan melayani adalah menolong menyediakan segala apa yang diperlukan orang lain. (Mustanir & Jusman, 2016) Reformasi birokrasi Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah selama ini lebih diarahkan pada upaya-upaya pembentukan karakter birokrasi yang efisien, mampu, tanggap dan dinamis terhadap tuntutan-tuntutan yang ditujukan kepada birokasi itu sendiri yang berdasarkan pada prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) terutama prinsip transparansi, dan akuntabilitas dalam pemberian pelayanan publik. (Mustanir, Dema, et al., 2018) Salah satu fungsi dasar pada pemerintahan adalah menyelenggarakan pelayanan publik. Layanan admisitratif adalah salah satu jenis pelayanan publik dari yang ada. Pada Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 25 Tahun Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menekankan pemerintah harus memberikan pelayanan publik kepada masyarakat, baik pusat maupun daerah. Dalam era desentralisasi saat ini, pemerintah desa menjadi salah satu lembaga publik yang memliki kewenangan dan kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan publik yang terbuka, efisien dan efektif serta bertanggung jawab. (Mustanir, Yasin, et al., 2018) Pelajaran penting dapat dicontoh dari inovasi pelayanan publik di Kabupaten Bantaeng (Tamimi, 2015), beberapa hal yang patut ditiru dalam inovasi khususnya dalam hal Tim Emergency Service adalah adanya standar kerja yang tegas dan jelas, tersedianya kemudahan dan kejelasan tentang informasi, respon time yang jelas atau tanggapan terhadap persoalan dan penyelesaiannya yang cepat, dukungan teknologi yang benar-benar membantu pekerjaan, revolusi mental atau mindset berfikir dari pemerintah atau birokrasi, serta tidak cepat puas atau perbaikan dengan terus menerus. (Sapri, S., Mustanir, A., Ibrahim, M., Adnan, A. A., Wirfandi, 2019) Birokrasi diperlukan, tapi terkadang menjadi penghambat dan sumber masalah berkembangnya demokrasi. Reformasi merupakan langkah-langkah perbaikan pembusukan politik. (Ibrahim et al., 2020) Melihat kompleksitas masalah dan implikasinya terhadap pengembangan praktik good governance, maka pemberian prioritas pada pembenahan kinerja birokrasi pemerintah dalam pelayanan publik menjadi langkah awal yang sangat strategis. Kinerja birokrasi dipilih sebagai langkah awal karena selama ini para pejabat birokrasi lebih menempatkan diri sebagai penguasa yang membutuhkan pelayanan daripada menjadi pelayan masyarakat sehingga menyebabkan pengembangan orientasi dan tradisi pelayanan kepada warga dalam orientasi pemerintah selalu mengalami kesulitan. (Mustanir, Sellang, et al., 2018) Dalam era otonomi daerah, tuntutan-tuntutan masyarakat kini semakin beragam, kesadaran akan hak politik, ekonomi dan sosial mereka pun telah berkembang begitu jauh dibanding satu dekade lalu. Birokrasi dituntut mampu melakukan transformasi diri (self transformation) untuk menjadi semakin poduktif, profesional, efisien, efektif, memiliki visi yang jauh ke depan dan berorientasi pada masyarakat (customers- oriented) dalam menghadapi tantangan kehidupan masyarakat yang semakin kompleks dan maju seperti sekarang ini, juga justru demi tercapainya semangat inti pemerintah, birokrasi yang berjiwa wirausaha (entrepreneurial bureaucracy) menjadi sesuatu yang imperatif.(Mustanir, 2019a) Era globalisasi yang ditandai dengan semakin terbukanya arus informasi, komunikasi dan transportasi, komunikasi dan transportasi antar Negara di dunia, menuntut suatu Negara untuk memprakondisikan dirinya dengan melakukan upaya pemberdayaan (empowering) dan reformasi total atas kehidupan politik dan pemerintahan, hukum, ekonomi, sosial, budaya, dan pertanahan serta keamanan nasional. Dalam kondisi persaingan bebas di era globalisasi, peran pemerintah mengalami pergeseran, dalam arti bahwa pemerintah sudah tidak lagi menjalankan peran secara dominan dalam berbagai aktivitas Negara melainkan hanya sebagai fasilitator bagi kelancaran arus perdagangan dan persaingan bebas. Ini menuntut kondisi Negara (pemerintah) dangan pernerintah yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) agar memperoleh kepercayaan yang besar dari masyarakat serta agar terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi peningkatan arus investasi guna mendorong laju pertumbuhan dan perkembangan ekonomi maupun mikro ekonomi.(Mustanir, Muhammadiyah, et al., 2019) The United Development Programme (UNDP) mendefinisikan kepemerintahan (governance) sebagai Governance is the exercise of economic, political, and administrative authory to manage a country’s affairs at all levels and means by which states promote social cohesion, integration, and ensure the well being of their population.4 Lebih lanjut UNDP menegaskan bahwa “It is complex mechanisms, process, relationships, and institutions trough which citizens and groups articulate their interest, exercise their rights and obligations and mediate their differences”.5(Mustanir & Jaya, 2016) Entrepreneurial Government (Pemerintahan Bergaya Wirausaha) Kewirausahaan dikenal sebagai suatu proses penciptaan nilai dengan menggunakan berbagai sumber daya tertentu untuk mengeksploitasi peluang (Lupiyoadi,1999). Konsep kewirausahaan telah mendapat perhatian yang sangat luas dan intensif dikalangan pakar akademis maupun dikalangan praktisi baik ekonomi, manajemen bisnis serta para pejabat yang bergerak disektor publik. Dalam sejarah perkembangan konsep kewirausahaan selalu dikaitkan dengan persoalan ekonomi dan bisnis perusahaan. Dalam bukunya yang berjudul “The Management Challenge“ James M. Higins (Dalam Mutis,1995) telah menguraikan secara historis mengenai konsep kewirausahaan dan dianggap sebagai salah satu fungsi ekonomi. Menurut Hisrich (1986) yang dimaksud kewirausahaan adalah, “Entrepreneurship is the process of creating something different with value by devoting the necessary time ang effort, assuming the accompanying financial, psychological and time risks ang receiving the resulting rewards financially and personal satisfaction” Selanjutnya Kao (1989) menyatakan bahwa, “wirausaha adalah usaha untuk menciptakan nilai dengan mengenali peluang bisnis, pengelolaan atas pengambilan resiko peluang dan melalui komunikasi serta ketrampilan melakukan mobilitas manusia, finansial dan sumber-sumberyang dibutuhkan agar rencana dapat terlaksana dengan baik” David Osborne dan Ted Gaebler (1996) dengan karyanya yang monumental “Reinventing Government,(Mustanir et al., 2017) How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sektor” mencoba untuk menemukan kembali pemerintahan dengan mengembangkan konsep pemerintahan yang bergaya wirausaha (Enterpreneurial Government). Esensi dasar yang sangat strategis dari pemikiran Osborne dan Ted tersebut berkaitan erat dengan birokrasi pemerintahan yang tidak lagi berorientasi pada budaya sentralisasi, strukturalisasi, formalisasi dan apatistik melainkan pada desentralisasi pemberdayaan, kemitraan, fungsionalisasi dan demokratisasi. Fungsi pemerintahan yang moderen strateginya harus diarahkan pada daya dukung dan daya dorong untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses kebijakan, penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan.
Menurut data statistik, ada sepuluh provinsi dengan angka kemiskinan
tertinggi di Indonesia yang salah satunya termasuk Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang berada pada urutan kedepalan (8) setelah Provinsi Aceh dengan pesentase 16,54 %. Dari data tersebut menunjukkan Provinsi NTB memiliki tingkat kemiskinan yang terbilang masih cukup tinggi. Untuk mengatasi problema kemiskinan tersebut salah satu langkah pemerintah dengan menanamkan jiwa wirausaha dalam diri masyarakat melalui konsep reinventing goverment (mewirusahakan birokrasi). Salah satu prinsip reinventing goverment adalah pemerintahan milik rakyat (community owned government) yaitu memberi wewenang ketimbang melayani, dimana Program Pemberdayaan masyarakat adalah bentuk dari prinsip tersebut. Adapun Program pemberdayaan masyarakat tersebut berupa program peningkatan kesejahteraan keluarga melalui pemberdayaan masyarakat pengembangan penghidupan berkelanjutan (PKKPM-P2B) yang diluncurkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah tertinggal, dan Transmigrasi melalui Direktoral Jenderal Pembangunan Kawasan Perdesaan pada tahun 2015 yang manfaatnya sampai tahun 2016 dan seterusnya, masih dapat dirasakan oleh masyarakat. (Mustanir & Abadi, 2017)
E. DAFTAR PUSTAKA
Adam Latif, Irwan, Muhammad Rusdi, Ahmad Mustanir, M. S. (2019). Partisipasi
Masyarakat Dalam Pembangunan Infrastruktur Di Desa Timoreng Panua Kecamatan Panca Rijang Kabupaten Sidenreng Rappang. Jurnal MODERAT, 5(1), 5. https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/moderat/article/view/1898 Ahmad Mustanir1, Hariyanti Hamid2, R. N. S. (2019). Pemberdayaan Kelompok Masyarakat Desa Dalam Perencanaan Metode Partisipatif. Jurnal Moderat, 5(3), 227– 239. Akhmad, I., Mustanir, A., & Ramadhan, M. R. (2006). Enrekang. 89–103. Andi Asmawati AR, Haeruddin Syarifuddin, Abdul Jabbar, Kamaruddin Sellang, Muhammad Rais Rahmat Razak, Monalisa Ibrahim, A. A. (2021). Sipil Negara Kabupaten Sidenreng Rappang. Jurnal Sosial-Politika, 2(1), 65–73. Dawabsheh, M., Mustanir, K., & Jermsittiparsert, K. (2020). School Facilities as a Potential Predictor of Engineering Education Quality: Mediating Role of Teaching Proficiency and Professional Development. TEST Engineering & Management, 82(3511), 3511– 3521. http://www.testmagzine.biz/index.php/testmagzine/article/view/1417 Fitrah, N., Mustanir, A., Akbari, M. S., Ramdana, R., Jisam, J., Nisa, N. A., Qalbi, N., Febriani, A. F., Irmawati, I., Resky S., M. A., & Ilham, I. (2021). Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pemetaan Swadaya Dengan Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam Tata Kelola Potensi Desa. SELAPARANG Jurnal Pengabdian Masyarakat Berkemajuan, 5(1), 337. https://doi.org/10.31764/jpmb.v5i1.6208 Ibrahim, M., Mustanir, A., Astinah Adnan, A., & Alizah P, N. (2020). Pengaruh Manajemen Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa Terhadap Peningkatan Partisipasi Masyarakat Di Desa Bila Riase Kecamatan Pitu Riase Kebupaten Sidenreng Rappang. Movere Journal, 2(2), 56–62. https://doi.org/10.53654/mv.v2i2.118 Irwan, I., Latif, A., & Mustanir, A. (2021). Pendekatan Partisipatif Dalam Perencanaan Pembangunan di Kabupaten Sidenreng Rappang. GEOGRAPHY Jurnal Kajian, Penelitian Dan Pengembangan Pendidikan, 9(2), 137–151. https://journal.ummat.ac.id/index.php/geography/article/view/5153 Irwan, I., Latif, A., Sofyan, Mustanir, A., & Fatimah, Fa. (2019). Gaya Kepemimpinan, Kinerja Aparatur Sipil Negara dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Pembangunan di Kecamatan Kulo Kabupaten Sidenreng Rappang. Jurnal Moderat, 5(1), 32–43. https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/moderat Jamal, Y., Mustanir, A., & Latif, A. (2020). Penerapan Prinsip Good Governance Terhadap Aparatur Desa Dalam Pelayanan Publik Di Desa Ciro-Ciroe Kecamatan Watang Pulu Kabupaten Sidenreng Rappang. PRAJA: Jurnal Ilmiah Pemerintahan, 8(3), 207–212. https://doi.org/10.55678/prj.v8i3.298 Kholifah R, E., & Mustanir, A. (2019). Food Policy and Its Impact on Local Food. October, 27–38. https://doi.org/10.32528/pi.v0i0.2465 Latif, A., Mustanir, A., & ir. (2019). Buku Kepemimpinan Adam Irwan 2020.pdf (p. 154). Latif, A., Mustanir, A., & Irwan, I. (2019). Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Partisipasi Masyarakat Pada Perencanaan Pembangunan. JAKPP (Jurnal Analisis Kebijakan & Pelayanan Publik), 144–164. https://doi.org/10.31947/jakpp.v1i2.7977 Mustainir, A., Barisan, & Hamid, H. (2017). Towards Open Goverment: Finding The Whole-Goverment Approach Participatory Rural Appraisal As The Participatory Planning Method Of Development Planning. Iapa, 78–84. Mustanir, A. (2015). Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Bina Desa. Osf. Mustanir, A. (2016). Magang mahasiswa. 1–7. https://www.academia.edu/38492683/Panduan_magang_STISIP_Muhammadiyah_Ra ppang_2015_2016.pdf Mustanir, A. (2017). Deskripsi Tentang Keamanan Di Gedung dan Jalanan Kota Kuala Lumpur. https://www.researchgate.net/publication/331064740_Deskripsi_Tentang_Keamanan_ Di_Gedung_dan_Jalanan_Kota_Kuala_Lumpur Mustanir, A. (2018). Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam Optimalisasi Pelayanan Publik dan Potensi Desa Sereang Utilization of Information Technology in Optimizing Public Services and the Potential of Sereang Village. Doi 10.17605/Osf.Io/Jmsx8. https://osf.io/preprints/pv4bf/ Mustanir, A. (2019a). Pemberdayaan Badan Usaha Milik Desa Melalui Kelompok Ekonomi Kewirausahaan Secara Partisipatif Empowerment of Badan Usaha Milik Desa Through Participatory Entrepreneurship Economic Groups Unggul , Profesional , Islami Unggul , Profesional , Islami. Jurnal, February, 2–44. https://www.researchgate.net/publication/331189545_Pemberdayaan_Badan_Usaha_ Milik_Desa_Melalui_Kelompok_Ekonomi_Kewirausahaan_Secara_Partisipatif Mustanir, A. (2019b). Pemberdayaan Perempuan Anggota Badan Usaha Milik Desa dengan Pemanfaatan Lahan Kebun Bibit Desa. https://doi.org/10.31219/osf.io/vs5bw Mustanir, A. (2020). Implementasi E Government Pemerintahan Desa Dalam Administrasi Pelayanan Publik (Studi Kasus Web Site Desa Kanie Kecamatan Maritengngae Kabupaten Sidenreng Rappang). Osf. Mustanir, A., & Abadi, P. (2017). Partisipasi Masyarakat Dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Di Kelurahan Kanyuara Kecamatan Watang Sidenreng Kabupaten Sidenreng Rappang. Jurnal Politik Profetik, 5(2), 247–261. http://journal.uin- alauddin.ac.id/index.php/jpp/article/viewFile/4347/3986%0Ahttp://journal.uin- alauddin.ac.id/index.php/jpp/issue/view/636 Mustanir, A., Abadi, P., & A., N. (2017). Participation of Ethnic Community Towani Tolotang in Deliberation of Development Plan. 84(Iconeg 2016), 356–359. https://doi.org/10.2991/iconeg-16.2017.79 Mustanir, A., Ali, A., Yasin, A., & Budiman, B. (2020). Transect on Participatory Development Planning in Sidenreng Rappang Regency. 250–254. https://doi.org/10.4108/eai.25-10-2019.2300523 Mustanir, A., & Darmiah, D. (2016). Implementasi Kebijakan Dana Desa Dan Partisipasi Masyarat Dalam Pembangunan Di Desa Teteaji Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Sidenreng Rappang. Jurnal Politik Profetik, 4(2), 225–238. http://journal.uin- alauddin.ac.id/index.php/jpp/article/view/2749%0Ahttp://journal.uin-alauddin.ac.id/ index.php/jpp/issue/view/457 Mustanir, A., Dema, H., Syarifuddin, H., Irwan, & Sri Wulandari, K. M. (2018). Pengaruh Motivasi dan Partisipasi Masyarakat terhadap Pembangunan di Kelurahan Lalebata Kecamatan Panca Rijang Kabupaten Sidenreng Rappang. Jurnal Ilmiah Clean Government (JCG), 2(1), 27–39. http://lonsuit.unismuhluwuk.ac.id/index.php/clean/article/view/212 Mustanir, A., Fitriani, S., Adri, K., Nurnawati, A. A., & Goso, G. (2020). Sinergitas Peran Pemerintah Desa dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Perencanaan Pembangunan di Kabupaten Sidenreng Rappang (The Synergy of Village Government’s Role and Community Participation in the Process of Development Planning in Sidenreng Rappang D. Journal of Government Science (GovSci), 2020(2), 84–108. Mustanir, A., Hamid, H., & Syarifuddin, R. N. (2020). Perencanaan Partisipatif Pada Pemberdayaan Masyarakat Kelompok Wanita Tani. 1, 1–120. https://play.google.com/store/books/details/Ahmad_Mustanir_S_I_P_M_Si_PERENC ANAAN_PARTISIPATIF?id=E1sAEAAAQBAJ Mustanir, A., Ibrahim, M., Rusdi, M., & Jabbareng, M. (2020). Pembangunan Partisipatif dan Pemberdayaan Masyarakat. July, 111. Mustanir, A., & Jaya, I. (2016). Pengaruh Kepemimpinan Dan Budaya Politik Terhadap Perilaku Pemilih Towani Tolotang Di Kecamatan Maritengngae Kabupaten Sidenreng Rappang. Jurnal Politik Profetik, 4(1), 84–97. http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/jpp/article/view/2741#%0Ahttp:// journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/jpp/issue/view/430 Mustanir, A., Jermsittiparsert, K., Ali, A., Hermansyah, S., & Sakinah, S. (2020). Village Head Leadership and Bureaucratic Model Towards Good Governance in Sidenreng Rappang. https://doi.org/10.4108/eai.21-10-2019.2291532 Mustanir, A., & Jusman. (2016). Implementasi Kebijakan Dan Efektivitas Pengelolaan Terhadap Penerimaan Retribusi Di Pasar Lancirang Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidenreng Rappang. Jurnal Ilmiah Akmen, 13(3), 542–558. https://e-jurnal.stienobel- indonesia.ac.id/index.php/akmen/article/view/69%0Ahttps://e-jurnal.stienobel- indonesia.ac.id/index.php/akmen/issue/view/6 Mustanir, A., Justira, N., Sellang, K., & Muchtar, A. I. (2018). Democratic Model On Decision-Making At Deliberations Of Development Planning. International Conference on Government Leadership and Social Science (ICOGLASS). Demanding Governance Accountability and Promoting Democratic Leadership for Public Welfare Achievement, April, 110 – 115. https://www.researchgate.net/publication/330090538_Democratic_Model_On_Decisio n-Making_At_Deliberations_Of_Development_Planning Mustanir, A., Muhammadiyah, U., & Rappang, S. (2019). Pemberdayaan Masyarakat Kewirausahaan Entrepreneurship Community Empowerment. Jurnal, February, 1–14. https://www.researchgate.net/publication/331311483_Pemberdayaan_Masyarakat_Ke wirausahaan Mustanir, A., & Rusdi, M. (2019). Participatory Rural Appraisal (PRA) Sebagai Sarana Dakwah Muhammadiyah Pada Perencanaan Pembangunan di Kabupaten Sidenreng Rappang. Prosiding Konferensi Nasional Ke-8 Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah Aisyiyah (APPPTMA), 467–475. http://asosiasipascaptm.or.id/index.php/publikasi/prosiding-konferensi-nasional- appptma-ke-8 Mustanir, A., Samad, Z., Jabbar, A., Ibrahim, M., & Juniati, J. (2019). Kepemimpinan Lurah Terhadap Pemberdayaan Masyarakat Di Kelurahan Lautang Benteng Kabupaten Sidenreng Rappang. Journal of Social Politics and Governance (JSPG), 1(2), 99–118. https://doi.org/10.24076/jspg.v1i2.185 Mustanir, A., Sellang, K., Ali, A., Madaling, M., & Mutmainna, M. (2018). Peranan Aparatur Pemerintah Desa Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Di Desa Tonrongnge Kecamatan Baranti Kabupaten Sidenreng Rappang. Jurnal Ilmiah Clean Government (JCG), 2(1), 67–84. http://lonsuit.unismuhluwuk.ac.id/index.php/clean/article/view/213 Mustanir, A., & Yasin, A. (2018). Community Participation in Transect on Development Planning. Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi Publik, 8(2), 137. https://doi.org/10.26858/jiap.v8i2.7994 Mustanir, A., Yasin, A., Irwan, & Rusdi, M. (2018). Potret Irisan Bumi Desa Tonrong Rijang Dalam Transect Pada Perencanaan Pembangunan Partisipatif. Jurnal MODERAT, 4(November), 1–14. https://media.neliti.com/media/publications/44443- ID-pengaruh-komponen-indeks-pembangunan-manusia-terhadap-pertumbuhan- ekonomi-provin.pdf Samad, Z., Mustanir, A., & Pratama, M. Y. P. (2019). Partisipasi Masyarakat Dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Untuk Mewujudkan Good Governance Kabupaten Enrekang. Moderat: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, 5(4), 379–395. https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/moderat/article/viewFile/3014/2750 Sapri, S., Mustanir, A., Ibrahim, M., Adnan, A. A., Wirfandi, W. (2019). Peranan Camat dan Partisipasi Masyarakat Dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Di Kecamatan Enrekang Kabupaten Enrekang. MODERAT: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, 5(2), 33–48. https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/moderat/article/view/2127 Sulaeman, Z., Mustanir, A., & Muchtar, A. I. (2019). Partisipasi Masyarakat Terhadap Perwujudan Good Governance Di Desa Damai Kecamatan Watang Sidenreng Kabupaten Sidenreng Rappang. PRAJA: Jurnal Ilmiah Pemerintahan, 7(3), 88–92. https://doi.org/10.51817/prj.v7i3.374 Uceng, A., Ali, A., Mustanir, A., Universitas Muhammadiyah Sidenreng Rappang ABSTRAK, M., Kunci, K., Masyarakat, P., & Sumber Daya Manusia, P. (2019). Analisis Tingkat Partisipasi Masyarakat Terhadap Pembangunan Sumber Daya Manusia Di Desa Cemba Kecamatan Enrekang Kabupaten Eenrekang Dosen Universitas Muhammadiyah Sidenreng Rappang 4). Jurnal MODERAT, 5(2), 1–17. Uceng, A., Erfina, E., Mustanir, A., & Sukri, S. (2019). Partisipasi Masyarakat Dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Di Desa Betao Riase Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidenreng Rappang. MODERAT: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, 5(2), 18–32. https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/moderat/article/view/2126