Anda di halaman 1dari 3

Antara Puasa dan Musibah

Pada pertemuan kemaren telah saya sampaikan tentang hakekat Musibah.Untuk mereviu
kembali kepada para shaimin dan shaimat.Bahwa hakekat Musibah itu ada tiga macam. Yaitu
1.Musibah yang bernilai sebagi ujian......................orang-orang shaleh.

2.Musibah yang bernilai sebagai peringatan............orang yang lalai

3.Musibah sebagai azab di dunia..............orang fasik-Zhalim

Hubungan PUASA dan Musibah I

Telah sama-sama kita ketahui ,Kini umat muslim di seluruh dunia berpuasa Ramadan dalam
keadaan musibah pandemi Covid-19. Secara umum, kewajiban puasa tetap berlaku bagi kaum
muslim. Namun, secara khusus terdapat rukhsah (keringanan) yang lebih kuat bagi muslim
tertentu untuk tidak menjalankan puasa. Yakni, bagi mereka yang sakit atau yang tidak mampu.
Sebagaimana yang disyariatkan oleh Islam dengan ketentuan boleh mengganti di hari lain atau
membayar fidiah. Termasuk bagi tenaga kesehatan yang karena kondisi berat dan kepentingan
daya tahan tubuh untuk melayani pasien dibolehkan tidak berpuasa dan menggantinya di hari
lain.

Salat Tarawih dilakukan di rumah masing-masing. Salat Idul Fitri adalah sunah muakadah dan
merupakan syiar agama yang amat penting. Namun, apabila pada awal Syawal 1441 H
mendatang tersebarnya Covid-19 belum mereda, salat Idul Fitri dan seluruh rangkaiannya tidak
perlu diselenggarakan.

Semua ditempuh karena darurat. Allah tidak membebani seseorang melainkan sejauh yang
mampu dilakukannya (QS Al Baqarah [2]: 282). Allah menghendaki kemudahan dan tidak
menghendaki kesulitan (QS Al Baqarah [2]: 185). Hadis dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW
bahwa beliau bersabda: ’’…dan jika aku perintahkan kamu melakukan sesuatu, kerjakanlah
sejauh kemampuanmu’’ (hadis muttafaq alaih). Juga ’’tidak boleh berbuat mudarat dan
menimbulkan mudarat’’ (HR Ibnu Majah, Daruquthni, dan selain keduanya).

Islam selalu memberi jalan keluar dari masalah, termasuk dalam menghadapi darurat. Karena itu,
jangan berpikir dan bertindak sendiri-sendiri dengan standar normal. Tidak perlu dikembangkan
logika-logika keagamaan yang tidak tepat seperti membandingkan ketakutan kepada Allah
dengan takut pada korona, tidak makmurnya masjid, serta memvonis iman muslim lain lemah.

Perhatikan kondisi pandemi ini dengan saksama dan untuk kepentingan bersama. Ikuti fatwa dan
pandangan ulama serta organisasi Islam yang mu’tabarat atau arus utama yang luas agar umat
Islam memiliki keteraturan, kebersamaan, dan berpikir demi kemaslahatan umum.

Kita berharap dan bermunajat kepada Allah agar bangsa ini, umat Islam, dan seluruh warga
dunia dapat keluar dan dibebaskan dari wabah Covid-19. Lebih dari itu, diperlukan ikhtiar
bersama sesuai dengan protokol yang dikeluarkan pemerintah dan usaha-usaha lainnya yang
didasarkan pada rasionalitas dan ilmu pengetahuan yang objektif untuk menghadapi musibah
pandemi ini. Hidup muslim dalam kondisi apa pun mesti mengambil hikmah dan semakin dekat
dengan Allah dan ihsan dalam kehidupan.

Hubungan Puasa dan Musibah II

Dan salah satu sikap yang terbaik bagi sorang muslim dan mukmin dalam mengadapi musibah
adalah” Bersabar” dan Serta menyerahkan diri kepada Allah.Disinilah Titik temua antara Ibadah
Puasa dan Musibah Sama-sama di Butuh sikap sabar dalam menjalankannya atau
menghadapinya,

Kemudian jika kita lihat dari segi makna maka antara sabar dan Puasa memiliki makna yang
sama yakni “Sama-sama bermakna menahan diri sebagai mana devinisi puasa” Menahan diri dari
yang membatalkan puasa(makan, minum , berhubungan suami isteri) dari shubuh hingga
magrib.”
Sedangkan sabar berarti menahan diri dari sesuatu yang membebani, dan sikap sabar itu meliputi
tiga ranah yaitu hati, akal, dan anggota badan. Uniknya selain ada kesamaan makna, puasa akan
menghasilkan sifat sabar.

Lebih luas lagi Sabar akan mencapai kesempurnaannya (shabrun jamilun) jika memenuhi tiga
aspek kemanusiaan tersebut yaitu 1. hati yang merespons dengan keridhaannya, 2.akal menerima
dengan pikiran positifnya dan 3. anggota badan dengan tidak melakukan kezaliman atau ucapan
yang menentang kehendak-Nya. Sabar juga menuntut ketepatan waktu yaitu dilakukan pada saat
awal musibah itu menerpa, tersebut dalam riwayat: "Sesungguhnya sabar itu adalah di awal
musibah" (HR Bukhari no.1283).

Sabar merupakan pakaian atau hiasan bagi tiap muslim dan senyatanya musibah itu hanya
bisa dihadapi dengan satu hal, yaitu sabar. Seseorang yang terluka karena musibah, baik bersabar
ataupun tidak, tetaplah terluka, namun ada perbedaan nilai pada orang yang sabar dengan yang
tidak sabar, yaitu kebersamaan Allah SWT terhadap orang-orang yang sabar dan memberinya
pahala, sebagaimana firman-Nya: "Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang
disempurnakan pahalany

Sabar merupakan salah satu sifat orang yang bertakwa kepada Allah SWT. Sabar
merupakan kunci kesuksesan seorang mukmin dalam mengarungi kehidupan. Secara langsung,
puasa mengajarkan dan melatih kita bersabar. Bersabar untuk menahan lapar dan dahaga dari
waktu fajar hingga terbenamnya matahari; sabar menahan diri dari segala bentuk perbuatan yang
membatalkan puasa; sabar dalam menjaga lisan dan menahan diri dari perbuatan yang sia-sia.
Dengan demikian, puasa secara garis besar melatih seorang Muslim untuk bersabar dalam segala
hal. Hal ini sesuai sabda Rasulullah SAW,"Puasa itu separuh sabar.” (HR. Ibnu Majah)

Dengan puasa yang ikhlas dan hanya mengharap rida Allah SWT, kita telah mendapat separuh
kesabaran. Separuh lagi didapatkan dengan cara tetap menjaga ketaatan kepada Allah SWT,
karena kita adalah manusia yang penuh dengan dosa, kekhilafan, serta kealpaan.

Pastinya menjaga kesabaran agar tetap terpatri dalam diri itu memang bukan hal yang mudah.
Namun, semua itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pahala yang sangat besar dari
Allah SWT untuk orang-orang yang bersabar. Sebagaimana yang termaktub dalam surat Az-
Zumar ayat 10 yang artinya,“Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah
kepada Tuhanmu. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi
Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan
pahala mereka tanpa batas.”

Ibnu Hajar Al-Hanbali menuturkan sabar itu ada tiga macam. Yang paling tinggi adalah
sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, kemudian sabar dalam meninggalkan
kemaksiatan kepada Allah, serta sabar terhadap takdir Allah.

Susunan ini ditinjau dari sisi sabar itu sendiri, bukan dari sisi orang yang melaksanakan
kesabaran. Kadang-kadang sabar terhadap maksiat lebih berat bagi seseorang daripada sabar
terhadap ketaatan, apabila dia diuji oleh wanita cantik yang mengajaknya berzina di tempat sunyi
dan tidak ada yang melihat mereka, kecuali Allah. Apalagi, dia adalah seorang pemuda yang
mempunyai syahwat tinggi. Sabar dari maksiat seperti ini lebih berat baginya

Terkadang jika seseorang ditimpa suatu musibah, kesabarannya dalam menghadapinya lebih
berat daripada melaksanakan suatu ketaatan, seperti seseorang kehilangan kerabatnya atau
temannya ataupun istrinya. Maka, kita akan dapati orang yang berusaha untuk sabar terhadap
musibah ini sebagai suatu kesulitan yang besar.

Ali ibnul Husain Zainul Abidin mengatakan, apabila Allah menghimpun semua manusia dari
yang pertama hingga yang terakhir, maka terdengarlah suara seruan, "Di manakah orang-orang
sabar? Hendaklah mereka masuk ke surga sebelum ada hisab (tanpa hisab)!" Maka bangkitlah
segolongan manusia, lalu mereka bersua dengan para malaikat yang bertanya kepada mereka,
"Hendak ke manakah kalian, hai anak Adam?" Mereka menjawab, "Ke surga." Para malaikat
bertanya, "Sebelum ada hisab?" Mereka menjawab, "Ya." Para malaikat bertanya, "Siapakah
kalian?" Mereka menjawab, "Kami adalah orang-orang yang sabar." Para malaikat bertanya,
"Apakah sabar kalian?" Mereka menjawab, "Kami sabar dalam mengerjakan taat kepada Allah
dan sabar dalam meninggalkan maksiat terhadap Allah, hingga Allah mewafatkan kami." Para
malaikat berkata, "Kalian memang seperti apa yang kalian katakan, sekarang masuklah kalian
semua ke dalam surga, maka sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal adalah kalian."

ٌ ۗ ‫و‬V
: ‫ا ٌء و َّٰل ِك ْن اَّل‬Vۤ َ‫لْ اَحْ ي‬Vَ‫ات ب‬ ‫هّٰللا‬ ّ ٰ ‫صب ِْر َوالص َّٰلو ۗ ِة اِ َّن هّٰللا َ َم َع‬
َّ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوا ا ْستَ ِع ْينُوْ ا بِال‬
َ ‫بِ ْي ِل ِ اَ ْم‬V‫ ُل فِ ْي َس‬Vَ‫وْ ا لِ َم ْن يُّ ْقت‬Vُ‫بِ ِر ْينَ َواَل تَقُوْ ل‬V‫الص‬
َ‫تَ ْش ُعرُوْ ن‬
rtinya: Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolong kalian,
sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Dan janganlah kalian mengatakan terhadap
orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu
hidup, tetapi kalian tidak menyadarinya". (QS. Al baqarah: 153-154)

Mikraj Rohani

Puasa di kala musibah niscaya semakin khusyuk dan membuahkan takwa yang kian berkualitas.
Bagi umat Islam, puasa harus betul-betul menjadi mikraj rohani, yakni naik tingkat ketakwaan ke
tingkat terbaik atau tertinggi. Yang pertama harus selalu taqarrub ilallah, semakin membuat kita
dekat kepada-Nya. Orang berpuasa adalah orang yang tauhidnya kuat. Siapa yang tahu orang
yang berpuasa bisa batal karena sesuatu yang orang tidak mengetahuinya, tetapi orang yang
berpuasa dengan tauhid yang kuat tidak akan melakukannya.

Dengan taqarrub ilallah orang berpuasa punya jiwa muroqobah, yakni selalu merasa diawasi
Allah. Dampak positif dari orang yang berpuasa, hidupnya akan selalu benar dan lurus. Dia
selalu berbuat baik dan menjauhi hal-hal yang menyeleweng dan dilarang di saat dia punya
kesempatan. Sebab, orang yang berpuasa adalah orang yang pertalian rohaninya selalu langsung
kepada Allah melebihi urat lehernya sendiri.

Kedua, orang-orang yang berpuasa adalah orang yang mampu menaklukkan hawa nafsu yang
ada dalam dirinya. Al imsak itu maknanya adalah menahan diri. Menahan diri dari makan,
minum, dan pemenuhan nafsu biologis adalah simbol dari manusia yang berpuasa. Ia mampu
mengerangkeng hawa nafsunya dengan menyalurkannya secara baik dan tidak membiarkannya
liar.

Ketiga, puasa Ramadan dalam situasi apa pun, termasuk dalam suasana wabah korona, harus
selalu menumbuhkan amal saleh. Orang yang berpuasa adalah orang yang selalu berbanding
lurus sikap hidupnya untuk berbuat kebajikan bagi orang banyak.

Orang berpuasa harus menjauhi keburukan. Suatu kali ada orang yang sedang memaki-maki
hamba sahayanya, lalu nabi menyuruh orang itu untuk membatalkan puasanya. Dia berkata
kepada nabi, ’’Aku sedang berpuasa, ya Rasul.’’ Lalu, rasul menjawab: Rubba shoimin laisa min
shiyamihi illal ju’wal ats, banyak orang yang berpuasa tapi tidak ada hasilnya, kecuali lapar dan
dahaga. Puasa orang itu, ketika dia memaki-maki orang lain, tidak membekas di dalam jiwa atau
rohaninya.

Keempat, puasa Ramadan tetap harus menumbuhkan semangat berilmu bagi kaum muslimin.
Tidak ada alasan orang yang berpuasa berhenti untuk mencari ilmu. Wahyu pertama risalah
sebagai penanda pertama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menerima wahyu surah Iqra.
Hampir semua mufasir mengatakan bahwa wahyu pertama turun di bulan Ramadan sampai umat
Islam kemudian memperingatinya dalam Nuzulul Quran.

Maka, dalam suasana apa pun, lebih-lebih di saat kita menghadapi musibah, jadikan Ramadan
sebagai bulan untuk muhasabah, bulan untuk muroqobah, dan bulan untuk mujahadah.
Muhasabah ialah introspeksi diri kita, refleksi diri kita, siapa tahu kita dalam perjalanan hidup ini
banyak berbuat kesalahan dan sedikit amal kebajikan. Muroqobah selalu merasa diawasi Allah
sehingga hidup lurus dan tidak menyimpang. Sedangkan mujahadah selalu bersungguh-sungguh
di dalam segala aspek kehidupan.

Puasa niscaya menjadikan setiap muslim yang menjalankannya semakin bertakwa. Yakni,
menjadi orang terbaik dalam hubungan vertikal dengan Allah, dengan sesama, dan
lingkungannya sehingga menebar rahmatan lil alamin. Insya Allah dengan penghayatan rohani
yang mendalam, puasa Ramadan tahun ini akan sampai pada tangga takwa bagi yang
menunaikannya. Laallakum tattaquun!

Anda mungkin juga menyukai