Anda di halaman 1dari 12

"RESUSITASI JANTUNG PARU"

RESUSITASI JANTUNG PARU


Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan serangkaian usaha penyelamatan hidup pada
kondisi henti jantung dan henti nafas. Hal ini dilakukan untuk mencegah suatu episode henti
jantung berlanjut menjadi kematian biologis.Tanpa bantuan hidup dasar (Resusitasi Jantung
Paru) kemungkinan korban untuk bertahan hidup berkurang antara 7-10% /menit, dengan
bantuan hidup dasar (Resusitasi Jantung Paru) kemungkinan korban untuk bertahan hidup
bertambah  antara 3-4% /menit sampai dilakukan defibrilasi. Adapun indikasi dilakukannya
RJP yaitu :1,2
1.        Henti nafas (apnue)
Bila terjadi henti nafas primer, jantung dapat terus memompa darah selama beberapa
menit, dan sisa O2 yang ada di dalam paru dan darah akan terus beredar ke otak dan organ
vital lain. Penanganan dini pada korban dengan henti nafas atau sumbatan jalan nafas dapat
mencegah henti jantung.
2.      Henti jantung (cardiac arrest)
Penyebabnya henti jantung yaitu (5H5T) :Hypovolemi, Hypoxia, Hyidrogen ion
(asidosis), Hypo/Hyperkalemi,Hypothermia, Tension Pneuomothoraks, Tamponade cardiac,
Toxin, Thrombosis pulmonary, Thrombosis Coronary. Perkembangan terbaru pada
Guideline American Heart Asosiation (AHA) untuk RJP tahun 2010 adalah perubahan urutan
langkah Bantuan Hidup Dasar.Fokus utama RJP 2010 ini adalah kualitas kompresi dada.
Berikut ini adalah beberapa perbedaan antara panduan RJP 2005 dengan RJP 2010 :1,2,3
1. Bukan ABC lagi tapi CAB
1.   Sebelumnya dalam pedoman pertolongan pertama, kita mengenal ABC : airway, breathing
dan chest compressions, yaitu buka jalan nafas, bantuan pernafasan, dan kompresi dada. Saat
ini kompresi dada didahulukan, baru setelah itu kita bisa fokus pada airway dan
breathing. alasannya yaitu :
a.         Sebagian besar henti jantung terjadi pada dewasa dan angka keberhasilan tertinggi adalah
henti jantung yang terjadi pada pasien henti jantung dengan irama VF (ventricular
fibrillation) atau VT (ventricular tachycardia) tanpa nadi. Pada pasien-pasien ini elemen
awal yang paling penting dari RJP adalah kompresi dada dan defibrilasi secepatnya dan
b.         Pada urutan kompresi dada ABC seringkali terlambat ketika penolong membuka jalan nafas
untuk memberikan bantuan nafas dari mulut ke mulut atau memasukkan perlengkapan
ventilasi. Dengan merubah ke urutan CAB, kompresi dada dapat dimulai lebih cepat dan
ventilasi hanya akan sedikit memperlambat kompresi dada hingga selesai satu siklus
(kompresi 30 kali diselesaikan dalam waktu 18 detik. Pengecualian satu-satunya adalah
hanya untuk bayi baru lahir. Namun untuk RJP bayi, RJP anak, atau RJP dewasa, harus
menerima kompresi dada sebelum kita berpikir memberikan bantuan jalan nafas.
2. Tidak ada lagi look, listen dan feel
Kunci utama menyelamatkan seseorang dengan henti jantung adalah dengan bertindak,
bukan menilai. Telepon ambulans segera saat kita melihat korban tidak sadar dan tidak
bernafas dengan baik. Percayalah pada nyali anda, jika anda mencoba menilai korban
bernafas atau tidak dengan mendekatkan pipi anda pada mulut korban, itu boleh-boleh saja.
Tapi tetap saja sang korban tidak bernafaas dan tindakan look feel listen ini hanya akna
menghabiskan waktu
3. Kompresi dada lebih dalam lagi
Seberapa dalam anda harus menekan dada telah berubah pada RJP 2010 ini. Sebelumnya
adalah 1 ½ sampai 2 inchi (4-5 cm), namun sekarang AHA merekomendasikan untuk
menekann setidaknya 2 inchi (5 cm) pada dada.
4. Kompresi dada lebih cepat lagi
AHA mengganti redaksi kalimat disini. Sebelumnya tertulis: tekanan dada sekitar 100
kompresi per menit. Sekarang AHA merekomndasikan kita untuk menekan dada minimal 100
kompresi per menit. Pada kecepatan ini, 30 kompresi membutuhkan waktu 18 detik.
5. Hands only CPR
Ada perbedaan teknik dari yang tahun 2005, namun AHA mendorong RJP seperti ini
pada 2008. AHA masih menginginkan agar penolong yang tidak terlatih melakukan Hands
only CPR pada korban dewasa yang pingsan di depan mereka. Pertanyaan besarnya adalah:
apa yang harus dilakukan penolong tidak terlatih pada korban yang tidak pingsan di depan
mereka dan korban yang bukan dewasa/ AHA memang tidak memberikan jawaban tentang
hal ini namun ada saran sederhana disini: berikan hands only CPR karena berbuat sesuatu
lebih baik daripda tidak berbuat sama sekali.
6. Kenali henti jantung mendadak
RJP adalah satu-satunya tata laksana untuk henti jantung mendadak dan AHA meminta
kita waspada dan melakukan RJP saat itu terjadi.
7. Jangan berhenti menekan
Setiap penghentian menekan dada berarti menghentikan darah ke otak yang
mengakibatkan kematian jaringan otak jika aliran darah berhenti terlalu lama. Membutuhkan
beberapa kompresi dada untuk mengalirkan darah kembali. AHA menghendaki kita untuk
terus menekan selama kita bisa. Terus tekan hingga alat defibrilator otomatis datang dan siap
untuk menilai keadaan jantung. Jika sudah tiba waktunya untuk pernafasan dari mulut ke
mulut, lakukan segera dan segera kembali pada menekan dada.
Adapun tahapan yang dilakukan pada RJP yaitu :
1.      FASE 1 (Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support)). Ini adalah prosedur pertolongan
darurat untuk mengatasi obstruksi jalan nafas, henti nafas dan henti jantung. Tiga hal utama
yang diperhatikan yaitu :2,3
C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung paru
A (airway)       : menjaga jalan nafas tetap terbuka
B (breathing)   : ventilasi paru dan oksigenasi yang adekuat.
Langkah-langkah bantuan dasar hidup:2,3,4
1.   Periksa kesadaran
Lihat tingkat kesadaran penderita misalnya dengan cara seperti mengguncangkan bahu
dengan lembut  lalu menanyakan : ”apakah anda baik-baik saja?” Jika ada respons maka :
• Jangan ubah posisi korban.
• Cari hal yang tidak beres.
• Ulangi pemeriksaan berkala.
2.   Pastikan keamanan
Sebelum melakukan pertolongan hal yang paling diutamakan adalah keamanan bagi si
penolong
3.   Panggil bantuan / telpon ambulan
4.   Memposisikan pasien
Korban harus dibaringkan di atas permukaan yang keras dan datar agar RJP efektif. Jika
korban menelungkup atau menghadap ke samping, posisikan korban terlentang. Perhatikan
agar kepala, leher dan tubuh tersangga, dan balikkan secara simultan saat merubah posisi
korban.
5.   Evaluasi Nadi / Tanda – Tanda Sirkulasi
Pertahankan posisi head tilt, tentukan letak jakun atau bagian tengah tenggorokan korban
dengan jari telunjuk dan tengah. Geser jari anda ke cekungan di sisi leher yang terdekat
dengan anda (Lokasi nadi karotis) Tekan dan raba dengan hati-hati nadi karotis selama 10
detik, dan perhatikan tanda-tanda sirkulasi (kesadaran, gerakan, pernafasan, atau batuk) Jika
denyut nadi korban tidak teraba mulailah kompresi dada.
6.      Kompresi jantung + nafas buatan (30 : 2)
Telah dikembangkan teknik baru manual RJP sebagai usaha untuk memperbaiki perfusi
selama resusitasi pada pasien dengan henti jantung, untuk memperbaiki kurva harapan hidup.
Dibandingkan dengan teknik RJP sebelumnya, teknik-teknik dan peralatan lebih
membutuhkan banyak orang, pelatihan dan  alat-alat, atau teknik spesifik lainnya. Beberapa
teknik dari RJP dan peralatannya memperbaiki hemodinamik dan angka keselamatan jangka
pendek jika digunakan oleh penolong yang terlatih.
Penggunaan beberapa peralatan telah menjadi fokus utama dari penelitian klinis baru.
Penggunaan dari Impedance Threshold Device (ITD) meningkatkan terjadinya ROSC (return
of spontaneous circulation /kembalinya sirkulasi secara spontan) dan survival jangka pendek
jika digunakan pada pasien henti jantung di luar rumah sakit, namun tidak ada kemajuan
berarti pada pasien yang berhasil selamat dan keluar dari rumah sakit atau secara neurologi
klinisnya membaik.
Teknik RJP dimulai dengan mengkompresi dada sebelum memberikan bantuan nafas (C-
A-B daripada A-B-C). Kompresi dada dapat dimulai sesegera mungkin, sedangkan tindakan
mengatur posisi kepala, mendapatkan lapisan penutup untuk bantuan nafas dari mulut ke
mulut atau memasang masker akan memakan waktu. Dengan memulai kompresi dada 30 kali
dibandingkan ventilasi 2 kali akan mempersingkat perlambatan kompresi pertama.
Kompresi dada yang adekuat memerlukan kompresi dengan kedalaman dan kecepatan
yang sesuai, dengan pengembangan dada yang komplit setelah setiap kompresi dan
penekanan dalam meminimalkan penghentian kompresi dan menghindari ventilasi yang
berlebihan. Penolong harus memastikan bahwa kompresi dada dilakukan dengan benar.
Kedalaman kompresi yang direkomendasikan pada korban dewasa meningkat dari kedalaman
1,5-2 inci menjadi setidaknya 2 inci.

                                                                           Gambar 1. Pijat jantung

Langkah dalam melakukan kompresi dada luar yakni korban hendaknya terlentang pada
permukaan yang keras bila kompresi dada luar dilakukan. Penolong berlutut di samping
korban dan meletakkan pangkal sebelah tangannya di atas tengah pertengahan bawah sternum
korban sepanjang sumbu panjangnya dengan jarak 2 jari sefalad dari persambungan
sifisternum. Tangan penolong yang lain diletakkan di atas tangan pertama. Dengan jari-jari
terkunci, lengan lurus dan kedua bahu tepat di atas sternum korban, penolong memberikan
tekanan vertikal ke bawah yang cukup untuk menekan sternum 4-5 cm. Setelah kompresi
harus ada relaksasi. Penderita dewasa baik terdiri dari satu atau dua penolong, dilakukan 30
kompresi dada luar (laju : 80-100 kali/menit = 9-12 detik) harus diikuti dengan pemberian 2
kali ventilasi dalam (2-3 detik). Bila penderita anak-anak dan bayi, bila terdiri dari satu
penolong diberikan 30 kompresi dada luar dan 2 ventilasi dalam. Sedangkan bila terdapat dua
penolong , dilakukan 15 kompresi dada luar dan 2 ventilasi dalam.
Setiap 2 menit setelah dilakukan kompresi jantung + nafas buatan lakukan penilaian
terhadap penderita. Periksa apakah ada tanda-tanda sirkulasi seperti bergerak, bernafas atau
batuk.
7.   Buka jalan nafas & nilai pernafasan
Pastikan korbanbernafas spontan dan normal. Jika tidak ada nafas spontan buka jalan
nafas penderita.
Sumbatan jalan nafas oleh lidah yang menutupi dinding posterior faring merupakan
persoalan yang sering timbul pada pasien tidak sadar yang terlentang. Ada cara yang
dianjurkan untuk menjaga agar jalan nafas tetap terbuka, yaitu:
a.    Metode Head Tilt
Penolong mengekstensikan kepala korban dan dengan satu tangan sementara tangan yang
lain menyangga bagian atas leher korban.
b.    Metode Chin lift
Kepala diekstensikan dan dagu diangkat ke atas. Metode ini dilakukan jika tidak ada
trauma pada leher. Satu tangan penolong mendorong dahi ke bawah supaya kepala tengadah,
tangan lain mendorong dagu dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung menghadap ke atas
dan epiglotis terbuka.

                     Gambar 2.  Metode Head Tilt dan Chin Lift

c.    Metode Jaw Thrust


Kepala diekstensikan dan mandibula didorong maju dengan memegang sudut mandibula
korban pada kedua sisi dan mendorongnya ke depan. Pada pasien dengan trauma leher,
rahang bawah diangkat didorong ke depan pada sendinya tanpa menggerakkan kepala-leher.
Pendorongan mandibula saja tanpa ekstensi kepala juga merupakan metode paling aman
untuk memelihara jalan nafas atas tetap terbuka, pada pasien dengan dugaan patah tulang
leher.

                   Gambar 3. Metode Jaw Thrust

Bila korban yang tidak sadar bernafas spontan dan adekuat (tidak ada sianosis), korban
sebaiknya diletakkan dalam posisi sisi mantap untuk mencegah aspirasi. Ekstensikan
kepalanya dan pertahankan mukanya lebih rendah. Letakkan tangan pasien sebelah atas di
bawah pipi sebelah bawah untuk mempertahankan ekstensi kepala dan mencegah pasien
berguling ke depan. Lengan sebelah bawah yang berada di punggungnya, mencegah pasien
terguling ke belakang.
8.      Beri nafas buatan pertama 2x
Breathing support yang diberikan pertama kali adalah ventilasi buatan sebanyak 2x setelah
airway baik pada oksigenasi paru darurat. Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas
mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh.8
Bila pernafasan spontan tidak timbul, diperlukan ventilasi buatan. Nafas buatan tanpa alat
dapat dilakukan dengan cara mulut ke mulut (mouth-to-mouth), mulut ke hidung (mouth-to-
nose), mulut ke stoma trakeostomi atau mulut ke mulut via sungkup muka. Untuk melakukan
ventilasi mulut-kemulut penolong hendaknya mempertahankan kepala dan leher korban
dalam salah satu sikap yang telah disebutkan di atas dan memencet hidung korban dengan
satu tangan atau menutup lubang hidung pasien dengan pipi penolong. Selanjutnya diberikan
2 kali ventilasi dalam dalam (1 kali ventilasi = 1-1 ½ detik). Kemudian segera raba denyut
nadi karotis atau femoralis. Bila ia tetap henti nafas tetapi masih mempunyai denyut nadi
diberikan ventilasi dalam (800-1200 ml) setiap 5 detik. Bila denyut nadi karotis tak teraba, 2
kali ventilasi dalam harus diberikan sesudah tiap 30 kompresi dada.

                Gambar 4.Mouth to mouth


Bila ventilasi mulut ke mulut atau mulut ke hidung tidak berhasil baik, walaupun jalan
nafas telah dicoba dibuka, faring korban harus diperiksa untuk melihat apakah ada sekresi
atau benda asing. Pada tindakan jari menyapu hendaknya korban digulingkan pada salah satu
sisinya. Sesudah dengan paksa membuka mulut korban dengan satu tangan memegang lidah
dan rahangnya, penolong memasukkan jari telunjuk dan jari tengah tangan yang lain ke
dalam satu sisi mulut korban, melalui bagian belakang faring, keluar lagi melalui sisi lain
mulut korban dalam satu gerakan menyapu. Bila tindakan ini gagal untuk mengeluarkan
benda asing, hendaknya dikerjakan hentakan abdomen (abdominal thrust, gerak heimlich)
atau hentakan dada (chest thrust). Hentakan dada dilakukan pada korban yang terlentang,
tekhnik ini sama dengan kompresi dada luar. Urutan yang dianjurkan adalah berikan 6-10 x
hentakan abdomen, buka mulut dan lakukan sapuan jari, reposisi pasien, buka jalan nafas dan
beri ventilasi buatan. Urutan ini hendaknya diulang sampai benda asing keluar dan ventilasi
buatan dapat dilakukan dengan sukses.
Bila sesudah dilakukan gerakan triple (ekstensi kepala, buka mulut dan dorong mandibula)
dan pembersihan mulut dan faring, ternyata masih ada sumbatan jalan nafas, dapat dicoba
pemasangan orofaringeal airway atau nasofaringeal airway. Bila dengan ini belum berhasil,
perlu dilakukan intubasi trakheal. Bila tidak mungkin atau tidak dapat dilakukan intubasi
trakheal sebagai alternatifnya, krikotirotomi atau punksi membran krikotiroid dengan jarum
berlumen besar ( misal dengan kanula intra vena 14 G).
9.      Jangan hentikan Kompresi jantung dan nafas buatan 30:2 sampai ada indikasi stop BHD
Keadaan penderita yang tidak sadar, tidak ada pernafasan spontan, reflek muntah dan
dilatasi pupil yang menetap selama 15-30 menit atau lebih merupakan petunjuk kematian
otak kecuali pasien hipotermik atau dibwah efek barbiturat atau dalam anestesi umum. Akan
tetapi, tidak adanya tanggapan jantung terhadap tindakan resusitasi dibanding dengan tanda-
tanda klinis kematian otak, adalah titik akhir yang lebih baik untuk membuat keputusan
mengakhiri upaya resusitasi. Tidak ada aktifitas listrik jantung (asistole) selama paling sedikit
30 menit walaupun dilakukan upaya RJP dan terapi obat yang optimal, ini menandakan mati
jantung.1,2,4
Indikasi stop BHD adalah :1
         Kembalinya sirkulasi dan ventilasi spontan
         Pasien dialihrawatkan kepada yang lebih berwenang
         Baru diketahui telah ada tanda-tanda kematian yang irreversibel
         Penolong lelah atau keselamatannya terancam
         Jika 30’ setelah ACLS yang adekuat tidak didapatkan tanda-tanda kembalinya sirkulasi
spontan (asistole yang menetap), bukan intoksikasi obat atau hipotermia.
Seseorang dinyatakan mati jantung bila :
1.    Fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau irreversibel.
2.    Telah terbukti terjadi kematian batang otak
Dalam keadaan darurat tidak mungkin untuk menegakkan diagnosis mati batang otak.
Dalam resusitasi darurat, seseorang dapat dinyatakan mati jika :
1.    Terdapat tanda-tanda mati jantung
2.    Sesudah dimulai resusitasi pasien tetap tidak sadar, tidak timbul ventilasi spontan dan refleks
muntah (“gag reflex”), serta pupil tetap dilatasi selama 15-30 menit atau lebih, kecuali kalau
pasien hipotermik atau dibawah pengaruh barbiturat atau anestesi umum.

Gambar 5. BLS pada dewasa


Prinsip bantuan hidup dasar pada bayi dan anak sama dengan pada orang dewasa.
Perbedaannya terjadi karena ketidaksamaan ukuran sehingga diperlukan modifikasi teknik.1
Ekstensi kepala yang berlebihan dapat menyebabkan sumbatan jalan napas pada bayi
dan anak kecil. Kepala sebaiknya dijaga dalam posisi netral dengan tetap diusahakan
membuka jalan napas. Pada bayi dan anak kecil, ventilasi mulut ke mulut dan hidung, lebih
sesuai daripada ventilasi mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pemberian ventilasi harus
lebih kecil volumenya, namun frekuensi ventilasi harus ditingkatkan menjadi satu ventilasi
tiap tiga detik untuk bayi dan satu ventilasi tiap empat detik untuk anank-anak.1
Pukulan punggung dengan pangkal tangan dapat diberikan pada bayi di antara dua
scapula dengan korban telungkup dan mengangkang pada lengan penolong. Hentakan dada
diberikan dengan bayi telentang, kepala terletak di bawah melintang terhadap paha penolong.
Pukulan punggung pada anak yang lebih besar dapat di berikan dengan korban telungkup
melintang diatas paha penolong dengan kepala lebih rendah dari badan. Hentakan dada dapat
diberikan dengan anak telentang di atas lantai.1
Kompresi dada luar sebaiknya diberikan dengan dua jari pada satu jari di bawah titik
potong garis puting susu dengan sternum pada bayi dan pada pertengahan bawah midsternum
pada anak karena jantung terletak sedikit lebih tinggi dalam rongga toraks. Penekanan
sternum 1,5  – 2,5 cm efektif untuk bayi, tetapi pada anak diperlukan penekanan 2,5 – 4 cm.
Pada anak yang lebih besar, sebaiknya digunakan pangkal telapak tangan untuk kompresi
dada luar.
Selama henti jantung, pemberian kompresi dada luar harus minimal 100 kali/menit
pada bayi dan 80 kali/menit pada anak-anak. Perbandingan kompresi terhadap ventilasi
selalu 30 : 1 jilka satu penolong, 15:2 jika dua penolong.2,4
2.      FASE II (Bantuan Hidup Lanjutan (Advance Life Support)). Ini adalah prosedur setelah
Bantuan hidup dasar yang ditambah dengan:1-4
a.    D (drugs) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.5
Bantuan hidup lanjut berhubungan dengan teknik yang ditujukan untuk memperbaiki
ventilasi dan oksigenasi korban dan pada diagnosis serta terapi gangguan irama utama selama
henti jantung. Bantuan hidup dasar memerlukan peralatan khusus dan penggunaan obat.
Harus segera dimulai bila diagnosis henti jantung atau henti nafas dibuat dan harus diteruskan
sampai bantuan hidup lanjut diberikan. Setelah dilakukan CBA RJP dan belum timbul denyut
jantung spontan, maka resusitasi diteruskan dengan langkah DEF. Adapun obat – obatan yang
dipakai yaitu
Amiodaron
Efek amiodarone pada jaringan jantung adalah dengan menunda repolarisasi dengan
memperpanjang lama kerja potensial (action potential duration) dan perioda refrakter efektif
(effective refractory period). Amiodaron kelihatannya juga menghambat influx transmembran
ion natrium ekstraselular melalui fast sodium channel, seperti terlihat dengan menurunnya
kecepatan maksimum fase 0 depolarisasi dari kerja potensial.
Obat ini digunakan untuk kasus supraventrikular takikardia, fibrilasi ventrikel, atau takikardia
ventrikel tanpa nadi. Amiodaron memperlambat konduksi AV, memperpanjang periode
refrakter AV  dan interval QT, dan memperlambat konduksi ventrikular (melebarkan QRS).
Monitor tekanan darah dan berikan secara pelan-pelan untuk penderita dengan denyut
nadi  tetapi mungkin saja diberikan cepat kepada penderita dengan henti jantung
atau ventricular fibrillasi (VF). Amiodaron menyebabkan hipotensi. Monitor EKG karena
komplikasi dapat meliputi bradikardi, blok hati jantung, dan torsades de pointes.
Berikan  perhatian terutama bila diberikan bersama dengan obat lain yang menyebabkan
perpanjangan QT seperti procainamid. Efek kurang baik mungkin saja berkepanjangan
karena waktu-paruhnya sampai dengan 40 hari. Dosis pemberian 5 mg/kgBB iv/io
Natrium bikarbonat
Penting untuk melawan metabolik asidosis yang dapat meningkat seiring dengan retensi
karbondioksida selama henti jantung dan henti napas. Asidosis ini dapat memberikan
hambatan pada kontraksi miokard., diberikan iv dengan dosis awal : 1 mEq/kgBB, baik
berupa bolus ataupun dalam infus setelah selama periode 10 menit. Dapat juga diberikan
intrakardial, begitu sirkulasi spontan yang efektif tercapai, pemberian harus dihentikan karena
bisa terjadi metabolik alkalosis, takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila belum ada sirkulasi
yang efektif maka ulangi lagi pemberian dengan dosis yang sama.
Adrenalin
Adrenalin : 0,5 – 1,0 mg dosis untuk orang dewasa, 10 mcg/ kg pada anak- anak.  Cara
pemberian : iv, intratrakeal lewat pipa trakeal (1 ml adrenalin diencerkan dengan 9 ml
akuades steril, bukan NaCl, berarti dalam 1 ml mengandung 100 mcg adrenalin).
Jika  keduanya tidak mungkin : lakukan intrakardial (hanya oleh tenaga yang sudah terlatih).  
Di ulang tiap 5 menit dengan dosis sama sampai timbul denyut spontan atau mati
jantung.  Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan beta dan yang perlu diperhatikan
dapat meningkatkan pemakaian O2 myocard, takiaritmi, fibrilasi ventrikel.
Lidokain
Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek antiaritmia dengan cara meningkatkan
ambang stimulasi listrik dari ventrikel selama diastole. Pada dosis terapeutik biasa, tidak ada
perubahan bermakna dari kontraktilitas miokard, tekanan arteri sistemik, atau periode
refrakter absolut. Obat ini terutama efektif menekan iritabilitas sehingga mencegah
kembalinya fibrilasi ventrikel setelah defibrilasi yang berhasil, juga efektif mengontrol
denyut ventrikel prematur yang mutlti fokal dan episode takhikardi ventrikel. Dosis 50-100
mg diberikan iv sebagai bolus, pelan-pelan dan bisa diulang bila perlu. Dapat dilanjutkan
dengan infus kontinu 1-3 mg.menit, biasanya tidak lebih dari 4 mg.menit, berupa lidocaine
500 ml dextrose 5 % larutan (1 mg/ml).
Sulfat Artopin
Atropin sebagai prototip antimuskarinik mempunyai kerja menghambat efek asetilkolin pada
syaraf postganglionik kolinergik dan otot polos. Mekanisme kerja Atropine memblok aksi
kolinomimetik pada reseptor muskarinik secara reversible.
Atropin sulfat adalah satu obat parasimpatolitik yang mengakselerasi pacu jantung sinus atau
atrial dan meningkatkan konduksi AV.Mengurangi tonus vagus memudahkan konduksi
atrioventrikuler dan mempercepat denyut jantung pada keadaan sinus bradikardi. Paling
berguna dalam mencegah “arrest” pada keadaan sinus bradikardi sekunder karena infark
miokard, terutama bila ada hipotensi. Dosis yang dianjurkan ½ mg, diberikan iv. Sebagai
bolus dan diulang dalam interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi > 60 /menit, dosis total
tidak boleh melebihi 2 mg kecuali pada blok atrioventrikuler derajat 3 yang membutuhkan
dosis lebih besar.
Isoproterenol
Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera (bradikardi hebat karena complete heart
block). Ia diberikan dalam infus dengan jumlah 2 sampai 20 mg/menit (1-10 ml larutan dari 1
mg dalam 500 ml dectrose 5 %), dan diatur untuk meninggikan denyut jantung sampai kira-
kira 60 kali/menit. Juga berguna untuk sinus bradikardi berat yang tidak berhasil diatasi
dengan Atropine.
Infus isoproterenol pada manusia menurunkan resistensi perifer, terutama pada otot rangka,
tetapi juga pada ginjal dan mesenterium, sehingga tekanan diastolic menurun. Curah jantung
meningkat karena efek inotropik dan kronotropik positif langsung dari obat.pada dosis
isoproterenol yang biasa diberikan pada manusia, peningkatan curah jantung umumnya cukup
besar untuk mempertahankan atau meningkatkan tekanan sistolik, tetapi tekanan rata – rata
menurun. Efek isoproterenol terhadap jantung menimbulkan palpitasi, takikardia, sinus dan
aritmia yang lebih serius.
Isoproterenol melalui aktivasi reseptor β2, menimbulkan relaksasi hampir semua jenis otot
polos. Efek ini jelas terlihat bila tonus otot tinggi, dan paling jelas pada otot polos bronkus
dan saluran cerna. Isoproterenol mencegah atau mengurangi bronkokonstriksi. Pada asma,
selain menimbulkan bronkodilatasi, isoprotorenol juga menghambat penglepasan histamine
dan mediator – mediator inflamasi lainnya.akibat reaksi antigen-antibodi, efek ini juga
dimiliki oleh  β2-agonis yang selektif
Propranolol
Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti aritmianya terbukti berguna untuk kasus-kasus
takhikardi ventrikel yang berulang atau fibrilasi ventrikel berulang dimana ritme jantung
tidak dapat diatasi dengan Lidocaine. Dosis umumnya adalah 1 mg iv, dapat diulang sampai
total 3 mg, dengan pengawasan yang ketat.Propanolol mengantagonis katekolamin pada
adrenoreseptor  beta 1 dan beta 2. Efek blok beta 1, dimana menurunkan curah jantung
dengan membuat kekuatan kontraksi dan frekuensi kontraksi jantung menurun, sehingga juga
dapat menurunkan tekanan darah akibat dari curah jantung yang menurun. Efek blok beta 2,
dimana akan membuat bronkospasme. Efektif sebagai obat anti hipertensi dengan penekanan
sistem renin-angiotensin
Kortikosteroid
Henti jantung biasanya dihubungkan dengan level kortisol yang rendah yang dapat
mengakibatkan hipotensi dan syok. Sekarang lebih disukai kortikosteroid sintetis (5
mg/kgBB methyl prednisolon sodium succinate atau 1 mg/kgBB dexamethasone fosfat)
untuk pengobatan syok kardiogenik atau shock lung akibat henti jantung.Bila ada kecurigaan
edema otak setelah henti jantung, 60-100 mg methyl prednisolon sodium succinate tiap 6 jam
akan menguntungkan. Bila ada komplikasi paru seperti pneumonia post aspirasi, maka
digunakan dexamethason fosfat 4-8 mg tiap 6 jam.
b.    E (EKG)  : diagnosis elektrokardiografi secepat mungkin untuk mengetahui fibrilasi
ventrikel5,6,7

c.    Fibriation treatment :5,6,7


Tindakan untuk umumnya dipakai mengatasi fibrilasi ventrikel. Elektroda dipasang sebelah
kiri putting susu kiri dan di sebelah kanan sternum atas. Alat yang biasa digunakan yaitu
defibrillator. Ada 2 Defibrillator yaitu :
Monofasik
Arus mengalir dalam satu arah dari satu paddle/ bantalan yang lain pada defibrilator
monofasik. Dalam VF atau VT tanpa nadi, dianjurkan untuk melakukan tiga shock secara
berurutan dengan urutan 200 joules, 300 joule, dan kemudian 360 joule.
Alat yang biasa dipakai yaitu direct current (dc) shock / defibrillator peralatan elektronik
yang dirancang untuk memberikan kejut listrik dengan waktu yang relatif singkat dan
intensitas yang tinggi kepada pasien penyakit jantung. Tujuannya untuk mengembalikan
irama jantung dan mengembalikan sirkulasi yang terhenti akibat dari disritmia. Modus dc
shock terbagi menjadi :
a.       Asyncronize (Defribilasi) : digunakan (hanya) untuk melakukan terminasi Ventrikel Fibrilasi
(VF) dan Ventrikel Tachikardi (VT) tanpa nadi
b.      Syncronize (Kardioversi) : digunakan untuk melakukan terminasi Ventrikel tachikardi (VT),
Supraventrikel tachikardi (SVT), Atrial Fibrilasi(AF), Atrial Fluter (Af)
c.       Transcutaneus Pacing (TCP) : digunakan untuk memberikan impuls jantung (pacing) pada
Total AV Block dengan kondisi emergency (pertolongan sementara)
Beberapa faktor berperan dalam keberhasilan dc shock yaitu : Kecepatan Tindakan, Energi
Yang Digunakan, Berat/ringannya Aritmia, Posisi paddle. Beberapa indikasi dalam
pemberian dc shock yaitu
a.       Ventrikel fibrilasi
 

b.      Ventrikel takikardi
c.       Supraventricular takikardi

d.      Atrial fibrilasi

e.       Atrial flutter
 
Langkah-langkah yang dilakukan yaitu :
1. Letakkan posisi pasien ditempat yang aman dan tidak ada genangan air atau logam dibawah
pasien /penolong
2. Pasang monitor elektrode defibrilator pada dada pasien
3. Oleskan jeli pada pedel
4. Hidupkan alat DC Shock, diseleksi ke “lead select” atau “ paddles” apabila elektrode belum
terpasang
5. Pilih besar energi yang diperlukan
6. Isi kapasitas dengan menekan “charge ‘” pada pedel apeks atau pada alat tsb
7. Tempatkan pedel pada posisi yang betul, pedel sternum pada posisi parasternal kanan
interkostal II-IV, pedel apeks pada posisi apeks kordis
8. Beritahu penolong lain agar tidak menyentuh pasien /bed
9. Lihat monitor defibrilator lagi untuk memastikan adanya tipe aritmia VF atau VT tanpa nadi
10. Tekan tombol pelepas energi
Defibrillator Bifasik
Dalam defibrilator bifasik listrik arus dalam satu arah selama fase pertama dan berbalik arah
pada fase kedua (sehingga melewati jantung dua kali). Defibrillator bifasik mampu
memanfaatkan jumlah joule yang sedikit dan membuat sedikit kerusakan miokard yang sama
atau lebih baik bila dibandingkan dengan defibrillator monofasik. Teknologi bifasik sedang
digunakan dalam Automatic Internal Cardiac Defibrillators (AICDs) danAutomated External
Defibrillators (AEDs
Bila ada Automatic External Defibrilator (AED) evaluasi irama jantung yang ada. Alat
sederhana ini menggunakan unit didasarkan pada teknologi komputer yang dirancang untuk
menganalisis irama jantung itu sendiri, dan kemudian menyarankan pengguna apakah kejutan
diperlukan. AED dirancang untuk digunakan oleh awam orang, yang membutuhkan sedikit
pelatihan untuk beroperasi dengan benar. Mereka biasanya terbatas dalam intervensi mereka
untuk memberikan guncangan joule tinggi untuk VF (fibrilasi ventrikel) dan VT (takikardia
ventrikel) irama, membuat mereka umumnya digunakan terbatas untuk profesional kesehatan,
yang bisa mendiagnosa dan mengobati berbagai masalah yang lebih luas dengan manual atau
Unit semi-otomatis.
Unit otomatis juga mengambil waktu (biasanya 10-20 detik) untuk mendiagnosis irama, di
mana seorang profesional dapat mendiagnosa dan mengobati kondisi jauh lebih cepat dengan
unit pengguna interval waktu ini untuk analisis, yang membutuhkan menghentikan
penekanan dada,. telah ditunjukkan dalam sejumlah studi untuk memiliki efek negatif
signifikan terhadap keberhasilan shock. Efek ini menyebabkan perubahan terbaru dalam
pedoman defibrilasi AHA (menyerukan dua menit CPR setelah setiap kejutan tanpa
menganalisis irama jantung) dan beberapa badan menyarankan AED tidak boleh digunakan
ketika defibrillator manual dan operator terlatih tersedia.
Defibrillator eksternal otomatis umumnya sebaiknya baik dipegang oleh tenaga terlatih yang
siap menghadapi insiden, atau unit akses publik yang dapat ditemukan di tempat-tempat
termasuk kantor perusahaan dan pemerintah, pusat perbelanjaan, bandara, restoran, kasino,
hotel, stadion olahraga, sekolah dan universitas, pusat-pusat komunitas, pusat kebugaran dan
klub kesehatan.
Lokasi dari akses AED publik harus memperhitungkan di mana kelompok besar orang
berkumpul, dan kategori risiko yang terkait dengan orang-orang, untuk memastikan apakah
risiko insiden serangan jantung mendadak tinggi. Sebagai contoh, sebuah pusat bagi anak-
anak remaja adalah kategori risiko yang sangat rendah (sebagai anak-anak yang sangat jarang
masuk irama jantung seperti VF (Fibrilasi ventrikel) atau VT (Ventricular Tachycardia), yang
umumnya muda dan sehat, dan penyebab paling umum pediatrik jantung penangkapan adalah
pernapasan dan trauma - di mana jantung lebih mungkin untuk memasuki detak jantung atau
PEA, (di mana AED tidak ada gunanya) Di sisi lain, sebuah bangunan kantor besar dengan
rasio tinggi laki-laki lebih dari 50 adalah sangat tinggi. risiko lingkungan.

Gambar 6. Automatic External Defibrilator (AED)

Gambar 7. Defibrillation treatment


3.      FASE III : Tunjangan Hidup Terus-menerus (Prolonged Life Support)1,4
G (Gauge) : Pengukuran dari pemeriksaan untuk memonitoring penderita secara terus
menerus, di nilai, di cari penyebabnya dan kemudian mengobatinya.
H (Human mentation)     : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistem saraf dari
kerusakan lebih lanjtu akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat dicegah terjadinya
kerusakan neurologic yang permanen.
I (Intensive Care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi: trakeostomi,
pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran pH, pC02 bila diperlukan
dan tunjangan sirkulasi mengendalikan jika terjadinya kejang.

DAFTAR PUSTAKA

1.             Kulnarni R et al. Cardiopulmonary Resuscitation . [online] 2014 April 21 [cited 2015 April
6];[12 screen]. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/1344081-overview#showall
2.             Anonym. First aid-CPR. [online] 2013 November 11 [cited 2015 April 06];[3 screen].
Available from URL:
http://www.nhs.uk/Conditions/Accidents-and-first-aid/Pages/CPR.aspx
3.             Anonym. First aid-CPR. [online] 2014 january 5 [cited 2015 April  6];[3 screen]. Available
from URL:
http://www.webmd.com/first-aid/cardiopulmonary-resuscitation-cpr-treatment
4.             Heller JR.CPR. [online] 2013 July 20 [cited 2015 April 6];[3 screen]. Available from
URL:http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000010.htm
5.             Mentzelopoulos S, Papastylianou A.Current Pharmacological Advances in the Treatment of
Cardiac Arrest.[online] 2012 [cited April 6];[14 screen]. Available from URL:
http://www.hindawi.com/journals/emi/2012/815857/
6.             Schraga ED et al. Ventricular Fibrillation in Emergency Medicine Medication. . [online]
2013 July 20 [cited April 6];[12 screen]. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/760832-medication#showall
7.             Schraga ED et al. Ventricular Fibrillation in Emergency Medicine Medication. . [online]
2013 July 20 [cited April 6];[12 screen]. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/760832-overview#showall

Anda mungkin juga menyukai