Anda di halaman 1dari 5

Membangun Integritas

dengan Menolak Gratifikasi


Widhia Arie Prajoga Wijata*)

Harus disadari, keberhasilan pembangunan dan daya saing suatu negara amat
ditentukan oleh komitmen dan usaha sistematik untuk membenahi aparatur pemerintah.
Tidak bisa tidak karena aparatur pemerintah bukan saja pelaksana kebijakan, tetapi adalah
juga fasilitator pembangunan bagi masyarakat.

Salah satu langkah untuk menjadikan aparatur pemerintahan tangguh, ampuh dan
berwibawa adalah kejujuran dan tidak tercela (bersih). Disamping itu hal yang tidak dapat
ditinggalkan adalah kesetiaan dan ketaatan pada Pancasila dan UUD 1945. Hal lain yang
tidak sedikit arti pentingnya adalah kesadaran akan tanggungjawabnya dalam mengemban
tugas-tugas yang dibebankan kepadanya.(1,2) Berbicara soal kejujuran dan kebersihan,
sebenarnya sangat peka, meskipun dua masalah ini selama ini paling sering dialpakan oleh
oknum pejabat, yang notabene adalah juga aparatur pemerintahan. Kejujuran pada aparatur
pemerintah di antaranya adalah upaya menghindari tindak korupsi.

Tindak pidana korupsi merupakan suatu sifat tercela dan sudah menjadi fenomena
sosial yang tidak hanya merugikan negara tetapi juga merupakan suatu pelanggaran hak-
hak sosial dan ekonomi masyarakat.(3) Hal ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif
yang ditimbulkan oleh korupsi. Korupsi merupakan kejahatan sistemik yang berkaitan
dengan kekuasaan yang terbentuk secara struktural dan terorganisir. Korupsi dapat merusak
sendi-sendi kepribadian bangsa terutama yang diakibatkan oleh intellectual corruption.(3,4)
Salah satu pola korupsi adalah gratifikasi.

Berdasarkan Penjelasan Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,
yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi
pemberian uang, barang, rabat, komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Gratifikasi
tersebut baik yang diterima didalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan
dengan menggunakan sarana elektronika atau tanpa sarana elektronika.

Perbuatan penerimaan gratifikasi oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara


yang dianggap sebagai perbuatan suap apabila pemberian tersebut dilakukan karena
berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.(4)
Terbentuknya peraturan tentang gratifikasi merupakan bentuk kesadaran bahwa gratifikasi

*) Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara


(KPPN) Semarang I Page 1
dapat berdampak negatif dan dapat disalahgunakan, khususnya dalam penyelenggaraan
pelayanan publik, sehingga unsur ini diatur dalam perundang-undangan mengenai tindak
pidana korupsi.(4,5) Diharapkan jika budaya pemberian dan penerimaan gratifikasi
kepada/oleh Penyelenggara Negara dan Pegawai Negeri dapat dihentikan, maka tindak
pidana pemerasan dan suap dapat diminimalkan atau bahkan dihilangkan.

Implementasi penegakan peraturan gratifikasi ini tidak sedikit menghadapi kendala


karena banyak masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa memberi hadiah
(gratifikasi) merupakan hal yang lumrah. Secara sosiologis, hadiah adalah sesuatu yang
bukan saja lumrah tetapi juga berperan sangat penting dalam merekat “kohesi social” dalam
suatu masyarakat maupun antar masyarakat bahkan antar bangsa.(6) Gratifikasi menjadi
unsur penting dalam sistem dan mekanisme pertukaran hadiah, sehingga memunculkan
banyak pertanyaan di kalangan penyelenggara Negara atau pegawai negeri seperti: apakah
gratifikasi sama dengan pemberian hadiah secara umum, apakah setiap gratifikasi yang
diterima merupakan perbuatan yang berlawanan dengan hukum, atau apa saja gratifikasi
yang dibolehkan dan dilarang. (6)

Gratification (gratifikasi) merupakan bentuk khusus dari gift, yang membedakan


gratifikasi dan pemberian adalah latar belakangnya perpindahan suatu barang atau uang
dari pemberi kepada penerima yang dilatarbelakangi oleh keuntungan yang didapat oleh
pemberi walau barang atau uang yang diberikan bukan hal yang diperjanjikan atau
dipersyaratkan terlebih dahulu adalah gratifikasi, sedangkan gift atau hadiah tidak
dilatarbelakangi oleh sesuatu.(4)

“Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap


pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai
berikut:...”

(Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto


Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

Jika dilihat dari rumusan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu
gratifikasi atau pemberian hadiah berubah menjadi suatu perbuatan pidana suap khususnya
pada seorang Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri adalah pada saat
Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri tersebut menerima suatu pemberian hadiah dari
pihak manapun di mana pemberian tersebut diberikan berhubungan dengan jabatan
ataupun pekerjaannya. (4)

Salah satu kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat adalah pemberian tanda
terima kasih atas jasa yang telah diberikan oleh petugas, baik dalam bentuk barang atau
bahkan uang. Hal ini dapat menjadi suatu kebiasaan yang bersifat negatif dan dapat

*) Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara


(KPPN) Semarang I Page 2
mengarah menjadi potensi perbuatan korupsi di kemudian hari.(3) Potensi korupsi inilah yang
berusaha dicegah oleh peraturan undang-undang. Oleh karena itu, berapapun nilai
gratifikasi yang diterima seorang Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri, bila
pemberian itu patut diduga berkaitan dengan jabatan/kewenangan yang dimiliki, maka
sebaiknya Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri tersebut segera melaporkannya
pada KPK untuk dianalisis lebih lanjut.(4,5)

Pemberian hadiah atau gratifikasi yang diterima oleh penyelenggara negara adalah
salah satu sumber penyebab timbulnya konflik kepentingan. Konflik kepentingan yang tidak
ditangani dengan baik dapat berpotensi mendorong terjadinya tindak pidana korupsi.(5)
Situasi yang menyebabkan seseorang penyelenggara negara menerima gratifikasi atau
pemberian/penerimaan hadiah atas suatu keputusan/jabatan merupakan salah satu
kejadian yang sering dihadapi oleh penyelenggara negara yang dapat menimbulkan konflik
kepentingan. Beberapa bentuk konflik kepentingan yang dapat timbul dari pemberian
gratifikasi ini antara lain adalah:(4)

1. Penerimaan gratifikasi dapat membawa kepentingan tersamar (vested interest) dan


kewajiban timbal balik atas sebuah pemberian sehingga independensi penyelenggara
negara dapat terganggu;
2. Penerimaan gratifikasi dapat mempengaruhi objektivitas dan penilaian profesional
penyelenggara negara;
3. Penerimaan gratifikasi dapat digunakan sedemikian rupa untuk mengaburkan
terjadinya tindak pidana korupsi;

Penerimaan gratifikasi oleh penyelenggara negara atau pegawai negeri dan


keluarganya dalam suatu acara pribadi, atau menerima pemberian suatu fasilitas tertentu
yang tidak wajar, semakin lama akan menjadi kebiasaan yang cepat atau lambat akan
mempengaruhi penyelenggara negara atau pegawai negeri yang bersangkutan. Banyak
yang berpendapat bahwa pemberian tersebut sekedar tanda terima kasih dan sah-sah saja,
tetapi pemberian tersebut patut diwaspadai sebagai pemberian yang berpotensi
menimbulkan konflik kepentingan karena terkait dengan jabatan yang dipangku oleh
penerima.(1,5)

Hal-hal yang perlu dicermati dalam mengenali sebuah pemberian yang mengarah
pada gratifikasi yaitu kenali atau ketahui : 1) latar belakang/motif pemberian tersebut, dan
bagaimana cara pemberian dilakukan? Pemberian yang dilakukan secara tidak terbuka dan
diberikan hanya kepada orang-orang tertentu, perlu diwaspadai. Hal ini berbeda jika
pemberian yang dilakukan kepada semua pihak. 2) Berapa nilai pemberian tersebut? Pada
kondisi ini pemberian yang berulang-ulang pada periode tertentu dalam jumlah yang relatif

*) Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara


(KPPN) Semarang I Page 3
kecil, perlu dicermati. 3) Siapa yang memberi? Dalam kondisi ini pemberian yang dilakukan
oleh seseorang yang memiliki jabatan setara, atau lebih rendah perlu dicermati. Selanjutnya
pelajari/cermati apakah pihak pemberi memiliki hubungan dalam hal pekerjaan yang dapat
menimbulkan konflik kepentingan? Landasan untuk menentukan suatu pemberian atau
penerimaan dikategorikan gratifikasi atau bukan umumnya adalah: tidak bertentangan
dengan tugas dan kewajiban; tidak melanggar jabatan; kegiatan memang ada/terjadi; tidak
melanggar Standar Biaya Umum dan tidak melanggar kode etik.

Mengingat besarnya ancaman gratifikasi bagi integritas seorang aparatur


pemerintahan maka perlu dilakukan langkah-langkah pengendalian gratifikasi. Pengendalian
Gratifikasi merupakan upaya pencegahan tindak pidana korupsi melalui pengendalian
gratifikasi. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dalam mengupayakan pengendalian
gratifikasi meliputi : menyusun tata nilai/standar nilai, menyusun kode etik, membentuk Unit
Pengendalian Gratifikasi, mengoperasionalkan Program Pengendalian Gratifikasi, melakukan
evaluasi berkesinambungan, dan melakukan pengembangan Program Pengendalian
Gratifikasi.(4)

Menyusun tata nilai/standar nilai artinya bahwa Tata nilai/standar nilai dalam
organisasi, tidak lepas dari upaya mewujudkan visi dan misi organisasi dan tata nilai tersebut
sifatnya spesifik bagi organisasi yang bersangkutan.(1,4)

Menyusun kode etik berarti bahwa Kode Etik atau dalam Bahasa Inggris disebut a
code of eticatau code of conduct, adalah suatu dokumen formal yang mengatur perilaku yang
diharapkan pada suatu organisasi dan orang yang bekerja dalam organisasi tersebut. (1,4)

Membentuk Unit Pengendalian Gratifikasi. Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG)


adalah unit yang melaksanakan program pengendalian gratifikasi pada suatu Ke-
menterian/Lembaga. Dalam membentuk organisasi ini perlu dipertimbangkan beberapa
faktor, antara lain Struktur Organisasi, Sumber Daya Manusia, Mekanisme Kerja dan
Fasilitas dan Pembiayaan. (1,4)

Mengoperasionalkan Program Pengendalian Gratifikasi dalam arti bahwa kegiatan


operasional Program Pengendalian Gratifikasi (PPG), tidak hanya menangani pelaporan
penerimaan gratifikasi semata untuk selanjutnya diteruskan kepada KPK, tetapi juga
melakukan kegiatan-kegiatan sosialisasi, seminar, lokakarya maupun pelatihan. Di samping
itu juga mengupayakan membangun munculnya kesadaran setiap karyawan/pegawai
melaporkan atas pelanggaran etika yang terjadi dan tindak lanjutnya dapat segera
dilaksanakan tanpa pandang bulu. (1,4)

Melakukan evaluasi berkesinambungan, yaitu evaluasi atas kegiatan UPG yang


merupakan kegiatan untuk mengukur tingkat keber-hasilan program pengendalian gratifikasi

*) Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara


(KPPN) Semarang I Page 4
dalam sebuah organisasi. Selain itu evaluasi ini dapat pula dipakai untuk mengukur tingkat
kesadaran pegawai dalam pelaporan maupun pengandalian gratifikasi. (1,4)

Melakukan Pengembangan PPG berarti bahwa sebagai organisasi yang dinamis,


UPG diharapkan tidak hanya melakukan pekerjaan rutinitas semata, tetapi juga mampu
secara terus menerus mengembangkan diri ke arah yang lebih baik. Sistem pelapor-an
gratifikasi atau pelanggaran atas kode etik yang mudah dan cepat namun tetap menjamin
kerahasiaan pelapor melalui pengembangan teknologi informasi dirasa merupakan pilihan
terbaik. Selain itu membangun dan memberdayakan motor penggerak integritas (tunas
integritas) juga merupakan langkah yang baik guna memacu tumbuhnya integritas dalam diri
setiap pegawai. (1,4)

Keberhasilan pengendalian gratifikasi sebagai salah satu upaya pemberantasan


tindak pidana korupsi di lingkup Kementerian Keuangan Republk Indonesia sudah barang
tentu memerlukan komitmen penuh dari semua pihak. Diperlukan niat, tekad dan langkah
bersama mulai dari jajaran pimpinan hingga level pegawai terendah dalam membangun
integritas di lingkup Kementerian Keuangan Republik Indonesia, dan Direktorat Jenderal
Perbendaharaan pada khususnya.

KEPUSTAKAAN

1. Data Wardana dan Geovani Meiwanda. Reformasi birokrasi menuju indonesia baru,
bersih dan bermartabat. WEDANA J Pemerintahan, Polit dan Birokrasi.
2017;III(April):224–7.

2. Fathya VN. Upaya reformasi birokrasi melalui area perubahan mental aparatur untuk
memberantas praktik pungutan liar yang dilakukan oleh pns. CosmoGov J Ilmu
Pemerintah. 2018;4(1):38–57.

3. Nugraheni H, Lestari TW, Sukini. Mahasiswa pelopor gerakan antikorupsi. 2017.

4. Komisi Pemberantasan Korupsi. Memahami Gratifikasi [Internet]. 2014. Available from:


www.kpk.go.id/gratifikasi

5. Mauliddar N, Din M, Rinaldi Y. Gratifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi. Kanun J Ilmu
Huk. 2017;19(1):155–73.

6. Herarto. Membangun Integritas Dengan Pengendalian Gratifikasi. Media Inf Pengawas


SINERGI. 2014;II.

*) Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara


(KPPN) Semarang I Page 5

Anda mungkin juga menyukai