Anda di halaman 1dari 17

ALMUHKAM WA’AL MUTASYABIH

OLEH :

NAMA : ALYA SABILA

NIM : 210201139

PRODI : HUKUM EKONOMI

DOSEN PENGAMPU : HURNAWIJAYA, S.HI, M, SY

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

i
KATA PENGANTAR
Tiaada kata yang tepat saya ucapkan di sini selain rasa syukur kepada Allah SWT. Tuhan
yang maha esa maha segalanya.
Mengusung judul makalah " Al muhkam wa Al mutasyabih"
Kali ini saya sangat berharap kita semua terutama terutama Mahasiswa dan remaja dapat
teredukasi untuk untuk membaca dan menerapkan hikmah hikmah adanya Al muhkam wa Al
mutasyabih dalam kehidupan sehari hari
Makalah ini saya rangkai tidak lain dan tidak bukan adalah untuk agar kita bisa memahami
ayat ayat muhkam wa Al mutasyabih tersebut.

ii
DAFTAR ISI
Kata pengantar………………………………………………………        
Daftar isi……………………………………………………………...        
BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………………       
 Pendahuluan……………………………………………………..         1     
 Rumusan masalah……………………………………………….         
Tujuan Penulisan……………………………………………….          
Manfaat Penulisan……………………………………………...          

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………..     
A. Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih
B. . Kriteria Mutasyabih
C. Hikmah adanya ayat ayat muhkam dan mutasyabih

BAB III…………………………………………………………...                      


3.1 Kesimpulan……………………………………………….…..             
3.2 Saran………………………………………………………….              
Daftar isi………………………………………………………….             

iii
BAB I

PENDAHULUAN

ِA. Latar Belakang

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan manusia dengan berbagai macam bentuk,
kekuatan, kecerdasan yang berbeda-beda. Sehingga ada beberapa amalan yang tidak mampu
dilakukan oleh seluruh orang, dan ada pula amalan yang hanya bisa dilakukan oleh orang-
orang kuat tertentu saja.

Begitu juga halnya dalam kemampuan berfikirpun ada hal-hal yang dipahami oleh semua
orang dan ada hal-hal yang hanya bisa dipahami oleh ulama tertentu. Serta ada juga yang
sama sekali tidak bisa dipahami oleh seluruh insan.[1]

Terkait itu pula Allah jadikan didalam al-Qur’an hal-hal yang bisa dipahami secara
menyeluruh, juga hal-hal yang hanya dipahami oleh orang tertentu dan hal-hal yang hanya
Allah sajalah yang memahami maknanya. Hal yang semacam ini disebut oleh para ulama
sebagai pembahasan al-Muhkam dan al-Mutasyaabih yang in syaa Allah akan menjadi
pembahasan makalah kita dalam kesempatan ini.

Menimbang pentingnya pembahasan ini perlu rasanya penulis sedikit bersumbangsih meski
banyak kendala dalam penulisan makalah ini yang mendasar terutama banyaknya istilah-
istilah syar’i yang sulit untuk dituangkan maknanya kedalam bahasa Indonesia secara
sempurna. Namun tiada pilihan lain kecuali tetap kita upayakan untuk menyajikannya sebatas
kemampuan dalam sebuah pengabdian, mohon maaf atas segala kekeliruan dan semoga bisa
bermanfaat serta dicatat oleh Allah sebagai sebuah amal shalih amin Ya Rabbal ‘Alamin.

B. Poin Pembahasan

1. Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih

2. Macam-macam al-Mutasyabih

3. Al-Mutasyabihat dalam ayat-ayat tentang sifat Allah

4. Perdebatan ulama seputar al-mutasyabihat

5. Hikmah mengetahui al-Muhkam dan al-Mutasyabih

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih

Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih Secara Bahasa.

1. Pengertian al-Muhkam Secara bahasa.

Al-Muhkam secara bahasa berasal dari kata dasar ‫ َح َك َم‬yang mana Ibnu Faris –rahimahullah-
mengatakan:

‫الظ ْل ِم‬
ُّ َ‫ َوَأ َّو ُل َذلِكَ اَ ْل ُح ْك ُم َوهُ َو اَ ْل َم ْن ُع ِمن‬.ُ‫ َوهُ َو اَ ْل َم ْنع‬,‫اَ ْل َحا ُء َو ْالكَافُ َو ْال ِم ْي ُم َأصْ ٌل َوا ِح ٌد‬

“Huruf al-Ha’, al-Kaf dan al-Mim adalah sebuah asal kata yang bermakna larangan. Kata
pertama yang berakar dari tiga huruf tersebut adalah Hukum yang berarti melarang dari
sebuah kedzhaliman.”[2]

Dikatakan juga: “‫”ح َك ْمتُهُ َعلَ ْي ِه بِ َك َذا ِإ َذا َمنَ ْعتُهُ ِم ْن ِخاَل فِ ِه‬, “aku
َ menghukuminya dengan begini, jika aku
melarangnya untuk tidak menyelisihi sesuatu tersebut”.[3]

Maka makna hukum pada kalimat diatas adalah melarang, yaitu makna secara bahasa. Dari
sini pulalah tali yang mengikat kepala dan leher binatang dinamakan dengan ]4[ٌ‫ َح َك َمة‬ atau tali
kekang, karena berfungsi untuk melarangnya bergerak agar terkendali.

Kemudian maknanya berubah dengan bertambahnya huruf alif jika dikatakan ‫َأحْ َك َم – ِإحْ َكا ًما‬
yang bermakna ‫ َأ ْتقَنَ – ِإ ْتقَانًا‬artinya adalah menguatkan atau mengokohkan, seperti jika
dikatakan: ‫ت ال َّش ْيَئ َأي َأ ْتقَ ْنتُهُ فَ َمنَ ْعتُهُ ع َْن ْالفَ َسا ِد‬
ُ ‫ َأحْ َك ْم‬artinya aku menguatkan sesuatu dan melarangnya
dari kerusakan.[5] Abu Hilal al-‘Askariy –rahimahullah- berkata:

‫ َواِإْل حْ َكا ُم ِإي َْجا ُد ْالفِع ِْل‬,ُ‫َأ َّن ِإ ْتقَانَ ال َّش ْيِئ ِإصْ اَل ُحه‬ “itqhannya sesuatu maksudnya adalah memperbaikinya,
dan ihkam adalah menyempurnakan perbuatan dan menguasinya dengan baik”.[6]

Maka al-Muhkam ‫ اَ ْل ُمحْ َك ُم‬secara bahasa adalah bentuk isim maf’ul dari ‫ َأحْ َك َم‬yang bermakna
sesuatu yang dikokohkan atau dikuatkan atau disempurnakan.

2
2. Pengertian al-Mutasyabih secara bahasa

Al-Mutasyabih secara bahasa berasal dari kata dasar ‫ شبه‬yang mana dikatakan oleh Ibnu Faris
ِ ‫اَل ِّشيْنُ َو ْالبَا ُء َو ْالهَا ُء َأصْ ٌل َو‬ “bahwa huruf asy-Syin, al-Ba’ dan
–rahimahullah- : ‫اح ٌد يَدُلُّ َعلَى تَ َشابُ ِه ال َّش ْيِئ‬
al-Ha’ satu dasar kata yang menunjukkan kemiripan sesuatu”[7].

Ar-Raghib al-Asfahaniy –rahimahullah- menjelaskan bahwasanya al-mutasyabih sebuah kata


turunan dari ]8[ ُ‫اَل َّش ْبهُ وال َّشبَهُ وال َّشبِ ْيه‬ yang maknanya adalah sebuah kemiripan, beliau berkata:

‫ { َوُأتُوا بِ ِه‬:‫ قَا َل هللا تعالى‬، ‫َر لِ َما بَ ْينَهُ َما ِمنَ التَّ َشابُ ِه َع ْينًا َكانَ َأوْ َم ْعنًى‬
ِ ‫َوال ُّش ْبهَةُ هُ َو َأ ْن اَل يَتَ َميَّ ُز َأ َح ُد ال َّشيَْئ ْي ِن ِمنَ اآْل خ‬
ُ ‫ُمتَ َشابِهَا } َأيْ يُ ْشبِهُ بَ ْع‬
ً‫ضهُ بَ ْعضًا لَوْ نًا اَل طَ ْع ُما َو َحقِ ْيقَة‬

Asy-Syubhah adalah tidak bisa membedakan antara satu dengan yang lain disebabkan
adanya kemiripan antara keduanya secara kasat mata ataupun makna, Allah Ta’ala
berfirman: “mereka diberi buah-buahan yang serupa…”, maksudnya adalah sebagiannya
menyerupai warna sebagian yang lain, bukan rasa atau hakikatnya.[9]

Maka al-Mutasyabih secara bahasa adalah “sesuatu yang memiliki kemiripan satu dengan
yang lain”.

3. Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih Secara Istilah.

Para ulama berbeda pendapat atau bermacam-macam dalam mengungkapkan pengertian al-
Muhkam ataupun al-Mutasyabih.

Imam az-Zarkasyiy –rahimahullah- berkata:

‫والح َر ِام‬
َ ‫ح فَهُ َو َما َأحْ َك َم ْتهُ بِاَأل ْم ِر َوالنَّه ِْي وبَيَا ِن ْال َحاَل ِل‬
ِ ‫َوَأ َّما فِ ْي ا ِالصْ ِطاَل‬

“Adapun secara istilah al-Muhkam adalah apa yang telah ditetapkan atau dikuatkan dengan
perintah dan larangan dan penjelasan tentang halal dan haram.”

‫ف ْال َم َعانِي‬ ْ ‫وأما ال َمتَ َشابِهُ فَأصْ لُهُ أن يَ ْشتَبِهَ اللَ ْفظُ في الظَا ِه ِر مع‬
ِ ‫اختِاَل‬

“Adapun al-mutasyabih pada dasarnya adalah kemiripin lafadz secara dhzahir sementara
maknanya berbeda.”[10]

Kemudian beliau memaparkan pendapat ulama seputar al-Muhkam dan al-Mutasyabih,


kurang lebihnya seperti yang diikuti oleh Imam as-Suyuthiy dalam ungkapannya sebagai
berikut; [11]

Al-Muhkam Al-Mutasyabih

3
apa saja yang hanya diketahui oleh Allah seperti
Sesuatu yang diketahui maksudnya baik secara
hari kiamat, keluarnya dajjal dan huruf-huruf
dzhahir atau ta’wil
muqatta’ah diawal-awal surat

adalah yang jelas maknanya ayat yang tidak jelas maknanya

sesuatu yang tidak memiliki kemungkinan ta’wil sesuatu yang berkemungkinan lebih dari satu
lebih dari satu penta’wilan

Apa saja yang termasuk ma’qulu al-ma’na Apa saja yang termasuk ghairu ma’quli al-ma’na

Apa saja yang berdiri sendiri -tanpa butuh yang Apa saja yang tidak berdiri sendiri dan
lain sebagai penjelas- membutuhkan kepada yang lain –sebagai penjelas-

Apa saja yang penta’wilannya sesuai dengan nash Apa saja yang tidak dapat diketahui kecuali dengan
turunnya(teksnya). ta’wil

Yang tidak berulang-ulang lafadznya Yang berulang-ulang lafadznya

Al-Faraid, janji dan ancaman Kisah dan permisalan

An-Nasikh, halal dan haram, hudud dan faraid serta Mansukh, aqsam (sumpah) dan apa saja yang kita
apa yang kita wajib mengimaninya dan wajib mengimaninya namun tidak untuk
mengamalkannya diamalkan.

Halal dan haram Selain halal dan haram

Sementara Syaikh Muhammad Abdul’adzim –rahimahullah- mengelompok pendapat-


pendapat tersebut dengan menyandarkan kepada ulamanya, sebagaimana yang beliau tuliskan
dalam kitabnya sebagai berikut:[12]

Ulama Al-Muhkam Al-Mutasyabih

Tokoh Pendalilan yang jelas yang tidak Sesuatu yang samar yang tidak bisa
berkemungkinan terkena naskh dimengerti maknanya baik secara akal
al-Hanafiyah
atau penukilan nash syar’i. Hanya Allah

4
yang mengetahuinya seperti hari
kiamat, huruf muqatta’ah diawal-awal
surat.

Sesuatu yang hanya Allah saja yang


Yang diketahui maksud yang
mengetahuinya seperti kiamat,
Ahlusunnah[13] diinginkan baik secara dzhahir atau
keluarnya dajjal, huruf muqatta’ah
ta’wil
diawal surat.

Sesuatu yang hanya


Yang berkemungkinan lebih dari satu
Ulama usulfiqih[14] berkemungkinan ta’wil dari satu
penta’wilan
sisi saja.

Yang tidak berdiri sendiri bahkan


membutuhkan penjelasan terkadang
Sesuatu yang berdiri sendiri dan dengan penjelasan ini dan terkadang
al-Imam Ahmad
tidak membutuhkan penjelas dengan penjelasan yang lainnya
disebabkan khilaf dalam
penta’wilannya

Sesuatu yang jika ditinjau dari segi


Tekstual yang bagus dan tersusun
bahasa tidak dapat dimengerti, kecuali
Al-Imam yang berkonsekwensi memberikan
didampingi dengan tanda atau
al-Haramain makna yang lurus atau benar tanpa
pendukung. Seperti satu kata yang
penafian
memiliki banyak makna

Makna yang jelas yang tidak Makna yang tidak jelas yang
Ath-Thayyibiy[15]
menimbulkan kesamaran menimbulkan kesamaran

B. Kriteria Mutasyabih

Berkait tentang pengelompokan macam-macam mutasyabih ini ada beberapa pendapat ulama
didalamnya, seperti pada kedelapan hijriyah Imam asy-Syatibiy menuliskan bahwasanya al-
Mutasyabih itu ada tiga: haqiqiy dan idhafiy sert al-Mutasyabih yang terdapat dalam
istinbatnya bukan nash dalilnya.

5
1. Al-Mutasyabih al-Haqiqiy adalah bagian dari al-Qur’an yang mana kita tidak dapat
memahami maknanya, bahkan seorang mujtahidpun saat menelitinya tidak bisa
mendapatkan maknanya yang muhkam.

2. Al-Mutasyabih al-Idhafiy adalah bagian dari al-Qur’an yang sebenarnya maknanya


bisa dimengerti dalam syariat akan tetapi terkadang dirancukan oleh kejahilan atau
hawa nafsu sehingga dalam pandangannya menjadi mutasyabih yang sebenarnya lebih
condong kepada muhkam.[16] Jenis kedua ini disebut juga dengan istilah al-
Mutasyabih an-Nisbiy yang relative dan hanya ulama tertentu saja yang dapat
memahami maknanya.

3. Al-Mutasyabih dalam istinbat hukum bukan pada ayat atau dalilnya akan tetapi pada
‘illahnya. Contoh; ayat tentang haramnya bangkai dan halalnya hewan yang
disembelih secara syari sangatlah jelas, namun timbul syubhat saat kedua daging
tersebut tercampur apakah halal untuk dikonsumsi atau menjadi haram.[17]

Sementara Imam as-Suyuthiy membagi al-Mutasyabih dari tiga sudut pandang; dari segi


lafadz saja, dari segi makna saja dan dari segi lafadz dan makna secara bersamaan:

1. Dari segi lafadz saja:

a. Terdapat pada satu lafadz saja, seperti al-Abb ( ّ‫)اََأْلب‬.

b. Terdapat pada lafadz yang tersusun lebih dari satu, seperti ‫ ليس كمثله شيء‬karena seandainya
diucapkan ‫ ليس مثله شيء‬maka ini lebih jelas untuk dipahami oleh yang mendengarnya.

2. Dari segi makna saja, seperti makna dari sifat-sifat Allah Ta’ala. Karena sifat-sifat ini tidak
dapat kita pahami gambaran hakikatnya.

3. Dari segi lafadz dan makan terbagi menjadi lima macam al-Mutasyabih;

a. Dari segi populasinya, seperti pada permasalahan al-umum dan al-khusus.

Contoh: َ‫فَا ْقتُلُوا ْال ُم ْش ِر ِكين‬, dalam surat at-Taubah ayat 5.

b. Dari segi tatacaranya, seperti wajib atau sunnah dalam firman Allah Ta’ala surat an-Nisa’
ayat 3:

َ َ‫فَا ْن ِكحُوا َما ط‬


‫اب لَ ُك ْم ِمنَ النِّ َسا ِء‬

c. Dari segi waktu, seperti an-Naskh dan al-Mansukh.

6
d. Dari segi tempat turunnya ayat tersebut.

e. Dari segi syarat yang menjadi standar sah tidaknya ibadah seperti syarat shalat dan nikah.

Kemudian beliau menyimpulkan bahwa dari penjelasan diatas maka bisa dipahami
bahwasanya secara umum al-Mutasyabih terbagi menjadi tiga:

1. Al-Mutasyabih yang sama sekali tidak bisa kita pahami.

2. Al-Mutasyabih yang bisa dipahami dengan indikasi-indikasi lainnya.

3. Al-Mutasyabih yang hanya bisa dipahami oleh ulama tertentu. [18]

Al-Mutasyabihat Dalam Ayat-ayat Tentang Sifat-sifat Allah

Sebagaimana telah kita jelaskan bahwa diantara yang termasuk mutasyabih adalah ayat
tentang sifat-sifat Allah Ta’ala, seperti:

]21[‫ق َأ ْي ِدي ِه ْم‬


َ ْ‫يَ ُد هَّللا ِ فَو‬, ]20[‫ك‬ ِ ْ‫الرَّحْ َمنُ َعلَى ْال َعر‬
َ ِّ‫ َويَ ْبقَى َوجْ هُ َرب‬, ]19[‫ش ا ْستَ َوى‬

Dan lainnya yang mana para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi ayat tentang sifat-
sifat menjadi bebera madzhab sebagaimana yang paparkan oleh Imam as-Suyutihiy:

1. Madzhab jumhur ahli sunnah dari kalangan salaf dan ahli hadits.

Yang berpendapat dengan mengimani sifat-sifat tersebut dengan mengembalikan makna yang
dimaksud kepada Allah tanpa mentafsirkan sebagai bentuk tadzih atau mensucikan
hakikatnya.

2. Madzhab khalaf yaitu sebagian kalangan dari ahlusunnah.

Dengan berpendapat membolehkan ta’wil sifat-sifat sesuai dengan kemuliaan Allah Ta’ala.
Dahulunya Imam al-Haramain termasuk yang berpendapat seperti ini, namun kemudian
beliau rujuk kepada pendapat salaf seraya berkata didalam kitab ar-Risalah an-Nidzamiyah:
Yang aku rela dalam beragama kepada Allah dengan penuh keyakinan adalah mengikuti salaf
al-ummah, sesungguhnya mereka meniti sebuah jalan yang meninggalkan pertentangan
antara makna-makna sifat tersebut.[22]

3. Madzhab Mutawassith.[23]

Disini Imam as-Suyuthiy menukil perkataan Ibnu Daqiq al-‘Id yang mana beliau berkata: jika
penta’wilan itu dekat pengertiannya dalam bahasa arab maka kami tidak mengingkarinya,

7
jika jauh dari pengertian bahasa arab maka kami tawaqquf darinya dan mengimani maknanya
sesuai dengan yang diinginkan oleh Allah dengan menjaga kesucian maknanya.[24]

Sebagaimana terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang makna al-muhkam dan al-
mutasyabih, maka demikian pula mereka berselisih pendapat dalam permasalahan siapakah
yang dapat memahami ayat al-mutasyabihah.

Yang menjadi dasar perdebatan mereka adalah letak waqf atau berhentinya tanda baca pada
ayat:

َ‫ات فََأ َّما الَّ ِذينَ فِي قُلُوبِ ِه ْم زَ ْي ٌغ فَيَتَّبِعُونَ َما تَ َشابَه‬ ٌ َ‫ب َوُأ َخ ُر ُمتَ َشابِه‬ِ ‫ات ه َُّن ُأ ُّم ْال ِكتَا‬ٌ ‫ات ُمحْ َك َم‬ ٌ َ‫َاب ِم ْنهُ آي‬ َ ‫ك ْال ِكت‬ َ ‫هُ َو الَّ ِذي َأ ْن َز َل َعلَ ْي‬
ِ ‫ َو َما يَ ْعلَ ُم تَْأ ِويلَهُ ِإاَّل هَّللا ُ َوال َّر‬ ‫ِم ْنهُ ا ْبتِغَا َء ْالفِ ْتنَ ِة َوا ْبتِغَا َء تَْأ ِويلِ ِه‬
‫يَقُولُونَ آ َمنَّا بِ ِه ُك ٌّل ِم ْن ِع ْن ِد َربِّنَا َو َما يَ َّذ َّك ُر ِإاَّل‬ ‫اس ُخونَ فِي ا ْل ِع ْل ِم‬
ِ ‫ُأولُو اَأْل ْلبَا‬
‫ب‬

“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-
ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka
mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk
menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya,  Padahal tidak ada yang mengetahui
ta’wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” dan
tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang
berakal”. (Q.S Ali Imran [3]:7)

Pendapat pertama:

Firman Allah ‫ َوالرَّا ِس ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم‬adalah mubtada dan َ‫ يَقُولُون‬sebagai khabarnya, sehingga huruf ‫و‬
pada ‫ َوالرَّا ِس ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم‬bermakna isti’naf yang menandakan sebagai kalimat permulaan dan
waqf bacaan terhenti pada ُ ‫ َو َما يَ ْعلَ ُم تَْأ ِويلَهُ ِإاَّل هَّللا‬yang berkonsekwensi bahwa hanya Allah sajalah
yang tahu makna ayat-ayat al-mutasyabihah tersebut.

Pendapat kedua:

Huruf ‫ و‬pada firman Allah ‫ َوالرَّا ِس ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم‬bermakna al-athfu sebagai huruf atau kata
sambung dan َ‫ يَقُولُون‬menjadi keterangan hal, sehingga waqf bacaan terhenti pada ‫َّاس ُخونَ فِي‬
ِ ‫َوالر‬
‫ ْال ِع ْل ِم‬sehingga berkonsekwensi maknanya bahwa yang memahami al-mutasyaabih adalah
Allah dan orang-orang yang diberi kekokohan dalam ilmu.[25]

Imam as-Suyuthiy berkata:

8
“bahwa yang berpendapat seperti pendapat kedua sangatlah sedikit diantaranya Mujahid
yang membawakan riwayat gurunya Ibnu Abbas yang mana beliau berkata dalam ayat:

ِ ‫“ َو َما يَ ْعلَ ُم تَْأ ِويلَهُ ِإاَّل هَّللا ُ َوالر‬aku adalah salah satu yang mengetahui ta’wilnya”.
‫َّاس ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم‬
Pendapat ini berdalil bahwasannya tidaklah layak bagi Allah menyeru hambanya dengan
sesuatu yang tidak bisa dimengerti.

Adapun mayoritas sahabat, tabi’in dan pengikut setelahnya terkhusus ahlusunnah maka
mereka berpendapat seperti pendapat pertama yaitu hanya Allahlah yang mengetahui al-
Mutasyaabih dan ini riwayat yang paling shahih dari Ibnu Abbas”.[26]

Pendapat jumhur ini diperkuat oleh qiraat Ibnu Abbas:

‫َو َما يَ ْعلَ ُم تَْأ ِويلَهُ ِإاَّل هَّللا ُ َويَقُوْ ُل الرَّا ِس ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم آ َمنَّا بِ ِه‬

“Dan tidaklah ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah, dan berkatalah orang yang
kokoh keilmuanya; kami beriman dengannya”[27]

Muhyiddin ad-Darwisy dalam kitabnya I’rab al-Qur’an membawakan perkataan wajibnya


waqf pada kalimat ُ ‫ ِإاَّل هَّللا‬sehingga kalimat ‫ َوالرَّا ِس ُخونَ فِي ْال ِع ْلم‬menjadi kalimat permulaan.[28]

Imam ar-Raziy memberikan enam dalil bahwa waqf yang shahih adalah pada kalimat ُ ‫ِإاَّل هَّللا‬,
diantara argumen beliau adalah:

1. Ayat ini menunjukkan bahwa mencari-cari ta’wil adalah tercela, Allah berfirman:

‫فََأ َّما الَّ ِذينَ فِي قُلُوبِ ِه ْم زَ ْي ٌغ فَيَتَّبِعُونَ َما تَ َشابَهَ ِم ْنهُ ا ْبتِغَا َء ْالفِ ْتنَ ِة َوا ْبتِغَا َء تَْأ ِويلِ ِه‬

Kalau seandainya ta’wil itu boleh maka Allah takkan mencelannya.

2. Kalau seandainya kalimat َ‫َّاس ُخون‬


ِ ‫ َوالر‬mengikut atau athfu kepada lafadz Allah maka
kedudukan kalimat ‫ يَقُولُونَ آ َمنَّا بِ ِه‬menjadi mubtada’ dan ini jauh dari kefasihan atau
kebenaran dari segi kaidah bahasa arab.[29]

Dari sinilah lahir kaidah tafsir ‫يَ ِجبُ ال َع َم ُل بِال ُمحْ َك ِم واِإل ْي َمانُ بال ُمتَ َشابِ ِه‬ “wajib beramal dengan yang
muhkam dan beriman dengan yang mutasyaabih”.[30]

C. Hikmah Mengetahui Muhkam dan Mutasyabih

Jika dikatakan apa hikmah mengetahui atau penyebutan masalah al-muhkam dan al-
mutasyaabih, maka sesungguhnya ada beberapa hikmah didalamnya antara lain:

9
1. Merupakan sebuah rahmat bagi manusia saat manusia tidak mengetahui hal-hal yang
mutasyaabih seperti perkara hari kiamat supaya mereka bersemangat dalam hidup ini
dan tidak bermasalas malasan sekedar duduk ibadah mempersiapkan datangnya hari
kiamat, hal ini juga membuat manusia tidak stress, gundah dan selalu gelisah ketika
mereka mengetahui hakikat kematian, kiamat dan lain-lain.

2. Sebagai ujian bagi manusia apakah mereka beriman dengan sesuatu yang ghaib hanya
dengan berita yang dibawa syariat?

3. Mengambil pelajaran bahwa dakwah haruslah dengan bahasa dan kadar kemampuan
yang sesuai dengan yang didakwahi.

4. Penegakan dalil akan kelemahan dan kebodohan manusia.

5. Beragamnya pendapat yang bisa ditoleran, sehingga tak bisa kita bayangkan kalaulah
semua ayat itu muhkam maka tidak akan ada madzhab kecuali hanya satu pendapat
saja.[31]

BAB III

KESIMPULAN

10
1. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih diantaranya adalah apa yang disimpulkan oleh
Imam az-Zarkasyiy –rahimahullah- berkata:

‫والح َر ِام‬
َ ‫ح فَهُ َو َما َأحْ َك َم ْتهُ بِاَأل ْم ِر َوالنَّه ِْي وبَيَا ِن ْال َحاَل ِل‬
ِ ‫َوَأ َّما فِ ْي ا ِالصْ ِطاَل‬

“Adapun secara istilah al-Muhkam adalah apa yang telah ditetapkan atau dikuatkan dengan
perintah dan larangan dan penjelasan tentang halal dan haram.”

‫ف ْال َم َعانِي‬ ْ ‫وأما ال َمتَ َشابِهُ فَأصْ لُهُ أن يَ ْشتَبِهَ اللَ ْفظُ في الظَا ِه ِر مع‬
ِ ‫اختِاَل‬

“Adapun al-mutasyabih pada dasarnya adalah kemiripin lafadz secara dhzahir sementara
maknanya berbeda.”

3. Macam-macam al-mutasyabih antara lain al-Mutasyabih al-Haqiqiy dan al-Idhafiy

4. diantara yang termasuk al-Mutasyabihat adalah Ayat-ayat Tentang Sifat-sifat Allah

5. Perdebatan Ulama Seputar Mutasyabihat yang penulis lebih cenderung kepada


pendapat jumhur ahlusunnah dari kalangan salaf.

6. Terdapat banyak hikmah saat mengetahui permasalahan muhkam dan mutasyabih


diantaranya sebagai ujian bagi kita apakah kita beriman kepada hal yang ghaib, atau
juga menjelaskan tentang hakikat lemah dan bodohnya kita sebagai insan.

DAFTAR PUSTAKA

11
[1] Fahad bin Abdurrahman bin Sulaiman ar-Rumiy, Dirasat fi Ulum al-Qur’an al-Karim,
(Riyadh: Maktabah Malik Fahd al-Wathaniyah, cet. 14, 2005 M) hal. 502.

[2] Abu al-Husein Ahmad bin Faris bin Zakariya w.395 H, Maqayisu al-Lughah, (Kairo: Dar
al-Hadits, cet. 2008 M) hal. 221.

[3] Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Fayyumiy al-Muqriy w.770 H, al-Mishbah al-Munir,
(Kairo: Dar al-Hadits, cet.2008 M) hal. 95.

[4] Abu Nashr Ismail bin Hammad al-Juhariy w.393 H, ash-Shihah, (Kairo: Dar al-Hadits,
cet. 2009 M) hal. 270.

[5] Muhammad bin Ya’kub al-Fayruz Abadiy w.817 H, al-Qamus al-Muhith, ( Kairo: Dar al-
Hadits, cet. 2008 M) hal. 389.

[6] Al-Hasan bin Abdullah Abu Hilal al-‘Askariy w.395/400 H, al-Furuq al-Lughawiyah,


(Kairo: Dar al-Ilmu wa ats-Tsaqafah, tanpa tahun)

[7] Ibnu Faris, Maqayisu al-Lughah, hal. 469.

[8] Abu Hilal al-‘Askariy w.395/400 H menyatakan bahwa antara ُ‫ اَل ِّش ْبه‬dan ُ‫ اَل ِّشبِ ْيه‬ada
perbedaannya, beliau berkata:

‫ َوقَلَّ َما يَ ْستَ ْع ِم ُل ال َّشبِ ْيةَ إال في‬، ‫ أن ال ِّش ْبهَ َأ َع ُّم ِمنَ ال َّشبِ ْي ِه َأاَل تَ َراهُ ْم يَ ْستَ ْع ِملُوْ نَ ال ِّش ْبهَ في ُكلِّ شٍئ‬:‫ق بَ ْينَ ال ِّش ْب ِه وال َّشبِ ْي ِه‬
ُ ْ‫اَ ْلفَر‬
‫ب ويقولون زَ ْي ٌد َشبِ ْيهُ َع ْم ٍرو‬ ِ ‫ وال ي َكا ُدونَ يقولون َشبيهُ االَ َس ِد وشبيهُ ال َك ْل‬،‫ب‬ ِ ‫ تقول َز ْي ٌد يُ ْشبِهُ االَ َس َد أو ِش ْبهُ ال َك ْل‬,‫ْال ُمتَ َجانِ َس ْي ِن‬

Perbedaan antara syibhu dan syabih: syibhu lebih umum dibanding syabih, tidakkah kau lihat
mereka menggunakan syibhu pada segala sesuatu dan sedikit sekali menggunakan syabih
kecuali penggunaan terhadap dua hal yang sejenis. Jika kau katakan: “Zaid seperti (
‫)يشبه‬singa dan zaid seperti ( ‫ )شبه‬anjing”, dan mereka hampir tidak mengatakan: “mirip ( ‫)شبيه‬
singa dan mirip ( ‫ )شبيه‬anjing”, akan tetapi mereka mengatakan: “Zaid mirip ( ‫‘ )شبيه‬Amr“.
Lihat: Al-Furuq al-Lughawiyah, (Kairo: Dar al-Ilmi wa ats-Tsaqafah) hal. 153.

[9] Abu al-Qasim al-Husein bin Muhammad ar-Raghib al-Asfahaniy w.502 H, al-Mufradat fi


Gharib al-Qur’an,(Kairo: Dar Ibnu al-Jauziy, cet. 2012 M) hal. 280.

[10] Badruddin Muhammad bin Abdillah az-Zarkasyiy w. 794 H, al-Burhan fi ‘Ulumi al-


Qur’an, (Kairo: Dar al-Hadits, cet. 2006 M) hal. 370.

[11] Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthiy w.911 H, al-Itqhan fi ‘Ulumi al-Qur’an, (Kairo:


Dar al-Hadits, cet. 2006 M) hal. 5,Jilid 3.

12
[12] Muhammad Abdul’adzim az-Zarqaniy w. 1367, Manahilu al-Irfan fi ‘Ulumi al-Qur’an,
(Kairo: Dar al-Hadits, cet. 2001 M) hal. 227, Jilid 2.

[13] Tidak dijelaskan siapa yang dimaksud dengan ahlusunnah disini, karena imam Ahmad
dan sebagainya yang tersebut adalah dari kalangan ahlusunnah.

[14] Pendapat ulama usul fiqih berkait al-Muhkam dan al-Mutasyabihah antara lain:

1. Al-Muhkam adalah al-Mufassar yaitu yang berdiri sendiri dan jelas maknanya, al-
Mutasyabih adalah al-Mujmal keumuman kata yang tidak bisa dipahami secara
mutlaq melainkan membutuhkan penelitian karena berkemungkinan memiliki makna
lebih dari satu.

2. Al-Muhkam adalah yang maknanya jelas dan dipahami oleh ulama dan penuntut ilmu
lainnya, dan al-Mutasyabih adalah yang maknanya hanya bisa diketahui oleh ulama
saja.

3. Al-Muhkam adalah sesuatu yang diketahui makna dan tafsirnya sedangkan al-
Mutasyabih yang tidak kita ketahui maknanya seperti huruf muqatha’ah.

Lihat: Imam Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-
Maqdisiy w. 620 H, Raudatu an-Nadzir wa Jannatu al-Manadzir fi Usul al-Fiqh, ((Beirut:
Dar Ihyaturats al-Arabiy, tanpa tahun) hal. 51. Lihat pula syarah kitabnya oleh Prof. Dr.
Abdulkarim bin Ali bin Muhammad bin Namlah, Ithaf Dzawi al-Bashair bi Syarhi Raudhatu
an-Nadzir fi usul al-fiqh, (Riyadh: Maktabah ar-Rusydi, cet. 5, 2008 M), hal. 644-647, Jilid 2.

[15] Al-Hasan bin Muhammad bin Abdullah Syarifuddin ath-Thayyibiy w. 743 H.

[16] Ibrahim bin Musa bin al-Lakhamiy al-Gharnathiy al-Malikiy Abu Ishaq asy-Syatibiy w.
790 H, al-Muwafaqat fi Usul asy-Syari’ah, (Kairo: Dar Ibnu al-Jauziy, cet. 2013 M) hal. 73,
Juz 3.

[17] Khalid Utsman as-Sabt, Qawaid at-Tafsir Jam’an wa Dirasatan, (Kairo: Dar Ibnu


Affan, cet. 2013 M) hal.214, jilid 2.

[18] Imam as-Suyuthiy, al-Itqhan, hal. 12, Juz 3. Lihat juga: Manahil al-Qur’an hal.234, jilid
2. Dirasat fi Ulum al-Qur’an al-Karim, hal. 512.

[19] Thaha ayat 5

[20] Ar-Rahman ayat 27

13
[21] Al-Fath ayat 10

[22] Kemudian madzhab khalaf berbeda pendapat dalam menta’wil:

1. Kelompok asy-‘Ariyah menta’wilnya tanpa menetapkan makna lain, mereka berkata:


sesungguhnya yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah Allah memiliki sifat
sam’iyah yang mana kita tidak tahu bagaimana hakikatnya yang dinamakan sifat
istiwa’.

2. Kelompok mutaakhirin menta’wil dan menetapkan atau memalingkan kepada sifat


lain, mereka berkata: istiwa’ maknanya adalah istila’ tanpa berlebih-lebihan atau
takalluf.

Lihat: Manahil al-Qur’an hal. 241, jilid 2.

[23] Istilah madzhab mutawassith ini ditulis oleh az-Zarqaniy dalam Manahil hal. 241, Jilid 2.

[24] Imam as-Suyuthiy, al-Itqhan, hal. 14-15, Juz 3.

[25] Manna’ Khalil al-Qatthan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif,


cet. 3, 2000 M) hal.222.

[26] Imam as-Suyuthiy, al-Itqhan, hal. 7, Juz 3.

[27] Manna’ Khalil al-Qatthan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, hal. 222.

[28] Muhyiddin ad-Darwisy w. 1403 H/1982 M, I’rab al-Qur’an al-Karim wa Bayanuhu ,


(Beirut: Dar al-Yamamah, cet. 11, 2011 M) hal. 395, Jilid 1.

[29] Fakhruddin Muhammad bin Umar ar-Raziy w. 606 H, Mafatihu al-Ghaib, (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, cet. 2000 M) hal. 153, Jilid 7.

[30] Khalid Utsman as-Sabt, Qawaid at-Tafsir, hal. 212, Jilid 2.

[31] Az-Zarqaniy, Manahil al-Qur’an, hal. 235-236, jilid 2.

14

Anda mungkin juga menyukai