Anda di halaman 1dari 48

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
BAB II LAPORAN KASUS
2.1. Identitas Pasien
2.2. Anamnesis
2.3. Pemeriksaan Fisik
2.4. Resume
2.5. Diagnosis
2.6. Penatalaksanaan
2.7. KIE
2.8. Prognosis
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Glaukoma
3.1.1 Definisi
3.1.2 Epidemiologi
3.1.3 Fisiologi Pengeluaran Aqueous Humor
3.1.4 Patofisiologi Glaukoma
3.1.5 Klasifikasi Glaukoma
3.1.6 Penegakan Diagnosa
3.1.7 Penatalaksanaan dan Komplikasi
3.2. Katarak
3.2.1 Definisi
3.2.2 Epidemiologi
3.2.3 Patofisiologi
3.2.4 Klasifikasi
3.2.5 Penatalaksanaan dan Komplikasi
BAB IV PEMBAHASAN
BAB V PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

1
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Pemeriksaan Fisik

2
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Mekanisme Aliran Aqueous Humor
Gambar 3.2 Glaukoma Sudut Terbuka
Gambar 3.3 Glaukoma Sudut Tertutup
Gambar 3.4 Representasi Skematis Jalur MAPK
Gambar 3.5 Katarak Nuklearis
Gambar 3.6 Katarak Kortikalis
Gambar 3.7 Katarak Subkapsularis

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Glaukoma dinyatakan sebagai penyakit kedua terbanyak di dunia setelah katarak yang

menyebabkan kebutaan bersifat permanen dan tidak dapat diperbaiki (irreversible). Glaukoma

berasal dari bahasa Yunani “glaukos” yang berarti warna hijau kebiruan, yang

menggambarkan warna pupil pada penderita glaukoma. Berdasarkan data WHO (World Healt

Organization) 2010 jumlah penderita glaukoma mencapai 60,5 juta individu dengan 3,2 juta

diantaranya mengalami kebutaan 1.

Glaukoma merupakan penyakit mata yakni terjadi kerusakan pada saraf optik yang

mengakibatkan gangguan atau penyempitan lapang pandang hingga hilangnya fungsi

penglihatan. Faktor resiko utama penyebab glaukoma dalah peningkatan tekanan intraokular

yang pada umumnya disebebkan oleh hambatan pengeluaran humor akuos. Glaukoma

dibedakan menjadi glaukoma primer yakni glaukoma yang tidak diketahui penyebabnya,

glaukoma sekunder terjadi akibat penyakit mata lain, trauma mata, pembedahan maupun

penyakit sistemik lainnya, serta glaukoma kongenital 1,2.

Katarak merupakan penyebab utama kebutaan di dunia.. WHO memperkirakan sekitar

18 juta orang mengalami kebutaan kedua mata akibat katarak. Indonesia menduduki peringkat

tertinggi prevalensi kebutaan di Asia Tenggara sebesar 1,5% dan 50% di antaranya

disebabkan katarak. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat karena pertambahan penduduk

yang pesat dan meningkatnya usia harapan hidup di Indonesia. Menurut hasil survei

Riskesdas 2013, prevalensi katarak di Indonesia adalah 1,4%, dengan responden tanpa

batasan umur (Astari, 2018).

Katarak merupakan penyakit mata yang ditandai dengan kekeruhan lensa mata

sehingga mengganggu proses masuknya cahaya ke mata Katarak dapat disebabkan karena

ketidakseimbangan mekanisme kontrol air dan elektrolit, denaturasi protein lensa atau

4
gabungan keduanya. Sekitar 90% kasus katarak berkaitan dengan usia serta penyebab lain

adalah kongenital dan trauma. Katarak matur dan hipermatur dapat menyebabkan timbulnya

glaukoma. Hal ini terjadi karena ukuran lensa yang membesar pada katarak sehingga

mendesak ruang bilik mata bagian depan atau karena partikel lensa yang keluar dan

menumpuk di saluran keluarnya humor akuos (Sitompul, 2016; Astari, 2018).

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana definisi, etiopatologi dan fakt or resiko glaukoma?

2. Bagaimana klasifikasi dan penegakan diagnosa glaukoma?

3. Bagaimana penatalaksanaan dan komplikasi galukoma?

4. Bagaimana definisi, etiopatologi dan faktor resiko katarak sinilis?

5. Bagaimana klasifikasi dan penegakan diagnosa katarak sinilis?

6. Bagaimana penatalaksanaan dan komplikasi katarak sinilis?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui definisi, etiopatologi dan faktor resiko glaukoma.

2. Mengetahui klasifikasi dan penegakan diagnosa glaukoma.

3. Mengetahui penatalaksanaan dan komplikasi galukoma.

4. Mengetahui definisi, etiopatologi dan faktor resiko katarak sinilis.

5. Mengetahui klasifikasi dan penegakan diagnosa katarak sinilis.

6. Mengetahui penatalaksanaan dan komplikasi katarak sinilis.

1.4 Manfaat

Memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian Laboratorium Mata RSUD Mardi

Waluyo Kota Blitar. Menambah wawasan mengenai glaukoma dan katarak, menjadi bahan

5
tinjauan pustaka serta sebagai bahan pembelajaran dan meningkatkan kemampuan dalam

penulisan ilmiah di bidang kedokteran.

6
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien

 Nama : Ny. B

 Usia : 57 tahun

 Jenis kelamin : Perempuan

 Status : Janda

 Agama : Islam

 Suku : Jawa

 Pekerjaan : Petani

 Alamat : Dogong, RT 3 RW 13, Gogodeso, Blitar

 No. RM : 18647699

 Tanggal pemeriksaan : Kamis, 7 April 2022

2.2 Anamnesis

 Keluahan Utama

Mata kanan tidak dapat melihat dan mata kiri terasa pedas dan nyeri cekot-

cekot sejak 3 hari yang lalu.

 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien perempuan berusia 57 tahun datang ke RSUD Mardi Waluyo Kota

Blitar dengan keluhan mata kiri terasa pedas dan nyeri cekot-cekot sejak 3 hari yang

lalu. Pasien juga mengeluhkan penglihatan kabur tanpa diserta rasa silau ketika

terkena cahaya dan tidak melihat bayangan berbentuk bintik atau garis. Keluhan yang

sama juga dirasakan pada mata kanan sejak 5 tahun yang lalu dan sudah disarankan

untuk dilakukan operasi mata namun pasien menolak. Keluhan pada mata kanan

dirasakan semakin memberat hingga tidak dapat melihat. Pasien cukup rutin untuk
7
kontrol ke poli mata dan diberikan obat. Ketika obat tetes maupun obat minum habis

nyeri cekot-cekot dan terasa pedas pada mata kanan kambuh kembali.

 Riwayat Penyakit Dahulu

- Keluhan serupa : disangkal

- Penyakit mata : disangkal

- Trauma mata : disangkal

- Riwayat Hipertensi : disangkal

- Riwayat DM : disangkal

 Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada riwayat gejala penyakit mata yang serupa pada anggota keluarga.

 Riwayat Gizi

Makan teratur 3 kali sehari, dengan nasi, lauk dan sayur.

 Riwayat Kebiasaan

- Minum kopi atau teh : disangkal

- Minum jamu : disangkal

- Alkohol : (-)

 Riwayat Sosila Ekonomi Keluarga

Sosial ekonomi keluarga menengah ke bawah. Pasien tinggal sendiri dan

bekerja sebagai petani.

 Riwayat Pengobatan

Pasien menolak untuk dilakukan operasi mata karena tidak ada yang

mendampingi dan merawat. Awalnya pasien datang ke Puskesmas Kanigoro untuk

berobat dan dirujuk ke RSUD Mardi Waluyo untuk periksa mata. Pasien mengaku

selama ini cukup rutin untuk kontrol mata dan mengkonsumsi obat secara rutin.

 Riwayat Alergi

Alergi terhadap makanan, obat-obatan atau lainnya disangkal.


8
2.3 Pemeriksaan fisik

 Keadaan Umum : Cukup baik

 Kesadaran : Compos mentis

 GCS : 456

 Status Oftalmologis

Oculi Dextra Oculi Sinistra

Foto

Posis bola
Ortophoria Ortophoria
mata
Gerakan bola
mata
0 Visus 6/21f
Spasme (-) Spasme (-)
Palpebra
Edema (-) Edema (-)
CI (-) CI (-)
Konjungtiva
PCI (-) PCI (-)
Jernih Kornea Jernih
Dangkal COA Dangkal
Warna cokelat, Red. Line Warna cokelat, Red. Line
Iris
(+) (+)
Bundar midriasis Pupil Bundar sentral
Keruh tipis Lensa Keruh tipis
43,4 TIO 8,5

2.4 Resume

Pasien perempuan berusia 57 tahun datang ke RSUD Mardi Waluyo Kota Blitar

dengan keluhan mata kiri terasa pedas dan nyeri cekot-cekot sejak 3 hari yang lalu. Pasien

juga mengeluhkan penglihatan kabur tanpa diserta rasa silau ketika terkena cahaya dan tidak

melihat bayangan berbentuk bintik atau garis. Keluhan yang sama juga dirasakan pada mata

9
kanan sejak 5 tahun yang lalu. Keluhan pada mata kanan dirasakan semakin memberat hingga

tidak dapat melihat.

Keadaan pasien cukup baik dengan kesadaran kompos mentis. Pada pemeriksaan

oftalmologis didapatkan adanya penuruna visus penglihatan pada mata kanan dan kiri (VOD

0, VOS 6/21f). Pada pemeriksaan slit lamp OD didapatkan: mata tenang, kornea jernih, COA

dangkal, pupil midriasis dan lensa keruh tipis. Sedangkan pemeriksaan slit lamp OS

didapatkan: mata tenang, kornea jernih, COA dangkal, pupil bundar sentral dan lensa keruh

tipis.

2.5 Diagnosis

 Diagnosa Banding

- Acute closed angle glaucomal

- Katarak sinilis imatur

 Diagnosa Kerja

- Glaukoma kronis

- Glaukoma absolut

- Katarak sinilis insipient

2.6 Penatalaksanaan

1. Glaukon, diberikan 3 kali sehari selama 10 hari

2. Tablet KSR, diberikan 2 kali sehari selama 10 hari

10
2.7 KIE

Pasien diberikan informasi bahwa peningkatan tekanan bola mata dapat terjadi

sewaktu-waktu. Pasien tetap diminta untuk secara rutin kontrol dan teratur mengkonsumsi

obat yang diberikan untuk dapat mencegah kerusakan dari saraf mata. Selain itu, penglihatan

pasien yang kabur juga disebabkan adanya katarak dan sewaktu-waktu juga dapat semakin

memburuk jika tidak dilakukan operasi.

2.8 Prognosa

Oculi Dextra Oculi Sinistra


Malam Ad vitam Bonam
Malam Ad functionam Bonam
Malam Ad sanactionam Bonam

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Glaukoma

3.1.1 Definisi Glaukoma

Glaukoma merupakan penyakit mata akibat adanya neuropati optikus yang

mengakibatkan penyempitan lapang pandang dan penurunan hingga hilangnya fungsi

penglihatan. Penyebab utama glaukoma adalah peningkatan tekanan intraokular (intraocular

pressure/IOP) dan pada umumnya disebabkan karena terjadi hambatan pengeluaran cairan

bola mata (humor aquos). Hal ini sekaligus menjadi patogenesis terjadinya glaukoma 1.

Glaukoma dibedakan menjadi glaukoma primer, glaukoma sekunder dan glaukoma

kongenital. Glaukoma primer adalah glaukoma yang tidak diketahui penyebabnya dan

merupakan kasus glaukoma terbanyak. Glaukoma primer dikenal dengan dua macam yakni

glukoma primer sudut terbuka (GPSTa) dan glaukoma sudut tertutup (GPSTp). GPSTa

memiliki ciri sudut bilik mata yang terbuka namun terdapat penyumbatan pada aliran

keluarnya humor aquos sedangkan GPSTp memiliki ciri sudut bilik mata yang tertutup

sehingga menghambat keluarnya humor aquos 2.

Glaukoma sekunder adalah glaukoma yang terjadi akibat adanya penyakit lain pada

mata seperti infeksi berulang pada mata, komplikasi katarak, serta trauma pada mata. Adapun

glaukoma kongenital adalah glaukoma yang ditemukan sejak lahir, disebabkan oleh sistem

saluran pembuangan di dalam mata tidak berfungsi dengan baik sehingga menyebabkan

pembesaran pada mata. Selian itu, jika penderita glaukoma mengalami kebutaan total maka

disebut dengan glaukoma absolut. Glaukoma absolut merupakan stadium akhir dari glaukoma

primer yang tidak diobati atau gagal dalam pemberian terapi 1,2.

12
3.1.2 Epidemiologi

Prevalensi glaukoma meningkat dengan pesat seiring dengan pertumbuhan populasi

dan pertambahan usia. Data tahun 2010 menunjukkan 60,5 juta individu menderita glaukoma.

Secara global angka kejadian glaukoma terus bertambah dengan perkiraan tahun 2040

mencapai 111,8 juta kasus. Pada tahun 2015 sebanyak 552.744 kasus glaukoma terjadi di Asia

Tenggara yang menempati posis ketiga berdasarkan urutan regional benua 2.

Di Indonesia, prevalensi galukoma menurut Riskesdes tahun 2007 sebesar 0,46%

yakni sebanyak 4 sampai 5 orang dari 1.000 penduduk menderita glaukoma. Berdasarkan data

rumah sakit online (SIRS online) Indonesia, kunjungan pasien rawat jalan penderita glaukoma

tahun 2017 sebesar 427.091 dengan kasus baru sebesar 80.548. Adapun mayoritas penderita

glaukoma berdasar data pasien rawat jalan dan rawat inap pada tahun 2017 adalah kelompok

umur 44-64 tahun 2.

3.1.3 Fisiologi Pengeluaran Aquos Humor

Aquos merupakan cairan transparan yang mengisi ruang anterior dan posterior bilik

mata, yang disekresikan oleh epitel nonpigmen dari badan siliar. Aquos humormerupakan

sumber nutrisi utama bagi lensa, kornea dan membantu pengeluaran produk-produk sisa

metabolisme. Aquos humormemiliki sifat sedikit hipertonik dibandingkan plasma, dan juga

bersifat asam dengan pH 7.2. Dua karakteristik utama dari aquos humoradalah jumlah

askorbat yang tinggi hingga 15-20 kali lebih besar daripada plasma dan jumlah protein yang

rendah, sehingga kejernihan aquos humortetap terjaga. Kadar askorbat yang tinggi membantu

melindungi struktur okular anterior dari kerusakan yang diakibatkan oksidasi oleh sinar

ultraviolet. Proses biologis normal menghasilkan oksidan dan efek merugikan dari adanya

oksidan akan dicegah oleh keberadaan antioksidan intra dan ekstraselular. Kandungan aquos

humorterdapat antioksidan dengan berat molekul rendah seperti glutation dan askorbat

(Sunderland and Sapra, 2020).

13
Aquos humor disekresikan oleh epitel siliar yang membatasi tepi prosesus siliaris dan

mengalir masuk ke dalam bilik mata belakang. Aliran aquos humordimulai dari bilik mata

belakang kemudian melewati pupil memasuki bilik mata depan dan selanjutnya akan

dikeluarkan melalui aliran trabekular (trabecular outflow) ataupun aliran uveosklera

(uveoscleral outflow). Jalur konvensional akan mengalirkan aquos humormelalui anyaman

trabekula, kanal schlemm, jaringan intrasklera serta menuju vena episklera dan vena

konjungtiva. Jalur non-konvensional aquos humorakan mengalir melewati akar iris, di antara

serabut serat otot siliaris kemudian menuju ke jaringan suprakoroid sklera 5.

Gambar 3.1 Mekanisme aliran aquos

Jalur trabekular memiliki kontribusi sebesar 70% hingga 90% pada proses

pengeluaran aquos humordari bola mata, dan 5% hingga 30% sisanya meninggalkan bola

mata melalui jalur uveosklera. Jumlah aliran aquos humorakan menurun seiring dengan

bertambahnya usia. Jalur uveosklera relatif tidak tergantung kepada tekanan intraokular.

Peningkatan tekanan intraokular dapat terjadi karena terdapat penurunan aliran keluar jalur

uveosklera dan peningkatan tahanan aliran keluar jalur trabecular 6.

14
a. Sistem Aliran Humor Aqueous

1. Trabecular outflow (pressure dependent outflow) merupakan aliran utama aqueous

humour dari sudut COA. Sekitar 90% aqueous humour total dialirkan melalui jalur ini.

Aqueous humour dialirkan dari sudut COA ke TM kemudian ke kanalis Schlemm

menuju ke vena episklera. Jaringan trabekular dibentuk oleh beberapa lapisan.

Masing-masing lapisan memiliki inti jaringan ikat berkolagen, yang dilapisi oleh

jaringan endotel. Aliran aqueous humour yang melewati jaringan trabekular

merupakan tempat aliran yang bergantung pada tekanan. Jaringan trabekular berfungsi

sebagai katup satu arah yang melewatkan aqueous humour meninggalkan mata tetapi

membatasi aliran dari arah lain tanpa menggunakan energi. Selanjutnya, ruangan

intertrabekular berhubungan secara langsung dengan kanalis Schlemm, yang

mengalirkan aqueous humour ke bagian tersebut. Suatu sistem yang kompleks

menghubungkan kanalis Schlemm dengan vena episklera, yang kemudian dialirkan ke

vena siliaris anterior dan vena ophtalmica superior, yang selanjutnya diteruskan ke

sinus kavernosus 6.

2. Uveoscleral outflow (pressure independent outflow) Sekitar 5-15% aliran aqueous

humour keluar melalui jalur ini. Pada mekanisme aliran ini, aqueous humour mengalir

dari sudut COA menuju ke otot siliar, kemudian ke rongga suprasiliar dan

suprakhoroidal. Cairan ini kemudian meninggalkan mata melalui sklera atau

mengikuti saraf dan pembuluh darah yang ada 6.

3.1.4 Patofisiologi Glaukoma

Mekanisme utama penurunan fungsi penglihatan pada glaukoma adalah apoptosis sel

ganglion retina yang menyebabkan terjadinya penipisan pada lapisan serat saraf dan lapisan

ini retina. Hal ini juga menyebabkan berkurangnya akson pada nervus optikus dan diskus

optikus menjadi atrofi. Secara umum terdapat 2 faktor yang mendasari mekanisme penurunan

fungsi penglihatan yaitu teori mekanis yaitu peningkatan tekanan intraokuler menyebabkan

15
kerusakan papil nervus optikus dan teori vaskuler yaitu penurunan aliran/perfusi darah

menyebabkan terjadinya kerusakan papil nervus optikus. Pada teori mekanis, peningkatan

tekanan intraokuler menyebabkan tekanan pada serabut saraf terutama pada bagian Elschnig’s

ring dan lamina kribosa. Patofisiologi peningkatan tekanan intraokuler dipengaruhi oleh

adanya keseimbangan antara sekresi aquos humor oleh badan siliar dan drainase melalui

trabekular meshwork dan uveoskleral. Oleh karena itu dibagi menjadi 2 mekanisme yaitu

pada glaukoma sudut tertutup dan glaukoma sudut terbuka. Pada pasien dengan glaukoma

sudut terbuka, ada peningkatan hambatan pada aliran aquos humor pada jalur trabekula

meshwork. Sementara hambatan terdapat pada jalur menuju drainase tersebut disebut sebagai

glaukoma sudut tertutup 7.

3.1.5 Klasifikasi Glaukoma

Glaukoma menurut onsetnya dibagi menjadi glaukoma akut dan kronis.

 Glaukoma akut adalah kelainan mata akut yang ditandai gambaran gangguan struktur

segmen anterior dan papil saraf optik akibat tekanan intra okuli yang tinggi.

Gambaran klinis glaukoma akut adalah struktur segmen anterior serta fungsinya karena

TIO yang sangat tinggi dan mendadak. Gangguan yang terjadi seperti pelebaran

pembuluh darah (sebagai tanda adanya bendungan) sehingga mata tampak merah,

edema kornea yang menyebabkan tajam penglihatan sangat menurun dan terjadi

difraksi yang memecah cahaya putih menjadi komponen warna pelangi disekitar

sumber cahaya (halo), paralisis otot sfingter pupil sehingga pupil melebar yang

menyebabkan silau, rangsangan pada saraf trigeminus sehingga mata terasa sangat nyeri

yang menjalar ke sinus,gigi, telinga, dan kepala, rangsangan otonom yang

menimbulkan rasa mual/muntah (Yahya, Andi dan Suparta, 2020).

 Glaukoma kronis adalah kelainan mata kronis dengan gambaran kerusakan papil saraf

optik yang khas disertai defek pada lapang pandangan yang khas. Tekanan intraokuli

yang tinggi merupakan faktor risiko yang penting diantara faktor faktor risiko lain yang
16
belum banyak diketahui. Gambaran klinis glaukoma kronis yaitu karena peningkatan

TIO yang kronis pada umumnya tidak setinggi peningkatan yang akut sehingga struktur

di segmen anterior tidak mengalami gangguan struktur yang berarti sehingga penderita

pun merasa matanya normal. Namun demikian, struktur papil saraf optik di segmen

posterior secara perlahan-lahan mengalami kerusakan yang makin lama makin luas

seiring dengan terus berlangsungnya peningkatan TIO. Berdasarkan riwayat

anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien, pasien mengalami glaukoma kronis

dengan peningkatan TIO yang kronis meskipun tidak setinggi peningkatan yang terjadi

pada glaukoma akut. Sehingga pada segmen anterior tidak terlihat adanya tanda

gangguan struktur 8.

Menurut etiologi nya glaukoma dibagi menjadi glaukoma primer dan sekunder.

Glaukoma primer bila penyebabnya tidak diketahui dan mengenai kedua mata, disertai

pengaruh faktor genetik.

1. Glaukoma Primer

a.  Glaukoma sudut terbuka

Glaukoma primer sudut terbuka adalah bentuk glaukoma yang tersering

dijumpai. Sekitar 0,4-0,7 % orang berusia lebih dari 40 tahun dan 2-3% orang

berusia lebih dari 70 tahun diperkirakan mengidap glaukoma primer sudut terbuka.

Gambaran patologik utama pada glaukoma primer sudut terbuka adalah proses

degeneratif di jalinan trabekular, termasuk pengendapan bahan ekstrasel di dalam

jalinan dan di bawah lapisan endotel kanalis Schlemm. Akibatnya adalah penurunan

aquoeus humor yang menyebabkan peningkatan tekanan intraokuler. Mulai

timbulnya gejala glaukoma primer sudut terbuka agak lambat yang kadang-kadang

tidak disadari oleh penderita sampai akhirnya berlanjut dengan kebutaan. Pada

glaukoma primer sudut terbuka tekanan bola mata sehari-hari tinggi atau lebih dari

20 mmHg. Mata tidak merah atau tidak terdapat keluhan, yang mengakibatkan

17
terdapat gangguan susunan anatomis dan fungsi tanpa disadari oleh penderita.

Gangguan saraf optik akan terlihat gangguan fungsinya berupa penurunan lapang

pandang (Barton, Hitchings dan Budenz, 2013).

Gambar 3.2 Glaukoma sudut terbuka

b. Glaukoma sudut tertutup

Pada glaukoma sudut tertutup, pupil berdilatasi sedang, disertai sumbatan

pupil. Saat tingkat pencahayaan berkurang, hal tersebut juga dapat terjadi pada

dilatasi pupil untuk oftalmoskopi. Glaukoma sudut tertutup akut primer ditandai oleh

munculnya kekaburan penglihatan mendadak yang disertai nyeri hebat, halo dan

mual serta muntah. Temuan-temuan lain adalah peningkatan mencolok tekanan

intraokular, kamera anterior dangkal, kornea berkabut, pupil terfiksasi berdilatasi

sedang dan injeksi siliaris (Barton, Hitchings dan Budenz, 2013).

18
Gambar 3.3 Glaukoma sudut tertutup

2.  Glaukoma kongenital

Glaukoma kongenital bermanifestasi sejak lahir pada 50% kasus, didiagnosis

pada 6 bulan pertama pada 70% kasus dan didiagnosis pada akhir tahun pertama pada

80% kasus. Gejala paling dini dan paling sering adalah epifora. Dapat dijumpai

fotofobia dan pengurangan kilau kornea. Peningkatan tekanan intraokular adalah tanda

kardinal. Pencekungan diskus optikus akibat glaukoma merupakan kelainan yang

terjadi relatif dini dan terpenting. Temuan-temuan lanjut adalah peningkatan garis

tengah, edema epitel, robekan membran Descemet, dan peningkatan kedalaman kamera

anterior serta edema dan kekeruhan lensa 9 .

3.  Glaukoma sekunder

Glaukoma sekunder adalah glaukoma yang diketahui penyebabnya. Dapat

disebabkan atau dihubungkan dengan keadaan-keadaan atau penyakit yang telah

diderita sebelumnya atau pada saat itu. Penyebab yang paling sering ditemukan adalah

uveitis. Penyebab lainnya adalah penyumbatan vena oftalmikus, cedera mata,


19
pembedahan mata dan perdarahan ke dalam mata. Beberapa obat (misalnya

kortikosteroid) juga bisa menyebabkan peningkatan tekanan intraokuler. Pada uveitis,

tekanan intraokular biasanya lebih rendah dari normal karena korpus siliar yang

meradang kurang berfungsi baik. Namun juga dapat terjadi peningkatan tekanan

intraokular melalui beberapa mekanisme yang berlainan. Jalinan trabekular dapat

tersumbat oleh sel-sel radang dari kamera anterior, disertai edema sekunder, atau

kadang-kadang terlibat dalam proses peradangan yang spesifik diarahkan ke sel-sel

trabekula (trabekulitis) 10.

4.  Glaukoma absolut

Glaukoma absolut merupakan stadium akhir glaukoma (terbuka/tertutup) dimana

sudah terjadi kebutaan total, akibat tekanan bola mata memberikan gangguan fungsi

lanjut. Pada glaukoma absolut kornea terlihat keruh, bilik mata dangkal, papil atrofi

dengan ekskavasi glaukomatosa, mata keras seperti batu dan dengan rasa sakit

Pada glaukoma absolut didapatkan manifestasi klinis secara umum yakni yang

didapatkan adalah terdapat tanda-tanda glaukoma yakni kerusakan papil nervus II dengan

predisposisi TIO tinggi dan terdapat penurunan visus. Yang berbeda dari glaukoma lain

adalah pada penderita glaukoma absolut visusnya nol dan light perception negatif. Apabila

masih terdapat persepsi cahaya maka belum dapat didiagnosis sebagai glaukoma absolut.

Gejala yang menonjol pada glaukoma absolut adalah penurunan visus tersebut, namun

demikian dapat ditemukan gejala lain dalam riwayat pasien. Rasa pegal di sekitar mata

dapat diakibatkan oleh peregangan pada didnding bola mata akibat TIO yang tinggi.

Gejala-gejala seperti nyeri, mata merah, dan halo dapat ditemukan juga (Ilyas, 2013).

Pada glaukoma absolut fungsi badan siliaris dalam memproduksi aqueous humor

normal, tetapi aliran keluar terhambat. Sehingga TIO meningkat dan menyebabkan nyeri

dan nyeri pada kebutaan. Kornea jarang keruh namun mengalami variasi perubahan

degeneratif, yang paling sering keratitis bulosa. Bilik anterior menjadi sangat sempit dan

20
terdapat adhesi anterior berbentuk cincin yang merupakan adhesi antara permukaan

posterior kornea dengan permukaan anterior iris, umumnya melibatkan seluruh sekeliling

sepertiga bagian tepi iris. Iris sangat atrofik dan mengandung banyak pembuluh darah

baru, baik radikal maupun sirkular, pada stroma bagian superfisial dan profunda, keadaan

ini memberikan rasa sakit sekali akibat terjadinya glaukoma hemoragik. Berkaitan dengan

atrofi stroma, terdapat kecenderungan derajat berat ektropion dari teoi pupil yang

berpigmen. Adhesi antara iris dan lensa kadang terjadi dan sering terbentuk pembuluh

darah baru pada adhesi fibrin ke permukaan anterior lensa. Pupil sangat dilatasi, ireguler,

dan imobil. Kekeruhan total lensa dapat terjadi, umunya diikuti perubahan degeneratif

calcareous (calcareous degenerativer changes) (Ilyas, 2013).

3.1.6 Penegakan Diagnosa Glaukoma

1. Anamnesis

a. Keluhan utama

b. Keluhan penyerta

c. Riwayat penaykit sekarang

d. Riwayat penyakit dahulu

• Riwayat penyakit mata seperti mata merah, gangguan lapang pandang, katarak,

uveitis, retinopati diabetic, oklusi vascular dan trauma.

• Riwayat penyakit dahulu seperti operasi mata

• Riwayat penyakit sistemik hipertensi, DM, penyakit CVS

e. Riwayat penyakit keluarga

f. Riwayat pengobatan

g. Riwayat alergi

2. Pemeriksaan Khusus

a. Visus

21
Pemeriksaan visus bukan merupakan pemeriksaan khusus glaukoma. Pada

glaukoma absolut visusnya nol dan light perception negatif, hal ini disebabkan

kerusakan total papil N.II. Papil N.II yang dapat dianggap sebagai lokus minoris pada

dinding bola mata tertekan akibat TIO yang tinggi, oleh karenanya terjadi perubahan-

perubahan pada papil N.II yang dapat dilihat melalui funduskopi berupa

penggaungan (Barton, Hitchings dan Budenz, 2013).

b. Tonometri

Tekanan intraokular pada glaukoma absolut dapat tinggi atau normal. Tekanan

normal dapat terjadi akibat kerusakan corpus ciliaris, sehingga produksi aqueus turun.

Hal ini bisa terjadi pada penderita dengan riwayat uveitis. TIO tinggi lebih sering

ditemukan pada penderita glaukoma. Dikatakan tekanan tinggi apabila TIO > 21

mmHg 10 .

c. Camera oculi anterior (Penlight atau Gonioskopi)

Sudut mata pada pasien glaukoma absolut dapat dangkal atau dalam,

tergantung kelainan yang mendasari. Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui

kelainan tersebut. Dari riwayat mungkin didapatkan tanda-tanda serangan glaukoma

akut pada pasien seperti nyeri, mata merah, halo, dan penurunan visus mendadak.

Dengan sudut terbuka mungkin pasien mengeluhkan penyempitan lapang pandang

secara bertahap. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan penlight ataupun gonioskopi.

Dengan penlight COA dalam ditandai dengan semua bagian iris tersinari, sedangkan

pada sudut tertutup iris terlihat gelap seperti tertutup bayangan. Pemeriksaan

gonioskopi dapat menilai kedalamaan COA. Penilaian dilakukan dengan

memperhatikan garis-garis anatomis yang terdapat di sekitar iris 10.

d. Oftalmoskopi

22
Pemeriksaan fundus mata. khususnya untuk memperhatikan papil syaraf optik.

Pada papil syaraf optik dinilai warna papil syaraf optik. Pada glaukoma absolut

terjadi mikro-aneurisma yang berlebihan pada pembuluh darah retina. Perubahan pada

retinadan korpus vitreus sering terjadi 10.

3.1.7 Penatalaksanaan dan Komplikasi

1. Terapi Medikamentosa

Prinsip dari tatalaksana glaukoma adalah untuk menurunkan tekanan intraocular

(Barton, Hitchings dan Budenz, 2013). 

a. Beta blockers

Farmakodinamik :Menurunkan produksi humor aqueous

Reduksi : 20-25%

Efek samping : Toksisitas kornea, reaksi alergi, bronkospasme, bradikardi,

depresi, impotensi.

Kontraindikasi : PPOK, asma, CHF, bradikardi, hipertensi

Contoh obat :

 Timolol 1-2x

 Betaksolol larutan

 Levobunolol larutan

b. Metipranolol Karbonik anhydrase inhibitor

Farmakodinamik : Menurunkan produksi humor aqueous

Reduksi : 15-20%

Efek samping : dermatitis atau konjungtvitis alergi, edema kornea, SJS.

Kontraindikasi : Alergi sulfonamide, batu ginjal, anemia aplastik, trombositopenia

Contoh obat : Dorzolamide, Brinzolamide

Sistemik :
23
 Asetazolamid 250 mg tab. 

c. Agonis alfa adrenergic

Farmakodinamik : Memperbaiki aliran aqueous (non-selektif). Menurunkan

produksi aqueous humor, menurunkan tekanan vena episklera (selektif)

Reduksi TIO : 20-25%

ESO : injeksi konjungtiva, reaksi alergi, kelelahan, somnolen

Contoh obat : Brimonidine, Apraclonidine

d. Agen Parasimpatomimetik (Miotika)

Farmakodinamik : meningkatkan aliran keluar trabekula

Reduksi TIO : 20-25%

ESO : peningkatan miopia, nyeri pada mata atau dahi, penurunan

tajam penglihatan, katarak, deratitis kontak periokuler

Kontraindikasi : glaukoma neovaskular, uveitis, atau keganasan

Contoh obat : Pilocarpiine, Carbachol

e. Analog Prostaglandin

Farmakodinamik : meningkatkan aliran keluar uveosklera atau trabecular

Reduksi TIO : 25-33%

ESO : cystoid macular edema (CME), injeksi konjungtiva,

peningkatan pertumbuhan bulu mata, hiperpigmentasi periokular, perubahan warna

iris, dll

Kontraindikasi : macular edema, riwayat keratitis herpes

Contoh obat : Latanoprost, Travoprost, Bimstoprost, Unoprostone

2. Terapi Bedah

Prinsip operasi Membuat jalan baru untuk mengeluarkan humor aqueous, karena

jalan yang normal tidak digunakan lagi (Barton, Hitchings dan Budenz, 2013).

a. Trabekulopati laser (LTP)

24
Penggunaan laser (argon) untuk menimbulkan luka bakar pada trabecular

meshwork dan kanal Schlemm sehingga mempermudah aliran keluar humor

aqueous. 

b. Iridektomi dan Iridotomi perifer

Sumbatan pupil pada glaukoma sudut tertutup dapat ditatalaksana dengan

membentuk komunikasi langsung antara kamera okuli anterior dan posterior yang

menghilangkan perbedaan tekanan diantara keduanya. 

c. Bedah drainase

Tindakan beedah untuk membuat jalan pintas dari mekanisme drainase normal,

sehingga terbentuk akses langsung humor aqueous dari kamera anterior ke

jaringan subkonjungtiva atau orbita dapat dibuat dengan trabekulotomi atau insersi

selang drainase.

d. Siklodestruktif

TIO diturunkan dengan cara merusak epitel sekretorik dari badan siliar. Kegagalan

terapi medis dan bedah dapat menjadi pertimbangan untuk dilakukannya destruksi

korpus siliaris dengan laser atau bedah untuk mengontrol tekanan intraocular

3. Komplikasi

Jika penanganan glaukoma pada penderita terlambat dapat mengakibatkan

sinekia anterior perifer dimana iris perifer melekat pada jalinan trabekula dan

menghambat aliran aquoeus humor keluar. Lensa yang membengkak mendorong

iris lebih jauh kedepan yang akan menambah hambatan pupil dan pada gilirannya

akan menambah derajat hambatan sudut. Serangan glaukoma yang hebat dan

mendadak seringkali menyebabkan atrofi papil saraf optic 10

25
3.2 Katarak

3.2.1 Definisi Katarak

Katarak merupakan penyebab utama kebutaan di seluruh dunia yang sebenarnya

dapat dicegah. Penyakit katarak merupakan penyakit mata yang ditandai dengan kekeruhan

lensa mata sehingga mengganggu proses masuknya cahaya ke mata. Katarak dapat

disebabkan karena terganggunya mekanisme kontrol keseimbangan air dan elektrolit, karena

denaturasi protein lensa atau gabungan keduanya. Sekitar 90% kasus katarak berkaitan

dengan usia; penyebab lain adalah kongenital dan trauma (Astari, 2018).

3.2.2 Epidemiologi

Katarak atau kekeruhan lensa mata merupakan penyebab utama kebutaan di

lndonesia, 77,7% kebutaan disebabkan oleh katarak. Sedangkan prevalensi kebutaan akibat

katarak pada penduduk umur 50 tahun ke atas di Indonesia sebesar 1,9%. sebesar 52,7% pada

penderita katarak dengan tajam penglihatan Alasan utama penderita katarak di Indonesia

belum dioperasi bervariasi di beberapa provinsi, antara lain disebabkan tidak mengetahui jika

menderita katarak dan tidak tahu katarak bisa disembuhkan (Papua Barat 43,5%, NTT 44,4%,

Bali 26,8%, Jawa Tengah 41,3%, Kalimantan Selatan 45,3% dan Sumatera Selatan 40,3%),

alasan biaya (Maluku 36,6%, Sulawesi Utara 40,5%, NTB 25,5%, Jawa Timur 31,5%, Jawa

Barat 31,9%, Sumatera Barat 33,3%, dan Sumatera Utara 33,3%), merasa tidak perlu

dioperasi (Sulawesi Selatan 49,7%), dan takut dioperasi (Jakarta 30,3%) 12

3.2.3 Patofisiologi Katarak

a. Oxidant-antiaxidant imbalance

Lensa adalah organela yang selalu terpapar oleh cahaya sepanjang hidup dan

rentan terhadap stress oksidatif akibat reactive oxygen/nitrogen species (ROS/RNS).

Lensa dilengkapi dengan sistem antioksidan yang cukup untuk mempertahankan diri

dari stress oksidatif tersebut. Enzim yang berperan sebagai antioksidan pada lensa

diantaranya adalah superoxide dismutase, catalase, glutathione peroxidase, glutathione


26
reductase, glutathione S-transferase, thioredoxin system serta non-enzimatik

antioksidan yaitu reduced glutathione (GSH). Antioksidan tersebut melindungi lensa

dari kerusakan yang diakibatkan oleh radikal bebas dan stress oksidatif 13.

Reduced glutathione (GSH) merupakan molekul antioksidan paling penting dari

lensa. Molekul ini disintesis oleh epitelium lensa dimana setiap oxidized glutathione

akan direduksi menjadi reduced glutathione (GSH) oleh glutathione reductase. GSH

melawan molekul reaktif secara langsung, melindungi protein thiol yang terpapar dari

proses oksidasi. GSH dapat melindungi epitel lensa dari oksidasi, termasuk

Na/K/ATPase, protein yang bepengaruh dalam permeabilitas membran dan protein

sitoskeletal tertentu 13.

Sintesis dan daur ulang GSH akan menurun seiring bertambahnya usia sehingga

menyebabkan penurunan progresif dari kemampuan antioksidan pada lensa. Rendahnya

kadar GSH pada nukleus lensa serta rendahnya aktivitas siklus redox GSH

menyebabkan lensa rentan terhadap stres oksidatif 13.

b. Stress Signaling

NFκB adalah faktor transkripsi yang diaktifkan oleh ROS. Biasanya terletak di

sitoplasma dalam kompleks tidak aktif bersama inhibitor kappa B (Iκ B) dan stres

oksidatif akan menginduksi pelepasan I B menghasilkan translokasi NFkB ke nukleus

dan mengikat elemen kontrol DNA dan dengan demikian mempengaruhi transkripsi gen

spesifik yang terkait dengan pensinyalan stres dan kematian sel. Jalur yang dimediasi

NFκB dilaporkan hadir ditemukan dalam sel epitel lensa yang terpapar hidrogen

peroksida dan stres UV sehingga mengindikasikan perannya dalam cataractogenesis 14.

c. Jalur MAPK

Mitogen-activated protein kinases (MAPKs) adalah serin-treonin protein kinase

yang memainkan peran utama dalam regulasi proliferasi sel, diferensiasi sel dan

kematian sel. Setiap subkelompok MAPK diaktifkan melalui kaskade peristiwa

27
fosforilasi berurutan, dimulai dengan aktivasi MAPK kinase kinase (MAP3Ks).

MAP3Ks pada gilirannya memfosforilasi dan mengaktifkan MAPK kinase (MAP2Ks),

yang pada gilirannya menstimulasi aktivitas MAPK melalui fosforilasi ganda pada

residu treonin dan tirosin. MAPK yang diaktifkan memfosforilasi beragam substrat

dalam sitosol dan nukleus untuk membawa perubahan dalam fungsi protein dan ekspresi

gen yang berperan pada proses biologis seperti proliferasi, diferensiasi, respons

inflamasi, apoptosis, dll 14.

Gambar 3.4 Representasi skematis jalur MAPK

MAPK phosphatases (MKPs), yang mengenali motif asam amino TXY hadir di

MAPKs, defosforilasi dan menonaktifkan MAPKs. Jalur MAPK memainkan peran

tersendiri dalam kelangsungan hidup dan fungsi normal sel epitel lentikular dan dengan

demikian transparansi lensa. Stres oksidatif adalah stimulus ekstraseluler dominan yang

mengaktifkan jalur MAPK dan banyak laporan menegaskan keterlibatan jalur MAPK

dalam kematian sel epitel lensa dan pembentukan katarak melalui disorganisasi gap

junction dan perakitan sitoskeletal di lensa 14.

d. Jalur Protein Kinase

28
Protein kinase C (PKC) termasuk dalam kelompok serin/treonin kinase yang

berfungsi dalam proses pensinyalan seluler melalui fosforilasi dan seperti MAPK, PKC

diaktifkan oleh kerusakan oksidan dan kalsium. PKC telah dikelompokkan menjadi tiga

kelas (PKC α, β dan γ ) tergantung pada kofaktor yang diperlukan untuk aktivasinya.

PKCγ bergerak ke membran plasma setelah aktivasi dan memfosforilasi target seperti

reseptor, protein struktural dan protein gap junction dan dilaporkan dalam opasitas lensa
13
.

e. Modifikasi Protein dan Penghilangan Protein yang dimodifikasi

Susunan protein lensa yang tepat memainkan peran utama dalam pemeliharaan

transparansi dan modifikasi protein struktural dan fungsional dalam lensa sebagai akibat

dari oksidasi, proteolisis, transamidasi, karbamilasi, fosforilasi, dll. opasitas lensa 14,15.

Xanthine oxidase adalah enzim pro-oksidan yang biasanya ada di jaringan

okular dan peningkatan aktivitas xanthine oxidase membentuk sumber radikal bebas

yang penting dan merupakan penanda stres oksidatif lensa. Oksidan yang dihasilkan

oleh sistem xanthine oxidase memaksakan ikatan silang dan agregasi kristalin,

hilangnya keseimbangan redoks seluler, oksidasi basa DNA dan peroksidasi lipid dari

asam lemak tak jenuh ganda dan menimbulkan kerusakan pada pompa transpor aktif

membran lensa dan terlibat dalam katarakogenesis. Protein mengandung beberapa

gugus sulfhidril aktual atau potensial dan merupakan tempat potensial untuk reaksi

oksidasi-reduksi reversibel, modifikasi protein memulai rangkaian yang dimulai dengan

ikatan silang protein disulfida, penonaktifan protein/enzim, hilangnya kelarutan protein

dan akhirnya kekeruhan lensa 15.

Kristalin adalah protein struktural utama dalam lensa yang menyusun sekitar

90% protein larut air lensa dan menambah transparansi dan sifat refraksi dengan

pengemasannya yang tepat. Tiga jenis kristalin utama yang ditemukan dalam lensa

adalah kristalin α, β, dan γ. Kristalin cenderung membentuk agregat berbobot molekul

29
tinggi yang larut dan terbungkus rapat dalam serat lensa, sehingga meningkatkan indeks

refraksi lensa sambil mempertahankan transparansinya. Crystallin adalah kristalin

utama yang terdiri dari αA dan αB crystallins memiliki fungsi pendamping yang terlibat

dalam remodeling dan perlindungan sitoskeleton, penghambatan apoptosis dan

resistensi terhadap stres oksidatif. Juga, asosiasi molekul kristalin dan membentuk

kemasan padat dan ini meminimalkan hamburan cahaya dan memberikan transparansi

lensa yang optimal. Beberapa penelitian telah menjelaskan pemisahan kristain α, β, γ

selama pembentikan katarak melalui beberapa modifikasi seperti agregasi dan cross-

linking akan menyebabkan pada insolubilisasi protein 15.

Filamen intermediet adalah elemen sitoskeletal utama yang bertanggung jawab

atas transparansi lensa dan filamen intermediet utama adalah filensin, phakinin, dan

phakinin. Filensin dan phakinin membentuk kompleks dengan kristalin αA dan αB dan

mereka bersama-sama disebut sebagai beaded filaments dan vimentin membentuk

jaringan di lensa yang berfungsi dalam arsitektur lensa dan juga berinteraksi dengan

flensing. Degradasi filensin dan phakinin dan vimentindeamidation dilaporkan pada

lensa katarak terkait usia 15.

Kerusakan oksidan pada protein lensa dan akumulasinya terlibat dalam

pembentukan katarak. Untuk menjaga transparansi lensa, protein yang rusak harus

dihilangkan dan prosesnya dilakukan dengan mekanisme ubiquitin-proteasome.

Degradasi protein melalui jalur ubiquitin-proteasome melibatkan penandaan protein

substrat oleh perlekatan kovalen dari beberapa molekul ubiquitin dan degradasi

selanjutnya dari protein yang ditandai oleh proteasome 26S. Beberapa enzim terlibat

dalam proses ubiquitinilasi melalui serangkaian langkah enzimatik yang bergantung

pada ATP. Dalam proses ini, ubiquitin pertama kali diaktifkan oleh enzim pengaktif

ubiquitin (E1), ubiquitin yang diaktifkan kemudian diteruskan ke protein pembawa

ubiquitin (E2) baik melalui pembentukan ikatan tiol ester. Ubiquitin yang diaktifkan

30
kemudian secara langsung terkait dengan substrat atau dihubungkan ke substrat melalui

ubiquitin ligase (E3), ditargetkan ke 26S proteasome untuk proteolisis dan ubiquitin

didaur ulang. Jalur proteasome yang bergantung pada ubiquitin berada di bawah kendali

respons oksidan dan aktivitas enzim pengaktif dan konjugasi diubah pada lensa tua dan

residu asam amino ubiquitin yang terlibat dalam mekanisme degradasi protein

dimodifikasi oleh oksidan. Semua peristiwa ini mengganggu fungsi jalur

ubiquitinproteasome di lensa katarak 15.

f. Peroksidase Lipid

Integritas membran lenticular adalah salah satu faktor penting yang menjaga

transparansi lensa. Membran lensa berfungsi sebagai barier impermeabel terhadap

kation dan dilengkapi dengan membran ATPase untuk homeostasis air, kalsium,

natrium dan kalium. Oksidasi lipid merupakan konsekuensi berbahaya utama dari

pembentukan ROS karena menghasilkan perubahan oksidatif ireversibel di membran.

Proses ini dapat menyebabkan disorganisasi membran, modifikasi protein membran,

mengubah fungsi fisiologis membran sel. Peroksidasi lipid telah terlibat dalam

patogenesis katarak karena produk peroksidasi menginduksi fragmentasi protein lensa

yang larut dan merusak struktur membran penting, apoptosis sel epitel dan berhubungan

dengan perubahan properti refraktif dari lensa 14.

g. Ketidakseimbangan Ion

Membran lensa dilengkapi dengan berbagai pompa untuk mempertahankan

homeostasis ion yang optimal. Untuk mempertahankan gradien ionik yang curam, lensa

harus terus menerus mengeluarkan energi untuk mendorong natrium dan kalsium

keluar, pada saat yang sama berfungsi untuk mengakumulasi ion lain seperti kalium.

Homeostasis kalsium seluler dicapai dengan keseimbangan antara kebocoran masuk dan

aliran keluar oleh membran plasma Ca2+ ATPase dan penukar Na+ Ca2+. Peningkatan

31
natrium yang progresif, kehilangan kalium yang nyata dan peningkatan kalsium

beberapa kali lipat berpengaruh dalam patologi kekeruhan lensa 14.

h. Inflamasi

Peradangan adalah serangkaian respons biologis kompleks jaringan tubuh

terhadap rangsangan berbahaya; meskipun Peradangan adalah respons protektif. Nitric

oxide (NO) adalah radikal bebas, pembawa pesan sinyal dan peran NO dalam

peradangan telah diketahui dengan baik. NO biasanya didapatkan pada konsentrasi

rendah dalam aqueous humor yang membasahi lensa. Tingkat konstitutif produksi NO

berkontribusi pada fungsi okular normal, tetapi sebagai respons terhadap induksi

inducible nitric oxide synthase (iNOS) oleh trauma oksidan, produksi NO meningkat.

NO berkontribusi terhadap stres oksidasi dengan mengembangkan agen oksidatif yang

lebih kuat seperti peroksinitrit dengan superoksida yang sangat reaktif dan

menimbulkan sitotoksisitas dan stres nitrosatif pada protein dan berperan dalam

katarakogenesis Peningkatan generasi ROS mempercepat produksi sitokin inflamasi

seperti IFN di lensa melalui jalur MAPK. Selain itu, diketahui bahwa IFN-g

menyebabkan perkembangan katarak dengan menyebabkan apoptosis sel epitel lensa

dan berhubungan dengan perkembangan katarak 14,15.

i. Apoptosis Sel Epitelial Lensa

Homeostasis metabolik dari satu lapisan sel epitel lensa penting dalam menjaga

transparansi seluruh lensa. Dalam keadaan fisiologis normal, sel memiliki rentang hidup

yang relatif lama, faktor-faktor seperti stres oksidatif mengubah viabilitas epitel

lentikular yang mengakibatkan kekeruhan lensa. Sejumlah besar penelitian menegaskan

peran kematian sel epitel lensa sebagai peristiwa biokimia kunci yang mendasari proses

katarakogenesis melalui serangkaian peristiwa yang disebutkan di atas. Kerusakan

oksidatif, peningkatan kadar kalsium, kerusakan membran, respons inflamasi, dll.

32
Mengaktifkan apoptosis lentikular melalui aktivasi faktor pro-apoptosis, Caspases, dan

penghambatan agen anti-apoptosis 14.

3.2.4 Klasifikasi Katarak Sinilis

Katarak senilis merupakan 90% dari semua jenis katarak. Terdapat tiga jenis

katarak senilis berdasarkan lokasi kekeruhannya, yaitu :

a. Katarak nuklearis

Katarak nuklearis ditandai dengan kekeruhan sentral dan perubahan warna lensa

menjadi kuning atau cokelat secara progresif perlahan-lahan yang mengakibatkan

turunnya tajam penglihatan. Derajat kekeruhan lensa dapat dinilai menggunakan

slitlamp. Katarak jenis ini biasanya terjadi bilateral, namun dapat juga asimetris.

Perubahan warna mengakibatkan penderita sulit untuk membedakan corak warna.

Katarak nuklearis secara khas lebih mengganggu gangguan penglihatan jauh daripada

penglihatan dekat (Astari, 2018).

Gambar 3.5 Katarak Nuklearis

Nukleus lensa mengalami pengerasan progresif yang menyebabkan naiknya

indeks refraksi, dinamai miopisasi. Miopisasi menyebabkan penderita presbiopia dapat

33
membaca dekat tanpa harus mengenakan kacamata, kondisi ini disebut sebagai second

sight (Astari, 2018).

b. Katarak kortikal

Katarak kortikal berhubungan dengan proses oksidasi dan presipitasi protein

pada sel-sel serat lensa. Katarak jenis ini biasanya bilateral, asimetris, dan menimbulkan

gejala silau jika melihat ke arah sumber cahaya. Tahap penurunan penglihatan

bervariasi dari lambat hingga cepat. Pemeriksaan slitlamp berfungsi untuk melihat ada

tidaknya vakuola degenerasi hidropik yang merupakan degenerasi epitel posterior, dan

menyebabkan lensa mengalami elongasi ke anterior dengan gambaran seperti embun

(Astari, 2018).

Gambar 3.6 Katarak Kortikalis

c. Katarak subkapsuler

Katarak ini dapat terjadi di subkapsuler anterior dan posterior. Pemeriksaannya

menggunakan slitlamp dan dapat ditemukan kekeruhan seperti plak di korteks

subkapsuler posterior. Gejalanya adalah silau, penglihatan buruk pada tempat terang,

dan penglihatan dekat lebih terganggu daripada penglihatan jauh (Astari, 2018).

34
Gambar 4. Katarak Subkapsuler

3.2.5 Penatalaksanaan dan Komplikasi

1. Tatalaksana

Tatalaksana definitif untuk katarak saat ini adalah tindakan bedah. Beberapa

penelitian seperti penggunaan vitamin C dan E dapat memperlambat pertumbuhan

katarak, namun belum efektif untuk menghilangkan katarak (Astari, 2018).

Tujuan tindakan bedah katarak adalah untuk mengoptimalkan fungsi

penglihatan. Keputusan melakukan tindakan bedah tidak spesifik tergantung dari derajat

tajam penglihatan, namun lebih pada berapa besar penurunan tersebut mengganggu

aktivitas pasien. Indikasi lainnya adalah bila terjadi gangguan stereopsis, hilangnya

penglihatan perifer, rasa silau yang sangat mengganggu, dan simtomatik anisometrop 14.

Indikasi medis operasi katarak adalah bila terjadi komplikasi antara lain:

glaukoma fakolitik, glaukoma fakomorfik, uveitis fakoantigenik, dislokasi lensa ke bilik

depan, dan katarak sangat padat sehingga menghalangi pandangan gambaran fundus

karena dapat menghambat diagnosis retinopati diabetika ataupun glaukoma 14.

a. Ekstraksi Katarak Intrakapsuler (EKIK)

EKIK adalah jenis operasi katarak dengan membuang lensa dan kapsul secara

keseluruhan. EKIK menggunakan peralatan sederhana dan hampir dapat dikerjakan

pada berbagai kondisi. Terdapat beberapa kekurangan EKIK, seperti besarnya ukuran

irisan yang mengakibatkan penyembuhan luka yang lama, menginduksi astigmatisma

35
pasca operasi, cystoid macular edema (CME), dan ablasio retina. Meskipun sudah

banyak ditinggalkan, EKIK masih dipilih untuk kasuskasus subluksasi lensa, lensa

sangat padat, dan eksfoliasi lensa. Kontraindikasi absolut EKIK adalah katarak pada

anak-anak, katarak pada dewasa muda, dan ruptur kapsul traumatik, sedangkan

kontraindikasi relatif meliputi miopia tinggi, sindrom Marfan, katarak Morgagni, dan

adanya vitreus di kamera okuli anterior (Astari, 2018).

b. Ekstraksi Katarak Ekstrakapsuler (EKEK)

1. EKEK Konvensional

EKEK adalah jenis operasi katarak dengan membuang nukleus dan korteks

lensa melalui lubang di kapsul anterior. EKEK meninggalkan kantong kapsul

(capsular bag) sebagai tempat untuk menanamkan lensa intraokuler (LIO). Teknik

ini mempunyai banyak kelebihan seperti trauma irisan yang lebih kecil sehingga

luka lebih stabil dan aman, menimbulkan astigmatisma lebih kecil, dan

penyembuhan luka lebih cepat. Pada EKEK, kapsul posterior yang intak

mengurangi risiko CME, ablasio retina, edema kornea, serta mencegah

penempelan vitreus ke iris, LIO, atau kornea (Astari, 2018).

c. Small Incision Cataract Surgery (SICS)

Teknik EKEK telah dikembangkan menjadi suatu teknik operasi dengan irisan

sangat kecil (7-8 mm) dan hampir tidak memerlukan jahitan, teknik ini dinamai SICS.

Oleh karena irisan yang sangat kecil, penyembuhan relatif lebih cepat dan risiko

astigmatisma lebih kecil dibandingkan EKEK konvensional. SICS dapat

mengeluarkan nukleus lensa secara utuh atau dihancurkan. Teknik ini populer di

negara berkembang karena tidak membutuhkan peralatan fakoemulsifikasi yang

mahal, dilakukan dengan anestesi topikal, dan bisa dipakai pada kasus nukleus yang

padat. Beberapa indikasi SICS adalah sklerosis nukleus derajat II dan III, katarak

36
subkapsuler posterior, dan awal katarak kortikal (Sreelakshmi and Abraham, 2016;

Astari, 2018).

d. Fakoemulsifikasi

Teknik operasi fakoemulsifikasi menggunakan alat tip ultrasonik untuk

memecah nukleus lensa dan selanjutnya pecahan nukleus dan korteks lensa diaspirasi

melalui insisi yang sangat kecil. Dengan demikian, fakoemulsifikasi mempunyai

kelebihan seperti penyembuhan luka yang cepat, perbaikan penglihatan lebih baik, dan

tidak menimbulkan astigmatisma pasca bedah. Teknik fakoemulsifikasi juga dapat

mengontrol kedalaman kamera okuli anterior serta mempunyai efek pelindung

terhadap tekanan positif vitreus dan perdarahan koroid. Teknik operasi katarak jenis

ini menjadi pilihan utama di negara-negara maju (Astari, 2018).

2. Komplikasi

a. Komplikasi selama operasi

1. Pendangkalan kamera okuli anterior

Pada saat operasi katarak, pendangkalan kamera okuli anterior (KOA) dapat

terjadi karena cairan yang masuk ke KOA tidak cukup, kebocoran melalui insisi yang

terlalu besar, tekanan dari luar bola mata, tekanan vitreus positif, efusi suprakoroid,

atau perdarahan suprakoroid.2 Jika saat operasi ditemukan pendangkalan KOA, hal

pertama yang harus dilakukan adalah mengurangi aspirasi, meninggikan botol cairan

infus, dan mengecek insisi. Bila insisi terlalu besar, dapat dijahit jika perlu. Tekanan

dari luar bola mata dapat dikurangi dengan mengatur ulang spekulum kelopak mata.

Hal berikutnya adalah menilai tekanan vitreus tinggi dengan melihat apakah pasien

obesitas, bull-necked, penderita PPOK, cemas, atau melakukan manuver Valsava.

Pasien obesitas sebaiknya diposisikan antitrendelenburg 14.


37
2. Posterior Capsule Rupture (PCR)

PCR dengan atau tanpa vitreous loss adalah komplikasi intraoperatif yang

sering terjadi. Studi di Hawaii menyatakan bahwa 0,68% pasien mengalami PCR dan

vitreous loss selama prosedur fakoemulsifikasi. Beberapa faktor risiko PCR adalah

miosis, KOA dangkal, pseudoeksfoliasi, floppy iris syndrome, dan zonulopati. Apabila

terjadi PCR, sebaiknya lakukan vitrektomi anterior untuk mencegah komplikasi yang

lebih berat. PCR berhubungan dengan meningkatnya risiko cystoid macular edema,

ablasio retina, uveitis, glaukoma, dislokasi LIO, dan endoftalmitis postoperatif katarak

(Astari, 2018).

3. Nucleus drop

Salah satu komplikasi teknik fakoemulsifikasi yang paling ditakutkan adalah

nucleus drop, yaitu jatuhnya seluruh atau bagian nukleus lensa ke dalam rongga

vitreus. Jika hal ini tidak ditangani dengan baik, lensa yang tertinggal dapat

menyebabkan peradangan intraokular berat, dekompensasi endotel, glaukoma

sekunder, ablasio retina, nyeri, bahkan kebutaan. Sebuah studi di Malaysia melaporkan

insidensi nucleus drop pasca fakoemulsifikasi sebesar 1,84%. Faktor risiko nucleus

drop meliputi katarak yang keras, katarak polar posterior, miopia tinggi, dan mata

dengan riwayat vitrektomi (Astari, 2018).

b. Komplikasi setelah Operasi

1. Edema kornea

Edema stromal atau epitelial dapat terjadi segera setelah operasi

katarak. Kombinasi dari trauma mekanik, waktu operasi yang lama, trauma

kimia, radang, atau peningkatantekanan intraokular (TIO), dapat menyebabkan

edema kornea. Pada umumnya, edema akan hilang dalam 4 sampai 6 minggu.

Jika kornea tepi masih jernih, maka edema kornea akan menghilang. Edema

38
kornea yang menetap sampai lebih dari 3 bulan biasanya membutuhkan

keratoplasti tembus 15.

2. Perdarahan

Komplikasi perdarahan pasca operasi katarak antara lain perdarahan

retrobulbar, perdarahan atau efusi suprakoroid, dan hifema. Pada pasien-pasien

dengan terapi antikoagulan atau antiplatelet, risiko perdarahan suprakoroid dan

efusi suprakoroid tidak meningkat. Sebagai tambahan, penelitian lain

membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan risiko perdarahan antara

kelompok yang menghentikan dan yang melanjutkan terapi antikoagulan

sebelum operasi katarak 14.

3. Glaukoma Sekunder

Bahan viskoelastik hialuronat yang tertinggal di dalam KOA pasca

operasi katarak dapat meningkatkan tekanan intraokular (TIO), peningkatan

TIO ringan bisa terjadi 4 sampai 6 jam setelah operasi, umumnya dapat hilang

sendiri dan tidak memerlukan terapi anti glaukoma, sebaliknya jika

peningkatan TIO menetap, diperlukan terapi antiglaukoma. Glaukoma

sekunder dapat berupa glaukoma sudut terbuka dan tertutup. Beberapa

penyebab glaukoma sekunder sudut terbuka adalah hifema, TASS,

endoftalmitis, serta sisa masa lensa. Penyebab glaukoma sekunder sudut

tertutup adalah blok pupil, blok siliar, glaukoma neovaskuler, dan sinekia

anterior perifer 14.

4. Uveitis Kronik

Inflamasi normal akan menghilang setelah 3 sampai 4 minggu operasi

katarak dengan pemakaian steroid topikal. Inflamasi yang menetap lebih dari 4

minggu, didukung dengan penemuan keratik presipitat granulomatosa yang

terkadang disertai hipopion, dinamai uveitis kronik. Kondisi seperti malposisi

39
LIO, vitreus inkarserata, dan fragmen lensa yang tertinggal, menjadi penyebab

uveitis kronik 14.

5. Edema Makula Kistoid (EMK)

EMK ditandai dengan penurunan visus setelah operasi katarak,

gambaran karakteristik makula pada pemeriksaan oftalmoskopi atau FFA, atau

gambaran penebalan retina pada pemeriksaan OCT. Patogenesis EMK adalah

peningkatan permeabilitas kapiler perifovea dengan akumulasi cairan di

lapisan inti dalam dan pleksiformis luar. Penurunan tajam penglihatan terjadi

pada 2 sampai 6 bulan pasca bedah (Astari, 2018).

6. Ablasio Retina

Ablasio retina terjadi pada 2-3% pasca EKIK, 0,5-2% pasca EKEK dan <1%

pasca fakoemulsifikasi. Biasanya terjadi dalam 6 bulan sampai 1 tahun pasca

bedah katarak. Adanya kapsul posterior yang utuh menurunkan insiden ablasio

retina pasca bedah, sedangkan usia muda , miopia tinggi, jenis kelamin laki-

laki, riwayat keluarga dengan ablasio retina dan pembedahan katarak yang sulit

dengan rupturnya kapsul posterior dan hilangnya vitreus meningkatkan

kemungkinan terjadinya ablasio retina pasca bedah (Astari, 2018).

7. Endoftalmosis

Endoftalmitis termasuk komplikasi pasca operasi katarak yang jarang,

namun sangat berat.1 Gejala endoftalmitis terdiri atas nyeri ringan hingga

berat, hilangnya penglihatan, floaters, fotofobia, inflamasi vitreus, edem

palpebra atau periorbita, injeksi siliar, kemosis, reaksi bilik mata depan,

hipopion, penurunan tajam penglihatan, edema kornea, serta perdarahan retina.

Gejala muncul setelah 3 sampai 10 hari operasi katarak. Penyebab terbanyak

adalah Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus.

Penanganan endoftalmitis yang cepat dan tepat mampu mencegah infeksi yang

40
lebih berat. Tatalaksana pengobatan meliputi kultur bakteri, antibiotik

intravitreal spektrum luas, topikal sikloplegik, dan topikal steroid 14.

8. Toxic Anterior Segment Syndrome

TASS merupakan inflamasi pasca operasi yang akut dan non-infeksius. Tanda

dan gejala TASS dapat menyerupai endoftalmitis, seperti fotofobia, edema

kornea, penurunan penglihatan, akumulasi leukosit di KOA, dan kadang

disertai hipopion.1 TASS memiliki onset lebih akut, yaitu dalam 24 jam pasca

operasi katarak, sedangkan endoftalmitis terjadi setelah 3 sampai 10 hari

operasi. TASS juga menimbulkan keluhan nyeri minimal atau bahkan tanpa

nyeri. Beberapa penyebab TASS adalah pembilasan alat-alat operasi yang

tidak adekuat, penggunaan pembersih enzimatik, salah konsentrasi detergen,

ultrasonic bath, antibiotik, epinefrin yang diawetkan, alat singleuse yang

digunakan berulang kali saat pembedahan. Meskipun kebanyakan kasus TASS

dapat diobati dengan steroid topikal atau NSAIDs topikal, reaksi inflamasi

terkait TASS dapat menyebabkan kerusakan parah jaringan intraokular, yang

dapat mengakibatkan kehilangan penglihatan 15

9. Posterior Capsule Opacification (PCO) / kekeruhan kapsul posterior PCO

merupakan komplikasi pasca operasi katarak yang paling sering.1 Sebuah

penelitian melaporkan PCO rata-rata terjadi pada 28% pasien setelah lima

tahun pasca operasi katarak.17 Insidensi PCO lebih tinggi pada anak-anak.

Mekanisme PCO adalah karena tertinggalnya sel-sel epitel lensa di kantong

kapsul anterior lensa, yang selanjutnya berproliferasi, lalu bermigrasi ke kapsul

posterior lensa.1 Berdasarkan morfologi, terdapat 2 jenis PCO, jenis fibrosis

(fibrosis type) dan jenis mutiara (pearl type). Jenis kedua lebih sering

menyebabkan kebutaan. PCO dapat efektif diterapi dengan kapsulotomi

Nd:YAG laser; beberapa komplikasi prosedur laser ini seperti ablasio retina,

41
merusak LIO, cystoid macular edema, peningkatan tekanan intraokular,

perdarahan iris, edema kornea, subluksasi LIO, dan endoftalmitis.1

Pencegahan PCO lebih ditekankan. Teknik operasi pada anak-anak

menggunakan kapsuloreksis posterior (posterior continuous curvilinear

capsulorrhexis) dan vitrektomi anterior telah terbukti menurunkan kejadian

PCO. Pemakaian LIO dengan sisi tajam (sharp-edge optic) yang terbuat dari

akrilik dan silikon, serta penggunaan agen terapeutik seperti penghambat

proteasome, juga menurunkan kejadian PCO (Astari, 2018).

10. Surgically Induced Astigmatism (SIA) Operasi katarak, terutama teknik EKIK

dan EKEK konvensional, mengubah topografi kornea dan akibatnya timbul

astigmatisma pasca operasi. Risiko SIA meningkat dengan besarnya insisi (> 3

mm), lokasi insisi di superior, jahitan, derajat astigmatisma tinggi sebelum

operasi, usia tua, serta kamera okuli anterior dangkal.19 AAO menyarankan

untuk membuka jahitan setelah 6-8 minggu postoperatif untuk mengurangi

astigmatisma berlebihan (Astari, 2018).

11. Dislokasi LIO(Lensa Intra Okuler) Angka kejadian dislokasi LIO dilaporkan

sebesar 0,19-3,00%.20 Dislokasi LIO dapat terjadi di dalam kapsul

(intrakapsuler) atau di luar kapsul (ekstrakapsuler). Penyebab dislokasi LIO

intrakapsuler adalah satu atau kedua haptik terletak di sulkus, sedangkan

beberapa penyebab dislokasi LIO ekstrakapsuler mencakup pseudoeksfoliasi,

gangguan jaringan ikat, uveitis, retinitis pigmentosa, miopia tinggi, dan pasien

dengan riwayat operasi vitreoretina. Tatalaksana kasus ini adalah dengan

reposisi atau eksplantasi LIO (Astari, 2018).

42
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien perempuan berusia 57 tahun datang ke RSUD Mardi Waluyo Kota Blitar

dengan keluhan mata kiri terasa pedas dan nyeri cekot-cekot sejak 3 hari yang lalu disertai

rasa pusing dan mual. Pasien juga mengeluhkan penglihatan kabur tanpa diserta rasa silau

ketika terkena cahaya dan tidak melihat bayangan berbentuk bintik atau garis. Keluhan yang

sama juga dirasakan pada mata kanan sejak 5 tahun yang lalu. Keluhan pada mata kanan

dirasakan semakin memberat hingga tidak dapat melihat.

Keadaan pasien cukup baik dengan kesadaran kompos mentis. Pada pemeriksaan

oftalmologis didapatkan adanya penurunan visus penglihatan pada mata kanan dan kiri (VOD

0, VOS 6/21f). Pada pemeriksaan lokalis didapatkan lensa terlihat keruh dan pemeriksaan

tonometri didapatkan peningkatan TIO pada mata sebelah kanan (TIO OD = 43,4). Pada

pemeriksaan slit lamp OD didapatkan: mata tenang, kornea jernih, COA dangkal, pupil
43
midriasis dan lensa keruh tipis. Sedangkan pemeriksaan slit lamp OS didapatkan: mata

tenang, kornea jernih, COA dangkal, pupil bundar sentral dan lensa keruh tipis.

Diagnosa banding pada kasus ini adalah acute closed angle glaucoma karena pasien

mengeluhkan mata kiri terasa cekot-cekot dan penurunan fungsi penglihatan tanpa disertai

bayangan hitam. Glaukoma ditandai dengan adanya penyempitan lapang pandang dan

penurunan hingga hilangnya fungsi penglihatan 1. Glaukoma sudut tertutup ditandai dengan

gangguan penglihatan mendadak yang disertai nyeri hebat, mual dan muntah. Temuan-temuan

lain adalah kamera anterior dangkal, pupil terfiksasi berdilatasi sedang dan injeksi siliaris 9
)

.
16

Diagnosis katarak senilis muncul akibat adanya keluhan penurunan fungsi penglihatan

dan didapatkan lensa keruh pada pemeriksaan slit lamp. Katarak merupakan penyakit mata

yang ditandai dengan kekeruhan lensa mata sehingga mengganggu proses masuknya cahaya

ke mata (Astari, 2018).

Pada kasus ini keluhan cekot-cekot pada mata kiri yang diawali oleh mata kanan sejak

5 tahun yang lalu dapat diakibatkan oleh Pada teori mekanis, peningkatan tekanan intraokuler

menyebabkan tekanan pada serabut saraf terutama pada bagian Elschnig’s ring dan lamina

kribosa. Patofisiologi peningkatan tekanan intraokuler dipengaruhi oleh adanya keseimbangan

antara sekresi aquos humor oleh badan siliar dan drainase melalui trabecular meshwork dan

uveoskleral. Pada pasien dengan glaukoma sudut tertutup, ada peningkatan hambatan pada

aliran aqueous humor pada jalur trabekula meshwork akibat penutupan jalur oleh otot iris 7.

Terapi yang diberikan pada kasus ini diataranya adalah Glaukon 3 x 250 mg selama 10

hari. Pemberian Glaucon yang mengandung asetazolamide bertujuan untuk mengurangi

sekresi humor aqueous melalui mekanisme inhibisi carbonic anhydrase sehingga dapat

menurunkan tekanan intraokular pada glaukoma sudut tertutup 17. Selain itu, diberikan juga

terapi tablet KSR 2 x 600 mg selama 10 hari. Pemberian suplemen potasium bertujuan untuk

44
mencegah terjadinya hipokalemia akibat terapi acetazolamide, karena acetazolamide dapat

meningkatkan ekskresi kalium dengan meningkatkan absorbsi natrium (Panchal et al., 2016).

Selain terapi medikamentosa, pasien juga diberikan informasi mengenai penyakitnya

seperti peningkatan tekanan bola mata dapat terjadi sewaktu-waktu. Pasien tetap diminta

untuk secara rutin kontrol dan teratur mengkonsumsi obat yang diberikan untuk dapat

mencegah kerusakan dari saraf mata. Selain itu, penglihatan pasien yang kabur juga

disebabkan adanya katarak dan sewaktu-waktu juga dapat semakin memburuk jika tidak

dilakukan operasi.

BAB V
PENUTUP

Seorang pasien perempuan berusia 57 tahun datang ke poli mata RSUD Mardi Waluyo

Kota Blitar dengan keluhan mata kiri terasa pedas dan nyeri cekot-cekot sejak 3 hari yang lalu

disertai rasa pusing dan mual. Pasien juga mengeluhkan penglihatan kabur tanpa diserta rasa

silau ketika terkena cahaya dan tidak disertai bayangan berbentuk bintik atau garis. Pasien

mengatakan pernah mengalami keluhan yang sama pada mata kanan sejak 5 tahun yang lalu.

Keluhan pada mata kanan dirasakan semakin memberat hingga tidak dapat melihat.

Keadaan pasien cukup baik dengan kesadaran kompos mentis. Pada pemeriksaan

oftalmologis didapatkan adanya penurunan visus penglihatan pada mata kanan dan kiri (VOD

0, VOS 6/21f). Pada pemeriksaan lokalis didapatkan lensa terlihat keruh dan pemeriksaan

tonometri didapatkan peningkatan TIO pada mata sebelah kanan (TIO OD = 43,4). Pada

pemeriksaan slit lamp OD didapatkan: mata tenang, kornea jernih, COA dangkal, pupil

midriasis dan lensa keruh tipis. Sedangkan pemeriksaan slit lamp OS didapatkan: mata

tenang, kornea jernih, COA dangkal, pupil bundar sentral dan lensa keruh tipis.

45
Anamnesis dan pemeriksaan fisik mengarah pada glaukoma kronis dan katarak senilis

insipien dimana keluhan dan temuan pemeriksaan lokalis pasien sesuai dengan teori tanda dan

gejala glaukoma seperti mata terasa cekot-cekot, gangguan penglihatan, pusing dan mual.

Serta katarak berdasarkan pemeriksaan slit lamp didapatkan lensa keruh tipis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan RI. InfoDATIN Pusat Data dan Informasi Kementerian

Kesehatan RI: Situasi dan Analisis GLAUKOMA [Internet]. Pusat Data dan Informasi.

2015. p. 1–6. Available from: https://pusdatin.kemkes.go.id/download.php?

file=download/pusdatin/infodatin/infodatin-asi.pdf

2. Infodatin. Situasi Glaukoma di Indonesia [Internet]. Kementrian Kesehatan Republik

Indonesia. 2019. p. 2. Available from:

https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/

infoDatin_glaukoma_2019.pdf%0Ahttps://www.pusdatin.kemkes.go.id/resources/

download/pusdatin/infodatin/infoDatin_glaukoma_2019.pdf

3. Astari P. Katarak: Klasifikasi, Tatalaksana, dan Komplikasi Operasi. CDK J.

2018;45(10):748–53.

4. Sitompul R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya Mencegah Kebutaan.

eJournal Kedokt Indones. 2016;4(1).

5. Sunderland DK, Sapra A. Physiology, Aqueous Humor Circulation. StatPearls


46
[Internet]. 2020;(January). Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/31985990

6. Goel M. Aqueous Humor Dynamics: A Review. Open Ophthalmol J. 2010;4(1):52–9.

7. Lee D. Glaucoma and its treatment. Am J Heal Pharm. 2005;62:90–101.

8. Yahya IU, Andi SC, Suparta G. Prognosis Glaukoma Kronis Bilateral. 2020;9:504–7.

9. Barton K, Hitchings RA, Budenz DL. Medical management of glaucoma. Medical

Management of Glaucoma. 2013. 1–100 p.

10. Vaughan D. General Ophtalmology. 19th ed. New York: McGraw-Hill Education

LLC; 2017.

11. Astari P. Katarak: Klasifikasi, Tatalaksana, dan Komplikasi Operasi. Astari, Prilly.

2018;45(10):748–53.

12. Kemenkes R. Infodatin Situasi Gangguan Penglihatan. Kementrian Kesehat RI Pus

Data dan Inf. 2018;11.

13. Alamri M, Alsammahi A, Alharbi M, Alshammari H, Alshehri M, Saeedi I, et al.

Pathophysiology of cataracts. Int J Community Med Public Heal. 2018;5(9):3668.

14. Sreelakshmi V, Abraham A. Age Related or Senile Cataract: Pathology, Mechanism

and Management. Austin J Clin Ophthalmol. 2016;3(2):1067.

15. Michael R, Bron AJ. The ageing lens and cataract: A model of normal and pathological

ageing. Philos Trans R Soc B Biol Sci. 2011;366(1568):1278–92.

16. Foster PJ, Buhrmann R, Quigley HA, Johnson GJ. The definition and classification of

glaucoma in prevalence surveys. Br J Ophtalmolol. 2001;238–43.

17. Van Berkel MA, Elefritz JL. Evaluating off-label uses of acetazolamide. Am J Heal

Pharm. 2018;75(8):524–31.

18. Panchal SS, Mehta AA, Santani DD. Effect of potassium channel openers in acute and

chronic models of glaucoma. Taiwan J Ophthalmol [Internet]. 2016;6(3):131–5.

Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.tjo.2016.05.006

47
48

Anda mungkin juga menyukai