Anda di halaman 1dari 22

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini penelitian akan menyajikan beberapa konsep dasar tinjauan pustaka

antara lain : 1) Konsep Dasar Pengetahuan, 2) Konsep Pertolongan Pertama, 3) Konsep

Hipotermia 4) Konsep Sikap, 5) Konsep Pecinta Alam (UKM Mapala), 6) Kerangka Konsep,

7) Hipotesis Penelitian.

2.1 Konsep Dasar Pengetahuan

2.1.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan adalah suatu hasil dari rasa keingintahuan melalui proses sensori,

terutama pada mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain

yang penting dalam terbentuknya perilaku terbuka atau open behavior (Donsu, 2017).

Pengetahuan atau knowledge adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang

terhadap suatu objek melalui panca indra yang dimilikinya. Panca indra manusia guna

penginderaan terhadap objek yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan perabaan.

Pada waktu penginderaan untuk menghasilkan pengetahuan tersebut dipengaruhi oleh

intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Pengetahuan seseorang sebagian besar

diperoleh melalui indra pendengaran dan indra penglihatan (Notoatmodjo, 2014).

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang menjadi setelah seseorang melakukan

penginderaan terhadap satu objek tertentu. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan dan sikap

yang positif maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng. Pengetahuan merupakan faktor

yang sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Seseorang yang memiliki

pengetahuan yang baik tentang sesuatu hal, maka ia cenderung mengambil keputusan yang

lebih tepat berkaitan dengan masalah dibandingkan dengan mereka yang pengetahuan rendah

(Masyudi, 2018).
2.1.2 Tingkat Pengetahuan

Menurut Induniasih dan Ratna Wahyu (2018) pengetahuan mempunyai tingkatan

yaitu :

1) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari atau sebelumnya,

termasuk kedalam pengetahuan, tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap

sesuatu spesifik dari seluruh badan uang dipelajari atau rangsangan yang telah

diterima, oleh karena itu tahu ini merupakan pengetahuan yang lebih rendah.

2) Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar

tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara

benar.

3) Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan suatu kemampuan menggunakan materi yang telah dipelajari pada

situasi atau kondisi sebenarnya.

4) Analisa (analysis)

Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke

dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan

masih ada kaitannya satu sama lain.

5) Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan

bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru, dengan kata lain sintesis.

6) Evaluasi

Evaluasi ini berkiatan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian

terhadap suatu materi atau objek.


2.1.3 Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku

terbuka (over berhavior) perilaku yang didasari pengetahuan yang bersifat langgeng

(Induniasih dan Ratna Wahyu, 2018). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu :

1) Tingkat Pendidikan

Pendidikan adalah upaya untuk memberikan pengetahuan sehingga terjadi perubahan

perilaku positif yang meningkat. Pendidikan berrati bimbingan yang diberikan

seseorang kepada orang lain terhadap suatu hal agar mereka dapat memahami. Tidak

dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah pula

mereka menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang

dimilikinya, sebaliknya jika seseorang tingkat pengetahuannya rendah akan

menghambat perkembanganya sikap seseorang terhadap penerimaan informasi dan

nilai-nilai baru dikenalkan.

2) Informasi

Mempunyai sumber informasi yang lebih akan mempunyai pengetahuan yang lebih

luas. Kemudahan memperoleh informasi dapat membantu mempercepat seseorang

untuk memperoleh pengetahuan yang luas.

3) Budaya

Budaya dalam tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi

kebutuhan yang memenuhi sikap kepercayaan. Kebudayaan lingkungan sekitar

apabila dalam wilayah mempunyai budaya untuk menjaga kebersihan lingkungan

maka sangat mungkin masyarakat sekitarnya mempunyai sikap untuk menjaga

kebersihan lingkungan.

4) Pengalaman
Pengalaman sesuatu yang dialami seseorang akan menambah pengetahuan tentang

sesuatu yang bersifat informal. Ada kemungkinan pengalaman yang baik seseorang

akan berusaha untuk melupakan, namun jika pengalaman terhadap objek tersebut

menyenangkan maka, secara psikologis akan timbul kesan yang membekas dalam

emosi sehingga menimbulkan sikap yang positif, sosial, ekonomi, tingkat kemampuan

seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup semakin tinggi tingkat sosial ekonomi

akan menambah tingkat pengetahuan, hal ini disebabkan oleh sarana prasarana serta

biaya yang dimiliki untuk mencari ilmu pengetahuan yang terpenuhi. Usaha

memenuhi kebutuhan pokok (primer) maupun kebutuhan sekunder, keluarga dengan

status ekonomi baik. Ini akan memenuhi pemenuhan seseorang tentang berbagai hal.

2.1.4 Cara Mengukur Pengetahuan

Menurut Nursalam (2016) pengetahuan seseorang dapat diinterpretasikan dengan skala

yang bersifat kualitatif, yaitu :

1) Pengetahuan Baik : 76%-100%

2) Pengetahuan Cukup : 56%-75%

3) Pengetahuan Kurang : <56%

Sedangkan menurut Nursalam (2013) Pengukuran pengetahuan dapat dilakuakn dengan

wawancara atau angket yang ingin diketahui atau diukur dapat disesuaikan dengan tingkat

pengetahuan responden yang meliputi tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis dan

evaluasi. Adapun pertanyaan yang dapat digunakan untuk pengukuran pengetahuan secara

umum dapat dipergunakan untuk pengukuran pengetahuan secara umum dapat

dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu pertanyaan subjektif, misalnya jenis pertanyaan essay

dan pertanyaan objektif, misalnya pertanyaan pilihan ganda, (multiple choice), betul-salah

dan pertanyaan menjodohkan. Cara mengukur pengetahuan dengan memberikan pertanyaan-


pertanyaan, kemudian dilakukan penilaian 1 untuk jawaban benar dan nilai 0 untuk jawaban

salah. Penilaian dilakukan dengan cara membandingkan jumlah skor yang diharapkan

(tertinggi) kemudian dikalikan 100% dan hasilnya berupa prosentase kemudian digolongkan

menjadi 3 kategori yaitu kategori baik (76-100%), sedang atau cukup (56-75%) dan kurang

(<55%) (Arikunto, 2013).

2.1.5 Jenis Pengetahuan

Pemahaman masyarakat pada konteks kesehatan sangat beraneka ragam pengetahuan

merupakan bagian dari perilaku kesehatan apabila masyarakat tidak tahu maka akan

berpengaruh pada kesehatan masyarakat menurut Notoatmodjo (2012) jenis pengetahuan

diantaranya yaitu :

1) Pengetahuan Implisit : pengetahuan implisit ialah pengetahuan yang masih tertanam

pada diri seseorang dalam bentuk pengalaman dan berisiko faktor-faktor yang tidak

bersifat nyata seperti keyakinan pribadi perpektif dan prinsip. Biasanya pengalaman

seseorang sulit untuk ditransfer ke orang lain baik secara tertulis maupun lisan.

Pengetahuan implisit dapat berisi kebiasaan dan budaya bisa tidak disadari oleh

seseorang.

2) Pengetahuan Eksplisit : pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang telah

didokumentasikan atau tersimpan dalam wujud nyata dapat juga wujud perilaku

kesehatan. Pengetahuan nyata dijabarkan tindakan-tindakan yang berhubungan

dengan kesehatan.

2.1.6 Cara Memperoleh Pengetahuan

Pengetahuan dapat diperoleh dengan beberapa cara. Menurut Riadi (2013) pengetahuan

dapat diperoleh dengan berbagai cara yaitu sebagai berikut :

1) Cara Tradisional
a. Cara coba salah ini digunakan untuk melakukan semua kemungkinan yang

terjadi jika kemungkinan salah maka bisa mencegah kemungkinan yang lain.

b. Cara kekuasaan atau otoritas sumber pengetahuan melalui cara kekuasaan atau

otoriter dapat dilakukan atau ditemukan oleh seseorang yang memiliki otoritas

baik berupa pemimpin dan masyarakat tanpa menguji dan menguji kebenaran

yang terlebih dahulu.

c. Berdasarkan pengalaman pribadi pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai

suatu cara untuk mendapat pengetahuan yaitu untuk menyelesaikan

permasalahan yang sedang dihadapi dan dapat dilakukan dengan cara

mengulang kembali pengalaman yang pernah diperoleh.

2) Cara Modern

Cara modern ini adalah cara memperoleh pengetahuan yang dilakukan dengan metode

ilmiah atau metodelogi penelitian terhadap sesuatu yang ingin diketahui. Metode yang

dapat digunakan untuk meningkatkan pengetahuan antara lain : metode buzz Group,

metode demontrasi, metode simulasi, metode audio visual, metode konvensional,

metode eksplisit instruction.

2.2 Konsep Pertolongan Pertama

2.2.1 Pengertian Pertolongan Pertama

Pertolongan pertama adalah tindakan pemberian perawatan pertama pada saat terjadi

kecelakaan, sakit atau keadaan gawat darurat dengan cepat dan tepat sebelum mendapatkan

pertolongan yang lebih lanjut (Susilo, 2012).

Pemberian pertolongan pada korban harus cepat dan tepat dengan menggunakan sarana

dan prasarana yang ada ditempat kejadian, tindakan pertolongan pertama yang dilakukan

dengan benar akan menggurangi kecacatan atau penderitaan pada korban bahkan
menyelamatkan korban dari kematian, tetapi apabila tindakan pertolongan pertama dilakukan

tidak benar dapat memperburuk kondisi korban akibat tindakan yang salah dalam pemberian

pertolongan pertama yang akan menimbulkan kematian (Andryawan, 2013).

2.2.2 Tujuan Pertolongan Pertama

Menurut Tilong (2014), tujuan pertolongan pertama yaitu :

1. Agar dapat menyelamatkan jiwa penderita, jadi pertama-tama pertolongan pertama

ditunjukan agar kondisi korban tidak semakin parah yang bisa berujung pada

kematian.

2. Untuk mencegah lebih tepatnya menimalisir terjadinya kecacatan pada korban.

3. Memberikan rasa nyaman pada korban atau penderita. Sebab, pertolongan yang

diberikan akan sangat membantu meringankan penderita korban.

4. Membantu proses penyembuhan pada korban. Sebab, pertolongan pertama yang

diberikan pada hakekatnya tidak hanya memberikan rasa nyaman pada korban namun

juga bisa menjadi salah satu media agar korban bisa sembuh lebih cepat. Setidaknya

melakukan pertolongan pertama dapat membantu untuk mencegah bertambah

parahnya kondisi korban.

2.2.3 Prosedur Pertolongan Pertama Pada Hipotermia

Adapun prosedur pemberian pertolongan pertama pada hipotermia sesuai dengan

tingkatan yang dialami adalah :

1. Hipotermia Ringan dan Sedang

Prinsip dari pertolongan pertama pada korban yang mengalami hipotermia ringan-

sedang adalah mempertahankan kondisi suhu tubuh agar pengeluaran panas tidak

semakin buruk dan tetap menjaga kestabilan tubuh. Menurut New Zaeland Mountain
Safety Resorce (2014) yang harus dilakukan dalam menangani hipotermia ringan-

sedang adalah :

a. Pindahkan korban di tempat yang lebih hangat, seperti tenda.

b. Bila pakaian korban basah, lepas dan ganti dengan pakaian yang kering.

c. Berikan selimut atau bila ada berikan thermal blanket untuk mengisolasi panas

agar tidak semakin parah, kemudian berikan sleeping bag.

d. Periksa tanda vital korban seperti nadi dan respirasi.

e. Berikan penghangat tambahan seperti api unggun, atau kompres air hangat

dengan cara memberikan botol yang diisi air hangat atau menempelkan benda

hangat pada bagian arteri seperti leher, ketiak, atau diantara kedua paha.

f. Berikan asupan makanan dan minuman manis yang hangat untuk membantu

meningkatkan suhu korban. Hindari minuman beralkohol dan kafein supaya

tidak kehilangan panas yang semakin parah.

g. Jaga kesadaran korban dengan mengajak bicara. Jangan sampai korban tertidur

agar metabolisme tidak mengalami penurunan.

h. Segera hubungi bantuan

i. Pantau tanda vital dan tingkat kesadaran sampai bantuan tiba.

2. Hipotermia Berat

Pemberian pertolongan pertama pada saat kondisi darurat pada penderita hipotermia

berat adalah mencegah peningkatan jumlah panas yang keluar, karena bagaimanapun

panas yang dihasilkan dari dalam tubuh lebih efektif meningkatkan suhu inti

dibandingkan suhu panas dari luar (New Zaeland Mountain Safety Resorce, 2014).

Menurut (New Zaeland Mountain Safety Resorce, 2014) pertolongan pertama yang

harus dilakukan pada hipotermia berat antara lain :

a. Pindahkan korban di tempat yang lebih hangat.


b. Berikan pertolongan dengan hati-hati, usahakan jangan terlalu mengganggu

korban dapat memperberat sistem kerja organ korban.

c. Perikan respon korban.

d. Apabila pakaian korban basah, ganti dengan pakaian kering dan berikan jaket

agar hangat.

e. Bungkus seluruh tubuh dengan selimut, thermal blanket dan sleeping bag

secara berlapis untuk mengisolasi suhu tubuh.

f. Berikan kompres hangat dengan menggunakan botol yang diisi air hangat

atau benda yang dihangatkan pada bagian leher, kedua ketiak, dan diantara

kedua paha.

g. Segera hubungi bantuan.

h. Pantau tanda vital korban sampai bantuan datang.

i. Bila tanda vital tidak dapat diukur atau korban mengalami henti jantung, maka

lakukan resusitasi jantung paru (RJP).

2.3 Konsep Hipotermia

2.3.1 Pengertian Hipotermia

Hipotermia adalah penurunan suhu inti tubuh menjadi kurang dari 35ºC atau 95ºF

secara involunter. Lokasi pengukuran suhu inti tubuh mencakup rektal, esofageal, atau

membran timpani, yang dilakukan secara benar (Tanto, 2014). Menurut Hardisman (2014),

hipotermia didefinisikan bila suhu inti tubuh menurun hingga 35ºC (95ºF) atau dapat lebih

rendah lagi.

Menurut Setiati (2014), hipotermia disebabkan oleh lepasnya panas karena konduksi,

konveksi, radiasi, maupun evaporasi. Local cold injury dan frostbite timbul karena hipotermia

menyebabkan penurunan viskositas dan darah dan kerusakan intraseluler (intracellular


injury). Hipotermia adalah keadaan tubuh di bawah 35ºC dan dapat dikategorikan sebagai

berikut :

a. Hipotermia ringan : 32-35ºC

b. Hipotermia sedang : 28-32 ºC

c. Hipotermia berat : di bawah 28 ºC

2.3.2 Etiologi Hipotermia

Berdasarkan etiologinya hipotermia dapat dibagi menjadi hipotermia primer dan

hipotermia sekunder (Tanto, 2014) :

1. Hipotermia primer, terjadi apabila produksi panas dalam tubuh tidak dapat

mengimbangi adanya stres dingin, terutama bila cadangan energi dalam tubuh sedang

berkurang. Kelainan panas dapat terjadi melalui mekanisme radiasi (55-65%),

konduksi (10-15%), konveksi, respirasi dan evaporasi. Pemahaman ini membedakan

istilah hipotermia dengan frost bite (cedera jaringan akibat kontak fisik dengan benda

atau zar dingin, biasanya <0ºC).

2. Hipotermia sekunder terjadi apabila memiliki penyakit atau sedang mengkonsumsi

obat tertentu yang menyebabkan penurunan suhu tubuh. Berbagai kondisi yang

mengakibatkan hipotermia (Hardisman, 2014) yaitu :

a. Penyakit endokrin (hipoglikemi, hipotiroid, penyakit Addison, diabetes

mellitus, dan lain-lain)

b. Penyakit kardiovaskuler (infark miokard, gagal jantung kongestif, insufisiensi

vascular, dan lain-lain)

c. Penyakit neurologis (cedera kepala, tumor, cedera tulang belakang, penyakit

alzheimer, dan lain-lain)

d. Obat-obatan (alkohol, sedatif, klonidin, neuroleptik).


Cedera yang berhubungan dengan cuaca dingin dapat terjadi dengan atau tanpa

pembekuan jaringan tubuh. Faktor resiko cedera dingin meningkat pada orang tua, anak-anak,

dan pecandu alkohol. Tingkat keparahan cedera dingin bergantung pada suhu, lama

pemaparan, kondisi lingkungan, jumlah pakaian pelindung, dan keadaan umum pasien saat

itu. Kerentanan terhadap cedera dingin meningkat oleh faktor yang dapat meningkatkan

kehilangan panas atau menurunkan produksi panas seperti :

1. Suhu yang lebih rendah

2. Dehidrasi

3. Bayi, usia lanjut, malnutrisi, kelelahan

4. Imobilisasi (contoh : fraktur)

5. Kontak yang terlalu lama

6. Kelembaban

7. Penyakit pembuluh darah perifer

2.3.3 Manifestasi Klinis Hipotermia

Gejala hipotermia bervariasi tergantung tingkat keparahan cedera dingin. Tanda dan

gejala berupa kesemutan, mati rasa, perubahan warna dan tekstur kulit (Hardisman, 2014).

Gejala klinis yang serting terjadi berdasarkan kategori hipotermia, menurut Setiati (2014)

antara lain :

1. Hipotermia Ringan (35-32ºC)

Pucat, terasa dingin saat disentuh, mati rasa terutama pada bagian ekstermitas, respon

ekstermitas, respon melambat, mengantuk, mengigil, lesu, mengalami peningkatan

detak jantung dan pernafasaan.

2. Hipotermia Sedang (28-32ºC)


Penurunan tingkat kesadaran, disorientasi, inkontinensia urine, bila suhu terus

menurun sampai dibawah 30ºC maka korban tidak dapat melakukan relek mengigil.

3. Hipotermia Berat (<28ºC)

Penderita tidak sadar dan tidak merespon, kaku otot, detak jantung lemah dan tidak

teratur, respon pupil tidak ada, tanda-tanda vital sulit diukur.

2.3.4 Patofisiologi Hipotermia

Menurut Setiati (2014), tubuh menghasilkan panas melalui metabolisme makanan dan

minuman, metabolisme otot, dan reaksi kimia. Panas tubuh hilang melalui beberapa cara,

yaitu :

1. Radiasi : berpengaruh hingga 65% terhadap kehilangan panas tubuh. Kepala yang

tidak terlindungi dapat menghilangkan 50% panas tubuh.

2. Konduksi : pindahnya panas ke objek terdekat dengan suhu yang lebih rendah. Hanya

sedikit panas tubuh yang hilang melalui konduksi, tetapi pakaian basah

menghilangkan panas tubuh 20 kali lipat lebih besar. Berendam di air dingin

menghilangkan panas 32 kali lebih besar.

3. Konveksi : hilangnya panas melalui aliran udara, kecepatan hilangnya panas

dipengaruhi oleh kecepatan angin. Contohnya, angin dengan kecepatan 12 ml/jam

menghilangkan panas 5 kali lebih cepat.

4. Evaporasi : hilangnya panas melalui cairan tubuh yang menjadi gas. Keringat dan

pernafasan berperan menghilangkan panas tubuh sebesar 20%.

2.3.5 Komplikasi Hipotermia

Respons pertama tubuh untuk menjaga suhu agar tetap normal (37 ºC) adalah dengan

gerakan aktif maupun involunter seperti menggigil. Pada awalnya kesadaran, pernapasan, dan

sirkulasi juga masih normal. Namun, seluruh sistem organ akan mengalami penurunan fungsi
sesuai dengan kategori hipotermia. Komplikasi berat seperti fibrilasi atrium akan terjadi

apabila suhu inti tubuh kurang dari 32ºC. Namun, bila belum ada tanda instabilitas jantung,

kondisi ini belum memerlukan penanganan khusus. Risiko henti jantung kemudian akan

meningkat apabila suhu inti tubuh menurun di bawah 32ºC, sangat meningkat apabila suhu

kurang dari 28ºC (konsumsi O₂ dan frekuensi nadi telah menurun 50%) (Tanto, 2014).

2.4 Konsep Sikap

2.4.1 Pengertian Sikap

Sikap merupakan suatu respon atau reksi yang masih tertutup terhadap suatu stimulus

atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan. Sikap adalah

kecenderungan yang berasal dari individu untuk berkelakuan dengan pola-pola tertentu

terhadap suatu objek akibat pendirian dan perasaan terhadap objek tertentu. Sikap tidak dapat

dilihat tetapi ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap adalah reaksi yang

bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Mengatakan bahwa sikap adalah suatu

kecenderungan untuk merespons, baik secara positif maupun negatif, terhadap seseorang,

situasi, maupun objek tertentu. Sikap dapat diartikan sebagai suatu penilaian emosional atau

efektif (berupa perasaan senang, benci, sedih), kognitif atau pengetahuan tentang suatu objek,

dan konatif atau kecenderungan bertindak (Induniasih dan Ratna Wahyu, 2018).

Menurut Azwar, Syaifuddin (2017), Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih

tertutup terhadap suatu stimulasi atau objek. Selain itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi

hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara real

menunjukkan adanya kesesuaian stimulus tertentu.

2.4.2 Komponen Sikap

Komponen sikap menurut (Sunaryo, 2013) adalah sebagai berikut :


1) Komponen Kognitif

Dapat juga disebut komponen perseptual, yang berisi kepercayaan individu.

Kepercayaan tersebut berisi hal-hal bagaimana individu memersepsikan objek sikap

dengan apa yang dilihat dan diketahui (pengetahuan), pandangan, kayakinan, pikiran,

pengalaman pribadi, kebutuhan emosional dan informasi dari orang lain. Misalnya,

individu mengetahui bahwa kesehatan sangat berharga karena bahwa ia menyadari

bahwa apabila sakit, dirinya akan merasakan betapa nikmatnya sehat.

2) Komponen Efektif (komponen emosional)

Komponen ini merujuk pada dimensi emosional subjek individu, terhadap objek

sikap, baik yang positif (rasa senang) maupun negatif (rasa tidak senang), Reaksi

emosional banyak dipengaruhi oleh apa yang kita percayai sebagai suatu yang benar

terhadap suatu objek sikap tertentu. Misalnya, individu senang (sikap positif) terhadap

profesi keperawatan.

3) Komponen Konatif

Disebut juga komponen perilaku, yaitu komponen sikap yang berkaitan dengan

predisposisi atau kecenderengan bertindak terhadap objek sikap yang dihadapi.

Misalnya, individu mengetahui bahwa profesi keperawatan adalah pekerjaan yang

mulia sehingga banyak lulusan yang masuk akademi keperawatan.

2.4.3 Tahapan Sikap

Bloom (dalam Budiman dan Riyanti, 2013), membagi sikap dalam 5 tahap antara lain :

1) Menerima

Tahapan menerima merupakan tahapan awal dalam sikap yaitu kepekaan seseorang

dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang kepadanya dalam

berbagai bentuk baik masalah, situasi, gejala, objek, dan sebagainya.


2) Menanggapi

Tahap ini merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melibatkan

dirinya secara aktif dalam suatu fenomena tertentu dan melakukan suatu reaksi

terhadap hal tersebut.

3) Menilai

Tahapan menilai merupakan tahap dimana seseorang memberikan penilaian atau

penghargaan terhadap suatu objek sehingga apabila suatu objek tersebut tidak

dikerjakan maka akan menimbulkan rasa penyesalan atau rugi.

4) Mengelola

Tahap sikap mengelola adalah mempertemukan perbedaan nilai sehingga muncul nilai

baru yang universal sehingga dapat membawa pada perbaikan secara umum.

5) Menghayati

Tahap sikap menghayati adalah tahapan sikap yang tertinggi dimana keterpaduan

semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang mempengaruhi pola kepribadian dan

tingkah lakunya. Dalam proses internalisasi nilai telah mendapatkan tempat tertinggi

dalam hierarki nilai yang telah tertanam secara konsisten pada sistemnya dan telah

mempengaruhi emosinya.

2.4.4 Faktor yang Mempengaruhi Sikap

Walgito dalam (Sunaryo,2013) mengungkapkan bahwa terdapat empat hal penting

dalam menjadi faktor sikap individu, yaitu :

1) Faktor fisiologis : faktor yang penting dalam faktor fisiologis adalah umur dan

kesehatan, yang menentukan sikap individu.


2) Faktor pengalaman : faktor langsung terhadap objek sikap, pengalaman langsung

yang dialami oleh individu terhadap objek sikap berpengaruh terhadap sikap individu

dalam menghadapi objek sikap tersebut.

3) Faktor kerangka acuan : kerangka acuan yang tidak sesuai dengan objek sikap akan

menimbulkan sikap yang negatif terhadap objek sikap tersebut.

4) Faktor sosial : informasi yang diterima individu akan dapat menyebabkan perubahan

sikap pada diri individu tersebut.

2.4.5 Ciri-Ciri Sikap

Sikap memiliki beberapa ciri tersendiri. Pada prinsipnya, ciri sikap menurut beberapa

ahli memiliki kesamaan. Gerungan, Ahmadi, Sarwono, dan Walgito (dalam Drs. Sunaryo,

2013).

1) Sikap tidak dibawa sejak lahir, namun dipelajari (learnability) dan dibentuk

berdasarkan pengalaman dan latihan sepanjang perkembangan individu dalam

hubungan dengan objek.

2) Sikap dapat berubah-ubah dalam situasi yang memenuhi syarat untuk itu sehingga

dapat dipelajari.

3) Sikap tidak berdiri sendiri, namun selalu berhubungan dengan objek sikap.

4) Sikap dapat bertuju pada satu objek ataupun dapat bertujuan pada sekumpulan atau

banyak objek.

5) Sikap dapat berlangsung lama atau sebentar.

6) Sikap mengandung faktor perasaan dan motivasi sehingga berbeda dengan

pengetahuan.

2.4.6 Pengukuran Sikap


Menurut (Sunaryo, 2013) Sikap dalam penerapanya dapat di ukur beberapa cara, secara

garis besar pengukuran sikap dibedakan menjaadi dua cara, yaitu secara langsung dan tidak

langsung. Jenis-jenis pengukuran sikap secara langsung meliputi langsung berstruktur dan

langsung tidak berstruktur.

1) Berstruktur

Cara dilakukan dengan mengukur sikap melalui pertanyaan yang telah disusun

sedemikian rupa dalam satu instrument yang telah ditentukan, dan langsung diberikan

kepada subjek yang diteliti, instrumen pengukuran sikap dapat dilakukan

menggunakan skala Bogardus, Thrurston, dan Likert.

a. Skala Bogardus : Dilakukan dengan menyusun pertanyaan berdasarkan jarak

sosial. Seseorang yang berasal dari satu golongan tertentu diharapkan pada

suatu golongan dan ditanyakan bagaimana sikapnya terhadap golongan

tersebut. Hal yang ditanyakan dalam instrumen ini adalah kesediaan mereka

untuk menikah, menjadi temah dekat, menerima sebagai tetangga, menerima

sebagai teman sejawat, sebagai warga negara, sebagai tamu, dan tidak bersedia

menerima dalam negaranya. Jawaban yang disediakan adalah “Ya” atau

“Tidak”. Misalnya, suku jawa terhadap dengan suku lain di Indonesia untuk

ditanyakan kesediaannya, seperti yang disebutkan diatas.

b. Skala Thrurston : Dilakukan dengan mengukur sikap dengan metode “Equal-

Appearing Intervals”. Skala yang disusun dalam skala ini merupakan dari

yang favorable (menyenangkan) hingga unfavorable (tidak menyenangkan).

Nilai skala ini bergerak dari 0 sampai titik ekstrem bawah hingga 11 sebagai

titik ekstem atas. Misalnya, pertanyaan sikap perawat terhadap Organisasi

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) adalah “saya berkeyakinan

bahwa masuk menjadi anggota PPNI adalah bermanfaat”. Nilai 0 adalah nilai
yang paling tidak setuju menjadi anggota PPNI, sedangkan nilai 11 adalah

nilai yang setuju menjadi anggota PPNI.

c. Skala Likert : Dikenal dengan teknik “Summated Rantings”. Responden

diberikan pertanyaan dengan kategori jawaban yang telah dituliskan dan

umumnya terdiri dari 1 hingga 5 kategori jawaban. Misalnya, pertanyaan sikap

perawat terkait pemeliharaan kuku panjang adalah “Seseorang perawat

sebaiknya tidak memelihara kuku panjang” dan “pada penderita DM dapat

mencegah komplikasi dengan melakukan pengaturan makan”. Jawaban yang

disediakan adalah sangat setuju (5), setuju (4), ragu-ragu (3), tidak setuju (2),

sangat tidak setuju (1). Nilai 5 adalah nilai favorable (menyenangkan) dan

nilai 1 adalah unfavorable (tidak menyenangkan).

2) Tidak Berstruktur

Cara ini merupakan pengukuran sikap yang sederhana dan tidak melakukan persiapan

yang cukup mendalam, seperti mengukur sikap dengan wawancara bebas atau free

interview dan pengamatan langsung atau survey. Contoh : untuk mengetahui sikap

sementara penduduk terhadap masalah kesehatan lingkungan, dapat dilakukan

pengukuran sikap dengan cara melakukan observasi atau wawancara. Kemudian

ditarik kesimpulan bagaimana sikap penduduk terhadap kesehatan lingkungan

tersebut. Hasil wawancara dari dua daerah yang jumlah penduduk relatif sama

menunjukan bahwa daerah satu memiliki jumlah akseptor yang lebih dibanding

daerah yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa daerah yang memiliki jumlah akseptor

lebih banyak, sikap penduduknya cenderung lebih positif terhadap KB. Sementara itu,

pengukuran tidak langsung adalah pengukuran sikap dengan menggunakan tes. Pada

umumnya, pengukuran ini menggunakan skala semtik-diferensial (teknik

menggunakan skala berjenjang dalam membahas arti skala kata) yang berstandar.
Cara pengukuan sikap yang banyak digunakan adalah skala yang dikembangkan oleh

Charles E.Osgood (Sunaryo, 2013).

2.5 Konsep Pecinta Alam

2.5.1 Pengertian Pecinta Alam

Menurut Duri (dalam Lintang, 2016: 450) kelompok pecinta alam mulai bermunculan

sekitar tahun 50. Kata pecinta alam sendiri mulai muncul pada 18 Oktober 1953, diusulkan

oleh Awibowo dan terciptanya nama perkumpulannya yaitu perkumpulan pecinta alam (PPA)

dengan maksud dari berdirinya perkumpulan tersebut adalah untuk meningkatkan dan

memperluas kecintaan terhadap alam beserta isinya.

Putra (2017: 8) mengemukakan organisasi pecinta alam merupakan organisasi yang

beranggotakan individu yang mempunyai kesamaan minat, kecintaan, dan kepedulian dengan

lingkungan sekitar. Peran pecinta alam sebagai organisasi yang sangat penting untuk

membantu melestarikan lingkungan dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat mencintai alam.

2.5.2 Kegiatan Pecinta Alam

Mahasiswa pecinta alam terbentuk karena adanya Catur Dharma Perguruan Tinggi,

dimana disebabkan bahwa penyelenggara pendidikan tinggi bertujuan untuk mendidik,

menumbuhkan, dan membina manusia yang berjiwa Pancasila. Dalam rangka mewujudkan

cita-cita tersebut. Mapala menggunakan alam sebagai srana pendidikan (Alfiqri, 2015).

Beberapa kegiatan Mapala di alam bebas dalam penelitian Pratama (2015) yang berjudul

“Perancangan Visual Panduan Pertolongan Pertama pada Kejadian Darurat saat Pendakian”,

yaitu :

a. Hiil walking atau fell walking, merupakan perjalanan mendaki bukit-bukit yang relatif

landai dan yang tidak atau belum membutuhkan peralatan khusus yang bersifat teknis.
b. Scrambling atau pendakian pada tebing-tebing yang tidak begitu terjal sehingga masih

relatif landai, bagi pemula biasanya dipasang tali untuk pengaman di jalur lintasan.

c. Climbing atau pendakian yang menggunakan penguasaan teknis khusus. Peralatan

teknis yang diperlukan sebagai pengaman.

2.5.3 Penyakit Gunung

Penyakit gunung (mountain sickness) merupakan penyakit yang menyerang para

pendaki. Pada umumnya disebabkan oleh faktor ketinggian, cuaca, stamina pendaki, dan suhu

yang berlebihan atau ekstrem (terlalu panas atau terlalu dingin). Ada beberapa penyakit

gunung, antara lain (Wijaya, 2011).

a. Hypothermia, merupakanpenyakit gunung yang diakibatkan oleh menurunnya suhu

tubuh secara drastis sehingga si korban mengalami halusinasi, gejalanya, antara lain

korban membuka baju, berbicara melantur, dan berperilaku seperti orang tidak waras.

b. Hypoksia, disebabkan kurangnya oksigen dalam otak karena faktor ketinggian:

gejalanya, antara lain pusing, mual, napas sesak, tidak nafsu makan, kedinginan,

badan lemas, jantung berdebar kencang, jika korban dibawa turun sampai pada

ketinggian tertentu maka penyakit tersebut akan hilang dengan sendirinya.

c. Dehidrasi, merupakan penyakit kekurangan cairan tubuh, biasanya ditandai dengan air

kencing berwarna kekuningan keruh. Biasanya ditangani dengan minum air

secukupnya sampai air kencing menjadi bening kembali, dan minum oralit sebagai

garam mineral dalam tubuh.

d. Kram, termasuk penyakit yang sering dijumpai, merupakan ketidakmampuan otot

dalam menjalankan tugasnya, hal ini disebabkan otot kurang pemanasan, menahan

beban berlebih, otot kedinginan biasanya saat setelah kehujanan.


2.6 Kerangka Konsep

Kerangka kerja adalah tahapan atau langkah-langkah dalam aktivitas ilmiah, mulai dari

penerapan populasi, sampel, dan seterusnya, yaitu kegiatan sejak awal penelitian akan

dilakukan (Nursalam, 2014).

Kerangka kerja dalam penelitian ini dapat digambarkan secara skematik sebagai

berikut :

Faktor yang
mempengaruhi :
1. Tingkat
pendidikan Pengetahuan
2. Informasi
3. Budaya Baik
Pengetahuan
4. Pengalaman
dan sikap
tentang
Cukup
pertolongan
Faktor yang pertama
mempengaruhi : hipotermia
Kurang
1. Fiologis
2. Pengalaman Sikap
3. Kerangka
acuan
4. Komunikasi
sosial
Keterangan :

: Diteliti

: Tidak Diteliti

2.7 Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan penelitian.

Suatu pertanyaan asumsi tentang hubungan antara dua atau lebih yang diharapkan bisa

menjawab suatu pertanyaan dalam penelitian (Nursalam, 2014). Hipotesis dalam penelitian

ini adalah “Terdapat hubungan pengetahuan tentang pertolongan pertama hipotermia dengan

sikap mahasiswa pecinta alam (UKM MAPALA) di Lamongan”.

Anda mungkin juga menyukai