Anda di halaman 1dari 5

Bijak Mendampingi libur anak :

MEMBANGUN TANGGUNG JAWAB ANAK


Drs Miftahul Jinan, M.Pd.I
 Direktur Griya Parenting Indonesia
 Master Trainer Parenting Nasional
 Penulis 8 buku parenting Best seller *

………………………………………

TANGGUNG JAWAB ANAK

Bagi kita orang tua yang saat ini usia 35 tahun ke atas, saat kecil dahulu jika kita meminta dibelikan
pencil kepada orang tua, maka mereka akan membelikan satu atau maksimal 2 buah pencil. Lalu kita
berusaha mempertahankan pencil tersebut sampai akhir "hayat" hingga pendek sekali. Jika baru separo
kita menggunakannya lalu hilang pencil tersebut, maka akan muncul pada diri kita perasaan, bersedih,
takut dan kecewa. Ketiga perasaan inilah muncul karena telah adanya rasa tanggung jawab kita
terhadap pencil tersebut.

Sebaliknya, berapa pencil yang kita akan berikan kepada anak kita jika saat ini ia memintanya kepada
kita? Mungkin akan kita belikan 1 dus yang berisi 6 pencil atau bahkan 10 pencil. Karena kita bisa
membelikannya lebih dari satu dengan murah, dan kita khawatir jika satu-satunya pencil anak tiba-tiba
hilang maka mereka akan terganggu belajarnya.

Lalu jika anak kita saat ini menghilangkan satu pencil maka apakah juga akan muncul pada diri mereka
perasaan sedih, takut, dan kecewa? Insya Allah kita akan menjawabnya, “tidak”. Karena kita harus
mengakui beberapa anak sangat santai saat pencilnya hilang, karena benak mereka berkata, “Masih ada
5 pencil atau bahkan 9 pencil yang siap mengganti yang hilang”.

Fenomena seperti di atas dalam bentuk yang berbeda mungkin sering kita jumpai dalam kehidupan kita
dan kehidupan anak kita saat ini. Namun jangan sampai rasa kasihan yang besar dari diri kita dapat
menghambat anak-anak untuk merasakan munculnya beberapa rasa di atas karena kita selalu
memberikan apa yang menjadi kebutuhan kepada anak dalam jumlah yang jauh lebih besar dari yang
mereka butuhkan. Akhirnya mereka cenderung mudah meremehkan akan barang-barang yang memang
sangat banyak tersebut.

Kita harus ingat bahwa seringkali keterbataaan pada anak seharusnya menjadikan mereka lebih
bertanggung jawab terhadap apa yang telah dimilikinya.

ANAK BERTANGGUNG JAWAB

Membangun Habit

Banyak orang tua yang mengeluh, bahwa putranya yang saat ini telah duduk di kelas V Sekolah Dasar
masih sering harus diingatkan tentang PR dan tugas sekolah lainnya. Bahkan mereka begitu santai
menghadapai ujian kenaikan kelas yang akan dilaksanakan minggu depan. Akhirnya orang tualah yang

1|Page
sibuk mencarikan guru les atau mendaftarkan mereka ke lembaga bimbingan belajar untuk memastikan
mereka siap menghadapi ujian tersebut.

Dengan cara di atas beban mempersiapkan anak untuk siap ujian memang telah lepas dari pundak orang
tua, namun apakah dengan sikap tersebut akan tumbuh rasa tanggung jawab anak terhadap belajarnya
pada masa-masa yang akan datang? Disinilah teknik mendidik anak untuk bertanggung jawab perlu
dipahami oleh orang tua

Pendidikan Tanggung Jawab

Beberapa orang tua mungkin mempunyai pandangan yang berbeda tentang tanggung jawab belajar
anak dan tanggung jawab terhadap barang-barang miliknya. Anak-anak tidak perlu untuk dibebani
dengan kewajiban-kewajiban seperti mengurus kamar, alat permainan, dan kebersihan dirinya. Karena
mereka sudah sangat sibuk dengan kewajiban prioritas yaitu belajar.

Padahal dengan belajar bertanggung jawab atas hal-hal yang lebih konkrit dan mudah dievaluasi di atas,
maka akan menjadi jembatan bagi mereka untuk belajar bertanggung jawab pada belajar. Sesuatu yang
agak abstrak dengan evaluasi yang memerlukan waktu yang panjang.

Dengan tiga tahapan di atas orang tua dapat memulai pendidikan kemandirian dan tanggung jawab
putra-putrinya tidak langsung pada kegiatan belajar, tetapi sejak dini mereka sudah harus dilatih pada
kegiatan-kegiatan yang lebih konkrit bagi anak dengan manfaat yang lebih mudah dirasakan langsung
dan dievaluasi oleh mereka. Seperti mendidik mereka untuk bertanggung jawab terhadap kebersihan
diri, terhadap alat-alat sekolah, kamar pribadinya dan lain sebagainya.

Berikut ini ada beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan orang tua untuk membangun tanggung
jawab anak. Langkah-langkah ini terlihat tidak ada hubungannya dengan kegiatan belajar mengajar.
Tetapi ia dapat menjadi pondasi bagi tumbuhnya tanggung jawab dan pada kegiatan-kegiatan lainnya,
termasuk belajar.

1. Membiasakan anak untuk merawat tubuhnya sendiri sedini mungkin, dengan meminta anak untuk
mandi sendiri secara teratur pada pagi dan sore hari. Usahakan agar penataan kamar mandi
memperhatikan kepentingan dan kebutuhan anak, seperti meletakkan sabun dan gantungan pakaian
dalam jarak jangkuan anak. Anak perlu juga belajar menggosok gigi sendiri secara teratur tanpa
diingatkan. Jika anak harus mengkonsumsi obat atau vitamin, pertama kalinya orang tua dapat
menyiapkan dan mengingatkan anak. Namun untuk selanjutnya, letakkan obat dan vitamin tersebut
di (atau di dekat) meja makan dan minta anak untuk melakukannya sendiri. Ajari anak untuk
mengingat sendiri kapan mereka harus melakukan itu.

2. Menata buku pelajaran sendiri, Pada usia sekolah dasar, anak sudah harus bertanggung jawab
terhadap kebutuhan-kebutuhan sekolahnya. Tempelkan atau letakkan kalender dan jadual pelajaran
di dekat lemari buku. Ajari anak untuk menyiapkan buku-buku sesuai dengan jadual pelajaran.

3. Mengerjakan PR dengan mandiri, di sekolah dasar, anak mulai mendapatkan pekerjaan rumah dari
sekolah. Jumlah dan tingkat kesulitan pekerjaan rumah bisa bervariasi. Di beberapa sekolah, anak
bisa mendapatkan pekerjaan rumah yang cukup berat dan banyak. Walaupun orang tua merasa
kasihan dan tidak tega melihat beban anak, tidaklah bijak jika orang tua mengambil alih dan
2|Page
mengerjakan pekerjaan rumah anak. Jika hal ini dilakukan, anak akan terbiasa untuk melemparkan
tanggung jawabnya kepada orang lain. Ajak anak untuk mengatur jadual hariannya dan menyisihkan
waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Dampingi anak ketika dia mengerjakan pekerjaan
rumahnya. Jika dia mengalami kesulitan, ajari dia dan beri penjelasan. Jika dia merasa lelah dan putus
asa, doronglah dia dan beri semangat.

4. Mengajari anak untuk menyelesaikan permasalahannya sendiri. Ketika anak sedang bermasalah
dengan teman, jangan ikut campur dan memusuhi teman tersebut. Anda bisa mengajari dia
bagaimana menghadapi teman tersebut, tapi jangan mengambil alih permasalahan anak. Jika anak
Anda mendapatkan penilaian yang kurang benar dari guru, mungkin Anda terbebani untuk
mendatangi guru tersebut dan membela anak Anda. Jika Anda merasa permasalahan itu terlalu
kompleks untuk di hadapi anak sendiri. Anda bisa menemui guru tersebut tanpa sepengetahuan anak
supaya anak tidak terlalu menggantungkan pada intervensi orang tua. Di rumah anda bisa mengajari
dia untuk mempertahankan haknya dengan sikap dan bahasa yang santun.

5. Membiasakan anak untuk merapikan mainan. Sediakan lemari, rak-rak, atau kotak mainan untuk
menyimpan mainan anak. Letakkan tempat-tempat mainan ini di tempat yang mudah dijangkau oleh
anak. Jangan beli lemari atau rak yang terlalu tinggi. Biasakan anak untuk merapikan mainannya
sendiri setiap selesai bermain. Ajari anak suatu sistem penyimpanan berdasarkan kategori
mainan.Misalnya,rak boneka, kotak untuk penyimpan mobil-mobilan, dan sebagainya. Sistem
pengkategorian ini akan memudahkan pencarian kembali mainan ketika dibutuhkan.

TANGGUNG JAWAB ANAK PADA FASILITAS

Beberapa pekan yang lalu kita dikejutkan lagi dengan peristiwa kecelakaan yang melibatkan seorang
pemuda dengan mobil mewahnya di kota Surabaya. Beberapa peristiwa serupa juga telah masuk dalam
memori kita dengan beberapa kesamaan, dikendarai oleh remaja, fasilitas yang mewah dan
menyebabkan beberapa korban meninggal.

Tulisan ini tidak akan membahas siapa yang bersalah dalam setiap peristiwa di atas, tetapi lebih pada
pandangan kita sebagai orang tua di dalam memberikan setiap fasilitas kepada anak-anak kita.
Sebenarnya setiap fasilitas yang kita berikan kepada anak kita seperti sebuah pisau tajam yang kita
berikan anak kita. Pisau tersebut dapat saja digunakan untuk mempermudah aktifitas anak kita, tetapi
sebaliknya pisau itu juga dapat digunakan untuk melukai orang lain bahkan melukai dirinya sendiri.
Maka setiap fasilitas yang kita berikan kepada anak tidak cukup dengan mengajari bagaimana
menggunakannya dengan baik, tetapi lebih dari itu yaitu membangun tanggung jawab terhadap
kepemilikannya. Sehingga dapat dipastikan anak-anak kita akan selalu menggunakannya untuk kebaikan
mereka.

Ada beberapa pemikiran terkait dengan membangun tanggung jawab anak pada fasilitas yang kita
berikan kepada mereka, di antaranya :

1. Memberikan suatu fasilitas kepada anak karena kebutuhan mereka terhadap fasilitas tersebut. Bukan
hanya karena sayang sama anak dan anak menginginkannya.

2. Semakin canggih fasilitas yang kita berikan maka semakin bertambah besar tanggung jawab yang
dibutuhkan oleh anak, karena resikonya juga semakin besar pula. Seperti tanggung jawab seorang
3|Page
anak kecil yang kita berikan sepeda tentu tidak sama dengan tanggung jawab seorang pemuda yang
kita belikan sebuah mobil untuk kuliah mereka.

3. Idealnya sebuah pembelajaran tentang tanggung jawab pada fasilitas kita berikan pada saat
memberikannya bahkan jauh hari sebelumnya. Sehingga kita berikan anak kita sebuah fasilitas
tertentu karena Ia memang telah mempunyai tanggung jawab untuk menggunakannya

4. Kita sering menemukan kejadian dimana anak dipaksa untuk belajar bertanggung jawab terhadap
fasilitas yang mereka miliki dalam bentuk kecelakaan-kecelakaan yang membawa korban atau
kegagalan hidup atau sekolah . Tentu kondisi seperti ini adalah sebuah bentuk penyesalan yang
seringkali menuntut pembiayaan yang besar, stres yang besar dari anak, dan bahkan kegagalan masa
depan mereka. Orang tua sangat perlu untuk mampu memprediksi manfaat dan resiko dari suatu
fasilitas yang diberikan kepada anak

5. Tanggung jawab terhadap fasilitas dapat berbentuk penggunaan pada jalan semestinya, mengunakan
fasilitas tersebut untuk hal yang bermanfaat, kemampuan anak untuk memahami resiko penggunaan
fasilitas, selalu merawat dan menjaga fasilitas tersebut, pemahaman anak terhadap waktu
penggunaannya dan lain-lain.

JANGAN MENGAMBIL TANGGUNG JAWAB ANAK

Pertanyaan

Saya seorang ibu dengan 2 orang anak. Anak pertama usia 10 tahun duduk di kelas 5 SD dan anak kedua
usia 8 tahun duduk di kelas 2 SD. Kami telah menyepakati jadual harian mereka dan kami juga telah
berusaha membantu mereka untuk menepati jadual tersebut. Ada waktu-waktu yang sering membuat
kami marah dan kehilangan kendali yaitu terutama jam antara jam 05.00 hingga 06.30 pagi. Kami
menginginkan mereka untuk segera mengikuti jadual-jadual pagi yang padat. Tetapi respon mereka
justru sebaliknya, mereka bersantai dan tidak segera menjalankannya. Akhirnya upaya kami adalah
ngomel dan kadangkala membentak mereka. Baru mereka mulai mengikuti jadual dan tidak terlambat
sekolah

Jawaban

Mengganti aktifitas yang belum terjadual dengan aktifitas yang terjadual bukan seperti mengganti piring
yang terbuat dari kayu dengan piring yang terbuat dari kaca. Aktifitas yang belum terjadual adalah
kebiasaan yang telah lama dilakukan oleh anak-anak. Untuk menggantikan dengan kegiatan yang telah
terjadual maka akan membutuhkan cukup waktu. Bersabarlah untuk terus memotivasi dan mendorong
anak untuk selalu melaksanakan kegiatannya sesuai dengan jadual.

Beberapa orang tua menuntut anaknya untuk selalu mematuhi jadual yang telah disepakati karena takut
jika anaknya terlambat ke sekolah. Mereka selalu mengingatkan dan mengomel agar anaknya segera
bergerak. Tetapi seringkali kita melihat reaksi anak justru sebaliknya, mereka semakin kebal terhadap
omelan tersebut dan menunggu datangnya omelan yang lain. Kesimpulannya mereka menepati jadual
dan tidak pernah terlambat ke sekolah bukan karena kemauan sendiri dan bukan karea kesadaran akan
ketepatan waktu, tetapi karena energi dari luar yaitu omelan orang tua.
4|Page
Di sinilah kita akan merasakan bahwa tanggung jawab untuk menepati jadual tidak lagi milik anak-anak
tetapi milik orang tua. Karena para orang tua telah mengambil tanggung jawab tersebut dari anak dan
tidak rela melihat anaknya terlambat masuk sekolah.

Dengan kondisi ini maka terlihat sekali kalau orang tua sangat khawatir jika anaknya terlambat masuk
sekolah. Sebaliknya pada pihak anak begitu santainya terhadap jadual sambil menunggu omelan-omelan
anaknya.

Pada kasus di atas sebenarnya orang tua mengingatkan untuk terakhir kalinya tentang jadual yang harus
dijalaninya, selanjutnya orang tua hanya mengamati kegiatan anaknya tanpa memberi komentar apalagi
memberi omelan. Jika akhirnya mereka terlambat masuk sekolah dan mendapat sanksi dari sekolah,
itulah konsekwensi logis yang memang harus ia dapatkan dan semoga ia belajar dari peristiwa tersebut
bahwa sikap meremehkan jadual akan selalu berakibat pada terlambat datang ke sekolah dan akhirnya
mendapat sanksi.

Jika selanjutnya anak selalu memperhatikan jadual dengan baik, maka energinya tidak lagi muncul dari
orang tua yang selalu mengomel, tetapi dari anak yang tidak ingin terlambat dan mendapat sanksi.
Tanggung jawab anak untuk menepati jadual muncul karena dorongan untuk menghindari sanksi. Dan
orang tua tidak lagi mengambil tanggung jawab tersebut karena khawatir akan terlambatnya anak.

Pada akhirnya orang tua hanya mengharapkan anak menepati jadual menjadi karakter mereka karena
kebiasaan-kebiasaan baik mereka
…………………………………………..
* Buku parenting Best seller karya Drs Miftahul Jinan :
1. Tips Instant Mendidik Anak
2. Awas anak Kecanduan Games
3. Alhamdulillah Anakku nakal
4. Aku Wariskan moral bagi Anakku
5. Anakku hanya Pintar Sekolah
6. Orang tuaku hobi menghukum
7. Smart parent for Smart student
8. Napak tilas Sukses anak

5|Page

Anda mungkin juga menyukai