Anda di halaman 1dari 11

PENGGUNAAN METODE TOILET TRAINING DALAM MELATIH

KEMANDIRIAN ANAK PADA ANAK USIA DINI DI PAUD


KARTIKA PRADANA

Ismayu Nahdiar Sari, Ahmad Samawi, Rosyi Damayani Twinsari Maningtyas


Universitas Negeri Malang
E-mail: ismayusari@gmail.com

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan penggunaan metode toilet training dalam melatih
kemandirian anak pada anak usia dini di PAUD Kartika Pradana dan untuk mengetahui pelaksanaan toilet training
dalam melatih kemandirian pada anak kelompok bermain usia 2-3 tahun. Metode penelitian yang digunakan adalah
kualitatif deskriptif dengan menggunakan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian ini adalah
melatih kemandirian anak dalam bertoilet, mengenalkan sejak dini tentang najis, mengenali barang-barang yang
terdapat di toilet dan mengajarkan BAK dan BAB secara benar. Pelaksanaan toilet training di mulai dengan
perencanaan yaitu menyiapkan bahan cerita dari buku cerita tentang tema-tema kegiatan yang ada di toilet,
pelaksanaan dilakukan guru dengan menggunakan metode pembiasaan dan metode bercerita, dan evaluasi yaitu guru
memberikan tugas kepada anak berupa praktek secara langsung tentang kegiatan yang berkaitan dengan toilet
training. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan peserta didik berhasil menerapkan toilet training
untuk menumbuhkan kemandirian anak usia dini.

Kata Kunci: Toilet Training, Kemandirian

Abstract: The purpose of this study was to describe the use of the toilet training method in training the
independence of children in early childhood in PAUD Kartika Pradana and to determine the implementation of toilet
training in training independence in children in play groups aged 2-3 years. The research method used is descriptive
qualitative by using observation, interview, and documentation techniques. The results of this study were to train
children's independence in toileting, introduce from an early age about uncleanness, recognize items in the toilet and
teach BAK and defecating correctly. The implementation of toilet training begins with planning, namely preparing
story materials from story books about the themes of activities in the toilets, the implementation is carried out by the
teacher using the habituation method and the storytelling method, and evaluation, in which the teacher gives
assignments to children in the form of direct practice of the activities related to toilet training. Based on the results
of the study, it can be concluded that students have successfully implemented toilet training to foster early childhood
independence.

Keywords: Toilet Training, Independence


Pendahuluan
Usia dini adalah usia emas dimana akan sangat berarti apabila diberi rangsangan yang tepat untuk
mengembangkan kecerdasannya. Pada masa ini, anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang
sangat cepat. Pada masa ini, anak dapat mengontrol bagian tubuhnya, kemampuan dalam berbahasa
meningkat dan pada fase ini juga anak berada pada fase anal, dimana anak mulai mampu untuk
mengontrol (BAK) Buang Air Kecil dan (BAB) Buang Air Besar (Luxner, 2005). Penting sekali untuk
menstimulasi atau melatih anak agar anak bisa memenuhi kebutuhan mereka sendiri yaitu dimulai dari
kebutuhan paling dasar misalnya melatih toilet training, makan/minum sendiri, merapikan mainan sendiri
di usia-usia tersebut. Proses yang paling awal yang bisa dilakukan adalah dengan memperkenalkan anak
dengan toilet training, karena kebutuhan yang paling awal yang ditemui pada anak adalah kebutuhan
untuk membantu diri dalam buang air.

1
2

Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang dianjurkan kepada anak sejak lahir
sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki
pendidikan lebih lanjut (Permendikbud No 148, 2015:3). Sasarannya adalah mencapai kematangan aspek
perkembangan anak, yaitu seperti perkembangan kemampuan fisik, kognitif, bahasa, sosio-emosional,
konsep diri, displin, kemandirian, seni, moral, dan nilai-nilai agama. Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional No. 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa aspek yang perlu dikembangkan dalam PAUD adalah
aspek pengembangan perilaku pembiasaan seperti sosial, emosi, kemandirian, nam, bahasa, kognitif, seni,
dan fisik motorik (Republik Indonesia, 2003).
Data di Indonesia memperkirakan jumlah balita mencapai 30% dari 259 juta jiwa penduduk
indonesia pada tahun 2011. Sedangkan menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) nasional pada
tahun 2012, diperkirakan jumlah balita yang sulit untuk mengontrol buang air besar dan buang air kecil
di usia sampai prasekolah mencapai 75 juta anak. Sedgkan penelitian Pambudi yang dikutip oleh
Himawati (2016) menyebutkan 50% jumlah anak usia 1,5–2 tahun tidak melakukan latihan buang air
besar dan buang air kecil dengan baik. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di PAUD
Kartika Pradana Malang terhadap 15 anak usia pra sekolah, didapatkan 30% anak yang berhasil dalam
toilet training, sedangkan 70% anak tidak berhasil dalam melakukan toilet training. Sepuluh anak tersebut
tidak berhasil dalam melalukan toilet training yaitu anak menggunakan diapers, anak masih meminta
bantuan pada saat membuka celana ketika ingin buang air kecil dan buang air besar, anak mengompol,
anak tidak memberi tahu jika diapersnya kotor atau basah.
3

Penelitian ini mengutamakan tentang menggunakan pendekatan metode Toilet


Training. Toilet Training merupakan program pelatihan bantu diri bagi anak usia dini
dalam melakukan buang air kecil (BAK). Beberapa penelitian telah dilakukan
sebelumnya dengan membahas tentang pentingnya metode toilet training dalam
mengatasi kebiasaan enuresis atau mengompol pada anak usia dini.
Peneliti memilih PAUD Kartika Pradana karena lembaga ini merupakan lembaga
pendidikan yang baru diresmikan pada Tanggal 19 Januari 20015. PAUD Kartika
Pradana memberikan 3 program layanan pendidikan yaitu (1) Taman Penitipan Anak; (2)
Kelompok Bermain; dan (3) Taman Kanak-Kanak. PAUD Kartika Pradana menyediakan
berbagai fasilitas permainan outdoor, indoor, kolam renang, dan teknologi pembelajaran
terkini yang dikemas dalam gedung sekolah yang serasa di dalam rumah sendiri.
Berdasarkan hal tersebut, strategi sekolah dalam memberdayakan masyarakat sangat
diperlukan sekolah dalam meningkatkan animo masyarakat terhadap program kegiatan
sekolah.
Penelitian ini lebih mengarah pada objek penelitian yaitu murid dan guru.
Penelitian ini memaparkan data tentang keunggulan nilai sopan santun dalam
pembelajaran kuttab awwal 1 A dan strategi guru yang digunakan dalam
mengembangkan nilai sopan santun. Perbedaan dengan penelitian lain yaitu penelitian
lain lebih membahas tentang lembaga Kuttab. Penelitian lain ini seperti penelitian yang
dilakukan oleh M. Mukhlis Fahruddin, yang berjudul: Kuttab: Madrasah Pada
Masa Awal (Umayyah) Pendidikan Islam. Memaparkan data tentang sistem
pendidikan Islam model Kuttab di Kuttab Al-Fatih Malang dan relevansinya
dengan pendidikan di Indonesia melalui penelitian, kontekstualisasi kuttab di
Indonesia pada masa kini, dan perkembangan dan transmisi lembaga kuttab
menjadi pondok pesantren, nggon ngaji atau TPA dengan mengadopsi sistem
pendidikan kuttab.

METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif.
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dengan menggunakan
teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Murid Kuttab Al-Fatih berkisaran antara
usia 5-12 tahun. Peneliti mengambil kelas kuttab awwal 1 A karena murid yang berada di
kelas tersebut berusia 5-6 tahun. Penelitian dimulai pada 3 Maret 2020 sampai 13 Maret
2020 dengan menggunakan teknik observasi. Peneliti menggunakan teknik wawancara
4

responden kepala sekolah, guru pembelajaran Al-Qur’an dan guru pembelajaran Iman,
koordinasi kurikulum Al-Qur’an dan koordinasi kurikulum Iman, dan semua orangtua
murid kuttab awwal 1 A. Peneliti juga menggunakan dokumentasi berupa foto yang
berhubungan dengan nilai sopan santun.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penelitian tentang keunggulan nilai sopan santun perilaku murid kuttab awwal 1
A saat pembelajaran menyebutkan bahwa para peserta didik senantitiasa didorong untuk
harus mampu mengikuti adab-adab dalam menuntut ilmu dengan tempat duduk anak
tidak dicampur, jadi tempat duduk anak laki-laki berada di depan dan anak perempuan di
belakang. Murid memiliki adab yang baik ketika berdo’a dengan mengangkat kedua
tangan sedada. Murid di dalam majelis ilmu memiliki ilmunya bagaimana duduk sila atau
timpuh dengan tenang, sikap sopan santun di dalam majelis ilmu ini iyalah tidak
selonjoran, tidak tidur-tiduran, tidak pindah dari tempat duduk. Murid memiliki perkataan
yang baik, dengan tidak mengeluarkan perkataan yang kasar dan kotor. Penelitian tentang
perilaku saat istirahat menyebutkan bahwa murid bisa membiasakan diri untuk mengantri
dengan baik. Murid mampu duduk melingkar dengan tenang sebelum makan bersama.
Murid mampu memiliki adab makan dan minum yang baik, dengan memakai tangan
kanan. Penelitian tentang perilaku seusai pembelajaran menyebutkan bahwa murid duduk
sila atau timpuh dengan tenang saat persiapan pulang. Murid untuk mengakhiri
pembelajaran harus tidak ramai, tidak bercanda, tidak ngobrol, dan tidak menjahili teman.
Murid memiliki adab ketika berdo’a seusai pembelajaran, dengan cara mengangkat kedua
tangan. Murid mampu mengantri mengambil tas, mengantri mengambil tas tanpa dorong-
dorongan, dan mengantri keluar kelas dengan baik.
Temuan ini sejalan dengan pendapat dari Djuwita (2017: 29) sopan santun berarti
hormat, dengan menggunakan adab yang baik. Sedangkan santun berarti halus dan baik
(budi bahasanya dan tingkah lakunya). Sama halnya pendapat dari Antoro (dalam
Djuwita, 2017: 28) sopan santun merupakan sebagai perilaku individu yang menjunjung
tinggi nilai menghormati, menghargai, tidak sombong, dan berakhlak mulia. Sama halnya
juga pendapat dari Djahiri (dalam Rumbiani dkk, 2017) sopan santun merupakan
ekspresi dari sikap rendah, sopan santun adalah sikap yang diekspresikan dalam perilaku
dan cara berpikir dalam integritas pribadi dalam konsistensi perilaku.
Penelitian tentang ucapan murid kuttab awwal 1 A saat pembelajaran
menyebutkan bahwa murid ketika bertemu dengan saudara sesama muslim selalu
memberi salam yaitu dengan teman, guru, maupun orang lain. Murid juga memberi salam
5

saat masuk ke dalam kelas. Murid sebelum makan dan minum selalu membaca
basmallah. Murid sesudah makan dan minum selalu mengucapkan hamdallah. Semua
murid memiliki sopan santun di dalam majelis ilmu dengan tidak mengeluarkan
perkataan keras (ramai) atau kasar atau kotor, tidak bercanda, ngobrol, dan menjahili
teman. . Murid memiliki sopan santun kepada teman dan guru ketika berbuat kesalahan,
maka harus meminta maaf. Sebagian besar murid mampu mengucapkan terima kasih
ketika diberi sesuatu barang oleh orang lain terutama saat kudapan. Sebagian besar murid
mampu mengucapkan tolong apabila menginginkan bantuan. Temuan lain didapatkan
sebagian besar murid mampu mengucapkan minta, apabila ingin makanan atau minuman
milik temannya.
Temuan ini sejalan dengan pendapat dari Antoro (dalam Djuwita, 2017)
menyatakan bahwa perwujudan perilaku sopan santun adalah perilaku yang menghormati
orang lain melalui komunikasi menggunakan bahasa yang tidak meremehkan atau
merendahkan orang lain. Sama halnya dengan pendapat dari Sari (2000) sopan santun
verbal merupakan sopan santun perilaku dengan menggunakan bahasa, dengan artian
sopan santun berbahasa seperti sopan santun berbicara, beterima kasih, meminta maaf,
dan lain sebagainya.
Penelitian tentang berpakaian murid kuttab awwal 1 A saat pembelajaran
menyebutkan bahwa murid laki-laki dan perempuan mampu memakai pakaian yang baik,
seperti berpakaian tidak kotor, tidak robek, dan rapi. Murid laki-laki mampu memakai
kopyah dengan rapi, memakai baju yang sopan dengan lengan panjang atau lengan
pendek sesiku, dan memakai celana panjang atau jubah panjang. Murid perempuan
memakai kerudung panjang, memakai baju lengan panjang, dan memakai rok panjang.
Temuan ini sejalan dengan pendapat dari buku Jilbab Al Mar'ah Al Muslimah fil
Kitabi wa Sunnah oleh Syaikh Al Albany (dalam Habibah, 2014) menyatakan bahwa
menutup aurat dan menutupi seluruh tubuh selain yang dikecualikan syariat. Aurat lelaki
menurut ahli hukum ialah dari pusat hingga ke lutut. Aurat wanita ialah seluruh anggota
badan, kecuali wajah, telapak tangan dan telapak kaki. Sama halnya dengan pendapat dari
Habibah (2014) yang menyatakan bahwa akhlak terbagi menjadi 2, diantaranya akhlak
mahmudah (akhlak terpuji) contohnya: menutup aurat.
Kuttab Al-Fatih dalam mengembangkan nilai sopan santun dalam pembelajaran
dengan menguatkan karakteristik guru pendidik. Guru hanya mengharapkan Ridha Allah
dalam mengajar memberikan ilmu dan mengamalkannya, tidak megharapkan imbalan
yang lebih. Guru selalu bersikap jujur, guru melakukan kejujuran pada setiap tindakannya
agar mendapatkan kepercayaan murid terhadap ilmu sopan santun yang diberikan
6

olehnya. Guru selalu komitmen atau tidak berubah dalam berucap dan bertindak, seperti
guru memberi tahu pada murid agar makan dengan menggunakan tangan kanan, maka
guru harus makan dengan tangan kanan juga. Guru memiliki akhlak karimah, guru tidak
berkata keras dan kasar, tidak berhati kasar, melainkan guru yang bertutur kata lemah-
lembut, bertoleransi, dan penyayang. Guru memiliki kerendahan hati, sehingga murid
tidak canggung ketika bertanya atau berdialog dengan guru. Guru menciptakan nuansa
keakraban dengan murid, guru melakukan dialog dan bercanda dengan murid. Guru
sabar, ketika murid aktif sehingga tidak melaksanakan nilai sopan santun di dalam
majelis ilmu. Guru memiliki tutur kata baik dengan tidak mencela, menghina, atau
merendahkan murid. Guru tidak egois, jika murid berbuat kesalahan guru tidak langsung
menghukum murid, tetapi memberi teguran terlebih dahulu.
Temuan ini sejalan dengan pendapat dari Fuad (2018) yang menyatakan bahwa
seorang pendidik harus memiliki karakteristik seorang pendidik. Karakteristik yang harus
dimiliki seorang pendidik, yaitu: (1) mengharap ridha Allah SWT, (2) jujur, (3)
komitmen dalam ucapan dan tindakan, (4) adil dan egaliter (sama atau tidak ada
perbedaan), (5) berakhlak karimah, (6) rendah hati (tawadhu), (7) berani, (8) menciptakan
nuansa keakraban, (9) sabar, (10) baik dalam tutur kata, dan (11) tidak egois. Sama
halnya dengan pendapat dari Toguan (2019) yang menyatakan bahwa seorang pendidik
harus memiliki karakteristik seorang pendidik, yaitu: (1) berdedikasi terhadap ilmu, (2)
memiliki sifat yang suci.
Guru kuttab awwal 1 A dalam mendidik perlu menguatkan kesadaran akan
peranan dan kewajiban sebagai seorang pendidik, yaitu: guru menanamkan akidah yang
kuat dengan menanamkan keimanan kepada Allah SWT dengan menceritakan kisah-kisah
para nabi. Guru ramah dalam mendidik, sehingga menciptakan kedekatan antara guru dan
murid. Guru selalu mengucapkan salam sebelum dan sesudah mengajar, dengan tujuan
membiasakan mengucapkan salam ketika bertemu murid dan sebaliknya murid juga
terbiasa mengucapkan salam kepada guru ketika bertemu. Guru memberikan sanksi
dengan persetujuan semua murid terlabih dahulu, dengan diberi batasan berapa kali untuk
melanggar, sehingga guru memberikan sanksi tersebut dengan bijaksana dan tidak sesuai
dengan kehendak dirinya sendiri. Guru mendidik dengan melatih diri untuk disiplin
berperilaku baik, guru ketika bertemu murid selalu membiasakan berperilaku sopan.
Temuan ini sejalan dengan pendapat dari Fuad (2018) yang menyatakan bahwa
seorang pendidik dalam mengajar perlu menguatkan kesadaran akan peranan dan
kewajiban sebagai pendidik. Peranan dan kewajiban sebagai pendidik yaitu: (1)
menanamkan akidah yang kuat bagi anak didik, (2) ramah dalam mendidik, (3)
7

mengucapkan salam sebelum dan sesudah mengajar, (4) memberlakukan sanksi dengan
bijaksana. Sama halnya dengan pendapat dari Juabdin (2015) yang menyatakan bahwa
peran dan kewajiban seorang pendidik yaitu dengan cara mendidik. Dalam mendidik
bermakna: (1) melatih mendisiplinkan diri berperilaku sopan santun, (2) melakukan
pertemuan harus berperilaku sopan, dan (3) memperbaiki perilaku sopan santun murid
dengan menanamkan nilai sopan santun.
Guru guna mengambangkan nilai sopan santun guru memerlukan strategi
pembelajaran kreatif, yaitu strategi pembelajaran berbasis perkembangan. Strategi
pembelajaran ini untuk mengembangkan anak secara holistik, maksudnya strategi ini
untuk memusatkan cara berpikir murid secara menyeluruh, sehingga mempengaruhi
perilaku sopan santun murid dengan cara pembiasaan. Guru menggunakan program
individual, dengan guru membedakan pemahaman yang berbeda-beda dalam penguatan
nilai sopan santun sesuai karakteristik murid. Strategi berbasis perkembangan
mementingkan inisiatif anak, agar murid memiliki kemampuan untuk memutuskan
perilaku sopan santun yang benar tanpa diberi tahu terlebih dahulu. Strategi berbasis
perkembangan ini bersifat fleksibel, pembelajaran dilakukan di dalam kelas maupun di
luar kelas agar perilaku sopan santun tidak dilakukan di dalam kelas saja. Kurikulum
terpadu, di dalam kurikulum ini dapat memberikan pemahaman bahwa nilai sopan santun
dapat diperoleh dari pengalaman langsung anak. Guru menggunakan penilaian
berkesinambungan, jadi nilai sopan santun selalu guru ajarkan dalam setiap materi
pembelajaran. Guru bermitra dengan orangtua, guru bekerjasama dengan orangtua agar
nilai sopan santun selalu diaplikasikan murid. Guru memberi keteladanan yang baik, guru
menjadi idola sehingga nilai sopan santun guru mudah ditiru oleh murid.
Temuan ini sejalan dengan pendapat dari Mulyasa (2017) yang menyatakan
bahwa dengan implementasi perkembangan berbasis perkembangan dapat
mengembangkan nilai sopan santun dengan menekankan pada hal-hal sebagai berikut: (a)
perkembangan anak secara holistik, (b) program individual, (c) pentingnya inisiatif anak,
(d) fleksibel, ketika lingkungan kelas menstimulasi anak, (e) kurikulum
terpadu,esinambungan, dan (f) bermitra dengan orang tua serta masyarakat untuk
mendukung perkembangan anak usia dini. Sama halnya dengan pendapat dari Inawati
(2017) yang menyatakan bahwa strategi pengembangan nilai sopan santun dapat
dilakukan dengan memberi keteladanan yang baik, dengan menjadi idola bagi anak
didiknya.
Guru menggunakan strategi pembelajaran berbasis kerja sama. Strategi
pembelajaran ini digunakan agar bisa bekerja sama dengan orang tua atau wali murid..
8

Peran orang tua dalam penanaman nilai sopan santun, yaitu: memberi keteladanan kepada
anak, memberi contoh berupa teladan berupa perilaku baik, mengucapkan perkataan yang
baik, dan memakai pakaian sesuai dengan kaidah Islam. Menjadikan rumah sebagai
taman ilmu, orang tua saat membiasakan anak untuk berperilaku sopan santun dengan
menjadikan rumah sebagai tempat untuk penanaman nilai sopan santun. Orang tua
menghindari emosi negatif kepada anak, agar nilai sopan santun dapat cepat tertanam
pada diri anak. Orang tua membiasakan anak untuk selalu berdo’a sebelum dan sesudah
melakukan suatu kegiatan. Guru menggunakan strategi kerja sama kemitraan efektif, agar
orang tua membentuk kepribadian anak dengan menggunakan nilai sopan santun.
Temuan ini sejalan dengan pendapat dari Mulyasa (2017) yang menyatakan
bahwa strategi pembelajaran strategi kerja sama sangat efektif untuk pengembangan nilai
sopan santun. Kiat-kiat yang orang tua harus dilakukan, yaitu: (a) memberikan
keteladanan kepada anak, (b) menjadikan rumah sebagai taman ilmu, (c) hindari emosi
negatif kepada anak, dan (d) membiasakan anak untuk selalu berdo’a sebelum dan
sesudah melakukan suatu kegiatan. Sama halnya dengan pendapat dari Lendrum (2003)
yang menyatakan bahwa kerjasama kemitraan efektif sangat mendukung keberhasilan
sekolah dan pendapat dari Bell (1997) yang menyatakan bahwa kemitraan efektif yang
kuat sekolah dengan orang tua, dengan berlandaskan kepercayaan dan tujuan bersama
adalah faktor yang membawa keberhasilan lembaga dalam membetuk karakter siswa
(Suriansyah & Aslamiah, 2015).
Guru menggunakan strategi pembelajaran berbasis bercerita. Strategi ini
dilakukan dengan menceritakan cerita kisah para nabi dan rasul yang memiliki unsur nilai
sopan santun atau perilaku yang baik. Guru memanfaatkan kegiatan bercerita untuk
menanamkan nilai sopan santun pada anak. Guru dalam kegiatan bercerita dapat
memberikan sejumlah nilai sopan santun yang dapat ditiru. Guru menggunakan strategi
bercerita dapat memberikan pengalaman belajar untuk mendengarkan apa saja nilai sopan
santun yang terkandung dalam cerita. Guru dalam kegiatan bercerita menyampaikan
cerita dengan efektif dapat mempengaruhi perilaku sopan santun murid guna membangun
konsep diri yang positif.
Temuan ini sejalan dengan pendapat dari Masitoh, dkk (dalam Mulyasa, 2017)
yang menyatakan bahwa strategi pembelajaran melalui bercerita, yaitu manfaat
pembelajaran melalui bercerita sebagai berikut: (a) bagi anak yang mendengarkan cerita
yang menarik dan cerita itu dekat dengan lingkungannya merupakan kegiatan yang
mengasyikkan dan juga dapat menanamkan nilai keagamaan (nilai sopan santun), (b)
guru dapat memanfaatkan kegiatan bercerita untuk menanamkan nilai-nilai positif atau
9

nilai sopan santun pada anak, (c) kegiatan bercerita juga memberikan sejumlah nilai-nilai
moral, seperti nilai sopan santun (d) pembelajaran dengan bercerita memberikan
pengalaman belajar untuk mendengarkan dengan baik. Sama halnya dengan pendapat dari
Azzet (dalam Nurjanah, 2017) yang menyatakan bahwa apabila bercerita disampaikan
dengan efektif cerita bias mempengaruhi perilaku anak tersebut. Kekuatan cerita dapat
tergali melalui serangkaian kegiatan yang mengarahkan anak untuk melakukan perilaku
berkarakter dan menanamkan konsep diri yang positif.
Guru menggunakan strategi pembelajaran berbasis kreativitas, dengan murid
menceritakan kembali kisah yang penuh nilai sopan santun yang sudah disampaikan oleh
guru pada kemarin hari, dengan tujuan agar murid memiliki rasa ingin tahuan nilai sopan
santun yang tinggi, sikap ingin mencoba, dan daya imajinasi mengenai ketauladanan
dalam menanamkan nilai sopan santun juga tinggi. Guru menggunakan strategi
pembelajaran kreativitas diharapkan murid mampu menceritakan kembali kisah-kisah
tauladan, tetapi hanya sebagian kecil murid bisa melakukan cerita ulang.
Temuan ini sejalan dengan pendapat dari Mulyasa (2017) yang menyatakan
bahwa strategi pembelajaran berbasis kreativitas, yaitu rasa ingin tahuannya yang tinggi,
sikap ingin mencoba, dan daya imajinasinya juga tinggi. Kemampuan kreativitas seperti
melalui kegiatan mendongeng, menceritakan kembali kisah yang telah didengarkan, serta
menceritakan kembali apa yang sudah anak dengar. Sama halnya dengan pendapat dari
Riyani (2019) yang menyatakan bahwa salah satu strategi yang bisa digunakan guru
dalam melatih perilaku sopan santun adalah dengan memberikan gambaran-gambaran
perilaku santun dengan memberikan gambaran-gambaran perilaku sopan santun dengan
cerita kisah-kisah tauladan. Kemudian murid menceritakan kembali cerita berbagai kisah-
kisah yang berhubungan dengan kehidupan individu yang dapat dijadikan contoh
pengalaman bagi anak usia dini.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa fokus penelitian pertama adalah nilai sopan santun yang diunggulkan dalam
pembelajaran di kuttab awwal 1 A, bahwa nilai sopan santun yang dikembangkan oleh
guru adalah nilai sopan santun dalam pembelajaran dimana nilai sopan santun ini
diajarkan dengan melalui cara mengajarkan sikap duduk yang tenang, mengucapkan
ucapan yang baik serta membiasakan mengucapkan salam, dan memakai pakaian yang
sopan sesuai kaidah Islam. Strategi yang digunakan oleh pendidik dilaksanakan melalui
beberapa strategi, yaitu strategi yang menguatkan karakteristik sebagai seorang pendidik,
10

menguatkan kesadaran akan peranan dan kewajibannya sebagai seorang pendidik,


menggunakan strategi berbasis pengembangan, strategi berbasis kerja sama, strategi
berbasis bercerita, dan strategi pembelajaran berbasis kreativitas.

DAFTAR RUJUKAN

Djuwita, Puspita. 2017. Pembinaan Etika Sopan Santun Peserta Didik Kelas V Melalui
Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Di Sekolah Dasar Nomor 45 Kota
Bengkulu. Bengkulu: Universitas Bengkulu
Fuad. 2018. Quantum Teaching: 38 Langkah Belajar Mengajar IESQ Cara Nabi Sallahu
Alaihi Wassalam. Jakarta: Zikrul Hakim (Annngota IKAPI)
Habibah, Syarifah. 2014. Sopan Santun Berpakaian Dalam Islam. Jurnal Persona Dasar,
Vol. 2, No. 3, (Online), (http://www.jurnal.unsyiah.ac.id), diakses 23 September
2020
Inawati, Isti. 2017. Strategi Pengembangan Moral dan Nilai Agama Untuk Anak Usia
Dini. Vol.3, No.1. Jurnal Pendidikan Anak: Yogyakarta
Juabdin, Heru Sada. 2015. Pendidik Dalam Perspektif Al-Qur’an. Volume 6. Lampung:
IAIN Raden Intan Lampung
Lestari, Anik. 2014. Pengaruh Penggunaan Media VCD Terhadap Nilai-nilai Agama dan
Moral Anak. Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, Vol. 8 No. 2, (Online),
Masnipal. 2018. Menjadi Guru PAUD Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
(https://scholar.google.co.id/scholar?
hl=id&q=jurnal+perkembangan+nilai+agamadan+moral&oq=ju), di akses 26
Desember 2019
Mulyasa. 2017. Strategi Pembelajaran PAUD. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Noorlaila, Iva. 2010. Panduan Lengkap Mengajar PAUD. Yogyakarta: Pinus Book
Publisher
Nurjanah, Siti. 2018. Perkembangan Nilai Agama Dan Moral (STTPA Tercapai).
Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Putri, Dewi. 2008. Perilaku Sopan Santun. Jakarta: Rineka Cipta
Suriansyah & Aslamiah. 2015. Strategi Kepemimpinan Kepala Sekolah, Guru, Orang
Tua, Dan Masyarakat Dalam Membentuk Karakter Siswa. Kalimantan:
Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
Toguan, Muhammad. 2019. Karakteristik Pendidik Menurut Qs. Maryam: 12-15.
Sumatera: Pascasarjana UIN Sumatera Utara
11

Undang-Undang RI No.20 Tahun 2003 tentang Peraturan Menteri Pendidikan Nasional.


2009. (Online), (http://www.paud.id), diakses 25 Desember 2019

Anda mungkin juga menyukai