Anda di halaman 1dari 34

ESP-Environmental Support Programme Danida

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)

Tanya Jawab Mengenai KLHS

Sambutan Deputi MENLH Bidang Tata Lingkungan


Boleh dikatakan sebagian besar aparatur pemerintah di pusat dan daerah otonom, kalangan perusahaan, akademisi dan pegiat lingkungan telah akrab dengan istilah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Begitu terkenalnya AMDAL sehingga ada yang menafsirkan pengelolaan lingkungan hidup identik dengan AMDAL. Padahal spektrum pengelolaan lingkungan hidup yang berkembang saat ini demikian luas dan beraneka. Ada yang bertujuan untuk merespon isu lingkungan global seperti pemanasan bumi, penipisan ozon, dan keanekaragaman hayati yang menuntut kerjasama global. Ada pula yang bertujuan untuk merespon banjir, pencemaran sungai, pesisir dan laut yang kesemuanya menuntut kerjasama antar kabupaten dan propinsi. Selain itu ada pula instrumen pengelolaan lingkungan yang khusus diaplikasikan pada tataran proyek atau entitas organisasi (perusahaan atau badan pemerintah), seperti Audit Lingkungan, Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001, Produksi Bersih, dan lain sebagainya (AMDAL termasuk dalam kelompok ini). (KLHS). Buku Tanya Jawab Mengenai KLHS ini disusun untuk mereka yang belum dan ingin mengetahui lebih jauh tentang KLHS. Di dalam buku ini selain dimuat tanya jawab tentang pengertian, tujuan dan lingkup KLHS, juga dimuat tentang kelembagaan KLHS. Sehingga melalui buku ini para pembaca diharapkan dapat memperoleh pemahaman tentang sosok KLHS sekaligus perbedaannya dengan AMDAL yang telah lama dikenal. Buku ini dapat hadir di tengah-tengah kita berkat diselenggarakannya Environmental Support Programme Phase (ESP) 1, suatu proyek kerjasama antara Danish International Development Agency [DANIDA], Pemerintah Kerajaan Denmark, dengan Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH). Sehingga bukan suatu yang berlebihan terima kasih dan penghargaan mendalam disampaikan kepada DANIDA yang telah memfasilitasi pengembangan konsep dan uji coba KLHS di Indonesia. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Tim Konsultan yang telah bekerja keras memformulasikan KLHS untuk konteks Indonesia. Akhir kata semoga buku ini dapat menjadi tempat semai yang baik bagi tumbuh dan menguatnya kelembagaan KLHS di Indonesia di masa mendatang. Dalam dekade terakhir bahkan, didorong oleh tuntutan keberlanjutan, di berbagai negara telah berkembang instrumen baru yang dikenal sebagai Kajian Lingkungan Hidup Strategis

Jakarta, Desember 2007

Ir. Hermien Roosita, MM Deputi MENLH Bidang Tata Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup

Kata Pengantar

Dalam beberapa tahun terakhir ini KLH berinisiatif mengembangkan aplikasi Kajian Lingkungan Hidup Strategik (KLHS) di Indonesia. Setelah dilakukan beberapa kajian pendahuluan dan digelar berbagai diskusi dan seminar, KLHS yang akan dikembangkan di Indonesia mulai menampakkan sosoknya. Sehingga disamping kami belajar memahami apa dan bagaimana KLHS kami juga dituntut untuk sekaligus mengembangkan KLHS di Indonesia. Satu hal penting dan menarik kami peroleh dari proses tersebut adalah saling komplemen antara KLHS dan AMDAL. Bila AMDAL tampil sebagai kelembagaan yang mekanistik dan prosedural, KLHS tampil sebagai instrumen yang non-linier. AMDAL di aras proyek atau hilir dari proses perencanaan pembangunan, KLHS di aras kebijakan, rencana, program atau hulu. AMDAL bersifat spesifik lokasi, dalam dan rinci, sementara KLHS cenderung umum, lebar dan tidak terlampau rinci. AMDAL untuk menilai kelayakan lingkungan proyek pembangunan, sementara KLHS untuk menghasilkan kebijakan, rencana atau program pembangunan yang bermuatan lingkungan hidup. Hal-hal yang kami paparkan diatas merupakan sebagian dari informasi yang dapat diperoleh dari buku Tanya Jawab Mengenai KLHS. Melalui format tanya-jawab di dalam buku ini dapat diketahui lebih jauh tentang apa, mengapa dan bagaimana KLHS. Sehingga definisi, tujuan, aplikasi KLHS dalam Perencanaan Pembangunan Nasional dan penataan ruang, juga dipaparkan dalam buku ini. Buku ini terbit berkat dukungan dari dan hasil kerjasama KLH dengan Pemerintah Kerajaan Denmark melalui Danish International Development Agency [DANIDA], Environmental Support Programme Phase 1. Untuk itu, kepada manajemen ESP 1 diucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya. Demikian pula kepada para pakar/konsultan yang terlibat dalam penyusunan buku ini diucapkan terima kasih dan penghargaan.

Jakarta, Desember 2007

Ir. Bambang Setyabudi, MURP Asisten Deputi Urusan Perencanaan Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup

Diterbitkan oleh Deputi Bidang Tata Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Gedung A, Lantai 4 Jalan D.I. Panjaitan Kav. 24 Kebun Nanas, Jakarta 13410 Telp/Faks. (021) 8590667 e-mail: renling@menlh.go.id Website: http:\\www.menlh.go.id

Pengarah Hermien Roosita (Kementerian Negara Lingkungan Hidup)

Ketua Pelaksana Bambang Setyabudi (Kementerian Negara Lingkungan Hidup)

Penyusun Atiek Koesrijanti, Laksmi Wijayanti (Kementerian Negara Lingkungan Hidup)

Editor Yenni Lisanova Chaterina, Widhi Handoyo, Teguh Irawan, Suhartono (Kementerian Negara Lingkungan Hidup)

Pendukung Arifin, Irine Nurhayati, Supriyadi, Yusnimar, Satriajaya, Nana (Kementerian Negara Lingkungan Hidup) M. Putrawidjaja, Pritha Wibisono, Devi Widianto

Grafis Fililo

Apresiasi Ucapan terimakasih disampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu penyusunan dan penerbitan buku ini, antara lain: Soeryo Adiwibowo, Triarko Nurlambang, Esthi Noorsabri Danish International Development Agency (DANIDA) melalui Environmental Support Programme (ESP) Phase 1.

Glossary

AEMS (Adaptive Environmental Management System): Sebuah proses berkesinambungan dalam sistem manajemen lingkungan.

Kebijakan Publik: Suatu keputusan politik yang ditetapkan oleh pemerintah dan atau bersama dewan perwakilan rakyat di tingkat pusat maupun daerah sesuai dengan mekanisme peraturan perundangan yang berlaku untuk memenuhi kepentingan publik.

Musrenbang: Musyawarah Rencana Pembangunan, merupakan satu forum untuk membahas dan menetapkan usulan kegiatan pembangunan berikut anggarannya untuk tahun fiskal berjalan berikutnya, baik di tingkat pusat (Musrenbangnas) maupun daerah (Musrenbangda).

Partisipasi Publik: Suatu mekanisme keterlibatan publik dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik.

SEA (Strategic Environmental Assessment): Istilah internasional untuk Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).

Daftar Isi

Sambutan Deputi MENLH Bidang Tata Lingkungan.................................................................... 1 Kata Pengantar .................................................................................................................. 1 Glossary ........................................................................................................................... 5 1. Mengenai Dasar-Dasar Pengembangan KLHS .................................................................... 7 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 2. Apakah Definisi KLHS?............................................................................................ 7 Mengapa Perlu KLHS?............................................................................................. 9 Apakah Tujuan Dilakukannya KLHS? ......................................................................... 9 Apakah yang Disebut Sebagai Kepentingan Lingkungan Hidup? .................................... 10 Apa Perbedaan Antara KLHS Dengan AMDAL?............................................................ 11

KLHS dan Rencana Pembangunan Nasional...................................................................... 12 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 Bagaimana Pelembagaan KLHS Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional? ....... 12 Bagaimana Aplikasi KLHS Dalam Perencanaan Pembangunan Nasional? ......................... 15 Metode Apa yang Tepat Untuk Mengaplikasikan KLHS? ............................................... 19 Bagaimana Langkah-langkah yang Ditempuh Dalam Mengaplikasikan KLHS? .................. 21 Pendekatan Apa yang Dapat Digunakan? .................................................................. 23

3.

KLHS dalam Perencanaan Tata Ruang............................................................................. 26 3.1 3.2 Apakah Urgensi Lingkungan Hidup Dalam Penataan Ruang? ......................................... 26 Pertanyaan-pertanyaan Keberlanjutan ..................................................................... 27

4.

Kapasitas Kelembagaan dan Sumberdaya Manusia Untuk Pengembangan KLHS ..................... 32

1. Mengenai Dasar-Dasar Pengembangan KLHS

Sudah banyak kebijakan publik, laporan resmi dari berbagai instansi pemerintah pusat maupun daerah, hasil penelitian, kajian, dan observasi oleh lembaga penelitian, perguruan tinggi, maupun konsultan serta lembaga swadaya masyarakat nasional dan internasional yang secara umum menyampaikan semakin terpuruknya kondisi sumberdaya alam dan lingkungan hidup Indonesia, setidak-tidaknya dalam dua dekade terakhir. Upaya riel juga telah banyak dilakukan, namun sifat dan pelaksanaannya masih parsial. Kondisi ini menunjukkan urgensi dilakukannya pemikiran ulang dan tindakan nyata yang lebih baik, lebih tepat, dan lebih berdampak positif luas, atau dengan kata lain, lebih strategis demi keberlangsungan hidup dalam jangka waktu yang panjang. Terlebih lagi jika ditilik kembali dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU No. 25 tahun 2004), yang menitikberatkan pembangunan nasional pada pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan. Pemikiran strategis ini diperlukan dan telah semakin mendesak untuk merumuskan kebijakan dan kualitas pembangunan yang mampu menjaga keberlangsungan manfaat sumberdaya alam dan lingkungan hidup, demi perbaikan kehidupan bangsa Indonesia. Sehubungan dengan hal itu, pemerintah Indonesia telah mengenal satu konsep pemikiran yang dapat memfasilitasi dan meningkatkan mutu proses perumusan kebijakan, rencana, dan program, khususnya yang terkait dengan pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan, yaitu Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau yang juga dikenal sebagai Strategic Environmental Assessment (SEA). Konsep ini telah diimplementasikan secara efektif di negara-negara Eropa, sebagian negara-negara di benua Afrika, Asia, dan Amerika serta di Australia dan Selandia Baru. Sebagian besar dari mereka bahkan menerapkannya sebagai directive ataupun mandatory policy. Pembelajaran dari negara-negara maju maupun sedang berkembang tersebut tentu dapat menjadi inspirasi dan terobosan bagi pemerintah Indonesia, untuk mendorong penerapan KLHS ini sebagai kunci pokok keberhasilan pembangunan nasional dan daerah di Indonesia.

1.1

Apakah Definisi KLHS?

Definisi KLHS yang secara umum dirujuk oleh sebagian besar pengguna KLHS adalah sebagai berikut: Suatu proses sistematis dan komprehensif untuk mengevaluasi dampak lingkungan, pertimbangan sosial dan ekonomi, serta prospek keberlanjutan dari usulan kebijakan, rencana, atau program pembangunan.

Dalam perkembangannya, konsep KLHS telah mengalami beberapa kali penyesuaian berkaitan dengan dinamika pembangunan berikut aktivitas rielnya pada tingkat operasional, sehingga perkembangan terakhirnya adalah seperti yang digambarkan secara skematis sebagai berikut:

Evolusi paradigma dan definisi KLHS

KLHS sebagaimana yang umum diaplikasikan (EIA Mainframe)

KLHS untuk keberlanjutan pengelolaan SDA

KLHS terpadu

sebagai untuk

kajian jaminan

keberlanjutan

Menelaah rencana, atau

dampak program

Plus

telaah

dampak kelimpahan dan

Plus telaah secara terpadu

lingkungan dari kebijakan, dengan orientasi analisis yang mirip AMDAL

terhadap

sumber daya alam, jasa lingkungan, konservasi.

terhadap jaminan

prospek

dan

keberlanjutan

pembangunan

Operasionalisasi dari definisi tersebut dalam konteks pemanfaatannya bagi perumusan kebijakan pembangunan adalah: Apapun definisi KLHS yang akan dikonstruksikan, definisi tersebut tidak harus eksklusif, tidak harus menjadi rujukan tunggal, dan tidak harus menegasikan definisi lain yang kemungkinan akan timbul dan dikonstruksikan oleh para akademisi, praktisi, atau institusi tertentu.

Definisi KLHS setidaknya perlu mengandung 4 komponen: 1. Diselenggarakan pada tahap awal perumusan kebijakan, rencana, dan program (KRP); 2. Menelaah dampak lingkungan dari KRP; 3. Mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi; 4. Mempertimbangkan aspek keberlanjutan.

Sejalan dengan sifat pembangunan wilayah, perlu dipahami bahwa pengambilan kebijakan pembangunan merupakan sebuah proses yang bersifat siklis, yang selalu menyediakan peluang untuk mengkaji kembali kebijakan yang telah berjalan, dan dimungkinkan untuk melakukan revisi agar lebih realistis, terkait dengan tuntutan internal dan eksternal yang muncul. Selain itu, sebagai

kajian strategis maka KLHS adalah payung yang memberikan arah atau rujukan strategis bagi pelaksanaan AMDAL pada tataran proyek dalam pelaksanaan pembangunan.

1.2

Mengapa Perlu KLHS?

Dalam konteks pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan sebagaimana diamanatkan dalam UU SPPN, KLHS menjadi kerangka integratif untuk: Meningkatkan manfaat pembangunan. Menjamin keberlanjutan rencana dan implementasi pembangunan. Membantu menangani permasalahan lintas batas dan lintas sektor, baik di tingkat kabupaten, provinsi maupun antarnegara (jika diperlukan) dan kemudian menjadi acuan dasar bagi proses penentuan kebijakan, perumusan strategi, dan rancangan program. Mengurangi kemungkinan kekeliruan dalam membuat prakiraan/prediksi pada awal proses perencanaan kebijakan, rencana, atau program pembangunan. Memungkinkan antisipasi dini secara lebih efektif terhadap dampak negatif lingkungan di tingkat proyek pembangunan, karena pertimbangan lingkungan telah dikaji sejak awal tahap formulasi kebijakan, rencana, atau program pembangunan.

1.3

Apakah Tujuan Dilakukannya KLHS?

Maksud

Tujuan Generik

Instrumental

Mengidentifikasikan

dampak

penting

lingkungan

dari

kebijakan,

rencana, dan program untuk proses pengambilan keputusan. Mengintegrasikan pertimbangan lingkungan ke dalam rencana, atau program. Transformatif Memperbaiki mutu dan proses formulasi kebijakan, rencana, dan program. Memfasilitasi proses pengambilan keputusan untuk menyeimbangkan tujuan pembangunan dalam konteks lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi. Substantif Meminimalisir potensi dampak penting negatif yang akan timbul sebagai akibat dari kebijakan rencana, atau program pembangunan (tingkat keberlanjutan lemah). kebijakan,

Melakukan langkah-langkah perlindungan yang tangguh (tingkat keberlanjutan moderat). Memelihara potensi sumberdaya alam dan daya dukung air, udara, tanah, dan ekosistem (tingkat keberlanjutan moderat sampai tinggi).

1.4

Apakah yang Disebut Sebagai Kepentingan Lingkungan Hidup?

Pada prinsipnya, yang dinamakan sebagai kepentingan lingkungan hidup dalam pembangunan adalah ketergantungan (interdependency), keberlanjutan (sustainability), dan keadilan sosial-ekonomi (socio-economic justice), sebagaimana dijabarkan lebih lanjut di bawah ini. Prinsip I: Pertimbangan keterkaitan/ketergantungan (interdependency). Menunjukkan sejauhmana tingkat partisipasi pemangku kepentingan dalam proses perencanaan tata ruang. Misalnya, kejelasan mekanisme, prosedur, dan kewenangan dalam hubungan kerja antar sektor; kesetaraan dalam proses pengambilan keputusan antar sektor; kejelasan hubungan kerja antar seluruh kelembagaan (formal dan non-formal) pemangku kepentingan; dan kesetaraan dalam proses pengambilan keputusan antar pemangku kepentingan. Kejelasan dalam menggunakan pendekatan ekosistem (misalnya ekosistem daerah aliran sungai, pulau kecil dan ekosistem khas lainnya); keterkaitan antara rencana tata ruang nasional, provinsi dan kabupaten/kota, terutama antar wilayah kabupaten/kota dalam satu daerah aliran sungai. Prinsip II: Dalam penyusunan perencanaan tata ruang harus mempertimbangkan prinsip-prinsip keberlanjutan (untuk memudahkan pemahaman tentang daya lenting/resiliensi). Menunjukkan sejauhmana faktorfaktor pendukung keberlanjutan, seperti faktor daya dukung dan daya tampung LH serta faktor kemampuan pulih kembali menjadi dasar perencanaan tata ruang. Selain faktor-faktor tersebut, prinsip-prinsip keberlanjutan juga menekankan pentingnya kesadaran bahwa alokasi ruang/lahan harus mempertimbangkan timbulnya dampak penting terhadap LH/ekosistem. Misalnya, dilakukannya analisis daya dukung dan daya tampung LH; evaluasi kesesuaian dan kemampuan lahan sebelum menetapkan alokasi ruang. Prinsip III: Keadilan sosial dan ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) (socio-economic justice). Mencegah timbulnya penataan ruang yang berakibat pada marjinalisasi dan kemiskinan akibat ketidakadilan dalam akses, pemanfaatan, penguasaan, dan pengendalian terhadap sumberdaya alam. Pertimbangan ini juga termasuk jaminan keadilan atas akses terhadap infrastruktur dasar dan informasi pemanfaatan SDA.

10

1.5

Apa Perbedaan Antara KLHS Dengan AMDAL?

KLHS merupakan bagian dari keseluruhan Kajian Lingkungan Hidup (Environmental Assessments), yang dalam konteks proses pengambilan kebijakan pembangunan, dimanfaatkan mulai dari perumusan kebijakan, perencanaan, dan program. Tipikal kajiannya dapat berupa kajian terhadap aspek kebijakan, aspek regional, aspek programatik, maupun aspek sektoral. Sementara itu pada tahap proyek, kajian lingkungan hidup dilaksanakan dengan menggunakan metode AMDAL. Cakupan dari KLHS dalam tahapan pengambilan keputusan dapat dilihat dalam skema di bawah ini:

Relung Aplikasi Kajian Analisis Lingkungan


Kebijakan Rencana Program Proyek

KAJIAN ANALISIS LINGKUNGAN

Kajian Lingkungan Hidup Strategik (KLHS) KLHS Kebijakan KLHS Tata Ruang KLHS Sektor AMDAL

KLHS Regional / Program

Partidario (2000, 2003)

Dari gambaran di atas, jelas bahwa KLHS ini ada pada tataran konsep sampai dengan program. Dengan kata lain, pelaksana KLHS adalah lembaga yang bertugas untuk menyusun kebijakan, rencana, dan program. Demikian pula, sumberdaya yang dibutuhkan adalah yang memiliki kualifikasi untuk dapat merumuskan konsep dan strategi yang bersifat makro, sistemik serta mencakup daerah kajian yang lebih luas. Oleh karena itu, dibutuhkan satu lembaga berikut sumberdaya manusianya yang mampu menangani suatu fenomena yang tingkat kerumitannya cukup tinggi, karena mencakup interrelasi seluruh kegiatan dalam satu daerah kajian.

11

2. KLHS dan Rencana Pembangunan Nasional

2.1

Bagaimana Pelembagaan KLHS Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan

Nasional?

Kebijakan pembangunan nasional Indonesia pada prinsipnya harus mengacu pada UU Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang memayungi segala turunan operasional perencanaan pembangunan, baik yang bersifat sektoral (diatur dalam Peraturan Presiden RI Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009), maupun pengaturan alokasi peruntukannya di satu lokasi (diatur dalam UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Kerangka penyelenggaraan pelaksanaan kegiatan pembangunan pada prinsipnya diatur dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan UU tentang Perimbangan Keuangan Daerah. Hal-hal pokok dalam UU SPPN yang terkait dengan penerapan konsep KLHS adalah sebagaimana dijelaskan di bawah ini. Definisi yang relevan dengan konsep KLHS, sebagaimana dijelaskan dalam Bab 1: Ketentuan Umum, pasal 1, adalah sebagai berikut: Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia. Pembangunan nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah. Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode perencanaan. Misi adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan visi. Strategi adalah langkah-langkah berisikan program-program indikatif untuk mewujudkan visi dan misi. Kebijakan adalah arah/tindakan yang diambil oleh pemerintah pusat/daerah untuk mencapai tujuan pembangunan. Program adalah instrumen kebijakan yang berisikan satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah/lembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran, atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi pemerintah.

12

Lembaga adalah organisasi non-Kementerian Negara dan instansi lain pengguna anggaran negara, yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.

Pada Bab 2 pasal 2 dalam UU SPPN disebutkan bahwa tujuan pembangunan nasional memiliki azasazas sebagai berikut: 1. Diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan nasional. 2. Disusun secara sistematis, terarah, terpadu, menyeluruh, dan tanggap terhadap perubahan. 3. Diselenggarakan berdasarkan azas umum penyelenggaraan negara. 4. Bertujuan untuk: mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan; menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi antar daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antar pusat dan daerah; menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan menjamin tercapainya penggunaan sumberdaya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Alur proses penyusunan perencanaan, dikaitkan dengan garis besar mekanisme anggaran

pembangunan secara kelembagaan, yang ditetapkan dalam UU SPPN dan diatur tata caranya dalam Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 2006, dapat dilihat pada skema sebagai berikut:

13

Alur Perencanaan dan Anggaran Pembangunan Nasional


Visi, misi, program Presiden dijabarkan RenstraKL pedoman pedoman RenjaKL pedoman

RKA-KL

Rincian APBN

Pemerintah Pusat

acuan dijabarkan

RPJP Nasional acuan

pedoman

RPJM Nasional

RKP

pedoman

RAPBN

APBN

diperhatikan Pedoman dijabarkan RPJM Daerah pedoman

Diserasikan melalui Musrenbang pedoman RKP Daerah acuan pedoman

RPJP Daerah

Pemerintah Daerah

RAPBD

APBD

dijabarkan Visi, Misi, Program Kepala Daerah Renstra SKPD

Renja SKPD

pedoman

RKASKPD

Rincian APBD

UU SPPN UU KN

Keterangan: RPJP RPJM RKP Renstra Renja RKA KL SKPD APBN RAPBN APBD RAPBD UU SPPN UU KN : Rencana Pembangunan Jangka Panjang : Rencana Pembangunan Jangka Menengah : Rencana Kerja Pemerintah : Rencana Strategis : Rencana Kerja : Rencana Kerja Anggaran : Kementerian/Lembaga : Satuan Kerja Perangkat Daerah : Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara : Rencana Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara : Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah : Rencana Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah : Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional : Undang-Undang Keuangan Negara

Selanjutnya, kegiatan pembangunan yang telah ditetapkan melalui mekanisme yang digambarkan dalam skema di atas direalisasikan dalam proses alokasi tempat kegiatan pembangunan, yang pengaturannya mengacu pada UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Kedudukan dan peran

14

KLHS dalam kedua sistem perencanaan yaitu sektoral dan ruang dan dalam konteks kelembagaan dapat diilustrasikan seperti di bawah ini.

Perenc. Pemb. Nasional BAPPENAS Perenc. Sektor Nasional BKTRN DPU Perencanaan Ruang Nasional Tata KLHS SEKTOR DDN

Nasional

KLH

Perenc. Pemb. Provinsi Perenc. Sektor Provinsi Perencanaan Ruang Provinsi Tata

BAPPEDA BKTRD KLHS DPU/TARKIM DINAS

Provinsi BAPEDALDA

Perenc. Pemb. Kab/Kota Perenc. Sektor Kab/Kota Perenc. Tata Ruang Kabupaten/Kota KLHS BAPPEDA

Kab/Kota BAPEDALDA BKTRD DINAS

2.2

Bagaimana Aplikasi KLHS Dalam Perencanaan Pembangunan Nasional?

Seperti yang dijelaskan pada Bab 1 dan sub-Bab 2.1 di atas, maka KLHS seyogyanya dilakukan pada setiap awal proses penyusunan perencanaan pembangunan. Dilihat dari mekanisme perencanaan pembangunan nasional yang bersifat siklis dalam pengambilan keputusan, maka KLHS ini diterapkan secara dini pada saat disusun RPJP Nasional, yang kemudian akan dijadikan acuan dalam menyusun pedoman bagi penyusunan RPJM Nasional, dan selanjutnya dijadikan perhatian dalam penyusunan RPJM di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Di sinilah letak perbedaan aplikasi KLHS dengan AMDAL, yang lebih lengkapnya terlihat dalam tabel di bawah ini:
Atribut Posisi AMDAL Akhir siklus pengambilan KLHS Hulu siklus pengambilan keputusan

15

keputusan Pendekatan Fokus Analisis Cenderung bersifat reaktif Identifikasi, prakiraan & evaluasi dampak lingkungan Dampak Kumulatif Amat terbatas Cenderung proaktif Evaluasi implikasi lingkungan dan pembangunan berkelanjutan Peringatan dini atas adanya dampak kumulatif Titik Berat Telaahan Mengendalikan dan meminimalisir dampak negatif Alternatif Kedalaman Terbatas jumlahnya Sempit, dalam, dan rinci Memelihara keseimbangan alam, dan pembangunan berkelanjutan Banyak alternatif Luas dan tidak terinci sebagai landasan untuk mengarahkan visi dan kerangka umum Deskripsi Proses Proses dideskripsikan dengan jelas, mempunyai awal dan akhir Proses multi-pihak dan tumpang tindih komponen, karena KRP merupakan proses iteratif dan kontinyu Fokus Pengendalian Dampak Menangani simptom kerusakan lingkungan Fokus pada agenda pembangunan berkelanjutan, terutama ditujukan untuk menelaah agenda keberlanjutan

Sumber: KLH, dokumen Kebijakan KLHS, 2007 Dari penerapan KLHS ini akan diperoleh Kebijakan RPJP yang lebih bermutu, yang dimaksud dengan bermutu di sini terutama didasarkan pada konteks untuk memenuhi prinsip pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan, dan arah pembangunan yang direfleksikan dalam azas-azas pembangunan nasional, seperti yang ditetapkan dalam Bab II UU SPPN sendiri. Sebagai catatan penting, perlu dipahami bahwa filosofi konsep aplikasi KLHS sendiri pada dasarnya adalah sejalan dengan azas-azas SPPN yang dimaksud.

16

Relung Aplikasi Kajian Analisis Lingkungan


Kebijakan Rencana Program Proyek

KAJIAN ANALISIS LINGKUNGAN

Kajian Lingkungan Hidup Strategik (KLHS) KLHS Kebijakan KLHS Tata Ruang KLHS Sektor AMDAL

KLHS Regional / Program

Partidario (2000, 2003)

Dari perspektif KLHS seperti yang dijelaskan secara skematis di atas, kajian dapat dilakukan untuk kepentingan perumusan kebijakan pembangunan, rancangan perencanaan, penetapan program pembangunan sektoral, dan peruntukannya di lokasi tertentu sesuai dengan konsep penataan ruang yang telah ditetapkan sebelumnya. Terintegrasinya KLHS dalam proses penyusunan strategi dan program pelaksanaannya dapat memberikan peluang kualitas kebijakan publik yang lebih bermutu, sehingga layak dan rasional untuk dijalankan dalam masa pembangunan yang akan datang. Menyadari bahwa RPJP telah menjadi UU yang harus ditaati oleh seluruh bangsa Indonesia, maka KLHS pun harus dapat diimplementasikan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusianya guna memenuhi amanat UU RPJP ini. Dalam UU No. 17 tahun 2007 tentang RPJP disebutkan bahwa masa pembangunan RPJP ini adalah dari tahun 2005 sampai dengan 2025 atau selama kurun waktu 20 tahun. Periode ini dibagi menjadi empat tahapan yang masing-masing tahapan disebut sebagai RPJM dengan periode 5 tahunan bagi masing-masing tahapan. Berikut ini adalah tabel yang menjelaskan prioritas utama dan hal-hal yang berkaitan dengan urusan pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup pada masing-masing periode RPJM.

Tahapan dan Prioritas RPJP (UU Nomor. 17 Tahun 2007)


Periode RPJM 2005 - 2009 Prioritas Prioritas Utama: menata kembali dan membangun Indonesia di segala bidang untuk menciptakan Indonesia yang aman dan damai, yang adil dan demokratis, dan yang tingkat kesejahteraan rakyat yang meningkat.

17

Relevansi dengan urusan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan: Meningkatkan kemampuan mitigasi bencana alam sesuai dengan kondisi geologi. Pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan didukung oleh meningkatnya kesadaran masyarakat mencintai lingkungan hidup. Untuk itu perlu peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM apalagi menyadari keadaan Indonesia yang rawan bencana, Rencana Tata Ruang merupakan payung kebijakan spasial tingkat nasional, provinsi dan kabupaten untuk segala sektor untuk mencegah kerusakan lingkungan hidup atau meminimalisasi dampak bencana. RPJM 2010 2014 Prioritas Utama: memantapkan penataan kembali Indonesia dengan penekanan pada upaya peningkatan kualitas SDM termasuk pengembangan kemampuan IPTEK serta penguatan daya saing perekonomian. Relevansi dengan urusan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan: Pencapaian pembangunan berkelanjutan, pengelolaan SDA dan pelestarian fungsi lingkungan hidup makin berkembang melalui penguatan kelembagaan dan peningkatan kesadaran masyarakat (partisipasi). Kualitas perencanaan tata ruang meningkat dan konsistensi pemanfaatan ruang serta pengendalian pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang RPJM 2015 - 2019 Prioritas Utama: untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan penekanan pada pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan SDA dan SDM. Relevansi dengan urusan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan: Pembangunan berkelanjutan semakin mantap dicerminkan dengan terjaganya daya dukung lingkungan dan kemampuan pemulihan untuk mendukung kualitas kehidupan sosial ekonomi secara serasi, seimbang dan lestari. Pengelolaan SDA semakin membaik diimbangi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup berkat dukungan peningkatan kesadaran sikap mental, dan perilaku masyarakat serta makin mantapnya kelembagaan dan kapasitas penataan ruang di Indonesia. RPJM 2020 - 2024 Prioritas Utama: masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang dengan menekankan terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif di berbagai wilayah yang didukung oleh SDM yang berkualitas dan berdaya saing. Relevansi dengan urusan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan: Untuk memantapkan pembangunan berkelanjutan, keanekaragaman hayati dan kekhasan SDA terus terpelihara dan dimanfaatkan untuk terus mempertahankan nilai tambah dan daya saing bangsa serta meningkatkan modal pembangunan nasional pada masa mendatang.

Memahami situasi saat ini (tahun 2007/2008) yang masih dalam periode pelaksanaan RPJM 2004 2009, maka untuk berikutnya KLHS dapat diterapkan dalam evaluasi RPJP dan penyusunan RPJM

18

periode berikutnya, tahun 2009 2014. Demikian pula untuk periode-periode selanjutnya. Proses evaluasi RPJP dan penyusunan RPJM 2009 2014 dilaksanakan dalam forum Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang).

2.3

Metode Apa yang Tepat Untuk Mengaplikasikan KLHS?

Dalam

perkembangannya,

metode

aplikasi

KLHS

yang

digunakan

dapat

dilakukan dengan

menggabungkan berbagai teknik kajian secara terbuka (disebut sebagai family of tools ataupun one concept multiple forms) dan disesuaikan dengan variasi problematika riel kondisi di masing-masing wilayah pembangunan, baik dari sisi substansi pembangunan maupun kapasitas kelembagaan penyelenggara pembangunan yang tersedia. Dalam rangka mempertahankan mutu, maka kebijakan, perencanaan, dan program pembangunan yang dihasilkan hendaknya memenuhi standar prinsip KLHS dan kriteria KLHS, seperti yang telah dijelaskan dalam dokumen Kebijakan KLHS (lihat buku seri publikasi KLH untuk KLHS, Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan: Naskah Kebijakan KLHS). Dari beberapa pengalaman dan kajian terhadap perumusan RKP, khususnya untuk pengembangan wilayah seperti RTRWN ataupun RTRWD, secara kualitatif dapat dikatakan masih ada sejumlah butir prinsip KLHS yang harus diperhatikan, untuk secara seksama dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai dasar pembangunan berkelanjutan (keterkaitan, keberlanjutan, dan keadilan sosialekonomi). Adapun catatan kualitatif yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Prinsip

Catatan Belum secara definitif ditetapkan siapa yang akan dilayani dan isu atau kebutuhan apa yang dianggap penting. Tujuan dirumuskan secara normatif ketimbang realistis sejalan

Sesuai kebutuhan

Berorientasi pada tujuan

dengan keinginan konstituen yang akan dilayani. Rumusan normatif inipun sering kali tidak mengacu pada dasar rumusan pembangunan nasional (lebih pada semata-mata entitas parsial atau lokal). Masih ada ketimpangan pemahaman antara keberlanjutan ekonomi dan keberlanjutan ekologi. Kepentingan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur masih

Didorong motif keberlanjutan

Lingkup yang komprehensif

mendominasi, sementara aspek atau bidang pembangunan yang lain menjadi semacam prasyarat atau ikutan. Kalau SPPN dan/atau RPJP jadi acuan sebagaimana ditetapkan

Relevan dengan kebijakan

mekanismenya, maka baru produk-produk kebijakan terbatas saja yang mengacu suprastruktur tersebut. Ini mungkin dapat terjadi

19

Prinsip

Catatan karena RPJPnya pun baru diundangkan pada tahun 2007 sementara RPJMnya tahun 2004. Sementara, jika berpijak pada relevansi terhadap keinginan politis konstituen di masing-masing daerah atau bidang juga belum teruji betul. Masih dilaksanakan secara parsial kepentingan bidang pembangunan walau sudah ada media untuk integratif pada mekanisme Musrenbang(da) atau pada tingkat awal proses penetapan hukum di

Terpadu

Dewan Perwakilan Rakyat (Daerah). Inilah konsekuensi dari mekanisme pendanaan yang masih didominasi oleh dekonsentrasi (per bidang pembangunan). Lebih meninjau cash-flow daripada portofolio. Sudah mulai ada gejala menuju tuntutan transparansi melalui

Transparan

mekanisme politik kelembagaan (fungsi Dewan), namun instrumen pengukuran transparansi masih harus dirumuskan secara sederhana dan mudah dipahami seluruh konstituen. Tidak mudah melaksanakan mekanisme partisipatif yang menyeluruh

Partisipatif

selama kapasitas masyarakat berikut lembaga representatifnya dan kelembagaan pemerintah masih terbatas kemampuan konseptualisasi dan teknisnya. Akuntabilitas yang dapat dilaksanakan baru sebatas akuntabilitas keuangan negara, belum sampai pada akuntabilitas publik. Masih terbatas pada pertimbangan kajian tahun fiskal daripada rencana jangka menengah, apalagi jangka panjang.

Akuntabel

Efektif-biaya

Sebagai catatan, prioritas pembangunan bagi pengentasan kemiskinan ini selaras dengan program Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yaitu Millenium Development Goals (MDGs), yang disepakati sebagai komitmen untuk dicapai pada tahun 2015. Dalam MDGs disebutkan bahwa pengentasan kemiskinan merupakan urutan pertama dari delapan tujuan pembangunan dunia, dimana Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk melaksanakan program ini. Agar program ini dapat diimplementasikan secara efektif, Sekretaris Jenderal PBB membuat suatu pernyataan:

"We will have time to reach the Millennium Development Goals worldwide and in most, or even all, individual countries but only if we break with business as usual . We cannot win overnight. Success will require sustained action across the entire decade between now and the deadline. It takes time to train the teachers, nurses and engineers; to build the roads, schools and hospitals; to grow the small and large businesses able to create the jobs and income needed. So we must start now. And we must

20

more than double global development assistance over the next few years. Nothing less will help to achieve the Goals." Sekretaris Jenderal PBB, 2005

Dari pernyataan Sekretaris Jenderal PBB di atas, dapat diinterpretasikan bahwa dibutuhkan waktu untuk melaksanakan proses pencapai tujuan pembangunan ini sampai tahun 2015. Masih ada waktu atau kesempatan untuk melaksanakannya, tetapi harus ada upaya melakukan suatu terobosan pelaksanaan, yang berbeda dari yang dijalankan selama ini. Untuk itu diperlukan upaya terus menerus mulai dari saat ini sampai dengan tahun 2015 sebagai batas waktu, dan melibatkan berbagai pihak pemangku jabatan (stakeholders). Pada kondisi ini penerapan konsep KLHS menjadi relevan untuk dapat memberikan jaminan lebih bagi tercapainya perumusan Kebijakan, Perencanaan, dan Program pembangunan yang lebih bermutu serta lebih dapat mengawal pencapaian tujuan dan target pembangunan. Sebagai satu negara yang memiliki keunikan (secara geografis, kependudukan, dan manajemen kepemerintahan ataupun politik), maka Indonesia memerlukan satu rumusan kebijakan yang spesifik. Sesama negara berkembang, misalnya Ghana yang juga menetapkan pengentasan kemiskinan sebagai prioritas utama, pembangunannya memiliki lima tema strategis pengentasan kemiskinan seperti yang dirumuskan dalam Buku Pegangan bagi penerapan KLHSnya. Sementara itu, Indonesia merumuskan sebelas tema atau fokus, dimana satu tema merupakan target yang ingin dicapai dan sepuluh lainnya merupakan sasaran utama strategi. Sebagai prioritas utama program pembangunan, tentu dapat dikatakan bahwa pengentasan kemiskinan menjadi setara dengan kebijakan yang bersifat mandatory, khususnya bagi semua instansi pemerintah berikut komponennya yang terkait langsung dengan urusan kemiskinan ini.

2.4

Bagaimana Langkah-langkah yang Ditempuh Dalam Mengaplikasikan KLHS?

Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab II bahwa KLHS diterapkan melalui pendekatan sustainable appraisal, dan mengingat saat ini sudah berada dalam proses peralihan untuk memasuki tahapan pembangunan kedua, maka langkah-langkah yang dilakukan secara berurutan adalah sebagai berikut: a. Penilaian awal yang harus dilakukan terhadap kebijakan, RKP, dan pelaksanaannya lebih merupakan proses monitoring dan evaluasi; b. Kemudian ditindaklanjuti dengan penilaian secara terpadu dampaknya terhadap lingkungan dan SDA; c. Penilaian akhir yang mengkaji keterikatan, relevansi, dan konsistensi terhadap visi, misi, tujuan, sasaran pokok dan rencana strategis pembangunan dilihat dari perspektif

21

kepentingan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan, dimana proses penilaian akhir ini menghasilkan satu rekomendasi bagi kebijakan, perencanaan dan program pembangunan berikutnya. Untuk menjaga konsistensi mutu dari penilaian di atas maka prinsip, kriteria perfoma, dan nilai dasar dari aplikasi konsep KLHS harus tetap diterapkan sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini.

Prinsip Sesuai kebutuhan

Catatan Sudah tepat dan sesuai dengan harapan sebagian besar masyarakat Indonesia.

Berorientasi pada tujuan

Tujuan perlu dirumuskan secara lebih realistis dan konstruktif sehingga operasionalisasinya lebih terarah dan konsisten serta tetap mengacu pada tujuan dan kebijakan pembangunan nasional.

Didorong motif keberlanjutan

Penyesuaian terhadap keseimbangan (counter-balance) bagi kepentingan keberlanjutan ekologis perlu lebih dipertegas secara operasional.

Lingkup yang komprehensif

Sudah komprehensif hanya belum dijelaskan hubungan dinamika sistemiknya.

Relevan dengan kebijakan

Secara prinsip sudah relevan dan konsisten dengan arah kebijakan dalam SPPN dan/atau RPJP.

Terpadu

Perlu dijelaskan dinamika hubungan sistemik di antara aspekaspek dan komponen urusan kemiskinan, agar lebih mudah diterjemahkan dalam konteks koordinasi kelembagaannya.

Transparan

Sudah mulai ada gejala menuju tuntutan transparansi melalui mekanisme politik kelembagaan (fungsi Dewan), namun instrumen pengukuran transparansi masih harus dirumuskan secara sederhana dan mudah dipahami seluruh konstituen.

Partisipatif

Tidak mudah melaksanakan mekanisme partisipatif yang menyeluruh, selama kapasitas masyarakat berikut lembaga representatifnya dan lembaga pemerintahan masih terbatas kemampuan konseptualisasi dan teknisnya. Ada kecenderungan lapis masyarakat miskin masih termarjinalisasi secara budaya, sosial, ekonomi, dan politis.

Akuntabel

Sebagai kebijakan publik maka pertanggungjawaban publik harus lebih diutamakan, bukan hanya akuntabilitas keuangan negara.

22

Prinsip Efektif-biaya

Catatan Masih terbatas pada pertimbangan kajian tahun fiskal daripada rencana jangka menengah, apalagi jangka panjang mengikuti skenario tahapan pembangunan

Adapun perbedaan dengan penerapan bagi pembangunan nasional keseluruhan, cakupan kriteria pada pembangunan sektoral ini lebih rinci dan beragam. Namun demikian, harmonisasi di antara kriteria tetap dijaga agar tetap dihasilkan satu kesatuan penilaian dalam konteks pembangunan nasional. Penerapan KLHS bagi pembangunan sektoral harus lebih rinci dan beragam karena tataran penilaian yang lebih spesifik dan lebih pada tingkat operasional. Secara teknis kriteria ini dapat dibangun pada saat dilakukan penapisan dan pelingkupan dalam proses tahapan penilaian awal tadi. Mengikuti proses penyusunan RKP dan penyusunan anggaran negara, maka waktu yang tersedia bagi KLHS ini diperkirakan paling lama adalah tiga bulan dan sebaiknya lebih cepat, mengingat masih diperlukan proses integrasi dengan sektor lain untuk kemudian diintegrasikan lebih lanjut dalam satu kesatuan konsep perencanaan pembangunan nasional.

2.5

Pendekatan Apa yang Dapat Digunakan?

Pendekatan penerapan KLHS yang diperlukan setidaknya adalah kajian terpadu (sustainability appraisal) dimana expert dan public judgement menjadi bagian yang tidak terpisahkan, apalagi RKP adalah satu kebijakan publik. Kajian terpadu ini dapat terwujud melalui forum Musrenbang dan debat atau diskusi di Dewan Perwakilan Rakyat (Daerah). Di sinilah kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia sangat menentukan tingkat kelayakan proses dan mutu hasil rumusan kebijakan, rencana sampai dengan pelaksanaan program pembangunan yang integratif antar kepentingan lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas kepentingan stakeholders (konstituen). Aplikasi KLHS sebagai instrumen dapat memfasilitasi bahkan mengawal pengembangan proses integrasi ini. Instrumen ini harus dikembangkan sendiri sesuai dengan kondisi dan sumberdaya yang tersedia, atau dengan kata lain harus dikembangkan instrumen atau tools KLHS yang tailor-made. Syarat pokok dari tailor-made ini adalah terwujudnya harmonisasi kriteria dan metode kajian yang diterapkan, dimana keterlibatan expert dan publik menjadi syarat pokok sebelum dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh para birokrat dan politisi. Harmonisasi yang dimaksud memiliki struktur hirarkis sejalan dengan tingkat kebijakan yang akan dirumuskan. Ilustrasi dari tingkat harmonisasi kriteria adalah sebagai berikut:

23

Rencana Nasional

Rencana Sektoral

Semakin sederhana
Rencana Daerah

dan pokok

Proyek

Cakupan Kriteria

Mengacu pada RPJP, yang selanjutnya diterjemahkan dalam RPJM, maka pada tahun 2005 2009 kriteria pada tingkat nasional harus mengandung aspek-aspek yang terkait dengan prioritas pembangunan berkelanjutan berbasis kepentingan lingkungan hidup, yang terdiri dari: Meningkatkan kemampuan mitigasi bencana alam sesuai dengan kondisi geologi. Kriteria kunci: kemampuan mitigasi. Pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan didukung oleh meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mencintai lingkungan hidup. Kriteria kunci: pengendalian dan kesadaran masyarakat. Perlu peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM, terutama menyadari keadaan Indonesia yang rawan bencana. Kriteria kunci: peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM. Rencana Tata Ruang merupakan payung kebijakan spasial tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten untuk segala sektor guna mencegah kerusakan lingkungan hidup atau meminimalisasi dampak bencana. Kriteria kunci: payung kebijakan spasial.

Pada dasarnya, kriteria ini harus dimaknai sebagai faktor kritis, yaitu faktor yang jika tidak dipenuhi akan memberikan dampak negatif terhadap proses maupun hasil pelaksanaan pembangunannya. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam membangun kriteria yang operasional diperlukan syarat sebagai berikut: a. Tersedianya data, informasi dan pengetahuan yang memadai untuk dikaji, terutama untuk kepentingan kajian keberlanjutan. b. Adanya partisipasi publik (stakeholders atau konstituen); dapat diperoleh melalui mekanisme debat yang terstruktur antara publik dan pemerintah.

24

c.

Aspek atau komponen kriteria yang ditetapkan merupakan hasil kajian atau kesepakatan dalam debat tadi.

Proses penerapan KLHS ini dirumuskan dalam satu dokumen pedoman (guideline) yang memuat penjelasan di bawah ini: Kontekstualitas isu bagi kepentingan tujuan, strategi, dan prioritas pembangunan (nasional). Kelayakan bagi kepentingan pencapaian pembangunan jangka panjang dan tentunya termasuk jangka menengah, ditinjau dari sisi substansi pembangunan, kapasitas kelembagaan, termasuk kapasitas pengelolaan (manajemen) dan SDM. Evaluasi terhadap relevansinya dengan kebijakan pembangunan yang berlaku. Membangun metode kajian dan indikator, serta memprediksi kemungkinan hasil penerapan program pembangunan. Membangun alternatif sejalan dengan dinamika perubahan pada masa depan. Merumuskan lingkup mitigasi yang realistis sesuai dengan kondisi lingkungan hidup dan ketersediaan sumberdaya alam, serta sumberdaya manusia. Merumuskan metode monitoring dan evaluasi.

25

3. KLHS dalam Perencanaan Tata Ruang

Proses penyusunan panduan implementasi KLHS dalam penataan ruang wilayah dilakukan dengan menyiapkan makalah kerja (working paper) berjudul: Integrasi Kepentingan Lingkungan dalam Perencanaan Tata Ruang: Implementasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis. Makalah kerja ini disusun berdasarkan hasil studi tentang Penerapan KLHS dalam Perencanaan Tata Ruang yang merupakan kerjasama antara Kementerian Negara Lingkungan Hidup dengan Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran pada tahun 2006. Sebagai tindak lanjut studi ini, Kementerian Negara Lingkungan Hidup bekerjasama dengan DANIDA melalui proyek ESP-1 SEA, pada tahun 2007 menyiapkan panduan implementasi KLHS dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi. Alasan pemilihan implementasi KLHS pada tingkat provinsi dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa permasalahan lingkungan hidup umumnya bersifat lintas wilayah (dalam hal ini antar wilayah kabupaten/kota), dan oleh pertimbangan menguatnya kepentingan parsial masing-masing kabupaten/kota dalam penataan ruang, sehingga diperlukan intervensi pemerintah provinsi dengan mengacu pada UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Laporan ini menunjukkan proses penyempurnaan substansi panduan implementasi KLHS dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP). Menyadari bahwa integrasi kepentingan Lingkungan Hidup (LH) dan/atau isu-isu pembangunan berkelanjutan dalam penataan ruang memerlukan kejelasan tentang makna kepentingan LH, maka proses penyempurnaan substansi panduan tersebut juga mendiskusikan dan merumuskan apa makna kepentingan LH yang harus dipertimbangkan dalam penataan ruang. Proses penyempurnaan substansi panduan implementasi KLHS dalam penataan ruang (RTRWP) dilakukan dengan menyelenggarakan lokakarya di lima Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional selama periode Juli September 2007. Lokakarya tersebut didahului dengan pengenalan instrumen pengelolaan LH, yaitu Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), kemudian dilanjutkan dengan diskusi penyempurnaan panduan.

3.1

Apakah Urgensi Lingkungan Hidup Dalam Penataan Ruang?

Setiap proses pembangunan diawali oleh perencanaan. Tahap berikutnya adalah mengalokasikan pembangunan tersebut di suatu wilayah, sehingga pada kondisi inilah diperlukan suatu mekanisme pengaturan penataan ruang. Memahami bahwa segala fenomena pembangunan yang memerlukan alokasi ruang ini mempunyai dampak sistemik, maka urusan ruang dapat dikatakan identik dengan urusan lingkungan hidup. Oleh karena itu, secara substansial penerapan konsep KLHS memiliki relevansi yang tinggi dengan pembangunan wilayah atau daerah, yang diatur dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Kondisi lintas sektor atau departemen di atas pada dasarnya telah

26

diakomodir dalam Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional dan Daerah sebagaimana terlihat pada skema di bawah ini.

TIM TEKNIS BKTRN Keppres 62/2000

(8 Menteri/LPND)

PRESIDEN

POKJA

(3 Pokja)
Laporan setiap 3 (tiga) bulan

Fungsional

(Melalui Mendagri) Sekretaris (Sekretariat )

GUBERNUR

Kep. Gubernur

BKPRD PROVINSI

POKJA

(2 Pokja)
Laporan setiap 4 (empat) bulan (Tembusan Kepada Mendagri)

Fungsional

BUPATI/ WALIKOTA

Kep. Bupati/Walikota

BKPRD KABUPATEN/KO TA Sekretaris (Sekretariat )

POKJA

(2 Pokja)

Sumber: Depdagri, bahan presentasi, 2007

3.2

Pertanyaan-pertanyaan Keberlanjutan

Berikut ini ditunjukkan pertanyaan-pertanyaan keberlanjutan (sustainability questions) sesuai dengan langkah-langkah intervensi KLHS dalam proses penyusunan RTRWP. Masing-masing pertanyaan diajukan sesuai dengan konteks ketiga tahapan dalam perencanaan tata ruang yang diacu dalam RTRWP, yaitu Tahap Review RTRW (Laporan Pendahuluan), Tahap Analisis (Buku Data dan Analisis), dan Tahap Konsepsi Rencana (Buku Rencana). Pertanyaan-pertanyaan tersebut di bawah ini mengacu pada ketiga prinsip kepentingan LH, yaitu ketergantungan (interdependency), keberlanjutan (sustainability), dan keadilan sosial-ekonomi (socio-economic justice). Jumlah dan bentuk pertanyaan dapat berbeda tergantung pada karakteristik, kepentingan, dan kebutuhan masing-masing daerah (provinsi). Demikian pula, karena sifatnya yang dinamis, maka pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat bertambah dan berkurang sesuai kebutuhan/aspirasi/kepentingan.

27

Prinsip I:

Dalam perencanaan tata ruang harus mempertimbangkan keterkaitan/ketergantungan (interdependency).

Sejauhmana tingkat partisipasi pemangku kepentingan (stakeholders) dalam proses Kriteria pengambilan keputusan perencanaan tata ruang; kejelasan mekanisme, prosedur, dan kewenangan dalam hubungan kerja antarsektor, antarlembaga (formal dan non-formal), dan antarwilayah.

Daftar Pertanyaan Apakah data dasar dan potensi SDA daerah telah diidentifikasi secara menyeluruh?

Indikator Data dasar dan potensi SDA terdeskripsi dengan jelas dan dimanfaatkan dalam analisis perencanaan tata ruang

Apakah seluruh aspek yang akan dianalisis telah dideskripsikan dan dianalisis secara terintegrasi? Apakah kepentingan antarsektor, antarwilayah dan antarlembaga sudah dianalisis secara menyeluruh dan terintegrasi? (dalam analisis kebijakan dan strategi pengembangan dan analisis regional berdasarkan Kep. Men. Kimpraswil No. 327/2002) Apakah telah diidentifikasi batas-batas ekosistem (DAS, pulau kecil, lainnya) dalam penataan ruang?

Analisis integratif, misalnya menggunakan analisis SWOT Analisis sistem Analisis multi-kriteria

Pemetaan batas ekosistem (DAS, pulau kecil, atau ekosistem tertentu/khas) selain batas administrasi

Apakah partisipasi masyarakat dalam pengelolaan SDA yang dikuasai pemerintah telah dianalisis?

Pola pengelolaan SDA bersama masyarakat Pola pengelolaan SDA lain yang bersifat melibatkan masyarakat secara aktif

Apakah penyusunan RTRW Provinsi telah mempertimbangkan dan disesuaikan dengan RTRW Nasional?

Uraian dalam RTRWP yang menunjukkan diacunya RTRWN Tidak ada substansi yang bertentangan antara RTRWP dan RTRWN

Apakah mekanisme pemantauan dan evaluasi telah menentukan dengan jelas tanggung jawab dan wewenang masing-masing pemangku kepentingan lintas sektor dan lintas wilayah?

Dokumen pemantauan dan evaluasi (monev) implementasi RTRWP termasuk menunjukkan siapa, melakukan apa, kapan, dan di mana Mekanisme pelaksanaan monev termasuk

28

tindaklanjut hasil monev

Prinsip II:

Pertimbangan kaidah-kaidah keberlanjutan (sustainability).

Sejauhmana faktor-faktor penunjang keberlanjutan, antara lain daya dukung dan daya tampung LH serta faktor kemampuan sumberdaya alam untuk pulih kembali, menjadi Kriteria pertimbangan perencanaan tata ruang. Penekanan pentingnya prinsip kehati-hatian dalam alokasi dan pemanfaatan ruang melalui pertimbangan implikasi dampaknya terhadap ekosistem. Daftar Pertanyaan Apakah telah dilakukan analisis struktur dan fungsi lanskap (tata ruang) skala lokal dan regional? Apakah telah dilakukan identifikasi penyimpangan (ketidaksesuaian) pemanfaatan ruang? Bagaimana tindaklanjut terhadap penyimpangan pemanfaatan ruang? Indikator Hasil analisis struktur dan fungsi tata ruang wilayah provinsi Informasi bentuk dan lokasi penyimpangan pemanfaatan ruang Peta yang menunjukkan terjadinya penyimpangan Tindaklanjut/respons terhadap penyimpangan Apakah daerah rawan bencana telah dipetakan dan dipertimbangkan dalam penataan ruang? Pemetaan wilayah rawan bencana Perlakuan terhadap wilayah rawan bencana Pemetaan wilayah-wilayah khusus yang perlu perlindungan

Apakah wetland, cagar budaya/agama, dan keunikan lokal lainnya telah diidentifikasi dan dipertimbangkan dalam penataan ruang? Apakah dalam pemanfaatan ruang, misalnya penetapan pola kawasan budidaya (industri, pertanian, permukiman) telah dilakukan analisis daya dukung dan daya tampung lingkungan?

Hasil analisis daya dukung (air, lahan, lainnya) Hasil analisis daya tampung (limbah) Analisis kesesuaian dan kemampuan lahan Analisis neraca air

Apakah dalam penentuan sektor unggulan/andalan telah dilakukan valuasi ekonomi lingkungan? Apakah dalam pemanfaatan ruang telah memprakirakan dampak positif dan negatif penting? Apa dampaknya? Bagaimana mitigasi dampak negatif dilakukan?

Hasil valuasi ekonomi lingkungan terhadap penetapan sektor unggulan PDRB Hijau Informasi prakiraan dampak negatif penting Strategi mitigasi dampak negatif Strategi peningkatan dampak positif, khususnya yang bermanfaat bagi masyarakat

29

Apakah telah dilakukan konsultasi publik dalam perencanaan tata ruang? Dalam bentuk apa konsultasi publik dilakukan?

Hasil konsultasi publik Bentuk/cara konsultasi publik Siapa yang terlibat dalam konsultasi publik

Prinsip III:

Keadilan untuk mengakses, memanfaatkan dan mengendalikan sumberdaya alam, fasilitas pendidikan, dan fasilitas kesehatan.

Mencegah bertambahnya golongan penduduk miskin atau termarjinalisasinya sekelompok masyarakat tertentu, sebagai akibat dari penataan ruang yang menimbulkan: Kriteria (1) ketidakadilan dalam mengakses, memanfaatkan, dan mengendalikan

sumberdaya alam; dan/atau (2) ketidakberdayaan (powerlessness) pada sekelompok masyarakat untuk mengakses, memanfaatkan, dan mengendalikan sumberdaya alam, mutu lingkungan hidup, atau fasilitas pendidikan dan kesehatan yang lebih baik.

Daftar Pertanyaan Apakah terjadi kesenjangan pendapatan yang lebar antara penduduk perkotaan dan perdesaan di suatu wilayah? Bila Ya, telusuri apakah penyebabnya terkait dengan penataan ruang yang tidak adil? Apakah ada hak penguasaan sumberdaya alam (misalnya hak ulayat) yang telah ada dan menjadi bagian kehidupan suatu kelompok masyarakat (masyarakat hukum adat)?

Indikator Indeks Gini atau indikator lainnya yang menunjukkan sebaran jumlah penduduk di suatu wilayah menurut kelompok/kategori pendapatan (income) Struktur akses, pemanfaatan dan kontrol masyarakat atas sumberdaya alam tertentu (hutan, sungai, danau, dsb), yang merefleksikan hak de-facto penguasaan sumberdaya alam yang hidup di tengah-tengah masyarakat

Bila ada, bagaimana struktur akses, pemanfaatan, dan kontrol masyarakat tersebut terhadap sumberdaya alam?

Pemetaan partisipatif atas pola spasial akses dan kontrol masyarakat atas sumberdaya alam

Apakah hak de-facto penguasaan sumberdaya alam tersebut tumpang-tindih dengan de-jure penguasaan sumberdaya alam oleh negara (hutan lindung, hutan produksi, hutan konservasi)? Apakah hak de-facto penguasaan sumberdaya alam tersebut diakui atau memperoleh legitimasi dari

Struktur penguasaan sumberdaya alam oleh negara (hutan produksi, hutan lindung, hutan konservasi, tanah negara) di suatu wilayah

Pola persebaran spasial akses dan kontrol negara atas sumberdaya alam

30

pemerintah?

Apakah penetapan suatu ruang untuk peruntukan tertentu (a.l, kawasan wisata pantai) berpotensi menimbulkan marjinalisasi pada sekelompok masyarakat karena akses menjadi tertutup? Apakah lokasi-lokasi tertentu yang dipandang mempunyai nilai ekologi penting di mata masyarakat dan/atau mempunyai nilai-nilai sakral di mata masyarakat setempat, telah dipertimbangkan atau dilindungi dari perubahan peruntukan ruang?

Pemetaan persebaran spasial akses dan kontrol masyarakat atas sumberdaya alam terhadap rencana pengembangan ekonomi wilayah

Pemetaan partisipatif atas ruang hidup masyarakat yang dipandang penting untuk dilindungi dan dicegah dari gangguan perubahan (lokasi mata air, hutan larangan, makam sakral, cagar budaya)

31

4. Kapasitas

Kelembagaan

dan

Sumberdaya

Manusia

Untuk

Pengembangan KLHS

4.1

Mengapa Perlu Membangun Kapasitas?

Berdasarkan hasil-hasil sejumlah pertemuan dengan stakeholder pembangunan nasional dan daerah, yang dilaksanakan oleh KLH pada bulan Maret sampai Desember 2007 di sembilan kota besar yang merepresentasikan kawasan Indonesia Barat, Tengah, dan Timur, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) telah sampai pada taraf penting dan mendesak. Salah satu isu pokok yang urgen dalam konteks penerapan KLHS adalah perlunya segera dibangun kapasitas kelembagaan dan sumberdaya penggeraknya, khususnya sumberdaya manusia dalam merumuskan konsep sampai dengan operasionalisasinya. Sebagai sebuah pemikiran yang relatif baru dan bahkan secara praktikal belum resmi digunakan dalam proses pembangunan, sementara ini dapat diasumsikan bahwa kapasitas yang tersedia untuk melaksanakan KLHS masih sangat terbatas dibandingkan kebutuhannya, atau bahkan dapat dikatakan mulai dari posisi awal.

4.2

Bagaimana Pengembangan Kapasitas Tersebut Diupayakan?

Asumsi yang digunakan dalam konteks pelaksanaan penerapan konsep KLHS adalah posisi Kementerian Negara Lingkungan Hidup sebagai leading agency. Selain alasan relevansi, posisi Kementerian Negara Lingkungan Hidup juga dapat dipandang sebagai lembaga yang berfungsi untuk dapat berperan mengakomodir berbagai kepentingan dalam merealisasi perencanaan pembangunan di suatu wilayah atau daerah. Ada lima dimensi yang perlu menjadi perhatian atau dikaji dalam menyusun upaya peningkatan yaitu: a. Kondisi lingkungan kegiatan; terkait dengan dampak ekonomi, sosial, dan politik terhadap kegiatan dan performa lembaga bersangkutan yang tercakup dalam dinamika tersebut. b. Konteks lembaga sektor publik; menunjukkan kapasitas perhatian dan kepedulian publik yang dapat memfasilitasi ataupun menghambat lembaga yang bersangkutan untuk mencapai performa yang baik. Kedua butir di atas merupakan dimensi utama dalam pengembangan kapasitas kelembagaan untuk mencapai optimalisasi hasil pelaksanaan kebijakannya. Dimensi lainnya yang juga perlu mendapat perhatian dalam rangka peningkatan kapasitas adalah: c. Jaringan penugasan; seberapa jauh kemampuan lembaga yang bersangkutan memanfaatkan jaringan kerjasama dengan beberapa lembaga lain yang ada, sesuai dengan kebutuhan pemenuhan tugasnya. Interaksi jaringan ini dapat memfasilitasi ataupun menghambat performa lembaga yang bersangkutan.

32

d. Organisasi; fokus pada

struktur organisasi, proses

pengambilan keputusan internal,

sumberdaya yang dimiliki, dan gaya manajemen yang mempengaruhi bagaimana bakat dan ketrampilan individual dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan tugas-tugas. Dalam konteks tugas dan wewenang Kementerian Negara Lingkungan Hidup, perlu ada penetapan unit pada tingkat lini kedua (dalam hal ini adalah Deputi Menteri) yang ditugasi menerapkan konsep KLHS. e. Sumberdaya manusia; terkait dengan program pelatihan, rekrutmen, pemanfaatan dan retensi manajerial, profesionalitas, dan bakat teknis yang dapat disumbangkan bagi proses peningkatan performa lembaga. Kapasitas yang tinggi dari sumberdaya manusia yang dimiliki unit lini kedua (Deputi) pada Kementerian Negara Lingkungan Hidup dapat menunjukkan perwujudan kapasitas Kementerian, untuk secara internal dan eksternal mampu menerapkan konsep KLHS. Jika dikaitkan dengan penjelasan-penjelasan di atas, maka melalui sumberdaya manusia yang berkapasitas tinggi inilah, kebijakan KLHS nantinya dapat direalisasi secara terprogram dalam waktu yang lebih cepat dan tepat, dalam skala yang lebih luas (di kalangan pusat dan daerah).

Agar dapat lebih rinci merumuskan kapasitas yang dibutuhkan, maka diperlukan kajian yang lebih teknis dan rinci terhadap kondisi saat ini dan kebutuhan yang akan datang.

33

Anda mungkin juga menyukai