PENDAHULUAN
Isu perdamaian menjadi sangat penting untuk disuarakan di tengah situasi dunia
yang penuh dengan konflik, mulai dari konflik etnik, konflik agama, sampai konflik politik.
Semua konflik ini seringkali bermuara pada tindak kekerasan yang menimbulkan
penderitaan bagi banyak orang, terutama perempuan, anak dan lansia yang menjadi
kelompok rentan dalam masyarakat. Urgensi untuk terus mengusung isu perdamaian pun
dirasakan oleh gereja-gereja di seluruh dunia, sehingga dalam memilih tema Sidang Raya
Gereja-gereja Sedunia di Busan, Oktober 2013, Dewan Gereja Sedunia mengusung tema “
dan kekerasan dalam skala besar dan masif sifatnya. Oleh sebab itu, kita seringkali luput
memberi perhatian pada konflik dan kekerasan dalam skala kecil yang bersifat personal
dan sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, padahal bisa saja tindak kekerasan itu
sudah berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Tindak kekerasan berskala kecil yang
Maka, ketika mendalami tema Sidang Raya PGI ke-16 2014 “Dari Samudera Raya
Tuhan Mengangkat Kita Kembali,” saya merasa kita perlu untuk memberi perhatian pada
persoalan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Mengapa saya memberi perhatian pada
persoalan kekerasan dalam rumah tangga? Karena, menurut saya, ketika kita ingin
membangun dunia yang lebih damai, maka hal itu harus dimulai dari rumah tangga
keluarga sebagai perwujudan masyarakat (baca: dunia) terkecil. Korban kekerasan perlu
dikuatkan dan dibela sehingga dapat mengamini seruan ini, bahwa dari keadaan tanpa
harapan mereka dapat memiliki harapan. Dari keadaan yang dekat dengan kematian,
Mazmur 55: 1-24 merupakan ratapan pemazmur yang dikhianati oleh orang yang
dulunya adalah sahabatnya. Ia berdoa agar Allah menghukum orang yang melanggar
sumpah. Dengan demikian, Allah pun diakui sebagai pelindung orang tak bersalah.
Susunan yang lazim dari sebuah ratapan (A) terdapat disini: seruan kepada Allah (ay. 2);
doa untuk pembebasan diri dan penghukuman musuh (ay. 3,10,16); dramatisasi hidup dari
situasi menekan sehingga menantang rasa kehormatan Allah (ay. 4—9,11-15, 21,-22).
Kejahatan manusia dilihat oleh pemazmur sebagai contoh dari kejahatan misterius di dunia,
seperti kejahatan di jalan-jalan kota (ay. 11-12). Kenyataan itu menakutkan dan
mencemaskan mereka yang percaya kepada Allah. Seperti ratapan lain, pemazmur begitu
percaya kepada keselamatan Allah, sehingga ia dapat mengajak orang lain (ay. 23) dan
Ayat 13-15, 21-22 adalah bagian dari ratapan pemazmur yang menyuarakan suara
seorang yang dikhianati oleh orang terdekatnya, yakni orang yang sangat dia percayai.
rumah Allah. Dalam ayat 13, kita bisa meresapi perasaan pemazmur tentang betapa
menderitanya dia dikhianati oleh orang yang sangat dekat. Penderitaan itu tak
juga suara serta pengalaman para perempuan korban kekerasan dalam rumahtangga. ii
Ratapan pemazmur ini menggemakan suara para isteri yang mengalami tindak kekerasan
dari suami mereka; suara anak-anak perempuan yang mengalami tindak kekerasan dari
ayah, paman dan kakak lelaki mereka; suara perempuan korban perkosaan yang diperkosa
oleh orang-orang yang mereka kenal, seperti: guru, teman laki-laki, atau saudara laki-laki
yang dekat dengan mereka. Dalam ratapan pemazmur ini, bergema penderitaan yang tidak
tertanggungkan yang juga dialami oleh perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga.
Ratapan pemazmur adalah juga ratapan para perempuan korban kekerasan dalam
rumahtangga.
2
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
Kekerasan, pada dasarnya, adalah semua bentuk perilaku, baik verbal maupun non-
verbal, yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang terhadap seseorang atau
sekelompok orang lainnya sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional dan
psikologis terhadap orang yang menjadi sasarannya.iii Tindak kekerasan terjadi ketika
bentuk tindak kekerasan yang terjadi atas dasar perbedaan jenis kelamin yang
mengakibatkan atau akan mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan terhadap perempuan.
Bentuk kekerasan ini termasuk ancaman, paksaan, pembatasan kebebasan yang terjadi, baik
di area publik maupun di area domestik. iv Budaya patriarkhi yang melihat perempuan
sebagai obyek dan lebih rendah dari laki-laki mewujud dalam perilaku tindak kekerasan.
Anggapan bahwa tindak kekerasan dalam rumah tangga terjadi hanya pada
perempuan dari kelompok ekonomi dan pendidikan yang rendah adalah mitos belaka.
Fakta mengatakan bahwa semua perempuan dari segala lapisan umur, status sosial dan
tingkatan ekonomi dapat menjadi korban tindak kekerasan dalam rumah tangga karena
BR adalah seorang dokter di sebuah rumah sakit swasta di Cimahi, Jawa Barat. Ia memiliki
seorang suami yang juga bekerja sebagai dokter di dua rumah sakit, yaitu di Bogor dan di Cimahi.
Sejak awal menikah sikap buruk suaminya sudah mulai muncul, tetapi BR merasa ia masih dapat
toleran terhadap suaminya. Namun, pada tahun 2012, BR sudah tidak tahan lagi. Ia kemudian
melaporkan suaminya kepada Polisi dan melakukan gugatan cerai. Selama masa pernikahan itu, BR
Kisah lainnya saya dengar dari seorang psikiater yang bertugas di sebuah rumah
sakit swasta di Bandung. Dalam sebuah seminar tentang dampak psikilogis tindak
dampingannya, kita sebut saja Ibu A. Ia bekerja sebagai seorang polisi dengan pangkat yang
cukup tinggi. Ibu A ini memiliki seorang suami yang bekerja sebagai polisi juga. Ibu A
mulai berobat ke rumah sakit itu karena keluhan pencernaan. Ia sering sekali terserang
maag. Namun, setelah dilakukan full medical checkup, tidak ditemukan masalah apapun
3
pada pencernaannya. Ternyata dia mengalami depresi akibat tindakan kekerasan yang
Allah yang dipercaya oleh pemazmur sebagai sumber keselamatan dan yang akan
mendengar serta memberi perhatian terhadap ratapannya juga adalah Allah yang dipercaya
dan diimani oleh gereja. Allah, yang di dalam Yesus Kristus, menyatakan bela rasa-Nya bagi
setiap korban kekerasan, termasuk di dalamnya perempuan korban kekerasan dalam rumah
tangga. Oleh karena itu, panggilan untuk setiap orang yang percaya kepada Allah di dalam
Yesus Kristus adalah menyatakan bela rasa serta pembelaan mereka bagi setiap perempuan
Dunia yang damai dan tanpa kekerasan tidak mungkin dicapai jika tidak dimulai
dari keluarga yang damai dan tanpa kekerasan. Visi tentang dunia yang damai bagi semua
orang tidak akan tercapai jika pengalaman (baca: ratapan) perempuan korban kekerasan
dalam rumah tangga diabaikan. Oleh sebab itu, mau tidak mau, suka tidak suka, ketika
perhatian lebih serius pada fakta tindak kekerasan terhadap perempuan dan melakukan
usaha-usaha untuk mendatangkan harapan baru bagi perempuan korban kekerasan. Gereja
Tidak hanya bagi korban yang sudah ada, gereja pun perlu memikirkan dan melakukan
perempuan korban kekerasan dalam rumahtangga ini setiap orang Kristen dipanggil
sekaligus ditantang untuk mewujudkan perdamaian sejati, mulai dari dalam rumahnya
4
PERTANYAAN DISKUSI
2. Adakah nilai-nilai lokal yang dapat menolong gereja untuk mengembangkan usaha-
yang telah dilakukan untuk menjawab ratapan peremuan korban kekerasan dalam
rumah tangga?
Obertina M. Johanis
5
i
Richhard J. Clifford, SJ. “Mazmur” dalam Dianne Bergant & Robert J. Karris, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama. Jakarta,
Lembaga Biblika Indonesia, 2002.hlm. 442.
ii
Muriel Orevillo-Montenegro. “The Task of Peacebuilding” dalam Christian Conference of Asia, Building Communities of
Peace for All: Biblical and Tehological Reflections, Chiang Mai, 2005.hlm.41.
iii
Elli Nur Hayati, Panduan Untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan: Konseling Berwawasan Gender. Yogyakarta,
Rifka Annisa, 2002.hlm.25.
iv
Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, PBB, pasal 1.
v
Kekerasan fisik yang didapatnya antara lain; ditampar, tangan diremas dengan keras, dilempar handphone, badan BR
dibanting dan kepala dibenturkan ke tembok hingga bibirnya pecah).
vi
Sumber: http://news.detik.com/read/2012/12/13/151736/2117726/486/2/kisah-pasutri-dokter-yang-jadi-korban-dan-
pelaku-kdrt.