Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

PEMBAGIAN HARTA DALAM PERKAWINAN

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Asas-Asas Hukum Perdata” yang
diampu oleh :

ESTHER MASRI, SH, M. Kn

Di Susun Oleh :

Fadly Azhar Jauhari (202110115191)


Faiz Cahya Permana (202110115254)
Farrel Akbar (202110115241)
Fidwatun Nida (202110115244)
Firly Khoirul Insan (202110115219)
Firmansyah Ismail (202110115176)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sudah seharusnya manusia tertarik dengan lawan jenisnya dan hidup bersama, serta
melanjutkan keturunan dalam ikatan perkawinan. Pada dasarnya lembaga perkawinan itu
muncul dari kaedah agama. Sumber dari kaedah tersebut adalah ajaran-ajaran agama yang
oleh pengikutnya dianggap sebagai perintah Tuhan. Dalam suatu perkawinan, dimaksud
dengan ikatan lahir batin adalah bahwa perkawinan yang dilakukan tersebut tidak cukup
hanya dengan adanya ikatan lahir saja atau ikatan batin saja. Akan tetapi hal tersebut
harus ada kedua-duanya, sehingga akan terjalin ikatan lahir dan ikatan batin yang
merupakan pondasi yang kuat dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia
dan kekal
Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Dalam Undang-Undang tersebut perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tanpa adanya kesatuan tujuan antara suami dan istri dalam, maka dapat dibayangkan
bahwa keluarga itu akan mudah mengalami hambatan-hambatan yang merupakan sumber
permasalahan besar dalam keluarga, akhirnya dapat membuat keretakan keluarga yang
berakibat perceraian.
Perceraian hanya bisa dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian harus ada cukup alasan, yaitu
bahwa antara suami istri tersebut tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
Menurut Pasal 38 Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, putusnya
perkawinan disebabkan karena 3 hal, yaitu kematian, perceraian, atas putusan pengadilan.
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk mengajukan perceraian, sebagaimana
diatur dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU No.1 tahun 1974 :
1. Salah satu pihak Berzina, suka mabuk, berjudi dan hal lainnya yang susah
disembuhkan
2. Salah satu pihak meninggalkan pasangannya selama 2 tahun tanpa izin pihak lain
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 Tahun atau yang lebih berat selama
masa perkawinan
4. Salah satu Pihak melakukan penganiayaan
5. Salah satu pihak mengalami cacat fisik sehingga tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami/istri
6. Suami dan Istri selalu bertengkar dan tidak menemukan solusinya sehingga tidak ada
harapan untuk masa depan perkawinannya.
akibat hukum dari perceraian, maka mereka harus menanggung nafkah iddah, nafkah
anak-anak, biaya pendidikan, masalah pemeliharaan anak hingga permasalahan
pembagian harta bersama. Dalam pembagian harta bersama yang sering kali menjadi
persengketaan yang berlarut-larut dan harus diselesaikan oleh pengadilan
B. Rumusan Masalah

1. Apa saja pembagian harta dalam perkawinan ?


2. Bagaimana pembagian harta bersama menurut Hukum Perdata ?
3. Bagaimana pembagian harta waris menurut KUHP ?

C. Tujuan
1. Agar pembaca mengetahui apa saja pembagian harta dalam perkawinan
2. Aaa]
3. Ssss
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PEMBAGIAN HARTA BENDA


Berdasarkan isi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan didapat
beberapa pembagian harta yaitu :
- Harta Bawaan
Harta benda yang diperoleh masing-masing pihak suami dan istri sebelum menikah
- Harta Bersama
Harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung (Kecuali warisan, hibah dan
hadiah)
- Harta Yang didapat dari Warisan, Hibah dan Hadiah

Namun ada perbedaan pengertian tentang Harta Benda Bersama menurut UUP, KUHP dan
Adat yaitu :

1. Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan


Menurut Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa, harta
bersama suami-istri hanyalah meliput harta yang diperoleh suami-istri sepanjang perkawinan,
hingga yang termasuk harta bersama adalah hasil dan pendapatan suami dan hasil pendapatan
istri.

2. Harta Benda Bersama Berdasarkan Hukum Adat


Hukum adat tentang harta gono-gini hampir sama di seluruh daerah. Yang dapat dianggap
sama adalah perihal atasnya harta kekayaan yang menjadi harta bersama, sedangkan
mengenai hal-hal lainnya, terutama mengenai kelanjutan dari harta kesatuan itu sendiri pada
kenyataanya memang berbeda di masing-masing daerah. Misalnya Lwa, pembagian harta
kekayaan (harta bawaan dan harta gono-gini) setelah terjadi perceraian antara suami dan istri
akan penting sekali. Hal ini berbeda sekali dengan kondisi dari salah satu keduanya tinggal
dunia, pembagian tersebut tidak begitu penting. Di Aceh, pembagian harta kekayaan kepada
harta bawaan bermakna sangat penting baik ketika terjadi perceraian maupun pada saat
pasangan meninggal dunia. Meskipun pembagian harta gono-gini di berbagai daerah boleh
dikatakan hampir sama, tetapi ada juga yang dibedakan berdasarkan konteks budaya lokal
masyarakatnya. Salah satu contoh di mana hukum adat yang cenderung tidak memberlakukan
konsep harta gono-gini, yaitu di daerah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Menurut hukum adat
Lombok, perempuan yang bercerai pulang kerumah orangtuanya dengan hanya membawa
anak dan barang seadanya, tanpa mendapat hak gono-gini.
3. Berdasarkan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 119 KUH Perdata
Mulai saat perkawinan dilangsungkan, secara hukum berlakulah kesatuan bulat antara
kekayaan suami-istri. Persatuan harta kekayaan itu sepanjang perkawinan dilaksanakan dan
tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami dan istri. Jika ada
penyimpangan dari ketentuan itu, suami-istri harus menempuh jalan perjanjian kawin yang
diatur dalam Pasal 139 sampai Pasal 154 KUH Perdata. Pasal 128 sampai dengan Pasal 129
KUH Perdata, menentukan bahwa apabila putusnya tali perkawinan antara suami-istri, maka
harta bersama itu dibagi dua antara suami-istri tanpa memperhatikan dari pihak mana barang-
barang kekayaan itu sebelumnya diperoleh. Tentang perjanjian kawin itu dibenarkan oleh
Peraturan Perundang-undangan sepanjang tidak menyalahi tata susila dan ketenteraman
umum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama. Masing-masing suami-istri terhadap harta yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah pengawasan masing- masing
sepanjang para pihak tidak menentukan hal lain. Tentang harta bersama ini, suami atau istri
dapat bertindak untuk berbuat sesuatu atas harta bersama itu atas persetujuan kedua belah
pihak. Dinyatakan pula bahwa suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum mengenai harta bersama tersebut apabila perkawinan putus karena
perceraian, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukum masing-masing.

B. HUKUM WARIS
CONTOH KASUS PEMBAGIAN HARTA BENDA

Dalam Perkawinan Pembagian harta ada 3 yaitu : Harta Bawaan, Harta Bersama dan Harta
yang didapat dari Hadiah atau Warisan
Ada beberapa kasus yang akan menimbulkan sengketa Harta misalnya :
1. Apabila Suami menikah lagi, bagaimana pembagian harta bersama dalam perkawinan
tersebut?

Pembagian harta bersama dalam perkainan poligaminmenurut UU Nomor 1 tahun1974


yaitu masing-masing istri mendapatkan bagian seperdua, sedangkan menurut hukum
Islam yaitu Islam tidak mengatur tentang harta bersama karena kekayaan suami dan istri
masing-masing terpisah. Suami tidak boleh bertindak atas hak istri.

2. Apabila Suami Istri bercerai dan asetnya hanya berupa rumah, bagaimana pembagian
harta bersamanya ?

Cara membagi harta gono gini berupa rumah bisa dilakukan setelah putusan perceraian
memperoleh kekuatan hukum tetap. Bagi suami-istri yang mencatatkan perkawinannya di
kantor catatan sipil, maka bisa mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri tempat
tinggal Tergugat. Sedangkan bagi yang perkawinannya dicatatkan di Kantor Urusan
Agama (KUA), maka bisa mengajukan permohonan/gugatan ke Pengadilan Agama
tempat tinggal istri. Beberapa alternatif cara membagi harta gono gini berupa rumah,
antara lain:
a. Menjual Rumah dan Membagi Hasil Penjualan Biasanya pilihan ini dianggap
paling adil. Tapi, prosesnya panjang dan dapat berdampak pada berbagai macma hal,
salah satunya kehidupan sosial anak.
b. Salah Satu Pihak Membeli Rumah Tersebut Untuk kebaikan anak, opsi ini cukup
tepat untuk dipilih. Sebaiknya ada pihak ketiga (agen properti) agar tak terjadi konflik
seputar harga jual rumah.
c. Membagi rumah Menjadi Dua
Pilihan memungkinkan kalau pasangan tetap menjalin hubungan baik setelah bercerai.
Namun, pilihan ini jarang dilakukan karena biasanya masing-masing sudah menjalani
kehidupan baru.
d. Menyerahkan Kepemilikan Rumah kepada Anak Pilihan yang paling bijak karena
tak menimbulkan perebutan harta. Kesejahteraan anak di masa depan pun juga
terjamin! Jika memutuskan untuk menjual rumah setelah bercerai, artinya harta gono
gini harus segera diurus.

3. Apabila Suami / Istri mendapat warisan dari orang tuanya apakah harta tersebut akan
menjadi harta bersama?
4. Bagaimana anak hasil pernikahan siri dimata hukum dan bagaimana hak warisnya?

Status anak yang dilahirkan dari pernikahan siri tidak dapat disebut sebagai anak dalam
pernikahan yang sah secara hukum. Di mata hukum, status kelahirannya akan sama seperti
anak di luar nikah. Hal ini sesuai dengan pasal 43 ayat (1) yang menyebutkan “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya”.
Hukum waris yang mengatur Ini juga dikuatkan di dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai
waris pasal 186 yang berbunyi ”Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya. Jadi, suatu hari
anak maupun istri tak dapat menuntut hak warisan dari ayah kandungnya sekalipun tes DNA
menunjukkan bahwa ia adalah anak biologis sang ayah.
Status harta Status harta dari ayah ke anak pernikahan sirinya bukanlah warisan. Melainkan
wasiat biasa. Seseorang bisa menulis surat wasiat legal di depan notaris yang berhubungan
dengan pemberian harta benda. "Harta yang diberikan lewat surat wasiat jumlahnya tidak
boleh lebih dari 1/3 harta pewaris, dalam hal ini adalah sang ayah. Sedangkan dengan ibunya,
anak pernikahan siri ini akan memiliki hukum waris sepenuhnya," terang notaris sekaligus
blogger ini.
Jika ayah sang anak ini membuat surat wasiat, maka harta yang maksimal jumlahnya 1/3 dari
seluruh kekayaan tersebut harus didaftarkan secara legal di kantor notaris dan oleh notaris.
Selain itu, wasiat tersebut juga harus didaftarkan ke pusat daftar wasiat. Wasiat lisan di
hadapan dua orang saksi tanpa notaris seringkali dipilih seseorang karena cenderung lebih
murah dan mudah. Namun, wasiat lisan memiliki banyak kelemahan. Diantaranya, dua orang
saksi harus benar-benar terpercaya. Jika saksi telah meninggal maupun berkhianat, maka
wasiat tersebut bisa dianggap tak pernah ada. Dasar hukum wasiat lisan ini terdapat pada
pasal 49 ayat (c) UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1989 tentang
Peradilan agama. Namun, definisi wasiat secara hukum tersebut juga harus jelas, yaitu
perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau
lembaga/badan hukum yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.
Wasiat lisan lebih aman jika disampaikan di depan dua orang saksi berikut dengan seorang
notaris. Hal ini tercatat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 195 yang diantaranya
memperbolehkan seseorang untuk mewasiatkan 1/3 hartanya di depan saksi dan notaris

Anda mungkin juga menyukai