Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Asas-Asas Hukum Perdata” yang
diampu oleh :
Di Susun Oleh :
C. Tujuan
1. Agar pembaca mengetahui apa saja pembagian harta dalam perkawinan
2. Aaa]
3. Ssss
BAB II
PEMBAHASAN
Namun ada perbedaan pengertian tentang Harta Benda Bersama menurut UUP, KUHP dan
Adat yaitu :
B. HUKUM WARIS
CONTOH KASUS PEMBAGIAN HARTA BENDA
Dalam Perkawinan Pembagian harta ada 3 yaitu : Harta Bawaan, Harta Bersama dan Harta
yang didapat dari Hadiah atau Warisan
Ada beberapa kasus yang akan menimbulkan sengketa Harta misalnya :
1. Apabila Suami menikah lagi, bagaimana pembagian harta bersama dalam perkawinan
tersebut?
2. Apabila Suami Istri bercerai dan asetnya hanya berupa rumah, bagaimana pembagian
harta bersamanya ?
Cara membagi harta gono gini berupa rumah bisa dilakukan setelah putusan perceraian
memperoleh kekuatan hukum tetap. Bagi suami-istri yang mencatatkan perkawinannya di
kantor catatan sipil, maka bisa mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri tempat
tinggal Tergugat. Sedangkan bagi yang perkawinannya dicatatkan di Kantor Urusan
Agama (KUA), maka bisa mengajukan permohonan/gugatan ke Pengadilan Agama
tempat tinggal istri. Beberapa alternatif cara membagi harta gono gini berupa rumah,
antara lain:
a. Menjual Rumah dan Membagi Hasil Penjualan Biasanya pilihan ini dianggap
paling adil. Tapi, prosesnya panjang dan dapat berdampak pada berbagai macma hal,
salah satunya kehidupan sosial anak.
b. Salah Satu Pihak Membeli Rumah Tersebut Untuk kebaikan anak, opsi ini cukup
tepat untuk dipilih. Sebaiknya ada pihak ketiga (agen properti) agar tak terjadi konflik
seputar harga jual rumah.
c. Membagi rumah Menjadi Dua
Pilihan memungkinkan kalau pasangan tetap menjalin hubungan baik setelah bercerai.
Namun, pilihan ini jarang dilakukan karena biasanya masing-masing sudah menjalani
kehidupan baru.
d. Menyerahkan Kepemilikan Rumah kepada Anak Pilihan yang paling bijak karena
tak menimbulkan perebutan harta. Kesejahteraan anak di masa depan pun juga
terjamin! Jika memutuskan untuk menjual rumah setelah bercerai, artinya harta gono
gini harus segera diurus.
3. Apabila Suami / Istri mendapat warisan dari orang tuanya apakah harta tersebut akan
menjadi harta bersama?
4. Bagaimana anak hasil pernikahan siri dimata hukum dan bagaimana hak warisnya?
Status anak yang dilahirkan dari pernikahan siri tidak dapat disebut sebagai anak dalam
pernikahan yang sah secara hukum. Di mata hukum, status kelahirannya akan sama seperti
anak di luar nikah. Hal ini sesuai dengan pasal 43 ayat (1) yang menyebutkan “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya”.
Hukum waris yang mengatur Ini juga dikuatkan di dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai
waris pasal 186 yang berbunyi ”Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya. Jadi, suatu hari
anak maupun istri tak dapat menuntut hak warisan dari ayah kandungnya sekalipun tes DNA
menunjukkan bahwa ia adalah anak biologis sang ayah.
Status harta Status harta dari ayah ke anak pernikahan sirinya bukanlah warisan. Melainkan
wasiat biasa. Seseorang bisa menulis surat wasiat legal di depan notaris yang berhubungan
dengan pemberian harta benda. "Harta yang diberikan lewat surat wasiat jumlahnya tidak
boleh lebih dari 1/3 harta pewaris, dalam hal ini adalah sang ayah. Sedangkan dengan ibunya,
anak pernikahan siri ini akan memiliki hukum waris sepenuhnya," terang notaris sekaligus
blogger ini.
Jika ayah sang anak ini membuat surat wasiat, maka harta yang maksimal jumlahnya 1/3 dari
seluruh kekayaan tersebut harus didaftarkan secara legal di kantor notaris dan oleh notaris.
Selain itu, wasiat tersebut juga harus didaftarkan ke pusat daftar wasiat. Wasiat lisan di
hadapan dua orang saksi tanpa notaris seringkali dipilih seseorang karena cenderung lebih
murah dan mudah. Namun, wasiat lisan memiliki banyak kelemahan. Diantaranya, dua orang
saksi harus benar-benar terpercaya. Jika saksi telah meninggal maupun berkhianat, maka
wasiat tersebut bisa dianggap tak pernah ada. Dasar hukum wasiat lisan ini terdapat pada
pasal 49 ayat (c) UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1989 tentang
Peradilan agama. Namun, definisi wasiat secara hukum tersebut juga harus jelas, yaitu
perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau
lembaga/badan hukum yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.
Wasiat lisan lebih aman jika disampaikan di depan dua orang saksi berikut dengan seorang
notaris. Hal ini tercatat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 195 yang diantaranya
memperbolehkan seseorang untuk mewasiatkan 1/3 hartanya di depan saksi dan notaris