Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menjalani perawatan dirumah sakit merupakan pengalaman yang tidak
menyenangkan dan mengancam bagi setiap orang, terutama bagi anak yang masih dalam
tahap proses pertumbuhan dan perkembangan (Supartini, 2012). Menurut Potter & Perry
(2010), tumbuh dan kembang anak dipengaruhi oleh faktor bawaan (internal) dan faktor
lingkungan. Rumah sakit sebagai lingkungan asing bagi anak dengan pengalaman
pertamanya untuk menjalani perawatan di rumah sakit, menyebabkan gangguan yang
menghambat perkembangan anak atau yang disebut hospitalisasi.

Hospitalisasi merupakan proses perawatan yang mengharuskan anak untuk tinggal


dalam kurun waktu tertentu di rumah sakit baik terencana ataupun darurat. Anak yang sakit
dan harus dirawat di rumah sakit akan mengalami masa sulit karena tidak dapat melakukan
kebiasaan seperti biasanya. Lingkungan, orang-orang asing, perawatan dan berbagai
prosedur yang dijalani anak merupakan sumber utama stresor, kecewa dan cemas, terutama
untuk anak yang pertama kali dirawat di rumah sakit (Elvira, 2014). Anak diharuskan
tinggal di rumah sakit untuk menjalani terapi dan perawatan merupakan masalah besar dan
menimbulkan ketakutan dan kecemasan bagi anak (Supartini, 2014).

Penyebab yang sering menimbulkan kecemasan pada anak selama hospitalisasi


adalah akibat prosedur invasif berupa injeksi dan pemasangan infus yang merupakan
bagian dari asuhan keperawatan (ASKEP). Dalam hal ini petugas kesehatan yaitu perawat,
memberikan ASKEP selama proses hospitalisasi pada umumnya memerlukan tindakan
invasive berupa injeksi maupun pemasangan infus pada pasien anak (Nursalam, 2014).
Pasien anak yang mengalami prosedur yang menimbulkan nyeri cenderung
memperlihatkan reaksi perilaku negatif, diantaranya anak menjadi lebih agresif, tidak
kooperatif dan bermusuhan (Supartini, 2014). Seperti yang terjadi pada pasien anak yang
dirawat di VIP B dan C.

1
Studi pendahuluan yang dilakukan di ruangan VIP B dan C RSUD Dumai pada
tanggal 1 - 10 februari 2022, didapatkan data mengenai reaksi kecemasan pasien anak.
Studi pendahuluan ini dilakukan dengan mewawancarai 5 orang tua yang anaknya sedang
dirawat. ditemukan bahwa terdapat 4 dari 5 orang tua anak mengatakan anaknya menangis
ketika berada diruangannya, gugup saat melihat orang lain yang ada diruangannya, gelisah
berada diruangannya, menangis bila keluarga tidak disampingnya, menghindar berbicara
dengan perawat, berusaha lari atau keluar dari ruangannya, menangis, berteriak,
marah/mengamuk saat didekati oleh perawat.

Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pasien anak yang dirawat diruang VIP B
dan C mengalami ketakutan dan kecemasan dengan petugas kesehatan. Terdapat banyak
teknik yang digunakan untuk mengurangi kecemasan yang dialami pasien anak yaitu
dengan mendengarkan musik kesukaan anak, bercerita, menggambar dan bermain (Helena,
2014). Semua teknik ini merupakan metode distraksi agar perhatian anak teralihkan.
Distraksi merupakan metode untuk menghilangkan stres dan kecemasan dengan cara
mengalihkan perhatian pada hal-hal lain yang menyenangkan bagi anak (Pillitteri, 2010).

Penelitian yang dilakukan Sureskiarti & Brutu (2017) menunjukkan bahwa


terdapat perbedaan kecemaan anak prasekolah pada tindakan injeksi dengan diterapkan dan
tanpa diterapkan pemakaian rompi bergambar. Kelompok intervensi diruang melati RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda memiliki nilai rata-rata kecemasan anak lebih rendah
daripada kelompok Kontrol. Penelitian sama dilakukan oleh Sukmandari, Triana &
Sutarsih (2020) menunjukkan perilaku kecemasan anak usia prasekolah sebelum diberikan
teknik distraksi penggunaan rompi motif kartun selama prosedur injeksi IV perset sebagian
besar pada kategori tidak kooperatif yaitu sebanyak 19 anak (63,3 %). Sedangkan perilaku
kecemasan anak usia prasekolah setelah diberikan teknik distraksi penggunaan rompi motif
kartun selama prosedur injeksi IV perset sebagian besar pada kategori kooperatif yaitu
sebanyak 18 anak (60 %). Artinya terdapat pengaruh penggunaan rompi motif kartun
terhadap perilaku kecemasan anak prasekolah selama prosedur injeksi IV perset.

Keamanan dan kenyamanan pasien merupakan pertimbangan utama perawat VIP


B dan C dalam memberikan asuhan keperawatan kepada seluruh pasien VIP. Untuk
menciptakan kenyamanan kepada pasien anak, perawat melakukan inovasi penggunaan

2
skor berkarakter kartun yang dapat dijadikan metode distraksi agar pasien anak tidak fokus
kepada tindakan yang akan dilakukan kepada mereka namun lebih memperhatikan kepada
karakter kartun pada skor perawat. Penggunaan skor motif kartun diharapkan dapat
digunakan sebagai salah satu upaya untuk mengurangi perilaku kecemasan pasien anak
yang dirawat di ruang VIP B dan C.

1.2 Tujuan Penulisan


a. Tujuan Umum
Makalah ini ditujukan untuk menggambarkan pelaksanaan inovasi penggunaan
Skor berkarakter kartun di ruang VIP B dan C.
b. Tujuan Khusus
1. Merencanakan inovasi penggunaan Skor berkarakter kartun di ruang VIP B dan C
2. Merancang alur kegiatan inovasidi ruang VIP B dan C
3. Melaksanakan inovasi penggunaan Skor berkarakter kartun di ruang VIP B dan C

1.3 Manfaat Penulisan


a. Bagi Instalasi
Makalah ini diharapkan dapat diterapkan dalam memberikan asuhan keperawatan
kepada pasien anak yaitu menggunakan Skor berkarakter kartun untuk mengurangi
kecemasan pasien anak di ruang VIP B dan C.
b. Bagi RSUD Kota Dumai
Makalah ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pelayanan untuk
membangkitkan dan mengembangkan upaya modifikasi penampilan fisik (petugas
kesehatan) bernuansa anak sehingga meminimalisir anak cemas selama dirawat di
rumah sakit.
c. Bagi Pasien dan Keluarga
Hasil makalah ini dapat bermanfaat untuk menurunkan tingkat kecemasan pasien,
anak pada saat anak menjalani perawatan di rumah sakit.

3
d. Bagi Perawat
Makalah ini diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan, pengalaman dan
wawasan perawat dalam penerapan penggunaan Skor berkarakter kartun untuk
mengurangi kecemasan pasien anak.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kecemasan pada Anak


2.1.1 Pengertian Kecemasan pada Anak
Kecemasan atau ansietas merupakan penilaian dan respon terhadap sesuatu yang
berbahaya. Kecemasan sanagat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya.
Kecemasan merupakan perasaan yang berlebihan terhadap ketakutan, kegelisahan, bencana
yang akan datang, kekhawatiran atau ketakutan terhadap ancaman nyata atau yang
dirasakan (Asmadi, 2013).
Kecemasan timbul sesuai dengan keyakinan individu terhadap ketidakmampuan
mereka. Perasaan tentang segala hal yang tidak dapat dikontrol juga dapat menyebabkan
kecemasan. Perasaan cemas akan berlangsung lebih lama dibandingkan dengan rasa takut
karena penyebab kecemasan sering kali tidak jelas (Semiun, 2006).

2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan


Faktor yang mempengaruhi reaksi kecemasan pada anak antara lain usia,
karakteristik saudara, jenis kelamin, pengalaman terhadap sakit, jumlah anggota keluarga,
persepsi anak terhadap sakit (Suriadi, dkk, 2010).
a. Usia anak dikaitkan dengan pencapaian perkembangan kognitif anak prasekolah yang
belum mampu menerima dan mempersepsikan penyakit atau pengalaman baru dengan
lingkungan asing. Semakin muda usia anak, kecemasan hospitalisasi akan semakin
tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian Spence, et al (2011), yang mengatakan bahwa
kecemasan banyak dialami oleh anak dengan usia 2,5 sampai 6,5 bulan.
b. Karakteristik saudara
Karakteristik keluarga dapat mempengaruhi kecemasan pada anak yang dirawat di
rumah sakit. Anak yang dilahirkan sebagai anak pertama dapat menunjukkan rasa
cemas yang berlebihan disbanding anak kedua.

5
c. Jenis kelamin
Jenis kelamin dapat mempengaruhi tingkat stress hospitalisasi, dimana anak
perempuan memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak
laki-laki. Anak perempuan lebih cenderung emosional dalam mengekspresikan
kecemasan dan anak laki-laki cenderung menunjukkan perilaku yang agresif (Small,
Melnyk & Arcoleo, dalam Ilmiasih, 2012). Anak perempuan juga mempunyai tingkat
kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki ketika dilakukan perawatan
di rumah sakit (Roohafza et al., 2009). Anak perempuan mempunyai resiko kecemasan
dua kali lipat dibandingkan dengan anak laki-laki. Hal ini dikarenakan anak
perempuan dipengaruhi oleh faktor biologis yaitu perubahan hormon androgen. Anak
laki-laki dan perempuan secara psikososial mempunyai peran dan pengalaman
sosialisasi berbeda sehingga menghasilkan peran gender maskulin dan feminim. Pada
anak feminim didapatkan kecemasan yang lebih sering dibandingkan anak maskulin,
hal ini sesuai dengan peran gender pada anak laki-laki dan anak perempuan (Palapattu,
Kingery & Ginsburg, 2006).
d. Pengalaman terhadap sakit dan perawatan di rumah sakit
Menurut Tsai (2009), respon anak menunjukkan peningkatan sensitivitas terhadap
lingkungan dan mengingat dengan detail kejadian yang dialami dengan lingkungan
sekitar. Anak yang memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan selama dirawat di
rumah sakit sebelumnya akan membuat anak takut dan trauma. Sebaliknya apabila
pengalaman anak dirawat di rumah sakit mendapatkan perawatan yang baik dan
menyenangkan maka akan lebih kooperatif.
e. Jumlah anggota keluarga
Jumlah anggoptya keluarga dalam satu rumah dikaitkan dengan dukungan
keluarga. Semakin tinggio dukunagn ekluarga pada anak prasekolah yang mejalani
hospitalisasi, maka semakin rendah tingkat kecemasan anak. Keterlibatan orangtua
selama anak dirawat memberikan perasaan tenang, nyaman, merasa disayang dan
diperhatikan.

6
f. Persepsi anak terhadap sakit
Keluarga dengan jumlah yang cukup besar mempengaruhi persepsi dan perilaku
anak dalam mengatasi masalah mengahdapi hospitalisasi. Jumlah anggota keluiarga
dalam satu rumah semakin besar memungkinkan dukungan keluarga yang baik dalam
perawatan anak.

2.1.3 Klasifikasi Tingkat Kecemasan


Menurut Stuart dan Sundeen (2016), kecemasan terbagi menjadi 4 tingkatan yaitu:
a. Kecemasan ringan
Kecemasan tingkat ini berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari.
Kecemasan ini menyebabkan individu menjadi waspada dan meningkatkan lapang
persepsi. Kecemasan ini dapat memotivasi belajar dan meningkatkan kreatifitas.
Respon fisiologis ditandai dengan sesekali nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik,
gejala ringan pada lambung, muka berkerut, bibir bergetar. Respon kognitif yaitu
lapang persepsi luas, mampu menerima rangsangan yang kompleks, konsentrasi pada
masalah, menyelesaikan masalah secara efektif. Respon perilaku dan emosi seperti
tidak bisa duduk tenang, tremor halus pada tangan, suara kadang-kadang meningkat.
b. Kecemasan sedang
Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang
penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga sesorang mengalami perhatian
yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. Pada kecemasan
sedang seseorang akan kelihatan serius dalam memperhatikan sesuatu. Tangdanya
berupa suara bergetar, perubahan dalam nada suara, gemetaran, peningkatan
ketegangan otot.
c. Kecemasan berat
Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi, cenderung untuk memutuskan
pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua
perilaku ditunjukkan untuk mengurangi menurunkan kecemasan dan focus pada
kegiatan lain berkurang. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan. Tandanya
berupa perasaan terancam, ketegangan otot berlebihan, perubahan pernapasan,
perubashan gastrointestinal (mual, muntah, rasa terbakar di ulu hati, sendawa,

7
anoreksia dan diare), perubahan kardiovaskuler dan ketidak mampuan untuk
berkonsentrasi.

d. Panik
Panik berhubungan dengan ketakutan dan tremor karena kehilangan kendali. Orang
yang panic tidak mampu melakukan suatu walaupund engan pengarahan, panic
mengakibatkan disorganisasi kepribadian, dengan panic terjadi epningkatan motorik,
menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain. Adapun gangguan
kecemasan yang dialami pada anak yang sering dijumpai dirumah sakit adalah pani,
fobia, obsesif-kompulsif, gangguan kecemasan umum dan lainnya.

2.1.4 Alat Ukur Kecemasan

Cara pengukuran kecemasan pada anak usia prasekolah menggunakan alat ukur
(instrumen) Face Anxiety Scale (FAS). Face Anxiety Scale (FAS) yang dikembangkan oleh
(McMurty, Noel, Chambers, & McGrath,2010) berfungsi untuk mengukur kecemasan pada
pasien anak yang sedang dirawat dirumah sakit. Skala penilaian nilai terendah 0 dan nilai
tertinggi 4. Skor 0 memberikan gambaran tidak ada kecemasan sama sekali, skor 1
menunjukkan lebih sedikit cemas, skor 2 menggambarkan sedikit kecemasan, skor 3
menggambarkan adanya kecemasan, skor 4 menggambarkan kecemasan yang ekstrim pada
anak.

8
2.2 Konsep Anak Usia Prasekolah
2.2.1 Pengertian Anak Usia Prasekolah
Usia prasekolah adalah usia perkembangan anak antara 3 sampai 5 tahun. Pada
usia ini, terjadi perubahan yang signifikan untuk mempersiapkan gaya hidup yaitu masuk
sekolah dengan mengkombinasikan antara perkembangan biologi, psikososial, kognitif,
spiritual, dan prestasi sosial (Wong et al., 2009). Pengertian yang sama juga dikemukakan
oleh Potter & Perry (2009) bahwa anak usia prasekolah berada pada usia 3 sampai 5 tahun.

2.2.2 Perkembangan Anak Usia Prasekolah


Pada masa ini peningkatan pertumbuhan dan perkembangan masih berlanjut dan
stabil terutama kemampuan kognitif serta aktivitas fisik (Hidayat, 2008). Secara umum
kondisi sehat pada usia prasekolah adalah memiliki tubuh ramping, sikap tubuh yang baik,
cekatan dan periang (Muscari, 2005).
a. Perkembangan Biologis
Secara fisik usia prasekolah sudah berbeda dengan anak usia toddler. Postur lebih
kuat, langsing, kuat, tangkas, anggun, dan tegap. Kecepatan perkembangan fisik
semakin melambat dan stabil. Pertumbuhan secara fisik dapat diketahui dengan
melihat pertambahan berat badan dan tinggi badan (Wong et al., 2009). Pada anak usia
praskolah masih membutuhkan banyak kesempatan belajar dan latihan keterampilan
fisik yang baru. Keterampilan motorik halus sangat berperan dalam kegiatan sekolah.
Latihan menulis dan menggambar akan membentuk keterampilan otot halus dan
koordinasi antara mata dan tangan dalam menulis huruf dan angka (Potter & Perry,
2009).
b. Perkembangan Kognitif
Pada perkembangan kognitif anak usia prasekolah mempunyai tugas yang lebih
banyak dalam mempersiapkan anak untuk sekolah. Dan peranan proses berpikir sangat
penting untuk mencapai kesiapan tersebut (Wong et al., 2009). Anak akan berpikir
lebih kompleks dengan mengkategorikan obyek berdasarkan warna, ukuran maupun
dengan pertanyaan (Potter & Perry, 2009). Tinjauan teori tentang perkembangan
kognitif menurut Muscari (2005) menggunakan tahap berpikir pra operasional oleh
piaget. Pada tahap ini mempunyai 2 fase yaitu :

9
1) Fase Pra Konseptual (usia 2 – 4 tahun) Pada fase ini anak telah membentuk suatu
konsep yang belum matang dan tidak logis dibandingkan dengan orang dewasa,
menghubungkan suatu kejadian dengan kejadian lain, mempunyai pemikiran yang
berorientasi pada diri sendiri, dan membuat klasifikasi yang masih relatif
sederhana.
2) Fase Intuitif (usia 4 – 7 tahun) Pada fase ini anak sudah mampu menjumlahkan,
mengklasifikasikan, dan menghubungkan objek-objek. Anak juga sudah
mempunyai cara berpikir yang intuitif yaitu menyadari sesuatu yang benar tetapi
tidak tahu alasannya, kata-kata yang digunakan banyak yang ssuai tetapi tidak
bisa memahami artinya.
c. Perkembangan Psikososial Anak usia prasekolah sudah siap menghadapi dan berusaha
keras dalam mencapai tugas perkembangan. Tugas utama pada perkembangan
psikosoial adalah menguasai rasa inisiatif yaitu bermain, bekerja, dan dapat merasakan
kepuasan dalam kegiatannya, serta merasakan hidup spenuhnya. Tetapi konflik akan
timbul ketika aktivitasnya melampaui batas kemampuan mereka, sehingga anak akan
mengalami rasa bersalah karena berperilaku atau tidak melakukan dengan benar.
Perasaan bersalah, cemas, dan rasa takut diakibatkan oleh pikiran yang berbeda
dengan perilaku yang diharapkan (Wong et al., 2009). Tinjauan perkembangan
psikososial menurut teori Erikson bahwa krisis yang dihadapi anak usia prasekolah
(usia 3 – 5 tahun) adalah inisiatif versus rasa bersalah. Erikson menyatakan bahwa
pada usia prasekolah anak sudah menguasai perasaan otonomi, apabila orang tua tidak
dapat menerima imaginasi dan aktivitasnya maka anak akan mengembangkan rasa
bersalah, keluarga merupakan orang terdekat bagi anak usia prasekolah, serta anak
pada usia prasekolah merupakan pelajar yang energik, serta mempunyai imaginasi
yang aktif (Muscari, 2005).
d. Perkembangan Moral Perbedaan yang mendasar pada perkembangan moral anak usia
pra sekolah dengan usia toddler adalah adanya kemampuan untuk mengidentifikasi
tingkah laku sehinga akan menghasilkan hukuman apabila tindakannya salah dan
mendapatkan hadiah apabila tindakannya benar, serta dapat membedakan antara benar
dan salah (Potter & Perry, 2009). Menurut teori Kohlberg dalam perkembngan moral

10
anak usia prasekolah berada pada tahap pra konvensional, yaitu anak akan muncul
perasaan bersalah serta menekankan pada pengendalian eksternal (Muscari, 2005).

2.3 Pengaruh Seragam Perawat terhadap Kecemasan


Seragam perawat merupakan salah satu obyek yang dapat menimbulkan
kecemasan. Anak mempersepsikan seragam perawat sebagai sesuatu yang membuat cemas
karena image yang melekat bahwa perawat dengan baju putih sering membuat anak takut
dan fobia (Velotis, dalam Ilmiasih, 2012).
Berdasarkan penelitian yang ada anak lebih menyukai baju perawat yang
berwarna-warni sehingga menampilkan kesan lebih bersahabat dan tidak membuat anak
semakin cemas dengan lingkungan yang asing atau situasi baru. Berikut ini adalah
gambaran dari cara kerja sistem limbik terhadap obyek yang ditangkap dari panca indera
sampai pada pembentukan perilaku dari respon hipotalamus.
Baju perawat yang berwarna warni akan dipersepsikan sebagai obyek yang
menyenangkan sehingga ditangkap oleh pancaindera. Perasaan senang atau suka akan baju
perawat akan dilanjutkan ke hipotalamus yang akan berhubungan dengan sistem syaraf
simpatik dan parasimpatik serta pengeluaran hormon anti stress. Dari perjalanan tersebut
karena persepsi perasaan senang yang diterima hipotalamus sehingga sistem syaraf dan
otot relaksasi dan kecemasan atau ketegangan berkurang (Elias & Saucier, Attwood &
Attwood, Townsend, dalam Ilmiasih, 2012)

11
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Alur kegiatan inovasi Ruangan


Studi pendahuluan ini dilakukan dengan mewawancarai 5 orang tua yang anaknya
sedang dirawat. ditemukan bahwa terdapat 4 dari 5 orang tua anak mengatakan anaknya
menangis ketika berada diruangannya, gugup saat melihat orang lain yang ada
diruangannya, gelisah berada diruangannya, menangis bila keluarga tidak disampingnya,
menghindar berbicara dengan perawat, berusaha lari atau keluar dari ruangannya,
menangis, berteriak, marah/mengamuk saat didekati oleh perawat.

Apabila hal ini terus berlanjut maka akan menghambat proses perawatan anak.
Oleh sebah itu, kami membuat sebuah inovasi berupa modifikasi lingkungan fisik yaitu
penampilan petugas kesehatan dengan cara penggunaan skor yang didesain dengan motif
kartun.
Kegiatan ini dimulai dari menyampaikan salam,menjelaskan tujuan,kontrak waktu
dengan kelurga pasien kemudian sebelum perawat melakukan asuhan keperawatan,terlebih
dahulu menggunakan skor berkarakter kartun,lalu menanyakan perasaan kelurga pasien
setelah interaksi dengan perawat, diakhiri dengan mengukur tingkat kecemasan anak
menggunakan FAS (Face Anciety Scale ) oleh perawat.

3.2 Satuan Acara Kegiatan


Hari/tanggal : 12 Maret 2022
Jam : 10:00 WIB
Kegiatan : Aplikasi skor berkarakter Kartun Saat Mekakukan Asuhan Keperawatn
Sasaran : Anak usia Prasekolah (3-5)
Tempat : Vip B/C

3.3 Tujuan instruksional


Setelah melakukan tindakan menggunakan skor berkarakter Kartun diharapkan
kecemasan pada anak usia pra sekolah menurun.

12
3.4 Alat dan bahan
1. Skor berkarakter Kartun
2. Alat Ukur Kecemasan FAS (Face Anciety Scale)
3.5 Proses Kegiatan

NO KEGIATAN RESPON WAKTU


1. Pendahuluan
a. Menyampaikan salam a. Membalas salam
b. Menjelaskan tujuan b. Mendengarkan 3 menit
c. Kontrak waktu c. Memberi respon
2. Tahap kerja
a. Anak tampak tidak
a. Menggunakan skor
tegang dan tidak
berkarakter kartun 5 menit
cemas saat
b. Melakukan tindakan
dilakukan tindakan
keperawatan
3. Penutup
a. Menanyakan perasaan
pasien setelah
berinteraksi dengan
perawat a. Mengungkapkan
b. Memberikan perasaan
reinforcement positif b. Memberikan respon 3 menit
c. Mengucapkan salam positif
d. Perawat mengukur c. Menjawab salam
tingkat kecemasan
menggunakan FAS (Face
Anciety Scale)

3.6 Evaluasi
A. Respon anak tampak tidak cemas saat dilakukan tindakan
B. Respon anak tampak tidak tegang saat dilakukan tindakan
C. Respon anak tampak tidak rewel saat dilakukan tindakan

BAB 4

13
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan kegiatan inovasi yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa
dengan menggunakan skor berkarakter kartun dapat menurunkan tingkat kecemasan anak
selama perawatan di ruang vip B/C RSUD Dumai.
4.2 Saran
Berdasarkan inovasi yang telah dilakukan diharapkan dapat dikembangkan lebih
lanjut dari jumlah responden,durasi penelitian,kelompok perbandingan serta skor
berkarakter diperbanyak variasinya.

14

Anda mungkin juga menyukai