*Disampaikan dalam DISKUSI AKBAR MENDONGKRAK WORLD RANK ITB yang diselenggarakan oleh Majelis Guru
Besar ITB, Aula Timur ITB, 10 Mei 2008
New Page 1
Bambang Hidayat
Â
Pada tahun 1995 Giroux (dalam Higher Education under Fire, Editors Benude
dan Nelson, Routledge 1995) mengemukakan pikiran yang mengkuatirkan keluruhan
Universitas di Amerika. Yang dipertaruhkan oleh sebuah Universitas adalah
perannya sebagai penjaga gawang kebudayaan dan norma, serta sebagai perisai
identitas nasional. Dia juga melihat rapuhnya peran intelektual sebagai penjerat
simpul-simpul sosial dan ekonomi untuk penyelenggara negara. Universitas yang
seharusnya menjaga dan membangun kebersamaan rakyat dengan pemerintahnya mulai
melihat opsi lain dalam kehidupan yang kompleks. Bersamaan dengan itu ada
beberapa universitas yang struktur ketataaturannya teralahkan, setidaknya tidak
dapat mengimbangi, tarikan kekuatan luar yang mendorong komersialisme.
Sejalan dengan hal ini Kartasubana pada tahun 2002 dalam paparannya:
“Perguruan Tinggi sebagai Universitas Wiraswasta” melukis dengan cermat sisi
cerah dan gelap tarikan itu, dalam konteks BHMN. Ajakan baru itu bisa menjadi
anjungan untuk menyemaikan kemajuan tetapi juga dapat menjadi hambatan kalau
tidak dikemas dengan keteguhan hati nurani. Dia juga berpesan “Masyarakat
patut menuntut supaya hasil riset perguruan tinggi dapat digunakan langsung
untuk kehidupan keseharian. Keuntungan yang diperoleh dari penerapan riset itu,
dimanfaatkan untuk riset keilmuan yang mendasar   dan   berjangka   panjang”.
Pesan  yang   relevan   sekali
 untuk  membangun kepemilikan luas sebuah universitas.
Peran Ilmu Pengetahuan dalam
pembangunan negara sudah banyak digarap.
Tetapi, sentilan tajam kepada masyarakat dan pemerintah datang dari Supelli
(dalam diskusi di AIPI, 2003) yang mengetengahkan “Berpikir tentang
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam situasi politik yang penuh
kebuntuan, serta tajamnya konflik di berbagai daerah yang menjatuhkan banyak
http://mgb.itb.ac.id - :: Majelis Guru Besar - MGB ITB :: Powered by Mambo Generated: 10 January, 2017, 07:58
korban jiwa dan harta benda, memang akan terlihat sebagai sesuatu yang elitis.
Untuk kebanyakan politisi, ilmu pengetahuan dan teknologi juga bukan bidang yang
menarik untuk diperebutkan, karena belum jelas kaitan politisnya sama sekali.
Sejauh-jauhnya, ilmu pengetahuan, terlebih lagi teknologi, akan dilihat sebagai
sarana untuk melayani kebutuhan kekuasaan sekalipun sebatas retorika seperti
yang terjadi selama ini”. Lima tahun kemudian gambaran itu masih mulus dan
mengkuatirkan kita. Bahkan dengan cemas kita dapat melihat tidak ada calon
Presiden R.I. pada tahun 2004 menegaskan visinya tentang ilmu pengetahuan dan
teknologi sebagai sarana penyelenggaraan pembangunan negerinya. Kini, pada
tahun 2008 setahun sebelum Pil Pres, suara itupun belum terdengar. Ilmu
Pengetahuan memang harus dikembangkan dalam suatu kebijakan (Hidayat: Kebijakan
Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Pengtahuan dalam Kebidjakan, MNRT 2003) sebagai acuan
penting pengambilan keputusan. Suatu permintaan yang sejalan dengan keinginan
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (Hidayat 2005, ceramah untuk Dewan Riset
Nasional), pengaturan perundangan dirasakan memang perlu untuk masyarakat ilmiah
yang luas, tetapi dalam percaturannya di DPR (2002) dalam rangka UU Sisdiknas
AIPI melihat bahwa pengaturan penelitian yang berbelit dilihatnya
kontraproduktif bagi cara pembangkitan inisiatif maupun pembaharuan. Oleh karena
itu UU harus dapat membuat balans antara kepentingan bangsa dan keamanan serta
kelestarian sumber daya alami dan keanekaragaman hayati, tanpa menghalangi
kemandirian riset. Model organisasi penelitian yang kadaluwarsa serta
pengambilan keputusan otokratik bukan merupakan jawaban tepat bagi lingkungan
pekerja ilmiah dan peneliti. Ketidakmajuan juga dapat terhambat oleh
gerontokrasi (gerontokrasi tidak ditentukan oleh tanggal lahir, tetapi oleh
sikap dan kemandegan status mentalitet). Oleh karena itu disarankan agar lembaga
penelitian yang aktif dijamin tetap memproduksi keilmuan secara handal dalam
suasana yang tidak hirarki ketat. Penelitian harus merupakan masyarakat
ajar-mengajar, yang vibrasi kegiatannya tersebar ke segala penjuru untuk
memperoleh pengakuan dan penilaian. Pemimpin ilmiah harus berwawasan dan efektif
menengarai keunggulan penelitian kompetitif. Tetapi pandangan pimpinan jangan
serta merta dijadikan keputusan adhoc, keinginan jangka pendek yang berbau
proyek pribadi.
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia menganjurkan kepentingan penelitian “stemcell”
untuk terapeutik. Untuk mencapai keinginan itu pendayagunaan dan peningkatan
ilmu pengetahuan dasar guna menyongsong kehadiran penyakit tak terduga, “new
emerging diseases”, Â harus ditingkatkan. Tentang “cloning”, bersama
Departemen Luar Negeri, dirumuskan dengan hati-hati bahwa “cloning”
diterima didalam bingkai falsafah dan etika yang mengagungkan jasad hidup,
sambil menyadari bahwa 0,4% GDP yang tersedia untuk penelitian di Indonesia
terlalu kecil untuk dapat membawa penelitian  ke “front-line” research.
http://mgb.itb.ac.id - :: Majelis Guru Besar - MGB ITB :: Powered by Mambo Generated: 10 January, 2017, 07:58