Anda di halaman 1dari 7

Ceramah Prof.

Bambang Hidayat: Universitas Kelas Dunia, Sebuah Mangkuk Kudus


Baru

*Disampaikan dalam DISKUSI AKBAR MENDONGKRAK WORLD RANK ITB yang diselenggarakan oleh Majelis Guru
Besar ITB, Aula Timur ITB, 10 Mei 2008

New Page 1

UNIVERSITAS KELAS DUNIA - Sebuah mangkuk khudus baru.*)

Bambang Hidayat

*Disampaikan dalam DISKUSI AKBAR


MENDONGKRAK WORLD RANK ITB

yang diselenggarakan oleh Majelis Guru


Besar ITB, Aula Timur ITB, 10 Mei 2008

Â
Pada tahun 1995 Giroux (dalam Higher Education under Fire, Editors Benude
dan Nelson, Routledge 1995) mengemukakan pikiran yang mengkuatirkan keluruhan
Universitas di Amerika. Yang dipertaruhkan oleh sebuah Universitas adalah
perannya sebagai penjaga gawang kebudayaan dan norma, serta sebagai perisai
identitas nasional. Dia juga melihat rapuhnya peran intelektual sebagai penjerat
simpul-simpul sosial dan ekonomi untuk penyelenggara negara. Universitas yang
seharusnya menjaga dan membangun kebersamaan rakyat dengan pemerintahnya mulai
melihat opsi lain dalam kehidupan yang kompleks. Bersamaan dengan itu ada
beberapa universitas yang struktur ketataaturannya teralahkan, setidaknya tidak
dapat mengimbangi, tarikan kekuatan luar yang mendorong komersialisme.
Sejalan dengan hal ini Kartasubana pada tahun 2002 dalam paparannya:
“Perguruan Tinggi sebagai Universitas Wiraswasta” melukis dengan cermat sisi
cerah dan gelap tarikan itu, dalam konteks BHMN. Ajakan baru itu bisa menjadi
anjungan untuk menyemaikan kemajuan tetapi juga dapat menjadi hambatan kalau
tidak dikemas dengan keteguhan hati nurani. Dia juga berpesan “Masyarakat
patut menuntut supaya hasil riset perguruan tinggi dapat digunakan langsung
untuk kehidupan keseharian. Keuntungan yang diperoleh dari penerapan riset itu,
dimanfaatkan untuk riset keilmuan yang mendasar   dan   berjangka   panjang”.
Pesan  yang   relevan   sekali
 untuk  membangun kepemilikan luas sebuah universitas.
Peran Ilmu Pengetahuan dalam
pembangunan negara sudah banyak digarap.
Tetapi, sentilan tajam kepada masyarakat dan pemerintah datang dari Supelli
(dalam diskusi di AIPI, 2003) yang mengetengahkan “Berpikir tentang
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam situasi politik yang penuh
kebuntuan, serta tajamnya konflik di berbagai daerah yang menjatuhkan banyak
http://mgb.itb.ac.id - :: Majelis Guru Besar - MGB ITB :: Powered by Mambo Generated: 10 January, 2017, 07:58
korban jiwa dan harta benda, memang akan terlihat sebagai sesuatu yang elitis.
Untuk kebanyakan politisi, ilmu pengetahuan dan teknologi juga bukan bidang yang
menarik untuk diperebutkan, karena belum jelas kaitan politisnya sama sekali.
Sejauh-jauhnya, ilmu pengetahuan, terlebih lagi teknologi, akan dilihat sebagai
sarana untuk melayani kebutuhan kekuasaan sekalipun sebatas retorika seperti
yang terjadi selama ini”. Lima tahun kemudian gambaran itu masih mulus dan
mengkuatirkan kita. Bahkan dengan cemas kita dapat melihat tidak ada calon
Presiden R.I. pada tahun 2004 menegaskan visinya tentang ilmu pengetahuan dan
teknologi sebagai sarana penyelenggaraan pembangunan negerinya. Kini, pada
tahun 2008 setahun sebelum Pil Pres, suara itupun belum terdengar. Ilmu
Pengetahuan memang harus dikembangkan dalam suatu kebijakan (Hidayat: Kebijakan
Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Pengtahuan dalam Kebidjakan, MNRT 2003) sebagai acuan
penting pengambilan keputusan. Suatu permintaan yang sejalan dengan keinginan
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (Hidayat 2005, ceramah untuk Dewan Riset
Nasional), pengaturan perundangan dirasakan memang perlu untuk masyarakat ilmiah
yang luas, tetapi dalam percaturannya di DPR (2002) dalam rangka UU Sisdiknas
AIPI melihat bahwa pengaturan penelitian yang berbelit dilihatnya
kontraproduktif bagi cara pembangkitan inisiatif maupun pembaharuan. Oleh karena
itu UU harus dapat membuat balans antara kepentingan bangsa dan keamanan serta
kelestarian sumber daya alami dan keanekaragaman hayati, tanpa menghalangi
kemandirian riset. Model organisasi penelitian yang kadaluwarsa serta
pengambilan keputusan otokratik bukan merupakan jawaban tepat bagi lingkungan
pekerja ilmiah dan peneliti. Ketidakmajuan juga dapat terhambat oleh
gerontokrasi (gerontokrasi tidak ditentukan oleh tanggal lahir, tetapi oleh
sikap dan kemandegan status mentalitet). Oleh karena itu disarankan agar lembaga
penelitian yang aktif dijamin tetap memproduksi keilmuan secara handal dalam
suasana yang tidak hirarki ketat. Penelitian harus merupakan masyarakat
ajar-mengajar, yang vibrasi kegiatannya tersebar ke segala penjuru untuk
memperoleh pengakuan dan penilaian. Pemimpin ilmiah harus berwawasan dan efektif
menengarai keunggulan penelitian kompetitif. Tetapi pandangan pimpinan jangan
serta merta dijadikan keputusan adhoc, keinginan jangka pendek yang berbau
proyek pribadi.
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia menganjurkan kepentingan penelitian “stemcell”
untuk terapeutik. Untuk mencapai keinginan itu pendayagunaan dan peningkatan
ilmu pengetahuan dasar guna menyongsong kehadiran penyakit tak terduga, “new
emerging diseases”, Â harus ditingkatkan. Tentang “cloning”, bersama
Departemen Luar Negeri, dirumuskan dengan hati-hati bahwa “cloning”
diterima didalam bingkai falsafah dan etika yang mengagungkan jasad hidup,
sambil menyadari bahwa 0,4% GDP yang tersedia untuk penelitian di Indonesia
terlalu kecil untuk dapat membawa penelitian  ke “front-line” research.

Disamping itu AIPI menekankan pentingnya pengambilan keputusan atas dasar


informasi ilmiah. Dengan cara ini subyektivitas keputusan dapat ditekan serendah
mungkin, karena partisipasi luas dan mendasar masyarakat ilmiah, dari Kampus
maupun dari Lembaga Penelitian, dapat dimobilisasi. Selain, tentu saja, didasari
kepercayaan bahwa ilmuwan tidak myopic, maupun terkooptasi. Bersamaan
dengan itu juga mekarnya pendapat bahwa tim multidisipliner mempunyai peluang
berhasil lebih besar daripada pengambilan keputusan eksklusif, apalagi
otokratif.
ÂÂÂÂÂÂÂÂÂÂÂ
Saran mengenai keberlanjutan lingkungan dengan memfokuskan perhatian kepada
etika lingkungan (alami dan buatan), pada tahun 2003 telah disampaikan kepada
Presiden. Intinya adalah Negara harus menyediakan dukungan terhadap upaya
penyelamatan lingkungan yang perubahan dan percepatan ubahannya disulut oleh
berbagai sebab (antropogenik dan alami) maupun pelbagai kepentingan lain. Lebih
penting dari itu ialah memberi sumbangan kepada ilmuwan untuk mensosialisasikan
pendapatnya. Dan patut diingat bahwa sosialisasi tidak identik dengan
publisitet. Konservasi dan restorasi lingkungan adalah pekerjaan terhormat,
tetapi penanaman sadar- pengaturan lingkungan yang mengacu keindahan jiwa dan
vitalitas kehidupan seharusnya tidak diabaikan.
 Dengan wawasan seperti itu Pemerintah harus menyongsong perubahan secara
positif dan konstruktif. Perubahan global yang sering menyulut kerusakan secara
diferensial harus diwaspadai, karena yang dapat terkena dampaknya adalah sistem
komunitas kehidupan – dan ini merambat secara berantai, tak diketahui dimana
berakir. Pengetahuan mengenai keterkaitan antar elemen kehidupan menjadi lebih
http://mgb.itb.ac.id - :: Majelis Guru Besar - MGB ITB :: Powered by Mambo Generated: 10 January, 2017, 07:58
penting dalam hal ini. Kerusakan lahan gambut, umpama, yang karena kekurang
hati-hatian dialihkan kegunaannya dapat secara langsung memicu kebakaran. Simpul
berikutnya yang terancam adalah surutnya kemampuan hutan  menyerap CO2, karena
keluruhan kanopi hutan tropik. Dan ini dapat mencetuskan komplikasi lingkungan
(Murdijarso 2005). Dewasa ini kita di hadapkan kepada masalah yang bisa di duga
membahayakan lingkungan yakni penyewaan hutan lindung. Kalau tidak ada
penelitian ekologis dapat diperkirakan akan berdampak merusak. Universitas
mempunyai peran menyelenggarakan penelitian untuk mempelajari ekologi lingkungan
itu dan mencuatkan kekhasan keanekaan hayati suatu wilayah, serta memberikan
hasil penelitiannya kepada pengambil keputusan. Kelak pada waktunya bisa
ditelusuri perubahan distribusi spesies dan dampak pengubahan ekologi
lingkungan.
 Ilmu pengetahuan, yang teralihkan dari seberang maupun yang kita bina
dari awal, tidak pernah lepas dari kaidah dan proses penelitian maupun interest
keuntungan. Oleh karena itu penelitian harus kita anggap sebagai budaya, yang
dengan alih-alih itu kita dapat meningkatkan kemampuan mencatat dan memanfaatkan
sumber daya alami kita: baik untuk pendidikan maupun untuk kepentingan ekonomi
berlanjut. Kita menuju ke masyarakat landas-pengetahuan yang bertali-temali
dengan dimensi etik, legal dan sosio-kultural. Tampak jelas dari adanya adagium
“science and technology–based economy” bahwasanya yang akan menunjang
kemajuan dan pemekaran ekonomi bangsa adalah ilmu pengetahauan dan teknologi.
Untuk dapat bertanding di arena itu, apakah dalam memajukan masyarakat
pertanian-maya atau pemanfaatan lahan, penyediaan jasa pasar dan pengadaan
aset-virtual, tidak hanya diperlukan modal keuangan dan sosial tetapi jugaÂ
pasokan dan suntikan modal ilmu pengetahuan. Riset akademik, tidak dapat
disangkal kefaedahannya, dan bersama industri, riset akademis harus dapat
mengalir menyajikan pemecahan soal bangsanya. Kedua aktivitas jalur itu,
walaupun dikatakan sejajar satu dengan yang lain, tetapi berhakekat seperti
kedua tepian sungai yang tak pernah bertemu satu dengan yang lain namun vital
berfungsi dalam proses pengaliran air. Ilmuwan akademik dan industriawan harus
bertemu untuk berdialog dan berinteraksi untuk mengerti kebiasaannya
masing-masing maupun memahami praduga yang tumbuh dari kultur pihak lainnya.
Rasanya tidak terpuji kalau pengambil keputusan, Pemerintah umpama, hanya
mendasarkan data pasar saja sebagai sumber kebijakan penyelenggaraan harkat
orang banyak tanpa memahami ikutan yang mungkin tumbuh dan bisa merugikan. Jalur
ilmu pengetahuan yang non-partisan , tetapi mengikuti kaidah ilmiah, semestinya
bisa memperkecil kesalahan. Sementara itu harus diingat bahwa investasi
Pemerintah bagi penelitian dan pendidikan adalah tabungan masa depan, sedang
investasi industri lebih condong untuk keperluan hari ini, karena itu penyediaan
informasi tidak boleh berbobot bias ke masa kini saja. Dan pendanaan universitas
untuk mencuatkan talenta berbakat.
Panen ilmu pengetahuan akan memuaskan kalau kita pelihara dengan wawasan
tajam dan pikiran terbuka untuk manuver ubahan karena pengetahuan yang
menghasilkan kemampuan dan dana juga subyek pada masukan. Cetak biru penelitian
lintas batas ilmu dan negara tidak hanya berbeban ideal tetapi, juga, tidak
boleh tuna rincian. Karena itu ilmu pengetahuan yang dapat dipupuk melalui
penelitian putra nasional harus dapat menyuntikkan, untuk tidak dikatakan
mengintervensi, kebijakan pengambilan keputusan.
Bok pada tahun 2004 (Universities in the Market Place, University of
Princeton Press, 2004) mewanti-wanti agar tidak tergesa menerim tawaran “a ‘la
Faust”, yang selalu menggiurkan tetapi akhirnya menjerat diri karena hutang
besar (kepada sponsor bermuka manis). Kini, pada tahun 2008 medan pendidikan ITB
memperoleh pencerahan dari MWA melalui buku-keinginannya mewujudkan jejak ITB
sebagai pusat pengembangan pendidikan sains dan teknologi, dan memperkental
keinginan membuat agenda riset pembedah frontier. Pada halaman 5 buku tersebut
MWA berpesan “tanggung jawab ITB dalam pendidikan tidak hanya menghasilkan
lulusan cerdas (dalam menerapkan bidang keilmuanya, sic penulis) tetapi
juga membentuk manusia yang dapat menyentuh pembangunan budaya bangsanya”.
Doktrin kekar dan mewudjudkan tantangan dengan hasil baru yang nanti harus di
timang..Hasilnya nanti tergantung dari komitmen para pelakunya. Buku itu memuat
rencana induk 2006-2025. Sekarang kita sudah berada pada titik ke 2 paska tahun
awal pancang buku tersebut. Sudah patut bila kita mulai menimbang dan mengukur
balans tarikan oleh kenyataan dan keinginan. Pertemuan MGB kali ini juga
bertepatan dengan saat bangsa Indonesia memperingati 100 tahunnya gerakan
kesadaran nasionalnya. M.T.Zen (2008) sedang menggebu dan ekstrapolatif
http://mgb.itb.ac.id - :: Majelis Guru Besar - MGB ITB :: Powered by Mambo Generated: 10 January, 2017, 07:58
mencanangkan peringatan ini harus ditandai dengan canang awal 100 tahun
berikutnya. Suatu keinginan logis-mapan, setelah kita dapat menimba pengalaman
100 tahun sebelumnya, dan melihat kemerosotan banyak parameter hakiki karakter
dan kelembamam berbangsa dan bernegara. Titik pancang penting dalam buku MWA-ITB
itu sebenarnya adalah tahun 2020—pada saat kita memperingati 100 tahun
keberadaan pendidikan tinggi formal teknologi (yakni berdirinya Technische
Hogeshool di Bandung pada tahun 1920 yang di kemudian hari ikut melahirkan
Institut Teknologi di  Bandung). Kalau buku MWA akan ditutup pada tahun 2025
maka itu adalah manifestasi wajar suatu keinginan untuk melihat unjuk kerja yang
 bisa di capai Indonesia pada akhir Millineum Development Goals (MDG).
Sebuah catatan kecil perlu dikemukakan disini bahwa pendirian pendidikan
tinggi teknik diawali dengan jurusan Sipil oleh karena kesadaran pendirinya
melihat melimpahnya air bagian bumi ini. Cairan itu bisa menjadi kawan tetapi
juga, kalau tidak dijinakkan, menjadi lawan menghasilkan bencana yang dahsyat,
kataklismik yang harus dicarikan pengobatannya. Banjir adalah bencana
tradisional di Jawa  seperti wabah yang berulang kembali menerpa jiwa dan
kekayaan materiil negeri ini. Sejarah telah memperlihatkan bahwa dari jurusan
sipil itu lahir beberapa pemikiran maju untuk menjinakkan dan menjadikan air
sebagai kawan dalam membangun kehidupan. Bahkan sejarah militer Belanda mencatat
dengan bangga hasil penjinakan itu karena dapat membebaskan sejumlah tugas
militernya dari pekerjaan sipil sehingga dapat digunakan secara fungsional untuk
pertahanan dan ketahanan.
Tidak mengherankan kalau dalam awal abad ke 21 ini sebuah Negara ingin
memperoleh kehormatan mempunyai Universitas (2) yang berkelas dunia. Karena
Universitas sebenarnya dan seharusnya merupakan motor pembangkit perkembangan
nasional didalam dunia yang dewasa ini sangat kompetitif kehidupan
ekonomi-berlandas-pengetahuan. Sebagian besar, kalau tidak seluruhnya, bahan
pembangkit energi motor tersebut berasal dari Universitas yang bisa menggalang
kemitraan dan kerjasama dengan industri. Kooperasi kerja ini menumbuhkan
lintas-batas kegiatan dan menciptakan tantangan baru, baik akademis maupun
administratif. Menonjol daripadanya, dan tidak dapat  kita kesampingkan, walau
menghadapi tarikan kuat komersiil, ialah:1.tetap menjaga agar sumbangan nilai
kultural, sosial dan ekonomi perguruan tinggi tetap dipertahankan dalam wilayah
tanggung jawab moral kebajikan. 2. melindungi mobilitas staf pengajar dan
mahasiswa serta mendorong kemerdekaan berpikir dan bersuara. 3. memperbesar
kapasitas dan memperkuat kefungsian khas lembaga ilmiahnya agar kemampuan
internal yang termaktub kedalam diktum pendirian lembaga tersebut dapat
dipertinggi. Hambatan akan terasa membesar tatkala didapati jurang menganga
ketidak seimbangan yang membedakan sumber keuangan luar- dan dalam- tembok
perguruan tinggi.
Bahwasanya hubungan timbal balik itu ada dan dapat mendorong kemajuan
tidak disangsikan, tetapi satu kenyataan yang tak boleh di lupakan oleh
Universitas dan oleh Negara, ialah bahwa patent bermutu yang dapat mengubah
wajah dunia itu merupakan hasil kerjasama wawasan yang terorganisasi dan
terencana. Kerjasama itu dipicu dan memicu riset pasar dan pengembangannya.
Dan, sebagai peringatan, Â yang harus diingat adalah pendanaan umum (oleh Negara,
jadi oleh  rakyat) juga diperlukan untuk mendorong majunya perbatasan sains dan
pengetahuan teknologik, demi pemahaman umum dan maupun penyebaran hasil
teknologi itu. Kedua hal terakhir ini hampir tiada kecualinya, terhindar dari
diktum kerjasama industri-universitas karena bisa dianggap suatu  pemborosan.
Karena itu dana publik (dari kas Negara) semestinya tidak serta merta untuk
riset pasar saja tetapi harus dialokasikan untuk memajukan ilmu pengetahuan itu
sendiri, dan untuk pengembangan serta pemberdayaan  manusia agar dapat bersaing.
Mencari tempat dalam daftar ranking Universitas dunia memang bukan usaha
yang salah, tetapi mendudukkan sebuah universitas hanya dalam pengklasan yang
sempit bukan merupakan upaya yang dianjurkan. ISO, umpama, memang memilah kelas
unjuk kerja atas dasar proses procedural dan pengelolaan sebuah organisasi, atau
entity. Melalui lorong sempit itu kedudukan relative dua atau lebih entities
dapat diperbandingkan, tetapi membandingkan kebulatan dan keutuhan dua  buah
universitas melalui jalur sempit seperti itu sama saja dengan membandingkan
jeruk Bali dengan jeruk Garut. Kurang kena, karena adanya aspek lain yang
inheren dan mencirikan kekhasan yang dimiliki sebuah Universitas tetapi tidak
dimiliki oleh universitas lainnya. Ambil contoh misalnya ITB ditahun 70-an yang
dibebani dengan isu nasionalistik, tak bisa dibandingkan secara face-value
dengan universitas luar negeri yang hanya mengikuti diktum “publish or perish”.
http://mgb.itb.ac.id - :: Majelis Guru Besar - MGB ITB :: Powered by Mambo Generated: 10 January, 2017, 07:58
Walaupun keduanya menghargai dan harus dapat mengakomodasi kritik tajam sesuai
dengan penggambaran kehidupannya, tetapi titik awal keberangkatan kredo ( kelas
dosen dan mahasiswanya) bisa menjadi penentu hasil akhir. Pemilihan awal ini
mewarnai kejiwaan dan karakter yg kelak mengakar pada universitas dan
administrasinya.
Sebuah universitas yang ideal dapat menggaet perusahaan maju dan
kompetitif, serta mementingkan riset pasar tanpa harus mengesampingkanÂ
penelitian pengembangan ilmu. Keinginan seperti ini mungkin sulit ditemui di
Indonesia, karena pusat riset industri kebanyakan perusahaan besar terdapat
diluar wilayah Indonesia dan sering bersifat mendunia. Perusahaan semacam ini
mempersembahkan luaran yg dapat menjadi tumpuan peradaban untuk maju dan
kelanggengan suatu oligarki. Perusahaan obat raksasa Bayer; penghasil
aspirin,obat yang mendunia; Mosanto penghasil bebarapa jenis panenan GMO dan
Phillips yang dimasa lalu menerangi dunia dengan lampu pijarnya dan sekarang
memperhemat pengeluaran energi lampu, menjadi besar hanya dengan sedikit
memercikkan keuntungan bagi anak negeri. Selebihnya, sisa yang besar dan jamak,
mengisi pundi-pundi oligarki metropolitan. Begitu pula kiat eksplorasi mineral
di masa lalu melupakan pendidikan tetapi memperkuat kantung keuangan
metropolitan, sambil meninggalkan papa dan paria di negeri ini. Kuajiban moralÂ
luhur bagi suatu perguruan tinggi, seperti ITB, adalah menghapus keadaan seperti
itu dan memberikan kesempatan lebih baik dan bermakna bagi anak negeri yang
cakap untuk memberdayakan dirinya.
Lebih dari itu Univesitas harus menjadi benteng kebebasan akademik,
kebudayaan dan sesumber sikap intelektual pribadi. Lulusannya merupakan personae
prima, kapabel, bertanggung jawab dan pengambil keputusan handal berlandaskan
pengetahuan dan, lebih penting lagi, nuraninya. Alumninya merupakan sosok
pemikir mandiri dan ilmiah serta, lebih dari itu, mengenal sejarah peradaban dan
kebudayaan (bangsanya). Mereka diharapkan dapat membangkitkan ruang disput
ilmiah untuk issue politik dan sosial kontemporer dengan pernyataan koheren baik
secara lisan maupun tulisan. Ini memang tampak utopis, tetapi bukannya tidak
mungkin ITB ikut mengembangkan ranah pemikiran seperti itu dengan lebih banyak
menyediakan wacana debat, yang tidak hanya penuh dengan alternatif (karena
kekurangan visi tajam) tetapi padat dengan hasil berbobot riil, yang
terterapkan. Itu adalah jalan yang semestinya harus ITB tempuh.
Universitas riset tidak terletak pada tataran tuntutan dan pernyataan,
tetapi pada tindak nyata dengan mendorong interaksi akademik tanpa kotak
penyekat tetapi tampak  pada agenda programa dan kurikulum. Pusat-pusat studi yg
beranggotakan staf ahli berbagai disiplin akan memperkaya output  universitas.
Umpama dalam kasus persiapan membuat jalan menuju ke energi bersih. Apakah
dengan biofuels atau angin sudah semestinya dibarengi dengan telaah insentif
pasar, laboratorium maju penelitian carbon capture dan sequestration.
Dua kegiatan  terakhiritu  memang seratus persen teknikal, tetapi atribut yang
pertama sudah memasuki wilayah sosial-ekonomi dankultur jamak. Bagaimana
penerimaan dan persepsi masyarakat mengenai, umpama, pembangkitan listrik tenaga
nuklir. Yang jelas produknya  “clean” dibanding dengan penggunaan bahan bakar
fosil dan bio yang hasil ikutannya ikut memanasi bumi. Namun pembuangan sampah
nuklir, kebutuhan bahan dasar (uranium) sampai kepada masalah kesehatan dan
keamanan (alami dan buatan) tetap merupakan pemikiran lintas disiplin, kalau
tidak kultural, yang masih harus ditelusuri secara non-teknikal. Dalam hal
seperti ini pandangan dan bantuan universitas di harapkan membuatkan kunci
pemecahan untuk memperkecil the “margin of error” upaya teknikal. Dalam
upaya mencari kunci jawaban universitas diharapkan ikut mengembangkan
kemerdekaan berpikir dan berargumen agar menghasilkan bundel pemikiran yang
mengandung konotasi jamak, tidak pikiran-satu- lajur, untuk menapis kesalahan.
Nanoscience yang mencuatkan beberapa cabang keilmuan, mungkin masih
mempergunakan material standar, tetapi perlu ditransformasikan menurut kaidah
nano sains dan nano teknologi. Upaya seperti itu tidak dapat dikerjakan hanya
oleh satu departemen, melainkan perlu upaya sinergik beberapa disiplin. Masa
depan memerlukan industri skala nano dengan jalinan sifat elektronik dan
optoeleketronik, Pada awal 1980-an sejumlah staf ITB sudah ikut memelopori
mengelola dan mengembangkan sekolah Optoelektronik dan Aplikasi Laser, bidang
keilmuan yang baru untuk jamannya, di UI. Saat itu sebenarnya merupakan momen
tepat-saat untuk dikembangkan di Indonesia usaha yang mengarah kepada
pembentukan material nano seperti carbon nanotubes, komposisi nano polymerik
yang dalam ini ITB mempunyai kemampuan, material nanopartikel. Ini semua dapat
http://mgb.itb.ac.id - :: Majelis Guru Besar - MGB ITB :: Powered by Mambo Generated: 10 January, 2017, 07:58
dijadikan pameran, unggulan, serta keterlibatan  Universitas di masa
depan.Terimbas oleh itu taman industri Universitas seharusnya mempunyai dua muka
yakni selain memperlhatkan “kekinian”, juga rancangan bahkan janji sejarah masa
depan. Sejalan dengan ini, seperti keinginan MGB yang menghidupkan kembali
tradisi ilmiah meminta mahaguru baru menyampaikan orasi ilmiah, tercermin
harapan agar pidato ilmiah itu mengungkap unjuk kerja terbaik mahaguru dan
visinya bagi penelitian dna pendidikan dimasa depan. Aspek ini sangat penting
secara intelektual bagi individu yang bersangkutan untuk meneteskan janjinya
kepada masyarakat ilmiah dan kepada anak didiknya. Bagi ITB orasi ilmiah itu
harfiah merupakan dokumen intelektual legal yang berisi janji dan tanggung jawab
jabatan. Oleh karena itu cara penyampaiannya didepan civitas akademika
seharusnya anggun dalam konteks dan tutur bahasanya. Adalah kehormatan bagi ITB
mempercayakan moral tugas keilmuan kepada putra pilihannya, dan sekaligus
sebagai “proklamasi” kelahiran pejabat akademik baru yang dipercaykan untuk
meneruskan tradisi luhur keilmiahan.
Mari kita dengarkan desah hasil gesekan dua buah lempeng benua yg saling
menindih. Semenjak tahun 1960-an Katili-muda dari geologi ITB mengenal,
memperkenalkan, continental drift. Ilmu itu bervibrasi dan bergema nyaring
semenjak tsunami Aceh menjadi kosakata keilmiuan dan kosakata masyarakat,
apalagi setelah terjadi gempa besar di Yogya (2006) dan ditempat lain. Pelajaran
yang ingin disampaikan disini ialah cuatan kemampuan ITBÂ ada yang menonjol
sudah semenjak tahun 1970-an dan sebenarnya sudah merupakan paspor bagi ITB
 menuju keilmuan dunia. Dewasa ini Prof. Sri Widyantoro juga mempunyai debut
dalam bidang yang hampir bertindihan dengan unggulan ITB tahun 1970-an, dengan
tomografi beliau bisa memahami kandungan rahasia isi Bumi kita. Alangkah
indahnya kalau, disamping sudah adanya dasar ilmu kebumian ITB, aset pemikir
dan fasilitas seperti itu didayagunakan.untuk memoles citra ITB sebagai
“universitas-kelas-dunia”. Bersama dengan itu ilmu kemaritiman kita juga perlu
ditonjolkan untuk menyongsong abadnya orang Indonesia, yang ingin mencari
kekayaan dan kejayaannya di dan dari dalam lautan. Tidak terlalu ambisius
kiranya dikemukakan sains planetary, sebagai sarana mengetahui sejarah Bumi
secara holistik, walau tidak langsung,. dengan mengembangkan kemampuan membuat
telaah perbandingan antara serba-planet dan kebumian. Bagaimanapun juga Bumi
adalah  salah satu planet dalam tata surya yang lahir bersama dengan planet
lainnya dan, karenanya, mempunyai trajek evolusi yang bisa ditelusuri bersama.
Sehubungan dengan pasca-tsunami waktu itu bergema gagasan dan permodelan
 untuk segera menanam bakau sebagai benteng pantai. Suatu usaha yang baik tetapi
hendaknya diingat bahwa penanaman bakau tidak satu-sabetan-jadi karena
pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh keseimbangan air asin dan air tawar
wilayah pantai. Topografi dan ekologi wilayah pendukungnya sangat penting dan
berpengaruh kepada kesemampaian dan kelangsungan  pertumbuhan bakau dan
tetumbuhan pantai yang lain. Dengan perkataan lain pengetahuan dan telaah
mendasar, murni keilmuan, tentang sifat dan  kondisi awal pertumbuhan bakau
sangat penting. Universitas dapat membantu mengejawantah masalah penting ini dan
memberi bekal pengetahuan kehidupan kepada banyak penduduk pantai karena
keberadaan bakau juga sekaligus merupakan waduk dan pemijahan beberapa jenis
ikan. Wilayah kehidupan penting, sumber protein hewani masa depan itu, sekarang
terancam oleh berbagai programa dan agenda yang tidak ramah lingkungan. Telaah
mengenai hal yang mendasar seyogyanya memperoleh bantuan dari dana publik dan
 universitas , yang hampir tiada kecualinya dianggap netral. Karena itu
hasilnya tak perlu dipatenkan demi kemashalatan orang banyak tetapi harus
disebarluaskan melalui media ilmiah atau populer agar menjangkau sebanyak
mungkin “konstituen”. Selain perlu tindak multidisiplin terpadu, yang masih
dalam genggaman-moral wewenang ITB, juga ilmuwan di negera berkembang harus
menyadari bahwa hasil telaah itu bukan harus dipatenkan demi kebaikan mereka
yang “terpinggirkan”. Namun perlu diseminasi hasil  agar bermanfaat bagi orang
banyak. Untuk keperluan diseminasi ilmu seperti itu dana dari perusahaan
bukanlah sesumber  terbaik karena sebuah perusahaan komersiil akan berkeberatan
meengempesi kantungnya  karena pengeluaran seperti itu dapat dikategorikan
pemborosan. Universitas harus mencari dana publik, non-budgeter, untuk
keperluan ilmiah dan penyebarannya. Â Primavera, wanita ahli-bakau dari Filipina,
mengemukakan bahwa “we must not forget our hearts even as we apply our
minds”. We do science not in a vacuum but against the grinding poverty and
environtment-unfriendly character of modern times. Pada titik ini penulis
ingat untuk menanyakan kepada ITB pemikiran apa yang berkecamuk dalam lembaga
http://mgb.itb.ac.id - :: Majelis Guru Besar - MGB ITB :: Powered by Mambo Generated: 10 January, 2017, 07:58
ini melihat peristiwa dan dampak  Lusi (Lumpur Sidoardjo). Kuajiban moral kita
untuk mencari jawab apakah peristiwa itu akibat kelalaian suatu eksplorasi,
kekurangan ekspertis atau semata “bencana” alamiah?. Harapan penulis ITB sebagai
“garba ilmiah, penjaga nilai moral , dan lain sebagainya jargon indah” (lihat
BUKU MGB) harus mempunyai pendapat, kalau tidak merasa risi mengemukakan
penemuannya. Seterusnya Primarvera juga menyentuh nurani dan pikiran kita dengan
kata bersayapnya “and we can use our scientific knowledge to reduce suffering
and make life more full for fellow humans and creatures”.                                 Â
Â
Bambang Hidayat                                                   Â
ÂÂÂÂÂÂÂÂÂÂÂÂÂÂÂÂÂÂÂÂÂÂÂÂÂ

Bandung, 10 Mei 2008

http://mgb.itb.ac.id - :: Majelis Guru Besar - MGB ITB :: Powered by Mambo Generated: 10 January, 2017, 07:58

Anda mungkin juga menyukai