Anda di halaman 1dari 45

BAHAN AJAR

Nama Bahan Kajian : Kritik Seni SKS :2

Kode : Sen 119 Kode : 119

Bahan Kajian : Pemahaman Jadi Kritikus

Program Studi : Sendratasik

Minggu Ke : 1 s/d 15

Dosen : Drs. Wimbrayardi, M.Sn

Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran) terkait KKNI

Mahasiswa diharapkan mampu sebagai mediator atau fasilitator memberi


penilaian dan mengulas serta memberi masukan terhadap mutu suatu
karya seni dari apa yang dilihat (visual) atau didengar (audio).
Memahami secara komprehensif sebagai suatu bentuk seni pertunjukan,
maupun dalam hubungan dengan perkembangan bentuk karya-karya
musik dewasa ini

Soft skills/Karakter: Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa


diharapkan berkembangnya proses apresiasi menuju tingkat apresiasi kritis
dan harus mampu menjadi kawan dialog masyarakat (apresiator) dan juga
seniman tentang karya-karya seni yang mereka temukan dan mereka hadapi.
Selain itu tujuan mata kuliah kritik seni ini, mahasiswa percaya akan
kemampuan mereka untuk menafsir, mengerti, menguraikan serta evaluasi
terhadap karya seni,

Materi :

A. Pengertian Kritik Seni, Tujuan dan Fungsi Kritik Seni


B. Menerima Kritik Seni dan Menjadi Kritikus itu Perlu

C. Peralatan (perkakas) dan Jenis Kritik Seni

D. Penyampaikan Kritik Seni

E. Norma-Norma dalam Kritik Mempunyai Syarat

F. Bekal Seorang Kritikus

G. Filsafat Kritik

H. Menulis Kritik Seni Pertunjukan

Materi:

1. Pengertian Kritik Seni, Tujuan dan Fungsi Kritik Seni


Mengapa kritik seni Indonesia kurang berkembang, bahkan sering
dipertanyakan perguruan tinggi seni tidak menghasilkan kritikus.
Jawabnya atas pertanyaan tersebut tidak mudah, perlu kajian khusus
dari aspek yang menyebabkan pruduk pertguruan tinggi seni, sepi dan
kurang mampu menghasilkan kritikus. Pertanyaan perlu didahulukan
dengan pertanyaan internal tentang siapkah kita (seniman atau
masyarakat) karya kritik sebagai satu wahana pemahaman dan
perluasan penikmatan karya seni. Mampukah kita menyamakan
persepsi tentang wahana kritik yang sedang berkembang yang
kemudian berhadapan dengan budaya kritikyang sudah terlanjur
berkembang dan mengakar pada masyarakat kita.
Menyoal tentang kritik di Indonesia memang sangat komplek.
Terutama apabila kita bicara masalah karya seni yang muncul pada
media masa. Hal ini disebabkan oleh perluasan istilah kritik yang
muncul kepermukaan, justru mengacaukan perkembangan kritik seni
itu sendiri. Anggapan sementara bahwa kritik seni merupakan satu
keinginan untuk memvonis, satu hepotesisi untuk menunjukkan
kekurangan dan kelemahan pada seniman dan karyanya. Kritik selalu
dikaitkan sebagai bentuk penghakiman, vonis dan bahkan mencela.
Sehingga setiap penerima prilaku kritik, harus mampu menahan sakit
hati karna dicela karyanya. Di lain pihak seniman sudah merasa
berbuat sesuatu yang dianggap cocok, karena dengan intensitasnya
mereka sudah berbuat total dalam mewujudkan karya seninya.
Akhirnya justru muncul komentar baik dari para seniman ”karyanya
sendiri belum baik, beraninya ngritik orang lain” (itu yang mestinya tidak
perlu terjadi karena karya seni, seniman dan kritikus adalah kawan
dialog).
Pertikaian ini mengakibatkan enggannya para pengamat seni atau
dosen untuk membuat kritik, karena tidak ingin menyakiti hati
seniman lain. Para pengamat lebih cendrung menyibukan diri dalam
penelitian ilmiah, pembimbingan dan peningkatan profesi. Banyak
tuduhan pada orang akademis, sok eksklusif tidak peduli, sombong,
kreativitasnya mandeg, acuh dengan perkembangan seni, sepi akan
kritik media, dan segudang tuduhan. Akibatnya perguruan tingga
dianggap tidak penya tanggung jawab moral tentang perkembangan
karya seni dan tidak punya kualitas kritik. Kondisi ini dimanfaatkan
para jurnalis dalam media masa, wartawan seni menjadi tumpuan
harapan seniman untuk tujuan popularitasnya.
Sementara persepsi-pesepsi yang berangkan dari budaya kritik,
berkembang terus bahkan menmgakar dimasyarakat, sehingga untuk
menjadi kritikus diperlukan satu senioritas, pengalaman, kepiawaian,
kepopuleran namanya dalam bidang keahliannya.
Istilah kritik seni dalam bahasa Indonesia, sering juga disebut
dengan istilah ”ulas seni”, ”kupas seni”, ”bahas Seni”, atau ”bincang
seni”. Hal itu disebabkan istilah kritik bagi sebagian orang sering
berkonotasi negatif yang berarti kecaman, celaan, gugatan, hujatan dan
lain sebagainya. Dalam kamus Inggris=Indonesia disebutkan kata critic
adalah kata benda yang berarti pengecam, pengkritik, pengupas, dan
pembahas (John M. Echols dan Hasan Sadily, 1984: 155). Istilah critic
dalam bahasa Inggris sudah ada sejak tahun 1588 yang secara
etimologi berasal dari bahasa latin criticus, dan bahasa Yunani kritikos
yang erat hubungannya dengan krinein yang berarti memisahkan,
mengamati, manilai, dan menghakimi.
Kritik adalah yang menyampaikan pendapatnya dengan alasan
tertentu terhadap berbagai hal, terutama mengenai nilai, kebenaran,
kebajikan, kecantikan, atau tekniknya. Selanjutnya dinyatakan, bahwa
arti kritik adalah orang yang melibatkan diri secara profesional dalam
menganalisa, mengevaluasi atau memberi penghargaan terhadap karya
seni atas capaian artistiknya. Terakhir dinyakatan bahwa kritik adalalh
bahwa sesorang yang memberikan penilaian dengan cerdik dan tajam.
Bahwa tindakan mengkritik dalam kehidupan sehari-hari
umumnya tidak mendukung atau menguntungkan bagi yang dikritik,
suatu pengamatan yang kritis atau teguran. Padanan kata critique
dalam batasan di atas berarti kupasan atau tinjauan. Dalam seni
mengkritik berarti mengevaluasi atau meneliti karya seni atau literatur.
Berikutnya mengkritik diartikan sebagai proses penyelidikan yang
ilmiah dari naskah atau dokumen yang terkait seni dalam
hubungannya dengan berbagai hal, seperti keaslian, teks, komposisi
atau sejarahnya.
Berdasarkan pengertian tersebut istilah kritik dalam bahasa
Indonesia dapat disamakan dengan istilah critic, criticism dan critique
dalam bahasa Inggris. Pada umumnya istilah kritik seni terkait dengan
masalah seni dan bertujuan mendeskripsikan, menganalisis,
menginterpretasi, dan menilai karya seni.
Kritik seni ialah berkembangnya proses apresiasi menuju tingkat
apresiasi kritis, bahwa seorang kritikus harus mampu menjadi kawan
dialog masyarakat (apresiator) dan juga senmiman tentang karya-karya
seni yang mereka temukan dan mereka hadapi.
Hal yang berkaitan dengan permasalahan kritik, seorang harus
mampu menempatkan dirinya sebaga mediator atau fasilitator, sehingga
mampu menjadi jembatan dialog antara karya seni seniman dan
penghayat. Kritik seni adalah menguraikan menginterpretasikan dan
melakukan evaluasi atas karya-karya seni. Bahwa kritik seni menurut
Fildman adalah understanding, mencoba untuk mengerti apa-apa yang
ada dalam karya seni tersebut, artinya maksud dari kritik seni yang
paling diharapkan adalah to make some objectif statement of the worth or
rank of an art object.
Perkembangan seni begitu cepat, bersama dengan perubahan
zaman sehingga akan terjadi pula pergeseran dan perubahan nilai
secara kultural. Perubahan nilai yang cepat ini tentu mengundang
berbagai permasalahan. Dari tingkat apresiasi masyarakat pecinta seni
sampai ”kesadaran baru” para seniman.
Bertambahnya jumlah seniman menjadikan banyak karya seni
berbagai gaya dan berbagai alternatif yang ditawarkan. Demikian juga
dengan meningkatnya jumlah kurator seni yang membuat event
diberbagai kota di Indonesia, dan tidak seimbang dengan kehadiran
kritikus seni dan mediator yang prfesional. Kenyataannya ini masih
sangat memprihatinkan dan dapat dihitung dengan jari, sebagai bahan
perbandingan kritik seni adalah kritik yang dipergunakan dalam
memahami dan mengevaluasi karya. Kritik dalam segala bentuknya
dapat digunakan dalam pemahaman dan evaluasi berbagai ragam
makna permasalahan. Kegiatan pemahaman dan evaluasi kritik
memiliki peranan penting dalam kehidupan seni dan masyarakat.
Aktivitas kritik seni sebenarnya secara menyeluruh diwarnai oleh
pola pikir kualitatif yang tujuan utamanya bukanlah pembuktian suatu
prediksi atau hepotesis, tetapi adalah pemahaman untuk menemukan
makna konteks. Di dalam aktivitasnya kritikus seni mengemban tugas
berat dalam ”menterjemahkan” dan memberikan bahasa metaforis yang
sangat pelik yaitu bahasa seni kedalam bahasa yang mudah dipahami
agar penghayat menangkap dan memahami makna suatu karya seni
secara mendalam.
Pada dasarnya seni diciptakan dan disajikan dalam beragam
bentuk bagi terjadinya pengalaman estetik. Maka kritik seharusnya
berupa kativitas evaluasi yang memandang seni sebagai objek untuk
pengalaman estetik. Pengalaman tersebut dihasilkan lewat kajian teliti
atas karya seni. Untuk itu kritik sebagai studi rinci dan apresiatif
tentang karya seni, dari pandangan ini disatu sisi kritik merupakan
keyakinan dan semangat yang lebih besar dari logika seorang pencinta
seni yang berusaha mendukung karya, sedang disisi lain ia merupakan
analisis cendikia dan teliti atas karya seni disertai berbagai tafsir
dengan alasan-alasannya. Pandangan bahwa kritik seni perlu
melibatkan penelitian dan evaluasi merupakan karakter yang sangat
mendasar bagi seorang kritikus untuk menyajikan karya seni dalam
satu hirarki atas kehebatannya nilainya.
Kritik dalam segala bentuknya bisa digunakan dalam pemahaman
dan evaluasi di dalam beberapa hal atau permasalahan, tetapi dalam
seni penggunaan kritik telah berlangsung sejak lama dan sudah
memiliki bentuknya yang tegas dengan struktur yang jelas, dengan
mengarah pada aktivitas pemhaman dan evaluasi kritik memiliki
peranan penting di dalam pengembangan kehidupan seni pada
masyarakat. Untuk menjadi pengamat atau pengkritik sebaiknya
memperluas wawasan dasar pengamatan antara lain:
1. Seorang pengamat atau kritikus harus mengetahui sejarah seni
(Musik dan Tari), sehingga mampu membedakan objek karya
seni tersebut. Luasnya kajian sejarak seni (musik dan Tari),
maka perlu kajian tersendiri.
2. Pengamat atau kritikus terlebih dahulu memahami ruang
lingkup seni yakni menguasai seluk beluk yang berkaitan
dengan penciptaak karya seni.
3. Penghayat yang sedang memahami karya sajian, maka
sebenarnya ia harus terlebih dahulu mengenal struktur atau
dasar-dasar dari susunan penciptaan musik dan tari seperti ,
waktu, tempo, bentuk, ritem, volume, harmoni dan sebagainya,
sehingga pada gilirannya paham apa yang akan di kritik,
2. Menerima Kritik Seni dan Menjadi Kritikus itu Perlu
Pada dasarnya, kritik adalah ungkapan perasaan seseorang
kepada orang lain atau sesuatu kelompok lain atas sesuatu bagi dirinya,
atau bagi kelompoknya masih dianggap kurang atas sesuatu hasil
perbuatan yang dilahirkan itu kurang mampu menjangkau dan kurang
mengena.
Kritik ada pada pada setiap orang apakah masih tersimpan
dihatinya, atau yang sudah diungkapkan, sedangkan kritik itu ada
kemungkinan bertujuan untuk menambah, mengurangi sesuatu
pendapat, bahkan mengaburkan, hingga menghilangkan pendapat itu
sendiri, tujuan lain ada yang bersifat membangun serta bersifat mencela
atau menjatuhkan seseorang. Timbulnya kritik datangnya sewaktu-
waktu, bisa saja disaat kita sedang mengerjakan atau menciptakan
sesuatu, entah datangnya dari saudara sendiri, teman, orang lain atau
dari diri sendiri, Untuk mengetahui, sejauh mana kritik itu kita perlu
untuk senantiasa membedakan yang mana kritik yang membangun,
yang mana kritik yang menjelek-jelekan seseorang, perlu kita bedakan
dan perlu kita pertimbangkan agar kesalah pahaman dihindari jauh-
jauh, perselisihan dan permusuhan dihindari pula. Hanya kritik bisa
saja terjadi hal-hal tersebut di atas berarti sangat memalukan, sebabnya
yang mengkritik tidak mempunyai maksud positif atas kritikannya, dan
begitu sebaliknya yang dikritik kurang menyadari bahwa apa yang telah
dia lakukan atau perbuatan sudah sesuai dengan keperluannya.
Banyak yang tidak mau menerima kritik, bahkan dapat marah
besar kalau sampai ada yang mengkritiknya, akhirnya kemajuan-
kemajuan yang akan tercapai bisa saja terhambat karena tanpa adanya
bantuan atau pendorong yang disebut kritik itu tadi. Bagi sipengkritik
dan juga sipenerima kritik hendaknya aelalu menempatkan diri pada
posisi yang baik pula, masing-masing mempunyai hak dan kewajiban
yang sama, maka si pengkritik harus:
1. Menempatkan diri sebagai pengkritik yang baik, bukan atas
memaksakan kehendaknya sendiri kepada orang lain, baik
untuk kepentingan sesorang maupun untuk kepentingan orang
banyak.
2. Memahami arti kritikannya, dapat memberikan alasan sebab
akibatnya.
3. Kritikan dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk
membangun, bukan semata-mata merusak citra seseorang
atau bahkan menjelek-jelekan orang lain.
4. Sedapat mungkin memberi contoh yang baik sebelum
mengajukan usul-usul atau saran atas kritikannya.
Sedang bagi yang dikritik dapat pula:
1. Menerima kritik dan langsung menimbang kemungkinan dari
kritikan itu, bukan langsung mengikuti atau menjalankan
perintah atas kritikan tersebut.
2. Mempelajari apa kesalahan atau kekurangan.
3. Tidak langsung bertindak atau mengambil langkah-langkah
negatif, sebab sebagai seorang yang mau maju sebaik mungkin
dapat menerima saran, petunjuk dan pendapat orang lain,
dengan masukan atas kritikan itu mungkin bermanfaat bagi
diri sendiri juga bagi orang banyak.
4. Koordinasikan kembali serta minta petunjuk dari orang yang
lebih ahli.
Pada kodratnya kita sebagai manusia tak luput dari kealpaan dan
kesalahan, itu sudah pasti. Tapi masih ada juga orang yang mau
mengerti dengan kesalahannya dan beranggapan bahwa dirinya sudah
termasuk orang yang pintar dan tak punya salah. Pandai-pandai kita
berusaha menjadikan sesuatu atau menciptakan apa saja agar kritik
yang diberikan orang kepada kita tidak terlalu parah, dan juga bagi
orang yang akan mengkritik tidak juga terlalu berlebihan, namun pada
dasarnya juga mengena atas suatu kritikan dan mempunyai dampak
yang baik.
Pada akhirnya dapat kita menarik satu kesimpulan bahwa kritik
itu perlu bagi kita semua, terutama bagi yang ingin maju tanpa kritik
kita tidak mungkin kita bisa meraih sukses, sebab foktor kesalahan
yang sekalipun kecil dapatlah terlihat dari karya seni yang kita buat.
Bagi si pengkritik siap pula dengan jawaban apa yang dia kritik
terhadap orang lain, sebaliknya pila bagi kita yang dikritik hendaknya
menerima sebagai bahan untuk dipelajari kesalahan apa sebenarnya
dalam pembuatan karya seni.
3. Peralatan (Perkakas) dan Jenis Kritik Seni
Jenis perlengkapan apa yang seharusnya dimiliki kritik seni untuk
memenuhi fungsinya, jenis pengetahuan apa yang seharusnya dimiliki,
atau ketrampilan apa yang diperlukan buat pelaksanaan kritik, juga
bagaimana memberi keputusan atau judgedments terhadap karya seni.
Pertanyaan di atas memberi pengertian bahwa pengenalan yang
luas dengan seni, khususnya yang sejenis merupakan kebutuhan yang
fundamental. Pengenalan tersebut bisa dilakukan lewat studi formal
khususnya sejarah (musik dan tari), dan tidak kalah pentingnya
pengalaman langsung terhadap karya seni, paling tidak dengan karya
reproduksinya. Pada kenyataan banyak seniman yangmemperoleh
manfaat dari karya-karya yang dinyatakan baik oleh para kritisi.
Pengenalan terhada seni, bukanlah sekedar pengakuan visual atas
karya-karya yang berhasil, tetapi meliputi pengertian akan gaya, fungsi,
konteks sosial dan kultural dimana seniman berkarya, juga pendapat
para pengamat dan yang tidak boleh dilupakan adalah faktor teknis
tentang sesuatu yang berkaitan dengan tata artistik dalam berbagai
media. Dengan demikian akan mendapat berbagai kemungkinan yang
diperolehnya berkaitan dengan selera yang bersifar universal. Wacana
tersebut paling tidak mampu untuk menghindari keterbatasan dalam
kritik. Belajar dari sejarah, tidak akan memperoleh pengetahuan teknis
tentang pembuatan karya, hal ini dapat diimbangi dengan pengamatan
yang intensif terhadap karya seni dalam ragam dan bentuk. Pengalaman
yang diperoleh punya manfaat untuk meniti pengertian yang mendasar
antara maksud dan capaian artistik.
Pengalaman dengan seniman juga besar manfaatnya, tetapi perlu
seleksi untuk menghindari kritik yang bersifat memihak atau justru
tidak objektif, karena pengenalannya dengan seniman tersebut. Apabila
terjadi kritik seperti ini, umumnya terdapat pada kritik jurnalistik yang
memang sengaja untuk memperkenalkan personalitas artistik seniman
tersebut. Oleh karena itu sangat penting bagi calon kritikus untuk
menghindari prasangka negatif itu.
Banyak seniman menghargai kritik, manakala mereka mengatahui
bahwa putusan tersebut didasari atas pengalaman dan pemahaman atas
pelaksanaan dan teknis artistik. Sekalipun demikian banyak juga
dijumpai kritikus yang hanya berdasarkan pada pengalaman yang
sedikit yangndidukung persiapan teoritis. Kritikus semacam ini yang
umumnya tidak diterima para seniman, terlebih lagi terhadap para
seniman yang juga merangkap menjadi kritikus, dimana dalam hal ini
umumnya mereka tidak bisa bersikap objektif. Ini memberikan persepsi
dan wacana bahwa seorang kritikus tidak cukup membekali dirinya
dengan teori-teori verbal. Kritikus yang cermat bermaksud terbuka,
ternuka terhadap legitimasi ekspresi artistik yang dasyat, memberi
kejutan ataupun eksperimental. Tetapi pelaku kritik yang tidak memiliki
pengalaman teknis yang cukup memadai serta keahlian mereka hanya
bisa berimajinatif dalam memandang teknis suatu karya seni, mereka
bisa tertipu. Seorang kritikus bukanlah sekedar pembuat esai atas
suatu karya seni yang ia nilai, ia harus pula mampu mengetahui
bagaimana proses penciptaan karya itu sendiri.
Tidak kalahnya penting apa yang disebut dengan Sensibilitas Kritik
yang berguna untuk mengangkat sebagian besar kemampuan mereaksi
terhadap berbagai macam arti dalam karya seni SeorAng kritikus
bagaimanapun juga harus mampu memasuki luasnya lingkup emosi
estetik, sebab jika tidak manfaat kritiknya akan amat terbatas. Sebagai
contoh, seorang kritikus tidak boleh hanya menerima suatu gaya
tertentu, sehingga ia tidak bisa berbicara terhadap gaya lain yang tidak
ia gendrungi. Untuk menghindarinya sekali lagi pengalaman dalam
berbagai gaya dan lingkup seni yang luas mesti dikuasai. Biarpun
seorang kritikus memiliki perlengkapan, teknis kritik salah satu hal
yang juga harus tidak dilupakan adalah tempramen adil yang juga
termasuk perlengkapan kritik. Seseorang yang tidak terlatih dalam
membuat keputusan, biasanya terlalu cepat memberikan keputusan.
Kebaikan dari sefat ini adalah untuk memberi waktu bagi banyak
gambaran, asosiasi, sensasi dan setengah keputusan atas interaksi
untuk mengesahkan penjelajahan intelegensi dalam memilah-milah
serta mengorganisir, ini berarti kita perlu waktu untuk melatih logika.
Temperamen adil yang diutarakan di atas dimana kritik seni
sebagian besar merupakan suatu upaya empirik yang berlawanan
dengan proses deduktif. Sebelum perjudian terjadi proses sampainya
pada suatu keputusan melibatkan sekelompok fakta serta presentasi
fakta dan penundaan keputusan. Kita mulai tanpa mengetahui
keputusan apa yang bakal terjadi, secara lambat laun kita
mengemukakan fakta serta feeling sampai suatu kesimpulan yang valid.
Ini semua dilakukan utnuk menghindari perangkap subjektif, sikap
berat sebelah, dan kebrutalan emosional.
Jenis Kritik Seni
1. Kritik Jurnalistik
Karakter yang jelas dari jenis kritik ini adalah termasuk
kategori berita, jenis kritik ini ditulis untuk pembaca surat kabar
atau majalah, untuk memberikan informasi kepada mereka tentang
hal-hal yang ada pada dunia seni yang suatu saat muncul, juga
untuk memelihara minat mereka sebagai pembaca surat kabar atau
jurnal. Biasanya jenis kritik ini berbentuk ulasan yang hanya
merupakan suatu kesimpulan singkat dari suatu pementasan dan
jarang bersifat analisis yang sistematis. Gaya dari penulisan ini
diusahakan untuk menciptakan ekuivalensi verbal suatu karya,
sehingga jadilah suatu bentuk berita sebagai pengganti pengalaman
visual.
Kritik jurnalistik menuntut penulisnya suatu ketangkasan
mengungkap penyajian deskripsi yang mengasyikkan, mudah
dicerna pembaca, sebaliknya analisis cendrung merupakan ulasan.
Sekalipun demikian berapa tulisan jurnalistik yang bagus juga
banyak ditemukan dalam surat kabar atau majalah terkemuka.
Karena kritikus jurnalistik sedemikian sering menulis, bahkan
seringkali dibatasi oleh jumlah halaman, sebagai resiko tulisan
kurang teliti, konklusinya terburu-buru, pendapatnya diganti
sebagai analisa. Tanpa adanya suatu usaha dari pembaca untuk
mengimbanginya dengan bentuk tulisan lain yang lebih cermat, atau
dengan kata lain percaya sepenuhnya terhadap tulisan tersebut,
maka harapan yang ingin diperoleh dari suatu tulisan kritik banyak
tak terpenuhi, Sekalipun demikian bukan berarti bahwa jenis kritik
ini tidak ada manfaatnya, karena justru dengan jenis kritik ini
memungkinkan masyarakat mencoba mengenal seni lebih
mendalam.
2. Kritik Padagogik
Kritik padagogik dimaksudkan untuk memajukan
kematangan artistik dan estetik para mahasiswa. Jenis kritik ini
tidak dilakukan untuk membuat kritik yang bersifat otoritatif, agar
para mahasiswa dapat membuat kritik atas diri mereka sendiri.
Dalam menangani para mahasiswa, dosen yang dalam hal ini
berfungsi sebagai kritikus haruslah dapat membedakan dengan
kritik profesional. Pendapat ataupun standar profesional dapat
diajukan untuk memberikan stimulasi dan membicarakan dalam
diskusi.
Kesulitan dosen sebagai kritikus dalam hal ini adalah
peranannya sebagai kritikus dan sekaligus sebagai instruktur. Ia
harus berusaha bagaimana agar para mahasiswa mampu
menganalisis karya, dan bagaimana agar para mahasiswa mampu
meningkatkan karyanya, dengan demikian prestasi meningkat. Ada
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dengan adanya kritik jenis
ini. Bagi seorang dosen yang berwawasan luas peranan kritiknya
tidak menutup kemungkinan mahasiswa untuk mengembangkan
gayanya sendiri, sehingga personalitas artistik para mahasiswa
dapat tumbuh secara utuh.
Kemungkinan yang lain adalah apabila seorang dosen
memiliki keterbatasan wawasan, sehingga standar-standar yang
diajukan akan menutup kemungkinan pertumbuhan personaliti
mahasiswa secara utuh, sebagai akibatnya apa yang ia lakukan
adalah mencetak cantrik-cantrik atau penerus gaya pribadinya.
Seperti yang dikemukakan Robert Henri: seorang dosen yang mampu
membangkinkan semangat para mahasiswa, dimana instruksinya
memunculkan penemuan personal serta keyakinan terhadap diri
sendiri, tanpa memberikan pengaruh yang sempit pada para
mahasiswa.
3. Kritik Ilmiah
Akademi kritik seni, kebanyak berusaha meningkatkan hasil
sarjana yang peka serta memiliki sifat adil. Fungsinya agar dapat
memberi suatu ketetapan lewat analisis, interpretasi dan evaluasi
terhadap karya seni serta reputasi artistik yang mempunyai
keluasan ruang dan waktu yang dapat memberikan kemungkinan
yang paling baik dari kenyataan yang ada.
Pada umumnya usaha semacam ini hanya dapat
dilaksanakan dengan sponsor universitas. Kritik jenis ini menyajikan
penafsiran yang cermat lewat suatu penelitian, serta memberi
kebenaran yang tidak memihak. Sebagaimana suatu pengadilan,
kritik jenis ini tidak mengenal rasa takut atau menerima pengaruh
yang tidak objektif. Kritik jenis banyak menaruh perhatian pada
karya-karya seni kontemporer, dimana usaha yang dilakukan tidak
terjangkau oleh kritik jenis jurnalistik yang selalu diburu dengan
kehangatan berita.
Fungsi yang sangat berguna dari kritikus akademis adalah
penelitian ulang mereka terhadap reputasi artistik yang telah
tersisihkan. Setiap era baru mempunyai karakter cara memandang,
oleh karena itu seorang seniman yang tergolong biasa saja pada
masanya, kedapatan memiliki kesegaran dalam era sekarang. Dalam
hal ini besar pula artinya festival-festival yang diselenggarakan,
dengan itu akan hidup karya-karya seni dan mengembalikan
reputasi atau gaya seni muncul kembali yang sudah tidak dihargai
4. Kritik Populer
Kritik populer adalah jenis putusan yang dibuat sejujur-
jujurnya atau secara tidak langsung suatu putusan yang dibuat
kebanyakan orang yang tidak memiliki keahlian kritik. Suatu
kenyataan yang terjadi adalah bahwa jenis kritik jenis seperti ini
akan selalu muncul, terlepas dari benar dan tidaknya, oleh karena
itu pantas kiranya untuk dipertimbangan efeknya pada seni
kontemporer secara total, bahwa pendapat kritik mempunyai
pengaruh yang cukup berarti terhadap apa yang diciptakan
seniman. Dalam hal ini kritik populer akan seperti halnya yang
dilakukan oleh para ahli.
Sejumlah besar masyarakat yang membuat putusan kritik
jenis ini, cendrung berdasarkan intuisi, katakalah bersifat intuitif.
Mereka beranggakan visi mereka yang normal merupakan alat untuk
menyalurkan kritik. Sekalipun perbaikan serta perluasan
pendidikan estetik akan memberikan kemungkinan besar
masyarakat untuk membedakan berbagai tipe realisme misalnya,
akan tetapi sulit kiranya untuk berharap sedemikian besar bahwa
masyarakat mampu atau punya minat untuk belajar membedakan
tipe-tipe tersebut.
4. Penyampaian Kritik Seni
Untuk menjadi seorang kritikus harus tahu betul bagaimana cara
menyampaikan kritik dan banyak yang harus dipahami dalam kritik
seni seperti pemahaman terhadap nilai karya seni dan lingkungan:

Mengupas Segi nilai mutu karya


seni
KRITIK SENI

Memberi penerangan tentang suatu


seni dalam kaitannya dengan
lingkungan

1. Unsur negatif Ilmu Pengetahuan


2. Unsur Positif
3. Unsur Negatif & Positif Masyarakat
WAWASAN
4. Unsur negatif Sosial
5. Unsur Positif
6. Unsur Nagatif Positif Perkembangan
Karya

DLL
Sifat Pendidikan Sifat Kritik Dalam
Penyampaian
Tulisan anda atau Sifat Ilmiah
kupasan
Sifat Apresiatif

Sifat Kontrol

EVALUASI KONSULTASI MAMPU


PADA PAKAR MENYAMPAI
KAN KRITIK
DENGAN
BIJAK

5. Norma-Norma Dalam Kritik Mempunyai Syarat

Barang siapa melancarkan kritik, tidak cukup baginya hanya


mengetahui kenyataan yang dihadapinya. Sebab barang siapa yang
melancarkan kritik, ia berusaha untuk menentukan apakah kenyataan
yang dihadapinya itu benar-benar seperti apa yang seharusnya. Jadi ia
harus pula mengetahui bagaimana seharusnya yang perlu dinilai itu.
Istilah yang paling mudah teraih dalam hal ini adalah norma.
Begitu mendengar istilah ini mungkin ada orang yang segera
mengangkat bahu. Banyak orang sangsi, apakah ada norma yang
sebenar-benarnya, apakah ada norma yang objektif disegala bidang.
Bahwa barang siapa melancarkan kritik, dia benar-benar menggunakan
norma yang dipahami. Untuk mengetahui norma tersebut ada 16 poin
diantaranya:
1. Kritik harus dilaksanakan untuk membangun dan menaikkan
taraf seni
2. Kritik harus dilakukan tanpa prasangka perasaan yang tidak
baik
3. Kritik harus dapat memisahkan soal besar dan kecil, mana
yang penting dan mana yang tidak penting.
4. Sebagai orang timur hendaknya kritikus dapat menghargai hal-
hal yang baik terlebih dahulu.
5. Kritik harus bisa menyesuaikan dengan tempat.
6. Kritik harus bisa menyesuaikan dengan waktu
7. Kritik harus menunjukkan rasa cinta dan tanggung jawab yang
mendalam terhadap seni
8. Kritik harus diusahakan seobjek mungkin
9. Kritik harus berusaha menanamkan dan mempertinggi
apresiasi masyarakat
10. Kritik harus memuji yang baik sekalipun pada lawan, dan
mencela yang jelek sekalipun pada kawan
11. Kritik harus mempunyai latar belakang yang baik dan benar
12. Kritik harus menggunakan bahasa yang baik dan benar
13. Kritik harus memperkuat rasa kepribadian masyarakat
14. Kritik harus didasari dasar pengetahuan
15. Kritik harus membimbing masyarakat berfikir kritis terhadap
hasil seni
16. Kritik harus mempunyai pendirian kritis, dimana ia mau
membukakan hatinya lapang-lapang, sudi serta iklas menerima
keterangan dari berbagai pihak, ia harus berani menyampaikan
bahwa apa yang dipaparkan adalah benar, tapi bukan itu satu-
satunya yang benar.

6. Bekal Seorang Kritikus

1. Pemahaman Estetika

Estetika atau aesthetics merupakan sebuah istilah tradisional,

yang telah lama dipakai sebagai salah satu cabang filsafat, yang

mengacu pada segi keindahan atau yang indah.Istilah ini diperkenalkan

oleh seorang filasuf Jerman yang bernama Alexander Baumgarten (1714-

1762). Berasal dari istilah kata yang ada dalam Bahasa Yunani Kuno,

yakni aesthetics, yang mengandung arti dan pengertian sebagai persepsi

rasa atau sense perception (Encyclopedia Americana diambil dan

Bambang Pudjaswara, tt: 10). Istilah ini sengaja dipilih oleh Baumgarten

yang lebih merupakan suatu teori pengetahuan perspektif tentang seni,

di mana estetik cenderung dianggap sebagai epistemology inferior atau

bagian ilmu filsafat yang membahas tentang asal keadaan sesuatu yang

bermutu rendah (Abdul Kadir, 1974: 1).

Permasalahan yang cukup pelik untuk dipilahkan di dalam

konsep estetik Baumgarten lebih merupakan suatu teori tentang

bagaimana kenyataan-kenyataan perasaan ini bisa dibedakan dengan

realitas intelektual, karena keduanya acapkali nampak di dalam

kenyataan yang baur. Estetika Baumgarten ini sealiran dengan

Soktrates dan muridnya Menurut Aristoteles bahwa ciri khas seni

adalah mengupas alam dari esensi yang sebenarnya, tetapi is juga dapat
menurunkan derajat manusia Menurut Plato dan Aristoteles tentang

seni, bahwa seni hams membuat sesuatu menjadi lebih balk dari yang

sebenarnya Namun pandangan kedua orang itu ada perbedaan, Plato

mernandang keindahan mutlak sebagai subyek di atas semesta Sedang

Aristoteles memandangnya sebagai panutan batiniah yang ada dalam

pikiran manusia (Agus Sachari, 1989: 8). Kiranya estetika bukanlah

sepenuhnya merupakan sebuah disiplin intelektual yang teratur, tetapi

lebih jelas adalah merupakan keanekaragaman dari problema-promlema

yang terjadi di dalam seni yang juga erat peruntutannya dengan alam

semesta

Baumgarten yang hidup setelah Leibniz adalah orang yang

pertama kali memperkenalkan kepada dunia istilah estetika sebagai

suatu bidang khusus menyangkut teori keindahan. Meskipun ia

dianggap sebagai pelopor estetika, tetapi bukunya tentang estetika

kurang banyak memberikan gagasan baru tentang estetika Setelah

muncul estetika atau kritik Kant yang lebih dikenal dengan era

perpindahan dari obyektivitas ke arah relatifisme (subyektivisme), maka

ada suatu pergeseran besar yang terjadi pada tubuh estetika, yang

kemudian kita kenal dengan revolusi kopernik dalam filsafat (Ibid., 10).

Pembahasan Kant dimulai dari kritik terhadap kemampuan

menilai estetis, yang ia bagi dalam dua bagian yaitu: analisa

kemampuan penilaian estetis. Pada dasarnya Kant rnenyimpulkan

bahwa selera adalah suatu kemampuan untuk memutuskan senang


atau tidak senang terhadap suatu obyek, atau perbuatan-perbuatan

tertentu yang obyeknya bersifat bebas dari suatu tujuan: objek

kepuasan ini dinarnakan: kecantikan. Pertimbangan lain terhadap

selera, terutama dari sudut kuantitas: Kant menyatakan bahwa

kecantikan berwujud tanpa konsep, dengan tegas ia mengatakanbahwa

keindahan ialah kesenangan total yang terjadi tanpa konsepsi, di

samping itu ia juga menyarankan harus ada pertimbangan lain dalam

menilai keindahan.

Di dalam salah satu bentuk konsepsi timur (tentang estetika) akan

dikemukakankonsepsi estetik India, maka semua bentuk pengalaman

estetis diterjemahkan denganistilah "rasa". Pengertian rasa ini

mengandung makna yang ,cukup luas, antara lainberarti:fizice atau sari,

taste atau cicip, flavour atau penyedap dan sebagainya (Abdul Kadir,

1974: 13). Semua itu diterapkan untuk mengkaji nilai-nilai di dalam

puisi dan teater.Suatu karya pertama yang berbicara tentang estetika

India adalah Natya Castra, sebuah buku tentang seni teater karangan

Bharaha Nuni. Di dalam Natya Castra diuraikan secara jelas bahwa

bentuk sebuah pengalaman estetis, sesuangguhnya adalah merupakan

suatu manifestasi dari delapan perasaan fondamental yang disebut

"bhava" atau Sthavibhava di dalam diri manusia. Kedelapan perasaan

fondamental yang disebut adalah kesenangan, kenikmatan, kemasgulan,

kemurkaan, keras kepala, takut, penyesalan dan keinginan tahuan

(1bid).Seluruhnya terkenal sebagai psikologi empiris faham Bharata


Kiranya seni teater dalam Natya Castra juga bertumpu pada psikologi

empiris Bharata tersebut.Di dalam perwujudan sifat-sifat tersebut

tumbuh jalinan-jalinan emosional yang mempertautkan persepsi

pengamat dengan ekspresi aktor atau disebut dengan rasa.

Menurut Bata Lollata, seorang ahli retorik yang beraliran Shiwa,

maka rasa sesungguhnya hanya dapat ditemukan di dalam tokoh yang

diperankan, dengan menggunakan penyambung, maka saat-saat estetis,

penonton akan melihat dua tokoh (aktordan perannya) dalam atau

suatu bentuk peran yang tunggal. Sedang menurutAnanda E.

Coornaraswaty, kedudukan rasa dan keindahan hanyalah bisa dipahami

dengan suatu emphaty, seperti diungkapkannya bahwa Rasa is tasted-

beauty is felt- only by empathy (dalam Bambang Pudjaswara, tt: 11).

Dari beberapa penjelasan tersebut dapat ditarik suatu pengertian,

bahwa rasa sebagai pengalaman estetis tumbuh dan terjadi bukan di

dalam aksi sepihak, yakni pemain saja, melainkan terjadi di dalam

suatu interaksi dan interelasi positif antara aktivitas pemain dan

pengamat.Rasa di dalam konsep estetik India, lebih jelas

karenapertemuan antara daya tangkap dan daya serap si penonton

dengan hasil interpretasi si pemain di alas pentas.

Pemikiran seperti ini membawa kecendrungan berpikir lebih

lanjut, bahwa sifat estetis di dalam suatu permainan di atas pentas

hanya berlangsung pada batas-batas dan tidak langgeng.Oleh

karenanyalah di dalam konsep estetik India rasa dihayati dalam konteks


pengertian yang lebih lugas.Pemahaman terhadap nilai-nilai keindahan

alam dan seni selalu didasari dengan pola-pola dan pandangan-

pandangan yang ditariknya dari warisan keagamaannya.Agama tetap

merupakan suatu nilai kehidupan yang tak mungkin terpisahkan dari

kehidupan seni dan hakekat rasa itu sendiri. Di India, tarian dipandang

mempunyai hubungan yang erat dengan agama, sehingga sembahyang

mereka adalah mempersembahkan tari pada dewa-dewa Demikian juga

di Bali, tarian wall yang paling sakral dalam sembahyang mereka hanya

dipersembahkan pada dewa, tidak untuk dipertontonkan dan tidak ada

pula penontonnya ketika tari itu ditarikan.

2. Kesadaran Realitas Dan Totalitas

Ketika seorang pengamat seni berada pada tahap analisa pada

seni yang diamati, maka pemikirannya berada pada dua kondisi yang

disebut dengan prinsip kesadaran realitas dan prinsip kesadaran

totalitas.

1. Prinsip Kesadaran Realitas

Bagi manusia kesadaran adalah merupakan suatu faktor yang

amat penting, yang mencirii seluruh eksistensinya sebagai manusia dan

yang membedakan dengan binatang.Dengan kesadarannya manusia

menafsirkan dirinya dan dunianya, Dia berkemampuan untuk

melakukan suatu distansi terhadap diri sendiri dan kenyataan dunianya

Dengan kesadaran manusia menyatakan aku (diri, pribadi,

personal).Aku tak ubahnya sebagai suatu simbol, adalah merupakan


pernyataan esensial dari manusia Artinya apabila saya menyebut "alai"

maka di dalamnya sekaligus terkandung pengertian jiwa ragaku".Hanya

dengan kesadaranlah manusia mengerti aku, sebab aku adalah simbol

kesadaran.Oleh karena itu bagi manusia, kesadaran adalah merupakan

sesuatu yang nampak paling utuh dan langsung, yang tak terikat dan

tak berkeluasaan ruang dan waktu. Permasalahannya kini adalah

bagaimana kesadaran mampu dipakai sebagai dasar untuk

menampakkan suatu fenomena seni misalnya seni tari yang dapat

dikonstitusi secara total oleh kesadaran.

Secara inderawi, manusia hanya mampu menangkap realitas tari

secara profil-profil. Manusia dengan kemampuan inderawinya yang

terbatas, tidak mungkin menangkap apa yang tampak (tari) sebagai

suatu totalitas seperti keadaan obyeknya itu sendiri. Sebab selarnanya

indera manusia tidak akan mampu menangkap penampakan tari secara

utuh. Bagaimana mungkin orang bisa memahami nilai tari kalau tidak

pernah bisa menangkap fenomena-fenomena tari secara totalitasnya

Oleh sebab itu, sekali lagi perlu dijelaskan bagaimana totalitas itu bisa

hadir di dalam diri manusia

Untuk bisa mengerti, memahami dan menghayati suatu

penarnpakkan tari, maka seseorang tidak boleh hanya berdiri di dalam

posisi yang terkurung oleh realitas taxi itu sendiri.Akan tetapi seseorang

harus mengambil suatu distansi terhadap realitas tari itu sendiri.Ia

harus mulai menaruh sikap ontologis terhadap tari.Semuanya itu hanya


mungkin dilakukan apabila manusia terlibat bukan hanya di dalam

rasanya saja, tetapi justru di dalam kesadarannya Manusia menafsirkan

dan menerjemahkan realitas tari melalui kesadaran. Maka dari itu,

fenomena tari akan hadir secara total di dalam diri manusia, hanya

apabila dikonstitusikan (ditampakkan secara real dan utuh) oleh

kesadaran. Oleh karena kesadaran adalah merupakan sesuatu yang

tampak paling utuh bagi manusia, maka kesadaran sekaligus akan

hadir sebagai realitas yang paling benar. Dengan demikian seluruh yang

nampak dan yang menampakkan dari tari hanya menjadi benar (real)

apabila is dikonstitusikan oleh kesadaran. Ini artinya bahwa taxi sebagai

satu realitas inderawi, hanya mungkin hadir secara total dalam persepsi

manusia, apabila simanusia mampu mengkonstitusi realitas inderawi

dengan kesadarannya Sehingga perfektif tari, yang semula nampak

sebagai profil-profil akan mampu diintegrasi dan dihadirkan sebagai

suatu perspektif baru, yakni: keseluruhan wujud perspektif tari.

Hanya dengan cara melihat demikian maka hakekat penyajian tari

tidak akan hilang. Penonton akan benar-benar merasa dirinya terlibat di

dalam kerangka pengamatan wujud, penghayatan makna,

penterjemahkan simbol dan pencerapan nilai-nilai estetis tarinya. Sebab

di dalam cara melihat secara fenomenologis ini akan senantiasa terjadi

suatu dialog yang manusiawi. Dialog yang tak akan berbeda dengan

hubungan dialektis antara kebudayaan dengan penata tari, penata tan


dengan karya tari, penari dengan penata tari dan karya tari, karya tari

dengan pengamat tari, serta pengamat tari dengan kebudayaan.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka setiap penonton

menjadi berkebebasan di dalam menterjemahkan faktor-faktor X dalam

tari.Sejalan dengan kemampuan kesadarannya di dalam

mengkonstitusikan fenomena tari ke dalam satu fenomena baru, yakni

totalitas perwujudan. Maka tingkat persepsi seseorang berbeda-beda

menurut kemampuan kesadarannya dalam mengkonntitusikan suatu

penampakkan.Seandainya tan dipahami sebagai salah satu bentuk

penataan diri manusia terhadap dunia, maka tari adalah sebuah

realitas. Sungguhpun demikian realitas tai sulit dipersamakan dengan

realitas benda-benda alamiah. Realitas tari adalah merupakan realitas

seni. Dalam hal ini sasarannya akan menyangkut tentang wujud dan

nilai.

(a) Wujud

Pengertian wujud di sini, secara ringkas bisa disebutkan dengan

eksistensi bentuk, isi secara bersama sebagai suatu kesatuan yang

tinggal. Untuk lebih luas rnembicaran simbol ini lebih luas akan

disinggung pulatentang simbol.

Kebutuhan akan simbol adalah merupakan kebutuhan yang

dasariah bagi hidup manusia. Kehadirannya bukanlah merupakan

suatu kehadiran yang tiba-tiba, akan tetapi simbol hadir sebagai sebuah

proses. Titik pangkal dari prosesnya adalah apabilasubyek berhadapan


dengan realitas.Ini artinya di dalam kehadiran simbol orang harus

mengambil distansi terhadap realitas.Pada saat subyek menghalangi

suatu realitas maka terjadilah suatu transformasi pengalaman.

Realitas ditangkap dan diserap dan dicerna oleh otak untuk

kemudian diterjemahkan dan ditransformasikan menjadi simbol.Simbol

dalam taraf ini masih merupakan elementary idea.Semakin banyak

kesadaran manusia di dalam mencerna realitas, maka semakin kaya

pula kehadiran suatu simbol, yang berarti pula semakin kaya ide, Dalam

taraf simbol sebagai ide adalah merupakan prinsip dari pada isi.Akan

tetapi selamanya isi tetaplah menjadi isi seandainya ide tidak pernah

terekspresikan.Sebab selama gradasi simbol masih berhenti di dalam

taraf sebagai ide.Maka simbol belumlah menemukan artinya sebagai

wujud simbol yang sebenarnya.Sebab di sini wujud simbol masih berdiri

sebagai gagasan yang tersembunyi, yang belum tersampaikan.Untuk itu

isi memerlukan wahana ekspresinya.

Ide dinyatakan dan menyatakan diri (ekspresi) ke dalam bentuk.

Dengan demikian bentuk bisa dikatakan wahana ide, yang sama pula

artinya dengan mengatakan bentuk adalah wahana (infra struktur) dari

pada isi. Berangkat dari pemikiran semacam ini, maka jelaslah bahwa

bentuk bukan merupakan suatu kenyataan yang terpisah dari isi.

Sungguhpun keduanya berbeda, akan tetapi hakekatnya tetap tunggal.

Seandainya bentuk tari adalah merupakan infra struktur dari

pada isi, maka pada hakekatnya gerak, ruang, dan waktu (force, space
and time) bukanlah merupakan tiga unsur yang terpisah.Ketiganya

dalah Bhineka Tunggal Ika, yang secara bersama-sama, gerak ruang,

dan waktu sebagai infra struktur dari pada isi. Dengan demikian gerak,

ruang dan waktu, secara sekali gus menjadi substansi baku dari pada

tari. Rasanya tidaklah mungkin untuk memandang ruang dan waktu

sebagai unsur kedua dan ketiga atau sebaliknya, tetapi dipandang

secara total, di Lana ketika melihat gerak yang diamati adalah

penyaluran tenaga lewat ruang dan waktu.

Pengkajian terhadap tari hendaknya tidak berhenti sebagai analisa

terhadap bentuk saja, just-it karena mengingat bentuk sebagai infra

struktur dari pada isi.Analisa struktur pada tari tidak terlepas antara isi

dan bentuk. Struktur tari yang terdiri dari serangkaian gerak yang

terdiri dari tenaga, ruang, dan waktu merupakan kesatuan simbol,

untuk memahami isi sekali gus nilai.

(b) Nilai

Sebenarnya nilai dalam tari tidak terpisah dari wujud itu sendiri,

karena nilai senantiasa terkandung di dalam wujud.Hanya melalui

wujud orang bisa menangkap dan menyerap nilai-nilai tari. Nilai yang

dimaksud antara lain menyangkut masalah makna, fungsi, harmoni,

estetika, dan sebagainya. Untuk bisa mengerti tentang nilai ini, orang

bisa berpijak pada tiga faktor kriteria dasar nilai, yakni:

1) Membiasakan diri dengan proses-proses yang psikis yang

memungkinkan makna, artinya untuk bisa mengerti dengan nilai


sebagai suatu obyek, maka subyek harus membiasakan mengolah

jiwanya dengan menggauli obyek tersebut, seakrab mungkin. Dengan

dernikian untuk memahami nilai tari orang harus membiasakan diri

bergaul langsung dengan proses kreativitas.

2) Pengetahuan tentang konteks:

Suatu fenomena hendaknya dilihat di dalam konteks

penampakkannya (sebagai totalitas). Sabah sesuatu penampakkan

barulah menemukan arti apabila ia dilihat tidak sebagai bagian yang

terpisah-pisah. Hendaklah ditinjau dari situasinya yang

menyeluruh.Suatu tari tidaklah ditinjau sebagai sekedar rangkaian

motif-motif gerak tetapi sebagai suatu totalitas.

3) Pengetahuan tentang kesejarahan:

Suatu fenomena tari hendaknya ditinjau sebagai kurun waktu

zamannya, serta lingkungan yang membentuk atau yang

mendukungnya. Suatu cipta karya tari yang dicipta seratus tahun yang

lalu, jelas tidak akan relevan apabila ditinjau dari sudut perkembangan

dan masa kini. Karena tari yang dicipta sejak ratusan tahun itu tidak

mewakili konteks zarnan atau masa kini.Di sinilah perlunya memiliki

pemahaman terhadap sistem nilai budaya masyarakat serta

perkembangan kesejarahan tari menjadi begitu penting, dalam

mengarnati karya seni.

Di dalam menghayati nilai taxi berdasarkan kriteria di atas, orang

akan sampai pada taraf kepenuhan, dan tidak berhenti sekedar


menerima pesan (persepsi). Dengan penghayatan nilai secara

femenologis ini taxi akan lebih tampak disapa sebagai engkau, dari pada

itu. Ia dipandang tidak berbeda sebagai pernyataan diri manusia

terhadap dunia, dalam tahap ini pengaruat akan sampai pada realitas

nilai.

2. Prinsip Totalitas

Eksistensi tari bukanlah semata-mata hadir sebagai suatu bentuk

rangkaian gerak tanpa makna Tari hadir sebagai suatu totalitas.Ia

adalah wujud yang dalam kerangka wadahnya tampak sebagai satu

kesatuan simbol gerak, ruang, dan waktu.

Perhatian seorang pengamat tari hendaknya menyangkut pada

keseluruhan penampakkan ini bukanlah dimaksudkan untuk

mengabaikan pentingnya perhatian pada bagian unsur-unsur.Akan

tetapi justru dengan perhatian pada keseluruhan atau

keutuhan.Tidaklah mungkin suatu wujud hadir sebagai suatu

kenyataan yang terpisah dari bagian-bagia yang membentuknya. Oleh

karena itu pada prinsipnya totalitas akan melihat sejauh mana urgensi

dari pada bagian-bagian yang lebih kecil dalam gerak, ruang den waktu,

terhadap pembagian-pembagian yang lebih besar, atau terhadap yang

lebih kompleks.

7. Filsafat Kritik

Di dalam lingkungan studi filsafat analitis dewasa ini, terdapat

sejumlah estetikus yang melihat estetika sebagai filsafat kritik


(philosophy of criticism).Perkembangan baru yang ikut mempengaruhi

perkembangan kritik seni.Perkembangan baru yang dikembangkan oleh

filosofis-filosofis dengan istilah filsafat kritik itu dikenal pula dengan

"metakritik".Metakritik merupakan aktivitas filosofis yang mengadopsi,

menganalisis, dan mengklarifikasi konsep-konsep dasar yang digunakan

oleh para kritikus seni ketika mereka mendeskripsikan,

menginterpretasikan, atau mengevaluasi karya-karya seni yang spesifik

artinya karya-karya kontemporer yang tersaji dengan resmi.Maka

metakritik ini dipahami ketika seorang kritikus berada dalam tahap

pengamatan dan berinterpretasi tentang sebuah karya seni.

Perkembangan filsafat yang melahirkan metakritik dalam estetika

adalah pengaruh ekstensif yang memandang filsafat sebagai sebuah

suatu aktivitas yang menganalisis konsep-konsep, biasanya digunakan

pendekatan aktivitas moral yang sering digunakan melalui bahasa, yang

kadang-kadang menimbulkan bentuk celaan, memuji, menilai kebaikan,

dan sebagainya Perkembangan relevan dalam kritik seni adalah

penekanan baru oleh kritikus-kritikus seperti I.A. Ricahrds dan

kelompok kritikus yang dikenal sebagai New Critics, pada signifikasi

pemfokusan perhatian kritik pada karya-karya itu sendiri dari pada

biografi seniman. Pemunculan kritik baru (new criticism) ini adalah

sangat panting dalam metakritik karena ia merupakan konsep-konsep

yang, dipakai oleh para kritikus baru dalam mendeskripsikan,

menginterpretasikan, dan mengevaluasi karya-karya seni yang


dipandang diambil oleh para metakritik(filasuf) sebagai topik mereka

Sudah barang tentu, konsep-konsep suatu aktivitas linguistik dapat

menjadi subjek matter (topik).

Contoh-contoh mengenai konsep-konsep yang dapat digunakan

seorang kritikus seni dengan aliran metakritik adalah:

1. Representasi, misalnya lukisan itu adalah representasi London,

contoh lain Sendratari Cindua Mato itu adalah representasi Istana

Pagarruyung.

2. Intensi Seniman, syair itu adalah sebuah syair yang baik karena

sangpenyair sukses dalam merealisasi intensinya (maksud, tujuan).

3. Bentuk. Musik itu memiliki bentuk Sonata, di dalam tari bentuk

biasadiartikan struktur, struktur tari itu ABA (Awal, Tengah/Isi,

Penutup)

ABC (Awal, tengah, akhir/penutup tidak sama dengan

awal/pembuka).Filasuf-filasuf seperti itu berpandangan bahwa eksis

suatu sikap estetika dapat diidentifikasi. Objek apapun bail: artifaktual

atau natural dapat menjadi obyek estetika Obyek estetika adalah

merupakan fokus atau causa dan pada pengalaman estetika yang

merupakan obyek yang tepat dari pada perhatian, apresiasi, dan kritik.

Oleh karena obyek kritik yang berupa seni pertunjukan itu merupakan

konsep-konsep yang ditransformasikan di panggung maka filsafht kritik

(philosophy of criticism) memegang peran.


Para filasuf telah menaruh perhati an pada konsep seni semenjak

era Plato.Seni menurut Plato adalah imitasi atau mimesis.Selanjutnya

Dickie (1979: 3) menjelaskantentang Plato bahwa pengalaman

keindahan itu sendiri bukan sebuah pengalaman indera melainkan

sebuah pengalaman intelektual.Teori Plotinus yang merupakan

pemunculan pandangan kontemplasi sebagai sebuah pandangan sentral

dalam teori keindahan. Pengalaman estetika yang melibatkan

kontemplasi ini yang dimaksudkan adalah sejenis meditasi di mana

seseorang memiliki non indera sebagai obyek kesadarannya Kiranya dari

pemahaman tersebut seorang kritikus tari modem John Martin pernah

mengemukan bahwa diam itu adalah gerak (lihat Soedarsono, 1977:7).

Sebagian besar teori estetika modem sudah pasti dipengaruhi oleh

pengertian kontemplasi, sehingga muncul dalam pencaturan seni

modern istilah spiritualistik ketika orang mendengar musik religius.

Pengalaman-pengalaman seni yang riang, spirit bukanlah spiritual.

Penulis jadi ingat bahwa apa yang ditampilkan Sardono W Kusumo pada

Indonesian Dance Festival 1994 (IDF '94) dengan judul karyanya

berjudul "Detik-detik Tempo" dengan durasi waktu 6 Jam. Yang penulis

hanya mengikuti 2 Jam dalam pertunjukan dua jam itu pent hanya

dihuni oleh Sardono sendiri, dengan latar panggung lautan koran yang

berserakan di mana-mana, dengan setengah tengkurap yang diiringi

oleh bunyi detak detik Jam dinding Sardono hanya seperti berfose dan

sesekali menggerakkan bagian tubuhnya. Pertunjukan yang digelar


semenjak pukul 12.00 WIB malam hingga subuh itu khabarnya diakhiri

dengan tarian bersama, yakni semua penari (yang menonton) ikut naik

ke panggung secara spontan.Karya tersebut dipuji oleh banyak tokoh-

tokoh tari dari luar negeri di antara komentar yang ditulis Sal

Murgiyanto (Kompas, 6 Nofember 1994) tentang mana karya yang paling

berkesan? (di antara karya Retno Maruti, Gusmiati Suid, ery Mefri, dan

lain-lain) pars tokoh tari luar negeri itu menjawab bahwa pertunjukan

Sardono yang berkesan, meskipun mereka hanya mengikuti 2 Jam. Hal

seperti ini yang dimaksud bahwa aliran kontemplasi yang ala meditasi

itu merupakan aliran filsafat yang tinggi, yang menjadikan seni itu

bernilai spiritual. Konsep keindahan subyektif pernah mencapai poin

tinggi dalam teori-teori pars filasufabad ke-18 (Dickie: 1979: 8).

Lebih lanjut tentang metakritik versi Beardsley (Dickie: 1979: 61-

62) dipresentasikan secara berbeda dalam dua hal: Pertama, Beardsley

tidak memformulasikan prinsip-prinsip yang eksplisit tetapi

menggunakan argumen yang implisit Kedua, ia hanya memformulasikan

mengenai karya-karya seni yang jelas atau nyata terlihat atau terdengar

di panggung dan tidak membahas obyek-obyek alam. Sekalipun

Beardsley tidak memformulasikan prinsip-prinsip eksplisit dalam

mengembangkan teori estetikanya, namun ia secara implisit

menggunakan dua prinsip yakni: prinsip perbedaan dan prinsip

perseptibilitas.
Walaupun Beardsley sudah pasti memilikinya dalam keseluruhan

pikiran, namun prinsip perbedaan digunakan secara paling jelas dalam

kaitannya dengan argumen Beardsley bahwa intensi (apa yang dimiliki

seseorang dalam pikiran untuk berbuat) seniman bukan merupakan

bagian dari obyek estetika Argumennya secara ringkas menyebutkan

bahwa sekalipun intensi seorang seniman tak berhubungan kausal

dengan karya seni yang dibuatnya, namun intensi berbeda dengan

(bukan bagian dari) sebuah karya aktual. Ini menunjukkan bahwa jika

sesuatu tidak merupakan bagian dari sebuah karya seni, maka ia tidak

dapat menjadi bagian dari sebuah obyek estetika.

Prinsip perbedaan (principle of distinctness) dapat diformulasikan

dengan cara berikut ini: agar sesuatu menjadi bagian dari sebuah obyek

estetika, ia harus menjadi bagian dari, tidak berbeda dengan, sebuah

karya seni. Obyek-obyek estetika yang dimaksud hanya pada karya seni.

Jelas akan tidak logis untukmemandang banyak aspek karya-karya seni

sebagai bagian dari obyek estetika Misalnya aksi-aksi krew panggung di

belakang panggung pada sebuah pergelaran pertunjukan sudah barang

tentu bukan merupakan obyek-obyek apresiasi dan kritik.

Prinsip persebtibilitas dapat diformulasikan dengan cara: agar

sesuatu menjadi bagian dari sebuah obyek estetika, ia harus persebtibel

(dapat dipersepsi) dalam kondisi-kondisi pengalaman normal mengenai

jenis karya seni yang dipersoalkan. Agar sesuatu menjadi bagian dari

sebuah obyek estetika ia hams menjadi bagian dari sebuah karya seni
dan dapat dipersepsi dalam kondisi-kondisi normal ("Prinsip N"). Sedang

"prinsip S" Jika sesuatu merupakan bagian dari sebuah karya seni dan

dapat dipersepsi dalam kondisi-kondisi normal, maka ia adalah bagian

dari sebuah obyek estetika Prinsip N merupakan teori versi lemah

sedangkan prinsip S merupakan teori versi kuat.

Kesulitan-kesulitan dapat diungkapkan dengan baik dengan

mempertimbangkan empat kasus, di mana kasus pertama dan ketiga

melibatkan aspek-aspek karya seni yang dapat dipersepsi, dan kasus

kedna dan keempat melibatkan aspek-aspek karya seni yang tidak dapat

dipersepsikan dengan kondisi-kondisi normal.Dua kasus pertama tidak

menimbulkan problem untuk teori, namun dua kasus terakhir

merupakan kontra kasus bagi teori Beardsley.Keseluruhan kasus adalah

datang dari pertunjukan yang memberikan suatu kompleksitas elemen-

elemen yang kaya.

Pertarna, pertimbangkan kasus penampilan panggung seorang

aktor dalam Hamlet. Jelas penampilan itu dapat dikenali sebagai bagian

dari sebuah obyek estetika, yakni bagian dari apa yang secara tepat

diapresiasi dan dikritik. Penampilan itu adalah bagian dari sebuah karya

seni dan dapat dipersepsi dalam kondisi-kondisi normal.Oleh karena itu

adalah konsisten dengan prinsip N (versi lemah) bahwa penampilan itu

adalah bagian dari obyek estetis dan juga sejalan dengan prinsip S (versi

kuat) bahwa penampilan itu adalah bagian dari sebuah obyek estetika

Kasus ini tidak menciptakan problem-problema bagi Beardsley.


Kedua, pertimbangkan kasus krew panggung dalam sebuah

pertunjukan.Sekalipun pekerjaan krew panggung adalah pekerjaan yang

esensial dalam sebuah pertunjukan, namun jelas bukan bisa sebagai

obyek estetika.Penampilan krew panggung adalah bagian yang sangat

penting dalam sebuah pertunjukan karya seni dalam pengertian yang

luas tidak dapat dipersepsikan oleh audiensi dalam kondisikondisi

normal.Dengan demikian konsisten dengan prinsip N bahwapenampilan

krew panggung bukan bagian dari obyek estetis, dan kasus ini tidak

menimbulkan problem.

Ketiga, pertimbangan kasus "property man" dalam teater Cina

tradisional, yang tampil di panggung sementara aksi pertunjukan

sedang berlangsung dan memindah-mindahkan peralatan panggung,

menggeser dekor, dan lain-lain. Satu kasus serupa yang lebih dekat

adalah kasus krew panggung di teater tertutup, yang menggerakkan

dekor dan peralatan panggung dalam pandangan yang terlihat jelas oleh

penonton, sekalipun mereka melakukannya antara akting-akting

maksudnya adegan-peradegan. Namun property man dalam teater Cina

dan krew panggung pada teater tertutup itu, ia akan dipandang sebagai

obyek estetika. Mengacu pada prinsip S disebutkan bahwa keduanya

adalah bagian dan sebuah obyek estetika, karena keduanya adalah

bagian dari sebuah karya seni dan dapat dipersepsi dalam kondisi--

kondisi normal. Mungkin pula dapat dikemukakan bahwa krew

panggung tertutup tidak terlihat dalam kondisi-kondisi normal,


mengingat mereka hanya memasang dekor hanya disela-sela aiding atau

perantara adegan. Maka teori prinsip S versi kuat menjadi sesuatu yang

keliru, yang mengatakan properti man dalam teater Cina dapat menjadi

obyek estetis.

Keempat, pertimbangkan kasus hipotesis mengenai seorang penari

ballet yang menggunakan kawat-kawat yang tak dapat dipersepsi

dengan tujuan untuk membuat lompatan-lompatan hebat. Kawat-kawat

yang tak dapat dipersepsi itu adalah bagian dari obyek estetika karena

akan perlu untuk mengetahui apakah kawat-kawat semacam itu sedang

digunakan untuk mengapresiasi dan mengkritik penampilan secara

tepat.

Satu lompatan tertentu bisa hebat jika kawat-kawat tidak sedang

digunakan atau sedang kawat digunakan. Kawat-kawat tersebut akan

menjadi bagian yang integral dari penampilan. Akan tetapi prinsip N

menyebutkan bahwa kawat-kawat itu bukan merupakan bagian dari

sebuah obyek estetika, karena meskipun kawat-kawat itu merupakan

bagian dari sebuah karya seni is dapat dipersepsi dalam kondisi-kondisi

normal. Versi lemah, dengan demikian terbukti tidak dekat karena

iamempresentasikan konklusi yang keliru bahwa kawat-kawat yang tak

dapat dipersepsi adalah bukan bagian dari sebuah obyek estetika.

Secara ringkas, kasus property man Cina (kasus serupa),

menunjukkan versi kuat sebagai yang tidak kuat dan kasus penari

ballet dengan kawat-kawat yang tidak dapat dipersepsi, menunjukkan


versi lemah. Karena property man Cina dapat dipersepsi dan bukan

merupakan bagian dari sebuah obyek estetika dan kawat-kawat tak

dapat dipersepsi dan merupakan bagian dari obyek estetika, maka

jelaslah bahwa prinsip perseptibilitas adalah merupakan cacat utama

dalam teori Beardsley.

8. Menulis Kritik SeniPertunjukan

Menulis memang merupakan suatu tugas seorang kritikus karena

secara fisik yang dianggap itu adalah yang tertulis.Hal ini adalah suatu

upaya agar terjadinya informasi terbuka yang bertujuan

mengernbangkan dunia seni pertunjukan. Oleh karena tulisan itu akan

dibaca masyarakat lewat media masa, maka perlu memberikan judui

yang menarik, yang secara praktis tulisan tersebut akan cepat dibaca

orang.

Seorang kritikus yang akan menulis sebuah kritik selalu mencari

obyek kritik, dalam hal ini yang akan menulis kritik seni pertunjukan

maka tentu obyeknya: seni tari, seni musik, seni teater, atau seni

resitasi. Sesuai dengan bidangnya, tidak sernua seni pertunjukan yang

digelar menarik untuk ditulis, bahkan ada pula yang tidak perlu ditulis.

Pertunjukan-pertunjukan seni sebenarnya setiap hari ada di depan mata

kita, seperti lagu-lagu atau musik yang tampil di Televisi, demikian pula

jika kitarnenghadiri sebuah pesta perkawinan selalu pula disajikan tari-

tarian pendek berupa hiburan ringan. Pertunjukan-pertunjukan

semacam itu tidak merupakan yang aneh artinya tidak menarik untuk
ditulis, kecuali yang punya pesta menyuguhkan sesuatu yang luar biasa

seperti pesta perkawinan putra Gusmiati Suid, Boy GS chin Tatik, yang

berlangsung di Gedung Kesenian Jakarta pada tahun 1996. Kedua

penganten adalah koreografer dari taxi yang diciptanya, yang sekaligus

menjadi penari. Pertunjukan tai selama 60 Menit itu sangat memukau

banyak penonton, mengisahkan tentang "Peran Bini (isteri) dulu dan

Bini (isteri) sekarang" yang Pertunjukan yang menarik untuk ditulis,

misalnya pertunjukan seorang seniman besar atau ada event-event

tertentu seperti festival, pergelaran akbar, acara resmi, untuk sajian

estetis.

Bila obyek sudah di dapat lalu ketika sudah berada pada suasana

pengamatan, maka suasana mengamati harus dikondisikan dalam

situasi survey, artinya mengamati dari hal sekecil-kecilnya ke hal yang

sebesar-besarnya yakni karya seni secara utuh.Sesuatu yang tidak

terlihat atau tidak tersaji dalam pergelaran adalah hal-hal yang

berhubungan dengan wawasan atau pengetahuan.Oleh karena itu tidak

perlu menanyakan sesuatu yang tidak tampil pada koreografer atau

komponis, misalnya pengamat atau seorang kritikus memandang bahwa

karya itu beraliran klasicisme.Romanticisme, dan lain-lain.Hal tersebut

tidak perlu didialogkan pada yang punya karya tetapi itu merupakan

kesan pengamat, sampaikanlah kesan itu dalam memberikan evaluasi

pada kritik.
Lalu apa yang harus diamati, yang jelas pertama tentang gedung

pertunjukan atau arena pertunjukan harus lebih dulu akrab dengan

pengamat, jumlah bangku, bentuk panggung, masalah lighting, dan

kebiasaan gedung, misalnya di Gedung Kesenian Jakarta, gedungnya

sangat bersih, pengelolaannya sangat profesional, sehingga memakai

aturan yang ketat, yang mampu mendidik masyarakat untuk berapresi.

Di gedung seperti itu penonton mempersiapkan diri untuk menonton,

termasuk pesan tiket, cara berpakaian, dan sebagainya. Lalu

bagaimanakah dengan suasana gedung di tempat anda menonton?

Perhatian memang harus jelimet, siapa saja yang menonton, karya

siapa yang tampil, bagaimana aliran koreografer atau komponis

tersebut, semuanya merupakan hal yang sudah sejak dini diketahui. Sal

Murgiyanto (1993: 2) mengatakan bahwa:

Kehadiran kita selama pertunjukan bukan hanya untuk


menyaksikan apa yang terjadi di atas pentas tetapi juga
untuk melihat suasana penonton: apakah meluap-luap,
sepi, banyak yang pulang sebelum pertunjukan berakhir
dan apakah ada orang-orang panting yang hadir, yang
barangkali dapat kita minta pendapatnya

Untuk mendapatkan informasi tersebut maka seorang kritikus

perlu hadir lebih awal.Menjelang pergelaran seorang kritikus memang

sudah harus berada di tempat pertunjukan kecuali kritikus itu sudah

profesional artinya, dia sudah sering mengamati pergelaran atau

mengulas karya seniman itu.


Hal-hal yang juga menjadi perhatian semenjak awal adalah jumlah

pendukung karya, tentang koreografers/componis, penari, pemusik,

atau aktornya dalam teater.Dalam menonton pertunjukan seseorang

memerlukan daya ingat yang kuat. Memang tidak semua yang tersaji di

panggung dengan mudah kita ingat, namun yang menarik perhatian kita

sesuai dengan apa yang menarik untuk dikritik. Sebagaimana diketahui

bahwa dalam menulis kritik tidak hanya menyampaikan hal-hal negatif

saja tetapibagaimana membahas sebuah karya, oleh karena itu apa yang

akan diulas harus dideskripsikan lebih dulu dalam awal tulisan, supaya

si pembaca atau si pendengar mengetahui atau paham akan apa yang

diulas kritikus itu. Dalam penulisan kritik seni ada 4 macam bentuk

diantaranya:

1. Deskriptif

Membuat Kritik yang bersifat mendeskripsikan konsep lima W

dan satu H sangat diperlukan. Banyak orang berpendapat

bahwa kritik yang deskriptif ini seringkali “kering” karena pada

dasarnya menceritakan kembali, menggambarkan kembali

dalam bentuk kata-kata (tulisan) apa yang terjadi dalam

pertunjukan tersebut. Oleh karena itu, akurasi kritik seperti ini

seringkali ditentukan oleh kecermatan dari penulisnya dalam

mendeskripsikan pertunjukan tersebut.Walaupun agak kering,

kritik dalam bentuk deskriptif ini besar sekali manfaatnya

terutama sebagai dukumentasi, yang biasa dapat dijadikan


sebagai alat untuk merekontruksi pertunjukan yang dimuat

dalam kritik deskriptif ini.

2. Interpretatif

Kritik interpretative, dalam kritik semacam ini biasanya

muncul interpretasi si penulis kritik, artinya kritik semacam ini

mengandung subjektifitas. Kritik ini sangat tergantung pada

proses komunikasi antara si kritikus dengan pertunjukan yang

ditontonnya. Pada dasarnya, kritik interpretative ini

menjelaskan apa arti dari pesan-pesan pertunjukan itu kepada

pembaca kritikannya.

3. Evaluatif

Kritik evaluative, dalam menulis kritik semacam ini akan

muncul persoalan baik dan buruk, indah dan tidak indah.

Dikatakan baik karena pertunjukan tersebut dapat

memberikan apresiasi atau yang mengamati merasa mendapat

nilai apresiasi dari pertunjukan tersebut.Dikatakan buruk,

karena pertunjukan tersebut tidak member apa-apa kepada

penikmatnya, sehingga muncul perasaan tidak suka terhadap

pertunjukan tersebut.Kritik yang evaluative ini seringkali

dikatakan sebagai kritik yang mengandung appreciation (suatu

yang mengangkat) dan denunciation (sesuatu yang

merendahkan).

4. Kontekstual
Kritik semacam ini adalah kritik yang mencoba untuk

melekatkan satu pertunjukan dalam kaitannya dengan

pertunjukan yang lain, dalam arti karya-karya seni yang dilihat

harus dibandingkan dengan pertunjukan karya-karya seni

ditempat lain. Dengan demikian pembaca akan memahami

bahwa apa yang dinikmati tersebut bukanlah satu bentuk

pertunjukan seni yang berdiri sendiri, tetapi ada pertunjukan

sejenis yang berkembang pula pada tempat lain. Maka

seringkali kritik kontekstual ini orang melakukan komparasi.

DAFTAR RUJUKAN

1. Mens en Kritik (Manusia dan Kritik) 1975. Prof. Dr. R.C. Kwant
diterjemahkan oleh: Drs. A. Soedarminto: Penerbit Yayasan Kanisius
Yokyakarta.
2. Kritik Seni (Wacana, Apresiasi, dan Kreasi) 2008. Dr. Nooryan Bahari,
M.Sn: Pustaka Pelajar. Yogyakarta
3. Kritik Seni. 2007. Dharsono Sony Kartika. Rekayasa Sains Bandung
4. Musik Antara Kritik dan Apresiasi . 2004. Suka Hardjana. Penerbit
Buku Kompas
5. Renungan Filsafat Seni. 1974. Abdul Kadir : Yayasan
KanisiusYogyakarta
6. Konsep Pendekatan/Kajian Musik Nusantara Oleh Prof. Dr. R
Supanggah, S.Kar.
7. Ketika Cahaya Merah Memudar. 1993. Sal Murgianto: Deviri Ganan,
Jakarta.
8. Merancang Karya Komposisi Musik Secara Konseptual Oleh Dr,
Rustopo, S.Kar., M.S.
9. Jurnal Dewa Ruci Pengkajian dan Penciptaan Seni. Institut Seni
Surakarta.
10. ContemporaryMusic And Music Cultures. Charles Hamm, School of
Music University of Illionis.
11. Sing In Contemporary Culture . Arthur Asa Berger, Intitut Seni
Indonesia Yogyakarta.
12. Sejarah Musik Jilid 4. Prof. Dieter Mack, Pusat Musik Liturgi
Yokyakarta.
13. Mencermati Seni Pertunjukan I s/d III. Editor. Santosa
14. Corat-Coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini. Suka Hardjana. MSPI.
15. Tradisi dan Inovasi. Sal Murgianto. Wedatama Widya Sastra. Jakarta.
16. Pertumbuhan Seni Pertunjukan, 1981. Edi Sedyawati. Sinar Harapan
Jakarta

RANCANGAN TUGAS

A. Tujuan Pemberian Tugas

Tujuan dari tugas ini agar mahasiswa memahami karya seni, dan ingin menemukan
suatu cara untuk mengetahui apa yang melatar belakangi suatu karya seni yang
dihasilkan, serta memahami apa yang ingin disampaikan oleh pembuatnya, sehingga
hasil kritik seni benar-benar maksimal, dan secara nyata dapat dikatakan baik dan
buruknya sebuah karya seni. Disamping itu pemberian tugas kepada mahasiswa, agar
mahasiswa bisa percaya diri atas kemampuan yang mereka miliki dalam
mengemukakan pendapat dari apa yang diamati sebuah pertunjukan karya seni
B. Uraian Tugas
1. Objek Garapan
a. Mahasiswa mengamati seni pertunjukan karya seni lalu memberikan argument
atau pendapat kepada orang lain, dan sekaligus sebagai mediator dari karya
yang disajikan.
b. Mahasiswa harus berani mengemukakan pendapat dari issue tentang kesenian
yang berkembang
c. Mahasiswa harus mampu memberikan pandangan dari apa yang diamati pada
pertunjukan karya seni yang dipertunjukan.
2. Metode/cara Mengerjakan
a. Membuat tulisan dari apa yang diamati berdasarkan sumber yang nyata
b. Tulisan harus sistematis agar orang lain paham apa yang disampaikan dalam
tulisan kritik tersebut
c. Tulisan mulai dari 1 halaman samapi 5 halaman dengan caramengamati karya
seni baru ditulis.
3. Luaran
Mahasiswa harus membuat sebuah tulisan kritik seni, dari pengamatan melalui video
atau menonton langsung pertunjukan karya seni tersebut, agar lebih memahami nilai
yang disampaikan oleh para seniman

Anda mungkin juga menyukai