Anda di halaman 1dari 33

Histoplasma capsulatum

SYAM S. KUMAJI
P1506211401

PROGRAM STUDI BIOMEDIK


KONSENTRASI MIKROBIOLOGI
PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
2012
HISTOPLASMA CAPSULATUM

A.   PENDAHULUAN

Histoplasma capsulatum adalah saprofit tanah dimorfik yang menyebabkan

histoplasmosis, infeksi mikotik di paru yang sering terjadi pada manusia dan hewan.

Di alam, H. capsulatum tumbuh sebagai kapang berhubungan dengan tanah dan

habitat burung, diperkaya oleh substrat alkali nitrogen pada kotoran hewan. H.

capsulatum dan histoplasma dan histoplasmosis, yang dimulai dengan inhalasi

konidia, terjadi di seluruh dunia. Namun insidennya sangat bervariasi dan

kebanyakan kasus terjadi di Amerika Serikat. H. capsulatum mendapatkan nama

tersebut dari gambaran sel ragi pada potongan histopatologik; namun, baik protozoa

maupun saprofit tersebut tidak mempunyai kapsul.

B.   TAKSONOMI JAMUR Histoplasma capsulatum

Taksonomi jamur Histoplasma capsulatum adalah sebagai berikut.

Kingdom : Fungi

Phylum : Ascomycota

Subphylum : Ascomycotina

Class : Ascomycetes

Order : Onygenales

Family : Onygenaceae

Genus : Ajellomyces (Histoplasma)

Species : Histoplasma capsulatum

C.   MORFOLOGI DAN IDENTIFIKASI


1.    Ciri dan Morfologi Jamur Histoplasma capsulatum

Jamur Histoplasma capsulatum merupakan jamur yang bersifat dimorfik bergantung

suhu. Pada suhu 35 – 37oC jamur ini membentuk koloni ragi sedangkan pada suhu

lebih rendah/suhu kamar (25 – 30 oC) membentuk koloni filamen (kapang) berwarna

coklat tetapi gambarannya bervariasi. Banyak isolat tumbuh lambat dan spesimen

memerlukan inkubasi selama 4 - 12 minggu sebelum terbentuk koloni. Hialin hifa

bersepta menghasilkan mikrokonidia (2 – 5 µm) dan makrokonidia berdinding tebal

berbentuk sferis yang besar dengan penonjolan materi dinding sel pada daerah

perifer (8 – 16 µm) (Gambar 1).

Gambar 1. Histoplasma capsulatum. Makrokonidia dan mikrokonidia dalam biakan


pada suhu 30 oC

Dalam jaringan atau in vitro pada medium kaya pada suhu 37 oC, hifa dan konidia

berubah menjadi sel ragi kecil, oval (2 x 4 µm). Dalam jaringan, merupakan parasit

intraseluler fakultatif (Gambar 2). Di laboratorium, dengan strain perkawinan yang

tepat, siklus seksual dapat diperlihatkan, menghasilkan Ajellomyces capsulatus,

suatu telomorf yang menghasilkan askospora.


Gambar 2. Sel ragi Histoplasma capsulatum dalam
jaringan atau in vitro

2.    Siklus Hidup

Fungi ini termasuk fungi dimorfik. Fungi dimorfik adalah fungi yang dapat memiliki

dua bentuk, yaitu kapang dan yeast. Fungi ini termasuk kedalam Ascomycota parasit

yang dapat menghasilkan spora askus (spora hasil reproduksi seksual). Jamur ini

berkembang biak secara seksual dengan hifa yang bercabang-cabang ada yang

berkembang menjadi askogonium (alat reproduksi betina) dan anteridium (alat

reproduksi jantan), dari askegonium akan tumbuh saluran untuk menghubungkan

keduanya yang disebut saluran trikogin. Dari saluran inilah inti sel dari anteridium

berpindah ke askogonium dan berpasangan. Kemudian masuk ke askogonium dan

membelah secara mitosis sambil terus tumbuh cabang yang dibungkus oleh

miselium dimana terdapat 2 inti pada ujung-ujung hifa. Dua inti itu akan membelah

secara meiosis membentuk 8 spora dan disebut spora askus yang akan menyebar,

jika jatuh di tempat yang sesuai maka akan tumbuh menjadi benang hifa yang baru,

demikian seterusnya (lihat Gambar 3).


Gambar 3. Siklus hidup jamur Histoplasma capsulatum

Histoplasmosis adalah infeksi oportunistik (IO) yang umum pada orang HIV-positif.

Infeksi ini disebabkan oleh jamur Histoplasma capsulatum. Jamur ini berkembang

dalam tanah yang tercemar dengan kotoran burung, kelelawar dan unggas,

sehingga ditemukan dalam di kandang burung/unggas dan gua. Infeksi menyebar

melalui spora (debu kering) jamur yang dihirup saat napas, dan tidak dapat menular

dari orang yang terinfeksi. Jamur ini dapat tumbuh dalam aliran darah orang dengan

sistem kekebalan tubuh yang rusak, biasanya dengan jumlah CD4 di bawah 150.

Setelah berkembang, infeksi dapat menyebar pada paru, kulit, dan kadang kala

pada bagian tubuh yang lain. Histoplasmosis adalah penyakit yang didefinisi AIDS

3.    Identifikasi Jamur Histoplasma capsulatum

a.    Spesimen

Spesimen biakan termasuk sputum, urine, kerokan dari lesi superficial, aspirat

sumsum tulang dan sel darah buffy coat. Preparat darah, preparat sumsum tulang,
dan specimen biopsy dapat diperiksa secara mikroskopik. Pada histoplasmosis

diseminata, biakan sumsum tulang sering positif.

b.    Pemeriksaan Mikroskopik

Sel ovoid kecil dapat diamati dalam makrofag pada potongan histology yang

diwarnai dengan pewarnaan fungi (missal, perak metenamin Gomori, Schiff-asam

periodic atau calcofluor white) (Gambar 4) atau pada apusan sumsum tulang atau

darah yang diwarnai Giemsa. (Gambar 5).

Gambar 4. Pewarnaan perak metenamin untuk identifikasi jamur Histoplasma


capsulatum

Gambar 5. Pewarnaan Giemsa untuk identifikasi jamur


Histoplasma capsulatum
c.    Biakan

Spesimen biakan dalam medium yang kaya, seperti agar darah glukosa sistein

pada suhu 37 oC dan agar Sabouraud atau agar kapang inhibitorik pada suhu 25 –

30 oC (Gambar 6). Pada plat agar darah (37oC), tumbuh sebagai fase budding yeast

(bentuk yeast like),berupa koloni berkeriput (wrinkled), seperti adonan (pasty). Pada

saboroud dextrose agar (25oC), tumbuh dengan koloni putih,seperti kapas (cottony)

yang dapat berubah kuning atau coklat sesuai penuaan. Miselium di hasilkan

dengan 2 macam spora :

1)    macroconidia bulat,kecil,halus,muncul pada cabang lateral pendek, atau melekat

langsung pada dasar.

2)    microconidia atau clamydosphore bulat, berdinding tebal dan tertutup oleh projeksi

(tuberculate) menyerupai knop (knop like projection)

Biakan harus diinkubasi minimal selama 4 minggu. Harus hati-hati terhadap hasil

laboratorium jika mencurigai histoplasmosis karena metode biakan darah khusus,

seperti medium kaldu fungi atau sentrifugasi lisis, dapat digunakan untuk

meningkatkan penemuan H. capsulatum.


Gambar 6. Kultur jamur H. capsulatum pada media
agar Sabouraud

d.    Serologi

Uji Compelment Fixation (CF) untuk antibody terhadap histoplasmin atau sel ragi

menjadi positif dalam 2 – 5 minggu setelah infeksi. Titer CF meningkat selama

penyakit progresif kemudian turun sampai kadar sangat rendah ketika penyakit tidak

aktif. Titer yang lebih besar atau sama dengan 1 ; 32 merupakan petunjuk kuat

adanya infeksi; titer 1 ; 8 atau 1 ; 16 merupakan isyarat adanya infeksi. Peningkatan

titer empat kali lipat atau lebih antara serum akut dan konvalesen merupakan bukti

infeksi yang meyakinkan

Pada uji imunodifusi (ID), prespitin terhadap dua antigen spesifik H. capsulatum

terdeteksi; Adanya antibody terhadap antigen H sering menandakan histoplasmosis

aktif, sementra antibody terhadap antigen M dapat timbul dari uji kulit berulang atau

pajanan di masa lalu. Salah satu uji paling sensitive adalah radioassay atau

immunoassay enzim untuk antigen H. capsulatum dalam sirkulasi. Hampir semua

pasien dengan histoplasmosis diseminata menunjukkan uji positif untuk antigen

dalam serum atau urine; kadar antigen turun setelah pengobatan yang sukses dan
timbul kembali saat relaps. Walaupun terjadi reaksi silang dengan mikosis lain. Uji

untuk antigen ini lebih sensitive daripada uji antibody konvensional pada penderita

AIDS dengan histoplasmosis.

e.    Uji Kulit

Uji kulit histoplasmin menjadi positif segera setelah infkesi tetap positif selama

bertahun-tahun. Uji tersebut dapat menjadi negative pada histoplasmosis diseminata

progresif. Uji kulit berulang merangsang antibody serum pada individu yang

sensitive, yang menganggu interpretasi diagnostik uji serologi.

D.   DISTRIBUSI GEOGRAFIK

Jamur Histoplasmosis capsulatum ditemukan di seluruh dunia termasuk di

Indonesia, namun lebih banyak ditemukan di Amerika Utara dan Amerika tengah.

Histoplasmosis endemis disepanjang lembah sungai Mississipi dan sungai Ohio.

Jamur ini pertama kali diisolasi oleh Emmons dari tanah pada tahun1949. Kemudian

di Negara lain juga dilaoprkan penemuan jamur tersebut di tanah yang mengandung

kotoran ayam, kelelawar dan burung. Di Indonesia dilaporkan kasus histoplasmosis

dan jamur dapat diisolasi dari kelelawar pada tahun 1968. Histoplasmosis duboisii

atau histoplasmosis Afrika sampai saat ini penyebaran geografisnya terbatas di

Afrika.

E.   EPIDEMIOLOGI

Di alam H. capsulatum hidup sebagai saprofit di tanah yang banyak mengandung

nitrogen dengan konsentrasi tinggi. Misalnya tanah yang tercemar tinja ayam atau

burung. Unggas tidak terinfeksi namun paruh dan kakinya dapat membawa jamur

tersebut. Kontaminasi tanah oleh H. capsulatum dapat bertahan lama meskipun


kandang ayam tersebut telah bertahun-tahun tidak digunakan. Kelelawar dapat

terinfeksi dan menebarkan jamur melalui tinjanya.

Insiden histoplasmosis paling tinggi di Amerika Serikat, yang merupakan daerah

endemik meliputi negara bagian tengah dan timur dan terutama lembah sungai Ohio

dan sebagian lembah sungai Mississipi. Sejumlah wabah histoplasmosis akut

disebabkan oleh pajanan banyak orang dengan inokulum konidia yang besar.

Keadaan tersebut dapat terjadi bila habitat alami H. capsulatum terganggu, yaitu

tanah yang bercampur dengan kotoran burung (missal, tempat ertengger burung

jalak, kandang ayam( atau kotoran kelelawar (goa). Burung tidak terinfeksi, tetapi

kotorannya memberikan kondisi biakan yang baik bagi pertumbuhan fungi. Konidia

juga menyebar melalui angin dan debu. Wabah urban histoplasmosis terbesar terjadi

di Indianapolis.

Pada beberapa daerah yang sangat endemic, 80 – 90% penduduk mempunyai hasil

uji kulit yang positif pada awal masa dewasa. Banyak penduduk akan mengalami

kalsifikasi miliar di paru. Histoplasmosis tidak menular dari orang ke orang.

Penyemprotan formaldehid pada tanah yang terinfeksi dapat membasmi H.

capsulatum.

Di Afrika, selain patogen yang lazim, terdapat varian yang stabil, H. capsulatum var

duboisii, yang menyebabkan bagian paru yang terkena lebih sedikit da lebih banyak

lesi pada kulit dan tulang dengan sel raksasa dalam jumlah besar yang mengandung

ragi, berbentuk lebih besar dan lebih sferis.

F.    STRUKTUR ANTIGEN

Histoplasmin adalah antigen filtrate biakan kaldu miselium kasar. Setelah infeksi

awal, yang bersifat asimtomatik pada lebih dari 95% individu, diperoleh uji kulit tipe
lambat yang positif terhadap histoplasmin. Antibodi terhadap ragi dan antigen

miselium dapat diukur secara serologis (lihat Tabel 1).

Tabel 1. Ringkasan uji Serologis Antibodi Terhadap Patogen Fungi Dimorfik


Sistemik

Sensivitas dan Nilai


Mikosis Uji Antigen Keterangan
Diagnosis Prognosis

Histoplasmosis CF H ≤ 84% kasus Perubahan Reaksi silang pada

positif (titer ≥ titer empat pasien

1 ; 8) kali lipat blastomikosis,

kriptokokosis,

asperigilosis, titer

dapat disokong uji

kulit dengan

histoplasmin

CF Y ≤ 94% kasus Perubahan Rekativitas silang

positif (titer ≥ titer empat kurang daripada

1 ; 8) kali lipat dengan

histoplasmin

ID H ≥ 85% kasus Hilangnya h Uji kulit dengan

positif, yaitu histoplasmindapat

pita m atau meningkatkan

m dan h jumlah pita m; lebih

spesifik daripada uji

CF

G.   PATOGENESIS DAN PATOLOGI


Inhalasi mikrokonidia merupakan stadium awal infeksi manusia. Konidia mencapai

alveoli, bertunas, dan berproliferasi sebagai ragi. Infeksi awal adalah

bronkopneumonia. Ketika lesi paru awal bertambah usianya. terbentuk sel raksasa

disertai dengan pembentukan granuloma dan nekrosis sentral. Pada saat

pertumbuhan spora, sel ragi masuk ke dalam sistem retikuloendotelial melalui sistem

limfatik paru dan limfonodi hilus. Penyebaran dengan keterlibatan limpa khas

menyertai infeksi paru primer. Pada hospes normal, respons imun timbul pada

sekitar 2 minggu. Lesi paru awal sembuh dalam 2 sampai 4 bulan tetapi dapat

mengalami kalsifikasi menyerupai kompleks Ghon tuberkulosis, atau mungkin

ditemukan kalsifikasi buckshot yang melibatkan paru dan limpa. Tidak seperti

tuberkulosis, reinfeksi dengan H. capsulatum terjadi dan dapat menimbulkan

respons hospes yang berlebihan pada beberapa kasus (lihat Gambar 7).

Gambar 7. Patogenitas Histoplasmosis

H.   GEJALA KLINIK

Jamur ini dapat tumbuh dalam aliran darah orang dengan sistem kekebalan tubuh

yang rusak, biasanya dengan jumlah CD4 di bawah 150. Setelah berkembang,

infeksi dapat menyebar pada paru, kulit, dan kadang kala pada bagian tubuh yang

lain. Histoplasmosis adalah penyakit yang didefinisi AIDS.


Secara umum histoplasmosis tanpa gejala dan hanya ditandai dengan gejala

hypersensitive terhadap histoplasmin. Berupa tumor pernafasan akut yang jinak,

dengan variasi mulai dari penyakit yang ringan pada saluran pernafasan sampai

dengan tidak dapat melakukan aktivitas karena tidak enak badan, demam,

kedinginan, sakit kepala, myalgia, nyeri dada dan batuk nonproduktif, kadang-

kadang timbul erythema multiforme dan erythema nodosum. Ditemukan adanya

pengapuran kecil-kecil tersebar pada paru-paru, pengapuran pada kelenjar limfe,

hiler dan limpa merupakan gejala lanjut dari penyakit ini.

Infeksi terjadi dengan inhalasi spora, terutama mikrokonidia, spora yang cukup kecil

untuk mencapai alveoli pada inhalasi, yang kemudian berlanjut dengan bentuk

budding. Dengan berlanjutnya waktu, reaksi granuloma terjadi. Nekrosis perkijuan

atau kalsifikasi dapat menyerupai tuberkulosis. Diseminasi transien dapat

meninggalkan granuloma kalsifikasi pada limpa. Pada orang dewasa, massa bulat

atau jaringan parut dengan atau tanpa kalsifikasi sentral dapat menetap pada paru,

yang disebut histoplasmoma. Dapat pula terbentuk infiltrat paru dan pembesaran

kelenjar hilus. Bila infeksi terjadi dengan jumlah spora yang besar maka terdapat

gambaran yang mirip dengan tuberkulosis miliaris. Infeksi ini biasanya sembuh

dengan atau tanpa meninggalkan perkapuran dalam paru. Pada beberapa keadaan,

dapat berlangsung progresif hingga mengenai sebagian atau seluruh paru,

deseminata, dengan atau tanpa riwayat histoplasmosis primer akut paru, potensial

fatal hingga dapat menyebabkan kematian. Infeksi kedua kali dapat menimbulkan

reaksi jaringan yang lebih kuat sehingga menimbulkan rongga atau kaverna dengan

gejala batuk darah.

Kebanyakan orang yang terinfeksi tidak memiliki gejala-gejala. Saat gejalannya

datang, sangat bermacam-macam gejalanya, tergantung kepada bentuk dari


penyakitnya. Infeksi paru-paru dapat menjadi short-term (acute) dan relatif ringan,

atau dapat juga menjadi long-term (kronis) dan serius. Gejala-gejala infeksi paru-

paru akut adalah kelelahan, demam, dingin, sakit di dada, dan batuk kering. Infeksi

paru-paru kronis dapat seperti tuberculosis dan terjadi di sebagian besar orang yang

telah sakit paru-paru. Hal ini dapat berkembang berbulan-bulan atau bertahun-tahun

dan melukai paru-paru. Gejala yang ditimbulkan tidak khas dan menyerupai gejala

penyakit paru lain seperti demam, batuk, sesak napas, dan lain-lain. Penyakit yang

menahun mirip dengan gejala tuberkulosis shingga sulit dibedakan dari penyakit

tersebut. Di alat dalam lain, gejala yang ditimbulkan juga tidak khas dan menyerupai

penyakit pada alat tersebut sehingga seringkali penyakit ini tidak dapat dikenal

secara dini.

Dari paru, jamur dapat menyebar secara hematogen ke alat lain, terutama sistem

retikulo-endotel, sehingga menimbulkan pembengkakan hati, limpa, dan kelenjar

getah bening. Walaupun demikian, pada Histoplasmosis diseminata, penderita tidak

selalu menunjukkan gejala paru ataupun sangat minimal, seperti juga yang terjadi

pada pasien ini. Suatu bentuk infeksi yang akut dan fatal serta cepat dijumpai pada

anak-anak dan penderita imunosupresi, termasuk penderita AIDS. Demam, anemia,

leukopesia, berat badan menurun, sering dijumpai pada penyebaran H. capsulatum

diseminata. Jika tidak terdiagnosa, dapat menimbulkan kematian. Penyakit paru

fulminan dapat menyerupai infeksi pneumonia oleh Pneumocystis carinii. Fungemia

sering dijumpai dan kadang organisme intraselular ini dapat terlihat bersirkulasi pada

pemeriksaan sediaan apus darah tepi biasa di dalam monosit1,2,3.

Secara klinis histoplasmosis terbagi menjadi histoplasmosis asimptomatik,

histoplasmosis pulmoner akut, histoplasmosis pulmoner kronik dan histoplasmosis

diseminata.
1.    Histoplasmosis Asimptomatik

Histoplasmosis asimptomatik biasanya terjadi di daerah endemis. Sebanyak 50

– 85% orang yang tinggal di daerah endemis pernah terinfeksi jamur tersebut.

2.    Histoplasmosis Pulmoner Akut

Bentuk yang paling sering ditemukan, dapat primer (infeksi awal atau sekunder

(infeksi Wang). Bentuk primer seringkali asimptomatik, masa tunasnya pada bayi

dan anak kecil ialah 10 - 23 hari, banyak dijumpai di daerah endemis. Satu-satunya

tanda infeksi adalah uji kulit histoplasmin positif. Bila timbul gejala akan menyerupai

influenza yaitu panas mendadak, malaise, nyeri otot sakit kepala, batuk

nonproduktif, dapat disemi rhonkhi yang difus dan hepatosplenomegali ringan.

Pemeriksaan radiologis menunjukkan infiltrat kecil-kecil tersebar di paru dan

pembesaran kelenjar pada hilus. Kelainan ini bersifat ringan dan sembuh sendiri

(lihat Gambar 8)..

Gambar 8. Gambaran radiologis histoplasmosis pulmoner akut

Pada anak-anak berlangsung tidak lebih dari tiga minggu. Bentuk sekunder,

gejalanya serupa dengan yang primer, pada pemeriksaan radiologis tampak nodul-
nodul milier tersebar di paru menyerupai tuberkulosis miliaris. Dalam beberapa bulan

kelainan ini dapat menghilang sendiri dengan atau tanpa perkapuran. Uji tuberkulin

negatif sedangkan uji kulit histoplasmin positif

3.    Histoplasmosis Pulmoner Kronik

Dijumpai pada orang dewasa setengah umur, perokok dan mempunyai riwayat

penyakit obstruksi paru kronis, belum pernah ditemukan pada anak-anak. .

Gejalanya demam, batuk kronik dengan produksi sputum, malaise, lelah, berat

badan turun, nyeri dada dan hemoptisis. Pada pemeriksaan radiologis paru terlihat

kavitasi pada lobus atas dan fibrosis yang progresif pada bagian bawah paru.

4.    Histoplasmosis Diseminata

Suatu penyakit yang akut pada bayi, anak kecil dan penderita dengan

imunospresi. Morbiditas dan mortalitas tinggi. Bentuk yang fatal ini jarang terjadi.

Kelainan dimulai dengan infeksi paru akut, demam, batuk, sesak napas dan cepat

menjadi progesif serta menyerang banyak organ. Penderita tampak sakit berat,

mual, muntah, sakit perut dan diare. Ditemukan rhonkhi, limfa- denopati,

hepatosplenomegali, anemia, leukopenia dan trombositopenia. Bila tidak diobati,

kelainan akan memburuk dan dapat terjadi kegagalan pernapasan, perdarahan

gastro-intestinal yang tidak dapat dikontrol, koagulasi intravaskuler diseminata (DIC)

dan/atau sepsis, akhimya dapat menimbulkan kematian. Gambaran radiologis paru

terlihat infiltrate interstitial difus atau bentuk retikulonodular yang dengan cepat

menjadi acute respiratory distress syndrome.

Kelainan ini dapat dijumpai pula pada penderita leukemia atau keganasan sistem

limfatik dan hemopoetik lainnya, path pemberian kemoterapi, obat imunosupresif

atau steroid, serta pada penderita AIDS yang menunjukkan gejala demam yang

tidak dapat diterangkan sebabnya disertai hepatosplenomegali dan pansitopeniat.


Kelainan yang bersifat subakut atau kronis dapat di tern ukan pada penderita

dewasa, biasanya dengan gejala ulserasi pada mulut, faring, laring dan saluran

pencernaan, insufisiensiadrenal, endokarditis, osteomielitis, arthritis dan meningitis

(Gambar 9).

Gambar 9. Gambaran Histoplasmosis Diseminata

I.      DIAGNOSIS

Diagnosis histoplasmosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan

laboratorium mikologi. Pemeriksaan laboratorium mikologi dilakukan dengan

pemeriksaan secara langsung dan membiakkan specimen klinik yang berasal dari

pasien yang diduga terinfeksi. Selain itu dapat pula dilakukan dengan pemeriksaan

serologi untuk mendeteksi antigen dan antibody yang sangat membantu dalam

menegakkan diagnosis.

Bahan klinik yang dibutuhkan unutk pemeriksaan laboratorium mikologi tergantung

pada organ yang terkena. Pada histoplasmosis patu dapat dilakukan pemeriksaan

sputum baik secara langsung dengan pulasan Giemsa dan menanam sputum pada

agar Sabouraud dekstrosa (ASD). Bahan klinik lain yang dapat digunakan pada

histoplasmosis paru adalah bilasan bronkus, yang cara pemeriksaannya sama

dengan pemeriksaan sputum. Pada histoplasma diseminata bahan klinik yang


digunakan untuk pemeriksaan laboratorium dalah darah, cairan otak, usap ulkus,

kerokan kulit dan bahan biopsi jaringan. Perlakuan terhadap bahan klinik di atas

sama dengan pemeriksaan sputum yaitu diwarnai dengan pulasan Giemsa dan

dibiakkan pada media ASD. Pemeriksaan bahan biopsi juga dapat dilakukan dengan

membuat sediaan tekan jaringan dan memulasnya dengan Giemsa dan HE.

Bahan klinik yang paling sering memberikan hasil positif baik pada pemeriksaan

langsung maupun biakan adalah biopsy jaringan sumsum tulang. Biakan darah juga

memberikan hasil positif yang tinggi. Pemeriksaan langsung dapat dilakukan dengan

mewarnai bahan klinik dengan pulasan Giemsa atau dengan memeriksa sediaan

histopatologi yang diwarnai HE, atu GMS. Pada pemeriksaan langsung dengan

pulasan Giemsa dan pulasan HE, H. capsulatum tampak sebagai sel ragi intraseluler

yang dikelilingi oleh halo hialin yang tidak terwarnai dan sitoplsma yang terpulas di

dalams el makrofag/monosit. Pada biakan specimen klinik pada ASD yang

diinkubasi pada suhu kamar jamur tumbuh sebagai koloni filament/kapang dan

membentuk mikrokonida dan makrokonidia yang penting sebagai petanda

identifikasi. Untuk menumbuhkan jamur dalam bentuk ragi, inkubasi biakan

dilakukan pda suhu 37 oC. Pertumbuhan jamur H. capsulatum pada biakan

memerlukan waktu yang lama karena pertumbuhannya lambat. Biakan dinyatakan

negative setelah ditemukan pertumbuhan dalam waktu enam minggu. Karena itu

hasil pemeriksaan langsung menjadi sangat penting. Bila pemeriksaan langsung

memberikan hasil positif maka pengobatan dapat segera dimulai.

Deteksi antigen penting untuk membantu menegakkan diagnosis pada histoplasma

akut, terutama pada penderita AIDS. Bahan klinik yang dapat digunakan adal serum,

cairan otak, urin dan bilasan bronkus. Urin merupakan bahan klinik yang paling
sering memberikan hasil positif, sedangkan BAL positif sering ditemukan pada

penderita AIDS.

Deteksi antibodi berperan penting dalam menegakkan diagnosis histoplasmosis.

Dengan menggunakan teknik imuno difusi, dapat dideteksi antigen M dan H. Antigen

M dibentuk pada infeksi akut namun juga sering ditemukan pada infeksi kronik.

Antigen dapat bertahan selama bertahun-tahun. Antigen H jarang ditemukan,

biasanya ditemukan bersama antigen M.

J.    PROGNOSIS

Prognosis histoplasmosis tergantung kondisi penyakit pada saat diagnosis

ditegakkan. Diagnosis dini mempunyai prognosis yang lebih baik, namun diagnosis

sering kali terlambat ditegakkan secara klinis histoplasmosis memiliki gejala yang

mirip dengan penyakit lain. Pada histoplasmosis diseminata pemberian pengobatan

yang tepat dengan induksi dan terapi supresif untuk mencegah relaps memperbaiki

prognosis.

K.   PENGOBATAN

1.   Pada Manusia

Pengobatan histoplasmosis dibedakan antara pengobatan pada penderita

imunokompeten non AIDS dan pengobatan pada penderita AIDS. Pada kelompok

non AIDS pengobatan juga dibedakan antara histoplasmosis diseminata yang

mengancam nyawa dan bentuk yang lebih ringan. Pada bentuk diseminata yang

mengancam nyawa pengobatan dimulai dengan pemberian amfotersin B secara

intravena dengan dosis 0,7 – 1 mg/hari tiap hari selama 1 – 2 minggu. Dosis total

diberikan sebanyak 2500 mg untuk orang dewasa. Untuk anak-anak disesuaikan


dengan umur dan berat badan. Kemudian diteruskan dengan itrakonazol 200 – 400

mg/hari sampai paling sedikit 6 bulan. Pada bentuk yang lebih ringan dapat

diberikan itrakonazol 200 – 400 mg selama paling sedikit 6 bulan. Pada

histoplasmosis paru kronik dengan kavitas diperlukan pengobatan selama lebih dari

satu tahun untuk mencegah relaps.

Pada penderita AIDS dengan histoplasmosis ringan sampai sedang dapat diberikan

itrakonazol 200 mg tiga kali/hari untuk tiga hari pertama dilanjutkan denga 2 x 200

mg selama 12 minggu. Prinsip pengobatan histoplasmosis diseminata adalah

pemberian terapi induksi untuk mendapatkan perbaikan klinis diikuti terapi supresif

untuk mencegah relaps. Terapi induksi menggunakan amfoterisin B 0,5 – 1

mg/kgBB/hari selama 3 hari – 2 minggu tergantung respons penderita. Kemudian

diikuti terapi supresif dengan itrakonazol 400 mg/hari selama kurang lebih 3 bulan.

2.     Pada Hewan

Pada kasus terjadinya Epizootic Lymphangitis pada kuda, pengobatn yang dapat

dilakuakan yaitu dengan pemberian Iodide Sodium secara intravena, atau dengan

pemberian Potassium Iodide secara peoral, namun terjadinya penyakit terulang

kembali atau kambuh pada beberapa bulan kemudian dapat terjadi. Secara invitro

sensitifitas organisme terhadap Amphotericin B, Nystatin, dan Clotrimazole telah

dilaporkan. Pada kebanyakan kasusu hewan yang terinfeksi oleh penyakit ini tidak

diijinkan untuk dilakukan pengobatan, dan hewan yang terinfeksi segera

dimusnahkan dengan eutanasia.

3.     Obat Anti Jamur Untuk Penderita Histoplasmosis

a.    Amfoterisin B

Amfoterisin B yang ditemukan dan diisolasi dan strain Str.nodosus pada tahun

1956 merupakan antibiotika kelompok makrolida poliena yang memiliki 7 ikatan


rangkap konyugasi pada posisi trans dan 3-amino-3,6-dideoksimanosa yang

berhubungan melalui ikatan glikosida. Sesuai dengan namanya sifat amfoter

diberikan oleh gugus karboksil pada cincin utama dan gugus amino pada

mikosamin.Kelarutannya dalam air yang kecil pada pH netral menyulitkan pemberian

per iv hingga perlu solubilisasi melalui dispersi koloid dalam deoksikolat atau

pembentukan derivat N-asil maupun ester dan gugus karboksi.

1)    Aktivitas

Amfoterisin B aktif terhadap Candida sp., Cryptococcus neoformans, Blastomyces

dermatitidis, Histoplasma capsulatum,Torulopsis glabrata, Coccidiodes immitis,

Paracoccidiodes braziliensis, Aspergillus sp, dan hanya aktif terbatas terhadap

protozoa, Leishimania braziliensis dan Naegleria fowleri serta tidak memiliki aktivitas

anti bakteri.

Aktivitasnya sebagian bergantung pada ikatannya pada lingkungan steroid,

khususnya ergosterol, yang ada dalam membran sel jamur yang peka sehingga

meningkatkan permeabilitas membran dan pada oksidasi sel-sel jamur; sedangkan

resistensi umumnya terjadi karena mutan yang terbentuk memiliki kadar ergosterol

yang berkurang dalam membran selnya dan strain tertentu memiliki kadar prazat

ergosterol yang meningkat tetapi dengan affinitas lebih rendah terhadap antibiotika

poliena. Kepekaan bervariasi antar spesies tetapi hampir seragam dalam suatu

spesies dan MIC yang tepat bergantung pada metoda penetapannya.

2)    Absorpsi, distribusi dan ekskresi

Absorpsi amfoterisin B dan saluran pencernaan hamper tidak ada, infus iv 0,5 mg/kg

bobot badan berulang menghasilkan kadar plasma 1-1,5 μg/ml pada akhirnya dan

kemudian menurun menjadi 0,5-1,0 μg/m1 dalam 24 jam berikutnya. Obat

dilepaskan dan bentuk kompleks dengan deoksikolat dalam aliran darah dan dalam
plasma Iebih dan 90% terikat pada protein khususnya B-lipoprotein. 2-5% dosis

dikeluarkan dalam urine pada terapi harian dan eliminasi tidak berubah pada

penderita anefrik atau hemodialisis. Kadar dalam cairan tubuh lebih kurang 2/3

kadar plasma dengan waktu paruh eliminasi I.k. 15 hari. Setelah terapi dihentikan

amfoterisin B masih ada dalam serum selama 7-8 minggu karena dilepaskan

perlahan dari depot jaringan. Dosis efektif bergantung pada tipe dan berat infeksi,

biasanya dosis uji 1 mg/20 ml dextrosa 5% per iv selama 20-30 menit. Sementara itu

suhu, denyut jantung, laju respirasi dan tekanan darah harus direkam. Bila fungsi

jantung dan paru baik serta tidak ada reaksi samping yang berarti, maka dosis dapat

dinaikkan menjadi 0,3 mg/kg bobot badan per iv selama 2-24 jam.

3)    Efek samping

Sejumlah besar efek tidak diharapkan bisa timbul dan yang paling umum adalah

demam (biasanya berkurang meskipun pemakaian dilanjutkan) dan azotemia serta

didahului oleh dyspnea dan takikardia. Kemampuannya untuk membebaskan

interleukin-1 dan faktor nekrosis tumor dari monosit dan makrofag murine invitro

dapat menerangkan mekanisme pirogenitasnya. Azotemia terjadi pada 80% kasus

mikosis dalam yang diberikan amfoterisin B dan toksisitas bergantung pada dosis,

bersifat sementara dan meningkat pada pemakaian bersama obat nefrotoksis lain

seperti aminoglikosida atau siklosporin. Meskipun demikian gangguan fungsional

permanen tidak lazim pada fungsi ginjal yang awalnya normal, kecuali dosis melebihi

3-4 g untuk dewasa. Selama dan beberapa minggu setelah terapi mungkin terjadi

asidosis tubular dan ekskresi ion kalium dan magnesium, sehingga biasanya

dibutuhkan suplemen tambahan pada terapi jangka panjang serta pemantauan

elektrolit serum minimal 2 x seminggu. Heparin 10 mg sering ditambahkan ke dalam

infus dalam upaya mengurangi flebitis. Amfoterisin B dapat berinteraksi dengan


glikosida digitalis sehingga menimbulkan keracunan digitalis melalui mekanisme

penurunan kalium darah.

4)    Penggunaan

Terapi sistemik hanya diberikan untuk penderita di bawah pengawasan ketat dengan

mikosis fatal progresif yang disebabkan oleh jamur yang peka dan harus dilanjutkan

untuk waktu yang cukup, biasanya 2-4 bulan, untuk mencegah kekambuhan.

Sedangkan pemakaian dalam kehamilan harus sangat berhatihati meskipun belum

ada bukti teratogenitas.

Cara penyimpanan, penyiapan dan pemakaian amfoterisin B harus diperhatikan

benar-benan karena ketidak-stabilannya terhadap misalnya panas dan pH rendah,

sedangkan dosis harus diindividualisasi atas dasar beratnya penyakit dan toleransi

penderita. Pemakaian iv utama untuk penatalaksanaan mukormikosis, aspergillosis

invasif, sporotrikosis ekstrakutan dan kriptokoksosis.

Meskipun imidazol dan triazol bermanfaat pada blastomikosis, histoplasmosis,

koksidioidomikosis dan parakoksidioidomikosis, lebih disukai amfoterisin B bila

perkembangan penyakit sangat cepat seperti pada kasus imunitas menurun atau

bila menyangkut susunan saraf pusat. Amfoterisin B juga cfapat digunakan untuk

neutropenia dan demam yang tidak memberikan respons terhadap antibakteri

spektrum lebar dan pemakaian topikal hanya bermanfaat pada kandidiasis kulit.

b.    Imidazol dan Triazol

Berbeda dengan amfoterisin B yang diproduksi secara alamiah, kelompok antijamur

azol merupakan senyawa sintetik yang diklasifikasi sebagai imidazol (mikonazol dan

ketokonazol) atau triazol (itrakonazol dan flukonazol) bergantung kepada jumlah

kandungan atom nitrogennya ada 2 atau 3. Struktur kimia dan profil farmakologis
ketokonazol dan itrakonazol sama, flukonazol unik karena ukuran molekulnya yang

kecil dan lipofilisitasnya yang lebih kecil.

Efek antijamur azol terutama ditujukan pada ergosterol yang merupakan sterol

utama dalam membran sel jamur. Inhibisi sin- tesis sterol melalui interaksi dengan

demetilase C14A suatu enzim yang bergantung pada sitokrom P-450 yang

dibutuhkan untuk pengubahan lanosterol menjadi ergosterol. Kekurangan ergosterol

menyebabkan fluiditas membran sehingga menurunkan aktivitas enzim yang

berkaitan dengan membrane dan mengakibatkan peningkatan permeabilitas serta

hambatan pertumbuhan dan perbanyakan sel. Efek antijamur lain dan azol

mencakup inhibisi respirasi endogen, interaksi toksin dengan fosfolipia membran

dan transfer morfigenetik ragi menjadi bentuk misel. Sebagai perbandingan

amfoterisin B terikat irreversibel pada ergosterol dan flusitosin menghambat sintesis

protein.

Interaksi azol dengan demetilase C14A dalam sel jamur juga menyokong efek toksis

utama azol pada sel mammalia, misalnya secara klinis ketokonazol menyebabkan

kelainan endokrin pada manusia karena inhibisi enzim sitokrom P-450 yang

dibutuhan untuk sintesis hormon steroid adrenal dan gonad. Akan tetapi efek tidak

diharapkan ini malah dimanfaatkan untuk mengurangi produksi hormon steroid pada

sindroma Cushing atau kanker prostat. Suatu perbedaan penting antara imidazol

dan triazol adalah affinitas triazol yang lebih besar terhadap enzim sitokrom P-450

dan jamur dibandingkan dengan dan manusia.

1)    Farmakologi

Ketokonazol dan itrakonazol hanya tersedia per oral dan merupakan basa lemah

yang membutuhkan lingkungan asam untuk solubilisasi dan absorpsi yang optimal

(penggunaan penyekat reseptor histamin H2 menurunkan absorpsi). Variabilitas


makanan mengurangi absorpsi dan ketersediaan-hayati ketokonazol, sebaliknya

untuk itrakonazol malah meningkat 2 sampai 3 kali bila bersama makanan

dibandingkan dengan perut kosong. Variasi ambang plasma puncak setelah dosis

tunggal 200 mg ketokonazol dan itrakonazol lebih kurang 0,3-3,0 μg/ml. Kadar

plasma puncak itrakonazol, tetapi tidak ketokonazol, 3-5 x lebih besar setelah 7-14

hari terapi dibandingkan dengan setelah pemakaian dosis tunggal. Untuk

mempersingkat waktu mencapai keadaan setimbang pada infeksi serius dianjurkan

dosis 200 mg 3 dd itrakonazol; absorpsinya tidak berubah oleh adanya makanan

atau keasaman lambung. Kadar plasma puncak hampir sama dengan dosis dicapai

dalam 2-4 jam setelah pemakaian oral serta 2-2,5 kali lebih besar pada keadaan

setimbang (yang dicapai dalam 6-10 hari setelah terapi dimulai) dibandingkan

setelah dosis tunggal.

Ketokonazol dan itrakonazol terikat kuat pada protein plasma (>99%)tetapi obat

yang bebas terdistribusi baik ke semua jaringan. Karena lipofilisitasnya kadar

keduanya, khususnya itrakonazol, dalam urine dan cairan serebrospinal lebih kecil

dan 1,0 μg/ml. Kadan itrakonazol dalam tulang, hati, eksudat radang, sputum dan

jaringan adiposa serta keratin mencapai 5 μg/ml pada pemakaian 200-400 mg

sehani. Flukonazol mirip dengan non-azol, flusitosin, dalam hal kelanutannya yang

besar dalam air, sedikit terikat pada protein plasma dan volume distribusi mendekati

air tubuh total. Kadar flukonazol dalam hampir semua jaringan dan cairan > 50%

kadar plasmanya dan khususnya tinggi dalam urine dan cairan otak. Kadar puncak

dalam cairan serebrospinal pada meningitis fungal mendekati 70-90% kadan puncak

plasma, demikian pula kadarnya dalam urine mungkin> 100 μg/ini dan jauh lebih

tinggi dan pada oral azol lainnya.


Metabolisme ketokonazol dan itrakonazol terutama di hati dan dikeluarkan hampir

seluruhnya dalam feces dan urine. Dari lebih 30 metabolit itrakonazol yang

diketahui, hanya hidroksiitrakonazol yang memiliki aktivitas antijamur dan

dikeluarkan lebih cepat dan pada itrakonazol sendiri meskipun kadar plasma

metabolit ini pada keadaan setimbang hampir dua kali lipat dari senyawa induknya.

Oleh karena itu kadar plasma itrakonazol yang diukur dengan cara spesifik seperti

HPLC jauh lebih rendah dibandingkan dengan cara biologis. Waktu paruh terminal

ketokonazol dan itrakonazol pada keadaan setimbang 7-10 jam dan 24-42 jam serta

akan meningkat dengan naiknya dosis dari 100 menjadi 400 mg sehani yang

menunjukkan bahwa jalur metabolisme dalam hati sudah jenuh dalam rentang dosis

terapi.

Karena hanya sedikit itrakonazol dan ketokonazol dikeluarkan dalam urine, maka

diperlukan penyesuaian dosis pada gagal ginjal. Berbeda halnya pada metabolisme

flukonazol yang sedikit, 80% dosisnya dikeluarkan dalam bentuk utah dalam urine

dengan waktu paruh eliminasi terminal meningkat dari l.k. 30 jam pada fungsi ginjal

normal menjadi 98 jam pada gagal ginjal serius (kecepatan filtrasi glomerulus <20

ml/mt).

2)    Aktivitas dan resistensi

Baik imidazol maupun triazol aktif terhadap Cryptococcus neoformans, C.

albicans, dan jamur dimorf yang umum seperti Coccidioides brasiliensis dan

Sporothrix schenckii. Kekecualian yang nyata adalah ketidak-aktifan mikonazol

terhadap B. dermatidis. Itrakonazol lebih aktif dan yang lain terhadap Aspergillus sp.

Sampai saat ini timbulnya resistensi terhadap azol yang klinis penting meskipun

setelah terapi jangka panjang jarang, tetapi kegagalan terus meningkat pada kasus

HIV.
3)    Efek samping

Ketokonazol, flukonazol dan itrakonazol lebih ditolerir daripada antijamur yang lebih

tua. Gejala gastrointestinal yang berkaitan dengan dosis paling umum, tetapi hingga

dosis 400 mg sehari jarang sampai mengharuskan penghentian terapi. Meskipun

sebagian besar penderita dengan induksi kenaikan kadar aminotransferase plasma

bersifat asimptomatik, ketokonazol dan lebih jarang lagi triazol mungkin

menimbulkan hepatitis yang klinis penting atau fatal. Studi fungsi hati, khususnya

penentuan aminotransferase plasma, harus dilakukan sebelum pengobatan dan

secara berkala sesudahnya dan karena umumnya kasus hepatitis akibat azol terjadi

dalam beberapa bulan tahap awal terapi, waktu ini pemantauan sangat penting.

Terapi selalu harus dihentikan bila hepatitis simptomatik atau ada bukti lab disfungsi

hati yang persisten atau progresif. Ruam kulit eksfoliatif termasuk sindrom Steven

Johnson yang fatal dijumpai pada penerima flukonazol yang menderita AIDS dan

multiple drug therapy.

Perbedaan utama toksisitas potensial antana ketokonazol dan triazol yang Iebih

banu adalah efeknya terhadap steroidogenesis. Pada dosis> 400 mg sehani

ketokonazol secana reversible menghambat sintesis testosteron (dan karena itu

estradiol) dan kortisol yang mengakibatkan berbagai gangguan endokrin seperti

ginekomastia, oligospermia, berkurangnya libido, impotensi, ketidak-teraturan

menstruasi dan kadang insuffisiensi adrenal. Sebaliknya flukonazol dan itrakonazol

dalam dosis yang dianjurkan tidak menghambat steroidogenesis.

4)    Interaksi obat

Interaksi azol dengan obat lain seperti fenobarbital, HCT, metilprednisolon,

klordiazepoksid dan karbamazepin tidak begitu pénting dan diketahui jelas.


Sebagian besar interaksi terjadi melalui mekanisme inhibisi absorpsi azol yang

menyebabkan penurunan ketersediaan hayati atau interferensi aktif enzim mikrosom

hati yang mengubah metabolisme dan kadar plasma azol atau obat yang

berinteraksi atau keduanya. Tingkat interaksi dengan enzim hati bervariasi antar

penderita, dosis azol dan obat yang bersangkutan.

Ketokonazol invitro memiliki efek inhibisi jauh lebih besar daripada flukonazol dan

itrakonazol terhadap sitokrom P450 katalis pengubahan siklosporin menjadi

metabolit utamanya, tetapi ketiga azol tersebut meningkatkan nyata kadar plasma

sikiosporin pada transpiantasi organ sehingga pemberian bersama obat lain yang

dapat berinteraksi membutuhkan pemantauan cermat kadar plasma azol maupun

obat yang berkaitan.

5)    Penggunaan

Sampai kini peran azol oral dalam penatalaksanaan kandidemia atau kandidiasis

yang menyebar belum jelas, tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa flukonazol

dan amfoterisin B sama efektifnya untuk terapi kandidemia (khususnya infeksi

karena kateter) pada penderita tanpa neutropenia. Untuk kandidiasis ginjal atau

kandiduria karena kadarnya dalam bentuk aktif yang tinggi dalam urine, flukonazol

sangat bermanfaat dan lebih disukai daripada flusitosin yang juga dikeluarkan cepat

melalui saluran urine karena lebih ditolerir dan jarang menimbulkan resistensi.

Flukonazol juga merupakan alternative efektif dan aman dan amfoterisin B untuk

penatalaksanaan kandidiasis serius pada penerima transplantasi organ, khususnya

yang menggunakan siklosprorin.

Flukonazol merupakan azol paling baik untuk meningitis akibat kriptokokus karena

penetrasinya yang tinggi ke dalam cairan serebrospinal dan sebanding dengan

amfoterisin B sebagai terapi primer termasuk pada kasus AIDS yang membutuhkan
terapi pemeliharaan seumur hidup untuk mencegah kambuhan. Setelah perbenihan

cairan serebrospinal negatif, flukonazol lebih unggul daripada amfoterisin B karena

kambuhan dan efek samping yang lebih sedikit.

Sejak dikenalnya ketokonazol tahun 1981, antijamur azol makin penting perannya

dalam penatalaksanaan mikosis endemic (blastomikosis, koksidiodomikosis,

histopiasmosis). Untuk blastomikosis maupun histoplasmosis dibutuhkan 400-800

mg ketokonazol atau 200-400 mg itrakonazol sehari sebagai alternatifdari

amfoterisin B, sedangkan untuk koksidiomikosis yang relatif paling sulit diatasi azol

yang lebih baru memberikan keuntungan dalam hal toleransi yang lebih baik,

khususnya untuk pemakaian jangka panjang dibandingkan dengan amfoterisin B

atau mukonazol yang harus digunakan per iv dengan dosis total tinggi. Sediaan

parenteral mikonazol dalam minyak jarak polietoksi per iv atau intratekal sudah

jarang digunakan dengan berkembangnya obat yang lebih baru.

L.    PENCEGAHAN

Sulit untuk mencegah pajanan terhadap jamur yang menyebabkan histoplasmosis,

terutama di daerah di mana penyakit tersebar luas. Beberapa langkah yang dapat

dilakukan untuk menghindari terjadinya Histoplasmosis antara lain :

1.    Hindari tempat yang berkembangnya jamur, terutama daerah yang dipenuhi dari

ekskresi burung dan kelelawar.

2.    Mengeluarkan atau membersihkan koloni kelelawar atau kandang burung dari

gedung ataupun perumahan.

3.    Melakukan desinfeksi pada daerah yang mengalami kontaminasi.

4.    Meminimalisir terbangnya debu yang kemungkinan terkontaminasi dengan spora

jamur dengan cara menyemprotkan dengan air daerah yang berpotensi sebagai
sumber penularan penyakit, seperti kandang ayam sebelum dibersihkan dilakukan

penyemprotan dengan air untuk menghindari terbangnya debu yang mengandung

spora jamur.

5.    Saat bekerja di tempat yang beresiko sebagai tempat penyebaran penyakit, pekrja

hendaknya menggunakan pakaian khusus dan menggunakan masker wajah yang

berfungsi untuk menyaring debu yang masuk saat bernafas, sebaiknya gunakan

masker dengan diameter kurang lebih 1 milimicron.

M.   STUDI KASUS PENYAKIT HISTOPLASMOSIS

Histoplasmosis adalah penyakit jamur sistemik yang terutama menyerang sistem

retikuloendotel. Penyebabnya ialah Histoplasma capsulatum. Histoplasmosis

diseminata adalah bentuk klinis yang paling berat dan sering fatal.

Penyakit ini banyak ditemukan di Amerika, dijumpai juga di negara-negara beriklim

sedang dan tropis, termasuk Indonesia. Gejala klinisnya tidak khas dan sering

tersamar dengan penyakit lain, sehingga diagnosis baru ditegakkan setelah

penderita meninggal. Akan dilaporkan dua kasus histoplasmosis diseminata pada

dua saudara sekandung, tinggal di Sukabumi (Jawa Barat) yang dirawat di Bagian

Ilmu Kesehatan Anak, Rumah Sakit Sumber Waras pada tahun 1985 dan 1988. Dua

kasus tersebut dapat diselamatkan dengan pemberian amfoterisin B.

1.    Kasus 1

Seorang anak laki-laki, bangsa Indonesia, umur 11 tahun, dirawat di Bagian Ilmu

Kesehatan Anak, RS Sumber Waras, pada tanggal 2 Juli 1985, dengan keluhan

panas, pucat dan perut membesar. Penderita tinggal di Sukabumi, sebelah rumah

ada perternakan ayam. Selama dua bulan sebelum dirawat, penderita dirawat di RS

Sukabumi karena lemas, pucat, satu bulan menderita sakit kepala dan suhu
badannya panas naik turun, diagnosis kerja pada saat itu ialah tifus abdominalis.

Hasil pemeriksaan ultrasonografi pada tanggal 19 Juni 1985 ialah tersangka sirosis

hepatis stadium 1. Penderita dirujuk ke RS Sumber Waras.

Pada pemeriksaan fisik waktu masuk didapatkan penderita tampak sakit berat,

eompos mentis, gizi kurang, lemah, pueat, berat badan 24 kg, suhu badan 36,5°C.

Jantung dan paru tidak ada kelainan, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

maupun tanda-tanda perdarahan, hati teraba (1/4 — 1/4) dan limpa S.II.

Hemogram: hemoglobin 6,2 g/dl, leukosit 2800/mm'. Sediaan sumsum tulang

menunjukkan jumlah sel eukup, gambaran polimorf, banyak sel mieloblast,

eritropoesis hipoplastis, granulopoesis masih aktif, umlah megakariosit kurang.

Diagnosis kerja pada saat itu ialah aleukemik mieloblastik leukemia dan gizi

kurang. Penderita diberi Baetrium®(TM-SMZ), prednison dan transfuse packed cell.

Selama perawatan, hati membesar (1/2—1/2), limpa menjadi S. III, tampak

gambaran pembuluh vena membesar pada dinding perut, suhu badan masih temp

naik turun dan timbul epistaksis. Foto Rontgen toraks menunjukkan hilus kiri

membesar, tidak tampak infiltrat di kedua paru, jantung normal. Pada pemeriksaan

biopsi had, pungsi limpa dan sediaan sumsum tulang diperiksa ulang, ditemukan sel-

sel ragi berukuran 1—5 mikron dalam set makrofag, gambaran ini sesuai dengan

histoplasma eapsulatum.

Pemeriksaan serologi (uji imunodifusi) dengan histoplasmin menunjukkan basil

positif dan biakan darah tumbuh koloni H. capsulatum.

Pengobatan dengan amfoterisin B segera diberikan secara infus dalam 500 ml

glukosa 5% selama 6 jam setiap hari selama lima hari, mulai 5 mg amfoterisin B,

kemudian dosis dinaikkan 5 mg setiap hari sampai mencapai 25 mg, kemudian

diberikan 25 mg seminggu tiga kali sampai tereapai dosis total 1250 mg. Saw jam
sebelum infus, diberikan premedikasi berupa antihistamin dan antipiretik. Seminggu

sekali diperiksa faal ginjal, hemoglobin, leukosit dan trombosit. Reaksi obat yang

timbul ialah demam dan menggigil beberapa kali, tetapi tidak terjadi gagal ginjal.

Pada akhir pengobatan hati dan limpa mengeeil, basil uji serologik dan biakan darah

negatif, sediaan sumsum tulang menunjukkan gambaran yang aktif dan normal,

tidak ditemukan lagi sel-sel ragi H. capsulatum. Penderita pulang tanggal 22

November 1985 dalam keadaan baik.

Lima bulan setelah pulang, keadaan umum penderita baik, berat badan naik, hati

dan limpa tidak teraba lagi, uji serologic dan biakan darah tiga bulan berturut-turut

negatif. Faal ginjal sampai tiga bulan setelah pengobatan dihentikan adalah normal.

Pada pemeriksaan beberapa sampel tanah yang diambil secara acakdari petemakan

ayam sebelah rumah penderita di Sukabumi tidak ditemukan H. capsulatum.

2.    Kasus 2

Adik kandung kasus 1, seorang anak laki-laki umur 12 tahun dirawat di Bagian

Ilmu Kesehatan Anak, RS Sumber Waras, pada tanggal 6 Mei 1988, dengan

keluhan batuk selama satu bulan, perut bagian kanan membesar, berat badan

menurun, badan lamas dan cepat lelah. Penderita pernah sakit kuning ketika

berumur 4 tahun. Selma satu bulan sebelum dirawat, penderita batuk terus dan

mengeluarkan banyak dahak, waktu diperiksa oleh dokter di Sukabumi teraba

benjolan di bagian kanan perut.

Foto Rontgen toraks menunjukkan gambaran bronkhitis. Selama itu tidak

demam, berat badan menurun, merasa lamas dan lelah. Karena batuknya tidak

sembuh-sembuh serta mengingat riwayat penyakit kakaknya, orang tua penderita

menjadi curiga dan membawanya ke Jakarta. Penderita dirujuk ke RS Sumber

Waras dengan hepatomegali dan pansitopenia.


Pada pemeriksaan fisik waktu masuk didapatkan penderita compos mantis,

tampak sakit sedang, gizi sedang, pucat, tidak ikterik, berat badan 28 kg, suhu

badan 36°C. Jantung dan paru normal. Tidak ada pembesaran kelenjar getah

bening, hati teraba 1/2-1/2 dan limpa S. II.

Hemogram: hemoglobin 9,7 g/dl, leukosit 2800/mm', hitung jenis dalam batas

normal, trombosit 38.000/mm', SGOT 40 U/1, SGPT 22 U/l. Tuberkulin test negatif.

Foto Rtntgen toraks normal.

Diagnosis kerja pada saat itu ialah observasi hepatitis. Mengingat pada penderita

ditemukan hepatosplenomegali dan pansitopeni perifer sama seperti yang dijumpai

pada kakaknya waktu masuk dahulu, maka dicurigai kemungkinan histoplasmosis

pula. Pemeriksaan sediaan menunjukkan gambaran normal dan ditemukan

gambaran mikroskopik yang sesuai dengan H. capsulatum. Hasil uji imunodifusi

dengan histoplasmin ialah positif dan biakan darah tumbuh koloni H. capsulatum.

Pengobatan amfoterisin B diberikan dengan dosis dan cam yang sama seperti

pada kasus 1. Pada hari ke 22 perawatan, keadaan umum penderita eukup baik,

jantung dan paru normal, hati dan limpa mengecil (teraba berturut-turut 1 cm dan 0,5

cm di bawah arkus kosta), penderita selanjutnya berobat jalan. Selama pengobatan,

beberapa kali timbul demam dan menggigil serta muntah, tidak terjadi kegagalan

ginjal. Pada akhir pengobatan keadaan umum penderita baik, hati dan limpa tidak

teraba lagi, uji serologik dan biakan darah adalah negatif, faal ginjal dan hati normal.

Penderita pulang tanggal 31 Agustus 1988.

Anda mungkin juga menyukai