Anda di halaman 1dari 178

Agama & Masyarakat

Kumpulan Refleksi Tentang Praktik Agama dalam


Masyarakat

2
Agama & Masyarakat: Kumpulan Refleksi Tentang
Praktik Agama dalam Masyarakat

Oleh: Yuangga K Yahya

Copyright © 2017 by Yuangga K Yahya

Penerbit

Yuangga K Yahya

http://yuangga4.blogspot.co.id

yuangga4@gmail.com

Desain Sampul:

Yuangga K Yahya

Diterbitkan melalui:

www.nulisbuku.com

3
Kata Pengantar
Puja dan Puji syukur senantiasa dipanjatkan
ke hadirat Tuhan semesta alam, Yang Maha Perkasa
dan Maha Segalanya, Allah SWT yang tak pernah
berhenti melimpahkan nikmat dan karuniaNya
kepada seluruh hambaNya. Tanpa kuasa dan
kehendakNya, tak akan bermanfaat ilmu sebesar
gunung Merapi dan Merbabu, sebaliknya ilmu
sekecil telur semut akan dapat memberikan manfa’at
yang luar biasa bila Ia berkehendak. Hanya dengan
pertolonganNya, penulis dapat menyelesaikan buku
“Agama & Masyarakat: Kumpulan Refleksi Tentang
Praktik Agama dalam Masyarakat” sesuai waktu yang
ditentukan meski harus mencuri-curi waktu di sela
kesibukan yang seringkali melalaikan penulis.
Terima kasih juga diberikan kepada seluruh
pihak yang turut memberikan dukungan dan
masukan dalam penulisan artikel-artikel dan
penyusunan buku ini, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Tanpa mereka semua, tidak akan
pernah ada ide untuk direnungkan, kemauan untuk
menyalakan laptop, semangat untuk menulis, gairah
untuk mempublikasikannya dalam blog pribadi dan
hasrat untuk menyusunnya dalam satu buku. Bagi
kalian semua, semoga Allah SWT membalas semua
kebaikan dengan kebaikan yang berlipat-lipat
ganda. Amin.

4
Buku ini merupakan kumpulan makalah,
resume, refleksi dan tulisan-tulisan kecil dari mata
kuliah Teori Agama dan Masyarakat, Studi Agama
Kontekstual, Dialog Antar Agama, dan Studi Agama
Lanjut di Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta.
Semua tulisan dirasa sayang untuk dibuang begitu
saja. Karenanya, penulis berinisiatif untuk
membukukan dalam satu buku untuk memudahkan
pemanfaatannya.
Penulis menyadari bahwa tulisan-tulisan
berikut masih amat jauh dari kata sempurna atau
bahkan layak untuk dikonsumsi oleh khalayak.
Karenanya, saran dan kritik amat dinantikan oleh
penulis demi perbaikan dan pengembangan diri
penulis sendiri. Semoga tulisan ini mampu
bermanfaat bagi pembaca, khususnya bagi penulis
sendiri.

Yogyakarta, 24 R. Awwal 1439

Penulis

5
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ............................................................. 3
Daftar Isi ..................................................................... 5

Bagian I : Konstruksi Agama


Agama dan Konstruksi Sosial ..................................... 9
Mencari Makna Agama ............................................... 21
Konstruksi Agama Oleh Negara di
Indonesia ..................................................................... 31

Bagian II: Problem Kontekstual Agama


Bahaya Orientalisme Menurut Maryam Jamilah
dan Edward Said ........................................................ 45
Orientalisme Klasik dan Karakteristiknya ................... 65
Orientalisme Modern dan Pengaruh Studi
Islam ............................................................................ 68
Oksidentalisme ............................................................ 71
Hegemoni Peradaban Barat di Dunia Islam ................. 75
Tantangan Muslim di Barat ......................................... 80
Islam, Politik dan Post-Islamisme ............................... 83
Islam dan Pluralisme ................................................... 89
Islam Transnasional dan Global Jihad ......................... 93
ISIS dan Pengaruhnya di Indonesia ............................. 97
Memahami Penyebaran Paham Radikalisme
6
dan Kekerasan Atas Nama Islam ................................. 101
Politisasi Agama dan Penggunaan Simbol Agama
dalam Politik ............................................................... 107

Bagian III : Agama Dalam Hubungan Masyarakat


Konsep Dialog Antar Agama ....................................... 115
Dialog dan Teori Konflik ............................................. 123
Praktik Dialog Antar Agama di Indonesia .................... 131
Praktik Dialog Antar Agama di Timur Tengah ............ 143
Sejarah Konflik Kristen-Islam di Indonesia ................. 151
Rumah Ibadah .............................................................. 157
Bencilah Seperlunya ..................................................... 163
Belajar dari “The Imam and The Pastor”: Ketika Agama
Membawa Kedamaian Bukan Perang ........................... 171
Tentang Penulis ............................................................ 177

7
8
“The purpose of religion
is to control yourself,
Not to criticize other”

Dalai Lama

9
Bagian I
Konstruksi Agama

Agama dan Konstruksi Sosial


(Emile Durkheim dan Peter L Berger)
Pendahuluan
Dalam kajian pendahuluan, telah dipaparkan
secara gamblang asal-usul agama yang berhubungan
erat dengan kepercayaan magis kaum primitif
(J.G.Frazer dan E.B.Tylor) dan agama sebagai sumber
masalah yang fundamental dan merupakan instrumen
penindasan kaum atas terhadap kaum bawah dan
merupakan candu bagi masyarakat (S. Freud dan K.
Marx). Dalam pembahasan singkat ini, penulis
mencoba memaparkan “Fungsi Sosial Agama”
menurut Sosiolog Prancis ternama, Emile Durkheim
dan Sosiolog asal Autria, Peter L Berger dengan
beberapa perbedaan yang cukup mendasar dari dua
teori terdahulu. Berikut beberapa ulasan singkat
tentang agama dan hubungannya dengan konstruksi
sosial dalam perspektif keduanya

A. Emile Durkheim dan Fungsi Sosial


a. Biografi Emile Durkheim
Emile Durkheim dilahirkan pada tanggal 15 April
1858 di kota Epinal yang terletak di timur laut
Prancis. Ayahnya yang seorang rabbi Yahudi
10
mendidiknya untuk menjadi rabbi, tetapi pada umur
10 tahun Durkheim menolak menjadi rabbi dan pindah
sekolah. Meskipun berasal dari keturunan rabbi dan
bergaul dekat dengan guru-guru yang beragama
Katolik Roma, Durkheim lebih tertarik mempelajari
agama dari sisi akademik daripada teologis. Karena
itulah sejak muda Durkheim menyatakan dirinya
seorang atheis dan selalu bersifat agnostik.
Pada usia 21 tahun, Durkheim diterima di sebuah
universitas terbaik, Ecole Normale Superiure dengan
mengambil studi sejarah dan filsafat. Setelah
menyelesaikan studinya, Durkheim mengajar filsafat
di beberapa sekolah di Prancis. Pada tahun 1885-1886
Durkheim belajar psikologi ilmiah pada Wilhelm
Wundt di Jerman. Setelah kepulangannya Durkheim
menerbitkan buku tentang pengalamannya selama di
Jerman. Penerbitan buku ini membantu Durkheim
mendapatkan jabatan di jurusan ilmu sosial dan
pendidikan di Universitas Bordeaux tahun 1887. Pada
tahun yang sama, Durkheim menikahi seorang wanita
bernama Louise Dreyfus. Durkheim dan Louise
dikaruniai dua anak, Marie dan André.
Selama lima belas tahun berkarir di Universitas
Bordeaux, Durkheim menghasilkan tiga karya besar
dalam bentuk buku; The Division of Labor in Society
(1893), The Rules of Sociological Method (1895), dan
Suicide: a Study in Sociology (1897). Selain itu,
Durkheim bersama para sarjana lainnya menerbitkan
L‟Annee Sociologique; sebuah jurnal yang memuat
11
artikel-artikel sosial yang kemudian terkenal di
Prancis bahkan seluruh dunia. Berkat prestasi-
prestasinya ini, Durkheim diangkat menjadi Profesor
di Universitas Paris. Pada usia yang tergolong muda,
44 tahun, Durkheim telah mencapai puncak
kesuksesan akademik di seluruh Prancis. Sejak di
Bordeaux, Durkheim tertarik terhadap pengaruh
agama dalam kehidupan sosial, tetapi baru satu
dekade kemudian bukunya yang berjudul The
Elementary Forms of Religious Life diterbitkan.
Pada awal tahun 1918, ia mendengar kabar bahwa
anak laki-laki satu-satunya, André, yang merupakan
seorang cendikiawan muda, terbunuh dalam
kampanye militer di Siberia. Kabar duka ini membuat
Durkheim larut dalam pekerjaannya hingga ia
mengalami stroke sebulan kemudian. Durkheim
meninggal pada usia yang relatif muda, 56 tahun.

b. The Elementary Forms of the Religious Life

Buku “The Elementary Forms of the Religious


Life“ merupakan salah satu karya monumental Emile
Durkheim yang terbit tahun 1912. Buku ini berisi
analisis Durkheim mengenai agama yang didasarkan
hasil penelitiannya pada masyarakat pribumi
Australia, seperti suku bangsa Warramunga, suku
Wombya, suku bangsa Arunta dan lain sebagainya.
Persoalan yang ia kemukakan dalam analisisnya
adalah melihat “sesuatu yang hadir di mana bentuk-
12
bentuk pemikiran dan praktek keagamaan yang paling
esensial bergantung” dan untuk ini ia merasa perlu
mengkaji agama dalam “bentuknya yang paling
primitif dan sederhana”, mencoba membahas sifatnya
dan asal-usulnya yang murni dari mite-mite, konsep-
konsep tambahan dan keyakinan-keyakinan para
pemeluknya dan belum banyak terjadi pertentangan
antar pemeluknya atau sekte-sektenya. (Durkheim,
2006:7)
Dalam buku tersebut, ia berkesimpulan bahwa
religi merupakan sekumpulan keyakinan dan praktek
yang berkaitan dengan sesuatu yang sacred (sakral),
yakni sesuatu yang disisihkan dan terlarang,
keyakinan-keyakinan dan upacara yang berorientasi
kepada suatu komunitas moral tunggal (umat) di mana
masyarakat memberikan kesetiaan dan tunduk
padanya. (Durkheim, 2006: 8 dan Soedhana, 2014:
38). Dan pula, menurutnya sistem religi yang azasi
dan yang tertua adalah Totemisme.
Inilah yang mendasari penelitiannya terhadap
Totemisme di suku primitif Australia. Totemisme
merupakan penyembahan terhadap totem (lambang
dari tiap klan) yang berbentuk binatang, tumbuhan
atau benda keramat, namun tidak semua benda yang
menjadi totem memiliki daya magis, tapi ada prinsip
yang menyebabkannya menjadi lambang suatu klan
(principe totemique). Berdasarkan kesimpulannya,
hakikat dari penyembahan totem tersebut adalah
13
penyembahan terhadap klan mereka sendiri atau
dengan kata lain merupakan pernyataan setia dan
patuh kepada klan dan marga yang merupakan realitas
kekuatan bersatu dalam kebersamaan, yang oleh
Durkheim disebut ekspresi simbolis dari kenyataan
sosial.(bandingkan Shanks, 2003: 152, dan Soedhana,
2014: 38)
Dengan kata lain, fungsi individu agama adalah
sebagai identitas diri, pandangan hidup dan the way of
life, adapun fungsi sosialnya adalah sebagai aturan
normatif yang secara sosial melegitimasi tindakan
sosial/nilai sentral yang berperan dalam sebuah sistem
sosial.
c. Fungsi Sosial Agama menurut Emile
Durkheim

Menurut Durkheim, untuk menganalisa dan


meneliti segala sesuatu harus menggunakan lensa
sosial, karena fakta sosial jauh lebih fundamental
daripada fakta individu. Sehingga, untuk menjelaskan
individu harus melalui masyarakat dan untuk
menerangkan masyarakat harus lebih dahulu
menganalisa konteks atau hubungan sosial yang ada.
Durkheim pun mengklaim bahwa masyarakat lah yang
membentuk dan melahirkan berbagai hal yang ada
dalam kehidupan manusia, termasuk agama.
Durkheim tidak mempercayai realitas supernatural
apapun yang menjadi ruh suatu agama, namun ia
14
meyakini bahwa ada suatu kekuatan moral yang
superior, yang memberikan inspirasi kepada
pengikutnya, dan kekuatan itu adalah masyarakat itu
sendiri, bukan Tuhan. Durkheim berpendapat bahwa
secara simbolis masyarakat menubuh ke dalam
masyarakat itu sendiri. Menurut Durkheim, agama
adalah sistem simbol yang dengannya masyarakat
dapat menyadari dirinya. Hal ini dapat menjelaskan
alasan setiap masyarakat memiliki kepercayaan
agama, akan tetapi masing-masing kepercayaan
tersebut berbeda satu sama lain. Durkheim melihat
bahwa Tuhan tak lebih dari “sekedar hasil
pengejawantahan wujud Tuhan dan simbolisasi-Nya”
(Durkheim dalam Ritzer, 2004: 105). Dengan kata
lain, masyarakat adalah sumber kesakralan itu sendiri.
Maka, baginya agama merupakan sesuatu yang
kolektif. Oleh karenanya, ia mengkritik pemikiran
Tylor dan Frazer yang berpendapat bahwa pemikiran
religius merupakan kesalahan interpretasi dari mimpi.
(Soedhana, 2014: 37) Menurutnya, agama bukan
berasal dari magis – seperti teori Frazer – sebab
agama dan magis memiliki konsentrasi yang berbeda,
magis lebih bersifat individual dan sebagai instrumen
individu untuk mencapai sesuatu, adapun agama tidak
dapat dipisahkan dari ide komunitas peribadatan atau
moral (Durkheim, 2006: 8). Pernyataan Durkheim ini
diperkuat dengan hasil penelitiannya terhadap
masyarakat primitif Aborigin di benua Australia.

15
Dalam penelitian tersebut, ia mendapati bahwa
upacara dan ritual adalah stimulan yang memunculkan
perasaan-perasaan keagamaan (bukan dari momen
yang bersifat pribadi).
Seperti dijelaskan di poin sebelumnya tentang
esensi pemujaan tersebut yang mengedepankan
kepentingan ritual dari “Tuhan” itu sendiri. Maka
dapat dikatakan bahwa fungsi ritual jauh lebih penting
dari pada keyakinan yang ada, dan ritual-ritual
keagamaan pasti akan merefleksikan dan memperkuat
perasaan dalam suatu kelompok. Pendek kata, agama
adalah refleksi bagi penganutnya.
B. Peter L Berger dan Teori Konstruksi Sosial
a. Biografi Peter L Berger
Peter Ludwig Berger merupakan seorang teolog
dan sosiolog. Ia lahir pada 17 Maret 1929 di Wina,
Austria. Setelah perang Dunia II berakhir, Berger
bersama keluarganya pindah ke Amerika. Ia lulus dari
Wagner College pada tahun 1949 dengan gelar
Bachelor of Arts. Kemudian ia melanjutkan
sekolahnya di New School for Social Research di
New York dan mendapat gelar M.A. (1950) dan Ph.D.
(1952). Berger menikah dengan Brigitte Kellner pada
28 September 1959 dan dikaruniai dua orang anak,
Thomas Ulrich dan Michael George.
Perjalanan karir Berger dimulai dari tahun 1955-
1956, ia bekerja di Evangelische Akademie di Jerman.
Pada tahun 1956-1958, ia menjadi profesor muda di
16
Universitas North Carolina. Berger kemudian menjadi
profesor di New School for Research, Universitas
Rutgers, dan Boston College. Sejak tahun 1981 ia
menjadi profesor Sosiologi dan Teologi di Universitas
Boston. Ia juga membangun sebuah institut Studi
Kebudayaan dan Ekonomi yang sekarang menjadi
bagian dari Universitas Boston. Ia menjadi direktur
institut ini dari tahun 1985 hingga 2010.
Beberapa karya Berger yang terkenal adalah
Invitation to Sociology: a Humanistic Perspective
(1963), The Social Construction of Reality (1966)
yang ditulisnya bersama Thomas Luckmann, dan A
Rumor of Angels: Modern Society and Rediscovery of
the Supernatural (1969). Ia mendapatkan penghargaan
Doktor Honoris Causa dari Universitas Loyola,
Universitas Notre Dame, Wagner College, Universitas
Jenewa, dan Universitas Munich. Pada tahun 2010,
Berger mendapat penghargaan Dr. Leopold Lucas
yang diberikan oleh Universitas Tübingen.
b. Teori Konstruksi Sosial
Menurut Berger, dari segi sosiologi, agama
adalah suatu universum symbolicum, dimana manusia
memersatukan lembaga-lembaga dan memberi suatu
legitimasi untuk lembaga-lembaga itu. Fungsi
sebagai universum symbolicum ini selain agama, juga
dapat diperoleh dalam mitos dan ideologi (kadang
juga ilmu pengetahuan). Dengan pernyataan ini,
Berger tidak mengatakan bahwa agama hanyalah
universum simbolicum. Agama memang juga
17
mempunyai fungsi lain misalnya sebagai dasar
terakhir (ultitum cur atau ultimate concern) dari
manusia, tetapi ini bukan kompetensi sosiologi,
melainkan falsafat dan terutama teologi, yang berada
di luar jangkauan ilmu pengetahuan.
Menurut Berger proses-proses konstruksi sosial
dan agama dimulai dengan definisi tentang diri (self)
sebagai peranan. Dalam menerangkan ini, Berger
menggunakan pendekatan dialektis, untuk
menjelaskan bagaimana hal rohani menciptakan hal
mengada. Istilah mengada disini adalah “mengada
sosial (social being, mengikuti Marx). Berger
menjelaskan bagaiamana hal mengada yang disebut
realitas ini diciptakan secara rohani. Konstruksi
sosial mengenai kenyataan bermula dari pikiran. Bila
Marx menjelaskan bagaimana matter menciptakan
mind, maka Berger sebaliknya bagaimana mind
menciptakan matter. Dengan asumsi falsafi ini
Berger menjelaskan bagaimana suatu kenyataan
dikonstruksi secara sosial, lewat institusionalisasi,
legitimasi dan conceptual machineries of universe
maintenance.
Kesimpulan
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa
agama dan magis berbeda, karena magis merupakan
instrumen menuju agama. Dan fungsi sosial agama
adalah sebagai aturan normatif yang secara sosial
melegitimasi tindakan sosial/nilai sentral yang
18
berperan dalam sebuah sistem sosial dan memaksa
individu menempatkan kepentingannya dibawah
kepentingan umat (bersama).
Adapun Peter L. Berger berkesimpulan bahwa agama
dan konstruksi sosial bermuladari pikiran atau bagaimana
mind menciptakan matter, berkebalikan dengan Marx
yang menjelaskan bagaimana matter menciptakan mind.

19
Daftar Pustaka

Pals, Daniel L. Seven Theories of Religion. Yogyakarta:


Ircisod.

Rachman, Budhy Munawar. Fenomenologi Diri dan


Konstruksi Sosial Mengenai Kebudayaan:
Edmund Husserl dan Jejak-Jejaknya Pada
Maurice Merleau-Ponty dan Peter Berger.
Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 1, No. 6, Juli 2013.
Ritzer, George. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi
Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori
Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Shanks, Andrew. 2003. Civil Religion. Yogyakarta:
Jalasutra.

Soedhana, Moh. 2014. Fakta dan Tanda Agama, suatu


tinjauan sosio-antro. Yogyakarta: Dandra
Pustaka Indo.

20
21
Mencari Makna Agama
(Menurut Wilfred Cantwell Smith)
Pendahuluan
Bermula pada tahun 622 M, Kristen mendapatkan
tantangan nyata dari agama yang lebih muda dan lebih
giat, yaitu Islam. Kedua agama ini di samping memiliki
beberapa kesamaan, di sisi lain memiliki perbedaan yang
amat mencolok dari sisi teologis. Inilah yang membuat
banyak orang Kristen yang menganggap Islam merupakan
bid‟ah Kristen. Umat Islam pun menyangkal hal ini,
karena mereka menganggap agama mereka adalah wahyu
terbaru dari Allah dan merupakan agama paling sempurna
dengan kitab sucinya yang terlengkap. Dari sini mulai
terjadi ketegangan antara keduanya disebabkan sikap
eksklusif kedua belah pihk, yang di kemudian hari
menjadi salah satu faktor penyebab pecahnya Perang Salib
(1096-1291).
Pada masa inilah, para pemikir Kristen modern
mulai bermunculan, salah satunya adalah Karl Barth
dengan tawarannya bahwa teologi Kristen merupakan
suatu pandangan yang ekslusif dan tidak mengenal
kompromi mengenai pewahyuan diri Allah dalam Yesus
Kristus. Namun pada akhirnya, teori ini justru semakin
meruncingkan perbedaan dan perselisihan antara Kristen
dan penganut agama lain. Akhirnya, Wilfred Cantwell
Smithmuncul dan memberikan teori sebagai solusi dari
kekacauan yang ada. Ia berpendapat bahwa untuk

22
menyelesaikan masalah tersebut, perlu dikaji pemahaman
masing-masing pemeluk agama terhadap makna
agamanya.
Biografi Wilfred Cantwell Smith
Wilfred Cantwell Smith adalah salah seorang
tokoh orientalis yang dilahirkan di kota Toronto, pada
tanggal 21 Juli 1916. Smith adalah seorang ahli dalam
bidang studi perbandingan agama. Smith merupakan
seorang sejarawan agama yang memiliki pengalaman
langsung dengan berbagai macam agama. Ia
jugamerupakan seorang profesor dalam perbandingan
agama di Universitas Harvard USA. Ia mendapat gelar
B.A. dari Universitas Toronto pada 1938. Ketika tesisnya
ditolak oleh Universitas Cambridge, ia dan istrinya,
Muriel Mackenzie, tinggal di India selama tujuh tahun
(1940-1946). Di sana ia mengajar mata kuliah “India dan
Sejarah Islam” di Forman Christian College di Lahore.
Setelah mendapat gelar Ph.D. di Universitas Princeton,
Smith kemudian mendirikan Institut Studi Islam di
Universitas McGill pada tahun 1949-1951. Pada tahun
1964 Smith menjadi direktur Harvard University‟s Center
for the Study of World Religions.
Pada tahun 1973 ia pindah ke Halifax, Nova
Scotia, untuk mendirikan Departemen Perbandingan
Agama di Dalhousie University. Kemudian ia kembali ke
Harvard pada tahun 1978 untuk mengawasi
pengembangan program agama dalam fakultas seni dan
ilmu. Pada tahun 1984, Harvard mengangkatnya sebagai
23
Profesor Emeritus Kajian Perbandingan Agama. Pada
tahun 1978, ia mendapat doktor honoris causa dari
Universitas Concordia. Setelah pensiun mengajar, ia
kembali ke kota asalnya pada tahun 1985, dan diangkat
sebagai Senior Research Associate di Fakultas Teologi di
Trinity College, Universitas Toronto. Smith
meninggalpada tanggal 7 Februari 2000 di usia 84 tahun
dengan meninggalkan seorang istri, lima orang anak, dan
sepuluh orang cucu.
Karya-karya Smith antara lain adalah: The Muslim
League, Pakistan as an Islamic State: Preliminary
Draft, Islam in Modern History: The tension between
Faith and History in the Islamic World, The Meaning and
End of Religion,Modern Islam in India: A Social Analysis
The Faith of Other Men, Questions of Religious Truth,
Religious Diversity: Essays, Belief and History, On
Understanding Islam: Selected Studies, dan lain
sebagainya.
Bentuk Agama Sebelum Lahirnya Teori ini
Seperti disinggung di atas, agama-agama di dunia
banyak yang menerapkan pemahaman eksklusivime dalam
memahami agama mereka. Yaitu tidak ada keselamatan di
luar agama mereka (Extra Ecclesiam Nulla Salus) dan
agama merekalah agama yang paling benar dan sesuai
dengan apa yang diinginkan Tuhan. Paham ini ternyata
menemui tantangan yang serupa dari agama-agama lain
sehingga timbullah “saling klaim kebenaran” antara
agama tersebut, sehingga melahirkan banyak pertikaian
24
dan pertumpahan darah antar orang-orang – yang
notabene – beragama.
Pencarian Makna Agama
Wifred C Smith menanggapi sikap ekslusivisme
Kristen dan dampak buruknya pada keharmonisan antar
umat beragama di dunia dengan memberikan solusi, yaitu
dengan cara memahami dan menambah keyakinan bahwa
agama merupakan sumber nilai kebaikan untuk keutuhan
hidup dan kehidupan manusia. Berbeda dengan para
pengkaji modern yang cenderung memisahkan agama dari
kehidupan nyata (profan). Agama hanya dimaknai sebagai
ritual yang terbatas pada penyembahan secara sempit.
Sehingga agama seolah-olah tidak menyentuh kehidupan
duniawi. Menurutnya, agama merupakan penopang
semangat dan sumber inspirasi dan kreasi hidup manusia.
Karena dibalik yang “Nyata” terdapat yang “Metafisis”
dan justru sebagai ikon penting yang harus diperhatikan
manusia. Dengan seperti itu, manusia akan menemukan
“makna” agama yang semestinya.
Dikotomi antara Yang Sakral dan Yang Profan
adalah definisi agama yang tidak mencakup seluruh
agama-agama di dunia. Dikotomi ini lebih berlaku kepada
agama Barat dan tidak kepada agama serta kultur yang
berpandangan universisme, seperti Tao, Konghucu dan
Shinto dimana kehidupan religius berhubungan secara
harmonis dengan tatanan alam dan manusia (Dhawamony,
1995: 71).

25
Selama di Harvard dan McGill, ia mengumpulkan
para mahasiswa dan staf pengajar dari berbagai
agamauntuk menguji teologi mereka masing-masing
dalam rangka menyusun teori-teori yang dapat diterima,
baik oleh orang Yahudi maupun oleh penganut agama
Budha, baik orang Islam maupun Kristen dan juga
meyakinkan tradisi akademis. Hal ini semata-mata karena
pengakuaannya bahwa pengalaman dunia menyangkut
agama sedang memasuki tahapan baru – Pluralisme
agama. Syarat utama pluralisme adalah setiap individu
diminta untuk memahami tradisi-tradisi keagamaan lain di
samping tradisi keagamaan sendiri. Karena membangun
teologi di dalam benteng satu agama sudah tidak relevan
lagi. Seperti pada masa lampau para Teolog Kristen
merasa perlu untuk membangun teologi dalam terang
filsafat Yunani atau perkembangan ilmiah, maka dewasa
ini,perlu dalam terang agama-agama lain di dunia, karena
pembaca teologinya tidak terbatas pada orang kristen
saja(Coward, 1989: 61).
Smith mengawali pernyataannya dengan
menjelaskan adanya implikasi moral dan implikasi
konseptual wahyu Kristen. Pada tingkat moral wahyu
Allah dalam Kristus menghendaki rekonsiliasi dan rasa
kebersamaan yang dalam: “Kita harus berusaha
menghilangkan hambatan-hambatan, menjembatani
perbedaan-perbedaan, mengakui semua orang sebagai
sesama dan anak-anak Allah Bapa, yang sedang berupaya
menemukan Dia. Maka ia menekankan bila pernyataan-

26
pernyataan teologis dirumuskan, maka pernyatan tersebut
jangan sampai memungkinkan orang-orang Kristen
mengabadikan sikap “kami” dan “mereka” yang menjadi
sumber sikap ekslusif di masa lampau. Karena sikap
tersebut merupakan keangkuhan dan bukan kerendahan
hati yang diajarkan Kristus dan benar-benar tidak
bermoral. Dari segi moral sesungguhnya mustahil
mendatangi dunia dan berkata kepada sesama orang saleh
dan cerdas “kami diselamatkan dan anda dihukum”, atau
“kami yakin kami mengenal Tuhan yang sesungguhnya
dan kami benar, sedang anda sama sekali keliru”. Pun
sungguh tidak bermoral bila iman dapat goyah oleh
tindakan Allah menyelamatkan sesama atau takut kalau-
kalau orang lain ternyata lebih dekat dengan Tuhan
daripada yang kita duga. (Coward, 1989: 61-62)
Ia menolak sikap teologi ekslusif karena
melanggar ajaran cinta kasih Kristen. “Apabila wahyu
Kristen tidak benar, maka ada kemungkinan untuk
membayangkan bahwa Tuhan membiarkan penganut
agama lain untuk mematuhi-Nya tanpa uluran tangan-Nya.
Namun, Dia adalah Tuhan sebagaimana yang telah
diwahyukan oleh Kristus, maka orang lain memang hidup
di hadirat-Nya, begitupula orang Kristen.
Dalam bukunya “The Meaning and End of
Religion”, ia menjelaskan bahwa penggunaan teologi yang
ekslusif mengakibatkan agama orang lain dipandang
sebagai penyembah berhala dan menyamakan Tuhan
mereka dengan dewa, atau dengan bahasa lain “Allah
27
agama-agama lain adalah berhala”. Inilah bentuk
keangkuhan agama yang dimaksud. Padahal pada
hakekatnya, semua agama mengarah pada tujuan akhir,
yaitu Allah(Madjid, 2001: 81)
Ia merasa pemahaman agama inilah yang
diperlukan jika ingin berlaku adil terhadap dunia tempat
kita hidup dan mengenal Allah sebagaimana yang di
wahyukan oleh Kristus. Apapun agamanya, hendaknya
dipahami sebagai suatu perjumpaan yang penting dan
berubah-ubah antara Yang Ilahi dan manusia. Maka, visi
baru agama-agama di dunia dilandasi oleh pemahamannya
mengenai cara kita untuk sampai pada pengetahuan,
karena di dunia nyata, kita menemukan Tuhan, dunia kita
dan diri kita sendiri. Kita tidak dapat mengenal satu sama
lain kecuali dalam kebersamaan, atas dasar rasa hormat,
kepercayaan, persamaan, dan kasih timbal-balik. Kita
harus mengalihkan pandangan mengenai penganut agama
lain sebagai “jauh” dan “lain” menjadi pendangan
mengenai mereka sebagai sesama anggota yang sederajat
dari komunitas keagamaan di seluruh dunia. Tidak ada
lagi “kita” dan “mereka”, karena pada akhirnya kita semua
satu. Dan akhirnya, teologi Kristen yang sejati muncul
ketika kita melihat dan mengenal diri kita sendiri sebagai
peserta dalam satu komunitas dunia yang meliputi semua
agama lain (Coward, 1989: 61-65).
Dari penjabaran di atas, ia pun memberikan
makna agama yang baru. Baginya agama adalah hasil
pembentukan konteks sejarah dan budaya yang berlainan,
28
masing-masing boleh meyakininya sebagai asli akan tetapi
ia adalah kefahaman tentang Tuhan yang tidak sempurna
(Hamka,2015: 599).
Kesimpulan
Menurut Wilfred C Smith, sikap para pemeluk
agama yang cenderung bersifat eksklusif dan dogmatis
dalam mengklaim kebenaran agamanya, telah berdampak
buruk terhadap keharmonisan antar umat beragama. Oleh
karena itu, ia berpendapat bahwa pluralisme adalah jalan
keluar dari masalah intoleransi beragama ini. Dengan
pluralisme tersebut, Smith ingin menyamakan perbedaan-
perbedaan yang mendasar tentang agama. Ia berpendapat
bahwa pada hakekatnya, semua agama mengarah kepada
tujuan akhir yang sama, yaitu Allah (Tuhan), dan puncak
atau tujuan akhir seorang pemeluk agama adalah
kesalehan personal atau individu itu sendiri. Dengan
adanya paham pluralisme agama, setiap pemeluk agama
tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang
benar, sedangkan agama yang lain salah.

29
Daftar Pustaka
Coward, Harold. 1989. Pluralisme Tantangan bagi
Agama-Agama. Terj. Pluralism, Challenge to
Worlds Religion. Yogyakarta: Kanisius.
Dhawamony, Mariassusai. 1995. Fenomenologi Agama.
Yogyakarta: Kanisius.
Hamka. 2015. Tafsir al-Azhar, Jilid I. Jakarta: Gema
Insani Press.
Madjid, Nurcholis. 2001. Pluralitas Agama Kerukunan
dalam Keragaman. Jakarta: Penerbit Kompas.
Williams, Cyrill G. 1992. Basic Themes in the Comparatie
Study of Religion. USA: The Edwin Mellen
Press.

30
31
Konstruksi Agama oleh Negara di Indonesia
Pendahuluan
Agama adalah bagian penting dalam kehidupan
manusia sejak.Dari masa ke masa, definisi tentang agama
semakin berkembang. Akan tetapi, pendefinisian agama
mengalami penyempitan ketika menyangkut negara.
Disini penulis akan memaparkan tentang definisi agama
dalam kontruksi Negara Indonesia yang telah melegalkan
enam agama yang sah secara Undang-Undang dan
Peraturan Pemerintah Negara Indonesia.Selain itu,
dipaparkan pula berbagai regulasi agama dari masa
penjajahan Belanda hingga masa Orde Baru.
Adalah Michel Picard dan Rémy Madinier yang
mencoba meneliti tentang perkembangan agama di
Indonesia. Michel Picard adalah seorang politisi yang
berasal dari Kanada, sedangkan Rémy Madinier adalah
seorang peneliti dan diplomat yang berasal dari Prancis.
Keduanya berpandangan bahwa penyebaran agama-agama
dunia pada Abad XIX di Asia mendesak agama-agama
lokal untuk mengikuti persepsi agama menurut agama-
agama Semitik/Abrahamic Religion. Para pembaru agama
tersebut menekankan rasionalitas dan ajaran agama sesuai
dengan doktrin mereka, mengutuk takhayul-takhayul
kosong, dongeng-dongeng leluhur dan membersihkan
agama dari adat setempat, termasuk kasus yang terjadi di
Indonesia.

32
Definisi Agama
Secara bahasa, agama berasal dari bahasa
Sansekerta diambil dari suku kata “a” yang berarti tidak,
dan “gama” yang berarti kacau. Jadi, agama memiliki
makna tidak kacau atau adanya keteraturan dan peraturan
untuk mencapai arah atau tujuan tertentu.Sedangkan
menurut KBBI, agama adalah sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa, serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dengan manusia dan
lingkunganya.
Dalam perkembanganya, definisi terhadap agama
semakin menyempit dan lebih memiliki konsep yang
jelas. Dari awalnya definisi agama yang sangat luas
seperti yang telah diungkapkan oleh tokoh Edward
Burnett Tylor yang mendifinisikan agama sebagai
kepercayaan terhadap kekuatan supranatural dan
memandang agama mirip dengan magis, lalu terdapat
pendapat lain dari James George Frazer yang
memandang magis merupakan jalan menuju agama.
Setelah itu, pengertian agama yang lebih mengerucut
berkembang lagi seperti yang dikemukakan oleh
Sigmund Freud dan Karl Marx, keduanya mendefinisikan
agama sebagai kepercayaan kepada Tuhan (keyakinan
Monoteisme) meskipun sekedar permukaannya saja.

33
Regulasi Agama di Indonesia
A. Kebijakan Agama Pada Zaman Kolonial Belanda

Kebijakan pemerintah kolonial Belanda terhadap


agama pada dasarnya bersifat netral dan tidak mencampuri
masalah agama, kecuali apabila praktek agama tersebut
berlawanan dengan hukum yang berlaku. Akan tetapi,
pada realisasinya sikap netral tersebut tidak mudah untuk
dilakukan. Hal ini dikarenakan kekhawatiran pihak
Belanda terhadap ekspresi keislaman yang bersifat politis,
dan kontestasi pemerintahan Belanda menyangkut masa
depan Hindia-Belanda, antara kalangan liberal (non-
agama) yang berpandangan netral terhadap masalah
agama dan menginginkan penerimaan budaya Barat oleh
masyarakat Indonesia, dengan kalangan Kristen yang
menginginkan Kristenisasi. Kekhawatiran pihak Belanda
tersebut melahirkan kebijakan yang bersifat konfrontatif
dan represif. Hal ini membuat Christian Snouck
Hurgronje, yang merupakan seorang ahli bahasa Arab dan
Islam, melawan orientasi yang takut dan khawatir
terhadap Islam. Ia menerapkan sikap toleran dan damai
dari Islam, akan tetapi tidak menafikan potensi politik
yang radikal dan fanatik dari Islam. Maka dari itu, ia
memisahkan antara Islam religius dan Islam politik, yang
disebut dengan politik kembar, yakni di satu pihak
toleransi terhadap Islam religius, di pihak lainnya waspada
terhadap Islam politik.

34
Problematika keagamaan pada saat itu berfokus pada
agama Islam dan Kristen, hal ini disebabkan oleh fakta
bahwa pemerintahan Belanda beragama Kristen,
sedangkan para pemimpin pribumi kebanyakan beragama
Islam. Oleh karena itu, keberadaan agama di luar kedua
agama mayoritas tersebut, terutama kepercayaan atau
agama-agama suku yang merupakan minoritas dan
letaknya yang terisolasi, menjadi marjinal. Tidak ada
kebijakan netral agama terhadap golongan masyarakat
dengan agama dan kepercayaan suku tersebut. Pemerintah
melarang beberapa praktik ritual mereka. Hal ini ditujukan
agar mereka memilih agama Islam atau Kristen. Eksistensi
mereka yang secara politis tidak dianggap penting
ditujukan sebagai kontestasi penyebaran agama mayoritas.
B. Politik Agama Zaman Jepang

Politik keagamaan yang diambil oleh Jepang, dalam


banyak segi sangat berlawanan dengan kebijakan agama
yang dilakukan oleh Belanda. Jepang bersikap represif
terhadap Islam di Indonesia, dan di sisi lain bersifat
akomodatif, dengan cara memberikan berbagai macam
konsensi. Pada awal mulanya, Jepang melarang organisasi
dan partai Islam beroperasi, akan tetapi Jepang juga
melansir beberapa kegiatan untuk “mobilisasi” Islam,
seperti pendirian Masyumi (Majelis Syura Indonesia)
sebagai ganti dari MIAI (Majlisul Islami A‟la Indonesia).
Masyumi ini mengawali peran politis umat Islam di
sejarah Indonesia Merdeka.

35
C. Politik Agama Pada Masa Orde Lama dan Orde Baru

Pada era Orde lama, kelompok Islam (modernis dan


tradisionalis) menginginkan penetapan syariat Islam
sebagai dasar negara, seperti yang tertuang dalam piagam
Jakarta. Akan tetapi, Bung Hatta menerima penolakan dan
keberatan dari non-Muslim karena realitas pluralitas
masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Soekarno menuruti
saran dari K.H. Wahid Hasyim untuk menambah sila
pertama pancasila, yang awal mulanya hanya
“kepercayaan kepada Tuhan” menjadi “Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Hal ini tidak sekedar mengganti kekecewaan
umat islam, akan tetapi juga sebagai bentuk legitimasi
pelarangan aliran kepercayaan animisme politeisme
sebagai pilihan kepercayaan warga negara.
Tarik menarik antara kelompok yang menginginkan
negara menjadi “negara agama” dan kelompok yang
menginginkan negara menjadi “negara nasional sekuler”
ini melahirkan wajah negara yang komfromis sekaligus
mendua. Hal ini dikarenakan negara Indonesia berada di
antara “sekuler” dan “teokratis”, dan bentuk kompromi
yang paling bagus antara sekuler dan religius adalah
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Kendati negara
Indonesia bukan negara teokrasi, akan tetapi tetap
memberikan perhatian kepada masalah agama, sekaligus
untuk menunjukkan bahwa Indonesia bukan negara
sekuler, maka setelah kabinet pertama tahun 1945
dibentuk Kementrian Agama Indonesia. Walaupun
Kementrian Agama mendapatkan banyak kritik dari non
36
Islam, tetapi tetap diharapkan bisa menjadi mediator untuk
mencegah dan menyelesaikan ketegangan dan konflik di
antara berbagai agama dan para pengikutnya. Pada masa
orde lama, Kementrian Agama dijadikan sebagai ajang
perebutan pengaruh antara partai-partai Islam. Akan
tetapi, pada masa orde baru, Kementrian Agama
dibersihkan dari unsur-unsur partai dan menjadi salah satu
wahana kontrol terhadap umat Islam.
Konstruksi “Agama” oleh Negara di Indonesia
Menilik kondisi Indonesia pasca proklamasi,
Michel Picard dan Rémy Madinier mencoba meneliti
perkembangan agama-agama di Indonesia. Para founding
fathers negeri ini sudah menentukan bentuk ideologi
Indonesia, yaitu ideologi Pancasila, bukan sekuler maupun
agama (dalam konteks ini, Islam). Namun setahun
kemudian, pemerintah Indonesia mendirikan Kementrian
Agama Republik Indonesia (KAGRI) sebagai sebuah
“konsesi” terhadap umat Islam di Indonesia dan untuk
mendapatkan hati mereka guna persatuan Indonesia yang
kala itu tengah menghadapi agresi militer Belanda.
KAGRI memberikan hak hidup dan matinya suatu agama
dengan legislasinya, mana agama yang sah dan tidak sah.
Dalam menetukan agama-agama resmi di
Indonesia, definisi agama yang diadopsi dari religion,
bahkan definisinya semakin sempit. “Agama” hanya
terbatas pada definisi agama dalam Islam dan Kristen,
yaitu: sistem kepercayaan yang memiliki Nabi, Kitab
Suci dan kepercayaan akan Tuhan Yang Esa. Dengan
37
pembatasan definisi tersebut, politik keagamaan di
Indonesia disebut agamaization atau religionization
karena anggapan bahwa budaya/agama lokal “belum
beragama”dan patut diadakan agamaized.
Di Indonesia sendiri terdapat lebih dari 300
kelompok etnis yang berbeda-beda, masing-masing
mempunyai identitas kebudayaan sendiri. Namun
kelompok-kelompok etnis tersebut dianggap “belum
beragama” selama belum memeluk satu dari 5 agama
resmi NKRI kala itu (Islam, Kristen Protestan, Katolik,
Hindu dan Budha.Mereka hanya memiliki “religi” atau
“kepercayaan”. Mereka yang keukeuh dengan “religi”
mereka tidak akan mendapatkan hak dan kewajiban utuh
sebagai warga negara dan akan menghadapi kesulitan
dalam berbagai hal. Inilah yang menyebabkan
ketimpangan antara agama yang diakui oleh pemerintah
dan agama yang tidak diakui.
Arti agama dalam bahasa Sankrit: “a traditional
precept, doctrine, body of precept, collection of such
doctrines; or in short ”anything handed down as fixed by
tradition”. Definisi ini memiliki arti lebih luas dari
religion. Agama adalah Dharma. Dengan pemilihan
definisi agama adalah religion, agama sendiri terlepas dari
hukum dan adat yang merupakan komponen wajib suatu
dharma atau agama dalam bahasa Sansekrta. Menurut
Hans Scharer, adat adalah kebiasaan dan habitual yang
memiliki dua arti. Pertama, berhubungan dengan kekuatan

38
diatas kekuatan manusia dan kedua, kehidupan dan
perilaku keseharian yang sejalan dengan ajaran yang ada.
Menurut sejarah lahirnya istilah religio di
Romawi,religio adalah traditio. Oleh karenanya,
masyarakat yang berbeda, memiliki tradisi yang beragam
begitupula dengan agama mereka. Maka tidak dapat
dikatakan suatu adat/budaya lokal suatu daerah salah bila
dilihat dari perspektif budaya lain. Kemudian seiring
berkembangnya zaman, Kristen muncul dengan klaim
“agama paling benar” di antara agama-agama yang
mereka anggap agama maju (Islam dan Yahudi). Mereka
hanya mengakui agama yang sudah maju sebagai suatu
agama dan mengesampingkan agama-agama lokal dan
primitif. Selanjutnya, para sarjana Barat hanya mengakui
agama-agama tertentu sebagai suatu agama. Agama
tersebut diakui karena dianggap memiliki kesamaan
dengan Kristen, yaitu: memiliki struktur ajaran yang
formal dan doktrin yang telah sempurna (tidak berubah-
ubah), memiliki kitab yang berasal dari wahyu, memiliki
hierarki pemuka agama dan terikat dengan ibadah
berjamaah. Oleh karena itu, mereka tidak menganggap
agama primitif dan animisme sebagai sebuah agama.
Seluruh “religi” dan kepercayaan lokal atau
percampuran suatu agama dengan budaya lokal
(sinkretisme) dianggap penyimpangan dan tidak dapat
diakui sebagai suatu “agama”. Padahal, dengan
menyatukan unsur – unsur agama dan budaya dan adat
setempat, suatu agama dapat diterima oleh seluruh lapisan
39
masyarakat dan dapat bertahan lama, contohnya
penyebaran Katolik di Jawa oleh Franciscus Van Lith
pada akhir Abad XIX.Ia mencampurkan Katolik dengan
budaya-budaya lokal (Jawa) mengambil pelajaran dari
kegagalan penyebaran Protestan yang mencoba
menjauhkan masyarakat Jawa dari akar budaya mereka.
Terbukti, pada 1904, sekitar 171 orang dibaptis dan
menjadi pemeluk Katolik pertama di Jawa dan pada 1940,
Mgr. Soegijopranoto menjadi uskup pribumi pertama di
Indonesia.
Adapun contoh nyata dari pembersihan unsur
budaya lokal dari “agama” terlihat pada Islam dan Hindu.
Tidak seperti Islam tradisionalis (abangan) yang lebih
akomodatif terhadap nilai-nilai adat dan budaya asli
Indonesia, gerakan Islam yang reformis dan modernis,
dalam konteks ini gerakan modernis Islam seperti
Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah mencoba
mengembalikan Islam Jawa (abangan) ke arah Islam yang
seharusnya. Pada praktiknya, NU sendiri hanya sedikit
sekali memberikan perhatian pada adat, perilaku Kejawen,
pengkultusan roh-roh leluhur dan ritual-ritual pra-Islam. Ia
berpendapat bahwa NU lebih dekat pada proses Islamisasi
Islam Kejawen daripada melestarikan atau
mengakomodasi budaya-budaya lokal.
Masalah serupa juga dialami oleh pemeluk Hindu
di Bali. Proses perubahan “Agama Hindu Bali” menjadi
“Agama Hindu” merupakan salah satu usaha pemeluk
Hindu di Bali untuk mendapat pengakuan dari pemerintah
40
Indonesia, dalam konteks ini KAGRI. Meskipun esensi
dan sistem kepercayaannya sama, namun ritual dan
upacara pemeluk Hindu di Bali sudah dipengaruhi budaya
lokal dan jauh berbeda dengan Hindu Dharma di India.
Adapun KAGRI hanya menerima agama yang sesuai
dengan ajaran murninya tanpa campuran budaya lokal.
Inilah yang disebut juga perubahan dari Orthopraxy
(praktek yang benar dari ajaran yang benar/menerima
budaya leluhur) menjadi Orthodoxy (ajaran yang diayakini
sebagai yang benar dan yang digali terutama lewat daya
penalaran/kepatuhan terhadap ajaran normatif). Dengan
bahasa lain, seluruh “agama” di Indonesia sedang
mengalami Parochialisme (pengembalian ke bentuk
asalnya) tanpa tersentuh dengan budaya-budaya lokal.
Proses ini melahirkan pandangan yang sempit akan makna
“agama”, yang subyektif/self perspective dari agama-
agama mayoritas karena hanya mengakui “agama” yang
sesuai dengan Orthodoksinya. Pendek kata, pergeseran
orthopraxy ke orthodoxy menciptakan diskriminasi antara
tradisi yang benar dan tradisi yang salah, yang
menunjukkan menyempitnya definisi agama. Inilah yang
memaksa para pemeluk Sapta Dharma, Ahmadiyah,
Pangestu, Sumarah, HKBP, Saksi Yahuwa, agama Suku
Dayak, Darul Arqam dan kepercayaan lainnya untuk
meninggalkan ajaran mereka dan bergabung dengan
“agama” yang ada atau tidak mendapatkan haknya sebagai
warga negara.

41
Menurut Picard dan Madinier, abangan memiliki
implikasi yang besar terhadap politik keagamaan di
Indonesia. Religionization yang terjadi diharapkan dapat
mengembalikan bentuk Islam ke bentuk yang lebih
normatif, universal, dan dipercayai oleh seluruh pemeluk.
Faktanya, amat sulit menciptakan suasana muslim
Indonesia yang homogen karena negeri ini sudah terkenal
dengan pluralitas budayanya. Sinkretisme yang terjadi
merupakan bentuk akomodasi adat (custom) dan budaya
(culture).
Kesimpulan
Dengan adanya pembatasan definisi agama,
agama yang merupakan kepanjangan tangan dari adat,
budaya, hukum dan berbagai wewenang politik akhirnya
menjadi kepanjangan tangan dari negara dan dikonstruk
sesuai keinginan negara. Penyempitan makna agama
berdasarkan keinginan negara kemudian membuat agama-
agama harus meninggalkan budaya lokal karena dianggap
menyimpang dari agama yang murni. Hal ini
menyebabkan terjadinya diskriminasi antara tradisi yang
benar dan tradisi yang salah, padahal tidak ada tradisi
yang salah. Picard dan Madinier menganjurkan agar
seluruh agama di Indonesia menyatu dengan adat dan
budaya budaya setempat (sinkretis) untuk mengembalikan
makna “agama” sebagai traditio..

42
Daftar Pustaka
Imron, Ali. 2015.Sejarah Terlengkap Agama-Agama di
Dunia dari Masa Klasik Hingga Modern.
Yogyakarta: IRCiSod.
Picard, Michel dan Remy Madinier (eds). 2011. The
Politics of Religion in Indonesia.New York:
Taylor and Francis Group
Saidi, Anas. 2004. Menekuk Agama, Membangun Tahta:
Kebijakan Agama Orde Baru. Jakarta Selatan:
Desantara Utama.
Setyo, Bambang. 2011. Telaah Kritis Dasar Falsafah
NKRI dalam perspektif Islam. Jakarta: FSMPS.

43
44
“Terrorism has no religion,
terrorists have no religion
And they are friends of no religion”

Manmohan Singh

45
Bagian II
Problem Kontekstual Agama

Bahaya Orientalisme dalam pandangan Maryam


Jamilah dan Edward Said
Pendahuluan
Di zaman modern ini, yang sering pula disebut
dengan era globalisasi, peranan negara-negara di Barat
(Eropa dan Amerika) dalam berbagai sendi kehidupan
sangat vital. Bahkan bisa disebut menghegemoni seluruh
dunia dan menjadi parameter kemajuan suatu negara dari
segi ekonomi, politik, pendidikan, militer bahkan
kebudayaan. Negara-negara di Timur tidak dianggap maju
bila tidak berkiblat pada peradaban Barat, inilah cikal
bakal gerakan Westernisasi di berbagai negara.
Perebutan pengaruh Barat dan Timur merupakan
rentetan episode sejarah yang panjang lintas generasi.
Sejarah mencatat pertikaian fisik antara keduanya pun tak
terelakkan dan berulang kali bergejolak. Tak berhenti
disitu, peperangan pemikiran dan ilmu pengetahuan juga
turut andil dalam memanaskan suasana. Para ilmuwan dan
sarjanawan Barat mulai mempelajari tradisi kelimuan di
Timur dengan berbagai perspektif dan disiplin ilmu untuk
mencoba menggoyahkan tiang-tiang kejayaan Timur,
khususnya ideologi terkuat di Timur kala itu, Islam. Inilah
cikal bakal disiplin ilmu yang disebut orientalisme.

46
Orientalisme merupakan disiplin ilmu yang unik
karena berangkat dari dogma teologi agama mayoritas di
Barat, Kristen dan memiliki cabang dari berbagai disiplin
ilmu yang berbeda, mulai dari sejarah, bahasa, sastra,
filsafat hingga ranah teologi. Berikut akan dipaparkan
definisi orientalisme, sejarah singkatnya dan beberapa
faktor yang melatarbelakanginya. Tak lupa penulis
menambahkan beberapa komentar dari pemerhati
orientalisme, dalam artikel ini Edward Said dan Maryam
Jamilah, terkait dampak disiplin ilmu ini terhadap Islam.

Definisi Orientalisme
Secara bahasa, orient berasal dari bahasa Prancis
yang berarti Timur. Orientalisme dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah ilmu pengetahuan tentang
ketimuran atau tentang budaya ketimuran. Dalam
pengertian lain dikatakan; bahwa sekelompok orang atau
golongan dari asal negara dan ras yang berbeda, yang
selalu mengkonsentrasikan pribadinya dalam kajian
ketimuran, khususnya Negara Arab, Cina, Persia dan
India, dengan fokus hanya dalam bidang keilmuan,
peradaban, dan agama. Berbicara tentang orientalisme
tidak lepas dari dikotomi Barat dan Timur. Secara
geografis, Timur adalah belahan dunia sebelah timur,
yaitu Afrika, Asia dan Australia dan Barat adalah belahan
dunia sebelah barat, yaitu Eropa dan Amerika. Secara
etnologi, Barat adalah bangsa-bangsa yang tinggal di
Eropa, Amerika dan Australia, sedangkan Timur adalah
yang tinggal di Asia & Afrika. Secara Terminologis,
47
adalah kegiatan penyelidikan ahli-ahli ketimuran di Barat
tentang bangsa-bangsa Timur dengan keseluruhan
lingkungannya (Muslim, 2011).
Dalam kamus Longman, definisi kajian
orientalisme merujuk pada kata orient (timur) yang
merupakan lawan kata occident (barat) dalam kalimat
scholarship or learning in oriental subject. Dalam
kaitannya dengan agama-agama, pengertian ini dapat
dipersempit menjadi kegiatan penyelidikan para ahli
ketimuran di Barat tentang agama-agama di Timur.
Namun ruang lingkup orientalisme tidak terpaku pada
agama saja, meskipun pada akhirnya mengerucut pada
Islam saja. Edward Said mendefinisikan orientalisme
sebagai:
“…..bidang pengetahuan atau ilmu
yang mengantarkan pada
(pemahaman) dunia timur secara
sistematis sebagai suatu objek yang
dapat dipelajari, diungkap dan
diaplikasikan” (Said, 1979: 92)
Dalam mengkaji orientalisme, ada tiga fenomena
yang saling berkaitan di dalamnya. Pertama, seorang
Orientalis adalah orang yang mengajarkan, menulis
tentang, atau meneliti Timur, terlapas dari identitasnya
sebagai antropolog, sosiolog, sejarawan, atau filologi.
Dengan kata lain, orientalis adalah orang yang mengklaim
memeiliki pengetahuan atau memahami kebudayaan-
kebudayaan Timur. Kedua, Orientalisme adalah mode
48
pemikiran yang didasarkan pada pembedaan ontologis dan
epistimologis antara Timur dan Barat. Sebuah kategori
besar yang akan mencakup pemikiran dan tulisan orang
yang membagi dunia secara bipolar, yaitu Timur dan
Barat. Ketiga, memandang Orientalisem sebagai lembaga
resmi yang peduli pada Timur (Said, 1979:2-3). Pendek
kata, Orientalisme adalah cara Barat untuk mendominasi,
merestrukturisasi dan menguasai Timur. Oleh sebab itu,
keagamaan, politik, ekonomi, kolonialisme, dan keilmuan
merupakan beberapa motivasi orientalisme yang akan
lebih diperioritaskan. Disamping itu, ruang lingkup
orientalisme mencakup arkeologi, kesastraan, bahasa,
kebudayaan dan peradaban, tradisi, etnologi, flora dan
fauna dan beberapa bidang lainnya.
Sejarah Singkat Orientalisme
Gerakan pengkajian ketimuran (oriental studies)
diberi nama orientalisme baru pada abad 18, meskipun
aktivitas kajian bahasa dan sastra ketimuran (khususnya
Islam) telah terjadi jauh sebelumnya (Oxford, 1933: 200).
Namun istilah orientalis muncul lebih dahulu dari istilah
orientalisme, yaitu sekitar 1638 yang digunakan Gereja
Timur yang berarti “orang yang mendalami berbagai
bahasa dan sastra dunia timur”.
Pada dasarnya, orientalisme merupakan suatu
disiplin ilmu yang obyektif, memiliki teori, metode dan
objek kajiannya sendiri. Namun orientalisme diwarnai
dengan ideologi, agama dan kepercayaan masyarakat
Barat dan telah didahului dengan dikotomi yang jelas

49
antara Barat dan Timur menjadikan disiplin ilmu ini tidak
bebas nilai dan cenderung diwarnai miliu keagamaan,
politik dan kelimuan Barat dalam memperlajari Timur
(Said, 1979: 204). Adapun dogma-dogma yang
digaungkan oleh Barat (Gereja Kristen) tentang dunia
Timur antara lain:
1. Adanya perbedaan yang mutlak dan sistematis
antara barat dan timur, barat mengklaim dirinya
sebagai rasional, maju, superior dan manusia
penuh. Sedangkan timur diklaim sebagai
irrasional, terbelakang, inferior dan setengah
manusia (Shimogaki, 1993: 38).
2. Abstraksi dan teorisasi tentang timur selalu
didasarkan pada buku-buku orientalis klasik dan
itu yang lebih diutamakan daripada melihat
realitas timur.
3. Timur dipandang sebagai sesuatu yang tidak
berubah, labil dan statis, karena itu tugas barat
adalah memberikan definisi tenteng timur
meskipun mereka melakukan generalisasi tentang
timur itu sendiri.
4. Timur dipandang sebagai sesuatu yang
menakutkan dan berbahaya, karena itu ada bahaya
kuning, bahaya merah & bahaya hijau. Dan
karena itu harus ditaklukan, baik melalui
penelitian ilmiah, pasifikasi, maupun penjajahan
mentah-mentah.

50
5. Apabila dikaitkan dengan Al qur‟an, para
orientalis menyatakan bahwa alqur‟an itu bukan
wahyu, tetapi karangan Muhammad yang dikutip
dari perjanjian lama dan perjanjian baru serta
tradisi-tradisi pra-Islam (Muslim, 2011).

Motif keagamaan Barat yang didominasi Kristen


telah memiliki kebencian tersendiri terhadap Islam yang
datang belakangan dan menjelma menjadi realitas
kekuatan yang kokoh di Timur bahkan mulai merambah
Eropa, sehingga menjadikan ancaman tersendiri bagi
kekuasaan politik dan agama mereka (Zarkasyi, 2011: 4).
Wilfred Cantwell Smith dalam Carold (1989: 61)
menyebutkan bahwa Kristen menganggap Islam
merupakan bid‟ah Kristen dan mengaku sebagai agama
yang sempurna. Kondisi ini diperparah dengan kondisi
Barat (Eropa) yang terpuruk dalam Dark Age sedang
dalam waktu yang sama Islam berada di puncak
kejayaannya dalam ilmu pengetahuan dan keagamaan.
Perang Salib yang berlangsung selama hampir 2 abad
(1096 – 1271) juga menambah aroma persaingan antara
kedua agama itu. Kondisi-kondisi inilah yang mendorong
beberapa cendekiawan dan pendeta mereka mempelajari
ilmu pengetahuan ke Timur untuk mendapatkan
pemahaman yang baik tentang ketimuran.
Oleh karenanya, Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi
dalam tulisannya (2011: 5-6) membagi fase
perkembangan orientalisme ke dalam empat: Fase
pertama dimulai pada abad ke 16. Pada fase
51
iniorientalisme dapat dikatakan sebagai simbol gerakan
anti-Islam yang dimotori oleh Yahudi dan Kristen.
Southern dalam bukunya Western Views of Islam in the
Middle Ages (1978: 91-92), menulis bahwa “orang Kristen
ingin agar Timur dan Barat Eropa sepakat bahwa Islam
adalah Kristen yang sesat (misguided version of
Christianity) atau dalam bahasa W.C. Smith merupakan
bid‟ah Kristen. Fase kedua terjadi pada abad 17 dan 18 M.
Fase ini berbarengan dengan modernisasi Barat. Setelah
Barat menimba ilmu tentang bagaimana peradaban Islam
dapat menjadi kokoh selama 7 abad, mereka mulai bersatu
dan mengumpulkan segala info tentang ketimuran dan
menyebarkan stigma negatif tentang Timur.
Fase ketiga orientalisme adalah abad ke 19 dan
seperempat pertama abad XX. Fase ini menjadi puncak
kejayaan Barat di dunia Islam. Dengan meluasnya jajahan
negara-negara Barat di Asia dan Afrika, salah satunya
dengan bantuan orientalisme, membuat Barat berhasil
menguasai dan mempengaruhi dunia Islam secara politik,
ekonomi, militer dan kultural (Shimogaki, 1993: 38). Fase
Keempat ditandai dengan adanya perang dunia ke II.
Kajian dunia Islam di Amerika menjadi populer, bukan
semata-mata untuk kepentingan akademis, tapi juga untuk
kepentingan politik dan bisnis. Pada fase ini kajian
orientalisme terlihat lebih lembut, ilmiah dan
menggunakan pendekatan logis dan sistematis.

52
Dorongan dan Tujuan
Berdasarkan awal munculnya orientalisme di
Barat, banyak faktor yang mendorong gerakan ini.
Pertama, Dorongan keagamaan. Kristen adalah salah satu
agama misionari terbesar selain Islam. Ajaran agama
mereka menekankan untuk mengajak non-Kristen
memeluk kepercayaan mereka. Hal ini tergambar dalam
beberapa ayat dalam kitab suci mereka:
“Sebarkanlah Injil ke seluruh makhluk” (Markus 16: 15)

“Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku


dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan
Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu
yang telah kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku
menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”
(Matius 28: 19-20)

“Dan lagi: dalam nama-Nya berita tentang pertobatan


dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala
bangsa, mulai dari Yerussalem” (Lukas 24: 47)
Faktor kedua yang mendorong orientalisme
adalah dorongan ekonomi. Kawasan Afrika dan Asia
merupakan kawasan yang kaya akan hasil alam
dibandingkan dengan kawasan Eropa. Inilah yang
membuat para penjelajah Eropa melirik Afrika dan Asia
untuk mencari hasil alam dan memperdagangkannya di
Eropa, seperti Portugis dan Belanda yang mencari
rempah-rempah hingga wilayah nusantara. Ketiga,

53
dorongan politik (power and otority) yaitu dengan
memperluas daerah jajahan dan proses kolonialisme dan
imperialisme di Timur (Shimogaki, 1993: 64). Terakhir,
dorongan ilmiah. Yaitu mereka mempelajari Timur murni
karena ketertarikannya dengan budaya, sastra dan segala
yang berhubungan dengan ketimuran. Ketiga dorongan
awal yang sering menjadi semboyan penjajahan mereka
yang terangkum dalam 3G (Gold, Glory and Gospel).
Maryam Jamilah (1994: 1) menambahkan, sebelum
pertengahan abad ke 19 sebagian besar buku (hasil tulisan)
Barat menyerang Islam berdasarkan alasan teologik murni
dari dogma kristen. Akan tetapi ketika kegiatan misionari
Kristen berubah menjadi identik dengan tujuan
imperialisme Inggris dan Prancis, secara berangsur-angsur
penekanannya pun bergeser dari persoalan keagamaan
menjadi persoalan keduniaan (ekonomi, politik dan
kekuasaan).
Dengan faktor pendorong yang bermacam-
macam, tujuan yang ingin dicapai pun bervariasi. Mulai
dari tujuan ilmiah yang murni atas dasar ilmu pengetahuan
hingga yang bertujuan memuluskan langkah kolonialisme
di Timur. Pun tidak sedikit yang bertujuan mempelajari
ketimuran untuk mencari kelemahan Islam.

Sisi Negatif Orientalisme terhadap Islam

Orientalisme yang telah berlangsung selama


berabad-abad, banyak “Ahli Islam” di Barat yang meneliti
dan menulis berbagai macam karya tentang Islam dalam
54
berbagai disiplin ilmu seperti al-Mu‟jam al-Mufahros li
al-Alfaadzi al-Hadits an-Nabawi, Miftah Kunuzi as-
Sunnah, Madzhabu Muhammad dan Islam dan
Masyarakat Barat karya H.A.R. Gibb, al-Islam al-Yaum,
Muqaddimah li tarikh at-Tasawwuf dan Terjemahan al-
Qur‟an karya A.J. Arberry, Tarikh Madzhabi at-Tafsir dan
Pengantar Tasawwuf karya Ignaz Goldziher, History of
The Arabs karya Phillip K Hitti, Aqidah al-Islam karya
A.J. Wensinck, al-A‟yad al-Muhammadiyah dan Islam al-
Ushur al-Wustha karya Von Graunbaum, buku tasawuf
karya Louise Massignon, Majalah Jam‟iyyatu ad-Dirosat
as-Syarqiyyah dan Majalah al-Alam al-Islami. Contoh-
contoh tersebut hanya contoh kecil dari seluruh karya-
karya orientalis yang mencapai ratusan ribu karya.
Walaupun seperti itu, seperti disinggung di bab
sebelumnya, kajian-kajian para orientalis banyak
dipengaruhi paradigma dan kacamata Barat dalam melihat
Islam sehingga sebagian besar karya mereka sarat akan
kebencian terhadap Islam dan kehilangan objektivitasnya
sebagai disiplin ilmu yang bebas nilai.
Selepas Perang Dunia II tahun 1945 yang ditandai
dengan kekalahan Blok Sentral dan kemenangan Blok
Sekutu, Barat menjadi kekuatan adikuasa dan adidaya di
dunia modern. Terlebih dengan kemenangan telak
kekuatan Barat Kapitalis (yang diwakili oleh Amerika)
terhadap kekuatan komunis yang diwakili oleh Rusia pada
Perang Dingin. Barat mencoba mencari musuh yang
sepadan. Dipilihlah Islam sebagai peradaban yang pernah
maju dan memiliki banyak pengikut menjadi lawan
55
kemajuan Barat. Mereka bersikukuh Islam harus
dimodernkan dan di-Baratkan agar tidak ketinggalan
zaman.
Adalah paham Materialisme Kontemporer yang
berdasarkan ajaran Karl Marx, nilai-nilai moral dan
estetika dibatasi oleh waktu dan senantiasa cenderung
berubah sejalan dengan perkembangan evolusioner
manusia. Begitu pula hukum agama pada hakekatnya tidak
lebih dari hukum perdata yang dapat diubah, dan tidak
tetap. Dogma tentang progress yang dipungut dari evolusi
Darwin dan sosiologi Spencer dan Marx dianggap paling
modern dan up to date, konsekuensinya, tujuan-tujuan
transendental keagamaan dikutuk sebagai sesuatu yang
kuno,mundur dan reaksioner (Jamilah, 1994: 2).
Islam menurut mereka hanya cocok bagi orang
badui primitif pada abad ke-7. Meskipun mereka
mengakui kejayaan peradaban Islam pada 1000 tahun
yang lalu, mereka menganggap peradaban Islam telah
terkubur dan musnah sejak abad ke 13. Kekunoan
pandangan hidup muslim lah yang bertanggungjawab atas
mundurnya negara Islam pada abad 20. Dan jalan untuk
bangkit dari keterpurukan itu, hanyalah dengan menerima
materialisme Barat tanpa kritik. (Jamilah, 1994: 3-5)
Maryam Jamilah (1994: 20-30) memaparkan
beberapa contoh sudut pandangan orientalis dalam
mengkaji Islam. Dr. Hitti, ahli Sejarah Islam berpendapat
bahwa Nabi Muhammad adalah penipu yang lihai dan al-
Quran bukanlah kitab suci melainkan warisan Yahudi-
Kristen yang diarabisasikan dan dinasionalisasikan. Ia
56
menganggap sumbangan Muslim dalam bidang filsafat,
kedokteran, matematika dan ilmu pengetahuan lainnya
hanyalah selayang pandang. Ia pun menolak validitas
moral dan spiritual Islam sebagai daya tarik utama bagi
orang luar yang memeluk islam.
Kajian yang dilakukan Dr. Cragg, agamawan
Barat, mengandung distorsi sejarah Islam melalui medium
modernisme. Ia membagi Islam Kuno, Islam zaman
pertengahan dan Islam Tradisionalis sebagai lawan dari
Islam baru, liberal dan progressif (Jamilah, 1994: 45).
William Montgomerry Watt, seorang pakar studi
ke Islaman meneliti integrasi sosial islam dengan
pandangan materialistik dan marxisme bahwa kemajuan
islam di madinah karena faktor ekonomi. Ia mengingkari
seluruh nilai transendental Islam dan kekuatan serta daya
tarik spiritualnya dianggap hanya kecil. Untuk
memberikan kesan Islam murni buatan manusia dan
merupakan produk historik dari masa dan tempatnya
(Jamilah, 1994: 94)
Begitu pula dengan pernyataan Prof. J. N. D.
Anderson dari Universitas London ketika berkunjung ke
Lahore yang menyatakan penghargaannya terhadap
negara-negara berbahasa arab yang telah menyelaraskan
syariah dengan tuntutan peradaban abad ke 20. Ia
berkesimpulan mereka tidak akan maju bila tidak
mengubah syariah secara drasitis sejalan dengan konsep
hukum barat (Jamilah, 1994: 7)

57
Singkatnya, berikut adalah pesan orientalisme
kepada Dunia Islam menurut Dr. Muhammad al-Bahy,
mantan direkur urusan kebudayaan al-Azhar:
a. Kesetiaan muslim terhadap slam hanya pada
waktu singkat saja, yaitu permulaan munculnya
Islam. Kemudian islam tidak lagi berfungsi
sebagai kekuatan pembimbing bagi kehidupan
mereka.
b. Kegagalan Islam terlihat dengan banyaknya
muslim yang menerima perubahan dalam berbagai
bidang/ketidakmampuan mengimplementasikan
ajaran-ajaran Islam pada dasarnya merupakan
pengakuan logik terhadap kewajiban sosial.
c. Tidak bisa tidak, reformasi Islam dan peninjauan
dengan realitas yang ada merupakan keharusan
untuk mengikuti perkembangan /hegemoni Barat
yng merupakan produk pengalaman manusa
dalam waktu panjang. (Jamilah, 1994: 171-172)

Maryam Jamilah menegaskan bahwa pada


dasarnya orientalisme tidak sepenuhnya buruk. Karena
banyak dari mereka yang menghabiskan umurnya untuk
mengkaji islam lantaran mereka secara jujur tertarik
terhadap kajian itu. Tanpa usaha mereka, banyak
pengetahuan berharga dalam buku-buku Islam kuno akan
hilang tanpa bekas. Mereka yang cenderung membatasi
cakupan pengkajiannya hanya pada deskripsi, kadang-
kadang berhasil menulis buku-buku yang sangat

58
bermanfaat, informatif dan membuka cakrawala pemikiran
baru.
Persoalan muncul ketika mereka melangkah
terlalu jauh dari batas-batas yang benar dan berusaha
menafsirkan islam dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di
dunia Islam berdasarkan pandangan-pandangan pribadi
yang tidak sesuai. Bahkan hingga memasuki ranah
memberikan solusi kepada muslim bagaimna seharusnya
mereka memecahkan persoalan-persoalan dan apa yang
seharusnya dilakukan terhadap agama mereka (Jamilah,
1994: 11).
Menurutnya lagi, Orientalisme bukan kajian
objektif dan tidak memihak islam, yang diupayakan secara
mendalam bukan untuk mendapatkan hasil yang orisinil
dan objektif tapi hanya rencana jahat yang
terorganisasikan untuk menghasut para pemuda untuk
memberontak terhadap agama mereka. Dalam konteks ini,
Islam dikutuk hanya karena ia bertentangan dengan
pandangan materialis yang berlaku dan berlawanan
dengan teori evolusi (Jamilah, 1994: 195-196).

Kesimpulan

Dari papan diatas dapat disimpulkan bahwa


orientalisme merupakan suatu disiplin ilmu di Barat yang
mempelajari segala sesuatu tentang Timur. Barat dan
Timur dipisahkan karena perbedaan etnologi dan ideologi.
Disiplin ilmu ini amat sulit ditemukan keobyektivisannya
dalam mengkaji Timur dan khususnya Islam karena
59
berangkat dari landasan teologis di Barat (Kristen) pada
awal kemunculannya. Setelah berabad-abad kemudian,
orientalisme menjadi salah satu tunggangan kepentingan
kolonialisme dan imperialisme negara-negara Barat di
Afrika dan Asia sehingga semakin kental dengan aroma
kebencian dan permusuhan.
Para orientalis dari berbagai disiplin ilmu telah
melahirkan ribuan bahkan ratusan ribu karya (tulisan)
berkaitan dengan Timur. Dari jumlah keseluruhan, tidak
sedikit karya mereka yang memiliki banyak kontribusi
kepada Islam di tengah kelesuan intelektual para Muslim
pasca runtuhnya masa kejayaan pengetahuan Islam.
Karenanya, para muslim tidak sepatutnya menolak
(rejektif) seluruh karya mereka.
Pula, tidak mungkin menerima 100% karya
mereka karena sarat dengan paradigma Barat dan
kacamata teologi mereka dalam melihat Islam seperti
beberapa contoh yang disebutkan oleh Maryam Jamilah
diatas. Menerima secara penuh (resptif) berarti siap
menyuburkan Islam seperti yang mereka kehendaki,
dengan berbagai pandangan skeptis Barat.
Sikap muslim terhadap karya mereka adalah
dengan menerima secara kritis (resptif kritis). Menerima
hasil jerih payah mereka sebagai karya monumental dalam
bidang ilmu pengetahuan (bahasa, sejarah, sastra dan
lainnya) sebagaimana ulama-ulama terdahulu belajar pada
buku para filsuf Yunani. Namun segala yang menyangkut
agama Islam dalam hukum dan keimanan muslim
hendaknya dikaji secara kritis sebelum dapat diterima
60
karena demikian kentalnya paradigma Barat dalam
melihat Timur, khususnya Islam.

61
Daftar Pustaka
Coward, Harold. 1989. Pluralisme Tantangan bagi
Agama-Agama. Terj. Pluralism, Challenge to
Worlds Religion oleh tim penerbit. Yogyakarta:
Kanisius.
Education, Pearson. 2008. Longman Dictionary of English
Languange. America: Pearson Education.
Jamilah, Maryam. 1994. Islam dan Orientalisme: Sebuah
Kajian Analitik. Terj. Machnun Husein. Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
Muslim, Ahmad Shobiri. 2011. Materi Kuliah
Orientalisme disampaikan pada kuliah semester II
Institut Studi Islam Darussalam Gontor, Kampus
Kediri.
Said, Edward. 1979. Orientalism. New York: Vintage
Books
Shimogaki, Kazuo. 1993. Kiri Islam: Telaah Kritis
Pemikiran Hassan Hanafi. Terj. M Imam Aziz
dan M Jadul Maula. Yogyakarta: Lkis.
Southern, R.W. 1978. Western Views of Islam in Middle
Ages, Third Edition. Harvard: Harvard University
Press.
The Oxford English Dictionary Vol. VII. 1993. United
Kingdom: Oxford University Press
Zarkasyi, Hamid Fahmi. 2011. Tradisi Orientalisme dan
Framework Studi al-Qur‟an dalam Jurnal
62
Tsaqafah Institut Studi Islam Darussalam Gontor
Vol.7, No. 1, April 2011.

63
Orientalisme Klasik dan Karakteristiknya

Pada hakikatnya tidak ada periodisasi yang baku


tentang Orientalis Klasik dan Modern, namun dalam garis
besar Gerakan Orientalisme sebelum abad ke 20 dapat
dikatakan Periode Klasik, dan setelah abab ke 20 dapat
dikatakan Periode Modern.
Dengan tokoh-tokohnya yang banyak, periode
klasik memiliki beberapa karakteristik yang cukup
kentara, antara lain:
a. Mengawali pembelajaran ketimuran lewat
pembelajaran terhadap bahasa Arab.
b. Adanya penerjemahan al-Qur‟an dan naskah-naskah
dan manuskrip ilmu pengetahuan Islam ke bahasa
Latin.
c. Adanya corak kebencian terhadap Islam yang
sangat kental dalam mempelajari Islam.
d. Dibarengi dengan misi agama, misi kolonialisme
dan misi politik.
e. Memiliki kaitan yang erat sekali dengan colonial
Barat.
f. Merupakan respon dari kekalahan Barat dari Islam
pada Perang Salib.
g. Banyak mencari kesalahan al-Qur‟an dan Hadits
Nabi.
Salah satu faktor pendorong terbesar lahirnya
Orientalisme adalah respon atas kekalahan Barat dari
Islam pada Perang Salib. Maka, mereka mulai
mempelajari tentang ketimuran, khususnya kekuatan
64
Islam, yang sangat kuat dan berkuasa pada waktu itu. Jadi
tidak dapat dipungkiri bahwa mereka (Orientalis Barat)
melihat Islam dari perspektif Barat yang penuh kebencian
dan kemarahan terhadap Islam, sehingga banyak
pandangan yang amat subyektif sekali.
Diantara tokoh Orientalis Klasik yang terkenal
adalah Christian Snouck Hurgronje (1857 - 1936). Ia
beranggapan budaya Eropa memiliki superioritas
kebudayaan sehingga interaksi antara agama Kristen
dengan budaya Eropa adalah proses puncak
perkembangan kebudayaan. Orientasi studinya adalah
membangun pandangan yang komprehensif tentang Islam
sebagai agama dan budaya. Hugrounje terkenal sebagai
Orientalis yang berhasil membantu Belanda menaklukkan
wilayah Aceh yang terkenal sulit ditaklukkan.
Tokoh terkenal lainnya adalah, Ignaz Goldziher
(1850 - 1921) yang lahir di Hungaria. Setelah mempelajari
Islam langsung dari Negara Arab yang dibimbing
langsung oleh para Masyayikh al-Azhar, ia berkesimpulan
dengan penolakannya terhadap kebenaran dan otentisitas
Hadits, dengan alasan tidak adanya bukti empiris yang
menunjukkan bahwa hadis yang beredar memang berasal
dari Muhammad SAW. Ia pun menyebutnya sebagai
“Projecting Back” atau para perawi hadis membawa nama
Muhammad dalam hadis buatan mereka meskipun tidak
datang langsung darinya untuk memperkuat argument
hadis tersebut.
Dari dua orientalis diatas, dapat disimpulkan
bagaimana mereka masih beranggapan bahwa Barat atau
65
Kristen amat superior, dan wilayah lainnya (timur) adalah
bangsa inferior yang perlu disentuh dengan kebudayaan
dan ajaran Kristen (Barat). Dan juga bagaimana kebencian
mereka tentang Hadis, bahkan al-Qur‟an, sebagai rentetan
kebencian mereka terhadap Islam.

66
67
Orientalisme Modern dan Pengaruh Studi Islam

Kajian tentang Timur atau tepatnya Islam pada


Abad XVII - XX M mengalami kelanjutan yang sangat
pesat. Kajian Islam yang dilakukan oleh Barat dikritik
oleh paara ulama dan intelek dari dunia Islam, mereka
mengkritik danmengatakan bahwa kajian yang dilakukan
oleh sarjanawan Barat tersebut adalah semata-mata untuk
kepentingan mencela-cela Islam. Tetapi anggapan ini
perlu dibuktikan dan perlu kajian yang lebih mendalam.
Edward W Said mengatakan bahwa pemikiran
orientalis Abad XIX an sampai sekarang sudah mulai
berubah. Pada masa ini lebih mementingkan kepada
wilayah akademis dalam penelitian yang dilakukan oleh
mereka. Hal tersebut ia kemukakan dalam karyanya yang
monumental, Orientalism.
Pada awal Abad XVIII, para orientalis pada
umumnya lebih dikenal sebagai cendekiawan –
cendekiawan Injil, pengkaji-pengkaji Bahasa Semit,
spesialis-spesialis Islam. Namun mereka belum mengkaji
Asia secara umum. Hal ini disebabkan karena pada masa
itu kawasan-kawasan Asia secara akademis belum
sepenuhnya ditaklukkan oleh orientalisme. Pada Akhir
Abad XVIII, Anquetil Duperron dan Sir William Jones
mampu mengungkapkan kekayaan yang luar biasa dari
Bahasa Avesta dan Sansekerta, sehingga pada pertengahan
Abad XIX, orientalisme menjadi sejenis khazanah ilmu
pengetahuan yang begitu luas dan populer. Seorang
Orientalis Abad XIX kemungkinan besar adalah seorang
68
cendekkiawan (Sinolog, Islamolog, Indo-Eropanolog) atau
sejarawan (seperti Hugo dan Goethe) , ataupun keduanya
(seperti Richard Burton, Edward Lane dan Freidrich
Schlegel).
Sebagian orientalis akademis lebih tertarik untuk
mengkaji bahasa dan masyarakat yang muncul pada
periode-periode klasik. Sebelum berakhirnya Abad XIX
tidak banyak perhatian yang diberikan oleh institusi-
institusi Eropa di Timur untuk melakukankajian akademis
atas Timur yang aktual dan nyata.
Pendapat di atas diperkuat dengan fakta bahwa
kolonialisme yang telah memayungi orientalisme selama
berabad-abad mulai lenyap pada Abad XVIII, XIX dan
XX, justru orientalisme tersebut semakin terlembaga.
Dengan otoritas akademis dan tradisi literatur yang
berwibawa, Orientalisme pasca kolonial ingin menjadi
suatu “obyektivitas ilmiyah” dalam melihat Timur. Hal ini
pernah dikatakan oleh Bernard Lewis sebagaimana dikutip
Richard C Martin dalam salah satu tulisannya dan William
W Montgomery yang menyatakan usaha-usaha para
orientalis untuk mengeksplorasi pengetahuan tentang
Timur selalu timbul dari “rasa ingin tahu intelektual”.
Bahkan Karel A Stenbrink menyayangkan kalau
hambatan-hambatan mental kaum Muslim tidak segera
diatasi mereka tidak akan bisa menikmati prestasi-prestasi
akademis dan scholarship dari para orientalis.
Perhatian Barat yang amat besar – karena
hegemoni kulturalnya – terhadap Timur melahirkan sekita
lebih dari 60.000 karya tentang keTimuran dalam rentang
69
waktu tahun 1800 – 1950 saja. Dan kenyataan ini tidak
diimbangi oleh pihak Islam untuk mengkaji kultur dan
budaya Barat yang bukan budaya sempurna dan tanpa
cacat.
Azyumardi Azra mengungkapkan, pada
permulaan Abad XIX ketika kolonialisme dan
imperialisme mencapai puncaknya, setidaknya terdapat
dua model citra Eropa terhadap Islam. Pertama,
menganggap Islam menjadi musuh dan rival Kristen.
Kedua, menganggap Islam sebagai bentuk pencapaian
akal dan perasaan manusia dalam usaha mereka untuk
mengetahui dan merumuskan sifat Tuhan dan alam.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa
adalah suatu kekeliruan bila menyimpulkan seluruh
orientalis adalah “antek-antek” kolonialis dan imperialis.
Diantara beberapa nama yang memiliki respek tinggi
terhadap Islam adalah Louis Massignon (1883-1962), W.
Montgomery Watt, W.C. Smith, Henry Corbin, dan Titus
Burckhardt. Dan setelah Perang Dunia II, muncul pula
kajian wilayah dan pertumbuhan ilmu-ilmu sosial yang
mempercepat perubahan Orientalisme sebagai topik
akademis.
Pada perkembangan selanjutnya, Orientalisme
bukanlah sebagai kajian obyek yang mempunyai metode
tersendiri, tetapi ia kini menjadi obyek kajian. Para
Orientalis modern tidak bangga bila disebut Orientalis.
Mereka lebih suka dipanggil Islamolog, Egypolog dan
sejenisnya.

70
Pendek kata, dalam menanggapi karya para
orientalis dibutuhkan sikap “reseptif kritis”, yaitu dengan
memilah-milah karya mereka dengan kajian kritis. Selama
kajian tersebut tidak berseberangan dengan akidah Islam
yang murni, maka bolehlah dimanfa‟atkan karya mereka.
karena tidak dapat dipungkiri, semangat para Orientalis
merupakan salah satu faktor banyaknya orang Barat yang
tidak lagi memandang Islam dengan sebelah mata.

71
Oksidentalisme

Secara bahasa, Oksidentalisme berarti paham atau


disiplin ilmu yang mempelajari tentang dunia Barat oleh
peneliti timur. Dengan kata lain merupakan kebalikan dari
Orientalisme. Kesimpulan ini tidak salah karena
Oksidentalisme sendiri merupakan sebuah reaksi atas
gerakan Orientalisme yang seolah merasuki semua sendi-
sendi kekuatan Islam dan ilmu pengetahuan ke-Islam-an
pasca Perang Salib dan Rennaissance di Barat. Selama
bertahun-tahun ilmuwan dan cendekiawan Barat meneliti
Islam, yang pada saat bersamaan sedang mengalami
disintegrasi hebat pasca masa kejayaannya yang gemilang,
semakin membuat Umat Islam semakin tenggelam oleh
hegemoni kemodernan adalah milik Barat seutuhnya dan
umumnya negara di Timur, khususnya negara Islam,
adalah inferior dan harus berkiblat ke Barat.
Adalah Hassan Hanafi, cendekiawan dan penulis
berkebangsaan Mesir yang mencoba menyuarakan
gerakan ini secara lantang melalui tulisannya di Jurnal al-
Yasar al-Islami (Sisi Kiri Islam) pada tahun 1981 –
meskipun secara de facto telah ditulis jauh sebelum tahun
itu – dan juga bukunya al-Turats wa al-Tajdid (Tradisi dan
Pembaharuan). Ia menegaskan gerakan ini sebagai poros
menanggulangi ketimpangan sosial, intelektual dan
peradaban antara Timur dan Barat, menjajarkan Timur
dengan Barat yang telah maju dan juga menetralisasi
penyimpangan sejarah antara bangsa Timur dan Barat.
Yaitu dengan mempelajari tentang ke-Barat-an dari
72
kacamata Timur atau dengan kata lain, Barat menjadi
objek dan Timur menjadi subjek.
Proyek besar yang digarapnya dengan judul al-
Turaats wa al-Tajdiid mencakup tiga wilayah kajian yang
dikerjakan secara berkala, yaitu 1) Mauqifuna min al-
Turats al-Qadiim, membahas tentang sikap bangsa Arab
yang “seharusnya” terhadap “tradisi/warisan”;2)
Mauqifuna min al-Turaats al-Gharbi, membahas tentang
sikap bangsa Arab yang “seharusnya” terhadap Barat;3)
Mauqifuna min al-Waaqi‟, membahas tentang teori
hermeneutika baru untuk merekonstruksi kebudayaan
manusia yang berdasarkan pada skala global, dan untuk
merehabilitasi “warisan” Arab yang telah direkonstruksi
sebagai landasan masyarakat Arab di dunia modern yang
secara eksistensial terbebani oleh alienasi, karena ia
memberikan suatu program perbuatan positif yang
komprehensif. Oleh karenanya, Kazuo Shimogaki,
seorang intelek asal Jepang menjuluki Hassan Hanafi
sebagai seorang “liberal modernis Islam” karena berlatar
belakang Islam dan berbeda dengan konsep liberal
menurut Barat.
Ia menegaskan bahwa tradisi adalah pijakan awal
dari masalah kebudayaan rakyat dan modernisasi adalah
reinterpretasi tradisi tersebut agar sesuai dengan
kebutuhan zaman, sebagaimana pengertian “modern”
dalam Webster: sesuatu yang menyuplai kebutuhan
manusia sesuai dengan zamannya. Oleh karenanya,
persoalannya bukan pada modernisasi tradisi atau pada
tradisi dan modernisasi, karena yang mula-mula adalah
73
tradisi dan bukan modernisasi, tetapi dibutuhkan
modernisasi dengan tujuan menjaga kontinuitas tradisi
dalam kebudayaan bangsa, otentifikasi kekinian,
mendorong kemajuan dan ikut serta dalam perubahan
sosial. Singkatnya, tradisi adalah instrumen dan
modernisasi adalah tujuan.
Meskipun merupakan antonim dari Orientalisme,
Oksidentalisme memiliki beberapa perbedaan dengan
Orientalisme, antara lain ia tidak memiliki tujuan
hegemoni dan dominasi sebagaimana orientalisme. Tetapi,
para oksidentalis hanya ingin merebut kembali ego Timur
yang telah dibentuk dan direbut Barat. Hassan Hanafi juga
menjelaskan bahwa tujuan dari gerakan ini adalah
mengembalikan posisi dan pemikiran Barat pada
tempatnya semula dan menunjukk diri bahwa Timur juga
sejajar dengan Barat , bahkan dapat melampaui mereka.
Bertolak belakang dengan paradigma yang terlanjur
digelontorkan Barat bahwa Barat adalah superior, rasional
dan modern dan Timur adalah inferior, spiritual dan
terbelakang.
Salah satu cara untuk mewujudkan tujuan itu
adalah dengan 3 proyek besar yang digagas oleh Hassan
Hanafi. Namun, gagasan ketiga dari proyek tersebut yang
salah satu poinnya menyebutkan kita mempelajari Barat
dan akar-akar kemajuan peradaban Barat dan
mengaplikasikannya pada peradaban Islam demi mencapai
dan melampaui kemajuan Barat. Poin ini banyak ditentang
karena dapat melahirkan kerancuan baru dalam berislam.
Mereka takut peradaban Barat yang diimplementasikan ke
74
dalam Islam dapat merubah sendi-sendi agama dan
melahirkan pemahaman baru yang tidak sesuai dengan
Islamnya Rasulullah dan para sahabat.
Sebenarnya gagasan ini bukan gagasan aneh dan
baru. Pendahulu-pendahulu Hassan Hanafi seperti
Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha
dan Sir Muhammad Iqbal telah mencetuskan hal serupa
demi kebangkitan Islam yang kedua pada Abad XX M.
Namun seperti gagasan Hassan Hanafi, gagasan-gagasan
sebelumnya pun tidak mendapat dukungan penuh dari
berbagai pihak dengan berbagai alasan. Kondisi ini
berbeda 180 derajat dengan gerakan orientalisme di Barat
yang terfasilitasi dan memiliki dukungan moril dan
materil yang luar biasa. Inilah yang menyebabkan
oksidentalisme tidak selantang orientalisme, bahkan
terkesan hanya sekedar wacana atau “obrolan sore hari”
yang tidak mungkin terealisasikan.
Akhir kata, gerakan ini banyak memerlukan
dukungan karena bukan merupakan kesalahan bila Islam
belajar dari Barat, karena pada zaman keemasan Islam,
para ilmuwan banyak bersentuhan dan menerjemahkan
karya-karya filsuf Yunani. Namun, yang menjadi catatan
penting adalah tidak seluruh pemikiran dan kebudayaan
Barat dapat diaplikasikan dalam Islam, yang dipilih harus
sesuai dengan nilai-nilai ke-Islaman dan telah melalui
filter Islam. Toh, Islam juga tidak pernah menolak
kemodernan “‫”المحافظة على القديم الصالح واألخذ بالجديد األصلح‬

75
Hegemoni Peradaban Barat di Dunia Islam

Hegemoni, oleh Strinati didefinisikan “Dominant


groups in society, including fundamentally but not
exclusively the rulling class, maintain their dominance by
securing the uspontaneous consent of subordinate groups,
including the working class, through the negotiated
construction of a political and ideological consensus
which incorporates both dominant and dominated
groups”. Dari definisi tersebut terlihat bahwa ciri utama
hegemoni adalah “mendominasi” sekelompok
orang/masyarakat. Dominasi yang dimaksud cenderung
melalui upaya non-fisik/kekerasan namun efektif dalam
mengontrol. Dalam hegemoni, kelompok yang menguasai
memaksa kelompok lainnya untuk menerima ideologi,
pendapat dan pandangan mereka. Sesuai tidak sesuai.
Maka tidaklah meleset bila hegemoni disebut juga strategi
untuk mempertahankan kekuasaan.
Dalam bahasan ini, pengaruh Barat yang begitu
dahsyat dan komprehensif dalam seluruh tatanan umat
manusia adalah sebuah hegemoni. Semakin kuatnya
hegemoni mereka memaksa sebagian besar umat manusia
untuk mau tidak mau, suka tidak suka mengamini jargon
“Barat adalah superpower, adidaya dan adikuasa”. Dengan
tegaknya semboyan ini, seluruh peradaban di dunia harus
tunduk dan patuh di bawah panji peradaban Barat. Tanpa
terkecuali peradaban Islam.
Peradaban Islam yang dahulu berkuasa penuh atas
Jazirah Arab, sebagian Asia Tengah, Afrika Utara hingga
76
sebagian Eropa kini tak berdaya di hadapan tembok
hegemoni Barat. Adalah kekalahan Turki Utsmani yang
menyebabkan wilayahnya terpecah-pecah dan terusirnya
Islam dari Spanyol pada 1492 menjadi starting point
merosotnya kekuatan Islam dan pudarnya masa kejayaan
Islam. Di pihak lain, Barat sedang gencar-gencarnya
melebarkan sayap kolonialisme di berbagai belahan dunia,
dan – ternyata – mayoritas adalah negara Islam di Asia
dan Afrika. Wilayah Islam yang dikuasai dikeruk
kekayaannya, dan dieksploitasi pula sumber daya
manusianya, sehingga membuat negara-negara Islam
semakin terpuruk dan tertindas.
Pada saat umat Islam berada pada titik
terendahnya, Barat mencapai puncak kejayaannya dengan
kemajuan teknologi, pemikiran, ekonomi, kebudayaan
bahkan ekonomi. Inilah yang menyebabkan umat Islam
hidup dalam naungan hegemoni Barat dan menjadikan
seluruh peradaban Barat sebagai “contoh terbaik” bagi
setiap sendi kehidupan mereka. Tidaklah suatu hal
dikatakan maju dan modern bila tidak sesuai dengan
kriteria dan gaya Barat. Inilah yang mendasari Mustafa
Kemal Attaturk mencabut tradisi ke-Islaman di Turki dan
Syah Reza Pahlevi di Iran dan menerapkan sistem Barat
dalam berbagai ranah kehidupan mereka demi menyaingi
– atau minimal sejajar – dengan negara-negara Barat yang
maju dan modern.
Merasuknya hegemoni Barat di bidang ekonomi,
politik, sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan pemikiran
(filsafat) terjadi secara smooth, tanpa terasa, tetapi
77
masyarakat dengan sukarela mengikutinya. Hegemoni ini
dapat terjadi melalui media massa, sekolah-sekolah,
bahkan melalui khotbah kaum religius yang melakukan
indoktrinasi sehingga menimbulkan kesadaran baru bagi
kaum tertindas (buruh). Keadaan tersebut diperkuat
dengan kemenangan Barat dan sekutunya atas Blok Kiri
(komunisme) Uni Sovyet seolah menegaskan bahwa
peradaban Barat lah solusi dari seluruh bencana dan
kemunduran yang ada. Sehingga di kemudian hari, Era
Globalisasi dunia dipandang sebagai suatu keniscayaan
bagi seluruh umat manusia – yang ingin disebut – modern.
Demikian suburnya hegemoni Barat dalam
berbagai bentuk dan model tidak terlepas dari kurangnya
persatuan antar umat Islam di dunia. Mereka telah
terkotak-kotak dengan berbagai sekat, mulai dari sekat
mazhab hingga sekat kesukuan. Bila umat Islam hanya
maju satu per satu, kelompok per kelompok menghadapi
raksasa hegemoni Barat yang sudah mengakar ratusan
tahun, maka tak ubahnya seperti percikan air di atas aspal
yang panas, menguap tanpa jejak bahkan sebelum
menyentuh permukaannya. Dan pula, mulai dari kesadaran
individual dan kolektif umat bahwa peradaban mereka
dapat maju dan berkembang tanpa harus seperti Barat.
Mulai mengkritisi apa yang lahir di Barat dan
“mengislamkan” nilai-nilai Barat yang bermanfaat bagi
kemanusiaan seperti yang termaktub dalam proyek at-
Turats wa at-Tajdid Hassan Hanafi. Maka runtuhnya
hegemoni Barat bukanlah mimpi di siang bolong.

78
79
Tantangan Muslim di Barat

Minoritas Muslim merupakan salah satu isu


hangat yang muncul pada masa kontemporer. Di berbagai
belahan bumi lainnya,banyak muslim yang menjadi
minoritas di daerahnya masing-masing, termasuk di
banyak negara-negara Eropa dan Amerika. Menjadi
minoritas memiliki problem tersendiri bagi mereka. Para
Ulama di Hungaria, Ceko dan Slovakia merumuskan
minimal ada 3 masalah yang dihadapi Muslim di Barat
saat ini, yaitu Islamofobia, pemberitaan media massa yang
bias tentang Islam dan Muslim, dan aturan-aturan yang
membatasi hak-hak komunitas Muslim.
Islamofobia semakin menguat pasca serangan
bom di World Trade Center pada 11 September 2001
dimana tuduhan terorisme ditujukan kepada Muslim.
Secara individual, mereka mulai menjauhi dan memusuhi
Muslim yang ada dan secara konstitusional beberapa
negara memberlakukan peraturanbaru yang membatasi
hak-hak kaum muslim. Keadaan ini diperburuk dengan
gencarnya pemberitaan miring tentang Islam dan Muslim
yang dianggap akrab dengan terorisme oleh media massa
mereka.
Beberapa waktu lalu juga ramai diberitakan
tentang pelarangan berbusana muslim bagi muslimah di
beberapa negara Barat dan terjadi banyak kasus pelecehan
terhadap muslimah di Barat. Bahkan di Slovakia, tidak
dapat ditemukan satu masjid pun disana. Dengan pemeluk
muslim hanya 300 orang, mereka membutuhkan 20.000
80
tanda tangan untuk mendapatkan pengakuan negara dan
membangun masjid. Lantas bagaimanakah sikap muslim
di sana?
Ahmed Alibasic, Direktur Pusat Studi Islam
(CSA) mengungkapkan bahwa ada 2 tantangan internal
bagi para intelektual muda Muslim di Eropa. Pertama,
masalah integrasi yang masih kurang mulus. Kedua,
bagaimana muslim bisa menjaga tradisi Islam dimana pun
ia berada. Para cendekiawan muslim Eropa menilai posisi
umat Islam saat ini tidak hanya mempromosikan
kepercayaannya tetapi juga menunjukkan kekayaan Eropa
akan keberagaman. Sudah saatnya meninggalkan
perdebatan dan diskusi sekitar apa yang dikenakan
Muslimah dan beralih membahas kelompok massa yang
menekan dan menyerang umat Islam dan tempat
ibadahnya.
Lain cerita di Inggris. Di negeri Ratu Elizabeth
itu, komunitas Muslim mulai berintegrasi ke dalam
masyarakat Inggris. Namun kondisi tersebut bukan tanpa
masalah. Pemerintah setempat membentuk English
Defence League (EDL) untuk selalu mengawasi daerah-
daerah yang berpenduduk muslim. EDL menjadikan
muslim sebagai target mereka. Ancamana dan serangan
yang dilakukan terhadap Muslim melalui serangkaian
demonstrasi begitu intensif dilakukan. Namun tidak
terdengar respon publik terhadap EDL. Berbanding
terbalik bila kelompok gay, lesbian atau yahudi yang
mendapatkan perlakuan serupa. Inilah fakta bahwa
perasaan anti Islam belum sepenuhnya hilang disana. Para
81
Muslim butuh meneguhkan identitasnya dan tidak
menutup-nutupi ke Islaman mereka, agar kekhawatiran
publik terhadap Islam dapat berkurang sedikit demi
sedikit.
Kejadian serupa juga terjadi di Amerika. Muslim
di negeri Paman Sam harus mengahadapi gelombang
Islamofobia pasca tragedi 9/11. Namun sejalan dengan
berkembangnya Islam di kawasan tersebut, mulai
bertambahnya sarana peribadatan dan pusat kegiatan
keagamaan Islam di beberapa kota Amerika. Pada tahun
2000 tercatat 1.209 masjid tersebar di berbagai negara
bagian. Pada 2011, terjadi peningkatan masjid bersamaan
dengan meningkatnya muslim disana. Tercatat sudah ada
2.106 masjid di Amerika. Selain masjid, berdirinya pusat-
pusat kajian Islam menjadi sarana dakwah muslim untuk
memperbaiki pemahaman publik Amerika akan Islam.
Menurut Imam Feisal, salah satu Imam di
Amerika, komunitas Muslim di Amerika tak henti-
hentinya mewartakan kebaikan dan solidaritas. Usaha
tersebut berbuah manis, kaum Muslim di Amerika dewasa
ini tengah berproses mengembangkan sebuah identitas
kultural dan institusional ala Islam Amerika. Mereka
tengah berevolusi dari status kaum muslim imigran di
Amerika menjadi kaum muslim Amerika. Proses demikian
terjadi secara natural ketika mereka berupaya memadukan
aturan-aturan keagamaan ke dalam hukum negara dengan
tetap berpegang pada sejarah perkembangan dan
keberlanjutan pemikiran hukum Islam.

82
83
Islam, Politik dan Post-Islamisme

Para founding fathers negara ini telah menentukan


bahwa bentuk negara ini adalah Pancasila, bukan sekuler
bukan pula agama, setelah melewati serangkaian diskusi
dan pergulatan panjang antar mereka. Namun
permasalahan tidak berhenti disitu. Pasca-proklamasi,
banyak kelompok-kelompok yang ingin menggeser – bila
tidak ingin disebut mengubah – bentuk ideologi bangsa
ini. Sebutlah komunisme dan Islam, dengan berdirinya
PKI dan Masyumi sebagai lawan vis-à-vis dari PNI yang
nasionalis dan pancasilais. Khusus Islam, mereka mereka
merasa mendapatkan peluang besar untuk mewujudkan
cita-cita mereka menjadikan Indonesia sebagai “Negara
Islam” dan menegakkan hukum syari‟at di nusantara
karena merupakan agama yang dipeluk lebih dari 80%
penduduk kala itu. Juga karena mayoritas founding fathers
negeri ini adalah muslim. Semangat mereka juga didukung
dengan diktum al-Islam dinun wadaulah (Islam sebagai
agama dan sekaligus negara) semakin menegaskan bahwa
syari‟at Islam lah pilihan yang tepat untuk negeri ini.
Pendapat tersebut tidaklah salah, karena memang
dalam Islam sendiri mengatur kehidupan sosial-politik dan
bernegara. Namun politik Islam belum teruji secara nyata
keberhasilannya. Dapat dilihat pada awal Abad XX,
negara-negara Muslim di dunia yang mencoba
menerapkan politik Islam mengalami kebuntuan dan
kemandegan, bahkan diwarnai dengan ketegangan-
ketegangan yang tajam antara Islam dan negara dengan
84
lokalitasnya masing-masing. Karenanya di Indonesia,
pada zaman Orde Lama maupun Baru, gerakan Islam
dinilai sebagai suatu ancaman terhadap nilai pancasila
yang berpotensi memecah belah persatuan bangsa
heterogen ini yang baru seumur jagung. Lalu timbullah
pertanyaan, sebenarnya mungkinkah agama (dalam
konteks ini Islam) memasuki ranah publik dan politik
negara?
Setelah tidak mendapat ruang untuk
mengaktualisasikan diri di ranah politik dan publik
Indonesia pada masa Orla dan Orba, Islam mulai
menampakkan eksistensinya pada masa reformasi.
Terbukti dengan munculnya sekitar 42 partai bercorak
Islam pada masa reformasi. Sebuah angka yang cukup
fantastis. Namun yang perlu diperhatikan, keberhasilan
Islam memasuki ranah publik dan politik lebih
dikarenakan perubahan formatnya dari pola
legalistik/formalistik ke pola substansialistik. Perubahan
format ini akan membuatnya lebih dapat diterima dalam
perpolitikan nasional. Dalam hal tujuannya, juga sangat
jelas bahwa Islam politik tidak lagi mengaspirasikan
pembentukan sebuah negara Islam. Melainkan,
berdasarkan pemahaman mereka terhadap baik ajaran-
ajaran Islam maupun corak sosiologis masyarakat
Indonesia yang sangat heterogen, mereka berkiprah dalam
rangka pembangunan sebuah sistem sosial-politik yang
mencerminkan, atau sejalan dengan prinsip-prinsip umum
nilai-nilai politik Islam, termasuk keadilan, musyawarah,
egalitarianisme dan partisipasi.
85
Meskipun agama bersifat privat, namun agama sudah
mulai merangsek menuju ruang publik. Agama ternyata
tidak bisa benar-benar diprivatisasi. Revolusi Iran dan
peran Paulus II dalam gerakan demokratisasi di berbagai
belahan dunia merupakan bukti ekspansi agama ke
wilayah publik. Dalam konsep sekularime Talal Asad, ia
menghendaki agar agama berada di wilayah privat yang
jauh dari hiruk pikuk politik dan negara. Ini bukan semata-
mata memarjinalkan agama, tapi untuk menjaga
kesakralan dan kesucian agama dari campur tangan politik
yang kotor dan rawan nya sebagai kendaraan. Diperkuat
dengan pernyataan Bassam Tibi:

Sekularisasi agama tidaklah akan


menghapuskan agama itu. Melalui
bantuan desakralisasi politik, akan
melindungi agama dari eksploitasi
bagi tujuan-tujuan politik, dengan
demikian akan menjaganya sebagai
jawaban terhadap masalah-masalah
eksistensi manusia.
Dilema yang akan dihadapi dalam persoalan politik
adalah sebuah dilema yang akut. Secara iman dapat
dikatakan bahwa politik merupakan salah satu kendaraan
Islam, tapi hampir sepanjang sejarah panorama yang
tersaji adalah Islam dijadikan kendaraan oleh para raja,
khalifah, amir, presiden dan sebagainya, untuk memenuhi
ambisi politiknya yang tidak bermoral.

86
Masuknya agama ke ruang publik sendiri bukanlah
suatu kesalahan, karena netralitas ruang publik bukanlah
hampa dari agama. Atas nama demokrasi, posisi agama
seharusnya ditempatkan secara sejajar dengan fomasi
opini dan aspirasi politis lainnya. Diferensiasi fungsional
dalam masyarakat modern yang mendorong ke arah
individualisasi agama tidak secara niscaya
mengimplikasikan hilangnya pengaruh dan relevansi
agama di ruang publik. Namun demikian, tentu saja
keterlibatan agama di ruang publik tetap memiliki batasan,
yaitu bahasa religius partikular agama mesti
“diterjemahkan” terlebih dahulu ke dalam bahasa yang
dapat diterima oleh warga lainnya. Dengan kata lain, harus
ada pemisahan antara urusan agama yang layak menjadi
konsumsi publik (moralitas, interaksi sosial dan struktur
masyarakat) dan yang harus masuk wilayah privat
(peribadatan, ritual dan keyakinan).
Pendek kata, agama dan politik harus berjalan
berdampingan dengan harmonis, tanpa perlu
mengagamakan politik atau mempolitikkan agama.
Karena pada praktek di lapangan, demokrasi tetap
membutuhkan legitimasi agama untuk terus berjalan dan
tanpa bantuan agama, pancasila akan kekeringan sumber
nilai transendental. Agama selain memiliki wilayah
privasinya, juga dapat memasuki ranah publik namun
tidak dalam bentuknya yang formal dan legal, tapi dengan
bentuk substansial yang dapat dimengerti oleh warga
lainnya. Wacana yang menggambarkan perubahan
paradigma dan gerakan politik di kalangan muslim garis
87
keras dari yang militan, ekslusif, dogmatis ke arah
paradigma dan gerakan yang menghargai inklusivitas,
pluralitas dan toleransi inilah yang disebut Post-
Islamisme. Secara sederhana gerakan ini sebagai upaya
melepaskan logo-logo agama dan label Islam formalistik
tanpa meninggalkan nilai-nilai keislaman itu sendiri.

88
89
Islam dan Pluralisme

Pluralisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia


(KBBI) berarti keadaan masyarakat yang majemuk
(bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya) atau
mengacu pada pluralisme kebudayaan yang berarti
berbagai kebudayaan yang berbeda-beda dalam suatu
masyarakat. Dalam konteks keagamaan, pluralisme berarti
suatu paham keagamaan yang menerima kebenaran
seluruh agama atau dalam bahasa John Hick adalah
kebenaran absolut. Paham ini lahir di Barat pada masa
Pencerahan (renaissance) sebagai suatu respon terhadap
sikap eksklusif agama kala itu. Sikap eksklusif agama
adalah doktrin bahwa suatu agama merupakan kebenaran
sejati (truth claim) dan tidak ada keselamatan dan
kebenaran dalam ajaran agama lainnya. Dalam bahasa
gereja kala itu adalah Extra Ecclesiam Nulla Salus(tidak
ada keselamatan di luar gereja). Eksklusivitas agama tidak
terbatas pada Kristen saja, namun sudah menjadi suatu ciri
khas agama memiliki sifat eksklusif. Pertemuan antar
agama-agama meruncingkan pendapat tersebut dan
pertikaian serta perebutan pengaruh antar agama pun tak
terelakkan. Mereka berebut meneriakkan jargon bahwa
penganut agama di luar agama mereka adalah kafir dan
tidak sesuai dengan perintah Tuhan yang mereka yakini.
Inilah cikal bakal lahirnya paham pluralisme yang
menurut Wilfred Cantwell Smith, salah seorang teolog
Barat, merupakan representasi dari makna agama yang
sebenarnya. Dalam bukunya “The Meaning and End of
90
Religion”, ia menjelaskan bahwa penggunaan teologi yang
ekslusif mengakibatkan agama orang lain dipandang
sebagai penyembah berhala dan menyamakan Tuhan
mereka dengan dewa, atau dengan bahasa lain “Allah
agama-agama lain adalah berhala”. Inilah bentuk
keangkuhan agama yang dimaksud. Padahal pada
hakekatnya, semua agama mengarah pada tujuan akhir,
yaitu Allah (Madjid, 2001: 81). Baginya agama adalah
hasil pembentukan konteks sejarah dan budaya yang
berlainan, masing-masing boleh meyakininya sebagai asli
akan tetapi ia adalah kefahaman tentang Tuhan yang tidak
sempurna (Hamka,2015: 599).
Teori W.C. Smith diatas senada dengan dua teori
besar dalam konteks pluralisme agama, yaitu teori
“Kesatuan Transenden Agama” (The Transcendent Unity
of Religion) yang diusung oleh Frithjof Schuon dan teori
“Teologi Global” (Global Theology) milik John Hick.
Paham yang pertama berkeyakinan bahwa sekalipun pada
tataran luarnya agama berbeda-beda, namun pada
hakikatnya semua agama adalah sama. Dengan kata lain,
kesatuan agama-agama itu terjadi pada level transenden.
Teori ini berangkat dari pandangannya bahwa seluruh
agama memiliki aspek eksoteris dan esoteris. Mereka
mungkin berbeda dalam aspek eksoteris, namun hakikat
esoteris agama-agama itu akan saling bertemu dan
bermuara pada satu Tuhan, apapun namanya. Paham yang
kedua beemula dari pandangan terhadap globalisasi.
Menurutnya, seiring dengan arus globalisasi, maka secara
gradual akan terjadi proses penyatuan (konvergensi) cara-
91
cara beragama, sehingga pada masanya, agama-agama
akan lebih berupa sekte-sekte dibandingkan entitas-entitas
yang berdiri sendiri. Ia juga memperkenalkan “The Real
Absolut” atau Tuhan yang absolut adalah Tuhan yang
sesungguhnya dan Tuhan-Tuhan yang diyakini agama-
agama adalah Tuhan relatif karena hanya dipandang dari
agama yang bersangkutan saja. Pendek kata, semua suatu
agama merupakan suatu jalan untuk menuju kepada Tuhan
Yang Absolut disamping jalan-jalan lainnya dalam bentuk
agama-agama lain.
Teori-teori di atas memang banyak bertentangan
dengan ajaran teologi Islam. Konsep Tauhid dalam Islam
lah yang membedakan Islam dengan agama lainnya,
khususnya dalam wilayah eksoteris dan esoteris.
Begitupula dengan parameter Tuhan Yang Absolut dan
Yang Relatif masih sangat subyektif dari kacamata sang
pemilik teori sendiri. Namun dalam ranah kehidupan
sehari-hari, Islam sendiri mengamini adanya pluralitas
budaya dan agama di sekitar Islam. Pluralitas kebudayaan
dan kemajemukan keyakinan yang demikian merupakan
sunnatullah sebagaimana disebutkan dalam firmanNya
(QS. 49: 13). Rasulullah juga hidup dalam kemajemukan
kabilah dan keyakinan di Madinah, bahkan Rasul pun
amat menghargai perbedaan yang ada sehingga muncullah
statement “Perbedaan adalah rahmat”, terlepas dari shahih
tidaknya pernyataan tersebut berasal dari Rasulullah.
Yang menjadi fokus disini adalah bagaimana menyikapi
berbagai perbedaan dari kemajemukan yang ada. Prinsip
dalam Islam adalah eksklusif dalam tataran teologi, namun
92
tetap menghargai pemeluk agama lain atas dasar
kemanusiaan. Agama Islam juga tidak memaksa pemeluk
agama lain untuk mengkuti ajaran Islam. Lakum diinukum
wa liya diini. Untukmu agamamu dan untukku agamaku.
Lebih lanjut, seorang pengkaji studi agama di Indonesia
mengutarakan bahwa dalam konteks Indonesia sendiri
dengan kemajemukan yang ada, tidak cukup hanya
pluralisme, tapi harus lebih kepada multikulturalisme,
menerima dan menghargai berbagai sistem, budaya, dan
paham yang mereka anut demi tercapainya keharmonisan
antar umat beragama.

93
Islam Transnasional dan Global Jihad

Islam ideologi transnasional ini dipopulerkan


pertama kali oleh Ketua Umum PBNU, KH. Hasyim
Muzadi, sejak pertengahan 2007 silam. Istilah itu merujuk
pada ideologi keagamaan lintas negara yang sengaja
diimpor dari luar dan dikembangkan di Indonesia. Masdar
Hilmy dalam salah satu tulisannya mengatakan bahwa
istilah tersebut adalah organisasi politik yang lahir sebagai
pemecahan dari persoalan-persoalan politik di kawasan
Timur Tengah dan penerapannya diujicobakan di kawasan
nusantara.
Penerapan ideologi ini dimaksudkan
menghilangkan sisi perbedaan antar negara dan suku dan
mencoba membangun umat muslim dalam satu atap, Islam
Transnasional. Para penganutnya banyak mengimpor
pemikiran Islam yang fundamentalis dan radikal, sehingga
mereka sangat dekat dengan gerakan fundamentalis
radikal yang menggunakan kekerasan fisik. Karenanya,
tidak heran bila aksi-aksi radikalisme dan terorisme di
Indonesia banyak dikaitkan dengan gerakan-gerakan
radikal dan ekstrimis di Timur Tengah seperti al-Qaeda,
Taliban, ISIS dan al-Jama‟ah al-Islamiyyah. Mereka
banyak menyitir ayat-ayat al-Quran dan hadits Rasulullah
tentang jihad, peperangan dan keburukan-keburukan orang
kafir sebagai legitimasi atas aksi-aksi teror mereka
melawan Barat. Hal ini sekilas dapat dimafhumi sebagai
bentuk perlawanan terhadap kolonialisasi Barat dan
hegemoni mereka atas Islam.
94
Masalah mulai muncul ketika mereka membawa
ideologi ini ke kawasan yang tentram dan damai, jauh dari
peperangan dan perselisihan antar suku dan agama.
Mereka menggeneralisir bahwa seluruh ummat Muslim di
dunia, tanpa memandang suku dan negara tempat
tinggalnya, darurat jihad dan butuh aksi “jihad” melawan
Barat di berbagai belahan dunia. Mereka menamakannya
“Jihad Global”, karena jihad ini tidak terikat pada regional
atau lokal tertentu dengan anggapan seluruh dunia Islam
sedang terhegemoni oleh peradaban Barat. Kondisi ini
diperparah dengan tekad mereka mendirikan agama
berlandaskan hukum dan syariat Islam sebagai ganti dari
hukum dan syariat selain Islam, baik kapitalis, sekuler
maupun pancasila.
Inilah yang menjadi sebab mengapa kerukunan
antar umat beragama di Indonesia akhir-akhir ini sering
bergejolak dengan isu-isu teror berlabel agama, khususnya
Islam. Mereka mencoba merombak ideologi Pancasila
menjadi ideologi Negara Islam Timur Tengah yang penuh
konflik dan tidak multikultural. Perlu diketahui, menurut
Hildred Geertz, antropolog ahli Indonesia, negeri ini
memiliki lebih dari 300 kelompok etnis, lebih dari 250
bahasa daerah yang dipakai dan disamping 6 agama besar
yang diakui, terdapat banyak agama lokal yang tidak
sedikit tersebar dari Sabang hingga Merauke (Saidi, 2004:
59). Itu merupakan salah satu penyebab mengapa Syariat
Islam atau Hukum Islam secara formal-legalistik tidak
dapat ditegakkan, demi menjaga keutuhan NKRI. Itupula
yang telah dirundingkan para founding fathers negeri ini
95
dalam menentukan bentuk negara dan dasar negara ini.
Mereka sengaja membentuk Pancasila sebagai dasar
ideologi negara, bukan agama (Islam), dan bukan pula
sekuler. Pancasila sendiri dapat dipahami memiliki
kandungan hukum dan syariat Islam secara substantif
dalam setiap silanya tanpa perlu dilabeli hukum Islam.
Merubah pancasila dengan pemikiran impor dari luar,
apalagi dari kawasan yang sarat konflik, terorisme dan
radikalisme sama saja menggoyahkan ideologi bangsa
yang sudah mapan selama 71 tahun dan menyulut bara
perpecahan antar umat beragama di Indonesia.

96
97
ISIS dan Pengaruhnya di Indonesia

Dalam beberapa tahun belakangan, mulai sekitar


akhir 2014, nama Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS))
atau Negara Islam Iraq – Suriah (NIIS) banyak terdengar
di berbagai belahan dunia. Nama ISIS menjadi sorotan
dunia bukan karena prestasinya yang membanggakan, tapi
lebih karena prestasi “kelam” mereka berhasil
menyebarkan teror di berbagai tempat dan menjadi musuh
bersama dunia saat ini. Mereka mengaku
bertanggungjawab atas banyak aksi pengeboman,
penculikan bahkan mereka banyak merilis video berisi
eksekusi mati kepada para warga Eropa (mayoritas
jurnalis dan wartawan).
Sebenarnya gerakan ini bukan gerakan baru,
mereka sudah berdiri sejak tahun 1999 dengan nama
Jama‟at al-Tauhid wal-Jihad di Iraq dengan pemimpinnya
Abu Musab al-Zarqawi. Lalu pada tahun 2004 mereka
bergabung dengan kelompok terorisme internasional di
bawah pimpinan Osamah bin Laden, al-Qaeda. Gaung
mereka tidak terdengar lagi seraya meredupnya al-Qaeda
dengan terbunuhnya Osamah. Pada tahun 2006, ketika
militer Amerika menginvasi Iraq, gerakan ini mulai
menunjukkan taringya. Mereka bergabung bersama grup-
grup pemberontak Sunni yang tergabung dalam Dewan
Syura Mujahidin. Mereka meproklamirkan sebagai
Negara Islam Iraq pada bulan Oktober 2006. Dr. Siti
Muti‟ah Setiawati, M.A., seorang dosen pakar politik
Timur Tengah Universitas Gadjah Mada, dalam “Seminar
98
Nasional Kajian Timur Tengah” yang diadakan di UGM,
3 November 2016 silam menjelaskan bahwa sejak
meletusnya Arab Spring pada rentang tahun 2010-2011 di
kawasan Timur Tengah yang dimulai di Tunisia pada 16
Desember 2010, gerakan ini semakin menguat dan mulai
merambah Suriah. Terlebih setelah Amerika menentukan
Presiden baru Iraq yaitu Masoed Barzani dan Fuad
Masoem dari etnis Kurdi dan Perdana Menteri Nuri al
Maliki dan Heidar al Abadi dari etnis Syi‟ah membuat
etnis Sunni banyak bergabung dengan gerakan ini.
Puncaknya pada tahun 2014 ISIS meresmikan mendirikan
ad-Daulah al-Islamiyah dengan Abu Bakr al-Baghdadi
sebagai pemimpinnya. Mereka mencanangkan pendirian
Negara Islam yang berdasarkan pada khilafah Islamiyah
dan menolak demokrasi versi Barat.
Dunia pun bereaksi dan beramai-ramai mengecam
mereka. Nama “Negara Islam” yang mereka catut
mendapat banyak respon negatif dan amat disayangkan
berbagai pihak, khususnya dari kalangan Muslim sendiri.
Banyaknya teror dan pembantaian yang dilakukan demi
melancarkan tujuan mereka dianggap amat menyimpang
dari ajaran Islam yang mengajarkan cinta kasih, bahkan
menyimpang dari ajaran agama mana pun. Konsep
Khilafah yang mereka usung juga tak sepenuhnya sesuai
dengan ajaran Islam. Kekhilafahan yang bercirikan
kesejahteraan rakyatnya dan ketentraman hidup mereka
berubah menjadi penuh ketakutan dan kekhwatiran akan
teror yang tidak dapat disangka-sangka. Pendek kata,
terlepas dari teori konspirasi yang menyatakan bahwa ISIS
99
hanyalah ciptaan Amerika dan Sekutu, ISIS
menampakkan wajah anarkisme agama (Islam) dan seolah
mengamini segala preseden buruk Barat terhadap Islam
dan terorisme (Islamophobia) sehingga berhasil
menampilkan wajah “Islam” dan “Khilafah” yang haus
darah dan tidak berperikemanusiaan.
Di Indonesia sendiri, gerakan ISIS mulai
terdengar pada tahun 2015. Dimulai dengan munculnya
video seorang pemimpin ISIS yang mengaku berasal dari
Indonesia dengan nama Abu Muhammad al-Indonesi
yang berisi ajakan untuk bergabung dengan mereka dan
berjihad mendirikan “Negara Islam”. Menurut Kapolri
Jenderal Polisi Badrodin Haiti dalam harian Tribunnews
(21/01/2016), setidaknya ada 3 golongan pentolan ISIS
dari Indonesia. Mereka adalah Abu Muhammad al-
Indonesi atau Bahrun Syah, Abu Jandal dan Bahrun Naim.
Mereka juga disinyalir rajin melakukan perekrutan
anggota-anggota di beberapa masjid di Indonesia,
khususnya yang lemah pengawasannya dan
pengelolaannya. Terbukti Badan Nasional
Penanggulangan Teror (BNPT) mensinyalir sedikitnya
500 orang Indonesia tergabung dengan ISIS di Suriah,
adapun pihak kepolisian mengungkapkan hanya sekita 200
-300 orang saja (BBC News, 19/2/2016). Anggapan ini
semakin menguat pasca ditangkapnya beberapa terduga
anggota ISIS di berbagai kota seperti Solo, Tangerang dan
kota lainnya.
Terlepas dari benar tidaknya anggapan kepolisian
terhadap terduga anggota ISIS di atas, setidaknya dapat
100
diambil kesimpulan bahwa ISIS juga merambah Indonesia
sebagai negara dengan mayoritas penduduk Islam terbesar
di dunia (sekitar 14% dari seluruh Muslim dunia) dan
mencoba melakukan propaganda agar masyarakat muslim
Indonesia membantu gerakan mereka atau bahkan
memperkuat jaringan gerakan ini yang tidak hanya berada
di Iraq dan Suriah saja, tapi juga Nusantara.

101
Memahami Penyebaran Paham Radikalisme dan
Kekerasan Atas Nama Islam

Isu radikalisme dan kekerasan atas nama Islam


kembali marak berhembus di Indonesia. Setelah gelaran
pilkada DKI pada akhir tahun 2016 dan awal 2017 yang
ramai menyangkutpautkan nama Islam, hembusan isu
tersebut tak jua reda. Berbagai kekerasan masih
digaungkan atas nama Islam. Berbagai aksi teror pun
selalu dialamatkan kepada kelompok Islam, khususnya
yang berlabel “radikal”. Akar-akar penyebaran paham
radikal ini tidak hanya menyasar mereka yang
berpendidikan kurang atau mereka yang berada pada
tataran akar rumput (grass root), namun juga berkembang
subur di berbagai lembaga pendidikan, baik umum
maupun Islam. Hal tersebut dapat ditemukan di berbagai
jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan usia dini hingga
perguruan tinggi. Meskipun pada tataran sekolah, paham
tersebut tidak dapat merangkul lebih banyak peminat bila
dibandingkan dengan penyebarannya di perguruan tinggi.
Sistem pendidikan perguruan tinggi yang mengedepankan
kebebasan dan kemandirian mahasiswa dalam mencari
informasi, membuat mereka dapat mudah terjangkiti
paham-paham radikalisme ekstrimis.
Alasan tersebut yang mendasari diadakannya
kajian ini sebagai salah satu upaya membendung
penyebaran paham tersebut. Kajian tersebut diisi oleh Ali
Fauzi Manzi, M.A. dari Yayasan Lingkar Perdamaian dan

102
Dr. M. Najib Azka, dosen ISIPOL UGM yang berfokus
pada studi Islam dan isu politik Islam. Diskusi tersebut
dipandu oleh Bapak Rahmat Hidayat, Ph.D. dosen UIN
Sunan Kalijaga selaku moderator. Diskusi ini menarik
karena menghadirkan narasumber yang terlibat langsung
dengan berbagai aksi-aksi teror di Indonesia, Ali Fauzi
Manzi. Beliau merupakan mantan pejuang Jama‟ah
Islamiyyah dan merupakan kerabat serta saudara kandung
dari Ali Ghufran dan Amrozy, terpidana mati kasus Bom
Bali I pada tahun 2002. Beliau memperoleh didikan
militer sejak kecil di Filipina dan Afghanistan dan
berfokus pada divisi perakitan bom.
Menurutnya, serangan menggunakan bom di
Indonesia dimulai sejak meledaknya bom mobil di depan
Kedutaan Besar Filipina di Jakarta pada tahun 2000. Bom
mobil yang meledak kala itu memiliki bobot sekitar 350
kg. Kejadian tersebut disusul dengan teror-teror bom
mobil lainnya, termasuk tragedi Bom Bali. Konon, bom
mobil yang diledakkan di Bali memiliki bobot 1 ton 125
kg. Dengan bobot hulu ledak sebesar itu, siapapun yang
berada pada radius 10-15 meter dari mobil tersebut akan
segera meninggal tanpa jejak.
Pola terorisme di Indonesia mengalami beberapa
varian. Pada kurun tahun 2000-2009, hampir seluruh aksi
terorisme di Indonesia dimotori oleh Jama‟ah Islamiyyah
(JI) dan Negara Islam Indonesia (NII). Adapun pada 2010
hingga saat ini, khususnya 3 tahun belakangan, aksi teror
di Indonesia dimotori oleh Jama‟ah Anshaaru‟t Tauhiid
(JAT). Pola penyerangan juga berbeda. Pada awal 2000an
103
hingga 2010, modus aksi teror adalah menggunakan
medium bom, baik bom rompi maupun mobil. Aksi teror
juga diadakan dengan berkelompok dan terorganisir.
Adapun tren yang berkembang belakangan memiliki
modus yang beragama, mulai dari penembakan,
pembakaran dan berbagai aksi lainnya. Aksi-aksi tersebut
juga bersifat land off alias tidak teorganisir. Aksi tersebut
hanya dilakukan oleh perseorangan atau kelompok kecil.
Dari segi sasaran juga terdapat pergeseran. Bila dahulu
berfokus pada simbol-simbol Barat seperti kedutaan besar,
kafe dan hotel wisatawan asing, saat ini beralih kepada
simbol-simbol lokal, khususnya aparat kepolisian dan
tentara.
Perubahan pola aksi teror ini melahirkan banyak
sekali aksi teror pasca tahun 2010. Namun secara
kuantitas korban dan efek yang ditimbulkan, aksi-aksi
teror pada kurun tahun 2000-2009 jauh lebih besar. Tidak
terorganisirnya serangan teror tersebut disinyalir karena
rentan akan kegagalan aksi. Rentang waktu yang
digunakan untuk mengorganisir aksi seringkali digagalkan
oleh aparat berwajib. Bila gagal, daftar pelaku yang dapat
terjaring akan sangat banyak karena sistem mereka yang
saling terhubung satu sama lain. Karenanya, mereka
memilih melancarkan aksi-aksi kecil yang tidak
terorganisir demi menutupi jaringan mereka.
Terakhir, salah satu kesalahan yang diperbuat para
aparat penegak hukum dalam memberantas aksi teror di
Indonesia adalah ketidakpercayaan mereka akan pelaku.
Ketika Bom Bali I meledak, banyak pihak yang menafikan
104
bahwa bom tersebut dirakit oleh anak negeri. Mereka
berspekulasi dengan adanya campur tangan CIA, al-
Qaeda dan berbagai jaringan terorisme internasional
lainnya dalam aksi tersebut. Keahlian dan bahan baku
pembuatan bom tersebut pada hakekatnya merupakan
produk dalam negeri. Ali Fauzi Manzi selaku kepala divisi
bom saat itu mengakui bahwa bahan baku bom-bom
tersebut ia dapatkan dengan menyelundupkannya melalui
Sangihe Talaud, Sulawesi Utara. Seluruh proses perakitan
bom tersebut juga dilakukan di Indonesia, tepat di
Lamongan, Jawa Timur. Dengan kesadaran aparat
penegak hukum dan pemerintah akan besarnya campur
tangan anak negeri dalam aksi teror tersebut diharapkan
dapat menambah tingkat kewaspadaan akan gerakan-
gerakan dan aksi-aksi serupa.
Dr. M. Najib Arka dari ISIPOL UGM
menambahkan bahwa akar terorisme tidaklah tunggal,
namun majemuk bahkan saling berkaitan satu sama lain
(komplikasi). Kemiskinan yang selama ini ditengarai
sebagai salah satu faktor terbesar alasan seseorang
bergabung ke dalam jaringan ternyata tidaklah benar.
Menurutnya, mengutip dari Marc Sageman, 90% dari
mereka yang bergabung ke dalam jaringan terorisme
adalah karena faktor pertemanan (friendship). Faktor ini
pula yang dapat dijadikan penawar saat proses
deradikalisasi atau counter-terrorist.
Keluarga juga memiliki pengaruh yang besar
dalam alasan bergabungnya seseorang ke dalam jaringan
teroris. Menurut beliau yang juga diamini oleh Ali Fauzi,
105
keluarga memiliki transformasi dan reproduksi ideologi-
ideologi serta paham radikal terhadap anak-anak mereka.
Tak heran bila banyak anak kecil yang sudah akrab
dengan berbagai ideologi radikal ekstrimis sejak masa
kanak-kanak. Di samping keluarga, lembaga-lembaga
pendidikan, khususnya Islam juga mulai menaburkan serta
menyuburkan benih-benih radikalisme. Salah satu contoh
nyata adalah pelabelan “Muslim” dan “Kafir” oleh anak
terhadap orang di sekitar mereka. Sungguh ironis,
lembaga yang diharapkan mampu mengcounter berbagai
paham tersebut justru berbalik menyuburkannya.
Dalam perekrutannya, para pelaku banyak
mengangkat isu-isu tentang konflik seperti Palestina,
Rohingya, Suriah dan lain sebagainya. Isu-isu tersebut
dibarengi dengan doktrin ayat-ayat yang kental dengan
konteks peperangan. Mereka juga selalu dimanjakan
dengan sirah dan kisah peperangan di zaman Nabi hingga
zaman kekhalifahan setelahnya. Menurut Ali Fauzi, tujuan
awal perekrutan adalah untuk menyiapkan mental dan
raga dalam rangka “Jihad Defensif” ( ‫)جهاد الدفع‬. Namun
karena semangat yang sangat menggelora dan menggebu-
gebu, mereka segera melancarkan aksi yang mereka sebut
“jihad”.
Menutup diskusi tersebut, Dr. Najib Azka
memaparkan berbagai penyebab seorang pelaku teror
dapat bertaubat atau konversi. Beberapa penyebab
tersebut antara lain; langkah represif oleh pemerintah,
pendekatan hukum (law enforcement), pendekatan
kemanusiaan (humanistic approach/human touch),
106
pendekatan pada aspek sosial ekonomi (socio-economics
aspects), pendekatan hak asasi manusia (human rights)
dan pendekatan melalui kontra-ideologi dan kontra-narasi.
Pendekatan penanggulangan terorisme juga melalui tiga
level, level mikro, level meso dan level makro. Level
mikro mencakup aspek psikologis dan biografis. Level
meso mencakup jejaring sosial dan hubungan pertemanan.
Adapun level makro meliputi berbagai faktor ekonomi,
sosial, budaya dan politik yang adil. Bila semua aspek
tersebut dapat diperhatikan, bukan tidak mungkin berbagai
terorisme dan kekerasan berlabelkan agama, khususnya
Islam dapat dienyahkan dari bumi pertiwi ini.

Masjid Kampus Bulaksumur, 29 Shafar 1439.

107
Politisasi Agama dan Penggunaan Simbol Agama
dalam Politik

Para founding fathers negara ini telah menentukan


bahwa bentuk negara ini adalah Pancasila, bukan sekuler
bukan pula agama, setelah melewati serangkaian diskusi
dan pergulatan panjang antar mereka. Namun
permasalahan tidak berhenti disitu. Pasca-proklamasi,
banyak kelompok-kelompok yang ingin menggeser – bila
tidak ingin disebut mengubah – bentuk ideologi bangsa
ini. Sebutlah komunisme dan Islam, dengan berdirinya
PKI dan Masyumi sebagai lawan vis-à-vis dari PNI yang
nasionalis dan pancasilais. Khusus Islam, mereka mereka
merasa mendapatkan peluang besar untuk mewujudkan
cita-cita mereka menjadikan Indonesia sebagai “Negara
Islam” dan menegakkan hukum syari‟at di nusantara
karena merupakan agama yang dipeluk lebih dari 80%
penduduk kala itu. Juga karena mayoritas founding fathers
negeri ini adalah muslim. Semangat mereka juga didukung
dengan diktum al-Islam dinun wa daulah (Islam sebagai
agama dan sekaligus negara) semakin menegaskan bahwa
syari‟at Islam lah pilihan yang tepat untuk negeri ini
(Hikam, 2000: 196).
Pendapat tersebut tidaklah salah, karena memang
dalam Islam sendiri mengatur kehidupan sosial-politik dan
bernegara. Namun politik Islam belum teruji secara nyata
keberhasilannya. Dapat dilihat pada awal Abad XX,
negara-negara Muslim di dunia yang mencoba
menerapkan politik Islam mengalami kebuntuan dan
108
kemandegan, bahkan diwarnai dengan ketegangan-
ketegangan yang tajam antara Islam dan negara dengan
lokalitasnya masing-masing (Effendy, 2011: 2).
Karenanya di Indonesia, pada zaman Orde Lama maupun
Baru, gerakan Islam dinilai sebagai suatu ancaman
terhadap nilai pancasila yang berpotensi memecah belah
persatuan bangsa heterogen ini yang baru seumur jagung.
Lalu timbullah pertanyaan, sebenarnya mungkinkah
agama (dalam konteks ini Islam) memasuki ranah publik
dan politik negara?
Setelah tidak mendapat ruang untuk
mengaktualisasikan diri di ranah politik dan publik
Indonesia pada masa Orla dan Orba, Islam mulai
menampakkan eksistensinya pada masa reformasi.
Terbukti dengan munculnya sekitar 42 partai bercorak
Islam pada masa reformasi. Sebuah angka yang cukup
fantastis. Namun yang perlu diperhatikan, keberhasilan
Islam memasuki ranah publik dan politik lebih
dikarenakan perubahan formatnya dari pola
legalistik/formalistik ke pola substansialistik. Perubahan
format ini akan membuatnya lebih dapat diterima dalam
perpolitikan nasional (Effendy, 2011: 64). Dalam hal
tujuannya, juga sangat jelas bahwa Islam politik tidak lagi
mengaspirasikan pembentukan sebuah negara Islam.
Melainkan, berdasarkan pemahaman mereka terhadap baik
ajaran-ajaran Islam maupun corak sosiologis masyarakat
Indonesia yang sangat heterogen, mereka berkiprah dalam
rangka pembangunan sebuah sistem sosial-politik yang
mencerminkan, atau sejalan dengan prinsip-prinsip umum
109
nilai-nilai politik Islam, termasuk keadilan, musyawarah,
egalitarianisme dan partisipasi (Effendy, 2011: 390).
Meskipun agama bersifat privat, namun agama sudah
mulai merangsek menuju ruang publik. Agama ternyata
tidak bisa benar-benar diprivatisasi. Revolusi Iran dan
peran Paulus II dalam gerakan demokratisasi di berbagai
belahan dunia merupakan bukti ekspansi agama ke
wilayah publik. Dalam konsep sekularime Talal Asad, ia
menghendaki agar agama berada di wilayah privat yang
jauh dari hiruk pikuk politik dan negara. Ini bukan semata-
mata memarjinalkan agama, tapi untuk menjaga
kesakralan dan kesucian agama dari campur tangan politik
yang kotor dan rawan nya sebagai kendaraan (Asad, 2003:
182-183). Diperkuat dengan pernyataan Bassam Tibi:

Sekularisasi agama tidaklah akan


menghapuskan agama itu. Melalui
bantuan desakralisasi politik, akan
melindungi agama dari eksploitasi
bagi tujuan-tujuan politik, dengan
demikian akan menjaganya sebagai
jawaban terhadap masalah-masalah
eksistensi manusia.
Dilema yang akan dihadapi dalam persoalan politik
adalah sebuah dilema yang akut. Secara iman dapat
dikatakan bahwa politik merupakan salah satu kendaraan
Islam, tapi hampir sepanjang sejarah panorama yang
tersaji adalah Islam dijadikan kendaraan oleh para raja,

110
khalifah, amir, presiden dan sebagainya, untuk memenuhi
ambisi politiknya yang tidak bermoral (Ma‟arif, 1997: 76).
Masuknya agama ke ruang publik sendiri bukanlah
suatu kesalahan, karena netralitas ruang publik bukanlah
hampa dari agama. Atas nama demokrasi, posisi agama
seharusnya ditempatkan secara sejajar dengan fomasi
opini dan aspirasi politis lainnya. Diferensiasi fungsional
dalam masyarakat modern yang mendorong ke arah
individualisasi agama tidak secara niscaya
mengimplikasikan hilangnya pengaruh dan relevansi
agama di ruang publik. Namun demikian, tentu saja
keterlibatan agama di ruang publik tetap memiliki batasan,
yaitu bahasa religius partikular agama mesti
“diterjemahkan” terlebih dahulu ke dalam bahasa yang
dapat diterima oleh warga lainnya (Noor, 2011: 86).
Dengan kata lain, harus ada pemisahan antara urusan
agama yang layak menjadi konsumsi publik (moralitas,
interaksi sosial dan struktur masyarakat) dan yang harus
masuk wilayah privat (peribadatan, ritual dan keyakinan).
Pendek kata, agama dan politik dapat berjalan
berdampingan dengan harmonis, tanpa perlu
mengagamakan politik atau mempolitikkan agama.
Karena pada praktek di lapangan, demokrasi tetap
membutuhkan legitimasi agama untuk terus berjalan
(Juergensmeyer, 1998: 170) dan tanpa bantuan agama,
pancasila akan kekeringan sumber nilai transendental
(Ma‟arif, 1997: 172). Agama selain memiliki wilayah
privasinya, juga dapat memasuki ranah publik namun
tidak dalam bentuknya yang formal dan legal, tapi dengan
111
bentuk substansial yang dapat dimengerti oleh warga
lainnya. Toh, konsep “Negara Islam” sendiri belum 100%
teruji dan terkesan berpotensi mengancam kedaulatan
bangsa yang heterogen.
Penggunaan Simbol-simbol agama dalam politik
(pemilu)
Menjelang Pemilihan Umum (pemilu) di Indonesia,
marak ditemukan calon-calon pemimpin menggunakan
simbol-simbol agama dalam kampanye mereka dan
terlihat lebih agamis. Hal ini tidak lain untuk menarik
empati masyarakat (khususnya pemeluk agama mayoritas)
untuk memberikan dukungan kepada mereka. Dalam
konteks ini, mereka menggunakan simbol-simbol agama
sebagai alat atau kendaraan politik mereka mengingat
agama merupakan komoditi yang laris manis di ruang
publik bahkan privat bangsa Indonesia yang mayoritas
muslim. Politisasi ideologi dan simbol Islam di panggung
politik Tanah Air mulai tampak pasca runtuhnya rezim
Orde Baru. Agama didorong sedemikian rupa sebagai vote
getter (peraih suara), sehingga konflik dan ketegangan
yang sesungguhnya bersifat politis kemudian beraroma
agamis (Sirry, 2003:17). Hal ini diperburuk dengan
masuknya para pemuka agama ke ranah politik sebagai
ikon dari tiap calon pemimpin dan memberikan legitimasi
kepada calon-calon tersebut dengan ayat-ayat suci dari al-
Qur‟an dan Hadits yang sejalan dengan visi dan misi
mereka. Aroma agama pun kian kental menghiasi politik
mereka yang belum tentu agamis. Bahkan, banyak timbul
112
konflik dan kekerasan berpakaian agama meskipun
sejatinya merupakan interpretasi dari ego pemimpin
golongan tertentu yang meminjam label agama.
Kenyataan ini tentu sangat berbahaya karena telah
menyebabkan agama sebagai variabel pembeda, bukan
variabel perekat bagi keluhuran hidup umat manusia
(Sirry, 2003:17). Senada dengan kutipan pernyataan
Bassam Tibi diatas, agama menjadi lahan eksploitasi
politis yang dapat dibentuk sesuai keinginan politik tiap
individu. Nilai kesakralan agama menjadi hilang karena
agama akan saling dibenturkan dengan kepentingan yang
berbeda dan dapat ditafsirkan oleh siapapun sesuai
keperluan.
Sudah waktunya mengembalikan kesakralan agama ke
tempat semula tanpa dibarengi intrik-intrik kepentingan
tiap pemimpin golongan. Bukan suatu kebijaksanaan bila
mempolitisasi agama atau mengagamakan politik, namun
lebih kepada meleburkan nilai-nilai luhur dan moralitas
agama dalam kehidupan politik untuk menciptakan
kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai dan juga
memmbuktikan bahwa Islam merupakan rahmat bagi
seluruh alam (rahmatan lil „alamin).

113
Daftar Pustaka
Asad, Talal. 2003. Formations of The Secular. California:
Stanford University Press.
Effendy, Bahtiar. 2011. Islam dan Negara: Transformasi
Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia.
Jakarta: Democracy Project.
Hikam, Muhammad A.S. 2000. Islam, Demokratisasi, dan
Pemberdayaan Civil Society. Jakarta: Erlangga.
Juergensmeyer, Mark. 1993. Menolak Negara Sekular,
terj. Noorhaidi. Bandung: Mizan.
Ma‟arif, A. Syafii. 1997. Islam, Kekuatan Doktrin dan
Kegamangan Umat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Noor, Irfan. 2011. Identitas Agama, ruang publik, dan
Post-sekularisme: perspektif Diskursus Jurgen
Habermas, dalam Ilmu Ushuluddin, Vol. 11 no. 1,
Januari 2012.
Sirry, Mun‟im A. 2003. Membendung Militansi Agama:
Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern.
Jakarta: Erlangga.

114
“I promise to
pray for you everyday,
ask your forgiveness,
grant you the same
and be your friend, ALWAYS”

The Grace Card Movie (2010)

115
Bagian III
Agama Dalam Hubungan Masyarakat

Konsep Dialog antar Agama

Sejak berakhirnya Perang Dingin, banyak peneliti


dan ilmuwan yang mengemukakan pendapat bahwa
penyebab dari berbagai konflik di dunia adalah benturan
antar suku, ras, etnis dan golongan keagamaan. Dari
berbagai penyebab tersebut, agama adalah salah satu
faktor yang paling mendukung terjadinya konflik
kemanusiaan sejak ribuan tahun lalu, mulai dari Perang
Salib hingga konflik-konfik di berbagai negara di era
modern ini. Agama juga acapkali memperkeruh konflik-
konflik lain yang terjadi karena perbedaan ras dan etnis. Ia
seolah menjadi bensin yang mengobarkan api-api
permusuhan antar manusia. Karenanya cukup tepat
kiranya bila John Lennon dalam lagunya “imagine”
berandai-andai bila agama ditiadakan dari dunia ini dan
umat manusia akan hidup damai selamanya. Hal tersebut
tak lain karena wajah agama yang amat menyeramkan dan
haus darah.
Wajah Tuhan yang penuh cinta kasih seringkali
tertutup dengan pakaian agama yang bengis. Namun perlu
disadari bahwa agama diturunkan oleh Tuhan untuk
mengatur umat manusia agar dapat hidup damai dan
sentosa, agama apapun itu terlepas dari pandangan
eksklusif yang dimiliki tiap-tiap agama. Nilai-nilai dan

116
norma agama sejatinya menyeru pada kebaikan umat
manusia secara khusus dan seluruh makhluk di dunia pada
umumnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan berbagai
ajaran cinta kasih yang tertuang dalam masing-masing
kitab suci agama-agama tersebut dan khotbah-khotbah
para pemuka agama. Hal inilah yang mendasari pendapat
Abu Nimer, seorang ilmuwan berkebangsaan Palestina,
bahwa nilai-nilai luhur agama dapat digunakan sebagai
resolusi atas konflik yang banya terjadi, bahkan
merupakan pondasi yang kuat untuk menyukseskan
program bina-damai (peacebuliding).
Pelatihan ini mencoba menyelaraskan antara 3H,
Head (kepala/otak), Heart (hati/perasaan) dan Hand
(tangan/kekuasaan) dari tiap-tiap penggiat perdamaian
(peacebuilders). Para penggiat perdamaian tak terpaku
pada tokoh agama saja, namun tokoh masyarakat, tokoh
organisasi terkait, tokoh politik maupun pemimpin negara
dapet berperan aktif demi menciptakan perdamaian dan
kerukunan antar manusia, khususnya antar umat beragama
yang cukup “giat” bertikai satu sama lain. Program
peacebuilding ini dapat disederhanakan dengan nama
dialog antar agama karena salah satu sarana yang paling
ampuh untuk menanggulangi berbagai konflik
kemanusiaan adalah berdialog satu sama lain dengan
pandangan yang luas dan kepala yang dingin.
Para peacebuilder wajib memiliki netralitas dalam
berdialog dengan pemuka agama atau tokoh masyarakat
yang sedang tegang. Netralitas, ketidakberpihakan kepada
satu golongan, keadilan, pemahaman akan perdamaian dan
117
ketekunan dalam menjadi penyimak yang baik mutlak
dimiliki oleh tiap-tiap “peacebuilders” tersebut. Abu
Nimer berpendapat bahwa model yang dapat diterapkan
dalam perdamaian antar kultur dilalui dengan 6 tahap yang
terbagi dalam 2 kelompok besar, Religiosentrisme dan
Religiorelatif. Tujuannya yaitu memulai dari tataran
religiosentrisme (penolakan, pertahanan terhadap
keyakinan diri dan meminimalisasi perbedaan) menuju
tataran religiorelatif (penerimaan, adopsi dan integrasi
antar kultur yang berbeda). Model pendekatan yang
digunakan Abu Nimer adalah Pluralisme Komunikatif
yang merupakan tahap yang lebih tinggi dan lebih lengkap
dibanding dua teori Pluralisme yang lain, teori
universalisme (kepercayaan bahwa seluruh agama berakar
sama, kebahagiaan manusia) dan partikularisme (bahwa
tiap agama berbeda dan membutuhkan toleransi terhadap
agama lainnya).
Dialog antar agama yang dipaparkan Abu Nimer
dan para ilmuwan lain tidak memiliki format yang baku.
Fleksibiltas format dialog tersebut sangat diperlukan
karena konteks konflik dan penyebabnya dapat berbeda
antara satu tempat dan tempat lain dan juga antar agama
satu dan agama lainnya. Tak jarang konflik di suatu
wilayah tak hanya berkaitan dengan perselisihan antar
agama saja, namun masalah ekonomi, ras, suku dan politik
di wilayah tersebut. Maka dialog guna resolusi konflik
yang dibutuhkan pun berbeda dengan tempat lain. Batas
dialog harus didiskusikan terus-menerus dan berbeda-
berbeda sesuai pengalaman masing-masing. Tidak dapat
118
dipaksakan satu sama lain. Pemaksaan satu format tertentu
malah rentan menggagalkan usaha dialog dan bina-damai
yang diinginkan. Tujuan dari dialog antar agama adalah
mefasilitasi perubahan pola pikir yang sempit, eksklusif,
antagonistik dan penuh prasangka buruk menjadi lebih
terbuka dan fleksibel. Bila belum tercapai, minimal
mencairkan stigma negatif dan memberi pandangan baru
yang bertolak belakang dengan info-info terdahulu.
Bentuk dialog ini pun beragam, mulai dari
perdebatan yang bersifat ekslusif dan mencari menang
atau kekalahan pihak lain, atau dialog yang transformatif
dimana tiap agama mempunyai tanggungjawab yang sama
dalam peacebuilding dan kemanusiaan atau pluralisme
sinkretik yag menyamakan semua agama seperti dipahami
oleh orang kebanyakan. Tujuan para peacebuilder adalah
mengusahakan dialog yang transformatif dan mencari titik
temu agama, bukan menyamakan seluruh agama seperti
pemahaman pluralisme sinkretik. Dalam dialog ini juga
tidak menyinggung apalagi memperdebatkan persoalan
teologi dan tidak pula menyamakan teologi yang memang
berbeda satu sama lain. Intinya menyamakan yang sama
dan membedakan yang berbeda demi kemashlahatan
bersama.
Membahas dialog mau tidak mau harus
menyinggung model teologi antar agama. Model teologi
yang banyak digunakan oleh para peneliti adalah teologi
tripolar yang digagas Alan Race adalah eksklusivisme,
inklusivisme dan pluralisme. Ekslusivisme merupakan
model teologi yang cenderung tertutup dan bersikeras
119
bahwa hanya keyakinan mereka yang paling benar dan
satu-satunya jalan keselamatan. Inklusivisme merupakan
model yang lebih lunak yaitu mengakui kebenaran agama
lain namun agama yang diyakininya merupakan agama
terakhir dan agama penyempurna dari agama-agama
terdahulu, sehingga seluruh kebenaran agama-agama
terdahulu telah terangkum dalam agama terakhir yang
paripurna, dalam konteks ini Alan Race mengacu pada
konsep ketuhanan Kristus. Yang terakhir adalah
Pluralisme, yaitu model teologi yang terbuka dan
meyakini bahwa keselamatan tidak terpaku pada agama
sendiri melainkan pula terdapat pada agama lain, karena
perbedaan merupakan sebuah keniscayaan di muka bumi.
Perbincangan model teologi antar agama tidak
dapat terlepas dari dua isu yang rentan, isu teologis dan
isu relasi sosial. Kebanyakan sikap ekslusivitas agama
berada pada tataran teologi dimana keyakinan mereka
bahwa satu-satunya jalan keselamatan (salvation) baik di
dunia maupun di hari nanti (bagi yang meyakini konsep
eskatologi) terletak pada agama yang mereka anut, tidak
pada agama lainnya. Maka siapapun yang berada diluar
lingkaran agama mereka tidak akan mendapat keselamatan
yang mereka yakini. Konsep lainnya adalah keyakinan
akan kebenaran yang diklaim oleh agama tersebut yang
tidak terdapat di agama lainnya. Namun konsep ini tidak
sepenuhnya melahirkan ekslusivitas penganut suatu
agama, karena banyak ditemukan kesamaan nilai-nilai
universal pada suatu agama dengan agama lainnya,

120
meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa tak sedikit yang
pula yang berbeda.
Dalam dimensi relasi sosial antar manusia, konsep
dalam tataran teologis di atas (keselamatan dan
kebenaran) tidak begitu tampak bahkan tidak perlu
ditampakkan. Hal yang demikian dikarenakan terdapat
konsep yang lebih tinggi dan universal dari konsep-konsep
yang diyakini di atas, yaitu kemanusiaan. Karenanya,
konsep inilah yang menembus batas perbedaan teologis
antar agama, suku dan ras sehingga meminimalisir
perbedaan antar agama. Sebuah kesalahan besar dimulai
ketika apa yang seharusnya berada pada tataran teologi
ditarik ke dalam ranah sosial sehingga berbagai clash dan
ketimpangan akan tercipta. Oleh karena itu, sudah
sepatutnya ranah sosial menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan dan kebaikan universal dalam tiap agama.
Dengan mengakui kenyataan akan adanya
pluralitas keyakinan dalam masyarakat, diharapkan setiap
penganut agama mengembangkan toleransi seluas-luasnya
kepada penganut agama dan keyakinan lainnya,
khususnya dalam urusan sosial dan politik. Toleransi yang
sesungguhnya ditunjukkan manakala penganut agama
tersebut dalam posisi mayoritas. Karena banyak toleransi
yang dilakukan kaum minoritas tak lain demi
mendapatkan keamanan dan keselamatan dari kaum
mayoritas, tidak tulus dari kelapangan hati dan keluasan
pikiran. Contoh terdekat dalam konflik antar agama adalah
konflik Islam-Kristen di Indonesia yang mempunyai
sejarah panjang sejak zaman kolonial hingga kini.
121
Sejatinya, aspek teologis kedua agama memang berbeda
dan cukup bertolak belakang. Namun penyebab konflik
yang berkepanjangan adalah manuver para elit politik
yang menganakemaskan Islam yang merupakan mayoritas
di satu rezim (masa pendudukan Jepang dan akhir rezim
Soeharto) dan di rezim lain mengangkat-angkat Kristen
yang minoritas (masa kolonial, rezim Soekarno dan awal
rezim Soeharto). Perasaan takut akan dominasi absolut
oleh mayoritas dan sempalan minoritas yang semakin
meluas hari demi hari (Kristenisasi dan Islamisasi)
menyuburkan kebencian keduanya sehingga melahirkan
konflik di Poso, Ambon, dan Sampit.
Akhir kata, mengakui semua agama sama
bukanlah model pluralisme yang dianjurkan oleh para
penggiat perdamaian, karena pada hakekatnya bukan
menyamakan semua hal. Namun lebih kepada mencari
titik temu dari agama dan keyakinan yang berbeda demi
tercapainya perdamaian antar penganutnya. Bila tidak
dapat mengakui kebenaran ajaran agama lain, minimal
mulai menanamkan mindset bahwa “seluruh agama benar
menurut keyakinan penganutnya masing-masing”.

122
Referensi:
Arifianto, Alexander R. 2009. Explaining the Cause of
Muslim-Christian conflicts in Indonesia: Tracing
the Origins of Kristenisasi and Islamisasi. Islam
and Christian Muslim Relation Journal, Vol. 20,
No. 1, 73-89, January 2009
Burhani, Ahmad Najib. 2011. Lakum dinukum wa-liya
dini: The Muhammadiyah‟s tance towards
interfaith relations. Islami and Christian-Muslim
Relation Journal, Vol. 22, No. 3, 329-342, July
2011.
Nimer, Muhammad Abu. 2001. Conflict Resolution,
Culture and Religion: Toward a training model of
Interreligious Peacebuilding. Journal of Peace
Research, Vol. 38, No. 6, 685-704, November
2001.
Saidi, Anas. 2004. Menekuk Agama, Membangun Tahta:
Kebijakan Agama Orde Baru. Jakarta Selatan:
Desantara Utama.

123
Dialog dan Teori Konflik
Pendahuluan
Pengusahaan terbangunnya toleransi antar umat
beragama dalam suatu wilayah diantaranya dengan
mengadakan dialog antar umat beragama tersebut.
Pentingnya dialog dan cara pengusahaannya demi
mereduksi konflik telah dijelaskan secara singkat dan jelas
dalam tema sebelumnya. Telah disinggung pula dalam
tema sebelumnya pentingnya memahami penyebab
konflik baik dari segi nilai maupun segi historis antar
penganut agama di wilayah tersebut, yang akan dibahas
lebih spesifik dalam tema kali ini. Pembahasan akan
penyebab konflik dan sumber-sumber konflik menjadi
amat penting semata-mata untuk menciptakan kerukunan
yang didambakan antar umat beragama. Bagai dokter yang
mendiagnosa pasiennya, penggiat perdamaian harus
memahami “diagnosa” sejarah perjumpaan antar umat
beragama yang beragama bentuknya dan tidak selalu
berbentuk sejarah yang buruk. Pemahaman akan penyebab
konflik secara mendalam inilah yang menjadi bekal para
penggiat untuk meneruskan sejarah baik atau memotong
sejarah buruk antar umat yang bertikai.
Tulisan ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu
perspektif dalam melihat hubungan agama dan kekerasan
dan memahami dimensi dan sumber konflik. Dalam
bagian pertama akan dipaparkan berbagai perspektif
dalam menyikapi hubungan agama dan apa yang disebut
sebagai “kekerasan agama” atau “konflik agama” ditinjau

124
dari sumber utama penyulut konflik. Benarkah agama
satu-satunya penyulut api konflik dalam setiap pertikaian
bernuansa agama? Ataukah ia hanya “alat” untuk
memuluskan kepentingan tertentu? Adapun bagian kedua
akan membahas dimensi konflik dan sumber timbulnya
konflik sosial secara umum dan berbagai karakteristik
dalam menyikapi penyelesaian konflik menurut Dean G
Pruit dan Jeffrey Z. Rubin. Di akhir bagian kedua juga
akan disinggung studi kasus kontroversi penutupan gereja
di Jakarta sebagai tinjauan aplikatif dari teori yang telah
dipaparkan.
Agama dan Kekerasan
Hubungan agama dan kekerasan seringkali
mencuat ketika terjadi kekerasan yang bernuansa agama,
baik karena atribut dan simbol keagamaan para pelaku dan
korban maupun karena pengakuan pelaku kekerasan yang
berteriak atas nama Tuhan atau agama tertentu. Namun
benarkah agama memiliki andil yang besar dalam
menciptakan kekerasan? Sedangkan di lain sisi, para
agamawan dan rohaniawan senantiasa meyakinkan para
penganut agama akan ajaran agama yang putih bersih dan
penuh cinta kasih dan jauh dari kekerasan dan pertikaian.
Untuk memahami korelasi antara keduanya,
beberapa ahli seperti Hasenclaver dan Rittberger
menawarkan tiga perspektif terkait hal tersebut, yaitu apa
yang disebut dengan primordialist, instrumentalist dan
constructivist. Dalam istilah lain Appleby menggunakan
istilah strong religion, weak religion dan pathological.
Perspektif pertama melihat bahwa doktrin dan dogma
125
kekerasan dalam agamalah yang bertanggungjawab dalam
terciptanya “konflik agama”. Tataran teologis, kosmologis
dan pemahaman akan kitab suci satu agama akan
berbenturan bila bertemu agama atau kebudayaan lain,
yang dalam bahasa Jurgensmeyer adalah cosmic war.
Ideologi cosmic war ini banyak ditemukan dalam gerakan-
gerakan radikal ekstrimis. Diantara doktrin asli agama
yang berbau kekerasan dan berpotensi menciptakan
kekerasan adalah konsep martir (mati syahid) dank urban
(sacrifice) yang didukung oleh ketaatan buta para
penganut dan klaim kebenaran absolut.
Perspektif kedua melihat bahwa agama bersifat
putih dan suci, kekerasan yang terjadi dan membawa
atribut keagamaan hanyalah ekspresi perlawanan atau
perjuangan kepentingan politik dengan meminjam baju
agama. Perspektif ini juga meyakini kekerasan non-agama
justru lebih sering terjadi dan memakan korban paling
banyak. Landasan perspektif ini adalah fakta sejarah
hubungan agama di suatu kawasan dan konstelasi politik
yang terjadi. Perspektif yang terakhir, constructivist
/pathological melihat bahwa hubungan keduanya tidaklah
sederhana. Agama tidaklah seputih yang dikira oleh
pandangan instrumentalist dan tidak segarang pandangan
primordialist. Mereka meyakini adanya “intervening
variable” dalam terciptanya kekerasan. Agama juga
memiliki potensi yang besar dalam melahirkan konflik,
meskipun tidak dapat dipungkiri adanya “kepentingan”
memuluskan jalan menuju kekerasan yang didambakan.

126
Dari ulasan tersebut ditemukan bahwa agama
memberi dampak yang tidak sedikit dalam terjadinya
“kekerasan agama”, baik sebagai penyebab utama, alat
maupun variabel pendukung. Agama sering
disangkutpautkan untuk memberi legitimasi atas
kekerasan karena otoritas agama yang istimewa dan tidak
dimiliki pihak-pihak lain. Ketiga perspektif di atas
hendaknya menjadi spektrum dalam melihat hubungan
antara agama dan kekerasan. Derajat dan campur tangan
agama dalam kekerasan memiliki porsi yang berbeda
dalam kasus-kasus yang terjadi. Tak cukup disini, agama
juga memiliki peran yang sangat besar dalam de-eskalasi
konflik tersebut sebagaimana gagasan “religious
peacebuilding” Moh. Abu Nimer

Dimensi dan Sumber Konflik


Penggiat perdamaian antar umat beragama harus
memahami apa yang menyebabkan kerukunan dan konflik
antar umat yang berbeda. Sejarah kerukunan yang pernah
terjadi perlu ditinjau dan digali sejauh mana masyarakat
yang plural dapat mempertahankan ko-eksistensi mereka.
Sumber konflik ini penting untuk dipahami karena banyak
kekerasan sekarang menipu orang dengan tampilannya
yang idealis dan agamis misalnya, namun ternyata
memiliki penyebab yang tidak berhubungan sama sekali
dengan agama. Lemahnya pemahaman sumber konflik
akan memperpanjang bahkan memperburuk hubungan
antar umat beragama di suatu wilayah.

127
Dean G Pruitt dan Jeffrey Z Rubin
mengemukakan bahwa apa yang menjadi sumber konflik
di masyarakat adalah adanya “interest” atau kepentingan.
Kepentingan bermakna lebih luas dari kebutuhan (needs)
dan nilai (values) yang ditengarai menjadi penyebab
konflik. Kepentingan tersebut ada yang bersifat universal
seperti rasa aman, identitas, pengakuan, berbagai hal
lainnya yang merupakan perasaan dan kebutuhan dasar
manusia dan tidak melulu berbentuk materi dan adapula
yang bersifat spesifik seperti konflik Arab-Palestina dan
Israel karena menginginkan kembalinya rumah mereka.
Persepsi mengenai perbedaan kepentingan, baik
kepentingan yang berbeda maupun beberapa kepentingan
yang tidak dapat dipertemukan (incompatible). Persepsi
inilah yang cukup sulit dipahami karena tidak berbentuk
eksplisit dan variatif.
Sumber-sumber konflik menurut Pruitt dan Rubin
antara lain; a) Determinan tingkat aspirasi, b) Determinan
mengenai aspirasi pihak lain dan c) tidak adanya alternatif
yang dapat diterima semua pihak. Khusus determinan
tingkat aspirasi, memiliki banyak faktor penunjang
lahirnya aspirasi yang berujung konflik, yaitu prestasi
masa lalu, persepsi mengenai kekuasaan, adanya aturan
dan norma, pebandingan dengan orang/kelompok lain
dalam menyikapi konflik serupa dan bertambah buruknya
bila ada leader yang dapat memobilisasi massa sehingga
terbentuklah “kelompok pejuang”. Mereka juga
memberikan beberapa model konflik yaitu aggressor-

128
defender, spiral konflik dan perubahan struktural, model
yang lazim ditemui dalam konflik di masyarakat.
Sikap tiap pihak dalam menuju penyelesaian
konflik pun beragam, ada yang bersikeras meminta
pemenuhan tuntutannya (contending), mengalah
(yielding), menarik diri, cukup berdiam diri saja (inaction)
atau bahkan mencari solusi (problem solving). Langkah
penyelesaian konflik tersebut juga tergantung pada tingkat
aspirasi yang ada, apakah berdasarkan kepentingan diri
sendiri, pihak lain, aspirasi akan stabilitas maupun
aspirasi bersama demi pemecahan masalah. Semua
karakteristik tersebut memiliki pendekatan yang berbeda
dan jalur yang berbeda. Adalah sebuah kesalahan untuk
memaksa satu pihak yang lebih suka mengalah untuk
bersikeras meminta pemenuhan tuntutannya.
Terkait banyaknya kegagalan dalam penyelesaian
“konflik agama”, para ahli melihat bahwa kesalahan
terjadi pada proses identifikasi konflik. Kebanyakan
penyelesaian konflik terlalu fokus pada apa yang disebut
“posisi”, yaitu fenomena yang timbul atas kepentingan-
kepentingan yang ada (interest). Pada hakekatnya, tidak
semua yang diucapkan benar-benar sesuatu yang
diinginkan. Contohnya dalam fenomena kontroversi
pembangunan gereja di Jakarta dan sekitarnya. Penelitian
yang dilakukan oleh Ihsan Ali Fauzi dkk ini menggali
fenomena gereja yang dibangun tanpa masalah, yang
dahulu bermasalah namun telah terselesaikan, yang dahulu
tidak bermasalah kini dipermasalahkan dan gereja yang
bermasalah sejak dulu hingga kini. Meskipun konflik amat
129
kental dengan rumah ibadah dan ritus agama, ternyata
tidak semua interest penyebab konflik berdasarkan agama
atau isu kristenisasi. Ada interest sosial, birokrasi,
ekonomi, rasa aman dan interest-interest pribadi lainnya
yang seharusnya dapat dipenuhi tanpa harus menutup atau
merusak gereja. Inilah pentingnya memahami interest
yang terselubung dalam konflik.
Dalam beberapa tahun belakangan, problem serius
terkait merebaknya konflik adalah terjadinya
“disinformasi” atau upaya sengaja untuk memberikan
informasi palsu, yang belakangan sering disebut “hoax”.
Tugas para aktivis perdamaian untuk “membunuh” rumor
atau informasi palsu tersebut atau mengklarifikasi rumor
tersebut pada yang bersangkutan. Lebih jauh, para aktivis
hendaknya berupaya menciptakan lingkungan yang “kebal
rumor” karena eratnya hubungan satu sama lain dan rasa
saling percaya antar masyarakat sehingga tak dapat
dimasuki rumor-rumor penyebab konflik.
Penutup
Konflik dan kekerasan bernafaskan agama
nyatanya tidak sederhana dan terpaku pada satu sebab
saja. Korelasi antar berbagai sebab dan interest dapat
melahirkan konflik yang tidak dapat padam seketika.
Bahkan api konflik tersebut dapat semakin membara
manakala penanggulangannya tidak tepat. Pemecahan
konflik juga membutuhkan pemahaman akan interest-
interest yang ada, tanpa terpaku pada “posisi” yang
muncul ke permukaan. Konflik rumah ibadah misalnya,
tidak melulu karena masalah tataran teologis, namun sapat
130
karena interest ekonomi, pengaruh, sosial dan sebagainya.
Karenanya, para aktivis dituntut kreatif dalam menyikapi
berbagai konflik dan karakteristik pihak-pihak terkait dan
menciptakan masyarakat yang anti-rumor demi
tercapainya keharmonisan bersama.
Referensi
Ahnaf, Mohammad Iqbal. Melihat Ulang Relasi Agama
dan Kekerasan , dalam Studi Agama di Indonesia:
Refleksi Pengalaman. Yogyakarta: CRCS UGM.
Ali Fauzi, dkk. 2011. Kontroversi Rumah Ibadah di
Jakarta, dan Sekitarnya, Program Studi Agama
dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana,
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: CRCS
UGM.
Pruitt, Dean G. Pruitt &Jeffrey Z. Rubin. 2004. Teori
Konfik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

131
Praktek Dialog Antar Agama di Indonesia

Pendahuluan
Berbicara dengan penerapan toleransi dalam
hubungan antar agama tidak cukup hanya di buku dan
dalam teori saja. Berbagai teori konflik, dimensi konflik
dan resolusi konflik perlu dipraktekkan dalam masyarakat
yang plural. Indonesia yang merupakan salah satu wilayah
multikultural dan plural, baik etnis, ras, bahasa, budaya
maupun agama menjadi salah satu labolatorium hidup
dalam menelisik pengaplikasian berbagai teori tadi dalam
kehidupan nyata masyarakatnya.
Para aktivis dan penggiat perdamaian telah
mengetahui bahwa dalam usaha dialog antar agama tidak
melulu melihat kepada sejarah konflik atau pertikaian
antar agama. Konflik memang memiliki frekuensi yang
besar dalam hubungan tersebut, dan menuntut segera
diselesaikan demi tercapainya kerukunan bersama. Namun
kisah sukses hubungan masyarakat yang berbeda secara
agama yang berjalan damai dan harmonis juga perlu
mendapat perhatian serius. Menjadi penting adanya dalam
rangka menjaga ko-eksistensi kerukunan tersebut,
mencegah berbagai faktor yang memungkinkan pecahnya
konflik dan menjadi percontohan bagi wilayah lain yang
belum mencapai titik keharmonisan yang setara dengan
wilayah tersebut.
Dari banyak wilayah yang multisuku, multiras dan
multikultural, penulis memilih dua kota yang secara

132
gemilang mengaplikasikan keharmonisan dan toleransi
yang tergolong stabil, yaitu Lasem, Jawa Tengah dan
Kupang, Nusa Tenggar Timur (NTT). Kota pertama
memiliki toleransi yang tinggi antara Islam dan Tionghoa
dan kota kedua antara Kristen (Protestan dan Katolik) dan
Islam. Dalam tulisan ini akan menyinggung berbagai
sebab-sebab kerukunan di kota tersebut dan bentuk
toleransi yang terbangun di masyarakatnya.

Relasi Islam-Tionghoa di Lasem


Lasem merupakan sebuah kota yang terletak di
Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Sekitar 90%
warganya beragama Islam dan sebagian besar beretnis
Jawa dan sisanya sekitar 10% beragama selain Islam, baik
Kristen, Katolik, Budha, Hindu maupun Konghucu dan
mayoritas beretnis Tionghoa. Interaksi sosial antar
masyarakat yang berbeda etnis dan kepercayaan
berlangsung cukup baik dan harmonis sehingga tercipta
integrasi yang baik dan memiliki daya tahan yang cukup
kuat untuk menghindari gangguan dari luar (eksternal)
yang berpotensi memicu konflik.
Meskipun warga disana cenderung tinggal
berkelompok dengan kawan satu etnis atau agama
tertentu, seperti 90% etnis Tionghoa terkonsentrasi di
wilayah Karangturi, dan sisanya menyebar di Soditan dan
Sumber, namun ruang perjumpaan antar etnis yang
berbeda terjadi dalam frekuensi yang tinggi. Bahkan
antara satu sama lain, pandangan kultur dan etnis yang
berbeda hampir tiada. Mereka sudah tidak mengenal
133
“Saya Jawa” dan “Anda Tionghoa”, yang ada hanya “Kita
warga Lasem”. Karenanya, pernikahan antara Jawa-
Tionghoa bukanlah hal baru di Lasem.
Berdasarkan teori dimensi konflik yang digagas
oleh Jayne Docherty dan Lisa Schirch, dapat diketahui
bahwa kondisi toleransi dan intoleransi dalam hubungan
sosial dipengaruhi oleh 3 dimensi, yaitu apa yang disebut
dimensi simbolik, dimensi relasional dan dimensi
material. Dalam kasus Lasem, dimensi simbolik yang
membangun toleransi antar warganya adalah perasaan
“heroisme” bahwa mereka satu nasib dan
sepenanggungan, khususnya saat menghadapi Belanda
dalam “Perang Kuning” dan juga sejarah perjumpaan
nenek moyang mereka sejak zaman Belanda. Tokoh-tokoh
Lasem yang disegani dan menjadi peletak nota
kesepahaman hubungan antar etnis dan agama juga terdiri
dari berbagai elemen, yaitu Mbah Sambu (Tionghoa),
Kyai Baidlowi dan Mbah Ma‟shum. Acara haul ketiga
tokoh ini setiap tahun dirayakan dan kembali
menyegarkan memori-memori indah antar warga Lasem
yang berbeda etnis dan agama. Inilah salah satu faktor
yang memperkuat hubungan antar mereka.
Adapun tolong-menolong dan gotong royong
dalam kegiatan sosial-keagamaan turut berperan sebagai
penyubur di dimensi relasional. Berbagai kegiatan seperti
Upacara Kematian, Pernikahan, dan Kirab Budaya Mak
Co melibatkan warga dari berbagai etnis dalam
pelaksanaannya, sehingga rasa toleransi dan satu hati
semakin terpupuk baik. Dalam Perayaan tahunan Mak Co
134
misalnya, dalam kirabnya, warga non-Tionghoa dan
santri-santri turut serta memeriahkan acara tersebut. Selain
dalam bentuk perayaan dan asosiasi resmi yang
melibatkan seluruh warga, dimensi relasional juga hadir
dalam bentuk informal, yaitu perjumpaan di jalan, pasar,
budaya saling mengunjungi, bahkan perjumpaan di
warung kopi. Dengan frekuensi perjumpaan yang tinggi,
maka kemungkinan berhembusnya isu-isu pemecah antar
etnis dan agama amat kecil sekali karena dapat
diklarifikasi dengan mudah dan cepat.
Dalam dimensi yang terakhir, yaitu dimensi
material, warga Lasem disatukan dari berbagai segi.
Sebagai contoh adalah segi pendidikan dan ekonomi.
Dalam segi pendidikan, banyak sekolah umum yang
menampung murid-murid dari etnis dan agama yang
berbeda dan memungkinkan perjumpaan tersebut sejak
dini. Adapun dalam segi ekonomi, terjadi hubungan dalam
industri Kain Batik khas Lasem. Meski terjadi persaingan
antara Tionghoa dan Jawa dalam menguasai bisnis
tersebut, namun dengan mudah diperhalus dengan
berbagai strategi bisnis yang menguntungkan kedua belah
pihak. Karena telah diketahui secara pasti bahwa akar
suatu konflik adalah adanya persepsi ketakutan atau
terancam dari pihak lain, yang sangat mungkin dalam hal
ekonomi.
Toleransi di Kupang
Kupang merupakan ibukota provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT). Kondisi demografi penduduk
Kupang berbeda dengan Lasem. Berdasarkan data sensus
135
2010, pemeluk Kristen Protestan di Kupang mencapai
63,29% dari total keseluruhan penduduk disana. Adapun
Katolik menempati urutan kedua dengan prosentase
21,62%. Adapun Islam menempati urutan ketiga dengan
total sekitar 14% dan 2% sisanya terbagi ke dalam Hindu
dan Budha. Dengan demikian Kupang menjadi salah satu
kota di Indonesia dimana Islam menjadi minoritas.
Muslim di Kupang juga terdiri dari berbagai etnik seperti
Jawa, Bugis dan suku-suku asal di wilayah NTT. Justru
mayoritas muslim di Kupang berasal dari suku-suku asal
NTT sendiri. Hal ini tidak mengherankan karena jauh
sebelum Bangsa Eropa datang ke Kupang, pedagang asal
Cina dan Arab telah lebih dahulu merapat ke kota ini
untuk berdagang kayu cendana sekaligus berinteraksi
dengan warga sekitar. Pendudukan Belanda dan Portugis
yang lama merubah kondisi demografi disana dengan
masuknya Kristen Protestan dan Katolik. Di NTT sendiri,
kota-kota diluar Kupang didominasi oleh Katolik
sebanyak 33,74%. Hal ini dikarenakan adanya
“kesepakatan” antara Belanda dan Portugis dalam
membagi wilayah penyebaran agama. Karenanya, Kupang
menjadi basis Protestan di Indonesia dengan berdirinya
Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT).
Seperti di Lasem, di Kupang pun masyarakatnya
cenderung hidup berkelompok dengan etnis dan agama
yang serupa. Begitupula beberapa profesi cenderung
dikuasai oleh etnis tertentu. Misalnya dalam urusan
perikanan dan pelayaran dikuasai oleh etnis Bugis,
kegiatan perdagangan makanan jadi, jamu dan bakso
136
berasal dari Jawa, perdagangan barang kebutuhan dapur,
ternak, barang kelontong serta tembakau dikuasai mereka
yang berasal dari Sabu/Rote dan mereka yang berasal dari
Timor menekuni hasil pertanian. Kotak-kotak yang ada
memang berpotensi menimbulkan konflik dan
kesenjangan, namun dapat pula semakin mempererat
hubungan antar etnis. Di pasar misalnya, mau tidak mau
mereka harus berinteraksi dengan mereka yang berbeda
etnis untuk mendapatkan hasil pertanian, hasil laut, hewan
ternak, bumbu dapur dan barang kelontong. Salah satu
indikasi kesuksesan toleransi di Kupang juga tercermin
dengan mudahnya menjaga kestabilan pra atau pasca
konflik. Perlu dipahami, bahwa daerah yang toleran bukan
berarti daerah yang tidak pernah tersentuh konflik, namun
mereka mampu meminimalisir konflik tersebut dan
kalaupun terjadi, pemulihan dampak dari konflik tersebut
relatif cepat seperti yang ditemukan di Kupang. Pemulihan
pasca konflik antar etnis dan sentimen anti Tionghoa pada
1998 berlangsung relatif singkat, berbeda dengan yang
terjadi di Ambon dan Sambas pada konflik yang sama.
Adapun faktor-faktor penyubur toleransi ini,
seperti pembahasan sebelumnya, harus menilik pada
berbagai dimensi. Dalam dimensi simbolik, warga
Kupang, baik yang Kristen, Katolik maupun Islam
memiliki perasaan saling membutuhkan satu sama lain
dan berbagai memori damai yang telah lama terjalin, salah
satunya dengan budaya menjamu tamu dan Oko mama.
Disamping itu, memori pahit akan konflik tahun 1998
melahirkan trauma yang sama bagi mereka semua. Tak
137
ingin pengalaman pahit tersebut terulang, mereka
senantiasa menjaga kestabilan dan meredam berbagai hal
yang berpotensi konflik.
Dari dimensi relasional, banyak terjadi praktek
kawin mawin antar penduduk asal dengan para pendatang
dan keyakinan yang berbeda. Sehingga dalam satu
keluarga besar perbedaan keyakinan merupakan sebuah
hal yang wajar dan bukan merupakan problem bagi
mereka. Ruang perjumpaan multi etnik dan multi agama
juga banyak terjadi di lembaga-lembaga pendidikan, baik
menengah maupun perguruan tinggi. Di Kupang terdapat
4 perguruan tinggi besar, yaitu Universitas Katholik
Widya Mandira, Universitas Artha Wacana, Universitas
Nusa Cendana dan Universitas Muhammadiyah Kupang.
Munculnya universitas-universitas dengan latar belakang
yang berbeda tidak lantas menutup ruang perjumpaan
antar etnik dan agama, sebagai buktinya sekitar 40%
mahasiswa di Univ. Muhammadiyah Kupang adalah non-
muslim. Disamping itu, perayaan keagamaan yang
biasanya menjadi ruang tertutup bagi suatu agama, di
Kupang justru menjadi ruang perjumpaan antar pemeluk
agama lain. Maka tidak heran bila ditemukan panitia MTQ
terdiri dari tokoh-tokoh non-muslim dan peringatan
Paskah diperingati oleh tokoh-tokoh muslim.
Dimensi yang terakhir, yaitu dimensi struktural,
dimana perekrutan pegawai berjalan normal dan plural
tanpa pengistimewaan satu etnik atas lainnya. Dalam hal
bisnis dan ekonomi mereka juga sering berhubungan
dengan etnik atau agama lain. Begitupula dengan kuatnya
138
jaringan antar elit dan jaringan pemuda lintas iman yang
kuat semakin memperkuat hawa toleransi dalam
keberagaman di Kupang.

Gejala Intoleransi
Telah disinggung sedikit diatas bahwa wilayah
yang dikenal memiliki sejarah toleransi yang baik tidak
berarti tidak pernah mengalami konflik-konflik
intoleransi. Label toleran-intoleran dapat dipahami sebagai
sebuah spektrum. Dalam satu waktu dapat menuju titik
toleran dan sebaliknya, di waktu yang lain dapat bergeser
ke titik intoleran. Tidak ada wilayah yang 100% toleran
atau intoleran. Begitupula yang terjadi di Lasem dan
Kupang. Kedua kota tersebut memiliki berbagai kondisi
yang mendorong terjadinya konflik komunal. Namun
dengan tingkat toleransi yang tinggi disebabkan berbagai
dimensi tadi, semuanya dapat dicegah dan ditanggulangi.
Keberagaman di Lasem sempat terguncang saat
meletusnya konflik komunal dan sentiment anti Tionghoa
pada 1998, juga saat ada wacana pendirian STAKONG
(Sekolah Tinggi Agama Islam dan Konghucu) dan isu-isu
gerakan Islam radikal seperti FPI, HTI dan MTA. Adapun
ancaman yang dihadapi Kupang dalam mempertahankan
kebhinnekaan lebih berat. Konflik komunal 1998,
eksekusi tersangka kasus Poso, Tibo cs yang notabene
berasal dari NTT, munculnya Brigade Meo dan penolakan
gerakan radikal Islam (FPI dan HTI) dan Kristen (Saksi
Yehovah dan gereja kharismatik) berpotensi besar
menimbulkan konflik. Yang terbaru, penolakan
139
pembangunan Masjid Nur Musafir di Batuplat juga cukup
mengguncang kondisi Kupang. Meskipun penolakan
tersebut sarat dengan unsur politis (pilkada) namun tetap
saja mengancam keberagaman yang ada. Seperti yang
sekarang terjadi di Jakarta, di Kupang pun sentimen antar
agama dapat memanas tiap kali menjelang pilkada.
Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya
teknologi dan sistem informasi, perubahan sosial di kedua
kota tersebut tidak dapat dihindarkan. Banyaknya
pendatang dari luar kota yang datang untuk bekerja dan
belajar di Kupang melahirkan keragaman yang makin
intens. Begitupula banyaknya remaja-remaja dan generasi
muda yang menuntut ilmu ke luar kota kehilangan
identitas diri mereka dan membawa budaya dari luar yang
tidak sesuai dengan daerah asal mereka. Kondisi ini juga
diperburuk dengan semakin sempitnya ruang perjumpaan
publik karena kesibukan tiap-tiap individu. Khusus di
Lasem, jumlah etnis Tionghoa mengalami penurunan
karena banyak dari keturunan mereka yang memilih
tinggal di luar kota. Jumlah yang semakin sedikit ini
ditakutkan berpengaruh kepada generasi masa kini yang
tidak terbiasa hidup berdampingan dalam lingkungan
multi etnik dan multi agama.
Selain faktor perubahan sosial tersebut, faktor
eksternal juga tidak kalah berpotensi menyulut konflik
komunal. Sistem informasi yang semakin maju
memungkinkan masyarakat mendapatkan berita-berita
intoleran dari wilayah lain, kebanyakan berasal dari Jawa,
dan berpotensi terjadi di daerah tersebut. Sebagai contoh
140
penolakan gereja di Bekasi dan atmosfer pilkada DKI
mampu memanaskan suasana keberagaman di Lasem dan
Kupang.

Penutup
Praktik dialog antar agama tidak hanya
mengharuskan meneliti sumber-sumber dan dimensi
konflik, namun juga sebab-sebab dan dimensi yang
melahirkan kerukunan. Apa yang ditemukan di Lasem dan
Kupang bisa jadi tidak dapat ditemukan dan tidak dapat
diaplikasikan di daerah lain. Karena selain sejarah dan
memori yang mereka simpan berbeda, namun juga watak
dan sifat masyarakat yang dihadapi juga berbeda. Adapun
ketiga dimensi yang menopang lahirnya toleransi di kedua
kota tersebut tidak mesti dapat ditemukan di tempat-
tempat lainnya dan tidak selalu dapat terpenuhi ketiganya
untuk menciptakan keharmonisan. Suatu wilayah
misalnya, dapat memiliki hubungan yang baik meski
secara dimensi simbolik yang ada tidak mendukung
terciptanya kerukunan. Inilah yang menjadi tugas pada
aktivis dan penggiat dialog untuk menemukan ramuan
yang tepat untuk menciptakan keharmonisan. Bila tidak
dapat dibentuk secara alami, perlu kiranya direkayasa
dengan sebuah pelembagaan atau institusionalisasi ide-ide
ke dalam praktik kehidupan sehari-hari dalam masyarakat
yang plural.

141
Sumber:
Ahnaf, Moh. Iqbal. 2013. Mengelola Keragaman dari
Bawah: Koeksistensi Jawa-Tionghoa di Lasem
dalam “Wawasan Kebangsaan dan Kearifan
Lokal”. Yogyakarta: CRCS UGM
Ahnaf, Moh. Iqbal. 2016. Toleransi dan Intoleransi di
Indonesia: Kajian atas kultur toleransi di tengah
perubahan sosial di Kota Kupang, Nusa Tenggara
Timur dalam “Studi Tentang Toleransi dan
Radikalisme di Indonesia; Pembelajaran dari 4
daerah: Tasikmalaya, Yogyakarta, Bojonegoro
dan Kupang”. Jakarta: INFID

142
143
Dialog Antar Agama di Timur Tengah

Pendahuluan
Praktik dialog antar agama menjadi topik yang
selalu hangat dibicarakan. Hal ini disebabkan maraknya
aksi kekerasan komunal yang membawa identitas agama
tertentu dan memusuhi kelompok agama lainnya, baik
agama sebagai pemicunya (primordialist) maupun sebagai
pelengkap konflik (instrumentalist). Berbicara hubungan
antar agama juga tidak akan lepas dari istilah “mayoritas-
minoritas” yang ke belakangnya cukup berpengaruh dalam
praktik keberagaman yang berlangsung. Bahasan ini
menyoroti hubungan antar agama di negara-negara Timur
Tengah, yang berpenduduk mayoritas Islam dan
menjadikannya agama resmi negara. Pemilihan Timur
Tengah sebagai konsentrasi dikarenakan wilayah ini
identik dengan Islam, yang merupakan agama yang lahir
di sana dan berhubungan erat dengan bangsa Arab, bangsa
mayoritas di Timur Tengah.
Kawasan Timur Tengah sendiri merupakan
kawasan negara-negara yang terletak di Asia Barat dan
Afrika Utara. Sebutan “Timur Tengah” digunakan oleh
Kolonialisme Barat untuk menunjuk kawasan di antara
Timur Dekat (Turki) dan Timur Jauh (India dan Cina).
Sedikitnya 25 negara mendiami kawasan ini dan beragama
mayoritas Islam. Di samping Islam dengan berbagai
sektenya, terdapat pula agama-agama lain yang dianut
penduduknya, baik, Kristen Protestan, Katolik Roma,
Kristen Koptik, Yahudi maupun Zoroaster meskipun
144
dengan prosentase yang kecil. Inilah yang mendasari
penelitian hubungan agama di Timur Tengah dengan
fokus Islam sebagai mayoritas. Salah satu negara dengan
prosentase non-muslim terbesar adalah Kristen Koptik di
Mesir yang mencapai 10% dari total penduduknya. Jumlah
ini termasuk yang terbesar di kawasan tersebut sehingga
potensi konflik antar agama cukup besar.
Hubungan antar agama di Mesir cukup memanas
akhir-akhir ini ditandai dengan serangkaian penyerangan
terhadap gereja Kristen di beberapa kota. Mulai dari
pembakaran Gereja oleh kelompok Islamis di sebuah kota
dekat Kairo yang menyebabkan kekerasan di Kerdasa
pada 14 Agustus 2013, ledakan bom di Gereja Katedral
Koptik di Kairo saat Misa 11 Desember 2015 yang
menewaskan sedikitnya 25 orang dan melukai 49 lainnya
dan yang terdekat adalah ledakan bom di Gereja St.
George di Tanta, utara kota Kairo yang menewaskan
setidaknya 27 orang dan melukai 78 orang lainnya yang
disusul oleh bom bunuh diri di Saint Mark Katedral di
Alexandria yang memakan korban tewas sebanyak 16
orang pada 9 April 2017 atau seminggu sebelum perayaan
Paskah dan kunjungan Paus Francis ke Mesir. Beberapa
jaringan terorisme yang mencatut nama Islam mengaku
bertanggungjawab atas serangan tersebut. Namun tindakan
tersebut tetap saja berpotensi besar meretakkan hubungan
kedua agama di Mesir.
Tulisan berikut membahas tentang keragaman
yang terdapat di Mesir, potensi konflik dan dialog-dialog

145
antar agama yang dibangun di sana melalui perspektif Abu
Nimer.

Keragaman Mesir
Mesir merupakan salah satu negara yang terkenal
memiliki peradaban dan kebudayaan tertua di dunia.
Beberapa buku menyebutkan bahwa peradaban Mesir
Kuno telah terbentuk sejak 3500 SM. Adapun Islam, yang
menjadi agama mayoritas penduduk Mesir modern mulai
masuk dan menyebar ke Mesir sekitar 670 M. Dalam
interval waktu yang tidak pendek ini, Mesir dikuasai oleh
berbagai bangsa dan berimplikasi langsung dengan
kepercayaan dan agama penduduknya. Dahulu mereka
menganut Paganisme atau Politheis sebagai warisan dari
Peradaban Mesir Kuno, lalu sebagian juga menganut
Yahudi, Kristen dan Zoroaster. Di samping itu, Animisme
dan Dinamisme masih teramat kental dianut sebagian
penduduk Mesir Kuno. Kepercayaan Paganisme atau
Politheis yang dianut mereka mempercayai satu Dewa
Agung yang memiliki banyak dewa-dewa kecil di
bawahnya.
Agama awal di kawasan ini adalah agama lokal
mereka yang berbentuk animisme dan dinamisme seperti
agama Gikuyu, Yoruba dan Zulu Zionisme (Smart, 1984:
65-68). Setelah itu muncullah Peradaban Mesir Kuno yang
berkuasa berabad-abad lamanya mulai sekitar 3100 SM
hingga sekitar 300an SM dengan jatuhnya Mesir ke tangan
Persia pada 525 SM hingga 333 SM. Dibawah kekuasaan
Mesir dan Persia, agama mayoritas di Afrika Utara adalah
146
Politeisme dengan satu Dewa Utama dan banyak dewa-
dewa pendukung dan Zoroaster yang berasal dari Persia
(Mokhtar, 1990: 154). Pada 332 SM, Persia harus
merelakan peradaban Mesir dan sekitarnya jatuh ke tangan
Alexander the Great yang dilanjutkan dengan Dinasti
Ptolomeus. Konversi agama penduduk Afrika Utara ke
Kristen terjadi setelah tentara Romawi mengambil alih
kekuasaan dari tangan Cleopatra dan Marc Anthony pada
30 SM (Hrbek, 1990: 215). Gereja Kristen Koptik
memiliki keunikan dari denominasi Kristen lainnya,
karena, seperti Kristen Asiria, mereka masih
menggunakan bahasa kuno yang dulu mendominasi
daerah mereka sebagai bahasa liturgi, dalam hal ini bahasa
Mesir dalam bentuk Koptik.
Oleh karena itu, penduduk Mesir seharusnya
sudah tidak asing dengan keragaman yang ada. Berbagai
budaya dan peradaban telah mewarnai Mesir dan
memberikan sumbangan yang tidak sedikit bagi negara
tersebut. Hubungan antar agama yang menghangat
merupakan sebuah pengingkaran atas sejarah-sejarah
mereka.

Diskriminasi dan Upaya Dialog


Kristen Koptik di Mesir sering mendapatkan
perlakuan diskriminasi dan intimidasi. Beberapa contoh
yang mendukung pendapat tersebut adalah kurikulum
pendidikan yang tidak pro-Koptik, penghapusan sejarah
koptik dari buku-buku pelajaran, kesulitan membangun
gereja dan sebagainya. Disamping diskriminasi pihak non-
147
Koptik, dominasi gereja dalam politik juga seakan
mengisolir kebebasan kaum Koptik sendiri. Padahal,
dalam kehidupan sehari-hari hubungan Muslim-Kristen
dianggap cukup harmonis dalam bidang militer (wajib
militer), politik, ekonomi, pendidikan dan parlemen.
Bahkan Abu Nimer berpendapat bahwa komunitas Kristen
Koptik di Mesir telah hidup dan berkembang di tengah-
tengah komunitas Muslim dan berhasil mengintegrasikan
norma, budaya dan nilai sosial dari Muslim (2010: 224).
Mereka adalah salah satu contoh komunitas yang berhasil
membangun integrasi semacam itu.
Permasalahan yang timbul dalam hubungan antar
agama di Mesir adalah masalah Koptik, masalah sosial,
peran politik gereja dan strategi negoisasi dan
kompromisasi. Masalah lain yang timbul disebabkan sikap
Kristen Koptik yang tidak anti pemerintah/penguasa dan
tidak terlibat konsfrontasi politik. Hal ini lah yang
membuat Presiden Anwar Sadat mengenakan tindakan
represif kepada kumpulan pelajar dan organisasi Koptik
yang dirasa dapat mengganggu stabilitas nasional Mesir
pada September 1981. Berbagai kelompok Islam
fundamentalis radikal atau ultra-konservatif juga selalu
melihat komunitas Koptik sebagai golongan pembangkang
dan berpotensi menyulut konflik. Padahal justru
pandangan mereka lah yang menyulut berbagai tindak
kekerasan. Kecurigaan (suspicion) selalu menghantui
hubungan kedua agama tersebut sekaligus menghambat
terbangunnya dialog antar agama.

148
Usaha-usaha dialog juga telah digagas oleh
berbagai pihak, baik melalui pendekatan maupun
organisasi-organisasi tertentu. Dalam konteks pendekatan,
isu dialog antar agama (Inter-Faith Dialogue) coba
diangkap menjadi agenda nasional. Pembahasan dialog
tersebut harus disesuaikan dengan topik-topik nasional
yang ada dan berada dalam lindungan pemerintah.
Partisipan dialog terdiri dari pemerintah/golongan elit,
golongan sekuleris, pemuka agama dan golongan pemuda.
Namun usaha ini juga memiliki hambatan berupa
overpolitisasi dan intervensi pemerintah yang memiliki
kepentingan tertentu. Karenanya, perlu dipahami batas-
batas keleluasaan pemerintah dalam hal dialog demi
tecapainya tujuan dialog.
Dalam konteks organisasi, di Mesir telah
bermunculan berbagai organisasi lintas agama yang
menjadi wadah terciptanya dialog. Beberapa organisasi
tersebut adalah al-Azhar Committee for Dialogue,
Religious Fraternity Association, Muslim Brotherhood
Group, Coptic Ortodox Church, Coptic Evangelical
Church, Roman Catholic Church, Moral Rearmament
Society dan Studio 206. Yang menarik adalah
tercantumnya golongan Islamis yang terkenal keras
Muslim Brotherhood Group (Ikhwan al-Muslimin) sebagai
wadah dialog lintas agama. Ini membuktikan bahwa partai
tersebut tidaklah dihuni oleh para islamis yang eksklusif
seperti anggapan selama ini, namun juga para islamis yang
peduli dengan hubungan dan dialog antar agama di Mesir.

149
Selain usaha-usaha tersebut, perlu diingat bahwa
dalam usaha dialog harus mendalam dan menyeluruh.
Kelemahan dialog antar agama adalah terlalu banyak basa
basi dan tidak menyinggung ke masalah pokok dan paling
fundamental. Para aktivis dialog juga perlu mencari dan
meneliti “vocal incidents” yang menjadi cikal bakal
munculnya sentimen anti Koptik di Mesir misalnya. Vocal
incidents tersebut dalam berupa insiden besar maupun
kecil yang terjadi di masa lampau maupun yang terjadi
belakangan. Setelah menemukan vocal incidents, maka
tugas para aktivis perdamaian adalah menjernihkan
penafsiran atas insiden tersebut, meskipun terkadang perlu
(re)konstruksi narasi atas realitas yang ada.

Penutup
Usaha-usaha dialog antar agama di Mesir perlu
terus digalakkan mengingat Kristen Koptik selalu menjadi
sasaran empuk berbagai bentuk protes. Penangkapan
organisasi Koptik pada 1981, pembakaran gereja saat
protes kepada Presiden Husni Mubarok, bom gereja saat
protes terhadap Presiden Morsi, dan berbagai tuduhan
lainnya senantiasa menghinggapi kelompok ini dan
menjadi legitimasi untuk melakukan serangan. Berbagai
pihak perlu kiranya untuk ikut andil dalam penciptaan
suasan kondusif pasca berbagai ledakan bom demi
mencegah lahirnya konflik sektarian yang lebih dahsyat
dan berdarah di Mesir.

150
Daftar Bacaan:
Nimer, Abu, Emily Welty and Amal I. Khoury. 2007.
Unity and Diversity: Interfaith Dialogue in the
Middle East. Washington DC: United States
Institute of Peace Press.
Nimer, Abu. 2010. Nirkekerasan dan Bina-Damai dalam
Islam: Teori dan Praktik, ed. Bahasa Indonesia
oleh Rizal Panggabean dan Ihsan Ali Fauzi.
Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi
Hrbek, I. 1990. General History of Africa II, Africa from
the Seventh to the Eleventh Century. California.
Mokhtar, Ed. G.1981. General History of Africa, vol. II
Ancient Civilisations of Africa. London:
Heinemann.
Smart, Ninian. 1984. The Religious Experience of
Mankind, Third Edition. New York: Charles
Scribner‟s Sons.

https://kumparan.com/jihad-akbar1487918664529/dua-
serangan-bom-di-mesir-tewaskan-43-orang
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/04/150429_me
sir_islamis_gereja
http://m.detik.com/news/internasional/d-
3368888/ledakan-bom-guncang-gereja-di-kairo-25-
orang-tewas

151
Sejarah Konflik Kristen-Islam di Indonesia

Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia


memiliki sejarah yang panjang dan tak semuanya diwarnai
dengan konflik. Dimulai dari abad kolonial pada sekitar
abad 18 M hingga saat ini. Islam sendiri tetap menjadi
mayoritas di Indonesia dengan prosentase sekitar 86,18%
dari keseluruhan penduduk Indonesia dan Kristen
menempati urutan kedua dengan penganut Protestan 6,96
% dan Katolik 2,9%. Adapun konflik antar keduanya yang
cukup memanas dalam beberapa dekade terakhir seperti di
Poso, Sulawesi Tengah, Ambon, dan Sampit merupakan
sebuah fenomena baru dan merupakan puncak dari
rentetan “gesekan” antara keduanya. Bom di depan Gereja
Oikumene, Samarinda dan pembakaran Masjid di Tolikara
pada 2 tahun terakhir juga semakin memperkeruh suasana
toleransi yang telah terbangun sejak dahulu.
Dua pakar agama ahli Indonesia, Karel A
Steenbrink dan Robert W Hefner memandang konflik ini
merupakan suatu yang tak lazim terjadi di Indonesia.
Mereka sepakat bahwa pluralitas agama di Indonesia
sudah menjadi hal yang lumrah dan interaksi antar
pemeluk agama merupakan sebuah keniscayaan.
Penduduk mayoritas di Indonesia yang beragama Islam
juga terkenal tidak kaku dan cenderung fleksibel terhadap
penganut agama lain. Karenanya, mereka berkesimpulan
bahwa konflik Kristen-Islam yang terjadi lebih
dikarenakan manuver para tokoh elit politik dalam
pemerintahan Indonesia sejak zaman kolonial hingga saat
152
ini dibandingkan unsur teologis kedua agama. Meskipun
tidak menutup kemungkinan bahwa faktor teologis kedua
agama yang juga memiliki sejarah kelam dimana Kristen
menganggap Islam sebagai “bid‟ah Kristen” dan
meletuskan Perang Salib selama hampir 2 abad.
Dimulai dengan masuknya Islam ke Indonesia
pada 13 M dan mulai berkembangnya kerajaan-kerajaan
Islam di Indonesia pada abad 17 M setelah runtuhnya
Kerajaan Majapahit yang menjadi penanda runtuhnya
kekuasaan Hindu-Budha di Nusantara. Pada abad itu pula,
bangsa kolonial Portugis yang disusul Belanda mulai
datang ke Indonesia. Dalam prakteknya, mereka hanya
berfokus pada perkembangan ekonomi dan bersikap netral
terhadap gerakan kristenisasi pribumi. Situasi seperti ini
bertahan hingga pertengahan abad 19 M. Selepas
pertengahan abad 19 M, mereka mulai mendukung
Kristenisasi terhadap pribumi sebagai counter terhadap
perjuangan para pahlawan pribumi yang berasaskan
gerakan Islam seperti Perang Diponegoro (1825) dan
Perang Padri (1823). Disamping itu, para kolonial juga
percaya bahwa kaum pribumi yang menganut agama
Kristen akan lebih koperatif terhadap Belanda dibanding
kaum Islam.
Pada awal abad ke 20 M, para ulama modernis
mulai bermunculan seiring munculnya gerakan Islam
reformis Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh.
Mereka mulai mendirikan organisasi berasaskan Islam
sebagai counter dari gerakan Kristenisasi. Keadaan yang
demikian melahirkan stigma negatif bahwa pribumi yang
153
menganut Kristen adalah pendukung setia Belanda karena
meskipun Belanda tidak terang-terangan mendukung
Kristen, namun seluruh kebijakan Belanda selalu
merugikan kaum Islam pribumi. Berbanding terbalik
dengan Jepang yang mengumpulkan simpati dari berbagai
organisasi Islam dan memberikan mereka berbagai
perlakuan khusus, sehingga timbul kecemburuan dari
pihak Kristen.
Pasca merdekanya Indonesia, situasi semakin
meruncing dengan lahirnya dua kubu besar dalam politik
Indonesia, kubu pertama adalah kubu nasionalis-sekular
yang menginginkan Indonesia menjadi negara secular dan
kubu lainnya adalah kubu Islam-konservatif yang
menginginkan Indonesia menjadi Negara Islam dengan
merumuskan Piagam Jakarta sebagai asas negara. Namun
Soekarno dalam sidang PPKI memutuskan bahwa asas
negara ini adalah Pancasila dan UUD 1945 yang
ditegaskan kembali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Hal tersebut diperparah dengan pembubaran Masyumi
oleh Soekarno dan keikutsertaan partai Kristen dalam
pemilu 1955. Inilah yang membuat kubu Islam-
konservatif sakit hati dan kecewa dengan kepemimpinan
Soekarno. Kerukunan dan kebebasan umat beragama
sendiri amat terjamin di era ini, bahkan jumlah penganut
Kristen di Jawa saja meningkat drastis karena legalnya
gerakan Kristenisasi.
Pada paruh pertama era Soeharto, kubu Islam-
konservatif mulai menaruh harapan pada Presiden baru
yang sedang giat-giatnya memberantas antek-antek
154
komunis di bumi pertiwi. Para warga yang terlibat PKI
kebanyakan konversi ke Kristen karena paham komunis
dilarang di Indonesia dan mereka tidak mungkin konversi
ke Islam yang amat memusuhi komunisme. Tercatat pada
masa tersebut di Jawa saja sekitar 2 juta orang konversi ke
Kristen sehingga mereka dituduh memancing di air keruh.
Ternyata Presiden Soeharto malah mengumumkan bahwa
Masyumi juga termasuk partai yang dilarang sehingga
kembali mematahkan hati kubu Islam-konservatif dan
perlakuan presiden yang lebih condong ke Kristen
menimbulkan berbagai preseden buruk Islam terhadap
Kristen.
Namun keadaan yang demikian berubah 180
derajat pada 1980an hingga 1998. Presiden Soeharto mulai
mencari dukungan dari pihak Islam dan mulai melunak
dalam berbagai kebijakan. Terbukti dengan
dikeluarkannya kebijakan terkait pembangunan rumah
ibadah dan larangan menarik penganut agama resmi ke
agama lain yang amat menguntungkan Islam dan di lain
sisi merugikan Kristen. Soeharto juga mendirikan Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada Desember
1990. Pada masa ini, tingkat pembakaran rumah ibadah
dan premanisme antar penganut agama meningkat drastis
dan mulai melahirkan ketakutan pihak Kristen akan upaya
Islamisasi.
Setelah jatuhnya rezim Soeharto pada 1998,
banyak golongan Islam-konservatif (Wahhabi dan Salafi
Jihadis) yang giat mengadakan Islamisasi dan berujung
pada konflik keagamaan di Maluku dan Poso.
155
Permasalahan antar etnis di Sampit juga semakin keruh
dengan isu perbedaan agama antar dua kubu yang bertikai.
Sepanjang rentetan sejarah ini, ketakutan akan Kristenisasi
dan Islamisasi seolah menghantui kedua agama tersebut,
sehingga kedua agama lebih bersikap eksklusif dan
menutup diri dari agama lain. Padahal, tujuan utama pihak
Kristen adalah mendapatkan hak-hak mereka sebagai
minoritas dan dapat hidup dengan damai di negara mereka
sendiri, terlepas dari tuduhan antek penjajah dan antek
komunis. Karenanya sedari dulu tokoh-tokoh Kristen
selalu membuktikan berbagai kontribusi mereka dalam
Perang Kemerdekaan dan menjaga keutuhan NKRI.
Semua sejarah kelam di atas harus segera
dihapuskan demi menjaga keutuhan NKRI, salah satunya
dengan duduk bersama dan mengadakan dialog antar
kedua penganut, mulai dari tataran pemuka hingga tataran
akar rumput demi tercapainya nota kesepahaman antar
keduanya. Negara juga diharapkan dapat menjaga
netralitasnya dan menghindari intervensi dalam proses
dialog tersebut. Pemerintah lebih dibutuhkan untuk
memberantas paham ekstrimis dari kedua pihak yang
merongrong kedaulatan dan keutuhan NKRI.

156
Bahan bacaan:
Arifianto, Alexander R. 2009. Explaining the Cause of
Muslim-Christian conflicts in Indonesia: Tracing
the Origins of Kristenisasi and Islamisasi. Islam
and Christian Muslim Relation Journal, Vol. 20,
No. 1, 73-89, January 2009
Saidi, Anas. 2004. Menekuk Agama, Membangun Tahta:
Kebijakan Agama Orde Baru. Jakarta Selatan:
Desantara Utama.

157
Rumah Ibadah (Note)

Sabtu kemarin ketika membuka sosmed, saya


tecengang melihat ada kabar yang lumayan ramai
dibicarakan. Berita tersebut tentang aksi unjuk rasa
menentang pembangunan gereja Santa Clara di Bekasi
Utara dan memaksa pemerintah untuk mencabut izin
pembangunannya. Aksi yang terjadi stelah sholat Jum‟at
tersebut berlangsung cukup anarkis dan ricuh. Terjadi
insiden perusakan, lemparan batu dan usaha menerobos
lokasi pembangunan gereja. Sedikitnya 5 anggota polisi
yang mengamankan jalannya aksi menderita luka karena
lemparan batu para peserta aksi. Karenanya, polisi
terpaksa menembakkan gas air mata ke arah peserta aksi
untuk mengatasi anarkisme mereka yang makin menjadi
dan membubarkan aksi. Aksi ini diselenggarakan oleh
gerakan massa yang menamakan diri mereka Majelis
Silahturrahim Umat Islam Bekasi (MSUIB).
Alasan yang melandasi aksi ini juga beragam,
mulai dari ketakutan akan perubahan sejarah kota Bekasi
sebagai Kota santri, isu kristenisasi, isu pendirian
bangunan tanpa izin, kalaupun izin telah dikantongi
ditengarai ada pemalsuan tanda tangan, isu gereja Santa
Clara akan menjadi gereja Katolik terbesar di Asia
Tenggara dan isu warga sekitar yang merasa terganggu
dengan pembangunan gereja tersebut dikarenakan
mayoritas beragama Islam. Mungkin bila ditelusuri lebih
jauh, berbagai alasan lain akan dimunculkan untuk
melegalkan aksi anarkis tersebut. Apapun alasan yang
158
dianggap dapat diterima akan diberikan dengan satu
tuntutan, pembangunan gereja tersebut dihentikan atau
pemerintah segera mencabut izin pembangunannya.
Indonesia negeri yang dihuni ribuan suku bangsa,
beragam etnis dengan keyakinan dan kepercayaan yang
bervariasi merupakan salah satu contoh nyata aplikasi
kerukunan umat beragama dalam masyarakat yang plural,
dulunya. Sejarah panjang negara ini membuktikan
bagaimana seluruh penduduknya, tanpa memandang etnis
dan agama bersatu padu merebut kemerdekaan dari
cengkeraman para penjajah. Meskipun pada akhirnya
“hanya” 6 agama yang akhirnya dianggap resmi oleh
pemerintah (baca: Konstruksi Agama oleh Negara dan
Akar Konflik Kristen-Islam di Indonesia dalam situs
ini). Namun gap yang tercipta antar pemeluk agama di
Indonesia sungguh suatu hal yang amat menyedihkan.
Bukankah nenek buyut kita telah mencoba menghilangkan
gap tersebut demi mewujudkan ko-eksistensi antar umat
beragama seperti yang kita rasakan saat ini.
Sebenarnya penolakan pendirian gereja sendiri
telah terjadi berulang kali di berbagai wilayah di
Indonesia. Selain gereja Santa Clara, Ihsan Ali Fauzi dkk
telah meneliti sedikitnya 13 gereja di Jakarta dan
sekitarnya yang bermasalah dengan berbagai faktor yang
mendorong. Kebanyakan dari masalah tersebut
berhubungan dengan izin dari pemerintah dan penolakan
dari warga sekitar (baca: Isu Sengketa Rumah Ibadah).
Mungkin penyebab kedua yang tampak merintangi
pembangunan Gereja Santa Clara, karena di lain sisi,
159
pihak Walikota Bekasi, Rahmat Effendi telah memberikan
izin dan menolak mencabut izin tersebut karena memang
berbagai persyaratan telah dipenuhi dan melalui proses
yang berlaku. Pendirian Walikota tersebut diamini oleh
Kapolres Kota Bekasi, Kombes Heru Hendrianto Bachtiar,
sehingga mereka berdua menjadi sasaran kekesalan pihak
yang berunjuk rasa.
Kejadian serupa pernah saya alami di Samarinda,
tepatnya di Kel. Sei Keledang, Kec. Samarinda Seberang,
tempat saya tinggal. Kalau tidak salah ketika saya duduk
di bangku SMP, ramai pula beredar isu penolakan
pendirian gereja di kelurahan kami. Berbagai macam
alasan dikemukakan para pemuka agama, tokoh
masyarakat yang mayoritas (bila tidak ingin disebut
keseluruhan) muslim dan pemerintah setempat (ketua RT,
RW, Lurah dan Camat) untuk tidak menyetujui
pembangunan tersebut. Seorang bapak-bapak di Masjid
berkata kepada saya dengan bangganya “Kelurahan kita
paling hebat se-Samarinda. Coba bayangkan, satu-satunya
kelurahan yang didalamnya tidak ada gereja ya kelurahan
sini. Alhamdulillah”. Saya mengangguk-angguk untuk
menghormati pendapat bapak tersebut, sambil tersentil di
dalam hati. Bukankah pemeluk Kristen (khususnya
Protestan) sangat banyak di kelurahan sini? Tetangga di
komplek saja sudah lumayan banyak, belum teman-teman
disekolah. Jumlah mereka mungkin mencapai ratusan KK,
entah berapa jumlah tepatnya di sensus setempat. Apakah
jumlah ini kurang banyak untuk melegalkan satu saja
tempat ibadah umum bagi mereka? Lantas kemanakah
160
Mama Rio, Om Alfred, Yason, Erik, Marcell, Benny,
Jerika, kak Jessica, Om Yuli, Fitry, Mama Ranu, Dea
Antonius, dan teman-teman lainnya harus beribadah?
Mereka warga sini juga, bahkan akte lahir, KK dan KTP
mereka beralamat disini, apakah harus ke Harapan Baru
atau Sungai Kunjang dulu bila ingin beribadah?
Bila alasannya mengganggu ketertiban dan lain
sebagainya, saya orang pertama yang tidak setuju. Dari
kecil saya sudah biasa mendengar teman-teman
melaksanakan ibadah Sekolah Minggu di rumah Mama
Ranu yang hanya berjarak dua rumah dari rumah saya.
Bahkan sekitar bulan puasa 3-4 tahun yang lalu, ketika
kami mengadakan pengajian dan buka bersama di rumah
salah satu warga, warga yang beragama kristiani
mengadakan kebaktian di rumah Om Alfred yang berjarak
tiga rumah dari lokasi pengajian. Apakah kami terganggu?
Tidak. Kami sudah saling memahami satu sama lain.
Ketika Lebaran mereka rajin menyambangi para muslim
yang merayakan, begitupula sebaliknya ketika Natal kami
bergantian yang mengunjungi mereka. Bahkan, saat Hari
Raya Nyepi, kami satu komplek menyambangi satu-
satunya warga yang beragama Hindu, yaitu keluarga Om
Gedhe.
Begitupula bila alasan yang diberikan berupa
alasan kaum primitif (maaf saya menyebut demikian),
yaitu mayoritas-minoritas. Alasan ini pula yang mendasari
penolakan Gereja Santa Clara di Bekasi, karena warga
sekeliling mayoritas muslim, mohon dibangun di tempat
lain yang banyak warga Kristennya. Ya tidak mungkin.
161
Namanya saja minoritas, mau dimanapun di daerah
tersebut ya tetap sedikit jumlah mereka dan kebanyakan
tersebar dalam berbagai wilayah, jarang yang berkumpul
di satu tempat. Di Mamahak Teboq, Long Hubung, salah
satu desa yang terletak di Kutai Barat, desa yang lebih dari
90% warganya beretnis Dayak dan Bergama Kristen rela
adanya pendirian masjid ditengah-tengah kampung,
meskipun penduduk Muslim tidak sampai 50 KK dan
hanya berasal dari pegawai perusahaan dekat situ. Bahkan
ketika bulan puasa, difungsikan pula satu musholla yang
lebih dekat dari masjid tersebut untuk pelaksaan Shalat
Tarawih, dengan pengeras suara juga. Ketika ada pesta
pernikahan salah satu warga, mereka membuat tenda
khusus pengunjung yang beragama Islam, tentunya
dengan menu-menu yang halal menurut Islam. Memang
benar tingkat toleransi dapat diukur saat satu kelompok
menjadi mayoritas, bukan minoritas.
Saya bukan pendukung Kristen. Saya hanya miris
melihat kedua kubu (Kristen-Islam) yang makin rajin
bersitegang. Saya tidak ingin menyinggung pihak
manapun dalam hal ini. Saya menghormati keputusan
berbagai pihak yang bersangkutan, apapun agamanya.
Pembakaran Masjid di Tolikara, pembakaran Vihara dan
Klenteng di Tanjung Balai, hingga demo di Gereja Santa
Clara, akan lebih indah dan nyaman bila dibicarakan
dengan kepala dingin tanpa membawa massa. Saya
mengapresiasi keputusan Wali Kota Bekasi yang tegas
dengan keputusannya. Karena bila dikabulkan, ini bukan
keadilan yang nyata dan merupakan pengabulan karena
162
ancaman pihak mayoritas yang hanya akan menodai
kerukunan dan toleransi yang telah dibangun sejak dulu.
Jadi, sekarang yang primitif mereka yang berada
di kota besar atau kampung terpencil seperti Mamahak
Teboq yang saat itu (2012) sinyal HP masih sulit sekali?
Oh ya satu lagi, saya jadi ingin ikut Shalat Jum‟at tempat
mayoritas peserta aksi melaksanakan Sholat Jum‟at,
sepertinya khutbahnya menarik.

Yogya, Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1939/ J. Akhir


29, 1438

Sumber berita:
https://m.tempo.co/read/news/2017/03/24/214859380/gere
ja-santa-clara-bekasi-klaim-telah-penuhi-semua-
persyaratan.
https://www.vice.com/id_id/article/ricuh-di-gereja-santa-
clara-lampu-kuning-meningkatnya-intoleransi-
antar-agama
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20170324163936-
20-202562/wali-kota-bekasi-effendi-disalahkan-
soal-gereja-santa-clara

163
Bencilah Seperlunya (Note)

Minggu-minggu ini pelajaran kuliah saya


berbicara tentang pengantar Ilmu Semantik. Berbicara
tentang semantik berarti berbicara tentang tanda (sign) dan
simbol (symbol), dua hal yang serupa namun tak sama.
Tanda berkaitan erat dengan hal-hal yang referensial atau
yang memiliki referen konkret dan nyata, seperti meja,
kursi, ruang kuliah dan kendaraan. Hal tersebut berbeda
dengan simbol yang berkaitan dengan hal-hal non-
referensial dan abstrak seperti keadilan, kebenaran,
kebaikan dan keburukan. Semua hal yang menunjukkan
hal tersebut merupakan simbol dan bukannya tanda. Hal-
hal yang abstrak tersebut membutuhkan simbol untuk
dapat dipahami dan menyampaikan pesan kepada manusia
lainnya. Caranya pun bermacam-macam, sesuai dengan
kapasitas pemberi pesan dan penerima pesan.
Dalam keseharian kita sering terjebak dalam
menafsirkan simbol dan makna dari simbol itu sendiri.
Kita paham apa yang dimaksud dengan keburukan,
kebaikan, keadilan, kedhaliman dan hal-hal abstrak
lainnya. Sayangnya, kita sering terjebak pada simbol
keburukan, kebaikan, dan simbol-simbol lainnya. Kita
menganggap bahwa simbol tersebutlah kebenaran yang
hakiki, keburukan yang sesungguhnya dan lain sebagainya
hingga lupa akan makna dan inti dari pesan yang
disampaikan. Dalam bahasa mudah, kita sering terpana,
takjub dan kagum pada orang yang berbuat satu hal
kebaikan hingga menganggap semua perbuatan, perkataan
164
dan pemikirannya baik. Sebaliknya, kita membenci,
memusuhi dan mencaci mereka yang berbuat satu
kesalahan dan menganggap seluruh kehidupannya hanya
diisi dengan dosa dan keburukan. Hal yang dulu pernah
saya singgung dalam tulisan berjudul “Fans and Haters”.
Bila dalam judul terdahulu saya berbicara tentang
fanatik suka dan fanatik tidak suka, kali ini saya lebih
berfokus pada membela orang benar dan membela
kebenaran. Standar ganda yang banyak diterapkan di
masyarakat membuat kerancuan berpikir yang – menurut
saya – kronis dan menular. Dalam satu waktu, kata-kata
yang keluar dalam beberapa detik dari kumpulan pidato
berpuluh-puluh menit dapat diklaim sebagai suatu ujaran
kebencian dan pemecah belah umat dan dalam waktu yang
lain, peristiwa serupa mendapat pemakluman yang luar
biasa. Mereka berpendapat bahwa “Satu kata dari 5
lembar kumpulan pidato mengapa perlu dipermasalahkan?
Mereka saja yang syirik dan nyinyir”. Okelah bila mereka
yang memprotes dianggap kurang kerjaan, nyinyir atau
barisan sakit hati, namun fakta yang ada di lapangan
seharusnya perlu ditelisik ulang. Mereka beranggapan
bahwa merekalah orang adil dan simbol keadilan, bahkan
keadilan itu sendiri. Semua kedzaliman dan ketidakadilan
yang mereka lakukan adalah semata-mata untuk
menegakkan keadilan. Sebaliknya, semua simbol-simbol
keadilan dari orang yang “dianggap” tidak adil adalah
sebuah ketidakadilan, seadil dan seamanah apapun
mereka.

165
Ketika beberapa golongan mengalamatkan adanya
ketidakberesan dalam memfungsikan agama sebagai
landasan kebencian atau propaganda, mereka akan
mendapat label “liberal”, “sekuler” dan lain sebagainya.
Bila mereka mengkritik beberapa petinggi atau pemuka
organisasi keagamaan, mereka dianggap mencaci dan
melecehkan ulama. Bila mencari titik temu dalam dialog,
mereka dianggap mengkompromikan urusan agama dan
Tuhan. Sebaliknya, mereka mengumandangkan gaung
diskriminatif dengan dalih kenyataan, mengkritik –
bahkan mencaci – para tokoh yang berseberangan dengan
mereka dengan dalih ucapan kebenaran perlu ditegakkan
meski dengan ucapan yang mengandung kebencian dan
angkara murka. Mereka juga menghindar dari usaha
dialog dan kompromi antar elemen masyarakat dengan
tuduhan adanya upaya penggembosan dan kongkalikong
antar penyelenggara dan pihak-pihak yang terkait.
Merekalah kebenaran dan pihak lainlah ketidakbenaran.
Salah satu contoh terbaru adalah pembatalan acara
kebaktian di Stadion Kridosono, Yogyakarta yang
sejatinya diadakan pada hari ini, 20 Oktober 2017. Panitia
penyelenggara terpaksa membatalkan acara yang telah
digagas sejak bulan Mei lalu dengan alasan menjaga
menjaga keberagaman dan keamaan di tengah suasana
kota Yogyakarta yang sedang tidak kondusif. Dalam
wawancaranya, panitia menyebutkan adanya penolakan –
hingga ancaman – dari pihak-pihak tertentu dan
melampirkan surat keberatan kepada pihak yang berwajib.
Bila ingin lebih menelisik lebih dalam isu ini, niscaya
166
akan kita dapati hal-hal yang berkaitan dengan
“kristenisasi”, “majunya agama Kristen” dan ungkapan-
ungkapan penuh kebencian lainnya. Bukankah umat
mayoritas dapat melaksanakan ibadah sholat ied di
berbagai tempat umum, penyesuaian jam kerja saat bulan
puasa, mengadakan pengajian rutin, tabligh akbar dan
istighatsah tanpa ancaman? Apakah standar ini hanya
berlaku pada tertentu? Selain acara keagamaannya,
seluruhnya diklaim sebagai Kristenisasi, Hinduisasi,
Budhaisasi hingga Konghucuisasi yang otomatis akan
dilanjutkan pada Cinaisasi? Ketika mendapatkan larangan
serupa, mereka akan berkoar-koar akan adanya konspirasi
A, konspirasi B, pelemahan sendi-sendi agama, politisasi,
intrik politik dan sebagainya.
Ketika pemuka agama dan pemeluknya
menyuarakan dakwah ke jalan yang benar, maka tatkala
pemuka agama lain yang mengumandangkan hal yang
senada dengan gaya bahasa agama masing-masing akan
mendapatkan predikat “gerakan pemurtadan”. Dakwah
kepada agama atau Islamisasi adalah suatu hal yang baik
dan lazim, sebaliknya penginjilan dan gerakan evangelis
adalah suatu dosa dan pelanggaran. Pelakunya harus
dituntut secara hukum dan diberi hukuman – baik materi
maupun non materi – yang seberat-beratnya.
Mari sedikit bergeser ke bahasan lain. Saya
pribadi sebagai mahasiswa yang pernah belajar tentang
studi-studi agama dunia sering mengalami kemirisan dan
kegelisahan pribadi, entah ilmiah atau tidak. Ketika
berbicara tentang agama lain semua mahasiswa – dan
167
beberapa pengajar – segera memandangnya dari kacamata
Islam dan melabelinya dengan label “kafir” dan “kekal di
Jahannam” tanpa memerdulikan sejarah agama tersebut.
Saya tidaklah memandang agama mereka benar dan tidak
mengakui agama yang saya anut saat ini, namun dalam
studi tentang agama lain tidak dapatkah kita berbuat adil
saat mempelajari agama mereka seperti saat mempelajari
agama sendiri? Saya tidak pernah menganggap bahwa
semua agama sama atau semua agama benar, namun
berikan porsi pembelajaran yang sama bagi semuanya.
Toh, kita hanya mempelajarinya sebagai suatu mata
pelajaran dan bertujuan untuk membuka wawasan
keberagaman di dunia bukan untuk mengimani konsep
ketuhanan dan kepercayaan mereka.
Hal lain yang tak kalah menggelisahkan adalah
adanya ejekan-ejekan dan hinaan terhadap kepercayaan,
peribadatan dan konsep ketuhanan agama lain. Saya pikir
tidak perlu untuk menuliskannya di sini karena hanya
menambah panjang daftar penistaan agama yang tidak
perlu. Alasan yang diberikan saat saya menegur pun
sungguh luar biasa “Tuhannya orang kafir buat apa
dihormati, kan sudah pasti masuk neraka?”. Sungguh
jawaban yang seharusnya tidak keluar dari pikiran dan
lisan seorang mahasiswa. Tidak meyakini tataran teologis
– atau bahkan membenci- suatu agama tidak menjadi
syarat bahwa kita boleh memperolok-olok agama mereka
dan kepercayaan mereka. Mereka memang kafir sesuai
ajaran agama kita, namun ingat pula bahwa kita juga
“domba yang tersesat” bagi ajaran mereka. Mendengar
168
kata “domba” beberapa pihak dari kita akan langsung naik
pitam dan terbakar telinganya karena dianggap binatang,
tanpa pernah sadar bahwa permisalan hanyalah sebuah
permisalan. Bukankah umat mereka sendiri disebut
“domba” yang mengikuti “sang Gembala”?
Ketika oknum dari agama kita dilabeli intoleran
dan anti-kebhinnekaan, kita merespon dengan mencaci
maki mereka dan mengatakan bahwa merekalah yang
intoleran sesungguhnya. Ketika kita dengan tenang dan
khusyuk beribadah di rumah ibadah yang dapat ditemukan
setiap 500 M, mereka harus berjibaku memenuhi berbagai
syarat demi melaksanakan peribadatan dan membangun
rumah ibadah. Bilapun telah terbangun, tuduhan
permurtadan dan kristenisasi segera menghujani mereka
sehingga berujung pada pengosongan hingga
penutupannya. Semua pihak selalu merasa paling benar
dan menjadi korban sehingga halal untuk melakukan
perbuatan paling keji sekalipun dalam rangka membela
diri.
Menutup perbincangan ini, saya ingin mengutip
salah satu ayat yang secara tidak sengaja saya baca dan
sangat berkaitan dengan apa yang menjadi uneg-uneg
saya. Allah SWT berfirman:
ْ َ َ ‫َو َال َت ُس ُّب ْوا َّالذ ْي َن َي ْد ُع ْو َن م ْن ُد ْون هللا َف َي ُس ُّب ْوا‬
‫هللا َع ْد ًوا ِبغ ْي ِر ِعل ٍم‬ ِ ِ ِ ِ
)108 :‫(ألانعام‬

„Dan janganlah kamu memaki sesembahan


yang mereka sembah selain Allah, karena
169
mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa dasar pengetahuan
(QS: al-An‟aam: 108).

Senada dengan ayat tersebut adalah salah satu hadits


Rasulullah SAW yang berbunyi:

َ َّ َ َ ‫َو َع ْن َع ْبد َا َّلله ْبن َع ْمرو ْبن ْال‬


‫ أ َّن‬-‫ َر ِض َي الل ُه َع ْن ُه َما‬- ‫اص‬
ِ ‫ع‬ ِ ِ ِ ِ ِ
ُْ َ َ َ ْ َ ْ َ ‫َر ُوى َو َا َّلل ِه صل علله وولل‬
َ
‫ ( ِمن الكب ِائ ِر شتل‬:‫او‬
‫ َن َع ْل َ ُ ُّب‬:‫او‬ َ َ ‫ َو َ ْي َ ُ ُّب َا َّلر ُ ُي َو ِال َد ْ ِه؟‬:‫لي‬ َ ِ ‫َا َّلر ُ ي َو ِال َد ْ ِه‬
ِ
ْ‫ َ َ ُ ُّب ُأ َّم ُه ) ُم َّت َف ٌق َع َلله‬,‫ َو َ ُ ُّب ُأ َّم ُه‬,‫ َ َ ُ ُّب َأ َب ُاا‬,‫َأ َبا َا َّلر ُ ي‬
ِ ِ

Dari Abdullah Ibnu Amar Ibnu al-'Ash


Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Termasuk dosa besar ialah seseorang
memaki orang tuanya." Ada seseorang
bertanya: Adakah seseorang akan memaki
orang tuanya. Beliau bersabda: "Ya, ia
memaki ayah orang lain, lalu orang lain itu
memaki ayahnya dan ia memaki ibu orang
lain, lalu orang itu memaki ibunya."
Muttafaq Alaihi. (Hadits ke 1223 dalam
Kitab Kelengkapan Bab Tentang Kebaikan
dan Silahturrahim dalam buku Buluughu‟l
Maraam)
170
Jadi, berdasarkan ayat dan hadits tersebut, kita
sudah cukup menghina Tuhan kita sendiri ketika kita
menghina kepercayaan dan sesembahan orang lain
selain Allah. Karena yang demikian itu menyebabkan
mereka akan menghina Tuhan kita. Bisa jadi kita
sendiri yang menyebabkan adanya penistaan agama
tersebut?

Wallahu A‟lam Bi‟sh Shawaab.

Yogyakarta, 30 Muharram 1439/ 20 Oktober 2017

171
Belajar dari “The Imam and The Pastor”: Ketika
Agama Membawa Kedamaian Bukan Perang

Pada 10 Oktober 2017 yang lalu, diadakan kuliah


umum bertajuk “Ketika Agama Membawa Damai Bukan
Perang; Belajar dari The Imam and The Pastor” hasil
kerjasama CRCS, PUSAD, TIFA dan beberapa pihak
lainnya. Acara tersebut dihadiri langsung oleh Imam
Muhammad Ashafa dan Pastor James Wuye dari Nigeria
sebagai narasumber sekaligus tokoh inspirasi dalam film
dokumenter “The Imam and The Pastor”. Selain mereka
berdua, hadir pula Pdt. Jacky dari Maluku, Ibu Debra, Ibu
Dean dari Phillipina, Alissa Wahid dan Ihsan Ali Fauzi
dari PUSAD Paramadina.
Dilihat dari tajuk acara, agama justru diplot
sebagai suatu institusi yang acapkali melandasi dan
mendorong kekerasan bahkan perang. Berbagai kekerasan
dan perang karena perbedaan keyakinan dan latar
belakang agama sangat kental terjadi di berbagai belahan
bumi. Imam Ashafa dan Pastor James justru meyakini
kebalikannya. Bagi mereka, agama bukan hanya alasan
yang mendorong terjadinya peperangan dan kekerasan,
namun lebih jauh lagi agama merupakan institusi yang
mampu mempererat persatuan, membangun perdamaian
dan mengakhiri kekerasan dan peperangan dengan
doktrin-doktrinnya. Kekuatan agama dalam menggiring
opini dan mempengaruhi sanubari para pemeluknya jjustru
merupakan modal kuat untuk mengakhiri berbagai
perselisihan dan membina perdamaian.
172
Di awal sesi, Pdt. Jacky, Ibu Debra dan Ihsan Ali
Fauzi memberikan sambutan dari masing-masing institusi
penyelenggara dengan tema kekerasan dan perdamaian.
Mereka sepakat bahwa dasar-dasar keagamaan merupakan
landasan yang kuat untuk mempersatukan masyarakat dan
membina kedamaian yang berkepanjangan. Kedamaian
sendiri bukanlah suatu hal yang didapat secara cuma-cuma
dan tanpa pengorbanan, kedamaian harus diusahakan
tercapainya dan dijaga keutuhannya. Berbagai kekerasan
dan sentimen agama dalam kurun waktu 17 tahun terakhir
di Indonesia merupakan cerminan bahwa pemahaman
agama bangsa ini masih rendah dan seringkali dibenturkan
satu sama lain dengan politisasi pemuka-pemuka agama
yang tidak bertanggungjawab. Bangsa yang majemuk dan
beragam ini harus dihadapkan pada realitas minimnya
perdamaian antar keyakinan dan kepercayaan yang
berbeda. Namun hal ini tidak selamanya buruk. Berbagai
kekerasan dan sentimen agama tersebut membuat kita
senantiasa mencari sebab-sebab lahirnya konflik dan
sebab-sebab munculnya perdamaian. Dengan mempelajari
sebab-sebab konflik dan perdamaian, diharapkan bangsa
ini dapat mencapai perdamaian yang sesungguhnya di
masa yang mendatang, meskipun hingga detik ini
seringkali keinginan membina perdamaian berhenti
sebatas “wacana” tanpa pernah memahami dan
mempelajari sebab-sebab lahirnya perdamaian.
Pastor James membuka perbincangannya dengan
salam yang diajarkan oleh Yesus Kristus kepada seluruh
manusia “Peace Be With You” „Kedamaian dan
173
Kesejahteraan Bagimu‟ yang dalam bahasa Arab
diungkapkan dengan “Assalaamu „Alaika”. Konflik
merupakan sesuatu yang nyata adanya dan banyak hal
yang berpotensi menimbulkannya, mulai dari perbedaan
kultur, identitas, gender, kelas sosial, kelas ekonomi
bahkan agama. Permasalahan makin memuncak bila
konflik tersebut disikapi dengan tidak bijak. Menyatukan
dua pandangan yang berbeda bukanlah hal mudah, terlebih
yang menyangkut dengan perbedaan keyakinan dan
kepercayaan. Namun hal tersebut bukanlah suatu
kemustahilan. Kita dapat memulai dengan menyebarkan
cinta kasih dan mengakui kedamaian dalam ajaran agama
lain. “When you give love, you will get love. But when you
give hate, hate will follow you”. Menyebarkan cinta dan
kasih sayang juga dengan memperlakukan orang lain
secara adil dan setara.
Paradigma yang perlu dibangun adalah berbuat
baik dan adil terhadap makhluk ciptaan Tuhan merupakan
cara untuk menghormati dan berbuat adil pada Sang
Pencipta. Bila saudara kita berbuat salah, hendaknya kita
memperbaiki mereka dengan penuh kasih, penuh cinta,
menghindari kebencian, sentiment pribadi dan ungkapan
kebencian. Merujuk pada perkataan Dalai Lama, “Do No
Harm”. Perdamaian hanya akan datang dengan
pengampunan dan berbuat adil. Untuk mencapainya, perlu
adanya pemahaman terhadap pemeluk atau ajaran agama
lainnya. Bukan untuk meyakini keimanan mereka, namun
untuk menghilangkan fanatisme agama sendiri dan
menutup ruang untuk memahami pihak lain.
174
Pendapat Pastor James tersebut diperkuat dengan
argumen Imam Ashafa. Beliau menekankan bahwa Islam
merupakan agama yang mengajarkan perdamaian dan
menganjurkan pada terbangunnya kedamaian di muka
bumi. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa ayat al-
Qur‟an yang menyeru pada perdamaian dengan Ahlul
Kitab dan mereka yang tidak memiliki pengetahuan.
Kebencian dan kekerasan bukanlah cara yang diajarkan
oleh Islam. Dalam salah satu hadits, salah satu ciri seorang
muslim adalah menyelamatkan saudaranya atau orang lain
dari kejahatan mulut dan tangannya ( the evil of his tongue
and hand). Bukankah hal tersebut bertentangan dengan
berbagai ujaran kebencian dan tindakan biadab mereka
yang mengatasnamakan agama pada aksi mereka?
Rasulullah SAW juga selalu mengingatkan
pasukan muslim yang akan berperang untuk selalu
menjaga situs-situs keagamaan, simbol-simbol
keagamaan, tempat-tempat suci, tidak menyakiti para
pemuka agama dan orang-orang suci dan tidak
mengganggu ibadah pemeluk agama lain. Di hadits lain,
Rasulullah SAW juga menekankan salah satu syarat
seorang muslim dapat masuk surge adalah dengan
menyebarkan salaam kepada sesamanya ( ‫)افشوا السالم بينكم‬.
Arti kata “salaam” terlalu sempit bila hanya diartikan
memberi ucapan salam. “Salaam” berarti kedamaian dan
kesejahteraan bagi seluruh makhluk di dunia. Sebuah
ungkapan yang senada dengan salam yang diajarkan
Yesus pada permulaan pembicaraan Pastor James.

175
Membangun perdamaian antar agama bukanlah
hal mudah. Saat ini cita-cita mulia tersebut harus
menghadapi banyak rintangan dan tantangan, antara lain
tuduhan mengkompromikan ajaran agama tertentu,
tuduhan sebagai pengkhianat agama atau munaafiq,
dihadapkan pula pada mayoritas yang diam (silent
majority), dan potensi kesalahan penafsiran dan
interpretasi ayat-ayat suci, baik karena tidak adanya ilmu
yang memadai, maupun karena ulah jahil dan keserakahan
para pemuka agama. Sebab terakhir inilah yang
belakangan justru sangat kuat. Para pemuka agama
tersebut menjual ayat-ayat suci Tuhan dengan harga yang
murah dan sesuai keinginan mereka untuk meraup
keuntungan pribadi. Mereka menghalalkan yang haram
dan mengharamkan yang halal demi mencapai tujuan
mereka. Selain itu, membina perdamaian antar agama
bukanlah sebuah upaya pluralisme atau altruisme. Imam
Ashafa dan Pastor James menjelaskan dengan gamblang
bagaimana keyakinan mereka masing terkait Nabi Isa as,
Yesus, Maria, Tuhan Yang Maha Esa dan berbagai
masalah pada tataran teologis lainnya. Mereka meyakini
ajaran agama mereka masing-masing dan menghormati
ajaran agama lain yang tidak sejalan, bukan justru
membentur-benturkan dan berdebat satu sama lain demi
mencari agama yang paling benar. Bukankah semua
agama benar menurut pemeluk dan anggapan mereka
masing-masing?
Memori peperangan yang menimbulkan kesedihan
dan trauma mendalam dalam hati kedua tokoh tersebut
176
membuat mereka giat membina perdamaian di berbagai
belahan bumi. Kurang lebih 25 tahun mereka bahu
membahu menyebarkan perdamaian dan mengakhiri
peperangan. Imam Ashafa telah kehilangan sepupunya di
tangan milisi Pastor James, sebaliknya Pastor James harus
rela kehilangan tangan kanannya saat berhadapan dengan
pasukan milisi pimpinan Imam Ashafa. Memori akan
pedihnya peperangan dan indahnya perdamaian membuat
mereka memperdalam ajaran cinta yang sesungguhnya
dari agama masing-masing. Mereka saling mencintai
karena Tuhan dan membenci karena Tuhan. Bila ada satu
hal yang buruk pada saudara kita, hendaknya kita
membenci perbuatannya yang salah dan bukannya
membenci semua sisi pada dirinya.
Last but not least, morality without spirituality
will be failed as they practiced before. Religion is not the
problem that caused many violences and wars. The real
problem is the drunken driver who drives it for his greed
or political interests. From now, lets engage the universe
based on our religion‟s teaching about love.

Afsyuu‟s Salaam Bainakum and Peace Be With You

Yogyakarta, 25 Muharram 1439

177
TENTANG PENULIS

Yuangga KY lahir di kota Tanjung Redeb,

Kab. Berau 24 tahun silam. Saat ini berdomisili di

Samarinda. Penulis menyelesaikan pendidikan

formalnya di sebuah intitusi swasta di Jawa Timur,

sekaligus menamatkan jenjang perguruan tinggi di

tempat tersebut. Saat ini menempuh program

lanjutan di Yogyakarta. Memiliki hobi mengetik apa

saja atau sekedar mendengar suara hentakan papan

tuts komputer atau mesin ketik manual.

178

Anda mungkin juga menyukai