Agama Dan Mas Yara Kat Covered
Agama Dan Mas Yara Kat Covered
2
Agama & Masyarakat: Kumpulan Refleksi Tentang
Praktik Agama dalam Masyarakat
Penerbit
Yuangga K Yahya
http://yuangga4.blogspot.co.id
yuangga4@gmail.com
Desain Sampul:
Yuangga K Yahya
Diterbitkan melalui:
www.nulisbuku.com
3
Kata Pengantar
Puja dan Puji syukur senantiasa dipanjatkan
ke hadirat Tuhan semesta alam, Yang Maha Perkasa
dan Maha Segalanya, Allah SWT yang tak pernah
berhenti melimpahkan nikmat dan karuniaNya
kepada seluruh hambaNya. Tanpa kuasa dan
kehendakNya, tak akan bermanfaat ilmu sebesar
gunung Merapi dan Merbabu, sebaliknya ilmu
sekecil telur semut akan dapat memberikan manfa’at
yang luar biasa bila Ia berkehendak. Hanya dengan
pertolonganNya, penulis dapat menyelesaikan buku
“Agama & Masyarakat: Kumpulan Refleksi Tentang
Praktik Agama dalam Masyarakat” sesuai waktu yang
ditentukan meski harus mencuri-curi waktu di sela
kesibukan yang seringkali melalaikan penulis.
Terima kasih juga diberikan kepada seluruh
pihak yang turut memberikan dukungan dan
masukan dalam penulisan artikel-artikel dan
penyusunan buku ini, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Tanpa mereka semua, tidak akan
pernah ada ide untuk direnungkan, kemauan untuk
menyalakan laptop, semangat untuk menulis, gairah
untuk mempublikasikannya dalam blog pribadi dan
hasrat untuk menyusunnya dalam satu buku. Bagi
kalian semua, semoga Allah SWT membalas semua
kebaikan dengan kebaikan yang berlipat-lipat
ganda. Amin.
4
Buku ini merupakan kumpulan makalah,
resume, refleksi dan tulisan-tulisan kecil dari mata
kuliah Teori Agama dan Masyarakat, Studi Agama
Kontekstual, Dialog Antar Agama, dan Studi Agama
Lanjut di Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta.
Semua tulisan dirasa sayang untuk dibuang begitu
saja. Karenanya, penulis berinisiatif untuk
membukukan dalam satu buku untuk memudahkan
pemanfaatannya.
Penulis menyadari bahwa tulisan-tulisan
berikut masih amat jauh dari kata sempurna atau
bahkan layak untuk dikonsumsi oleh khalayak.
Karenanya, saran dan kritik amat dinantikan oleh
penulis demi perbaikan dan pengembangan diri
penulis sendiri. Semoga tulisan ini mampu
bermanfaat bagi pembaca, khususnya bagi penulis
sendiri.
Penulis
5
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ............................................................. 3
Daftar Isi ..................................................................... 5
7
8
“The purpose of religion
is to control yourself,
Not to criticize other”
Dalai Lama
9
Bagian I
Konstruksi Agama
15
Dalam penelitian tersebut, ia mendapati bahwa
upacara dan ritual adalah stimulan yang memunculkan
perasaan-perasaan keagamaan (bukan dari momen
yang bersifat pribadi).
Seperti dijelaskan di poin sebelumnya tentang
esensi pemujaan tersebut yang mengedepankan
kepentingan ritual dari “Tuhan” itu sendiri. Maka
dapat dikatakan bahwa fungsi ritual jauh lebih penting
dari pada keyakinan yang ada, dan ritual-ritual
keagamaan pasti akan merefleksikan dan memperkuat
perasaan dalam suatu kelompok. Pendek kata, agama
adalah refleksi bagi penganutnya.
B. Peter L Berger dan Teori Konstruksi Sosial
a. Biografi Peter L Berger
Peter Ludwig Berger merupakan seorang teolog
dan sosiolog. Ia lahir pada 17 Maret 1929 di Wina,
Austria. Setelah perang Dunia II berakhir, Berger
bersama keluarganya pindah ke Amerika. Ia lulus dari
Wagner College pada tahun 1949 dengan gelar
Bachelor of Arts. Kemudian ia melanjutkan
sekolahnya di New School for Social Research di
New York dan mendapat gelar M.A. (1950) dan Ph.D.
(1952). Berger menikah dengan Brigitte Kellner pada
28 September 1959 dan dikaruniai dua orang anak,
Thomas Ulrich dan Michael George.
Perjalanan karir Berger dimulai dari tahun 1955-
1956, ia bekerja di Evangelische Akademie di Jerman.
Pada tahun 1956-1958, ia menjadi profesor muda di
16
Universitas North Carolina. Berger kemudian menjadi
profesor di New School for Research, Universitas
Rutgers, dan Boston College. Sejak tahun 1981 ia
menjadi profesor Sosiologi dan Teologi di Universitas
Boston. Ia juga membangun sebuah institut Studi
Kebudayaan dan Ekonomi yang sekarang menjadi
bagian dari Universitas Boston. Ia menjadi direktur
institut ini dari tahun 1985 hingga 2010.
Beberapa karya Berger yang terkenal adalah
Invitation to Sociology: a Humanistic Perspective
(1963), The Social Construction of Reality (1966)
yang ditulisnya bersama Thomas Luckmann, dan A
Rumor of Angels: Modern Society and Rediscovery of
the Supernatural (1969). Ia mendapatkan penghargaan
Doktor Honoris Causa dari Universitas Loyola,
Universitas Notre Dame, Wagner College, Universitas
Jenewa, dan Universitas Munich. Pada tahun 2010,
Berger mendapat penghargaan Dr. Leopold Lucas
yang diberikan oleh Universitas Tübingen.
b. Teori Konstruksi Sosial
Menurut Berger, dari segi sosiologi, agama
adalah suatu universum symbolicum, dimana manusia
memersatukan lembaga-lembaga dan memberi suatu
legitimasi untuk lembaga-lembaga itu. Fungsi
sebagai universum symbolicum ini selain agama, juga
dapat diperoleh dalam mitos dan ideologi (kadang
juga ilmu pengetahuan). Dengan pernyataan ini,
Berger tidak mengatakan bahwa agama hanyalah
universum simbolicum. Agama memang juga
17
mempunyai fungsi lain misalnya sebagai dasar
terakhir (ultitum cur atau ultimate concern) dari
manusia, tetapi ini bukan kompetensi sosiologi,
melainkan falsafat dan terutama teologi, yang berada
di luar jangkauan ilmu pengetahuan.
Menurut Berger proses-proses konstruksi sosial
dan agama dimulai dengan definisi tentang diri (self)
sebagai peranan. Dalam menerangkan ini, Berger
menggunakan pendekatan dialektis, untuk
menjelaskan bagaimana hal rohani menciptakan hal
mengada. Istilah mengada disini adalah “mengada
sosial (social being, mengikuti Marx). Berger
menjelaskan bagaiamana hal mengada yang disebut
realitas ini diciptakan secara rohani. Konstruksi
sosial mengenai kenyataan bermula dari pikiran. Bila
Marx menjelaskan bagaimana matter menciptakan
mind, maka Berger sebaliknya bagaimana mind
menciptakan matter. Dengan asumsi falsafi ini
Berger menjelaskan bagaimana suatu kenyataan
dikonstruksi secara sosial, lewat institusionalisasi,
legitimasi dan conceptual machineries of universe
maintenance.
Kesimpulan
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa
agama dan magis berbeda, karena magis merupakan
instrumen menuju agama. Dan fungsi sosial agama
adalah sebagai aturan normatif yang secara sosial
melegitimasi tindakan sosial/nilai sentral yang
18
berperan dalam sebuah sistem sosial dan memaksa
individu menempatkan kepentingannya dibawah
kepentingan umat (bersama).
Adapun Peter L. Berger berkesimpulan bahwa agama
dan konstruksi sosial bermuladari pikiran atau bagaimana
mind menciptakan matter, berkebalikan dengan Marx
yang menjelaskan bagaimana matter menciptakan mind.
19
Daftar Pustaka
20
21
Mencari Makna Agama
(Menurut Wilfred Cantwell Smith)
Pendahuluan
Bermula pada tahun 622 M, Kristen mendapatkan
tantangan nyata dari agama yang lebih muda dan lebih
giat, yaitu Islam. Kedua agama ini di samping memiliki
beberapa kesamaan, di sisi lain memiliki perbedaan yang
amat mencolok dari sisi teologis. Inilah yang membuat
banyak orang Kristen yang menganggap Islam merupakan
bid‟ah Kristen. Umat Islam pun menyangkal hal ini,
karena mereka menganggap agama mereka adalah wahyu
terbaru dari Allah dan merupakan agama paling sempurna
dengan kitab sucinya yang terlengkap. Dari sini mulai
terjadi ketegangan antara keduanya disebabkan sikap
eksklusif kedua belah pihk, yang di kemudian hari
menjadi salah satu faktor penyebab pecahnya Perang Salib
(1096-1291).
Pada masa inilah, para pemikir Kristen modern
mulai bermunculan, salah satunya adalah Karl Barth
dengan tawarannya bahwa teologi Kristen merupakan
suatu pandangan yang ekslusif dan tidak mengenal
kompromi mengenai pewahyuan diri Allah dalam Yesus
Kristus. Namun pada akhirnya, teori ini justru semakin
meruncingkan perbedaan dan perselisihan antara Kristen
dan penganut agama lain. Akhirnya, Wilfred Cantwell
Smithmuncul dan memberikan teori sebagai solusi dari
kekacauan yang ada. Ia berpendapat bahwa untuk
22
menyelesaikan masalah tersebut, perlu dikaji pemahaman
masing-masing pemeluk agama terhadap makna
agamanya.
Biografi Wilfred Cantwell Smith
Wilfred Cantwell Smith adalah salah seorang
tokoh orientalis yang dilahirkan di kota Toronto, pada
tanggal 21 Juli 1916. Smith adalah seorang ahli dalam
bidang studi perbandingan agama. Smith merupakan
seorang sejarawan agama yang memiliki pengalaman
langsung dengan berbagai macam agama. Ia
jugamerupakan seorang profesor dalam perbandingan
agama di Universitas Harvard USA. Ia mendapat gelar
B.A. dari Universitas Toronto pada 1938. Ketika tesisnya
ditolak oleh Universitas Cambridge, ia dan istrinya,
Muriel Mackenzie, tinggal di India selama tujuh tahun
(1940-1946). Di sana ia mengajar mata kuliah “India dan
Sejarah Islam” di Forman Christian College di Lahore.
Setelah mendapat gelar Ph.D. di Universitas Princeton,
Smith kemudian mendirikan Institut Studi Islam di
Universitas McGill pada tahun 1949-1951. Pada tahun
1964 Smith menjadi direktur Harvard University‟s Center
for the Study of World Religions.
Pada tahun 1973 ia pindah ke Halifax, Nova
Scotia, untuk mendirikan Departemen Perbandingan
Agama di Dalhousie University. Kemudian ia kembali ke
Harvard pada tahun 1978 untuk mengawasi
pengembangan program agama dalam fakultas seni dan
ilmu. Pada tahun 1984, Harvard mengangkatnya sebagai
23
Profesor Emeritus Kajian Perbandingan Agama. Pada
tahun 1978, ia mendapat doktor honoris causa dari
Universitas Concordia. Setelah pensiun mengajar, ia
kembali ke kota asalnya pada tahun 1985, dan diangkat
sebagai Senior Research Associate di Fakultas Teologi di
Trinity College, Universitas Toronto. Smith
meninggalpada tanggal 7 Februari 2000 di usia 84 tahun
dengan meninggalkan seorang istri, lima orang anak, dan
sepuluh orang cucu.
Karya-karya Smith antara lain adalah: The Muslim
League, Pakistan as an Islamic State: Preliminary
Draft, Islam in Modern History: The tension between
Faith and History in the Islamic World, The Meaning and
End of Religion,Modern Islam in India: A Social Analysis
The Faith of Other Men, Questions of Religious Truth,
Religious Diversity: Essays, Belief and History, On
Understanding Islam: Selected Studies, dan lain
sebagainya.
Bentuk Agama Sebelum Lahirnya Teori ini
Seperti disinggung di atas, agama-agama di dunia
banyak yang menerapkan pemahaman eksklusivime dalam
memahami agama mereka. Yaitu tidak ada keselamatan di
luar agama mereka (Extra Ecclesiam Nulla Salus) dan
agama merekalah agama yang paling benar dan sesuai
dengan apa yang diinginkan Tuhan. Paham ini ternyata
menemui tantangan yang serupa dari agama-agama lain
sehingga timbullah “saling klaim kebenaran” antara
agama tersebut, sehingga melahirkan banyak pertikaian
24
dan pertumpahan darah antar orang-orang – yang
notabene – beragama.
Pencarian Makna Agama
Wifred C Smith menanggapi sikap ekslusivisme
Kristen dan dampak buruknya pada keharmonisan antar
umat beragama di dunia dengan memberikan solusi, yaitu
dengan cara memahami dan menambah keyakinan bahwa
agama merupakan sumber nilai kebaikan untuk keutuhan
hidup dan kehidupan manusia. Berbeda dengan para
pengkaji modern yang cenderung memisahkan agama dari
kehidupan nyata (profan). Agama hanya dimaknai sebagai
ritual yang terbatas pada penyembahan secara sempit.
Sehingga agama seolah-olah tidak menyentuh kehidupan
duniawi. Menurutnya, agama merupakan penopang
semangat dan sumber inspirasi dan kreasi hidup manusia.
Karena dibalik yang “Nyata” terdapat yang “Metafisis”
dan justru sebagai ikon penting yang harus diperhatikan
manusia. Dengan seperti itu, manusia akan menemukan
“makna” agama yang semestinya.
Dikotomi antara Yang Sakral dan Yang Profan
adalah definisi agama yang tidak mencakup seluruh
agama-agama di dunia. Dikotomi ini lebih berlaku kepada
agama Barat dan tidak kepada agama serta kultur yang
berpandangan universisme, seperti Tao, Konghucu dan
Shinto dimana kehidupan religius berhubungan secara
harmonis dengan tatanan alam dan manusia (Dhawamony,
1995: 71).
25
Selama di Harvard dan McGill, ia mengumpulkan
para mahasiswa dan staf pengajar dari berbagai
agamauntuk menguji teologi mereka masing-masing
dalam rangka menyusun teori-teori yang dapat diterima,
baik oleh orang Yahudi maupun oleh penganut agama
Budha, baik orang Islam maupun Kristen dan juga
meyakinkan tradisi akademis. Hal ini semata-mata karena
pengakuaannya bahwa pengalaman dunia menyangkut
agama sedang memasuki tahapan baru – Pluralisme
agama. Syarat utama pluralisme adalah setiap individu
diminta untuk memahami tradisi-tradisi keagamaan lain di
samping tradisi keagamaan sendiri. Karena membangun
teologi di dalam benteng satu agama sudah tidak relevan
lagi. Seperti pada masa lampau para Teolog Kristen
merasa perlu untuk membangun teologi dalam terang
filsafat Yunani atau perkembangan ilmiah, maka dewasa
ini,perlu dalam terang agama-agama lain di dunia, karena
pembaca teologinya tidak terbatas pada orang kristen
saja(Coward, 1989: 61).
Smith mengawali pernyataannya dengan
menjelaskan adanya implikasi moral dan implikasi
konseptual wahyu Kristen. Pada tingkat moral wahyu
Allah dalam Kristus menghendaki rekonsiliasi dan rasa
kebersamaan yang dalam: “Kita harus berusaha
menghilangkan hambatan-hambatan, menjembatani
perbedaan-perbedaan, mengakui semua orang sebagai
sesama dan anak-anak Allah Bapa, yang sedang berupaya
menemukan Dia. Maka ia menekankan bila pernyataan-
26
pernyataan teologis dirumuskan, maka pernyatan tersebut
jangan sampai memungkinkan orang-orang Kristen
mengabadikan sikap “kami” dan “mereka” yang menjadi
sumber sikap ekslusif di masa lampau. Karena sikap
tersebut merupakan keangkuhan dan bukan kerendahan
hati yang diajarkan Kristus dan benar-benar tidak
bermoral. Dari segi moral sesungguhnya mustahil
mendatangi dunia dan berkata kepada sesama orang saleh
dan cerdas “kami diselamatkan dan anda dihukum”, atau
“kami yakin kami mengenal Tuhan yang sesungguhnya
dan kami benar, sedang anda sama sekali keliru”. Pun
sungguh tidak bermoral bila iman dapat goyah oleh
tindakan Allah menyelamatkan sesama atau takut kalau-
kalau orang lain ternyata lebih dekat dengan Tuhan
daripada yang kita duga. (Coward, 1989: 61-62)
Ia menolak sikap teologi ekslusif karena
melanggar ajaran cinta kasih Kristen. “Apabila wahyu
Kristen tidak benar, maka ada kemungkinan untuk
membayangkan bahwa Tuhan membiarkan penganut
agama lain untuk mematuhi-Nya tanpa uluran tangan-Nya.
Namun, Dia adalah Tuhan sebagaimana yang telah
diwahyukan oleh Kristus, maka orang lain memang hidup
di hadirat-Nya, begitupula orang Kristen.
Dalam bukunya “The Meaning and End of
Religion”, ia menjelaskan bahwa penggunaan teologi yang
ekslusif mengakibatkan agama orang lain dipandang
sebagai penyembah berhala dan menyamakan Tuhan
mereka dengan dewa, atau dengan bahasa lain “Allah
27
agama-agama lain adalah berhala”. Inilah bentuk
keangkuhan agama yang dimaksud. Padahal pada
hakekatnya, semua agama mengarah pada tujuan akhir,
yaitu Allah(Madjid, 2001: 81)
Ia merasa pemahaman agama inilah yang
diperlukan jika ingin berlaku adil terhadap dunia tempat
kita hidup dan mengenal Allah sebagaimana yang di
wahyukan oleh Kristus. Apapun agamanya, hendaknya
dipahami sebagai suatu perjumpaan yang penting dan
berubah-ubah antara Yang Ilahi dan manusia. Maka, visi
baru agama-agama di dunia dilandasi oleh pemahamannya
mengenai cara kita untuk sampai pada pengetahuan,
karena di dunia nyata, kita menemukan Tuhan, dunia kita
dan diri kita sendiri. Kita tidak dapat mengenal satu sama
lain kecuali dalam kebersamaan, atas dasar rasa hormat,
kepercayaan, persamaan, dan kasih timbal-balik. Kita
harus mengalihkan pandangan mengenai penganut agama
lain sebagai “jauh” dan “lain” menjadi pendangan
mengenai mereka sebagai sesama anggota yang sederajat
dari komunitas keagamaan di seluruh dunia. Tidak ada
lagi “kita” dan “mereka”, karena pada akhirnya kita semua
satu. Dan akhirnya, teologi Kristen yang sejati muncul
ketika kita melihat dan mengenal diri kita sendiri sebagai
peserta dalam satu komunitas dunia yang meliputi semua
agama lain (Coward, 1989: 61-65).
Dari penjabaran di atas, ia pun memberikan
makna agama yang baru. Baginya agama adalah hasil
pembentukan konteks sejarah dan budaya yang berlainan,
28
masing-masing boleh meyakininya sebagai asli akan tetapi
ia adalah kefahaman tentang Tuhan yang tidak sempurna
(Hamka,2015: 599).
Kesimpulan
Menurut Wilfred C Smith, sikap para pemeluk
agama yang cenderung bersifat eksklusif dan dogmatis
dalam mengklaim kebenaran agamanya, telah berdampak
buruk terhadap keharmonisan antar umat beragama. Oleh
karena itu, ia berpendapat bahwa pluralisme adalah jalan
keluar dari masalah intoleransi beragama ini. Dengan
pluralisme tersebut, Smith ingin menyamakan perbedaan-
perbedaan yang mendasar tentang agama. Ia berpendapat
bahwa pada hakekatnya, semua agama mengarah kepada
tujuan akhir yang sama, yaitu Allah (Tuhan), dan puncak
atau tujuan akhir seorang pemeluk agama adalah
kesalehan personal atau individu itu sendiri. Dengan
adanya paham pluralisme agama, setiap pemeluk agama
tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang
benar, sedangkan agama yang lain salah.
29
Daftar Pustaka
Coward, Harold. 1989. Pluralisme Tantangan bagi
Agama-Agama. Terj. Pluralism, Challenge to
Worlds Religion. Yogyakarta: Kanisius.
Dhawamony, Mariassusai. 1995. Fenomenologi Agama.
Yogyakarta: Kanisius.
Hamka. 2015. Tafsir al-Azhar, Jilid I. Jakarta: Gema
Insani Press.
Madjid, Nurcholis. 2001. Pluralitas Agama Kerukunan
dalam Keragaman. Jakarta: Penerbit Kompas.
Williams, Cyrill G. 1992. Basic Themes in the Comparatie
Study of Religion. USA: The Edwin Mellen
Press.
30
31
Konstruksi Agama oleh Negara di Indonesia
Pendahuluan
Agama adalah bagian penting dalam kehidupan
manusia sejak.Dari masa ke masa, definisi tentang agama
semakin berkembang. Akan tetapi, pendefinisian agama
mengalami penyempitan ketika menyangkut negara.
Disini penulis akan memaparkan tentang definisi agama
dalam kontruksi Negara Indonesia yang telah melegalkan
enam agama yang sah secara Undang-Undang dan
Peraturan Pemerintah Negara Indonesia.Selain itu,
dipaparkan pula berbagai regulasi agama dari masa
penjajahan Belanda hingga masa Orde Baru.
Adalah Michel Picard dan Rémy Madinier yang
mencoba meneliti tentang perkembangan agama di
Indonesia. Michel Picard adalah seorang politisi yang
berasal dari Kanada, sedangkan Rémy Madinier adalah
seorang peneliti dan diplomat yang berasal dari Prancis.
Keduanya berpandangan bahwa penyebaran agama-agama
dunia pada Abad XIX di Asia mendesak agama-agama
lokal untuk mengikuti persepsi agama menurut agama-
agama Semitik/Abrahamic Religion. Para pembaru agama
tersebut menekankan rasionalitas dan ajaran agama sesuai
dengan doktrin mereka, mengutuk takhayul-takhayul
kosong, dongeng-dongeng leluhur dan membersihkan
agama dari adat setempat, termasuk kasus yang terjadi di
Indonesia.
32
Definisi Agama
Secara bahasa, agama berasal dari bahasa
Sansekerta diambil dari suku kata “a” yang berarti tidak,
dan “gama” yang berarti kacau. Jadi, agama memiliki
makna tidak kacau atau adanya keteraturan dan peraturan
untuk mencapai arah atau tujuan tertentu.Sedangkan
menurut KBBI, agama adalah sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa, serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dengan manusia dan
lingkunganya.
Dalam perkembanganya, definisi terhadap agama
semakin menyempit dan lebih memiliki konsep yang
jelas. Dari awalnya definisi agama yang sangat luas
seperti yang telah diungkapkan oleh tokoh Edward
Burnett Tylor yang mendifinisikan agama sebagai
kepercayaan terhadap kekuatan supranatural dan
memandang agama mirip dengan magis, lalu terdapat
pendapat lain dari James George Frazer yang
memandang magis merupakan jalan menuju agama.
Setelah itu, pengertian agama yang lebih mengerucut
berkembang lagi seperti yang dikemukakan oleh
Sigmund Freud dan Karl Marx, keduanya mendefinisikan
agama sebagai kepercayaan kepada Tuhan (keyakinan
Monoteisme) meskipun sekedar permukaannya saja.
33
Regulasi Agama di Indonesia
A. Kebijakan Agama Pada Zaman Kolonial Belanda
34
Problematika keagamaan pada saat itu berfokus pada
agama Islam dan Kristen, hal ini disebabkan oleh fakta
bahwa pemerintahan Belanda beragama Kristen,
sedangkan para pemimpin pribumi kebanyakan beragama
Islam. Oleh karena itu, keberadaan agama di luar kedua
agama mayoritas tersebut, terutama kepercayaan atau
agama-agama suku yang merupakan minoritas dan
letaknya yang terisolasi, menjadi marjinal. Tidak ada
kebijakan netral agama terhadap golongan masyarakat
dengan agama dan kepercayaan suku tersebut. Pemerintah
melarang beberapa praktik ritual mereka. Hal ini ditujukan
agar mereka memilih agama Islam atau Kristen. Eksistensi
mereka yang secara politis tidak dianggap penting
ditujukan sebagai kontestasi penyebaran agama mayoritas.
B. Politik Agama Zaman Jepang
35
C. Politik Agama Pada Masa Orde Lama dan Orde Baru
38
diatas kekuatan manusia dan kedua, kehidupan dan
perilaku keseharian yang sejalan dengan ajaran yang ada.
Menurut sejarah lahirnya istilah religio di
Romawi,religio adalah traditio. Oleh karenanya,
masyarakat yang berbeda, memiliki tradisi yang beragam
begitupula dengan agama mereka. Maka tidak dapat
dikatakan suatu adat/budaya lokal suatu daerah salah bila
dilihat dari perspektif budaya lain. Kemudian seiring
berkembangnya zaman, Kristen muncul dengan klaim
“agama paling benar” di antara agama-agama yang
mereka anggap agama maju (Islam dan Yahudi). Mereka
hanya mengakui agama yang sudah maju sebagai suatu
agama dan mengesampingkan agama-agama lokal dan
primitif. Selanjutnya, para sarjana Barat hanya mengakui
agama-agama tertentu sebagai suatu agama. Agama
tersebut diakui karena dianggap memiliki kesamaan
dengan Kristen, yaitu: memiliki struktur ajaran yang
formal dan doktrin yang telah sempurna (tidak berubah-
ubah), memiliki kitab yang berasal dari wahyu, memiliki
hierarki pemuka agama dan terikat dengan ibadah
berjamaah. Oleh karena itu, mereka tidak menganggap
agama primitif dan animisme sebagai sebuah agama.
Seluruh “religi” dan kepercayaan lokal atau
percampuran suatu agama dengan budaya lokal
(sinkretisme) dianggap penyimpangan dan tidak dapat
diakui sebagai suatu “agama”. Padahal, dengan
menyatukan unsur – unsur agama dan budaya dan adat
setempat, suatu agama dapat diterima oleh seluruh lapisan
39
masyarakat dan dapat bertahan lama, contohnya
penyebaran Katolik di Jawa oleh Franciscus Van Lith
pada akhir Abad XIX.Ia mencampurkan Katolik dengan
budaya-budaya lokal (Jawa) mengambil pelajaran dari
kegagalan penyebaran Protestan yang mencoba
menjauhkan masyarakat Jawa dari akar budaya mereka.
Terbukti, pada 1904, sekitar 171 orang dibaptis dan
menjadi pemeluk Katolik pertama di Jawa dan pada 1940,
Mgr. Soegijopranoto menjadi uskup pribumi pertama di
Indonesia.
Adapun contoh nyata dari pembersihan unsur
budaya lokal dari “agama” terlihat pada Islam dan Hindu.
Tidak seperti Islam tradisionalis (abangan) yang lebih
akomodatif terhadap nilai-nilai adat dan budaya asli
Indonesia, gerakan Islam yang reformis dan modernis,
dalam konteks ini gerakan modernis Islam seperti
Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah mencoba
mengembalikan Islam Jawa (abangan) ke arah Islam yang
seharusnya. Pada praktiknya, NU sendiri hanya sedikit
sekali memberikan perhatian pada adat, perilaku Kejawen,
pengkultusan roh-roh leluhur dan ritual-ritual pra-Islam. Ia
berpendapat bahwa NU lebih dekat pada proses Islamisasi
Islam Kejawen daripada melestarikan atau
mengakomodasi budaya-budaya lokal.
Masalah serupa juga dialami oleh pemeluk Hindu
di Bali. Proses perubahan “Agama Hindu Bali” menjadi
“Agama Hindu” merupakan salah satu usaha pemeluk
Hindu di Bali untuk mendapat pengakuan dari pemerintah
40
Indonesia, dalam konteks ini KAGRI. Meskipun esensi
dan sistem kepercayaannya sama, namun ritual dan
upacara pemeluk Hindu di Bali sudah dipengaruhi budaya
lokal dan jauh berbeda dengan Hindu Dharma di India.
Adapun KAGRI hanya menerima agama yang sesuai
dengan ajaran murninya tanpa campuran budaya lokal.
Inilah yang disebut juga perubahan dari Orthopraxy
(praktek yang benar dari ajaran yang benar/menerima
budaya leluhur) menjadi Orthodoxy (ajaran yang diayakini
sebagai yang benar dan yang digali terutama lewat daya
penalaran/kepatuhan terhadap ajaran normatif). Dengan
bahasa lain, seluruh “agama” di Indonesia sedang
mengalami Parochialisme (pengembalian ke bentuk
asalnya) tanpa tersentuh dengan budaya-budaya lokal.
Proses ini melahirkan pandangan yang sempit akan makna
“agama”, yang subyektif/self perspective dari agama-
agama mayoritas karena hanya mengakui “agama” yang
sesuai dengan Orthodoksinya. Pendek kata, pergeseran
orthopraxy ke orthodoxy menciptakan diskriminasi antara
tradisi yang benar dan tradisi yang salah, yang
menunjukkan menyempitnya definisi agama. Inilah yang
memaksa para pemeluk Sapta Dharma, Ahmadiyah,
Pangestu, Sumarah, HKBP, Saksi Yahuwa, agama Suku
Dayak, Darul Arqam dan kepercayaan lainnya untuk
meninggalkan ajaran mereka dan bergabung dengan
“agama” yang ada atau tidak mendapatkan haknya sebagai
warga negara.
41
Menurut Picard dan Madinier, abangan memiliki
implikasi yang besar terhadap politik keagamaan di
Indonesia. Religionization yang terjadi diharapkan dapat
mengembalikan bentuk Islam ke bentuk yang lebih
normatif, universal, dan dipercayai oleh seluruh pemeluk.
Faktanya, amat sulit menciptakan suasana muslim
Indonesia yang homogen karena negeri ini sudah terkenal
dengan pluralitas budayanya. Sinkretisme yang terjadi
merupakan bentuk akomodasi adat (custom) dan budaya
(culture).
Kesimpulan
Dengan adanya pembatasan definisi agama,
agama yang merupakan kepanjangan tangan dari adat,
budaya, hukum dan berbagai wewenang politik akhirnya
menjadi kepanjangan tangan dari negara dan dikonstruk
sesuai keinginan negara. Penyempitan makna agama
berdasarkan keinginan negara kemudian membuat agama-
agama harus meninggalkan budaya lokal karena dianggap
menyimpang dari agama yang murni. Hal ini
menyebabkan terjadinya diskriminasi antara tradisi yang
benar dan tradisi yang salah, padahal tidak ada tradisi
yang salah. Picard dan Madinier menganjurkan agar
seluruh agama di Indonesia menyatu dengan adat dan
budaya budaya setempat (sinkretis) untuk mengembalikan
makna “agama” sebagai traditio..
42
Daftar Pustaka
Imron, Ali. 2015.Sejarah Terlengkap Agama-Agama di
Dunia dari Masa Klasik Hingga Modern.
Yogyakarta: IRCiSod.
Picard, Michel dan Remy Madinier (eds). 2011. The
Politics of Religion in Indonesia.New York:
Taylor and Francis Group
Saidi, Anas. 2004. Menekuk Agama, Membangun Tahta:
Kebijakan Agama Orde Baru. Jakarta Selatan:
Desantara Utama.
Setyo, Bambang. 2011. Telaah Kritis Dasar Falsafah
NKRI dalam perspektif Islam. Jakarta: FSMPS.
43
44
“Terrorism has no religion,
terrorists have no religion
And they are friends of no religion”
Manmohan Singh
45
Bagian II
Problem Kontekstual Agama
46
Orientalisme merupakan disiplin ilmu yang unik
karena berangkat dari dogma teologi agama mayoritas di
Barat, Kristen dan memiliki cabang dari berbagai disiplin
ilmu yang berbeda, mulai dari sejarah, bahasa, sastra,
filsafat hingga ranah teologi. Berikut akan dipaparkan
definisi orientalisme, sejarah singkatnya dan beberapa
faktor yang melatarbelakanginya. Tak lupa penulis
menambahkan beberapa komentar dari pemerhati
orientalisme, dalam artikel ini Edward Said dan Maryam
Jamilah, terkait dampak disiplin ilmu ini terhadap Islam.
Definisi Orientalisme
Secara bahasa, orient berasal dari bahasa Prancis
yang berarti Timur. Orientalisme dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah ilmu pengetahuan tentang
ketimuran atau tentang budaya ketimuran. Dalam
pengertian lain dikatakan; bahwa sekelompok orang atau
golongan dari asal negara dan ras yang berbeda, yang
selalu mengkonsentrasikan pribadinya dalam kajian
ketimuran, khususnya Negara Arab, Cina, Persia dan
India, dengan fokus hanya dalam bidang keilmuan,
peradaban, dan agama. Berbicara tentang orientalisme
tidak lepas dari dikotomi Barat dan Timur. Secara
geografis, Timur adalah belahan dunia sebelah timur,
yaitu Afrika, Asia dan Australia dan Barat adalah belahan
dunia sebelah barat, yaitu Eropa dan Amerika. Secara
etnologi, Barat adalah bangsa-bangsa yang tinggal di
Eropa, Amerika dan Australia, sedangkan Timur adalah
yang tinggal di Asia & Afrika. Secara Terminologis,
47
adalah kegiatan penyelidikan ahli-ahli ketimuran di Barat
tentang bangsa-bangsa Timur dengan keseluruhan
lingkungannya (Muslim, 2011).
Dalam kamus Longman, definisi kajian
orientalisme merujuk pada kata orient (timur) yang
merupakan lawan kata occident (barat) dalam kalimat
scholarship or learning in oriental subject. Dalam
kaitannya dengan agama-agama, pengertian ini dapat
dipersempit menjadi kegiatan penyelidikan para ahli
ketimuran di Barat tentang agama-agama di Timur.
Namun ruang lingkup orientalisme tidak terpaku pada
agama saja, meskipun pada akhirnya mengerucut pada
Islam saja. Edward Said mendefinisikan orientalisme
sebagai:
“…..bidang pengetahuan atau ilmu
yang mengantarkan pada
(pemahaman) dunia timur secara
sistematis sebagai suatu objek yang
dapat dipelajari, diungkap dan
diaplikasikan” (Said, 1979: 92)
Dalam mengkaji orientalisme, ada tiga fenomena
yang saling berkaitan di dalamnya. Pertama, seorang
Orientalis adalah orang yang mengajarkan, menulis
tentang, atau meneliti Timur, terlapas dari identitasnya
sebagai antropolog, sosiolog, sejarawan, atau filologi.
Dengan kata lain, orientalis adalah orang yang mengklaim
memeiliki pengetahuan atau memahami kebudayaan-
kebudayaan Timur. Kedua, Orientalisme adalah mode
48
pemikiran yang didasarkan pada pembedaan ontologis dan
epistimologis antara Timur dan Barat. Sebuah kategori
besar yang akan mencakup pemikiran dan tulisan orang
yang membagi dunia secara bipolar, yaitu Timur dan
Barat. Ketiga, memandang Orientalisem sebagai lembaga
resmi yang peduli pada Timur (Said, 1979:2-3). Pendek
kata, Orientalisme adalah cara Barat untuk mendominasi,
merestrukturisasi dan menguasai Timur. Oleh sebab itu,
keagamaan, politik, ekonomi, kolonialisme, dan keilmuan
merupakan beberapa motivasi orientalisme yang akan
lebih diperioritaskan. Disamping itu, ruang lingkup
orientalisme mencakup arkeologi, kesastraan, bahasa,
kebudayaan dan peradaban, tradisi, etnologi, flora dan
fauna dan beberapa bidang lainnya.
Sejarah Singkat Orientalisme
Gerakan pengkajian ketimuran (oriental studies)
diberi nama orientalisme baru pada abad 18, meskipun
aktivitas kajian bahasa dan sastra ketimuran (khususnya
Islam) telah terjadi jauh sebelumnya (Oxford, 1933: 200).
Namun istilah orientalis muncul lebih dahulu dari istilah
orientalisme, yaitu sekitar 1638 yang digunakan Gereja
Timur yang berarti “orang yang mendalami berbagai
bahasa dan sastra dunia timur”.
Pada dasarnya, orientalisme merupakan suatu
disiplin ilmu yang obyektif, memiliki teori, metode dan
objek kajiannya sendiri. Namun orientalisme diwarnai
dengan ideologi, agama dan kepercayaan masyarakat
Barat dan telah didahului dengan dikotomi yang jelas
49
antara Barat dan Timur menjadikan disiplin ilmu ini tidak
bebas nilai dan cenderung diwarnai miliu keagamaan,
politik dan kelimuan Barat dalam memperlajari Timur
(Said, 1979: 204). Adapun dogma-dogma yang
digaungkan oleh Barat (Gereja Kristen) tentang dunia
Timur antara lain:
1. Adanya perbedaan yang mutlak dan sistematis
antara barat dan timur, barat mengklaim dirinya
sebagai rasional, maju, superior dan manusia
penuh. Sedangkan timur diklaim sebagai
irrasional, terbelakang, inferior dan setengah
manusia (Shimogaki, 1993: 38).
2. Abstraksi dan teorisasi tentang timur selalu
didasarkan pada buku-buku orientalis klasik dan
itu yang lebih diutamakan daripada melihat
realitas timur.
3. Timur dipandang sebagai sesuatu yang tidak
berubah, labil dan statis, karena itu tugas barat
adalah memberikan definisi tenteng timur
meskipun mereka melakukan generalisasi tentang
timur itu sendiri.
4. Timur dipandang sebagai sesuatu yang
menakutkan dan berbahaya, karena itu ada bahaya
kuning, bahaya merah & bahaya hijau. Dan
karena itu harus ditaklukan, baik melalui
penelitian ilmiah, pasifikasi, maupun penjajahan
mentah-mentah.
50
5. Apabila dikaitkan dengan Al qur‟an, para
orientalis menyatakan bahwa alqur‟an itu bukan
wahyu, tetapi karangan Muhammad yang dikutip
dari perjanjian lama dan perjanjian baru serta
tradisi-tradisi pra-Islam (Muslim, 2011).
52
Dorongan dan Tujuan
Berdasarkan awal munculnya orientalisme di
Barat, banyak faktor yang mendorong gerakan ini.
Pertama, Dorongan keagamaan. Kristen adalah salah satu
agama misionari terbesar selain Islam. Ajaran agama
mereka menekankan untuk mengajak non-Kristen
memeluk kepercayaan mereka. Hal ini tergambar dalam
beberapa ayat dalam kitab suci mereka:
“Sebarkanlah Injil ke seluruh makhluk” (Markus 16: 15)
53
dorongan politik (power and otority) yaitu dengan
memperluas daerah jajahan dan proses kolonialisme dan
imperialisme di Timur (Shimogaki, 1993: 64). Terakhir,
dorongan ilmiah. Yaitu mereka mempelajari Timur murni
karena ketertarikannya dengan budaya, sastra dan segala
yang berhubungan dengan ketimuran. Ketiga dorongan
awal yang sering menjadi semboyan penjajahan mereka
yang terangkum dalam 3G (Gold, Glory and Gospel).
Maryam Jamilah (1994: 1) menambahkan, sebelum
pertengahan abad ke 19 sebagian besar buku (hasil tulisan)
Barat menyerang Islam berdasarkan alasan teologik murni
dari dogma kristen. Akan tetapi ketika kegiatan misionari
Kristen berubah menjadi identik dengan tujuan
imperialisme Inggris dan Prancis, secara berangsur-angsur
penekanannya pun bergeser dari persoalan keagamaan
menjadi persoalan keduniaan (ekonomi, politik dan
kekuasaan).
Dengan faktor pendorong yang bermacam-
macam, tujuan yang ingin dicapai pun bervariasi. Mulai
dari tujuan ilmiah yang murni atas dasar ilmu pengetahuan
hingga yang bertujuan memuluskan langkah kolonialisme
di Timur. Pun tidak sedikit yang bertujuan mempelajari
ketimuran untuk mencari kelemahan Islam.
57
Singkatnya, berikut adalah pesan orientalisme
kepada Dunia Islam menurut Dr. Muhammad al-Bahy,
mantan direkur urusan kebudayaan al-Azhar:
a. Kesetiaan muslim terhadap slam hanya pada
waktu singkat saja, yaitu permulaan munculnya
Islam. Kemudian islam tidak lagi berfungsi
sebagai kekuatan pembimbing bagi kehidupan
mereka.
b. Kegagalan Islam terlihat dengan banyaknya
muslim yang menerima perubahan dalam berbagai
bidang/ketidakmampuan mengimplementasikan
ajaran-ajaran Islam pada dasarnya merupakan
pengakuan logik terhadap kewajiban sosial.
c. Tidak bisa tidak, reformasi Islam dan peninjauan
dengan realitas yang ada merupakan keharusan
untuk mengikuti perkembangan /hegemoni Barat
yng merupakan produk pengalaman manusa
dalam waktu panjang. (Jamilah, 1994: 171-172)
58
bermanfaat, informatif dan membuka cakrawala pemikiran
baru.
Persoalan muncul ketika mereka melangkah
terlalu jauh dari batas-batas yang benar dan berusaha
menafsirkan islam dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di
dunia Islam berdasarkan pandangan-pandangan pribadi
yang tidak sesuai. Bahkan hingga memasuki ranah
memberikan solusi kepada muslim bagaimna seharusnya
mereka memecahkan persoalan-persoalan dan apa yang
seharusnya dilakukan terhadap agama mereka (Jamilah,
1994: 11).
Menurutnya lagi, Orientalisme bukan kajian
objektif dan tidak memihak islam, yang diupayakan secara
mendalam bukan untuk mendapatkan hasil yang orisinil
dan objektif tapi hanya rencana jahat yang
terorganisasikan untuk menghasut para pemuda untuk
memberontak terhadap agama mereka. Dalam konteks ini,
Islam dikutuk hanya karena ia bertentangan dengan
pandangan materialis yang berlaku dan berlawanan
dengan teori evolusi (Jamilah, 1994: 195-196).
Kesimpulan
61
Daftar Pustaka
Coward, Harold. 1989. Pluralisme Tantangan bagi
Agama-Agama. Terj. Pluralism, Challenge to
Worlds Religion oleh tim penerbit. Yogyakarta:
Kanisius.
Education, Pearson. 2008. Longman Dictionary of English
Languange. America: Pearson Education.
Jamilah, Maryam. 1994. Islam dan Orientalisme: Sebuah
Kajian Analitik. Terj. Machnun Husein. Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
Muslim, Ahmad Shobiri. 2011. Materi Kuliah
Orientalisme disampaikan pada kuliah semester II
Institut Studi Islam Darussalam Gontor, Kampus
Kediri.
Said, Edward. 1979. Orientalism. New York: Vintage
Books
Shimogaki, Kazuo. 1993. Kiri Islam: Telaah Kritis
Pemikiran Hassan Hanafi. Terj. M Imam Aziz
dan M Jadul Maula. Yogyakarta: Lkis.
Southern, R.W. 1978. Western Views of Islam in Middle
Ages, Third Edition. Harvard: Harvard University
Press.
The Oxford English Dictionary Vol. VII. 1993. United
Kingdom: Oxford University Press
Zarkasyi, Hamid Fahmi. 2011. Tradisi Orientalisme dan
Framework Studi al-Qur‟an dalam Jurnal
62
Tsaqafah Institut Studi Islam Darussalam Gontor
Vol.7, No. 1, April 2011.
63
Orientalisme Klasik dan Karakteristiknya
66
67
Orientalisme Modern dan Pengaruh Studi Islam
70
Pendek kata, dalam menanggapi karya para
orientalis dibutuhkan sikap “reseptif kritis”, yaitu dengan
memilah-milah karya mereka dengan kajian kritis. Selama
kajian tersebut tidak berseberangan dengan akidah Islam
yang murni, maka bolehlah dimanfa‟atkan karya mereka.
karena tidak dapat dipungkiri, semangat para Orientalis
merupakan salah satu faktor banyaknya orang Barat yang
tidak lagi memandang Islam dengan sebelah mata.
71
Oksidentalisme
75
Hegemoni Peradaban Barat di Dunia Islam
78
79
Tantangan Muslim di Barat
82
83
Islam, Politik dan Post-Islamisme
86
Masuknya agama ke ruang publik sendiri bukanlah
suatu kesalahan, karena netralitas ruang publik bukanlah
hampa dari agama. Atas nama demokrasi, posisi agama
seharusnya ditempatkan secara sejajar dengan fomasi
opini dan aspirasi politis lainnya. Diferensiasi fungsional
dalam masyarakat modern yang mendorong ke arah
individualisasi agama tidak secara niscaya
mengimplikasikan hilangnya pengaruh dan relevansi
agama di ruang publik. Namun demikian, tentu saja
keterlibatan agama di ruang publik tetap memiliki batasan,
yaitu bahasa religius partikular agama mesti
“diterjemahkan” terlebih dahulu ke dalam bahasa yang
dapat diterima oleh warga lainnya. Dengan kata lain, harus
ada pemisahan antara urusan agama yang layak menjadi
konsumsi publik (moralitas, interaksi sosial dan struktur
masyarakat) dan yang harus masuk wilayah privat
(peribadatan, ritual dan keyakinan).
Pendek kata, agama dan politik harus berjalan
berdampingan dengan harmonis, tanpa perlu
mengagamakan politik atau mempolitikkan agama.
Karena pada praktek di lapangan, demokrasi tetap
membutuhkan legitimasi agama untuk terus berjalan dan
tanpa bantuan agama, pancasila akan kekeringan sumber
nilai transendental. Agama selain memiliki wilayah
privasinya, juga dapat memasuki ranah publik namun
tidak dalam bentuknya yang formal dan legal, tapi dengan
bentuk substansial yang dapat dimengerti oleh warga
lainnya. Wacana yang menggambarkan perubahan
paradigma dan gerakan politik di kalangan muslim garis
87
keras dari yang militan, ekslusif, dogmatis ke arah
paradigma dan gerakan yang menghargai inklusivitas,
pluralitas dan toleransi inilah yang disebut Post-
Islamisme. Secara sederhana gerakan ini sebagai upaya
melepaskan logo-logo agama dan label Islam formalistik
tanpa meninggalkan nilai-nilai keislaman itu sendiri.
88
89
Islam dan Pluralisme
93
Islam Transnasional dan Global Jihad
96
97
ISIS dan Pengaruhnya di Indonesia
101
Memahami Penyebaran Paham Radikalisme dan
Kekerasan Atas Nama Islam
102
Dr. M. Najib Azka, dosen ISIPOL UGM yang berfokus
pada studi Islam dan isu politik Islam. Diskusi tersebut
dipandu oleh Bapak Rahmat Hidayat, Ph.D. dosen UIN
Sunan Kalijaga selaku moderator. Diskusi ini menarik
karena menghadirkan narasumber yang terlibat langsung
dengan berbagai aksi-aksi teror di Indonesia, Ali Fauzi
Manzi. Beliau merupakan mantan pejuang Jama‟ah
Islamiyyah dan merupakan kerabat serta saudara kandung
dari Ali Ghufran dan Amrozy, terpidana mati kasus Bom
Bali I pada tahun 2002. Beliau memperoleh didikan
militer sejak kecil di Filipina dan Afghanistan dan
berfokus pada divisi perakitan bom.
Menurutnya, serangan menggunakan bom di
Indonesia dimulai sejak meledaknya bom mobil di depan
Kedutaan Besar Filipina di Jakarta pada tahun 2000. Bom
mobil yang meledak kala itu memiliki bobot sekitar 350
kg. Kejadian tersebut disusul dengan teror-teror bom
mobil lainnya, termasuk tragedi Bom Bali. Konon, bom
mobil yang diledakkan di Bali memiliki bobot 1 ton 125
kg. Dengan bobot hulu ledak sebesar itu, siapapun yang
berada pada radius 10-15 meter dari mobil tersebut akan
segera meninggal tanpa jejak.
Pola terorisme di Indonesia mengalami beberapa
varian. Pada kurun tahun 2000-2009, hampir seluruh aksi
terorisme di Indonesia dimotori oleh Jama‟ah Islamiyyah
(JI) dan Negara Islam Indonesia (NII). Adapun pada 2010
hingga saat ini, khususnya 3 tahun belakangan, aksi teror
di Indonesia dimotori oleh Jama‟ah Anshaaru‟t Tauhiid
(JAT). Pola penyerangan juga berbeda. Pada awal 2000an
103
hingga 2010, modus aksi teror adalah menggunakan
medium bom, baik bom rompi maupun mobil. Aksi teror
juga diadakan dengan berkelompok dan terorganisir.
Adapun tren yang berkembang belakangan memiliki
modus yang beragama, mulai dari penembakan,
pembakaran dan berbagai aksi lainnya. Aksi-aksi tersebut
juga bersifat land off alias tidak teorganisir. Aksi tersebut
hanya dilakukan oleh perseorangan atau kelompok kecil.
Dari segi sasaran juga terdapat pergeseran. Bila dahulu
berfokus pada simbol-simbol Barat seperti kedutaan besar,
kafe dan hotel wisatawan asing, saat ini beralih kepada
simbol-simbol lokal, khususnya aparat kepolisian dan
tentara.
Perubahan pola aksi teror ini melahirkan banyak
sekali aksi teror pasca tahun 2010. Namun secara
kuantitas korban dan efek yang ditimbulkan, aksi-aksi
teror pada kurun tahun 2000-2009 jauh lebih besar. Tidak
terorganisirnya serangan teror tersebut disinyalir karena
rentan akan kegagalan aksi. Rentang waktu yang
digunakan untuk mengorganisir aksi seringkali digagalkan
oleh aparat berwajib. Bila gagal, daftar pelaku yang dapat
terjaring akan sangat banyak karena sistem mereka yang
saling terhubung satu sama lain. Karenanya, mereka
memilih melancarkan aksi-aksi kecil yang tidak
terorganisir demi menutupi jaringan mereka.
Terakhir, salah satu kesalahan yang diperbuat para
aparat penegak hukum dalam memberantas aksi teror di
Indonesia adalah ketidakpercayaan mereka akan pelaku.
Ketika Bom Bali I meledak, banyak pihak yang menafikan
104
bahwa bom tersebut dirakit oleh anak negeri. Mereka
berspekulasi dengan adanya campur tangan CIA, al-
Qaeda dan berbagai jaringan terorisme internasional
lainnya dalam aksi tersebut. Keahlian dan bahan baku
pembuatan bom tersebut pada hakekatnya merupakan
produk dalam negeri. Ali Fauzi Manzi selaku kepala divisi
bom saat itu mengakui bahwa bahan baku bom-bom
tersebut ia dapatkan dengan menyelundupkannya melalui
Sangihe Talaud, Sulawesi Utara. Seluruh proses perakitan
bom tersebut juga dilakukan di Indonesia, tepat di
Lamongan, Jawa Timur. Dengan kesadaran aparat
penegak hukum dan pemerintah akan besarnya campur
tangan anak negeri dalam aksi teror tersebut diharapkan
dapat menambah tingkat kewaspadaan akan gerakan-
gerakan dan aksi-aksi serupa.
Dr. M. Najib Arka dari ISIPOL UGM
menambahkan bahwa akar terorisme tidaklah tunggal,
namun majemuk bahkan saling berkaitan satu sama lain
(komplikasi). Kemiskinan yang selama ini ditengarai
sebagai salah satu faktor terbesar alasan seseorang
bergabung ke dalam jaringan ternyata tidaklah benar.
Menurutnya, mengutip dari Marc Sageman, 90% dari
mereka yang bergabung ke dalam jaringan terorisme
adalah karena faktor pertemanan (friendship). Faktor ini
pula yang dapat dijadikan penawar saat proses
deradikalisasi atau counter-terrorist.
Keluarga juga memiliki pengaruh yang besar
dalam alasan bergabungnya seseorang ke dalam jaringan
teroris. Menurut beliau yang juga diamini oleh Ali Fauzi,
105
keluarga memiliki transformasi dan reproduksi ideologi-
ideologi serta paham radikal terhadap anak-anak mereka.
Tak heran bila banyak anak kecil yang sudah akrab
dengan berbagai ideologi radikal ekstrimis sejak masa
kanak-kanak. Di samping keluarga, lembaga-lembaga
pendidikan, khususnya Islam juga mulai menaburkan serta
menyuburkan benih-benih radikalisme. Salah satu contoh
nyata adalah pelabelan “Muslim” dan “Kafir” oleh anak
terhadap orang di sekitar mereka. Sungguh ironis,
lembaga yang diharapkan mampu mengcounter berbagai
paham tersebut justru berbalik menyuburkannya.
Dalam perekrutannya, para pelaku banyak
mengangkat isu-isu tentang konflik seperti Palestina,
Rohingya, Suriah dan lain sebagainya. Isu-isu tersebut
dibarengi dengan doktrin ayat-ayat yang kental dengan
konteks peperangan. Mereka juga selalu dimanjakan
dengan sirah dan kisah peperangan di zaman Nabi hingga
zaman kekhalifahan setelahnya. Menurut Ali Fauzi, tujuan
awal perekrutan adalah untuk menyiapkan mental dan
raga dalam rangka “Jihad Defensif” ( )جهاد الدفع. Namun
karena semangat yang sangat menggelora dan menggebu-
gebu, mereka segera melancarkan aksi yang mereka sebut
“jihad”.
Menutup diskusi tersebut, Dr. Najib Azka
memaparkan berbagai penyebab seorang pelaku teror
dapat bertaubat atau konversi. Beberapa penyebab
tersebut antara lain; langkah represif oleh pemerintah,
pendekatan hukum (law enforcement), pendekatan
kemanusiaan (humanistic approach/human touch),
106
pendekatan pada aspek sosial ekonomi (socio-economics
aspects), pendekatan hak asasi manusia (human rights)
dan pendekatan melalui kontra-ideologi dan kontra-narasi.
Pendekatan penanggulangan terorisme juga melalui tiga
level, level mikro, level meso dan level makro. Level
mikro mencakup aspek psikologis dan biografis. Level
meso mencakup jejaring sosial dan hubungan pertemanan.
Adapun level makro meliputi berbagai faktor ekonomi,
sosial, budaya dan politik yang adil. Bila semua aspek
tersebut dapat diperhatikan, bukan tidak mungkin berbagai
terorisme dan kekerasan berlabelkan agama, khususnya
Islam dapat dienyahkan dari bumi pertiwi ini.
107
Politisasi Agama dan Penggunaan Simbol Agama
dalam Politik
110
khalifah, amir, presiden dan sebagainya, untuk memenuhi
ambisi politiknya yang tidak bermoral (Ma‟arif, 1997: 76).
Masuknya agama ke ruang publik sendiri bukanlah
suatu kesalahan, karena netralitas ruang publik bukanlah
hampa dari agama. Atas nama demokrasi, posisi agama
seharusnya ditempatkan secara sejajar dengan fomasi
opini dan aspirasi politis lainnya. Diferensiasi fungsional
dalam masyarakat modern yang mendorong ke arah
individualisasi agama tidak secara niscaya
mengimplikasikan hilangnya pengaruh dan relevansi
agama di ruang publik. Namun demikian, tentu saja
keterlibatan agama di ruang publik tetap memiliki batasan,
yaitu bahasa religius partikular agama mesti
“diterjemahkan” terlebih dahulu ke dalam bahasa yang
dapat diterima oleh warga lainnya (Noor, 2011: 86).
Dengan kata lain, harus ada pemisahan antara urusan
agama yang layak menjadi konsumsi publik (moralitas,
interaksi sosial dan struktur masyarakat) dan yang harus
masuk wilayah privat (peribadatan, ritual dan keyakinan).
Pendek kata, agama dan politik dapat berjalan
berdampingan dengan harmonis, tanpa perlu
mengagamakan politik atau mempolitikkan agama.
Karena pada praktek di lapangan, demokrasi tetap
membutuhkan legitimasi agama untuk terus berjalan
(Juergensmeyer, 1998: 170) dan tanpa bantuan agama,
pancasila akan kekeringan sumber nilai transendental
(Ma‟arif, 1997: 172). Agama selain memiliki wilayah
privasinya, juga dapat memasuki ranah publik namun
tidak dalam bentuknya yang formal dan legal, tapi dengan
111
bentuk substansial yang dapat dimengerti oleh warga
lainnya. Toh, konsep “Negara Islam” sendiri belum 100%
teruji dan terkesan berpotensi mengancam kedaulatan
bangsa yang heterogen.
Penggunaan Simbol-simbol agama dalam politik
(pemilu)
Menjelang Pemilihan Umum (pemilu) di Indonesia,
marak ditemukan calon-calon pemimpin menggunakan
simbol-simbol agama dalam kampanye mereka dan
terlihat lebih agamis. Hal ini tidak lain untuk menarik
empati masyarakat (khususnya pemeluk agama mayoritas)
untuk memberikan dukungan kepada mereka. Dalam
konteks ini, mereka menggunakan simbol-simbol agama
sebagai alat atau kendaraan politik mereka mengingat
agama merupakan komoditi yang laris manis di ruang
publik bahkan privat bangsa Indonesia yang mayoritas
muslim. Politisasi ideologi dan simbol Islam di panggung
politik Tanah Air mulai tampak pasca runtuhnya rezim
Orde Baru. Agama didorong sedemikian rupa sebagai vote
getter (peraih suara), sehingga konflik dan ketegangan
yang sesungguhnya bersifat politis kemudian beraroma
agamis (Sirry, 2003:17). Hal ini diperburuk dengan
masuknya para pemuka agama ke ranah politik sebagai
ikon dari tiap calon pemimpin dan memberikan legitimasi
kepada calon-calon tersebut dengan ayat-ayat suci dari al-
Qur‟an dan Hadits yang sejalan dengan visi dan misi
mereka. Aroma agama pun kian kental menghiasi politik
mereka yang belum tentu agamis. Bahkan, banyak timbul
112
konflik dan kekerasan berpakaian agama meskipun
sejatinya merupakan interpretasi dari ego pemimpin
golongan tertentu yang meminjam label agama.
Kenyataan ini tentu sangat berbahaya karena telah
menyebabkan agama sebagai variabel pembeda, bukan
variabel perekat bagi keluhuran hidup umat manusia
(Sirry, 2003:17). Senada dengan kutipan pernyataan
Bassam Tibi diatas, agama menjadi lahan eksploitasi
politis yang dapat dibentuk sesuai keinginan politik tiap
individu. Nilai kesakralan agama menjadi hilang karena
agama akan saling dibenturkan dengan kepentingan yang
berbeda dan dapat ditafsirkan oleh siapapun sesuai
keperluan.
Sudah waktunya mengembalikan kesakralan agama ke
tempat semula tanpa dibarengi intrik-intrik kepentingan
tiap pemimpin golongan. Bukan suatu kebijaksanaan bila
mempolitisasi agama atau mengagamakan politik, namun
lebih kepada meleburkan nilai-nilai luhur dan moralitas
agama dalam kehidupan politik untuk menciptakan
kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai dan juga
memmbuktikan bahwa Islam merupakan rahmat bagi
seluruh alam (rahmatan lil „alamin).
113
Daftar Pustaka
Asad, Talal. 2003. Formations of The Secular. California:
Stanford University Press.
Effendy, Bahtiar. 2011. Islam dan Negara: Transformasi
Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia.
Jakarta: Democracy Project.
Hikam, Muhammad A.S. 2000. Islam, Demokratisasi, dan
Pemberdayaan Civil Society. Jakarta: Erlangga.
Juergensmeyer, Mark. 1993. Menolak Negara Sekular,
terj. Noorhaidi. Bandung: Mizan.
Ma‟arif, A. Syafii. 1997. Islam, Kekuatan Doktrin dan
Kegamangan Umat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Noor, Irfan. 2011. Identitas Agama, ruang publik, dan
Post-sekularisme: perspektif Diskursus Jurgen
Habermas, dalam Ilmu Ushuluddin, Vol. 11 no. 1,
Januari 2012.
Sirry, Mun‟im A. 2003. Membendung Militansi Agama:
Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern.
Jakarta: Erlangga.
114
“I promise to
pray for you everyday,
ask your forgiveness,
grant you the same
and be your friend, ALWAYS”
115
Bagian III
Agama Dalam Hubungan Masyarakat
116
norma agama sejatinya menyeru pada kebaikan umat
manusia secara khusus dan seluruh makhluk di dunia pada
umumnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan berbagai
ajaran cinta kasih yang tertuang dalam masing-masing
kitab suci agama-agama tersebut dan khotbah-khotbah
para pemuka agama. Hal inilah yang mendasari pendapat
Abu Nimer, seorang ilmuwan berkebangsaan Palestina,
bahwa nilai-nilai luhur agama dapat digunakan sebagai
resolusi atas konflik yang banya terjadi, bahkan
merupakan pondasi yang kuat untuk menyukseskan
program bina-damai (peacebuliding).
Pelatihan ini mencoba menyelaraskan antara 3H,
Head (kepala/otak), Heart (hati/perasaan) dan Hand
(tangan/kekuasaan) dari tiap-tiap penggiat perdamaian
(peacebuilders). Para penggiat perdamaian tak terpaku
pada tokoh agama saja, namun tokoh masyarakat, tokoh
organisasi terkait, tokoh politik maupun pemimpin negara
dapet berperan aktif demi menciptakan perdamaian dan
kerukunan antar manusia, khususnya antar umat beragama
yang cukup “giat” bertikai satu sama lain. Program
peacebuilding ini dapat disederhanakan dengan nama
dialog antar agama karena salah satu sarana yang paling
ampuh untuk menanggulangi berbagai konflik
kemanusiaan adalah berdialog satu sama lain dengan
pandangan yang luas dan kepala yang dingin.
Para peacebuilder wajib memiliki netralitas dalam
berdialog dengan pemuka agama atau tokoh masyarakat
yang sedang tegang. Netralitas, ketidakberpihakan kepada
satu golongan, keadilan, pemahaman akan perdamaian dan
117
ketekunan dalam menjadi penyimak yang baik mutlak
dimiliki oleh tiap-tiap “peacebuilders” tersebut. Abu
Nimer berpendapat bahwa model yang dapat diterapkan
dalam perdamaian antar kultur dilalui dengan 6 tahap yang
terbagi dalam 2 kelompok besar, Religiosentrisme dan
Religiorelatif. Tujuannya yaitu memulai dari tataran
religiosentrisme (penolakan, pertahanan terhadap
keyakinan diri dan meminimalisasi perbedaan) menuju
tataran religiorelatif (penerimaan, adopsi dan integrasi
antar kultur yang berbeda). Model pendekatan yang
digunakan Abu Nimer adalah Pluralisme Komunikatif
yang merupakan tahap yang lebih tinggi dan lebih lengkap
dibanding dua teori Pluralisme yang lain, teori
universalisme (kepercayaan bahwa seluruh agama berakar
sama, kebahagiaan manusia) dan partikularisme (bahwa
tiap agama berbeda dan membutuhkan toleransi terhadap
agama lainnya).
Dialog antar agama yang dipaparkan Abu Nimer
dan para ilmuwan lain tidak memiliki format yang baku.
Fleksibiltas format dialog tersebut sangat diperlukan
karena konteks konflik dan penyebabnya dapat berbeda
antara satu tempat dan tempat lain dan juga antar agama
satu dan agama lainnya. Tak jarang konflik di suatu
wilayah tak hanya berkaitan dengan perselisihan antar
agama saja, namun masalah ekonomi, ras, suku dan politik
di wilayah tersebut. Maka dialog guna resolusi konflik
yang dibutuhkan pun berbeda dengan tempat lain. Batas
dialog harus didiskusikan terus-menerus dan berbeda-
berbeda sesuai pengalaman masing-masing. Tidak dapat
118
dipaksakan satu sama lain. Pemaksaan satu format tertentu
malah rentan menggagalkan usaha dialog dan bina-damai
yang diinginkan. Tujuan dari dialog antar agama adalah
mefasilitasi perubahan pola pikir yang sempit, eksklusif,
antagonistik dan penuh prasangka buruk menjadi lebih
terbuka dan fleksibel. Bila belum tercapai, minimal
mencairkan stigma negatif dan memberi pandangan baru
yang bertolak belakang dengan info-info terdahulu.
Bentuk dialog ini pun beragam, mulai dari
perdebatan yang bersifat ekslusif dan mencari menang
atau kekalahan pihak lain, atau dialog yang transformatif
dimana tiap agama mempunyai tanggungjawab yang sama
dalam peacebuilding dan kemanusiaan atau pluralisme
sinkretik yag menyamakan semua agama seperti dipahami
oleh orang kebanyakan. Tujuan para peacebuilder adalah
mengusahakan dialog yang transformatif dan mencari titik
temu agama, bukan menyamakan seluruh agama seperti
pemahaman pluralisme sinkretik. Dalam dialog ini juga
tidak menyinggung apalagi memperdebatkan persoalan
teologi dan tidak pula menyamakan teologi yang memang
berbeda satu sama lain. Intinya menyamakan yang sama
dan membedakan yang berbeda demi kemashlahatan
bersama.
Membahas dialog mau tidak mau harus
menyinggung model teologi antar agama. Model teologi
yang banyak digunakan oleh para peneliti adalah teologi
tripolar yang digagas Alan Race adalah eksklusivisme,
inklusivisme dan pluralisme. Ekslusivisme merupakan
model teologi yang cenderung tertutup dan bersikeras
119
bahwa hanya keyakinan mereka yang paling benar dan
satu-satunya jalan keselamatan. Inklusivisme merupakan
model yang lebih lunak yaitu mengakui kebenaran agama
lain namun agama yang diyakininya merupakan agama
terakhir dan agama penyempurna dari agama-agama
terdahulu, sehingga seluruh kebenaran agama-agama
terdahulu telah terangkum dalam agama terakhir yang
paripurna, dalam konteks ini Alan Race mengacu pada
konsep ketuhanan Kristus. Yang terakhir adalah
Pluralisme, yaitu model teologi yang terbuka dan
meyakini bahwa keselamatan tidak terpaku pada agama
sendiri melainkan pula terdapat pada agama lain, karena
perbedaan merupakan sebuah keniscayaan di muka bumi.
Perbincangan model teologi antar agama tidak
dapat terlepas dari dua isu yang rentan, isu teologis dan
isu relasi sosial. Kebanyakan sikap ekslusivitas agama
berada pada tataran teologi dimana keyakinan mereka
bahwa satu-satunya jalan keselamatan (salvation) baik di
dunia maupun di hari nanti (bagi yang meyakini konsep
eskatologi) terletak pada agama yang mereka anut, tidak
pada agama lainnya. Maka siapapun yang berada diluar
lingkaran agama mereka tidak akan mendapat keselamatan
yang mereka yakini. Konsep lainnya adalah keyakinan
akan kebenaran yang diklaim oleh agama tersebut yang
tidak terdapat di agama lainnya. Namun konsep ini tidak
sepenuhnya melahirkan ekslusivitas penganut suatu
agama, karena banyak ditemukan kesamaan nilai-nilai
universal pada suatu agama dengan agama lainnya,
120
meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa tak sedikit yang
pula yang berbeda.
Dalam dimensi relasi sosial antar manusia, konsep
dalam tataran teologis di atas (keselamatan dan
kebenaran) tidak begitu tampak bahkan tidak perlu
ditampakkan. Hal yang demikian dikarenakan terdapat
konsep yang lebih tinggi dan universal dari konsep-konsep
yang diyakini di atas, yaitu kemanusiaan. Karenanya,
konsep inilah yang menembus batas perbedaan teologis
antar agama, suku dan ras sehingga meminimalisir
perbedaan antar agama. Sebuah kesalahan besar dimulai
ketika apa yang seharusnya berada pada tataran teologi
ditarik ke dalam ranah sosial sehingga berbagai clash dan
ketimpangan akan tercipta. Oleh karena itu, sudah
sepatutnya ranah sosial menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan dan kebaikan universal dalam tiap agama.
Dengan mengakui kenyataan akan adanya
pluralitas keyakinan dalam masyarakat, diharapkan setiap
penganut agama mengembangkan toleransi seluas-luasnya
kepada penganut agama dan keyakinan lainnya,
khususnya dalam urusan sosial dan politik. Toleransi yang
sesungguhnya ditunjukkan manakala penganut agama
tersebut dalam posisi mayoritas. Karena banyak toleransi
yang dilakukan kaum minoritas tak lain demi
mendapatkan keamanan dan keselamatan dari kaum
mayoritas, tidak tulus dari kelapangan hati dan keluasan
pikiran. Contoh terdekat dalam konflik antar agama adalah
konflik Islam-Kristen di Indonesia yang mempunyai
sejarah panjang sejak zaman kolonial hingga kini.
121
Sejatinya, aspek teologis kedua agama memang berbeda
dan cukup bertolak belakang. Namun penyebab konflik
yang berkepanjangan adalah manuver para elit politik
yang menganakemaskan Islam yang merupakan mayoritas
di satu rezim (masa pendudukan Jepang dan akhir rezim
Soeharto) dan di rezim lain mengangkat-angkat Kristen
yang minoritas (masa kolonial, rezim Soekarno dan awal
rezim Soeharto). Perasaan takut akan dominasi absolut
oleh mayoritas dan sempalan minoritas yang semakin
meluas hari demi hari (Kristenisasi dan Islamisasi)
menyuburkan kebencian keduanya sehingga melahirkan
konflik di Poso, Ambon, dan Sampit.
Akhir kata, mengakui semua agama sama
bukanlah model pluralisme yang dianjurkan oleh para
penggiat perdamaian, karena pada hakekatnya bukan
menyamakan semua hal. Namun lebih kepada mencari
titik temu dari agama dan keyakinan yang berbeda demi
tercapainya perdamaian antar penganutnya. Bila tidak
dapat mengakui kebenaran ajaran agama lain, minimal
mulai menanamkan mindset bahwa “seluruh agama benar
menurut keyakinan penganutnya masing-masing”.
122
Referensi:
Arifianto, Alexander R. 2009. Explaining the Cause of
Muslim-Christian conflicts in Indonesia: Tracing
the Origins of Kristenisasi and Islamisasi. Islam
and Christian Muslim Relation Journal, Vol. 20,
No. 1, 73-89, January 2009
Burhani, Ahmad Najib. 2011. Lakum dinukum wa-liya
dini: The Muhammadiyah‟s tance towards
interfaith relations. Islami and Christian-Muslim
Relation Journal, Vol. 22, No. 3, 329-342, July
2011.
Nimer, Muhammad Abu. 2001. Conflict Resolution,
Culture and Religion: Toward a training model of
Interreligious Peacebuilding. Journal of Peace
Research, Vol. 38, No. 6, 685-704, November
2001.
Saidi, Anas. 2004. Menekuk Agama, Membangun Tahta:
Kebijakan Agama Orde Baru. Jakarta Selatan:
Desantara Utama.
123
Dialog dan Teori Konflik
Pendahuluan
Pengusahaan terbangunnya toleransi antar umat
beragama dalam suatu wilayah diantaranya dengan
mengadakan dialog antar umat beragama tersebut.
Pentingnya dialog dan cara pengusahaannya demi
mereduksi konflik telah dijelaskan secara singkat dan jelas
dalam tema sebelumnya. Telah disinggung pula dalam
tema sebelumnya pentingnya memahami penyebab
konflik baik dari segi nilai maupun segi historis antar
penganut agama di wilayah tersebut, yang akan dibahas
lebih spesifik dalam tema kali ini. Pembahasan akan
penyebab konflik dan sumber-sumber konflik menjadi
amat penting semata-mata untuk menciptakan kerukunan
yang didambakan antar umat beragama. Bagai dokter yang
mendiagnosa pasiennya, penggiat perdamaian harus
memahami “diagnosa” sejarah perjumpaan antar umat
beragama yang beragama bentuknya dan tidak selalu
berbentuk sejarah yang buruk. Pemahaman akan penyebab
konflik secara mendalam inilah yang menjadi bekal para
penggiat untuk meneruskan sejarah baik atau memotong
sejarah buruk antar umat yang bertikai.
Tulisan ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu
perspektif dalam melihat hubungan agama dan kekerasan
dan memahami dimensi dan sumber konflik. Dalam
bagian pertama akan dipaparkan berbagai perspektif
dalam menyikapi hubungan agama dan apa yang disebut
sebagai “kekerasan agama” atau “konflik agama” ditinjau
124
dari sumber utama penyulut konflik. Benarkah agama
satu-satunya penyulut api konflik dalam setiap pertikaian
bernuansa agama? Ataukah ia hanya “alat” untuk
memuluskan kepentingan tertentu? Adapun bagian kedua
akan membahas dimensi konflik dan sumber timbulnya
konflik sosial secara umum dan berbagai karakteristik
dalam menyikapi penyelesaian konflik menurut Dean G
Pruit dan Jeffrey Z. Rubin. Di akhir bagian kedua juga
akan disinggung studi kasus kontroversi penutupan gereja
di Jakarta sebagai tinjauan aplikatif dari teori yang telah
dipaparkan.
Agama dan Kekerasan
Hubungan agama dan kekerasan seringkali
mencuat ketika terjadi kekerasan yang bernuansa agama,
baik karena atribut dan simbol keagamaan para pelaku dan
korban maupun karena pengakuan pelaku kekerasan yang
berteriak atas nama Tuhan atau agama tertentu. Namun
benarkah agama memiliki andil yang besar dalam
menciptakan kekerasan? Sedangkan di lain sisi, para
agamawan dan rohaniawan senantiasa meyakinkan para
penganut agama akan ajaran agama yang putih bersih dan
penuh cinta kasih dan jauh dari kekerasan dan pertikaian.
Untuk memahami korelasi antara keduanya,
beberapa ahli seperti Hasenclaver dan Rittberger
menawarkan tiga perspektif terkait hal tersebut, yaitu apa
yang disebut dengan primordialist, instrumentalist dan
constructivist. Dalam istilah lain Appleby menggunakan
istilah strong religion, weak religion dan pathological.
Perspektif pertama melihat bahwa doktrin dan dogma
125
kekerasan dalam agamalah yang bertanggungjawab dalam
terciptanya “konflik agama”. Tataran teologis, kosmologis
dan pemahaman akan kitab suci satu agama akan
berbenturan bila bertemu agama atau kebudayaan lain,
yang dalam bahasa Jurgensmeyer adalah cosmic war.
Ideologi cosmic war ini banyak ditemukan dalam gerakan-
gerakan radikal ekstrimis. Diantara doktrin asli agama
yang berbau kekerasan dan berpotensi menciptakan
kekerasan adalah konsep martir (mati syahid) dank urban
(sacrifice) yang didukung oleh ketaatan buta para
penganut dan klaim kebenaran absolut.
Perspektif kedua melihat bahwa agama bersifat
putih dan suci, kekerasan yang terjadi dan membawa
atribut keagamaan hanyalah ekspresi perlawanan atau
perjuangan kepentingan politik dengan meminjam baju
agama. Perspektif ini juga meyakini kekerasan non-agama
justru lebih sering terjadi dan memakan korban paling
banyak. Landasan perspektif ini adalah fakta sejarah
hubungan agama di suatu kawasan dan konstelasi politik
yang terjadi. Perspektif yang terakhir, constructivist
/pathological melihat bahwa hubungan keduanya tidaklah
sederhana. Agama tidaklah seputih yang dikira oleh
pandangan instrumentalist dan tidak segarang pandangan
primordialist. Mereka meyakini adanya “intervening
variable” dalam terciptanya kekerasan. Agama juga
memiliki potensi yang besar dalam melahirkan konflik,
meskipun tidak dapat dipungkiri adanya “kepentingan”
memuluskan jalan menuju kekerasan yang didambakan.
126
Dari ulasan tersebut ditemukan bahwa agama
memberi dampak yang tidak sedikit dalam terjadinya
“kekerasan agama”, baik sebagai penyebab utama, alat
maupun variabel pendukung. Agama sering
disangkutpautkan untuk memberi legitimasi atas
kekerasan karena otoritas agama yang istimewa dan tidak
dimiliki pihak-pihak lain. Ketiga perspektif di atas
hendaknya menjadi spektrum dalam melihat hubungan
antara agama dan kekerasan. Derajat dan campur tangan
agama dalam kekerasan memiliki porsi yang berbeda
dalam kasus-kasus yang terjadi. Tak cukup disini, agama
juga memiliki peran yang sangat besar dalam de-eskalasi
konflik tersebut sebagaimana gagasan “religious
peacebuilding” Moh. Abu Nimer
127
Dean G Pruitt dan Jeffrey Z Rubin
mengemukakan bahwa apa yang menjadi sumber konflik
di masyarakat adalah adanya “interest” atau kepentingan.
Kepentingan bermakna lebih luas dari kebutuhan (needs)
dan nilai (values) yang ditengarai menjadi penyebab
konflik. Kepentingan tersebut ada yang bersifat universal
seperti rasa aman, identitas, pengakuan, berbagai hal
lainnya yang merupakan perasaan dan kebutuhan dasar
manusia dan tidak melulu berbentuk materi dan adapula
yang bersifat spesifik seperti konflik Arab-Palestina dan
Israel karena menginginkan kembalinya rumah mereka.
Persepsi mengenai perbedaan kepentingan, baik
kepentingan yang berbeda maupun beberapa kepentingan
yang tidak dapat dipertemukan (incompatible). Persepsi
inilah yang cukup sulit dipahami karena tidak berbentuk
eksplisit dan variatif.
Sumber-sumber konflik menurut Pruitt dan Rubin
antara lain; a) Determinan tingkat aspirasi, b) Determinan
mengenai aspirasi pihak lain dan c) tidak adanya alternatif
yang dapat diterima semua pihak. Khusus determinan
tingkat aspirasi, memiliki banyak faktor penunjang
lahirnya aspirasi yang berujung konflik, yaitu prestasi
masa lalu, persepsi mengenai kekuasaan, adanya aturan
dan norma, pebandingan dengan orang/kelompok lain
dalam menyikapi konflik serupa dan bertambah buruknya
bila ada leader yang dapat memobilisasi massa sehingga
terbentuklah “kelompok pejuang”. Mereka juga
memberikan beberapa model konflik yaitu aggressor-
128
defender, spiral konflik dan perubahan struktural, model
yang lazim ditemui dalam konflik di masyarakat.
Sikap tiap pihak dalam menuju penyelesaian
konflik pun beragam, ada yang bersikeras meminta
pemenuhan tuntutannya (contending), mengalah
(yielding), menarik diri, cukup berdiam diri saja (inaction)
atau bahkan mencari solusi (problem solving). Langkah
penyelesaian konflik tersebut juga tergantung pada tingkat
aspirasi yang ada, apakah berdasarkan kepentingan diri
sendiri, pihak lain, aspirasi akan stabilitas maupun
aspirasi bersama demi pemecahan masalah. Semua
karakteristik tersebut memiliki pendekatan yang berbeda
dan jalur yang berbeda. Adalah sebuah kesalahan untuk
memaksa satu pihak yang lebih suka mengalah untuk
bersikeras meminta pemenuhan tuntutannya.
Terkait banyaknya kegagalan dalam penyelesaian
“konflik agama”, para ahli melihat bahwa kesalahan
terjadi pada proses identifikasi konflik. Kebanyakan
penyelesaian konflik terlalu fokus pada apa yang disebut
“posisi”, yaitu fenomena yang timbul atas kepentingan-
kepentingan yang ada (interest). Pada hakekatnya, tidak
semua yang diucapkan benar-benar sesuatu yang
diinginkan. Contohnya dalam fenomena kontroversi
pembangunan gereja di Jakarta dan sekitarnya. Penelitian
yang dilakukan oleh Ihsan Ali Fauzi dkk ini menggali
fenomena gereja yang dibangun tanpa masalah, yang
dahulu bermasalah namun telah terselesaikan, yang dahulu
tidak bermasalah kini dipermasalahkan dan gereja yang
bermasalah sejak dulu hingga kini. Meskipun konflik amat
129
kental dengan rumah ibadah dan ritus agama, ternyata
tidak semua interest penyebab konflik berdasarkan agama
atau isu kristenisasi. Ada interest sosial, birokrasi,
ekonomi, rasa aman dan interest-interest pribadi lainnya
yang seharusnya dapat dipenuhi tanpa harus menutup atau
merusak gereja. Inilah pentingnya memahami interest
yang terselubung dalam konflik.
Dalam beberapa tahun belakangan, problem serius
terkait merebaknya konflik adalah terjadinya
“disinformasi” atau upaya sengaja untuk memberikan
informasi palsu, yang belakangan sering disebut “hoax”.
Tugas para aktivis perdamaian untuk “membunuh” rumor
atau informasi palsu tersebut atau mengklarifikasi rumor
tersebut pada yang bersangkutan. Lebih jauh, para aktivis
hendaknya berupaya menciptakan lingkungan yang “kebal
rumor” karena eratnya hubungan satu sama lain dan rasa
saling percaya antar masyarakat sehingga tak dapat
dimasuki rumor-rumor penyebab konflik.
Penutup
Konflik dan kekerasan bernafaskan agama
nyatanya tidak sederhana dan terpaku pada satu sebab
saja. Korelasi antar berbagai sebab dan interest dapat
melahirkan konflik yang tidak dapat padam seketika.
Bahkan api konflik tersebut dapat semakin membara
manakala penanggulangannya tidak tepat. Pemecahan
konflik juga membutuhkan pemahaman akan interest-
interest yang ada, tanpa terpaku pada “posisi” yang
muncul ke permukaan. Konflik rumah ibadah misalnya,
tidak melulu karena masalah tataran teologis, namun sapat
130
karena interest ekonomi, pengaruh, sosial dan sebagainya.
Karenanya, para aktivis dituntut kreatif dalam menyikapi
berbagai konflik dan karakteristik pihak-pihak terkait dan
menciptakan masyarakat yang anti-rumor demi
tercapainya keharmonisan bersama.
Referensi
Ahnaf, Mohammad Iqbal. Melihat Ulang Relasi Agama
dan Kekerasan , dalam Studi Agama di Indonesia:
Refleksi Pengalaman. Yogyakarta: CRCS UGM.
Ali Fauzi, dkk. 2011. Kontroversi Rumah Ibadah di
Jakarta, dan Sekitarnya, Program Studi Agama
dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana,
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: CRCS
UGM.
Pruitt, Dean G. Pruitt &Jeffrey Z. Rubin. 2004. Teori
Konfik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
131
Praktek Dialog Antar Agama di Indonesia
Pendahuluan
Berbicara dengan penerapan toleransi dalam
hubungan antar agama tidak cukup hanya di buku dan
dalam teori saja. Berbagai teori konflik, dimensi konflik
dan resolusi konflik perlu dipraktekkan dalam masyarakat
yang plural. Indonesia yang merupakan salah satu wilayah
multikultural dan plural, baik etnis, ras, bahasa, budaya
maupun agama menjadi salah satu labolatorium hidup
dalam menelisik pengaplikasian berbagai teori tadi dalam
kehidupan nyata masyarakatnya.
Para aktivis dan penggiat perdamaian telah
mengetahui bahwa dalam usaha dialog antar agama tidak
melulu melihat kepada sejarah konflik atau pertikaian
antar agama. Konflik memang memiliki frekuensi yang
besar dalam hubungan tersebut, dan menuntut segera
diselesaikan demi tercapainya kerukunan bersama. Namun
kisah sukses hubungan masyarakat yang berbeda secara
agama yang berjalan damai dan harmonis juga perlu
mendapat perhatian serius. Menjadi penting adanya dalam
rangka menjaga ko-eksistensi kerukunan tersebut,
mencegah berbagai faktor yang memungkinkan pecahnya
konflik dan menjadi percontohan bagi wilayah lain yang
belum mencapai titik keharmonisan yang setara dengan
wilayah tersebut.
Dari banyak wilayah yang multisuku, multiras dan
multikultural, penulis memilih dua kota yang secara
132
gemilang mengaplikasikan keharmonisan dan toleransi
yang tergolong stabil, yaitu Lasem, Jawa Tengah dan
Kupang, Nusa Tenggar Timur (NTT). Kota pertama
memiliki toleransi yang tinggi antara Islam dan Tionghoa
dan kota kedua antara Kristen (Protestan dan Katolik) dan
Islam. Dalam tulisan ini akan menyinggung berbagai
sebab-sebab kerukunan di kota tersebut dan bentuk
toleransi yang terbangun di masyarakatnya.
Gejala Intoleransi
Telah disinggung sedikit diatas bahwa wilayah
yang dikenal memiliki sejarah toleransi yang baik tidak
berarti tidak pernah mengalami konflik-konflik
intoleransi. Label toleran-intoleran dapat dipahami sebagai
sebuah spektrum. Dalam satu waktu dapat menuju titik
toleran dan sebaliknya, di waktu yang lain dapat bergeser
ke titik intoleran. Tidak ada wilayah yang 100% toleran
atau intoleran. Begitupula yang terjadi di Lasem dan
Kupang. Kedua kota tersebut memiliki berbagai kondisi
yang mendorong terjadinya konflik komunal. Namun
dengan tingkat toleransi yang tinggi disebabkan berbagai
dimensi tadi, semuanya dapat dicegah dan ditanggulangi.
Keberagaman di Lasem sempat terguncang saat
meletusnya konflik komunal dan sentiment anti Tionghoa
pada 1998, juga saat ada wacana pendirian STAKONG
(Sekolah Tinggi Agama Islam dan Konghucu) dan isu-isu
gerakan Islam radikal seperti FPI, HTI dan MTA. Adapun
ancaman yang dihadapi Kupang dalam mempertahankan
kebhinnekaan lebih berat. Konflik komunal 1998,
eksekusi tersangka kasus Poso, Tibo cs yang notabene
berasal dari NTT, munculnya Brigade Meo dan penolakan
gerakan radikal Islam (FPI dan HTI) dan Kristen (Saksi
Yehovah dan gereja kharismatik) berpotensi besar
menimbulkan konflik. Yang terbaru, penolakan
139
pembangunan Masjid Nur Musafir di Batuplat juga cukup
mengguncang kondisi Kupang. Meskipun penolakan
tersebut sarat dengan unsur politis (pilkada) namun tetap
saja mengancam keberagaman yang ada. Seperti yang
sekarang terjadi di Jakarta, di Kupang pun sentimen antar
agama dapat memanas tiap kali menjelang pilkada.
Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya
teknologi dan sistem informasi, perubahan sosial di kedua
kota tersebut tidak dapat dihindarkan. Banyaknya
pendatang dari luar kota yang datang untuk bekerja dan
belajar di Kupang melahirkan keragaman yang makin
intens. Begitupula banyaknya remaja-remaja dan generasi
muda yang menuntut ilmu ke luar kota kehilangan
identitas diri mereka dan membawa budaya dari luar yang
tidak sesuai dengan daerah asal mereka. Kondisi ini juga
diperburuk dengan semakin sempitnya ruang perjumpaan
publik karena kesibukan tiap-tiap individu. Khusus di
Lasem, jumlah etnis Tionghoa mengalami penurunan
karena banyak dari keturunan mereka yang memilih
tinggal di luar kota. Jumlah yang semakin sedikit ini
ditakutkan berpengaruh kepada generasi masa kini yang
tidak terbiasa hidup berdampingan dalam lingkungan
multi etnik dan multi agama.
Selain faktor perubahan sosial tersebut, faktor
eksternal juga tidak kalah berpotensi menyulut konflik
komunal. Sistem informasi yang semakin maju
memungkinkan masyarakat mendapatkan berita-berita
intoleran dari wilayah lain, kebanyakan berasal dari Jawa,
dan berpotensi terjadi di daerah tersebut. Sebagai contoh
140
penolakan gereja di Bekasi dan atmosfer pilkada DKI
mampu memanaskan suasana keberagaman di Lasem dan
Kupang.
Penutup
Praktik dialog antar agama tidak hanya
mengharuskan meneliti sumber-sumber dan dimensi
konflik, namun juga sebab-sebab dan dimensi yang
melahirkan kerukunan. Apa yang ditemukan di Lasem dan
Kupang bisa jadi tidak dapat ditemukan dan tidak dapat
diaplikasikan di daerah lain. Karena selain sejarah dan
memori yang mereka simpan berbeda, namun juga watak
dan sifat masyarakat yang dihadapi juga berbeda. Adapun
ketiga dimensi yang menopang lahirnya toleransi di kedua
kota tersebut tidak mesti dapat ditemukan di tempat-
tempat lainnya dan tidak selalu dapat terpenuhi ketiganya
untuk menciptakan keharmonisan. Suatu wilayah
misalnya, dapat memiliki hubungan yang baik meski
secara dimensi simbolik yang ada tidak mendukung
terciptanya kerukunan. Inilah yang menjadi tugas pada
aktivis dan penggiat dialog untuk menemukan ramuan
yang tepat untuk menciptakan keharmonisan. Bila tidak
dapat dibentuk secara alami, perlu kiranya direkayasa
dengan sebuah pelembagaan atau institusionalisasi ide-ide
ke dalam praktik kehidupan sehari-hari dalam masyarakat
yang plural.
141
Sumber:
Ahnaf, Moh. Iqbal. 2013. Mengelola Keragaman dari
Bawah: Koeksistensi Jawa-Tionghoa di Lasem
dalam “Wawasan Kebangsaan dan Kearifan
Lokal”. Yogyakarta: CRCS UGM
Ahnaf, Moh. Iqbal. 2016. Toleransi dan Intoleransi di
Indonesia: Kajian atas kultur toleransi di tengah
perubahan sosial di Kota Kupang, Nusa Tenggara
Timur dalam “Studi Tentang Toleransi dan
Radikalisme di Indonesia; Pembelajaran dari 4
daerah: Tasikmalaya, Yogyakarta, Bojonegoro
dan Kupang”. Jakarta: INFID
142
143
Dialog Antar Agama di Timur Tengah
Pendahuluan
Praktik dialog antar agama menjadi topik yang
selalu hangat dibicarakan. Hal ini disebabkan maraknya
aksi kekerasan komunal yang membawa identitas agama
tertentu dan memusuhi kelompok agama lainnya, baik
agama sebagai pemicunya (primordialist) maupun sebagai
pelengkap konflik (instrumentalist). Berbicara hubungan
antar agama juga tidak akan lepas dari istilah “mayoritas-
minoritas” yang ke belakangnya cukup berpengaruh dalam
praktik keberagaman yang berlangsung. Bahasan ini
menyoroti hubungan antar agama di negara-negara Timur
Tengah, yang berpenduduk mayoritas Islam dan
menjadikannya agama resmi negara. Pemilihan Timur
Tengah sebagai konsentrasi dikarenakan wilayah ini
identik dengan Islam, yang merupakan agama yang lahir
di sana dan berhubungan erat dengan bangsa Arab, bangsa
mayoritas di Timur Tengah.
Kawasan Timur Tengah sendiri merupakan
kawasan negara-negara yang terletak di Asia Barat dan
Afrika Utara. Sebutan “Timur Tengah” digunakan oleh
Kolonialisme Barat untuk menunjuk kawasan di antara
Timur Dekat (Turki) dan Timur Jauh (India dan Cina).
Sedikitnya 25 negara mendiami kawasan ini dan beragama
mayoritas Islam. Di samping Islam dengan berbagai
sektenya, terdapat pula agama-agama lain yang dianut
penduduknya, baik, Kristen Protestan, Katolik Roma,
Kristen Koptik, Yahudi maupun Zoroaster meskipun
144
dengan prosentase yang kecil. Inilah yang mendasari
penelitian hubungan agama di Timur Tengah dengan
fokus Islam sebagai mayoritas. Salah satu negara dengan
prosentase non-muslim terbesar adalah Kristen Koptik di
Mesir yang mencapai 10% dari total penduduknya. Jumlah
ini termasuk yang terbesar di kawasan tersebut sehingga
potensi konflik antar agama cukup besar.
Hubungan antar agama di Mesir cukup memanas
akhir-akhir ini ditandai dengan serangkaian penyerangan
terhadap gereja Kristen di beberapa kota. Mulai dari
pembakaran Gereja oleh kelompok Islamis di sebuah kota
dekat Kairo yang menyebabkan kekerasan di Kerdasa
pada 14 Agustus 2013, ledakan bom di Gereja Katedral
Koptik di Kairo saat Misa 11 Desember 2015 yang
menewaskan sedikitnya 25 orang dan melukai 49 lainnya
dan yang terdekat adalah ledakan bom di Gereja St.
George di Tanta, utara kota Kairo yang menewaskan
setidaknya 27 orang dan melukai 78 orang lainnya yang
disusul oleh bom bunuh diri di Saint Mark Katedral di
Alexandria yang memakan korban tewas sebanyak 16
orang pada 9 April 2017 atau seminggu sebelum perayaan
Paskah dan kunjungan Paus Francis ke Mesir. Beberapa
jaringan terorisme yang mencatut nama Islam mengaku
bertanggungjawab atas serangan tersebut. Namun tindakan
tersebut tetap saja berpotensi besar meretakkan hubungan
kedua agama di Mesir.
Tulisan berikut membahas tentang keragaman
yang terdapat di Mesir, potensi konflik dan dialog-dialog
145
antar agama yang dibangun di sana melalui perspektif Abu
Nimer.
Keragaman Mesir
Mesir merupakan salah satu negara yang terkenal
memiliki peradaban dan kebudayaan tertua di dunia.
Beberapa buku menyebutkan bahwa peradaban Mesir
Kuno telah terbentuk sejak 3500 SM. Adapun Islam, yang
menjadi agama mayoritas penduduk Mesir modern mulai
masuk dan menyebar ke Mesir sekitar 670 M. Dalam
interval waktu yang tidak pendek ini, Mesir dikuasai oleh
berbagai bangsa dan berimplikasi langsung dengan
kepercayaan dan agama penduduknya. Dahulu mereka
menganut Paganisme atau Politheis sebagai warisan dari
Peradaban Mesir Kuno, lalu sebagian juga menganut
Yahudi, Kristen dan Zoroaster. Di samping itu, Animisme
dan Dinamisme masih teramat kental dianut sebagian
penduduk Mesir Kuno. Kepercayaan Paganisme atau
Politheis yang dianut mereka mempercayai satu Dewa
Agung yang memiliki banyak dewa-dewa kecil di
bawahnya.
Agama awal di kawasan ini adalah agama lokal
mereka yang berbentuk animisme dan dinamisme seperti
agama Gikuyu, Yoruba dan Zulu Zionisme (Smart, 1984:
65-68). Setelah itu muncullah Peradaban Mesir Kuno yang
berkuasa berabad-abad lamanya mulai sekitar 3100 SM
hingga sekitar 300an SM dengan jatuhnya Mesir ke tangan
Persia pada 525 SM hingga 333 SM. Dibawah kekuasaan
Mesir dan Persia, agama mayoritas di Afrika Utara adalah
146
Politeisme dengan satu Dewa Utama dan banyak dewa-
dewa pendukung dan Zoroaster yang berasal dari Persia
(Mokhtar, 1990: 154). Pada 332 SM, Persia harus
merelakan peradaban Mesir dan sekitarnya jatuh ke tangan
Alexander the Great yang dilanjutkan dengan Dinasti
Ptolomeus. Konversi agama penduduk Afrika Utara ke
Kristen terjadi setelah tentara Romawi mengambil alih
kekuasaan dari tangan Cleopatra dan Marc Anthony pada
30 SM (Hrbek, 1990: 215). Gereja Kristen Koptik
memiliki keunikan dari denominasi Kristen lainnya,
karena, seperti Kristen Asiria, mereka masih
menggunakan bahasa kuno yang dulu mendominasi
daerah mereka sebagai bahasa liturgi, dalam hal ini bahasa
Mesir dalam bentuk Koptik.
Oleh karena itu, penduduk Mesir seharusnya
sudah tidak asing dengan keragaman yang ada. Berbagai
budaya dan peradaban telah mewarnai Mesir dan
memberikan sumbangan yang tidak sedikit bagi negara
tersebut. Hubungan antar agama yang menghangat
merupakan sebuah pengingkaran atas sejarah-sejarah
mereka.
148
Usaha-usaha dialog juga telah digagas oleh
berbagai pihak, baik melalui pendekatan maupun
organisasi-organisasi tertentu. Dalam konteks pendekatan,
isu dialog antar agama (Inter-Faith Dialogue) coba
diangkap menjadi agenda nasional. Pembahasan dialog
tersebut harus disesuaikan dengan topik-topik nasional
yang ada dan berada dalam lindungan pemerintah.
Partisipan dialog terdiri dari pemerintah/golongan elit,
golongan sekuleris, pemuka agama dan golongan pemuda.
Namun usaha ini juga memiliki hambatan berupa
overpolitisasi dan intervensi pemerintah yang memiliki
kepentingan tertentu. Karenanya, perlu dipahami batas-
batas keleluasaan pemerintah dalam hal dialog demi
tecapainya tujuan dialog.
Dalam konteks organisasi, di Mesir telah
bermunculan berbagai organisasi lintas agama yang
menjadi wadah terciptanya dialog. Beberapa organisasi
tersebut adalah al-Azhar Committee for Dialogue,
Religious Fraternity Association, Muslim Brotherhood
Group, Coptic Ortodox Church, Coptic Evangelical
Church, Roman Catholic Church, Moral Rearmament
Society dan Studio 206. Yang menarik adalah
tercantumnya golongan Islamis yang terkenal keras
Muslim Brotherhood Group (Ikhwan al-Muslimin) sebagai
wadah dialog lintas agama. Ini membuktikan bahwa partai
tersebut tidaklah dihuni oleh para islamis yang eksklusif
seperti anggapan selama ini, namun juga para islamis yang
peduli dengan hubungan dan dialog antar agama di Mesir.
149
Selain usaha-usaha tersebut, perlu diingat bahwa
dalam usaha dialog harus mendalam dan menyeluruh.
Kelemahan dialog antar agama adalah terlalu banyak basa
basi dan tidak menyinggung ke masalah pokok dan paling
fundamental. Para aktivis dialog juga perlu mencari dan
meneliti “vocal incidents” yang menjadi cikal bakal
munculnya sentimen anti Koptik di Mesir misalnya. Vocal
incidents tersebut dalam berupa insiden besar maupun
kecil yang terjadi di masa lampau maupun yang terjadi
belakangan. Setelah menemukan vocal incidents, maka
tugas para aktivis perdamaian adalah menjernihkan
penafsiran atas insiden tersebut, meskipun terkadang perlu
(re)konstruksi narasi atas realitas yang ada.
Penutup
Usaha-usaha dialog antar agama di Mesir perlu
terus digalakkan mengingat Kristen Koptik selalu menjadi
sasaran empuk berbagai bentuk protes. Penangkapan
organisasi Koptik pada 1981, pembakaran gereja saat
protes kepada Presiden Husni Mubarok, bom gereja saat
protes terhadap Presiden Morsi, dan berbagai tuduhan
lainnya senantiasa menghinggapi kelompok ini dan
menjadi legitimasi untuk melakukan serangan. Berbagai
pihak perlu kiranya untuk ikut andil dalam penciptaan
suasan kondusif pasca berbagai ledakan bom demi
mencegah lahirnya konflik sektarian yang lebih dahsyat
dan berdarah di Mesir.
150
Daftar Bacaan:
Nimer, Abu, Emily Welty and Amal I. Khoury. 2007.
Unity and Diversity: Interfaith Dialogue in the
Middle East. Washington DC: United States
Institute of Peace Press.
Nimer, Abu. 2010. Nirkekerasan dan Bina-Damai dalam
Islam: Teori dan Praktik, ed. Bahasa Indonesia
oleh Rizal Panggabean dan Ihsan Ali Fauzi.
Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi
Hrbek, I. 1990. General History of Africa II, Africa from
the Seventh to the Eleventh Century. California.
Mokhtar, Ed. G.1981. General History of Africa, vol. II
Ancient Civilisations of Africa. London:
Heinemann.
Smart, Ninian. 1984. The Religious Experience of
Mankind, Third Edition. New York: Charles
Scribner‟s Sons.
https://kumparan.com/jihad-akbar1487918664529/dua-
serangan-bom-di-mesir-tewaskan-43-orang
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/04/150429_me
sir_islamis_gereja
http://m.detik.com/news/internasional/d-
3368888/ledakan-bom-guncang-gereja-di-kairo-25-
orang-tewas
151
Sejarah Konflik Kristen-Islam di Indonesia
156
Bahan bacaan:
Arifianto, Alexander R. 2009. Explaining the Cause of
Muslim-Christian conflicts in Indonesia: Tracing
the Origins of Kristenisasi and Islamisasi. Islam
and Christian Muslim Relation Journal, Vol. 20,
No. 1, 73-89, January 2009
Saidi, Anas. 2004. Menekuk Agama, Membangun Tahta:
Kebijakan Agama Orde Baru. Jakarta Selatan:
Desantara Utama.
157
Rumah Ibadah (Note)
Sumber berita:
https://m.tempo.co/read/news/2017/03/24/214859380/gere
ja-santa-clara-bekasi-klaim-telah-penuhi-semua-
persyaratan.
https://www.vice.com/id_id/article/ricuh-di-gereja-santa-
clara-lampu-kuning-meningkatnya-intoleransi-
antar-agama
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20170324163936-
20-202562/wali-kota-bekasi-effendi-disalahkan-
soal-gereja-santa-clara
163
Bencilah Seperlunya (Note)
165
Ketika beberapa golongan mengalamatkan adanya
ketidakberesan dalam memfungsikan agama sebagai
landasan kebencian atau propaganda, mereka akan
mendapat label “liberal”, “sekuler” dan lain sebagainya.
Bila mereka mengkritik beberapa petinggi atau pemuka
organisasi keagamaan, mereka dianggap mencaci dan
melecehkan ulama. Bila mencari titik temu dalam dialog,
mereka dianggap mengkompromikan urusan agama dan
Tuhan. Sebaliknya, mereka mengumandangkan gaung
diskriminatif dengan dalih kenyataan, mengkritik –
bahkan mencaci – para tokoh yang berseberangan dengan
mereka dengan dalih ucapan kebenaran perlu ditegakkan
meski dengan ucapan yang mengandung kebencian dan
angkara murka. Mereka juga menghindar dari usaha
dialog dan kompromi antar elemen masyarakat dengan
tuduhan adanya upaya penggembosan dan kongkalikong
antar penyelenggara dan pihak-pihak yang terkait.
Merekalah kebenaran dan pihak lainlah ketidakbenaran.
Salah satu contoh terbaru adalah pembatalan acara
kebaktian di Stadion Kridosono, Yogyakarta yang
sejatinya diadakan pada hari ini, 20 Oktober 2017. Panitia
penyelenggara terpaksa membatalkan acara yang telah
digagas sejak bulan Mei lalu dengan alasan menjaga
menjaga keberagaman dan keamaan di tengah suasana
kota Yogyakarta yang sedang tidak kondusif. Dalam
wawancaranya, panitia menyebutkan adanya penolakan –
hingga ancaman – dari pihak-pihak tertentu dan
melampirkan surat keberatan kepada pihak yang berwajib.
Bila ingin lebih menelisik lebih dalam isu ini, niscaya
166
akan kita dapati hal-hal yang berkaitan dengan
“kristenisasi”, “majunya agama Kristen” dan ungkapan-
ungkapan penuh kebencian lainnya. Bukankah umat
mayoritas dapat melaksanakan ibadah sholat ied di
berbagai tempat umum, penyesuaian jam kerja saat bulan
puasa, mengadakan pengajian rutin, tabligh akbar dan
istighatsah tanpa ancaman? Apakah standar ini hanya
berlaku pada tertentu? Selain acara keagamaannya,
seluruhnya diklaim sebagai Kristenisasi, Hinduisasi,
Budhaisasi hingga Konghucuisasi yang otomatis akan
dilanjutkan pada Cinaisasi? Ketika mendapatkan larangan
serupa, mereka akan berkoar-koar akan adanya konspirasi
A, konspirasi B, pelemahan sendi-sendi agama, politisasi,
intrik politik dan sebagainya.
Ketika pemuka agama dan pemeluknya
menyuarakan dakwah ke jalan yang benar, maka tatkala
pemuka agama lain yang mengumandangkan hal yang
senada dengan gaya bahasa agama masing-masing akan
mendapatkan predikat “gerakan pemurtadan”. Dakwah
kepada agama atau Islamisasi adalah suatu hal yang baik
dan lazim, sebaliknya penginjilan dan gerakan evangelis
adalah suatu dosa dan pelanggaran. Pelakunya harus
dituntut secara hukum dan diberi hukuman – baik materi
maupun non materi – yang seberat-beratnya.
Mari sedikit bergeser ke bahasan lain. Saya
pribadi sebagai mahasiswa yang pernah belajar tentang
studi-studi agama dunia sering mengalami kemirisan dan
kegelisahan pribadi, entah ilmiah atau tidak. Ketika
berbicara tentang agama lain semua mahasiswa – dan
167
beberapa pengajar – segera memandangnya dari kacamata
Islam dan melabelinya dengan label “kafir” dan “kekal di
Jahannam” tanpa memerdulikan sejarah agama tersebut.
Saya tidaklah memandang agama mereka benar dan tidak
mengakui agama yang saya anut saat ini, namun dalam
studi tentang agama lain tidak dapatkah kita berbuat adil
saat mempelajari agama mereka seperti saat mempelajari
agama sendiri? Saya tidak pernah menganggap bahwa
semua agama sama atau semua agama benar, namun
berikan porsi pembelajaran yang sama bagi semuanya.
Toh, kita hanya mempelajarinya sebagai suatu mata
pelajaran dan bertujuan untuk membuka wawasan
keberagaman di dunia bukan untuk mengimani konsep
ketuhanan dan kepercayaan mereka.
Hal lain yang tak kalah menggelisahkan adalah
adanya ejekan-ejekan dan hinaan terhadap kepercayaan,
peribadatan dan konsep ketuhanan agama lain. Saya pikir
tidak perlu untuk menuliskannya di sini karena hanya
menambah panjang daftar penistaan agama yang tidak
perlu. Alasan yang diberikan saat saya menegur pun
sungguh luar biasa “Tuhannya orang kafir buat apa
dihormati, kan sudah pasti masuk neraka?”. Sungguh
jawaban yang seharusnya tidak keluar dari pikiran dan
lisan seorang mahasiswa. Tidak meyakini tataran teologis
– atau bahkan membenci- suatu agama tidak menjadi
syarat bahwa kita boleh memperolok-olok agama mereka
dan kepercayaan mereka. Mereka memang kafir sesuai
ajaran agama kita, namun ingat pula bahwa kita juga
“domba yang tersesat” bagi ajaran mereka. Mendengar
168
kata “domba” beberapa pihak dari kita akan langsung naik
pitam dan terbakar telinganya karena dianggap binatang,
tanpa pernah sadar bahwa permisalan hanyalah sebuah
permisalan. Bukankah umat mereka sendiri disebut
“domba” yang mengikuti “sang Gembala”?
Ketika oknum dari agama kita dilabeli intoleran
dan anti-kebhinnekaan, kita merespon dengan mencaci
maki mereka dan mengatakan bahwa merekalah yang
intoleran sesungguhnya. Ketika kita dengan tenang dan
khusyuk beribadah di rumah ibadah yang dapat ditemukan
setiap 500 M, mereka harus berjibaku memenuhi berbagai
syarat demi melaksanakan peribadatan dan membangun
rumah ibadah. Bilapun telah terbangun, tuduhan
permurtadan dan kristenisasi segera menghujani mereka
sehingga berujung pada pengosongan hingga
penutupannya. Semua pihak selalu merasa paling benar
dan menjadi korban sehingga halal untuk melakukan
perbuatan paling keji sekalipun dalam rangka membela
diri.
Menutup perbincangan ini, saya ingin mengutip
salah satu ayat yang secara tidak sengaja saya baca dan
sangat berkaitan dengan apa yang menjadi uneg-uneg
saya. Allah SWT berfirman:
ْ َ َ َو َال َت ُس ُّب ْوا َّالذ ْي َن َي ْد ُع ْو َن م ْن ُد ْون هللا َف َي ُس ُّب ْوا
هللا َع ْد ًوا ِبغ ْي ِر ِعل ٍم ِ ِ ِ ِ
)108 :(ألانعام
171
Belajar dari “The Imam and The Pastor”: Ketika
Agama Membawa Kedamaian Bukan Perang
175
Membangun perdamaian antar agama bukanlah
hal mudah. Saat ini cita-cita mulia tersebut harus
menghadapi banyak rintangan dan tantangan, antara lain
tuduhan mengkompromikan ajaran agama tertentu,
tuduhan sebagai pengkhianat agama atau munaafiq,
dihadapkan pula pada mayoritas yang diam (silent
majority), dan potensi kesalahan penafsiran dan
interpretasi ayat-ayat suci, baik karena tidak adanya ilmu
yang memadai, maupun karena ulah jahil dan keserakahan
para pemuka agama. Sebab terakhir inilah yang
belakangan justru sangat kuat. Para pemuka agama
tersebut menjual ayat-ayat suci Tuhan dengan harga yang
murah dan sesuai keinginan mereka untuk meraup
keuntungan pribadi. Mereka menghalalkan yang haram
dan mengharamkan yang halal demi mencapai tujuan
mereka. Selain itu, membina perdamaian antar agama
bukanlah sebuah upaya pluralisme atau altruisme. Imam
Ashafa dan Pastor James menjelaskan dengan gamblang
bagaimana keyakinan mereka masing terkait Nabi Isa as,
Yesus, Maria, Tuhan Yang Maha Esa dan berbagai
masalah pada tataran teologis lainnya. Mereka meyakini
ajaran agama mereka masing-masing dan menghormati
ajaran agama lain yang tidak sejalan, bukan justru
membentur-benturkan dan berdebat satu sama lain demi
mencari agama yang paling benar. Bukankah semua
agama benar menurut pemeluk dan anggapan mereka
masing-masing?
Memori peperangan yang menimbulkan kesedihan
dan trauma mendalam dalam hati kedua tokoh tersebut
176
membuat mereka giat membina perdamaian di berbagai
belahan bumi. Kurang lebih 25 tahun mereka bahu
membahu menyebarkan perdamaian dan mengakhiri
peperangan. Imam Ashafa telah kehilangan sepupunya di
tangan milisi Pastor James, sebaliknya Pastor James harus
rela kehilangan tangan kanannya saat berhadapan dengan
pasukan milisi pimpinan Imam Ashafa. Memori akan
pedihnya peperangan dan indahnya perdamaian membuat
mereka memperdalam ajaran cinta yang sesungguhnya
dari agama masing-masing. Mereka saling mencintai
karena Tuhan dan membenci karena Tuhan. Bila ada satu
hal yang buruk pada saudara kita, hendaknya kita
membenci perbuatannya yang salah dan bukannya
membenci semua sisi pada dirinya.
Last but not least, morality without spirituality
will be failed as they practiced before. Religion is not the
problem that caused many violences and wars. The real
problem is the drunken driver who drives it for his greed
or political interests. From now, lets engage the universe
based on our religion‟s teaching about love.
177
TENTANG PENULIS
178