Anda di halaman 1dari 4

1.

Definisi
Herpes zoster (HZ) merupakan penyakit infeksi virus tersering pada geriatri. Herpes zoster
terjadi akibat reaktivitasi virus varisela zoster (VVZ) yang menetap laten pada ganglia radiks
dorsalis

7. Etiologi
Varicella zoster virus (VZV) adalah nama lain dari human herpesvirus 3 (HHV-3), yakni
jenis virus herpes yang menjadi penyebab dari 2 jenis penyakit yaitu cacar air (varicella) dan
herpes zoster/HZ (shingles).10 Varicella zoster virus merupakan anggota keluarga
herpesviridae, seperti virus herpes simplex virus (HSV) tipe 1 dan 2, cytomegalovirus
(CMV), Epstein-barr virus (EBV), human herpesvirus 6 (HHV-6), human herpesvirus 7
(HHV-7), dan human herpesvirus 8 (HHV-8).6,11 Varicella zoster virus merupakan jenis
virus deoxyribonucleic acid (DNA), alphaherpesvirus yang memiliki besar genom 125.000
bp, berselubung, dengan diameter 80-120 nm. Virus ini memberi kode kurang lebih 70-80
protein, salah satunya enzim thymidine kinase yang rentan terhadap obat antivirus karena
memfosforilasi aciclovir, sehingga menghambat replikasi virus DNA.10,6 Selubung protein
virus diduga berperan dalam interaksi dengan molekul permukaan sel seperti reseptor
mannose-6-phospate atau glikoprotein myelin. Glikoprotein VZV B (gB), gH dan L berfungsi
sebagai kompleks inti dan glikoprotein selubung lain berfungsi sebagai protein tambahan.
Tegument protein termasuk immediate-early protein 62 (IE62) sebagai protein utama
berfungsi sebagai faktor transkripsi atau disebut transaktivator virus, keluar dan akan
dipindahkan ke inti sebelum terjadi sintesis protein
4. Patogenesis
Patogenesis HZ belum seluruhnya diketahui. Herpes zoaster disebabkan oleh reaktivasi virus
varicella zoaster. Selama infeksi varisela, VVZ melewati kulit dan permukaan mukosa ke
dalam ujung saraf sensoris yang berdekatan dan dibawa secara sentripetal menuju ganglia
sensoris. Sel T yang terinfeksi membawa VVZ ke ganglia sensoris secara hematogen.3,6
Infeksi laten virus terjadi dalam ganglia dan berlangsung seumur hidup. Virus tidak
berkembang dan tidak ada kerusakan saraf yang ditimbulkan selama periode laten, namun
virus tetap mempertahankan potensinya untuk berubah menjadi infeksius apabila terjadi
reaktivasi. Reaktivasi virus dapat diakibatkan oleh usia lanjut, keadaan imunosupresi, stres
emosional, radiasi kolumna spinalis, keterlibatan tumor medula spinals, tumor ganglion
radiks dorsalis, trauma lokal, manipulasi bedah tulang belakang, dan sinusitis frontalis.
Perubahan sistem imun adaptif pada kelompok geriatri berisiko lebih rentan terjadi infeksi
virus. Stimulasi antigenik kronis inflam-aging meningkatkan sel T memori CD8 dan pro
inflamasi Th17 menyebabkan kemampuan melawan patogen menurun.7 Seiring
bertambahnya usia akan terjadi kelemahan atau frailty, keadaan dinamis yang mempengaruhi
individu dengan kehilangan satu atau lebih domain fungsi manusia (fisik, psikologis, dan
sosial), yang disebabkan pengaruh berbagai sebab dan meningkatkan dampak merugikan. 8
Frailty berkorelasi dengan bertambahnya usia dan, menurut penelitian terbaru, adalah sekitar
10% terjadi pada usia> 65 tahun dan 50% pada usia> 85 tahun. Keadaan imunosenescence
disertai penurunan CMI berkorelasi dengan insidensi HZ. Imunitas yang dimediasi sel
terhadap VVZ akan mengalami perubahan seumur hidup. Infeksi primer oleh VVZ
mengakibatkan induksi sel-T memori. Seiring bertambahnya usia, jumlah sel-T memori
spesifik VVZ menurun. Penurunan imunitas spesifik VVZ, baik karena imunosenescence
alami penuaan atau imunosupresi sekunder untuk penyakit tertentu (keganasan, HIV / AIDS)
atau terapi imunosupresan, diketahui mendukung reaktivasi VVZ.

3. Epidemiologi
Faktor risiko untuk reaktivasi VVZ menjadi HZ salah satunya adalah usia lanjut.2 Menurut
World Health Organisation (WHO) dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kem
Kes RI) tahun 2015, pasien geriatri adalah pasien usia lanjut yaitu, seseorang yang telah
memasuki usia 60 tahun keatas, dengan beberapa penyakit dan atau gangguan akibat
penurunan fungsi organ, psikologi, sosial, ekonomi dan lingkungan yang membutuhkan
pelayanan kesehatan secara terpadu dengan pendekatan multidisiplin yang bekerja secara
interdisiplin. 9,10,11 Studi di Eropa dan Amerika Utara menunjukkan, bahwa kejadian HZ
sebesar 1,5 - 3 per 1.000 orang per tahun dan 7 - 11 per 1.000 per tahun pada orang berusia di
atas 60 tahun. 1,3 Kelompok Studi Herpes Indonesia (KSHI) tahun 2011 – 2013
menunjukkan bahwa total pasien HZ pada 13 rumah sakit pendidikan di Indonesia adalah
2232 orang, dengan puncak kasus HZ terjadi pada usia 45-64 yaitu sebanyak 851 kasus
(37,95 % dari total kasus HZ) dan total kasus NPH sebanyak 593 kasus (26,5 % dari total
kasus HZ) dan puncak kasus NPH pada usia 45-64 yaitu 250 kasus (42 %).6 Hope-Simpson
melaporkan kejadian nyeri pada NPH menetap pada 3 bulan setelah munculnya lesi awal
adalah 3-4 % pada kelompok usia 30-49 tahun, 21% pada kelompok usia 60-69 tahun, 29 %
pada kelompok usia 70- 79 tahun, dan 34 % pada kelompok usia > 80 tahun.

6. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis HZ pada geriatri sama dengan populasi dewasa, yaitu didahului dengan
gejala prodromal dan diikuti oleh erupsi kulit pada dermatom yang terkena. Pada geriatri,
ruam mungkin menunjukkan penampilan tidak khas (atipik) dan terbatas pada patch kecil di
dalam dermatom, atau dalam bentuk makulopapular tanpa berubah menjadi vesikel.2 Nyeri
merupakan keluhan HZ yang paling sering terutama pada populasi geriatri. Nyeri dapat
terjadi pada fase prodromal, saat stadium erupsi kulit (nyeri akut) dan setelah lesi sembuh.
Nyeri akut pada geriatri lebih berat dan bertahan lebih lama dibandingkan pada dewasa atau
anak-anak. Nyeri yang tersebar pada saraf sensoris akan menetap atau dapat memanjang
setelah lesi kulit sembuh yang disebut sebagai NPH.5 Manifestasi klinis HZ menimbulkan
pengaruh fisik pada pasien geriatri berupa keterbatasan gerak, sulit tidur, penurunan nafsu
makan, dan berat badan. Pengaruh pada psikis berupa depresi, gelisah, tekanan emosional,
dan sulit berkonsentrasi. Pengaruh tersebut akhirnya akan memengaruhi aktivitas dasar
sehari-hari, perubahan peran sosial, dan penurunan aktivitas sosial.4,5 Pada pasien geriatri,
HZ memberikan beberapa variasi klinis khusus, antara lain zoster sine herpete, herpes zoster
abortif,sindrom Ramsay-Hunt, herpes zoster oftalmikus, herpes zoster generalisata, dan
herpes zoster pada pasien imunokompromais. Sindrom Ramsay-Hunt dan herpes zoster
oftalmikus merupakan variasi klinis yang sering terjadi pada pasien geriatri. Sindrom
Ramsay-Hunt adalah HZ di liang telinga luar atau membran timpani, menimbulkan gejala
dan lesi di mulut, faring, atau laring, dapat disertai paralisis fasialis, gangguan lakrimasi,
gangguan mengecap pada 2/3 bagian depan lidah, tinitus, vertigo, dan tuli. Pada keadaan ini
virus menyerang nervus fasialis dan nervus auditorius. Herpes zoster oftalmikus merupakan
HZ yang mengenai ganglion oftalmikus yaitu cabang pertama nervus trigeminus; bila
mengenai cabang nervus nasosiliaris dapat menimbulkan kelainan pada mata yang bisa
berupa konjungtivitis, keratitis, uveitis anterior, iridosiklitis, bahkan panoftalmitis.1,3,6
Herpes zoster generalisata atau diseminata muncul dengan lesi utama yang disertai
penyebaran vesikel-vesikel soliter pada tubuh. Keadaan ini dapat dijumpai pada pasien
immunokompromais atau geriatri.

Diagnosis
Pada tahap awal perkembangan lesi HZ, tampak makula eritem yang berkembang menjadi
papul, kemudian dalam 1-2 hari berkembang menjadi vesikel dan akan lebih jelas dalam 3-4
hari. Lesi pustular terjadi mulai satu minggu setelah onset kemerahan dan dalam 3-5 hari
menjadi ulkus dan krusta. Krusta selesai dalam kurun waktu 3-4 minggu. Skar, lesi
hipopigmentasi dan hiperpigmentasi dapat menetap setelah herpes zoster sembuh.14 Pada
kelompok usia lanjut, erupsi lokal kadang menjadi nekrotik, sembuh dalam beberapa minggu,
serta diikuti skar yang berat. Membran mukosa yang termasuk dalam area dermatom juga
dapat terkena.4 Pada anak dan usia dewasa muda dengan imunitas yang baik, HZ umumnya
dapat sembuh tanpa gejala sisa. Intensitas rasa nyeri, lesi kulit, dan derajat keparahan
komplikasi HZ dapat memberat seiring dengan bertambahnya usia dan jika terdapat
gangguan pada imunitas.5 Kekambuhan herpes zoster umumnya jarang terjadi dan terbatas
pada pasien immunocompromised. Diagnosis klinis HZ dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan gambaran klinis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan vesikel berkelompok
dengan dasar berwarna kemerahan, unilateral dan tersebar dermatomal. Pada karakteristik
dengan ruam yang tidak khas, HZ diseminata, atau dengan lesi yang minimal maupun tidak
terdapat kelainan kulit; zosteriform herpes simplex, kemerahan karena enterovirus, poxvirus,
zoster tanpa kelainan kulit (zoster sine herpete) namun kadang ditandai adanya paralisis
wajah, meningitis, stroke, myelitis, dan infeksi gastrointestinal.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis HZ. Pemeriksaan
sederhana menggunakan apusan Tzank dengan pewarnaan Giemsa dapat membantu
menegakkan diagnosis secara cepat untuk mengidentifikasi adanya perubahan sitologi sel
epitel yang menunjukkan gambaran multinucleated giant sel. 5 Pemeriksaan vesikel dengan
pewarnaan immunofluorescence atau immunoperoxidase untuk mengamati material sel yang
terdeteksi VZV lebih signifikan dan lebih cepat dibandingkan kultur.9 Pemeriksaan serum
antibodi memberikan hasil yang akurat namun membutuhkan waktu hingga terbentuk
antibodi pada pasien. Serum antibodi anti-IgM VZV umumnya tidak membantu dan tidak
spesifik.11 Pemeriksaan laboratorium lain yang dapat digunakan yaitu pemeriksaan
polymerase chain reaction (PCR) yang digunakan untuk mengidentifikasi antigen/ asam
nukleat VZV.6,16 Material yang diambil berasal dari vesikel (swab, cairan), saliva pasien
yang tidak terdapat gejala manifestasi kulit, dan cairan serebrospinal jika terdapat gejala
tanda neurologis.5 Pemeriksaan DNA melalui PCR memiliki sensitivitas dan specificity yang
paling tinggi dan merupakan baku emas untuk diagnosis dengan mengetahui genom dari
VZV.16,17 Kultur virus merupakan pemeriksaan yang sangat spesifik namun tidak sensitif,
selain itu hasilnya baru bisa didapatkan lebih dari 1 minggu.17 Pemeriksaan serologis dapat
membantu penegakan diagnosis VZV bila di dalam serum convalescence terdapat
peningkatan 4 kali lipat titer VZV relatif terhadap serum akut. PCR merupakan pemeriksaan
yang sangat sensitif, relatif cepat, dan mulai banyak digunakan sebagai metode deteksi VZV.
PCR juga dapat digunakan untuk mengetahui adanya resistansi aciclovir.
Purnamasari I, Damayanti. Herpes Zoaster pada Geriatri. Jurnal Universitas Airlangga. 2020.
10(5); 2-5.
Listiawan Y. Panduan Praktis Klinis Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr Soetomo
Surabaya. 2020
Tata Laksana
Mengingat insidens, dampak yang signifikan terhadap kualitas kehidupan, baik pasien
maupun keluarganya, dan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan herpes zoster
dan komplikasinya, diperlukan pencegahan antara lain dengan cara vaksinasi. Vaksin herpes
zoster yang tersedia di Indonesia mengandung Virus Varicella-Zoster (VZV) strain
Oka/Merck hidup yang telah dilemahkan. Dosis pemberian adalah sebanyak satu vial (0,65
mL) mengandung 19,400 plaque forming units [PFU] VZV, secara subkutan di regio deltoid.
Vaksin ini tidak boleh diberikan secara intramuskuler ataupun intravena. Vaksin herpes
zoster tidak diindikasikan untuk pengobatan herpes zoster ataupun neuralgia pascaherpetika.
Beberapa studi uji klinis dengan jumlah sampel besar telah dilakukan untuk membuktikan
efektivitas vaksin herpes zoster. Salah satu studi terbesar adalah oleh Oxman, dkk.
melibatkan 38.546 individu berumur lebih dari 60 tahun. Studi ini menunjukkan bahwa
pemberian vaksin dapat menurunkan angka kejadian herpes zoster sebesar 51,3% dan angka
komplikasi neuralgia pascaherpetika sebesar 66,5%. Efektivitas vaksin herpes zoster
dipengaruhi oleh faktor usia resepien, lebih baik pada kelompok usia lebih muda (60-69
tahun) dibandingkan dengan kelompok usia lebih dari 70 tahun, yaitu 63,9% berbanding
37,6%, dalam menurunkan insidens herpes zoster. Selain untuk pencegahan, vaksin juga
bermanfaat menurunkan lama nyeri apabila individu tersebut terkena herpes zoster. Dalam
studi ini efek samping yang sering ditemukan bersifat lokal pada lokasi penyuntikan, yaitu
berupa eritema, nyeri, bengkak, dan gatal.22 Schamader, dkk. melakukan uji klinis tersamar
ganda mengenai efektivitas vaksin herpes zoster pada lebih dari 20.000 subjek berumur 50-59
tahun di Amerika Utara dan Eropa pada tahun 2012. Pada kelompok penerima vaksin, terjadi
penurunan insidens herpes zoster selama pengamatan, yaitu 30 kasus berbanding dengan 99
kasus pada kelompok plasebo, efektivitas vaksin herpes zoster pada kelompok pasien ini
69%. Efek samping yang umum terjadi pada studi ini bersifat lokal dan sistemik seperti nyeri
kepala. Kejadian efek samping serius sangat rendah dan tidak berbeda dari kelompok
placebo.
Adiwinata R, Suseno E. Peran Vaksinasi dalam Pencegahan Herpes Zoster. Jurnal Fakultas
Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. 2018. 43(6): 24-30.

Anda mungkin juga menyukai