PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Dosen Pengampu :
PAI-1F
Disusun Oleh
Kelompok 6 :
NOVEMBER 2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT. yang telah memberi
kesempatan, nikmat, rahmat, taufiq, hidayah, serta inayah sehingga kami dapat
menjalani aktivitas belajar hingga saat ini. Sholawat dan salam semoga tetap
terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa
dari zaman jahiliyah menuju zaman islamiyyah, yakni Addinul Islam. Semoga kita
kelak mendapat syafaatnya nanti di Yaumul Qiyamah, Aamiin.
Makalah ini kami buat dalam rangka memenuhi tugas dari Bapak Hamda
Kharisma, M.Pd. Kami menuliskan beberapa materi mengenai mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan yaitu tentang Pemerintahan dan Hubungan Sipil-
Militer.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, tidak lupa
ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Bapak Hamda Kharisma, M.Pd sebagai
dosen pengampu yang telah memberikan tugas ini kepada kami serta telah
membimbing kami pada mata kuliah ini.
Kami menyadari makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................. 2
DAFTAR ISI………………………...……………………………………………….3
3
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
C.F Strong mendefinisikan pemerintahan dalam arti luas sebagai segala
aktivitas badan-badan publik yang meliputi kegiatan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif dalam usaha mencapai tujuan negara. Sedangkan pemerintahan dalam arti
sempit adalah segala kegiatan badan-badan publik yang hanya meliputi kekuasaan
eksekutif.
Menurut para ahli, pengertian sipil adalah seorang warga negara yang
statusnya adalah sebagai masyarakat umum biasa dan bukan merupakan anggota
militer, angkatan bersenjata ataupun anggota kepolisiaan. Sipil juga bearrti orang
yang bukan termasuk ke dalam anggota angkatan bersenjata dari suatu milisi atau
suatu negara dan tidak ikut terlibat dalam situasi permusuhan konflik senjata atau
atau peperangan militer. Contoh warga sipil adalah petani, nelayan, pedagang, guru,
pelajar, dan sebagainya. Sedangkan pengertian militer adalah bagian dari warga sipil
yang mempunyai kualifikasi militer terdidik, dibentuk dan dilatih untuk melakukan
pertahanan negara secara militer.3
1
Haryanto dkk, 1997:2-3
2
KBBI
3
Suryanto Suryokusumo.2016.Buku Konsep Sistem Pertahanan Non Militer.
4
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pemerintahan?
Tujuan
1. Mengetahui pengertian pemerintahan
5
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Pemerintahan
Pemerintahan dalam arti luas adalah segala bentuk kegiatan atau aktivitas
penyelenggara Negara yang dilakukan oleh organ-organ Negara yang mempunyai
otoritas atau kewenangan untuk menjalankan kekuasaan dalam rangka mencapai
tujuan. Sedangkan pemerintah dalam arti sempit adalah aktivitas atau kegiatan yang
dilakukan oleh fungsi eksekutif saja dalam hal ini yang dilakukan oleh presiden,
menteri-menteri sampai birokrasi paling bawah. 4
4
Nurmi Chatim, Hukum Tata Negara, (Pekanbaru:Cendikia Insani, 2006), h. 46
6
yang diberikan, tanpa adanya wewenang perintah dianggap tidak sah dan hilanglah
kekuatan hokum dari perintah itu. Sedangkan di beberapa negara, antara pemerintah
dan pemerintahan tidak dibedakan. Misalnyadi Inggris, Inggris familiar dengan
sebutan “government”, kemudian Prancis menyebutkan sebagai “Gouvernment”.
Kedua kata tersebut disadur dari Bahasa Latin, yakni “gubernacalum” atau yang biasa
kita sebut sebagai gubernur. Dalam Bahasa Arab sendiri disebut dengan “hukumat”,
dan di Amerika Serikat disebut dengan “administration”. Pemerintahan dalam arti
luas adalahs egala sesuatu yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan
kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara sendiri.5
5
Adiwilaga,Rendy. Alfian, Yani.Ujud, Rusdia.Sistem Pemerintahan Indonesia.2018. (Deepublish
(Grup Penerbitan CV Budi Utama; Yogyakarta.) Cet.1. h 3-4
6
C.S.T kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, (Jakarta:PT. Rineka Cipta, 2000), h. 91
7
Ibid.
7
diantara organ-organ Negara tersebut baik secara vertikal maupun secara horizontal
untuk mencapai suatu tujuan yang ingin dicapai.8
8
Ibid.
9
yafaruddin, Makalah KONSEP DAN METODOLOGI PERBANDINGAN PEMERINTAH.
10
Ibid, hal 6
8
Bentuk pemerintahan sipil ini terjadi karena tidak adanya perbedaan antara
sipil dan militer, tanpa perbedaan maka tidak akan timbul konflik yang serius diantara
mereka. dengan demikian tidak terjadi campur tangan militer. 11
Dalam hal ini muncul karakteristik pemerintahan sipil yang berpijak atas
hubungannya dengan militer, antara lain pemerintahan sipil adalah sebuah bentuk
pemerintahan yang bergaya sipil, semua keputusan pemerintah dapat menjadi
perintah apabila telah dimusyawarahkan terlebih dahulu dan diambil keputusannya
11
Eric Nordlinger, Militer dalam Politik ( Jakarta : Rineka Cipta 1994) hal 18-19.
12
bid, hal 20-21
9
dalam suatu pemungutan suara (referendum). Dan telah mendapat pengesahan dari
lembaga negara yang berwenang.13
13
Diamond, Larry, Hubungan Sipil Militer & Konsolidasi Demokrasi, Jakarta: PT.Grafindo Jaya
Persada, 2001. Hal 44
10
Karakteristik Pemerintahan Militer
Selain Negara kita yang pernah didominasi oleh Militer, Negara lain yang
bisa diambil contoh melaksanakan pemerintahan militer, contoh Junta
Militer di Burma (Myanmar), Kuba Korea Utara, dan negara-negara di
Amerika Latin.
11
Spanyol, junta sendiri berarti "(rapat) bersama", dan biasanya digunakan
untuk berbagai kumpulan yang bersifat kolegial (hubungan kerekanan).
12
b. Kegagahan sistem politik dari kalanngan sipil yang memerintah
(untuk kasus Indonesia terjadi pada masa demokrasi terpimpin dari
pada 1965) atau kelompok sipil dipandang tidak mampu memberikan
jaminan tertib politik dan stabilitas politik.
1) Moderator Pretorian
Ciri khas moderator praetorian adalah meraka mengunakan hak veto atas
keputusan pemerintahan dan politik,tanpa menguasai pemerintahan itu
sendiri.
2) Pengawal Pretorian
3) Penguasaan Pretorian
14
Nordlinger, Eric. Militer dalam politik. Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
13
D. Hubungan Pemerintahan Sipil dan Militer
Makna hubungan sipil-militer di Indonesia lebih mengandung pengertian
adanya kerjasama, hubungan kemitraan atau keselarasan antara sipil dan
militer. Secara historis pola hubungan sipil-militer Indonesia lebih banyak merupakan
suatu pembagian peran antara sipil-militer yang sangat nyata.
Menurut perspektif legal formal, persoalan utama hubungan sipil-militer terletak pada
masalah ancaman yang dilakukan militer untuk mengontrol pemerintahan dan
kebebasan individu. Pemecahan masalah ini, dipandang melalui perspektif
memelihara kontrol sipil atas militer melalui seperangkat konstitusi checks and
balances.
Perspektif tersebut masih dapat digunakan untuk melihat persoalan
hubungan sipil-militer di Indonesia, mengingat besarnya intervensi militer di masa
orde baru. Dalam wacana politik modern, intervensi militer dalam kehidupan politik
merupakan gambaran umum. Peristiwa kudeta militer, pemberontakan militer, dan
rezim militer menjadi peristiwa-peristiwa politik yang terus berkelanjutan.
Di dalam sejarah politik Indonesia, hubungan sipil-militer dapat dijelaskan
melalui pasang surut intervensi sipil atas militer atau sebaliknya. Misalnya pada
demokrasi parlementer, partai politik pernah mendominasi dan mengontrol militer
secara subjektif. Dengan kata lain, kontrol subjektif sipil terhadap militer telah terjadi
secara mendalam dalam tubuh militer, termasuk dalam masalah penentuan posisi
jabatan di dalam struktur TNI (khususnya AD).
Sejarah hubungan sipil-militer mengalami perubahan drastis ketika ORBA lahir.
Sepanjang rezim Soeharto militer menjadi kekuatan dominan atas sipil. Bahkan dapat
disimpulkan peluang campur tangan militer ini semakin besar selama masa demokrasi
Pancasila atau orde baru.
Sejalan dengan berakhirnya kekuasaan Orde Baru pada 21 Mei 1998,
berakhir pulalah dominasai militer dalam perpolitikan nasional. Pada era transisi
menuju demokrasi ini tidak sedikit kritik dan hujatan ditunjukkan masyarakat
terhadap ABRI dan TNI atas peran yang telah dilakukannya selama kekuasaan Orde
14
Baru yang berusia 32 tahun ini. Selama itu pula telah berlangsung hubungan sipil-
militer yang tidak seimbang dan melahirkan krisis yang dialami bangsa indonesia
baik sosial, politik maupun ekonomi.
Menurut Ikrar Nusa Bhakti, secara umum di negara-negara barat terhadap
model hubungan sipil-militer yang menekankan “supremasi sipil atas militer”
(civilian supremacy upon the military), atau militer adalah subordinat dari pemerintah
sipil yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum. Tetapi pada kasus
negara-negara berkembng termasuk indonesia hubungan sipi-militer di negeri ini
tidaklah dapat disamakan dengan kenyataan hubungan sipil-militer di negara-negara
barat yang membedakan secara tegas antara sipil dengan militer. Pandangan umum
Barat ini pada kenyataannya tidaklah menggambarkan hubungan sipil-militer yang
sesungguhnya.
Pada kenyataannya maka hubungan sipil-militer di Indonesia lebih
mengandung pengertian adanya “kerja sama”, “hubungan kemitraan”, atau
“keselarasan antara sipil dan militer”, secara historis pola hubungan sipil-militer
Indonesia lebih banyak merupakan suatu pembagian peran antara sipil-militer
indonesia lebih banyak merupakan pembagian peran antara sipil-militer yang sangat
nyata pada masa revolusi kemerdekaan (1945-1949). Keikutsertaan militer dalam
penataan sosial dan administrasi pemerintahan di masa revolusi fisik itu pada
akhirnya melahirkan konsep Dwifungsi ABRI yang menjadi Doktrin dasar
keterlibatan kaum militer diluar bidang keamanan negara.
Lahirnya konsep dwi fungsi dapat ditelusuri sejak awal berdirinya Republik
Indonesia. Pada saat republik baru diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, belum
ada tentara reguler nasional. Republik baru secepatnya memerlukan perwira untuk
bertempur mempertahankan kemerdekaan. Organisasi yang pertama dibentuk pada 22
Agustus 1945 dinamakan Badan Keamanan Rakyat (BKR), dengan tujuan menjaga
keamanan bersama-sama rakyat dan badan-badan negara yang bersangkutan.
Pola dwifungsi tidak saja terjadi dikalangan militer, tetapi juga dikalangan sipil
Indonesia. Munculnya laskar-laskar rakyat di masa revolusi, satuan-satuan tugas
15
(satgas) partai dan duduknya gubernur atau wakil gubernur militer di berbagai daerah
menjadi faktor sejarah adanya tradisi peran ganda dikalangan sipil.
Dalam sejarah politik Indonesia, hubungan antara sipil-militer dapat di
jelaskan melalui pasang surut intervensi sipil atas militer atau sebaliknya. Misalnya
pada masa Demokrasi Parlementer, partai politik pernah mendominasi dan
mengontrol militer secara subjektif. Dengan kata lain, kontrol subjektif sipil terhadap
militer telah tejadi secara mendalam dalam tubuh militer, termasuk dalam masalah
penentuan posisi jabatan di dalam struktur TNI, khususnya angkatan darat.
Campur tangan sipil ini menimbulkan rasa tidak suka, bahkan dendam
militer terhadap politisi sipil. Satu di antara ketidaksukaan militer dapat dilihat darin
peristiwa 17 Oktober 1952 ketika sepasukan elit TNI-AD mengerahkan mongcong
meriam ke Istana Merdeka untuk memaksa Presiden Soekarno membubarkan
konstituante. Sikap perlawanan ini merupakan ekspresi perlawanan militer terhadap
sipil yang dinilai terlalu jauh mencampuri urusan internal militer.
Sejarah hubungan sipil-militer mengalami perubahan drastis ketika orba lahir.
Sepanjang rezim Soeharto militer menjadi kekuatan dominan atas sipil. Bahkan dapat
disimpulkan peluang campur tangan militer ini semakin besar selama masa
Demokrasi Pancasila atau orde baru.15
Model Dan Faktor Intervensi Militer
Terdapat lima model saluran intervensi yang dilakukan militer, yaitu ;
1. Saluran konstitusi yang resmi.
2. Kolusi atau kompetisi dengan otoritas sipil.
3. Intimidasi terhadap otoritas sipil.
4. Ancaman nonkooperasi dengan atau keharusan terhadap otoritas sipil dan
5. Penggunaan kekerasan pada otoritas sipil.
15
Agus, Kusuma Wirahadi. Mencari format Baru Hubungan Militer. Jakarta: PT Sinarmas, 2006.
16
Terdapat dua faktor (secara umum) campur tangan militer dalam
politik. Pertama, dipengaruhi oleh unsur internal dan eksternal. Kedua, struktur
politik dan institusional masyarakat Indonesia.
Faktor internal ABRI dapat dijelaskan dalam perilaku militer dalam bentuk;
1. Intervensi kalangan perwira karena dilandasi oleh motivasi untuk
membela atau memajukan kepentingan militer yang berlawanan dengan norma
konstitusi.
2. Didorong oleh kepentingan kelas untuk membela nilai-nilai dan aspirasi
kelas menengah yang darinya mereka berasal.
3. Kemahiran profesional dikalangan militer menyebabkan perwira-perwira
percaya bahwa mereka lebih mampu dari segi kepemimpinan nasional
dibandingkan dengan kelompok sipil.
4. Sebagai ambisi pribadi perwira-perwira yang haus wibawa dan kuasa.
Sedangkan faktor eksternal dapat intervensi militer dijelaskan sebagai berikut;
1. Sebagai akibat dari struktur politik masyarakat yang masih rendah dan
rentan.
2. Kegagalan sistem politik dari kalangan sipil yang memerintah.
3. Kelompok sipil dianggap tidak mampu melakukan modernisasi ekonomi.
4. Terjadinya disintegrasi nasional.16
Menurut Jenderal Wiranto, ada tiga perkembangan ekstrem yang harus
dicegah dalah hubungan sipil militer di Indonesia, yaitu: pertama, military overreach,
yaitu militer menguasai berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti pada masa orde
baru; yang kedua, subjective civilian control, yaitu kontrol subyektif pemerintahan
sipil terhadap militer seperti yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin dan
Demokrasi Parlementer; ketiga, pemisahan rakyat dari ABRI.17
16
kurniawanikroma.blogspot.com/2016/09/pemerintahan-dan-hubungan-sipil-militer.html
17
E-book, Ikrar Nusa Bhakti, Hubungan Baru Sipil Militer, hal 9
17
Dalam pengarahannya kepada peserta Lokakarya Kepemimpinan Pertahanan
2010 di Istana Negara, Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan,
tidak perlu lagi ada jarak antara militer dan non militer pada era demokrasi. Beliau
juga menyatakan saat ini tidak perlu lagi ada dikotomi antara sipil dan militer dalam
mengemban tugas untuk negara. "Dulu pernah ada jarak antara militer dan nonmiliter,
antara mahasiswa di perguruan tinggi dan taruna di akademi. Tapi dengan era
demokrasi ini dengan perubahan di TNI tidak lagi menjalankan politik praktis maka
sudah tidak ada perbedaan," tutur Presiden.18
Namun, benar juga bahwa hal ini lalu membuat penafsiran terhadap batas-batas
antara ranah politik dan perang, antara tugas-tugas sipil dan militer, makin tidak jelas.
Antara perang dan politik ibarat dua sisi pada sekeping mata uang. Perang adalah
jalan lain dari politik. Ini lah yang terjadi pada awal pembentukan Indonesia.
Sejak awal kelahirannya ABRI tidak pernah mempersoalkan presiden dari kalangan
sipil dan tidak mendesakkan tampilnya pimpinan nasional dari kalangan militer.
Dalam sejarahnya Panglima Besar Soedirman memberikan keteladanan dalam
membentuk sikap TNI yang mengakui pemerintahan di tangan sipil. Untuk itu
dibuktikan oleh Panglima Besar Soedirman ketika kembali ke Yogyakarta dari medan
18
http://www.antaranews.com/berita/1280488947/presiden-tidak-perlu-ada-dikotomi-sipil-militer
18
perjuangan bergerilya, TNI tetap mengakui kekuasaan tertinggi berada di tangan
Presiden Soekarno.19
Satu hal yang perlu kita (baik militer maupun sipil) refleksikan bahwa
militer Indonesia telah berkembang menjadi militer profesional. Dunia kemiliteran
telah berkembang menjadi dunia profesional, yang bekerja dan mengembangkan
solidaritas tidak hanya atas dasar "semangat patriotisme" tapi atas dasar penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta ketrampilan khusus (profesi) yang terkait
dengan kependidikan.
Namun, hal ini tidak berarti militer kehilangan peran politiknya. Peran politik TNI,
menurut saya, tidak boleh melebihi fungsi dasarnya yaitu pertahanan-keamanan
negara, dan hal itu kini bisa ditafsirkan sebagai tanggung jawab profesi. Peran
tersebut cukup diletakkan pada tataran "kebijakan" (policy) di tingkat pusat, dan tidak
perlu diterjemahkan lebih jauh dengan konsep kekaryaan seperti pada masa Orde
Baru. Dengan demikian, militer bukan lah institusi untuk merintis karier politik dan
meraih insentif ekonomi melalui model kekaryaan. Jika ada militer yang ingin
menjadi bupati, gubernur, menteri bahkan presiden, maka harus melepas jaket hijau-
lorengnya.
Mereka adalah warga sipil, sehingga jabatan politik yang didudukinya bukan
dalam kerangka doktrin dwifungsi, tapi sebagai hak politik setiap warga negara.
19
Mayjen TNI Agus Wirahadikusumah disampaikan dalam seminar nasional "Mencari Format Baru
HubunganSipil-Militer" Jurusan Ilmu Politik Fisip UI, 24 - 25 Mei 1999.
19
Fungsi pertahanan keamanan sebagai TNI professional itu juga menuntut TNI untuk
hanya punya komitmen dan tangung jawab moral terhadap eksistensi Negara
Kesatuan RI. Konsekuensi moral professional dari komitmen dan tanggung jawab
moral ini adalah bahwa TNI hanya mempunyai loyalitas kepada Negara dan bukan
kepada pemerintah. Loyalitas TNI kepada pemerintah hanya sejauh pemerintah yang
berkuasa. Tidak perduli sipil atau militer, menjalankan kekuasaan negara sesuai
dengan tuntutan dan cita-cita moral bangsa, yaitu demi menjamin kehidupan bersama
yang demokratis, adil, makmur, berprikemanusiaan dan menjamin hak asasi manusia.
Maka tidak perlu dibicarakan lagi adanya civilian supremacy yang dianut
dunia Barat, karena adanya supremasi satu golongan terhadap golongan lain tidak
sesuai dengan pandangan Panca Sila dan dapat menjadi benih konflik. Namun secara
organisatoris dengan sendirinya setiap unsur negara harus menjalankan keputusan dan
perintah yang dikeluarkan oleh Pemerintah RI. Maka tanpa ada ketentuan supremasi
sipil dengan sendirinya TNI harus tunduk kepada segala kepatuhan dan perintah yang
dikeluarkan oleh Pemerintah, siapapun yang duduk dalam pemerintah itu. Sebaliknya,
sesuai dengan jati dirinya TNI wajib dan berhak menyampaikan pendiriannya kepada
Pemerintah sekalipun mungkin pendirian itu berbeda dari pandangan Pemerintah.
Dalam mengembangkan pendirian itu TNI harus selalu berpedoman pada Panca Sila
dan Sapta Marga serta Sumpah Prajurit yang secara hakiki berarti bahwa TNI harus
selalu memperhatikan berbagai aspirasi yang berkembang dalam masyarakat.20
20
http://www.detik.com/berita/199905/sayidiman.html
21
MAKALAH HUBUNGAN PEMERINTAHAN SIPIL DAN MILITER_UINSA:Surabaya
20
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Pemerintahan adalah segala bentuk kegiatan atau aktivitas penyelenggara Negara
yang dilakukan oleh organ-organ Negara yang mempunyai otoritas atau kewenangan
untuk menjalankan kekuasaan dalam rangka mencapai tujuan. Sedangkan pemerintah
dalam arti sempit adalah aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh fungsi eksekutif
saja dalam hal ini yang dilakukan oleh presiden, menteri-menteri sampai birokrasi
paling bawah. Pemerintahan Sipil adalah suatu bentuk pemerintahan yang
menggunakan gaya sipil dalam menjalankan kehidupan pemerintahannya, sedangkan
pemerintahan militer adalah suatu pemerintahan yang dipimpin oleh penguasa
diktator yang mengandalkan gaya militer yang sarat dengan disiplin dan kental
dengan ketentaraan. Hubungan antara Sipil dan Militer dalam sejarah lebih
diungkapkan dalam bentuk ekstrim karena kegagalan pemerintahan sipil yang
menyebabkan ketidakstabilan rezim militer yang tidak punya opsi memerintah lebih
baik dari pemerintahan sipil. Sehingga pada akhirnya kedua hal tersebut tidak dapat
berkembang sesuai dengan tujuan yang dimilikinya.
Saran
Melalui penulisan makalah ini, diharapkan pembaca dapat memahami materi yang
ada, dan dapat mencari sumber-sumber lain untuk menambah wawasan dan
pengetahuan. Pada penyusunan makalah ini kami juga sangat menyadari masih
banyak terdapat kekurangan-kekurangan yang terdapat di dalamnya baik berupa
bahasa maupun cara penyusunannya. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran
guna menciptakan penyusunan makalah yang lebih baik lagi.
21
DAFTAR PUSTAKA
KBBI
Ibid.
Diamond, Larry. 2001. Hubungan Sipil Militer & Konsolidasi Demokrasi. Jakarta:
PT.Grafindo Jaya Persada
kurniawanikroma.blogspot.com/2016/09/pemerintahan-dan-hubungan-sipil-
militer.html
http://www.antaranews.com/berita/1280488947/presiden-tidak-perlu-ada-dikotomi-
sipil-militer
22
Mayjen TNI Agus Wirahadikusumah disampaikan dalam seminar nasional "Mencari
Format Baru HubunganSipil-Militer" Jurusan Ilmu Politik Fisip UI, 24 - 25 Mei
1999.
http://www.detik.com/berita/199905/sayidiman.html
23