Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
A. Pengertian Politik
Asal mula kata politik berasal dari kata “polis”, yang berarti negara
kota. Politik dapat berarti suatu disiplin ilmu pengetahuan dan seni.
Politiksebagai ilmu, karena politik atau ilmu politik memiliki objek,
subjek, terminologi, ciri, teori, filosofis, dan metodologis yang khas
dan spesifik serta diterima secara universal, di samping dapat
diajarkan dan dipelajari oleh banyak orang.Politik juga disebut sebuah
seni, karena banyak dijumpai politisi yang tanpa pendidikan ilmu
politik, tetapi mampu menjalankan roda politik praktis. Dalam arti luas,
politik membahas secara rasional berbagai aspek negara dan
kehidupan politik (Handoyo 2008:55).
Heywood (2014) mengutip pandangan Hay dan Leftwich
(2004) memandang politik dalam dua pendekatan. Pertama, politik
diasosiasikan sebagai sebuah arena atau lokasi, yakni sebuah
perilaku menjadi politis disebabkan oleh tempat di mana ia
berlangsung. Pendekatan kedua melihat politik sebagai sebuah
proses atau mekanisme. Dalam pendekatan kedua ini, perilaku
politis adalah perilaku yang memperlihatkan ciri-ciri tertentu dan
karenanya dapat terjadi di setiap konteks sosial.
Pendekatan di atas dirasa kurang jelas, karena tidak
menunjukan arti yang spesifik, meskipun diakui bahwa politik
memiliki banyak arti, tergantung pada sudut pandang atau
pendekatan yang dipakai oleh para penulis.
Dalam pendekatan yang menekankan pada aspek
kekuasaan, formulasi klasik dari Laswell dapat digunakan.
Laswell mengartikan politik sebagai who gets what, when and how
(Goodin and Hans-Dieter Klingemann 1996:8). Dalam pandangan
Laswell tersebut, politik dimaknai sebagai suatu kegiatan di mana
seseorang mendapat apa (barang dan jasa), kapan
memperolehnya, dan dengan cara bagaimana ia mendapatkannya.
Dalam pendekatan keputusan, politik didefinisikan sebagai
proses dengan mana kelompok-kelompok membuat keputusan-
keputusan kolektif (Axfordand Gary K. Browning 2002:2).
Pandangan ini tidak jauh berbeda dengan pendapat Budiardjo
(1992:8) yang memahami politik (politics) sebagai bermacam-
macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang
menyangkut proses menentukan tujuan sistem itu dan
melaksanakan tujuan-tujuan itu.
Crick (dalam Elcock 1976:5) mengartikan politik sebagai
aktivitas dengan mana kepentingan-kepentingan yang berbeda
diterima dalam unit aturan yang didamaikan dengan berbagai
kekuasaan secara proporsional guna mewujudkan kesejahteraan
dan kelangsungan hidup seluruh komunitas. Politik menurut
pemahaman Crick tersebut fokus pada bagaimana kepentingan
yang berbeda di satukan melalui pembagian kekuasaan dengan
tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.
Perspektif yang menekankan pada kebijakan publik, seperti
halnya David Easton (dalam Supardan 2008), mendefinisikan politik
sebagai study of the making of public policy. Politik adalah studi atau
kajian tentang pembuatan kebijakan publik.
Kelompok sarjana yang menggunakan pendekatan
pembagian (distribution) memiliki pandangan yang berbeda dalam
memahami politik. Dahl misalnya, mengartikan politik sebagai
hubungan yang kokoh dan melibatkan secara mencolok kendali,
pengaruh, kekuasaan, dan kewenangan (Supardan 2008).
Demikian pula, David Easton (dalam Hardati, dkk. 2010),
memaknai politik sebagai keseluruhan dari sistem interaksi yang
mengatur pembagian nilai secara otoritatif (berdasarkan
kewenangan) untuk dan atas nama masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa politik merupakan suatu peristiwa, kegiatan, atau proses
yang melibatkan pemerintah dan masyarakat dalam suatu negara
dalam membuat kebijakan, keputusan, atau mendistribusikan nilai
(berupa barang dan jasa) untuk mewujudkan kesejahteraan dan
kelangsungan hidup masyarakat, bangsa, dan negara.
B.Hakikat Masyarakat, Negara, dan Kekuasaan
1. Hakikat Masyarakat
Suatu komunalitas yang secara politik dan ekonomi bertalian
dan oleh karenanya mengandung sistem sosial secara keseluruhan
dapat dianggap sebagai masyarakat (Keesing1999). Berdasarkan
ciri-cirinya, suatu masyarakat mempunyai suatu sistem sosial
keseluruhan di mana para anggotanya memiliki tradisi budaya dan
bahasa yang sama. Hendropuspito (1989:75) mendefinisikan
masyarakat sebagai kesatuan yang tetap dari orang-orang yang
hidup di daerah tertentu dan bekerjasama dalam kelompok-
kelompok berdasarkan kebudayaan yang sama untuk mencapai
kepentingan yang sama. Dalam definisi Hendropuspito tersebut,
dapat dirinci ciri-ciri masyarakat, yaitu (1) mempunyai wilayah dan
batas-batas yang jelas, (2) merupakan satu kesatuan penduduk,
(3) terdiri atas kelompok-kelompok fungsional yang heterogen,
(4) mengemban fungsi umum, dan (5) memiliki kebudayaan yang
sama.
Koentjaraningrat (dalam Sudikan 2001:6) memahami
masyarakat sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi
menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu
dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Muthahhari (1998:15) mengartikan masyarakat sebagai suatu
kelompok manusia yang dibawah tekanan serangkaian kebutuhan
dan di bawah pengaruh seperangkat kepercayaan, ideal dan tujuan
tersatukan serta terlebur dalam suatu rangkaian kesatuan
kehidupan bersama. Kehidupan bersama yang dimaksud di sini
adalah kehidupan yang di dalamnya kelompok-kelompok manusia
hidup bersama-sama di suatu wilayah tertentu, berbagi iklim,
berbagai identitas, serta berbagi kesenangan dan kesedihan.
R. Linton sebagaimana dikutip Mutakin, dkk (2004:25)
memberi batasan masyarakat sebagai setiap kelompok manusia
yang hidup dan bekerjasama dalam waktu yang cukup lama,
sehingga mereka dapat mengorganisasi diri dan sadar bahwa
mereka merupakan suatu kesatuan sosial dengan batas-batas
yang jelas.
Berbeda dengan penulis lainnya, Kusumohamidjojo (2000:28)
tidak mengajukan definisi tentang masyarakat, tetapi
mengemukakan ciri-ciri dari masyarakat sebagai berikut.
a. Kelompok manusia yang disebut masyarakat memiliki suatu
perasaan bersatu dan sense of belong ing yang relatif
sama sampai tingkat kepentingan tertentu.
b. Kelompok manusia disebut hidup dan bekerja dalam suatu
kerangka yang sama untuk waktu yang lama.
c. Kelompok manusia tersebut menyelenggarakan hidupnya
dalam suatu kerangka organisatoris yang tumbuh dari
kebiasaan atau kesepakatan diam-diam.
d. Kelompok manusia tersebut terdiri dari kelompok-kelompok
yang lebih kecil, baik kelompok dalam alur genealogis
maupun dalam alur organisatoris.
Masyarakat terdiri atas individu-individu yang berkeinginan
untuk hidup bersama. Pertanyaannya adalahapakah individu sejak
awal atau disengaja untuk bermasyarakat atau tidak. Berkaitan
dengan hal tersebut, Muthahhari (1998:17) mengeksplorasi tiga
pandangan. Pandangan pertama, manusia bersifat
kemasyarakatan, dalam arti bahwa kehidupan bermasyarakat
manusia sama dengan kerekanan seorang pria dan seorang wanita
dalam kehidupan berumah tangga di mana masing-masing
merupakan bagian dari suatu keseluruhan dan masing-masing
berpikir ingin bersatu dengan keseluruhan itu.
Pandangan kedua, yaitu manusia terpaksa bermasyarakat, dengan
anggapan bahwa kehidupan bermasyarakat itu seperti kerjasama
atau pakta antara dua negara yang karenatak mampu
mempertahankan diri dari serangan musuh terpaksa membuat
suatu persetujuan bersama. Pandangan ketiga, manusia
bermasyarakat berdasarkan pilihannya sendiri, serupa dengan
kerekanan dua orang bermodal yang sepakat membentuk suatu
badan usaha untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar.
Berdasarkan tiga pandangan tersebut, tampak bahwa berdasarkan
pandangan pertama, faktor utama pembentuk kehidupan
bermasyarakat adalah fitrah manusia sendiri; menurut pandangan
kedua, faktor utama pembentuk kehidupan bermasyarakat adalah
sesuatu yang berada di luar dan lepas dari manusia; sedangkan
berdasarkan pandangan ketiga, faktor pembentuk kehidupan
bermasyarakat adalah kemampuan akal dan kemampuan
memperhitungkan (kalkulasi) yang dimiliki manusia.
Persoalan berikut yang berkaitan dengan relasi antara
individu manusia dengan masyarakat adalah bagaimana posisi
individu dalam masyarakat. Veeger (1993:86-87) mengemukakan
dua pandangan berkaitan dengan relasi individu dan masyarakat,
yaitu pandangan organisme dan pandangan mekanisme.
Organisme memandang masyarakat sebagai kesatuan hidup di
mana individu-individu menempati kedudukan bawahan
(subordinat) dan fungsional bagaikan organ-organ badan.
Keseluruhan didahulukan di atas kepentingan individual,
ketunggalan atas kejamakan (pluralitas), serta keseragaman atas
keanekaragaman yang penuh persaingan dan konflik baik yang
masih terpendam maupun terbuka. Sebaliknya, pandangan
mekanisme memahami masyarakat sebagai perhimpunan individu-
individu yang masing-masing berdiri sendiri dan hanya atas cara
lahiriah berinteraksi satu dengan lainnya. Apa yang disebut
masyarakat tidak lain adalah jaringan relasi yang ditambahkan dari
luar kepada individualitas pelaku bagaikan perangkaian atom atau
ketunggalan dan perbedaan atau konflik atas perpaduan atau
kesesuaian paham (konsensus).
Masyarakat Indonesia adalah sekelompok besar manusia
yang menempati wilayah geografis Indonesia, memiliki perasaan
bersatu yang diikat oleh faktor keturunan,bahasa, adat istiadat,
kebiasaan, religi, berbagi norma dan identitas yang sama, dan
diorganisasi secara politik oleh entitas politik yang dipatuhi, untuk
mencapai tujuan bersama. Pengertian masyarakat Indonesia ini
tidak bersifat tunggal, tetapi plural, untuk menunjukkan betapa di
wilayah nusantara terdapat berbagai entitas kebudayaan yang
kadang memiliki basis keturunan sama, terkadang tidak, tetapi
memiliki perasaan saling memiliki dan bersatu guna hidup bersama
mencapai tujuan yang telah disepakati bersama. Pluralitas
masyarakat Indonesia ini dapat dilihat dari struktur masyarakatnya
yang unik (Nasikun 1993). Struktur dimaksud meliputi struktur
horizontal dan vertikal. Horizontal, ditandai oleh kenyataan adanya
kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan kedaerahan,
sedangkan secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai
oleh adanya perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan
bawah yang cukup tajam.
Masyarakat yang sudah lebih kompleks tatanannya dengan
fungsi yang makin beragam, dan memiliki wilayah atau teritori
yang, dalam perkembangannya menjadi suatu tatanan politis yag
disebut negara.
2. Hakikat Negara
Sah
A B
Kekuasaan Adat, Kaidah,
Negara atau Ideologi,
Pemerintah Wewenang
Dengan Tanpa
Kekerasan Kekerasan
Tirani Intimidasi,
Tindakan Provokasi,
Kriminal Desas -desus
C D
Tidak Sah
Bangsawan
Orang-orang yang bekerja di pemerintahan
Budak-budak
Peng acara
Tuk ang d an peda gang
Petani, bur uh tadi dan
budak