Anda di halaman 1dari 22

Tinjauan Kepustakaan

Penyakit Paru Obstruktif Kronis dan Penyakit Kardiovaskuler

Oleh :
dr. Putu Kessi Vikaneswari

Pembimbing:
dr. I Made Putra Swi Antara, Sp.JP(K), FIHA

Penguji :
dr. Ida Bagus Rangga Wibhuti, Sp.JP(K), FIHA

Program Studi Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
RSUP Sanglah Denpasar
2022
Bab I
Pendahuluan

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan satu dari tiga penyebab kematian di seluruh
dunia dan 90% angka kematian terjadi pada negara pendapatan rendah hingga menengah. Tahun
2021, lebih dari 3 juta orang meninggal akibat PPOK atau sebesar 6% dari kematian global.
PPOK beserta komplikasi yang ditimbulkan menyebabkan mortalitas dan morbiditas diseluruh
dunia. PPOK diproyeksi menjadi beban kesehatan di masa depan akibat pajanan terhadapt faktor
resiko PPOK dan proses penuaan di masyarakat 1
PPOK merupakan satu dari empat penyakit tidak menular utama yang menyebabkan
kematian sebesar 60% di Indonesia Prevalensi PPOK di Indonesia pada usia > 30 tahun sebesar
3,7%. Berdasarkan data WHO, merokok merupakan penyebab utama PPOK. Indonesia yang
merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki jumlah perokok aktif yang tinggi.
World Health Organization (WHO) telah menetapkan Indonesia sebagai negara terbesar ketiga di
dunia dengan pengguna rokok 2
Individu dengan PPOK memiliki resiko tinggi memiliki komorbiditas. Komorbiditas
yang peling sering ditemukan pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit
kardiovaskular. Penyakit kardiovaskular tidak hanya meningkatkan resiko morbiditas pada
PPOK, tetapi juga terkait dengan peningkatan risiko kematian. Penyebab kematian pasien PPOK
tidak hanya berasal dari penyakit nya sendiri tapi juga berasal dari gangguan kardiovaskulernya. 3
Hubungan antara PPOK dan penyakit kardiovaskular antara lain dari faktor resiko yang sama
dalam hal ini merokok, proses patofisiologi, keluhan dan tanda klinis, serta faktor prognosis yang
cenderung buruk. Penyakit kardiovaskular seperti Hipertensi Pulmoner, Gagal Jantung, Aritmia,
dan Penyakit Jantung Iskemik adalah beberapa komplikasi yang terjadi pada PPOK. 4

Perkiraan prevalensi penyakit jantung iskemik pada orang dengan PPOK bervariasi dari
kurang dari 20% hingga lebih dari 60%, tergantung pada karakteristiknya populasi penelitian.
Prevalensi gagal jantungpada orang PPOK berkisar antara 10-30%, Perkiraan prevalensi untuk
aritmia pada orang dengan PPOK berkisar antara 10% dan 15%. 4
Komorbiditas kardiovaskular pada orang dengan PPOK dikaitkan dengan berbagai hasil
yang tidak menguntungkan, yaitu penurunan kualitas hidup, jumlah rawat inap yang lebih besar
dan peningkatan risiko untuk semua penyebab dan kematian kardiovaskuler. Tinjauan
kepustakaan ini bertujuan untuk meningkatkan pengenalan, pemahaman dan penanganan PPOK
pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler
Bab II
ISI

2.1 Definisi PPOK1


PPOK adalah penyakit yang umum, dapat dicegah dan diobati ditandai dengan gejala
respirasi yang persisten dan obstruksi saluran napas disebabkan karena kelainan pada saluran
napas dan/atau alveolar yang biasanya akibat dari pajanan partikel atau gas berbahaya.
Limitasi aliran udara kronis pada PPOK dapat disebabkan oleh gabungan antara
penyakit saluran napas kecil dan kerusakan parenkim (emfisema). Inflamasi kronis
menyebabkan perubahan struktural, penyempitan saluran napas kecil, dan destruksi parenkim
paru yang menyebabkan hilangnya alveolar attachment pada saluran napas kecil dan
penurunan rekoil paru.

2.2 Faktor Resiko PPOK1


Faktor risiko PPOK yang paling utama adalah tobacco smoking. PPOK adalah hasil dari
interaksi dari paparan kumulatif jangka panjang terhadap gas dan partikel berbahaya,
dikombinasikan dengan berbagai faktor host termasuk genetika, hiperresponsive saluran
napas, dan pertumbuhan paru yang buruk selama masa kecil.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko terjadinya PPOK antara lain : a)
Tobacco smoking, b) Polusi Indoor, c) Occupational exposures, d) Polusi udara luar, e)
Faktor genetic, f) Usia dan Jenis kelamin , g) Pertumbuhan dan Perkembangan Paru, h)
Status sosio-ekonomi, i) Asma dan hiperaktivitas saluran napas, j) Bronkitis kronik, k)
Infeksi.

2.3 Patogenesis PPOK1


Inflamasi saluran nafas pasien PPOK merupakan respon inflamasi normal akibat iritasi
kronik seperti asap rokok. Mekanisme untuk amplifiaksi ini belum dimengerti, kemungkinan
disebabkan faktor genetik, Beberapa pasien menderita PPOK tanpa merokok, respon
inflamasi pada pasien ini belum diketahui. Inflamasi paru diperberat oleh stress oksidatif dan
kelebihan proteinase. Semua mekanisme ini mengarah pada karakteristik perubahan patologis
PPOK.
a. Stress Oksidatif
Stres Oksidatif bisa jadi merupakan mekanisme amplifikasi yang penting pada PPOK.
Marker biologis stress oksidatif seperti misalnya Hidrogen Peroksida, 8-isoprostan
ditemukan meningkat pada kondensasi nafas ekspirasi, dahak, dan sirkulasi sistemik
pasien PPOK. Stres oksidatif juga meningkat pada saat eksaserbasi. Oksidan dihasilkan
dari asap rokok, inhalasi partikel berbahaya dan oleh sel inflamasi yang telah teraktivasi
seperti makrofag dan neutrophil. Terjadi pula penurunan antioksidan endogen pada
pasien PPOK akibat penurunan kadar transkripsi faktor NrF2 yang meregulasi gen
antioksidan didalam sel.
b. Ketidakseimbangan protease dan antiprotease
Merokok dapat menginduksi peningkatan netrofil dan makrofag ke paru dan akan
melepaskan enzim proteolitik. Pelepasan protease tidak sepenuhnya dihambat oleh anti
protease, sehingga menyebabkan terjadinya proteolisis dari jaringan paru khususnya
elastin dan terjadi emfisema. Beberapa bukti telah menunjukkan bahwa salah satu
penyebab utama PPOK berhubungan dengan defisiensi dari enzim Alfa-1 Anti Trypsin
(AAT). Antiproteinase seperti a1 proteinase inhibitor (a-1-PI) dan anti leukoprotease
akan di nonaktifkan oleh oksidan, menyebabkan gangguan keseimbangan antara
proteinase dan anti proteinase yang menyebabkan kerusakan elastin dan jaringan ikat dan
menyebabkan terjadinya emfisema. Merokok akan menginduksi pelepasan Neutrofil dan
peningkatan level neutrofil di plasma dan cairan BAL. Sekali neutrophil berikatan
dengan elastin, elastase akan terus aktif dan tidak dihambat oleh a1- antitrypsin.
c. Sel-sel inflamasi
PPOK ditandai dengan meningkatnya jumlah magrofag pada saluran napas perifer,
parenkim dan pembuluh darah paru. Bersamaan dengan meningkatnya netrofil actif dan
meningkatnya limfosit termasuk Tc1, Th1, Th17 dan ILC3. Terdapat juga peningkatan
eosinophil, Th2 atau LC2. Semua sel inflamasi ini Bersama-sama dengan sel epitel dan
struktur sel lainnya melepaskan mediator inflamasi. Penelitian baru ini menyatakn bahwa
defisiensi IgA local berhubungan dengan tranlokasi bacterial, inflamasi saluran napas
kecil dan airway remodeling.
d. Mediator inflamasi
Berbagai mediator inflamasi meningkat pada pasien PPOK menarik sel-sel inflamasi dari
sirkulasi (faktor-faktor kemotaktik), memperkuat proses inflamasi (pro inflammatory
cytokine) dan merangsang perubahan struktur (faktor pertumbuhan).
e. Peribronkial dan fibrosis intersisial
Fibrosis peribronkial dan opasitas interstitial telah dilaporkan pada pasien-pasien PPOK
atau pada mereka merupakan perokok dan asimptomatis. Produksi faktor pertumbuhan
yang berlebihan dapat ditemukan pada perokok atau mereka yang mengalami
peradangan saluran napas sebelumnya pada pasien dengan PPOK. Inflamasi mendahului
terjadinya fibrosis atau cedera berulang pada saluran nafas dan menyebabkan produksi
berlebihan otot polos serta jaringan fibrous. Hal tersebut mungkin menjadi faktor yang
berkontribusi terhadap terjadinya hambatan aliran udara dan obliterasi yan mendahului
perkambangan emfisema

2.4 Patofisiologi PPOK


Proses patofisiologi yang terjadi pada PPOK adalah :

 Inflamasi mengakibatkan kelainan fisiologis pada saluran nafas berupa hiperekskresi


mucous, kerusakan cilia sehingga pembersihan mucus tidak efektif mengakibatkan gejala
batuk pada pasien
 Proses inflamasi, airway remodeling, dan eksudasi pada saluran nafas kecil menyebakan
kerusakan fungsi recoil paru sehingga terjadi obstruksi udara. Obstruksi udara
menyebabkan air trapping atau hiperinflasi sehingga udara tidak bisa keluar saat
ekspirasi. Hiperinflasi menyebabkan berkurangnya volume saat inspirasi.
 Berkurangnya luas permukaan alveoli dan obstruksi pada saluran nafas menimbulkan
gangguan pada ventilasi dan perfusi sehingga terjadi hipoksemia kronis dengan atau
tanpa hiperkapnia
 Gangguan pertukaran udara kondisi ini direspon pembuluh darah arteri pulmonal dengan
respon vasokonstriksi. Vasokonstriksi pada arteri pulmonal meningkatkan tekanan darah
di arteri pulmonal yang menyebabkan hipertrofi di ventrikel kanan jantung yang
mengakibatkan gagal jantung.
 Pelepasan mediator inflamasi di sirkulasi sistemik pada PPOK menimbulkan gangguan
sistemik di tempat lain selain paru, seperti cachexia, hilangnya massa otot, hingga
gangguan di sistem pencernaan, serta gangguan mental berupa kecemasan.
 Dinamik hiperinflasi terjadi pada pasien PPOK terutama saat pasien PPOK melakukan
aktivitas dimana terjadi peningkatan kebutuhan oksigen yang menyebabkan tubuh akan
berusaha meningkatkan supply oksigen dengan meningkatkan usaha serta frekuensi
nafas. Namun disisi lain kelainan patologis yang terjadi pada pasien PPOK yaitu
hambatan aliran udara serta penurunan elastic rekoil paru menyebabkan udara
terperangkap di dalam paru. Saat ekspirasi yang merupakan suatu proses pasif didominasi
oleh fungsi dari elastic rekoil tergangu makan udara didalam paru akan sulit untuk
didorong keluar. Hal ini menyebabkan terjadinya air trapping peningkatan volume residu,
penurunan volume tidal, dan hiperinflasi. Selain itu adanya obstruksi atau hambatan
aliran udaran di saluran nafas kecil (bronkiolitis obliterans) yang juga mengahambat
udara untuk keluar semakin diperberat dengan penyempitan lumen saluran nafas yang
terjadi akibat peningkatan tekanan sebagai usaha ekspirasi, hal ini akan menyebabkan
pasien akan menjadi semakin sesak, dan terjadi dinamik hiperinflasi.

2.5 Diagnosis PPOK


Penegakan diagnosis PPOK dilakukan dengan klinis berupa anamnesa gejala yang dialami
pasien serta fakor risiko, pemeriksaan fisik dan dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometry.
Indikator utama dalam membuat diagnosis PPOK, memperhatikan simptom atau gejala yang
dialami pasien.

a. Sesak: Progresif (sesak bertambah berat seiring dengan berjalannya waktu), bertambah
berat dengan beraktivitas, menetap sepanjang hari
b. Batuk kronis: Hilang timbul dan mungkin tidak berdahak, wheezing berulang
c. Batuk kronis berdahak: Setiap batuk yang berdahak dapat mengindikasikan PPOK
d. Riwayat terpajan faktor risiko: Faktor penjamu (Genetik, gangguan
perkembangan/kelainan congenital dll), merokok terpapar asap dapur atau hasil
pembakaran biomass debu dan bahan kimia di tempat kerja
e. Riwayat keluarga menderita PPOK dan/atau faktor masa anak-anak : Berat badan lahir
rendah, infeksi saluran nafas saat anak-anak.

Penilaian PPOK harus melibatkan aspek berikut:


1. Derajat keparahan abnormalitas spirometry

Gambar 1. Klasifikasi derajat airway limitation pada PPOK1

2. Gejala pasien : gejala paling umum dari PPOK adalah sesak nafas, sesak nafas dapat
diukur dengan kuisioner MMRC dan CAT

Gambar 2. Kuisioner MMRC1


Gambar 3. Kuisioner CAT1

3. Riwayat eksaserbasi
Berapa kali pasien merasakan sesak yang membutuhkan penanganan medis atau berapa kali
pasien rawat inap karena sesak dalam 1 tahun terakhir.
4. Komorbiditas PPOK

2.5.1 Klasifikasi PPOK

1. Kelompok A

Pasien dengan klasifikasi GOLD 1 atau 2, mengalami eksaserbasi paling banyak 1 kali dalam
setahun dan tidak pernah menjalani perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi, hasil penilaian
CAT score <10 atau mMRC grade 0-1, serta hasil spirometri menunjukkan hambatan aliran udara
ringan sampai sedang.
2. Kelompok B

Pasien dengan klasifikasi GOLD 1 atau 2, mengalami eksaserbasi paling banyak 1 kali dalam
setahun dan tidak pernah menjalani perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi, hasil penilaian
CAT score ≥10 atau mMRC grade ≥2 serta hasil spirometri menunjukkan hambatan aliran udara
ringan sampai sedang.

3. Kelompok C

Pasien dengan klasifikasi GOLD 3 atau 4, dan/ atau mengalami eksaserbasi sebanyak ≥2 kali per
tahun atau ≥1 kali menjalani perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi, hasil penilaian CAT
score<10 atau mMRC grade 0-1 serta serta hasil spirometri menunjukkan hambatan aliran udara
berat sampai sangat berat

4. Kelompok D

Pasien dengan klasifikasi GOLD 3 atau 4, dan/atau mengalami eksaserbasi sebanyak ≥2 kali per
tahun atau ≥1 kali menjalani perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi, hasil penilaian CAT
score ≥10 atau mMRC grade ≥2 dan hasil spirometri menunjukkan hambatan aliran udara berat
sampai sangat berat

Gambar 4. Klasifikasi kelompok PPOK berdasarkan gejala, riwayat dirawat dan hasil spirometri1
2.6 PPOK dan Penyakit Kardiovaskuler
Mekanisme yang mendasari hubungan antara PPOK dan penyakit kardiovaskuler (KV) belum
dipahami dengan baik hingga saat ini, tetapi beberapa proses dianggap penting dan dapat
berinteraksi satu sama lain seperti hiperinflasi paru, hipoksemia, hipertensi pulmonal (PH),
peradangan sistemik dan oksidatif stres, eksaserbasi, faktor risiko bersama dan faktor genetik
beserta fenotipe PPOK. 4
Di antara faktor risiko yang umum untuk PPOK dan KV, merokok adalah faktor resiko
yang terpenting. Merokok juga merupakan faktor risiko utama pada penyakit aterosklerotik.
Merokok menginduksi berbagai respon inflamasi pada individu yang rentan. Rokok
berkontribusi langsung pada proses inflamasi kronis dan sistemis yang pada selanjutnya terlibat
dalam pembentukan, perkembangan dan rupture plak aterosklerotik yang menyebabkan penyakit
jantung coroner serta gagal jantung.
Respon inflamasi pada PPOK yang meningkat akibat asap rokok (dan zat noxius
lainnya), menyebabkan gangguan mekanisme pertahanan paru-paru normal dan proses
pemulihan, penyempitan dan remodeling saluran udara kecil, dan kerusakan parenkim paru
(emfisema). Ada juga bukti kuat yang menunjukkan inflamasi sistemik yang berkelanjutan pada
PPOK meningkatkan derajat keparahan penyakit dan semakin memberat saat kondisi
eksaserbasi.
Mekanisme lain adalah hiperinflasi, ditandai dengan peningkatan abnormal gas residu di
paru-paru setelah ekshalasi spontan. Hiperinflasi adalah patofisiologi utama mekanisme yang
mempengaruhi mekanisme pernapasan dan dapat berupa prose statis (akibat penghancuran
parenkim paru dan hilangnya elastisitas paru-paru) atau proses dinamis (terjadi ketika pasien
menarik napas sebelum menghembuskan sepenuhnya, sehingga udara terjebak dengan setiap
inhalasi nafas selanjutnya) Hiperinflasi secara signifikan mengurangi efisiensi otot-otot
pernapasan dan sebagai penyebab utama dyspnea (sesak napas).5
Fungsi paru-paru yang abnormal, termasuk hiperinflasi, juga dianggap mengganggu
fungsi jantung melalui berbagai cara. Keterbatasan aliran udara yang disebabkan oleh
hiperinflasi paru-paru dapat menyebabkan peningkatan tekanan dalam sistem kardiopulmoner,
disfungsi ventrikel kanan, gangguan pengisian ventrikel kiri dan penurunan curah jantung (QT).6
Emfisema dikaitkan dengan hiperinflasi statis oleh karena itu hiperinflasi karena itu dapat
menjadi faktor risiko utama untuk penyakit kardiovaskuler pada pasien dengan PPOK fenotipe
emfisema. Selain itu, keterbatasan aliran udara progresif dan emfisema pada PPOK
menyebabkan ketidakcocokan ventilasi/perfusi yang menyebabkan hipoksemia, yang dapat
diperburuk dengan aktifitas dan gangguan pernapasan saat tidur. 7
Hipoksemia pada pasien PPOK dapat menyebabkan vasokonstriksi pulmonal dan
remodelling vaskular, mengakibatkan diastolik ventrikel kanan disfungsi. Hipertensi pulmoner
umum terjadi pada pasien dengan PPOK berat, yang menyebabkan gagal jantung kanan, yang
kemudian menyebabkan gagal jantung kiri. Selain itu, perubahan repolarisasi jantung pada
pasien dengan PPOK kemungkinan berkaitan dengan hipoksemia dan meningkatkan risiko
aritmia ventrikel dan kematian akibat serangan jantung mendadak.8

Gambar 5. Mekanisme dan alur biologis yang menghubungkan PPOK dengan penyakit
kardiovaskuler 4

2.6.1. PPOK dan Penyakit Jantung Iskemik


Hubungan antara PPOK dan penyakit jatung koroner adalah faktor risiko koroner, yaitu status
merokok, kolesterol, hipertensi, dan indeks masa tubuh (IMT). Pasien PPOK sering mengalami
hipoksia saat berolahraga, peningkatan denyut jantung saat istirahat, gangguan kapasitas
vasodilatasi, dan stres simpatis pada perifer, jantung, dan neurohumoral, yang dapat
menyebabkan dan memperburuk penyakit jantung koreoner. Aktivasi sel imun di plak
ateromatosa yang diamati pada penyakit jantung koroner menginduksi produksi sitokin
(interferon-g, interleukin (IL)-1, faktor nekrosis tumor (TNF)-a, dan IL-6), dan protein inflamasi
fase akut (fibrinogen, protein C-reaktif (CRP) dan protein amyloid), yang terlibat dalam reaksi
inflamasi yang diamati pada bronkus pada PPOK. 9
Selain itu, skor kalsifikasi arteri koroner (penanda aterosklerosis koroner) berkorelasi
dengan penanda inflamasi sistemik dan paru, seperti IL-6, IL-8, surfaktan protein D dan perifer
jumlah neutrofil darah, pada pasien dengan PPOK. Biomarker proinflamasi meningkat dengan
signifikan saat kondisi eksaserbasi yang juga merupkan kondisi beresiko terjadinya kondisi
vaskular akut (sindrom koroner akut dan) stroke) yang tinggi. Proses inflamasi pada PPOK juga
dikaitkan dengan peningkatan ketebalan karotis intima medial (carotid medial intima thickness
(CIMT) yang merupakan ukuran beban plak aterosklerotik, dan pada individu dengan PPOK,
CIMT dikaitkan dengan resiko kematian kardiovaskular lebih tinggi.10

2.6.2. PPOK dan Gagal Jantung


Pasien dengan COPD dan gagal jantung terkena paparan penting faktor risiko kardiovaskular,
yaitu merokok, aktivitas fisik, dan diet tidak sehat, obesitas, sindrom metabolik, dan penuaan.
Faktor risiko ini mungkin berhubungan dengan koeksistensi PPOK dan gagal jantung. Paru-paru
hiperinflasi karena emfisema dapat mengganggu kiri pengisian ventrikel pada PPOK berat, tetapi
tidak pada PPOK ringan sampai sedang.11
PPOK menginduksi inflamasi sistemik kronis dan stres oksidatif dari tahap awal, yang
merusak kardiomiosit serta sel endotel. Faktor-faktor ini mungkin secara langsung atau secara
tidak langsung melalui gangguang iskemik menyebabkan gagal jantung. Cadangan perfusi
miokard, yang mencerminkan mikrosirkulasi jantung, juga terganggu pada pasien PPOK tanpa
gangguan iskemik yang dengan atau tanpa merokok tembakau. 12
PPOK eksaserbasi lebih lanjut dapat meningkatkan kejadian gagal jantung karena
hipoksia, takikardia, aktivasi simpatis neurohumoral stres, peningkatan resistensi sistemik total
karena kekakuan arteri, kelebihan tekanan ventrikel kanan karena hipertensi pulmonal, gangguan
pengisian ventrikel kiri, peningkatan aktivasi trombosit, dan penggunaan agonis beta2 dosis
tinggi.
Komorbiditas non-kardiovaskular PPOK tidak boleh diabaikan. Anemia adalah salah satu
komorbiditas penting dari PPOK disebabkan oleh inflamasi kronis dan malnutrisi. Meskipun
perokok akan mengalami polisitemia, anemia dilaporkan lebih umum daripada polisitemia
(kisaran prevalensi: 12,3-23% vs 6%). Anemia dan penurunan hematokrit akan meningkatkan
kerja jantung mengarah ke gagal jantung.11
Disfungsi otot rangka adalah komorbiditas penting lainnya di PPOK. Disfungsi otot
rangka pada PPOK ditandai dengan perubahan tipe serat, kapilarisasi, penurunan enzim oksidatif
kapasitas, dan metabolisme energi yang berubah. Disfungsi otot rangka mengurangi toleransi
olahraga, dan meningkatkan rawat inap dan kematian.
Gejala dan tanda gagal jantung yang tumpang tindih denngan PPOK dan memiliki
kesamaan komorbiditas menyebabkan diagnosis PPOK dapat tertunda pada pasien dengan gagal
jantung. Ketika pasien dengan gagal jantung mengeluh dispnea selama berolahraga, gejalanya
dapat dipertimbangkan akibat gagal jantung tanpa penilaian lebih lanjut untuk PPOK. Pasien
dengan riwayat merokok harus dievaluasi untuk keberadaan PPOK.
Tes fungsi paru-paru dan spirometri sangat penting, tetapi ada batasan untuk
dipertimbangkan. Interpretasi spirometri dalam pasien dengan kongesti paru harus berhati-hati
karena edema interstisial dapat menyebabkan obstruksi parsial alveolus eksternal dan bronkiolus,
dan peningkatan sensitivitas bronkial yang menyebabkan atas angka FEV1/FVC berkurang
sekitar 10-20% obstruksi paru. Kondisi ini umumnya membaik setelah diberikan perawatan
untuk gagal jantung dengan obat diuretik. Spirometri untuk menegakkan diagnosis PPOK harus
dilakukan ketika pasien telah stabil dan euvolemik selama setidaknya 6-8 minggu setelah kondisi
kongesti paru. 13

2.6.3. PPOK dan Aritmia


Aritmia jantung sering terjadi pada PPOK dan sebaliknya. Perubahan patofisiologis pada PPOK
yang berhubungan dengan aritmia tampaknya terjadi setelah depolarisasi yang mengarah ke
aktivitas yang dipicu, perubahan repolarisasi jantung yang diwakili oleh interval QT
abnormalitas, dan peningkatan tonus simpatis atau penurunan denyut jantung yang ditunjukkan
oleh penurunan variabilitas denyut jantung. Penelitian lainnya telah melaporkan bahwa PPOK
berhubungan dengan baroreseptor kelainan sensitivitas, kelainan variabilitas denyut jantung, dan
peningkatan langsung aktivitas saraf simpatis otot.14
Atrial fibrilasi (AF) sering dan berhubungan langsung dengan FEV1. PPOK eksaserbasi
dapat menjadi pemicu AF, dan AF dapat menyebabkan PPOK eksaserbasi. Atrial fibrilasi tidak
mengubah tata laksana pengobatan PPOK. Bronkodilator sebelumnya digambarkan sebagai
proaritmia agen, namun bukti yang tersedia menunjukkan profil keamanan yang dapat diterima
secara keseluruhan untuk agonis beta2 kerja lama dan obat antikolinergik 15. Namun demikian,
harus berhati hati untuk menggunakan beta2-agonis kerja pendek yang dapat memicu AF dan
membuat kontrol tingkat respons ventrikel menjadi sulit. Antibiotik oral seperti makrolida, yang
sering diresepkan untuk PPOK eksaserbasi, diketahui memiliki efek yang memperpanjang QT,
dan diduga meningkatkan risiko aritmia ventrikel dan serangan jantung mendadak kematian.
Obat PPOK eksaserbasi lainnya seperti teofilin juga dapat menimbulkan risiko takiaritmia
hingga atrial fibrilasi.

2.7 Tata Laksana PPOK


Hubungan yang erat antara PPOK dan penyakit kardiovaskuler, menyebabkan kemungkinan
pengobatan untuk satu mempengaruhi yang lain, oleh karena itu tatalaksana untuk masing
masing kondisi harus tepat. Perbaikan dalam kelangsungan hidup pasien PPOK eksaserbasi akut
setelah keluar dari rumah sakit untuk dikaitkan dengan tata laksana PPOK dan komorbiditas
terkait, termasuk penggunaan terapi kardiovaskuler seperti: enzim penghambat pengubah
angiotensin (ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), ß-blocker dan statin.16
Namun, pengobatan kondisi kardiovaskuler pada pasien dengan PPOK dikaitkan dengan
tantangan terapeutik, terutama pemberian bersama (selektif) ß1-blocker dan ß2-agonis. ß -
blocker secara luas diresepkan dalam pengobatan kardivaskuler dan ß-agonis merupakan dasar
utama pengobatan PPOK; namun, keduanya memiliki tindakan farmakologis yang berlawanan
dan menimbulkan kekhawatiran bahwa pengobatan satu kondisi dapat memperburuk yang lain.
Kombinasi HF dan PPOK menghadirkan banyak terapi tantangan termasuk beta-blocker
dan beta-agonis. Bronkodilator berguna untuk mengurangi gejala, mengurangi frekuensi
eksaserbasi akut, dan meningkatkan status kesehatan dan toleransi latihan bahkan pada pasien
dengan gagal jantung. Inhalasi kerja panjang beta2-agonis, antikolinergik, atau terapi kombinasi
adalah dipilih tergantung pada respons individu masing-masing pasien terhadap ini perawatan
serta tingkat pengurangan gejala dan efek samping efek. 1
2.7.1 Beta 2 Agonis
Studi penelitian beta 2-agonis kerja panjang (LABA) dikombinasi dengan kortikosteroid inhalasi
(ICS), menyimpulkan bahwa produk ICS/LABA mungkin memiliki profil keamanan
kardiovaskuler yang baik pada pasien asma bukti untuk keamanan kardiovaskuler LABA pada
PPOK belum pasti.17 LABA dikaitkan dengan peningkatan risiko kejadian kardiovaskuler melalui
stimulasi dorongan simpatis, yang juga meningkatkan risiko aritmia dan iskemia miokard pada
pasien dengan penyakit kardiovaskuler (terutama HF).18
Di uji klinis, beta 2-agonis telah terbukti meningkatkan denyut jantung, mengurangi
konsentrasi kalium dan meningkatkan risiko kejadian kardiovaskuler dibandingkan plasebo pada
pasien dengan penyakit saluran napas obstruktif 19
Studi di Kanada menunjukkan bahwa
penggunaan baru LABA dikaitkan dengan peningkatan tingkat aritmia jantung pada pasien
dengan PPOK. 20,21
Analisis dari Taiwan National Health Insurance Research Database
menemukan bahwa penggunaan LABA dikaitkan dengan peningkatan risiko kejadian
kardiovaskuler parah dalam waktu 30 hari terapi (OR 1,50 p<0,001 dibandingkan dengan non-
penggunaan LABA atau antagonis muskarinik kerja lama (LAMA). 22
Namun, tidak ada peningkatan risiko dengan penggunaan jangka panjang. Selanjutnya,
dalam SUMMIT (Study to Understand Mortality and Morbidity in COPD) RCT, yang dilakukan
di antara pasien dengan peningkatan risiko KV, tidak didapatkan gangguan jantung atau aritmia
di antara pasien yang diobati dengan vilanterol LABA dibandingkan dengan placebo. 23 Data
observasional mengenai penggunaan baru short-acting 2-agonis (SABA) juga dimasukan dan,
dalam satu analisis studi di Kanada, SABA tidak meningkatkan resiko infark miokard akut
(MI).23
Ada juga data yang menunjukkan bahwa 2-agonis dapat menghasilkan efek yang
mungkin berdampak positif pada KV mempertaruhkan. Misalnya, LABA memberikan
peningkatan yang signifikan dalam kapasitas inspirasi (IC), penanda paru-paru hiperinflasi,
dibandingkan placebo.4

2.7.2 Muskarinik Antagonis


Mirip dengan LABA, LAMAs telah dikaitkan dengan efek positif dan negatif kardiovaskuler.
Agen anti-muskarinik dapat menekan kontrol parasimpatis denyut jantung, yang dapat
meningkatkan risiko takiaritmia 15 Namun, ada berbagai mekanisme potensial dimana muskarinik
antagonis dapat menurunkan risiko kardiovaskuler, salah satunya dengan mengurangi
hiperinflasi paru. 24
Tiotropium LAMA terbukti mengurangi hiperinflasi paru-paru dan
meningkatkan respons kardiovaskuler terhadap olahraga (seperti mengurangi denyut jantung dan
tekanan darah. Penurunan denyut jantung berkorelasi dengan peningkatan volume cadangan
inspirasi (IRV) konsisten dengan peningkatan yang diamati pada efek kardiovaskuler karena
pelepasan mekanis otot-otot ventilator.25 Manfaat kardiovaskuler potensial dari LAMAs
termasuk pengurangan eksaserbasi dan peningkatan fungsi diastolik ventrikel kiri.

2.7.2 Kortikosteroid
Efek kortikosteroid inhalasi (ICS) pada inflamasi sistemik dan efek positif pada kardiovaskuler
belum jelas. Kortikosteroid sistemik tampaknya meningkatkan perkembangan aterogenesis,
tetapi juga dapat meningkatkan pemulihan dari peristiwa vaskular oklusif dan cedera
intravaskular. Deflasi paru dengan fluticasone furoate/ vilanterol meningkatkan fungsi jantung
(volume ventrikel kanan, ventrikel kiri dan atrium kiri) dibandingkan plasebo Pengobatan
dengan ICS/LABA juga mengurangi kekakuan arteri pada tingkat yang sama seperti tiotropium
in sebuah penelitian terhadap 257 pasien dengan PPOK, menunjukkan bahwa komponen
bronkodilator kerja panjang dari kombinasi mendorong efek ini 26

2.7.3. Pengobatan PPOK lainnya


Penghambat fosfodiesterase-4, seperti roflumilast, direkomendasikan sebagai terapi tambahan
selain triple terapi (kombinasi ICS, LABA dan LAMA) pada pasien yang PPOK yang tidak
terkontrol atau PPOK Grup D di Global Inisiatif untuk Penyakit Paru Obstruktif Kronis (GOLD)
Inhibitor fosfodiesterase memiliki efek anti-inflamasi, dapat mengurangi risiko eksaserbasi dan
karena itu mungkin bermanfaat efek pada kejadian kardiovaskuler pada pasien dengan COPD
dan peningkatan risiko kardiovaskuler.27
Teofilin memiliki efek anti-inflamasi dan teofilin intravena mengurangi resistensi
pembuluh darah paru dan meningkatkan fungsi ventrikel. Namun, dosis tinggi teofilin telah
dikaitkan dengan perubahan elektrofisiologi jantung. Hubungan teofilin dengan aritmia, AF dan
takikardia supraventrikular telah dilaporkan oleh studi case control di Inggris. Studi kohort dari
Kanada menunjukkan bahwa tingkat kematian kardiovaskuler lebih besar pada pengguna teofilin
(dengan sebagian besar kematian terjadi pada individu dengan penyakit komorbid lainnya)
Sementara analisis terakhir ini tidak spesifik untuk pasien dengan PPOK, penggunaan teofilin
harus diawasi dengan ketat pada pasien dengan PPOK dan penyakit kardiovaskuler.28

Bab III
Simpulan

PPOK memiliki angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Komplikasi yang paling umum
ditemukan pada PPOK adalah penyakit kardiovaskuler seperti Hipertensi Pulmoner, Gagal
Jantung, Aritmia, dan Penyakit Jantung Iskemik. Hubungan antara PPOK dan penyakit
kardiovaskular antara lain dari faktor resiko, proses patofisiologi, keluhan dan tanda klinis, serta
faktor prognosis yang cenderung buruk.
Faktor resiko utama antara PPOK dan penyakit kardiovaskuler adalah merokok dan
proses penuaan, diikuti faktor gaya hidup dan paparan polusi udara/zat berbahaya. Rokok
menyebabkan inflamasi kronis dan sistemis yang terlibat dalam pembentukan, perkembangan
dan rupture plak aterosklerotik yang menyebabkan penyakit jantung coroner serta gagal jantung.
Mekanisme lain adalah hiperinflasi, ditandai dengan peningkatan abnormal gas residu di paru-
paru. Hiperinflasi paru-paru dapat menyebabkan peningkatan tekanan dalam sistem
kardiopulmoner, disfungsi ventrikel kanan, gangguan pengisian ventrikel kiri dan penurunan
curah jantung. Hipoksemia pada pasien PPOK dapat menyebabkan vasokonstriksi pulmonal dan
remodelling vaskular, mengakibatkan diastolik ventrikel kanan disfungsi, serta meningkatkan
risiko aritmia.
Tatalaksana PPOK dengan penyakit kardiovaskuler harus berhati hati karena beberapa
obat PPOK memiliki efek samping ke kardiovaskuler. bronkodilator yang memiliki efek
berlawanan di kardiovaskuler jika diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien tidak menimbulkan
efek fatal atau jangka panjang. Muskarinik agen juga memiliki efek positif ke kardiovaskuler.
kortikosteroid hingga saat ini belum pasti efek yang muncul, namun jika dikombinasikan dengan
bronkodilator atau muskarinik agen memiliki dampak yang positif. Penggunaan theofilin
beresiko mengalami aritmia dan memerlukan pengawasan ketat saat pemberian.
DAFTAR PUSTAKA
1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Global Strategy for the Diagnosis,
Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. 2022.
https://goldcopd.org/2022-gold-reports-2/ Diakses terakhir: 8 April 2022
2. WHO, Chronic Obstructive pulmonary disease (COPD). https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/chronic-obstructive-pulmonary-disease-(copd) diakses tanggal 8 april 2022
3. Morgan AD, Zakeri R, Quint JK. Defining the relationship between COPD and CVD: what are
the implications for clinical practice? Therapeutic Advances in Respiratory Disease. 2018 Jan
19;12.
4. Rabe KF, Hurst JR, Suissa S. Cardiovascular disease and COPD: Dangerous liaisons? Vol. 27,
European Respiratory Review. European Respiratory Society; 2018.
5. Rossi A, Aisanov Z, Avdeev S, di Maria G, Donner CF, Izquierdo JL, et al. Mechanisms,
assessment and therapeutic implications of lung hyperinflation in COPD. Vol. 109, Respiratory
Medicine. W.B. Saunders Ltd; 2015. p. 785–802.
6. Smith BM, Prince MR, Hoffman EA, Bluemke DA, Liu CY, Rabinowitz D, et al. Impaired left
ventricular filling in COPD and emphysema: Is it the heart or the lungs?: The multi-ethnic study
of atherosclerosis COPD study. Chest. 2013;144(4):1143–51.
7. Kent BD, Mitchell PD, Mcnicholas WT. Hypoxemia in patients with COPD: Cause, effects, and
disease progression. Vol. 6, International Journal of COPD. 2011. p. 199–208.
8. Sievi NA, Clarenbach CF, Camen G, Rossi VA, van Gestel AJR, Kohler M. High prevalence of
altered cardiac repolarization in patients with COPD. BMC Pulmonary Medicine. 2014 Apr
2;14(1).
9. Patel ARC, Kowlessar BS, Donaldson GC, Mackay AJ, Singh R, George SN, et al.
Cardiovascular risk, myocardial injury, and exacerbations of chronic obstructive pulmonary
disease. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine. 2013 Nov 1;188(9):1091–
9.
10. MacLay JD, MacNee W. Cardiovascular disease in COPD: Mechanisms. Chest.
2013;143(3):798–807.
11. Roversi S, Fabbri LM, Sin DD, Hawkins NM, Agustí A. Chronic obstructive pulmonary disease
and cardiac diseases an urgent need for integrated care. American Journal of Respiratory and
Critical Care Medicine. 2016 Dec 1;194(11):1319–36.
12. Nakamori S, Onishi K, Ishida M, Nakajima H, Yamada T, Nagata M, et al. Myocardial perfusion
reserve is impaired in patients with chronic obstructive pulmonary disease: A comparison to
current smokers. European Heart Journal Cardiovascular Imaging. 2014 Feb;15(2):180–8.
13. Hawkins NM, Virani S, Ceconi C. Heart failure and chronic obstructive pulmonary disease: The
challenges facing physicians and health services. Vol. 34, European Heart Journal. 2013.
14. Lahousse L, Niemeijer MN, van den Berg ME, Rijnbeek PR, Joos GF, Hofman A, et al. Chronic
obstructive pulmonary disease and sudden cardiac death: The Rotterdam study. European Heart
Journal. 2015 Jul 14;36(27):1754–61.
15. Singh S, Loke YK, Enright P, Furberg CD. Pro-arrhythmic and pro-ischaemic effects of inhaled
anticholinergic medications. Vol. 68, Thorax. BMJ Publishing Group; 2013. p. 114–6.
16. Fisher KA, Stefan MS, Darling C, Lessard D, Goldberg RJ. Impact of COPD on the mortality
and treatment of patients hospitalized with acute decompensated heart failure: The Worcester
heart failure study. Chest. 2015 Mar 1;147(3):637–45.
17. Iftikhar IH, Imtiaz M, Brett AS, Amrol DJ. Cardiovascular safety of long acting beta agonist-
inhaled corticosteroid combination products in adult patients with asthma: A systematic review.
Vol. 192, Lung. 2014. p. 47–54.
18. Gershon A, Croxford R, Calzavara A, To T, Stanbrook MB, Upshur R, et al. Cardiovascular
safety of inhaled long-acting bronchodilators in individuals with chronic obstructive pulmonary
disease. JAMA Internal Medicine. 2013 Jul 8;173(13):1175–84.
19. Salpeter SR, Ormiston TM, Salpeter EE. Cardiovascular effects of β-agonists in patients with
asthma and COPD: A meta-analysis. Chest. 2004;125(6):2309–21.
20. Wilchesky M, Ernst P, Brophy JM, Platt RW, Suissa S. Bronchodilator use and the risk of
arrhythmia in COPD. Part 1: Saskatchewan cohort study. Chest. 2012;142(2):298–304.
21. Wilchesky M, Ernst P, Brophy JM, Platt RW, Suissa S. Bronchodilator use and the risk of
arrhythmia in COPD. Part 2: Reassessment in the larger Quebec cohort. Chest. 2012;142(2):305–
11.
22. Wang MT, Liou JT, Lin CW, Tsai CL, Wang YH, Hsu YJ, et al. Association of cardiovascular
risk with inhaled long-acting bronchodilators in patients with chronic obstructive pulmonary
disease: A nested case-control study. In: JAMA Internal Medicine. American Medical
Association; 2018. p. 229–38.
23. Vestbo J, Anderson JA, Brook RD, Calverley PMA, Celli BR, Crim C, et al. Fluticasone furoate
and vilanterol and survival in chronic obstructive pulmonary disease with heightened
cardiovascular risk (SUMMIT): A double-blind randomised controlled trial. The Lancet. 2016
Apr 30;387(10030):1817–26.
24. Santus P, Radovanovic D, di Marco S, Valenti V, Raccanelli R, Blasi F, et al. Effect of
indacaterol on lung deflation improves cardiac performance in hyperinflated COPD patients: An
interventional, randomized, double-blind clinical trial. International Journal of COPD. 2010 Sep
11;10(1):1917–23.
25. Travers J, Laveneziana P, Webb KA, Kesten S, O’Donnell DE. Effect of tiotropium bromide on
the cardiovascular response to exercise in COPD. Respiratory Medicine. 2007 Sep;101(9):2017–
24.
26. Pepin JL, Cockcroft JR, Midwinter D, Sharma S, Rubin DB, Andreas S. Long-Acting
Bronchodilators and Arterial Stiffness in Patients With COPD: A Comparison of Fluticasone
Furoate/Vilanterol With Tiotropium. Chest. 2014 Dec 1;146(6):1521–30.
27. Tashkin DP. Roflumilast: The new orally active, selective phophodiesterase-4 inhibitor, for the
treatment of COPD. Expert Opinion on Pharmacotherapy. 2014 Jan;15(1):85–96.
28. Barnes PJ. Theophylline. Vol. 188, American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine.
2013. p. 901–6.
 

Anda mungkin juga menyukai