Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
I. Pendahuluan
Dalam pidato tanggal 31 Januari 2007 yang dimuat dalam harian Bisnis
Indonesia (15 Februari 2007 : 7 ) Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang
Yudhoyono menyatakan bahwa persoalan kemiskinan dan pengangguran saat ini
bukanlah persoalan statistic dan angka semata, tetapi merupakan persoalan nyata
mengenai sulitnya ekonomi . Mencermati tingginya angka kemiskinan dan
pengangguran saat ini, apa yang dikemukakan SBY tampaknya menemukan titik
pijaknya. Hal tersebut jelas merefleksikan sebuah kenyataan tentang situasi
kemiskinan di negeri ini yang sudah sangat kronis. Situasi ini mulai parah karena
belum pulihnya keadaan perekonomian bangsa pasca kerusuhan tahun 1998 yang
menandai awal kelahiran era pemerintahan reformasi, yang berakibat pada semakin
meningkatnya jumlah penduduk miskin baik di perkotaan maupun di pedesaan. Satu
hal sesungguhnya ingin ditegaskan bahwa kemiskinan di negari ini yang mempunyai
dampak luas ternyata tidak bisa hanya dilihat dan diselesaikan dengan semata-mata
mengandalkan angka statistik. Ada realitas yang lebih kompleks yang harus dipahami.
Pengertian mendasar kita tentang orang miskin adalah orang yang tidak
menguasai dan memiliki sesuatu. Urusan kemiskinan merupakan urusan ekonomis
semata. Orang miskin juga sering dicurigai sebagai orang yang malas. Kenyataannya,
banyak orang harus bekerja keras dengan pendapatan yang masih juga kecil dan jauh
dari mencukupi. Jadi masalah kemiskinan tidak hanya urusan ekonomi, tetapi juga
ada masalah hukum, terutama terkait martabat manusia. Miskin berarti, martabatnya
sebagai manusia diabaikan. Kemiskinan dalam arti pengucilan manusia oleh
sesamanya juga terjadi di Indonesia. Sejak awal sejarah, kekuasaan yang berpusat
pada raja senantiasa mengucilkan kawasan pedesaan, yang ironisnya harus
menghidupi orang kota melalui pelbagai jenis pajak, tanpa diperhatikan martabatnya.
2
Istilah WONG NDESO (Jawa) merupakan istilah untuk menunjukkan konsep yang
merendahkan harga diri manusia. Situasi seperti ini masih berlangsung hingga kini.
Pada masa Orde Baru , Soeharto menggunakan beras sebagai alat politik. Caranya,
pemerintah berupaya agar beras tetap murah dan tersedia di pasar. Dengan demikian,
petani harus mensubsidi orang kota demi stabilitas politik kawasan perkotaan. Dengan
cara ini sepertinya Soeharto berpihak kepada rakyat.
Krisis moneter yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 yang kemudian
berlanjut menjadi krisis ekonomi yang berdampak juga pada krisis politik pada
tanggal 14 November 1998 membuat pemerintah waktu itu menjadi limbung
berkepanjangan ditambah turunnya kemampuan masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Hal ini disebabkan karena meningkatnya harga-harga, termasuk
kebutuhan pangan yaitu beras. Kondisi seperti ini menyebabkan turunnya daya beli
masyarakat di tingkat rumah tangga, baik masyarakat di perkotaan maupun
masyarakat di pedesaan. Keadaan seperti ini berpotensi meluas seiring dengan
bertambahnya penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan di Indonesia , tidak
terkecuali di kota Palembang.
Berdasarkan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2005, kebijakan
penanggulangan kemiskinan ditempuh melalui strategi yang mencakup dua hal pokok
yaitu, pertama : menciptakan lingkungan yang kondusif bagi peningkatan pendapatan
keluarga miskin dan kedua meningkatkan efektivitas pelayanan social dasar kepada
keluarga miskin. Sejalan dengan strategi tersebut, salah satu prioritas penanggulangan
kemiskinan tahun 2005 diletakkan pada upaya pokok perlindungan social kepada
keluarga miskin dengan menyediakan kebutuhan pangan serta pengembangan system
jaminan social.
Program beras untuk keluarga miskin (Raskin) yang semula disebut Operasi
Pasar Khusus (OPK) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mengurangi
beban pengeluaran keluarga miskin yaitu dengan membantu penyediaan sebagian
kebutuhan pangan pokok mereka. Melalui program raskin diharapkan dapat
memberikan manfaat yang nyata dalam peningkatan ketahanan pangan dan
kesejahteraan social rumah tangga untuk keluarga miskin dan secara tidak langsung
berdampak pada perbaikan gizi, peningkatan kesehatan, pendidikan dan produktivitas
keluarga miskin.
3
II. PERMASALAHAN
III.1. Kemiskinan
Pengertian kemiskinan menurut Sajogyo (2004 : 10) adalah :Suatu tingkat
kehidupan yang berada di bawah standar kebutuhan hidup minimum yang ditetapkan
berdasarkan atas kebutuhan pokok pangan yang membuat orang cukup bekerja dan
hidup sehat berdasarkan atas kebutuhan beras dan kebutuhan gizi.
Jumlah penduduk miskin di Indonesia makin lama kian bertambah dengan
dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) No.22 Tahun 2005 tentang kenaikan
BBM periode 1 Maret 2005. Kenaikan BBM berdampak pada meningkatnya harga
kebutuhan pokok, termasuk kebutuhan pangan tanpa diimbangi dengan naiknya
pendapatan masyarakat. Kondisi ini mengakibatkan turunnya ketahanan pangan atau
disebut dengan rawan pangan ditingkat rumah tangga, di kota maupun di desa yang
pada akhirnya menambah jumlah penduduk miskin di Indonesia. Menurut Tukiran
(1999 : 23 ) pengertian sederhana dari kemiskinan biasanya berhubungan erat dengan
4
IV. PEMBAHASAN
budaya yang kronis, yang saat ini justru tengah berlangsung di negeri ini. PAda level
yang lebih tinggi, ia juga akan berimbas pada menjamurnya praktik nepotisme dan
suap menyuap, serta menimbulkan budaya instant dan mental menerabas aturan main.
Hal penting yang penulis kira perlu menjadi catatan dalam melihat soal
kemiskinan adalah perlunya pemahaman bahwa kemiskinan bukan saja berurusan
dengan persoalan ekonomi semata, tetapi bersifat multidimensional karena ia juga
berkait-kelindan dengan soal non-ekonomi, seperti social, budaya dan politik.
Kegagalan upaya pennggulangan kemiskinan selama ini tampaknya bersumber
dari pemahaman yang cenderung reduksionis, yang melihat soal kemiskinan hanya
didasarkan pada kondisi ekonomi semata.
Sedikit sekali dari para ahli pembangunan yang mencoba memahami bahwa
problem kemiskinan juga bersumber dari tata politik yang timpang. Bahkan
kebijakan-kebijakan ekonomi-politik yang diproduksi negara yang seringkali hanya
berpihak pada pemilik modal justru berpoteni menjerumuskan rakyat ke kubangan
kemiskinan.
Satu hal sesungguhnya ingin dtegaskan bahwa kemiskinan di negeri ini yang
mempunyai dampak dan implikasi yang begitu luas ternyata tidak bisa hanya dilihat
dan diselesaikan dengan semata-mata mengandalkan angka statistic. Ada realitas yang
lebih kompleks yang harus dipahami.
Pengurangan kemiskinan juga tidak akan tuntas bila semata menyandarkan
kepada mekanisme politik dan kebijakan makro. Negara sebagai produsen kebijakan
juga harus dibersihkan dari watak “suka memeras” agar setiap kebijaksanaan
memiliki kepastian implementasinya dan keberpihakan atas rakyat
Gambaran realita diatas tercermin pada foto-foto terlampir dimana masyarakat
miskin di Kotamadya Palembang sampai rela antri berjam-jam bahkan sampai ada
yang pingsan untuk mendapatkan beras miskin.
a. Tidak disalurkan melalui pasar umum, tetapi penjualan langsung kepada keluarga
sasaran penerima.
b. Jumlah beras yang disalurkan tidak tergantung kepada permintaan pasar, tetapi
berdasarkan jumlah keluarga sasaran penerima.
c. Tidak ditujukan dalam upaya stabilitas harga pasar tetapi membantu pemenuhan
beras keluarga yang menjadi sasaran penerima bantuan.
Program ini diselenggarakan secara nasional di wilayah-wilayah rawan pangan
yang melibatkan berbagai unsure pemerintahan mulai dari tingkat pusat sampai
tingkat desa/kelurahan.Unsur tersebut antara lain Menko Ekuin, Menko Kesra dan
Taskin, Dirjen PMD Departemen Dalam Negeri, Dirjen Anggaran, Kepala Bulog,
Walikota/Bupati, Camat, Kepala Desa, Lurah, dan Kepala Dusun.
Salah satu upaya untuk memperkuat ketahanan pangan nasional adalah dengan
pembagian beras miskin (Raskin), yaitu denganmemberikan akses fisik dan ekonomi
kepada keluarga miskin untuk mendapat bantuan kebutuhan pokok beras. Dalam
pelaksanaan penyaluran Raskin, subsidi pangan yang disediakan pemerintah pada
APBN tahun 2005 setara dengan beras sebanyak 1.992.000 ton, dapat menjangkau 8,3
juta keluarga miskin dengan alokasi 20 kg/KK/bulan selama 12 bulan. Jumlah subsidi
pangan tersebut belum dapat mencukupi seluruh keluarga prasejahtera alasan
ekonomi dan keluarga sejahtera 1 alasan ekonomi sebanyak 15,79 juta keluarga.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka program Raskin harus direncanakan
secara baik dengan melibatkan berbagai instansi terkait di tingkat pusat maupun
daerah. Untuk pelayanan tersebtu, terdapat 45.000 titik distribusi dengan frekuensi
penyaluran mencapai sekitar 100 ribu kali setiap bulan. Tujuan dan sasaran dari
pelaksanaan pembagian Raskin ini antara lain sebagai berikut:
a. Pembagian Raskin adalah bagian dari upaya peningkatan ketahanan pangan yang
ditujukan untuk menungkatkan akses keluarga miskin/rawan pangan terhadap
bahan pangan pokok yang secara operasional dilakukan melalui penjualan
langsung beras kepada keluarga sasaran penerima sasaran penerima manfaat pada
tingkat harga bersubsidi dengan jumlah tertentu untuk memenuhi sebagian
kebutuhan konsumsinya dalam periode tertentu.
b. Keluarga sasaran penerima manfaat adalah keluarga yang miskin rawan daya beli
sesuai dengan hasil musyawarah tim Raskin di tingkat desa yang akses terhadap
behan pangan pokok relattif lemah disebabkan oleh rendahnya daya beli dan
10
keluarga rawan pangan yang dianggap wajar menerima alokasi OPK sesuai
pertimbangan daerah setempat.
c. Setiap keluarga sasaran penerima manfaat disediakan beras minimal 10
kg/KK/bulan dan maksimal 20kg/KK/bulan dengan harga Rp. 1.000 per kg netto
di titik distribusi.
1. Tepat Sasaran.
Raskin hanya diberikan kepada keluarga sasaran penerima manfaat yang terdaftar
dalam daftar penerima manfaat.
2. Tepat Jumlah
11
Jumlah beras yang dibeli keluarga ssaran penerima sesuai hasil musyawarah Tim
Raskin Daerah yang dituangkan dalam surat keputusan Gubernur/ Walikota
minimal 10 kg/KK/bulan dan maksimal 20 kg/KK/bulan.
3. Tepat Harga
Harga beras yang dibayar oleh keluarga sasaran penerima manfaat sebesar Rp.
1.000 /kg netto di titik distribusi.
4. Tepat waktu
Waktu pelaksanaan distribusi beras kepada keluarga sasaran penerima manfaat
sesuai dengan rencana distribusi.
5. Tepat Administrasi
Terpenuhinya persyaratan administrasi yang diperlukan untuk penyelesaian
subsidi pembayaran harga beras secara benar dan teapt waktu.
Disamping harus memenuhi kriteria diatas, program pemberian miskin harus
melalui mekanisme pembangunan dan administrasi Raskin, sebagai berikut :
Pembayaran harga penjualan (HPB) Raskin dari Keluarga sasaran Penerima Manfaat
kepada pelaksana distribusi dan dari pelaksana distribusi kepada satgas Raskin adalah
Rp. 1.000,-/Kg netto dan dilakukan secara tunai.
Pelaksana Distribusi membuat daftar pendistribusian beras kepada Keluarga sasaran
Penerima Manfaat dan Pembayaran (Model DPM-2) yang ditandatangani oleh
petugas titik Distribusi dan diketahui Kades/Lurah yang bersangkutan.
Uang HPB Raskin yang diterima pelaksana distribusi dari Keluarga sasaran
Penerima Manfaat haruslangsung diserahkan kepada Satgas Raskin dan dibuatkan
tanda terima pembayaran (Model TT HPB Raskin) rangkap 3 oleh satgas Raskin.
Tim Raskin Kecamatan diberi waktu 10 hari sejak beras diterima untuk segera
menyelesaikan pembayaran dan apabila sampai waktu pelunasan tidak terpenuhi,
maka alokasi Raskin bulan berikutnya ditunda sampai pelunasannya diselesaikan.
12
V.1. Kesimpulan
V.2. Saran
Daftar Pustaka
Sajogyo, Dirjen PMD dengan Perum Bulog, Pedoman Umum Program Raskin,
Jakarta, 2004.
Oleh :
Nama : Lies Nur Intan
Nim : 20062011004