Anda di halaman 1dari 33

Makalah Ilmu Sosial Budaya Dasar

“Sosial Budaya pada Persalinan”


Disusun Guna Memenuhi Tugas Ilmu Sosial Budaya Dasar

Dosen Pembimbing :

Dra. Erni, MA. Kes

Disusun Oleh:

Arsy Fathrisya (P17124022044)

Bebi Azka Mahfuza Murdin (P17124022046)

Fitriah Chairani (P17124022049)

Hafidah Sekar Harum (P17124022050)

Yuwita Amelia Yanuar Rahma (P17124022079)

PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN

POLTEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAKARTA 1

2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah
mengenai “Sosial Budaya pada Persalinan” dapat selesai pada waktunya.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Sosial Budaya
Dasar dan bertujuan agar pembaca dapat mengetahui mengenai Sosial Budaya pada
Persalinan. Pada kesempatan ini juga, penulis menyampaikan ucapakan terimakasih
yang ditujukan kepada:

1. Tuhan yang selalu menjadi penuntun dan yang menyertai kami dalam
menyelesaikan penyusunan makalah ini.
2. Kedua orang tua yang selalu mendukung dan mendoakan kami.
3. Zeni Zaenal Muttaqin selaku dosen penanggung jawab mata kuliah Ilmu Sosial
Budaya Dasar di Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Kemenkes Jakarta
1.
4. Dra. Erni, MA. Kes selaku dosen pembimbing mata kuliah Ilmu Sosial Budaya
Dasar di Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Kemenkes Jakarta 1.

Materi yang kami sampaikan dalam makalah ini tentunya masih jauh dari
kesempurnaan, karena kami juga masih dalam tahap pembelajaran. Oleh karena itu
arahan, koreksi, dan saran yang membangun sangat kami harapkan. Semoga makalah
ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.

Tangerang, 24 Agustus 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 3

1.3 Tujuan Makalah ............................................................................................................... 3

1.4 Manfaat Makalah ............................................................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................. 3

2.1 Konsep Sosial Budaya Tentang Persalinan Masing-masing Daerah ....................... 4

2.2 Persalinan pada masing-masing Daerah .................................................................... 16

2.3 Perkembangan Aspek Budaya Persalinan dari Masa Lalu dan Pada Masa Sekarang
................................................................................................................................................ 26

BAB III PENUTUP ................................................................................................... 27

3.1 Kesimpulan ........................................................................................................... 27

3.2 Saran ...................................................................................................................... 28

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 29

LEMBAR PERSETUJUAN ..................................................................................... 30

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Persalinan merupakan akhir dari kehamilan. Semua ibu dan keluarga


mengharapkan jalannya proses persalinannya berjalan lancar. Kelancaran persalinan
ditandai dengan kemajuan persalinan. Kemajuan persalinan yang lambat merupakan
satu dari komplikasi persalinan yang mengkhawatirkan dan tidak terduga.

Komplikasi yang sering terjadi adalah perdarahan postpartum, eklamsia dan


infeksi. Komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas merupakan masalah kesehatan
utama bagi kesehatan wanita, karena merupakan penyebab terbesar kematian ibu dan
bayi. Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) merupakan indikator
utama dalam pelayanan kesehatan khususnya di Indonesia (WHO, 2015).

Berdasarkan data Departemen Kesehatan Republik Indonesia, angka kematian


ibu hamil diakibatkan para ibu tidak mempunyai akses untuk pergi ke Bidan maupun
dokter yang ada didaerah-daerah. Rata-rata 10 % ibu di Indonesia tidak pernah
memeriksakan kandungannya kepetugas kesehatan, 30 % ibu di Indonesia tidak
melahirkan di dokter atau Bidan. Mereka lebih memilih untuk melahirkan di dukun.

Keberadaan dukun sebagai orang kepercayaan di beberapa daerah dalam


menolong persalinan, sosok yang dihormati dan berpengalaman, sangat dibutuhkan
oleh masyarakat keberadaannya. Pertolongan persalinan oleh dukun bayi menimbulkan
berbagai masalah antara lain tingginya angka kematian dan kesakitan ibu serta
perinatal. Pertolongan persalinan yang tidak kuat dapat terjadi persalinan kasep,
kematian janin dalam rahim, ruptur uteri, perdarahan post partum, infeksi berat,
asfiksia dan trauma persalinan. Hal tersebut diatas akan diperberat lagi apabila dukun
bayi tersebut tidak terlatih yang umumnya melakukan pertolongan tanpa
memperhatikan tiga bersih yaitu: bersih alat, bersih tempat, dan bersih penolong, serta

1
melakukan pengobatan yang masih menggunakan tumbuh-tumbuhan (Manuaba,
2016).

Kesalahan penolong yang dilakukan oleh dukun dapat menyebabkan keadaan


ibu dan janin berubah menjadi gawat, walaupun pada mulanya keadaan ibu dan janin
baik. Kesalahan tersebut dapat berupa tidak tepatnya memimpin persalinan, melakukan
tindakan-tindakan yang dapat membahayakan atau pada keadaan patologis yang salah
mengambil sikap atau tindakan serta tidak mampu melakukan pertolongan (Jumiarni
dkk, 2015). Jumlah kematian ibu karena pertolongan persalinan oleh dukun di Sulawesi
Tenggara sebesar 12% (Dinkes Sultra, 2017).

Adanya era globalisasi dengan berbagai perubahan begitu ekstrem pada masa
ini menuntut semua manusia harus memperhatikan aspek sosial budaya. Salah satu
masalah yang kini banyak merebak dikalangan masyarakat adalah kematian dan
kesakitan ibu yang sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya
didalam masyarakat dimana berada. Daerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil masih
mempercayai dukun beranak untuk menolong persalinan yang biasanya dilakukan
dirumah (Suprapto, 2011).

Berdasarkan latar belakang maka penulis tertarik untuk membuat literatur


makalah mengenai sosial budaya pada masa persalinan di masyarakat Indonesia, yang
kita ketahui bahwa Indonesia terkenal akan kemajemukan sosial budaya masyarakat
yang ada didalamnya.

2
1.2 Rumusan Masalah

Perumusan masalah dari makalah yang berjudul “Sosial Budaya pada


Persalinan” adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep sosial budaya tentang persalinan masing-masing daerah?


2. Bagaimana persalinan pada masing-masing daerah?
3. Bagaimana perkembangan aspek budaya persalinan dari masa lalu dan pada masa
sekarang?

2.3 Tujuan Makalah

Tujuan pembuatan makalah ini yaitu untuk menunjukkan dan menjelaskan


mengenai “Sosial Budaya pada Persalinan” yang mencakup:

4. Bagaimana konsep sosial budaya tentang persalinan masing-masing daerah?


5. Bagaimana persalinan pada masing-masing daerah?
6. Bagaimana perkembangan aspek budaya persalinan dari masa lalu dan pada masa
sekarang?

2.4 Manfaat Makalah

Manfaat dari praktikum ini agar mahasiswa/i dapat memahami, mengerti,


mengetahui mengenai sosial budaya pada masa persalinan di beberapa wilayah
Indonesia yang dengan keragamannya sehingga dapat mengetahui sosial budaya pada
persalinan di wilayah Indonesia.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Sosial Budaya Tentang Persalinan di Daerah

Indonesia merupakan negara yang kaya akan seni dan budaya. Setiap daerah di
Indonesia mempunyai kebudayanaan atau adat istiadat yang berbeda. Kebudayaan
tersebut muncul dari kebiasaan nenek moyang terdahulu dan seolah-olah sudah
melekat dalam jiwa setiap masyarakat.

Kebutuhan dasar selama persalinan tidak terlepas dengan asuhan yang


diberikan bidan. Asuhan kebidanan yang diberikan, hendaknya asuhan yang sayang
ibu dan bayi. Persalinan dapat menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup ibu dan
janin, bila pertolongan persalinan tidak dilakukan dengan baik. Pertolongan persalinan
hedaknya dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten, (DepKes RI, 2008). Faktor
yang sangat mempengaruhi terjadinya kematian ibu maupun bayi adalah faktor
pelayanan yang sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan keterampilan tenaga
kesehatan sebagai penolong pertama pada persalinan tersebut. Disamping itu masih
tingginya persalinan dirumah dan masalah yang terkait budaya dan perilaku dan tanda-
tanda sakit pada neonatal yang sulit dikenali, juga merupakan penyebab kematian ibu
dan bayi baru lahir.

Menurut hasil penelitian dari 97 Negara bahwa ada korelasi yang signifikan
antara pertolongan persalinan dengan kematian ibu. Semakin tinggi cakupan persalinan
oleh tenaga kesehatan disuatu wilayah akan diikuti penurunan kematian ibu diwilayah
tersebut. Namun sampai saat ini diwilayah Indonesia masih banyak pertolongan
persalinan dilakukan oleh dukun bayi yang masih menggunakan cara-cara tradisional
sehingga banyak merugikan dan membahayakan keselamatan ibu dan bayi baru lahir.
Di beberapa daerah, keberadaan dukun sebagai orang kepercayaan dalam menolong

4
persalinan, sosok yang dihormati dan berpengalaman, sangat dibutuhkan oleh
masyarakat keberadaannya (Din.Kes.Prov.Lamp 2009).

Pertolongan persalinan oleh dukun bayi menimbulkan berbagai masalah antara


lain tingginya angka kematian dan kesakitan ibu serta perinatal. Pertolongan persalinan
yang tidak adekuat dapat terjadi persalinan kasep, kematian janin dalam rahim, ruptur
uteri, perdarahan post partum, infeksi berat, asfiksia dantrauma persalinan. Hal tersebut
diatas akan diperberat lagi apabila dukun bayi tersebut tidak terlatih yang umumnya
melakukan pertolongan tanpa memperhatikan tiga bersih yaitu: bersih alat, bersih
tempat, dan bersih penolong, serta melakukan pengobatan yang masih menggunakan
tumbuh-tumbuhan. (Manuaba, 2006).

Dalam era globalisasi dengan berbagai perubahan begitu ekstrem pada masa ini
menuntut semua manusia harus memperhatikan aspek sosial budaya. Salah satu
masalah yang kini banyak merebak dikalangan masyarakat adalah kematian dan
kesakitan ibu yang sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya
didalam masyarakat dimana mereka berada. Didaerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil
masih mempercayai dukun beranak untuk menolong persalinan yang biasanya
dilakukan dirumah. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan mengungkapkan
bahwa masih terdapat praktek-praktek persalinan oleh dukun yang dapat
membahayakan si ibu. Pemilihan dukun beranak sebagai penolong persalinan pada
dasarnya disebabkan oleh karena beberapa alasan antara lain: dikenal secara dekat,
biaya murah, mengerti dan dapat membantu dalamupacara adat yang berkaitan dengan
kelahiran anak serta merawat ibu dan bayi sampai 40 hari. (Suprapto, 2011).

2.1.1 Aspek Sosial Tentang Persalinan di Daerah.

Pada beberapa tulisan disebutkan bahwa kehidupan masyarakat terasing atau


terpencil yang masih sagat sederhana peradapannya, dilaporkan adanya adat
melahirkan yang dilakukan oleh wanita yang berkepentingan tanpa bantuan siapapun.
Biasanya alasan untuk “menyembunyikan” kelahiran dari keterbukaan bagi banyak

5
orang adalah karena kebudayaan yang bersangkutan memandang kelahiran sebagai
masalah pribadi dan dari segi adat sopan santun, perlu dijaga dari keterbukaan bagi
orang lain, termasuk kerabat. Misalnya tradisi orang Mentawai di pulau Siberut pada
masa lalu, kelahiran merupakan peristiwa pribadi yang hanya dihadapai oleh suami dan
ibu sang wanita yang melahirkan, dengan suami sebagai penolong utama dari kelahiran
anaknya. Pada kebudayaan lainya, kelahiran masih tetap merupakan masalah pribadi,
namun lebih bersifat terbuka bagi kerabat terdekat yang dianggap mempunyai fungsi
tertentu dalam menghadapi peristiwa itu. Biasanya mereka adalah kerabat wanita yang
sudah berumur dan sudah biasa menghadapi peristiwa pesalinan.

Masyarakat Bali Aga di desa Trunyan, Bali memandang kelahiran sebagai hal
yang wajar dan bersifat”publik”. Kelahiran dianggap sebagai urusan laki-laki, karena
dukun bayi pria dan suami merupakan pemeran utama dari penolong persalinan.
Berbeda dengan masyarakat Krikati di brazilia tengah,handai tolan termasuk anak-anak
bisa berkerumun di depan pintu yang dibiarkan terbuka, untuk menyaksikan proses
kelahiran tersebut di luar ruangan. Meski demikian hanya dukun pria, suami, ibu
kandung sang wanita melahirkan, dan anak-anaknya yang lahir terdahulu saja yang
berada di ruangan, ditambah satu orang wanita lainnya atau lebih, yang ,mempunyai
fungsi sebagai pembantu persalinan apabila tenaganya diperlukan.

Para penolong dan cara-cara menolong persalinan merupakan kesatuan yang


tak terpisahkan, karena diikat oleh kesaman pemahaman mengenai sifat dari proses
kelahiran itu dengan pengaruhnya terhadap kondisi bayi dan ibunya. Dalam proses
persalinan di lingkungan di masyarakat Bali Aga, wanita akan melahirkan duduk
dengan posisi bersandar pada dada balian tekuk (dukun beranak) di atas bangku.Sang
suami duduk tepat di hadapan isterinya, karena berfungsi sebagai penerima bayi pada
saat lahirnya. Diantara suami isteri terdapat lubang dangkal yang diberi alas untuk
menampung plasenta, air tembuni, dan darah yang keluar dari tubuh wanita yang
melahirkan. Disisi wanita itu, berdiri seorang gadis yang berfungsi untuk menarik
rambutnya, agar sang wanita yang melahirkan dapat tetap dalam posisi duduk tegak.

6
Tujuannya adalah untuk menjaga agar jiwanya dapat tetap diam dalam tubuhnya dan
tidak akan meninggalkannya. Sang balian tekun akan mengurutnya untuk
membetulkan posisi bayi bila terasa sungsang dalam perut ibunya. Namun bila proses
kelahirran tampak berjalan normal, ia tak kan berbuat apa-apa kecuali berfungsi
sebagai tempat bersandar sang wanita melahirkan dan memberikan ketenangan
psikologis.Seorang pelaku lain, balian usada hanya berperan apabila terjadi proses
persalinan yang sulit. Ia akan membacakan mantera-mantera dan doa, serta
memberikan minuman air suci kepada si ibu, lalu menyemburnya dengan ludah yang
dicampur kunyahan daun sirih. Para pelaku, khususnya sang gadis, senantiasa
mengusahakan agar si ibu tidak pingsan, karena hal itu dianggap dapat menyebabkan
kematiannya. Sementara itu, ibu dari wanita yang melahirkan turut berada di ruangan
yang sama untuk memberikan ketenangan bathin bagi putrinya yang sedang dalam
proses melahirkan. Selama proses pertolongan persalinan, diyakini oleh semua pelaku
bahwa selama ari-ari belum keluar, tali pusat tak boleh dipotong karena kuatir akan
tertarik kembali ke dalam rahim sang ibu. Dari segi kedokteran hal dianggap
membahayakan karena pedarahan pada ari-ari dapat menyebabkan perdarahan pada
bayi pula. Setelah ari-ari keluar, ayah sang bayi memotong tali pusat anaknya dan para
pelaku lain mulai sibuk mengambil air hangat dan rempah-rempah. Sementara itu tugas
dukun bayi dan ayah sang bayi masih berlanjut dengan upacara untuk merawat dan
membungkus plasenta, darah, air tembuni dan tali pusat sang bayi, untuk digantungkan
pada tempat khusus yang disediakan untuk keperluan itu, di bagian selatan induk
trunyan. Uraian tersebut menunjukkan interaksi antara aspek budaya dan aspek sosial
yang terwujud dalam kegiatan menolong persalinan yang dilakukan oleh para pelaku,
masing-masing dengan peran dan tugasnya selama proses persalinan berlangsung,
tidak saja bagi sang bayi, melainkan juga bagi perawatan plasentanya. Kerjasama yang
terpola itu dilandasi oleh pengetahuan budaya yang sama mengenai sifat-sifat dan
fisiologi kelahiran.

7
Citra tentang wanita, pandangan budaya mengenai organ reproduksi dan
penanganan plasenta. Dalam banyak kebudayaan di berbagai penjuru dunia citra
tentang wanita dan pandangan budaya mengenai bentuk, sifat dan fungsi organ
reproduksi maupun pandangan budaya mengenai plasenta mendorong berbagai
perilaku tertentu dalam menghadapi kehamilan dan kelahiran bayi. Citra tentang
wanita : Ibu dan istri. Banyak suku bangsa di dunia khususnya dunia ketiga
beranggapan bahwa kemampuan melahirkan bayi merupakan suatu tolok ukur bagi
seorang istri untuk menunjukkan keberhasilannya dalam tugas budayanya untuk
mempersembahkan keturunan bagi suaminya. Di lingkungan yang mempunyai budaya
seperti itu, mempunyai anak segera setelah pernikahan merupakan tujuan utama dari
perkawinan. Di Bangladesh pandangan serupa juga ditemukan, pengantin baru
diharapkan untuk segera mempunyai anak untuk membuktikan kesuburan mereka dan
untuk mengesahkan mereka dalam keluarga, karena status sebagai ibu lebih tinggi dari
status sebagai istri. Di samping itu status sebagai ibu memberikan lebih banyak
kebebasan untuk keluar rumah dan mempraktekkan hak-hak mereka. Keinginan untuk
segera memiliki anak mendorong terwujudnya cara-cara budaya dalam mengupayakan
kelahiran anak. Lucille Newman menghimpun sejumlah tulisan mengenai berbagai
kebudayaan di Asia, Amerika Tengah dan Selatan, yang berkenaan dengan
pengetahuan dan cara-cara budaya untuk mengatur kesuburan dengan tujuan
mendapatkan bayi, membatasi kelahiran bayi dan berbagai pertimbangan tertentu. Di
pihak lain citra tentang wanita dalam kaitannya dengan tugas budaya mereka tidak
selalu mendorong disukainya kelahiran anak tambanhan, setelah lahirnya beberapa
anak. Tidak disukainya tambahan anak tidak selalu disebabkan oleh faktor sosial
ekonomiyang dari segi tenaga dan biaya tidak menguntungkan untuk merawat seorang
bayi lagi. Dalam masyarakat Dani di Kecamatan Kurulu Lembah Baliem Papua
misalnya tugas budaya yang utama bagi wanita dan yang dianggap amat penting adalah
melakukan kegiatan mata pencaharian yakni menghasilkan ubi jalar dan babi. Sehingga
tambhan anak cenderung tidak disukai karena dianggap mengganggu tugas mereka di

8
ladang. Keadaan ini sering mendorong untuk melakukan aborsi tradisionalyang
menyebabkan resiko yang buruk.

Pandangan budaya terhadap organ reproduksi, masa pembuahan dan ngidam.


Perubahan fisiologi terjadi pada wanita hamil dan hal ini umumnya diterima secara
wajar. Meskipun demikian respons masyarakat terhadap reaksi fisiologi saat
pembentukan janin berbeda-beda. Munculnya rasa mual dan muntah dipahami dengan
berbagai respons budaya. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia dikenal sejumlah
respons budaya yang umum dikenal dengan istilah ngidam, antara lain berupa
keinginan ibu untuk makan makanan yang rasanya asam, makan jenis-jenis makanan
tertentu, makan makanan yang tidak lazim di makan seperti tanah lempung atau
keinginan menyaksikan atau melakukan perbuatan tertentu walaupun kurang pantas
menurut norma yang berlaku. Suku Jawa dan Sunda berkeyakinan bahwa kegagalan
para kerabat memenuhi keinginan ngidam dari wanita hamil sebagai hal yang akan
mengakibatkan bayinya kelak akan terus menerus melelehkan air liurnya.

Pandangan budaya mengenai plasenta. Pada masyarakat Indonesia dan


Malaysia plasenta dianggap sebagai saudara sang bayi, sehingga harus diperlakukan
dengan cara yang baik. Plasenta tidak selalu dikuburkan melainkan ditenggelamkan ke
laut. Pada kebudayaan- kebudayaan tertentu di dalam wadah yang berisi plasenta bayi
diletakkan pula bahan-bahan ramuan atau benda-benda lain yang secara simbolik
dianggap sebagai barang kebutuhan saudara si bayi dalam kehidupan di dunianya yang
ghoib.

2.1.2 Aspek Budaya Tentang Persalinan di Daerah.

Sebagai makhluk biologi manusia dipelajari dalam ilmu biologi atau anatomi
dan sebagai makhluk sosio budaya manusia dipelajari dalam anthropologi budaya,
yaitu tentang seluruh cara hidup manusia, bagaimana manusia dengan akal budinya
dan struktur fisiknya dapat mengubah lingkungan berdasarkan pengalamannya.
Kebudayanan manusia menganalisis masalah-masalah hidup sosial-kebudayaan

9
manusia dan memberi wawasan bahwa hanya manusialah yang mampu
berkebudayaan. Seperti halnya pada ritual penyambutan bayi lahir pada suku Rimbo di
Jambi. Pada masyarakat Rimbo lahirnya seorang anak berarti kelangsungan hidup
generasinya terjamin, begitu juga perkembangan mereka tetap terpelihara tetapi
kenyataannya sering terjadi peristiwa di luar jangkauan kemampuan manusia, seperti
kematian, bahkan mati bayinya atau ibunya. Keadaan ini membuat orang rimbo diliputi
oleh hal-hal yang menggelisahkan dan tidak menentramkan hidupnya. Kemudian
mereka mencari sandaran yang dapat menghilangkan kegelisahan, yang berasal dari
bantuan yang luar biasa di atas segala kemampuan manusia dengan diadakan upacara
keagamaan khusus. Upacara dimulai sejak ibu mengandung delapan bulan yaitu
dengan menyerahkan kepada dukun bayi yang biasanya juga merangkap orang alim,
hal ini dilakukan karena orang rimbo berpengalaman bahwa umur kandungan delapan
bulan merupakan umur yang kritis, sering terjadi hal-hal yang diluar dugaan manusia,
dengan diserahkan ibu ke dalam pengawasan dukun bayi/orang alim yang dianggap
ahli kandungan ibu tersebut akan terjaga dan selamat. Selanjutnya alim memerintahkan
untuk membuat tempat khusus dalam upacara penyambutan bayi yang akan lahir di
suatu tempat yang disebut tanah peranakan, yaitu suatu tempat yang datar, air cukup,
ramu-ramuan yang diperlukan banyak di tempat itu, mudah dijangkau, dan terlindung
dari gangguan binatang buas. Bangunan balai tersebut terdiri dari minimal tiga gubug,
satu untuk suami istri yang akan melahirkan, satu khusus untuk dukun bayi/alim, satu
lagi agak besar unuk kerabat dekat. Peralatan yang digunkan untuk upacara : bedaro
putih untuk minuman bagi ibu yang melahirkan agar mudah dalam persalinan, ramu-
ramuan yang khusus dicari oleh dukun, kemenyan untuk mengusir roh jahat, suluh
damar untuk penerangan di malam hari, bubuk kulit kayu tenggiris untuk menempel
pada pusat bayi agat cepat kering, makanan dan lauk-pauk untuk menjamu peserta
upacara terutama ibu yang baru melahirkan, tempat pembungkus bayi, senjata berupa
tombak dan parang untuk menangkal serangan yang mungkin terjadi.Setelah bayi lahir
engan selamat maka masing-masing sibuk dengan tugasnya masing-masing, ada yang

10
bertugas menanam bali(ari-ari) yang harus ditanam di tempat yang tidak mungkin
digunakan untuk ladang atau bangunan, sebagian yang lain membuat makanan dari ubi
yang diparut dan dibubur dengan dicampur hati atau daging, untuk makanan ibu yang
baru melahirkan sisanya untuk kerabat yang menyaksikan dan menunggu kelahiran
bayi. Setelah sehari semalam maka seluruh orang yang berada di tanah peranakan
pulang ke rumah masing-masing, bayinya cukup digendong dengan kain panjang tanpa
bungkus dengan sesuatu benda apapun dan mereka langsung bekerja termasuk ibu yang
baru saja melahirkan tadi. Kebiasaan ini kemungkinan menjadi penyebab banyak anak
yang meninggal di bawah lima tahun terutama tahun pertama. Menurut kepercayaan
orang rimbo bila bayi lahir dengan selamat dan kelahirannya di tanah peranakan
dengan pertolongan orang alim dan sudah diupacarakan, maka anak tersebut sudah
lepas dari marabahaya untuk di bawa kemanapun ibunya pergi.Rasa terlindungi oleh
sang pencipta inilah yang membuat mereka leluasa pergi membawa serta bayi yang
baru lahir meskipun beru berumur sehari semalam.

Masyarakat Kerinci Jambi, wanita hamil dilarang makan hamil agar bayinya
tidak berbulu sepeti rebung.Mereka juga dilarang makan jantung pisang agar anaknya
lahir tidak terlalu kecil, atau mengonsumsi senawa/jamur karena akan menyebabkan
placenta menjadi kembar sehingga mengalami kesulitan waktu melahirkan, alasan ini
merupakan keyakinan budaya.

Keyakinan lain pada masyarakat Keruak Lombok timur, wanita hamil dilarang
makan gurita, cumi, kepiting, udang dan ikan pari.Ikan gurita dan cumi dianggap
mempunyai kaki yang lekat dan mencengkeram, hal ini diasosiasikan ari-ari bayi akan
lekat dan mencengkeram rahim ibu sehingga bayi susah lahir.Makan udang yang
bentuknya melengkung dianggap akan menyebabkan bayi berbrntuk serupa sehingga
mempersulit kelahiran.Ikan pari yang hidungnya tajam akan menyebabkan bayi sulit
keluar, sementara kepiting menyebabkan bayi akan lebih dahulu keluar tangannya atau
letaknya melintang.Sebaliknya adapula makanan yang dianjurka karena dianggap baik
bagi wanita hamil, ia harus makan tanah kaken/lempung merah.Penduduk setempat

11
juga percaya bahwa pada saat hamil harus makan sebanyak-banyaknya dalam arti
kuantitas,bukan kualitas.Pada masyarakat Biak Numfor( Irian ), suami isteri yang
tengah menantikan kelahiran bayinya dilarang makan daging hewan tertentu
diantaranya kura-kura.

Pantangan yang hubungannya dengan asosiatif atau adat memantang yang


berhubungan dengan pantangan perbuatan atas dasar keyakinan sifat ghoib, karena
terdapat sejmlah pantangan perbuatan yang melarang wanita hamil dan suaminya
melakkan hal-al tertentu yang secara ghoib diaggap dapat berakibat buruk bagi beyi
mereka, sebagai contoh di Kemantan Kabupaten Kebalai.Seorang wanita hamil
pantang masuk hutan karena akan diintai harimau, pantang keluar waktu maghrib akan
menyebabkan beranak hantu, panting menjalin rambut bila keluar rumah akan
menyebabkan leher bayi terlilit tali pusatnya sendiri, pantang duduk di tanah atau di
batu, akan terjadi ketuban bumi/sulit melahirkan, pantang bernadzar yang hebat-hebat
karena kelak air liur bayinya akan meleleh terus.

Ada kepercayaan di Bali: kesulitan seorang wanita yang melahirkan berkaitan


dengan perbuatan suaminya sewaktu isterinya hamil, misalnya karena melanggar
pantangan untuk membuat atau menancapkan pagar, karenan sering memukul binatang
atau mencukur rambut.Larangan menyiksa hewan juga ditemukan pada banyak suku
bangsa seperti masyarakat Sakai, Jawa dan beberapa suku di Papua.Pada masyarakat
Sarmi ada larangan bagi suami dan isteri yang hamil untuk mengucapkan kata-kata
tertentu yang dianggap berkaitan dengan maut atau makan bersama anggota keluarga
yang baru pulang melayat.Pada masyarakat Marind Anim terdapat larangan bagi
seorang pria untuk menceritakan dongengdongeng yang dianggap sakral ketika
isterinya sedang hamil sampai melahirkan.Demikian pula masyarakat Riau dan Papua
terdapat larangan bagi suami isteri yang menantikan elahiran bayi untu melakukan
beberapa perbuatan tertentu seperti menebang dan membakar pohon, menanam tebu,
berburu, dan membicarakan cerita-cerita suci serta membelah puntung kayu yang
masih menyala.

12
Dari segi budaya, melahirkan tidak hanya merupakan suatu proses yang
semata-mata berkenaan dengan lahirnya sang bayi saja, karena pada saat itu, dari rahim
sang ibu keluar pula unsur-unsur yang biasanya dikategorikan sebagai unsur kotor,
seperti darah, air ketuban, tali pusat dan plasenta.Dari segi budaya,
pengetian”kotor”tidak selalu mengacu pada arti harfiahnya, namun kotor dalam arti
“duniawi”, sebagai lawan dari sifat sakral, suci dan ghoib..Karena itu kebudayaan
menetapkan bahwa proses mengeluarkan unsur-unsur yang kotor atau keduniawian
harus dilangsungkan di tempat yang sesuai untuk keperluan itu.disini dijlaskan bahwa
pandangan masyarakat tentang wilayah bersih yang tidak boleh dikotori, sedangkan
melahirkan adalah proses membuang nsur-unsur yang kotor, sehingga pilihan
melahirkan ditetapkan di dapur sebagai wilayah kotor, sebagian masyarakat Dayak
Kenyah di Desa Long merah, kalimantan timur, yang tinggal di ummaq dadog(Rumah
komunal tradisional dengan bilik-bilik yang berjajar) juga memilih dapur sebagai
tempat melahirkan.Namun alasannya lebih cenderung kepada faktor adat sopan
santun.Bagian tengan rumah yang disebut sinong terlalu terbuka bagi umum dan
kurang memberikan suasana yang dibutuhkan oleh wanita hamil untuk melahirkan
bayinya, baik dari segi ketenangan maupun adat sopan santun.Maka dapur sebagai
satu-satunya bagian rumah yang tertutup dan memberikan ruang pribadi yang
dibutuhkan untuk melahirkan, menjadi pilihan sebagai tempat melahirkan.

Menurut adat tradisional orang Mentawai di pulau Siberut, yang terutama


dianut secara etat di masa lalu, melahirkan dianggap sebagai kategori non sakral
sehingga kelahiran dilangsungkan di tempat yang sesuai untuk itu.ialah ladang yang
bersifat duniawi, yang merupakan salah satu dari pusat kehidupan selain desa dimana
rumah-rumah penduduk berada.Oleha karena itu sekitar seminggu sebelum sang
wanita melahirkan, ia akan dibawa oleh suami dan ibunya untuk tinggal di ladanga
hingga saatnya melahirkan.Meskipun pad masa kini kebudayaan orang Mentawai telah
mengalami perubahan, masih ada di pedalaman penduduk pulau siberut yang
menjalankan adat melahirkan berdasarkan konsep itu. Pandangan budayan tentang

13
lokasi melahirkan an sifatnya juga tidak sama dalam berbagai kebudayan.Di Desa
Trunyan, melihat kelahiran sebagai sifat terbuka untuk dihadiri handai tolan.Namun
tetap terdapat batasan dari norma-norma adat mengenai siapa yang dapat dan tidak
boleh berada di dalam ruangan.Suasana kelahiran bayi juga dihadapi sebagai peristiws
yang wajar secara alamiah, dan merupakan bagian dari proses sosialisasi anak-anak
setempat.Di dalam ruangan, para pelaku berperan sesuai dengan tugasnya masing-
masing, tap orang berada di tempatnya masingmasing sesuai tugas yang ditentukan
baginya dalam pertolongan persalinan.

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pengadaan tempat melahirkan dan


para pelaku pada kegiatan tersebut, termasuk tugas dan aturan masing-masing
ditetapkan secara budaya. Pertimbangan-pertimbangan tertentu yang bersifat kultural
ini kadang-kadang tidak mudah untuk diubah.

Tentang ramu-ramuan dalam proses kelahiran dan pasca persalinan, Setiap


kebudayaan memiliki kepercayaan mengenai berbagai ramuan atau bahan obat-obatan
yang dapat digunkan pada saat wanita hamil telah merasakan akan lahirnya sang
bayi.Umumnya bahan obat-obatan itu terdiri dari ramu-ramuan yang diracik dari
berbagai tumbuh-tumbuhan, seperti daun-daunan, akar-akara, atau bahan-bahan
lainnya yang diyakini berkhasiat sebagai penguat tubuh atau pelancar proses
persalinan.Ramuan yang dianjurkan ole dukun bayi untuk diminum atau dimakan oleh
calon ibu bervariasi, sesuai dengan pengetahuan budaya setempat dan menurut
ketersediaan bahan-bahan di lingkungan sekitar.Di Bali, misalnya, balian manak
menganjurkan pasienya yang hamil tua untuk minm jamu daun waru atau minum air
kelapa muda agar kelak persalinannya lancar, juga dianjurkan minum air kelapa dari
kelapa yang masih sangat muda yang dicampur dengan madu dan kunyit dengan tujuan
menambah tenaga.

Pada masyarakat Kerinci,walaupun jantung pisan dipantangkan selama


sebagaian besar dari masa hamil, saat memasuki usia kandungan 9 bulan, jantung

14
pisang merupakan bagian dari pelusuh(sarana untuk memperlancar lahirnya bayi)yang
diberikan, setelah sebelumnya diberi penawar berupa doa-doa oleh dukun dan dmakan
sebagai lauk nasi.Kemudian pada saat bayi hampir lahi, pelusuh terdii dari telur aam
mentah yang dikocok dengan campuran kopi atau sirih dengan perangkatnya(pinang,
gambir,dan kapur), yang diberi doa.Setelah ketuban pecah, ibun diberi minyak kelapa
untuk diminumkan.Tujuannya untuk memberi semangat

kepada ibu, meskipun dari segi kesehatan hal itu tidak jelas khasiatnya.Pada
saat bayi telah lahir terdapat pula ramu-ramuan yang ditujukan pada perawatan ibu
melahirkan.Bahan-bahan ramuan itu digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain
untuk mengembalikan tenaga, untuk memperkuat tubuh ibu, mengembalikan fungsi-
fungsi tubuh menjadi sebelum hamil, membersihkan tubuh dari nifas dan zat-zat yang
diangap kotr lainnya, serta mengembalikan bentuk tubuh dalam konteks keindahan
tubuh.

Jenis-jenis ramuan dan obat-obatan yang digunakan oleh setiap kelompok


masyarakat pada masa hamil, menjelang saat melahirkan dan sesudah bersalin
merupakan bahan –bahan yang berasal dari pengetahuan budaya masyarakat ang
bersangkutan.Sebagian diantaranya sudah digunkan secara turun temurun sejak
beberapa generasi.Namun dalam hal-hal tertentu tidak selalu bahan-bahan yang
digunakan berkhasiat menurut ilmu kesehatan atau mendukung tercapainya tujuan
kesehatan dengan baik.

15
2.2 Persalinan pada Masing-masing Daerah

2.2.1 Budaya Persalinan pada Masyarakat Suku Baduy Luar, di Kabupaten


Lebak.

Masyarakat Baduy merupakan masyarakat yang sangat patuh dan taat dalam
melaksanakan budaya dan ritual dalam masa kehamilan dan persalinan secara turun
temurun. Salah satu ritual pada masa kehamilan yaitu tradisi ngaragap beuteung dengan
memijat bagian perut yang disertai dengan jampi-jampi untuk meminta keselamatan
ibu dan janin. Sedangkan budaya persalinan yang dilakukan yaitu persalinan yang
dilakukan sendiri tanpa penolong baik oleh dukun paraji maupun tenaga medis. Budaya
pada masa kehamilan dan persalinan tersebut dapat memberikan dampak pada
kesehatan ibu dan bayi di masyarakat Baduy.

Masyarakat Baduy Luar bertempat tinggal di sekitar pegunungan Kendeng,


Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Kondisi
geografi menuju wilayah tempat tinggal masyarakat Baduy Luar di Desa Kanekes di
perbukitan yang penuh dengan bebatuan dan terjal, menyebabkan akses ke fasilitas
pelayanan kesehatan menjadi sulit dijangkau. Desa Kanekes merupakan tanah ulayat
yang dilindungi haknya oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak. Ada dua sistem
pemerintahan yang berlaku di kalangan masyarakat Baduy Luar, yaitu sistem nasional
dan sistem adat yang mengikuti kepercayaan masyarakat adat Baduy. Pemimpin Desa
Kanekes adalah kepala desa yang disebut sebagai “Jaro Pamarentah”, sedangkan
kepala adat dipimpin oleh seorang yang disebut “Puun” (Makmur & Purwanto, 2002).

Aspek kehidupan masyarakat Baduy diselimuti dengan berbagai budaya dan


ritual termasuk upacara adat pada proses kehamilan dan persalinan. Hasil riset
etnografi menggambarkan bahwa masyarakat Baduy sangat patuh dan taat dalam
melaksanakan budaya dan upacara yang telah diturunkan dari leluhurnya hingga kini.
Upacara kehamilan dan persalinan yang masih diterapkan di kehidupan sehari-hari
diantaranya adalah:

16
1. Upacara empat bulanan (Neundeun Seupaheun) dilakukan oleh dukun paraji
bersama dengan beberapa kokolot bertujuan untuk menghindari dari gangguan roh
dan marabahaya lain selama kehamilan. Upacara ini dilakukan dengan memberikan
‘Kapuru’ (untaian benang putih) yang sudah diberi doa atau jampe oleh kokolot
selama tiga malam, lalu diikatkan di pergelangan tangan ibu di sebelah kiri.
2. Upacara tujuh bulanan (Kendit) atau biasa disebut dengan upacara pemasangan
kain putih yang sudah didoakan oleh kokolot yang diikatkan dipinggang ibu hamil.
Tujuan dari upacara ini adalah memberikan doa kepada ibu hamil dan janinnya agar
selamat, aman tidak diganggu ruh sehingga proses kelahiran bisa berjalan lancar
ibu dan bayinya selamat.
3. Upacara kelahiran anak dilakukan oleh dukun paraji yang dilakukan setelah bayi
lahir. Upacara hari pertama bayi lahir dinamakan Pereuh Sepeting, merupakan
upacara memotong tali pusar menggunakan hinis atau sebilah bambu, kemudian
memberikan ari-ari lalu memasukkannya ke daun pisang yang sudah disiapkan oleh
suami.
4. Upacara hari ketiga setelah kelahiran dinamakan upacara ‘Pereuh Tilu Peuting’
yaitu upacara yang dilakukan dengan meneteskan ramuan yang sudah diberi doa
oleh paraji ke mata ibu.
5. Upacara hari ketujuh dinamakan upacara “Pereuh Nujuh Peuting” setelah
kelahiran, merupakan upacara pemberian nama, yang sebelumnya sudah diberikan
oleh Kokolot (ketua adat). Pada upacara ini dilakukan pemberian gelang berupa
untaian benang putih (Kapuru) diikatkan di tangan sebelah kiri yang sudah diberi
doa untuk ibu dan bayi perempuan jika bayi laki-laki, kapuru diikatkan di tangan
sebelah kanan. Pada upacara ini juga dilakukan makan bersama dengan para
kerabat, saudara, tetangga juga kokolot.
6. Upacara yang terakhir dilakukan adalah saat hari ke 40, dinamakan dengan
Ngangiran, merupakan upacara memandikan bayi di sungai yang dilakukan oleh

17
paraji yang juga dikenal dengan sebutan bebersih tujuannya untuk membersihkan
bayi setelah 40 hari bayi lahir.

Budaya persalinan di masyarakat Baduy yang saat ini masih terjadi adalah
persalinan yang dilakukan sendiri tanpa bantuan penolong persalinan. Saat proses
persalinan sudah selesai, penolong persalinan baru diperlukan perannya untuk
memotong tali pusar, membersihkan bayi atau saat ibu bersalin mengalami kesulitan
dalam proses persalinan (Lestari & Agustina, 2018).

Budaya persalinan sendiri tersebut merupakan salah satu faktor permasalahan


KIA di Kabupaten Lebak, khususnya pada masyarakat Baduy. Bagi perempuan Baduy
menjalani proses melahirkan sendiri tanpa penolong atau pendamping di huma
merupakan hal yang sudah biasa dilakukan, karena mereka harus membantu suami
bekerja di huma walaupun sudah menjelang kelahiran. Hal ini sesuai dengan penuturan
salah seorang informan yang mengatakan:

2.2.2 Budaya Persalinan pada Masyarakat Suku Dayak Sanggau, Kecamatan


Toba, Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat.

Pengetahuan tentang persalinan meliput yaitu tanda-tanda persalinan, penolong


persalinan, tempat persalinan, kelainan selama persalinan, dan obat-obatan. Tanda-
tanda persalinan yang diketahui oleh masyarakat Suku Dayak Sanggau meliputi keluar
lendir darah atau calak, perut mulas, sakit pinggang, pecah air ketuban atau piying
ntutup. Menurut mereka, tanda-tanda tersebut akan muncul ketika saat melahirkan
sudah tiba, yang biasanya terjadi pada usia kehamilan 9 bulan dan 10 hari atau 40
minggu.

Penolong persalinan adalah dukun bayi yang mereka sebut (bidan kampung).
Setiap persalinan umumnya ditolong oleh tiga orang bidan kampung dengan tugas yang
berbeda, yang meliputi pendorong perut ibu, pemegang ibu dan penerima bayi.

18
Pendapat masyarakat Suku Dayak Sanggau tentang lama waktu setelah
melahirkan ibu boleh beraktivitas juga bervariasi. Ada yang berpendapat jika sehat ibu
dapat langsung bergerak, ada juga yang berpendapat setelah tiga hari baru boleh
bergerak, tetapi sebagian besar menyatakan bahwa setelah melahirkan langsung dapat
melakukan aktifitas seperti biasanya.

Praktek yang dilakukan oleh bidan kampung selama kehamilan adalah


melakukan pengangkatan peranakan (kandungan) untuk membetulkan letak janin dan
pengurutan untuk membuat tubuh ibu merasa enak. Praktek yang dilakukan oleh bidan
kampung selama proses persalinan meliputi; pemeriksaan presentasi (letak) janin
dengan memasukan tangan ke dalam vagina; pertolongan mengeluarkan janin dengan
mendorong perut ibu atau nyurung, pemotongan dan perawatan tali pusat, membantu
mengeluarkan tembuni dengan tangan (manual placenta). Bidan kampung memastikan
letak terendah janin dengan pemeriksaan dalam (vaginal touche). Pada saat
pemeriksaan dalam, tangan dukun tidak menggunakan sarung tangan kare dan suci
hama (strerilisasi). Tangan hanya dicuci dengan air yang dicampur daun sirsak.

Pertolongan persalinan dilakukan oleh tiga orang bidan kampung. Bidan


kampung pertama bertugas sebagai bidan utama yang mendorong bayi, memotong dan
merawat tali pusat; bidan kampung kedua bertugas menerima bayi; bidan kampung
ketiga bertugas menenangkan dan memegang ibu. Bidan kampung utama mendorong
perut ibu (nyurung) tanpa melihat kelengkapan pembukaan kandungan. Tali pusat
dipotong dengan menggunakan sembil (bambu) diatas balok kayu setelah tembuni
lahir. Pemotongan harus dilakukan di atas mata tali pusat agar tidak terjadi perdarahan.
Setelah pemotongan, tidak dilakukan pengikatan. Ujung tali pusat dibubuhi kopi dan
dimanterai oleh bidan kampung utama. Pada pangkal tali pusat juga diberi ramuan yang
terdiri dari jelaga, daun nangka kering dan air ludah bidan kampung yang makan sirih,
dengan tujuan agar tali pusat cepat lepas.

19
Obat-obatan yang digunakan untuk ibu setelah persalinan cenderung pada
ramuan tradisional yang diberikan oleh bidan kampung seperti minuman yang terbuat
dari campuran tuak, liak (jahe) dan gula. Tujuannya agar badan hangat sehingga darah
dan darah beku dapat cepat keluar dan air susu lancar. Namun ada juga yang minum
kopi supaya badan hangat dan tidak lemah. Selain minuman, mereka juga memberikan
bedak yang terbuat dari kunyit, liak, dan kencur pada perut ibu dengan tujuan agar
kandungan cepat.

Pada masa persalian, banyak praktek budaya yang membahayakan kesehatan


ibu dan bayinya. Penolong persalian yang dipilih adalah bidan kampung karena selalu
ada jika dibutuhkan. Pertolongan persalinan oleh bidan kampung tentu akan berisiko
kematian ibu tinggi. Meskipun terlatih, pertolongan dukun kampung terbukti tidak
menurunkan tingkat kematian ibu.Tindakan mengetahui letak terendah bayi
(presentasi) dengan memasukkan tangan kedalam rongga vagina tanpa menggunakan
sarung tangan. Sebelum melakukan tindakan tersebut bidan kampung mencuci tangan
dengan air yang dicampur daun sirsak. Tindak tersebut dapat meningkatkan resiko
infeksi pada ibu dan janin. Persalinan yang dilakukan di dapur tidak memenuhi azas
bersih alat, bersih tempat, ini akan memperbesar resiko terjadinya infeksi, terutama
infeksi nifas.Untuk mempermudah proses persalinan bidan kampung melakukan
dorongan (nyurung) pada perut ibu (pundus uteri). Tindakan tersebut sangat berbahaya
karena dapat menyebabkan sobeknya rahim (ruptur uteri). Tindakan tersebut dilakukan
tanpa mempertimbangkan kelengkapan pembukaan kandungan. Tindakan tersebut
dilakukan berulang-ulang sampai bayi lahir. Bidan kampung tidak segera merujuk
persalinan lama rumah sakit atau puskesmas. Biasanya mereka berusaha mencari
penyebab hambatan tersebut melalui teknik perdukunan (belian). Upaya tersebut dapat
memperlambat rujukan sehingga membahayakan keselamatan ibu dan bayi.

20
2.2.3 Budaya Persalinan pada Masyarakat Bali Aga di desa Trunyan

Masyarakat Bali Aga di desa Trunyan, Bali memandang kelahiran sebagai hal
yang wajar dan bersifat”publik”. Kelahiran dianggap sebagai urusan laki-laki, karena
dukun bayi pria dan suami merupakan pemeran utama dari penolong persalinan.
Berbeda dengan masyarakat Krikati di brazilia tengah,handai tolan termasuk anak-anak
bisa berkerumun di depan pintu yang dibiarkan terbuka, untuk menyaksikan proses
kelahiran tersebut di luar ruangan. Meski demikian hanya dukun pria, suami, ibu
kandung sang wanita melahirkan, dan anak-anaknya yang lahir terdahulu saja yang
berada di ruangan, ditambah satu orang wanita lainnya atau lebih, yang ,mempunyai
fungsi sebagai pembantu persalinan apabila tenaganya diperlukan.

Para penolong dan cara-cara menolong persalinan merupakan kesatuan yang


tak terpisahkan, karena diikat oleh kesaman pemahaman mengenai sifat dari proses
kelahiran itu dengan pengaruhnya terhadap kondisi bayi dan ibunya. Dalam proses
persalinan di lingkungan di masyarakat Bali Aga, wanita akan melahirkan duduk
dengan posisi bersandar pada dada balian tekuk (dukun beranak) di atas bangku.Sang
suami duduk tepat di hadapan isterinya, karena berfungsi sebagai penerima bayi pada
saat lahirnya. Diantara suami isteri terdapat lubang dangkal yang diberi alas untuk
menampung plasenta, air tembuni, dan darah yang keluar dari tubuh wanita yang
melahirkan. Disisi wanita itu, berdiri seorang gadis yang berfungsi untuk menarik
rambutnya, agar sang wanita yang melahirkan dapat tetap dalam posisi duduk tegak.
Tujuannya adalah untuk menjaga agar jiwanya dapat tetap diam dalam tubuhnya dan
tidak akan meninggalkannya. Sang balian tekun akan mengurutnya untuk
membetulkan posisi bayi bila terasa sungsang dalam perut ibunya. Namun bila proses
kelahirran tampak berjalan normal, ia tak kan berbuat apa-apa kecuali berfungsi
sebagai tempat bersandar sang wanita melahirkan dan memberikan ketenangan
psikologis.Seorang pelaku lain, balian usada hanya berperan apabila terjadi proses

21
persalinan yang sulit. Ia akan membacakan mantera-mantera dan doa, serta
memberikan minuman air suci kepada si ibu, lalu menyemburnya dengan ludah yang
dicampur kunyahan daun sirih. Para pelaku, khususnya sang gadis, senantiasa
mengusahakan agar si ibu tidak pingsan, karena hal itu dianggap dapat menyebabkan
kematiannya. Sementara itu, ibu dari wanita yang melahirkan turut berada di ruangan
yang sama untuk memberikan ketenangan bathin bagi putrinya yang sedang dalam
proses melahirkan. Selama proses pertolongan persalinan, diyakini oleh semua pelaku
bahwa selama ari-ari belum keluar, tali pusat tak boleh dipotong karena kuatir akan
tertarik kembali ke dalam rahim sang ibu. Dari segi kedokteran hal dianggap
membahayakan karena pedarahan pada ari-ari dapat menyebabkan perdarahan pada
bayi pula. Setelah ari-ari keluar, ayah sang bayi memotong tali pusat anaknya dan para
pelaku lain mulai sibuk mengambil air hangat dan rempah-rempah. Sementara itu tugas
dukun bayi dan ayah sang bayi masih berlanjut dengan upacara untuk merawat dan
membungkus plasenta, darah, air tembuni dan tali pusat sang bayi, untuk digantungkan
pada tempat khusus yang disediakan untuk keperluan itu, di bagian selatan induk
trunyan. Uraian tersebut menunjukkan interaksi antara aspek budaya dan aspek sosial
yang terwujud dalam kegiatan menolong persalinan yang dilakukan oleh para pelaku,
masing-masing dengan peran dan tugasnya selama proses persalinan berlangsung,
tidak saja bagi sang bayi, melainkan juga bagi perawatan plasentanya. Kerjasama yang
terpola itu dilandasi oleh pengetahuan budaya yang sama mengenai sifat-sifat dan
fisiologi kelahiran.

2.2.4 Budaya Persalinan pada Masyarakat Rimbo, Jambi.

Ritual penyambutan bayi lahir pada suku Rimbo di Jambi. Pada masyarakat
Rimbo lahirnya seorang anak berarti kelangsungan hidup generasinya terjamin, begitu
juga perkembangan mereka tetap terpelihara tetapi kenyataannya sering terjadi
peristiwa di luar jangkauan kemampuan manusia, seperti kematian, bahkan mati
bayinya atau ibunya. Keadaan ini membuat orang rimbo diliputi oleh hal-hal yang
menggelisahkan dan tidak menentramkan hidupnya. Kemudian mereka mencari

22
sandaran yang dapat menghilangkan kegelisahan, yang berasal dari bantuan yang luar
biasa di atas segala kemampuan manusia dengan diadakan upacara keagamaan khusus.
Upacara dimulai sejak ibu mengandung delapan bulan yaitu dengan menyerahkan
kepada dukun bayi yang biasanya juga merangkap orang alim, hal ini dilakukan karena
orang rimbo berpengalaman bahwa umur kandungan delapan bulan merupakan umur
yang kritis, sering terjadi hal-hal yang diluar dugaan manusia, dengan diserahkan ibu
ke dalam pengawasan dukun bayi/orang alim yang dianggap ahli kandungan ibu
tersebut akan terjaga dan selamat. Selanjutnya alim memerintahkan untuk membuat
tempat khusus dalam upacara penyambutan bayi yang akan lahir di suatu tempat yang
disebut tanah peranakan, yaitu suatu tempat yang datar, air cukup, ramu-ramuan yang
diperlukan banyak di tempat itu, mudah dijangkau, dan terlindung dari gangguan
binatang buas. Bangunan balai tersebut terdiri dari minimal tiga gubug, satu untuk
suami istri yang akan melahirkan, satu khusus untuk dukun bayi/alim, satu lagi agak
besar unuk kerabat dekat. Peralatan yang digunkan untuk upacara : bedaro putih untuk
minuman bagi ibu yang melahirkan agar mudah dalam persalinan, ramu-ramuan yang
khusus dicari oleh dukun, kemenyan untuk mengusir roh jahat, suluh damar untuk
penerangan di malam hari, bubuk kulit kayu tenggiris untuk menempel pada pusat bayi
agat cepat kering, makanan dan lauk-pauk untuk menjamu peserta upacara terutama
ibu yang baru melahirkan, tempat pembungkus bayi, senjata berupa tombak dan parang
untuk menangkal serangan yang mungkin terjadi.Setelah bayi lahir engan selamat
maka masing-masing sibuk dengan tugasnya masing-masing, ada yang bertugas
menanam bali(ari-ari) yang harus ditanam di tempat yang tidak mungkin digunakan
untuk ladang atau bangunan, sebagian yang lain membuat makanan dari ubi yang
diparut dan dibubur dengan dicampur hati atau daging, untuk makanan ibu yang baru
melahirkan sisanya untuk kerabat yang menyaksikan dan menunggu kelahiran bayi.
Setelah sehari semalam maka seluruh orang yang berada di tanah peranakan pulang ke
rumah masing-masing, bayinya cukup digendong dengan kain panjang tanpa bungkus
dengan sesuatu benda apapun dan mereka langsung bekerja termasuk ibu yang baru

23
saja melahirkan tadi. Kebiasaan ini kemungkinan menjadi penyebab banyak anak yang
meninggal di bawah lima tahun terutama tahun pertama. Menurut kepercayaan orang
rimbo bila bayi lahir dengan selamat dan kelahirannya di tanah peranakan dengan
pertolongan orang alim dan sudah diupacarakan, maka anak tersebut sudah lepas dari
marabahaya untuk di bawa kemanapun ibunya pergi.Rasa terlindungi oleh sang
pencipta inilah yang membuat mereka leluasa pergi membawa serta bayi yang baru
lahir meskipun beru berumur sehari semalam.

2.3 Perkembangan Aspek Budaya Persalinan dari Masa Lalu dan ada Masa
Sekarang.

Zaman dulu proses persalinan biasanya dilakukan dengan cara mengurut oleh
dukun beranak, dengan gerakan dan tekanan tertentu. Hal itu dilakukan untuk
menstimulasi bayi agar keluar dari perut. Namun, jika bayi tetap “bandel” dan tidak
juga mau keluar, akan dilakukan dengan cara mendorong. Dukun beranak akan
berjongkok di atas tubuh ibu hamil, sementara beberapa orang akan memegangi tangan
dan kaki si ibu. Setelah itu, dukun beranak akan mendorong paksa bayi agar segera
keluar dari perut.

Namun sampai saat ini diwilayah Indonesia masih banyak pertolongan


persalinan dilakukan oleh dukun bayi yang masih menggunakan cara-cara tradisional
sehingga banyak merugikan dan membahayakan keselamatan ibu dan bayi baru lahir.
Di beberapa daerah, keberadaan dukun sebagai orang kepercayaan dalam menolong
persalinan, sosok yang dihormati dan berpengalaman, sangat dibutuhkan oleh
masyarakat keberadaannya

Pertolongan persalinan oleh dukun bayi menimbulkan berbagai masalah antara


lain tingginya angka kematian dan kesakitan ibu serta perinatal. Pertolongan persalinan
yang tidak kuat dapat terjadi persalinan kasep, kematian janin dalam rahim, ruptur
uteri, perdarahan post partum, infeksi berat, asfiksia dantrauma persalinan. Hal tersebut
diatas akan diperberat lagi apabila dukun bayi tersebut tidak terlatih yang umumnya

24
melakukan pertolongan tanpa memperhatikan tiga bersih yaitu: bersih alat, bersih
tempat, dan bersih penolong, serta melakukan pengobatan yang masih menggunakan
tumbuh-tumbuhan. (Manuaba, 2006)

Sejak tahun 2000 sampai saat ini masyarakat secara bertahap mulai tidak
melahirkan pada paraji, melainkan pada layanan medis modern seperti bidan. Hanya
saja tradisi perawatan di masa kehamilan tersebut masih dilakukan oleh keluarga dukun
bayi. Tetapi semakin berkembangnya zaman, masyarakat mengalami perubahan dalam
tradisi masa kehamilan. Masyarakat mulai beralih pada layanan medis modern seperti
bidan. Seperti contoh saat ibu jabang bayi mengalami kontraksi keluarga langsung
membawanya pada layanan medis modern seperti bidan atau rumah sakit, hal ini karena
sebelumnya masyarakat sudah diberikan informasi tentang waktu persalinan dan sering
kontrol kandungan kepada bidan atau puskesmas. Hal ini karena masyarakat tidak
sabar dalam menjalani proses melahirkan dan pasca melahirkan yang dipimpin oleh
paraji atau dukun bayi. Seperti contoh, saat proses melahirkan paraji membutuhkan
waktu untuk memijat perut ibu jabang bayi supaya bayi cepat keluar. Paraji hanya bisa
berdoa dan pasrah dengan segala kekuatan serta ketentuan Allah. Adapun cara
melancarkan supaya melahirkan lancar paraji memerintahkan ibu jabang bayi banyak
nongkrong dan pijat bagian pinggang. Yang dimana metode tersebut didapatkan secara
turun menurun dari leluhurnya.

Pasca melahirkan paraji hanya memberikan jamu, dan pijat untuk melancarkan
darah nifas selama 40 hari. Hal ini bertujuan agar darah nifas tersebut keluar semua
dan alat kelamin cepat tertutup kembali. Menurut masyarakat saat ini, masa nifas 40
hari itu merupakan waktu yang lama. Masyarakat merasa lebih bersih dan praktis saat
melahirkan di bidan. Karna tenaga medis modern dapat mempercepat masa nifas dalam
kurun waktu 1minggu Masyarakat merasa lebih bersih dan praktis saat melahirkan di
bidan.

25
Masyarakat lebih percaya memeriksa kandunganya kepada bidan dengan
menggunakan USG (ultrasonografi). Dalam KBBI (kamus besar bahasa Indonesia)
ultrasonografi berarti suatu teknik diagnostik untuk pengujian struktur badan bagian
dalam yang melibatkan formasi bayangan dua dimensi dengan gelombang ultrasonik.
Pasca melahirkan ibu jabang bayi juga diberi suntik dan obat supaya darah nifas tidak
keluar secara terus menerus.Bidan juga menjahit alat kelamin ibu jabang bayi.Hal ini
agar alat kelamin cepat mampet, rapet dan kuat. Proses pemulihan yang dilakukan oleh
bidan adalah satu minggu, dengan begitu ibu jabang bayi dapat beraktifitas kembali.
Jika ibu jabang bayi mengalami kondisi gawat atau sulit bidan dapat memberikan
rujukan ke rumah sakit. Sebagian masyarakat merasa aman dengan adanya teknologi
dan sistem yang terdapat di bidan atau rumah sakit. Hal ini karena masyarakat juga
diminta melakukan kontrol kandungan oleh bidan di setiap kegiatan puskesmas,
posyandu dan lainya, sehingga saat melahirkan mereka ditangani oleh bidan.

26
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sampai saat ini diwilayah Indonesia masih banyak pertolongan persalinan


dilakukan oleh dukun bayi yang masih menggunakan cara-cara tradisional sehingga
banyak merugikan dan membahayakan keselamatan ibu dan bayi baru lahir. Di
beberapa daerah, keberadaan dukun sebagai orang kepercayaan dalam menolong
persalinan, sosok yang dihormati dan berpengalaman, sangat dibutuhkan oleh
masyarakat keberadaannya

Pertolongan persalinan oleh dukun bayi menimbulkan berbagai masalah antara


lain tingginya angka kematian dan kesakitan ibu serta perinatal. Pertolongan persalinan
yang tidak kuat dapat terjadi persalinan kasep, kematian janin dalam rahim, ruptur
uteri, perdarahan post partum, infeksi berat, asfiksia dantrauma persalinan. Hal tersebut
diatas akan diperberat lagi apabila dukun bayi tersebut tidak terlatih yang umumnya
melakukan pertolongan tanpa memperhatikan tiga bersih yaitu: bersih alat, bersih
tempat, dan bersih penolong, serta melakukan pengobatan yang masih menggunakan
tumbuh-tumbuhan. (Manuaba, 2006)

Pandangan budayawan tentang lokasi melahirkan dan sifatnya tidak sama


dalam berbagai kebudayan. Dari segi budaya, melahirkan tidak hanya merupakan suatu
proses yang semata-mata berkenaan dengan lahirnya sang bayi saja, karena pada saat
itu, dari rahim sang ibu keluar pula unsur-unsur yang biasanya dikategorikan sebagai
unsur kotor, seperti darah, air ketuban, tali pusat dan plasenta.

Tentang ramu-ramuan dalam proses kelahiran dan pasca persalinan, Setiap


kebudayaan memiliki kepercayaan mengenai berbagai ramuan atau bahan obat-obatan
yang dapat digunkan pada saat wanita hamil telah merasakan akan lahirnya sang
bayi.Umumnya bahan obat-obatan itu terdiri dari ramu-ramuan yang diracik dari

27
berbagai tumbuh-tumbuhan, seperti daun-daunan, akar-akara, atau bahan-bahan
lainnya yang diyakini berkhasiat sebagai penguat tubuh atau pelancar proses
persalinan.

3.2 Saran

Dikarenakan Indonesia merupakan negara yang kaya akan seni dan budaya.
Setiap daerah di Indonesia mempunyai kebudayanaan atau adat istiadat yang berbeda.
Kebudayaan tersebut muncul dari kebiasaan nenek moyang terdahulu dan seolah-olah
sudah melekat dalam jiwa setiap masyarakat. Untuk itu masyarakat disarankan agar
dapat memperhatikan dan memilih budaya kehamilan yang cocok dan aman untuk
kesehatan keselamatan ibu dan bayi. Dan juga Bidan harus selalu menjaga hubungan
yang efektif dengan masyarakat dengan selalu mengadakan komunkasi efektif.

28
DAFTAR PUSTAKA

Handayani, Sri. 2012. “Aspek Budaya Pada Kehamilan, Persalinan, Nifas di


Indonesia”. Infokes

Bayeun. 2019. “Aspek Sosial Budaya pada Masa Persalinan”. Academia.edu

Indrasari, Nelly. 2014. “Hubungan Faktor Sosial Budaya dengan Persalinan Oleh
Dukun Bayi di Desa Negeri Agung, Kecamatan Talang Padang, Tagambus”. Julkes:
Metro Sal Wawa.

Kartika, Vita. 2018. “Budaya Kehamilan dan Persalinan pada Masyarakat Baduy, di
Kabupaten Lebak, Tahun 2018”. Jukes: Kemenkes

Suprabowo, Edy. 2006. “Praktik Budaya Kehamilan, Persalinan dan Nifas pada
Suku Dayak Sanggau”. Jukes

http://repository.poltekkes-kdi.ac.id/1115/2/BAB%201.pdf

29
LEMBAR PERSETUJUAN

Makalah perkuliahan dengan pokok bahasan “Sosial Budaya pada


Persalinan”. Telah dikoreksi oleh dosen penanggung jawab dan telah dikoreksi oleh
tim.

Jakarta, 24 Agustus 2022

(Dra. Erni, MA. Kes)

30

Anda mungkin juga menyukai