Dosen Pembimbing :
Disusun Oleh:
2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah
mengenai “Sosial Budaya pada Persalinan” dapat selesai pada waktunya.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Sosial Budaya
Dasar dan bertujuan agar pembaca dapat mengetahui mengenai Sosial Budaya pada
Persalinan. Pada kesempatan ini juga, penulis menyampaikan ucapakan terimakasih
yang ditujukan kepada:
1. Tuhan yang selalu menjadi penuntun dan yang menyertai kami dalam
menyelesaikan penyusunan makalah ini.
2. Kedua orang tua yang selalu mendukung dan mendoakan kami.
3. Zeni Zaenal Muttaqin selaku dosen penanggung jawab mata kuliah Ilmu Sosial
Budaya Dasar di Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Kemenkes Jakarta
1.
4. Dra. Erni, MA. Kes selaku dosen pembimbing mata kuliah Ilmu Sosial Budaya
Dasar di Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Kemenkes Jakarta 1.
Materi yang kami sampaikan dalam makalah ini tentunya masih jauh dari
kesempurnaan, karena kami juga masih dalam tahap pembelajaran. Oleh karena itu
arahan, koreksi, dan saran yang membangun sangat kami harapkan. Semoga makalah
ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
2.3 Perkembangan Aspek Budaya Persalinan dari Masa Lalu dan Pada Masa Sekarang
................................................................................................................................................ 26
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
melakukan pengobatan yang masih menggunakan tumbuh-tumbuhan (Manuaba,
2016).
Adanya era globalisasi dengan berbagai perubahan begitu ekstrem pada masa
ini menuntut semua manusia harus memperhatikan aspek sosial budaya. Salah satu
masalah yang kini banyak merebak dikalangan masyarakat adalah kematian dan
kesakitan ibu yang sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya
didalam masyarakat dimana berada. Daerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil masih
mempercayai dukun beranak untuk menolong persalinan yang biasanya dilakukan
dirumah (Suprapto, 2011).
2
1.2 Rumusan Masalah
3
BAB II
PEMBAHASAN
Indonesia merupakan negara yang kaya akan seni dan budaya. Setiap daerah di
Indonesia mempunyai kebudayanaan atau adat istiadat yang berbeda. Kebudayaan
tersebut muncul dari kebiasaan nenek moyang terdahulu dan seolah-olah sudah
melekat dalam jiwa setiap masyarakat.
Menurut hasil penelitian dari 97 Negara bahwa ada korelasi yang signifikan
antara pertolongan persalinan dengan kematian ibu. Semakin tinggi cakupan persalinan
oleh tenaga kesehatan disuatu wilayah akan diikuti penurunan kematian ibu diwilayah
tersebut. Namun sampai saat ini diwilayah Indonesia masih banyak pertolongan
persalinan dilakukan oleh dukun bayi yang masih menggunakan cara-cara tradisional
sehingga banyak merugikan dan membahayakan keselamatan ibu dan bayi baru lahir.
Di beberapa daerah, keberadaan dukun sebagai orang kepercayaan dalam menolong
4
persalinan, sosok yang dihormati dan berpengalaman, sangat dibutuhkan oleh
masyarakat keberadaannya (Din.Kes.Prov.Lamp 2009).
Dalam era globalisasi dengan berbagai perubahan begitu ekstrem pada masa ini
menuntut semua manusia harus memperhatikan aspek sosial budaya. Salah satu
masalah yang kini banyak merebak dikalangan masyarakat adalah kematian dan
kesakitan ibu yang sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya
didalam masyarakat dimana mereka berada. Didaerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil
masih mempercayai dukun beranak untuk menolong persalinan yang biasanya
dilakukan dirumah. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan mengungkapkan
bahwa masih terdapat praktek-praktek persalinan oleh dukun yang dapat
membahayakan si ibu. Pemilihan dukun beranak sebagai penolong persalinan pada
dasarnya disebabkan oleh karena beberapa alasan antara lain: dikenal secara dekat,
biaya murah, mengerti dan dapat membantu dalamupacara adat yang berkaitan dengan
kelahiran anak serta merawat ibu dan bayi sampai 40 hari. (Suprapto, 2011).
5
orang adalah karena kebudayaan yang bersangkutan memandang kelahiran sebagai
masalah pribadi dan dari segi adat sopan santun, perlu dijaga dari keterbukaan bagi
orang lain, termasuk kerabat. Misalnya tradisi orang Mentawai di pulau Siberut pada
masa lalu, kelahiran merupakan peristiwa pribadi yang hanya dihadapai oleh suami dan
ibu sang wanita yang melahirkan, dengan suami sebagai penolong utama dari kelahiran
anaknya. Pada kebudayaan lainya, kelahiran masih tetap merupakan masalah pribadi,
namun lebih bersifat terbuka bagi kerabat terdekat yang dianggap mempunyai fungsi
tertentu dalam menghadapi peristiwa itu. Biasanya mereka adalah kerabat wanita yang
sudah berumur dan sudah biasa menghadapi peristiwa pesalinan.
Masyarakat Bali Aga di desa Trunyan, Bali memandang kelahiran sebagai hal
yang wajar dan bersifat”publik”. Kelahiran dianggap sebagai urusan laki-laki, karena
dukun bayi pria dan suami merupakan pemeran utama dari penolong persalinan.
Berbeda dengan masyarakat Krikati di brazilia tengah,handai tolan termasuk anak-anak
bisa berkerumun di depan pintu yang dibiarkan terbuka, untuk menyaksikan proses
kelahiran tersebut di luar ruangan. Meski demikian hanya dukun pria, suami, ibu
kandung sang wanita melahirkan, dan anak-anaknya yang lahir terdahulu saja yang
berada di ruangan, ditambah satu orang wanita lainnya atau lebih, yang ,mempunyai
fungsi sebagai pembantu persalinan apabila tenaganya diperlukan.
6
Tujuannya adalah untuk menjaga agar jiwanya dapat tetap diam dalam tubuhnya dan
tidak akan meninggalkannya. Sang balian tekun akan mengurutnya untuk
membetulkan posisi bayi bila terasa sungsang dalam perut ibunya. Namun bila proses
kelahirran tampak berjalan normal, ia tak kan berbuat apa-apa kecuali berfungsi
sebagai tempat bersandar sang wanita melahirkan dan memberikan ketenangan
psikologis.Seorang pelaku lain, balian usada hanya berperan apabila terjadi proses
persalinan yang sulit. Ia akan membacakan mantera-mantera dan doa, serta
memberikan minuman air suci kepada si ibu, lalu menyemburnya dengan ludah yang
dicampur kunyahan daun sirih. Para pelaku, khususnya sang gadis, senantiasa
mengusahakan agar si ibu tidak pingsan, karena hal itu dianggap dapat menyebabkan
kematiannya. Sementara itu, ibu dari wanita yang melahirkan turut berada di ruangan
yang sama untuk memberikan ketenangan bathin bagi putrinya yang sedang dalam
proses melahirkan. Selama proses pertolongan persalinan, diyakini oleh semua pelaku
bahwa selama ari-ari belum keluar, tali pusat tak boleh dipotong karena kuatir akan
tertarik kembali ke dalam rahim sang ibu. Dari segi kedokteran hal dianggap
membahayakan karena pedarahan pada ari-ari dapat menyebabkan perdarahan pada
bayi pula. Setelah ari-ari keluar, ayah sang bayi memotong tali pusat anaknya dan para
pelaku lain mulai sibuk mengambil air hangat dan rempah-rempah. Sementara itu tugas
dukun bayi dan ayah sang bayi masih berlanjut dengan upacara untuk merawat dan
membungkus plasenta, darah, air tembuni dan tali pusat sang bayi, untuk digantungkan
pada tempat khusus yang disediakan untuk keperluan itu, di bagian selatan induk
trunyan. Uraian tersebut menunjukkan interaksi antara aspek budaya dan aspek sosial
yang terwujud dalam kegiatan menolong persalinan yang dilakukan oleh para pelaku,
masing-masing dengan peran dan tugasnya selama proses persalinan berlangsung,
tidak saja bagi sang bayi, melainkan juga bagi perawatan plasentanya. Kerjasama yang
terpola itu dilandasi oleh pengetahuan budaya yang sama mengenai sifat-sifat dan
fisiologi kelahiran.
7
Citra tentang wanita, pandangan budaya mengenai organ reproduksi dan
penanganan plasenta. Dalam banyak kebudayaan di berbagai penjuru dunia citra
tentang wanita dan pandangan budaya mengenai bentuk, sifat dan fungsi organ
reproduksi maupun pandangan budaya mengenai plasenta mendorong berbagai
perilaku tertentu dalam menghadapi kehamilan dan kelahiran bayi. Citra tentang
wanita : Ibu dan istri. Banyak suku bangsa di dunia khususnya dunia ketiga
beranggapan bahwa kemampuan melahirkan bayi merupakan suatu tolok ukur bagi
seorang istri untuk menunjukkan keberhasilannya dalam tugas budayanya untuk
mempersembahkan keturunan bagi suaminya. Di lingkungan yang mempunyai budaya
seperti itu, mempunyai anak segera setelah pernikahan merupakan tujuan utama dari
perkawinan. Di Bangladesh pandangan serupa juga ditemukan, pengantin baru
diharapkan untuk segera mempunyai anak untuk membuktikan kesuburan mereka dan
untuk mengesahkan mereka dalam keluarga, karena status sebagai ibu lebih tinggi dari
status sebagai istri. Di samping itu status sebagai ibu memberikan lebih banyak
kebebasan untuk keluar rumah dan mempraktekkan hak-hak mereka. Keinginan untuk
segera memiliki anak mendorong terwujudnya cara-cara budaya dalam mengupayakan
kelahiran anak. Lucille Newman menghimpun sejumlah tulisan mengenai berbagai
kebudayaan di Asia, Amerika Tengah dan Selatan, yang berkenaan dengan
pengetahuan dan cara-cara budaya untuk mengatur kesuburan dengan tujuan
mendapatkan bayi, membatasi kelahiran bayi dan berbagai pertimbangan tertentu. Di
pihak lain citra tentang wanita dalam kaitannya dengan tugas budaya mereka tidak
selalu mendorong disukainya kelahiran anak tambanhan, setelah lahirnya beberapa
anak. Tidak disukainya tambahan anak tidak selalu disebabkan oleh faktor sosial
ekonomiyang dari segi tenaga dan biaya tidak menguntungkan untuk merawat seorang
bayi lagi. Dalam masyarakat Dani di Kecamatan Kurulu Lembah Baliem Papua
misalnya tugas budaya yang utama bagi wanita dan yang dianggap amat penting adalah
melakukan kegiatan mata pencaharian yakni menghasilkan ubi jalar dan babi. Sehingga
tambhan anak cenderung tidak disukai karena dianggap mengganggu tugas mereka di
8
ladang. Keadaan ini sering mendorong untuk melakukan aborsi tradisionalyang
menyebabkan resiko yang buruk.
Sebagai makhluk biologi manusia dipelajari dalam ilmu biologi atau anatomi
dan sebagai makhluk sosio budaya manusia dipelajari dalam anthropologi budaya,
yaitu tentang seluruh cara hidup manusia, bagaimana manusia dengan akal budinya
dan struktur fisiknya dapat mengubah lingkungan berdasarkan pengalamannya.
Kebudayanan manusia menganalisis masalah-masalah hidup sosial-kebudayaan
9
manusia dan memberi wawasan bahwa hanya manusialah yang mampu
berkebudayaan. Seperti halnya pada ritual penyambutan bayi lahir pada suku Rimbo di
Jambi. Pada masyarakat Rimbo lahirnya seorang anak berarti kelangsungan hidup
generasinya terjamin, begitu juga perkembangan mereka tetap terpelihara tetapi
kenyataannya sering terjadi peristiwa di luar jangkauan kemampuan manusia, seperti
kematian, bahkan mati bayinya atau ibunya. Keadaan ini membuat orang rimbo diliputi
oleh hal-hal yang menggelisahkan dan tidak menentramkan hidupnya. Kemudian
mereka mencari sandaran yang dapat menghilangkan kegelisahan, yang berasal dari
bantuan yang luar biasa di atas segala kemampuan manusia dengan diadakan upacara
keagamaan khusus. Upacara dimulai sejak ibu mengandung delapan bulan yaitu
dengan menyerahkan kepada dukun bayi yang biasanya juga merangkap orang alim,
hal ini dilakukan karena orang rimbo berpengalaman bahwa umur kandungan delapan
bulan merupakan umur yang kritis, sering terjadi hal-hal yang diluar dugaan manusia,
dengan diserahkan ibu ke dalam pengawasan dukun bayi/orang alim yang dianggap
ahli kandungan ibu tersebut akan terjaga dan selamat. Selanjutnya alim memerintahkan
untuk membuat tempat khusus dalam upacara penyambutan bayi yang akan lahir di
suatu tempat yang disebut tanah peranakan, yaitu suatu tempat yang datar, air cukup,
ramu-ramuan yang diperlukan banyak di tempat itu, mudah dijangkau, dan terlindung
dari gangguan binatang buas. Bangunan balai tersebut terdiri dari minimal tiga gubug,
satu untuk suami istri yang akan melahirkan, satu khusus untuk dukun bayi/alim, satu
lagi agak besar unuk kerabat dekat. Peralatan yang digunkan untuk upacara : bedaro
putih untuk minuman bagi ibu yang melahirkan agar mudah dalam persalinan, ramu-
ramuan yang khusus dicari oleh dukun, kemenyan untuk mengusir roh jahat, suluh
damar untuk penerangan di malam hari, bubuk kulit kayu tenggiris untuk menempel
pada pusat bayi agat cepat kering, makanan dan lauk-pauk untuk menjamu peserta
upacara terutama ibu yang baru melahirkan, tempat pembungkus bayi, senjata berupa
tombak dan parang untuk menangkal serangan yang mungkin terjadi.Setelah bayi lahir
engan selamat maka masing-masing sibuk dengan tugasnya masing-masing, ada yang
10
bertugas menanam bali(ari-ari) yang harus ditanam di tempat yang tidak mungkin
digunakan untuk ladang atau bangunan, sebagian yang lain membuat makanan dari ubi
yang diparut dan dibubur dengan dicampur hati atau daging, untuk makanan ibu yang
baru melahirkan sisanya untuk kerabat yang menyaksikan dan menunggu kelahiran
bayi. Setelah sehari semalam maka seluruh orang yang berada di tanah peranakan
pulang ke rumah masing-masing, bayinya cukup digendong dengan kain panjang tanpa
bungkus dengan sesuatu benda apapun dan mereka langsung bekerja termasuk ibu yang
baru saja melahirkan tadi. Kebiasaan ini kemungkinan menjadi penyebab banyak anak
yang meninggal di bawah lima tahun terutama tahun pertama. Menurut kepercayaan
orang rimbo bila bayi lahir dengan selamat dan kelahirannya di tanah peranakan
dengan pertolongan orang alim dan sudah diupacarakan, maka anak tersebut sudah
lepas dari marabahaya untuk di bawa kemanapun ibunya pergi.Rasa terlindungi oleh
sang pencipta inilah yang membuat mereka leluasa pergi membawa serta bayi yang
baru lahir meskipun beru berumur sehari semalam.
Masyarakat Kerinci Jambi, wanita hamil dilarang makan hamil agar bayinya
tidak berbulu sepeti rebung.Mereka juga dilarang makan jantung pisang agar anaknya
lahir tidak terlalu kecil, atau mengonsumsi senawa/jamur karena akan menyebabkan
placenta menjadi kembar sehingga mengalami kesulitan waktu melahirkan, alasan ini
merupakan keyakinan budaya.
Keyakinan lain pada masyarakat Keruak Lombok timur, wanita hamil dilarang
makan gurita, cumi, kepiting, udang dan ikan pari.Ikan gurita dan cumi dianggap
mempunyai kaki yang lekat dan mencengkeram, hal ini diasosiasikan ari-ari bayi akan
lekat dan mencengkeram rahim ibu sehingga bayi susah lahir.Makan udang yang
bentuknya melengkung dianggap akan menyebabkan bayi berbrntuk serupa sehingga
mempersulit kelahiran.Ikan pari yang hidungnya tajam akan menyebabkan bayi sulit
keluar, sementara kepiting menyebabkan bayi akan lebih dahulu keluar tangannya atau
letaknya melintang.Sebaliknya adapula makanan yang dianjurka karena dianggap baik
bagi wanita hamil, ia harus makan tanah kaken/lempung merah.Penduduk setempat
11
juga percaya bahwa pada saat hamil harus makan sebanyak-banyaknya dalam arti
kuantitas,bukan kualitas.Pada masyarakat Biak Numfor( Irian ), suami isteri yang
tengah menantikan kelahiran bayinya dilarang makan daging hewan tertentu
diantaranya kura-kura.
12
Dari segi budaya, melahirkan tidak hanya merupakan suatu proses yang
semata-mata berkenaan dengan lahirnya sang bayi saja, karena pada saat itu, dari rahim
sang ibu keluar pula unsur-unsur yang biasanya dikategorikan sebagai unsur kotor,
seperti darah, air ketuban, tali pusat dan plasenta.Dari segi budaya,
pengetian”kotor”tidak selalu mengacu pada arti harfiahnya, namun kotor dalam arti
“duniawi”, sebagai lawan dari sifat sakral, suci dan ghoib..Karena itu kebudayaan
menetapkan bahwa proses mengeluarkan unsur-unsur yang kotor atau keduniawian
harus dilangsungkan di tempat yang sesuai untuk keperluan itu.disini dijlaskan bahwa
pandangan masyarakat tentang wilayah bersih yang tidak boleh dikotori, sedangkan
melahirkan adalah proses membuang nsur-unsur yang kotor, sehingga pilihan
melahirkan ditetapkan di dapur sebagai wilayah kotor, sebagian masyarakat Dayak
Kenyah di Desa Long merah, kalimantan timur, yang tinggal di ummaq dadog(Rumah
komunal tradisional dengan bilik-bilik yang berjajar) juga memilih dapur sebagai
tempat melahirkan.Namun alasannya lebih cenderung kepada faktor adat sopan
santun.Bagian tengan rumah yang disebut sinong terlalu terbuka bagi umum dan
kurang memberikan suasana yang dibutuhkan oleh wanita hamil untuk melahirkan
bayinya, baik dari segi ketenangan maupun adat sopan santun.Maka dapur sebagai
satu-satunya bagian rumah yang tertutup dan memberikan ruang pribadi yang
dibutuhkan untuk melahirkan, menjadi pilihan sebagai tempat melahirkan.
13
lokasi melahirkan an sifatnya juga tidak sama dalam berbagai kebudayan.Di Desa
Trunyan, melihat kelahiran sebagai sifat terbuka untuk dihadiri handai tolan.Namun
tetap terdapat batasan dari norma-norma adat mengenai siapa yang dapat dan tidak
boleh berada di dalam ruangan.Suasana kelahiran bayi juga dihadapi sebagai peristiws
yang wajar secara alamiah, dan merupakan bagian dari proses sosialisasi anak-anak
setempat.Di dalam ruangan, para pelaku berperan sesuai dengan tugasnya masing-
masing, tap orang berada di tempatnya masingmasing sesuai tugas yang ditentukan
baginya dalam pertolongan persalinan.
14
pisang merupakan bagian dari pelusuh(sarana untuk memperlancar lahirnya bayi)yang
diberikan, setelah sebelumnya diberi penawar berupa doa-doa oleh dukun dan dmakan
sebagai lauk nasi.Kemudian pada saat bayi hampir lahi, pelusuh terdii dari telur aam
mentah yang dikocok dengan campuran kopi atau sirih dengan perangkatnya(pinang,
gambir,dan kapur), yang diberi doa.Setelah ketuban pecah, ibun diberi minyak kelapa
untuk diminumkan.Tujuannya untuk memberi semangat
kepada ibu, meskipun dari segi kesehatan hal itu tidak jelas khasiatnya.Pada
saat bayi telah lahir terdapat pula ramu-ramuan yang ditujukan pada perawatan ibu
melahirkan.Bahan-bahan ramuan itu digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain
untuk mengembalikan tenaga, untuk memperkuat tubuh ibu, mengembalikan fungsi-
fungsi tubuh menjadi sebelum hamil, membersihkan tubuh dari nifas dan zat-zat yang
diangap kotr lainnya, serta mengembalikan bentuk tubuh dalam konteks keindahan
tubuh.
15
2.2 Persalinan pada Masing-masing Daerah
Masyarakat Baduy merupakan masyarakat yang sangat patuh dan taat dalam
melaksanakan budaya dan ritual dalam masa kehamilan dan persalinan secara turun
temurun. Salah satu ritual pada masa kehamilan yaitu tradisi ngaragap beuteung dengan
memijat bagian perut yang disertai dengan jampi-jampi untuk meminta keselamatan
ibu dan janin. Sedangkan budaya persalinan yang dilakukan yaitu persalinan yang
dilakukan sendiri tanpa penolong baik oleh dukun paraji maupun tenaga medis. Budaya
pada masa kehamilan dan persalinan tersebut dapat memberikan dampak pada
kesehatan ibu dan bayi di masyarakat Baduy.
16
1. Upacara empat bulanan (Neundeun Seupaheun) dilakukan oleh dukun paraji
bersama dengan beberapa kokolot bertujuan untuk menghindari dari gangguan roh
dan marabahaya lain selama kehamilan. Upacara ini dilakukan dengan memberikan
‘Kapuru’ (untaian benang putih) yang sudah diberi doa atau jampe oleh kokolot
selama tiga malam, lalu diikatkan di pergelangan tangan ibu di sebelah kiri.
2. Upacara tujuh bulanan (Kendit) atau biasa disebut dengan upacara pemasangan
kain putih yang sudah didoakan oleh kokolot yang diikatkan dipinggang ibu hamil.
Tujuan dari upacara ini adalah memberikan doa kepada ibu hamil dan janinnya agar
selamat, aman tidak diganggu ruh sehingga proses kelahiran bisa berjalan lancar
ibu dan bayinya selamat.
3. Upacara kelahiran anak dilakukan oleh dukun paraji yang dilakukan setelah bayi
lahir. Upacara hari pertama bayi lahir dinamakan Pereuh Sepeting, merupakan
upacara memotong tali pusar menggunakan hinis atau sebilah bambu, kemudian
memberikan ari-ari lalu memasukkannya ke daun pisang yang sudah disiapkan oleh
suami.
4. Upacara hari ketiga setelah kelahiran dinamakan upacara ‘Pereuh Tilu Peuting’
yaitu upacara yang dilakukan dengan meneteskan ramuan yang sudah diberi doa
oleh paraji ke mata ibu.
5. Upacara hari ketujuh dinamakan upacara “Pereuh Nujuh Peuting” setelah
kelahiran, merupakan upacara pemberian nama, yang sebelumnya sudah diberikan
oleh Kokolot (ketua adat). Pada upacara ini dilakukan pemberian gelang berupa
untaian benang putih (Kapuru) diikatkan di tangan sebelah kiri yang sudah diberi
doa untuk ibu dan bayi perempuan jika bayi laki-laki, kapuru diikatkan di tangan
sebelah kanan. Pada upacara ini juga dilakukan makan bersama dengan para
kerabat, saudara, tetangga juga kokolot.
6. Upacara yang terakhir dilakukan adalah saat hari ke 40, dinamakan dengan
Ngangiran, merupakan upacara memandikan bayi di sungai yang dilakukan oleh
17
paraji yang juga dikenal dengan sebutan bebersih tujuannya untuk membersihkan
bayi setelah 40 hari bayi lahir.
Budaya persalinan di masyarakat Baduy yang saat ini masih terjadi adalah
persalinan yang dilakukan sendiri tanpa bantuan penolong persalinan. Saat proses
persalinan sudah selesai, penolong persalinan baru diperlukan perannya untuk
memotong tali pusar, membersihkan bayi atau saat ibu bersalin mengalami kesulitan
dalam proses persalinan (Lestari & Agustina, 2018).
Penolong persalinan adalah dukun bayi yang mereka sebut (bidan kampung).
Setiap persalinan umumnya ditolong oleh tiga orang bidan kampung dengan tugas yang
berbeda, yang meliputi pendorong perut ibu, pemegang ibu dan penerima bayi.
18
Pendapat masyarakat Suku Dayak Sanggau tentang lama waktu setelah
melahirkan ibu boleh beraktivitas juga bervariasi. Ada yang berpendapat jika sehat ibu
dapat langsung bergerak, ada juga yang berpendapat setelah tiga hari baru boleh
bergerak, tetapi sebagian besar menyatakan bahwa setelah melahirkan langsung dapat
melakukan aktifitas seperti biasanya.
19
Obat-obatan yang digunakan untuk ibu setelah persalinan cenderung pada
ramuan tradisional yang diberikan oleh bidan kampung seperti minuman yang terbuat
dari campuran tuak, liak (jahe) dan gula. Tujuannya agar badan hangat sehingga darah
dan darah beku dapat cepat keluar dan air susu lancar. Namun ada juga yang minum
kopi supaya badan hangat dan tidak lemah. Selain minuman, mereka juga memberikan
bedak yang terbuat dari kunyit, liak, dan kencur pada perut ibu dengan tujuan agar
kandungan cepat.
20
2.2.3 Budaya Persalinan pada Masyarakat Bali Aga di desa Trunyan
Masyarakat Bali Aga di desa Trunyan, Bali memandang kelahiran sebagai hal
yang wajar dan bersifat”publik”. Kelahiran dianggap sebagai urusan laki-laki, karena
dukun bayi pria dan suami merupakan pemeran utama dari penolong persalinan.
Berbeda dengan masyarakat Krikati di brazilia tengah,handai tolan termasuk anak-anak
bisa berkerumun di depan pintu yang dibiarkan terbuka, untuk menyaksikan proses
kelahiran tersebut di luar ruangan. Meski demikian hanya dukun pria, suami, ibu
kandung sang wanita melahirkan, dan anak-anaknya yang lahir terdahulu saja yang
berada di ruangan, ditambah satu orang wanita lainnya atau lebih, yang ,mempunyai
fungsi sebagai pembantu persalinan apabila tenaganya diperlukan.
21
persalinan yang sulit. Ia akan membacakan mantera-mantera dan doa, serta
memberikan minuman air suci kepada si ibu, lalu menyemburnya dengan ludah yang
dicampur kunyahan daun sirih. Para pelaku, khususnya sang gadis, senantiasa
mengusahakan agar si ibu tidak pingsan, karena hal itu dianggap dapat menyebabkan
kematiannya. Sementara itu, ibu dari wanita yang melahirkan turut berada di ruangan
yang sama untuk memberikan ketenangan bathin bagi putrinya yang sedang dalam
proses melahirkan. Selama proses pertolongan persalinan, diyakini oleh semua pelaku
bahwa selama ari-ari belum keluar, tali pusat tak boleh dipotong karena kuatir akan
tertarik kembali ke dalam rahim sang ibu. Dari segi kedokteran hal dianggap
membahayakan karena pedarahan pada ari-ari dapat menyebabkan perdarahan pada
bayi pula. Setelah ari-ari keluar, ayah sang bayi memotong tali pusat anaknya dan para
pelaku lain mulai sibuk mengambil air hangat dan rempah-rempah. Sementara itu tugas
dukun bayi dan ayah sang bayi masih berlanjut dengan upacara untuk merawat dan
membungkus plasenta, darah, air tembuni dan tali pusat sang bayi, untuk digantungkan
pada tempat khusus yang disediakan untuk keperluan itu, di bagian selatan induk
trunyan. Uraian tersebut menunjukkan interaksi antara aspek budaya dan aspek sosial
yang terwujud dalam kegiatan menolong persalinan yang dilakukan oleh para pelaku,
masing-masing dengan peran dan tugasnya selama proses persalinan berlangsung,
tidak saja bagi sang bayi, melainkan juga bagi perawatan plasentanya. Kerjasama yang
terpola itu dilandasi oleh pengetahuan budaya yang sama mengenai sifat-sifat dan
fisiologi kelahiran.
Ritual penyambutan bayi lahir pada suku Rimbo di Jambi. Pada masyarakat
Rimbo lahirnya seorang anak berarti kelangsungan hidup generasinya terjamin, begitu
juga perkembangan mereka tetap terpelihara tetapi kenyataannya sering terjadi
peristiwa di luar jangkauan kemampuan manusia, seperti kematian, bahkan mati
bayinya atau ibunya. Keadaan ini membuat orang rimbo diliputi oleh hal-hal yang
menggelisahkan dan tidak menentramkan hidupnya. Kemudian mereka mencari
22
sandaran yang dapat menghilangkan kegelisahan, yang berasal dari bantuan yang luar
biasa di atas segala kemampuan manusia dengan diadakan upacara keagamaan khusus.
Upacara dimulai sejak ibu mengandung delapan bulan yaitu dengan menyerahkan
kepada dukun bayi yang biasanya juga merangkap orang alim, hal ini dilakukan karena
orang rimbo berpengalaman bahwa umur kandungan delapan bulan merupakan umur
yang kritis, sering terjadi hal-hal yang diluar dugaan manusia, dengan diserahkan ibu
ke dalam pengawasan dukun bayi/orang alim yang dianggap ahli kandungan ibu
tersebut akan terjaga dan selamat. Selanjutnya alim memerintahkan untuk membuat
tempat khusus dalam upacara penyambutan bayi yang akan lahir di suatu tempat yang
disebut tanah peranakan, yaitu suatu tempat yang datar, air cukup, ramu-ramuan yang
diperlukan banyak di tempat itu, mudah dijangkau, dan terlindung dari gangguan
binatang buas. Bangunan balai tersebut terdiri dari minimal tiga gubug, satu untuk
suami istri yang akan melahirkan, satu khusus untuk dukun bayi/alim, satu lagi agak
besar unuk kerabat dekat. Peralatan yang digunkan untuk upacara : bedaro putih untuk
minuman bagi ibu yang melahirkan agar mudah dalam persalinan, ramu-ramuan yang
khusus dicari oleh dukun, kemenyan untuk mengusir roh jahat, suluh damar untuk
penerangan di malam hari, bubuk kulit kayu tenggiris untuk menempel pada pusat bayi
agat cepat kering, makanan dan lauk-pauk untuk menjamu peserta upacara terutama
ibu yang baru melahirkan, tempat pembungkus bayi, senjata berupa tombak dan parang
untuk menangkal serangan yang mungkin terjadi.Setelah bayi lahir engan selamat
maka masing-masing sibuk dengan tugasnya masing-masing, ada yang bertugas
menanam bali(ari-ari) yang harus ditanam di tempat yang tidak mungkin digunakan
untuk ladang atau bangunan, sebagian yang lain membuat makanan dari ubi yang
diparut dan dibubur dengan dicampur hati atau daging, untuk makanan ibu yang baru
melahirkan sisanya untuk kerabat yang menyaksikan dan menunggu kelahiran bayi.
Setelah sehari semalam maka seluruh orang yang berada di tanah peranakan pulang ke
rumah masing-masing, bayinya cukup digendong dengan kain panjang tanpa bungkus
dengan sesuatu benda apapun dan mereka langsung bekerja termasuk ibu yang baru
23
saja melahirkan tadi. Kebiasaan ini kemungkinan menjadi penyebab banyak anak yang
meninggal di bawah lima tahun terutama tahun pertama. Menurut kepercayaan orang
rimbo bila bayi lahir dengan selamat dan kelahirannya di tanah peranakan dengan
pertolongan orang alim dan sudah diupacarakan, maka anak tersebut sudah lepas dari
marabahaya untuk di bawa kemanapun ibunya pergi.Rasa terlindungi oleh sang
pencipta inilah yang membuat mereka leluasa pergi membawa serta bayi yang baru
lahir meskipun beru berumur sehari semalam.
2.3 Perkembangan Aspek Budaya Persalinan dari Masa Lalu dan ada Masa
Sekarang.
Zaman dulu proses persalinan biasanya dilakukan dengan cara mengurut oleh
dukun beranak, dengan gerakan dan tekanan tertentu. Hal itu dilakukan untuk
menstimulasi bayi agar keluar dari perut. Namun, jika bayi tetap “bandel” dan tidak
juga mau keluar, akan dilakukan dengan cara mendorong. Dukun beranak akan
berjongkok di atas tubuh ibu hamil, sementara beberapa orang akan memegangi tangan
dan kaki si ibu. Setelah itu, dukun beranak akan mendorong paksa bayi agar segera
keluar dari perut.
24
melakukan pertolongan tanpa memperhatikan tiga bersih yaitu: bersih alat, bersih
tempat, dan bersih penolong, serta melakukan pengobatan yang masih menggunakan
tumbuh-tumbuhan. (Manuaba, 2006)
Sejak tahun 2000 sampai saat ini masyarakat secara bertahap mulai tidak
melahirkan pada paraji, melainkan pada layanan medis modern seperti bidan. Hanya
saja tradisi perawatan di masa kehamilan tersebut masih dilakukan oleh keluarga dukun
bayi. Tetapi semakin berkembangnya zaman, masyarakat mengalami perubahan dalam
tradisi masa kehamilan. Masyarakat mulai beralih pada layanan medis modern seperti
bidan. Seperti contoh saat ibu jabang bayi mengalami kontraksi keluarga langsung
membawanya pada layanan medis modern seperti bidan atau rumah sakit, hal ini karena
sebelumnya masyarakat sudah diberikan informasi tentang waktu persalinan dan sering
kontrol kandungan kepada bidan atau puskesmas. Hal ini karena masyarakat tidak
sabar dalam menjalani proses melahirkan dan pasca melahirkan yang dipimpin oleh
paraji atau dukun bayi. Seperti contoh, saat proses melahirkan paraji membutuhkan
waktu untuk memijat perut ibu jabang bayi supaya bayi cepat keluar. Paraji hanya bisa
berdoa dan pasrah dengan segala kekuatan serta ketentuan Allah. Adapun cara
melancarkan supaya melahirkan lancar paraji memerintahkan ibu jabang bayi banyak
nongkrong dan pijat bagian pinggang. Yang dimana metode tersebut didapatkan secara
turun menurun dari leluhurnya.
Pasca melahirkan paraji hanya memberikan jamu, dan pijat untuk melancarkan
darah nifas selama 40 hari. Hal ini bertujuan agar darah nifas tersebut keluar semua
dan alat kelamin cepat tertutup kembali. Menurut masyarakat saat ini, masa nifas 40
hari itu merupakan waktu yang lama. Masyarakat merasa lebih bersih dan praktis saat
melahirkan di bidan. Karna tenaga medis modern dapat mempercepat masa nifas dalam
kurun waktu 1minggu Masyarakat merasa lebih bersih dan praktis saat melahirkan di
bidan.
25
Masyarakat lebih percaya memeriksa kandunganya kepada bidan dengan
menggunakan USG (ultrasonografi). Dalam KBBI (kamus besar bahasa Indonesia)
ultrasonografi berarti suatu teknik diagnostik untuk pengujian struktur badan bagian
dalam yang melibatkan formasi bayangan dua dimensi dengan gelombang ultrasonik.
Pasca melahirkan ibu jabang bayi juga diberi suntik dan obat supaya darah nifas tidak
keluar secara terus menerus.Bidan juga menjahit alat kelamin ibu jabang bayi.Hal ini
agar alat kelamin cepat mampet, rapet dan kuat. Proses pemulihan yang dilakukan oleh
bidan adalah satu minggu, dengan begitu ibu jabang bayi dapat beraktifitas kembali.
Jika ibu jabang bayi mengalami kondisi gawat atau sulit bidan dapat memberikan
rujukan ke rumah sakit. Sebagian masyarakat merasa aman dengan adanya teknologi
dan sistem yang terdapat di bidan atau rumah sakit. Hal ini karena masyarakat juga
diminta melakukan kontrol kandungan oleh bidan di setiap kegiatan puskesmas,
posyandu dan lainya, sehingga saat melahirkan mereka ditangani oleh bidan.
26
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
27
berbagai tumbuh-tumbuhan, seperti daun-daunan, akar-akara, atau bahan-bahan
lainnya yang diyakini berkhasiat sebagai penguat tubuh atau pelancar proses
persalinan.
3.2 Saran
Dikarenakan Indonesia merupakan negara yang kaya akan seni dan budaya.
Setiap daerah di Indonesia mempunyai kebudayanaan atau adat istiadat yang berbeda.
Kebudayaan tersebut muncul dari kebiasaan nenek moyang terdahulu dan seolah-olah
sudah melekat dalam jiwa setiap masyarakat. Untuk itu masyarakat disarankan agar
dapat memperhatikan dan memilih budaya kehamilan yang cocok dan aman untuk
kesehatan keselamatan ibu dan bayi. Dan juga Bidan harus selalu menjaga hubungan
yang efektif dengan masyarakat dengan selalu mengadakan komunkasi efektif.
28
DAFTAR PUSTAKA
Indrasari, Nelly. 2014. “Hubungan Faktor Sosial Budaya dengan Persalinan Oleh
Dukun Bayi di Desa Negeri Agung, Kecamatan Talang Padang, Tagambus”. Julkes:
Metro Sal Wawa.
Kartika, Vita. 2018. “Budaya Kehamilan dan Persalinan pada Masyarakat Baduy, di
Kabupaten Lebak, Tahun 2018”. Jukes: Kemenkes
Suprabowo, Edy. 2006. “Praktik Budaya Kehamilan, Persalinan dan Nifas pada
Suku Dayak Sanggau”. Jukes
http://repository.poltekkes-kdi.ac.id/1115/2/BAB%201.pdf
29
LEMBAR PERSETUJUAN
30