Anda di halaman 1dari 8

1. 1.

Berikan pendapat dan analisa saudara dengan mencantumkan dasar hukum


mengenai syarat dan tahapan pemberian izin pendirian bank!
Bank sebagai suatu badan usaha yang mempunyai kegiatan usaha
menghimpun dana dari masyarakat dalam berbagai bentuknya, sudah tentu
membutuhkan banyak persyaratan dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Ini sangat
penting untuk melindungi kepentingan masyarakat itu sendiri, terutama terhadap
nasabah penyimpan dan simpanannya. Menurut jenis usahanya bank terdiri dari Bank
Umum dan BPR, hal ini terdapat pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Sesuai dengan ketentuan mengenai izin pendirian bank maka setiap orang atau
badan hukum yang berkeinginan untuk mendirikan bank wajiblah mengambil dasar
hukum dan ketentuan yang ada dari Pasal 16 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
baik ayat 1, 2 dan 3 yang berbunyi antara lain ayat 1: Setiap pihak yang melakukan
kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih
dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat
dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari
masyarakat dimaksud diatur dengan Undang-undang tersendiri.
Dalam Pasal 16 ayat 2 selanjutnya yang berbunyi: Untuk memperoleh izin
usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), wajib dipenuhi persyaratan sekurangkurangnya tentang: 1. Susunan Organisasi
Dan Kepengurusan; 2. Permodalan; 3. Kepemilikan; 4. Keahlian di bidang Perbankan;
5. Kelayakan rencana kerja. Dari ketentuan pasal 16 ayat 2 tersebut dapat
dikemukakan bahwa dalam hal memberikan izin usaha sebagai bank umum dan bank
perkreditan rakyat, bank Indonesia selain memerhatikan pemenuhan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, juga wajib memerhatikan tingkat persaingan
yang sehat antar bank, tingkat kejenuhan jumlah bank dalam suatu wilayah tertentu,
serta pemerataan pembangunan ekonomi nasional.
Sedangkan dalam pasal 16 ayat 3 yang berbunyi: Persyaratan dan tata cara
perizinan bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Bank Indonesia
Sebagaimana halnya ketentuan pasal 16 ayat 1 dan ayat 2, maka berhubungan dengan
ketentuan pasal 16 ayat 3 dapat dikemukakan bahwa pokok-pokok ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia memuat antara lain adalah: 1. Persyaratan untuk
menjadi pengurus bank antara lain menyangkut keahlian di bidang perbankan dan
konduite yang lain 2. Larangan adanya hubungan keluarga diantara pengurus bank. 3.
Modal disetor minimum untuk pendirian Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat.
4. Batas maksimum kepemilikan dan kepengurusan. 5. Kelayakan rencana kerja. 6.
Batas waktu pemberian izin pendirian bank.
Dari ketentuan hukum di atas dapat dilihat bahwa langkah pertama yang harus
dilakukan dalam pendirian bank adalah menentukan jenis bank yang akan didirikan,
apakah Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat. Dari kedua jenis bank, terdapat
beberapa perbedaan mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mendirikan
sebuah bank.
Undang-Undang Perbankan membedakan secara tegas bentuk hukum untuk
Bank Umum, bentuk hukum untuk Bank Perkreditan Rakyat, bentuk hukum untuk
Bank Syariah, dan bentuk hukum dari kantor perwakilan dan kantor cabang yang
berkedudukan di luar negeri.Dalam Pasal 21 ayat (1) UU Perbankan, Bank Umum
memiliki tiga bentuk hukum, yaitu perseroan terbatas, koperasi, dan perusahaan
daerah, untuk Bank Perkreditan Rakyat yang diatur dalam Pasal 21 ayat (2) bentuk
hukumnya adalah perusahaan daerah, koperasi, perseroan terbatas, dan bentuk lain
yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Sedangkan bentuk hukum dari Bank Syariah adalah perseroan terbatas
sebagaimana ketentuan Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009
tentang Perbankan Syariah. Dan bentuk hukum dari kantor perwakilan dan kantor
cabang yang berkedudukan di luar negeri adalah mengikuti bentuk hukum kantor
pusatnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 ayat (3) UU Perbankan.
Ketentuan Pasal 22 ayat (1) UU Perbankan menyatakan bahwa Bank Umum
hanya dapat didirikan oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia,
warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing
dan/atau badan hukum asing secara kemitraan. Kemudian Pasal 22 ayat (2)
menentukan bahwa ketentuan mengenai persyaratan pendirian bank yang wajib
dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Ketentuan mengenai pendirian Bank Umum di atas, tidak berlaku bagi
pendirian Bank Perkreditan Rakyat. Untuk pendirian Bank Perkreditan Rakyat
berlaku ketentuan sendiri yang sedikit berbeda dengan pendirian Bank Umum.
Menurut Pasal 23 UU Perbankan, Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat didirikan dan
dimiliki oleh warga negara Indonesia, badan hukum Indonesia yang seluruh
pemiliknya warga negara Indonesia, pemerintah daerah, atau dapat memiliki bersama
ketiganya.
Berbeda lagi ketentuan mengenai pendirian Bank Syariah, ketentuan pendirian
bank syariah dalam Pasal 16 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009
menyatakan bahwa selain dapat didirikan oleh warga negara Indonesia dan/atau badan
hukum Indonesia; warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan
warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan, Bank Syariah
dapat dimiliki oleh pemerintah daerah. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 16 ayat (2)
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tertera ketentuan kepemilikan oleh
warga negara asing dan/atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b paling banyak sebesar 99% dari modal disetor Bank.
2. Ketika ada bank tanpa perizinan seperti tersebut diatas, adakah resiko bagi
pengurusnya?
Suatu praktik kegiatan usaha perbankan dapat dikategorikan sebagai praktek
“Bank Gelap” apabila memenuhi sekurang-kurangnya kategori sebagai berikut.
1.    Praktik kegiatan usaha perbankan tanpa mendapatkan izin dari Bank Indonesia;
2.    Praktik kegiatan usaha “Bank di dalam Bank”, misalnya: karyawan/pegawai
Bank menjalankan usaha bank (memberikan pinjaman dari dan/atau menampung dana
kepada masyarakat) melalui rekening atas namanya, dengan penerima keuntungan
dari rekening tersebut sebenarnya adalah nasabah lain;
3.    Kegiatan investasi yang mengarah pada kegiatan usaha perbankan tanpa izin,
misalnya: bisnis Multi-level Marketing yang memberikan fasilitas kredit/peminjaman
uang kepada anggotanya;
4.    Penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dengan menjanjikan
bunga simpanan atas dana nasabah yang tidak wajar, misalnya: koperasi yang
memberikan bunga yang jauh lebih tinggi dari perbankan pada umumnya, atas
fasilitas simpan pinjam anggotanya;
5.    Menjanjikan keuntungan investasi yang tidak wajar (investasi dalam jangka
waktu dekat dengan keuntungan yang begitu banyak), baik berupa pendapatan, imbal
hasil, dan/atau profit sharing, baik dalam bentuk persentase maupun dalam bentuk
jumlah nominal tanpa kejelasan latar belakang dan perhitungan investasi.
Terhadap pelaksanaan praktek “Bank Gelap” tersebut di atas, potensi
pemberian sanksi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia ialah sebagai berikut.
1.    Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (“UU Perbankan”) mengatur bahwa
pihak yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa
izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia dapat dikenakan pidana penjara sekurang-
kurangnya lima tahun dan paling lama 15 tahun serta denda sekurang-kurangnya
Rp10 miliar dan paling banyak Rp200 miliar.
2.    Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), badan dan/atau
pengurus badan tersebut dapat berpotensi dikenakan pasal perihal Penggelapan (Pasal
372 KUHP) dengan ancaman sanksi pidana penjara paling lama empat tahun atau
denda paling banyak Rp900 ribu dan/atau penggelapan dalam jabatan (Pasal 374
KUHP) dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun, dan/atau Penipuan
(Pasal 378 KUHP) dengan ancaman pidana penjara paling lama empat
tahun. Ancaman tindak pidana penggelapan dan/atau penipuan bisa dijerat jika para
penghimpun dana masyarakat ini sejak awal memiliki iktikad tidak baik yang
mengakibatkan masyarakat mengalami kerugian.

2. Dari ilustrasi diatas dengan mergernya PT Bank BRI Syariah Tbk (BRIS), PT Bank
Mandiri Syariah, dan PT Bank BNI Syariah bagaimana simpanan nasabah dari ketiga
bank syariah tersebut. Berikan analisis saudara? cantumkan aturan perundang-
undangan yang menjadi dasar hukumnya!
Merger bank, antara lain diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun
1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank (“PP 28/1999”). Jika badan
usaha bank berbentuk perseroan terbatas (“PT”), maka merger juga tunduk pada
ketentuan pada Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Merger sendiri adalah penggabungan usaha dari 2 (dua) bank atau lebih,
dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu bank dan membubarkan
bank-bank lainnya tanpa melikuidasi terlebih dahulu(pasal 1 angka 2 PP 28/1999).
Alasan dilakukannya merger antara lain adalah untuk peningkatan efisiensi, daya
saing dan kinerja bank. Selain itu, merger bank juga dapat dilakukan terkait dengan
kebijakan Single Presence Policy yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI)
No. 8/16/PBI/2006 tentang Kepemilikan Tunggal Pada Perbankan Indonesia.
Dalam merger, aktiva dan pasiva bank yang melakukan merger beralih karena
hukum kepada bank hasil merger (pasal 2 angka 2 PP 28/1999). Jadi, simpanan dari
nasabah penyimpan dana juga ikut beralih demi hukum kepada bank hasil merger.
Perlindungan hukum terhadap nasabah sehubungan dengan merger bank diatur
secara umum dalam penjelasan pasal 28 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan(“UU
Perbankan”) yang menegaskan bahwa merger yang dilakukan bank tidak boleh
merugikan kepentingan para nasabah. Namun, upaya hukum apa yang dapat
dilakukan oleh nasabah yang dirugikan oleh tindakan merger ini tidak diatur lebih
lanjut dalam UU Perbankan maupun peraturan perundang-undangan terkait lainnya.
Pada kasus diatas, PT Bank BRI Syariah Tbk (BRIS), PT Bank Mandiri
Syariah, dan PT Bank BNI Syariah melakukan Merger dan menjadi bank syariah.
Maka simpanan ketiga nasabah tersebut tidak akan hilang tetapi akan beralih ke bank
hasil merger yaitu bank syariah.

3. 1. Dari kasus diatas berikan analisis saudara tindak pidana perbankan yang dilakukan
oleh karyawan bank dan Bos BNI tersebut!
Tindak pidana dalam hukum perbankan dapat dikategorikan dalam kejahatan
perbankan yang dilakukan oleh karyawan bank itu sendiri ataupun di luar karyawan
perbankan dalam banyak kasus kejahatan yang terjadi terhadap bank atau yang
menyangkut perbankan biasanya dilakukan oleh orang-orang dalam atau pihak
karyawan bank atau bersama-sama pihak lain diluar karyawan bank tersebut.
Menurut saya, tindak pidana perbankan yang dilakukan oleh karyawan bank
dan bos BNI termasuk dalam tindak pidana white collar crime. Tindak pidana ini
dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi dan
biasanya dilakukan oleh beberapa orang yang disebut sebagai tindak pidana yang
terorganisir.
Satu hal yang penting dalam ketentuan Pasal 374 KUHP ini ialah kaitannya
dengan penggelapan dengan pemberatan yang dapat diterapkan pada kasus
penggelapan dana nasabah pada bank swasta yang tentunya erat sekali dengan
ketentuan Pasal 49 ayat-ayatnya dari Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, yang menyatakan sebagai berikut: (1) Anggota Dewan Komisaris, Direksi
atau Pegawai Bank yang dengan sengaja: a. Membuat atau menyebabkan adanya
pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam proses laporan, maupun dalam
dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank; b.
Menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya
pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau
laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank; c. Mengubah,
mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu
pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan maupun dalam dokumen atau
laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan
sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak
catatan pembukuan tersebut, diancam dengan pidana penjara sekurangkurangnya 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya
Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
200.000.000.000,- (dua ratus miliar rupiah). (2) Anggota Dewan Komisaris, Direksi
atau pegawai bank yang dengan sengaja: a. Meminta atau menerima, mengizinkan
atau menyetujui untuk menerima 19 Lihat UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
(Pasal 49). imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga,
untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka
mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang
muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau
pendiskontoan oleh bank atas suratsurat wesel, surat promes, cek dan kertas dagang
atau bukti kewajiban lainnya ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi
orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada
bank; b. Tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan
ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan
perundangundangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan denda
sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
100.000.000.000,- (seratus juta rupiah).”
Ketentuan Pasal 49 ayat-ayatnya tersebut diberikan penjelasannya pada ayat
(1) bahwa, yang dimaksud dengan ‘pegawai bank’ adalah semua pejabat dan
karyawan bank. Pada Pasal 49 ayat (2) diberikan penjelasannya dalam huruf a, bahwa
yang dimaksud dengan ‘pegawai bank’ adalah semua pejabat dan karyawan bank,
serta pada huruf b bahwa, yang dimaksud dengan ‘pegawai bank’ adalah pejabat bank
yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab tentang hal-hal yang berkaitan
dengan usaha bank yang bersangkutan. Pembahasan tentang kejahatan perbankan
yang berkaitan dengan tindak pidana penggelapan dana nasabah bank tersebut,
menunjukkan bahwa dalam ketentuan Pasal 49 ayat (1) merupakan dasar hukum yang
dapat diterapkan pada pembahasan ini yang dilandasi oleh unsur utamanya sebagai
suatu kesengajaan, sebagaimana pada Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang No. 10
Tahun 1998 yang dimulai dengan kata-kata “anggota dewan komisaris, direksi, atau
pegawai bank yang ‘dengan sengaja’.”
Menurut saya, kejahatan perbankan yang dilakukan dengan unsur kesengajaan
sudah sepantasnya mendapat hukuman. Dengan adanya kesengajaan pelaku benar-
benar dengan sengaja atau terang-terangan melakukan kejahatan sehingga diperlukan
atau diberikan hukuman sesuai dengan hukum atau perundang-undangan yang ada.
2. Dari ilustrasi diatas dalam UU Perbankan terdapat ancaman pidana bagi pihak
terafiliasi yang menganut pemidanaan minimum dan maksimum! Berikan pendapat
saudara mengenai ketentuan tersebut!
Bank sering dijadikan sebagai sarana dan/atau sasaran untuk memperkaya diri
sendiri, keluarga atau kelompok tertentu secara melawan hukum yang dapat dilakukan
oleh anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank, pihak terafiliasi, dan/atau
pemegang saham baik dilakukan secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri.
Tindak pidana perbankan melibatkan dana masyarakat yang disimpan di bank,
sehingga merugikan kepentingan berbagai pihak, baik bank selaku badan usaha
maupun nasabah selaku penyimpan dana, sistem perbankan, otoritas perbankan,
pemerintah, dan masyarakat.
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Pasal 64 UU
Perbankan Syariah Tindak Pidana Ketaatan Terhadap Ketentuan Pihak Terafiliasi
yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk
memastikan ketaatan Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki
UUS terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp5 M dan paling banyak Rp100 M.

4. Menurut pendapat saudara apakah UU TPPU mengenal pembuktian terbalik, dan


mengapa hakim menerapkan pembuktian terbalik pada kasus tersebut?
Salah satu masalah kompleks pengusutan tindak pidana pencucian uang yakni
dalam proses pembuktian tindak pidana pencucian uang tersebut tidak mudah serta
dalam praktik tidak efektif, karena berdasarkan pengalaman negara maju, untuk
pembuktian tindak pidana ini sangat sulit jika tempat kejadian perkara berada di luar
negeri atau wewenang mengadili di luar wilayah negara yang bersangkutan dan nilai
kejahatan pencucian uang tersebut dilihat kerugiannya sangat berarti, apalagi antar
negara tersebut tidak ada kerjasama internasional terkait kejahatan tersebut. Tentunya
hal demikian akan mempersulit instansi penegak hukum dalam upaya pemberantasan
pencucian uang di berbagai negara di dunia termasuk di Indonesia.
Menurut pendapat saya UU TPPU mengenal pembuktian terbalik. Proses
pembuktian dalam Tindak Pidana Pencucian Uang memiliki perbedaan dari
pemeriksaan kasus pidana pada umumnya, karena tindak pidana pencucian uang
merupakan kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime), jadi proses
penanggulangannya harus menggunakan upaya yang luar biasa juga (extraordinary
Enforcement). Salah satu bentuk upaya luar biasa tersebut adalah dalam konteks
pembuktian perkara pencucian uang di pengadilan yang menggunakan mekanisme
pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik yang terbatas dan berimbang.
Adapun alasan diterapkannya pembuktian terbalik untuk tindak pidana
pencucian uang karena pencucian uang dianggap sebagai tindak pidana yang
dilakukan dengan cara yang rumit serta melibatkan pelaku yang memiliki jaringan
kejahatan (crime network) yang terorganisir sehingga dalam proses pembuktian di
pengadilan kadangkala penuntut umum kesulitan dalam membuktikan kasus
pencucian uang di pengadilan, ditambah pula semakin mutakhirnya teknologi
informasi di bidang keuangan dan perbankan membuat sulit menjerat pelaku tindak
pidana ini.
Menurut pendapat saya, Pembuktian Terbalik merupakan suatu
jenis pembuktian yang berbeda dengan hukum acara pidana yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jenis pembuktian ini mewajibkan Terdakwa
untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atau membuktikan secara negatif
(sebaliknya) terhadap dakwaan Penuntut Umum. Pada kasus diatas hakim
menerapkan pembuktian terbalik karena hakim ingin memberikan kesempatan kepada
pelaku untuk membuktikan bahwa aset yang didapatkannya ada yang merupakan hasil
usahanya sendiri dan tidak ada campur tangan dari uang korupsi yang ia lakukan. Hal
ini dilakukan untuk menerapkan asas keadilan yang memisahkan harta kekayaan
pelaku dengan dana korupsi yang dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai