Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah


FIQH 1
PENGERTIAN DAN HUKUM PEMBAGIAN SYARAT IBADAH
DITERIMA HAKIKAT DAN HIKMAHNYA.
Dosen pengampu ; M.HAMDAN , S.Pd.I., M.Pd.I.

DISUSUN
OLEH

KELOMPOK 1
1. DEVI RAHAYU : 19.11.2440

2. RIDHO ANGGINI :19.11.2515

SEMESTER II

Jurusan Pendidikan Agama Islam


Sekolah Tinggi Agama Islam Stai An Nadwah Kuala Tungkal
TP. 2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil’alamin, marilah kita panjatkan puji syukur atas


kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala dimana kita masih diberikan nikmat
kesehatan, kesempatan serta hidayah dan taufik. Suatu nikmat yang begitu banyak
dan besar sehingga makalah ini dapat kami selesaikan. Shalawat serta salam tak
lupa pula kita kirimkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad Sallallahu
‘Alaihi Wasallam, sahabat serta keluarganya sebab jasa beliaulah yang membawa
umat manusia ke jalan yang diridhai Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa makalah ilmu pendidikan ini masih banyak
terdapat kekurangan dari segala aspek oleh karena itu, kami sangat membutuhkan
masukan dan arahan agar sekiranya kami dapat membenahinya dalam penulisan
selanjutnya, dan kami mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak yang telah
memberikan sumbangsih pemikirannya, semoga Allah Subhanahu Wata’ala
memberkahi kita semua, amiin.

Kuala Tungkal,0 7.maret.2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................2
DAFTAR ISI....................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH.....................................................4
B. RUMUSAN MASALAH......................................................................5
C. TUJUAN PENULISAN........................................................................7
BAB II PEMBAHASAN
A. MAKNA IBADAH...............................................................................6
B. HUKUM IBADAH...............................................................................6
C. SYARAT UTAMA DITERIMANYA IBADAH.................................7
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN.....................................................................................
B. SARAN.................................................................................................
DAFTAER PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
              Kita sering mengenal seseorang dengan citra dirinya. Ketika kita
berbicara tentang kerakusan kita teringat pada Karun, dan kta membicarakan
tentang kultus individu dan pendewaan kita teringat pada Fir’aun. Begitulah
seterusnya, citra diri adalah kepribadian.
              Kepribadian seorang muslim adalah sifat tertentu dengan ciri yang
membedakannya dengan non muslim. Kepribadian seorang muslim terbentuk dari
interaksi antara pembawaan dan lingkungan, serta bimbingan wahyu yang
terdapat dalam Alqur’an dan Hadist. Kepribadian yang terbimbing oleh wahyu
pastilah kepribadian yang kuat dan tahan uji, yang akan mampu mendatangkan
kebahagiaan. Agar kepribadian islami terbentuk pada diri seseorang, islam
memberikan ajaran yang disebut; ikhsan, ikhlas, tawakal, sabar dan mahabbah.
Ihsan merupakan sikap mental yang timbul dari kesadaran bahwa Allah akan terus
mengawasi perbuatan hamba-hambaNya.
              Ikhlas adalah sikap memelihara niat suci, batin yang bersih, lurus hati
dalam bertindak, tidak berlaku pamer, berpura-pura dan mengharapkan pamrih.
Ikhlas adalah hanya mengharapkan ridha Allah. Ikhlas bisa membuat seorang
muslim tidak mudah tergoda oleh apapun, sebaliknya ikhlas memperkukuh
pertahanan dan ketahanan uji seseorang.
              Tawakal identik dengan sikap berserah diri setelah melakukan upaya
yang optimal. Tawakal mendorong seorang muslim untuk terus berupaya dan
mempercayakan hasil akhir upayanya semata-mata hanya kepada Allah SWT.
Sabar menunjukan sikap mental yang tidak suka mengeluh ketika ditimpa bencana
dan kesulitan. Dengan mengembangkan sikap sabar, seorang muslim sanggup
menghadapi ujian apapun dalam melaksanakan bakti dan perjuangan.
              Mahabbah adalah cinta kepada sang Pencipta. Dengan menyadari
kemuliaan, kesempurnaan, kemahakuasaan dan kasih sayangNya, terjelmalah hati
sanubari seorang muslim. Dengan memiliki mahabbah, seorang muslim akan
menunjukan kesetiaan dalam menjalankan bakti perjuangan, sekalipun untuk itu ia
memberikan pengorbanan.  
        Dapat kita pahami dari ayat ini bahwa manusia diciptakan bukan sekedar
sebagai unsur pelengkap isi alam saja yang hidupnya tanpa tujuan, tugas dan
tanggung-jawab. Sebagai makhluk yang diciptakan paling sempurna, pada
hakikatnya manusia diperintahkan untuk mengabdi kepada penciptanya, Allah
SWT.
        Pada prinsipnya pengabdian manusia (ibadah) merupakan sari dari ajaran
Islam yang mempunyai arti penyerahan diri secara total pada kehendak Allah
SWT. Dengan demikian, hal ini akan mewujudkan suatu sikap dan perbuatan
dalam bentuk ibadah. Apabila ini dapat dicapai sebagai nilai dalam sikap dan
perilaku manusia, maka akan lahir suatu keyakinan untuk tetap mengabdikan diri
kepada Allah SWT dan tentunya bila keyakinan itu kemudian diwujudkan dalam
bentuk amal keseharian akan menjadikan maslahah dalam kehidupan sosial.

4
B. Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian ibadah?
2.      Apa dasar dasar hukum dalam ibadah,serta pembagian nya?
3.      bagaimana syarat ibadah diterima,hakikat dan hikmahnya?

5
BAB II
PEMBAHASAAN
A. MAKNA IBADAH
Arti Ibadah ( ُ‫العبَا َدة‬ )
ِ secara bahasa adalah tunduk dan menghinakan diri
serta khusyu’. Di dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith ibadah artinya ”tunduk
kepada Tuhan yang menciptakan”. Imam Al Qurthuby berkata ”Asal ibadah ialah 
tunduk dan menghinakan diri”.
Secara istilah arti ibadah adalah sebagaimana  perkataan Ibnu Katsir : “Ibadah
adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan hal-hal yang diperintahkan dan
menjauhi hal-hal yang dilarang”. Kemudian Ibnu Taimiyah berkata : “Ibadah ialah
sesuatu yang mencakup semua perkara yang dicintai dan diridhoi Allah berupa
perkataan atau perbuatan yang nampak atau pun tidak nampak”.
B. HUKUM IBADAH
Hukum asal dari ibadah adalah haram kecuali ada dalil. Maksudnya adalah semua
bentuk ibadah adalah haram untuk dikerjakan kecuali kalau ada dalil dari Al-
Qur’an Al-Karim atau Hadits Shohih yang mewajibkannya atau mensunahkannya.
Seperti sholat, puasa, zakat, haji adalah haram dikerjakan pada asalnya, namun
dikarenakan ada dalil yang mewajibkannya maka hukumnya menjadi wajib untuk
dikerjakan.
َّ ‫َوَأقِي ُموا ال‬
َ‫صالَةَ َو َءاتُوا ال َّز َكاة‬
“Dalil tentang wajibnya sholat dan zakat adalah firman Allah Ta’ala:
Dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat” ( QS. Al Baqoroh : 83 )
Dalil tentang kewajiban puasa adalah firman Allah Ta’ala:
َ‫ب َعلَى الَّ ِذينَ ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬ َ ِ‫يَاَأيُّهَا الَّ ِذينَ َءا َمنُوا ُكت‬
َ ِ‫ب َعلَ ْي ُك ُم الصِّ يَا ُم َك َما ُكت‬
“Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa” ( QS. Al
Baqoroh : 183 )
Dalil tentang kewajiban haji adalah firman Allah Ta’ala :

ِ ‫اس ِحجُّ ْالبَ ْي‬


ً‫ت َم ِن ا ْستَطَا َع ِإلَ ْي ِه َسبِيال‬ ِ َّ‫َوهَّلِل ِ َعلَى الن‬
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu (bagi) orang
yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”. ( QS. Ali ‘Imran : 97 )
Kemudian sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :

ِ ‫الص•الَ ِة َوِإيتَ••ا ِء ال َّز َك••ا ِة َو‬


‫ص•يَ ِام‬ ِ •َ‫ َش•هَا َد ِة َأ ْن الَ ِإلَ•هَ ِإالَّ هَّللا ُ َوَأ َّن ُم َح َّمدًا َر ُس•و ُل هَّللا ِ َوِإق‬ ‫س‬
َّ ‫•ام‬ ٍ ‫بُنِ َي ْاِإل ْسالَ ُم َعلَى َخ ْم‬
ِ ‫ضانَ َو َحجِّ ْالبَ ْي‬
‫ت‬ َ ‫َر َم‬

6
“Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu : persaksian bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah I semata dan persaksian bahwa
Muhammad adalah hamba dan rasul –Nya, mendirikan sholat, menunaikan zakat,
puasa romadhon dan pergi haji”. [ HR. Bukhari dan Muslim]
C. SYARAT UTAMA DITERIMANYA IBADAH
Peribadatan seorang hamba yang muslim akan diterima dan diberi pahala oleh
Allah I apabila telah memenuhi dua syarat utama berikut ini, yaitu :
1.    IKHLAS  (  ُ‫اَِإل ْخالَص‬ )
Ikhlas merupakan salah satu makna dari syahadat (  ُ ‫‘ )َأ ْن الَ ِإلَ•هَ ِإالَّ هَّللا‬bahwa tiada
sesembahan yang berhak disembah selain Allah I’ yaitu agar menjadikan ibadah
itu murni hanya ditujukan kepada Allah semata. Allah I berfirman :
‫ك ِدينُ ْالقَيِّ َم ِة‬
َ ِ‫صالَةَ َويُْؤ تُوا ال َّز َكاةَ َو َذل‬ ِ ِ‫َو َما ُأ ِمرُوا ِإالَّ لِيَ ْعبُدُوا هَّللا َ ُم ْخل‬
َّ ‫صينَ لَهُ ال ِّدينَ ُحنَفَا َء َويُقِي ُموا ال‬
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama”. [QS. Al
Bayyinah : 5]
َ‫فَا ْعبُ ِد هَّللا َ ُم ْخلِصًا لَهُ ال ِّدين‬
“Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan (mu) untuk-
Nya.” [QS. Az Zumar : 2]
Kemudian Rasulullah r bersabda :
ُ‫ِإ َّن هللاَ َع َّز َو َج َّل الَ يَ ْقبَ ُل ِمنَ ْال َع َم ِل ِإالَّ َما َكانَ لَهُ خَ الِصًا َوا ْبتُ ِغ َي بِ ِه َوجْ هُه‬
“Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal perbuatan kecuali yang murni
dan hanya mengharap ridho Allah”. [HR. Abu Dawud dan Nasa’i]
Lawan daripada ikhlas adalah syirik (menjadikan bagi Allah tandingan/sekutu di
dalam beribadah, atau beribadah kepada Allah tetapi juga kepada selain-Nya).
Contohnya : riya’ (memperlihatkan amalan pada orang
lain), sum’ah (memperdengarkan suatu amalan pada orang lain),
ataupun ujub (berbangga diri dengan amalannya). Kesemuanya itu adalah syirik
yang harus dijauhi oleh seorang hamba agar ibadahnya itu diterima oleh Allah I .
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam:
َ ‫ك اَْألصْ َغ ُر يَا َرس‬
َ َ‫ُول هَّللا ِ ق‬
‫ال الرِّ يَا ُء‬ ُ ْ‫ك اَْألصْ َغ ُر قَالُوا َو َما ال ِّشر‬
ُ ْ‫ِإ َّن َأ ْخ َوفَ َما َأخَافُ َعلَ ْي ُك ُم ال ِّشر‬
“Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada kalian adalah syrik
kecil”, para sahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, apa itu syirik kecil ? Rasulullah
menjawab : “Riya’”. [HR. Ahmad]
Kemudian firman Allah tentang larangan syirik ialah,
َ‫فَالَ تَجْ َعلُوا هَّلِل ِ َأ ْندَادًا َوَأ ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬

7
“Janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kalian
mengetahui”. [QS. Al-Baqoroh :22]
Orang yang rajin beribadah kepada Allah I namun dalam waktu yang bersamaan
ia belum bertaubat dari perbuatan syirik dengan berbagai bentuknya, maka semua
amal ibadah yang telah dikerjakannya menjadi terhapus dan ia menjadi orang
yang merugi di akhirat kelak, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
َ‫َولَوْ َأ ْش َر ُكوا لَ َحبِطَ َع ْنهُ ْم َما َكانُوا يَ ْع َملُون‬
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka
amalan yang telah mereka kerjakan”. [QS. Al-An’aam: 88]

ِ ‫ك َولَتَ ُكون ََّن ِمنَ ْالخ‬


َ‫َاس ِرين‬ َ ُ‫ك َوِإلَى الَّ ِذينَ ِم ْن قَ ْبلِكَ لَِئ ْن َأ ْش َر ْكتَ لَيَحْ بَطَ َّن َع َمل‬ ِ ‫َولَقَ ْد ُأ‬
َ ‫وح َي ِإلَ ْي‬
“Dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang
sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah
amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang yang merugi”. [QS. Az-Zumar:
65]
2. AL-ITTIBA’ ( ُ‫اَاْل ِ تِّبَاع‬ )
Al-Ittiba’ (Mengikuti Tuntunan Nabi Muhammad r) merupakan salah satu dari
makna syahadat bahwa Muhammad adalah utusan Allah (ِ ‫)َأنَّ ُم َح َّمدًا َر ُس•و ُل هَّللا‬, yaitu
agar di dalam beribadah harus sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi
Muhammad r . Setiap ibadah yang diadakan secara baru yang tidak pernah
diajarkan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad maka ibadah itu tertolak,
walaupun pelakunya tadi seorang muslim yang mukhlis (niatnya ikhlas karena
Allah dalam beribadah). Karena sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada
kita semua untuk senantiasa mengikuti tuntunan Nabi Muhammad  dalam segala
hal, dengan firman-Nya :
‫َو َما َءاتَا ُك ُم ال َّرسُو ُل فَ ُخ ُذوهُ َو َما نَهَا ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنتَهُوا‬
“Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.[QS. Al Hasyr : 7]
            Dan Allah Ta’ala berfirman:
‫ َح َس َن ٌة‬ ٌ‫ُأسْ َوة‬ ِ ‫هَّللا‬ ‫ُول‬ َ ‫ َك‬ ‫لَقَ ْد‬
ِ ‫ َرس‬ ‫فِي‬ ‫لَ ُك ْم‬ ‫ان‬
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu”. [QS. Al-Ahzaab: 21]
Dan Rasulullah r  juga telah memperingatkan agar meninggalkan segala perkara
ibadah yang tidak ada contoh atau tuntunannya dari beliau, sebagaimana sabda
beliau:
‫ْس َعلَ ْي ِه َأ ْم ُرنَا فَه َُو َر ٌّد‬
َ ‫َم ْن َع ِم َل َع َمالً لَي‬
“Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada urusannya dari kami
maka amal itu tertolak”. [HR. Muslim]

8
Itulah tadi dua syarat yang menjadikan ibadah seseorang diterima dan diberi
pahala oleh Allah, sebagaimana firman-Nya :
‫ َوالَ يُ ْش ِر ْك بِ ِعبَا َد ِة َربِّ ِه َأ َحدًا‬ ‫صالِحًا‬
َ ً‫فَ َم ْن َكانَ يَرْ جُوا لِقَا َء َربِّ ِه فَ ْليَ ْع َملْ َع َمال‬
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun
dalam beribadah kepada Tuhannya”. [QS. Al Kahfi : 110]
Berkata Ibnu Katsir di dalam menafsirkan ayat ini : “Inilah 2 landasan amal yang
diterima (dan diberi pahala oleh Allah), yaitu harus ikhlas karena Allah dan
benar / sesuai dengan syari’at Rasulullah .”
Jadi kedua syarat ini haruslah ada pada setiap amal ibadah yang kita kerjakan dan
tidak boleh terpisahkan antara yang satu dan yang lainnya. Mengenai hal ini
berkata Al Fudhoil bin ‘Iyadh :
“Sesungguhnya andaikata suatu amalan itu dilakukan dengan ikhlas namun tidak
benar (tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad ), maka amalan itu tidak
diterima. Dan andaikata amalan itu dilakukan dengan benar (sesuai dengan
tuntunan Nabi ) tapi tidak ikhlas, juga tidak diterima, hingga ia melakukannya
dengan ikhlas dan benar. Ikhlas semata karena Allah, dan benar apabila sesuai
dengan tuntunan Nabi ”.
Maka barang siapa mengerjakan suatu amal dengan didasari ikhlas karena Allah
semata dan cocok dengan tuntunan Rasulullah niscaya amal itu akan diterima dan
diberi pahala oleh Allah. Akan tetapi kalau hilang salah satu dari dua syarat
tersebut, maka amal ibadah itu akan tertolak dan tidak diterima oleh Allah I. Hal
inilah yang sering luput dari perhatian orang banyak karena hanya memperhatikan
satu sisi saja dan tidak  memperdulikan yang lainnya. Oleh karena itu sering kita
dengar mereka mengucapkan : “yang penting niatnya, kalau niatnya baik maka
amalnya akan baik”.
Perlu diketahui bahwa sikap ittiba’ (berupaya mengikuti tuntunan Nabi
Muhammad r) tidak akan tercapai / terwujud kecuali apabila amal ibadah yang
dikerjakan sesuai dengan syari’at dalam 6 (enam) perkara, yaitu :
1.    SEBAB (  ُ‫اَل َّسبَب‬ )
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak di
syari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tertolak. Contohnya: ada
orang melakukan sholat Tahajjud khusus pada malam 27 Rajab dengan dalih
bahwa malam itu adalah malam Isro Mi’rajnya Nabi Muhammad r. Sholat
Tahajjud adalah ibadah yang dianjurkan, tetapi karena dikaitkan dengan sebab
tersebut yang tidak ada syari’atnya, maka ia menjadi bid’ah.
2.    JENIS (  ُ‫اَ ْل ِج ْنس‬ )
Ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Contohnya: bila seseorang
menyembelih kuda atau ayam pada hari Iedul Adha untuk korban, maka hal ini

9
tidak sah karena jenis yang boleh dijadikan untuk korban adalah unta, sapi dan
kambing.
3.    BILANGAN ( •‫اَ ْل َع َد ُد‬ )
Kalau ada orang yang menambahkan rokaat sholat yang menurutnya hal itu
diperintahkan, maka sholatnya itu adalah bid’ah dan tidak diterima oleh Allah.
Jadi apabila ada orang yang sholat Dhuhur 5 rokaat atau sholat Shubuh 3 rokaat
dengan sengaja maka sholatnya tidak diterima oleh Allah karena tidak sesuai
dengan tuntunan Nabi Muhammad.
4.    TATA CARA ( ُ‫اَ ْل َك ْيفِيَّة‬ )
Seandainya ada orang berwudhu dengan membasuh kaki terlebih dulu baru
kemudian muka, maka wudhunya tidak sah karena tidak sesuai dengan tata cara
yang telah disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur’an Al-Karim
dan Al-Hadits Asy-Syarif.
5.    WAKTU (  ُ‫اَل َّز َمان‬ )
Apabila ada orang yang menyembelih korban sebelum sholat hari raya Idul Adha
atau mengeluarkan zakat Fitri sesudah sholat hari raya Idul Fitri, atau
melaksanakan shalat fardhu sebelum masuk atau sesudah keluar waktunya, maka
penyembelihan hewan korban dan zakat Fitrinya serta shalatnya tidak sah karena
tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh syari’at Islam, yaitu
menyembelih hewan korban dimulai sesudah shalat hari raya Idul Adha hingga
sebelum matahari terbenam pada tanggal 13 Dzul Hijjah (hari Tasyriq ketiga), dan
mengeluarkan zakat Fitri sebelum dilaksanakannya sholat Idul Fitri.
6.    TEMPAT (  ُ‫اَ ْل َمكَان‬ )

Apabila ada orang yang menunaikan ibadah haji di tempat selain Baitulah
Masjidil Haram di Mekah, atau melakukan i’tikaf di tempat selain masjid (seperti
di pekuburan, gua, dll), maka tidak sah haji dan i’tikafnya. Sebab tempat untuk
melaksanakan ibadah haji adalah di Masjidil Haram saja, dan ibadah i’tikaf
tempatnya hanya di dalam masjid.

10
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Ibadah adalah semua yang mencakup segala perbuatan yang disukai dan diridhai
oleh Allah SWT, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik terang-terangan
maupun tersembunyi dalam rangka mengagungkan Allah SWT dan
mengharapkan pahala-Nya Fungsi ibadah adalah mewujudkan hubungan antara
hamba dengan Tuhannya, mendidik mental, dan menjadikan diri disiplin.Hikmah
ibadah adalah menjadikan manusia yang disiplin dan
bertanggungjawab.Keutamaan ibadah adalah untuk mensucikan jiwa dan
meningkatkan derajat manusia dihadapan tuhannya.

B. SARAN
Sebagai manusia hendaknya kita tidak melupakan hakikat dari penciptaan kita,
yaitu untuk beribadah kepada Allah swt sesuai dengan Al Qur’an dan Hadits baik
dalam ibadah mahdah (khusus) maupun dalam ibadah ghoiru mahdah (umum)
dengan niat semata-mata ikhlas untuk mencapai ridha Allah.

11
DAFTAR PUSTAKA

1.Departemen Agama RI. Al-Qur’an Dan Terjemahnya. Gema Risalah Press


Banduung Jakarta Barat
2.Dr. Muniron, DKK, Studi Islam STAIN jember Press : Jember. 2010
3.Drs. Atang ABD. Hakim, MA dan Dr. Jain Mubarok, Metodologi Studi
Islam,   Bandung : PT Remaja Pesdakarya, 2000.
4.Drs. Nazar Bakry, Fiqh Dan Ushul Fiqh, Jakarta : CV. Rajawali Press, 1993.
5.Amin Abdulloah, Falsafat Kalam Di Era Post Modernisme, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 1997).

12

Anda mungkin juga menyukai