Anda di halaman 1dari 6

MASALAH SOSIAL SEKSI : 202020580156

SENIN, 13.20-15.00

NAMA : NIA SAFITRI

NIM : 20058108

TUGAS PERTEMUAN 4

DOSEN PENGAMPU : Dr Wirdanengsih, M.Si

Muhamamad Hidayat, S.Hum, S.Sos, MA

Anak Jalanan sebagai Masalah Sosial

Masalah sosial merupakan realita sosial yang tidak sesuai dengan kondisi ideal yang

diharapkan. Masalah sosial biasanya diukur dengan cara subjektif dan objektif. Secara sujektif

masalah sosial didefinisikan berdasarkan nilai-nilai tersentu. Misalnya prostitusi yang dianggap

sebuah masalah dikalangan masyarakat religius. Secara objektif sebuah masalah sosial

didasarkan pada standar baku, semisalnya dengan kemiskinan yang dilihat karena ketidakadaan

penghasilan dan sanitasi yang memadai.

Secara umum, terdapat banyak masalah sosial yang ada dinegara ini. Mulai dari masalah umum

hingga klasik. Maka dari itu pada tugas kali ini saya akan membahas masalah sosial yaitu anak

jalanan. Maka dari itu dalam rangka mengatasi masalah sosial diperlukan tahapan penanganan

masalah sosial berupa tahap identifikasi, tahap diagnosa, serta tahap treatment. Yang akan lebih

dijelaskan pada pembahasan dibawah ini.


1. Tahap Identifikasi

Krisis ekonomi dan urbanisasi yang dialami Indonesia, menimbulkan begitu

banyak masalah sosial yang membutuhkan penanganan secepatnya. Salah satu permasalahan

sosial yang dihadapi, yaitu jumlah anak jalanan yang meningkat setiap tahun, sehingga

membutuhkan penanganan yang lebih komprehensif.

Anak jalanan sendiri adalah sebuah istilah yang mengacu pada anak-anak tunawisma yang

tinggal di wilayah jalanan. Lebih jelasnya, menurut UNICEF anak jalanan yaitu seseorang yang

berusia sekitar di bawah 18 tahun dan bertempat tinggal di sebuah wilayah kosong yang kurang

memadai, serta tanpa ada pengawasan dari orang yang lebih dewasa. Istilah „anak jalanan‟

pertama kali diperkenalkan di Amerika Selatan, tepatnya di Brazilia, dengan nama Meninos de

Ruas untuk menyebut kelompok anak-anak yang hidup di jalan dan tidak memiliki tali ikatan

dengan keluarga (B.S. Bambang, 1993:9). Definisi anak jalanan pada dasarnya bisa juga

digolongkan denga tunawisma. Namun fenomena anak jalanan ini hendaknya dipisahkan dari

kajian mengenai tunawisma karena beragam faktor penyebab perbedaan antara anak jalanan

dengan tunawisma.

Kita ketahui sendiri anak merupakan satu kata ajaib bagi sebuah perkawinan.

Seolah-olah adanya anak merupakan satu perwujudan eksistensi dari perkawinan itu sendiri.

Namun seberapa jauh peran dan tanggung jawab keluarga terutama orang tua yang dapat

diberikan kepada anaknya? Bagi beberapa keluarga, terutama dari kalangan keluarga

prasejahtera, anak tidak hanya menjadi bagian dari keluarga tetapi juga menjadi bagian dari alat

produksi. Sehingga tidak jarang anaklah yang telah menjadi tulang punggung perekonomian

keluarga. Berbicara masalah anak yang “terpaksa” bekerja ini, tentu saja tidak akan lepas dari

berbagai steriotipe yang muncul dari pekerja anak itu sendiri. Untuk itu pula banyak kita
temukan berbagai macam istilah atau sebutan bagi anak-anak yang terpaksa bekerja ini, seperti

anak jalanan, anak terlantar, anak gelandangan, dan sebagainya. Semua istilah itu pada intinya

adalah mencerminkan tentang adanya/kurangnya kesejahteraan yang diberikan pada seorang

anak. Anak-anak yang bekerja itu tidak hanya dihadapkan pada situasi ketidakpastian ekonomi

tetapi juga pada ketidak pastian masa depannya.

Dihadapkan pada situasi ketidakpastian ekonomi serta ketidakpastian masa depan

sehingga mereka menjadi anak jalanan. Inilah yang menjadi masalah sosial dikarenakan menjadi

anak jalanan mereka kehilangan hak-hak mereka seperti hak bersekolah atau mendapatkan

pendidikan. Dimana pada saat itu seharusnya mereka mendapatkan pendidikan dan pengajaran

tetapi mereka malah dihadapkan keadaan untuk harus bekerja. Berdasarkan data kementerian

sosial yang diambil dari dashboard data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) SIKS-NG per-

Desember 2020,tercatat jumlah anak jalanan di Indonesia sekitar 67.368. Melonjaknya angka

anak jalanan ditakutkan akan berpotensi memicu terjadi masalah sosial baru seperti perilaku

menyimpang,sehingga masalah ini perlu dilakukan tahap diagnosis untuk mengetahui faktor

penyebab dari munculnya masalah sosial ini. Lalu dilanjutkan dengan tahap treatment untuk

mengurangi serta memberantas masalah sosial ini.

2. Tahap Diagnosis

Seperti yang dikatakan diatas tahap diagnosis merupakan tahapan untuk mencari

sumber atau faktor penyebab masalah sosial terjadi. Biasanya tahap ini dilakukan dengan dua

pendekatan yakni persone blame approach yang mana sumber masalah adalah individu itu

sendiri,dan sistem blame approach dengan sumber masalah adalah sistem. Namun untuk masalah

anak jalanan sendiri diagnosis tidak dapat didasarkan hanya pada satu pendekatan saja.
Sumber yang tersedia mengenai anak jalanan sendiri masih lah sangat terbatas

mengingat masalah anak jalanan sendiri biasanya dilihat sebagai salah satu bentuk dari

kemiskinan. Dikarenakan sember mengenai kemiskinan lebih banyak tersedia. Dibandingkan

dengan masalah anak jalanan.

Kalau diamati lagi, masalah anak jalanan bisa saja disebabkan oleh kemiskinan yang menimpa

seseorang atau kelompok. Namun bukan hanya itu saja masih banyak hal lain yang dapat

memicu adanya tunawisma seperti meninggal nya kedua orang tua yang membuat anak menjadi

yatim piatu. Ditambah dengan kondisi yang kita hadapi saat ini yaitu menyebarnya virus corona

yang menyerang daya imun terutama bagi orang tua.

Mendiagnosis masalah anak jalanan yang sangat berkaitan dengan fenomena

kemiskinan. Keberadaan anak jalanan yang bersumber pada kesalahan sistem menyangkut

kebijakan sosial terutama kebijakan yang menanggulangi kemiskinan yang masih belum fokus

pada masalah anak jalanan. Walaupun ada pandangan dari person approach bahwa menjadi anak

jalanan adalah pilihan hidup seseorang. Tetapi diyakini tidak ada seorang pun yang benar-benar

ingin hidup di jalanan apabila dengan kondisi yang berhasil memenuhi kebutuhan dasar sandang

maupun pangan. Maksudnya pendidikan dan tempat tinggal bagi anak jalanan masih belum

dijadikan sebagai kebutuhan yang benar-benar harus dipenuhi karena mereka masih berusaha

pada pemenuhan kebutuhan utama yakni pangan. Mereka dituntut harus berpikir bagaimana

untuk bertahan hidup tanpa memikirkan kelayakan hidup, yang tentu mereka tak memiliki

sumber daya untuk memenuhi hidup layak tersebut.


3. Tahap Treatment

Berakar pada kegagalan pemerintah dalam membuat kebijakan sehingga

memunculkan fenomena anak jalanan. Karenanya pemecahan masalah sebaiknya didekati

melalui pendekatan sistem blame approach. Jadi, kebijakan yang dapat mengurangi anak jalanan

ada dua yaitu kebijakan strategis dan kebijakan teknis.

Kebijakan strategis sendiri adalah kebijakan yang diwujudkan dalam undang-undang maupun

peraturan pemerintah. Seperti UU No . 23 Tahun 2003 yang di sebut anak terlantar adalah yang

tidak dipenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Dalam hal

ini peran pemerintah sangat dibutuhkan sebagaimana diamanatkan dalam pasal 34 UUD 1945 “

fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Hak-hak anak yang sebelumnya hanya

berupa Kepres No.36/1990. Undang-undang ini bertujuan untuk menciptakan suatu mata

kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan

wajar, baik secara mental,jasmani, rohani,maupun sosial.

Secara teknis, kebijakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi anak jalanan

adalah :

1) Aktif melakukan razia anak jalanan (lihat pemberitaan Suara Merdeka

pada akhir Januari 2012), Pemkot sendiri pada masa itu mulai aktif

melakukan kampanye pelarangan pemberian uang kepada para pengemis

dan pengamen.

2) Memberikan beasiswa dan pelatihan kewirausahaan.

3) Mengajukan suatu model untuk mengentaskan anak jalanan di Indonesia

yakni dengan model Rumah Perlindunagan Sosial Anak (RPSA), yang


baru mulai dilakukan sekitar tahun 1998, sebagai salah satu dari lima kota

yang menjadi pilot proyek yang didukung pendanaannya oleh UNDP.

4) Melalui program house parent, yang mana anak-anak akan ditempatkan

pada keluarga-keluarga yang bersedia mengasuh mereka.

5) Mengawasi para anak jalanan yang rentan kembali menjadi anak jalanan.

Hal ini diperlukan agar program yang dijalankan berhasil dan tidak ada

anak jalanan yang baru.

Anda mungkin juga menyukai