Pada bulan November, 2014, Kepala Eksekutif Sony Pictures, Michael Lynton menerima kabar mengejutkan dimana sistem komputer milik Sony telah diretas namun belum bisa diketahui seberapa besar tingkat kerusakannya dari kejadian tersebut. Setelah kejadian tersebut, Sony menyadari bahwa mereka selama ini meremehkan besarnya serangan cyber pada tahap awal, dan mereka baru menyadarinya pada saat semuanya telah hilang. Imbas dari kejadian ini, Sony harus mematikan semua sistem komputer mereka di kantor baik yang ada di California dimana kantor pusatnya berada serta yang berada di luar negri. Mereka harus beralih kembali ke sistem manual untuk sementara waktu tanpa adanya sistem E-mail maupun pesan suara. Menurut, New York Times, "Kumpulan dokumen telah dicuri, pusat data internal telah dihapus bersih, dan 75 persen dari server telah dihancurkan." Para peretas mulai menyebarkan informasi ke Internet, termasuk film yang belum dirilis dan ribuan e-mail yang dikirim dari akun Mr Lynton, kepala eksekutif Sony Pictures. Hal ini diperburuk dengan adanya berita pada tanggal 23 Januari 2015, bahwa Sony Corp melaporkan bahwa mereka tidak dapat memenuhi tenggat waktu pasar saham untuk melaporkan pendapatan kuartal ketiga mereka karena serangan cyber pada bulan November. Dengan rentetan kejadian ini, pihak Sony Pictures mengantisipasi bahwa sebagian dari sistem komputernya masih akan offline hingga setidaknya sampai bulan Februari, yang berarti akuntan tidak dapat menyelesaikan hasil keuangan untuk salah satu anak perusahaan mereka. Menurut Biro Investigasi Federal yang terlibat dalam penyelidikan, pada akhirnya menyimpulkan bahwa pemerintah Korea Utara terlibat dalam serangan siber dalam upaya untuk menghentikan film "The Interview" agar tidak dirilis ke publik.