Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Fotografi: Veronica Wijaya, Candra Samekto, Diella Dachlan Editor: Candra Samekto. Teks & Layout: Diella Dachlan
xx
Menurut penduduk setempat, sampai menjelang akhir tahun 80-an, kawasan ini dulunya memiliki kawasan hutan bakau yang luas. Monyet banyak ditemui disini, demikian juga satwa lain seperti burung dan ular.
Kini kondisinya jauh berbeda. Dengan semakin pesatnya perkembangan penduduk di daerah ini, beralihnya fungsi lahan hutan bakau menjadi lahan usaha dan permukiman, maka keberadaan satwa tersebut semakin tersingkir dan jarang terlihat. Dari segi lingkungan, kondisi sungai pun mengalami penurunan dan mulai menghadapi berbagai masalah. Salah satu masalah yang paling sering dikeluhkan oleh penduduk sekitar adalah pembuangan limbah industri yang diduga berasal dari Kerawang dan Bekasi. Limbah ini bukan hanya membuat air sungai menjadi berbau, tetapi juga mengakibatkan ikan mati, sehingga merugikan usaha perikanan.
Masalah banjir yang datang setiap tahun antara bulan Desember dan Februari pun menyebabkan kerugian bagi penduduk setempat, seperti usaha tambak ikan merugi, gagal panen, dan penyakit. Di pertemuan antara sungai dan laut lepas, juga terjadi pendangkalan akibat endapan lumpur yang semakin lama semakin tebal. Di lokasi ini ketinggian air di beberapa tempat hanya mencapai setengah meter. Sehingga hal ini menyulitkan bagi perahu nelayan yang seringkali kandas. Menurut laporan media, sekitar sebelas hilir sungai di pantai utara Kabupaten Bekasi ini mengalami pendangkalan sepanjang 2 kilometer ke arah laut. Sebelas hilir itu di antaranya Muara Bendera (Citarum), Muara Mati, Muara Besar, Muara Kuntul, Muara Jaya, Muara Gobah, Muara Blacan, Sungai Labuh, Cikarang Bekasi Laut, Muara Bungin, dan Muara Beting. (Koran Tempo, 15 Juli 2008)
Bencana akibat daya rusak air sepertinya tidak berhenti sampai di sini. Bahaya Abrasi masih terus mengancam hingga saat ini. Pada beberapa puluh tahun yang lalu bibir pantai masih sekitar 200 hingga 300 meter dari bibir pantai yang terlihat saat ini (Republika, 16 Juni 2007). Dalam dua tahun terakhir ini abrasi yang terjadi nampak semakin parah. Penggerusan pantai ini dikatakan telah menghilangkan sekitar seribu hektar lahan tambak petani. Penduduk sekitar menengarai bahwa pencurian pasir laut dan kerusakan hutan mangrove sebagai penyebab percepatan terjadinya abrasi (Koran Tempo, 19 Agustus 2004).
xx
Ada juga masyarakat di tepi sungai yang mencari nafkah dengan melayani penyeberangan sungai menggunakan perahu kayu. Transportasi air ini menjadi pilihan masyarakat sekitar untuk bepergian karena lebih murah dan relatif lebih cepat untuk mencapai pusat perdagangan seperti daerah Marunda/Cilincing. Sesekali terlihat kapal yang menjual barang kelontong. Untuk berbelanja dan berdagang, masyarakat lebih memilih menuju ke arah Cilincing atau Marunda (Jakarta Utara) dibandingkan ke kota Bekasi, yang harus ditempuh dengan waktu sekitar dua hingga tiga jam melalui perahu dan jalan darat. Kondisi prasarana di perkampungan nelayan ini masih sangat minim. Jalan di perkampungan masih berupa tanah yang berubah menjadi lumpur jika hujan atau air pasang. Sudah terdapat sarana seperti puskesmas dan sekolah, meski fasilitasnya masih terbatas.
11
Rumah-rumah di perkampungan ini sebagian besar terbuat dari bahan gedhek (anyaman dinding bambu), tripleks dan kayu. Jika musim angin, banyak rumah yang dinding dan atapnya terbawa angin. Jika hujan, kebocoran di dalam sebagian besar rumah adalah hal yang biasa. Sebagian besar masyarakat di perkampungan ini melakukan kegiatan mandi, cuci dan kakus (MCK) langsung di sungai. Belum terlihat fasilitas pengelolaan sampah, sehingga sampah menumpuk, baik di kampung maupun aliran sungai.
Ketersediaan air bersih masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Masyarakat sepanjang sungai dan sekitar muara diharuskan membeli air bersih dalam jerigen dikarenakan tidak mempunyai alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Suplai air bersih ini tersedia dari dari penjual air yang menggunakan kapal. Harga air di wilayah Muara Gembong berkisar antara Rp. 7.000,- hingga Rp. 10.000,- per jerigen isi 20 liter. Masyarakat menggunakan air ini hanya untuk memasak dan minum, sedangkan untuk mandi dan mencuci makanan mereka memilih menggunakan air sungai yang tersedia secara gratis di belakang rumah.
12
13
14
15
Ibu Wani
Ibu Wani (55 tahun), sehari-harinya berjualan gorengan. Dalam sehari keuntungan yang diperoleh sekitar Rp 15.000-20.000. Ibu Wani memiliki 5 orang anak, dengan yang paling bungsu berumur 11 tahun dan masih duduk di bangku SD. Suaminya yang sudah tua dan sakit-sakitan tidak lagi bisa membantu mencari nafkah. Untuk itu, ibu Wani menambah penghasilannya dengan mencari kayu bakar atau mengumpulkan daun yang nama setempatnya disebut daun api-api yang dapat digunakan untuk atap, atau juga bekerja di tambak ikan milik tetangganya. Hasilnya tidak tentu, berkisar antara Rp 5.000 hingga Rp 15.000. Untuk makan kadang tidak cukup, tapi syukurlah anak saya tetap bisa sekolah kata ibu Wani menjelaskan.
16
Kampungnya baru dilanda angin kencang. Rumah anak sulungnya terangkat terbawa angin hampir seluruh bagian dinding dan atapnya, sehingga tidak lagi dapat ditempati. Belum ada modal untuk membangun kembali rumah itu, sementara ini mereka tinggal dengan saya tutur Ibu Wani tanpa menunjukkan keputusasaan.
17
Pencemaran Air
18
19
www.citarum.org