Dosen Pengampu:
Dr. Nirzalin, M.Si
Oleh:
Nama : Selvi Yanti Gea
NIM : 216910101015
MAGISTER
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
2022
MODAL SOSIAL BUDAYA LOMPAT BATU (HOMBO BATU) DI
PULAU NIAS SUMATERA UTARA
ABSTRACT
Abstract This article talking about growth process of child at Tribe of Nias, that is
society buttonhole which above the ground with custom scope and culture which still
orisinil. Customary law of Nias more knowledgeable with the title fondrakö which
arranging many life facet start from delivering birth come death him. Teritorial Nias
noted to have culture of megalitik proved the existence of historic ommission. There is
engraving at big amethyst which still looked after goodness. Life of Tribe of Nias have
cultural manner hold highing is high, diaflikasikan with extravagant seremonial so
that dribble generation degradation of hereditary life. But culture can be made to
become especial capital invite tourist to reach for rupiah. Tribes of Nias very
assiduous mature their child with their ancestor’s culture, but it too big so that leave
over debt which related to to its generation. Assocciation nuance in family still sliver
with family violence, economic which still weaken, nuptials early, less planned
migration, and home broken rentan.
Keyword: adult, orgy culture, degradation.
ABSTRAK
Abstrak Artikel ini membahas tentang proses tumbuh kembang anak di Suku Nias,
yaitu masyarakat kancing yang berada di atas tanah dengan lingkup adat dan budaya
yang masih orisinil. Hukum adat Nias lebih dikenal dengan sebutan fondrakö yang
mengatur banyak segi kehidupan mulai dari melahirkan sampai meninggalnya.
Teritorial Nias yang tercatat memiliki budaya megalitik membuktikan adanya
peninggalan sejarah. Ada ukiran di batu kecubung besar yang masih terjaga
kebaikannya. Kehidupan Suku Nias memiliki tata budaya yang menjunjung tinggi,
diaflikasikan dengan seremonial yang boros sehingga menggiring generasi degradasi
kehidupan turun temurun. Namun budaya bisa dijadikan modal utama mengajak
wisatawan meraih rupiah. Suku Nias sangat rajin mendewasakan anaknya dengan
budaya nenek moyangnya, namun terlalu besar sehingga menyisakan hutang yang
berkaitan dengan generasinya. Nuansa pergaulan dalam keluarga masih erat kaitannya
dengan kekerasan keluarga, ekonomi yang masih lemah, pernikahan dini, migrasi yang
kurang terencana, dan rumah tangga yang rentan.
Kata kunci: dewasa, budaya pesta, degradasi.
1
A. PENDAHULUAN
Kebudayaan Indonesia bisa diartikan seluruh ciri khas suatu daerah yang ada sebelum
terbentuknya nasional Indonesia, yang termasuk kebudayaan Indonesia itu adalah
seluruh kebudayaan lokal dari seluruh ragam suku-suku di Indonesia. Kebudayaan Indonesia
walau beraneka ragam, namun pada dasarnya terbentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan
besar lainnya seperti kebudayaan Tionghoa, kebudayaan India dan kebudayaan Arab. Tetapi
dalam hal ini Penulis membahas mengenai budaya Nias yang lebih spesifiknya pada Tradisi
Lompat Batu (hombo Batu) Nias.
Nias terletak ± 85 mil laut dari Sibolga (daerah Provinsi Sumatera Utara). Nias
merupakan daerah kepulauan yang memiliki pulau-pulau kecil sebanyak 27 buah. Banyaknya
pulau-pulau kecil yang dihuni oleh penduduk adalah sebanyak 11 buah, dan yang tidak dihuni
ada sebanyak 16 buah.Luas Pulau Nias adalah sebesar 3.495,40 km2 (4,88 % dari luas
wilayah Provinsi Sumatera Utara), sejajar dan berada di sebelah barat Pulau Sumatera serta
dikeliling oleh Samudera Hindia. Pulau ini terbagi atas empat kabupaten dan satu kota,
Terdiri atas kabupaten Nias, Nias Selatan, Nias Utara, Nias Barat dan kotamadya
Gunungsitoli Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam
bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka “Ono Niha” (Ono = anak/keturunan;
Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai “Tanö Niha” (Tanö = tanah) (Zai, 2013).
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan
yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala
segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam
budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar
yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Kasta : Suku Nias
mengenal sistem kasta (12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah
“Balugu”. Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar
dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-
hari (Zai, 2013).
2
Masyarakat Indonesia yang plural dan majemuk membuat budayanya beragam dan
memiliki ciri khasnya masing-masing. Salah satunya adalah tradisi Lompat Batu di Nias.
Tradisi yang berasal dari Suku Nias yang tinggal di Pulau Nias sebelah barat Pulau Sumatera
ini memang terbilang unik. Lompat batu atau yang dikenal dengan nama “fahombo batu”
sudah menjadi ciri khas masyarakat Nias. Tradisi melompati batu yang disusun hingga
mencapai ketinggian 2 m dan ketebalan 40 cm ini hanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Tidak
semua masyarakat Suku Nias melakukan Tradisi ini. Hanya mereka yang berada di Nias
Selatan khususnya di daerah Teluk Dalam yang melakukan tradisi akrobatik ini. Hal tersebut
disinyalir karena perbedaan budaya nenek moyang atau leluhur masyarakat Nias (Zai, 2013).
Terlepas dari aspek pariwisata sehingga tradisi Lompat Batu menjadi begitu terkenal,
tradisi ini juga menunjukan kekuatan dan ketangkasan para pemuda yang melakukannya.
Seseorang yang berhasil melakukan tradisi ini dianggap heroik dan prestisius. Tidak hanya
bagi individu yang melakukannya, melainkan juga bagi keluarga orang tersebut, bahkan
seluruh masyarakat desa. Oleh karena itu biasanya setelah anak laki-laki berhasil melakukan
tradisi ini, akan diadakan syukuran sederhana dengan menyembelih ayam atau hewan
lainnya. Orang yang berhasil melakukan tradisi ini juga akan dianggap matang dan menjadi
pembela kampungnya jika ada konflik dengan warga desa lain.
Menurut Edward B. Tailor, Bohanan dan Glazer yang memandang kebudayaan
sebagai totalitas pengalaman manusia. “kebudayaan atau peradaban, diambil dalam
pengertian etnografi yang luas adalah keseluruhan komples yang meliputi pengetahuan,
keyakinan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kapabilitas dan kebiasaan-kebiasaan
lainnya yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Karena begitu tingginya tingkat prestisius dari tradisi ini, maka setiap pemuda dalam
masyarakat Nias melakukan latihan sejak berumur 7 tahun. Sesuai pertumbuhan anak
tersebut, mereka akan terus berlatih melompati tali dengan ketinggian yang terus bertambah
sesuai usia. Akhirnya, latihan tersebut akan dibuktikan pada tradisi Lompat Batu ini. Jelas
tidak mudah untuk melakukan tradisi ini. Terbukti tidak semua pemuda dapat melakukan
tradisi lompat batu ini, meskipun sudah berlatih sejak lama. Banyak orang yang percaya
bahwa selain latihan, ada unsur magis dimana seseorang yang berhasil melompati batu
3
dengan sempurna, maka mereka telah diberkati oleh roh leluhur dan para pelompat batu
sebelumnya yang sudah meninggal.
Belum jelas darimana dan mengapa tradisi ini berasal, namun beberapa masyarakat
setempat menggambarkan bahwa tradisi ini berawal dari zaman dahulu saat ketangkasan
melompat batu sangat dibutuhkan oleh Suku Nias. Dahulu setiap desa dipagar dan dibentengi
oleh batu sebagai pertahanan. Oleh karena itu dibutuhkan keahlian ini untuk melarikan diri
atau dapat memasuki desa sasaran. Selain mengangkat derajat seseorang yang telah berhasil
melompat batu, pemuda yang berhasil melakukan tradisi ini akan dianggap dewasa dan
matang secara fisik. Oleh karena itu hak dan kewajiban sosial mereka sebagai manusia
dewasa sudah bisa dijalankan. Cara ini juga terkadang dilakukan untuk mengukur
kematangan seseorang untuk menikah. Tradisi Lompat Batu ini memang cukup unik dan
menarik dan menjadi ciri khas Suku Nias. Tidak hanya itu, tradisi Lompat Batu ini juga
menjadi kebanggan Indonesia karena merupakan keunikan dan kekayaan yang bersemayam
di bumi pertiwi ini. Namun untuk mempertahankan suatu budaya tersebut diperlukan suatu
modal sosial yang tinggi, demi keberlangsungan kebudayaan di suatu daerah.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknis pengumpulan data
menggunakan studi Pustaka. Studi pustaka adalah penelitian yang dilakukan oleh peneliti
dengan mengumpulkan sejumlah buku-buku, majalah, maupun artikel/jurnal yang berkenaan
dengan masalah dan tujuan penelitian. Sumber data tersebut dianggap seperti sumber data
yang akan diolah dan dianalisia seperti banyak dilakukan oleh ahli sejarah, sastra dan bahasa
(Danial, 2009). Penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah dan membandingkan
sumber kepustakaan untuk memperoleh data yang bersifat teoritis. Disamping itu dengan
menggunakan studi pustaka penulis dapat memperoleh informasi tentang teknik-teknik
penelitian yang diharapkan. Kajian ini merupakan kajian dokumentasi pada berbagai tulisan
di media massa (cf Moleong, 2007; Bungin, 2008; dan Al-Gharuty, 2009), yang memberikan
informasi mengenai tradisi hombo batu atau loncat batu di Pulau Nias, Sumatera Utara,
4
Indonesia. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik analisis isi atau (Roger,
1987; Rakhmat, 1999; dan Kriyantono, 2007), untuk kemudian melahirkan tema-tema dan
pembahasan yang terkait dengan tujuan kajian, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi
loncat batu, sehingga layak untuk dikembangkan.
C. MODAL SOSIAL
Modal sosial merupakan salah satu elemen yang terkandung dalam masyarakat.
Berbentuk nilai dan norma yang dipercayai da dijalankan oleh sebagian besar anggota
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, yang secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi kualitas hidup individu dan keberlangsungan komunitas masyarakat.
Modal sosial adalah sebuah barang publik yang dibangun oleh masyarakat. Sumber
dari modal sosial adalah norma, kepercayaan, dan jaringan dimana ketiga aspek tersebut yang
mendasari kerjasama dan aksi bersama untuk mencapai kemanfaatan. Maka dari itu menurut
Robert D. Putnam (Ritzer, 2012, hal. 120) modal sosial sangat penting karena:
1. Dengan modal sosial, masyarakat bisa menyelesaikan masalah secara kolektif dan ini
menjadi sangat mudah. Orang akan menjadi lebih baik jika saling bekerja sama, dan
saling berbagi.
2. Modal sosial mampu meningkatkan perputaran roda yang bisa membuat komunitas
mengalami kemajuan secara perlahan-lahan.
3. Komunitas lokal mampu meningkatkan kesadaran masyarakat secara luas dengan
berbagai cara terhadap apa yang sedang berlangsung di sekitar kita, dengan kata lain
modal sosial memunculkan kesadaran umum.
Putnam menyimpulkan modal sosial yang berwujud norma-norma dan jaringan
keterkaitan merupakan prakondisi bagi perkembangan ekonomi. Selain itu juga
merupakan prasyarat yang mutlak diperlukan bagi terciptanya tata pemerintahan yang baik
dan efektif. Ada tiga alasan penting bagi Putnam untuk mengatakan demikian. Pertama,
adanya jaringan sosial memungkinkan adanya koordinasi dan komunikasi yang dapat
menumbuhkan rasa saling percaya di antara sesama anggota masyarakat. Kedua,
5
kepercayaan (trust) memiliki implikasi positif dalam kehidupan bermasyarakat.
Hal ini dibuktikan dengan suatu kenyataan bagaimana keterkaitan orang-orang yang
memiliki rasa saling percaya (mutual trust) dalam suatu jaringan sosial memperkuat norma-
norma mengenai keharusan untuk saling membantu. Ketiga berbagai keberhasilan yang
dicapai melalui kerjasama pada waktu sebelumnya dalam jaringan ini akan mendorong bagi
keberlangsungan kerjasama pada waktu selanjutnya.
Mitos yang berkembang di masyarakatnya mengatakan bahwa suku Nias berasal dari sebuah
pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama
"Tetehöli Ana'a". Kedatangan manusia pertama kePulau Nias itulah yang disebut Raja Sirao
dengan memiliki 9 putra. Ke sembilan putra itu eksodus dari pulau itu dikarenakan semuanya
ingin memperebutkan Takhta Sirao. Pengembangan dari Ke 9 Putra inilah yang menjadi turunan
pertama suku Nias.
2. Riset Para Arkeolog
Riset Arkeolog tahun 1999 di Nias dimana hasilnya dimuat di Majalah Tempo-interaktif
6
Sabtu 25 November 2006, di Harian Kompas Rabu 4 Oktober 2006 pada kolom Rubrik
Humaniora disebutkan bahwa: “ sudah ada manusia diPulau Nias sejak 12.000 tahun silam
yang bermigrasi dari daratan Asia ke PulauNias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi
sejak 30.000 tahun silam papar Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi
Nasional - LIPI “. Pada masa itu hanya ada budaya yang disebut “Hoabinh” (sebutan yang
sama dengansalah satu desa kuno di Vietnam), dan budaya dari dua desa ini terkesan sama,
sehingga muncuahl hipotesis bahwa Suku Nias berasal dari daratan Asia yang kini menjadi
negara yang disebut Vietnam.
Riset Balai Arkeologi wilayah Medan mengungkapkan jejak peradaban manusia pertama
di provinsi Sumatera Utara adalah pada sebuah goa dengan diameter lebih kurang 175 m di
desa Lolowonu Niko “otano” kecamatan GunungSitoli - kab. Nias. Pada goa itu ditemukannya
sisa-sisa vertebrata (tulang dan gigi)manusia purba, serpihan batu, batu pukul, dan pipisan dari
mata panah berbentuk batu dengan panjang 2,5 sentimeter. Analisis dari Ketut Wiradyana yang
juga dari Balai Arkeolog Medan “manusia sudah ada tinggal di Nias di goa Togi Ndrawa sejak
12.000. Tahun silamatau sampai 1150 Masehi”. Selanjutnya disebut bahwa umur kehidupan
manusia pertama di Pulau Nias itu dari hasil perhitungan dengan metode radio carbon atas
sampel moluska.
Riset dari Manis van Houven yang berkebangsaan Taiwan sekitar tahun 2000
mengungkap bahwa: “penduduk asli orang Nias berasal dari Taiwan”. Penelitian ini
dibuktikan dengan jalan pengambilan sampel DNA 900 warga Nias, dan dibandingkan
dengan DNA orang Taiwan. Temuan yang diperoleh adalah “ada kedekatan ke titik akurat
bahwa orang Nias sangat dominan mirip dengan genetika orang Taiwan”.
7
tinggal mereka dengan sebutan "Ono Niha" (Ono= anak/keturunan, Niha= manusia) dan
pulau Nias sebagai "Tano Niha" (Tano= tanah), dan suku Nias adalah masyarakat yang
hidup dalam lingkungan adat dankebudayaan yang masih tergolong masih asli dan warna
kulitnya mirip orang Taiwan”.
Budaya masyarakat di Nias punya ciri-ciri khas masing-masing, namunkebersamaan
dari budaya masih banyak yang sama. Dapat diamati dari adat perkawinan yang terkenal
dengan adat jujurannya. Umumnya orang dari luar Nias yang pernah berkunjung ke Pulau
Nias selalu mengatakan bahwa Nias memiliki kesan: mahar- jujuran (böwö, gogoila)
perkawinan yang mahal betapapun diakui sebagai pemberian cuma-cuma.
Masyarakat Nias yang tinggal pada radius 5.625 kilometer persegi itu semuanya
menerapkan adat jujuran mahal dalam mengikuti perkawinan, dan mengambil silsilah
turunan dari Bapak (Patrialkat).
Nias dengan kota utama Teluk Dalam memiliki luas wilayah 5.625 Km persegi dengan
sistem patrialkat. Dan cuma laki-laki yang boleh jadi pemimpin di Nias. Kepala
Pemerintahan yang terrendah disebut dengan “si Ulu” yang artinya “seorang kaum
bangsawan”. Kepemimpinan si Ulu ini masih terasa lestari sampai sekarang dan bisa
ditemukan pada kabupaten yang terdekat yaitu Nias Selatan. Banyak adat Nias yang dalam
pagelarannya butuh biaya fantastis, dalam arti masih sangat mahal dengan ukuran ekonomi
sekarang ini, apalagi dihubungkan dengan tingkat perekonomian di daerah masih lemah
dibanding dengan daerah Indonesia lainnya. Banyak adat Nias yang dalam pagelarannya
butuh biaya fantastis, dalam arti masih sangat mahal dengan ukuran ekonomi sekarang ini,
apalagi dihubungkan dengan tingkat perekonomian di daerah masih lemah dibanding
dengan daerah Indonesia lainnya.
RUMAH ADAT
Rumah adat mereka dikenal dengan istilah OMO HADA. Omo hada terbagi atas 3
bagian berdasarkan bentuk atap, denah lantai, dan bangunan. Tipe yang terdapat dalam
rumah adat Nias berbeda pada setiap daerahnya yaitu :
8
a. Nias Utara : bentuk atapnya bulat dan bentuk denahnya oval
b. Nias Tengah : bentuk atap bulat dan bentuk denah segi empat
c. Nias Selatan : bentuk atap segi empat dan bentuk denahnya persegi Rumah adat
ini tidak menggunakan paku besi untuk menghubungkan setiap masing-masing
bagian, tetapi mereka menghubungkannnya dengan mengggunakan pasak kayu, namun
terbukti bahwa omo hada kokoh dan tahan terhadap gempa. juga agar setiap musuh sukar
menyerang ke dalam rumah bilaterjadi peperangan.
Pola umum dari rumah adat ini adalah membagi ruangan menjadi empat bagian yaitu:
a. Ruangan pertama adalah dsebut Tawalo yaitu berfungsi sebagai ruang tamu, tempat
bermusyawarah, dan digunakan juga sebagai tempat tidur para jejaka.
b. Ruangan kedua disebut bule yaitu tempat duduk tamu.
d. Ruangan keempat disebut Salohate yaitu tempat sandaran tangan bagi tamuagung.
e. Ruangan kelima disebut harefa yakni untuk menyimpan barang-barang tamu. Setiap
ruangan di tempati sesuai dengan Kasta (si Ulu, Ene, Ono Embanua, dan
sawaryo/budak).
9
kuda-kuda untuk melompat ke batu yang besar. Fahombo (lompat batu) mulai dilakukan
pada saat anak laki-laki berusia10 tahun, disaat itu anak laki-laki yang ada di Pulau Nias
sudah bersiap-siap untuk melakukan fahombo atau lompat batu. Sebagai ritual dalam
kebudayaan adat Nias maka anak laki-laki Nias yang mampu melakukan tradisi ini
dianggap sudah dewasa dan matang secara fisik.
10
akhirnya akan menjatuhkan martabat kehormatan keluarga. Namun adat dan tradisi Nias
bila dihubungkan dengan materi, maka aflikasinya sangat boros perkembangan peradaban
manusiayang bertentangan dengan prinsip hidup hemat sehingga bisa jadi mandiri.
2. Tradisi Kekerasan Yang Cendrung Absolut versus Nilai-nilai Pendidikan Modern
Yang Mendewasakan.
Didalam berkeluarga, orang Nias tidak jarang mengalami kasus KDRT(kekerasan dalam
rumah tangga). Catatan laporan PKPA (Pusat Kajian danPerlindungan Anak) tahun 2008,
dimana kasus yang ditangani oleh merekamencapai 78 kasus rumah tangga, dan kasus terbesar
adalah KDRT sebesar 49 %. Tradisi yang masih kurang baik untuk hampir setiap orang yaitu
mengkonsumsialkohol secara terbuka pada acara sakral. Tradisi ini bertentangn dengan nilai-nilai
pendidikan modern yang cendrung mencegah anak dari alkohol.
3. Tradisi Royal Materi versus Sikap Hemat Yang Mencerahkan
Pergaulan dalam adat Nias masih tergolong boros. Biaya bisa terpenuhidengan tradisi
jula-jula, namun selalu saja menjadi utang yang susah di akhiri dikarenakan timpa
menimpa. Hidup dengan banyak utang menyebabkan ekonomi susah bangkit, maka tidak
jarang warganya terpaksa jadi buruh kasar seperti untuk penambangan batu gunung,
penambang pasir, pemulung, dan kriminalitas.
Fenomena kriminalitas di Nias pernah tercatat pencurian ada 150 kasusyang ditangani
PKPA selama 3 tahun terakhir ini (2006-2008), dan sekitar 65 %diantaranya dilakukan
karena keterpaksaan ekonomi.
4. Pernikahan Dini versus Pernikahan Usia Matang
Hasil riset PKPA di Nias mengungkapkan bahwa: dari 280 responden perempuan yang
akan dan yang sudah menikah, maka terdapat 9,4 % berada pada usia sekitar 13-18 tahun.
Selanjutnya data BPS tahun 2005 mencatat ada 1600 perempuan telah menikah di usia 10-18
tahun; terhitung pula 500 anak laki- laki menikah di usia 15-18 tahun. Bila dihubungkan
dengan UU Perkawinan yangmenegaskan bahwa usia ideal menikah adalah usia 21 tahun, dan
batas toleransi 16 tahun untuk perempuan dan usia 19 tahun untuk anak laki-laki dengan catatan
harus dengan persetujuan orang tua/wali. Seterusnya bila merujuk pada UU Perlindungan
11
Anak No. 23 tahun 2002 dimanaperkawinan di usia 18 tahun ke bawah termasuk pernikahan
dini.
5. Cinta Kampung Halaman versus Prilaku Migrasi
Masyarakatnya selalu cinta kampung, tapi tidak tahan dengan himpitan ekonomi,
akhirnya remaja Nias melakukan migrasi yang kurang terrencana. Mereka merantau
karena ingin mengubah kondisi perekonomian jadi lebih baik dengan ketrampilan yang
sangat minim. Awal kehidupan di rantau masih tinggaldengan keluarga dekat, dan bila
telah terbiasa dengan kondisi daerah maka mereka akan mandiri betapapun cuma jadi
buruh, dan bisa pula tahan tinggal dilereng-lereng bukit.
6. Mengagungkan Anak Laki-laki versus Trans Gender
Trans gender adalah perbedaan perlakuan terhadap jenis kelamin. Namun perhatian yang
menonjol dalam suku Nias yaitu pada anak laki-laki, kerena laki-laki merupakan penerus keluarga atau
disebut juga tunas patrialkat (mengambil silsilah dari anak laki-laki) sehingga laki-laki lebih tinggi
kedudukannya dibandingkan anak perempuan.
7. Pernikahan Jujur (Bowo) versus Pola Hidup Hemat
Böwö adalah sebutan mahar dalam sistem adat perkawinan di Nias. Gadis yang sudah
dinikahi menjadi bagian dari kelompok suaminya. Dan Anak- anak yang dilahirkan akan
menjadi penerus keturunan keluarga suami.
Penerapan Böwö selalu menyisakan problem baru bagi keluarga pihak laki-laki,
karena terlilit utang yang harus dicicil dalam kegiatan jula-jula. Bowo saat ini bisa dihargai
dengan 25 ekor babi atau bisa disetarakan dengan uang hampir50 juta.
Bowo yang masih kental sekarang ini telah berpengaruh buruk dalam kehidupan di
Nias, antara lain:
a. Bowo menggiring pada kemiskinan, karena cendrung dipaksakan dalam
Penerapannya.
b. Bowo yang tidak dipenuhi rentan kepada praktek pembunuhan karena nilai
materinya tergolong besar.
c. Bowo terkesan mewariskan hutang yang tidak pernah habis-habisnya pada generasi
12
yang akan datang, sehingga awal perkawinan itu adalah awal dari pelunasan hutang.
BENTUK MODAL SOSIAL DALAM TRADISI LOMBAT BATU
(HOMBO BATU) NIAS
a. Trust (Kepercayaan)
Suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya
yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang
diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung,
paling tidak yang lain tidak akan bertibdak merugikan diri dan kelompoknya (Putnam, 2002,
hal 60). Hubungan yang di dasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan
sesuatu yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang
saling mendukung. Pada aspek kepercayaan ini masyarakat Nias percaya bahwa jika
seseorang dapat melakukan atraksi Lompat Batu maka orang tersebut dianggap mampu
melewati rintangan, dapat mudah mengejar musuh, sekaligus sebagai ajang pelatihan bagi
seorang anak Nias untuk mencapai kedewasaan.
Pada dasarnya kepercayaan ini di dasari oleh sejarah masa lampau. Saat sebelum agama
Kristen dan Islam masuk di kepulauan Nias, sering terjadi perang antar desa terutama di Nias
Selatan. Perang ini memiliki banyak pemicu seperti untuk memperluas wilayah pemerintahan
desa ataupun disebabkan karena pelanggaran norma-norma adat yang merusak hubungan
antar kampung. Mengingat situasi geografis yang masih alami pada waktu itu, maka setiap
orang yang akan pergi berperang harus dilatih terlebih dahulu tentang bagaimana strategi
perang, dalam arti lompat batu pada awalnya adalah latihan untuk berperang.
b. Norms (Norma)
Sekumpulam aturan yang diharapkan dipatuhi dan di ikuti oleh anggota masyarakat pada
suatu entitas sosial tertentu. Dalam setiap “Peraturan” disebuah kelompok terkandung
kesepakatan yang berbalasan dan harapan tentang tindakan-tindakan yang patut dilakukan
secara bersama-sama. Melalui peraturan-peraturan inilah setiap anggota komunitas menata
tindakan. Mengenai norma akan kita lihat bagaimana hasil dari kepercayaan lompat batu oleh
masyarakat Nias membuahi sebuah aturan yaitu mereka mensyaratkan untuk laki-laki yang
13
ingin menikah harus dapat melakukan atraksi Hombo Batu. Selain itu tradisi lompat batu
sebagai ritus budaya untuk menentukan apakah seorang pemuda di Desa Bawo Mataluo dapat
diakui sebagai pemuda yang telah dewasa atau belum. Para pemuda itu akan diakui sebagai
lelaki pemberani apabila dapat melompati sebuah tumpukan batu yang dibuat sedemikian
rupa yang tingginya lebih dari dua meter. Ada upacara ritual khusus sebelum para pemuda
melompatinya. Sambil mengenakan pakaian adat, mereka berlari dengan menginjak batu
penopang kecil terlebih dahulu untuk dapat melewati bangunan batu yang tinggi tersebut.
c. Network (Jaringan)
Jaringan antara manusia adalah bagian terpenting dari sebuah kelompok atau kerjasama,
jaringan ini sama pentingnya dengan alat kerja yaitu dapat membangun pengembangan untuk
mempromosikana atau kerja sama antara dua kelompok yang ingin mencapai tujuan yang
sama. Suatu kelompok masyarakat tidak cukup hanya mengandalkan bantuan dari luar untuk
mengatasi kesulitan ekonomi, tetapi mereka sendiri juga harus secara bersama-sama
memikirkan dan melakukan langkah-langkah terbaik guna mengatasi masalah tersebut
dengan mengerahkan sengenap potensi dan sumberdaya yang dimiliki. Dengan mengerahkan
sosial menekankan perlunya kemandirianya dalam mengatasi masalah sosial ekonomi,
sementara bantuan dari luar dianggap sebagai pelengkap guna memicu inisiatif dan
produktivitas yang muncul dari dalam masyarakat itu sendiri sehingga dapat berkembang
dengan kekuatan sendiri (Syahra, 2003). Mengenai jaringan yang memberikan manfaat untuk
mempertahankan budaya tradisi lompat Batu Nias maka terdapat orang-orang yang
berkontribusi yaitu Pemerintahan dan Masyarakat di Desa Bawomataluo terletak di Nias
Selatan.
14
KESIMPULAN
Tradisi Lompat Batu nias adalah sebuah tradisi tradisional yang telah dikenal oleh kanca
internasional dan merupakan asset warisan kebudayaan bangsa Indonesia yang dapat
menambah devisa Negara pada umumnya dan pendapatan daerah pada khususnya. Oleh
sebab itu, budaya Hombo batu nias ini tetap dipelihara dan dijaga keutuhannya karena selain
asset bangsa, Lompat batu nias ini juga menjadi sejarah yang harus dikenang dan diturunkan
dari generasi kegenerasi guna mengetahui asal usul dan kebiasaan daerah setempat, untuk
mempertahankan budaya lompat batu ini maka diperlukannya suatu modal sosial. Hal ini
disebabkan modal sosial akan memberikan manfaat bagi budaya dalam mempertahankan
eksistensinya.
15
DAFTAR PUSTAKA
Zai. (2013). Kajian Lompat Batu di Pulau Nias. Diakses pada tanggal 24 Juni 2022.
https://ekazai.wordpress.com/2013/03/12/kajian-budaya-lompat-batu-nias/
Scannell, M. 2010. The big book of conflict resolution games. United States ofAmerica:
McGraw-Hill Companies, Inc.
Suwandono & Ahmadi, S. 2011. Resolusi konflik di dunia Islam. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Telaumbanua, F. (2014b). “Lompat Batu: Syarat Menikah bagi Lelaki Nias? Ini Perlu
Diluruskan!”. Tersedia secara online di: http://kepulauannias.com/lompat-batu- syarat-
menikah-bagi-lelaki-nias-ini-perlu-diluruskan/ [diakses di Nias, Indonesia: 22 Agustus
2022].
Zins, Joseph et al. (2001). “Emotional Intelligence and School Success”. Tersedia secara
online di: http://pondokibu.com/parenting/pendidikan- psikologianak [diakses di
Nias, Indonesia: 22 Agustus 2022].
Ariel, S., Widayatmoko, & Ariel, G. S. (2012). Tinjauan Kritis Simbol-simbol Budaya
Nias dalam Iklan Produk Minuman Berenergi. Jurnal Komunikasi Hukum (JKH),
1(4), 353– 362.
16
Kurniawan & Faisal. (2019). Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Perubahan Adat Istiadat
“Ngocek Bawang” Di Kelurahan Indralaya Mulya Kecamatan Indralaya Kabupaten
Ogan Ilir. 6(1), 134–152.
Ridwan, M., Suharyanto, A., Gulo, Y., Hulu, F., Ramlan, & Marzuki, D. I. (2021). Distinction culture of
women existing in Nias. Journal of Human Behavior in the Social Environment, 0(0), 1– 12.
Syawaludin, D. M. (2017). Teori Sosial Budaya Dan Methodenstreit (P. N. K. dalam T. (KDT) (ed.); Tim
Noerfi, pp. 1–326).
Tafonao, A. (2015). an Analysis on the Meaning in Hombo Batu Culture in Bawomataluo Village, Teluk
Dalam. Jurnal Ilmiah Bahasa Dan Sastra, 2(2), 58.
Sugiyono. (2018). Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R&d. Bandung : CV. Alfabeta.
Warisno, A. (2017). Tradisi Tahlilan Upaya Menyambung Silaturahmi. Ri’ayah, 02(02), 69–79.
Prayogi, R., & Danial, E. (2016). Pergeseran Nilai- Nilai Budaya Pada Suku Bonai Sebagai Civic Culture
Di Kecamatan Bonai Darussalam Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau. Humanika, 23(1).
https://doi.org/10.14710/humanika.v23i1.1 1764
Purwanto, E. (2014). Model Motivasi Trisula: Sintesis Baru Teori Motivasi Berprestasi. Jurnal Psikologi,
41(2), 218. https://doi.org/10.22146/jpsi.695
Raofu, A. dan T. (2018). Pergeseran Tradisi Budaya Komoose (Pencarian Jodoh) Pada Masyarakat Boneoge
Perantau. Neo Societal; Vol. 3; No. 3; Oktober 2018, 3(3), 1689–1699. www.
Siregar, A. Z. (2015). Tradisi Hombo Batu di Pulau Nias : Satu Media Pendidikan Karakter Berbasis
Kearifan Lokal. South-East Asian Journal for Youth, Sport & Health Education Sipatahoenan,
1(October), 209–218. http://journals.mindamas.com/index.php/si patahoenan/article/view/687.
Siregar, A. Z., & Syamsuddin, S. (2015). Tradisi Hombo Batu di Pulau Nias: Satu Media Pendidikan
Karakter Berbasis Kearifan Lokal. SIPATAHOENAN, 1(2).
17